SIKAP TOKOH PEREMPUAN SASTRA JAWA MODERN DALAM MENGHADAPI KEKERASAN * »
Darni† Abstract The re is 3 position posed at by ihe w oma n fignres in facing hardness befalling the r x ‟self Most ofthem acts surrenderness. They don'thave ihe pemer or unables to do something. They only can surrender gazes at its (the bad chance. They nordoes something because don 't diseuss i t isfurther about aetion offigura. Even some of something experiences hardness until dying, s o i ha t unknown position hereinafter. But a/so there is rise makes against variously. There is also tries getting out of hardness then self-snpporting. Mosi of f hem is neglected vietim. Third the thing will be diseussed in detail at solution following. Kata Kunci: sureenderness, fights against,self-snpporting
^
A. Pendahuluan Sebagai sebuah topik cerita, perempuan merupakan topik yang menarik dibicarakan dalam karya sastra. Nama seorang perempuan sering dijadikan judul sebuah cerita maupun puisi. Tidak hanya dalam karya-larva populer yang mcngekploitasi perempuan sebagai bumbu penyedap sebuah cerita. Dalam kaiya serius pun tidak jarang nama perempuan dijadikan sebuah judul cerita. Sementara itu, di seluruh dunia, di belahan bumi mana pun, perempuan pada umumnya menerima perlakukan yang tidak adil dibanding dan oleh pria. Dcskriminasi dan kesewenang-wenangan tersebut menurut Hassan (2004:x) bersumber dari budaya patriarkhi yang berurat dan berakar sangat kuat dan disosialisasikan secara turun menurun dalam praktek kehidupan dalam masyarakat. Diskriminasi tersebut terjadi dalam segala bidang kehidupan. Dalam dunia keija misalnya, menurut Lopez (1996:viii) bahwa wanita seringkali bekerja tanpa bayaran, jika pun dibayar, mereka mendapatkan upah lebih sedikit dari pada pria. Wanita mengahadapi kekerasan yang semakin tinggi dikarenakan gender mereka. Tidak sedikit dari mereka menjadi korban kekerasan. Dalam masyarakat Jawa, menurut beberapa pengamat, perempuan Jawa juga mengalami diskriminasi. Perempuan semata-mata sebagai obyek dan tidak diberi kesempatan berinisiatif. Hal tersebut sudah melegenda dalam ungkapan Jawa seperti: wanita ikn swarga nunut neraka kalut, yang artinya perempuan selalu dibelakang lakilaki, termasuk di kehidupan 'mendatang‟, perempuan
* Artikel ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Fundamental yang berjudul "Kekerasan terhadap Perempuan dalam Fiksi Jawa Modem'‟ † Dra. Darni, M.Hum. adalah staf pengajar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Ncgeri Surabaya.
68
LENTERA. Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5'No. J /Januari 2010. ISSN 1858-4845
mesti mengikuti suaminya ke neraka, dan hanya sebagai angka ikut apabila suaminya bisa mendapatkan surga. Selain itu perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap pengesahan kewibaan laki-laki dalam empat istilah berikut: wisma, curiga, turangga, lan wanita. Perempuan merupakan salah satu benda di antara empat benda yang hanis dimiliki laki-laki, yakni rumah, senjata, dan kendaraan. Dengan memiliki tiga benda tersebut dan perempuan maka lengkaplah kekuasaan dan kewibawaan seorang laki-laki. Dalam perjodohan pun perempuan juga mengalami diskriminasi. Menurut pengamatan beberapa pengamat, mereka mencatat bahwa sebagian besar perempuan menikah dengan dijodohkan. Dalam kehidupan rumah tangga pun perempuan memikul beban mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anak mereka (lihat Koentjaraningrat, 1984; Gcertz, 1989; dan Kartodirdjo. 1993). Sampai saat ini pun masih banyak perempuan, terutama yang tinggal di pedalaman dan pedesaan, masih dijodohkan dan tidak berhak menolak jodoh yang sudah ditetapkan. Bertolak dari kenyataan sosio budaya masyarakat Jaw a yang menempatkan perempuan sangat diskriminatif seperti itu sangat memberi peluang terjadinya berbagai tindak kekerasan kepada perempuan dalam masyarakat Jawa. Di Jawa Timur, menurut catatan KPPD, tahun 2002 tercatat 429 kasus yang dilaporkan ke kepolisian, dengan 490 korban perkosaan. Kemudian disimpulkan, bahwa rasio satu korban kekerasan teijadi /35 jam (Mufidali, 2004:148). Berbagai kekerasan terhadap perempuan dalam realita sosial masyarakat Jawa di atas juga ikut membentuk karya sastra. Menurut Darma (2007:136), pada hakikatnya sastra tidak lepas dari kondisi sosial. Dalam kalimat yang berbeda, Damono juga menyatakan bahwa sastra berkaitan erat dengan masyarakatnya. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan, melainkan dilatan oleh sosio budaya masyarakat yang menghasilkananya (Damono, 1979; Sugihastuti. 2001). Jauh sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Sw ingcwood (1972:19) bahw a karya sastra mencerminkan nilainilai dan norma-norma masyarakat. Ditambahkan oleh Wellek (1990:109) bahw'a karya sastra menyajikan kehidupan, yang sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Bahkan menurut Tison (1999:180), ada hubungan timbal balik antara keduanya. Sastra dan masyarakat saling mempengaruhi atau saling membentuk. Sastra dibentuk oleh masyarakatnya, demikian pula sebaliknya. Sastra juga dapat membentuk masyarakat. Ada tiga topik yang dibicarakan dalam penelitian kekerasan terhadap perempuan dalam fiksi Jawa modem ini, yakni bentuk-bentuk kekerasan, motif kekerasan, dan sikap tokoh dan pengarang dalam menghadapi kekerasan. Namun pada kesempatan ini tulisan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam sastra Jawa modern akan dipusatkan pada sikap yang ditunjukkan oleh para tokoh perempuan dalam menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya. Kajian akan dipusatkan pada tema, yakni tema-tema kekerasan. Karya yang diteliti meliputi cerita bersambung dan cerita pendek berbahasa Jawa yang terbit di majalah mingguan berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panyebar Semangat tahun 1996-2005 yang bertemakan kekerasan. Ada 31 cerpen dan 15 cerbung yang bertemakan
Szcar ickoh Perempuan Sastra Jciwa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
kekerasan yang terbit pada periode tersebut. B. Kajian Pustaka 1. Perempuan dalam Masyarakat Jawa Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara fisik dan kodrat. Tetapi perbedaan itu tidak hanya berhenti sampai kedua hal tersebut, pada umumnya perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Menurut seorang ahli psikologi, Jcan Baker Miller, dengan keunggulan tenaga dan bentuk tubuh laki- laki dipandang lebih dominan dari pada perempuan, sehingga pihak dominan menguasai dan memandang perempuan sebagai inferior. Berkaitan dengan kekurangan tersebut, pria memberikan kepada laki-laki sejumlah sifat yang menyenangkan pria, misalnya sikap menyerah, pasif, penurut, ketergantungan, kurang inisiatif, dan ketidakmampuan bertindak. Kodrat melahirkan yang tidak dimiliki laki-laki, menyebabkan laki-laki memandang bahwa perempuan harus mengurus keluarga dan rumah (Djajanegara, 2000:65-7). Posisi perempuan sebagai pihak yang inferior menurut Simmel (Djajanegara, 1987:64) juga disebabkan negara, hukum, moralitas, agama, dan ilmu pengetahuan mcrupaf&n ciptaan laki-laki. Pada umumnya gagasan tersebut disetujui, termasuk perempuan. Berdasarkan pengamatan para alhi, banyak pandangan yang menganggap re: .dah terhadap perempuan Jawadalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam perkawinan, pekerjaan, dan pcrgaualan. Menurut pengamatan Gcertz (1983:59) para gadis dipaksa dikawinkan pada usia yang terlalu muda. Menurut Mulder (1985:44) perempuan yang berpendidikan tinggi pun juga merasa malu apabila tidak segera menikah. Dominasi laki-laki dalam perkawinan juga dapat dilihat dari sistem poligami. Laki-laki yang bisa melakukan poligami melambangkan potensi yang tinggi akan kejantanan dan wibawanya dalam masyarakat. Dalam hal pekerjaan perempuan banyak dibedakan dengan laki-laki. Ada sebuah ungkapan Jawa yang menunjukkan bahwa pekerjaan dapur dan rumah tangga adalah pekeijaan perempuan, yaitu pintera njala langit wong wadon iku tetep ana pawon panggonanc, maksudnya setinggi apa pun pendidikan perempuan tempatnya tetap di belakang, mengerjakan pekerjaan dapur dan rumah tangga. Menurut Mencg P P, angkatan kerja perempuan lebih rendah dianding laki-laki (Hatta, 2009). Di sektor swasta para pekeija perempuan masih mendapatkan perlakukan yang tidak adil dalam hal pengupahan. Meskipun para perempuan sudah ada yang menduduki kursi sebagai wakil rakyat di MPR dan menjadi menteri, namun jumlah mereka tetap sangat sedikit, jauh tidak berimbang dengan laki-laki. Di pemilu 2009 ini, hanya 16% perempuan yang berhasil menduduki kursi parlemen. Di samping pengupahan dan perlakukan yang tidak adil, banyak perempuan juga mengalami pelecehan seksual sampai pada pemerkosaan di tempat kerja. Ditambahkan oleh Sadli (2000:6) bahwa perempuan hanyalah sebagai pencari nafkah kedua. Pencari nafkah pertama adalah la 1 i-laki. Hal tersebut memapakan konsekuensi dari penetapan laki-laki
70
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5/No. l/Januari 2010, ISSN 1858-4845
sebagai kepala keluarga dalam UU Perkawinan. Djajanegara (2000) juga mengungkapkan bahwa feminisme di Indonesia sedang lesu. Di bidang organisasi, meski banyak organisasi perempuan saat ini, namun kegiatan mereka tidak ada hubungannya dengan kepentingan perjuangan kaum perempuan. Para ibu dan gadis muda cenderung mengkonsumsi majalah- majalah wanita yang hanya menyajikan menu-menu masakan, model-model pakaian, dan keperluan-keperluan dapur dan rumah tangga. Majalah-majalah tentang perempuan yang beredar pun hanya majalah populer yang tidak berisi tentang perjuangan hak perempuan dan perlindungan perempuan dari kekerasan. Sederetan majalah populer seperti itu misalnya Nyata, Nova, dan Lipstiks. Bacaan bermutu seperti Jurnal Perempuan justru hanya diminati oleh sekelompok perempuan yang peduli terhadap nasib perempuan. Kegiatan- kegiatan yang mengajak perempuan dan laki-laki untuk memahami gender juga kurang diminati. Menurut hasil kegiatan yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Wanita Unesa (Darni, 2005, 2006. 2007, 2008), bahwa setiap ada kegiatan yang melibatka laki-laki dalam sosialisasi gender, sepi peserta laki-laki. Mereka memandang bahwa gender merupakan urusan perempuan. Padahal, pemahaman perempuan akan perannya yang setara dengan laki-laki membutuhkan kehadiran, kesadaran dan pengertian laki-laki. Beberapa hal di atas: pola perkawinan, pekerjaan, perkumpulan- perkumpulan. dan majalah-majalah perempuan mendukung semakin kuatnya diskriminasi terhadap perempuan. Adanya diskriminasi terhadap perempuan Jawa tersebut tidak berbeda dengan ciri-ciri wanita tradisional yang dikemukakan oleh Fcrguson (1981: 6-11), yaitu selalu bergantung kepada pria, lemah, dan bersikap mendorong kemajuan pria sebaliknya merendahkan diri sendiri. Sejumlah peran yang mendukung adanya diskriminasi terhadap perempuan tersebut adalah peran sebagai ibu, isteri, obyek seks, gadis dan janda yang takut sendiri dan kesepian, dan putri yang selalu ingin dilayani. Realita yang menunjukkan kuatnya dominasi laki-laki terhadap perempuan Jawa mendorong semakin suburnya budaya kekerasan terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan. 2. Kekerasan terhadap Perempuan Kekerasan terjadi di mana-mana dan kapan saja. Seperti diungkapkan oleh Girard (2006:3-7). kekerasan menyelimuti kita semua, membayangi siapa saja. Kekerasan hadir di mana-mana, tak ada tempat yang dikecualikan oleh kekerasan, meskipun agama. Kekerasan bisa menular seperti wabah penyakit, sehingga melahirkan kekacauan, kebingungan, kekalutan, dan mengakibatkan trauma masyarakat. Kekerasan menghiasi politik, hukum,moral, bahasa, dan semua instansi. Salah satu bentuk kekerasan adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindakan nyata akibat adanya diskriminasi terhadap perempuan. Definisi lebih jelas tentang kekerasan terhadap
71
Darni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
perempuan dimuat dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Nairobi tahun 1985, yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Mufidah, 2004:146. Subhan. 2004:7). Dari pengertian di atas tampak bahwa kekerasan menimpa perempuan terjadi baik fisik maupun psikhis, berupa tindakan maupun ancaman. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut Humm (2002:485) antara lain berupa pemerkosaan, pemukulan, incesl (hubungan dengan anak kandung), pelecehan seksual, dan pornografi. Ditambahkan oleh Irianto (2000:186) bahwa kekerasan dapat terjadi di dalam rumah tangga, kerusuhan massal, konflik bersenjata, incesl, pacar yang ingkar janji, dan perampokan. Perkosaan merupakan puncak kekerasan terhadap perempuan. Faktor sosio budaya merupakan faktor utama penyebab tcijadinva kekerasan terhadap perempuan. Adanya diskriminasi terhadap perempufcn dan sistem patriarkhi, yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki, menyebabkan perempuan berada pada posisi yang lemah menjadi sasaran kekerasan. Diungkapkan oleh Funk (2007) bahwa sejak 6000 tahun yang lalu patriarki menaklukkan perempuan, dan terorganisasi dalam dominasi laki-laki. Perempuan menjadi milik laki-laki dan harus berterima kasih atas kebaikan hatinya. Ditambahkan oleh Muhammad (2002:xvi) budaya patriarki, selain menempatkan perempuan pada wilayah marjinal, di sisi lain juga memandang perempuan sebagai sumber fitnah, sumber kekacauan dan kerusakan sosial, serta sumber nafsu birahi laki-laki. Menurut Luhumina (2000:148) dominasi dan diskriminasi tersebut merupakan ketimpangan historis yang bisa menghambat kemajuan perempuan dan mendorong munculnya tindak kekerasan. Lebih jauh. Fakih (1996:x) mengemukakan bahwa tidak hanya peran gender itu saja yang menyebabkan perempuan menderita, tapi juga faktor kelas atau kasta dalam masyarakat, warna kulit dan asal darah sukunya. Penderitaan perempuan akibat penindasan tiga lapis tersebut berhasil ditunjukkan oleh Mosse (1996) dalam penelitiannya terhadap perempuan di belahan dunia bagian Selatan. Di samping faktor sosio budaya tersebut, faktor individu mempakan penyebab langsung terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Menurut pemantauan Kalyanamitra penyebab kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah: (a) lelaki rendah kepercayaan dirinya, sehingga menghasilkan rasa cemburu yang besar dan ingin mengendalikan isteri; (b) perempuan bergantung secara ekonomis kepada laki-laki, (c) alkohol, sifat keras laki-laki, stres kerja, dan kecemasan karena menganggur (1999:32). Kekerasan terhadap perempuan banyak teijadi dalam keluarga, selanjutnya dikenal dengan kekerasan dalam aunah tangga (KDRT). Melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 2004. kekerasan terhadap perempuan dalam
72
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan. Vol. 5/No. I/Januari 20! (J, ISS\' 1858-4845
rumah tangga ditegaskan harus ditiadakan. Selengkapnya bunyi Undang- Undang tersebut menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan tersebut dapat dilakukan laki-laki kepada perempuan dalam keluarga yaitu istri, anak tiri maupun anak kandung, ibu, nenek, kakak, adik, dan saudara. Kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar tidak bisa diungkap atau tidak bisa diatasi. Kasus kekerasan yang terjadi di antara tembok-tembok keluarga yang tertutup ini semakin menjadi gunung es. yang sulit dicairkan. Menurut Hartiningsih (2000:140), hal tersebut disebabkan oleh ketergantungan perempuan kepada suami dan faktor keengganan perempuan untuk melapor. Lebih jauh dijelaskan oleh Sampuma (2000:55) bahwa keengganan tersebut dikarenakan perempuan merasa malu kepada lingkungannya dan takut akan adanya kekerasan lanjutan akibat dari pelaporan yang dilakukan. Dari sisi hukum, menurut Tomasevski (1993:84) usaha-usaha berbagai negara untuk mengangkat permasalahan kekerasan terhadap perempuan sebagai sebuah bentuk pelanggaran hak azasi manusia selalu mengalami kegagalan. Banyak pihak mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak ada sangkut pautnya dengan hak azasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan tetap berlangsung dan perempuan berusaha bertahan. Banyak alasan yang memojokkan perempuan untuk bertahan dalam siksaan dan tidak melaporkan diri untuk mendapat perlidungan. Kalyanamitra (19^9:14) menemukan beberapa sebab mengapa perempuan tetap bertalian dengan kekerasan yang menimpanya, yaitu: (a) takut ancaman dan pembalasan yang lebih kejam apabila diketahui akan meninggalkannya; (b) stigma sosial (cap jelek) sebagai istri yang dipukuli atau menjadi janda: (c) rasa percaya diri rendah (d) untuk kepentingan anakanak; (c) mencintai suami dan berharap suami sadar; (f) tidak ada tempat lain. Untuk penyebab terakhir ini ditambahkan oleh Ollcnburger (2002:232) bahwa apabila para gadis melarikan diri dari siksaan seksual dan fisik di rumah, mereka sering kali berakhir di jalanan, prostitusi, obat bius, dan bentuk penyalahgunaan yang lain. Struktur sosial masyarakat Jawa yang patriarkhi dan dua prinsip hidup orang Jawa, yakni prinsip rukun, homiat, dan toleransi (Suscna. 1991, Handavani, 2004) memberi peluang yang sangat besar atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan Jawa. Sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga menyebabkan perempuan tunduk dan di bawah ^ekuasaan laki-laki. Demikian juga dua prinsip hidup orang Jawa menuntut adanya sikap saling menjaga kerukunan dan keharmonisan hubungan antar manusia Jawa. Prinsip hidup tersebut mendorong perempuan Jawa untuk tetap diam terhadap kekerasan yang diterimanya. Kondisi psikologis tersebut didukung oleh adanya sifat narima yang melandasi setiap upaya yang dilakukan oleh orang Jawa. Jadi meskipun perempuan Jawa banyak mengalami kekerasan dari lawan jenisnya, banyak kontrol sosial yang mengarahkan perempuan untuk tetap diam.
73
Darni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
C. Metode Penelitian Penelitian ini berada pada bidang ilmu sastra. Penelitian pada bidang ilmu sastra pada umumnya menggunakan model penelitian kualitatif (lihat Aminuddin, 1990:117). Penelitian kualitatif bukan berarti suatu model penelitian yang mengharamkan data-data statistik. Namun penelitian ini tidak memanfaatkan data-data statistik. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif yang bempa tulisan, ucapan, dan perilaku. Metode yang digunakan dalam penelitian sastra memiliki tiga sifat, yakni deskriptif, analitis, dan komparatif (Aminuddin, 1990:120). Ketiga metode tersebut digunakan dalam penelitian ini. Di samping memberi penjelasan secara sistematis dari fakta sasaran kajian yang disusun berdasarkan pendekatan, teori, dan cara kerja yang sudah ditetapkan, penelitian ini dilanjutkan tahap analisis dengan menghubungkan hasil diskripsi guna menemukan perbedaan sj^ap dan pandangan penulis laki-laki dan perempuan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam fiksi sastra Jawa modem. Pada tahap terakhir temuan bentuk- bentuk kekerasan yang terdapat dalam teks fiksi Jawa modem dihubungkan dan dibandingkan dengan kekerasan dalam realitas kehidupan masyarakat Jawa. Kary a yang diteliti meliputi cerita bersambung dan cerita pendek berbahasa Jawa yang terbit di majalah mingguan berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panvebar Semangat tahun 1996-2005 yang bertemakan kekerasan. Ada 31 cerpen dan 15 cerbung yang bertemakan kekerasan yang terbit pada periode tersebut. D. Pembahasan Muncul sikap yang berbeda-beda di antara tokoh perempuan dalam menghadapi kekerasan yang menimpa diri mereka. Sebagian besar dari mereka bersikap pasrah. Mereka tidak kuasa atau tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa pasrah merenungi nasibnya yang jelek. Mereka juga tidak berbuat apa-apa karena pengarang tidak membicarakannya lebih lanjut tentang tindakan tokoh. Bahkan sebagian ada yang mengalami kekerasan sampai meninggal, sehingga tidak diketahui sikap selanjutnya. Namun ada juga yang bangkit melakukan perlawanan dengan berbagai cara. Ada pula yang berusaha lepas dari kekerasan kemudian mandiri. Sebagian besar dan mereka adalah korban penelantaran. Ketiga hal tersebut akan dibicarakan secara rinci pada pembahasan berikut ini. 1. Pasrah Hamoir setengah dari cerita yang menjadi data terpilih dalam penelitian ini yang p v i tokoh perempuannya bersikap pasrah dalam menghadapi kekerasan yang men oa dirinya. Ada 16 cerita yang akan dibeberkan satu-persatu mengenai
74
LENTERA, Jurnal Studi Pere. mpuan, Vol. 5/No. I/Januari 2010, JSSN 1858-4845
sikap para tokoh tersebut. Tokoh Warsiti dalam cerkcik Tangis, ing Ati karya Edwin GL Luisi (1996) bersikap pasrah terhadap penelantaran y ang dilakukan suaminya, Wendoko. Perempuan tersebut memilih pulang ke r umah orang tuanya. Kita perhatikan sikap pasrah tokoh tersebut dalam kutipan berikut ini. aku lakon marang awakku dhewi z: apa ora luwih becikaku mati wae? Supaya rampung kasangsarar i iki. Mula ki sanak, kowe s ing dititahake lanang. Nyemplunga jur •ang kuwi dhisik, mengko aku nyusul. " "Emoh, aku ora sudi mal i kanthi cara nglalu kaya ngene iki. " (Luisi, 1996:30.39) “...aku bertanya kepada diriku se ndiri, apakah aku tidak lebih baik mati saja? Agar selesai pend< sritaan ini? Maka, kamu yang ditakdirkan sebagai lelaki, terjunlah ke jurang itu lebih dulu, nanti saya menyusul.” 'Tidak. Saya tidak mau mati dengar i cara seperti itu.” Tokoh Warsiti ingin mengakhiri pen deritaannya dengan bunuh diri terjun ke jurang. Namun niatnya tersebut bcrli. asil dicegah oleh tokoh lelaki yang tidak sempat disebutkan namanya yang juj ga mengalami penderitaan yang sama dengan Warsiti. Tampak bahw a tokoh perer npuan tersebut tidak bisa berbuat apa- apa terhadap kekerasan yang dilakukan o leh suaminya. Ia tidak bisa melawan ataupun bangkit, la justru putus asa. Ia ing: in mengakhiri penderitaannya dengan bunuh dfcti. Tokoh Wami dalam cerbung Lintai lg Panjer Rina karya Danicl Tito ini juga bersikap pasrah terhadap penelanta ran yang dilakukan oleh suaminya. Perempuan tersebut memang memiliki sika p yang nrima. Ia rela dinikah di bawah tangan oleh Sumardi. Ia juga nrima ketika ia ditinggalkan oleh Sumardi bekerja di luar kota, hanya dengan dikirimi uang be lanja saja. Iajuga mau bcrsusali payah mencari suaminya untuk sekedar meminta jatah kiriman uang belanja selama 5 bulan yang tidak dikirimkan. Kepasrahan Wami dilengkapi dengan ketulusan hatinya untuk menerima kembali suaminy» i yang telah mengkhianatinya dengan menikah lagi. Tetapi kepasrahan tokoh terse ;but memang logis, karena perempuan tersebut mumi merupakan perempuan vai ng sangat bergantung kepada suami. Tanpa suami ia tidak dapat menghidupi dii i dan anaknya. Sadiyem dalam cerbung Sawise An a Sumpah karya Esmiet (1997) juga bersikap pasrah terhadap berbagai kekt srasan yang diterimanya. Ia f sering adianiaya oleh suaminya, Dasimo. Kita li hat reaksi tokoh perempuan tersebut dalam menghadapi kekerasan fisik yang dilakukan suaminya dalam kutipan berikut ini.
Darni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modem dalam Menghadapi Kekerasan
“Damput ki. Omonge selot nggatelne ati. Nja/uk daktaboki pa piye?.. ” Disuyarani kaya ngono Sadiyem bojone Sadimo iku mengkeret udele. Awit, dheweke apal banget...alamat bakal mara tangan. (.Esmiet, 1997:24.18) "Damput. Perkataanmu semakin membuat hati panas. Minta ditempeleng kepalamu ya?” Diancam seperti itu Sadiyem, istri Sadimo itu sudah takut. Karena, ia hafal sekali... alamat akan memukulnya. Tokoh Sadiyem takut dan tidak berani berbuat apa-apa terhadap apa yang akan dilakukan suaminya. Belum dihajar saja perempuan tersebut sudah takut bukan main. Akhirnya tokoh Sadiyem ini juga mati di tangan lelaki yang mencintainya. Semasa hidup dan sampai mati, Sadiyem tidak bisa berbuat apa- apa, pasrah terhadap kekerasan yang diterimanya. Kepasrahan karena sudah tidak bisa berkata apapun, karena nyawa su5ah meninggalkan raga, tcijadi pula pada tokoh Dian Anggraini dalam cerbung Ke pleset karya Ismoc Riyanto (2002). Tokoh perempuan tersebut meninggal ditenggelamkan di sungai oleh pacarnya. Kematian tokoh perempuan tersebut merupakan syarat terpenuhinya konvensi sebuah cerita detektif dalam cerita tersebut. Memang tidak banyak yang dijelaskan oleh pengarang berkaitan dengan sikap tokoh tersebut sebelum meninggal, apalagi berkaitan dengan sikap dalam menerima kekerasan. Dalam cerkak Mbah Jayadi kars a Supardi (1998:1.19) tokoh perempuan yang mengalami kekerasan tidak dimunculkan. Perempuan istri Dipa dijual oleh suaminya sendiri. Istri Dipa diserahkan kepada dukun Mbah Jayadi untuk dijadikan perempuan piaraan. Berdasarkan penjelasan bahwa Mbah Jayadi sampai menjual kedua rumahnya menunjukkan bahwa istri Dipa tidak berdaya atas kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Istri Dipa hanya menjalankan kehendak suaminya, tanpa bisa melakukan perlawanan sama sekali. Tampaknya Mbah Jayadi juga puas dengan pelayanan istri Dipa. Terbukti Mbah Jayadi sampai kehilangan semua harta miliknya dan tragisnya dukun tua tersebut sampai gantung diri. Pengarang Masdjup dalam cerkak Tumus (2003:43.23-24) juga tidak memunculkan sama sekali tindakan atau sikap tokoh perempuan dalam menghadapi kekerasan yang diterimanya. Dengan tidak dimunculkannya tokoh perempuan tersebut dapat diindikasikan bahwa tokoh perempuan tidak memiliki sikap tertentu, hanya pasrah menerima kekerasan yang terjadi pada dirinya. Sikap pasrah juga diperlihatkan oleh tokoh Bu Brata dalam cerpen Rapot karya Sri Sukamtiningsih (1998:11.17). Bu Brata diam saja mengetahui suaminya mempunyai selingkuhan di berbagai kota. Kita simak sikap Bu Brata dalam
kutip;
LENTERA, Jurnal Sludi Perempuan, Vol. 5/No. l/Januari 2010, ISSN 1858-4845
panbcrikut ini.
„„'Mbok menctwi telpon-telpon menika nanntng kangge neror penjenengan. Saget mawon penelponipun namung tiyang iseng kandhaku nglipur Bu Brata. "Boten mungkin Bu Sri. Semah kula pancen thukmisan. Orang kaya tingkahe pancen sok kados ngalen. Menciwi bolen ngemuli anak-anak kula sampun minggat riyin-riyin. (Sukamtiningsih, 1998:11.17) "Mungkin telpon-telpon itu hanya berusaha meneror Ibu saja. Bisa saja penelponnya hanya ingin iseng saja" kata saya menghibur Bu Brata. 'Tidak mungkin Bu Sri. Suami saya memang hidung belang. Orang kaya kadang-kadang tingkahnya memang seperti itu. Kalau tidak ingat anakanak saya sudah pergi sejak dulu.” Bu Brata diam dan tetap mempertahankan rumah tangganya. Ia mem biarkan perempuan-perempuan selingkuhan Pak Brata menerornya. Ia juga membiarkan Pak Brata terus melakukan kesenangannya bermain perempuan. Hanya satu alasan perempuan itu yang membuatkan mampu bertahan dari siksaan batin suaminya, yaitu rasa sayangnya kepada anak-anaknya. Sebagai perempuan bergantung ia tidak bisa berbuat apa-apa. Bu Brata tidak mau anak-anaknya ikut menanggung akibat dari perpisahannya dengan Pak Brata. Pada umumnya, rumah tangga yang hancur akan membawa dampak yang jelek bagi anak-anaknya. Tokoh Wami dalam cerkak Tangis Saka Kuburan karya Sri Adi Harjono (1998) menggambarkan sikap perempuan yang pasrah terhadap kekerasan yang dialaminya. Tokoh perempuan tersebut selalu menuruti kata suaminya. Ia tidak mampu berbuat apaapa. Kita perhatikan apa yang dialami tokoh perempuan tersebut dalam kutipan berikut ini. "Aku dikaploki kang Bcmdi /an dikon minggat. Rehne aku wis ra duwe wong tuwa, ... mula aku njur nekat nggawa anak-anakku neng kuburan kene. Lan pcijar mengko aku arep nvang ku/ha nusul Mbok Li k Si nah. ” (Harjono, 1998:15) “Saya ditempeleng kang Bandi dan diusir dari rumah. Berhubung saya sudah tidak punya orang tua lagi,... maka saya nekat membawa anakanak saya tidur di makam ini. Saat fajar menyingsing nanti saya akan ke kota, menyusul Bulik Sinah.” 4 Warni tidak berani melawan perkataan suaminya. Ia hanya menurut saja ketika suaminya mengusima dari rumah. Ia membawa anak-anaknya tidur di kuburan untuk bermalam. Tampak bahwa Wami pasrah, tidak bisa memberikan perlawanan ketika suaminya mengusirnya hanya karena ia tidak mau melayani nafsu suaminya. Warni tidak punya pilihan, karena Wami merupakan perempuan lemah dan bergantung yang dapat dipermainkan dengan seenaknya oleh suami.
D :rni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
Tokoh Prawesti dalam cerkak Larasati karya Sri Lestari juga bersikap pasrah ketika orang tuanya melarangnya menikah dengan lelaki yang dicintainya dan telah menanam benih di perutnya. Ia juga pasrah ketika lelaki yang telah menghamilinya pergi meninggalkannya. Kita perhatikan sikap pasrah tokoh perempuan tersebut dalam kutipan berikut ini. “Pak, Larasati bolen benlen ka/ih ............. kali h ....... pelacur! Dalem kepeksa nglampahi kados ngaten. Dalem betah yalra kangge gesang. Kangge obatipun ibu, kangge sekolah lan keperluan sabendintenipun ..................................... ” (Lestari, 1999:16) “Pak, Larasati tidak ada bedanya dengan pelacur ............ ! Saya terpaksa menjalani seperti ini. Saya butuh uang untuk hidup, untuk membeli obat ibu, untuk sekolah, dan untuk keperluan sehari-hari ........................ ” ‘t
Kutipan tersebut menggambarkan kondisi anak tokoh Prawesti, tokoh perempuan yang dibicarakan di atas. Tokoh Prawesti tidak bisa berbuat apa- apa ketika anak satu-satunya harus menjadi pelacur. Anak tersebut, Larasati merupakan korban dari perbuatan Prawesti, yang telah melahirkannya dan tidak mampu merawatnya. Sikap pasrah juga tercermin pada diri tokoh Tin dalam cerkak liang karya Siti Aminah (1999). Perempuan tersebut selalu memaafkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya. Perasaan cinta Tin mengalahkan rasa sakit yang dideritanya akibat tamparan dan siksaan-siksaan fisik lainnya. Ia berharap kelakuan pacarnya yang suka menyiksanya tersebut hanya bersifat sementara. Kita perhatikan pula sikap tokoh Tin dalam menghadapi kehamilannya dalam kutipan berikut ini. Sidane aku didhelikake supaya ora gawe wirange keluargaku kang kalebu kajen lan kinurmat iku. Atiku banget nggrantese, nanging arep keprive? Ora cma kang bisa daktindakake kejciba nggelani lelakonku. (Aminah, 1999:16) Kehamilanku disembunyikan supaya tidak mencoreng nama dan kehonnatan keluargaku. Hatiku bagai disayat sembilu, tetapi aku haais bagaimana? Tidak ada yang dapat aku lakukan kecuali menyesalkan apa yang sudah aku lakukan. Tokoh Tin benar-benar bersikap pasrah dalam menerima kehamilannya yang ditinggal oleh Wid. pacamva. Ia justru menuruti kehendak orang tuanya utnuk ber^f mbunyi agar tidak merusak nama baik keluarga. Perempuan tersebut benar-ben tidak dapat melakukan apapun atas kekerasan yang menimpa dirinya.
D :rni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
Ia tidak dapat melawan kehendak orang tuannya. Ia tidak mengambil keputusan untuk mencari lelaki yang telah menghamilinya. Ia tidak mampu mengambil keputusan yang lebih baik kecuali diam dan merenungi nasibnya. Sikap pasrah dan memberi maaf masih tercermin pada tokoh-tokoh perempuan dalam dua ccrkak berikut ini. Tokoh Ibu dalam cerkak Edan lurunan karya Agus Kurniavvan (2005:14.23-24) yang mengalami gangguan jiwa karena keturunan selalu mengigaukan suaminya pulang. Dalam igauannya ia menyuruh anaknya menyiapkan makanan dan minuman untuk suaminya tersebut. Dari sikap perempuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tokoh perempuan tersebut memberi maaf terhadap suaminya yang telah menelantarkannya. Tokoh Ibu pada ccrkak Pawongan sing Ngaku Bapakku karya Danang SW selalu menerima dengan pasrah kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Selain pasrah tokoh perempuan tersebut justru memberi maaf kepada semua kekerasan yang dilakukan suaminya. Kita perhatikan sikap pasrah tokoh Ibu tersebut dalam kutipan berikut ini. "Hen. saiki bapakmu wis mulih. Aku rumangsa entuk kanugrahan saka sing Maha Kuwasa Hen , aku bisa ketemu wong sing daktresnani. "
“Bu... / Tiyang niki boten pan iki... ” (Danang, 2005:16.24)
tes dados garwane Ibu. Hendro ora sudi dadi anake wong
„"Hen, sekarang ayahmu sudah pulang. Ibu merasa dapat kebahagaan bisa bertemu dengan orang yang Ibu cintai.” “Bu ...... ! Orang ini tidak pantas menjadi suami Ibu. Saya tidak mau penjadi anak orang ini...” Sikap tokoh Ibu dalam kutipan di atas mencerminkan adanya sikap memaafkan kesalahan lelaki yang telah menyakiti dan menelantarkannya. Sedangkan anak lelakinya yang tidak merasakan kekerasan yang dialami ibunya saja tidak bisa memaafkan lelaki tersebut. Perempuan yang disebut Ibu tersebut telah pasrah terhadap semua kekerasan yang diterimanya dan balikan merasa bahagia bisa bertemu dengan lelaki yang telah menyakitinya. Sikap pasrah menuruti kehendak orang tua juga diambil oleh tokoh Darmini dalam cerkak Wong Wadon 01 karya Suparta Brata (2001). Tokoh perempuan tersebut hamil dan dipaksa menggungurkan kandungannya oleh kedua lelaki dalam cerita tersebut. Lelaki yang menjadi pacar Darmini mempertahankan status perjaka dan tidak menginginkan kehadiran bayi dalam kandungan Darmini. Sedangkan orang tuanya juga mempunyai kepentingan lain. Kita perhatikan sikap Darmini dalam menghadapi para lelaki tersebut dalam kutipan berikut ini. Sentanu wis mutusake, ya kudu ditindakake. Darmini wis ora bisa cemuwit maneh. "Geneya aku kudu isin, Bapak isin. aku kudu operasi. Dene Saleh kanthi nesu bisa ngakon aku nggugurake kandhutan?
“Wis. wis, wis! Aja kakehan punika. Yakuwi jenenge kerusakan
D :rni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
moral. ” ('B rata, 2001:11.24) Scntanu sudah memutuskan, ya itu yang harus dilaksanakan Darmini. Darmini tidak bisa berbuat apa-apa. "Mengapa aku harus malu, Bapak malu, aku harus operasi? Sedangkan Saleh dengan marah bisa menyuruhku menggugurkan kandunganku? “Sudah, sudah, sudah! Itu yang dinamakan kerusakan moral.” Semua tokoh lelaki dalam cerita tersebut mempertahankan status sosial tanpa mempedulikan hak perempuan. Ayah Darmini ingin nama keluarganya tidak tercoreng karena kehamilan anaknya yang di luar nikah. Tokoh Darmini tidak bisa berbuat apaapa. Ia tidak kuasa menentang semua pranata sosiaj yang berlaku. Akhirnya Darmini pasrah dan menggugurkan kandungannya. Tokoh Tumirah dalam cerbung Grimis Sore karya Senggono (1999) juga hanya bisa pasrah pada kehendak orang tua. Tokoh perempuan tersebut memang ti ik puma pendirian yang kuat untuk mempertahankan rumah tangganya. R mah tangganya memang berangkat dari kerapuhan. Perempuan tersebut menikah dengan lelaki yang bemama Kasidi tidak berdasarkan cinta, la menikah dengan Kasidi karena calon suaminya meninggal sepuluh hari sebelum hari pernikahannya. Kasidi hanya berperan sebagai tutup terhadap kehamilannya. Kita perhatikan kutipan berikut yang menerangkan sikap pasrah tokoh perempuan tersebut. "Aku ngaturake keluputanku. Kepeksa dina iki aku mamit wong tuwaku sing wis mbelani aku wiwitjebrolsakaguwa garbane. malah wektu neng kandhutan pisan. Aku melu ibu mu/ih. Bali kandhang! ” (Senggono. 1999:2.17)
“Say a minta maaf. Terpaksa hari ini aku menuruti kehendak orang tuaku yang sudah melahirkan aku, merawatku dari dalam kandungan hingga kim. Saya ikut ibu pulang. Kembali ke kandang!” Tokoh Tumirah pasrah pada kehendak orang tuanya. Akhirnya ia menuruti kehendak orang tunya yang ingin membawanya pulang kembali ke aimah mewahnya. Meskipun dalam hati Tumirah ingin ikut suaminya. Ketidakberdayaan Tumirah disebabkan oleh tekanan dan ketergantungannya kepada orang tua. Ia tidak bisa hidup menderita dengan suami yang miskin. Hal tersebut diperjelas pada akhi ;cnta ‟>ahwa Tumirah akhirnya cerai dengan Kasidi dan menempuh jalan sesat hany- karena ingin hidup bergelimang harta. Sedangkan Kasidi
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5/No. I/Januari 2010, ISSN 1858-48-15
berhasil menyunting perempuan yang dicintainya dan mencintainya. Dua ccrkak berikut memaparkan sikap pasrah perempuan dalam menghadapi kekerasan seksual, perkosaan. Para tokoh perempuan berikut tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menangisi nasibnya yang kehilangan kehormatannya. Sedangkan lelaki kejam yang telah memperkosanya lari dari tanggung jawab. Tokoh lllen dalam cerkak Sing Eluhe Isih Terus Dleweran karya Ammi EN (2002) sebenarnya ia mendapatkan perhatian dan dorongan dari seorang pendamping kasus kekerasan dari sebuah yayasan peduli perempuan. Kita perhatikan sikap pasrah lllen dalam kutipan berikut ini. "Aku wis kesel. Mbak. ” akhire ke p r ungu swarcine lllen. “Urusane kok ora uwis-uwis, njalari aku sansaya stress. Aku kesel aku kepingin leren. Mbak. Aku kepingin nglalekake kabvh iki. Malur nuwun. ya Mbak atas pambiyantune, ncmging aku wis ora bisa nerusake maneh." (Ammi, 2002:36.47)
“Saya sudah capai, Mbak,‟5 akhirnya terdengar swara lllen. "Urusannya kok tidak selesai-selesai, membuat saya semakin stress. Saya capai, saya ingin istirahat Mbak, saya ingin melupakan semua ini. Terima kasih, ya Mbak atas semuabantuanr.ya, tetapi saya tidak bisa meneruskan lagi. Kutipan di atas merupakan pernyataan tokoh Ulen, korban perkosaan, kepada penasihat atau pendamping kasusnya. Perempuan tersebut menolak pendampingan, mencabut gugatannya atas perkara pemerkosaan terhadap dirinya. lllen merasa tidak mampu melanjutkan pergusutan kasusnya, la menyerah, pasrah, pada nasibnya yang jelek, la tidak mampu mencari keadilan atas peristiw:a pemerkosaan yang menimpanya. Seperi yang dialami lllen, tokoh Sulastri dalam cerkak Mbulan Kesaput Mendhung karya Agus Kurniawan (2004) ini juga capa dalam menghadapi kekerasan yang dilakukan suaminya. Namun, bedanya kalau lllen capai karena penyelesaian kasus pemerkosaan terhadap dirinya yang t.dak kunjung selesai, tetapi tokoh Sulastri capai karena putus asa menghadapi tingkah suaminya yang menelantarkan anak dan dirinya. Hanya tangis yang bisi diekpresikan oleh Sulastri dalam menghadapi kekerasan yang dialaminya. Suaminya pergi dengan perempuan lain. Anak-anaknya putus sekolah dan mabuk-nabukan setiap hari. Tidak ada kata lain selain pasrah untuk mcneijemahkan s.kap tokoh tersebut. Sulastri memang sudah tampak capai. Usahanya untuk menjari kehidupan yang lebih baik, ternyata justru dibalas dengan kekecewaan oleh mak dan suaminya. Tokoh Fransiska dalam cerbung Nuruti Karep karya Wisnu kri Widodo (2005) juga pasrah terhadap penelantaran yang dilakukan olehlelaki yang menjadi selingkuhannya. Namun kepasrahan yang dilakukan oleh tokoh perempuan ini berbeda dengan yang dilakukan oleh tokoh lllen di atas. Masalah mereka juga
LENTERA. .Jurnal Studi Perempuan. Voi 5'No. 1 /Januari 2010. ISSN 1858-4845
berbeda. Tokoh Fransiska yang ditelantarkan tersebut kemudian mengakui kesalahankesalahan yang telah dilakukan. Kita perhatikan sikap pasrah tokoh perempuan tersebut dalam kutipan berikut ini.
diperki menjer Hal ter tersebu buta. F suamin
“...Sing wigati. lamun manungsa wis kebcicut tumiba ing dosa, kanthi kasengaja utawa ora. enggal elinga, banjur nggetunana kleruning lumindak. lan halia marang dalan sing dikersakake Pangeran. "
“Inggih.
Rama,............ ” (Widodo, 2005:10.19)
“...Yang penting, apabila manusia sudah terlanjur tersesat dalam dosa, dengan disengaja atau tidak, cepatlan ingat, kemudian sesali semua perbuatan salah tersebut, dan kembalilah ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan.”
pasrah dengan jugasu Setel ah Karina ia tingj Kcputu perhati!
“Ya. Rama ............ ” Tokoh Siska memilih datang ke Pastur untuk melakukan pengakuan do$a. la tidak menuntut Anton Wibowo yang telah mengajaknya selingkuh sampai menghasilkan janin di perutnya. Siska memilih jalan taubat, kembali ke jalan yang benar. Tokoh perempuan tersebut menanggung sendiri perbuatan yang te ah dilakukan, tanpa menuntut pertanggungjawaban dari lelaki yang telah n. 'nyebabkan penderitaannya. Bagaimanapun kesalahan tidak hany a terletak pada diri Frasiska. Anton Wibowo jugasangat berperan dalam perselingkuhannya. Lelaki tersebut dengan sengaja dan terencana telah menjerumuskan ke perselingkuhan tersebut. Lelaki tersebut sedikit demi sedikit telah menjauhkan Fransiska dari suaminya, hingga kumpul kebo dengan dirinya. Sikap pasrah juga terlihat pada diri tokoh Narmi dalam cerkak Jam Rolas Pitulas Menit karya Tiwick SA (2003). Perempuan tersebut hanya diam saja dihajar oleh suaminya. Kita perhatikan kepasrahan tokoh perempuan tersebut dalam kutipan berikut ini.
1 t s n A
E P ii n
Tekan ngenggon daktonlon Jolengkung mrawasa sing wadon. dienggo pangewan-ewan. Dijotos, disadhuk. dijambak. Ning Narmi ora keprungn sambate. Scijake diempet sanadyan kelaran. Sauntara iku Lia sing dakbopong, ndhelikake raine ing dhadhaku. (Tiwiek.
2003:10.17)
Sampai di rumahnya, saya lihat Jolengkung menganiaya istrinya, dibuat bulan-bulanan. Ditinju, ditendang, dan ditarik rambutnya. Tetapi Narmi diam saja. Meskipun sakit ditahannya. Sementara itu, Lia yang saya gendong menyembunyikan wajahnya di dadaku. Taii nk <. ^gan jelas bahwa Narmi diam saja ketika ia dihajar oleh suaminya, lajusuu .nenahan rasa sakit y ang dirasakannya. Sikap pasrah tersebut
la tidak sangat kepada tanpa b< T (2001:3 mengha mencari dokter s
X2
umumy ibunya. mencari berbuat Sukcsi merapal kepada\
D :rni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
diperkuat dengan reaksi tokoh perempuan tersebut ketika pagi-pagi suaminya menjemputnya. Narmi tidak menolak ajakan suaminya untuk kembali ke rumah. Hal tersebut terasa janggal dirasakan oleh tokoh perempuan lain dalam cerita tersebut. Sikap Narmi tersebut sungguh merupakan kepasrahan yang membabi buta. Perempuan itu begitu mudah melupakan penganiayaan yang dilakukan suaminya dalam waktu singkat. Tokoh Karina dalam cerkak Kcisangsaya karya Harwie M (2001) juga pasrah dengan pulang ke rumah orang tuanya. Semula Karina berusaha bertahan dengan menjual sedikit demi sedikit barang-barang berharga di rumahnya, la juga sudah meminjam uang belanja kepada ibunya untuk menyambung hidupnya. Setelah semua barang-barang berharga habis dan hutangnya sudah banyak, Karina mencoba bekerja di sebuah salon. Namun akhirnya pekerjaan itu harus ia tinggalkan karena ia harus mengurus bayi yang sudah lahir dari perutnya. Keputusan terakhir yang harus diambil adalah kembali ke orang tuanya. Kita perhatikan sikap Karina dalam kutipan berikut ini. Ing pikirane Karina bangel ngajab-ngajab muga-muga wae sing leka malih kuwi Dwiyanto. Sawise seprana-seprene lunga, wis sukses. muga-muga terus wis ling. /an saiki gelem mulih, terus mengko banjur ngajak Karina bali urip bebrayan anyar. (Harw ie. 2001:19.17)
Di kepalanya Karina masih sangat mengharapkan suaminya pulang. Setelah lama pergi, memperoleh sukses, mudah-mudahan ingat dan mau pulang. Harapan Karina kepulangan Dwiyanto akan mengajaknya merajut hidup bersama lagi. Kepasrahan dan ketergantungan tokoh perempuan tersebut sangat besar, la tidak mau memulai bekerja di saat kandungannya masih kecil, la juga masih sangat mengharapkan suaminya kembali dan ia kembali hidup bergantung kepada suaminya. Impiannya itulah yang menyebabkan ia banyak berharap tanpa berusaha untuk mandiri. Tokoh Sukcsi dalam cerkak Jenengna Wibiscina karya Widodo Basuki (2001:34.16-18) juga dapat digolongkan perempuan yang pasrah dalam menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya. Tokoh tersebut dalam pcrjalannya mencari laki-laki yang memperkosanya sampai hamil, akhirnya bertemu dengan dokter setengah umur yang mau menutupi aibnya. Dokter setengah umur tersebut umurnya sama dengan orang tuany a. Tragisnya lagi, dokter tersebut mantan pacar ibunya. Tidak tergambar adanya usaha Sukesi untuk tegar dan mandiri dalam mencari lelaki yang memperkosanya. Ia tidak berpikir bahwa lelaki yang tega berbuat bejat seperti itu tidak bisa diharapkan tanggung jawabnya. Pencarian Sukesi terhadap lelaki yang memperkosanya tersebut sebenarnya hanya merupakan jalan bagi dia yang menghantarkannya pada hidup ketergantungan kepada suami.
Darni, Sikap Tokoh Peremjyuan Sastra. Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
2. Melakukan
Perlawanan
Bermacam-macam cara perempuan dalam melakukan perlawanan terhadap tin4ak kekerasan yang menimpa diri mereka. Ada yang melakukan perlawanan dengan cara berpura-pura gila. Ada yang melakukan perlawanan dengan keras, bahkan dengan menggunakan senjata, sampai membunuh lelaki yang melakukan kekerasan terhadapnya. Ada pula yang melakukan perlawanan dengan melarikan diri. Secara keseluruhan ada 11 cerita yang menggambarkan para tokoh perempuan melakukan perlawanan. Sikap-sikap perlawanan tersebut akan dibicarakan secara rinci dalam pembahasan berikut ini.
sebelui bos dai Harini. juga si tersebu membe berikut t c
Hanya satu tokoh yang hanya pergi meniggalkan suaminya sebagai tindakan perlawanan atas penelantaran yang diterimanya. Tokoh Mami dalam cerkak Panjak yang ditelantarkan oleh suaminya, Parjo. semula bersikap diam. Ternyata sikap diamnya tersebut tidak bisa meredam kekecewaannya kepada suaminya yang semakin tergila-gila kepada perempuan lain. Akhirnya perempuan tersebut melakukan perlawanan dengan pergi dan rumah meninggalkan suaminya. Kepergian Mami lebih baik dari pada hanya diam di rumah menyaksikan suaminya yang tidak mengacuhkannya. 'K Tokoh Martini dalam cerkak Tamu karya Suhannono K (2004:17.34- 35) yang diperkosa oleh beberapa lelaki di asrama penampungan TKI berhasil melarikan diri. Dalam pelariannya perempuan tersebut tersesat di suatu perkampungan. Kita perhatikan cara Martini melarikan diri dalam kutipan berikut ini. Sitlane bocah ayu iku elipapag polisi loro numpcik kijang. Esuke aku nampa telpon saka PJTKIsing nakokake dheweke... Wong sing nelpon iku ngciku yen pancen bocah waclon iku saka PJTKIne, mlayu nalika ana bandara... (Suharmono, 2004: / 7.35)
Perempuan cantik itu akhimva dijemput dua polisi dengan mobil kijang. Besuknya saya menerima telpon dari PJTKI yang menanyakannya... Lelaki yang menelpon tersebut menyampaikan bahwa perempuan itu berasal dari PJTKInya yang melarikan diri dari bandara... Martini berhasil melarikan diri keluar dari pesawat yang akan memberangkatkannya ke luar negeri, Negara tujuan TKW yang diikutinya. Namun tokoh tersebut sudah terlanjur diperkosa oleh beberapa lelaki di asrama penampungannya. Namun upaya Martini melarikan diri tersebut memberi bayangan bahwa kasus Martini akan ditangani oleh yang berwenang. Apabila Martini tidak melarikan diri, kemungkinan kasus pemerkosaan terhadap diri Martini tidak akan pernah terungkap. Tokoh Ha "ni dalam Mburu Abure Kupu Kuning juga melarikan diri dari rencana pemeri, lan terhadap dirinya. Kalau tokoh Martini melarikan diri setelah dip. rko-., jkoh Harini ini bernasib lebih baik. Ia berhasil melarikan diri
84
£ c c I memba tersebu sudah c berhasi Srengei 5
perlawc ini akar Jasman tcrdcsal Pambut tersebui
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5/No. 1 /Januari 2010, ISSN 1S58-4845
sebelum diperkosan oleh Harinto. Lelaki bernama Harinto tersebut merupakan bos dari perempuan muda Harini. Bos tersebut sangat tergiur pada tubuh molek Harini. Lelaki itu sudah berhasil membawa Harini ke sebuah hotel. Lelaki itu juga sudah berhasil melucuti semua pakaian Harini sampai bugil. Perempuan tersebut juga dalam keadaan tidur lelap. Namun, ketakberdayaan lelaki Harinto memberi peluang kepada Harini untuk melarikan diri. Kita perhatikan kutipan berikut yang menjelaskan sikap Harini. “Nohhh, iki
tepai banget. Aku kudu males wirang,
” grenenge
kambi nekat ngnmbar niyate.
Bocah w adon i ku gage nguculi klambine bos, digeret lon-loncin. Dene kathoke miing dibledhehcike ritsluitinge. (Endraswara, 2003:8.19)
“Nahhh, ini tepat sekali. Aku harus membalas perbuatan lelaki ini,” gumamnya sambil nekat melaksanakan niatnya. Perempuan itu cepatcepat melucuti baju bos itu, ditarik pelan-pelan. Sedangkan celananya hanya dibuka retsluitingnva. Harini membalas kelakuan bosnya yang akan memperkosanya. la membalas melucuti baju bos tersebut. Harini berusaha mempermalukan lelaki tersebut. Setelah melucuti baju lelaki tersebut ia keluar dan hotel. Temvata sudah dua kali Harini akan diperkosa oleh lelaki tersebut. Yang pertama Harini berhasil melarikan diri dengan menceburkan diri di sungai sampai di kedhung Srengenge. Satu lagi calon korban pemerkosaan dalam ccrbung ini melakukan perlawanan langsung saat ia akan diperkosa. Tokoh Sri Sumarti, sindhen cantik ini akfin diperkosa oleh dalang Jamanto. Perempuan tersebut beruntung. Dalang Jasman belum sampai melaksanakan niat bejatnya tersebut. Di saat Sri Sumarti terdesak mendadak pintu rumah diketuk orang. Sri sumarti ditolong oleh pacarnya, Pambudi. Kedatangan Pambudi merupakan dewa penyelamat bagi perempuan tersebut. Kita perhatikan perlawanan Sri Sumarti dalam kutipan berikut ini. “Emoh,
emoooh, bareng mati takujudi tinimbang kokcecamah awakku.
" Sri
kipa-kipa karo
nampdi tangane Jasman sing saya kurang ajar. Ihok-thok-thok-thok.... ” “Sri omong sora, “Aku arep mbukak lawang aja mbok adhang.!” (Naniek. 1999:23)
“Emoh, emoooh, mati bersama-sama tidak apa dari pada kaukotori kehormatanku.” Sri berkata ketus sambil menangkis tangan Jasman yang semakin kurang ajar. "Thok-thok-tiiok-thok....”
85
Dcvni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
"Sri berkata dengan keras,”Aku akan membuka pintu jangan kamu halangi”
Sebeh Pintar
Sri Sumarti melakukan perlawanan sekuat tenaga. Ia menangkis, berkata keras, dan lari ke arah pintu untuk mencari pertolongan. Usaha Sri ternyata berhasil. Ia lepas dari anacaman perkosaan yang akan menimpa dirinya.
yang ditelai
Tiga cerita berikut ini para tokoh perempuan yang mengalami kekerasan melakukan perlawan secara fisik. Mereka balik menyerang apabila disakiti. Tokoh Fatonah dalam cerbung Dolanan Geni karya Suwardi Endrasw ara
(1998 keben yang (
(2000) melakukan pembalasan atas penelantaran yang dilakukan oleh suaminya. Namun tokoh perempuan tersebut tidak melakukan pembalasan kepada suaminya. Ia justru melakukan pembalasan kepada perempuan teman selingkuh suaminya. Kita perhatikan kutipan berikut yang menggambarkan perlawanan yang dilakukan tokoh Fatonah. “Emmm, dctdi, mung wong wadone sing ngedan. Mbabi ngelih. ” "Iya, mas! Gendheng tenan kok, kaya dudu karepe dhewe. Tangane
^ ngiwa
nengen maju, nyakar-nyakar.
ngrawut. kaya kucing. Isih durung trima, cina barang memper karet sing dienggo ngaploki raiku. " (Endraswara, 2000:37)
“Emmm, jadi hanya perempuan yang ngedan. Membabi but." "Ya, mas! Gila banget kok, seperti bukan kehendaknya sendiri. Tangan kiri kanan maju, mencakar segala seperti kucing. Masih belum terima, ada barang seperti karet yang digunakan untuk menampar mukaku.” Perempuan yang dibicarakan di atas adalah Fatonah dan Yuli. Fatonah adalah istri Pradipta, sedangkan Yuli selingkuhan lelaki tersebut. Fatonah menghajar Yuli. Yuli dianggap sebagai biang keladi perselingkuhan suaminya. Suami Fatonah terpikat oleh kecantikan dan kekayaan Yuli. Oleh karena itu Fatonah lebih cendemng menyalahkan Yuli. Penganiayaan yang dilakukan Fatonah merupakan reaksi perlawanan terhadap penelantaran yang dialaminya. Pak Prcttana sida ambruk, krungkep ing suketan. E, Iha kok wis cethct ana wong
diliku oleh 1( lolos c memb sebene Sutini oleh k Namui baik b rumah
njengkungkung ngono, Pintarsih kober nyemplang bokonge Pak Pratana. (Endraswara, 1998:10.9)
Pak Pratana jatuh tengkurap di rerumputan. E, sudah jelas ada orang jatuh tengkurap seperti itu, Pintarsih kok sempatnya mendepak pantat Pak Pratana. Tokoh Pr; uia menjadi bulan-bulanan balas dendam tokoh Pintasih. Perempuan terse‟ memang sengaja mencari lelaki yang telah menelantarkannya.
pura g yang r Ridvva tentan. radio seling]
86
tcrscbi suamii
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5/No. 1 /Januari 2010, ISSN 1858-4845
Sebelum menikah dengan bu Pratana ternyata Pak Pratana sudah menghamili Pintarsih dan ditinggalkannya begitu saja. Pintarsih telah membalas kekerasan yang diterimanya dengan mempermalukan Pak Pratana. Lelaki tersebut ditelanjangi dan diikat di sebuah pohon. Tokoh Sutini dalam cerbung Pracangan Pojok Prapatan karya Esmiet (1998) melakukan perlawanan ketika dihajar oleh Han Ming. Bisa muncul keberanian yang luar biasa dari perempuan tersebut. Kita perhatikan perlawanan yang dilakukan Sutini dalam kutipan berikut ini. Sutini ngangkat berange. Han Ming ke pepet ana ing tembok. "Tini... .aku mau mung ethok-ethok.... Plok...” Berange Tini mbabit lengene Han Ming. "Adhuhhhhh!
” Han
Ming sambat karo nekep lengen.
Sutini ngangkat berange maneh. (Esmiet, 1998:15)
Sutini mengangkat berangnya. Han Ming kepepet di tembok. “Tini ..... aku tadi hanya pura-pura ............... Plok ........ ” berang Tini mengenai lengan Han Ming. “Aduhhhhh!” Han Ming mengerang sambil mendekap lengannya. Sutini mengangkat berangnya lagi. Sutini bisa mengamuk, membabi buta, membalas semua kekerasan yang dilakukan Han Ming kepada dirinya. Sebelumnya Sutini dihajar lebih dulu oleh lelaki tersebut. Namun, di tengah-tengah dihajar tersebut Sutini berhasil lolos d&n mengambil parang di dapur. Ia menggunakan senjata tersebut untuk membalas kekerasan yang dilakukan oleh lelaki tersebut. Kemarahan Sutini sebenarnya tidak hanya karena telah dipukuli oleh lelaki tersebut. Kemarahan Sutini lebih disebabkan oleh perlakuan kekerasan psikologis yang dilakukan oleh lelaki tersebut. Han Ming telah menipunya. Ia beijanji akan menikahinya. Namun janji tersebut tidak ditepati. Perempuan itu justru dijadikan budaknya, baik budak nafsu maupun pembantu yang melayani semua kebutuhannya di rumah tersebut. Dua tokoh perempuan ini memberikan reaksi perlawanan dengan pura- pura gila. Dengan berpura-pura gila mereka bisa membongkar kebusukan lelaki yang melakukan kekerasan kepadanya. Tokoh Mbak Wik dalam cerkak yang berjudul Mbak Wik juga karya Ridwan Asmara (1998) berpura-pura gila untuk mencari bukti yang akurat tentang perselingkuhan suaminya. Tokoh Wik yang berprofesi sebagai penyiar radio sering
87
Darni, Sikap Tokoh Peremjyuan Sastra. Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
tugas malam. Selama ia tugas malam tersebut suaminya justru selingkuh dengan adik Wik. Keduanya tidak menyadari apabila perbuatannya tersebut dicurigai oleh Wik. Kita perhatikan cara Wik memergoki perselingkuhan suaminya dalam kutipan berikut ini.
88
Darni, Sikap Tokoh Peremjyuan Sastra. Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan La n aku iya matur menyangpimpinan yen aku duwe karep ngonangi slingkuh antarane Mas Hen lan Yun. Coba saiki ayo digalih. sapa sing sfress, apa kowe i sih midhuh aku? " (Asmara.
ambil
1998:15)
suam
Dan saya juga menyampaikan kepada pimpinan bahwa saya puma niat untuk memergoki perselingkuhan antara Mas Hen dan Yun. Coba dipikir, siapa sebenarnya yang stress, apa kamu masih menuduh saya?”
senan suam
Tokoh perempuan tersebut sengaja meminta cuti kerja dan berpura-pura gila di rumahnya sendiri. Dengan cara tersebut ia dapat dengan bebas mencari bukti perselingkuhan suaminya dengan adiknya sendiri. Pasangan selingkuh tersebut menganggap Wik benar-benar gila, sehingga ia lebih bebas melakukan hubungan seksual, sampai akhirnya ditangkap basah oleh Wik pada suatu pagi.
peren
Tokoh Mariani dalam cerbung Edan karya Suharmono Kasiyun (1998) juga berpura-pura gila untuk menghindari lelaki yang telah melakukan kekerasan terhadapnya. Mariani terpaksa bertingkah laku seperti orang gila agar Bama\van, lelaki yang tergila-gila kepadanya mundur. Kita simak saat tokoh perempuan tersebut berpura-pura gila dalam kutipan berikut ini.
beriki
ia ser Kita
Manut Dokter mau, Mariani kuwi satemene ora apa-apa. Sing penting mung kudu bisa miwiti urip anyar kanthi swasana anyar.
Karcr
Ngono kandhane Widianto kanggo netegake atine Mariani. Kanggo mbuktekake Widianto nyetelake kaset sing ditemu sing isi rekaman swarane Mariani kanggo meden-medeni bojone Bari t kae... (Kasiyun, 1998:22)
melu t
Menurut dokter, sebenarnya Mariani tidak apa-apa. Yang penting ia harus berani mumulai hidup abru dengan suasana baru juga. Begitu penjelasan Widianto untuk membangkitkan semangat Mariani. Untuk membuktikan Widianto memutar kaset yang berisi suvvara Mariani yang digunakan untuk menakut-nakuti istri Barit tempo hari. Tokoh Mariani tidak menderita sakit jiwa seperti penampilannya. Mariani memang tertekan dengan kekacauan dan kekerasan yang dialaminya. Dalam kepurapuraan gilanya ia bisa melakukan perlawanan agar terhindar dari kekerasan yang lebih hebat. Buktinya cara yang ditempuh Mariani memang berhasil. Mariani terbebas dari Bamawan dan berhasil pula membuat istri Barit yang jahat, yang telah menyebabkan tokonya sepi menjadi ketakutan. Berbeda sekali dengan yang dilakukan dua tokoh perempuan ini dalam melakukan perlawanan terhadap lelaki yang telah menyakitinya. Tokoh-tokoh perempuan ter- ut membalas kekerasan yang menimpa dirinya dengan membum.'- Iclai mg telah menyakitinya. Meskipun mereka memiliki profesi yang berbt ia J
89
tidak
iidiip dalam kondisi yang berbeda, tindakan yang mereka
Toko! darah terhae pcrlav berprc sebag. yang t Ia mc perem ka rem kutipa
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan. Vol. 5/No. I/Januari 2010, ISSN 1858-4845
ambil sama, karena keduanya sama-sama mengalami kekerasan. Tokoh N ia dalam cerkak Lading karya Kumia W. Permata membunuh suami yang sangat dicintainya. Lelaki tersebut memang merupakan lelaki yang senang menyakiti hati perempuan dengan berganti-ganti pacar. Sebelum menjadi suami Nia, lelaki yang bernama Fery tersebut sudah banyak manggandeng perempuan, sampai ada yang akan dilamar. Sebenarnya nasib N ia baik. Meskipun ia sering disakiti, ia dipilih untuk dinikahi oleh lelaki mata keranjang tersebut. Kita perhatikan pembalasan yang dilakukan oleh tokoh Nia dalam kutipan berikut ini. Aku mesem nyawang dheweke. Lega banget dene aku wis kasil natoni Fery. Akhire lading iki dak gunakake sawisi rong taun nganggur ing njero lemari. Sepisan maneh aku mesem nyaw ang raine Fery sing godres getih. ('Permata, 1999:16) Aku tersenyum melihat dia. Lega sekali setelah aku berhasil melukai Fery. Akhirnya pisau yang sudah tidak terpakai selama dua tahun itu aku gunakan lagi. Sekali lagi aku tersenyum melihat muka Fery yang berlumuran darah.
Tindakan yang dilakukan Nia lebih tepat kalau disebut pembalasan. Karena kekerasan yang dilakukan Fery sudah sering dan berlalu beberapa lama, tidak pada saat Nia melakukan pembalasan. Nia melakukan perlawanan dengan melukai lelaki yang telah menyakiti psikisnya sampai ambang batas kesabaran. Tokoh perempuan tersebut justru lega milihat lelaki yang dicintainya berisimbah darah. Hal tersebut membuktikan bahwa kekerasan yang dilakukan lelaki tersebut terhadapi ia sangat dalam. Tokoh Elia dalam ccrkak Obsesi karya Ammi EN (2003) melakukan perlawan juga sampai membunuh pelaku kekerasan. Elia dalam cerkak tersebut berprofesi sebagai pelacur. Tindakan tokoh Elia tersebut juga pantas disebut sebagai tindakan pembalasan. Elia melakukan pembalasan bukan atas kekerasan yang terjadi pada dirinya. Sebagai pelacur ia sudah biasa melayani pelanggannya. Ia membalas kekerasan yang dialami oleh saudara perempuannya. Saudara perempuan Elia diperkosa lelaki bernama Max sampai akhirnya meninggal karena kesakitan. Kita perhatikan aksi Elia dalam melakukan perlawanan dalam kutipan berikut ini. Sejatine sawise antuk rekaman pengakuan, aku arep bali lan masrahake i ku mara n g polisi. Nanging apa gunane saiki? Max pejabat publik. Sapa wae bisa d i kuw asai, kalebu hukum. Mula tanpa alangan dakjojoh dhadha kiwane kanthi glathi kang daksiapake.
♦ (Ammi,
2003:13.2)
Sebenarnya setelah mendapatkan rekaman pengakuannya, aku akan pulang dan menyerahkannya ke polisi. Tetapi apa gunanya
D :rni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
sekarang? Max pejabat publik. Siapa saja bisa dikuasai, termasuk hukum. Tokoh Elia meaipakan tokoh perempuan yang pintar. Digambarkan bahwa meskipun profesinya sebagai pelacur, ia lulusan S-2. Perempuan itu merekam pengakuan Max atas pemerkosaan terhadap kakak Elia. Namun, tokoh perempuan tersebut punya perhitungan yang matang. Bukti saja tidak bisa menjebloskan Max ke penjara, karena lelaki tersebut pejabat yang cukup disegani. Oleh karena itu ia memutuskan untuk membunuh lelaki tersebut. 3. Mandiri Tokoh-tokoh perempuan pada bagian ini semuanya berusaha bangkit dari sakit hati yang diakibatkan oleh kekerasan yang dilakukan oleh lelaki, baik suami, pacar, maupun saudara. Mereka berusaha bangkit dengan mandiri. Mandiri menjadi tuntutan bagi perempuan di kala mereka kehilangan pegangan atau gantungan hidup. Ketergantungan merupakan salah satu penyebab terjadinya kekerasan pada din mereka. Karena traumanya pada lelaki, ada tokoh perempuan yang dalam kemandiriannya sudah tidak mau hidup bersama lelaki lagi, meskipun lelaki tersebut sangat dicintainya. Namun ada pula tokoh perempuan yang memilih cara mandin yang salah dan menyesatkan diri sendiri. Mereka ada y: >ig terjebak dalam perdagangan narkoba. Tokoh perempuan yang mengambil ja-m sesat tersebut hanya sebagian kecil saja. Keseluruhanny a ada 12 cerita fiksi yang para tokohnya bangkit mandiri dari kekerasan yang dialaminya. Kita simak pembahasan lebih rinci pada uraian berikut ini.
jiwa y; percmi: tersebu menyel menuji < kaiya 5 telah ir Rantap alasan
Empat cerita ini para tokoh perempuannya bangkit dan mandiri selanjutnya tidak mau lagi menerima lelaki dalam hidupnya. Sikap mereka tersebut tercermin dari juduljudul cerkak seperti Kapok dan Keputusan. Tokoh Surti dalam cerkak Keputusan karya And re AS (2001) digambarkan tidak mau menerima lelaki yang dicintainya, meskipun ia sudah sendirian lagi. Surti diceraikan oleh suaminya karena dituduh mandul. Setelah cerai ia bertemu lagi dengan pacar yang dulu dicintainya, tetapi tidak bisa menikah karena tidak disetujui orang tua. Kita perhatikan alasan tokoh perempuan tersebut menolak dinikahi oleh lelaki y ang pernah menjadi kekasihnya. “Kang, aku ora bisa nampa karep apikmu iki, jalaran antarane aku lan kowe wis ginarisake ora bisa urip jejodhoan. Aku emoh nglarani perasaane wong liya sing wis luwih dhisik dadi sigarane nyerwamu. ” (Andre, 2001: 25.18)
“Kang, aku tidak bisa menerima maksud baikmu ini, karena antara aku dan kamu sudah tidak bisa lagi hidup berdampingan. Aku tidak mau melukai perasaan perempuan lain yang telah lebih dulu me* vadi t ihan j ivvamu. ”
sebuah bersan: hidup dengar S A(l c berpisc lamam melaw berhas lelaki t
LENTEltA. .Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5/No. l/Januari 2010. JSSN JS5S-4845
Tokoh Surti yang mandiri dengan berdagang tersebut ternyata memiliki jiwa yang luhur. Dalam kesendiriannya ia tidak mau merusak kebahagiaan perempuan lain, yaitu istri lelaki yang hanya disebut sebagai si aku dalam cerita tersebut. Ia justru menasihati lelaki yang pernah dicintainya tersebut agar segera menyelesaikan masalah yang mengganjal dalam hubungan rumah tangga mereka menuju keharmonisan. Seperti judulnya, tokoh perempuan bernama Rantap dalam cerkak Kapok karya Senggono (1996), tidak mau menerima lelaki tidak tanggung jawab yang telah menelantarkannya. Lelaki tersebut bernama Supar. Lelaki tersebut mencari Rantap untuk mengajaknya menikah. Namun rantap menolak. Kita perhatikan alasan penolakan tokoh Rantap dalam kutipan berikut ini. “Wis ditwe tuwan? Eh ................ kcimas?
” Pitakone
Tumini.
“Kapok! Kapok tenan! Ngene wae kepenak, ora kciiket apa-apa. karo ngentekake sisa umur.
” “Nyambi apa? Dagang? “Mbantu mamakku.
”
” (Senggono.
196:49.39)
“Sudah punya suami? Eh, ...pacar?” “Jera! Jera sungguan! Begini saja enak, tidak terikat, sambil menghabiskan sisa hidup.” “Mempunyai sambilan apa? Dagang?” “Membantu ibuku.” Tokoh Rantap dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak mau diikat oleh sebuah hubungan dengan lelaki. Berdasarkan pengalaman pahit yang dialaminya bersama Supar merasakan hidup sendiri lebih baik. Balikan ia menetapkan akan hidup sendiri sepanjang sisa hidupnya. Perempuan tersebut merasa tenang dengan dapat mandiri, berdagang membantu ibunya. Tokoh Wirasti dalam cerbung Ing Samburining Warana karya Tiwiek S A (1996) juga bangkit dari kekerasan yang menimpanya dengan mandiri dan berpisah dengan suaminya. Suami Wirasti, Joni, telah selingkuh dengan pacar lamanya. Wirasti yang difitnah dan akan dibunuh oleh lelaki tersebut bisa melawan dan bisa mandiri dengan berdagang atas bantuan tokoh Wayan. Setelah berhasil membongkar kelicikan suaminya Wirasti tidak mau kembali lagi pada lelaki tersebut, kita perhatikan alasan Wirasti dalam kutipan berikut ini. “Dhik Rastri,... becike penjenengan balen wcie karo mas Joni. Aku ♦ rila dhik. ” Wirastri mesem. Ujare, “Ah ora bisa Mbak. Mung panjenengan sing ditresnani mas Joni. Wis sapantese njur mangun bebrayan.
91
Do' ni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan Geminingnim tiimungkul jero. Eluhe ke tes. Ngakoni sepira luhure Wirantri. " (Tiwiek . 1996:40)
"Dftik Rastri, ...lebih baik Dhik Rastri kembali saja dengan mas Joni. Saya rela Dhik.” "Wirastri tersenyum. Katanya, “Ah. tidak bisa Mbak. Hanya Mbak Gemi yang dicintai mas Joni. Sudah sepantasnya kaliyan membangun rumah tangga." Geminingnim tertunduk dalam. Air matanya menetes, mengakui betapa luhur kepribadian perempuan tersebut. Wirastri tidak mau kembali kepada Joni. Wirastri memang tidak sepantasnya kembali kepada Joni. Lelaki tersebut sudah menyakitinya, bahkan hampir membunuhnya. Selain itu dapat kita lihat betapa tulus dan luhurnya kepribadian Wirastri. Ia justru tidak dendam dan ingin memisahkan pasangan selingkuh tersebut. Ia justru mengijinkan suaminya menikah dengan perempuan seJingkuhannva. Keluhuran budinya juga tercermin dari untaian katanya'yang tidak menusuk hati. Meskipun ia marah Wirastri tetap berkata dengan kata-kata yang sopan. Tokoh Denok dalam cerkak yang berjudul Denok juga karya Sumono S; idi Asmara (2005) bangkit dari hinaan dan kekangan terhadap karimya ol '1 dua tokoh lelaki dalam cerita tersebut. Windu, suami Denok melarangnya melanjutkan karimya sebagai penyanyi campursari. Sedangkan dalang Kuncara memutuskan hubungan kerja karena sikap semena-mena tokoh lelaki tersebut. Dengan keegoisannya dalang tersebut memaksa Denok tampil dalam pagelarannya. Dalang tersebut memutuskan hubungan keija karena Denok tidak bisa mengikuti kehendak dalang tersebut. Kita perhatikan ketegasan Denok dalam menghadapi kekerasan yang menimpanya dalam kutipan berikut ini. Mula saiki kowe miliha siji antarane loro. Milih /eren anggonmu nyanyi, apa milih pegatan karo aku. ” Pangancame Windu sajak entek kesciharane. Krungu lemhunge bojone sing kaya ngono mau. minangka penyanyi campursari Denok rumangsa disepelekake... Kadhung kebrongot atine, Denok sisan gawe ngajak pegatan bojone. Wektu iku Nindy lagi umur setaun. (Asmara. 2005:28.24)
Sekarang kamu harus memilih satu di antara dua. Memilih berhenti sebagai penyanyi, atau memilih cerai dari saya?” ancam Windu serasa habis kesabarannya. Mendenga' kata-kata suaminya seperti itu, sebagai penyanyi campursar Denok merasa dihina... Terlanjur sakit hati, Denok mengajak ai suaminya. Saat itu Nindy baru berusia satu tahun. Denok memutuskan untuk bcrcerai dengan suaminya karena ia dihina. Pilihan
92
LENTERA. Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5/No. J/Januari 2010, ISSN 1858-4845
bercerai dilakukan sebagai perlawanan atas kekerasan yang dilakukan suaminya. Ia juga memilih tidak ikut tanggapan dalang Kuncara meskipun resikonya ia tidak bisa lagi menjadi penyanyinya. Dalam kesendiriannya Denok membuktikan dapat mandiri dan dapat merawat anak satu-satunya dari hasil keringatnya sebagai penyanyi campursari. Tokoh perempuan ini juga memilih ccrai dan mandiri. Namun bedanya, tokoh perempuan dalam cerbung Asmaradana Pcingikete Tresna Asih karya Suyati (2003) ini tidak hidup sendiri, ia melanjutkan hidupnya dengan lelaki yang lebih baik dan dicintainya. Tokoh perempuan tersebut, Utari, memilih cerai dengan Doni, suaminya yang ringan tangan dan pemeras, sejak menjadi istri Doni Utari sudah berusaha mandiri, karena ia harus menghidupi dirinya sendiri dan anaknya. Kita perhatikan kemandirian Utari dalam kutipan berikut ini. Mumpung kcindhutanku diirung tuwa, aku coba nglamar gawean nyang penjait sing ngrangkep salon sing saka pondhokanku ora pati adoh... Wiwit kerja asile lowung kena kanggo tambahtambah tuku kebutuhan saben dina. (Suyati, 2003:41.37)
Senyampang kandunganku belum besar, aku mencoba melamar pekeijaan di penjahit yang merangkap salon di dekat tempat kostku... Mulai kerja hasilnya lumayan untuk menambah beli bumbu dapur setiap hari. Utari berusaha bekerja meskipun dalam keadaan hamil. Sikap mandiri tersebut merupakan keharusan karena suaminya tidak memberinya nafkah, justru lftemcrasnya. Sikap mandiri tersebut terus dilakukan sampai anaknya lahir. Setelah pulang ke rumah orang tua, tokoh perempuan tersebut juga tetap bekeija. Tampak bahwa mandiri merupakan kepribadian Utari. Tokoh Dami dalam ccrkak Luh Trenyuh Sawise Weruh karya Anic Soemamo (2005) juga perempuan korban kekerasan yang mengambil sikap mandiri. Dami ditelantarkan oleh pacarnya yang tidak tanggung jawab. Lelaki yang telah menghamili Dami tersebut pergi meninggalkan Dami dalam keadaan mengandung. Setelah anaknya lahir Dami pergi ke Jawa Barat bekerja. Sedangkan anak Dami dipelihara oleh orang tuanya. Dari ilustrasi tersebut jelas bahwa Dami tokoh perempuan yang bangkit dari kekerasan dan berusaha mandiri. Kita perhatikan sikap Dami dan orang tuanya berikut ini. “Ora susah lapor polisi. Mundhak ndedciwa perkara. Ing bebrayan iki wis lawas ora adil. Merga akeh wong sugih w ani tuku keadilan. Timbang kalah uwong angak kalah uwang. Mangka awcike dhewS iki dudu wong sugih. Dadi ora perlu, malah ngeler aib. ’’ (Soemamo. 2005:24.24)
"Tidak perlu lapor polisi. Hanya akan memperpanjang urusan. Di dalam masyarakat kita ini sudah lama tidak ada keadilan. Banyak orang kaya berani membeli keadilan. Dari pada kalah orang lebih baik kalah uang. Padahal kita bukan orang kaya. Oleh karena itu tidak perlu, hanya akan membuka aib saja."
93
Dci ni. Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
Sikap keluarga Dami tersebut menarik sekali. Menurut mereka lapor polisi tidak akan menyelesaikan masalah. Keadilan dapat dibeli. Hanya orang kaya yang dapat membeli keadilan. Asal punya uang, yang salah bisa dibenarkan dan sebaliknya. Meskipunpekerjaan belum jelas dalam cerita SasmitakaryaMasdjup (2003) ini, namun tokoh perempuan bernama Sumi akan diangkat dari kesengsaraan karena ditelantarkan suaminya oleh tokoh perempuan bernama Nita. Tokoh Nita sebelumnya berprofesi sebagai pelacur. Namun, ia sudah bertekat bulat untuk meninggalkan dunia hitam tersebut dan memulai usaha di Semarang. Dalam perjalanan pulang ke Semarang itulah Nita bertemu dan diselamatkan oleh Sumi melalui sebuah sasmita. Sasmita yang dimaksud adalah pertanda yang diberikan oleh anak Sumi yang menangis terus ketika naik bus jurusan Semarang. Katena tangisnya tersebut kenek bus menurunkannya dan Nita ikut turun. Pada peristiwa itulan kedua tokoh perempuan tersebut berkenalan. Kita perhatikan rencana Nita dalam kutipan di bawah ini. "Aku wis ora bakal bali maneh marang jagat kuwi. " Sakai a tuwuh kekarepane, yen gelem Sumi lan anak-anake arep dijak menyang Semarang pisan. Dheweke kepingin bukak restoran. Restoran sing bener-bener restoran. (Widodo, 2003:23.15)
“Aku tidak akan kembali lagi ke dunia itu." Seketika itu muncul gagasan, kalau mau Sumi dan anak-anaknya akan diajak kc Semarang sekalian. Ia ingin membuka restoran. Restoran yang benar-benar restoran. Nita memutuskan untuk tidak kembali kc dunianya lagi, yaitu dunia hitam. Tergambar bahwa kedua perempuan itu akan mandiri, membuka usaha rumah makan. Di situlah kemandirian tergambar meskipun baru rencana. Dua cerkak ini tokoh perempuannya mengambil sikap yang mirip. Keduanya bangkit dari kekerasan yang dialaminya dengan mandiri. Namun kemandirian yang dipilih merupakan jalan yang sesat, tidak sesuai dengan norma-norma sosial dan agama. Tokoh Weny dalam cerkak yang bcijudul Weny juga, karya Daniel Tito (2001) bisa lari dari rumah penjara ayali tirinva. Di luar rumah ayahnya ia mencari kebebasan sepuas-puasnya. Perempuan tersebut menempuh jalan hitam, la menjadi pelaci • kelas kakap. Selain itu mari kita saksikan bagaimana sepak terjang tokoh tei . ut setelah terbebas dari perkosaan ayah tirinva dalam kutipan
94
1JZNTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 5/No. l/Januari 2010, ISSN 185S-4845
C ortz, Hildred. 1983. Keluarga .Jawa, Jakarta: Grafiti Press. Hassan. Tholehah. 2004. 'Kata Pengantar Paradigma Gender' dalam Mufic Paradigma Gender. Malang: Bavumedia. Hem as. KG RA. 1997 'Wanita Utama” dalam Panyebar Semangat. Surah; gjj
Panyebar Semangat,
tidak akcKalyanamitra. 1999. Menghadapi yang dap sebalikn)
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Jakc
Kalyanamitra.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogvak; Gajahmada University Press, mi, nami Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai
Pustaka. sebelumr
Lopez, Piza Eugenia. 1996. 'Kata Pengantar Gender dan Pembangunan' dc Julia Mosse Cleves. Gender dan Pembangunan.
Yogyakarta: Pus peijS' melalui s oleh anal Press
Pe!aiar
-
Mufidah. Paradigma Gender. Malang: Bayumcdia. Rrvss. J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir'dnkcirta.: Grafiti Showolter. Elaine. 1989. „Towards a Feminist Poetics” dalam Philip
tangisnye
itu!anke(
dan Patrieia Waugh. Modern Literary Theory. A Reader. Great Bri dalamku 'A
Chapman andHall. S ihastuti. dkk. 2002. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Jak <^a
Pustaka Pelajar. 77
Darni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
dij>
Swingewood, Alan dan Diana Laurenson. 1972. Sociology ofLiterature. Lor R e,
Paladin.
Utomo, Tri\as Yusuf Prasetya. 1993. „Dinamika Sastra Jawa' dalam Poer Prawoto. Wawasan Sastra Jawa Modern. Bandung: Angkasa. Sel aki Re Nit T e r g a m b c m a k a n . D D u K e d u a n y < k 78
Darni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
e m a n d i r n o r m a n o T o l (2001) b i m e n c a r i k l a m e n j a d t c 79
Darni, Sikap Tokoh Perempuan Sastra Jawa Modern dalam Menghadapi Kekerasan
i j a n g t o l
80