PERJALANAN PEREMPUAN INDONESIA MENGHADAPI KEKERASAN 2004
Prosiding KONSULTASI NASIONAL Organisasi Perempuan Indonesia dengan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan
Jakarta, 29 Juli 2004
Kerjasama Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Asia Pasific Forum on Women Law and Development FORUM ASIA
Didukung Oleh
THE ASIA FOUNDATION
ISBN 979-98223-3-4 Tim Penyusun • Samsidar • Tati Krisnawati • Kamala Chandrakirana Editor Andy yentriyani, MA
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Pengantar Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kekerasan terhadap Perempuan (Pelapor Khusus PBB tentang KTP) adalah bagian dari mekanisme penegakan hakasasi manusia (HAM) di tingkat internasional. Pelapor khusus ini diangkat oleh Ketua Komisi Tinggi HAM PBB untuk mendorong upaya pemenuhan HAM perempuan di berbagai negara. Pada setiap tahunnya, pelapor khusus memberikan laporan di hadapan Sidang Pleno Komisi Tinggi HAM PBB di Jenewa. Pelapor khusus PBB tentang KTP dibentuk berdasarkan desakan gerakan Perempuan sedunia panda Konferensi Dunia tentang HAM di Wina pada tahun l994. Panda sepuluh tahun pertama, posisi ini dipegang oleh Radhika Coomaraswamy dari Srilanka. Radhika pernah mengadakan kunjungan resmi ke lndonesia panda tahun l998 sehubungan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam Kerusuhan Mei 1998 dan di wilayah DOM padawaktu itu, yaituAceh, Timor Timur dan Papua. Tahun 2004 adalah tahun pertama bagi Dr. Yakin Ertürk dari Turki untuk menjalankan tugas sebagai Pelapor Khusus menggantikan Radhika Panda tanggal 29 Juli 2004, Pelapor Khusus PBB ini berada di Jakarta untuk melakukan konsultasi nasional tentang persoalan kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. Konsultasi Nasional adalah pertemuan antara organisasi-organisasi perempuan lndonesia dan Pelapor Khusus dalam format kunjungan tidak resmi. Tradisi penyelenggaraan proses konsultasi antara Pelapor i
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Khusus tentang KTP bermula dari kesejarahan posisi Pelapor Khusus ini yang lahir dari desakan aktivitas gerakan perempuan. Konsultasi nasional di Indonesia adalah rangkaian dari konsultasi regional dengan para pegiat gerakan perempuan se-Asia Pasifik yang diselenggarakan atas kerjasama antara APWLD (Asia Pacific Women Law and Development), Forum Asia dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Tujuan dari konsultasi nasional adalah memberikan akses kepada lembaga-lembaga pejuang hak perempuan di Indonesia untuk melakukan advokasi ke tingkat internasional, terutama dengan memanfaatkan mandat dan cara kerja Pelapor Khusus PBB tentang KTP. Konsultasi ini sekaligus memberikan pemahaman yang kompreshensif bagi Pelapor Khusus PBB tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia serta inisiatif-inisiatif pena nganannya. Proses konsultasi dimulai dengan penjelasan mengenai mandat dan visi Pelapor Khusus PBB mengenai perjuangan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dilanjutkan dengan ulasan dari Komnas Perempuan tentang gambaran umum tentang kekerasan terhadap perempuan di Indonesia untuk memberikan pemahaman kepada Pelapor Khusus PBB mengenai konteks makro permasalahan hak asasi manusia bagi perempuan di Indonesia dalam kurun waktu 6 tahun terakhir. Berikutnya adalah presentasi dari para peserta untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh, baik tentang permasalahan maupun inisiatif-inisiatif yang telah dan sedang berlangsung di tingkat lokal maupun nasional. Presentasi para peserta ini mencakup tiga tema besar, yaitu kekerasan terhadap perempuan dalam konteks a) kemiskinan; b) politisasi agama/budaya dan ii
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
c) reformasi hukum. Pelapor khusus PBB tentang KTP kemudian memberikan tanggapan terhadap berbagai hal yang dikemukan dalam presentasi para peserta. Sebelum konsultasi ini ditutup, juga dilakukan evaluasi mengenai perkembangan tindak lanjut dari berbagai rekomendasi yang dibuat oleh Pelapor Khusus PBB tentang KTP berdasarkan hasil temuannya pada misi pencarian fakta ke Indonesia pada tahun 1998. Konsultasi nasional ini sekaligus merupakan proses pembelajaran bagi organisasi perempuan dalam menggunakan mekanisme internasional untuk memajukan upaya pemenuhan HAM di Indonesia. Oleh karena itu, Komnas Perempuan merasa perlu untuk menerbitkan dokumentasi proses konsultasi nasional ini. Naskah berikut adalah dokumentasi proses konsultasi nasional antara Pelapor Khusus PBB tentang KTP dan aktivis-aktivis HAM perempuan Indonesia yang disusun berdasarkan notulensi dan makalah-makalah yang telah dipersiapkan oleh semua peserta. Dalam dokumentasi ini juga tercantum beberapa hal penting yang tidak dipresentasikan tetapi terdapat dalam makalah. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak terlibat dalam proses, sistematika dokumentasi ini tidak mengikuti runutan pembicaraan, yaitu dimulai dengan presentasi pemakalah utama dan dilanjutkan dengan inform asi tambahan dari peserta lainnya, melainkan meleburkan seluruh informasi awal dan masukan berdasarkan keterkaitan topik pembahasan. Jakarta, 25 November 2004 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan iii
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Daftar Isi PENGANTAR ................................................................................................ i I. MANDAT Mandat dan Visi Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan Terhadap Perempuan ........................................................ 3 II. PELAPORAN 1. Gambaran Umum Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia ................................................................................... 15 2. Kemiskinan dan Kekerasan terhadap Perempuan a. Kekerasan terhadap Perempuan dan Migrasi ................ 25 b. Kekerasan terhadap Perempuan Kepala Keluarga ........ 33 c. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Sumber Daya Alam .............................................................. 36 d. Kekerasan terhadap Perempuan Pekerja Seks ................ 40 e. Kekerasan terhadap Perempuan di Daerah Pedesaan . ............................................................................... 45 3. Politisasi Agama/Budaya dan Kekerasan terhadap Perempuan a. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Komunitas Islam ................................................................... 49 b. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Antar Komunitas . ................................................................. 55 iv
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
4. Reformasi Hukum dan Akses Peradilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan a. Akses Perempuan Aceh pada Peradilan . ......................... 71 b. Akses Perempuan Papua pada Peradilan ........................ 77 c. Akses Perempuan pada Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia ............................................................... 80 d. Reformasi Hukum Nasional dan Kekerasan terhadap Perempuan ........................................................... 83 III. TANGGAPAN 1. Tanggapan dari Pelapor Khusus PBB ....................................... 95 2. Catatan Rekomendasi Pelapor Khusus PBB-1998 . .............. 103 3. Dampak Kunjungan Pelapor Khusus PBB ke Indonesia 1998 tentang KTP ............................................... 110 LAMPIRAN Liputan Media .................................................................................... 123 Daftar Narasumber ............................................................................ 126
v
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
vi
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
MANDAT
1
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
2
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Mandat dan Visi Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan Disampaikan oleh Dr. Yakin Ertürk
3
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
4
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
N
egara bertanggung jawab melakukan penegakan dan peme nuhan hak asasi manusia. Karenanya, sudah sepantasnya semua negara menyatakan mampu membebaskan diri dari kekerasan terhadap perempuan. Kehadiran Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Indonesia sebagai salah satu model penegakan hak asasi manusia perempuan di tingkat nasional adalah sebuah langkah maju bagi sebuah negara dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia. Kekerasan terhadap perempuan (KTP) tidak berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan berbagai isu sosial lainnya. KTP juga merupakan fenomena global. Misalnya saja kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan. KDRT tidak terjadi hanya di satu lapisan masyarakat, di satu daerah dan di satu negara tertentu saja. Rumah yang seharusnya menjadi tempat Perempuan merasa terlindungi seringkali justru menjadi tempat awal terjadinya kekerasan yang berlapis terhadap perempuan. Karenanya KDRT sudah sepantasnya menjadi bagian dari perhatian kita semua. Kekerasan terhadap perempuan pun sebetulya belum lama menjadi agenda komunitas internasional. Baru pada tahun 1993 pada sebuah konferensi hak asasi manusia di Viena KTP secara resmi diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini dinyatakan dalam Deklarasi Penghapusan segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan. Deklarasi ini disambut gembira oleh gerakan perempuan di berbagai belahan dunia yang dengan penuh semangat terus mengembangkan pema haman dan upaya-upaya untuk mengimplementasikannya. 5
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Deklarasi Penghapusan segala bentuk KTP tidak hanya mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan tetapi juga menuntut Pertanggun jawaban negara untuk menanggulangi kekerasan dan melindungi perempuan dari kekerasan tersebut. Ini melingkupi pelanggaran yang dilakukan oleh negara dan juga oleh pihak ketiga. Negara diingatkan bahwa tidak a da alasan yang dapat digunakan untuk membenarkan sebuah tindak kekerasan, termasuk alasan-alasan agama dan budaya. Karenanya, deklarasi ini adalah sebuah tonggak sejarah kemanusiaan sebab ruang lingkup tanggung jawab negara didefinisikan ulang dengan seksama. Negara tidak lagi dapat memalingkan muka dari kekerasan yang terjadi. Sebagai contoh, undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga adalah tanggung jawab negara. Parlemen Indonesia, oleh karena itu, hendaknya melaksanakan tanggung jawabnya itu dengan mengesahkan undang-undang tersebut sesegera mungkin. Satu tahun setelah Konferensi Vienna, Majelis Perserikatan BangsaBangsa menunjuk seorang pelapor khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan. Peletakan standar hukum adalah tujuan utama adalah dari pelapor khusus PBB ini dalam sepuluh tahun pertama. Tugas ini dijalankan oleh Radhika Coomaraswamy. Dengan berlatar belakang sebagai seorang pengacara, Radhika Coomaraswamy adalah orang yang tepat untuk posisi tersebut. Fasih hukum adalah satu kebutuhan dalam upaya pengegakkan hak asasi manusia. Ini tidak berarti bahwa masalah KTP perlu dan dapat ditangani dengan sebatas sisi hukum. Faktor-faktor sosial ekonomi juga memiliki peran yang kuat. Oleh karena itu, sebagaimana yang di laporkan oleh Pelapor khusus terdahulu, periode berikutnya bagi pelapor khusus PBB tentang KTP adalah periode implementasi dari standar-standar tersebut. 6
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Tiga Lapis Implementasi Standar Internasional untuk Pemenuhan HAM bagi Perempuan
•
•
•
Negara Hukum dalam negeri harus diubah agar sesuai dengan standar hukum internasional, termasuk juga pengaturan dan pelaksanaan institusi hukum. Negara harus mengadopsi kerangka hak asasi manusia sesuai dengan standar hukum internasional dalam reformnsi hukum dan kebijakan untuk melindungi warga negaranya dari tindak pelanggaran dan kekerasan. Keinginan politik pemegang kekuasaan memegang arti penting dalam reformasi ini. Keluarga dan Komunitas Negosiasi kebudayaan adalah kunci keberhasilan transfornasi di tingkat komunitas dan keluarga. Perlu ada ruang-ruang diskusi bagi setiap orang untuk terlibat aktif dalam membicarakan nilai-nilai kebudayaan. Budaya adalah milik semua sehingga masing-masing individu di dalamnya berhak untuk menyuarakan pendapatnya. Budaya pun tidak pernah dimaksudkan untuk menindas satu kelompok demi kepentingan kelompok lain. Bila ruang-ruang diskusi ini dibuka, dimana negara dan masyarakat sipil dapat bekerja sama untuk terus mencari solusi, maka akan di peroleh hasil yang sangat meng gembirakan, yaitu penghapusan aspek-aspek negatif dari budaya -norma-norma sosial, agama dan tradisi- yang meminggirkan kelompok-kelonpok marginal dalam masyarakat, antara lain kelompok perempuan. Individu Upaya mendukung kebangkitan kelompok marginal, termasuk perempuan, menjadi individu-individu yang mandiri antara lain dilakukan dengan pemberdayaan sosial ekononi. Namun ini masih tidak cukup, terutama bagi perempuan korban kekerasan yang berlangsung dengan sistematis. Perempuan tersebut membutuhkan perlindungan sampai mereka betul-betul berdaya. Karena itu, negara dan masyarakat harus bekerja sama, tidak hanya dengan menyediakan perlindungan legal tetapi juga upaya alternatif, antara lain dengan mendirikan rumah-rumah aman atau shelters. Pembangunan rumah aman tidak selalu memperoleh dukungan karena ada pihik-pihak yang khawatir bahwa rumah aman mendorang perempuan untuk lari dari rumah.
7
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Visi mengenai periode implementasi, tentang apa yang harus dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendorong pelaksanaan standar-standar internasional itu telah disampaikan dalam laporan pertama kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB oleh Pelapor Khusus PBB untuk KTP. Implementasi bukanlah tugas yang mudah. Halangan-halangan yang ditemui adalah luar bisa sulitnya. Perempuan kadangkala juga menjadi halangan. Hal ini terutama karena perempuan tersosialisasikan dalam budaya dan ideologi patriarki. Femininitas, yaitu ajaran masyarakat patriarkis tentang bagaimana menjadi seorang perempuan, mengisyaratkan perempuan untuk menolak seksualitasnya. Padahal, ada banyak cara menjadi perempuan tanpa perlu menolak seksualitas, dan justru dengan cara ini kita dapat menjadi manusia seutuhnya, sekaligus menjadi bagian dari keluarga dan masyarakat. Dengan mencoba menjadi diri sendiri, perempuan dapat mendorong terciptanya dunia yang lebih baik. Sebuah dunia di mana setengah populasinya ditindas dan diperbudak tidak mempunyai harapan untuk mampu menyediakan rasa damai, stabilitas dan keadilan. Sejarah dunia mengajarkan bahwa ‘perbudakan terhadap perempuan’ telah berlangsung begitu lamanya; Perempuan mengalami kekerasan berlapis-lapis di dalam relasi personal, komunitas, nasional dan internasional. Namun, KTP bukanlah suratan takdir dari Tuhan walaupun telah berlangsung begitu lama. Kita boleh dan dapat mengubahnya dan dalam perjuangan ini, kita percaya bahwa kekerasan terhadap perempuan dapat dihapuskan. Oleh karena itu, perjuangan hak perempuan yang telah berlangsung sampai saat ini tidak boleh berbalik arah. Artinya, perempuan harus memastikan bahwa integritas perempuan sebagai manusia tidak boleh 8
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
dikompromikan dengan berbagai isu lain yang dianggap lebih pantas menjadi prioritas. Kita, perempuan, memperjuangkan isu perempuan sebab tak ada lagi pihak lain yang akan memperjuangkannya. Ini adalah isu milik kita bersama, lintas batas negara. Sebuah agenda internasional bagi pemajuan kondisi hidup perempuan. Upaya penghapusan KTP adalah bukan pertarungan antar jenis kelamin. Perempuan dan laki-laki harus bekerja sama untuk mencari jalan keluarnya. Kekerasan terhadap perempuan adalah bukti berlangsungnya ketimpangan relasi sosial; sebuah ketimpangan relasi kekuasaan yang dapat terjadi di mana saja terhadap kelompokkelompok rentan kekerasan. Pelapor khusus PBB tentang KTP ditunjuk untuk mendorong upaya pemenuhan hak perempuan. Karenanya, seluruh mekanisme yang tercakup dalam mandat pelapor khusus PBB ini sengaja dibuat secara mutual. Artinya, dalam mekanisme ini, pelapor khusus dan organisasiorganisasi yang bekerja bagi pemenuhan hak asasi manusia perempuan akan saling tolong menolong; saling memperkuat kerja bersama di tingkat lokal, nasional dan internasional.
9
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Mekanisme Kerja PeIapor Khusus PBB tentang Kekerasan Terhadap Perempuan
10
•
•
Melakuakan Misi Pencarian fakta di Berbagai Negara Setiap tahunnya Pelapor Khusis PBB tentang KTP mengunjungi dua atau tiga negara yang diduga melakukan pelanggaran terhadap hak perempuan. Fakta-fakta yang terkumpul dalam kunjungan ini kemudian disusun dalam sebuah laporan yang diserahkan kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Laporan ini juga memuat rekomendasirekomendasi bagi pemerintah di negara yang dikunjungi itu. Karenanya laporan ini dapat dimanfaatkn oleh masyarak sipil dalam upaya advokasi lanjutan di negaranya masing-masing. Sebagai contoh, Pelapor khusus PBB terdahulu, Radhika Coomaraswamy pernah berkunjung ke lndonesia dalam misi pencarian fakta pada tahun 1998. Laporannya pun telah diterbitkan. Adalah menjadi penting kemudian untuk melihat kembali bagaimana rekomendasi-rekomendasi tersebut disikapi oleh pemerintah Indonesia dan juga arti pentingnya bagi upaya advokasi oleh gerakan perempuan di Indonesia. Menerima Keluhan Individu dan Kelompok Surat keluhan tidak perlu disampaikan secara langsung atau dengan pertemuan tatap muka, tetapi dapat disampaikan dengan meng gunakan jasa internet. Keluhan yang disampaikan tidak harus berhubungan dengan pelanggaran yang langsung dilakukan oleh aparat negara tetapi juga oleh pihak lain di dalam masyarakat, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Bersandar panda sutat keluhan ini, pelapor khusus PBB akan menyurati pemerintah setempat (allegation letter) untuk mendorong mereka segera menanggapi keluhan tersebut.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Dalam surat tersebut, identitas penulis akan dirahasiakan. Keluhankeluhan yang diterima kemudian dikompilasi dan dilaporkan dalam pertemuan tahunan komisi HAM PBB di Genewa dimana komisi bersidang akan menuntut negara melaporkan tanggapan mereka atas surat-surat tersebut. Dengan demikian, laporan ini juga dapat digunakan sebagai alat advokasi dalam bernegosiasi dengan pemerintah ataupun otoritas lainnya. Untuk masalah-masalah mendesak, pelapor Khusus juga dapat menulis kepada pemerintah urgent appeal letter yang memohon kepada negara segera melakuknn intervensi atas kasus-kasus tersebut. Misalnya dalam kasus hukuman mati bagi perempuan korban kekerasan akibat praktek tradisi tertentu. Kedua mekanisme menyurati pemerintah ini cukup efektif. Hal ini terutama karena Pemerintah tidak dalam posisi diserang, melainkan diajak untuk bekerja sama. Ternyata, seringkali pemerintah tidak mengetahui bahwa ada kasus tersebut di dalam negaranya. Sayangnya, mekanisme ini masih belum digunakan secara optimal.
•
Menulis Laporan Tematik Tahunan Untuk tahun 2005, laporan yang akan disusun adalah mengenai HIV AIDS dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terkait dengan isu tersebut. Selain permasalahan yang bertingkat, laporan ini juga memuat rekomendasi-rekomendasi kepada setiap pihak yang terlibat di dalam proses penanggulangan dan pemulihannya. Meskipun disusun oleh Pelapor khusus PBB tentang KTP, laporan ini merupakan hasil kerja bersama dengan berbagai kelompok dan individu yang bekerja Iangsung dalam penanganan isu KTP. Laporan ini pun terbuka untuk menerima semua masukan dari semua pihak. Saat ini, Pelapor khusus PBB juga mendorong kelompok perempuan memberikan masukan tema untuk laporan tahun 2006.
11
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
12
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
PELAPORAN
PELAPORAN
13
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
14
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Gambaran umum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia Disampaikan oleh Kamala Chandrakirana Ketua Komnas Perempuan
15
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
16
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
K
ekerasan terhadap Perempuan (KTP) adalah bagian tak terpisahkan dari proses membangun utang bangsa Indonesia yang berpangkal pada berakhirnya rejim Orde Baru. Pada bulan Mei 1998, setelah mengalami krisis ekonomi yang ber kepanjangan -Indonesia adalah negara yang mengalami pukulan ekonomi terburuk di Asia Tenggara pada masa itu- kerusuhan sosial terjadi di berbagai kota termasuk Jakarta. Insiden ini terjadi di tengah pekatnya asap dari gedung-gedung yang dibakar dan sebuah bangsa yang dikejutkan dengan pernyataan pengunduran diri Soeharto setelah 32 tahun lamanya berkuasa. Di tengah-tengah pembakaran, penjarahan dan pembunuhan yang terjadi di berbagai bagian kota tempat pemukiman etnis Cina, perempuan diperkosa dan disiksa dan banyak dari mereka yang kemudian dibunuh. Ketika dilaporkan, sekitar satu bulan setelah jumlah gedung-gedung yang terbakar selesai dihitung dan mereka yang terbunuh dimakamkan, publik dicekam kontroversi hebat mengenai terjadi atau tidaknya peristiwa perkosaan itu. Akibatnya, semua korban bungkam, ingin memulihkan diri dalam lingkungan yang lebih privat dan tidak berada di bawah tekanan penilaian publik. Ingatlah, mereka adalah perempuan-perempuan yang mengalami trauma begitu dalam, bagian dari kelompok minoritas -etnis Cina Indonesia- yang mengalami diskriminasi sistematis dari generasi ke generasi. Tanpa kesaksian dari korban, publik dan pejabat peme rintahan secara terus menerus melakukan penyangkalannya di media massa. Meskipun skeptisisme tentang kejadian perkosaan itu masih ada hingga kini, KTP terpancang kuat di dalam ingatan publik. Bahkan sampai pada derajat tertentu, ingatan tentang brutalitas perkosaan Mei menjadi trauma nasional tersendiri.
17
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Berakhirnya rejim Orde Baru tidak serta-merta membawa bangsa ini pada sebuah kondisi demokrasi yang ideal, sebagaimana diidamidamkan selama rejim otoriter tersebut. Bangsa ini terpecah-belah dalam kekerasan. Tak sampai satu tahun setelah Soeharto mengun durkan diri, konflik bersenjata berkecamuk di kepulauan Maluku, di sebelah timur Indonesia dan berlangsung selama empat tahun. Komunitas Islam dan Kristen yang telah bergenerasi hidup ber dampingan dengan damai tiba-tiba saling menghajar satu sama lainnya dalam peristiwa yang kadang mereka sebut sebagai’perang agama’. Di Kalimantan dan kemudian di Poso (Sulawesi Tengah), konflik bersenjata pun pecah, antar kelompok etnis dan kelompok agama. Sementara itu, di daerah-daerah yang selama Rejim Orde Baru dikelompokkan sebagai ‘daerah operasi militer’- Aceh, Papua, dan sebelum menjadi merdeka, Timor Timur- penduduk sipil terus menjadi target penyerangan dan intimidasi, baik oleh militer maupun kelompok sipil bersenjata. Dalam konteks ini - di dalam situasi konflik bersenjata dan dalam bentuk kekerasan negara - KTP terus berlangsung dan menjadi masalah serius bagi seluruh bangsa, dan khususnya bagi gerakan perempuan. Di semua daerah ini, tubuh Perempuan dijadikan sebagai medan pertempuran, tempat kekuasaan dan kontrol atas seluruh komunitas diperebutkan. Di daerah lainnya, yang cukup beruntung karena tak mengalami brutalitas konflik bersenjata, masyarakat berjuang membangun kembali hidupnya yang hancur akibat krisis ekonomi -ribuan orang kehilangan pekerjaannya karena perusahaan-perusahaan terpaksa gulung tikar. Di banyak daerah pedesaan, penduduk tak dapat menggantungkan hidup pada perekonomian dalam negeri, apalagi tak banyak pekerjaan layak yang dapat diperoleh. Karena itu, semakin banyak keluarga di pedesaan yang mengirim anggota perempuannya keluar negeri untuk mencari pekerjaan, terutama sebagai pembantu rumah tangga. Sayangnya, sistem ketenagakerjaan yang tersedia tidak dirancang untuk melindungi hak para buruh migran- sistem ini sesungguh18
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
sungguhnya hanya mengatur proses migrasi secara lebih efisien demi keuntungan semakin besar. Akibatnya, setidaknya 10% dari buruh migran Indonesia setiap tahunnya pulang dalam kondisi yang mengenaskan, akibat kekerasan. Banyak di antara mereka yang menjadi korban perdagangan perempuan. Meskipun sebagian besar dari buruh migran Indonesia adalah perempuan, buruh migran laki-laki juga cukup banyak jumlahnya. Pada banyak kasus, mereka meninggalkan rumah selama bertahun-tahun, meninggalkan perempuan menjadi kepala keluarga di rumah mereka di desa. Beberapa dari mereka tak pernah kembali. Artinya, para istri tidak hanya ditinggalkan untuk menanggung seluruh beban mempertahankan kelangsungan hidup keluarga tersebut, tetapi juga untuk hidup tanpa kepastian status: menikah ataukah bercerai. Di dalam komunitas di mana terdapat stereotipi yang begitu negatif tentang janda, para perempuan ini seringkali dihujat bahkan di desa mereka sendiri. Sementara itu, keluarga yang berjuang hidup di dalam negeri setiap harinya harus hidup dalam frustasi ekonomi dan ketidakpastian politik dan dengan kriminalitas dan kekerasan yang terus meningkat. Ditambah dengan ketidakpastian arah yang muncul dari transisi politik, kondisi ini betul-betul merupakan masa paling melelahkan dalam sejarah bangsa. Dalam kondisi inilah, semakin banyak perempuan hidup dalam kekerasan di dalam rumah tangganya, menjadi korban dari para suami atau pasangan laki-lakinya yang berupaya memperoleh kembali rasa kepercayaan diri, kekuasaan dan kontrol yang mereka tak miliki di luar rumah. Indonesia adalah negara Muslim terbesar, dengan 90% dari 220 juta penduduknya beragama Islam. Dengan keberagaman budaya dan etnis, Islam di negeri ini pun dipraktekkan dengan cara yang beragam. Sepanjang perjalanan sejarah Islam di Indonesia, wacana politik 19
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
seringkali melibatkan ide mengenai kemungkinan terbentuknya negara Islam. Ide tersebut ditolak sejak kemerdekaan Indonesia dengan sebuah konsensus nasional yang luar biasa kuatnya untuk sebaliknya, membangun negara sekuler berdasarkan demokrasi dan keadilan sosial. Meskipun demikian, adalah tidak mengejutkan bahwa di masa transisi politik ini ide tersebut kembali dimunculkan. Kali ini, tekanan yang lebih kuat difokuskan di tingkat lokal, dalam bentuk pengesahan hukum Syariah oleh pemerintah lokal. Pada banyak kasus, hukum Syariah ini pertama-tama dan terutama, diterjemahkan dengan mengatur cara berpakaian, mobilitas dan pada dasarnya, seksualitas Perempuan. Saat ini telah lima tahun lamanya Indonesia berada dalam masa yang disebut-sebut sebagai ‘reformasi’. Mengedepankan segala bentuk KTP adalah salah satu indikator mengenai tingkat keberhasilan kita dalam mendefinisikan dan membangun ulang bangsa ini menjadi bangsa yang lebih demokratis dan adil. Pengalaman kekerasan bagi perempuan yang tinggal di tengah-tengah konflik dan kemiskinan, ataupun di dalam rumah tangganya, adalah jelas terkait erat dengan segala bentuk ketidakadilan sistematis lainnya dan juga hirarki kontrol dan dominasi, antara lain rasisme, militerisme, ekstrimisme agama dan pengukuhan ideologi negara yang menghargai perempuan hanya sebatas sebagai istri dan ibu. KTP adalah bagian dari Indonesia pasca kelengseran Soeharto, sekaligus bagian yang tak terpisahkan dari proses membangun kembali negeri dan bangsa ini. Berbagai upaya untuk mengintegrasikan hak asasi manusia perempuan dalam lapangan reformasi sistem dan institusi hukum pun tengah berlangsung. Semua ini dilakukan dalam sebuah kerangka pikir untuk melindungi dan memperjuangkan pengakuan atas hak-hak perempuan korban kekerasan, bagi terwujudnya kebenaran, keadilan dan pemulihan. * * * * * 20
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
21
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
22
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kemiskinan dan Kekerasan terhadap Perempuan Sesi ini terdiri dari empat topik yaitu kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan migrasi, KTP dan perempuan kepala keluarga, KTP dan konflik sumber daya alam serta perempuan pekerja seks komersil. Laporan utama dari masing-masing topik disampaikan oleh Khairiah (LBH-PIK Pontianak), Nani Zulminarni (PEKKA), Titi Soentoro (SP-NADI), dan Esthi Susanti (Hotline Surya, Surabaya) dan dilengkapi dengan informasi dari Lola Wagner (YMKK, Batam), Tundung Hastuti (PKBI lambi), Marni Azis ( Perkumpulan Panca Karsa, Mataram), Mulyandari (KPI, Jakarta), Salma Safitri (Solidaritas Perempuan, Jakarta), Sumarni (GPPBM, Jakarta), Yuni ( ASPPUK, Jakarta). Pelaporan dimoderatori oleh Myra Diarsi (Komnas Perempuan).
23
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
24
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan terhadap Perempuan dan Migrasi
J
umlah penduduk Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan terus bertambah seiring dengan semakin terpuruknya perekonomian dalam negeri, terutama berakibat pada semakin miskinnya kawasan pedesaan. Bentang daerah Kalimantan Barat yang berbatasan darat dengan daerah Malaysia Timur memiliki banyak titik migrasi yang tidak terjaga oleh aparat keamanan. Ini menyebabkan Kalimantan Barat menjadi salah satu titik transit rawan penyelundupan, yaitu pemberangkatan tenaga kerja ke negeri jiran tanpa dokumen resmi. Namun, masalah KTP dan migrasi di lndonesia lebih pelik dari sekedar migrasi ilegal. Kompleksitas masalah bermula dari proses rekrutmen hingga saat buruh migran kembali ke daerah asalnya.
Faktor Pendorong Migrasi Tekanan ekonomi yang semakin besar di dalam rumah tangga dan rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan merupakan faktorfaktor pendorong perempuan mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri. Namun, keputusan untuk meninggalkan rumah tidak selalu berada di tangan perempuan yang –akibat kentalnya budaya patriarki yang meminggirkan perempuan- hanya memiliki partisipasi politik yang terbatas di dalam keluarga. Budaya patriarki ini pula yang menyebabkan perempuan buruh migran rentan eksploitasi dan kekerasan, termasuk oleh anggota keluarganya.
25
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Rekrutmen, Calo dan KTP Buruh Migran Perekrutan tenaga kerja ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan tenaga kerja dengan terutama menggunakan jasa calo. Para calo yang tidak memiliki hubungan dengan PJTKI langsung masuk ke desa-desa untuk merekrut perempuan muda dan anak-anak untuk kemudian diserahkan kepada calo tenaga kerja di negara tujuan. Calo pun tak segan menggunakan cara penipuan dan pemaksaan seperti intimidasi, kekerasan dan penculikan. Calon buruh migran juga dibebani dengan biaya yang besar untuk keperluan pengurusan dokumen perjalanan. Dalam proses ini, seringkali terjadi praktek pembuatan dokumen dengan identitas palsu yang didukung oleh oknum pemerintahan, seperti kepala dusun, desa, camat dan pegawai imigrasi. Sebelum pemberangkatan, para calon buruh migran dikumpulkan di penampungan. Dari tempat ini, diperoleh laporan mengenai kasuskasus penelantaran, penyekapan, pelecehan seksual dan perkosaan oleh agen PJTKI dan calo terhadap perempuan calon buruh migran.
KTP Buruh Migran di Tempat Kerja Sampai di negara tujuan, perempuan buruh migran seringkali dihadapkan pada kondisi perkerjaan yang tidak seperti dijanjikan, misalnya jam kerja yang panjang, tidak ada hari libur, dilarang beribadah, gaji kurang atau tidak dibayar sama sekali, penelantaran dan pemulangan paksa; penipuan oleh agen untuk perpanjangan visa kerja; penganiayaan fisik dan psikologis, seperti dipaksa memakan makanan basi atau makanan hewan, dipukul hingga luka berat, disiram pakai air panas, 26
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
dipotong dan digerat-gerat jarinya, distrika pakai strika panas, dicucuk telinganya pakai rotan; serta serangan seksual seperti pelecehan, perkosaan dan dipaksa bekerja untuk prostitusi. Kendati demikian, para perempuan buruh migran tersebut ketakutan untuk melakukan perlawanan. Hal ini terutama karena mereka tidak memiliki dokumen resmi perjalanan (paspor) ataupun izin kerja. Melarikan diri sudah merupakan keputusan yang sangat berani. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan melompat pagar rumah majikan, meminta tolong tetangga atau pergi dengan diam-diam pada malam hari, lari ke dalam hutan selama berhari-hari. Mereka berada di hutanhutan ini tanpa identitas sama sekali (bahkan banyak diantaranya hanya memakai baju yang di badan saja). Dalam Proses melarikan diri ini mereka rentan terhadap kekerasan, misalnya perkosaan dan pelecehan seksual.
Kepulangan dan KTP Buruh Migran Saat kembali, perempuan buruh migran dengan posisi marginal di dalam keluarga tidak memiliki kendali atas uang yang mereka hasilkan. Beberapa di antara mereka bahkan menemukan bahwa uang yang mereka hasilkan digunakan oleh para suami untuk beristri lagi. Perempuan buruh migran korban kekerasan juga tetap digunakan oleh anggota keluarganya untuk memperoleh keuntungan finansial dengan mengambil alih bantuan dana yang diberikan kepada korban. Korban kekerasan seksual seperti perkosaan tak jarang harus berhadapan dengan perceraian, dan bersama dengan anak yang dilahirkan, dikucilkan oleh masyarakat.
27
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Insititusionalinsi Kekerasan Negara terhadap Perempuan Buruh Migran Indonesia Pemerintah Indonesia secara sistematis membiarkan dan melakukan pelanggaran HAM terhadap buruh migran. Eksploitasi dan kekerasan berlangsung akibat lemahnya perlindungan hukum yang lemah bagi perempuan buruh migran dalam proses rekrutmen dan selama bekerja di luar negeri. Kondisi ini diperburuk dengan kebijakan negara dalam memproses kepulangan buruh migran. Sejak tahun 1999, pemerintah RI menyiapkan satu terminal khusus di bandara internasional Soekarno Hatta atas nama keamanan buruh migran perempun. Terminal khusus yang dikenal dengan sebutan terminal 3 berwewenang atas sentralisasi jasa bus pemulangan ke daeroh asal, misalnya ke daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Lampung. Jasa ini tersedia dengan harga rata-rata 208 persen lebih mahal dari bus umum. Para buruh migran perempuan ini tidak dapat mengakses jasa angkutan umum seperti masyarakat lndonesia ke annyakan. Selain diskriminasi atas hak mobilitas dan eksploitasi ekonomi, para perempuan buruh migran di terminal 3 rentan terhadap kekerasan. Kasuskasus penggeledahan paksa, permintaan paksa uang dan perkosaan pun sering terjadi, Kasus-kasus ini sulit diproses secara hukum karena korban seringkali tidak dapat mengenali atau mengetahui identitas pelaku. Menanggapi keluhan dari kelompok pendamping buruh migran, pemerintah lndonesia sedang mempersiapkan sebuah terminal pengganti. Berdasarkan pemantauan awal dari kelampok-kelompok pendamping, kehadiran terminal pengganti ini akan memperparah kandisi buruh migran perempuan. Hal ini karena mereka diwajibkan untuk menginap satu malam di terminal tersebut tanpa sistem keamanan yang terjamin. 28
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Inisiatif Penanggulangan KTP yang telah dilakukan
• Pendirian Ruangan Pelayanan Khusus (RPK) di Polda Kal-Bar •
untuk meningkatkan layanan yang sensitive dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan buruh migran di tingkat kepolisian. Peningkatan pemahaman dan sensitivitas aparat penegak hukum di pengadilan dalam menangani kasus KTP buruh migran. Contohnya, putusan Pengadilan Negeri Pontianak Tahun 2001 terhadap perdagangan anak untuk tujuan ekploitasi seksual (4 tahun 6 bulan), putusan Pengadilan negeri Sanggau Tahun 2003 terhadap pelaku penjual “perawan” kepada calo Malaysia seharga 5000-7000RM.
Hambatan dalam Penanganan Kasus Hambatan Teknis
• Infrastruktur komunikasi dan transportasi yang tidak memadai.
•
Kasus buruh migran yang mengalami kekerasan tidak jarang berada di wilayah pedalaman yang sukar dijangkau dan berkomunikasi dengan daerah lain. Karena jarak tempuh yang sangat jauh, tidak jarang korban pada saat melapor tidak mampu melanjutkan kasusnya, atau kalaupun penanganan telah dilakukan, korban terlambat dihubungi dan karenanya ia sudah tidak berada di tempat. Korban tidak dapat mengingat identitas pelaku, sehingga menyulitkan pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan lebih lanjut. 29
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Hambatan dari Sisi Substansi Hukum
• Hukum nasional Indonesia tidak menjangkau kasus-kasus yang
•
•
30
terjadi di negara lain (locus delicit). Contoh kasus Fik telah 4 tahun menunggu keadilan hingga saat ini. Ia adalah korban eksploitasi seksual oleh agen di Malaysia. Kasusnya belum diputuskan oleh Pengadilan Malaysia, dengan alasan saksi ahli yang memvisum korban sudah pindah ke negara bagian lain di Malaysia. Pengadilan Indonesia tidak dapat melakukan intervensi dalam kasus ini. Proses penyelidikan yang membutuhkan waktu lama. Akibatnya korban merasa frustrasi dan menarik diri dari proses peradilan. Tidak adanya tolok ukur hukum yang jelas untuk menangani kasus, misalnya pelaku ditangkap tetapi atas jaminan Pengacara pelaku dapat bebas untuk sementara. Contoh kasus pada empat orang Polisi Diraja Malaysia pada tahun 1999 oleh Pengadilan Rendah Serian, Malaysia yang divonis sebat rotan dan dipecat dari kepolisian karena telah melakukan perkoasaan terhadap dua orang buruh migran perempuan Indonesia. Pada tingkat banding, para pelaku dinyatakan tidak bersalah. Jaksa tidak melakukan kasasi dengan alasan putusan tersebut telah cukup adil karena diputus oleh hakim senior di Kuching, Malaysia. Tidak pula ada upaya pemulihan bagi salah seorang korban yang melahirkan anak akibat perkosaan itu. Belum ada hukum khusus dalam menangani kasus eksploitasi anak. Peraturan perundang-undangan, terutama pasal tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki di bawah umur (pasal 297) belum mengakomodir masalah perdagangan Perempuan dan anak untuk tujuan komersial seksual. Walaupun dalam UU No.23 tahun 2002 dalam pasal 81-83 memuat larangan perdagangan anak tetapi tidak secara tegas melarang untuk tujuan eksploitasi seksual
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
komersial. Disamping itu juga pemerintah Indonesia belum lagi mensyahkan UU Perlindungan Buruh Migran serta UU Anti Perdagangan Orang.
Hambatan Institusional (Struktur Hukum)
• Masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami •
perspektif korban dan mempunyai perspektif jender dalam menangani perempuan korban kekerasan. Belum terkoordinasinya penanganan kasus kekerasan terhadap buruh migran perempuan. Hal ini ditunjukkan oleh pendekatan pihak Polisi, pelayanan medis, bantuan hukum dan psikolog yang bekerja sendiri-sendiri.
Hambatan Budaya
• Komunitas tidak mendukung upaya pemulihan korban. Dalam
kasus-kasus perkosaan yang mengakibatkan korban melahirkan anak, perempuan korban dan anak yang dilahirkan justru mengalami pelecehan dan pengucilan di lingkungan masya rakatnya. Di NTB, sebutan ‘anak-anak Arab’ dianggap sebagai aib terbuka dari kasus-kasus ini.
Rekomendasi untuk Penanganan Kasus KTP dan Migrasi (1)
Percepatan pengesahan dan implementasi: a. UU Anti Perdagangan Orang b. Peraturan Daerah Anti Perdagangan Orang di Kota Kabupaten c. UU Perlindungan Buruh Migran 31
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
(2) Memperbaharui peraturan penempatan tenaga kerja keluar negeri (Kep Men 104a) dan perjanjian antar negara dalam penempatan tenaga kerja Anti Perdagangan Orang, antara lain menganulir kesepakatan untuk memberikan hak kepada majikan untuk memegang dokumen pekerjanya yang ditandatangani oleh peme rintah Indonesia-Malaysia pada bulan Mei 2004. (3) Membenahi UU Keimigrasian dan melakukan pengawasan secara ketat di wilayah-wilayah perbatasan antar negara yang merupakan pintu masuk untuk mengirim orang. Namun, peraturan dan pengawasan tersebut perlu disusun dengan hati-hati (due diligence) agar tidak melanggar hak perempuan atas mobilitas dan menye babkan perempuan lebih rentan lagi untuk berimigrasi secara tidak legal. (4) Mengadakan pengawasan independen dalam pembuatan pasport atau dokumen identitas lainnya. Hal ini termasuk penegakkan hukum bagi oknum-oknum pemerintah yang membantu praktek pembuatan dokumen patsu dan kepada calo-calo yang melakukan penipuan kontrak pekerja dan pemerasan terhadap calon buruh migran. (5) Peningkatan SDM aparat penegak hukum dengan pelatihan dan informasi produk hukum yang berhubungan dengan Buruh Migran. (6) Sosialisasi undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, terutama kepada masyarakat yang akses terhadap informasi sangat minim. (7) Penguatan kerjasama di tingkat regional di antara organisasiorganisasi penyedia layanan bagi buruh migran perempuan korban kekerasan. 32
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan terhadap Perempuan Kepala Keluarga Tiga belas sampai 17 persen keluarga di Indonesin dikepalai oleh perempuan. Penyebabnya antara lain kematian suami baik secara alamiah maupun terbunuh dalam konflik bersenjata, ataupun karena tingkat perceraian yang semakin tinggi, suami bermigrasi dalam waktu yang cukup lama sehingga status pernikah menjadi tidak jelas. Sebagian besar dari mereka mempunyai pengalaman traumatik akibat kekerasan dalam rumah tangga, di komunitas dan oleh negara.
Proses Peminggiran Perempuan Kepala Keluarga Di dalam hukum lndonesia, perempuan sebagai kepala keluarga adalah tidak diakui keberadaannya. Undang-undang perkawinan di lndonesia mengisyaratkan hanya laki-laki sebagai kepala keluarga. Dalam konteks sosial budaya, perempuan kepala keluarga juga tidak mendapat tempat. Di Aceh khususnya, istilah perempun kepala keluarga tidak diperkena, melainkan harus dengan istilah janda atau perempuan pencari nafkah. Alasannya karena istilah ‘perempuan kepala keluarga’ dianggap melanggar ketentuan agama. Istilah janda mengandung stigma sosial sebagai perempuan ‘nakal’ dengan moralitas rendah dan berbahaya bagi kelanggengan keluarga lainnya.
Dampak Peminggiran bagi Perempuan Kepala Keluarga Pemiskinan Lebih dari 50 persen dari rumah tangga dengan perempuan sebagai kepala keluarga ini adalah kelompok termiskin absolut di Indonesia. Sebagian besar dari mereka memiliki pendidikan yang rendah, berusia antara 18 s.d. 65 tahun, bekerja di sektor informal, 33
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
pertanian dan perburuhan dengan pendapatan sekitar 7000 perhari dengan rata-rata jumlah tanggungan adalah 4 orang. Pemutusan akses ekonomi. Karena tidak dianggap sebagai kepala keluarga, banyak program-program pengentasan kemiskinan bagi rumah tangga yang tidak dapat mereka akses. Pemutusan hak politik, karena tidak memiliki akses untuk turut serta mengambil keputusan di lingkungan, keluarga dan bahkan bagi dirinya sendiri. Pengucilan, karena stigma ‘perempuan nakal’, perempuan yang tidak punya kapasitas mempertahankan perkawinan’ dsb’ yang dibebankan padanya. Kekerasan seksual, seperti pelecehan dan perkosaan. Ini sangat terkait dengan stigma sosial yang dikenakan kepada mereka.
Insiatif Penanganan Organisasi Pusat Pengembangan Sumber Daya Perempuan bekerja sama dengan Komnas Perempuan melakukan pendampingan bagi Perempuan kepala keluarga di daerah di Indonesia sejak akhir 200l. Kelompok dampingan ini berkembang menjadi lebih dari 200 kelompok di 200 desa di 19 kabupaten.
34
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Pendampingan dilakukan dengan pendekatan pengembangan agar anggota kelompok dapat:
• Memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga, antara lain dengan • • •
memfasilitasi akses mereka atas sumber daya yang tersedia di wilayahnya masing-masing, pelatihan manajerial usaha. Mengembangkan sistem pengamanan bagi keluarga mereka mereka sendiri. Saat ini sedang dikembangkan trauma counseling bagi perempuan kepala keluarga yang juga menjadi korban/saksi kekerasan. Mengakses hak politik dengan melibatkan mereka dalam kegiatan pengambilan keputusan di wilayah masing-masing melalui pengembangan kepercayaan diri lewat pelatihan kepemimpinan dan pengembangan diri. Memiliki kesadaran kritis tentang perempuan sebagai kepala keluarga, antara lain dengan memfasilitasi pengembangan jaringan, dan pendokumentasian masalah-masalah yang mereka hadapi dan cara menanganinya lewat tulisan, foto, maupun video. Dokumentasi ini, kemudian mereka diskusikan bersama di dalam kelompok dan dengan kelompok lain.
35
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Sumber Daya Alam Paradigma pembangunan neoliberalisme dalam era globalisasi saat ini mem prioritaskan pertumbuhan ekonomi yang tak jarang mengorbankan sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam ini memicu konflik di berbagai daerah di Indonesia, dan secara spesifik menyebabkan perempuan dalam posisi rentan kekerasan.
Eksploitasi Sumber Daya Alam di Indonesia Untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi, pemerintah Indonesia melakukan eksploitasi sumber daya alam yang berakibat pada hancurnya ekosistem, antara lain karena pembabatan hutan untuk penambangan mineral, perluasan daerah kelapa sawit, dan perluasan hak atas penggunaan hutan (HTI) untuk kebutuhan industri pulp dan kertas. Kondisi ini diperburuk oleh lemahnya hukum nasional yang berkaitan dengan standar-standar pencegahan pencemaran ling kungan. Pergantian kepemerintahan di Indonesia selama masa reformasi tidak berpengaruh terhadap perbaikan pengelolaan sumber daya alam, melainkan sebaliknya, antara lain melalui : Izin pertambangan kepada 13 perusahaan untuk memulai operasinya di daerah hutan lindung. Operasi perusahaanperusahaan tersebut juga berakibat pada tertutupnya akses penduduk terhadap sumber air bersih. Izin penggunaan hutan untuk memperoleh devisa bagi negara, yang juga mendorong terjadinya penebangan hutan secara ilegal
• • 36
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
• UU anti terorisme yang memberikan peluang bagi pemerintah
untuk menggunakan kekuatan senjata dalam menghadapi perlawan penduduk setempat terhadap eksploitasi sumber daya alam di lingkungan mereka
Dampak Konflik Sumber Daya Alam pada Kompleksitas Masalah KTP
• Kemiskinan. Penduduk sekitar kehilangan sumber pendapatan
• • • •
akibat tertutupnya akses untuk menggunakan sumber daya alam yang ada. Perpindahan ke kota karena tidak lagi dapat mem pertahankan hidup di daerah semula akan mempertinggi kerentanan perempuan terhadap ekploitasi seksual dan ekonomi seperti dipekerjakan dengan upah murah dan diperdagangkan sebagai pekerja seks komersil. Kehilangan akses air bersih akibat privatisasi air oleh perusahaanperusahaan yang memperoleh izin usaha eksploitasi sumber daya alam. Ini akan membuat tugas domestik perempuan semakin berat karena mereka yang seringkali dibebani tugas mencari air bersih. Kehilangan akses untuk menggunakan sistem pendukung alamiah, seperti tumbuh-tumbuhan di sekitar areal milik perusahaan. Mundurnya kesehatan akibat polusi air, tanah dan udara, tidak hanya berakibat pada sakit yang berkepanjangan tetapi juga kematian. Penggusuran paksa untuk kepentingan perusahaan. Upaya mem pertahankan lahan dapat berakibat pada pecahnya konflik bersenjata antara aparat keamanan di perusahaan dan masyarakat. Dalam konflik ini, perempuan rentan terhadap kekerasan fisik yang mengarah pada kekerasan seksual oleh aparat keamanan. 37
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Contoh Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Konflik Sumber Daya Alam
Di teluk Buyat, Sulawesi Utara beroperasi PT Newmont Minahasa Raya, anak perusahaan pertambangan Newmont yang berpusat di Amerika Serikat. Perusahaan ini memiliki izin beraperasi sekitar 402 ribu hektar selama 30 tahun. Dalam operasinya sejak tahun 1996, PT Newmont Minahasa Raya membuang tailing- limbah tambang yang mengandung logam berat seperti arsenik, merkuri dan cadnium- di dekat pantai (92 m dari patai) Akibat pembuangan taiting tersebut, Teluk Buyat terkontaminasi arsenik dengan kadar yang sangat tinggi. Pemeriksaan pada salah seorang penduduk Buyat, Sutini menunjukkan kandungan 4mg arsenik, jauh di atas ambang yang diperbolehkan yaitu sekitar 0.5 mg (bahkan hanya 0.01mg dalam standar Eropa) Kontaminasi arsenik menyebabkan ikan-ikan di daerah tersebut tercemar, terlihat dari banyaknya benjolan berair di tubuh ikan. Ikan-ikan ini tidak laku di pasaran dan menyebabkan nelayan-nelayan di wilayah ini kehilangan mata pencahariannya.
38
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Konsumsi ikan menyebabkan penduduk di wilayah tersebut pun terkontaminasi arsenik. Bagi perempuan, kerentanan terkontaminasi arsenik juga disebabkan oleh kondisi kerja perempunn di daerah pantai yang mengisyaratkan mereka untuk bercelup diri sebatas dada untuk menangkap nener/bibit ikan. Kontaminasi arsenik menyebabkan pusing, gangguan pendengaran dan pengucapan, penyakit kulit dan nyeri persedian. Pada kasus Sutini, ia sampai menderita lumpuh selama tiga bulan. Untuk menghindari konsumsi ikan, satu-satunya sumber pangan yang ia miliki, Sutini dan anaknya terpaksa mencuri kelapa. Pada perempuan, kontaminasi arsenik juga mengakibatkan tumbuhnya tumor, terutama di daerah payudara. Dampak jangka panjang dari tumor ini adalah kematian seperti yang dialami oleh Ibu Puyang, 58 tahun. Kematian bayi dan pengguguran pun meningkat di daerah ini. Di tubuh bnyi berusia 8 bulan bernama Andini misalnya, tersebar benjolan bernanah. Khawatir akan melahirkan bayi dengan kondisi ini, banyak perempuan di wilayah tersebut takut untuk menjadi hamil ataupun melanjutkan kehamilan dan karenanya, mereka memilih untuk melakukan aborsi.
39
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan Terhadap Perempuan Pekerja Seks Pembahasan mengenai prostitusi di Indonesia masih sangat terkait dengan isu moralitas sehingga publik mempunyai pemahaman terbatas mengenai permasalahan ini. Akibatnya, perempuan pekerja seks sangat rentan kekerasan karena termajinalisasi di dalam masyarakat.
Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan Pekerja Seks Kriminalisasi. Hukum di Indonesia memposisikan pekerja seks sebagai pihak pelaku kriminalitas, atau lazimnya pengganggu ketertiban umum. Perspektif ini juga diusung oleh dinas kesehatan dalam program pengawasan mereka yang seringkali tidak menggunakan prinsip kerahasiaan dan persetujuan. Diskriminasi atas akses hukum. Profesi pekerja seks dianggap tidak bermoral dan karenanya tidak perlu/pantas untuk dilindungi. Akibatnya, perempuan pekerja seks sering mengalami pelecehan oleh aparat kepolisian saat melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Marginalisasi dalam proses pengambilan keputusan, perolehan informasi dan keterlibatan di dalam program-program peningkatan ekonomi. Eksploitasi ekonomi dan kekerasan fisik, psikologis dan seksual oleh keluarga, pacar, germo dan anggota masyarakat lainnya.
40
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Sistem Patriarki dan KTP Pekerja Seks Diskriminasi di dalam keluarga meminggirkan perempuan dari akses pendidikan dan ketrampilan. Akibatnya, perempuan tidak memiliki kapasitas cukup untuk memperoleh pekerjaan yang layak di daerah perkotaan, selain menggunakan tubuhnya untuk mempertahankan hidup. Nilai dan posisi perempuan juga ditekankan pada keperawanan dan perkawinan untuk membedakan antara ‘perempuan baik-baik’ dan ‘perempuan nakal’. Banyak perempuan yang memilih menjadi pekerja seks karena tidak tahan dengan cemooh karena telah melakukan hubungan seksual di luar perkawinan namun kemudian tidak dinikahi ataupun karena telah menjanda. Perempuan yang termasuk ‘perempuan nakal’ dianggap tidak perlu untuk dilindungi. Akibatnya, perempuan pekerja seks dianggap boleh digunakan sebagai objek eksperimen seks meskipun dapat mem bahayakan keselamatan perempuan tersebut. Perempuan pekerja seks mencari perlindungan dari laki-laki anggota keluarganya atau dari pacar (kiwir-kiwir) yang justru cenderung mengeksploitasi mereka.
Politik Seksualitas dan KTP Pekerja Seks Seksualitas perempuan hanya didefinisikan dalam perkawinan yang sah dan karenanya, perempuan yang melakukan hubungan luar nikah dianggap sebagai pelaku tindak kriminal. Selain itu, masalah seks adalah hal privat yang tabu untuk dibicarakan dan dipersoalkan. Politik seksualitas ini menyebabkan (1) tidak adanya pendidikan seksualitas yang cukup bagi perempuan dan (2) tidak ada layanan kesehatan 41
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
reproduksi dan seksual bagi perempuan yang tidak menikah. Akibatnya, perempuan para pekerja seks rentan menderita gangguan kesehatan reproduksi dan seksual. Di sisi lain, pembedaan antara perempuan’baik-baik’ dan perempuan nakal’ yang terkait dengan politik seksualitas juga menyebabkan para ibu rumah tangga rentan tertular penyakit seksual menular (PSM), termasuk HIV/AIDS. Hal ini disebabkan karena penyuluhan PSM selama ini difokuskan kepada “kelompok berisiko tinggi”, yaitu kelompok homoseksual, pengguna jarum suntik dan pekerja seks.
Contoh kasus HlV/AIDS, Prostitusi dan Kekerasan terhadap Perempuan Pada tahun 1999, diadakan serangkaian penelitian di daerah pantai utara Jakarta oleh Koalisi Perempuan Indonesia. Dari penelitian ini ditemukan luasnya persebaran prostitusi dan banyaknya penderita penyakit seksual menular, termasuk di antaranya HIV/AIDS. Seorang perempuan di daerah tersebut dinyatakan positif menderita HIV/ AIDS. Ketika kondisi tubuhnya makin parah, dia tidak diperkenankan tinggal di kampung melainkan di sebuah bilik terapung di rawa-rawa yang terpisah dari perkampungan. Karena masyarakat sangat takut ketularan, ia tidak diperkenankan keluar dari bilik tersebut dan hanya ditemani oleh ibunya. Ketika ia meninggal dunia, jenazahnya dikremasi karena masyarakat setempat menolak jasadnya untuk dikuburkan di perkampungan itu. 42
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Ideologi Patriarki Negara dan KTP Pekerja Seks Pembakuan peran gender oleh negara mendefinisikan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Perempuan kepala keluarga akibat perceraian seringkali tidak memiliki akses ekonomi dan mengalami pemiskinan berkelanjutan yang menyebabkannya mengambil keputusan untuk bekerja sebagai pekerja seks. Pembakuan peran gender menyebabkan otonomi dan identitas perempuan terbatas sebagai istri dan anak. Perempuan sebagai pencari nafkah tambahan tidak memiliki akses atas kredit untuk dirinya sendiri, perempuan dengan seks aktif tetapi tidak bersuami tidak memiliki akses terhadap layanan kesehatan, perempuan tidak memiliki otoritas untuk memutuskan alat kontrasepsinya tanpa persetujuan suami. Pengingkaran terhadap otonomi dan identitas diri perempuan menyebabkan perempuan pekerja seks memiliki obsesi untuk memiliki orang lain (baca: laki-laki) untuk mengatur hidupnya. Obsesi ini menjadikannya rentan kekerasan dan eksploitasi oleh laki-laki yang memberikan harapan padanya untuk diperistri. Pembagian kerja seksual yakni laki-laki di wilayah publik/produktif pun bekerja di wilayah domestik/reproduktif. Pembagian kerja seksual yang diikuti oleh pembatasan-pembatasan lainnya menjadi sumber kekerasan bagi perempuan pekerja seks.
Pembangunan berorientasi Liberalisme Global dan KTP Pekerja Seks Pembangunan yang berfokus pada kota-kota besar menyebabkan pemiskinan di daerah pedesaan. Tanpa ketrampilan yang cukup, perempuan pedesaan tidak dapat memperoleh pekerjaan yang layak di daerah perkotaan, sementara mempertahankan hidup dengan bekerja di desa tidak memungkinkan. 43
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Paradigma pembangunan memberikan nilai kerja yang tidak sebanding antara nilai kerja produktif dan reproduktif bagi perempuan. Sebagai pencari nafkah kedua, perempuan dipinggirkan dalam persaingan kerja produktif dengan laki-laki. Sementara itu, partisipasi perempuan dalam pembangunan memberikan beban berganda bagi perempuan.
Inisiatif Penanganan Untuk advokasi perempuan pekerja seks, Yayasan Hotline Surabaya mencoba menggunakan metode teater sebagai sarana terapi dan pemberdayaan. Dalam proses latihan para pekerja seks yang terlibat memiliki kesempatan untuk memperoleh penguatan, penyembuhan trauma-trauma psikologis selama menjadi pekerja seks, dan pembongkaran konstruksi mental yang ada. Lewat proses pemulihan tersebut, mereka muncul sebagai survivors yang mampu menyuarakan pengalaman hidupnya yang getir.
Rekomendasi Penanganan Kasus KTP Pekerja Seks
• Membangun • • • 44
pemahaman bersama bahwa masalah prostitusi adalah tidak sekedar masalah moralitas tetapi merupakan sebuah masalah kompleks yang terkait erat dengan konstruksi sosial, budaya, politik dan ekonomi. Membangun kesepakatan masyarakat bahwa masalah prositusi harus ditangani oleh pemerintah dan masyarakat secara bersamasama. Membangun layanan publik untuk perempuan pekerja seks korban kekerasan yang tidak diskriminatif dan berbasis pada upaya pemenuhan hak asasi manusia. Mendorong pembangunan yang lebih seimbang antara kota dan desa.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan terhadap Perempuan di Derah Pedesaan Dari hasil pendampingan PKBI Jambi diketahui adanya tingkat kekerasan dalam rumah tangga yang cukup tinggi, yaitu sekitnr 30% dari 6000 perempuan di lokasi tersebut. Setidaknya ada dua fenomena yang memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga: 1. Pengabaian tanggung jawab ekonomi oleh pihak suami karena tingginya tingkat konsumsi minuman keras dan judi. 2. Perselingkuhan, dengan alasan istri tidak mampu mempertahankan kelanggengan perkawinan dengan tidak berpenampilan menarik, bukan ibu rumah tangga yang baik, dsb. Dari kedua fenomena ini, perempuan mengalami tidak hanya kekerasan fisik, psikalogis dan seksual tetapi juga penelantaran. Namun penanganan masalah ini sangatlah sulit, karena kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai masalah perseorangan, aib keluarga yang seharusnya tidak disampaikan kepada publik. Hal serupa juga menjadi penghalangan bagi proses pendampingnn korban perkosaan. Korban cenderung tertutup sekalipun kepada orang tuanya. Kasus perkosaan biasanya terkuak setelah kehamilan tidak dapat lagi disembunyikan. Karena budaya patriarki yang begitu kental, dimana keperawanan dan perkawinan adalah parameter untuk menghakimi perempuan, korban perkosaan seringkali hanya menuntut selembar surat nikah dan kemudian bercerai segera setelah melahirkan. Berhadapan dengan permasalahan ini, PKBI Jambi mengupayakan beberapa cara advokasi, antara lain : • membangun kelompok basis. Saat ini ada 25 kelompok yang tersebar di 3 kabupaten. • memberikan pendidikan dan informasi kepada masyarakat mengenai kekerasan terhadap perempuan. • melakukan pendampingan kepada korban. Saat ini sedang diupayakan pembangunan shelter/rumah aman bagi perempuan korban kekerasan. • Penguatan ekonomi keluarga. • Advokasi kebijakan di tingkat pemerintahan desa 45
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
46
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Politisasi Agama/Budaya dan Kekerasan Terhadap Perempuan Laporan pada sesi ini disampaikan oleh RAHIMA, Jakarta mengenai KTP dalam komunitas lslam dan Mercy Barends (JTMM Maluku) mengenai KTP dalam konflik antar berbasis agama/budaya. Isu KTP dalam konteks politisasi agama/budaya ini dilengkapi dengan informasi dari lke Rolobessy (Maluku ), Suster Eustocia, SSPS (JKPIT-Maumere), Soraya Sultan (Poso), Maria Ulfah (Fatayat NU, Jakarta), Lili Pulu (Kapal Perempuan, Jakarta), dan Golda Aronggear (Foker Papua). Pelaporan pada sesi ini dimoderatori oleh Taty Krisnawaty (Komnas Perempuan).
47
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
48
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Komunitas Islam
S
ebagai bangsa pemeluk agama Islam yang terbanyak di dunia, Indonesia mempunyai kekhasan dalam penanganan KTP yang patut diakui secara internasional. Pada 10 tahun terakhir berbagai pihak dalam komunitas Islam mengupayakan pembacaan kritis terhadap cara-cara interpretasi agama yang sering digunakan untuk membenarkan perilaku tidak adil dan kekerasan terhadap perempuan.
Interpretasi Agama dan Bias Jender Pemahaman-pemahaman tekstual dari kitab suci Al-Qur’an sering kali bias jender. Sejumlah ayat dan hadits seringkali dijadikan sandaran untuk melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Interpretasi bias gender ini tidak hanya dilakukan oleh para mubaliqh, baik pria dan perempuan, tetapi juga oleh institusi keagamaan seperti NU, Muhamnnadiyah dan MUI. Budaya paternalisme memperburuk kondisi perempuan dalam kaitannya dengan interpretasi agama yang bias jender. Tokoh-tokoh penting yang memahami agama dengan salah justru dianggap memiliki perilaku yang sudah tepat untuk dicontoh oleh masyarakat umum. Intepretasi agama adalah salah satu alat pengaturan urusan personal sampai dengan masalah kenegaraan di Indonesia. Akibat interpretasi yang bias jender, perempuan menjadi pihak yang dirugikan. 49
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Intepretasi Agama Bias Jender dan Kekerasan dalam Rumah Tangga Diskriminasi dan Kekerasan Fisik, Psikologis dan Seksual Salah satu argumentasi yang sangat popular adalah (pemahaman) QS.An Nisa ayat 34. Interpretasi yang bias jender dari ayat ini meligitimasi posisi superioritas karena ia dipandang sebagai pemimpin dan menafkahi isteri (perempuan). Maka isteri harus patuh dan taat kepada suaminya (lelaki), serta minta izin padanya setiap hendak keluar rumah, memberikan pelayanan atas kegala keperluan suami maupun kebutuhan seksualnya, tidak boleh membantah ataupun menolak, karena hal ini akan memberi konsekuensi bahwa suami dapat menggunakan haknya untuk mendidik sekalipun sampai pada memukul isteri. Pemaksaan hubungan seksual oleh suami (marital rape) juga seringkali dibenarkan dengan menggunakan Hadits N, seperti “Rasulullah bersabda: Bila seorang suami meminta istrinya untuk ke tempat tidur dan perempuan itu menolak hingga si suami menjadi marah, maka sang istri akan dikutuk malaikat sampai esok harinya.” (Abu Hirairah) Poligami Bagi gerakan perempuan Indonesia, poligami adalah masalah yang cukup pelik dan menjadi alat pecah belah rasa persaudaraan antara perempuan. Contoh termuktahir adalah kontroversi mengenai poligami award yang dipopulerkan oleh seorang pengusaha pelaku poligami. Kampanye untuk berpoligami ini dilakukan dengan membuat intepretasi serampangan atas QS. An Nisa ayat 4 yang penggalannya berbunyi “ ...Maka nikahilah olehmu perempuan-perempuan yang kamu sukai, dua, atau tiga, atau empat......” 50
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Pernikahan Siri Pernikahan siri disebut juga perkawinan bawah tangan karena tidak didaftarkan kepada lembaga negara. Berbagai alasan digunakan untuk membenarkan perkawinan ini antara lain untuk melawan hegemoni negara (bagi kelompok fundamentalis), ongkos perkawinan yang murah, ataupun untuk melakukan poligami secara sembunyisembunyi. Dampak dari tidak dicatatnya perkawinan ini adalah tidak adanya perlindungan hukum bagi perempuan dan anak-anak dalam perkawinan siri tersebut. Pernikahan Dini atau di Bawah Umur Teks agama seringkali digunakan untuk menjustifikasi hak ayah memaksa anak perempuannya untuk menikah di bawah umur dan biasanya dirujuk pada perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah. Sunat Perempuan Sunat/khitan dengan memotong klitoris, pusat rangsangan seksual perempuan jelas merupakan bentuk pelanggaran hak reproduksi dan seksual perempuan. Akibat dari metode ini, perempuan kurang dapat menikmati hubungan seksual yang mereka lakukan. Di Indonesia, sunat perempuan seringkali dianggap sebagai perintah agama. Padahal kajian teologis menunjukkan bahwa sunat diatur sebagai kewajiban bagi laki-laki dan sunnah bagi perernpuan. Bila pada masa lalu khitan/sunat perempuan dilakukan secara simbolik dengan serangkaian upacara adat, dalam 15-20 tahun terakhir, khitan dapat dipesankan kepada para bidan di klinik bersalin sebagai bagian dari paket tindik bagi bayi perempuan. Tindakan ini sama sekali bukan prosedur medis dan karenanya besar kemungkinan terjadi penyim pangan berupa pemotongan klitoris. 51
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Interpretasi Agama Bias Jender dan KTP di Tempat Kerja Meskipun tidak berkaitan langsung dengan agama, argumentasi agama/budaya seringkali digunakan untuk memutus hak perempuan atas tunjangan sosial karena dianggap bukan pencari nafkah dan selalu dilihat sebagai orang tunggal. Dalam isu buruh migran, perlakuan seperti budak yang diterima oleh buruh migran perempuan di Timur Tengah sangatlah dipengaruhi oleh interpretasi keagamaan dalam budaya setempat. Sebagai budak, mereka dianggap milik majikan dan oleh karenanya boleh digauli. Ini menyebabkan buruh migran perempuan rentan perkosaan dan serangan seksual lainnya.
Interpretasi Agama Bias Jender dan KTP di Ruang Publik Penggambaran perempuan di media massa dengan komentar moral berlandaskan agama adalah salah satu jenis kekerasan terhadap perempuan di wilayah publik. Stigma sosial dan pengucilan perempuan dalam kondisi tertentu, misalnya terhadap janda, yang menggunakan justifikasi agama. Amuk massa yang merasa berhak untuk melakukan kekerasan seperti pembakaran lokalisasi, pengguntingan rambut secara paksa kepada perempuan yang tidak mengenakan jilbab. Protes terhadap pengangkatan perempuan sebagai pemimpin. Di Tasikmalaya misalnya, salah satu partai politik memprotes pengangkatan lima camat perempuan dengan alasan bahwa agama Islam, yaitu dalam surat Al52
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Nisa ayat 34 melarang perempuan mempunyai pekerjaan di ruang publik. Penyalahgunaan ketaatan murid perempuan (santri) oleh guru di pesantren yang berbuntut pada kekerasan seksual.
Interpretasi Agama Bias Jender dan KTP Oleh Negara Pembiaran negara terhadap hukum-hukum bernafas Islam yang meletakkan perempuan pada posisi subordiant, misal dalam UU perkawinan. Formalisasi syariat Islam yang terutama-tama menggunakan beragam metode dan strategi untuk mengontrol mobilitas dan seksualitas perempuan, seperti kewajiban berjilbab, pemisahan kolam renang antara laki-laki dan perempuan dan keharusan didampingi oleh lakilaki dalam hubungan muhrim saat keluar rumah. Formalisasi ini telah dilakukan di berbagai daerah antara lain Aceh, Cianjur, Tasikmalaya, Garut, Ciamis, Sukabumi, Jember, Pemekasan, Serang, Pendeglang dan Lebak. Pelarangan Aborsi Aman Aborsi yang tak aman berkontribusi pada tingginya angka kematian ibu di Indonesia. Intervensi pemerintah Indonesia mengenai masalah ini belum optimal. Hal ini terutama disebabkan oleh wacana mengenai aborsi yang berkembang di masyarakat Indonesia. Seperti yang difatwakan oleh MUI, aborsi dinyatakan sebagai tindakan yang dilarang oleh agama. Padahal, kajian teologis membuktikan sebaliknya. Teks keagamaan justru memperbolehkan aborsi yang mana, yaitu yang memperhatikan kepentingan kesehatan dan keselamatan ibu dan dalam batasan usia tertentu kandungan. 53
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Inisiatif Penanganan
• Pelatihan sensitivitas jender bagi pemuka agama. • Publikasi dan sosialisasi buku-buku keagamaan yang terkait dengan • • • •
54
isu gender, termsuk didalamnya publikasi majalah, website, dan bentuk tulisan lainnya. Pendirian pusat krisis berbasis pesantren bagi perempuan korban kekerasan. Advokasi publik berkaitan dengan formalisasi syariat Islam. Advokasi kebijakan dengan membuat revisi kompilasi hukum Islam, dan rencana UU Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pelibatan pemuka agama dalam proses pendampingan perempuan korban kekerasan.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Antar Komunitas Pasca kelengseran Soeharto, diberbagai daerah Indonesia pecah konflik antar komunitas yang saling berbeda identitas agama/etnis. Salah satu daerah yang terpukul oleh konflik semacam ini adalah Maluku. Konflik komunal bersenjata mengakibatkan perempuan mengalami berbagai bentuk kekerasan yang spesifik dan sistematis yang ditujukan panda dirinya,sebagai individu dan anggota komunitasnya.
KTP di Maluku pra Konflik antar Komunitas. Sebelum terjadi konflik di Maluku sudah terdapat relasi jender yang tidak seimbang. Hampir semua institusi tidak memberi ruang untuk perempuan secara setara turut berperan dalam pengembilan keputusan adat dalam Negeri (desa) tempat ia tinggal. Meskipun terdapat Raja Perempuan, ia tidak memegang posisi dominan karena masih terjebak dalam sistem pemerintahan adat yang sangat patriarkal dan dominasi oleh kam laki-laki. Budaya yang ada pun lebih menempatkan perempua dalam posisi subordinat, antara lain istri seringkali dianngap sebagai ‘properti’ suami. Budaya di Maluku juga hanya memberikan ruang yang terbatas bagi keterlibatan perempuan dalam sistem ekonomi, misalnya bekerja untuk keluarga di lahan pertanian, perkebunan. Bila mereka menembuas pasar, biasanya perempuan bekerja sebagai “papalele” atau penjual kebutuhan sehari-hari dalam skala kecil.
55
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Politisasi Agama dalam Konflik Antar Komunitas di Maluku Isu agama dalam konflik antar komunitas di Maluku lebih dapat dikatakan sebagai isu yang dipolitisir. Konflik ini berawal pada tanggal 19 Januari 1999 dari pertikaian seorang sopir angkot dan penumpang. Pertikaian ini terus memuncak dan merembet menjadi sebuah konflik antar komunitas, menyebabkan segregasi antara komunitas Islam dan Kristen yang sebelumnya telah hidup ber dampingan dari generasi ke generasi dengan damai. Provokasi konflik antar komunitas ini dimungkinkan oleh : eksploitasi sumber daya alam yang tidak adil dan meminggirkan masyarakat lokal. Ada indikasi bahwa sebgaian besar wilayah konflik di daerah ini merupakan titik-titik wilayah kaya sumber daya alam. Karenanya, perlu ada analisa lebih lanjut tentang hubungan antara konflik ini dan peran dan posisi pemerintah pusat, pemerintah daerah, para investor, pendatang dan masyarakat lokal yang terkait dengan pengelolaan dan peman faatan sumber daya alam ini. pertikaian politik di Maluku yang diwarnai oleh percaturan perpolitikan nasional. Lengkap dengan bobrok korupsi, kolusi dan nepostisme yang menyebabkan munculnya sentimen-sentimen antar kelompok dan golongan. Struktur masyarakat Maluku dengan perbedaan status ekonomi sosial antara kelompok pendatang dengan masyarakat lokal di Maluku yang semakin tajam.
•
• •
56
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Dinamika Konflik dan Politisasi Agama Indikasi terjadinya politisasi agama dalam konflik antar komunitas di Maluku dapat diamati melalui dinamika konflik sejak tahun 1999 sampai 2004, yaitu : Pelanggengan konflik tahap 1, 1999-2002. Isu yang berkembang adalah perseteruan agama, politik, etnik; kebangkita FKM/RMS, penguatan Laskar Jihad. Isu pembantaian perempuan dan anak juga digunakan untuk menguatkan spirit komunalisme. Parameter keberhasilan pihak yang bertikai adalah perluasan wilayah konflik. Pelanggengan konflik tahap 2, 2002 s. d. 2004. Isu yang dikembangkan masih seputar perseteruan agama dan etnik; kebangkitan FKM/RMS; integrasi Laskar Jihad dengan masyarakat; perseteruan antar kelompok; pro-kontra Malino II, kekerasan terhadap perempuan dan anak. Parameternya adalah pengorganisasian kelompk militan lokal seperti Laskar Jihad lokal, Laskar Mujahidin, Laskar Kristus, Pasukan Linggis untuk anak-anak Kristen dan Pasukan Agas untuk anak-anak Islam.
Aktor-aktor yang terlibat dalam Konflik No 1 2 3 4 5 6
Aktor/stake holder Militer Milisia/laskar-laskar Media LSM Pihak Asing Pemerintah Pusat
Analisis Kepentingan Karier/kekuasaan ekonomi Popularitas kelompok Peluang pasar/bisnis Kucuran dana luar negeri Supremasi Asing Hegemoni kekuasaan pusat-daerah
7
Pemerintah Daerah
Karir, penguasaan bantuan 57
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan Terhadap Perempuan No.
Pola Penyerangan
1.
Konflik terbuka antar warga (selama tahun 1999) • Pengerahan massa • Provokasi secara meluas menggunakan simbol-simbol agama • Alat bantu yang digunakan seperti parang, batu dan panah
2.
Konflik meluas, terbuka dan sistematis (1999-2001) • Penyerangan kelokasi-lokasi strategis • Alat yang digunakan: bom dan senjata rakitan • Adanya penembak gelap • Pengrusakan fasilitas publik oleh massan seperti di Universitas Pattimura, PLN, TELKOM, UKIM, DPRD II, bank, Kantor Gubernur • Penyerangan terarah panda kantong-kantong Kristen, pola ninja dan alat yang dipakai seperti mortir dan senjata organik
3.
Pasca Malino (2002) • Penolakan hasil kesepakatan milano oleh kelompok-kelompok tertentu sehingga menimbulkan konflik internal dalam suatu komunitas • Peledakan bom di tempat-tempat umum yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban perempuan dan anak-anak • Masyarakat sudah kebal/ resisten terhadap kekerasan dan tidak lagi reaktif
4.
Pasca 25 April 2004 • Kerusuhan massal • Sniper – penembak gelap • Penyerangan terhadap pemukiman penduduk (2) komunitas
58
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Berdasarkan Pola Penyerangan Isu yang Muncul
Kekerasan yang Dialami Perempuan
• • • •
Isu agama Isu etnik Isu etnik berbasis politik Isu perempuan dan anak
•
• • •
Isu agama Isu pendidikan Isu perempuan dan anak
• •
Isu politik berbasis agama Isu perempuan
•
• •
• Isu politik berbasis agama • Isu perempuan dan anak
• •
•
• •
Fisik: dipotong, dibantai, ditikam, dibunuh, dipukul Psikologis: diteror, diintimidasi, diancam Seksual: pelecehan seksual di kamp-kamp pengungsian Fisik: dipotong, dibantai, ditikam, dibunuh Psikologis: diteror, diintimidasi, diancam, dimaki Seksual: perkosaan, incest, pelecehan seksual, mutilasi genital, penipuan oleh anggota militer (koramil/korban rayuan militer) Fisik: cacat karena ledakan bom, ditikam, dipotong, dibantai Psikologis: diancam, diteror Seksual: perkosaan, penipuan oleh anggota militer (koramil/korban rayuan militer)
• Fisik: tertembak, kena bom, pembantaian • Psikologis: diancam, diteror
59
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kekerasan Terhadap Perempuan Berdasarkan Lokus/Tempat Kejadian Bentuk kekerasan
Penyerangan di desa/lokasi tertentu
Di lokasi pengungsian
KTP dalam masyarakat
Fisik
Tertembak, cacat kena ledakan bom, kena mortir, dipotong, dibakar, ditikam
Kekerasan dalam rumah tangga: dipukul, dipotong, ditampar
Cacat karena peledakan bom, mortir, ditendang saat sweeping senjata (dijadikan tameng), tertembak (ibuibu pepalele yang berjualan dengan menggunakan transportasi speedboot)
Psikologis
Diancam, diintimidasi, dipaksa, praktek mutilasi
Makian, merasa malu karena dipaksa melakukan hubungan seksual di tempat-tempat yang tidak nyaman, seperti WC, dibawah kain, saat lampu dipadamkan
Diintimidasi, dipaksa, pembatasan akses aktivitas di wilayah publik (Muslim), diteror (pekerja kemanusiaan), dipermalukan saat jalan dengan aparat
Kekerasan Seksual
Mutilasi genital, diperkosa
Pelecehan seksual seperti diintip saat mandi dan diraba, incest
“koramil”, “Kopasus”, perkosaan, dipermalukan dengan isu keperawanan, pelecehan seksual (pedagang asongan di kapal/pelabuhan)
60
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Seksualitas Perempuan dan Konflik Antar Komunitas Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu isu sentral dalam konflik di Maluku. Tubuh perempuan menjadi wahana perebutan kekuasaan dan unbtuk itu, seksualitas perempuan digunakan sebagai alat penghancur komunitas lainnya. Hal ini dimungkinkan karena perempuan dan seksualitasnya dianggap sebagai: Simbol pembangkit semangat dan moralitas komunitas Simbol kemurnian komunitas. Contohnya mutilasi genital digunakan sebagai alat untuk ‘merusak’ kemurnian identitas dan citra komunita stertentu, dan celaan bagi perkawinan antar agama yang dianggap menghilangkan identitas perempuan (melebur dalam identitas suami). ‘Tameng’ politik komunitas. Contoh kasus adalah penggunaan perempuan dan anak-anak untuk demonstrasi penolakan penyisiran senjata tajam. Contoh lainnya adalah kasus “koramil” dan “kopassus’ yang terutama merujuk panda perempuan yang tidak lagi perawan dan/atau hamil setelah berhubungan seksual tanpa menikah dengan anggota militer. Dalam kasus-kasus ini terdapat indikasi kuat adanyamanipulasi figur dan kekuasaan militer sebagi pelindung dan dorongan dari komunitas untuk mem peroleh perlindungan tersebut dengan menggunakan tubuh perempuan.
• •
•
Inisiatif Penanganan Upaya preventif dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini di Maluku antara lain disediakan oleh: (1) LSM/jaringan pemerhati masalah perempuan
61
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
• Menyelenggarakan berbagai pelatihan, seminar, lokakarya • • • •
tentang pendampingan bagi perempuan di kamp-kamp pengungsiaan, HAM dan KTP, jender dan seksualitas. Melakukan penjangkauan dan pendampingan bagi para pekerja seks, korban perkosaan, janda, perempuan cacat, perempuan di kamp pengungsian. Melkukan advokasi terhadap berbagai isu KTP ke Pemda, DPRD, Polda Maluku, Kodam XVI Pattimura, dan instansi teknis lainnya untuk memberi penanganan serius terhadap berbagai persoalan perempuan. Melakukan dokumentasi kasus-kasus KTP meskipun masih secara parsial. Melakukan kampanye publik antara lain dengan menye lenggarakan dialog publik, penyebaran media KIE, dialog di radio/televisi lokal.
(2) Polda Maluku Menyediakan layanan RPK dari tingkat Polda sampai Polres dalam menangani kasus-kasus KTP Melakukan pelatihan internal bagi Polwan awak RPK
• •
(3) Pemda Maluku Menyediakan fasilitas dan layanan Trauma Counselling.
•
(4) Pengadilan Tinggi/Negeri Melakukan pelatihan internal tentang jender dan hukum.
•
62
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Hambatan dalam Upaya Penanganan KTP
• Respon masyarakat atau fakta kekerasan terhadap perempuan masih • • •
rendah Isu kekerasan terhadap perempuan tidak menjadi prioritas dalam kebijakn penanganan konflik oleh pemerintah dan DPRD Institusi militer cenderung tertutup dalam penanganan masalah keterlibatan aparat militer dalam hubungan personal-seksual. Belum adanya penanganan terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan secara spesifik dan sistematis. Layanan yang tersedia masih terbatas pada penguatan mental psikologis korban dan sifatnya sangat pragmatis dan parsial.
Rekomendasi Penanganan Kasus KTP dalam Konteks Konflik Komunal di Maluku A. Umum Pendokumentasian kasus-kasus kekerasan terhadap perem puan dalam kerangka hak asasi manusia Pengautan paralegal yang mendampingi perempuan korban kekerasan Peningkatan advokasi kasus-kasus KTP Penguatan jaringan perempuan lokal Pengadaan layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan
• • • • •
B. Khusus Implementasi Perjanjian Malino 2002, yang menjanjikan adanya penanganan khusus untuk perempuan korban konflik, sampai saat ini belum ada tanggapan yang diterima oleh 500
•
63
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
•
• •
64
lebih perempuan korban kekerasan akibat konflik. Penging karan terhadap janji ini juga terjadi panda akhir bulan April yang lalu, dimana 4 janda yang melahirkan tidak menerima bantuan biaya rumah sakit dari pemerintah. Akuntabilitas pemerintah daerah. Berdasarkan laporan pertanggungjawaban gubernur Maluku panda bulan Juli 2004, telah habis dana sebesar 800 milyar rupiah untuk penang gulangan pengungsi. Sementara dana tidak lagi tersedia, pengungsi masih tersebar dimana-mana dan mereka kebanya kan adalah perempuan dan anak-anak. Perbaikaan pendekatan penanganan pengungsi agar lebih sensitif gender. Ini terutamabagi model pendekatan yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah. Adanya evaluasi khusus bagi badan-badan PBB yang bekerja di wilayah konflik seperti UNDP dan UNICEF. Beberapa program yang dinyatakan memiliki pendekatan sensitif gender ternyata sama sekali tidak sensitif dalam prakteknya.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Catatan Kekerasan terhadap Perempuan di Wilayah Konflik Poso, Sulawesi Tengah
• • • •
• •
•
Pola-pola kekerasan terhadap perempuan di Poso kurang lebih sama dengan di Maluku. Dalam konflik tersebut terdapat kesan pembiaran atas kejadian kekerasan terhadap perempuan oleh militer dan Negara. Saat pecah konflik di Poso (tahun 2001) terjadi penelanjangan ratusan perempuan (109 mengaku ditelanjangi secara massal), 9 melapor kepolisi tapi tidak ada penyelesaian sampai saat ini. Selama konflik, perempuan mengalami penembakan, pembunuhan misterius dan pembantaian. Pada masa pemulihan, isu perdamaaian diangkat sebagai prioritas. Karena bukan prioritas, isu perempuan dipinggirkan, termasuk seluruh kasus-kasus kekerasan di masa konflik. Saat ini masih terdapat 16 ribu orang di pengungsian, dengan perempuan dan anak-anak sebagai mayoritas pengungsi. Saat ini ada 13 kasus perempuan yang dihamili dan diperkosa aparat. Satu kasus sudah sampai ketingkat kejaksaan. Namun dukungan dari masyarakat dan aparat polisi sangatlah minim. Untuk itu diperlukan tekanan dan jaringan ditingkat nasional dan internasional, sebab hanya ada dua organisasi perempuan yang memperjuangkannya di tingkat lokal. Potensi konflik lebih lanjut adalah politisasi agama dalam isu kepemimpinan daerah.
65
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Budaya dan Kekerasan terhadap Perempuan di Nusa Tenggara Timur
• • • •
66
Angka kekerasan terhadap perempuan di Nusa Tenggara Timur, luar biasanya tingginya. Hal ini karena di dalam budaya setempat perempuan diletakkan pada posisi subordianat dan karenanya perempuan bisa diperlakukan sewenang-wenang. Kasus KTP yang cukup tinggi adalah incest. Kasus ini terutama terjadi di keluarga buruh migran. Mungkin terkait dnegan waktu kepergian sang ayah keluar negeri yang cukup lama dan saat kembali dia menemukan anka perempuannya telah tumbuh dewasa. Ada peningkatan kasus perkossaan anak-anak di bawah umur oleh sekelompok pemuda. Sampai sekarang motif perkosaan belum diketahui. Kasus lainnya adalah kembali maraknya kasus perdagangan anak di bawah umur untuk pemenuhan kebutuhan seksual.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Agama, Budaya dan Politik Identitas di Indonesia Beberapa fenomena yang menguatkan analisa sedang berlangsungnya politik identitas di Indonesia adalah: Berkembangnya partai politik berbasis agama Munculnya kebijakan-kebijakan nasional yang mempolitisir kepentingan agama,misalnya rancangan perubahan kitab undang-undang hukum pidana dan RUU anti pornografi/pornoaksi yang melanggar hak personal warga negara seperti larangan berhubungan seksual sesama jenis, larangan oral seks dan masturbasi. Meningkatnya jumlah pemerintah daerah yang hendak memberlakukan syariat Islam dengan berbagai peraturan yang merugikan perempuan. Berkembangnya perdebatan mengenai hak putra daerah untuk menjadi pemimpin di wilayah tertentu. Berkembangnya tuntutan untuk memberlakukan hukum adat di beberapa tempat. Dalam pemberlakuan hukum adat ini terbuka peluang besar pengsubordinasian perempuan. Implementasi Undang-undang perkawinan tahun 1974 yang melarang perkawinan antar agama. Sistem pendidikan nasional yang mendukung pengkotak-kotakan dalam masyarakat Indonesia berdasarkan latar belakang agama, etnis dan golongan. Undang-undang pendidikan yang baru juga lebih menekankan panda pendidikan agama atas nama perbaikan moralitas bangsa. Selain mengenyampingkan soal pendidikan yang lebih mendesak, peraturan ini juga berkontribusi panda semakin parahnya ketegangan hubungan antar kelompok/golongan.
• •
• • • • •
67
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
68
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Reformasi Hukum dan Akses pada Peradilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan Sesi ini diawali dnegan catatan pengalaman perempuan Aceh dalam mengakses peradilan (access to justice) yang disampaiakn oleh Azriana RM (RPUK, Aceh) dan catatan pengalaman perempuan Papua dalam konteks reformasi hukum nasional oleh Golda Aronggear (foker Papua). Laporan berikutnya adalah mengenai akses pada peradilan bagi perempuan melalui pengadilan ad Hoc HAM mengenai reformasi hukum nasional disampaikan oleh sri Wiyanti (Komnas Perempuan) dan mengenai reformasi hukum nasional oleh Nursyahbani Katjasungkana. Laporan mengenai akses hukum dan peradilan bagi perempuan korban kekerasan ini dilengkapi informasi dari Irawati Harsono (Derap Warapsari, Jakarta), Sulistyowati (Convention Watch, Jakarta), Adriana Kila (Samarinda), Valentina Sagala (Institut Perempuan, Bandung), dari Triningtyas (Rifka Annisa, Yogyakarta), LBH APIK Jakarta, Evi Permatasari (Mitra Perempuan, Jakarta), dan sondang Frishka (SNB, Jakarta). Sesi ini dimoderatori oleh Rachmawati (Komnas Perempuan).
69
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
70
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
K
Akses Perempuan Aceh Pada Peradilan
onflik bersenjata yang berkepanjangan di Nanggore Aceh Darussalam (NAD) telah membawa perempuan ke dalam situasi yang sangat rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, baik fisik, psikis bahkan seksual. Perkembangan situasi di Aceh setelah status sebagai daerah operasi militer (DOM) dicabut ternyata tidak membawa perbaikan bagi upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan akibat konflik bersenjata di wilayah tersebut.
Potret Kelam Pengalaman KTP di Aceh Perempuan-perempuan yang menjadi isteri, ibu atau saudara dari salah satu pihak yang berkonflik, kerap dijadikan sasaran antara seperti dijadikan sandera dan pelampiassan kemarahan. Mereka juga rentan dijadikan tameng baik oleh kelompok komunitsnya sendiri maupun kelompok lawan. Perempuan-perempuan lainnya yang tidak tahu menahu dan terlibat konflik, karena dia perempuan dan tinggal di Aceh, atau terlahir bersuku Aceh akhirnya juga mengalami kekerasan dan menjadi korban. Selain mengalami kekerasan secara langsung, perempuan juga harus menaggung beban sebagai orang tua tunggal, bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan keluarga, komunitas, ketika suamisuami mereka sudah terbunuh, para lelaki hilang atau harus meninggalkan desa karena kondisi keamanan. Kondisi ini diperparah pada saat para suami menjadikan konflik sebagai alasan untuk tidak 71
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
mencari nafkah dan melakukan kekerasan terhadap istri dan anak sebagai pelampiasan dari rasa frustasinya. Di lokasi pengungsian akses perempuan terhadap bantuan biasanya ditentukan oelh para laki-laki yang merupakan Panitia Pengungsian ditiap-tiap camp. Sulit sekali bagi perempuan untuk mengakses kebutuhan spesifik mereka, seperti pembalut dan perlengkapan persalinan. Tidak sedikit perempuan yang harus menjalani persalinan dan saat-saat menstruasi dengan fasilitas yang tidak memadai; para ibu hamil dan ibu menyusui mengalami kekurangan gizi. Mengharapkan atau menuntut mendapatkan akses kebutuhan spesifik perempuan bahkan dianggap dan dicerca sebagai perempuan yang tidak tahu diri dan mementingkan diri sendiri. Cercaan serupa diberikan pada organisasi perempuan yang memberi bantuan spesifik bagi perempuan tersebut. Kekerasan seksual merupakan strategi perang, misalnya dengan perkosaan dan penyiksaan seksual terhadap perempuan yang berasal dari komunitas atau keluarga pihak lawan. Contohnya, kasus 5 perempuan isteri anggota GAM di Bireum Bayeun Aceh Timur yang mengalami penyiksaan seksual oleh aparat TNI; kasus cerai paksa yang dilakukan oleh kedua pihak yang berkonflik; penelanjangan dan pelecehan dengan perkataan “lonte” terhadap para perempuan yang dianggap atau dituduh punya hubungan dengan pihak lawan atau sekedar untuk mencari informasi keberadaan pihak lawan. Data tahun 2003 yang diperoleh dari berbagai lembaga dan media, terdapat 135 perempuan yang mengalami kekerasan yang berhu bungan langsung dengan pihak yang berkonflik. Kekerasan yang dialami perempuan terjadi dalam situasi dan tempat yang beragam, yaitu 33 orang mengalami kekerasan pada saat menjalani proses hukum 72
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
karena tuduhan makar, 22 orang mengalami kkeerasaan pada saat dibawa atau ditahan di pos militer/Polisi/markas GA, 77 orang mengalami kekerasan pada saat operasi penangkapan/penyisiran, 1 orang mengalami kekerasan ketika melintasi Pos Militer dan 2 orang mendapatkan kekerasan oleh GAM pada saat berada di kendaraan umum. Bentuk kekerasan yang dialami 135 perempuan tersebut di atas, adalah 17 orang mengalami pelecehan seksual, 23 orang diperkosa dan 4 orang mengalamipenganiayaan seksual. 7 orang meninggal karena ditembak dan dibunuh, 11 orang ditangkap/diculik dan dihilangkan, 22 orang mengalami intimidasi, penggeledahan paksa dan perampasan harta bendanya, 50 orang mengalami penganiayaan fisik dan 5 orang diantaranya diintimidasi, digeledah secara paksa dan dibakar rumahnya. Umumnya seorang korban tidak hanya mendapat satu bentuk/jenis kekerasan. Alasan pembenaran yang dipakai adalah korban dianggap atau dituduh sebagai anggota inong balee, simpatisan GAM, melindungi atau memberi makanan pada GAM, dekat dengan pihak TNI/Polri, sebagai cuak (mata-mata) TNI/Polri. Tetapi dari 135 kasus tersebut, 46 orang bahkan yidak ada alasan pembenaran, kenapa mereka mendapat kekerasan.
Rantai Impunitas Bagi Pelaku KTP di Aceh Lumpuhnya institusi hukum di beberapa kabupaten di Aceh pra Darurat militer (Mei 1999-April 2003) akibat pembakaran gedunng pengadilan dan teror terhadap para Hakim dan Jaksa. Pelaksanaan hukum di beberapa tempat diambil alih oleh GAM. Karena sebagian besar perempuan tidak mempunyai akses ke GAM, mereka kehilangan akses terhadap penyelesaian kasus kekerasan yang dialaminya. 73
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Meningkatnya proses hukum yang tergesa-gesa dalam kasus makar ketika institusi hukum mulai kembali berjalan selama masa Darurat Militer. Ruang untuk menyelesaikan kasus secara hukum menjadi terbuka, namun karena situasi yang represif, kontrol publik terhadap jalannya proses peradilan menjadi terbatas. Banyaknya kasus yang harus disidangkan dalam jangka waktu yang sangat terbatas dan dengan jumlah penegak hukum yang terbatas pula mengakibatkan proses penanganan kasus menjadi terburu-buru dan cenderung tidak memperhatikan hak-hak tersangka. Terbatasnya pemahaman Hakim dan Jaksa terhadap konteks budaya lokal, prasangka bahwa terdakwa adalah musuh negara tanpa memepertimbangkan kondisi kerentanan perempuan digunakan sebagai tameng dan alat perang, menyebabkan cara penanganan kasus dan vonis yang dijatuhkan mengingkari hak-hak terdakwa yang telah tertuang dalam sistem hukum yang ada. Pelanggaran terhadap prosedur hukum yang berlaku pun terjadi, seperti penangkapan dan penanhanan sewenang-wenang, tidak ada surat penangkapan dan penahanan, ketika ditahan mengalami penyiksaan dan kekerasan seksual serta tekanan psikologis. Dalam proses peradilan sebagian besar tersangka tidak didampingi penasehat hukum, meskipun ancaman hukumannya lebih dari 5 tahun penjara. Saksi-saksi yang diajukan hanyalah saksi penangkapan dan kebanyakan saksi tidak pernah dihadirkan ke depan persidangan sehingga keterangannya hanya dibacakan,saksi-saksi untuk membuktikan materialnya tidak pernah ada. Dari 33 kasus makar yang dituduhkan kepada perempuan, semua terdakwa mengalami penyiksaan fisik yaitu mereka diinterogasi dengancara ditampar, dipukul pakai tangan dan popor senjata, ditendang, diinjak dan diikat bahkan 5 orang diantaranya disetrum, 1 orang digantung. Sementara itu 14 orang mengalami pelecehan seksual 74
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
seperti ditelanjangi, digerayangi, dipaksa melakukan hubungan seksual, dicium paksa dan sikata-katai sebagai lonte, selimut malam dan pemuas nafsu, diancam akan diperkosa. Pengabaian kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Aparat penegak hukum sering menjadikan konflik sebagai alasan untuk tidak melanjutkan proses hukum kasus-kasus kekerasan seksual yang ada. Dari 23 kasus perkosaan, hanya ada satu kasus yang diproses, yaitu yang dialami oleh 4 perempuan yang berumur 19 hingga 22 tahun, diperkosa berulang sebanyak 3 kali oleh pelaku yang sama (Aparat TNI) dengan modus operandi yang sama. Pengadilan militer memutuskan hukuman 2 tahun 6 bulan sampai 3 tahun penjara dan pemecatan dari kesatuan kepada ketiga pelaku. Sikap perempuan korban dan keluarganya yang pasif dan pesimis akibat proses pengabaian kasus oleh aparat hukum. apalagi tak jarang pula pelaku menggunakan pihak yang berkonflik untuk meneror korban. Akibatnya, kekerasan dianggap sebagai sebuah takdir dan konsekuensi yang harus dijalankan oleh perempuan.
Inisiatif Penanganan
• Pendampingan langsung bagi korban dalam proses hukum. • Penguatan psikologis melalui konseling. • Pemberdayaan dengan kegiatan-kegiatan pemulihan ekonomi dan, •
pendidikan alternatif bagi anak-anak yang terpaksa putus sekolah. Penggalangan dukungan komunitas melalui dialog dan pelatihan paralegal untuk kelompok perempuan, informasi pendidikan hukum melalui radio, diskusi dan kajian dalam kelompok perempuan tentang trauma healing dan merajut kembali solodaritas 75
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
•
yang terkoyak-koyak karena konflik yang berkepanjangan,melalui kegiatan kelompok yang tidak spesifik mengenai hukum. Konsolidasi organisasi-organisasi perempuan untuk saling menguatkan dan berbagi sumberdaya, mengembangkan bersama konsep penanganan korban dan pendokumentasiaan kekerasan terhadap perempuan serta menggalang kampanye di tingkat nasional dan internasional yang mengacu pada penghormatan terhadap hak-hak korban.
Rekomendasi Perbaikan Akses Pada Peradilan Bagi Perempuan Aceh
• Pemenuhan tanggung jawab negara atas rasa keasilan dengan • • • • • • •
76
penegakan sistem peradilan. Perlibatan masyarakat dalam proses pemulihan perempuan korban kekerasan. Perlindungan bagi para aktivis HAM dari intimidasi dan teror pihak-pihak bertikai. Penarikan pasukan-pasukan non-organik militer. Penghapusan kontrol militer atas peliputan mengenai konflik di Aceh oleh media massa. Perundingan kembali antara pemerintah RI dan GAM. Peninjauan ulang atas pemberlakuan syariat Islam. Adanya kesempatan bagi pelapor khusus PBB untuk datang dan meninjau ke lokasi konflik Aceh.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Akses Perempuan Papua pada Peradilan Selama diberlakukannya satus Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, stigma “antek GPK/Gerakan pengacau keamanan” menyebabkan perempuan rentan kekerasan. Sementara belum ada kasus KTP yang dilakukan oleh aparat negara yang disidangkan. Pemberlakuan peraturan pemerintah mengenai otonomi khusus Papua membuka sebuah larangan bagi perbaikan kondisi perempuan Papua.
Hambatan dalam Penanganan Kasus KTP di Papua Substansi hukum. Hukum pidana Indonesia adalah peninggalan Belanda dan sudah tidak dapat lagi menampung perkembangan di dalam masayarakat Indonesia pada umumnya. Struktur/instansi penegakan hukum. reformasi ditingkat kepolisian menghadapi banyak kendala. Masalah kekerasan terhadap perempuan hanya merupakan salah satu fungsi dari unit pelayanan khusus setiap kantor kepolisian. Karena tidka dicantumkan kedlam struktur, fungsi ini tidak emmiliki biaya operasional dan definisi yang lebih spesifik tentang tanggung jawab serta perannya dalam penanganan kasus. Kasus-kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh aparat militer dirujuk ke institusi militer, dan karenanya sangat tergantung pada penyelesaian oleh atasan pelaku langsung. Banyak kasus yang sampai saat ini tidak selesai. Bahkan perempuan yang melaporkan kasus tersebut sering mengalami intimidasi dari aparat keamanan.
77
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Budaya hukum. tingkat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Papua pun cukup tinggi degan pola-pola serupadengan daerah lainnya. Karena instrumen hukum yang tidak memadai, aparat kepolisian tidak melakukan proses penyelidikan. Apalgi karena kasus KDRT juga dianggap lebih sebagai masalah persoanal.
Peluang Penanganan KTP dalam Otonomi Khusus Papua Pasal 47 UU. No. 1 tentang Otonomi Khusus bagi Papua menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban untuk membela dan memberdayakan perempuan supaya sejajar dengan laki-laki. Karenanya, Pemerintah Daerah pun didorong untuk mendukung berdirinya institusi hukum yang dapat beroperasi sesuai dengan kepatutan dan rasa keadilan di Papua, yaitu juga mampu memberikan perlindungan hukum bagi perempuan Papua. Menaggapi UU Otonomi Khusus, masyarakat papua menuntut pendirian sebuah badan yang disebut sebagai Majelis Rakyat Papua (MRP).badan ini mengadaptassi model pemerintahan di Amerika, yaitu kongres dan senat. Badan ini akan memberikan masukan kepada Presiden mengenai hal-hal di Papua, termasuk dalam penetapan Kapolda dan Pangdam. Dalam pembahasannya, ditentukan bahwa MRP akan berisi 42 orang dengan komposisi 14 tokoh agama, 14 tokoh adat, 14 wakil kelompok perempuan. Dengan adanya 14 wakil, perempuan mempunyai akess skontrol dan pengaruh dalam pembuatan kebijakan penegakan hukum yang berkaitan dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
78
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Adnya kesempatan bagi advokasi hak perempuan sangat menye mangati kelompok perempuan. Karena itu, besar harapan dari para aktivis hak perempuan di Papua agar MRP segera dibentuk. Hanya saja terjadi pertentangan antara pihak departemen dalam negeri dan pemerintah daerah sehingga sampaisaat ini MRP belum lagi terbentuk. Sementara itu, isu MRP sebagai alat untuk Papua Merdeka pun mulai dikembangkan di masyarakat.
Rekomendasi Pelapor khusus PBB mendesak pemerintah Indonesia untuk memenuhi komitmennya dalam memperbaiki kondisi pemenuhan hak asasi manusia Indonesia melalui : Pembaharuan panda institusi-institusi penegak hukum, terutama dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan Menandatangani pembentukan Majlis Rakyat Papua (MRP) sehingga badan ini segera dapat mengesahkan peraturan pemerintah daerah khusus mengenai perlndungan hak asasi manusia perempuan di Papua.
• •
79
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Akses Perempuan pada Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia Pengadilan Ad Haoc Hak Asasi Manusia adalah sebuah sistem peradilan yang relatif baru di Indonesia. Peradilan ini melengkapi sistem peradilan yang diberlakukan sejak tahun 1981. Dalam derajat tertentu, kehadiran pengadilan Ad Hoc HAM merupakan keberhasilan tuntutan baik dari masyarakat sipil maupun komunitas internasional atas tanggung jawab negara Indonesia terhadap penegakan hak asasi manusia, termasuk di dalamnya bagi perempuan korban kekerasan negara.
Pengadilan Ad Hoc HAM dan lingkar impunitas Marjinalisasi hak-hak korban. Pengadilan Ad Hoc HAM didirikan untuk mengakomodir kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat militer/kepolisian dan pejabat negara lainnya. Dalam prakteknya pengadilan Ad Hoc HAM lebih banyak memberikan tekanan panda hak terdakwa/tersangaka dari pada hak korban. Masalah ini bersumber panda Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi rujukan operasional pengadilan Ad Hoc HAM yaitu: Dalam KUHAP, hanya ada satu pasal yang mengatur hak korban dalam kaitannya sebagai saksi pada kasus yang diproses. Untuk perlindungan terhadap hak terdakwa/tersangka untuk mendapat proses pengadilan yang adil diatur dalam 23 buah pasal. KUHAP tidak memberi peluang untuk keterlibatan masyarakat memberikan pendampingan pada korban saat proses pengadilan berlangsung. Bahkan untuk perempuan korban kekerasan seksual sekalipun. Akibatnya, korban seringkali menghadapi tekanan luar biasa. Di Medan misalnya, korban bahkan menjadi histeris akibat tekanan yang ia peroleh.
• •
80
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
• Tidak adanya sistem perlindungan bagi saksi/korban, padahal
dalam kasus pelanggaran HAM dengan aparat negara sebagai tersangka pelaku, perlindungan terhadap saksi/korban menjadi titik krusial.
Sistem hukum pidana yang belum sensitif pada kasus-kasus KTP. Proses pembuktian yang dituntut epada korban justru berdampak pada kriminalisasi korban. Contohnya di Medan dan Pontianak, dalam proses pembuktian korban kekerasan seksual yang melaporkan kemudian malah dituntut oleh tersangaka karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik. Akhirnya korban justru mendekam di penjara. Lemahnya perlindungan hukum bagi perempuan. Ini juga disebakan oleh maraknya korupsi di dalam sistem peradilan di Indonesia. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga misalnya, seringkali tidak diproses karena pihak suami melakukan kolusi dengan aparat penegak keadilan.
Hambatan Pengadilan Ad-Hoc HAM Memberikan Keadilan bagi Perempuan Korban Kekerasan Negara
• Meskipun
•
UU pengadilan HAM mengadopsi standar-standar pendirian International Criminal Court (ICC), banyak sekali mekanisme ICC yang tidak dipenuhi oleh negara, antara lain sistem pembuktian yang menjamin keselamatan dan keamanan korban/ saksi. Dalam pengadilan ad-Hoc HAM untuk kasus Timor Timur, kasus kekerasan seksual tidak turut diproses. Padahal laporan Komisi Nasional HAM menunjukkan keberadaan kasus-kasus kekerasan seksual tersebut. Kasus-kasus yang diadili pun hanya terbatas pada 81
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
• •
82
kejadian-kejadian pasca jejak pendapat. Akibatnya banyak perempuan Timor Timur yang mengalami kekerasan berbasis gender panda masa sebelumnya, sama sekali tidak memiliki akses panda keadilan. Dalam pengadilan ad Hoc HAM untuk kasus Tanjung Priok dan Makasar yang saat berjalan, belum ada kepastian tentang bagaimana kasus kekerasan seksual dan psikis yang berbasis gender akan di proses dalam pengadilan tersebut. Pengadilan ad Hoc HAM Indonesia menggunakan definisi perkosaan sempit yang bersumber panda KUHP. Perkosaan hanya didefinisikan sebagai penetrasi organ seksual dan harus terdapat bukti semen/sperma tertinggal. Definisi ini menyulitkan advokasi kekerasan seksual terhadap perempuan. Kasus perkosaan massal yang dialami perempuan etnis Cina pada saat kerusuhan Mei 1998 misalnya, menunjukkan bahwa alat-alat perkosaan yang digunakan tidak hanya organ seksual. Selain itu, dalam proses pengadilan perkosaan seringkali ditanyakan perihal ‘persetujuan’ dari pihak korban. Pertanyaan tersebut tidak relevan, apalagi dalam situasi konflik dimana “persetujuan” berhubungan seksual seringkali dilakukan karena korban berada di bawah ancaman.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Reformasi Hukum Nasional dan Kekerasan terhadap Perempuan Sebagai produk zaman kolonial, sistem hukumnasional bersifat diskriminatif dan secara khusus merugikan perempuan. Karenanya, mengkoreksi hukum nasional, selain melengkapi hukum yang ada merupakan agenda reformasi hukum nasional penting dalamupaya membangun ulang bangsa Indonesia.
Diskriminasi dalam Hukum Nasional Diskriminasi berdasarkan gender. Dalam sistem hukum ini, perempuan tidak dianggap sebagai subyek hukum. perempuan membutuhkan persetujuan dari ayah atau suami untuk melakukan tindakan-tindakan hukum, misalnya dalam menjawab panggilan pengadilan, hak kontrol atas harta benda, dan hak reproduksi termasuk kebolehan bagi suami untuk menolak anak yang dilahirkan dan hak atas kewarganegaraan anak dalam perkawinan antar bangsa. Diskriminasi berdasarkan ras yang mengakibatkan terjadinya konflik hukum. Dalam sistem hukum nasional terdapat penggolongan subyek hukum berdasarkan ras- untuk golongan Eropa berlaku hukum Belanda; bagi Timur Asing (Tionghoa dan Arab) berlaku sebagian hukum Eropa dan hukum adat, dan golongan pribumi diperbolehkan menggunakan hukum Islam bagi komunitas Islam dan hukum adat bagi Non Islam. Dalam prakteknya penggolongan ini sangat merugikan perempuan. Sebagai contoh adalah pengaturan hak perempuan atas nafkah sesudah perceraian. Di pengadilan negeri yang terutama mengatur kalangan non Muslim, isteri memperoleh hak atas nafkah sampai dia kawin lagi. sementara itu, dalam hukum syariah yang mengatur warga muslim, istri hanya berhak aatas nafkah selama 3 bulan 10 hari saja. ini tentu sangat merugikan kaum perempuan Muslim. 83
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Diskriminasi berdasarkan agama. Pemeluk agama atau kepercayaan di luar lima agama yang resmi diakui negara tidak memiliki akses hukum. Perempuan dalam kelompok ini misalnya, tidak memperoleh perlindungan yang diberikan oleh UU tahun 1974 tentang perkawinan karena perkawinannya tidak dapat dicatatkan/dianggap tidak resmi. Diskriminasi berdasarkan status hukum. Perempuan tahanan dan narapidana berada dalam posisi rentan pelecehan seksual. Catatan mengenai kekerasan ini masih sangat lemah dan belum dapat diproses ke pengadilan. Diskriminasi berdasarkan preferensi seksual. Perempuan dengan preferensi seksual sejenis – begitu juga dengan gay dan transeksual- tidak memperoleh pengakuan di depan hukum. Mereka sering mengalami kekerasan di komunitas, baik kekerasan fisik, dan non fisik seperti dimasukkan ke rumah sakit jiwa, ditolak untuk bergaul di komunitas lain, bahkan ditolak keikutsertaannnya dalam kegiatan keagamaan (pengajian, misalnya).
Praktek Diskriminasi dan Bias Gender dalam Hukum Nasional Poligami. Perbaikan UU Perkawinan tahun1974 memberikan status hukum yang sama antara suami dan isteri dalam hal pengajuan perceraian dan kontrol atas harta benda. Namun dalam pasal 345 tentang poligami, suami (dan tidak demikian halnya bagi istri) dinyatakan memiliki hak untuk beristri lebih dari satu dengan izin pengadilan bila: Istri tidak bisa melahirkan anak. Istri dianggap tidak mampu menjalankan kewajibannya. Istri menderita sakit terus menerus.
• • •
Pengaturan peran gender. UU Perkawinan tahun 1974 pasal 31 dan 34 menyatakan laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan 84
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
sebagai istri dan ibu rumah tangga. Pengaturan peran ini kemudian banyak dijadikan sebagai dasar pembuatan peraturan-peraturan lainnya seperti surat edaran menteri tenaga kerja no. 7/1990. Dalam surat edaran ini dinyatakan bahwa upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan keluarga, yaitu untuk istri dan anak. Sebagai prakteknya perempuan tidak memperoleh tunjangan keluarga tersebut. Pengabaian kekerasan berbasis gender. Dalam hukum pidana, kekerasan berbasis gender ditempatkan sebagai bagian dari kejahatan kesusilaan, bersamaan dengan judi, penganiayaan hewan, pornografi, mengemis, mabuk dsb. Selain itu, belum ada produk hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga (Catatan editor: UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga baru saja disahkan panda bulan September 2004) Diskriminasi terhadap perempuan berdasarkan status perkawinan. Pasal 285 tentang perkosaan, hanya perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan dengan pelaku yang dilindungi oleh produk hukum ini.
Ideologi Gender dan Reformasi Hukum Nasional Ideologi negara tentang gender adalah hambatan utama melakukan perubahan dalam konstitusi dan hukum nasional berdasarkan standarstandar perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Ideologi negara tentang gender, yang dikenal sebagai ideologi state ibuism dikembangkan oleh Rejim Orde Baru sejak 32 tahun yang lalu. Ideologi ini telah mengurat akar, yang perkembangannya ditandai oleh: Pemantapan peran domestik perempuan pada tahun 1974 lewat berbagai kebijakan pemerintah, antara lain UU Perkawinan, sentralisasi organisai perempuan “Dharma Wanita’ dan programprogram kependudukan oleh BKKBN. Pengenalan peran ganda perempuan pada tahun 1978, dimotori
• •
85
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
•
oleh kebutuhan negara akan buruh murah. Dalam peran ganda ini perempuan diharapkan berperilaku sesuai selaras dan serasi dalam perannya sebagai istri dan ibu, sekaligus aktor pem bangunan. Promosi peran ganda perempuan pada tahun 1979 dengan pembentukan kementrian peranan wanita.
CEDAW dan Reformasi Hukum Nasional Tahun 1980 pemerintah menandatangani CEDAW yang diratifikasi panda tahun 1984. Namun CEDAW belum bisa diimplementasikan karena: Persepsi masayrakat yang masih memarginalkan perempuan akibat sosialisasi state-ibuism, budaya patriarki yang ada alam masyarakat dan budaya politik yang sangat feodal. Pengetahuan aparat negara tentang CEDAW sangat rendah. Undang-undang yang meratifikasi CEDAW menyatakan bahwa pelaksanaan CEDAW harus disesuaikan dengan hukum agama dan hukum adat yang ada di Indonesia. Hal ini tentunya bertentangan dengan CEDAW, pasal 5 yang menyatakan bahwa negara justru seharusnya mendorong penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kepercayaan yang ada di masyarakat yang menyebabkan perempuan mengalami diskriminasi dan kekerasan berbasis gender.
• • •
Perbaikan Substansi Hukum yang sudah di lakukan Amandemen konstitusi negara untuk memuat bab sendiri tentang hak asasi manusia meskipun tidak secara spesifik menyebutkan hak-hak perempuan. Misalnya rumusan mengenai prinsip setara di depan hukum (equality before the law) dan mengenai hak terbebas dari diskriminasi yang tidak secara spesifik merumuskan prinsip kesetaraan gender. 86
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Kebijakan affirmative action, bahwa semua orag berhak memperoleh perlakuan khusus untuk mencapai kesetaraan dan keadilan. ini menjadi dasar bagi Undang-undang PEMILU untuk menempatkan perempuan di badan legislatif dengan quata sebesar 30 persen. Ratifikasi berbagai konvensi penting bagi perempuan, misalnya hak politik perempuan, CEDAW, ILO Convention tentang hak yang sama atas upah yang sama atas pekerjaan yang sama; dan penandatanganan berbagai kesepakatan internasional seperti Perjanjian Nairobi, tentang lingkungan hidup, tentang pembangunan Beijing Paltform Action, dan Optional Protocol tentang KTP. Kesepakatan nasional untuk melakukan reformasi hukum yang dinyatakan dalam Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN) panda tahun 1999, yaitu untuk mengubah sistem kolonial yang sangat diskriminatif dan masih melestarikan ketidakadilan gender. Kesepakatan ini antara lain diwujudkan dalam: Program Pembangunan Nasional (Prospenas), rencana pem bangunan jangka panjang, dan program pembangunan tahunan yang memuat program-program pemberdayaan masyarakat, program reformasi hukum, program anti kekkerasan terhadap perempuan, anti perdagangan perempuan dan prostitusi anak, program ratifikasi optional protocol CEDAW (Keppres No. 40/2004). Gender maisntreaming oleh Bappenas di 11 sektor ekonomi lewat strategi pengarusutamaan gender berdasarkan Instruksi Presiden No. 9/2000. Adanya surat edaran dari Kementrian untuk mengalokasikan budget untuk pemberdayaan perempuan sebesar 5 persen, kesehatan 15 persen, pendidikan 20 persen. (Di tingkat APBN untuk pemberdayaan perempuan hanya 3,85 persen).
•
• •
Amandemen UU Kesehatan menunjukkan adanya sedikit kemajuan, terutama dalam pembolehan aborsi untuk kehamilan yang tidak diinginkan dalam perkawinan dan akibat incest. 87
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Pembahasan rancangan undang-undang di lembaga legislatif, yang antara lain mengenai Anti Kekerasan dalm Rumah Tangga (sudah disahkan, ed), Kesetaraan Gender, Perlindungan bagi Buruh Migran, Hak Reproduksi, Hak-hak Perempuan, Perdagangan Perempuan dan Anak, Anti Pornografi dan Pornoaksi, dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Tantangan dalam Reformasi Hukum Nasional Tidak tegasnya negara dalam upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, antara lain lewat GBHN yang menyatakan bahwa reformasi hukum harus tetap menghormati hukum agama dan adat setempat. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah daerah yang menggunkaan hukum agama dan hukum adat yang justru mendiskriminasikan perempuan. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadi semakin buruk dengan semakin banyaknya anggota parlemen yang berasal dari partai-partai berbasis agama yang akan memberi tekanan dalam badan legislatif baik di tingkat lokal maupun nasional untuk mengadopsi peratutan agama dan adat. Adanya produk hukum baru yang melanggar HAM, misalnya amandemen UU Kependudukan yang mereduksi hak individu. Produk hukm ini kemudian merupakan pelanggaran atas hak reproduksi/seksual remaja yang belum menikah karena ia tidak akan mendapatkan informasi layanan kesehatan reproduksi, dan menjadi rentan terhadap tindak kekerasan seksual, misalnya dalam kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Lambannya proses registrasi pembahasan rancangan hukum yang berkenaan dengan persoalan kekerasan terhadap perempuan di tingkat legislatif.
88
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Disabiling quality loss. Banyak produk hukum yang tidak diimple mentasikan karena baik tidak adanya dukungan di tingkat struktur maupun keterbatasan dana. Di satu sisi terdapat masalah keorgani sasian Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan ketidakberhasilan Rancangan Aksi Nasional HAM 1998-2003 untuk diimplementasi sebelum masa berlakunya habis, dan di sisi lain terjadi pemborosan anggaran akibat ketidakpahaman pejabat atas program yang ada. Terbatasnya sosialisasi produk hukum hasil reformasi. Contoh, belum tersosialisasikannya terobosan UU catatan sipil soal Akte Kelahiran Anak. Anak dari perkawinan yang tidak tercatat dapat memperoleh akte kelahiran tanpa perlu menyebutkan nama ayah, dan status perkawinan. Surat keputusan Mendagri ini telah berlaku selama 5 tahun tapi banyak pejabat di daerah yang tidak mengetahuinya. Demikian pula dengan UU Perlindungan Anak, meskipun UU masih memiliki kelemahan dalam halpembuktian fisik kekerasan seksual yang justru merugikan proses litigasi kasus kekerasan seksual anak. Tidak tersedianya hukum, misalnya mengenai anti pelecehan seksual di tempat kerja dan mengenai pembantu rumah tangga. Pembantu rumah tangga yang mengalami tindak kekerasan seringkali diarahkan panda penyelesaian ‘kekeluargaan’ yaitu dengan menerima uang ganti rugi tanpa proses peradilan. Terbatasnya keterlibatan perempuan dalam reformasi hukum nasional akibat: Minimnya pengetahuan perempuan terhadap politik dan hukum. Minimnya akses perempuan terhadap hukum dan peradilan, khususnya perempuan miskin dan di pedesaan. Minimnya partisipasi perempuan dalam pembentukan dan reformasi hukum. Lemahnya kontrol perempuan dalam penegakan hukum.
• • • •
89
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Inisiatif dan Tantangan A. Pusat krisis dan Rumah Aman bagi perempuan korban kekerasan. Pusat krisis dan rumah aman telah berdiri di berbagai kota di Indonesia. Beberapa diantaranya menyediakan layanan bebas biaya, termasuk di dalamnya layanan pendampingandi pengadilan, bantuan kesehatan dan rumah aman. Tantangan yang dihadapi Ketiadaan perlindungan hukum terhadap korban dan pekerja sosial. Pekerja sosial harus membangun sendiri mekanisme untuk membangun rumah aman dan perlindungan. Pengembangan sistem pelayanan terpadu bagi korban bekerja sama dengan pihak rumah sakit. Dalam prakteknya, pengembangan sistem ini tidak bisa didesakkan bagi rumah sakit swasta untuk memberikan layanan terpadu gratis bagi masyarakat. Dana yang terbatas. Pemerintah seharusnya bertanggung jawab panda upaya pemulihan fisik dan psikologikal dan kompensasi untuk perempuan korban kekerasan. Namun bahkan dengan kenaikan anggaran kesehatan menjadi 8% dalam APBN, tidak ada jaminan bagi tersedianya layanan kesehatan yang lebih baik, termasuk pengadaan pemeriksaan secara gratis bagi perempuan korban kekerasan.
• • •
B. Gender Focal Point (GFP) di Kejaksaan agung yang juga mendorong mengadakan mata kuliah gender dan hukum bagi para jaksa. Dalam prakteknya, masih banyak jaksa yang sangat bias gender. Selain itu, model pendidikan ini masih sangat tersentralistis di Jakarta dan Jogjakarta.
90
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Inisiatif dan Tantangan C. Ruang Pelayanan Khusus (RPK) bagi perempuan korban kekerasan. Saat ini telah ada sekitar 220 RPK tersebar diberbagai kantor kepolisian di seluruh Indonesia. RPK adalah hasil kerja bersama dari berbagai institusi seperti Komnas Perempuan, Anggota Senior Polisi Wanita yang tergabung dalam DERAP-Warapsari dan Kepolisian Republik Indonesia yang memahami pentingnya sebuah layanan khusus yang sensitif gender bagi perempuan korban kekerasan. Dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama pada kasus-kasus perdagangan perempuan, RPK menjadi bagian yang sangat penting dalam upaya pemenuhan hak perempuan atas perlindungan hukum.
Dari hasil evaluasi hanya 20% dari keseluruhan yang mampu memberikan pelayanan yang optimal. Hal ini sangat terkait dengan posisi RPK yang masih tidak berada di dalam struktur kepolisian. Karenanya operasi RPK tergantung panda perhatian dari atasan, bukan hanya mengenai ketersediaan dana operasional tetapi juga tingkat keterlibatan para polisi wanita awak RPK. Masalah keorganisasian yang dihadapi RPK merupakan bukti masih rendahnya apresiasi pemerintah Indonesia terhadap pekerjaan RPK dan upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
D. Lembaga Pengawasan Implementasi Konvensi-Konvensi Internasional (Convention Watch) yang didirikan oleh Universitas Indonesia. Lembaga ini memiliki empat fokus aktivitas, yaitu; Mensosialisasikan konvensi-konvensi internasional tentang HAM dan gender kepada kelompok-kelompok strategis antara lain melalui pelatihan bagi jaksa dan hakim sejak tahun 1999. Mengadakan lokakarya gender dan hukum bagi aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pengacara sejak tahun 2001. Memfasilitasi lokakarya serupa di tingkat daerah, misalnya di Nusa Tenggara Barat dengan mendukung fasilitas hukum Universitas Mataram untuk menyususn peraturan daerah tentang perlindungan bagi buruh migran. Memastikan sensitivitas gender dalam kurikulum pendidikan antara lain dengan memotivasi para dosen hukum mengajarakan gender dan hukum dengan mengintegrasikan pemahaman tentang konvensi-konvensi perlindungan bagi perempuan dalam pembahasan hukum pidana.
• • • •
91
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
92
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Tanggapan
TANGGAPAN
93
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
94
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Tanggapan dari Pelapor Khusus PBB tentang KTP Sesi ini disampaikan oleh Dr. Yakin Ertruk, Pelapor Khusus PBB tentang KTP menanggapi peta permasalahan, inisistif dan tantangan yang dihadapi dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia selama 6 tahun terakhir, sebagaimana dipresentasikan oleh aktivis perempuan.
95
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
96
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Pembelajaran, Berbagi Pengalaman dan Pertanyaan Lanjutan.
P
emaparan yang disampaikan memberikan gambaran yang komprehensif mengenai kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terkait deegan konteks sosial budaya, ekonomi politik, kedudukan geografis dan geopolitik Indonesia dalam percaturan dunia. Kesempatan untuk menyimak pemaparan hari ini adalah pengalaman pembelajaran yang dahsyat. Datang dari Turki yang juga menyatakan diri sebagai negara sekuler dengan penduduk mayoritas beragama Islam, kesempatan untuk mendengarkan perempuan-perempuan yang teguh dalam keyakinan agamanya memberikan masukan-masukan dan pemikiran yang kritis terhadap keyakinan tersebut adalah terlebihlebih sebuah proses yang membesarkan hati. Dari isu-isu yang dipaparkan, terdapat setidaknya enam isu inti permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini, yaitu: Pluralisme Sistem Hukum Ini adalah isu yang mendasar, sekaligus dialami oleh banyak perempuan di negara lainnya. Sistem hukum yang beragam berdampak pada kemampuan pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan tanggungjawabnya dalam penegakan hukum yang melindungi perempuan sesuai standar internasional.
•
97
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Misalnya, bagaimana CEDAW dapat diterapkan dengan keberadaan hukum adat, hukum lokal dan hukum nasional, sementara hukum-hukum di tingkat lokal tersebut mengatur relasi-relasi personal seperti keluarga dan warisan yang seringkali memojokkan perempuan. Ini adalah masalah yang serius bagi pemenuhan hak asasi manusia perempuan.
Selain itu, pemberlakuan hukum yang pluralistik menyebabkan perempuan terkotak-terkotak, memecah belah solidaritas sesama perempuan, dan dalam panjang berpengaruh pada pecahnya konflik antar komunitas. Artinya, permasalahan pluralisme hukum ini tidak boleh dilihat hanya sebatas masalah legal belaka. Belum lagi diskriminasi di dalam hukum tersebut, dengan adanya kelompok-kelompok yang dipinggirkan karena hanya 5 agama yang diakui oleh negara.
• Pengategorian Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana
98
Perempuan dipilah-pilah menjadi perempuan “baik-baik” dan perempuan “nakal”. Hukum pidana adalah salah satu cermin bagaimana perempuan dipersepsikan oleh masyarakat. Akibat dari pemilihan ini, perempuan yang dikategorigan sebagai perempuan nakal menjadi sangat rentan kekerasan karena sama sekali tidak dilindungi hukum, sementara perempuan ‘baik-baik’ dipaksa untuk tunduk pada hukum dan kebiasaan masyarakat yang diskriminatif.
Contohnya saja salah satu pasal hukum pidana di Turki yang memberikan hak bagi pemerkosa untuk dikurangi putusan hukumannya bila korban perkosan tersebut adalah pekerja seks.
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Dalam prakteknya, pasal ini digunakan betul oleh para pemerkosa dengan mendatangkan dua orag saksi untuk menyatakan bahwa korban adalah pekerja seks. Adalah tidak penting kemudian apakah perempuan tersebut sungguh-sungguh pekerja seks atau bukan. Perempuan-perempuan yang menghadapi tuduhan ini tidak bisamelawan, dan perempuan ‘baik-baik’ menjadi semakin bungkam bila mereka mengalami tindak perkosaan karena kuatir akan meghadapi tuduhan tersebut. Pada tahun 1989, ada seorang perempuan yang dengan begitu beraninya menghadapi situasi ini. kelompok perempuan pun termotivasi oleh keberaniannya. Satu per satu perempuan turun dan melakukan aksi di jalan sambil berteriak “saya pelacur!” sebagai protes terhadap hukum tersebut. Karena aksi ini, pasal tersebut kemudian dicabut oleh pemerintah.
Karenanya, reformasi hukum pidana yang saat ini sedang diperjuangkan di indoensia adalah sangat penting. Seperti juga yang telah disimpulkan oleh Pelapor Khusus PBB tentang KTP yangterdahulu,reformasihukumpidanahendaknyamenghapuskan segala kecenderungan membeda-bedakan perempuan. Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah bukan isu moral. kekerasan seksual adalah serangan terhadap tubuh perempuan, terhadap integritasnya sebagai manusia.
• Intervensi Negara yang Kontradiktif
Dalam mengatur kehidupan pribadi/relasi personal warga negaranya, negara harus menjamin perlindungan hukum, dan bukan memberikan sanksi kecuali bilawarga negaranya melanggar hukum. Kontradiksi ini misalnya terlihat dalam pembahasan peraturan anti kekerasan dalam rumah tangga yang dianggap 99
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
sebagai mencampuri urusan pribadi sementara di lain pihak, pemerintah justru ingin mencampuri dimensi persoanl lainnya. kontradiksi ini merupakan salahsatu titik masuk yang dapat dikelola dengan hati-hati oleh kelompok perempuan dalam memperjuangkan pemenuhan HAM perempuan dan karenanya harus dipelajari lebih lanjut.
• Globalisasi dan Pembangunan Berorientasi Keuntungan Semata
Negara hampir-hampir tidak memiliki peraturan untuk melindungi warga negaranya dari eksploitasi ekonomi. Masalah kekerasan terhadap perempuan yang muncul antara lain adalah eksploitasi buruh perempuan, seks, dan perdagangan perempuan. Ini adalah isu bersama komunitas dunia saat ini. di Indonesia eksploitasi buruh perempuan tidak hanya terjadi di dalam negeri tetapi juga di luar negeri lewat pengiriman besar-besaran buruh migran perempuan tanpa peraturan perundang-undangan yang memeberikan perlindungan kepada mereka, tidak saat mereka masih berada di dalam negeri, apalagi ketika lintas batas negara.
Akibat alinnya adalah eksploitasi sumber daya alam yang berdam pak pada pengrusakan alam dan penghancuran kehidupan pen duduk di sekitar wilayah tersebut darigenerasi ke generasi. Di Turki misalnya, kelompok perempuan di sebuah desa kecil menjadi motor perlawanan penduduk setempat menentang rencana sebuah perusahaan multinasional untuk beroperasi di daerah tersebut.
• Militerisasi dan Fundamentalisme
100
Militerisasi dan fundamentalisme adalah fenomena pasca Perang Dingin dan kehadiran kedua kelompok ini tidak dapat dipisahkan satu dari alinnya. Kehadiran kedua kelompok fundamentalisme
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
tak lain dan tak bukan adalah respon terhadap kehadiran militerisasi dan seringkali pula mereka digunakan oleh kelompok militer. Kedua kelompok ini menggunakan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan sebagai sarana untuk melegitimasi dan mempertahankan kedudukan mereka. tubuh perempuan menjadi alat kontrol sekaligus wahana medan perang mereka. perempuan menjadi simbol ideologi sekaligus proyek sosial yang mereka klaim atas nama kelompok dan agama. Karenanya, kita perlu mencermati kehadiran kedua kelompok ini sebagai satu paket; kehadiran kelompok militer dan kelompok fundamental adalah saling menguatkan satu sama lainnya.
Sebagai contoh, panda kudeta militer di Turki panda tahun 1980, adalah kelompok militer yang mendirikan dan mempersenjatai kelompok fundamentalis. Hal ini dilakukan untuk menentang kelompok kiri yang berkuasa. Ketika kelompok kiri jatuh, kelompok fundamentalisme menjadi lawan bagi kelompok mliter yang dulu membidani kelahiran kelompok bersenjata itu. Masayrakat sipil, termasuk perempuna, menderita akibat perbuatan kedua kelompok ini.
Kehadiran kedua kelompok ini juga perlu dicermati karenammereka mendorong terciptanya regionalisme dan politik identitas yang reaktif. Akibatnya, kitalah yang menjadi korban. Bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini tahu betul bagaimana kesengsaraan hidup akibat kehadiran kedua kelompok tersebut.
• Gender Budgeting
Bila digunakan dengan efektif, gender budgeting dapat menjadi ujung tombak perubahan kebijakan sensitif gender. 101
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
102
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Catatan Rekomendasi Pelapor Khusus PBB tentang KTP untuk Indonesia 1998 Sesi ini diisi oleh Christina Saunders, asisten Pelapor Khusus PBB tentang KTP yang mengingatkan kembali rekomendasi yang telah disampaikan oleh Radhika Coomaraswamy berdasarkan misi Pelapor Khusus PBB tentang KTP ke Indonesia tahun 1998. Informasi tentang dampak kunjungan Rhadika pernah disampaikan oleh Komnas Perempuan pada Konsultasi Regional pada tahun 2002 di Colombo, Srilanka. Karenanya, laporan Komnas Perempuan tersebut juga dilampirkan sebagai informasi tambahan pada bab ini.
103
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
104
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
T
ujuan dari sesi ini adalah untuk memperoleh masukan agar rekomendasi Pelapor Khusus PBB tentang KTP lebih efektif mendorong upaya advokasi penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun lokal. Sesi ini merupakan wujud dari prinsip saling mendukung dalam mekanisme kerja Pelapor Khusus PBB tentang KTP.
Misi Pencarian Fakta di Indonesia Pada bulan November 1998, Pelapor Khusus PBB tentang KTP berkunjung ke Indonesia dalam misi pencarian fakta untuk dua kejadian besar yaitu: Kekerasan terhadap perempuan etnis cina dalam kerusuhan Mei 1998 Kekerasan terhadap perempuan di daerah operasi militer yaitu di Aceh, Papua dan Timor Timur
• •
Dalam misinya ini, Pelapor Khusus PBB hanya dapat berkunjung ke Jakarta dan Timor Timur. Untunglah kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat mempertemukannya dengan para survivors Aceh dan Papua.
Temuan Kunci dan Rekomendasi Berikut ini adalah temuan-temuan kunci Pelapor Khusus PBB yang telah ia laporkan pada Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada tahun 1999. Perkosaan merupakan alat penyiksaan dan intimidasi oleh anngota militer di Aceh, Papua dan Timor Timur.
•
105
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
• Pada
• • • •
•
• 106
kasus perkosaan massal perempuan etnis Cina dalam kerusuhan 1998, kesaksian dan bukti-bukti yang ada dalam laporan kerusuhan menunjukkan terjadinya perkosaan massal dan terdapat bukti kuat bahwa kerusuhan Mei 1998 dilakukan secara terorganisir. Karenanya, Negara harus mengambil tindakan hukum untuk meyelidik dan menghukum aktor-aktor yang terlibat. Korban kekerasan dan pendamping korban terus menerus menerima ancaman dan karenanya Negara harus mengambil tindakan untuk mencegah dan menyelidiki kejadian tersebut. Sistem peradilan yang ada tidak sensitif jender dan perempuan tidak memiliki akses pada keadilan. Karenanya, negara dianjurkan untuk melakukan pelatihan penyadaran hak asasi manusia dan jender kepada penegak hukum. Perlu adanya reformasi hukum pidana sesuai dengan standarstandar internasional. Adanya berbagai kategori korban berdasarkan situasi tertentu, seperti perempuan yang menjadi kepala keluarga tunggal akibat konflik bersenjata, perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual, dan anak-anak yang lahir akibat perkosaan. Setiap kategori ini memerlukan bantuan dan perhatian khusus untuk proses pemulihannya terkait dengan dampak dan komplikasi dampak kekerasan. Secara umum, terdapat budaya penyangkalan. Pejabat-pejabat negara dan masyarakat cenderung tidak bersedia mengakui terjadi kekerasan terhadap perempuan yang ditemukan termasuk di dalamnya penyangkalan terhadap kasus perkosaan massal. Sikap ini berakibat pada pelanggengan impunitas bagi para pelaku kekerasan. Karenanya negara harus mengambil langkah besar untuk membawa pelaku ke pengadilan. Penegakkan hak perempuan, termasuk di dalamnya penanganan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat negara,
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
adalah sangat terkait dengan upaya membangun masyarakat yang demokratis. Upaya pencarian kebenaran dan rekonsiliasi tidak mungkin dilakukan bila norma-norma demokratis tidak dijunjung tinggi. Terkait dengan hal ini, Pelapor Khusus PBB menganjurkan militer untuk menarik diri dari peran sipil dan politik.
Rekomendasi Spesifik Pelapor Khusus PBB kepada Pemerintah Indonesia
• Mengadopsi • • • • • • • •
standar-standar internasional tentang hak asasi manusia, termasuk di dalamnya meretifikasi ICCPR dan Optional Protocol CEDAW. Mengakui terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia, khususnya di daeah operasi militer seperti Aceh, Papua dan Timor Timur. Melakukan upaya-upaya pemulihan dan dukungan bagi perem puan korban kekerasan dalam operasi militer, korban perkosaan dan penyiksaan, dan anak-anak yang lahir dari perkosaan oleh aparat militer. Melakukan proses rekonsiliasi yang memuat pemberian kom pensasi kepada para korban dan melaksanakan pengadilan bagi para pelaku tindak pellanggaran HAM. Mempercepat reformasi hukum nasional, termasuk melakukan amandemen hukum pidana, membentuk peraturan mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual. Melakukan kampanye nasional untuk mencegah dan menyelidiki ancaman terhadap para aktivis kemanusiaan hak asasi manusia. Membangung program perlindungan saksi/korban. Menghapuskan diskriminasi bagi kelompok etnis Cina. Memberikan akses monitoring penegakkan HAM di wilayah wilayah DOM. 107
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Tanggapan Pemerintah dan Masyarakat Indonesia Pemerintah Indonesia menolak laporan Pelapor Khusus PBB tersebut sekaligus mengemukakan keluhan terhadap profesionalisme Pelapor Khusus PBB dalam melaksanakan mandatnya. Pelapor Khusus PBB tentang KTP memberikan jawaban atas tanggapan pertama pemerintah Indonesia ini dan disampaikan kepada Komisi Tinggi HAM. Komnas perempuan menerjemahkan dan menyebarluaskan laporan tersebut, meskipun masih dalam jumlah dan rentang persebaran yang terbatas. Kelomppok pejuang kemanusiaan, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga hak perempuan menyambut baik laporan ini dan menggunakannya sebagai alat advokasi kebijakan. Pemerintah bersikap lebih responsif dalam menanggapi masalah KTP, berkat advokasi dan kebijakan yang terus dilakukan oleh kelompok pejuang kemanusiaan. Hal ini tercermin dalam berbagai Rancangan Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan.
Hambatan dalam Mengedepankan Rekomendasi Pelapor Khusus PBB Masih rendahnya pemahaman dan pengetahuan aparat negara dan pembuat kebijakan terhadap kehadiran laporan tersebut khususnya, dan tentang kerangka hak asasi manusia dan jender pada umumnya.
108
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Masih rendahnya ketrampilan kelompok-kelompok pejuang HAM dalam menggunakan laporan sebagai alat advokasi, termasuk menggunakan instrumen dan mekanisme internasional hak asasi manusia lainnya. Masih adanya kecuriagaan bahwa instrumen dan mekanisme internasional untuk penegakkan HAM sebagai proyek “Dunia Barat”, bahkan di kalangan akademisi dan kelompok-kelompok masyarakat sipil. Masih lemahnya kemauan politik dari aparat negara untuk mengakui terjadinya pelanggaran HAM oleh pejabat negara, dan terkait di dalamnya posisi militer dalam percaturan politik nasional.
109
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Dampak kunjungan Pelapor Khusus PBB Bagi Upaya Penghapusan KTP di Masa Reformasi1 Pada bulan Mei1998, Indonesia berada dalam puncak keguncangan politik yang melibatkan dua kekuatan besar: kelompok status quo yang ingin mempertahankan kekuasaan absolut dan kelompok masyarakat yang menuntut reformasi total. Di tengah ketegangan yang kian memuncak, kelompok perempuan disadarkan oleh sebuah temuan yang mengejutkan bahwa telah terjadi sekurang-kurangnya 65 kasus perkosaan massal yang dilakukan dengan pola yang sama dan ditujukan pada target yang sangat spesifik, yaitu perempuan Indonesia etnis Cina. Tersingkapnya kasus perkosaan Mei dan kontroversi yang mengikutinya mengejutkan seluruh bangsa dan menjadi isu penting dalam upaya demokrasi. Pada masa inilah Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan (KTP), Ridhika Coomaraswamy datang ke Indonesia dan bekerja sama dengan aktivis perempuan Indonesia. Laporan hasil temuan dalam misinya itu sangat jelas dan kuat. Oleh pemerintah Indonesia, laporan tersebut ditolak keras dalam pertemua Komisi HAM PBB di Geneva, 1999. Meskipun laporan tersebut ditolak secara resmi, Palpor Khusus PBB tentang KTP memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk gerakan nasional anti kekerasan terhadap perempuan. Radhika hadir pada waktu yang tepat, yaitu pada masa kritis sejarah politik Indonesia di mana rejim otoriter Suharto akhirnya runtuh dan sebuah masa transisi politik dimulai. Dipersiapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sebagai laporan dalam Konsultasi Regional yang dilakukan secara tahunan oleh APWLD dengan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan, Colombo, Srilanka, 30-31 August 2002.
1
110
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Laporan berikut memuat gambaran mengenai dampak kunjungan Pelpor Khusus PBB tentang KTP bagi upaya perempuan Indonesia untuk menghapuskan KTP dan memberikan informasi mengenai perkembangan yang sedang berlangsung sampai saat ini sekaligus tantangan yang harus dihadapi di masa mendatang.
Dampak Kunjungan Pelapor Khusus PBB Ke Indonesia Kunjungan Pelapor Khusus PBB tentang KTP di bulan November 1998 dan laporan mengenai misinya tersebut telah memacu kehadiran dan memberikan legitimasi lebih bagi upaya-upaya perempuan Indonesia untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, khususnya bagi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan kelompok-kelompok perempuan di seluruh Indonesia pada umumnya. Pertama-tama, kehadiran Pelapor Khusus PBB membuka mata masyarakat di tingkat nasional dan internasional akan terjadinya berbagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia perempuan di Aceh, Papua, Timor Timur dan dalam peristiwa Kerusuhan Mei 1998, serta memaksa institusi-institusi pemerintah dan militer menyadari betapa mendesaknya masalah tersebut. Kedua, proses memfasilitasi Pelapor Khusus PBB tentang KTP menguatkan jaringan kerja yang dibangun bersama Komnas Perempuan dan aktivis-aktivis perempuan di berbagai daerah yang secara politis rawan kekerasan. Kesaksian para perempuan korban pelanggaran HAM berat pun memperkuat aktivis-aktivis di akar rumput dan memberikan keberanian kepada perempuan korban lainnya untuk maju dan memberikan kesaksiannya. Penolakan pemerintah Indonesia terhadap laporan Pelapor Khusus PBB justru memperjelas kemandirian Komnas Perempuan yang baru satu 111
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
bulan didirikan ketika Pelapor Khusus PBB berkunjung. Komnas Perempuan adalah sebuah lembaga nasional yang memperoleh mandatnya dari Keputusan Presiden namun sesungguhnya didirikan oleh gerakan perempuan di Indonesia. Penolakan pemerintah Indonesia kemudian digunakan oleh Komnas Perempuan untuk memperkuat landasan bagi kehadiran lembaga ini, dengan menuntut Duta Besar Indonesia untuk PBB memberikan penjelasan atas tanggapan pemerintah tersebut, dan dengan menerbitkan dan menyebarluaskan 1) laporan Pelaporan Khusus PBB tentang KTP yang telah diterjemahkan, dilengkapi dengan 2) pidato penolakan pemerintah atas laporan tersebut di depan sidang PBB; 3) tanggapan Pelapor Khusus PBB tentang KTP; dan 4) protes Komnas Perempuan terhadap penolakan pemerintah Indonesia. Selain itu, sebagian besar program-program awal Komnas Perempuan dirancang dengan merujuk pada rekomendasi Pelapor Khusus PBB sebagaimana tertulis dalam laporan mengenai misinya ke Indonesia. Hal ini antara lain menjadikan Komnas Perempuan sebagai ujung tombak gerakan masyarakat sipil dalam kampanye perlindungan saksi dan korban untuk memperoleh keadilan. Komnas perempuan pun terus melanjutkan penerjemahan dan pendistribusian berbagai laporan Pelapor Khusus PBB tentang KTP, seperti laporan tahun 2000 mengenai perdagangan perempuan.
Kemajuan dalam Upaya Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan selama Masa Transisi Pasca Soeharto Evaluasi kemajuan dalam upaya penghapusan KTP di Indonesia mem butuhkan pencermatan pada perubahan struktural yang terkait dengan institusi-institusi kenegaraan dan struktur sosial di masyarakat pada 112
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
umumnya. Meskipun pihak pemerintah enggan mengakui ber langsungnya kekerasan negara terhadap perempuan, dalam tahuntahun terakhir ini terdapat perubahan sikap pemerintah terhadap isu tersebut. Dengan adanya tuntutan dari dalam dan luar negeri, pemerintah Indonesia telah menandatangani Optional Protocol to CEDAW di bulan Februari 2000. Kementrian Negara untuk Pemberdayaan Perempuan pun merujuk pada rekomendasi yang dibuat oleh Pelapor Khusus PBB tentang KTP dalam memformulasikan dan melaksanakan kebijakan “Zero Tolerance” bagi KTP. Sementara itu, berkat berbagai advokasi yang dilakukan oleh aktivis perempuan, badan legislatif telah mencanangkan pembahasan berbagai rancangan undang-undang dan peraturan lainnya dalam tahun 2003, yang antara lain: 1. Rancanagan undang-undang (RUU) Perlindungan Saksi dan Korban 2. RUU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga 3. RUU Ratifikasi Optional Protocol to CEDAW 4. RUU Ratifikasi Konvensi Internasional Menentang Perdagangan manusia dan Eksploitasi untuk Prostitusi 5. RUU Hak Perempuan atas Kesehatan Reproduksi 6. RUU Perlindungan Buruh Migran 7. RUU untuk revisi UU perkawinan berdasarkan prinsip kesetaraan gender Inisiatif pemerintah lainnya adalah integrasi isu gender dalam bergai dokumen negara seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rancangan Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang akan dimulai pada tahun 2003, sebagai bagian dari upaya pengarusutamaan gender dalam program-program pembangunan. Kedua dokumen resmi negara ini menyebutkan komitmen negara untuk menghapuskan 113
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
ketimpangan jender dan kekerasan terhadap perempuan. Dalam UU Pengadilan Hak Asasi Manusia yang disahkan pada bulan November 2000, kekerasan seksual didefinisikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan merujuk pada formulasi yang disebutkan dalam Statuta Roma. Pada tahun yang sama, Menteri Negara untuk Pemberdayaan Perempuan juga mengeluarkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Reformasi struktural lainnya adalah pembentukan pusat-pusat krisis di lembaga-lembaga negara. Pada tahun 2000, rumah sakit negeri sekaligus pusat pendidikan kedokteran yang terletak di Jakarta mendirikan Pusat Krisis Terpadu. Pada tahun 2002, kantor-kantor polisi di 19 propinsi telah membangun 163 ‘Ruang Pelayanan Khusus’. Ini adalah inisiatif dari sejumlah polisi wanita senior yang menginginkan pihak kepolisian untuk lebih tanggap dalam memberikan layanan kepada perempuan korban kekerasan. Departemen Kesehatan bekerja sama dengan WHO telah memulai upaya menguatkan kapasitas pusat-pusat kesehatan di tingkat lokal untuk mengenali karakteristik perempuan korban kekerasan. Departemen pendidikan telah meluncurkan program “pendidikan untuk semua” dengan perhatian khusus pada segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di dunia pendidikan. Departemen Kesejahteraan Sosial membentuk direktorat khusus menangani buruh migran korban kekerasan. Badan Peren canaan Pembangunan (BAPPENAS) memperkenalkan ‘gender budgeting’ di dalam seluruh rancangan pembangunan yang disusunnya. Di dalam tubuh masyarakat sipil, kemajuan dapat dilihat dari semakin banyaknya organisasi perempuan yang tak henti-hentinya mengangkat isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Kelompok-kelompok perempuan di akar rumput pun mulai mendirikan pusat-pusat krisis 114
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
berbasis komunitas. Semakin banyak perempuan yang bekerja dalam organisasi-organisasi mainstream muncul dengan mempertanyakan hal pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di rumah tangga dan di dalam komunitas. Perempuan juga memainkan peran kunci dalam dialog-dialog antar umat beragama dan membentuk kelompokkelompok solidaritas untuk menaggapi kekerasan berbasis agama dan ras.
Tantangan Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai, perjuangan untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan masih sangat panjang. Krisis ekonomi yang berkepanjangan dan situasi politik yang tidak stabil menyebabkan perempuan tetap rentan akan kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan perempuan, kekerasan di tempat kerja, dan berbagai kekerasan seksual di dalam situasi konflik bersenjata. Kasus-kasus yang sangat sulit dikedepankan adalah berbagai insiden kekerasan berbasis gender yang dilakukan atas nama agama dan tradisi. Sebagai contoh, masih banyak anggota masyarakat Indonesia yang percaya bahwa agama memberikan hak kepada mereka untuk memberikan hukuman fisik kepada istri. Di dalam organisasi-organisasi keagamaan dan adat, perempuan seringkali menjadi korban kekerasan seksual oleh pemimpin spiritual dan adat. Di daerah-daerah yang memberlakukan hukum Syariah, perempuan di hukum karena tidak mengikuti tata cara berpakaian yang telah ditetapkan. Kebangkitan fundamentalisme agama dan primordialisme ras dan etnis, yang memperuncing konflik antar kelompok, juga terus meningkatkan kerentanan perempuan akan kekerasan. Pemerintah terus menggunakan pendekatan keamanan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan perempuan secara khusus menjadi 115
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
korban kebijakan ini. Dalam sengketa tanah/rumah, terutama dalam kasus-kasus penggusuran paksa, perempuan menjadi korban dari seluruh pihak yang bertikai. Perempuan adalah target pertama penggusuran paksa oleh pemerintah kota. Perempuan pula yang dijadikan tameng oleh komunitasnya dalam mempertahankan tanah mereka dari penggusuran. Kekerasan negara terhadap perempuan terus berlanjut di dalam berbagai kondisi. Dalam situasi konflik bersenjata, seperti di Aceh, Maluku, dan Sulawesi Tengah, laporan tentang kekerasan seksual terus berdatangan- mulai dari pelecehan seksual oleh anggota militer terhadap perempuan muda di kamp pengungsian sampai dengan kasus-kasus perkosaan oleh anggota militer dan kelompok sipil bersenjata di Aceh. Malangnya, di tengah deru ‘reformasi’, siklus impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM di Indonesia masih sangat kuat. Keputusan pengadilan HAM tentang Timor Timur adalah indikasi terang-terangan dari kenyataan yang mengecewakan ini. Pemerintah Indonesia juga gagal memberikan perlindungan bagi ribuan perempuan Indonesia yang bekerja sebagai buruh migran. Kegagalan ini antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan sistem perlindungan yang ada, rejim sanksi yang buruk, lemah dan bobroknya perjanjian internasional yang tersedia, institusionalisasi eksploitasi buruh migran pada saat kepulangan, tidak tersedianya perlindungan hukum bagi buruh migran, tidak tersedianya mekanisme untuk memperoleh keadilan dan pemulihan, serta tidak berfungsinya sistem jaminan sosial. Buruh migran perempuan juga merupakan korban utama perdagangan perempuan. Kerentanan perempuan akan kekerasan yang berkelanjutan tak dapat dipisahkan dari ber langsungnya pemiskinan terhadap perempuan. Kebijakan-kebijakan ekonomi terus melanggengkan marjinalisasi perempuan dari akses dan kontrol atas sumber daya. 116
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Globalisasi dan dampaknya pada kerusakan lingkungan hidup serta peningkatan konflik-konflik sumber daya alam di berbagai pulau utama di negeri ini memperparah kondisi perempuan, terutama perempuan adat. Bersama komunitas mereka, perempuan kehilangan sumber penghidupannya dan akses atas tanah; perempuan harus berhadapan dengan beban akibat kehilangan sumber air bersih, tumbuh-tumbuhan untuk obat-obatan, dan sumber daya alam lainnya dan menjadi korban polusi limbah industri tambang dan akhirnya perempuan menjadi korban eksploitasi seksual oleh perusahaanperusahaan besar ini. Di berbagai daerah, perusahaan tambang multinasional mencoba melakukan negosiasi dengan komunitas lokal mengenai kompensasi dan bagi-penghasilan, seperti dilakukan oleh perusahaan Rio Tinto di Kalimantan dan perusahaan Freeport di Papua. Perempuan korban kekerasan seksual hampir-hampit tak punya akses dalam negosiasi ini. Walaupun parlemen telah menjadwalkan pembahasan mengenai undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga dan undangundang sejenis lainnya, hukum tentang perkosaan, kekerasan seksual dan perdagangan perempuan yang ada pada saat ini jelas-jelas ketinggalan jaman dan tidak pantas lagi digunakan. Dalam sistem peradilan perempuan, khususnya korban kekerasan, memiliki akses yang terbatas untuk keadilan. apalagi korupsi dan kolusi di tubuh pengadilan serta penegak hukum yang bias gender pun masih marak. Bersama-sama kelompok perempuan, Komnas Perempuan menulis laporan kepada Pelapor Khusus PBB tentang Peradilan yang Mandiri mengenai kondisi ini. Di dalam kepungan tantangan yang diakibatkan oleh disintegrasi sosial, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan ketidakstabilan politik di Indonesia pada saat ini dan setidaknya untuk beberapa kurun waktu ke depan, para pejuang hak asasi manusia dan hak perempuan haruslah 117
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
berbesar hati mengenali dan menerima batasan kemampuan mereka untuk melindungi korban kekerasan dan untuk menerima reformasi struktural yang terbatas demi kepentingan di masa depan. Keter batasan-keterbatasan di lingkungan internal pun saat ini mengguncang para aktivis, seperti bias urban dan kelompk menengah ke atas yang tanpa sadar menyebabkan tumpulnya kepekaan terhadap begitu banyak masalah di dalam masyarakat multikultural di tingkat akar rumput di Indonesia. Namun, sejak tahun 1998 masyarakat sipil Indonesia terus membangun kekuatan bersama dan membangun jaringan kerja antara mereka yang diperkotaan dan pedesaan, pusat dan daerah, serta menjalin kerjasama strategis dengan pemerintah dan aktor-aktor non pemerintah lainnya untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perempuan adalah salah satu bagian dari kekuatan sipil yang memulai upaya-upaya tersebut. Mengacu pada pegalaman yang menguatkan kelompok perempuan Indonesia melalui kerja bersama Pelapor Khusus PBB tentang KTP, adalah tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa penting bagi Pelapor Khusus PBB tentang KTP secara berkala mengunjungi negaranegara, tidak hanya yang bergelut dengan pelanggaran HAM perempuan yang begitu peliknya, tetapi juga yang, pada saat bersamaan, dengan penuh semangat mengorganisir secara sistematis upaya-upaya melawan kekerasan, baik sumber permasalahan maupun konsekuensinya, bagi perempuan. Kunjungan ini memberikan kesempatan kepada Pelapor Khusus PBB tentang KTP untuk memberikan kontribusi secara langsung dan signifikan bagi perempuan dan perjuangan hak asasi perempuan pada masa-masa penting sejarah negara tersebut. ***** 118
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
119
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
120
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
LAMPIRAN
121
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
122
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
Liputan media Kompas, 30 Juli 2004
INDONESIA DIDORONG HAPUS KEKERASAN PADA PEREMPUAN JAKARTA, KOMPAS—perjuangan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mendapat perhatian dari dunia internasional dan secara khusus dunia internasional mendukung upaya gerakan perempuan Indonesia untuk mendesak Pemerintah Indonesia dan lembaga legislatif agar segera mengundangkan Rancangan Undangundang Anti-kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU Anti-KDRT). Demikian disampaikan Ketua Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Kamala Chandrakirana dalam jumpa pers bersama Pelapor Khusus tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Special Reporteur on Violence Against Women) Dr Yakin Etürk di Jakarta, Kamis (29/7), seusai Konsultasi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan. Ikut memberi penjelasan Koordinator Forum Asia Pasifik tentang Hukum, Perempuan, dan Pembangunan (APLWD) Mary – Jane Real. Dr Etürk berkunjung ke Indonesia atas undangan Komnas Perempuan dan bertemu dengan 30 organisasi perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebelumnya, dari tanggal 25-28 Juli 2004 APLWD mengadakan pertemuan konsultasi di Jakarta yang dihadiri 40 aktivis perempuan Asia-Pasifik. Forum konsultasi maupun kunjungan pelapor khusus PBB tersebut menurut Chandrakirana menjadi sinergi yang lebih baik antara organisasi perempuan Indonesia dengan lembaga-lembaga 123
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
internasional dan menjadikan Indonesia sebagai bagian dari upaya global menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Dr Etürk mengatakan undang-undang Anti-KDRT sangat penting dan campur tangan pemerintah terhadap kehidupan perempuan diperlukan di sini karena bersifat melindungi warganya dari kekerasan. Di sisi lain, Etürk mengingatkan, intervensi pemerintah terhadap kehidupan pribadi haruslah dibatasi pada perlindungan, bukan campur tangan yang merugikan. Dalam sambutan pembukaan konsultasi nasional pagi harinya, Dr Yakin Etürk mengatakan, perjuangan menolak kekerasan terhadap perempuan bukan “pertempuran” antara perempuan dan laki-laki. “kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di mana-mana adalah petunjuk bahwa kekerasan ada di mana-mana dan setiap orang bisa menjadi korban, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak”, papar Etürk yang mendapat mandat PBB sejak tahun lalu. Maka Etürk mengajak laki-laki dan perempuan bersama berjuang menghapus kekerasan pada perempuan. Isu-isu penting Dalam jumpa pers Dr Etürk mengucapkan selamat kepada menteri-menteri luar negeri ASEAN yang telah mendeklarasikan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam pertemuan di Jakarta akhir Juni lalu. Deklarasi akan menjadi dasar penegakkan hak asasi manusia yang lebih luas dan penghapusan kekerasan terhadap semua lapisan masyarakat. Menurut Dr Etürk, beberapa isu penting yang harus ditangani adalah munculnya militerisme dan fundamentalisme di berbagai belahan dunia. Hal ini harus diantisipasi karena keduanya saling mengisi dan menjadi ancaman terjadinya kekerasan terhadap
124
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
perempuan. Militerisme cenderung menggunakan tubuh perempuan untuk menundukkan lawan-lawannya, sementara fundamentalisme menggunakan perempuan untuk melanggengkan ideologi. Yang diungkapkan Etürk sejalan dengan laporan aktivis perempuan dalam APLWD. Menurut Mary – Jane Real, isu-isu penting yang diidentifikasi dalam pertemuan APLWD adalah adanya ancaman terhadap para pekerja kemanusiaan dan hak asasi manusia di daerah konflik. Menurut Real, ancaman kekerasan tersebut harus segera dihentikan. Selain itu, perempuan tidak memiliki akses terhadap hukum atas kekerasan yang mereka alami. Kekerasan tersebut antara lain penculikan perempuan di daerah konflik untuk menundukkan lawan, pembunuhan terhadap perempuan demi kehormatan keluarga, dan mutilasi genital. Menurut Real, kekerasan itu antara lain terjadi di Aceh, Timor Timur, Myanmar, dan Timur laut India. Etürk mengatakan, mandatnya dari PBB adalah melakukan pencarian fakta tentang kekerasan terhadap perempuan dan melaporkannya kepada PBB. (MH/NMP)
125
Perjalanan Perempuan Indonesia Menghadapi Kekerasan 2004
DAFTAR NARASUMBER No. Nama Lembaga Narasumber Utama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Azriana Rm AD Kusumaningtyas Esthi Susanti Golda Aronggear Khairiah Mercy Barends Nursyahbani Katjasungkana Nani Zulminarni Titi Soentoro
RPUK, Aceh Rahima, Jakarta Hotline Surya, Surabaya Foker - Papua LBH Apik, Pontianak JTMM, Ambon LBH Apik, Jakarta Pekka, Jakarta Nadi, Jakarta
Narasumber Pendukung 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 126
Adriana Kila Suster Estocia, SSPS Irawati Harsono Lili Pulu Lola Wagner Makni Azis Maria Ulfah Mulyandari Mikke Rolobessy Moh. Reza Omar Soraya Sultan Salma Safitri Sumarni Sulistyowati Sondang Frishka Tundung Hastuti Triningtyas Tien Juliastini/Evi Permatasari Valentina Sagala Yuni
LBH Apik, Samarinda JKPIT, NTT Derap Warapsari, Jakarta Kapal Perempuan, Jakarta YMKK-Batam YPK-Mataram Fatayat NU, Jakarta KPI, Jakarta JTMM, Ambon LBH Apik, Jakarta KPPST-Poso Solidaritas Perempuan, Jakarta GPPBM, Jakarta Convention Watch, Jakarta SNB, Jakarta PKBI Jambi Rifka Anisa-Jogjakarta Mitra Perempuan, Jakarta IP-Bandung YPMK, Jakarta