KITA BERSIKAP Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Berbangsa
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2009
©2009 Komnas Perempuan Tim Penulis Andy Yentriyani Ayu Ratih Kamala Chandrakirana Tim Riset Foto Shanti Ayu Prawitasari T.J. Erlijna Desain Ahmett Salina Foto Sampul Sisa Rumoh Geudong (Aceh; Galuh Wandita) Foto di sampul adalah sisa-sisa Rumoh Geudong, tempat perkosaan dan penyiksaan seksual terhadap sejumlah perempuan Aceh terjadi. Rumah ini dibakar oleh massa setelah status DOM Aceh dicabut. Sisa-sisa Rumoh Geudong adalah bukti bagaimana jejak sejarah bangsa perlahan sirna oleh waktu bila tidak ada yang mau mengingat dan merawatnya. Buku ini ditulis dalam bahasa Indonesia. Komnas Perempuan adalah pemegang tunggal hak cipta atas dokumen ini. Meskipun demikian, silahkan menggandakan sebagian atau seluruh isi dari dokumen ini untuk kepentingan pendidikan publik atau advokasi kebijakan untuk memajukan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan. Laporan ini dicetak dengan dukungan dana hibah AUSAID ISBN 978-979-26-7541-2 Cetakan I, November 2009 Cetakan II, Juli 2011 Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan Jl. Latuharhari No. 4B, Jakarta 10310 Tel. +62 21 3903963 Fax. +62 21 3903911
[email protected] http://www.komnasperempuan.or.id
DAFTAR ISI
Ucapan Terima Kasih Daftar Singkatan dan Akronim Prakata
vi viii xii
I. Pendahuluan Dari Pengetahuan ke Penyikapan Apa dan Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan Metodologi dan Alur Penulisan Buku
15 16 18 21
II. Menelisik Perjalanan Perempuan Dalam Pergerakan Kebangsaan Jejak Awal: Menjadi Iboe Bangsa Dari Iboe Bangsa Menjadi Perempuan Republik Jugun Ianfu Hukum Islam dan Poligami Perempuan Republik Berbaju Sosialisme Politik Nasional vs Politik Perempuan Keperempuanan Indonesia Terguncang
27 28 48 50 58 62 67 70
III. Menimbang Ulang Posisi Perempuan Dalam Pembangunan Pemanfaatan Tenaga Kerja Perempuan Perempuan Desa Perempuan Buruh Perempuan Buruh Migran Penataan Tubuh dan Ruang Gerak Perempuan Penataan Tubuh Perempuan: Program Keluarga Berencana Penataan Ruang Gerak Perempuan
77 84 84 86 89 92 92 99
iii
iv
Bibit-Bibit Konflik : Penataan Identitas dan Alam Penyeragaman Identitas Penataan Sumber Daya Alam Pengerdilan Peran Perempuan
107 107 112 115
IV. Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan Dalam Konflik Tragedi Mei 1998 Timor Timur Aceh Papua Ruteng, Nusa Tenggara Timur Maluku Poso Jemaah Ahmadiyah Peristiwa 1965 Tragedi Mei 1998 Setelah Sepuluh Tahun
123 126 133 140 151 158 160 164 169 175 181
V. Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan Belajar dari Sejarah Tentang Kekerasan terhadap Perempuan dan Para Korbannya Tentang Pemisahan yang Menyesatkan Tentang Kesejarahan Perempuan Berpolitik Arah ke Depan Kebenaran dan Pengakuan Rasa Adil dan Peradilan Pemulihan dan Pemberdayaan Dari Iboe Bangsa Menuju Perempuan Warga
189 190 190 194 199 202 203 205 207 209
Lampiran-lampiran Lampiran 1: Langkah-langkah Kebenaran, Pemulihan, dan Keadilan untuk Memajukan Penanganan Akar Masalah Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan Lampiran 2: Daftar Bacaan Tabel-tabel :
1. Peningkatan Murid Pribumi pada Masa Kolonial Belanda 2. Jumlah Korban berdasarkan Jenis Kekerasan Seksual dan Asal Informasi 3. Potret Kekerasan terhadap Perempuan di 23 Lokasi Pengungsian Timor Barat 4. Kekerasan terhadap Perempuan Aceh dari Masa ke Masa Berdasarkan Jenis Kasus 5. Temuan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Poso, 1998 – 2005 6. Kerentanan Perempuan dalam Situasi Konflik
Diagram :
1. Tujuh Faktor Penyebab Korban Bungkam
216 219
32 131 136 145 166 186 184
v
TERIMA KASIH
vi
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pertama-tama menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada para perempuan korban kekerasan di dalam berbagai situasi konflik yang telah membuka diri untuk bercerita tentang penderitaan dan perjuangannya. Mereka semua adalah survivor. Kami menghargai kepercayaan yang telah mereka berikan kepada Komnas Perempuan dan menghormati kewibawaan dan keteguhannya dalam bercerita. Kami sadar bahwa setiap upaya mengingat kembali peristiwa yang sedemikian menyakitkan akan membuka luka. Tanpa peran setiap perempuan yang duduk dan berbicara dengan kami tentang pengalamannya, bangsa Indonesia tidak akan bisa memperoleh pemahaman yang sepenuh-penuhnya dan sejujurjujurnya tentang perjalanan sejarahnya sendiri. Kepada para dokumentator dan rekan-rekan mitra yang menjadi pencatat pengalaman perempuan korban kekerasan dan yang ikut bersamasama mencari jalan keluar dari konflik dan membuka jalan bagi pemulihan
perempuan korban kekerasan, Komnas Perempuan menyampaikan apresiasi yang mendalam terhadap kegigihan dan kebersamaannya. Terima kasih kepada setiap pihak yang telah bekerja keras untuk melahirkan buku ini. Pertama, kepada para penulis: Agung Ayu Ratih, sejarawan sekaligus pekerja kemanusiaan yang memberikan pijakan sejarah yang kokoh bagi buku ini dan seluruh analisis tentang empat dasawarsa kekerasan terhadap perempuan; Andy Yentriyani, perempuan pembela HAM yang tumbuh dan berkembang di dalam tubuh Komnas Perempuan sebagai pencatat dan pendamping setia bagi para perempuan korban yang memercayakan pengalamannya kepada Komnas Perempuan; Kamala Chandrakirana, salah satu pendiri Komnas Perempuan yang memelopori kerja pemantauan terkait segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di masa kini dan masa lalu; serta, rekan-rekan di International Center for Transitional Justice yang mendukung kerja tim penulis. Kedua, kepada tim
ilustrasi buku: Theodora J. Erlijna, peneliti muda yang merancang ilustrasi buku dan mengoordinasikan proses pengumpulan foto dan materi visual lain; Shanti Ayu Prawitasari, tenaga magang di Komnas Perempuan yang mendukung proses pelacakan foto-foto; dan John McGlynn dengan Yayasan Lontar dan Poriaman Sitanggang yang memberikan akses kepada perpustakaan fotonya. Banyak pihak telah menyumbangkan dokumen dan foto dari koleksi pribadi ataupun lembaganya untuk buku ini, termasuk Sekretariat Teknis Post-CAVR di TimorLeste. Dedikasi mereka semua sungguh luar biasa untuk memastikan tercapainya misi buku ini dengan sebaik-baiknya. Proses membayangkan, menuliskan dan meluncurkan buku ini dilakukan oleh Komnas Perempuan bersama sejumlah pakar nasional dan internasional yang ikut menyumbangkan wisdom dan buah pikirannya untuk memastikan bahwa buku ini dapat bermakna bagi perjuangan keadilan jender di manamana. Mereka adalah Azriana (Aceh), Cecilia Ng (Malaysia), Eri Seda (Jakarta),
Farida Haryani (Aceh), Fatimah Syam (Aceh), Hilmar Farid (Jakarta), Khairani Arifin (Aceh), Kumudini Samuel (Srilanka), Mary Jane Real (Filipina), Rumadi (Jakarta), Samsidar (Aceh), Saparinah Sadli (Jakarta), Sunila Abeyesekare (Srilanka), Syafiq Hasyim (Jakarta), dan Yunianti Chuzaifah (Jakarta). Konsultasi-konsultasi Komnas Perempuan dengan komunitas korban didukung oleh IKOHI, Kontras, Forum Komunikasi Korban Mei 1998, Lembaga Penelitian Korban Pelanggaran HAM (LPKP HAM) di Jakarta dan Bali, serta Paguyuban Keluarga Korban Tragedi Mei 1998, Trisakti, Semanggi 1 dan 2. Kawan-kawan di dalam Komnas Perempuan sendiri, dari lingkungan Komisioner dan Badan Pekerja, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, membantu menguatkan tim penulis dalam menyelesaikan buku ini. Kepada mereka semua kami ucapkan banyak terima kasih.
vii
Daftar Singkatan dan Akronim
viii
ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD Angkatan Darat ANRI Arsip Nasional Republik Indonesia BKCS-KB Badan Kesejahteraan Catatan Sipil Keluarga Berencana AS Amerika Serikat BKKBN Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BPPIP Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan BTI Barisan Tani Indonesia CAVR Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste/Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste DAWN Development Alternatives with Women for a New Era DI/TII Darul Islam/Tentara Islam Indonesia DPR Dewan Perwakilan Rakyat FAO Food and Agriculture Organization/Organisasi Pangan dan Pertanian G30S Gerakan 30 September Gapi Gabungan Politik Indonesia GBHN Garis-garis Besar Haluan Negara GDP Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto Gerwani Gerakan Wanita Indonesia Gerwis Gerakan Wanita Istri Sedar Golkar Golongan Karya GWS Gerakan Wanita Sosialis; menjadi Gerakan Wanita Sejahtera (pada 1964) IPPF International Planned Parenthood Federation ISSI Institut Sejarah Sosial Indonesia ITB Institut Teknologi Bandung KB Keluarga Berencana
KITLV Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde; Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Carribean Studies KK Kontrak Karya KKP Komisi Kebenaran dan Persahabatan KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas Perempuan (KP) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Kowani Kongres Wanita Indonesia KPP HAM Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Krismon Krisis Moneter KWI Kongres Wanita Indonesia Laswi Lasykar Wanita Indonesia Litsus Penelitian Khusus LKBN Lembaga Keluarga Berencana Nasional MCK Mandi-Cuci-Kakus MDG Millennium Development Goals MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat MRP Majelis Rakyat Papua MUI Majelis Ulama Islam Nekolim Neokolonialisme dan imperialisme NICA Nederlandsch Indië Civil Administratie NKK/BKK Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia NU Nahdlatul Ulama OPM Organisasi Papua Merdeka Otsus Otonomi khusus
ix
Pekka Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga Permi Persatoean Moeslim Indonesia Persit Persatuan Isteri Tentara (Angkatan Darat) Perwanas Persatuan Wanita Nasional Perwani Persatuan Wanita Indonesia Perwari Persatuan Wanita Republik Indonesia Peta Pembela Tanah Air Petrus Penembak misterius PIKAT Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya Pilkada Pemilihan Kepala Daerah PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKI Partai Komunis Indonesia PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga PNI Partai Nasionalis Indonesia PPI Persatoean Perempoean Indonesia PPII Perikatan Perhimpoenan Istri Indonesia P3HPTR Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan Talak & Rujuk PRD Partai Rakyat Demokratik PRRI/Permesta Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta PRT Pekerja Rumah Tangga PSI Partai Sosialis Indonesia PUP Panca Usaha Pertanian Repelita Rencana Pembangunan Lima Tahun RPuK Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (Aceh) RUU Rancangan Undang-Undang SARA Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan SI Syariat Islam
x
SKB Surat Keputusan Bersama SOB Staat van Oorlog en van Beleg/Keadaan Perang dan Bahaya TBO Tenaga Bantuan Operasi TGPF Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998 TKTB Tim Kemanusiaan Timor Barat TKW Tenaga Kerja Wanita TNI Tentara Nasional Indonesia Tritura Tri Tuntutan Rakyat TRuK Tim Relawan untuk Kemanusiaan Unamet United Nations Mission in East Timor/Misi Perserikatan Bangsa-bangsa di Timor Timur UNFPA United Nations Fund for Population Activities/Dana PBB untuk Kegiatan Kependudukan UNTAET United Nations Transitional Administration for East Timor/ Administrasi Transisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Timor Timur UNTEA United Nations Temporary Executive Authority/Kuasa Eksekutif Sementara PBB UU Undang-Undang UUD Undang-Undang Dasar UUPA Undang-Undang Pokok Agraria (No. 5 Tahun 1960) VOC Vereenigde Oostindische Compagnie Wani Wanita Negara Indonesia WH Wilayatul Hisbah WHO World Health Organization/Badan Kesehatan Dunia
xi
PRAKATA
Buku ini ditulis sebagai kesimpulan dari sepuluh tahun pertama keberadaan dan kerja Komnas Perempuan. Bukan kebetulan bahwa sepuluh tahun ini sejalan dengan sepuluh tahun upaya pembaruan Indonesia. Lembaga ini didirikan di atas puingpuing kehancuran hidup perempuan Tionghoa yang dijadikan sasaran kekerasan pada peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Pembelajaran yang diperoleh Komnas Perempuan dalam menjalankan tugasnya, dengan demikian, adalah pembelajaran tentang perjalanan dan perjuangan bangsa Indonesia juga. Gagasan tentang arah ke depan yang ditawarkan pada akhir buku ini adalah bagian dari membayangkan Indonesia. Kami berusaha sebisa mungkin untuk membuat buku ini menarik bagi banyak pihak, dengan harapan bahwa daya cakup pembelajaran-pembelajaran yang dipaparkan di sini dapat mencapai hati dan pikiran pembaca yang seluas-luasnya. Inilah salah satu tugas dan tanggung jawab Komnas Perempuan, yaitu untuk menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Harapan kami di antara pembaca, di mana pun mereka berada, adalah para penerus perjuangan untuk keadilan dan kemanusiaan bagi semua.
Jakarta, 20 November 2009
Kamala Chandrakirana Ketua Komnas Perempuan
xii
13
Perkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 mendorong perempuan dari berbagai latar belakang mengambil sikap untuk menuntut negara bertanggung jawab (Jakarta, 1998; M. Sandra) 14
KITA BERSIKAP
I
PENDAHULUAN
Masa lalu bisa saja ditorehkan sebagai perlawanan antara yang kalah dan menang, antara yang salah dan benar. Ini adalah penilaian sejarah yang tentu saja cenderung banyak ditulis oleh mereka yang menang. Yang sering dilupakan bahkan tidak ditulis adalah bagaimana sejarah itu menimbulkan tragedi dan korban. Siapakah yang menjadi korban? Kita semua, tanpa kecuali! Dan ini adalah penilaian moral! Karena berarti kita harus membangun kembali manusia-manusianya dari puing-puing reruntuhan kemanusiaan itu sendiri. Nani Nurrachman, dalam surat kepada Komnas Perempuan, 15 Desember 2006
—{—
Pendahuluan
15
Sejarah bangsa Indonesia dipenuhi oleh pertumpahan darah sejak awal kelahirannya hingga kini. Setiap tetes darah yang keluar dari tubuh kita – apakah itu atas nama kemerdekaan Indonesia pada penghujung Perang Dunia II, atau demi mempertahankan kesatuan dan persatuan NKRI pada zaman Orde Baru, ataupun dalam ambisi memenangkan supremasi politik bagi sebuah agama pada era reformasi – merupakan saksi tentang betapa mendarahdagingnya penggunaan kekerasan dalam pergulatan politik, perebutan kuasa, dan perjalanan bangsa-bangsa di bumi pertiwi Indonesia. Kekerasan atas nama “Indonesia” acap kali diselimuti romantisme nasionalis yang sedemikian memukau dalam geloranya sehingga sulit bagi kita untuk menelaah secara seksama apa arti dan dampak kekerasan dalam seluruh kehidupan berbangsa kita. Kini, setelah hampir 65 tahun merdeka, tidak bisa lagi kita menunda bertanya siapa-siapa saja yang telah menjadi korban kekerasan dalam perjalanan membangun negara-bangsa Indonesia selama ini. Belum terlambat – tidak akan pernah terlambat! – bagi kita untuk menatap mata para korban (atau anak cucunya) guna menemukan jalan untuk mengobati luka, mengembalikan rasa adil mereka dan menegakkan kembali 16
martabat bangsa ini, serta memastikan bahwa masa depan anak cucu kita semua dapat terbebaskan dari jeratan siklus kekerasan yang telah merasuk ke dalam seluruh tatanan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berkeluarga saat ini. Sebagaimana kata-kata Nani Nurrachman kepada Komnas Perempuan pada diskusi “Merajut Kebersamaan Kita” pada Desember 2006, “kita semua tanpa kecuali” adalah korban dari tragedi demi tragedi yang telah meruntuhkan kemanusiaan kita sendiri.
Dari Pengetahuan ke Penyikapan Setelah bekerja selama sepuluh tahun, Komnas Perempuan telah melakukan pendokumentasian tentang berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan pada peristiwa-peristiwa kekerasan massal yang paling menentukan dalam perjalanan bangsa Indonesia. Langkah ini diambil dalam rangka menjalankan tugas, sebagaimana tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yaitu untuk:
Melaksanakan pemantauan, ... pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan
KITA BERSIKAP
Sejak tahun 2005, Komnas Perempuan menerbitkan sembilan laporan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam konteks konflik bersenjata di Aceh, konflik komunal di Poso, peristiwa 1965, kerusuhan Mei 1998, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, konflik sumber daya alam di Manggarai, NTT dan Buyat, Sulawesi Utara, serta terkait kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, dan konflik berkepanjangan di Papua (dalam penyelesaian). Laporan-laporan ini dibuat atas dasar pendokumentasian pengalaman para perempuan korban dan ditulis mengikuti kerangka hak asasi manusia. Poster pertama yang bicara tentang kekerasan negara terhadap perempuan, diterbitkan oleh Kalyanamitra. Poster ini dibawa oleh delegasi Indonesia ke kongres perempuan se-dunia di Beijing pada 1995. (Semsar Siahaan/Kalyanamitra)
pelanggaran hak asasi perempuan ... dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan. ( Pasal 4, Poin c )
Kini, saat bangsa Indonesia telah melampaui batas tahun kesepuluh masa reformasi pasca Orde Baru, tiba waktunya untuk menemukan keterkaitan antar satu peristiwa kekerasan dengan peristiwa lain, serta menghimpun sebuah pembelajaran yang utuh sampai ke akar-akar masalahnya. Pengetahuan yang dibangun bukan sekadar untuk mempertajam pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan, melainkan juga untuk menunjukkan jalan bagi langkah-langkah penyikapan yang tepat guna menjamin agar kekejiankekejian semacam ini tidak akan terulang di masa depan. Pendahuluan
17
Penyikapan semacam apa yang diharapkan? Pertama, penyikapan yang dipandu oleh nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Perjuangan di Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari perjuangan peradaban dunia untuk menegakkan hak-hak asasi manusia. Sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945, Indonesia pun “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Cita-cita universal ini menuntut kita untuk memenuhi hak-hak asasi manusia secara konsisten dalam seluruh aspek hidup tanpa kecuali, baik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di arena publik maupun dalam kehidupan berpasangan dan berkeluarga di arena yang bersifat pribadi (privat). Kedua, penyikapan yang diharapkan dari pengetahuan yang dibangun dalam buku ini adalah penyikapan yang menempatkan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian integral dari jatuh bangunnya proses pencarian bangsa untuk “menjadi Indonesia.” Artinya, ada upaya khusus untuk mengatasi pengabaian terhadap pengalaman perempuan dalam catatan bangsa tentang sejarahnya sendiri, dan ada penegasan khusus bahwa 18
kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah pengingkaran terhadap nilai-nilai dan konsensus bangsa sebagaimana ditegaskan dalam UUD Negara RI 1945. Ketiga, penyikapan yang diharapkan muncul dari pengetahuan yang diperoleh melalui buku ini adalah penyikapan yang membebaskan semua perempuan – dalam segala keberagamannya – segala bentuk ketidakadilan. Hal ini menuntut adanya analisis yang kritis dan utuh tentang kekerasan terhadap perempuan dalam keterkaitannya dengan berbagai pola diskriminasi yang berlaku, termasuk diskriminasi atas dasar gender, ras, suku, kepercayaan, kelas, dan pandangan politik. Penyikapan semacam ini akan relevan bagi semua perempuan selaku warga yang tengah menghadapi tantangan-tantangan mutakhir abad ke21, termasuk tentang cara perempuan berpolitik dan menjadi pemimpin bagi bangsa dan sesamanya.
Apa dan Mengapa Kekerasan Terhadap Perempuan Menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan terhadap perempuan
KITA BERSIKAP
adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap perempuan mencakup, tapi tidak hanya terbatas pada:
• Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas perempuan kanak-kanak dalam rumah tangga, kekerasan yang berhubungan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan, perusakan alat kelamin perempuan dan praktik-praktik tradisional yang menyakitkan lainnya terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami-istri dan kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi;
lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa; Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang dilakukan atau dibenarkan oleh negara, di mana pun terjadinya. Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), melalui Rekomendasi
Penyerahan laporan resmi negara yang pertama kalinya tentang pelanggaran HAM yang dialami perempuan korban Peristiwa 1965 kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono oleh Ketua Komnas Perempuan di Istana Merdeka, 20 Februari 2008. (Jakarta, 2008; KP)
• Kekerasan secara fisik, seksual, dan psikologis yang terjadi dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual, pelecehan, dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam
Pendahuluan
19
Umum Nomor 19, menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah wujud dari diskriminasi berbasis gender yang diarahkan pada perempuan karena keperempuanannya atau yang berdampak pada perempuan secara berlebih.
Kekerasan terhadap perempuan dipahami sebagai akibat dari ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang berkait kelindan dengan kepentingan kekuasaan lainnya yang ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tugu Pak Tani. (Jakarta, 2009; KP)
20
Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan mempunyai akar pada kesejarahan perempuan sejak Indonesia mulai dibayangkan. Melalui buku ini, kita mempertimbangkan akar pengalaman terkini perempuan dengan kekerasan dalam kaitannya dengan gagasangagasan tentang perempuan dan keperempuanan yang pernah hidup dalam perbincangan kaum perempuan di dalam gerakan nasionalis di awal abad ke-20. Apa yang dibayangkan tentang peran dan posisi perempuan di hadapan bangsa yang sedang menjadi Indonesia? Bagaimana gagasan-gagasan dari para pejuang perempuan bersinggungan dan bertarung dengan gagasan-gagasan ideal tentang perempuan dan keperempuanan yang hidup di masyarakat? Saat Republik Indonesia telah berdiri, kita simak bagaimana gerakan perempuan berunding dan bersitegang dengan negara untuk mendesakkan hak-hak perempuan sebagai manusia dan sebagai warga negara.
Saling silang sekian bangunan pemikiran tentang keperempuanan dan kebangsaan yang pada titik-titik tertentu dalam lintas sejarah mencetuskan satu keyakinan pahit: untuk membangun kesejahteraan dan kejayaan suatu negara-bangsa diberlakukan penyeragaman paksa terhadap gerak dan pikiran setiap warga negara di bawah satu garis komando. Perempuan menjadi salah satu sasaran utama karena tubuhnya memuat daya menelurkan kehidupan baru, dan gerak serta perhatiannya secara tradisional menentukan keberlangsungan kehidupan itu sendiri. Sayangnya, dalam wacana sejarah nasional Indonesia, kisah tentang kekerasan terhadap perempuan jarang mengemuka. Bahkan dalam sekian catatan perjalanan pergerakan perempuan akan sulit kita temui pembahasan tentang peristiwa-peristiwa yang menimbulkan korban di kalangan perempuan. Kalaupun ada upaya pengungkapan, misalnya ketika Edisi Pemutakhiran “buku standar” Sejarah Nasional Indonesia (2008) memuat kisah para perempuan yang dipaksa menjadi budak seksual (jugun ianfu) pada masa pendudukan Jepang (19421945), kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai kekecualian dalam sejarah. Ada kecenderungan melihat kekerasan terhadap perempuan,
KITA BERSIKAP
terutama yang sifatnya seksual, seperti pemerkosaan, sebagai kecelakaan atau akibat sampingan dari suatu peristiwa yang lebih besar, peperangan misalnya, dan tidak patut diperbincangkan secara terbuka.
bagian dari kesialan nasib perempuan. Tanpa penjelasan yang memadai, tragedi demi tragedi akan muncul tanpa kendali, tanpa struktur, tanpa sejarah, dan kita sekedar berdoa semoga tidak menjadi korban berikutnya.
Pengabaian pengalaman perempuan korban kekerasan dalam rekaman sejarah bangsa ini menghalangi kita untuk memahami secara utuh latar belakang dan akibat sekian tragedi yang mengguncang rasa kemanusiaan kita. Ketika pemerkosaan massal dalam Tragedi 13-14 Mei 1998 terungkap, diikuti dengan kesaksian terbuka para perempuan korban operasi militer di Aceh, kita tersentak. Kita bertanyatanya, apakah kisah-kisah korban benar adanya, apakah bangsa Indonesia sedemikian biadab? Bukankah asas pendirian republik ini sarat dengan nilai-nilai luhur? Bukankah kita memiliki Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk memandu kita merawat kebersamaan sebagai bangsa? Saat kita dipaksa berhadapan lagi dan lagi dengan kisah-kisah perempuan korban dari Papua, Timor Timur, atau Peristiwa 1965, dan kita tidak memperoleh penjelasan yang memadai tentang apa atau siapa yang seharusnya bertanggung jawab, kita mulai membangun permakluman bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah musibah yang tak terelakkan,
Buku ini memberi sarana untuk menengok sejarah, sambil mengakrabi permasalahan hari-hari ini. Dengan demikian, kita juga memeriksa kesahihan acuan-acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dari masa ke masa di hadapan pengalaman korban kekerasan terhadap perempuan zaman sekarang. Harapannya, pada akhirnya kita akan sama-sama menyepakati bahwa bagaimana negara-bangsa ini memperlakukan perempuan sebagai manusia dan warga negara merupakan penanda keberadaban bangsa ini.
Metodologi dan Alur Penulisan Buku Dari mana kita memulai? Komnas Perempuan bersiteguh bahwa upaya untuk memahami kekerasan terhadap perempuan perlu dimulai dari pengalaman dan harapan para korban. Proses persiapan buku ini diawali dengan menyapa para korban. Sejak Agustus
Pendahuluan
21
2008 hingga September 2009, Komnas Perempuan melakukan rangkaian dialog dengan para korban untuk mengetahui harapan yang mereka miliki dan tantangan yang mereka hadapi, serta untuk membangun pemahaman bersama tentang pemulihan dan reparasi dalam perspektif gender. Agar seluruh proses persiapan buku bisa berakhir dengan sesuatu yang memberi makna nyata bagi korban dan bangsa, maka Komnas Perempuan juga melakukan rangkaian konsultasi dengan pihak pemerintah untuk mendapatkan informasi yang
lengkap tentang program-program bagi pemulihan korban; dengan pakarpakar nasional dan internasional untuk membangun kerangka analisis yang tepat dan tajam serta untuk mengaitkan seluruh perjuangan di tingkat nasional dengan perjuangan di tingkat internasional; dan dengan kelompok-kelompok pembela hak-hak asasi manusia, seniman dan pekerja kebudayaan pada umumnya untuk membahas bentuk acara peluncuran buku ini.
Konsultasi dengan komunitas korban adalah titik mulai untuk bersama memahami permasalahan dan merumuskan langkah ke depan; salah satunya dengan komunitas Walisongo, Situwu Lemba. (Poso, 2009; KP)
22
KITA BERSIKAP
Pemaparan yang disajikan dalam buku ini bermula dari suatu masa tatkala mimpi tentang Indonesia yang merdeka dan berdaulat mulai dibayangkan dan kemudian diperjuangkan. Melalui Bab II, kita menyimak bagaimana perempuan ikut bermimpi tentang kebebasan dan kedaulatan bangsanya, tetapi kemudian harus menghadapi kontradiksikontradiksi dalam perjuangan dan kepemimpinan nasional. Akhirnya, para pejuang perempuan harus melakukan sejumlah kompromi atas nama keutuhan bangsa dan banyak perdebatan internal tidak tuntas diselesaikan. Pada Bab III, kita mengenali rezim Orde Baru dari perspektif perempuan. Pada masa ini, banyak perempuan mengalami peminggiran, pembakuan peran, penyeragaman identitas, serta pengabaian dan eksploitasi secara sistematis melalui kebijakan-kebijakan negara. Semua ini berlangsung dalam kerangka paradigma yang dipegang oleh Orde Baru tentang kemajuan, pertumbuhan ekonomi, dan keamanan serta sejalan dengan upaya rezim untuk mengendalikan, dan kadang menundukkan, warga dan keberagamannya. Pada masa ini, kita menyimak bagaimana perempuan mengalami diskriminasi yang berlapis, bibit-bibit konflik mulai tertanam, dan budaya kekerasan gencar berkembang biak.
Pada Bab IV, kita mendapatkan cerita tentang pengalaman Komnas Perempuan dalam menyikapi kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di tengah berbagai situasi konflik yang berlangsung di Indonesia, sesuai dengan permintaan korban dan para pendampingnya. Melalui bab ini, kita menyaksikan kebungkaman – dan pembungkaman – perempuan korban dan kompleksnya jeratan impunitas untuk kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Pada Bab V, kita melakukan sebuah refleksi atas dasar pembelajaran yang diperoleh Komnas Perempuan dalam sepuluh tahun berinteraksi dengan perempuan korban dan menyikapi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Pada bab ini kita juga akan memperoleh beberapa pemikiran awal tentang arah ke depan, sebagai urun rembug Komnas Perempuan untuk perjuangan yang lebih panjang lagi. Melalui pendokumentasian bersama para korban dan pendampingnya, dan dengan upaya penyebarluasan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh, Komnas Perempuan telah berfungsi sebagai mekanisme pencarian dan pengungkapan kebenaran tentang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa. Melalui buku ini, kita memecah kebisuan yang masih terjadi, bahkan di masa Pendahuluan
23
24
keterbukaan reformasi, tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
yang mengekang perempuan korban kekerasan.
Kebungkaman korban tentang kekerasan yang dialaminya bersumber pada kondisi politik yang tidak bersahabat dan berakar pada pemberian sanksisanksi sosial yang merujuk pada normanorma kesusilaan dan keagamaan yang sempit. Kerancuan cara pandang kita terhadap kekerasan seksual ikut memojokkan korban. Pemerkosaan, misalnya, lebih sering dianggap pelanggaran kesusilaan – demikian dinyatakan dalam produk hukum pidana kita – daripada sebagai sebuah kejahatan yang melanggar hak-hak asasi manusia. Selama tindakan-tindakan diskriminatif terhadap perempuan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita masih belum terhapuskan, tidak mungkin kekerasan terhadap perempuan bisa terhindarkan. Diskriminasi yang didasarkan pada pembedaan peran dan posisi laki-laki dan perempuan – yang senantiasa berbaur saling menguatkan dengan bentukbentuk diskriminasi lainnya – adalah akar dari kekerasan terhadap perempuan. Ketidakmungkinan untuk membahas halhal ini secara terbuka dan tulus di dalam dan dengan komunitas korban, serta ketidakmungkinan bagi korban untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan melalui mekanisme-mekanisme legal formal maupun sosial kultural, tak lain adalah sebuah jeratan impunitas
Melalui kebenaran yang diungkap dalam buku ini, Komnas Perempuan berharap dapat membuka jalan menuju penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan hingga ke akarakarnya, yang semua tertanam kuat dalam kesejarahan dan budaya-budaya bangsa Indonesia. Upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan mencakup pengambilan langkah-langkah pertanggungjawaban oleh pelaku dan negara, pemulihan hak-hak korban, serta jaminan bahwa tidak terulang lagi. Ini adalah sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia untuk memberi keadilan dan kesejahteraan bagi semua sebagaimana tertera dalam UUD Negara RI 1945, dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia yang dipegang teguh oleh peradaban dunia.
KITA BERSIKAP
Pendahuluan
25
Perempuan sebagai Iboe Bangsa berkarya di ruang publik sebagai perpanjangan dari perannya di dalam rumah tangga. (1947; KITLV). 26
KITA BERSIKAP
MENELISIK PERJALANAN PEREMPUAN DALAM PERGERAKAN KEBANGSAAN
II
Kami sekali-kali tiada hendak mendjadikan moerid-moerid kami djadi setengah orang Eropah, atau orang Djawa kebelanda-belandaan. Maksoed kami dengan mendidik bebas, ialah teroetama sekali akan mendjadikan orang Djawa itoe, orang Djawa jang sedjati, orang Djawa jang berdjiwa karena cinta dan gembira akan tanah air dan bangsanja, jang senang dan gembira melihat kebagoesan bangsa dan tanah airnja, dan . . . kesukarannja! Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 10 Juni 1902
—{—
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
27
Jejak Awal: Menjadi Iboe Bangsa Ketika Kartini menulis tentang rasa tertindas yang ia alami sebagai perempuan Jawa di penghujung abad ke-19, ia sudah menyadari bahwa pembebasan bagi perempuan tidak mungkin terwujud tanpa perubahan pola pikir di kalangan masyarakat Jawa secara keseluruhan. Bagi Kartini, mengusahakan kesetaraan bagi perempuan adalah bagian dari kerja pemberadaban suatu bangsa dan itu bukan semata-mata tugas perempuan. Ia memang belum lagi berpikir tentang Indonesia, tapi ia memahami adanya “bangsa boemipoetra” yang tidak hidup bahagia dan tidak merdeka di bawah kekuasaan feodal dan kolonial. Dari perenungan dan perbincangan dengan sahabat-sahabatnya, Kartini percaya bahwa terwujudnya kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan pribadi, untuk menentukan nasib sendiri, merupakan pertanda kemajuan perempuan dan bangsa. Memang Kartini sendiri pada akhirnya tidak berhasil membebaskan diri dari tuntutan adat dan mewujudkan mimpinya melanjutkan sekolah setinggi mungkin. Tekanan dari orang-orang yang sangat dicintainya, ayahnya terutama,
28
dan pembatasan dari pihak pemerintah kolonial sudah menggagalkan rencana Kartini bersekolah di Negeri Belanda. Ia diharuskan menikah dengan lelaki pilihan ayahnya dan meninggal muda pada saat ia melahirkan putranya yang pertama pada 1904. Namun, gagasan Kartini tentang pentingnya kemerdekaan berpikir dan berbuat bagi semua orang, tanpa membedakan gender dan kelas, untuk meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa menjadi salah satu acuan utama kaum perempuan yang terlibat dalam gerakan nasionalis sejak paro awal abad ke-20. Kalau kisah-kisah perjuangan melawan kekuasaan kolonial Belanda yang dipimpin perempuan pada abad sebelumnya, seperti Tjoet Nja’ Dhien di Aceh (1873-1904), Nji Ageng Serang di Jawa (1825-1830), atau Martha Christina Tiahahu di Maluku (1817), memperlihatkan bahwa perempuan dapat dipercayai untuk mengarungi dunia laki-laki, surat-surat Kartini mendesakkan satu prasyarat: perjuangan pembebasan manusia harus mempertimbangkan pengalaman perempuan sampai ke wilayah yang paling pribadi, lembaga perkawinan. Kelahiran gagasan-gagasan Kartini menandai titik awal pemikiran modern tentang hubungan antara kemajuan perempuan dan keadaban bangsa, serta peran perempuan dalam pergerakan
KITA BERSIKAP
kebangsaan. Dari surat-suratnya yang jarang dipublikasikan, tampak bahwa ia bukan hanya berbicara tentang pentingnya pendidikan bagi kemajuan perempuan, tetapi juga menunjukkan bagaimana seharusnya perempuan yang berpendidikan menggunakan kecerdasannya untuk berpikir dan berbuat demi kemajuan bangsanya. Dengan tajam ia mengulas struktur penindasan kolonial yang didukung kalangan aristokrat, dan mempersoalkan kebejatan moral para pejabat pangreh praja dan pengaruh keduanya terhadap kemerosotan kesejahteraan rakyat. Ia menyaksikan bagaimana tradisi feodal, termasuk di antaranya permaduan, dipertahankan semata-mata untuk kenikmatan hidup kaum bangsawan. Ia mengecam “bangsawan-bangsawan pikiran” yang menguasai ilmu pengetahuan Eropa tanpa mengusahakan perbaikan nasib rakyatnya:
Bahwa yang terbaik harus dikangkangi sendiri dan dianggap sebagai hak pribadi kaum aristokrat, bersumber pada paham sesat, bahwa kaum bangsawan adalah mutlak manusia lebih mulia, makhluk lapisan teratas daripada Rakyat, dan karenanya berhak mengangkangi segala yang terbaik! R. A. Kartini: Nota, Jepara, Januari 1903
Adeldom Verplicht! – Kebangsawanan itoe Berkewadjiban! – adalah pepatah Belanda yang berulang kali dikutip Kartini. Bagi Kartini, semakin tinggi status kebangsawanan seseorang, semakin berat tugasnya merawat rakyat. Sebagai pemimpin, kaum bangsawan tidak cukup hanya memiliki “kecerdasan pikiran”, tetapi juga “kecerdasan budi”. Dalam kerja pengadaban masyarakat perempuan tidak bisa ditinggalkan karena perempuan yang terdidik dan berbudi akan menjadi teman seiring lelaki. Saat mereka menjadi ibu, merekalah yang sejak awal berpengaruh besar dalam memberi pendidikan budi pekerti bagi anak-anaknya.
Perempuan itu soko guru peradaban! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu mungkin timbul pengaruh yang besar . . . bahwa dialah yang paling banyak membantu memajukan kesusilaan manusia. Dari perempuanlah pertama-tama manusia menerima didikannya – di haribaannyalah anak belajar merasa dan berpikir, berkata-kata: dan makin lama makin tahulah saya, bahwa didikan yang mula-mula bukan tidak besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia di kemudian harinya. Dan betapakah ibu Bumiputra itu sanggup
Salah satu tradisi yang dikecam kaum perempuan adalah poligami. Foto Djero Trena dan I Djampiring, dua di antara sekian banyak istri Raja Buleleng (Bali,1865; KITLV).
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
29
mendidik anaknya bila mereka sendiri tiada berpendidikan? Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 21 Januari 1901
Secara umum soal kemajuan dan keadaban menjadi perhatian kaum terpelajar bumiputra, laki-laki maupun perempuan, yang memperoleh kesempatan langka untuk bersentuhan dengan perangkat ilmu pengetahuan modern sejak akhir abad ke-19. Mereka prihatin akan kemerosotan kualitas hidup rakyat akibat kebijakan-kebijakan kolonial yang semata-mata bertujuan menguras habis sumber daya alam dan tenaga manusia pribumi demi kejayaan Kerajaan Belanda. Sementara itu, penguasa pribumi yang seharusnya meringankan beban rakyat justru menjadi perpanjangan tangan pemerintah kolonial dan mengambil keuntungan bagi diri mereka sendiri. Kaum terpelajar bukannya tidak tahu bahwa sepanjang abad ke-19 ada berbagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, apakah itu pemberontakan petani yang dipimpin kyai-kyai di pedesaan di Jawa, atau perang gerilya terpanjang dalam sejarah di Aceh. Namun, satu per satu perlawanan tersebut dipatahkan kekuatan militer Belanda. Harus ada cara-cara baru untuk mengatasi kerusakan yang ditimbulkan sistem
30
penjajahan ini, sekaligus mempersoalkan bagian-bagiannya yang tidak manusiawi. Melalui pendidikan barat, kaum terpelajar bumiputra berkenalan dengan gagasan bahwa untuk melawan kolonialisme mereka harus menggunakan alat-alat penguasa seperti ilmu pengetahuan, institusi pendidikan, organisasi, pertemuan umum, percetakan dan penerbitan. Dengan kebijakan Politik Etis sejak awal abad ke-20, penguasa kolonial, yang selalu beranggapan bahwa kaum bumiputra bodoh, malas, dan tidak beradab, membuka ruangruang pendidikan secara meluas dengan harapan rakyat Hindia Belanda dengan sukarela akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Kaum bumiputra dengan segera memanfaatkan ruang-ruang tersebut dan menggunakannya untuk kepentingan mereka. Kalau bagi pemerintah kolonial kemajuan bumiputra cukup diukur dengan penguasaan keterampilan teknis yang akan menguntungkan proses industrialisasi Hindia Belanda, bagi kaum bumiputra kemajuan berarti tumbuhnya gairah untuk berpikir merdeka, meninggalkan kepatuhan kepada penguasa-penguasa tradisional, dan terlibat dalam kerja-kerja bersama untuk melawan pembodohan, diskriminasi, dan bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya. Kemajuan adalah kesiapan untuk
KITA BERSIKAP
melahirkan tradisi baru, menjadi manusia baru.
Pendidikan diyakini akan membuat kehidupan perempuan lebih baik. Siswi-siswi Korido, sekolah putri pertama di Papua, angkatan 1952-1955 (Sarah Netta Boerdam).
Gagasan kemajuan yang dibayangkan kaum bumiputra terpelajar secara umum berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang perempuan. Mereka tetap melihat peran utama perempuan adalah melahirkan dan merawat anak, tapi kepedulian mereka akan perlunya satu generasi baru dengan kualitas moral dan intelektual yang lebih baik membuat mereka berpikir tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan sebagai ibu. Kaum perempuan terdidik sendiri melihat bahwa sistem kolonialisme dan tradisi feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan secara umum terpuruk. Di tingkat elit, perempuan semata-mata dijadikan perhiasan rumah tangga, tidak berpengetahuan, tidak memiliki wawasan apa pun tentang dunia yang lebih luas, dan menjadi korban poligami. Di tingkat bawah, kemiskinan mendorong perempuan untuk menerima kawin paksa sejak usia dini, yang bisa menggiring mereka pada perceraian tidak adil secara berulang, prostitusi atau pergundikan. Mereka berpendapat bahwa hanya pendidikan, baik itu yang memberi bekal keterampilan, maupun pengetahuan umum, yang akan membuat kehidupan perempuan lebih baik. Dengan bekal keterampilan perempuan akan mampu
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
31
mengusahakan hidup sendiri dan tidak tergantung secara ekonomi pada laki-laki. Sedangkan pengetahuan kerumahtanggaan – kesehatan ibuanak, gizi, kebersihan – akan membuat perempuan mampu merawat keluarga dengan lebih baik:
Pendidikan (kejuruan) yang membebaskan ketergantungan wanita di bidang keuangan dari keluarganya, akan membebaskan wanita pula dari paksaan perkawinan yang tidak dikehendakinya. Wanita yang berpendidikan akan menginsafi dirinya bukan objek, akan tetapi dengan laki-laki sebagai sesama manusia, mempunyai hak hidup dan akan menginsyafi kesungguhan arti perkawinan. Mereka akan mengerti bahwa perkawinan bukanlah suatu pelarian melainkan suatu langkah dalam kehidupan yang difikirkan dengan sungguh-sungguh untuk membahagiakan suami yang dipilihnya dan menjadi ibu yang baik bagi anakanaknya. R.A. Sosrohadikusumo dalam Dewi Sartika, hal. 38
Semangat serupa inilah yang mendorong perempuan-perempuan terdidik di beberapa tempat untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi perempuan. Pada 16 Januari 1904
32
sekolah perempuan pertama, Sekolah Istri, didirikan oleh Dewi Sartika sesaat sebelum Kartini meninggal. Dalam waktu delapan tahun sekolah yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri ini sudah berkembang menjadi sembilan sekolah dengan
perhatian terbesar pada anak-anak perempuan dari kalangan rakyat biasa. Di Kotogadang, Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada 1911 dan di Menado, Maria Walanda-Maramis mendirikan Sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak
Tabel 1. Peningkatan Murid Pribumi pada Masa Kolonial Belanda
HIS NEGERI TAHUN
MURID PEREMPUAN
MURID LAKI
1915
3.490
18.970
1925
10.195
28.722
1929 - 1930
11.917
29.984
1934 - 1935
15.492
31.231
1939 - 1940
19.605
34.307
TOTAL
60.699
143.214
HIS SWASTA TAHUN
MURID PEREMPUAN
MURID LAKI
1915
1.049
1.195
1925
6.250
14.529
1929 - 1930
6.941
14.055
1934 - 1935
8.355
14.077
1939 - 1940
10.838
15.915
TOTAL
33.441
59.771
Sumber: Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherlands Indies 1900-1942 (1995), hal. 79
KITA BERSIKAP
Temurunnya) pada 1917. Pengacara Belanda yang pertama kali mendesakkan pentingnya perluasan pendidikan bagi kaum bumiputra, C. Th. van Deventer, beserta istrinya, mendirikan Sekolah Kartini pada 1913 di Semarang. Kaum perempuan yang dekat dengan organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah, juga terpengaruh oleh berkembangnya semangat pembaharuan di Hindia Belanda. Mereka berpendapat bahwa ajaran Islam yang berkembang pada saat itu sangat terbelakang dan tidak menghormati perempuan. Dengan demikian perempuan perlu dibekali pengetahuan keagamaan dan keorganisasian untuk meningkatkan martabat mereka sebagai manusia. Dengan bimbingan pimpinan Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan, dibentuklah organisasi Aisyiyah di Yogyakarta pada 1917 yang menyelenggarakan sekolah berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan tekanan pada pendidikan agama. Di Padang Panjang seorang perempuan yang hidup di lingkungan pembaharu pendidikan Islam, Rahma El Joenoesia, juga berpikir tentang pentingnya pendidikan modern berdasarkan ajaranajaran Islam khusus bagi perempuan. Pada 1922 ia mendirikan pesantren perempuan yang diberi nama Sekolah Dinijah Poetri.
Sekolah-sekolah swasta ini dibangun dan diselenggarakan dengan dukungan suami atau kerabat para pendirinya, pejabat pribumi di tingkat lokal, atau sumbangan dari masyarakat Belanda yang bersimpati pada upaya pembaharuan di Hindia Belanda. Pelajaran yang diberikan masing-masing sekolah bervariasi, tetapi biasanya tidak terlalu jauh dari kemampuan baca tulis dan pendidikan dasar kerumahtanggaan: menyapu dan mengepel, mengatur perabot rumah, membersihkan debu, mencuci piring dan panci, menisik dan menambal pakaian, memasak, merawat bayi dan orang sakit, dan membuat kerajinan tangan seperti menjahit, membordir, menyulam, dan merajut. Di sekolah perempuan juga mempelajari adat dan tata cara bergaul yang benar dan pantas seperti cara berbicara dengan orang yang lebih tinggi statusnya, bersikap terhadap orangorang dengan status dan kedudukan yang berbeda. Yang menarik, sampai 1930an kaum perempuan pribumi, termasuk Kartini, tidak pernah secara khusus mempersoalkan tradisi pernyaian sebagai salah satu bagian pokok dari perangkat sistem penjajahan, tetapi secara tidak langsung berusaha mengambil jarak dengan golongan nyai dan budaya yang berkembang dari tradisi ini. Ada kecenderungan melihat pernyaian Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
33
semata-mata sebagai prostitusi terselubung yang tumbuh akibat kemiskinan dan kerendahan moral di kalangan perempuan kelas bawah tanpa terlalu mempersoalkan peran pemerintah kolonial dalam mendorong pernyaian demi kepentingan ekonomi. Sejak awal kedatangan rombongan lelaki Belanda dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa pada abad ke-17, maskapai ini tidak mau dibebani urusan kesejahteraan pegawainya. Mengambil perempuan bumiputra sebagai nyai untuk merawat kesejahteraan lahir batin pegawai pemerintahan kolonial menjadi pilihan terbaik. Nyai juga mampu membuka jalan bagi laki-laki Belanda untuk mengenali adat-istiadat setempat sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menuntut kepatuhan masyarakat bumiputra. Masalahnya, institusi perhubungan dengan para lelaki Belanda tidak pernah diakui sebagai perkawinan yang sah dan setiap saat pemilik nyai dapat memutuskan hubungan tanpa ikatan tanggung jawab. Lebih jauh lagi para ibu bumiputra tidak memiliki hak atas anak-anak yang lahir dari perhubungan ini. Walaupun dianggap tidak sah, perkawinan campur antara lelaki Belanda dengan perempuan pribumi melahirkan 34
Foto dalam pameran di Belanda. Perempuan Hindia Belanda dicitrakan sebagai perempuan yang eksotis dan patuh (Jawa, 1901/1903; KITLV).
KITA BERSIKAP
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
35
Perempuan Cina di dalam tandu. Dalam stuktur kolonial, bangsa Cina, bersama Arab, India dan bangsa asing lainnya, berada di posisi yang lebih rendah dari bangsa kulit putih tetapi di atas bumiputera. Keterlibatan komunitas Cina, khususnya perempuan, dalam pergerakan kebangsaan Indonesia masih belum banyak diketahui oleh masyarkat. ((Jakarta, 1870; KITLV)
satu golongan baru, Indo-Eropa, yang menimbulkan kerumitan tersendiri dalam tatanan sosial masyarakat jajahan. Selain itu, kaum Puritan penganut ajaranajaran Calvinist terganggu dengan kebiasaan poligami dan perseliran yang berkembang di kalangan priyayi Jawa. Di tengah upaya pemerintah untuk menata administrasi negara secara modern dan menyebarluaskan normanorma Eropa dalam hal efisiensi dan kejelasan pembagian tanggung jawab,
36
susunan rumah tangga keluarga-keluarga poligamis sama sekali tidak membantu, kalau bukan menimbulkan masalahmasalah sosial baru. Bagi pemerintah kolonial dua cara terbaik untuk merapikan simpang siur hubungan antarwarga tanah jajahan dari ras, kelas, dan gender yang berbeda ini adalah memberdayakan perempuan melalui pendidikan dan pemantapan perkawinan monogami untuk membangun keluarga
batih melalui peraturan-peraturan tentang perkawinan anak, perceraian dan poligami, perseliran, atau pernyaian. Perempuan-perempuan Belanda yang mulai berdatangan sejak pertengahan abad ke-19 membawa serta pandanganpandangan konservatif tentang peran penting perempuan sebagai pengelola rumah tangga dan pendukung karir suami. Sedangkan bagi perempuan bumiputra, terutama yang di lapisan atas, perkawinan monogami dengan penataan
KITA BERSIKAP
rumah tangga yang rapih merupakan pertanda modernitas: kesiapan untuk meninggalkan adab lama yang sudah menempatkan perempuan semata-mata sebagai obyek kenikmatan laki-laki. Sepanjang tiga dasawarsa awal abad ke-20 perbincangan di kalangan perempuan terdidik terpusat pada upaya merumuskan arti kemajuan dan keadaban bagi perempuan. Mereka seakan sedang mencari jalan tengah untuk berkiprah di tengah dunia yang sedang berubah, antara mendorong perempuan keluar dari kungkungan adat dan menghadapi tentangan dari pihak-pihak yang belum bisa menerima perubahan zaman, apakah itu kaum feodal yang menginginkan perempuan tetap dalam posisi tradisional, ataupun penguasa Belanda yang terus berjagajaga agar pergerakan kaum bumiputra tidak berkembang ke arah yang berlawanan dengan kepentingan penguasaan tanah jajahan. Mereka sedang mencari pembenaran moral dan politis bagi pekerjaan-pekerjaan mereka di ranah publik agar mereka tidak dianggap berniat mengingkari kodrat mereka sebagai perempuan dan pekerjaan mereka diakui sumbangsihnya bagi kemajuan bangsa.
tentangan dari kalangan konservatif di kalangan bumiputra yang tidak melihat perlunya perempuan berkumpul, bertukar-pikiran, menyatakan pendapat, dan bekerja untuk masyarakat. Perempuan juga membutuhkan bantuan dari laki-laki untuk mengenali dan memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti organisasi, penerbitan, dan pertemuan umum. Pendirian organisasi perempuan pertama, Poetri Mardika, di Jakarta pada 1912 didorong oleh Boedi Oetomo. Demikian juga surat kabar perempuan pertama, Poetri Hindia, yang diterbitkan jurnalis R.M. Tirto Adhisoerjo di Bandung pada 1909, masih dipimpin dan diawaki laki-laki. Tiga tahun kemudian Roehana Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi) yang sepenuhnya dikelola perempuan. Dalam waktu kurang lebih 15 tahun organisasiorganisasi lain pun berdiri di berbagai kota. Kegiatan mereka kurang lebih sama: menyelenggarakan pendidikan dan layanan kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa kepada anak-anak perempuan yang berbakat, menyebarkan informasi tentang pendidikan, dan menerbitkan mingguan untuk menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban perempuan.
Dukungan dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional menjadi penting, terutama untuk menghadapi
Organisasi-organisasi perempuan di masa ini masih didominasi perempuan dari kalangan elit pribumi. Seruan dan
Ari jadi awewe kudu segala bisa, ambeh bisa hirup! Menjadi perempuan harus mempunyai banyak kecakapan agar mampu hidup! Dewi Sartika, hal. 38
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
37
ajakan yang mereka lontarkan melalui penerbitan mereka juga lebih ditujukan kepada perempuan dari kelas atas yang mampu berlangganan secara teratur dan memiliki lebih banyak waktu luang untuk membaca dan berpikir. Gagasan tentang “kebangsawanan itoe berkewadjiban” yang tampak jelas dalam tulisan-tulisan Kartini, begitu juga dalam upaya Dewi Sartika untuk menyemai tradisi ‘bangsawan budi pekerti,’ terus mewarnai wacana perempuan sampai akhir 1930-an. Sementara, perempuan elit di Minangkabau dan Minahasa, seperti Roehana Koeddoes dan Maria Walanda-Maramis, mengacu pada upaya pembaharuan sosial berdasarkan penafsiran ulang terhadap sejarah lokal dan ajaran-ajaran agama. Ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki kepedulian terhadap perempuan kelas bawah. Sebaliknya mereka justru menempatkan diri sebagai pendidik dan penyuara kebutuhan perempuan dari kalangan rakyat jelata agar “kaoem perempoean bangsa kita” tidak terpuruk dalam kemiskinan dan kemerosotan moral. Keinginan menjangkau perempuan dari kelas yang berbeda tidak mudah terlaksana. Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan layanan sosial lainnya membutuhkan biaya dan tenaga pendidik yang tidak sedikit sementara sumber keuangan dan personil 38
KITA BERSIKAP
organisasi-organisasi ini terbatas. Pemerintah Hindia Belanda sendiri tidak pernah mengusahakan dukungan yang lebih mendasar bagi institusi pendidikan swasta dan tidak pula menyempurnakan perluasan pendidikan bagi kaum perempuan di kalangan buruh dan petani. Misi pengadaban kolonial berhadapan dengan kepentingan ekonomi para pengusaha Eropa. Di wilayah perkebunan gula, teh dan kopi, misalnya, antara 25%-45% dari jumlah total buruh adalah perempuan, sedangkan di wilayah pertanian di Jawa 30% buruhnya adalah perempuan. Kaum progresif di lingkungan penguasa kolonial mengusulkan agar ada larangan bekerja malam bagi buruh perempuan agar mereka memperoleh kesempatan leluasa untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka. Kaum konservatif yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi beranggapan usulan ini memaksakan pandangan Eropa tentang peran perempuan dalam rumah tangga dan dunia kerja pribumi yang berbeda hakekatnya.
Perempuan Hindia Belanda adalah buruh murah bagi perkebunan dan pabrik milik kaum kolonial (1915; Prentenkabinet Leiden/KITLV)
Gagasan-gagasan perempuan tentang kemajuan dan keadaban – apakah itu berasal dari pemaknaan baru terhadap adat-istiadat ataupun agama – menemui pengakuan dan tentangan yang lebih terbuka dalam pertemuan-pertemuan umum yang membahas tentang
keindonesiaan dan keperempuanan. Pertemuan-pertemuan berupa kongres ini kebanyakan diselenggarakan dan dihadiri kaum terpelajar dan diawasi dengan ketat oleh pemerintah kolonial. Masalah perempuan dibicarakan secara khusus oleh pergerakan nasionalis dalam Kongres Pemuda I di Jakarta pada 1926. Kongres yang dihadiri perwakilan kelompok-kelompok pemuda berbagai suku bangsa ini mencoba mengaitkan perjuangan emansipasi perempuan dengan “kebangunan nasional” secara umum. Seorang mahasiswa kedokteran dari Minangkabau, Bahder Djohan, menyerukan agar perempuan diberi keleluasaan untuk “mengolah sifat yang paling mulia, paling manusiawi, dan itulah ibu”. Ia menolak poligami yang dianggap mengganggu ketenangan perempuan dalam menjalankan tugasnya bagi pembangunan negeri dan bangsa. Boleh dikatakan tidak ada tentangan yang berarti terhadap pendapat bahwa wilayah utama perjuangan perempuan adalah rumah tangga dan keluarga sehat sejahtera merupakan salah satu pilar pokok dalam membangun bangsa yang kuat. Dalam Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta (1928) dan II di Yogyakarta (1935) para pembicara berulang kali menekankan hal ini dan mengaitkan antara kekukuhan rumah tangga dengan perkawinan yang
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
39
bahagia. Persoalan-persoalan sosial seperti perdagangan perempuan, prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa diperbincangkan dalam kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan keadaban bangsa. Salah satu pembicara dalam Kongres Perempuan Indonesia I yang dengan padat dan runtut membangun pandangan ini adalah Sitti Soendari, jurnalis Wanito Sworo:
Kalau bangsa Indonesia hendak mendjadi bangsa jang bertempat moelia diatas doenia ini patoetlah kita mendirikan roemah oleh pertjinta’an masing-masing, dan djangan bersendi kepada kedengkian (jalouzie), kebodohan, atau jang lain-lain. Polygamie, kawin anak2, kawin paksa, atau talak dan pisah jang tiada berdjangka, soekar benar waktoe sekarang mempertahankannja, kalau perkawinan hendak kita gambarkan dengan setinggi-tingginja. Pendeknja makin tegoeh roemah tangga kita makin koeat bangsa Indonesia, makin senangsentosa bangsa Indonesia. Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, hal. 61
40
Patut diperhatikan bahwa Bahder Djohan dan Sitti Soendari menyebutkan poligami sebagai masalah perempuan dalam lembaga perkawinan dan keluarga dalam kedua kongres tersebut di atas. Inilah yang menjadi sumber perdebatan sepanjang sejarah gerakan perempuan: Apakah poligami sesungguhnya sumber masalah atau bagian dari penyelesaian masalah bagi perempuan? Dalam perdebatan ini bukan hanya perempuan yang terlibat, tetapi juga lelaki dalam gerakan nasionalis. Menarik untuk menimbang bahwa mulanya tentangan terhadap poligami tumbuh dari gerakan anti feodalisme dan pembaharuan sosial yang diilhami semangat serupa dari Eropa. Para penentang awal poligami, seperti Kartini dan Roehana Koeddoes, demikian juga pejuang-pejuang perempuan pada masa berikutnya, tidak secara khusus mempersoalkan ajaran Islam yang mengizinkan poligami, tetapi lebih menggugat kebiasaan kaum aristokrat dan kelas atas untuk memelihara banyak perempuan sebagai istri sah atau selir. Praktik-praktik ini kemudian membuat perempuan terjebak dalam ketidakpastian, terutama bila mereka tidak mandiri secara ekonomi. Pembela poligami pun mempersoalkan praktik poligami dan perseliran di kalangan aristokrat. Hanya saja mereka menganggap bahwa hukum-hukum Islam sudah memadai untuk mengatasi
KITA BERSIKAP
kebobrokan institusi perkawinan yang merugikan perempuan, termasuk poligami tidak terbatas. Posisi anti poligami baru dikaitkan dengan serangan terhadap ajaran Islam oleh organisasi-organisasi berasaskan Islam yang menolak kuatnya pendapat di kalangan nasionalis sekuler dan non-Islam bahwa institusi perkawinan monogami adalah prasyarat utama kesejahteraan keluarga dan bangsa. Seperti dijelaskan panjang lebar oleh Ratna Sari, pengurus Persatoean Moeslim Indonesia (Permi) dalam Kongres Perempuan II, poligami dapat berfungsi menjaga kemaslahatan hubungan suami-istri dan masyarakat apabila dipraktikkan sesuai dengan hukum-hukum Islam. Pembatasan jumlah istri, syarat mendapat izin dari istri, dan ketentuan untuk bersikap adil terhadap semua istri merupakan jaminan bahwa institusi perkawinan poligami tidak selalu merugikan perempuan. Ratna Sari menggambarkan beberapa kondisi buruk yang justru ditimbulkan oleh perkawinan monogami, seperti terjadinya perkawinan-perkawinan tidak sah yang sama dengan perzinahan, berkembangnya prostitusi, kemunafikan suami-istri dalam pemaksaan hubungan tunggal, atau terlantarnya para janda korban perang. Yang perlu dilawan bukanlah poligami itu sendiri, tetapi
praktik poligami yang semata-mata untuk memenuhi kesenangan seksual dan tidak mengindahkan prinsip keadilan bagi perempuan. Perdebatan tentang poligami meluas keluar kongres-kongres, menajam, dan beralih ke soal pengaruh Barat dalam gerakan nasionalis pada saat tuntutan pembaharuan hukum perkawinan yang memuat penghapusan poligami mendapat sambutan dari pemerintah kolonial pada 1937. Pemerintah merumuskan rancangan peraturan yang lazim dikenal sebagai Ordonansi Perkawinan Tercatat dan menyebarkannya ke berbagai organisasi sebelum disampaikan ke parlemen Hindia Belanda. Isi ordonansi itu antara lain mengimbau penduduk mencatatkan perkawinan mereka, yang berarti menerima monogami dan perempuan yang perkawinannya tercatat boleh mengajukan permohonan cerai seandainya sang suami berniat mengambil istri lagi. Pemerintah kolonial berkepentingan mengeluarkan undang-undang ini antara lain untuk melindungi perempuan Belanda, yang menikah dengan lelaki bumiputra dari poligami, dan menjawab desakan dari organisasi-organisasi perempuan sekuler untuk menghapuskan praktik poligami. Organisasi-organisasi Islam segera menolak proyek ini dan menganggapnya Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
41
Perkawinan anak, disamping kawin paksa, merupakan praktik yang ditentang gerakan perempuan sejak Kongres Perempuan Indonesia I. Foto Patih Pemalang, Raden Toemenggoeng Reksa Negara, bersama istrinya (Banyumas, 1863; KITLV).
42
KITA BERSIKAP
sebagai upaya pemerintah mengubah Islam. Di kalangan perempuan tentangan terkuat datang dari Rasuna Said, pengurus Permi, yang melihat proyek ini sebagai intervensi Belanda terhadap tradisi Islam. Dua partai nasionalis, Parindra dan Pasundan, juga menolak dengan alasan pemerintah sengaja menciptakan kekacauan untuk memecah-belah gerakan nasionalis. Dalam perdebatan ini masalah pernyaian mencuat dan menjadi alasan untuk mempertanyakan mengapa pemerintah kolonial tidak membuat undangundang yang melindungi perempuan bumiputra dalam status perkawinan yang tidak sah dengan lelaki Belanda. Rasuna Said menuntut agar pemerintah membuat aturan yang jelas tentang pola perhubungan antarras ini atau sama sekali menghapuskan praktik pernyaian. Menghadapi tentangan yang demikian keras akhirnya pemerintah membatalkan proyek ini. Pada saat yang hampir bersamaan untuk mengatasi perbedaan pendapat antarorganisasi anggota tentang poligami, Kongres Perempuan Indonesia II sudah membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan di bawah pimpinan ahli hukum Maria Ulfah Santoso. Hasil penyelidikan, yang didukung dengan fakta lengkap dan kuat tentang persoalan-persoalan perempuan dalam
perkawinan ini, disampaikan Maria Ulfah sendiri pada Kongres Perempuan III. Ia menyimpulkan bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia akan sepakat bahwa poligami harus dihapuskan. Baginya beberapa pendapat yang menyatakan bahwa poligami baik untuk mengatasi kelebihan perempuan menghinakan perempuan, “Kita tidak ingin kawin karena belas kasihan … Lebih baik bekerja keras daripada kawin karena belas kasihan.” Penyelidikan ini menjadi acuan penting perbincangan tentang perkawinan di masa-masa sesudahnya dan dasar bagi keputusan Ketua Kongres untuk membentuk Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP). Badan ini bertugas mengkaji posisi perempuan dalam hukum Islam, hukum adat, dan hukum Eropa, dan membuka birobiro konsultasi perkawinan di berbagai tempat. Dari perdebatan tentang poligami dapat dipelajari bahwa soal pelembagaan perkawinan dan posisi perempuan di dalamnya menjadi masalah politik kebangsaan. Masing-masing pihak yang berdebat memiliki pandangan sendiri tentang acuan terbaik bagi salah satu institusi masyarakat yang pokok demi tegaknya negara-bangsa Indonesia: keluarga. Organisasiorganisasi perempuan bukannya tidak Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
43
menyadari sisi politis dari perjuangan mereka. Namun kepelikan yang mereka alami saat berhadapan dengan adat dan agama membuat mereka memilih jalur-jalur aman dalam memperjuangkan kebutuhan dan hak-hak perempuan. Ketika Kongres Perempuan Indonesia I bersepakat membentuk federasi Persatoean Perempoean Indonesia (PPI) pada 1928 yang kemudian berubah menjadi Perikatan Perhimpoenan Istri Indonesia (PPII), federasi ini memutuskan tidak mengambil sikap tegas terhadap poligami. Tuduhan dari kalangan Islam bahwa kaum nasionalis sudah berniat “menghina-hinakan Islam” dan “mentjerai-beraikan ra’jat Indonesia dengan membitjarakan polygamie,” tampaknya berpengaruh dalam keputusan kongres-kongres perempuan di masa sebelum kemerdekaan untuk tidak berbicara tentang agama dan politik. . Di satu sisi, pilihan ini dapat dilihat sebagai upaya para pimpinan organisasi untuk mendahulukan kebersatuan perempuan dalam mendukung pergerakan kebangsaan di atas kepentingan perempuan yang lebih khusus. Di lain sisi, jalur-jalur aman yang dipilih gerakan perempuan membuka ruang bagi gerakan nasionalis yang didominasi laki-laki untuk menentukan arah perjuangan perempuan di 44
masa-masa selanjutnya. Lebih jauh lagi, gerakan perempuan seakan terpisah dari perjuangan perempuanperempuan dalam gerakan sosial yang mempersoalkan penindasan terhadap perempuan di luar lembaga perkawinan. Padahal, pertemuan antara pejuangpejuang perempuan dalam gerakan perempuan dan gerakan sosial akan memperdalam dan mempertajam rumusan umum tentang posisi dan peran perempuan dalam pergerakan kebangsaan. Apakah memang perempuan sebaiknya mendahulukan isu di wilayah publik dibandingkan rumah tangga? Mungkin satu-satunya organisasi perempuan yang berani menerobos batasan gerak politik perempuan adalah Istri Sedar yang didirikan pada 1930 di bawah pimpinan Soewarni Pringgodigdo. Secara terbuka Istri Sedar menolak poligami dan memilih tidak bergabung dengan federasi PPII karena posisinya terhadap poligami. Soewarni menyatakan, “Perempuan Indonesia berhak atas keadilan dan kemerdekaan, dan poligami adalah penolakan sesungguhnya dari keadilan dan kemerdekaan.” Ketika Soekarno menyatakan bahwa gerakan perempuan pertama-tama harus mendukung kemerdekaan nasional sebelum menuntut hak-haknya,
KITA BERSIKAP
Soewarni berpendapat sebaliknya: kesetaraan perempuan menjadi prasyarat memenangkan kemerdekaan nasional. Dalam pidatonya “Soal Kaoem Boeroeh Perempoean Indonesia” di Kongres Perempuan Indonesia II, Soewarni juga mempersoalkan pendapat yang membatasi pekerjaan perempuan pada bidang kerumahtanggaan belaka. Dengan mengajukan angka-angka statistik, ia menunjukkan bahwa jumlah pekerja perempuan di bidang pertanian, perkebunan, dan perdagangan jauh lebih besar dari mereka yang bekerja di rumah tangga. Selanjutnya, ia mengusulkan agar kerja rumah tangga diperlakukan sebagai kerja produktif yang harus diberi upah selayaknya. Peserta kongres mengembalikan persoalan pada kodrat perempuan. Perempuan tidak seharusnya melakukan pekerjaan-pekerjaan berat dan merendahkan derajatnya, seperti menjadi buruh perkebunan, tukang sapu jalan, atau kuli bangunan. Perdebatan dihentikan oleh ketua kongres dengan alasan perbedaan prinsip. Yang juga tidak terjangkau oleh kongreskongres perempuan maupun PPII adalah perempuan-perempuan yang aktif dan menjadi pimpinan di organisasi-organisasi yang dianggap berhaluan komunis. Padahal jumlah perempuan yang terlibat diperkirakan ribuan. Beberapa nama yang tersebut dalam catatan sejarah
sosial tentang masa radikalisme gerakan nasionalis di awal abad ke-20 adalah Ny. Vogel, seorang Indo-Belanda, yang mengetuai Sarekat Hindia cabang Surakarta dan Woro Sumarisah, yang memimpin cabang perempuan Sarekat Rakyat Surakarta. Ada pula jurnalisjurnalis perempuan yang terlibat dalam gerakan kiri, seperti Siti Larang Sosrokardono, wartawan surat kabar milik Sarekat Islam, Oetoesan Hindia, di Surabaya, sekaligus pimpinan Serikat Buruh Kendaraan Bermotor dan Serikat Buruh Hotel dan Restoran, dan Sitti Soendari, wartawan dan juru propaganda andal untuk Serikat Buruh Kereta Api dan Tram (VSTP). Ketika percobaan pemberontakan gerakan nasionalis radikal, termasuk Partai Komunis Indonesia, pada akhir 1926 dipukul mundur oleh penguasa kolonial, sejumlah aktivis perempuan ditangkap dan dibuang ke kamp di Boven Digul, tanah berhutan lebat dan penuh rawa di Papua bagian Selatan. Dari sekitar 1.300 orang yang diasingkan, ratusan meninggal dunia karena kelaparan dan sakit. Salah satu perempuan yang selamat dari penghukuman ini, Raden Soekaesih, mendapat kesempatan ke Belanda untuk menyampaikan kesaksiannya di hadapan masyarakat Belanda tentang kekejaman pemerintah kolonial dalam menghadapi gerakan nasionalis.
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
45
Baboe Laoet adalah pengasuh anak yang khusus dipekerjakan di kapal laut. Tidak ada perlindungan bagi mereka dalam hal upah, keselamatan kerja, dan jaminan kerja lainnya (Batavia, 1880; KITLV)
Persoalan lain lagi yang tidak terjangkau kongres-kongres perempuan terkait para pembantu rumah tangga yang dibawa orang-orang Belanda ke negerinya sejak abad ke-18. Sebagian dari mereka mondar-mandir antara Hindia Belanda dan Belanda sebagai “baboe laoet” (zeebaboe): pengasuh anak yang khusus dipekerjakan di kapal laut. Jumlah mereka mencapai ratusan dan di
46
antara mereka banyak yang mengalami ketidakadilan dari segi upah, keselamatan kerja, dan jaminan kerja lainnya. Pada 1939 mereka mendirikan organisasi Kaoem Iboe Indonesia di bawah pimpinan Sandijem dan Mak Ginem. Mereka menyediakan rumah-rumah mereka sebagai tempat persinggahan dan pertemuan bagi masyarakat Indonesia yang ada di Belanda.
Jika kita menilik pemikiran dan pengalaman perempuan yang terlibat dalam pergerakan kebangsaan, akan tampak bahwa sumber inspirasi untuk merumuskan keperempuanan mereka bukan main kayanya. Tradisi kepemimpinan dan perlawanan yang dipimpin perempuan pada abad-abad sebelumnya, keberanian para nyai dan pekerja perempuan menembus batas-batas kultural dan menghadapi dunia antah-berantah yang asing, kecerdasan perempuan terpelajar memanfaatkan ruang-ruang privat sebagai basis perlawanan, sampai keterlibatan perempuan dalam gerakan sosial yang menuntut perubahan mendasar dalam tatanan masyarakat, semua itu merupakan tonggak-tonggak penting yang seharusnya menjadi acuan dalam perumusan keperempuanan dan kebangsaan. Menariknya, ketika gerakan perempuan bersinggungan dengan gerakan nasionalis, gagasan yang menjadi dominan adalah perempuan sebagai “iboe bangsa” dengan hoofdkwartier (markas utama) perjuangannya rumah tangga, seperti ditetapkan dalam Kongres Perempuan Indonesia II (1935):
Apakah kewadjiban iboe sebagai ‘Iboe Bangsa’? Tidak lain dan tidak boekan hanjalah jang teroetama memelihara
KITA BERSIKAP
ketinggian boedi-pekerti bangsanja. . . . Kami sekali-kali tidak meminta kepada kaoem iboe Indonesia, soepaja sebagai ‘Iboe Bangsa’ saban hari dan saban malam tjoekoep dengan doedoek termenoeng memikirkan soal-soal kebatinan jang gaib sadja dan ta’ bertenaga apa-apa. . . . Kita sebagai ‘Iboe Bangsa’ . . . haroes memperhatikan segala soal hidoep bangsa kita dalam oemoemnja. Pendek kemana kaoem bapak bangsa kita melangkah, haroes kita ikoeti, soepaja pemandanganpemandangan kita dapat sedjadjar dengan kaeom bapak bangsa kita. Boekan maksoed kami . . . menjoeroeh kaoem Iboe Indonesia selaloe toeroet dalam pekerdjaan kaoem bapak, sehingga keadaan roemah-tangga ta’ teroeroes! Tidak, djoega dengan tinggal bekerdja oentoek roemah-tangga, kaoem iboe dapat mengikoeti perdjalanan bapak oentoek memberi pengaroeh keiboeannja, asal ada kemaoean dan keradjinan padanja.
Kongres Perempuan Indonesia III sepakat mendesak pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang perkawinan yang lebih demokratis dan menuntut hak untuk memilih dan dipilih dalam Volksraad (Bandung, 1938; ANRI).
Nj. Sri Mangoensarkoro, Ketua Kongres Perempuan Indonesia II, “Arti Perempoean sebagai Iboe Bangsa”
Menjadi Ibu Bangsa adalah strategi yang pelik bagi gerakan perempuan. Posisi politik dalam ungkapan “ibu bangsa” mencerminkan pandangan tentang keperempuanan dan kebangsaan yang
sangat terkait dengan kemampuan biologis perempuan sebagai ibu dan peran sosialnya sebagai ibu rumah tangga. Bangsa membutuhkan kepiawaian perempuan untuk mengurus masalah-masalah “rumah tangga” bangsa. Rumusan ini dapat
dipahami sebagai strategi gerakan perempuan untuk memperoleh tempat dalam pergerakan nasionalis tanpa menimbulkan banyak tentangan dari pihak lelaki. Di saat yang sama, rumusan ibu bangsa dapat menjadi pernyataan politik di hadapan pemerintah kolonial
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
47
bahwa perempuan Indonesia bertekad dan berkemampuan untuk melahirkan bangsa baru yang tak akan mudah diperlakukan semena-mena oleh bangsa lain. Di sisi lain, rumusan ini mengukuhkan pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Perempuan tetap dilihat sebagai makhluk domestik. Pembedaan ini membatasi dan membebani keterlibatan perempuan di ranah publik. Perempuan dapat terlibat dalam kegiatan politik selama mereka tidak melupakan tugasnya melahirkan keturunan baru dan mengurus rumah tangga.
Dari Iboe Bangsa Menjadi Perempuan Republik Lepas dari keterbatasan perumusan mengenai peran dan posisi perempuan dalam pergerakan nasional, menjelang akhir penjajahan Belanda kegiatan perempuan di wilayah politik justru semakin meningkat. Mereka masih mengutamakan peran keibuan perempuan, dan secara terbuka menyatakan dukungan kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung (1938), hari lahir kongres
48
Moralitas dan Negara-Bangsa Saudara-saudara, djarang sekali terdapat kaoem bapak, jang dapat menahan desakan kekoeatan perempoean jang ta’ sutji itoe. Maka dari itoe kaoem bapak pada oemoemnja lebih baik djangan berkenalan sadja dengan perempoean-perempoean latjoer itoe, dari pada mentjoba-tjoba maoe mengoekoer seberapa kekoeatannya. Kami jakin, kaoem bapak tentoe akan kalah.
P
Nj. Sri Mangoensarkoro dalam Kongres Perempuan Indonesia II, 1935
ada lima tahun terakhir, kita mengamati kemunculan kebijakankebijakan, baik di tingkat nasional maupun daerah, terkait moralitas, misalnya kebijakan tentang busana, larangan prostitusi, khalwat, dan juga pornografi. Dalam sejarah Indonesia, isu moralitas bukanlah hal yang baru. Ia bahkan dibahas sejak masa awal pergerakan kebangsaan, antara lain dalam isu pernyaian, prostitusi, pergundikan, dan perdagangan perempuan. Moralitas memang salah satu isu kunci dalam proses menjadi negara-bangsa. Moralitas dianggap sebagai tiang keagungan sebuah bangsa, yang dikaitkan erat dengan kesucian bangsa tersebut. Perempuan dijadikan sebagai simbol kesucian itu; ia dinilai dari keperawanan dan institusi perkawinan. Dalam konteks penjajahan atau perang, relasi seksual antara perempuan dengan laki-laki yang berasal dari komunitas penjajah atau musuh dapat dianggap merusak kesucian komunitas. Apalagi, bila relasi seksual itu menghasilkan
keturunan yang tidak lagi memiliki “darah murni” komunitas asal perempuan. Inilah alasannya mengapa dalam sejarah Indonesia, nyai berada dalam posisi yang tidak diuntungkan. Dari kacamata kaum bumiputra mereka dianggap pengkhianat yang sudah melahirkan anak-anak “blasteran” tanpa kaitan kultural dengan komunitas ibunya. Kelihaian perempuan untuk mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang menghimpitnya dengan menggunakan posisinya sebagai nyai acap kali justru dilihat sebagai keliaran perempuan yang hanya ingin hidup enak dan bebas. Karena itu, kehadiran para “nyai” juga cenderung diartikan sebagai prostitusi terselubung. Alasan yang sama bagi sikap kaum bumiputra terhadap nyai, muncul di dalam situasi konflik di Aceh, Papua dan Timor Timur. Perempuan lokal yang berelasi seksual dengan aparat Indonesia dan anakanak yang lahir dari hubungan tersebut, termasuk pemerkosaan, dikucilkan oleh masyarakat lokal. Anak-anak tersebut kerap diejek dengan sebutan “anak kolong”, “anak rambut lurus”, dan “anak Jawa”. Perempuan tersebut, dan anaknya, bisa saja diusir dari keluarga dan komunitasnya. Karena dianggap sebagai tiang keagungan bangsa, maka isu moralitas pasti akan terus ada dalam perbincangan tentang negarabangsa. Karena mudah menarik dukungan, isu moralitas juga ampuh dijadikan alat kampanye elit politik dalam konteks perebutan kekuasaan. Gerakan perempuan, yang berjuang demi perlindungan dan penegakan hak-hak asasi perempuan, akan selalu berada di tengah-tengah pertarungan tersebut.
KITA BERSIKAP
perempuan, yaitu 22 Desember, ditetapkan sebagai Hari Ibu dengan semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma” dan menekankan pentingnya tugas perempuan sebagai Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat, dan Ibu Bangsa. Kongres berikutnya (1941) di Semarang memutuskan untuk bergabung dengan organisasi payung Gabungan Politik Indonesia (Gapi). Sementara itu, terjadi penangkapan terhadap pejuangpejuang perempuan yang aktif dalam partai-partai politik: Rasuna Said, kader Persatoean Moeslim Indonesia (Permi) yang juga terkenal sebagai orator terkemuka, ditahan di Semarang pada 1932, dan Surastri Karma Trimurti, kader Partindo dan jurnalis di pelbagai surat kabar, ditangkap pada 1936 dan dipenjarakan pada 1939-1943 karena mengedarkan pamflet anti-Belanda dan menulis kritik pedas terhadap penjajahan. Masa pendudukan Jepang (19421945) mungkin merupakan zaman gelap yang paling sedikit dibicarakan dalam sejarah gerakan perempuan. Setelah mengalahkan kekuatan kolonial Belanda, penguasa militer Jepang mulai mengerahkan rakyat Indonesia untuk mendukung persiapan menghadapi tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Organisasi-organisasi sosial dan politik yang sudah berdiri pada masa Belanda semua dilarang, termasuk
Liputan media tentang seruan Hajjah Rangkayo Rasuna Said agar perempuan mandiri dalam pemikiran saat berpolitik. Seruan disampaikan dalam Kongres V Perwari di Bandung (1953; Harian Rakyat).
organisasi perempuan. Sebagai gantinya pemerintah Jepang membentuk berbagai organisasi massa dan milisi pemuda dengan fungsi yang berbeda-beda: badan propaganda cita-cita kemakmuran Asia Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, cadangan pasukan bela negara, pengumpulan kekayaan rakyat dan hasil
bumi untuk logistik peperangan, atau pembangunan infrastruktur militer dan perang. Dalam waktu singkat, penguasa Jepang berhasil menggiring para lelaki muda berusia antara 14-25 tahun untuk
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
49
Jugun Ianfu
J
ugun ianfu adalah istilah Jepang untuk perempuan penghibur yang menjadi bagian dari angkatan bersenjata. Pemerintah Jepang memperbolehkan didirikannya ianjo (rumah bordil atau pos untuk fasilitas ianfu) untuk melayani kebutuhan pasukan Jepang. Menurut berbagai dokumen internal pemerintah Jepang, pembuatan pos ianfu dimaksudkan untuk menghindari sentimen anti-Jepang, mencegah berkurangnya kekuatan pasukan karena penyakit seksual menular, dan juga untuk mencegah mata-mata. Perempuan di dalam pos ianfu hidup dalam situasi perbudakan seksual. Meski ada pihak swasta yang menjadi penyelenggara pos ianfu, pihak militer
yang mengendalikan pos tersebut. Militer yang memberi izin pos ianfu dan mempersiapkan aturan mainnya, termasuk jam operasi, tarif, larangan mengonsumsi alkohol di pos ianfu, kewajiban menggunakan kondom agar tidak terjangkit penyakit seksual menular, dan pemeriksaan kesehatan bagi perempuan ianfu. Sebagian besar perempuan harus melayani anggota pasukan dari pagi hingga larut malam; ada yang melayani sampai sepuluh orang setiap harinya. Mereka tidak dapat lari karena pos dikuasai oleh militer.
negeri atau keluarganya diberi jaminan tidak akan dianiaya atau diperas oleh tentara pendudukan. Ada pula yang dibohongi dengan iming-iming pekerjaan sebagai penari atau anggota pertunjukan seni budaya. Sebagian perempuan diculik dari rumahnya. Selain Indonesia, para perempuan korban perbudakan seksual ini berasal dari Jepang, Korea, Cina, Taiwan, Filipina, dan Belanda. Tercatat bahwa
Diperkirakan ada lebih dari seribu perempuan di Indonesia yang dijadikan ianfu dan mereka disebar dalam lebih dari 40 pos ianfu yang terutama berada di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan. Di Indonesia, rekrutmen ianfu dilakukan melalui aparat desa. Ada yang dijanjikan akan disekolahkan ke luar
Komoriah yang dianggap sebagai pimpinan para jugun ianfu tersebut memegang boneka yang menemaninya selama masa penyekapan oleh tentara Jepang (Kupang, 2 Oktober 1945; Australian War Memorial/K. B. Davis).
Dua puluh enam Jugun Ianfu asal Jawa dibebaskan oleh tentara Australia di Kupang. Untuk menyamarkan identitas mereka sebagai Jugun Ianfu, tentara Jepang memakaikan ikat tangan bertanda palang merah pada para perempuan. (Kupang, 2 Oktober 1945; Australian War Memorial K. B. Davis)
50
KITA BERSIKAP pos ianfu telah didirikan di Shanghai pada 1932. Jumlah pos ianfu berkembang dengan pesat pada Perang Dunia II di wilayah-wilayah yang menjadi tempat jajahan Jepang seperti Cina, Filipina, Indonesia, Malaya, Thailand, Burma, Papua, Hongkong, Macau, dan Indocina. Jumlah pasti tidak diketahui, tapi diperkirakan dapat melebihi 400.000 orang yang tersebar di lebih dari 400 pos ianfu. Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia II, para ianfu ditelantarkan begitu saja. Banyak ianfu yang tidak dapat pulang ke rumah oleh karena mereka tidak punya uang untuk pulang, tidak tahu jalan pulang, dan ada pula yang tidak mau pulang karena malu. Bagi mereka yang pulang, banyak tiba dalam kondisi kesehatan fisik yang parah, bahkan ada yang mengalami kecacatan fisik permanen dan kerusakan organ reproduksi sehingga tidak bisa mengandung dan melahirkan. Sebagian tidak dapat menikah. Sebagian yang menikah tidak pernah bisa memberitahukan pasangannya tentang peristiwa kekejaman yang pernah ia lewati. Desakan yang kuat terhadap pemerintah Jepang untuk bertanggung jawab kepada para korban ianfu mulai menuai hasil pada awal 1990-an. Pemerintah Jepang, di bawah kepemimpinan
Tentara Australia menyerahkan para perempuan tersebut pada NICA (Kupang, 3 Oktober 1945; Australian War Memorial/K. B. Davis).
Perdana Menteri Ryutaro Hashimoto, menulis surat dan menyatakan permintaan maaf secara terbuka kepada perempuan korban pada tahun 1996. Surat permintaan maaf ini kemudian juga ditandatangani oleh Perdana Menteri Jepang selanjutnya, yaitu Keizo Obuchi, Yoshiro Mori, and Junichiro Koizumi. Pada 21 Maret 1997, Perdana Menteri Hashimoto mengirimkan surat permintaan maaf kepada bangsa Indonesia melalui Presiden Soeharto. Menanggapi surat ini, Presiden memerintahkan kepada Menteri Sosial agar tidak membesar-besarkan penyelesaian
Tentara Jepang yang sebelumnya menyekap para perempuan tersebut membawakan barangbarang milik mantan korbannya dari kapal tentara Australia (Kupang, 3 Oktober 1945; Australian War Memorial/K. B. Davis).
persoalan jugun ianfu. Disebutkan dalam dokumen Departemen Sosial bahwa sejak awal pemerintah Indonesia tidak menuntut kompensasi atau ganti rugi melainkan mengharapkan pemerintah Jepang mengambil langkah terbaik untuk penyelesaian kasus ini. Dengan arahan dari Presiden Soeharto, pemerintah Indonesia membuat kesepakatan dengan pemerintah Jepang untuk menggunakan dana kompensasi yang tersedia bagi korban jugun ianfu untuk membiayai penyelenggaraan panti jompo (Panti Sosial Tresna Werdha). Layanan panti ini tidak terbatas pada perempuan korban jugun ianfu, melainkan juga anggota masyarakat lainnya yang sudah sepuh. Sikap pemerintah Indonesia menuai kritik dari komunitas korban karena menyebabkan isu jugun ianfu tidak menjadi pengetahuan bersama masyarakat Indonesia. Penggunaan dana yang tersedia juga tidak tepat sasaran, padahal banyak perempuan korban yang hidup dalam kemiskinan. Diduga, sikap pemerintah Indonesia didorong oleh kepentingan merawat investasi Jepang yang adalah salah satu investor utama dalam pembangunan Indonesia. Pemerintah diduga khawatir bahwa penyikapan yang lebih terbuka akan menumbuhkan kembali sentimen anti-Jepang di dalam negeri yang pernah mencuat dalam Peristiwa Malari 1974.
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
51
masuk korps-korps pemuda semi-militer, sementara yang berusia antara 25-35 tahun diperbantukan pada badan-badan pertahanan sipil dan polisi. Sekitar 25.000 pemuda direkrut ke dalam kesatuan militer sebagai tenaga bantuan yang disebut Heiho dan diberi pelatihan ketentaraan seperti serdadu-serdadu Jepang. Lebih dari 60.000 pemuda lain dikerahkan dalam pasukan Peta (Pembela Tanah Air) yang dipersiapkan untuk melancarkan perang gerilya seandainya tentara Sekutu menyerbu Indonesia. Ada pula organisasi-organisasi pemuda yang mendapat pelatihan ketentaraan, seperti Barisan Pelopor dan Hizbullah yang berafiliasi dengan Masjumi, organisasi Islam yang didirikan pemerintah Jepang pada 1943 untuk mengendalikan golongan Muslim. Perempuan berusia 15-20 tahun yang belum menikah juga dikerahkan untuk menerima pelatihan militer dan masuk dalam Barisan Srikandi. Di luar itu, pemerintah Jepang membentuk organisasi khusus perempuan, Fujinkai, dengan keanggotaan utama para istri pegawai pemerintah dan struktur kepemimpinannya mengikuti hierarki jabatan suami. Tugas utama anggota Fujinkai adalah menggalang tenaga kerja perempuan untuk mendukung tentara Jepang. Para perempuan dikerahkan untuk mengumpulkan logistik dari penduduk, menyelenggarakan kegiatan52
kegiatan sosial di perkampungan sekaligus mempropagandakan kebaikan pemerintah, dan di beberapa tempat mereka diminta merawat dan menghibur tentara-tentara Jepang dengan pertunjukan-pertunjukan kesenian. Para pejuang nasionalis terbelah dalam menghadapi masuknya Jepang. Di satu sisi, penggalangan massa secara besar-besaran dan terorganisir sudah memungkinkan para pimpinan gerakan untuk menjangkau rakyat kebanyakan dan memanfaatkan organisasiorganisasi bentukan Jepang untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Di lain sisi, kontrol penguasa militer Jepang terhadap seluruh kehidupan masyarakat, yang diikuti dengan kekejaman terhadap mereka yang melawannya, menimbulkan kecemasan akan tegaknya kekuasaan fasisme di Indonesia. Gerakan nasionalis kemudian bersepakat menunjuk Soekarno-Hatta untuk bekerja sama dengan pemerintah Jepang dengan harapan keterlibatan itu akan mengurangi derajat kekejaman yang menimpa rakyat. Sebagian yang lain, seperti Amir Sjarifoeddin, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka membentuk gerakan antifasisme di bawah tanah. Sebagian pejuang perempuan yang menolak menjadi anggota Fujinkai bergabung dengan kekuatan di bawah tanah, tapi ada pula yang bergerak di dua lapis,
KITA BERSIKAP
seperti S.K. Trimurti. Ia anggota Fujinkai tetapi juga banyak membantu kegiatan gerakan nasionalis di bawah tanah. Pendudukan Jepang yang cukup singkat tanpa diduga-duga menebalkan dan menyebarluaskan rasa keindonesiaan sampai ke lapisan paling bawah, terutama melalui pengharusan penggunaan Bahasa Indonesia dan pelarangan berhubungan dengan apa pun yang berbau Belanda. Warisan yang tidak kalah menentukan adalah perluasan tradisi pergerakan nasionalis dari politik kaum sipil tidak bersenjata yang bertumpu pada kepiawaian mengelola organisasi-organisasi massa menjadi politik kependekaran yang menuntut keterlibatan pasukan-pasukan bersenjata. Pada saat pendudukan Jepang berakhir, jumlah pemuda yang terlibat dalam berbagai kelompok milisi mencapai dua juta orang. Masyarakat Indonesia dalam sekejap melalui proses militerisasi dan maskulinisasi karena begitu banyak orang menjadi bagian dari institusi ketentaraan yang didominasi laki-laki dan mengagungkan nilai-nilai pertempuran. Meskipun hanya sedikit dari anggota milisi yang dipersenjatai, mereka semua dilatih, didisplinkan, dan diindoktrinasi dengan semangat peperangan dan diberi bayangan bahwa pada suatu saat mereka akan menjadi serdadu yang sebenarnya, bertempur menggunakan senjata.
Kepahitan di zaman Jepang seakan terobati oleh Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Presiden Soekarno secara khusus meminta Soewarni Pringgodigdo, Ketua Istri Sedar, memimpin pergerakan perempuan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta dibentuklah Wanita Negara Indonesia (Wani) dan di daerah Persatuan Wanita Indonesia (Perwani). Di Bandung Ny. Arudji Kartawinata mendirikan Lasykar Wanita Indonesia (Laswi) pada Oktober 1945. Kebanyakan anggota Laswi berasal dari Barisan Srikandi yang dibentuk pemerintah Jepang dan Pemuda Putri Indonesia (PPI). Para pejuang perempuan segera tersengat gairah kobar gerakan pembela kemerdekaan negarabangsa yang baru lahir dan terancam penjajahan Belanda kembali. Mereka dengan sukarela terlibat terutama dalam kegiatan-kegiatan di wilayah yang selalu disebut “garis belakang”, lepas dari pentingnya kerja-kerja ini bagi ketahanan para pahlawan di “garis depan”. Perempuan dari berbagai kalangan dan generasi mendirikan dapur umum; menjahit seragam, bendera dan simbolsimbol republik; menyediakan tempat perlindungan, makanan dan pakaian bagi para pengungsi; menyalurkan makanan dan obat-obatan bagi gerilyawan; merawat yang terluka; sampai menjadi kurir untuk menyampaikan pesan dari satu Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
53
Di tengah revolusi kemerdekaan, organisasi-organisasi perempuan yang vakum selama masa pendudukan Jepang dan yang baru bertumbuhan melakukan konsolidasi Mereka sepakat untuk mendukung perang kemerdekaan. Termasuk di dalam upaya konsolidasi ini adalah sesi dalam kongres Aisyiyah (ANRI).
front ke front lain dan menyelundupkan senjata. Kurir-kurir perempuan terbaik adalah penjaja di warung dan penjual di pasar karena mereka bisa bercakapcakap dengan banyak orang tanpa menimbulkan kecurigaan. Kurir perempuan juga menemukan cara-cara unik untuk menyembunyikan pesan di jalinan
54
rambut dan pembalut. Walaupun jumlahnya tidak banyak, ada pula pasukan-pasukan tempur perempuan dibentuk di beberapa daerah di Jawa, di Sumatra, dan Sulawesi. Gerak perempuan tidak berhenti di medan-medan pertempuran. Organisasi-
organisasi perempuan yang telah ada sejak zaman kolonial kembali berkegiatan dan organisasi-organisasi baru bertumbuhan antara 1945 sampai 1949. Pada kongres perempuan pertama setelah proklamasi kemerdekaan (Desember 1945), Wani dan Perwani digabungkan menjadi Persatuan Wanita
KITA BERSIKAP
Republik Indonesia (Perwari) dengan Sri Mangunsarkoro sebagai ketua. Pada tahun yang sama S.K. Trimurti dan beberapa pejuang lain mendirikan Barisan Buruh Wanita yang merupakan gabungan dari sejumlah organisasi buruh perempuan dan berkaitan dengan Partai Buruh Indonesia. Sri Mangunsarkoro mendirikan Partai Wanita Rakyat, partai perempuan pertama dalam sejarah. Para istri tentara dan polisi juga mendirikan organisasi-organisasi perempuan yang memberikan bantuan bagi para janda anggota angkatan bersenjata. Sejumlah perempuan bekerja sebagai staf kantor perwakilan republik di negara-negara tetangga. Kemudian, satu delegasi berangkat ke All India Women’s Conference di Madras pada 1948 untuk mempromosikan kemerdekaan Indonesia. Keadaan darurat yang tercipta oleh kebutuhan mempertahankan kedaulatan republik seakan membuka ruang bagi percepatan gerak perempuan. Berbeda dengan masa sebelumnya, perempuan tanpa ragu-ragu terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik dan menyatakan posisi politik secara terbuka: mendukung kemerdekaan Indonesia. Walaupun jenis kegiatan yang dilakukan sebagian besar terbatas pada kerja-kerja perawatan yang selalu
dianggap tanggung jawab utama perempuan, perluasan wilayah kerja dari rumah tangga ke tempat-tempat umum, seperti medan gerilya, sudah membuka wawasan baru dalam hal kaitan antara keperempuanan dan keindonesiaan. Pengakuan dari gerakan nasionalis pada umumnya bahwa pikiran dan tenaga kaum perempuan dibutuhkan untuk membangun republik belia ini juga membuat pejuang perempuan berkeyakinan bahwa keterlibatan mereka pada gilirannya akan mendorong terwujudnya kesetaraan dan pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagai warga negara. Sementara pertempuran menghadapi agresi-agresi Belanda yang didukung tentara Sekutu sedang berlangsung, organisasi-organisasi perempuan membagi perhatian dan tenaganya antara mendukung perjuangan nasional dan perumusan tuntutan-tuntutan dasar perempuan yang dikaitkan dengan pendirian negara-bangsa baru. Antara 1945-1952 hampir setiap tahun organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres perempuan nasional di berbagai kota di Jawa untuk menemukan bentuk organisasi payung yang paling tepat untuk mewakili aspirasi kaum perempuan Indonesia sekaligus menelurkan resolusi-resolusi praktis bagi pemerintah. Badan Kongres Wanita Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
55
56
KITA BERSIKAP
Laskar putri sedang berlatih perang. Selama perang kemerdekaan, kaum perempuan terlibat dalam berbagai front, termasuk di garis depan. (Antara).
Indonesia (Kowani) dibentuk organisasiorganisasi perempuan pada 1946 dengan kewenangan penuh membuat keputusan atas nama organisasiorganisasi yang berafiliasi dengannya. Setelah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pada 1949, Kowani berubah menjadi Kongres Wanita Indonesia dan berfungsi hanya sebagai badan koordinasi antarorganisasi anggota tanpa kewenangan mengambil keputusan ataupun langkah-langkah bagi anggotaanggotanya. Posisi politik Kowani sejak awal adalah mendukung sepenuhnya tegaknya republik dan mengadopsi keputusan-keputusan pimpinan nasional, yang hampir semuanya adalah lakilaki, dalam hal bentuk dan dasar-dasar negara, seperti UUD 1945 dan Pancasila. Resolusi-resolusi yang berkaitan dengan perempuan berkisar pada paling tidak empat hal utama: jaminan akan kesetaraan hak bagi perempuan sebagai warga negara, kebijakan perburuhan yang adil bagi perempuan, kebijakan tentang perkawinan yang melindungi perempuan dari kesewenang-wenangan poligami dan perceraian yang tidak adil, dan jaminan kesejahteraan sosial bagi perempuan dan anak-anak, khususnya di bidang kesehatan dan pendidikan. . Sepanjang masa revolusi, gerakan perempuan berhasil menggalang
persatuan antarorganisasi dan mengatasi perbedaan mendasar dalam hal posisi perempuan dalam lembaga perkawinan dengan mengutamakan kepentingan kedaulatan Republik Indonesia. Walaupun kekuatan-kekuatan politik, terutama dalam bentuk partai dengan ideologi yang berbeda-beda, mulai berpengaruh dalam organisasiorganisasi perempuan tertentu, kongreskongres perempuan masih mampu membangun konsensus bersama untuk menelurkan usulan-usulan yang berarti bagi perempuan sebagai warga negara dan kesejahteraan sosial rakyat secara umum. Kebijaksanaan dan wibawa para pimpinan kongres, seperti Maria Ulfah Santoso, Sujatin Kartowiyono, Sri Mangunsarkoro, dan S.K. Trimurti, berperan penting dalam upaya mencapai kesepakatan-kesepakatan minimal di antara organisasi-organisasi yang semakin menunjukkan orientasi politik masing-masing. Sampai tahap tertentu pemerintah memang mempertimbangkan masukanmasukan dari gerakan perempuan. Konstitusi menjamin hak-hak perempuan sebagai warga negara untuk memilih dan dipilih, dan menjalani profesi apa pun. Di pemerintahan, Maria Ulfah Soebadio ditunjuk menjadi Menteri Sosial pada 1946 – perempuan Asia pertama yang menjadi menteri kabinet
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
57
kekuatan sendiri atau harus berafiliasi dengan salah satu partai politik? Jika mereka berafiliasi dengan partai politik, mereka mungkin memperoleh dukungan lebih besar. Tetapi mereka harus berkompromi dengan pimpinan partai yang kebanyakan adalah laki-laki dan belum tentu berminat mengusung kepentingan perempuan. Gerakan perempuan menemui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini saat mereka mengajukan tuntutan-tuntutan perbaikan posisi perempuan dalam perkawinan dan jaminan kesejahteraan sosial bagi perempuan dan anakanak. Jawaban yang mereka peroleh mengguncang bukan saja kebersatuan mereka, tetapi juga gagasan ibu bangsa sebagai sumber kekuatan moral dalam laju langkah-langkah mereka.
Hukum Islam dan Poligami “I’m Leaving” (Iriantine Karnaya/Dok. Foto Cemara 6 Gallery Café)
– dan S.K. Trimurti menjadi Menteri Perburuhan pada 1947. Perjuangan baru yang dihadapi perempuan adalah: Apakah hak-hak yang tercantum dalam konstitusi hanya tinggal di atas kertas atau akan dilaksanakan di lapangan? Apakah mereka akan menikmati kesetaraan yang dijanjikan
58
bersamaan dengan kewarganegaraan? Saluran-saluran politik seperti apa yang dapat mereka manfaatkan untuk mewujudkan kesetaraan yang sesungguhnya? Pemerintahan yang baru, parlemen sementara, dan partaipartai politik didominasi oleh laki-laki. Apakah perempuan harus mengorganisir
Segera setelah kemerdekaan terbit instruksi dari Kementrian Agama yang melarang kawin paksa dan perkawinan anak di bawah umur. Hukum perkawinan juga mengalami kemajuan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1946 tentang keharusan mendaftarkan perkawinan dan perceraian di Jawa dan Madura. Walaupun begitu tidak ada hukum
KITA BERSIKAP
perkawinan yang secara mendasar melindungi hak-hak perempuan. Sementara itu, pada awal 1950an angka rata-rata perceraian lebih dari 50% dan poligami menjadi alasan kedua perceraian setelah ketidakmampuan suami memberi nafkah. Kekacauan di zaman Jepang dan revolusi kemerdekaan rupanya turut berpengaruh dalam ketidakmampuan masyarakat Indonesia mempertahankan perkawinannya. Selain itu, ada kecenderungan di kalangan lelaki yang memperoleh jabatan dalam pemerintahan baru yang menginginkan istri baru yang lebih muda, dianggap lebih menarik, dan sesuai dengan posisi mereka. Perempuan-perempuan dari masa revolusi adalah kawan-kawan seperjuangan yang kehilangan daya tariknya setelah negara-bangsa yang dicita-citakan terbentuk. Melihat kerawanan posisi perempuan di muka hukum, gerakan perempuan bersama dengan anggota parlemen perempuan mendesak pemerintah untuk menyusun Undang-Undang (UU) Perkawinan. Pada 1950 pemerintah membentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan Talak dan Rujuk yang beranggotakan ahli-ahli agama laki-laki dan tokoh-tokoh perempuan yang menguasai hukum seperti Nani Suwondo, Maria Ulfah Santoso, Sujatin Kartowiyono, Kwari Sosrosumarto
(Wanita Katolik), dan Mahmudal Mawardi (mewakili organisasi-organisasi perempuan Muslim). Panitia ini berniat menyusun rancangan UU yang berlaku umum bagi seluruh warga negara Indonesia dan beberapa UU terpisah untuk kelompok-kelompok beragama. Setelah melalui perdebatan panjang, terutama antara organisasi-organisasi perempuan Muslim dengan yang lain, aturan-aturan dasar yang masuk dalam RUU ini adalah menolak kawin paksa dan poligami hanya boleh dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu atau diperbolehkan agama. Pada saat panitia ini sedang bekerja, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 19 Tahun 1952 yang mengatur pensiun bagi para janda pegawai negeri. Peraturan ini memaklumi poligami dengan menyatakan bahwa pegawai negeri yang beristri lebih dari satu sampai empat akan memperoleh pensiun ganda yang harus dibagi merata dengan seluruh istrinya. Untuk menanggung biaya pensiun ini, premi bagi seluruh pegawai negeri dinaikkan dan pegawai negeri yang melakukan poligami dituntut tambahan biaya premi. Peraturan ini disambut baik oleh Masjumi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, dan Muslimat NU. Sedangkan organisasi-organisasi perempuan dipimpin Perwari langsung mengajukan Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
59
Unjuk rasa kelompok perempuan yang dimotori Perwari menuntut pencabutan Tap. No. 19/1952 yang mengizinkan permaduan dan penyusunan UU Perkawinan yang lebih demokratis (Jakarta, Desember 1953; ANRI)
protes keras. Kecuali organisasiorganisasi perempuan Muslim, hampir semua organisasi anggota Kongres Wanita Indonesia (KWI) terlibat dalam demonstrasi menentang peraturan ini. KWI sebagai organisasi payung tidak ikut berdemonstrasi karena perbedaan di dalam tubuhnya. Protes besar-besaran yang dilakukan gerakan perempuan ternyata tidak membuat pemerintah
60
bergeming. Parlemen yang bertemu pada 1954 menetapkan peraturan itu tidak perlu dicabut. Belum usai perjuangan gerakan perempuan untuk melahirkan produk hukum yang diharapkan akan melindungi perempuan sebagai istri dan ibu, Presiden Soekarno memutuskan untuk mengawini Hartini sebagai istri kedua pada 1955.
Sejak awal masa kemerdekaan, Soekarno dilihat sebagai penyeimbang dan pemersatu kekuatan-kekuatan politik yang bersaing memperoleh kekuasaan negara. Di bawah kepemipinan Soekarno berbagai kekuatan tersebut diajak bersepakat untuk menghadapi ancaman serangan dari kekuatan-kekuatan neokolonialisme dan imperialisme (Nekolim): negara-negara industri maju yang menghalalkan segala cara untuk melancarkan penumpukan dan perputaran modal, seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang. Organisasi-organisasi perempuan terombang-ambing antara kepentingan mempertahankan persatuan nasional dan memperjuangkan hakhak perempuan. Di satu sisi, mereka menganggap Soekarno, pemimpin gerakan nasionalis dan kepala negara, sudah mengkhianati perjuangan kaum perempuan. Mereka khawatir tindakan Soekarno akan menjadi pembenaran bagi para lelaki untuk melakukan poligami. Di lain sisi, menyerang Soekarno akan mengundang kecaman keras dari berbagai pihak. Mengangkat isu poligami dapat dianggap mengganggu keseimbangan kekuatan-kekuatan politik nasional. Tuduhan ini tidak jauh berbeda dengan tuduhan yang dilancarkan kepada organisasi-organisasi antipoligami di masa kolonial, seperti Istri Sedar yang dituduh memecah-belah gerakan
KITA BERSIKAP
nasionalis dengan isu poligami. Sebelas organisasi perempuan kemudian menyiarkan pernyataan bersama menentang perkawinan tersebut dan menolak Hartini sebagai Ibu Negara. Mereka juga meminta agar Hartini tidak mendampingi Soekarno pada acaraacara resmi atau kunjungan kenegaraan, mendesak negara untuk tidak membiayai kebutuhan rumah tangganya, dan melarang Hartini tinggal di kediamankediaman resmi yang perawatannya dibiayai negara. Tetapi, akhirnya hanya Perwari yang secara terbuka memboikot kehadiran Hartini, lalu Soekarno juga, dengan risiko kehilangan anggota dan fasilitas dari negara. Organisasiorganisasi perempuan Muslim tidak turut dalam pernyataan terbuka, tetapi mereka mengunjungi Fatmawati, isteri pertama Soekarno, untuk menunjukkan simpati dan menyarankan agar ia tidak meninggalkan istana negara. Sementara organisasi-organisasi yang lain ditekan oleh para suami untuk tidak memusuhi Soekarno. Bahkan Gerwani yang pada masa-masa sebelumnya merupakan organisasi yang sangat gigih bersikap antipoligami memilih tidak mengkritik Soekarno, lagi-lagi demi kepentingan politik front nasional. Walaupun terguncang oleh pengkhianatan Soekarno, gerakan perempuan tidak berhenti mendesakkan
tuntutan adanya UU Perkawinan yang lebih sempurna. Panitia Penyusun Rancangan UU Perkawinan sudah menyampaikan hasil kerja mereka pada akhir 1952, tapi baru tujuh tahun kemudian Kementrian Agama menyerahkan rancangan tersebut ke parlemen. Hal ini antara lain karena organisasi-organisasi perempuan Muslim menuntut adanya hukum perkawinan tersendiri berdasarkan ajaran Islam. Rancangan yang disampaikan ke parlemen akhirnya bernama RUU Pernikahan Umat Islam. Sebelum rancangan ini diserahkan dan dibahas parlemen pada 1958 anggota parlemen dari PNI, Soemari, secara terpisah mengusulkan rancangan UU Perkawinan lain yang dengan tegas mengharuskan perkawinan monogami. Para pendukung rancangan Soemari antara lain menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara merdeka dan modern sudah selayaknya memiliki satu undang-undang nasional yang menjamin kesetaraan bagi semua perempuan, apalagi perempuan ikut menyumbang dalam perjuangan kemerdekaan. Usulan dari Soemari mengundang tentangan hebat dari para anggota parlemen partai-partai Islam, laki-laki maupun perempuan. Alasan-alasan yang dikemukakan kaum lelaki berkisar pada pelaksanaan perkawinan di bawah undang-undang yang sekuler tidak sah Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
61
karena itu berlawanan dengan ajaran Islam. Selain itu, sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam sudah selayaknya hukum Islam diberlakukan di seluruh negeri. Ada pula yang menekankan kebaikan poligami untuk mengatasi keadaan pasca perang yang meninggalkan banyak janda dan anak yatim, atau mencegah laki-laki yang pada dasarnya memiliki gairah seksual lebih besar dari perempuan untuk tidak berzina. Sedangkan anggota parlemen perempuan pada umumnya setuju dengan yang laki-laki bahwa perkawinan harus disahkan dengan hukum agama. Namun, mereka menyadari poligami tidak mudah diterima perempuan, tetapi yang perlu dilakukan bukan melarangnya sama sekali melainkan membatasi pelaksanaannya untuk kondisi-kondisi khusus, misalnya kemandulan atau ketidakwarasan istri. Tentangan juga muncul dari golongan Protestan dan Katolik yang mempersoalkan pasal tentang perceraian dan kemungkinan istri mengajukan perceraian. Kedua rancangan undang-undang yang diajukan Panitia Nikah Talak Rujuk dan Soemari ini diperdebatkan secara terbuka selama beberapa minggu pada 1959 tapi karena menghadapi tentangan sedemikian keras, parlemen memutuskan menunda pengesahannya. Ternyata pembahasan mengenai UU Perkawinan 62
menghilang dari agenda parlemen tanpa alasan yang jelas. Krisis politik yang ditimbulkan pemberontakan di daerahdaerah, seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/ Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/ Permesta) yang menggunakan identitas Islam, tampaknya membuat parlemen beranggapan undang-undang tersebut hanya akan memicu krisis lebih luas di kalangan masyarakat Indonesia.
Perempuan Republik Berbaju Sosialisme Soekarno pernah menyatakan, “Perjuangan tanpa wanita bagaikan sayap garuda yang terpaku di bumi.” Dalam banyak kesempatan, sebelum dan sesudah ia menjadi presiden, Soekarno memberi kesan ia mendukung sepenuhnya pergerakan perempuan. Pada saat ia berada dalam pengungsian di Yogyakarta (1946-1949), ia menyelenggarakan “kursus wanita” setiap dua pekan karena ia percaya, “Soal wanita adalah soal masjarakat!” Bahan-bahan yang ia sampaikan dalam kursus-kursus tersebut ia tulis ulang dan diterbitkan dalam satu buku padat sepanjang 329 halaman yang berjudul Sarinah. Menurut pengakuannya,
KITA BERSIKAP
Sarinah adalah nama pengasuh yang sudah memberinya banyak cinta kasih dan pelajaran tentang “orang ketjil”.
Soekarno dan Fatmawati berjalan bersama dengan sejumlah aktivis perempuan. Soekarno dalam Sarinah menyerukan pada kaum perempuan untuk menjadi bagian dari gelombang perjuangan kelas dengan mempersoalkan struktur penindasan kapitalisme sebagai akar penindasan perempuan. (ANRI).
Dalam Sarinah Soekarno mengulas berbagai pandangan tentang perempuan yang hidup di dunia maupun di masyarakat tradisional di Indonesia dan perjalanan sejarah gerakan perempuan di Eropa dan Amerika Serikat. Ia memperlihatkan bahwa pengalaman perempuan dari kelas-kelas yang berbeda melahirkan tuntutan-tuntutan akan keadilan dan kesetaraan yang berbeda pula. Ia lalu sampai pada kesimpulan panjang bahwa perbedaanperbedaan ini menentukan tahapantahapan perjuangan tertentu. Gerakan perempuan Indonesia ia lihat masih berada pada tingkat kesatu, “tidak lebih dari pada kegiatan sematjam onder-onsje atau ‘kelangenan’ pula. Satu onderonsje prijantun-prijantunan, jang sama sekali djauh terasing daripada massa, dan tidak berisi ideologi sosial dan ideologi politik sama sekali!” Menurut Soekarno, perkumpulan-perkumpulan yang pernah didirikan perempuan semata-mata bertujuan memperhatikan soal-soal kerumahtanggaan dan menyempurnakan perempuan sebagai istri dan ibu. Sementara di Barat, gerakan perempuan sudah mencapai tingkat kedua yang menuntut persamaan hak dan derajat dengan kaum laki-laki
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
63
karena pembatasan wilayah kerja bagi perempuan yang dilakukan kaum lakilaki. Tuntutan ini muncul berbarengan dengan proses industrialisasi di Eropa dan Amerika Serikat yang membutuhkan tenaga kerja perempuan. Namun, tuntutan kesetaraan hak, yang menurut Soekarno merupakan seruan dari kaum feminis, sebenarnya lebih mencerminkan kepentingan perempuan dari kelas atas dan menengah yang tidak diizinkan keluar rumah untuk bekerja. Sementara, perempuan dari kelas bawah diharuskan bekerja karena tidak mungkin bergantung sematamata dari penghasilan orang tua atau suami. Mereka tidak puas dengan tuntutan kaum feminis karena tidak mempersoalkan struktur penindasan kapitalisme secara umum yang sudah menimbulkan ketidakadilan baik bagi perempuan maupun laki-laki. Adalah di tingkat ketiga gerakan perempuan merumuskan bahwa perempuan dan laki-laki harus bekerja sama untuk menciptakan suatu dunia baru tanpa penindasan. Di tingkat yang paling maju inilah gerakan perempuan menjadi bagian dari, “Satu gelombang perdjoangan kelas, jang tidak kenal perbedaan antara manusia dengan manusia, satu gelombang menudju Kemerdekaan–Kemerdekaan lakilaki dan kemerdekaan perempuan. 64
Kemerdekaan kelas dan Kemerdekaan sekse!” Soekarno menyadari bahwa kerja rumah tangga merupakan salah satu faktor utama yang membuat gerak perempuan di wilayah publik terhambat. Oleh sebab itu, ia mengusulkan apa yang ia sebut “sintese antara pekerdjaan di masjarakat dan tjinta dan keibuan” dengan mengalihkan tanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dari keluarga-keluarga batih menjadi tanggung jawab masyarakat. Gerakan perempuan seharusnya membangun kolektif-kolektif dan koperasi yang akan menjalankan tugas-tugas perawatan dan pendidikan anak, pengolahan makanan, dan pelayanan kesehatan. Hanya dengan cara demikian perempuan tidak lagi menghadapi pilihan-pilihan sulit antara menjadi istri dan ibu yang baik di rumah dengan membaktikan diri bagi kerjakerja sosial dan politik di masyarakat. Pada akhirnya Soekarno mengajak perempuan Indonesia bekerja sama dengan laki-laki, bukan melawan lakilaki, untuk menuntaskan Revolusi Nasional berdasarkan cita-cita sosialisme: masyarakat yang berkesejahteraan dan berkeadilan sosial tanpa penindasan manusia satu atas manusia lainnya. Ia menegaskan bahwa sosialisme sudah menjadi jiwa pergerakan nasionalis
KITA BERSIKAP
sejak masa penjajahan dan bukanlah monopoli satu dua partai saja. Boleh dikatakan organisasi perempuan yang langsung terpengaruh gagasan Soekarno tentang kaitan antara gerakan perempuan dan sosialisme adalah Gerwani. Organisasi yang awalnya bernama Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) ini didirikan pada 1950 dan secara ideologis sehaluan dengan Istri Sedar. Pada kongres Gerwis 1954, para pimpinan organisasi memutuskan untuk menjangkau lebih banyak perempuan dari kalangan bawah dan mengubah namanya menjadi Gerakan Wanita Indonesia. “Istri Sedar” dianggap terlalu menekankan pada peran perempuan sebagai istri yang memiliki kesadaran tinggi. Jumlah anggota Gerwis sebenarnya sudah cukup banyak, sekitar 80.000 orang. Melalui kegiatan-kegiatan yang secara sadar diarahkan untuk menggalang dan melibatkan massa, dalam waktu singkat keanggotaan Gerwani mencapai ratusan ribu orang. Pada 1961 Gerwani menyatakan anggotanya sekitar 1 juta perempuan dan sekitar 180 cabang didirikan di berbagai penjuru negeri. Kegiatan-kegiatan Gerwani merambah ke berbagai bidang dengan tekanan pada pendidikan bagi kaum perempuan. Gerwani berhasil menyedot perempuanperempuan muda terdidik ke dalam
Gerwani, seperti kebanyakan organisasi perempuan yang lain, menyelenggarakan pendidikan bagi kaum perempuan dan anak-anak. Sebuah sesi dalam kursus PBH (Pemberantasan Buta Huruf) yang diselenggarakan Gerwani Cabang Gambir, Ranting Halimun (keluarga Oey Hay Djoen).
jaringan kerjanya untuk kegiatan pemberantasan buta huruf yang dimulai pada 1955. Disamping itu, Gerwani mendirikan paling tidak 1.400 taman kanak-kanak yang diberi nama TK Melati yang kadangkadang berdampingan dengan tempat penitipan anak sampai ke wilayah pasar, perkebunan, dan kampung di Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatra. Bagi ibu-ibu rumah tangga, Gerwani
menyelenggarakan berbagai kursus keterampilan, termasuk rias pengantin, tata buku, dan hitung dagang. Ada pula pendidikan politik bagi kader organisasi yang meliputi pembahasan tentang hak-hak perempuan dalam pekerjaan dan perkawinan, serta sejarah gerakan perempuan Indonesia. Sarinah menjadi salah satu buku acuan dalam kursuskursus politik Gerwani. Di bidang ekonomi Gerwani membentuk koperasi
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
65
usaha dan simpan pinjam kecil-kecilan. Selain kegiatan pendidikan yang bersifat massal, Gerwani terlibat dalam aksiaksi politik untuk menyebarluaskan kebijakan-kebijakan pemerintah, seperti UU Pembaharuan Agraria dan Bagi Hasil, pembebasan Irian Barat, dan Konfrontasi dengan Malaysia. Bersamasama dengan organisasi-organisasi perempuan lain, Gerwani terlibat dalam upaya memperbaiki UU Perkawinan, memperjuangkan peningkatan upah dan kondisi kerja bagi buruh perempuan, dan memprotes kenaikan harga-harga barang. Secara khusus Gerwani juga mempersoalkan masalah-masalah kejahatan seksual dan pemerkosaan di Jawa Barat dan Bali, dan mendukung perempuan-perempuan yang berhasil menduduki jabatan pemerintahan sampai ke tingkat desa. Menjelang 1965 Gerwani membantu aksi-aksi sepihak pendudukan tanah yang dilancarkan serikat tani, Barisan Tani Indonesia (BTI), untuk mempercepat pelaksanaan UUPA/ Bagi Hasil. Untuk menjangkau kelas menengah dan menjalin komunikasi di antara sesama anggota, organisasi Gerwani menerbitkan dua majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Gerwani dengan militansi para kadernya sampai ke lapis terbawah masyarakat memperluas gagasan ibu bangsa dan
66
membuatnya lebih radikal, seperti yang diharapkan Soekarno. Secara organisasional Gerwani tidak pernah mempersoalkan pembagian kerja dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin: aktivis-aktivis Gerwani tetap melihat peran utama perempuan sebagai pendidik dan perawat keluarga dan bangsa. Terobosan yang dilakukan Gerwani lebih pada kemampuannya menyelenggarakan kerja-kerja pendidikan dan perawatan masyarakat secara massal, gotong royong, dan lintas kelas sehingga tumbuhlah kesadaran politik keibuan yang tidak terbatas pada tanggung jawab individual terhadap keluarga masing-masing. Para perempuan yang kebanyakan tinggal di pedesaan dengan cara bertahan hidup ditopang kesetiakawanan kerabat dan handai tolan tidak terlalu asing dengan gagasan serupa ini. Gotong royong secara tradisional sudah menjadi semangat mereka. Hal baru yang diperkenalkan melalui berbagai kegiatan Gerwani adalah kaitan antara kebersamaan massa dengan keindonesiaan: bahwa terlibat dalam kerja-kerja kolektif di segala bidang adalah bagian dari hak dan kewajiban semua perempuan sebagai warga negara untuk membangun bangsanya. Perempuan kelas bawah mampu menjadi maju dan memberdayakan dirinya sendiri tanpa perlu menunggu uluran tangan
KITA BERSIKAP
dari pihak-pihak lain yang dianggap lebih maju dan beradab.
Politik Nasional vs Politik Perempuan Ketika Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan menyatakan diawalinya Demokrasi Terpimpin pada 1959, organisasi-organisasi perempuan pada umumnya menyambut keputusan itu dengan gembira. Majelis ini dianggap gagal mencapai kesepakatan untuk menyusun undang-undang dasar baru berdasarkan UUD Sementara 1950 sehingga kembali ke kesepakatan awal yang termaktub dalam UUD 1945 merupakan keputusan terbaik. Bagi gerakan perempuan yang mengalami tarik-menarik antarpartai politik dalam Pemilu 1955 dan juga dalam perdebatan tentang rancangan UU Perkawinan di parlemen, politik partai lebih banyak mengganggu daripada membantu terwujudnya persatuan nasional. Mereka seakan kehilangan harapan terhadap parlemen pula karena walaupun perempuan pemilih berjumlah besar, hanya 19 dari 271 calon yang dipilih mewakili mereka di DPR (7%). Partai-partai politik tertarik memperoleh suara perempuan tetapi tidak bekerja untuk memajukan tuntutan-tuntutan perempuan. Hampir
setiap partai membentuk sayap perempuan sekadar untuk menggalang suara bagi partai. Berkembangnya pemberontakan di daerah-daerah terhadap pemerintah pusat dan upaya sabotase dari kekuatan-kekuatan asing terhadap kesatuan republik pada akhir 1950-an membuat gerakan perempuan lebih waspada akan situasi politik di masa itu. Lepas dari kekecewaan sebagian gerakan perempuan terhadap Soekarno dalam hal poligami, tampaknya mereka berharap Soekarno tetap mampu menjaga keseimbangan antarkekuatan politik yang bersaing sehingga mereka dapat berkonsentrasi pada pekerjaanpekerjaan mereka yang utama. Harapan gerakan perempuan akan adanya semacam kestabilan ternyata tidak terwujud. Persaingan politik antarpartai atau golongan antara akhir 1950-an sampai pertengahan 1960-an justru menajam dan mengancam kemandirian gerakan perempuan. Walaupun di dalam KWI masih ada upaya kerja sama antarorganisasi, kecurigaan akan agenda politik tersembunyi masingmasing menimbulkan ketegangan yang berlarut-larut. Pesatnya perkembangan keanggotaan Gerwani dan keberanian para aktivisnya terlibat dalam kegiatankegiatan politik yang selama ini dihindari organisasi-organisasi perempuan Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
67
lainnya, misalnya soal pembaharuan agraria dan pembagian tanah, sedikit banyak berpengaruh pada upaya gerakan perempuan untuk membangun satu kekuatan politik perempuan yang mandiri. Di satu pihak, keluasan jangkauan Gerwani dan kecepatannya dalam bergerak berguna bagi gerakan perempuan untuk menyebarluaskan gagasan-gagasan baru tentang hakhak perempuan sebagai warga negara, misalnya dalam perkawinan dan perburuhan. Di lain pihak, kedekatan hubungan Gerwani dengan PKI membuat Gerwani mendahulukan kepentingan-kepentingan partai, yang dinyatakan sebagai “kepentingan nasional” di atas kepentingankepentingan khusus perempuan. Misalnya, mengikuti tradisi Gerwis, Gerwani adalah salah satu organisasi perempuan yang awalnya berdiri di baris terdepan menentang poligami. Tetapi ketika Soekarno memperistri Hartini, Gerwani memilih tidak ikut mengkritik Soekarno. Walaupun Gerwani tetap memiliki kebijakan sangat ketat mengenai poligami – tidak mau menerima anggota yang bersedia dimadu dan mengecam pimpinan dan anggota PKI atau ormas-ormas lain sehaluan yang melakukan poligami – keterlibatannya dalam memperjuangkan UU Perkawinan menurun setelah menghadapi tekanan dari PKI. Gerwani beranggapan bahwa 68
posisi terbuka antipoligami dapat membahayakan kepentingan Front Nasional yang sedang dibangun Presiden Soekarno. Organisasi-organisasi perempuan dalam KWI, terutama organisasi tua seperti Aisjijah, juga merasa terganggu dengan apa yang mereka lihat sebagai strategi Gerwani untuk mendorong KWI ke arah kiri. Misalnya, Gerwani menggalang kerja sama dengan organisasi-organisasi perempuan yang sepakat dengan hubungan antara emansipasi perempuan dan sosialisme, dan membentuk “Gerakan Massa” di dalam KWI agar federasi ini lebih memperhatikan masalah-masalah perempuan di kelas bawah. Beberapa organisasi anggota KWI berpendapat bahwa wilayah kerja gerakan perempuan seharusnya tetap di wilayah sosial, bukan politik, sehingga ketika Gerwani mengangkat soal land reform, mereka melihatnya sebagai upaya infiltrasi pihak komunis ke dalam gerakan perempuan. Walaupun di tingkat bawah kerja sama antarorganisasi perempuan masih berlanjut, di tingkat nasional ketegangan antarpimpinan organisasi menguat. Akibatnya, sangat sulit untuk menelurkan satu agenda terpisah politik perempuan. Perbincangan tentang isu-isu pokok seperti permaduan, perceraian, perkawinan anak-anak, atau perdagangan anak dan perempuan,
KITA BERSIKAP
demikian juga isu-isu sosial ekonomi yang menuntut keterlibatan negara, semakin jarang terjadi karena gerakan perempuan disibukkan dengan upaya meredakan ketegangan di dalam tubuhnya dan menyesuaikan diri dengan perkembangan politik nasional yang semakin genting. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan mempersiapkan diri menghadapi operasi pembebasan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia, intervensi dari pejabatpejabat pemerintah sipil maupun militer terhadap gerakan perempuan pun menguat. Pada 1962 KWI menjadi anggota Front Nasional dan mengizinkan anggota-anggotanya mengikuti latihan kemiliteran sebagai sukarelawati. Pejabatpejabat militer mengacu pada politik pertahanan keamanan negara yang bertumpu pada Pertahanan Rakyat Semesta untuk mendorong para ibu mewujudkan perjuangan ibu pertiwi dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Keterlibatan ini juga merupakan bagian dari perjuangan emansipasi perempuan. Brigadir Jendral Soerjosoempeno, Pangdam VII, dalam pidato pembukaan salah satu pusat pelatihan bagi sukarelawati menyatakan:
Peranan wanita menentukan sebab dapat bergerak di segala bidang. . . . Karenanya, kalau terjadi pecah perang, dan ternyata musuh dapat menduduki kota, wanita harus mengambil peranan aktif dalam
pemupukan home front dan harus tangkas menjalankan tugas-tugas psywar, kontra spionase, dan melancarkan sabotasesabotase, yang pada pokoknya berusaha membuat lumpuhnya musuh dengan cara “non-combat”. Harus pula diketahui, bagaimana cara menggunakan senjata dan merusak senjata untuk tidak dapat digunakan lawan, mengenal strategi medan dan taktik tempur kecil . . .
Pada 1960an, kebanyakan organisasi perempuan memprioritas isu-isu nasional, termasuk pengintegrasian Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia, dibanding tuntutan atas kesetaraan perempuan. (Antara)
“Peranan Wanita Menentukan Dalam Pertahanan Rakjat Semesta”, Suara Merdeka, 15 Januari 1965, hal. 2
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
69
Di kalangan organisasi-organisasi para istri anggota angkatan bersenjata dan kepolisian, intervensi dari pihak pimpinan militer sudah terjadi setelah penetapan keadaan darurat SOB (Staat van Oorlog en van Beleg, keadaan perang dan bahaya) oleh pemerintah pada 1957. Organisasi pertama yang menjadi sasaran adalah Persit (Persatuan Isteri Tentara). Awalnya Persit merupakan organisasi otonom dan memiliki agenda perjuangan berbeda dengan para suami mereka di Angkatan Darat. Mereka memperjuangkan kenaikan pensiun janda militer, baik yang suaminya gugur di medan perang maupun karena mati alamiah, memperjuangkan hak suara perempuan, dan terlibat dalam penyusunan rancangan UU Perkawinan. Dengan alasan keadaan darurat, pemimpin Angkatan Darat mendesak Persit untuk lebur dengan institusi Angkatan Darat dan mengikuti doktrin militer. Desakan ini ditolak oleh Dewan Pemimpin Pusat (DPP) Persit, tapi pimpinan Angkatan Darat dengan berbagai cara berhasil menarik Persit dari keanggotaan di KWI, membekukan DPP yang ada, dan mendorong terselenggaranya sebuah kongres luar biasa yang memutuskan penyatuan organisasi istri ke satuan dinas suami. Nama Persit diganti menjadi Kartika Chandra Kirana. Peleburan serupa kemudian juga terjadi pada Pia Ardhya 70
Garini (istri AU), Jalasenastri (istri AL), dan Bhayangkari (istri polisi), dan pada 1964 keempat organisasi istri tentara ini dipersatukan di bawah payung Badan Kerja Sama Dharma Pertiwi.
Keperempuanan Indonesia Terguncang Apa yang berhasil diraih gerakan perempuan lewat kemerdekaan mungkin melebihi angan-angan Kartini 50 tahun silam. Perempuan memperoleh tempat terhormat sebagai warga negara yang didorong untuk aktif terlibat dalam proses pendirian negara bangsa yang baru. Mereka tidak lagi sekadar melihat dirinya sebagai ibu bangsa yang melakukan tugastugas domestik demi kebesaran dan kesejahteraan bangsa. Mereka mulai menerima peran-peran yang lebih kompleks dalam membangun fondasi bagi negara-bangsa yang baru bernama Republik Indonesia. Perempuan mengalami kemajuan dalam hal akses ke pendidikan dan kerjakerja kemasyarakatan yang cukup luas. Sampai batas tertentu, kesetaraan mereka dengan laki-laki perlahan-lahan diterima sebagai kenyataan sehari-hari. Budaya patriarki di masyarakat sedang ditantang
KITA BERSIKAP
saat perempuan menjadi lebih aktif di luar rumah dengan berbagai macam aktivitas sosial, budaya, dan politik.
Propaganda hitam terhadap Gerwani telah mengubah nama organisasi perempuan nasionalis-kiri ini menjadi stigma perempuan amoral dan pengkhianat bangsa. Stigma 'gerwani' masih hidup hingga saat ini. (Berita tentang keterlibatan Gerwani di Berita Yudha, Kompas dan Duta Masjarakat).
Dari masa ke masa gerakan perempuan senantiasa berusaha menjaga keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang ada di dalam tubuhnya dengan gerakan nasionalis pada umumnya. Upayanya untuk merumuskan keperempuanan yang sesuai dengan keindonesiaan tidak pernah dapat lepas dari penafsiran dominan tentang apa yang dianggap nilai-nilai asli kepribumian dan ajaran-ajaran agama. Gerakan perempuan Indonesia selalu berusaha membedakan diri dengan gerakan feminis yang dianggap kebarat-baratan walaupun para pelopor perjuangan emansipasi perempuan memperoleh pendidikan Barat dan tuntutan-tuntutan mereka sebenarnya tidak jauh berbeda dari gerakan perempuan yang lazim disebut feminisme gelombang pertama dan kedua di Amerika Serikat dan Eropa. Sedikit banyak perkembangan politik gerakan nasionalis pada akhir 1920-an yang menekankan perbedaan Barat dan Timur, terutama di bidang kebudayaan, berpengaruh pada gerakan perempuan. Perempuan Indonesia boleh saja maju di segala bidang tanpa melupakan “normanorma ketimuran”. Gerakan perempuan yang lahir bersama
gerakan nasionalis tidak sempat melanjutkan perbincangan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan di dalam tubuhnya dan membangun kekuatan perempuan yang lebih kukuh. Sebuah aksi politik dengan nama Gerakan 30 September (G30S) terjadi di Jakarta pada 1965, dan tanggapan balik dari Angkatan Darat yang didukung kelompok-kelompok antikomunis, berpengaruh sangat besar terhadap perjalanan pejuang perempuan di negeri ini. Dalam peristiwa ini, sejumlah perwira tinggi militer tewas dibunuh dan dikuburkan di Lubang Buaya. Angkatan Darat menuduh PKI yang melakukan pembunuhan tersebut. Gerwani, disebutkan secara khusus, ikut serta dalam melakukan penyiksaan keji sambil menari dengan pakaian yang seronok sebelum pembunuhan dilakukan. Tuduhan tentang peran serta Gerwani dalam penyiksaan terus diembuskan, sekalipun hasil otopsi jenazah menunjukkan bahwa tidak ada bukti-bukti penyiksaan. Bersamaan dengan tuduhan ini, berbagai cerita tentang Gerwani dihadirkan bagi masyarakat untuk menggambarkannya sebagai sekelompok perempuan yang amoral. Tidak pernah terjadi dalam sejarah pejuang perempuan dan organisasi-organisasi yang menaunginya dihantam sedemikian telak, dihancurkan secara fisik dan simbolik justru oleh alat-alat negara yang ikut mereka lahirkan dan besarkan.
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
71
Segera setelah PKI dan Gerwani dituduh terlibat dalam kejahatan terhadap para perwira tinggi Angkatan Darat di Lubang Buaya, Kongres Wanita Indonesia, yang sudah berubah nama kembali menjadi Kowani pada 1964, memecat Gerwani sebagai anggota pada 29 Oktober 1965. Selanjutnya, Kowani memecat dr. Hurustiati Subandrio sebagai ketua Kowani pada 1966 setelah suaminya, Wakil Perdana Menteri I dr. Subandrio, ditangkap dengan tuduhan mendukung PKI. Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan memimpin operasi pembasmian kaum komunis dan simpatisan gerakan kiri. Ia kemudian membangun “konsensus nasional” dengan sejumlah ormas, termasuk organisasi perempuan, untuk memastikan loyalitas dan dukungan terhadap kepemimpinannya. Kowani, sebagai payung organisasi-organisasi perempuan seluruh Indonesia, menggelar Kongres Luar Biasa di Jakarta pada 30 Mei-1 Juni 1966 yang dihadiri wakil-wakil sekitar 35 organisasi anggota. Dalam kesempatan ini Soeharto menyampaikan pidato, “Fungsi dan Kedudukan Kowani”, yang mencakup tema-tema “kedudukan wanita dalam sejarah kemasyarakatan,” “kedudukan wanita dalam sejarah 72
Indonesia,” dan “peranan wanita dalam tujuan dan upaya revolusi Indonesia”. Soeharto kemudian menuntut pertanggungjawaban “wanita Indonesia” untuk melaksanakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang merupakan slogan utama gerakan perubahan pada saat itu: membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, penurunan harga, dan retooling (menata ulang) kabinet Sukarno. Kongres tersebut menghasilkan resolusi yang menyatakan dukungan terhadap pemerintahan baru dengan slogan “kembali ke Pancasila serta UUD 45 secara murni dan konsekuen” serta mendesak pemerintah segera melaksanakan pemilu dan pembersihan lembaga-lembaga negara dari simpatisan G30S. Pada Juni 1966 Kowani mendapat jatah menempatkan perwakilannya di parlemen baru dan menunjuk Ny. S.R. Lasmindar dari Persit/Kartika Chandra Kirana sebagai wakil di DPR Gotong Royong masa Orde Baru. Melalui Sidang Istimewa MPRS, yang juga melibatkan seluruh anggota DPR GR, Soeharto ditetapkan sebagai Pejabat Presiden RI pada 7 Maret 1967. Sejak saat itu Kowani tidak lagi memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret dan Hari Anak Internasional pada 1 Juni dengan alasan kedua hari peringatan tersebut diprakarsai negara-negara komunis.
KITA BERSIKAP
Langkah Kowani selanjutnya adalah mengundang Aisyiyah, yang menyatakan diri keluar dari Kowani pada Kongres Kowani VII di Solo pada 1964 untuk menjadi anggota kembali. Untuk beberapa saat Gerakan Wanita Sosialis (GWS) – organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) – tidak pernah mendapat undangan rapat dari Kowani. Setelah Ketua GWS, Siti Wahyunah Sjahrir, melayangkan surat ke DPP Kowani, untuk menjelaskan bahwa GWS tidak terlibat G30S, baru GWS diundang kembali. Kelak GWS mengubah kata “Sosialis” dan menggantikannya dengan “Sejahtera”, sedangkan organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Wanita Marhaen, mengubah namanya menjadi Persatuan Wanita Nasional (Perwanas).
Soeharto – situasi ini menjadi lahan subur bagi terjadinya diskriminasi yang berujung pada kekerasan terhadap perempuan di setiap lini kehidupannya.
Pukulan terhadap Gerwani, yang dilanjutkan dengan penjinakan gerakan perempuan, menjadi titik perubahan cara interaksi perempuan dengan negara. Dalam waktu 20 tahun setelah proklamasi kemerdekaan, sebuah institusi – yang didominasi laki-laki, menentang pemberdayaan perempuan, dan dibangun dengan mengerdilkan demokrasi yang dibutuhkan untuk membicarakan secara terbuka soal-soal perempuan – menjadi negara. Selama 32 tahun – sepanjang masa kepemimpinan Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
73
Jejak Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan Abad 19 gelombang pertama “aktivis” perempuan (pemimpin pasukan melawan Belanda), seperti Tjoet Nyak Dien dan Christina Marthatiahahu.
Awal Abad 20 Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda
1900
1910
1920
1900-1930an zaman Iboe Bangsa (pendiri dan guru sekolah bagi perempuan Indonesia) 1922 Rahma El Joenoesia dirikan Sekolah Dinijah Poetri (Padang Panjang)
1904 Dewi Sartika mendirikan Sekolah Istri
1908 Boedi Oetomo (organisasi intelektual; awal gerakan kemerdekaan)
1911 Roehana Koeddoes dirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (Kotogadang)
1926 aktifis perempuan dibuang ke kamp di Boven Digul
1909 Surat Kabar Poetri Hindia di Bandung oleh R. M. Tirto Adhisoerjo
1912 Poetri Mardika didirikan (Jakarta)
1926 Kongres Pemuda I; pendirian NU
1912 Muhammadiyah
1928 Kongres Perempuan Indonesia I, PPI didirikan
1913 Sekolah Kartini didirikan 1928 Sumpah Pemuda 1917 Aisjijah didirikan Perempuan Muhammadiyah (Yogyakarta); Maria Maramis dirikan sekolah PIKAT (Manado)
74
KITA BERSIKAP
1930
1940
1950
1960
1930 Istri Sedar didirikan
1942-1945 Organisasi perempuan untuk kebutuhan perang didirikan selama pendudukan Jepang: Barisan Srikandi (berusia 15-20 thn); Fujinkai (isteri pegawai), Wani, Laswi; lebih dari 400 perempuan dijadikan jugun ianfu
1952 sebagian kelompok perempuan protes PP No. 19/1952 tentang
1961 – 1969 Kampenye Rebut Irian Barat
1932 Rasuna Said ditangkap dan ditahan (Semarang) 1935 Kongres Perempuan Indonesia II (Yogyakarta) 1905-1945
pertumbuhan organisasi nasional
1936 Surastri Karma Trimurti ditangkap; ditahan 1939-1943 1938
Kongres Perempuan Indonesia III (Bandung; 22 Des. ditetapkan sebagai Hari Ibu)
1939 Kaoem Iboe Indonesia, organisasi perempuan PRT di Belanda 1941 Kongres Perempuan Indonesia IV (Semarang; keputusan untuk bergabung dgn GAPI)
1942-1945
1945 17 Agustus : Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 Partai Wanita Rakyat; organisasi perempuan baru: Perwari, Barisan Buruh Wanita; organisasi perempuan dlm militer: Persit (AD), Kartika Chandra Kirana (AU), Jalasenastri (AL), Bhayangkari (polisi)
1946 Kowani dibentuk
UU No. 22/1946 tentang pendaftaran perkawinan dan perceraian (Jawa dan Madura)
RUU Pernikahan Umat Islam diajukan ke parlemen
1955
Soekarno mengawini Hartini sebagai istri kedua; kelompok perempuan terpecah dalam kritik tentang poligami
1955 Pemilihan Umum (pemilu) pertama DPP Persit tidak lebur dlm AD atau ikuti doktrin militer shg dibekukan; nama Persit diganti menjadi Kartika Chandra Kirana
1958 Soemari (PNI) usul RUU perkawinan yg mewajibkan monogami 1957-1965
1948 Delegasi RI hadir All Women’s Indian Conference (Madras, India)
1962 KWI jadi anggota front nasional yang wajibkan anggotanya ikut latihan militer dan jadi sukarelawati 1962-1966 Konfrontasi Malaysia 1964 Gerwani dan BTI: aksi-aksi pendudukan tanah untuk mempercepat UUPA Badan Kerja Sama Dharma Pertiwi dibentuk dari gabungan 4 organisasi perempuan dalam militer
KWI kembali berubah nama menjadi Kowani
1965 G30S; Peristiwa 1965; diikuti penangkapan anggota Gerwani; Kowani mencabut keanggotan Gerwani
Demokrasi Terpimpin
1959 Parlemen menghentikan pembahasan usulan RUU perkawinan dari P3HPTR dan Soemari karena menimbulkan kontroversi di masyarakat
1947 S. K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan
1950 P3HPTR dibentuk; Fatayat NU didirikan
1957
1945-1950 Perang Mempertahankan Kemerdekaan
Maria Ulfah Santoso dari Muslimat NU menjadi Menteri Sosial
pensiun janda pegawai (membolehkan poligami)
1954 Gerwis didirikan (nama kemudian menjadi Gerwani)
pendudukan Jepang
demokrasi liberal
1950-1957
1959 Dekrit Presiden, untuk kembali ke UUD 1945
1966 Kowani memecat dr. Hurustiati Subandrio
Kongres Luar Biasa Kowani (Jakarta) menghasilkan keputusan untuk dukung kepemimpinan Soeharto
Ny. S.R. Lasmindar dari Persit/ Kartika Chandra Kirana sebagai wakil di DPR
1967
Parlemen secara resmi menunjuk Soeharto sebagai Presiden Indonesia
Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan
75
Orde Baru dibangun di atas tenaga dan tubuh perempuan. Buruh perempuan di Bekasi (Bekasi, 8 Oktober 1992; TEMPO/Rully Kesuma)
76
KITA BERSIKAP
MENIMBANG ULANG POSISI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN
III
Freeport bilang, “Tanah ini milik negara, kami sudah beli dari negara.” Saya tanya, “Sejak kapan negara bikin tanah, air, ikan, dan karaka, lalu kasih saya sehingga dia boleh ambil seenaknya?” Yosepha Alomang, pejuang Suku Amungme, ketika menerima Goldman Environmental Prize, 2001
Ketika mengambil alih kepemimpinan nasional pada 1966, Mayjen Soeharto dan para pendukungnya menyadari bahwa mereka hanya dapat bertahan apabila mereka berhasil menciptakan kondisi ekonomi yang lebih baik daripada pada masa pemerintahan Soekarno. Sejak awal, pemerintahan Soeharto, yang kemudian dikenal dengan nama
Orde Baru, menawarkan kerangka pembangunan nasional yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi dan kecepatan industrialisasi dengan negara sebagai agen utama transformasi sosial. Pemerintah Orde Baru beranggapan bahwa pemerintah Soekarno terlalu sibuk dengan masalah-masalah politik nasional dan internasional sehingga mengabaikan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Seperti disampaikan Soeharto pada salah satu pidato awalnya, “Yang kita butuhkan sekarang adalah pahlawanpahlawan pembangunan.” Pemerintahan Soeharto mewarisi utang luar negeri sebesar US$2,4 juta dan laju inflasi sebesar 20-30% per bulan
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
77
Pemerintah Orde Baru memandang tidak mungkin menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan kecuali dengan pinjaman internasional. Soeharto menerima kunjungan Rockefeller (Jakarta, 16 Maret 1967; Djoni Litahalim)
78
dari pemerintahan Soekarno. Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negeri termiskin di dunia dengan pendapatan per kapita US$190, kelangkaan pangan, serta keterbatasan dan kerusakan infrastruktur, tanpa pertumbuhan ekonomi yang berarti. Pemerintah Orde
Baru memutuskan bahwa bantuan luar negeri dibutuhkan untuk menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan. Mereka berpendapat bahwa sebagai negeri yang baru merdeka, Indonesia tidak memiliki modal, keahlian, dan teknologi yang memadai untuk mengolah kemampuan
KITA BERSIKAP
sumber daya manusia dan kekayaan sumber daya alamnya. Indonesia tidak mungkin melanjutkan kebijakan berdikari di bidang ekonomi yang dicanangkan Soekarno tanpa dukungan internasional, terutama dari negeri-negeri industri maju yang pada saat itu digolongkan dalam Blok Barat (Amerika Serikat dan negerinegeri Eropa Barat). Dalam beberapa hal, kerangka pembangunan nasional yang ditawarkan Soeharto bukanlah sesuatu yang sama sekali baru dalam sejarah Indonesia dan bukan pula khas Indonesia. Gagasan bahwa kemajuan atau modernisasi hanya mungkin dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan kecepatan industrialisasi hidup di kalangan elit pergerakan nasional dan merupakan paham yang berpengaruh di dunia sejak awal abad ke-20. Yang baru dari Orde Baru adalah, pertama, keputusan untuk menyesuaikan dan memadukan langkahlangkah pembangunan Indonesia dengan kebijakan-kebijakan luar negeri Blok Barat, terutama Amerika Serikat. Dengan demikian Orde Baru sudah mengakhiri satu periode yang sarat dengan retorika dan kebijakan-kebijakan antineokolonialisme dan imperialisme Barat. Sebagai perwujudan dari langkah ini, undang-undang pertama yang diterbitkan oleh kepemimpinan Soeharto adalah UU Penanaman Modal
Asing pada 1967. Undang-undang ini membuka ruang penanaman modal dan kepemilikan perusahan oleh pihak asing sehingga proses industrialisasi di berbagai sektor ekonomi pun dapat berlangsung dengan lancar. Jika awalnya pemodal asing hanya tertarik pada industri ekstraktif yang lebih berpotensi membawa keuntungan jauh lebih besar, di tahap selanjutnya mereka juga masuk ke industri-industri lain, terutama tekstil, kimia, dan manufaktur. Perubahan kebijakan luar negeri ini menyebabkan Orde Baru, pada gilirannya, mendapat dukungan dari Blok Barat, tidak saja dalam hal ekonomi tapi juga politik, misalnya dalam posisi Indonesia terhadap Papua dan Timor Timur. Pemerintah Soeharto, yang kedua, menekankan pentingnya militer sebagai pemimpin utama perjalanan negeri ini untuk mencapai kemajuan yang dicitacitakan. Selama masa Orde Baru stabilitas nasional dan pembangunan dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Keadaan yang aman dan tenang, tanpa kerusuhan sosial dan pergolakan politik, merupakan persyaratan mutlak untuk menjamin kesuksesan pertumbuhan ekonomi. Soeharto menilai bahwa ABRI sebagai alat pengamanan negara telah teruji keampuhannya sejak perang kemerdekaan sampai penyelamatan Indonesia dari upaya penyelewengan Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
79
Modernisasi dan Militer
P
roses penataan ulang sistem ekonomi-politik Indonesia oleh pemerintah Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik internasional setelah Perang Dunia II. Pertarungan kepentingan ekonomi dan politik negara-negara adikuasa, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang lazim disebut Perang Dingin, berpengaruh terhadap perjalanan sejarah negeri-negeri bekas jajahan, Indonesia tak terkecuali. Sebagai negeri dengan wilayah dan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, serta kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, Indonesia berperan penting dalam menentukan perimbangan kekuatan di tingkat global. Walaupun sejak Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 Indonesia, bersama negeri-negeri bekas jajahan lainnya, menyatakan diri sebagai bagian dari Gerakan Non-Blok yang bermaksud tidak memihak pada Blok Timur (Uni Soviet) atau Blok Barat (AS), pesatnya perkembangan PKI pasca pemilu 1955 di Indonesia membuat Blok Barat gelisah. AS secara khusus mengkhawatirkan semakin dekatnya hubungan antara pemerintah Indonesia dengan Uni Soviet sejak akhir 1950-an yang dibuktikan dengan besarnya bantuan ekonomi dan militer dalam bentuk pinjaman dana, serta persenjataan militer dan peralatan tempur untuk menghadapi
80
pemberontakan-pemberontakan di luar Jawa. Sebagian besar dari hutang luar negeri yang diwariskan pemerintah Soekarno kepada pemerintah Soeharto berasal dari Uni Soviet. Kebijakan pemerintah Soekarno untuk melakukan nasionalisasi ratusan perusahaan asing di bidang pertambangan, perkebunan, perminyakan, dan manufaktur, termasuk yang dimiliki Belanda, pada 1957 menambah kecemasan Blok Barat. Apalagi ketika Soekarno membiarkan militer, terutama Angkatan Darat, untuk mengambilalih pengelolaan perusahaan-perusahaan negara tersebut walaupun kemudian terbukti mereka tidak mampu mengelolanya dengan baik. Pada saat yang hampir bersamaan pemerintah menerbitkan Undang-Undang Keadaan Bahaya 1957 (kemudian berubah menjadi Perpu No. 23/Prp/1959) untuk meredam kemungkinan pemberontakan di kalangan laskar-laskar bersenjata seperti yang terjadi sejak kemerdekaan negeri ini diproklamirkan. Dalam waktu singkat, militer menjadi kekuatan ekonomi dan politik yang dominan. Soekarno memberi kekuasaan sedemikian besar kepada militer untuk menjaga perimbangan kekuatan-kekuatan politik di dalam negeri. Bagi Blok Barat langkah-langkah
ini menunjukkan bukan saja semakin mantapnya kekuasaan Soekarno, tetapi juga arah strategi pembangunan nasional yang tidak sejalan dengan gagasan negara-negara Barat tentang modernisasi. Indonesia dilihat semakin berorientasi pada strategi pembangunan ala Blok Timur yang menekankan pada proses industrialisasi yang bertumpu pada pengelolaan potensi sumber daya di dalam negeri, pembatasan bantuan dan modal asing, dan kepemimpinan negara dalam seluruh proses pembangunan. Keberhasilan Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Ketertiban dan Keamanan (Kopkamtib) dalam menumpas G30S dan meminggirkan PKI serta kekuatan-kekuatan lain yang dianggap berhaluan komunis merupakan acuan penting bagi Blok Barat untuk memberikan dukungan bagi kepemimpinannya. Pada periode pemantapan kekuasaannya, Soeharto dengan segera memutar haluan pembangunan nasional dan menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia siap bergabung dengan sistem perekonomian pasar bebas Blok Barat. Undang-undang pertama yang diterbitkan dalam masa pemerintahannya berkenaan dengan keterbukaan Indonesia terhadap penanaman modal asing. Dengan
KITA BERSIKAP
undang-undang ini pemodal asing dan lembaga-lembaga internasional mendapat akses leluasa untuk mempengaruhi proses pembangunan di Indonesia. Jaminan yang tidak kalah pentingnya adalah kepemimpinan militer dalam menjaga stabilitas negara dan keamanan proyekproyek pembangunan yang sebagian dibiayai dana dari luar negeri. Namun, Soeharto menyadari bahwa ia tidak dapat menyerahkan perencanaan
strategi pembangunan dan penataan sistem ekonomi nasional sepenuhnya kepada militer. Reputasi militer yang buruk dalam pengelolaan perusahaan-perusahaan negara akan membuat negara-negara Blok Barat enggan memberikan dukungan kepada pemerintahannya. Untuk itu, Soeharto melibatkan kaum terpelajar yang sejak pertengahan 1950-an secara bergiliran menempuh pendidikan tinggi di institusi-institusi pendidikan ternama di AS, dengan bantuan dari lembaga-lembaga
Doktrin Dwifungsi ABRI disebarkan lewat program ABRI Masuk Desa (Aceh, 1991, Tempo/Sarluhut Napitupulu)
filantropi AS, untuk mengembangkan pemikiran tentang strategi pembangunan yang tepat bagi Indonesia. Golongan intelektual yang kemudian sering disebut sebagai kaum teknokrat ini berperan penting dalam merancang strategi ekonomi Indonesia jangka panjang sesuai dengan kerangka pemikiran tentang pembangunan dari negara-negara Blok Barat.
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
81
Pancasila oleh Gerakan 30 September bersama PKI. ABRI, karena itu, dibutuhkan sekali lagi untuk mengamankan kepentingan nasional bernama pembangunan. Orde Baru mengadopsi doktrin Dwi Fungsi ABRI; seperti dinyatakan dalam Doktrin Pertahanan Keamanan Nasional dan Doktrin Perjuangan ABRI (1966), ABRI bukanlah semata-mata tentara profesional sebagai alat pertahanan dan keamanan, melainkan kekuatan sosial yang ikut menentukan haluan dan politik negara, aktif di bidang politik, ekonomi dan sosial, serta terlibat dalam pembinaan dan pembangunan, pengembangan, peningkatan dan pengamanan segala segi kehidupan: ideologi, politik, ekonomi, keuangan, rohani, dan sosial-budaya. Dengan militer sebagai pemimpin, soal ekonomi pun dijabarkan dalam istilahistilah militer. Salah satu ungkapan yang terkenal di awal Orde Baru untuk menjelaskan komponen-komponen pokok dalam pembangunan ekonomi adalah “the leader, the man, and the gun” (aslinya dalam bahasa Inggris: pemimpin, manusia laki-laki, dan pistol). Penjabaran ungkapan ini: “pemimpin” adalah jendral dalam organisasi militer yang bukan saja seorang idealis sejati, tetapi juga pragmatis dan realistis; “manusia laki-laki” adalah akademisi, 82
intelektual, dan ahli ekonomi yang bertanggung jawab menyusun cetak biru untuk pembangunan ekonomi; dan “pistol” melambangkan modal dan bahan mentah yang akan digunakan. Pemerintahan Orde Baru juga memercayai bahwa keterlibatan terlalu banyak elemen masyarakat dalam penentuan arah kebijakan negara merugikan proses pembangunan bangsa dan menimbulkan demoralisasi. Rakyat, yang dalam pandangan mereka “belum cukup rasionil,” tidak seharusnya digiring ke sana-ke mari dan terlalu banyak menghabiskan waktu untuk berkegiatan di partaipartai politik daripada membangun desanya masing-masing. Kegiatan politik dianggap sebagai kemewahan yang belum pantas dinikmati rakyat Indonesia. Pemerintah Orde Baru, karenanya, menetapkan agar kegiatan politik dibatasi sampai daerah tingkat II dan mendorong proses depolitisasi dan deparpolisasi bagi desa-desa. Kebijakan ini dikenal sebagai kebijakan massa mengambang (the floating mass), terutama untuk mengidentifikasi rakyat di pedesaan. Setelah Golongan Karya (Golkar) memenangkan Pemilu pada 1971 dengan dukungan penuh dari ABRI dan birokrasi, dua tahun kemudian terjadi penggabungan sembilan partai politik lain menjadi
KITA BERSIKAP
dua (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) yang dibatasi wilayah geraknya di pedesaan – tempat mayoritas penduduk Indonesia hidup. Boleh dikatakan Golkar, sebagai organisasi fungsional, menjadi wadah utama partisipasi politik rakyat karena partai ini dibayangkan dapat bergerak melampaui gangguan politik dan perbedaan ideologi. Selain lewat penyatuan partai politik, proses depolitisasi juga dilakukan melalui kebijakan tentang pengawasan ketat pada media massa dan tentang kampus sebagai ruang yang bebas dari aktivitas politik.
Selain masalah-masalah ekonomi dan politik, pemerintah Orde Baru juga mewarisi kerumitan perumusan identitas nasional yang terkait dengan kepentingan mempertahankan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Serangkaian pemberontakan bersenjata yang terjadi pada paruh akhir 1950-an menjadi catatan tersendiri bagi pemerintah pusat untuk tetap mempertimbangkan kemajemukan dan perimbangan kekuatan-kekuatan sosial politik yang berlandaskan identitas primordial. Untuk itu – juga demi kelancaran proyek pembangunan nasional – negara menetapkan haluanhaluan pokok yang tidak dapat
diperdebatkan apalagi dilanggar, seperti UUD 1945, Pancasila, dan keutuhan wilayah NKRI. Di sini ABRI sekali lagi berperanan penting untuk memastikan agar semangat kedaerahan maupun keyakinan pada ajaran-ajaran tertentu tidak melahirkan gerakan-gerakan politik yang membahayakan kesatuan dan persatuan nasional. Dalam merancang strategi pembangunan nasional, pemerintah Orde Baru sejak awal memperhitungkan kaum perempuan. Sepanjang sejarah pergerakan nasional sampai berdirinya Republik Indonesia perempuan terlibat secara aktif dalam berbagai bidang pembangunan bangsa dan negara. Pemerintah Orde Baru juga membutuhkan keterlibatan perempuan dalam proyek-proyek pembangunan negara. Namun, pemerintah harus memastikan bahwa keterlibatan itu tidak akan membahayakan tatanan sosial yang mendukung kerangka pembangunan yang sudah ditetapkan. Dengan mengacu pada gagasan-gagasan umum tentang peran dan posisi perempuan dalam pergerakan kebangsaan serta yang hidup di masyarakat, pemerintah menetapkan secara resmi wilayahwilayah utama bagi perempuan, yaitu rumah tangga dan keluarga. Pemerintah juga memanfaatkan perangkat pengorganisasian yang telah Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
83
dibangun gerakan perempuan dari masa sebelumnya untuk menjalankan program-programnya. Pembatasanpembatasan yang didasarkan pada asumsi tentang pembagian peran perempuan dan laki-laki ini pada gilirannya menempatkan perempuan pada posisi yang rentan terhadap ketidakadilan dan kekerasan.
Pemanfaatan Tenaga Kerja Perempuan Perempuan Desa Bagi Orde Baru, secara umum perempuan desa memegang peranan penting dalam melancarkan rodaroda percepatan industrialisasi Orde Baru. Pada dasawarsa pertama Orde Baru perempuan desa banyak yang meninggalkan pekerjaan mereka di wilayah pertanian akibat kebijakan modernisasi pertanian yang dikenal dengan nama Revolusi Hijau. Kebijakan ini adalah jalan pintas yang diambil pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pangan. Kebijakan ini berhasil mendorong produksi beras hingga mengalami kenaikan pesat sekitar 4,5% setahun
84
pada awal 1970-an. Dalam sistem pertanian tradisional menyemai bibit, memberi pupuk, dan menuai padi, yang dilakukan dengan aniani, adalah pekerjaan perempuan. Setelah padi dipanen, perempuan pula yang menumbuk padi. Masuknya mesin penggiling padi (huller) telah menyebabkan paling tidak 1,2 juta perempuan tidak bertanah di Jawa kehilangan pekerjaan. Meluasnya
Lebih 1,2 juta perempuan desa meninggalkan pertanian akibat Revolusi Hijau. (Karawang; Pekka/Ayu)
KITA BERSIKAP
Baliho keberhasilan swasembada beras Indonesia, 1984-1989. (Jakarta; John McGlynn)
Revolusi Hijau
R
evolusi Hijau berlangsung di berbagai penjuru dunia melalui program-program modernisasi pertanian yang didanai Ford Foundation dan Rockefeller Foundation sejak 1950an. Di Indonesia, revolusi hijau mulai dilaksanakan melalui program Bimbingan Masyarakat (Bimas) pada 1968 dengan prinsip Panca Usaha Tani, yaitu pemakaian bibit unggul, perubahan cara
bercocok tanam, pengairan, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit. Dengan revolusi hijau Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan sementara antara 1984-1989. (Pada awal 1990an Indonesia kembali mengimpor beras hampir sebanyak pada masa sebelum swasembada pangan, sekitar satu juta ton per tahun). Pada 1986 Presiden Soeharto mendapat penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian dunia (FAO) atas keberhasilannya meningkatkan produksi pertanian. Yang kerap lolos dari perhatian adalah kenyataan bahwa keberhasilan ini dibangun di atas
peminggiran terhadap perempuan desa dari sektor pertanian. Akses perempuan pada tata perekonomian desa sangat terbatas karena dikuasai oleh institusi-institusi bentukan pemerintah seperti Badan Usaha Unit Desa dan Koperasi Unit Desa (BUUD dan KUD). Perempuan mau tidak mau harus membuat pilihan-pilihan yang tidak menyenangkan demi kelangsungan hidup dirinya dan keluarganya.
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
85
setelah kebijakan modernisasi, sering kali tidak diizinkan ikut panen karena akan mengurangi jatah pembagian hasil bagi pemilik tanah, pedagang perantara, dan tenaga borongan. Peminggiran ini menyebabkan perempuan desa beralih dari pertanian ke industri. .
Perusahaan berorientasi ekspor lebih senang mempekerjakan perempuan berusia belasan tahun karena lebih mudah dikendalikan dan mau dibayar dengan murah. (Jakarta, 2009; Tempo/Puspa Perwitasari)
areal pertanian dan mendesaknya kebutuhan melakukan panen secara cepat mengalihkan cara panen dengan menggunakan ani-ani ke sistem panen tebasan yang menggunakan sabit. Perempuan tersingkir dari proses ini karena pengguna sabit adalah laki-laki. Selain itu, dalam sistem tradisional,
86
penduduk desa, terutama mereka yang miskin, jika terlibat dalam kegiatan panen akan memperoleh imbalan in natura (berbentuk barang) sesuai kesepakatan dengan pemilik tanah dan pedagang perantara dari luar desa. Perempuan yang biasanya memperoleh tambahan pangan melalui kegiatan panen ini,
Kalau perempuan memilih tetap tinggal di desa, mereka biasanya terlibat dalam industri kerajinan rumah tangga, seperti membuat anyaman bambu dan rotan atau pengolahan makanan (gula-kelapa, tahu, dan tempe) dengan penghasilan yang sangat kecil. Sampai pertengahan 1970-an industri rumah tangga menyerap sekitar 80% angkatan kerja di sektor industri dan sekitar separuhnya adalah perempuan. Tetapi, pemerintah tidak mengutamakan pengembangan industri ini sehingga sedikit bantuan khusus yang diberikan untuk meningkatkan modal ataupun memperluas pemasaran hasil-hasilnya.
Perempuan Buruh Di luar industri rumah tangga, lapangan kerja yang tersedia bagi perempuan adalah masuk dalam industri-industri yang sudah ada sejak masa kolonial, seperti pertenunan, rokok kretek, gula, pengeringan tembakau, dan
KITA BERSIKAP
pemintalan, atau industri-industri baru seperti tekstil, kimia, logam dasar, dan perakitan alat-alat elektronika yang membutuhkan taraf keterampilan dan pendidikan lebih tinggi daripada yang dimiliki kebanyakan perempuan. Tidak mudah bagi perempuan untuk memasuki kedua wilayah industri tersebut. Industri lama biasanya mempekerjakan kelompok-kelompok buruh yang sudah turun-temurun bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Industri baru berukuran sedang dan besar yang padat modal asing sudah padat pula dengan tenaga kerja yang berasal dari proses peminggiran petani di pedesaan. Pemerintah Orde Baru memberikan perhatian besar pada pengembangan industri-industri baru yang mampu menghasilkan barangbarang konsumsi masyarakat secara cepat dan murah dengan harapan akan menciptakan lapangan kerja luas. Namun, penyerapan industri ini tidak mampu mengatasi derasnya laju urbanisasi. Alhasil, perempuan terpaksa menerima skema penyewaan dan pengupahan tenaga kerja yang tidak menguntungkan. Banyak perempuan muda masuk perusahaan-perusahaan manufaktur sebagai pekerja tidak tetap, yaitu buruh harian lepas, buruh percobaan, buruh musiman, dan buruh kontrak. Pada awalnya perusahaan lebih suka
mempekerjakan buruh-buruh terdidik (lulus sekolah menengah) dan terampil, yang kebanyakan laki-laki, agar proses produksi berjalan cepat dan mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Pada awal 1970-an terjadi ketidakpuasan di kalangan buruh laki-laki terhadap kondisi kerja dan pengupahan sehingga terjadi aksi-aksi protes dan kekerasan terhadap pengelola perusahaan. Hal ini mengubah kebijakan perusahaan untuk lebih mempekerjakan buruhburuh muda, tidak berpendidikan memadai, dan berketerampilan rendah. Sebagian besar dari buruh tersebut adalah perempuan berusia belasan tahun. Mereka lebih mudah dikendalikan dan dibayar dengan murah. Buruh perempuan diupah lebih murah daripada yang laki-laki karena mereka selalu dilihat sebagai pencari nafkah tambahan. Bekerja di pabrik dianggap bukanlah tugas utama perempuan, apalagi jika mereka telah menikah dan mempunyai anak. Buruh laki-laki yang lebih terdidik kemudian diberi posisi sebagai penyelia dan pengawas buruh perempuan. Perusahaan juga mengutamakan buruhburuh perempuan lajang atau tanpa anak. Perusahaan memecat buruh-buruh perempuan yang sudah menikah dan mengandung agar perusahaan tidak perlu membayar jaminan kesejahteraan bagi mereka dan proses produksi tidak terganggu oleh kebutuhan perempuan Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
87
mengambil cuti hamil dan melahirkan. Perempuan terpaksa menerima perlakuan yang tidak adil dalam bekerja karena mereka sangat membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup dan membantu keuangan keluarga.
Pembunuhan Marsinah mendorong buruh perempuan untuk mengorganisir diri dan menuntut perbaikan kondisi kerja. (Semsar Siahaan/poster)
88
Sementara itu, pengamat perkembangan perekonomian Indonesia dari dalam dan luar negeri merayakan keberhasilan pemerintah Orde Baru memacu pertumbuhan ekonomi. Antara tahun 1967-1975, Indonesia mencatat kenaikan pendapatan negara sebanyak 10%-20% dari GDP (produk domestik bruto). Bagian terbesar dari pendapatan ini diperoleh dari ekspor minyak bumi yang pengolahannya didukung oleh modal asing. Pengembangan teknologi baru dianggap sudah membawa manfaat nyata karena pemerintah berhasil menyediakan paling tidak kebutuhan dasar rakyat di bidang sandang pangan dengan harga murah. Barang-barang konsumen lainnya, seperti peralatan rumah tangga dari plastik dan perangkat elektronik, dengan mudah bisa didapatkan di pasaran. Bantuan asing dan pendapatan negara dari ekspor minyak bumi telah memungkinkan pembangunan infrastruktur pokok untuk kelancaran industrialisasi: irigasi, listrik, jalan, angkutan, dan komunikasi. Yang juga dianggap sebagai penanda penting keberhasilan modernisasi
di Indonesia adalah pembangunan hotel-hotel dan gedung-gedung perkantoran di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Masalah-masalah sosial seperti pengangguran, kekurangan gizi, dan kesenjangan pendapatan yang muncul akibat pengabaian partisipasi rakyat dalam perumusan kebijakankebijakan pembangunan dianggap sebagai keterbatasan pemerintah untuk melakukan proses industrialisasi lebih meluas. Peningkatan industri padat karya dibayangkan akan semakin memperluas kesempatan kerja dan memungkinkan rakyat memperoleh pendapatan yang layak sehingga mereka mampu meningkatkan taraf hidupnya. Ketika pendapatan minyak bumi menurun pada 1980-an dan tekanan internasional untuk membuat perekonomian Indonesia lebih terbuka lagi kepada modal asing meningkat, pemerintah memutuskan untuk mendorong berdirinya perusahaanperusahaan yang berorientasi kepada ekspor dalam jumlah besar seperti garmen, sepatu olahraga, tekstil, dan barang-barang elektronik. Tenaga kerja perempuan merupakan aset utama karena dianggap lebih mudah dikendalikan dan tidak membutuhkan upah tinggi. Secara khusus kantorkantor perwakilan pemerintah di luar negeri menekankan bahwa pemodal
KITA BERSIKAP
asing dengan aman dapat berusaha di Indonesia. Jaminan keamanan ini diperoleh karena negara, melalui aparat keamanannya, siap mengendalikan buruh dengan melarang mereka berorganisasi dan melakukan pemogokan. Pengadilan industri juga berpihak pada pengusaha dalam penyelesaian persengketaan perburuhan. Di masyarakat, diskriminasi dan kekerasan terhadap buruh perempuan di dalam lingkup pabrik dianggap wajar: kerja lembur, upah di bawah standar, penghukuman atas pelanggaran aturanaturan perusahaan, pengingkaran hak memperoleh cuti haid, sakit, dan hamil, sampai pelecehan seksual. Kekerasan baru menjadi perhatian publik ketika itu terjadi di luar dinding pabrik dan brutal sifatnya, seperti yang terjadi pada Marsinah pada 1993, buruh perempuan yang disiksa secara seksual dan dibunuh penguasa militer setempat karena mengorganisir pemogokan serikat buruh.
Perempuan Buruh Migran Bersamaan dengan perubahan kebijakan industrialisasi ini, pemerintah mulai mendorong tenaga kerja Indonesia bekerja di luar negeri untuk mengurangi tingkat pengangguran. Urusan Buruh Migran Indonesia (BMI) sudah menjadi jaringan bisnis besar yang melibatkan
calo-calo dari tingkat desa ke pusatpusat pemberangkatan buruh di kota hingga petugas-petugas imigrasi dan bea cukai di bandara-bandara internasional. Walaupun kelancaran usaha ini ditunjang oleh keterbatasan serta pelanggaran peraturan-peraturan yang dibuat pemerintah, industri BMI terus mengalami peningkatan yang signifikan dari segi jumlah pengiriman tenaga kerja maupun pendapatan yang diperoleh. Repelita IV (1984-1989) menargetkan pengiriman BMI sebesar 250.000 orang. Pada kenyataannya, Departemen Tenaga
Sejak tahun 1980an, pemerintah mulai mendorong perempuan untuk bekerja di luar negeri meski nyaris tanpa perlindungan. Sebanyak 920 calon BMI mengikuti Persiapan Akhir Pemberangkatan (Jakarta, 2006; Tempo/Yosep Arkian)
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
89
Kerja mengirim lebih dari 450.000 orang pekerja. Penghasilan yang diperoleh dari BMI pada periode ini sebesar US$552 juta. Pada 1983 jumlah buruh migran perempuan mencapai 41,5% dari total yang dikirim dan pada 1988 sudah mencapai 77,5%. Pada 2004, 80% dari 400.000 BMI yang terdaftar adalah perempuan dan jumlah uang yang resmi dikirim pulang mencapai US$1,35 milyar. Uang tersebut tidak langsung masuk anggaran pemerintah, melainkan digunakan keluarga BMI untuk berbelanja di Indonesia, yang berarti turut memutar roda ekonomi pembangunan. Begitu banyak perempuan terpaksa memilih bekerja di negeri-negeri asing, berpisah dengan anak dan keluarganya untuk jangka waktu tak terbatas. Pertanian, perkebunan, dan perusahaan yang berdiri sejak zaman kolonial, seperti kopi, gula, dan tembakau, semakin terbengkalai sejak pemerintah lebih memerhatikan pengembangan industri-industri padat modal asing, seperti pertambangan dan manufaktur. Sementara, setelah industri manufaktur juga runtuh di awal tahun 1990-an karena pemodal asing lebih senang menanam modalnya di negeri-negeri lain (Cina dan Vietnam, contohnya), pemerintah seakan tidak memiliki alternatif lain untuk mencari 90
sisi-sisi keunggulan komparatif Indonesia di dalam perekonomian global selain penjualan tenaga kerja murah. Pemerintah dengan bangga menyambut para buruh migran perempuan di bandara dengan sebutan “pahlawan devisa” tanpa mengupayakan sistem perlindungan maupun peningkatan kualitas pendidikan yang lebih baik bagi para pahlawan ini. Kebanyakan dari perempuan buruh migran tidak memiliki keterampilan dan pendidikan dasar yang memadai, bahkan buta huruf. Kondisi ini serupa dengan buruh industri pada awal 1970an. Sejak rekrutmen dan kepulangan, perempuan buruh migran menjadi sasaran pemerasan. Di tengah himpitan kemiskinan, perempuan buruh migran mudah ditipu dengan janji-janji tidak benar dari para calo tentang kondisi pekerjaan yang akan mereka lakukan. Mereka harus membayar mahal kepada calo yang telah bekerja sama dengan aparat negara, sampai ke tingkat yang paling bawah, untuk mengurus suratsurat yang dibutuhkan untuk bekerja di luar negeri. Bahkan, sebagian dari mereka diberangkatkan tanpa dokumen yang layak. Buruh migran perempuan tidak jarang menghadapi kekerasan di rumah-rumah tempat mereka bekerja. Mereka hampir tidak memiliki posisi tawar apa pun di luar negeri; kebijakan
KITA BERSIKAP
perburuhan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, belum menjangkau pekerja rumah tangga. Satu-satunya senjata mereka untuk melawan penganiayaan adalah melarikan diri. Namun, senjata itu pun acap kali tidak mereka miliki ketika majikan menyita paspor mereka. Kedutaan-kedutaan besar Republik Indonesia di negara-negara penerima buruh migran dibanjiri perempuan yang melarikan diri dari majikan mereka yang melakukan penganiayaan. Organisasi buruh migran mencatat bahwa banyak perempuan buruh migran kembali tanpa membawa sepeser pun, sebagian mengalami luka dan cacat, dan bahkan, kembali di dalam peti mati.
Perempuan adalah penggerak roda-roda percepatan industrialisasi Orde Baru. (Oktober 1997; Annisa edisi VI)
Kisah-kisah tentang korban pembangunan, apalagi bila datang dari perempuan desa, buruh, buruh migran, dan perempuan adat, jarang muncul dalam perbincangan tentang kemajuan perekonomian Indonesia. Kalau pun muncul, mereka semata-mata dianggap sebagai “ekses-ekses pembangunan” yang dapat diabaikan atau diselesaikan dengan tindakan-tindakan karitatif sesaat, seperti pemberian bantuan sembako atau pembagian sedekah pada hari-hari besar keagamaan. Pertumbuhan ekonomi terus-menerus menjadi mantra penghibur dengan bukti peningkatan pendapatan per kapita (artinya per orang). Angka-angka ini hanya
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
91
menunjukkan suatu keadaan seolaholah setiap penduduk memperoleh pendapatan yang sama, tetapi sebetulnya tidak menyatakan apa-apa tentang pemerataan pendapatan. Jadi biarpun pendapatan per kapita dihitung tinggi, itu tidak mengubah kenyataan bahwa sedikit orang memperoleh pendapatan sangat besar, sementara kebanyakan orang, sebaliknya, tetap hidup hari demi hari tanpa modal atau keamanan ekonomi apa pun. Perempuan dalam sejarahnya selalu berusaha dengan berbagai cara untuk keluar dari jebakan-jebakan pemiskinan demi kelangsungan hidupnya sendiri maupun keluarganya. Sistem layanan kesejahteraan sosial oleh negara yang tidak memadai menuntut perempuan bertanggung jawab atas penciptaan dan pembinaan keluarga sejahtera, berusaha sendiri dengan berbagai cara untuk memastikan anak-anak mereka hidup sehat dan terdidik. Untuk kebutuhan tersebut, mereka bersedia melakukan pekerjaan apa saja, bahkan jika perlu merantau ke negeri orang, meski tanpa perlindungan. Perempuan lagilagi masih harus menanggung akibat dari kebijakan ekonomi yang tidak mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan mereka sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. Utang luar negeri Indonesia bukan main 92
tinggi. Perempuan harus menanggung beban terbesar pembayaran utang luar negeri sampai hari ini karena negara lebih mengutamakan menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang tersangkut kredit macet daripada memberikan subsidi bagi kebutuhan-kebutuhan pokok dan layanan kesejahteraan sosial yang lebih baik bagi rakyat.
Penataan Tubuh dan Ruang Gerak Perempuan Penataan Tubuh Perempuan: Program Keluarga Berencana Selain pemanfaatan tenaga kerja perempuan, pemerintah Orde Baru juga berkepentingan secara langsung dengan tubuh perempuan untuk menyukseskan pembangunan. Kepentingan ini terkait dengan upaya mengontrol laju pertumbuhan penduduk, yang secara global diyakini sebagai sebuah kebutuhan untuk memastikan kesejahteraan rakyat sebab pertambahan penduduk yang tidak terkendali dapat melampaui daya pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, Keluarga Berencana (KB) termasuk dalam tiga unsur pokok proyek modernisasi yang menjadi tujuan
KITA BERSIKAP
Pemerintah Orde baru percaya bahwa mengontrol laju pertumbuhan penduduk adalah kebutuhan untuk memastikan kesejahteraan rakyat. Presiden Soeharto meresmikan pabrik kondom (1987; Kompas/Bambang SK)
nasional selain teknologi peningkatan pangan dan impor barang-barang konsumen. Sejak pencanangan Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita) pada 1969 program KB sudah menjadi bagian utama strategi pemerintah untuk menanggulangi masalah kelaparan dan kemiskinan. Secara khusus dokumen Repelita I menyatakan bahwa tujuan program KB untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga, dan bangsa demi kenaikan produksi. Walaupun sasaran program KB adalah pasangan yang telah menikah,
sasaran pemasangan alat kontrasepsi adalah perempuan karena peran reproduksi yang melekat pada dirinya. Pemerintah Orde Baru bersikap hati-hati untuk mendesakkan program KB agar golongan agama tidak mempersoalkan keterlibatan negara dalam wilayah yang dianggap pribadi. Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) berperan penting dalam pelaksanaan program KB yang meluas di tahap awal. Lembaga ini menyumbangkan sebagian besar peralatan kliniknya kepada Menteri Kesehatan dan membantu terbentuknya Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang direstui pemerintah pada 1968. Kegiatan-kegiatan awal LKBN meliputi penyebaran informasi mengenai pembatasan kelahiran dan dialog dengan pimpinan-pimpinan agama untuk memperoleh dukungan mereka. Dukungan internasional, seperti dari UNFPA, Bank Dunia dan WHO, pada 1969, mendorong pemerintah untuk menargetkan peningkatan jumlah akseptor dari tiga juta menjadi enam juta orang dalam waktu lima tahun. Untuk memastikan keteraturan pelaksanaan dan pencapaian target perlu dibentuk institusi pelaksana dari tingkat pusat sampai kecamatan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
93
Atas dukungan ini, pada 1969 LKBN dilebur menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan tidak lagi berada di bawah pengawasan Departemen Kesehatan. Pemerintah segera mengalokasikan dana sebesar US$1,3 juta untuk program-program KB di tingkat nasional. Pengeluaran pemerintah untuk penyelenggaraan program ini melonjak dengan drastis dari tahun ke tahun, misalnya pada 1977/1978 saja pemerintah mempersiapkan US$34,3 juta. Donor-donor asing yang memberikan bantuan awal sebesar US$3 juta juga terus meningkatkan jumlah bantuan mereka pada tahuntahun berikutnya sesuai dengan indikasi keberhasilan. Pada 1976/1977 bantuan terbesar diperoleh dari lembaga bantuan Amerika Serikat, USAID, yaitu sebanyak 44% dari total pembiayaan program KB. Bantuan-bantuan dari penyandang dana asing ini nanti dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan peningkatan pendapatan yang berlandaskan pada pinjaman bagi masyarakat di pedesaan. Besarnya program KB di Indonesia juga menarik perhatian perusahaanperusahaan alat kontrasepsi dunia. Perusahaan susuk KB ternama, Norplant, misalnya, melakukan uji coba alat di Indonesia sebelum diedarkan secara meluas. Setelah itu, perempuan 94
Indonesia menjadi konsumen 50% dari produksi Norplant di seluruh dunia. Penggunaan susuk menjadi masalah karena sebagian besar petugas KB, termasuk dokter dan mantri, hanya melakukan penanaman susuk tetapi tidak terlatih untuk melakukan layanan pasca penanaman susuk. Padahal, susuk hanya efektif bekerja selama lima tahun pemakaian dan ada efek-efek samping yang berpengaruh terhadap kesehatan organ-organ reproduksi perempuan yang berbeda-beda. Pemerintah tampaknya tidak terlalu ambil pusing dengan masalah tersebut di atas karena orientasi program KB pada pengejaran target jumlah akseptor. Salah satu prinsip yang penting dalam pelaksanaan program KB adalah pemberian informasi yang memadai kepada calon penerima alat sehingga ia dapat membuat pilihan-pilihan yang tepat bagi dirinya. Dari dokumendokumen pemerintah tampak bahwa pengejaran target pencapaian kuota menjadi tujuan utama program KB tanpa pertimbangan sama sekali tentang soalsoal kesehatan reproduksi perempuan:
Sasaran program ini . . . ialah menghindari kurang [l]ebih 600.000 sampai dengan 700.000 kelahiran dengan djalan mentjapai 3.000.000 acceptors. . . . Setiap pekerdja lapangan
KITA BERSIKAP
jang mendapatkan acceptor dan pelaksana-pelaksana tehnis-medis akan diberikan insentif. Repelita I, Buku I, Bab XI, hal. 64-65, 67
Peran Dharma Wanita dan kelompokkelompok PKK, terutama di pedesaan, sangat besar dalam menyukseskan program KB. Salah satu tantangan yang dihadapi program KB adalah kenyataan bahwa perempuan sebenarnya secara tradisional memiliki cara-cara tersendiri untuk membatasi kelahiran, misalnya dengan puasa sanggama, memperpanjang waktu menyusui, atau meminum jamu. Para ibu dari Dharma Wanita diberi tugas untuk memberi penyuluhan kepada saudarisaudarinya di desa tentang program KB, yang jarang menyinggung soal kesehatan perempuan, khususnya kesehatan reproduksi. Padahal, sejak perempuan mulai terlibat dalam urusan kesehatan perempuan di masa-masa sebelumnya, ada masalah kesehatan reproduksi yang ditimbulkan oleh kehamilan pada usia muda dan terlalu sering melahirkan. Sebaliknya, penyuluhan lebih menekankan pada pentingnya KB sebagai langkah modernisasi keluarga. Penerimaan terhadap alat-alat kontrasepsi modern
dan kesediaan membentuk keluarga kecil adalah pertanda kemajuan. Di sini kelompok-kelompok PKK menjadi ranah penyebarluasan gagasan negara tentang salah satu peran mulia perempuan dalam pembangunan, yaitu pencipta dan perawat keluarga kecil yang sehat dan sejahtera. Peran ini, yang dilakukan secara sukarela, dinilai oleh kader PKK sebagai sumbangan untuk menyukseskan pembangunan.
ABRI mendukung “Safari KB” yang dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah akseptor, misalnya dengan program KB Iimplant gratis bagi masyarkat. (Jambi, 2004; BKCSKB Kab. Tanjung Jabung Barat)
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
95
diberikan, BKKBN akan memberi peluang kepada kelompok perempuan tersebut untuk memperoleh pinjaman lebih besar lagi. Ada pula bentuk kompensasi lain, seperti pemberian beasiswa bagi anak-anak peserta program. Para akseptor ini dipuji sebagai “pahlawan pembangunan”.
Citra ideal perempuan Orde Baru adalah yang patuh pada lakilaki/militer dan berkonsentrasi pada perawatan generasi selanjutnya. Relief Lubang Buaya (Jakarta, 2009; ISSI)
96
Perempuan yang bersedia menggunakan alat kontrasepsi dan membentuk kelompok untuk mengajak perempuan lain menjadi akseptor akan mendapat insentif berupa pinjaman modal usaha yang disalurkan melalui PKK. Dengan bantuan dana awal dari badan UNFPA, USAID, dan Bank Dunia, pemerintah menawarkan paket kredit bergulir yang hanya dapat diperoleh oleh peserta program KB. Bila berhasil menggalang lebih banyak perempuan dan terbukti mampu mengelola pinjaman yang
Pada saat penyuluhan dan tawaran pemberian pinjaman tidak berhasil meyakinkan rakyat untuk menerima alat-alat kontrasepsi modern, pemerintah menggunakan cara-cara rekrutmen akseptor yang melibatkan aparat keamanan: safari KB dan penggarapan khusus (rapsus). Pada awal 1980-an “Safari KB” menjadi pendekatan baru untuk meningkatkan jumlah akseptor KB. Kegiatan safari meliputi daerah cukup luas, berlangsung cepat dan dapat menggaet ribuan orang dalam sehari. Kegiatan ini melibatkan berbagai institusi pemerintah dan organisasi, antara lain BKKBN, Korpri, Dharma Wanita, PKK, ABRI, dan Polri. Kegiatan ini acap kali diselenggarakan pada hari-hari besar nasional, seperti Hari Peringatan Kemerdekaan, Hari Ibu, atau Hari Angkatan Bersenjata, dan mendapat liputan media massa sebagai bagian dari propaganda pemerintah tentang KB dan pembangunan. Safari KB juga menjadi bagian dari program ABRI Masuk Desa. Di dalam ABRI sendiri ada satu unit
KITA BERSIKAP
khusus untuk menangani KB sebagai sebuah operasi militer yang disebut KB-KESEHATAN ABRI. Bagi angkatan bersenjata pelaksanaan KB adalah tanggung jawab mereka agar Indonesia dapat mencapai masyarakat yang aman dan makmur. Seorang perempuan di Provinsi Papua menceritakan pengalamannya:
Waktu itu 5 Oktober 1996. Bersamaan dengan hari ABRI. Saya disuruh ke RS Angkatan Laut di kota. Di sana sudah banyak perempuan. Sebelumnya tidak ada sosialisasi mau apa. Ibu-ibu juga tidak tau mau diapakan. Lalu di dalam kamar suster kasi tau, mau dioperasi. Bersihkan/cukur rambut vagina. Ibu-ibu malu walaupun saling kenal. Karena di RS AL ibu-ibu takut keluar/pulang. Sudah bersih, naik tempat tidur, disuntik, lalu tidak tau apa lagi. Waktu sadar, di ruangan banyak perempuan. Lalu [saya] pulang. Lima tahun kemudian saya ke RS AL dibilang tak ada alat untuk kasi keluar [alat KB]... alatnya ada di Makasar. Sampai sekarang masih sakit; kaki susah dilipat, sakit sekali. Setelah sakit saya ingin tahu kira-kira alat apa yang dimasukkan itu. Dokter bilang alat KB itu yang bikin sakit, haid jadi tidak teratur, pusing, keputihan. Kadangkadang dia gatal sekali, mengganggu
kegiatan. Saya kasi odol di vagina, kasi bersih dan bikin dingin. kesaksian perempuan korban rekaman Tim Dokumentasi Papua, 2009
Biasanya, safari diawali dengan pertemuan antara kepala desa, dokter, petugas BKKBN, dan aparat keamanan untuk merancang kegiatan dan menentukan tim yang akan bergerak merekrut akseptor. Anggota PKK kemudian akan menjemput calon akseptor dari rumah ke rumah untuk dibawa ke Balai Desa. Apabila penduduk yang didatangi menolak untuk terlibat dalam program ini, aparat keamanan akan datang untuk memaksa mereka ikut. Di beberapa tempat, aparat keamanan menuduh mereka yang menolak sebagai PKI atau komunis. Untuk wilayah-wilayah yang tidak sempat dijangkau oleh safari KB, biasanya di tingkat desa, rapsus diselenggarakan untuk merekrut akseptor-akseptor baru. Rapsus juga diarahkan pada penduduk desa yang berhasil menghindari kejaran safari. Tim yang bergerak untuk menangkap penduduk-penduduk yang menolak sering kali melibatkan aparat keamanan. Aparat pemerintahan desa yang berasal dari kalangan sipil juga tak jarang bersikap layaknya militer dalam memaksa penduduk mengikuti program KB karena
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
97
98
KITA BERSIKAP
keberhasilan meraih akseptor dalam jumlah besar menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan pembangunan daerah. Departemen Dalam Negeri secara rutin memberi penghargaan kepada wilayah-wilayah yang menunjukkan prestasi dalam pembangunan dan mempromosikan pimpinan wilayah ke jabatan yang lebih tinggi. Dengan program intensif untuk menyukseskan KB, berdasarkan laporanlaporan pemerintah, Indonesia berhasil menurunkan angka kesuburan dari 5,5 kelahiran setiap perempuan pada 1970 menjadi 3 kelahiran pada 1988. Pada periode yang sama pemakaian alat kontrasepsi meningkat dari 10% menjadi 45%. Tingkat kematian bayi menurun dari perkiraan 158 per 1000 kelahiran hidup pada 1970 menjadi kurang lebih 57 per 1000 kelahiran pada 1994. Atas keberhasilan melaksanakan program pengendalian perkembangan penduduk di Indonesia, Presiden Soeharto meraih
Peringatan Hari Kartini kerap melupakan gagasan pembebasan perempuan dan menjadi sekedar pagelaran busana tradisional. Perempuan pengemudi Transjakarta. (Jakarta, 2007; Tempo/Wahyu Setiawan)
penghargaan internasional dari PBB pada 1989. Sampai 1994, operasi KB-KESEHATAN ABRI memasukkan wilayah-wilayah konflik, seperti Timor Timur, sebagai salah satu sasaran yang mencapai keberhasilan. Laporan dari lembaga-lembaga HAM di Timor Timur dan luar negeri mensinyalir bahwa keberhasilan ini terkait dengan kehadiran militer dalam konteks konflik yang terjadi di Timor Timur, dan perempuan Timor tidak merasa memiliki hak untuk menolak pelaksanaan program KB.
Penataan Ruang Gerak Perempuan Mungkin pertanda paling jelas tentang perubahan nasib kaum perempuan di bawah pemerintahan Orde Baru adalah cara mengenang jasa-jasa Kartini sebagai pahlawan “emansipasi wanita”. Setiap tahun Hari Kartini diperingati di segala penjuru negeri, termasuk di sekolah-sekolah, terutama dengan pagelaran busana tradisional, seakan-akan semangat Kartini dapat terwakili melalui busana. Di samping itu, diselenggarakan pula berbagai macam lomba yang memperlihatkan kebolehan perempuan sebagai ibu rumah tangga: dari memasak, hias rias, merangkai bunga sampai membuat
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
99
kerajinan tangan. Hari Kartini hampir tidak ada hubungannya dengan gagasan pembebasan perempuan yang pernah ia tegaskan dalam tulisan-tulisannya. Tradisi perempuan berpolitik, walaupun belum panjang usianya, sudah cukup menumbuhkan kesadaran di kalangan perempuan bahwa mereka punya andil dalam melahirkan dan membesarkan negeri ini. Pemerintah Orde Baru perlu memastikan bahwa kaum perempuan, terutama yang sudah terdidik berorganisasi dan berpolitik di masa sebelumnya, mendapat tempat yang dirasa terhormat dalam proyek baru pembangunan bangsa dan negara. Pada saat yang sama, untuk menjamin bahwa keluarga sebagai unit terkecil masyarakat berada dalam cakupan pengawasan negara, pemerintah bergantung pada perempuan yang secara tradisional menguasai bidang perawatan keluarga dan pengurusan rumah tangga. Penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa nilai-nilai baru tentang kemajuan dan keadaban yang sejalan dengan proyek pembangunan nasional tersebar luas sejak dari keluarga. Gagasan tentang peran dan posisi perempuan di rumah tangga dan di tengah masyarakat yang ditetapkan Orde Baru tidak sepenuhnya baru. Ia berangkat dari gagasan-gagasan yang
100
hidup sejak awal kelahiran gerakan perempuan, “Iboe Bangsa”. Peran perempuan di ranah publik tidak lain adalah perpanjangan dari perannya di ranah domestik: kemampuannya melahirkan generasi baru menuntutnya menjadi bagian dari proses kemajuan bangsa. Ketika gerakan perempuan memperluas perhatiannya pada pembangunan bangsa dan pembentukan republik, keperempuanan yang termaktub dalam gagasan ibu bangsa tidak mempersoalkan pemilahan antara ruang publik dan ruang domestik. Memang, batasan antara kedua wilayah tersebut kadang-kadang hadir ketika perempuan didorong untuk melupakan sementara agendanya dan mengutamakan kepentingan politik nasional. Namun, ke mana pun perempuan pergi, di mana pun mereka bergerak, mereka membawa sosial kemasyarakatan. Orde Baru mengukuhkan bahwa perempuan yang ideal akan menikah dan menjadi ibu. Apa pun perannya di publik, ia tetap tidak
Gagasan "Iboe Bangsa” dalam masa Orde Baru berubah menjadi kebijakan negara yang wajib dijalankan oleh semua perempuan. Karikatur dalam koran (Oktober 1997; Annisa edisi VI)
KITA BERSIKAP
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
101
boleh mengesampingkan tugasnya yang utama: mengurus rumah tangga dan keluarga.
Panduan untuk menjadi perempuan ideal dalam masa Orde Baru. Baliho PKK di Jakarta. (Jakarta, 2009; KP)
102
Yang berbeda di masa Orde Baru adalah gagasan “Iboe Bangsa,” yang tadinya merupakan buah perbincangan gerakan perempuan dalam suasana kebebasan berpikir, berpendapat, dan berorganisasi, berubah menjadi kebijakan negara yang wajib dijalankan oleh semua perempuan. Dengan demikian, perempuan tidak lagi memiliki kebebasan untuk membangun pandangan atau visi lain. Kebijakan ini tampaknya berangkat dari anggapan bahwa perjuangan mencapai kesetaraan perempuan sudah selesai. Perempuan telah memperoleh hak-haknya sebagai warga negara yang setara dengan laki-laki seiring dengan kemerdekaan Indonesia dan dijamin oleh Konstitusi. Di atas kertas, tidak ada pembedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Anggapan lain yang mendukung kebijakan ini adalah keyakinan bahwa pemilahan peran perempuan dan laki-laki dalam wilayah kerja tidak bisa dielakkan. Kodrat perempuan secara alamiah sudah menggariskan tempat yang layak bagi perempuan. Misalnya, dalam Garisgaris Besar Haluan Negara (GBHN) 1978 tentang Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan Bangsa dinyatakan:
a.
b.
Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria dan wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena itu wanita mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan. Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi peranannya dalam pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan pembinaan generasi muda khususnya, dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya. Bab IV, Bagian tentang Agama, Pasal 11
Dalam GBHN pada masa-masa selanjutnya penjabaran negara tentang peran dan kedudukan perempuan tidak mengalami perubahan yang terlalu mendasar. Perempuan adalah “mitra sejajar” laki-laki dalam pembangunan bangsa sesuai dengan kodratnya sebagai istri dan ibu. Rumusan lebih terarah tentang jati diri perempuan kemudian ditetapkan melalui Panca Dharma Wanita dalam GBHN 1983 yang menyatakan peran perempuan sebagai istri pendamping suami, pengelola rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik, pencari nafkah tambahan, dan warga masyarakat. Dengan mengacu pada rumusan inilah organisasi-organisasi
KITA BERSIKAP
perempuan yang dibentuk pemerintah, seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) berfungsi sebagai pelaksana utama program-program pembangunan sampai ke wilayah pedesaan.
daripada karena kesadaran sendiri. Menurutnya, kemandirian kepengurusan organisasi penting dan ditentukan secara kolektif oleh anggota sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing perempuan.
Ketiga organisasi ini adalah organisasi istri-istri pegawai negeri sipil dan militer. Bila dilihat strukturnya yang mengikuti hirarki jabatan para suami, organisasi-organisasi ini merupakan penyempurnaan dari organisasi perempuan di masa pendudukan Jepang, Fujinkai. Setiap istri pegawai negeri diwajibkan menjadi anggota dan ditarik iuran melalui pemotongan gaji suami. Istri pimpinan suatu departemen dengan sendirinya akan menjadi pimpinan organisasi, tanpa mempertimbangkan apakah sang istri memiliki kemampuan memimpin atau berminat pada jabatan tersebut atau tidak. Ketika masa jabatan suami berakhir, istri berhenti juga memimpin organisasi. Tentang organisasi keistrian sebetulnya pernah menjadi perdebatan gerakan perempuan pada awal kemerdekaan. Sujatin Kartowijono, Wakil Ketua Kongres Perempuan Indonesia I dan mantan Ketua Umum Perwari (1953), misalnya menyatakan bahwa organisasi-organisasi istri pegawai sudah membuat perempuan terpaksa melakukan kegiatan-kegiatan tertentu lebih karena kepatuhan terhadap suami
Perkumpulan wanita yang didirikan wanita sendiri dan atas kesadaran wanita untuk memperbaiki kedudukan dan nasib wanita dengan pembelaan dan perjuangan, mempunyai anggota yang bebas, tidak terikat oleh kedudukan suami. Wanita ini bekerja dengan semangat kebaktian dan atas dasar kebaktian kepada masyarakat. Ny. Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia, hal. 25
Organisasi-organisasi lama yang tersisa dari masa sebelumnya adalah Perwari, Aisyiyah, dan Wanita Katolik. Mereka rata-rata melanjutkan kegiatan-kegiatan sosial yang sudah mereka jalankan sejak kelahirannya, seperti pendidikan merawat rumah tangga bagi para ibu dan pemberdayaan ekonomi. Perwari, yang sebagian besar anggotanya adalah istri-istri pegawai negeri, banyak kehilangan anggotanya karena mereka bergabung dengan Dharma Wanita. Sementara itu, Kowani sebagai organisasi payung seluruh organisasi-organisasi perempuan yang sejak kelahirannya
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
103
merupakan organisasi mandiri, pada 1974, diberi kewenangan mewakili organisasi-organisasi perempuan di Golongan Karya dan mendapat subsidi dari pemerintah untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya. Dalam penataan ruang gerak perempuan, stigma terhadap “Gerwani” yang dibangun pada masa kelahiran Orde Baru memainkan peran yang penting. “Gerwani” digambarkan sebagai sosok perempuan yang keji dan amoral terkait peristiwa G30S. Gambaran tersebut disebarluaskan melalui film Pengkhianatan G30S/ PKI, relief di Monumen Pancasila Sakti, atau buku-buku sejarah resmi. Dalam penggambaran tersebut, “Gerwani” dijadikan sosok perempuan yang pantas dicaci dan dibenci masyarakat.
Tetangga-tetangga menuduh saya “perempuan murahan,” “pelacur,” dan kata-kata busuk lainnya. Mereka tidak mau bicara dengan saya . . . Saya
Demi pembangunan, perempuan membayar dengan kemerdekaan atas tubuh dan pikirannya. Baliho Soeharto Bapak Pembangunan (Jakarta, 1982; Eka Budianta/Antara)
104
KITA BERSIKAP
mencoba berjualan makanan, tapi orang tidak ada yang mau membeli. perempuan korban, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender :Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965 (laporan KP), hal. 109
Dalam propaganda hitam tentang Gerwani tersirat kaitan tentang bahayanya berpolitik dengan seksualitas perempuan yang tak terkendali. Dengan menyatakan bahwa Gerwani liar dan tak bermoral, penguasa Orde Baru juga menyatakan bahwa PKI, dan Orde Lama secara keseluruhan, tidak bermoral karena mereka sudah memperbolehkan perempuan menjadi demikian liar. Seluruh sistem politik yang dibangun sepanjang pemerintahan Soekarno dianggap bertanggung jawab atas pelecehan ‘kodrat’ perempuan. Orde Baru, sebaliknya, akan menjadi kekuatan yang memulihkan kesetiaan pada kodratnya. Seluruh organisasi perempuan, karenanya, sepanjang Orde Baru harus menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas tunggal organisasi dan menjalankan peran-peran keperempuanan sebagaimana digariskan dalam GBHN. Sebagai bagian dari pembakuan peran perempuan di rumah tangga, pada 1974
pemerintah Orde Baru mengesahkan UU Perkawinan. Dalam rumusannya, UU ini menegaskan batas gerak peran perempuan dengan mengukuhkan peran suami sebagai kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Pada saat bersamaan, UU ini juga menjadi cara bagi pemerintah Orde Baru merawat dukungan perempuan. UU Perkawinan dapat dianggap sebagai kemenangan organisasi-organisasi perempuan yang selama berpuluh-puluh tahun memperjuangkan perlindungan negara bagi perempuan dalam lembaga perkawinan. Dalam rumusannya pula perkawinan disebutkan berasaskan monogami dan diatur usia minimum bagi perempuan dan laki-laki untuk memasuki perkawinan. Kemenangan ini tidak lepas dari adanya tekanan pihak militer terhadap partai-partai Islam yang menentang keras pengesahan undang-undang tersebut dan DPR mengesahkannya tanpa melalui proses pemungutan suara. Agar tidak menimbulkan keresahan sosial, UU Perkawinan tidak membatalkan juridiksi pengadilan agama untuk mengadili persoalan keluarga, seperti talak (cerai) dan waris bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Kebijakan ini juga dianggap tidak mengganggu tujuan UU Perkawinan sebab dasar hukum yang digunakan dalam pengadilan agama pun menggunakan paradigma pembakuan Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
105
Untuk membangun ikatan kebersamaan bangsa, Orde Baru menggunakan budaya Jawa yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Peserta Kursus Reguler Lemhanas berfoto bersama Ibu Tien Soeharto. (Jakarta, 1979; Antara)
106
KITA BERSIKAP
peran perempuan di rumah tangga. Penataan tubuh dan ruang gerak perempuan, bagi Orde Baru, adalah sarana penting untuk memantapkan tercapainya stabilitas nasional dan pembangunan. Bagi perempuan, harga yang harus dibayar adalah kemerdekaan atas pikiran dan tubuhnya. Sebagai kelanjutannya, pembakuan peran perempuan di rumah tangga dan orang kedua dalam pengambilan keputusan di tingkat yang paling kecil, yaitu keluarga, menyebabkan posisi perempuan menjadi semakin terpinggir. Peminggiran ini berlanjut sampai ke wilayah publik dan menjadi lahan yang subur bagi tindak kekerasan terhadap perempuan. Sikap mempertanyakan, menolak, apalagi memberontak terhadap peran perempuan yang telah digariskan oleh negara berhadapan dengan upaya pendisiplinan dalam berbagai bentuk, seperti tuduhan sebagai “Gerwani”, pengucilan, bahkan kekerasan. Kondisi ini terus berlanjut, bahkan setelah Orde Baru runtuh pada 1998, dan memberikan kerentanan tersendiri bagi perempuan yang hidup di tengah-tengah situasi konflik selama empat dasawarsa di berbagai daerah di Indonesia.
Bibit-Bibit Konflik: Penataan Identitas dan Alam Penyeragaman Identitas Ketika diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia dibayangkan sebagai sebuah satuan politik yang terdiri dari individu-individu dari latar belakang beraneka-ragam yang mengikatkan diri demi sebuah cita-cita bersama, yaitu masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Sejarah panjang penjajahan menjadi landasan visi yang menyatukan berbagai masyarakat di Indonesia. Nyatanya, konsep negara-bangsa Indonesia yang modern ini hidup bersamaan dengan satuan-satuan politik yang berumur jauh lebih tua dan lebih mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, yaitu komunitas sosial politik berdasarkan ikatan primordial seperti etnis, budaya, agama, atau bahasa. Dengan demikian, Indonesia yang diproklamirkan pada tahun 1945 bukanlah sebuah hasil akhir, melainkan awal dari proses panjang menjadi negara-bangsa. Ikatan kebersamaan sebagai Indonesia ini terus-menerus diuji dan ditegaskan sepanjang perjalanan bangsa melalui proses penanganan
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
107
gejolak-gejolak dan keteganganketegangan yang wajar terjadi pada bangsa mana pun di dunia. Di pihak lain, ikatan ini akan goyah jika salah satu pihak dalam komunitas nasional ini, termasuk pemerintah, dianggap telah mengingkari cita-cita bersama yang sejak awal telah disepakati. Jelas bahwa sejak awal pemerintah Orde Baru menghadapi tantangan untuk meyakinkan penduduk di seluruh Indonesia bahwa kerangka pembangunan nasional yang ditawarkan akan menjamin distribusi pendapatan yang merata di segala penjuru. Kenyataan bahwa jumlah penduduk terbesar berasal dari suku Jawa dan pusat kekuasaan ada di Jawa menyimpan keresahan yang senantiasa ada di benak banyak pihak, yaitu rentannya keseimbangan kekuasaan dan persamaan manfaat antara Jawa dan luar Jawa. Pengalaman menghadapi pemberontakan-pemberontakan regional pada 1950-an, yang dilancarkan oleh wilayah-wilayah di luar Jawa, membuat pemerintah Orde Baru mengembangkan proyek nasional untuk menumbuhkan kesadaran kewilayahan nasional dan kepercayaan pada kesakralan NKRI. Salah satu sarananya adalah penciptaan sebuah identitas nasional yang tunggal untuk disebarluaskan dan diadopsi di 108
seluruh Indonesia, dari ibukota negara hingga desa-desa di pelosok. Identitas nasional ini banyak mengandung unsurunsur budaya Jawa yang kemudian menimbulkan keresahan tersendiri di daerah-daerah luar Jawa. Pemerintah Orde Baru berupaya untuk membangun tatanan kekuasaannya di atas realita keberagaman masyarakat dengan menetapkan batas-batas identitas bersama yang kemudian dipertahankan dengan menggunakan kekuatan hukum dan militer. Salah satu langkah untuk ini adalah melalui peraturan yang mengharuskan setiap warga negara untuk memeluk salah satu dari lima agama yang dianggap sah oleh negara. Kebijakan ini mempersulit kelompok-kelompok masyarakat yang menganut kepercayaan-kepercayaan di luar kelima agama ini, terutama di kalangan masyarakat adat. Kelompok-kelompok agama yang diakui pemerintah sering kali juga ikut memperlakukan kelompok-kelompok tersebut sebagai komunitas “tak beragama”, sebagai orang-orang tak beradab yang harus dikembalikan ke jalan yang benar. Praktik-praktik ritual mereka dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama resmi dan dilihat sebagai tindakan musyrik atau pemujaan berhala. Bagi banyak penganut kepercayaan-kepercayaan tersebut,
KITA BERSIKAP
kebijakan ini dan sikap masyarakat yang mendukungnya dirasakan sebagai pengingkaran terhadap kebebasan mereka dalam beragama dan berkeyakinan. Pada tahun 1980an pemerintah Orde Baru mendesakkan Pancasila sebagai asas tunggal. Penerbitan kebijakan ini antara lain disebabkan oleh maraknya gerakan-gerakan berlandaskan Islam yang dianggap merongrong kekuasaan pemerintah, seperti Komando Jihad dan Jamaah Imron yang melakukan pembajakan pesawat Woyla pada 1981. Ketika terjadi penolakan keras terhadap kebijakan ini dari kelompokkelompok Islam, dan salah satu kekuatan mengambil bentuk perlawanan dalam cara berbusana, gerakan jilbab, pemerintah menghadapi dengan tekanan keras. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan secara khusus menerbitkan SK 052/C/Kep/d.82 yang mengatur tentang penggunaan seragam sekolah di sekolah-sekolah negeri. Siswi-siswi yang berjilbab di sekian sekolah di berbagai kota dikeluarkan dari sekolah. Selain itu, aparat keamanan melancarkan operasi-operasi penumpasan gerakangerakan Islam yang dituduh berniat mendirikan negara Islam di Tanjung Priok (1984), Desa Talangsari, Lampung (1989), dan Padepokan Haur Koneng, Majalengka (1993). Kalau komunisme
dijuluki sebagai bahaya ekstrim kiri (EKI), gerakan-gerakan Islam disebut sebagai ekstrim kanan (EKA). Bahaya laten EKA dan EKI menjadi alat kontrol tersendiri terhadap kebebasan warga negara untuk berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi. Golongan masyarakat Indonesia lain yang menjadi sasaran kebijakan diskriminatif oleh negara adalah masyarakat Tionghoa. Sesungguhnya kebijakan ini diwarisi dari pemilahan masyarakat berdasarkan ras yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda dan dari kebijakan pemerintah Soekarno untuk mengambil alih usaha-usaha strategis milik etnis Tionghoa dan memberikannya kepada golongan pribumi. Pemerintah Orde Baru menegaskan diskriminasi terhadap golongan etnis Tionghoa dengan mengaitkan pemberontakan G30S dengan negeri Cina yang komunis. Alhasil, semua institusi kebudayaan yang pernah didirikan golongan Tionghoa dari masa sebelumnya, seperti sekolah, penerbitan dalam bahasa Mandarin, kelompok-kelompok kesenian, serta segala sesuatu yang dianggap mewakili kebudayaan Cina dilarang. Lebih jauh lagi, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan kependudukan yang membedakan antara warga pribumi dan warga non-pribumi (Tionghoa) Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
109
pemerintah memanfaatkan jaringan bisnis pengusaha-pengusaha Tionghoa yang sudah berkembang sejak masamasa sebelumnya dan mendorong koalisi antara pengusaha Tionghoa dan pejabat-pejabat pemerintah untuk melancarkan perekonomian negeri ini.
Diskriminasi berbasis ras terhadap warga Tionghoa dikukuhkan dengan berbagai kebijakan negara, termasuk SBKRI dan perubahan nama (Dok. KP)
110
dan mencantumkannya di KTP. Dengan status non-pribumi, warga Tionghoa dituntut untuk memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) setiap kali mereka berurusan dengan institusiinstitusi pemerintah dan membayar lebih mahal untuk layanan-layanan publik yang tersedia. Status non-pribumi juga membatasi kemungkinan warga Tionghoa untuk memasuki institusiinstitusi yang dibiayai pemerintah, seperti universitas, pegawai negeri, dan angkatan bersenjata. Di lain sisi,
Diskriminasi yang berimpit dengan pemanfaatan potensi golongan Tionghoa ini menimbulkan ketegangan tersendiri di kalangan masyarakat. Komunitas Tionghoa secara umum dilihat sebagai warga yang hanya tertarik pada kegiatan ekonomi, tidak peduli pada masalah-masalah kemasyarakatan, dan tergolong berada. Sebaliknya warga Tionghoa juga memendam curiga terhadap golongan pribumi yang dianggap hanya ingin memanfaatkan kemampuan bisnis mereka dan memeras harta mereka. Walaupun interaksi sosial antara warga Tionghoa dan non-Tionghoa berlangsung relatif damai dalam kehidupan sehari-hari, ada pembatasan-pembatasan tertentu diberlakukan di kedua belah pihak yang menyangkut kehidupan perempuan. Jika lelaki Tionghoa menikahi perempuan non-Tionghoa, keluarga lelaki tidak menganggapnya sebagai masalah karena anak yang dilahirkan akan tetap menyandang nama keluarga Tionghoa. Tetapi, perempuan Tionghoa yang menikahi lelaki non-Tionghoa
KITA BERSIKAP
akan mengundang masalah besar. Demikian pula sebaliknya di sebagian kalangan masyarakat non-Tionghoa. Perempuan non-Tionghoa yang menikahi laki-laki Tionghoa dianggap merendahkan derajat keluarga karena mereka menjadi warga negara kelas dua. Di samping menerbitkan kebijakankebijakan yang diskriminatif demi penyeragaman, pemerintah Orde Baru juga menggunakan taktik pemecahbelahan dengan menebar kewaspadaan terhadap kenyataankenyataan sosio-kultural yang wajar dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia. Berulang kali pemerintah Orde Baru justru menjadikan istilahistilah sosial biasa, seperti ras, agama, dan suku sebagai sumber ancaman yang menakutkan, melalui singkatan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Segala pembahasan tentang masalahmasalah antargolongan masyarakat diberi stigma SARA dan dianggap berpotensi memecah-belah Indonesia. Di sisi lain, untuk menyempurnakan konsolidasi kekuatannya, pemerintah Orde Baru mengembangkan kebijakan pembangunan yang ditentukan dan dijalankan secara terpusat dari Jakarta. Misalnya, kepala daerah, yang kebanyakan adalah purnawirawan ABRI, ditunjuk oleh pemerintah
pusat dan biasanya bukan berasal dari daerah setempat untuk menghindari kemungkinan adanya arah kesetiaan yang ganda. Pada titik tertentu, praktik ini justru mempertajam ketidakpuasan masyarakat karena mereka melihat kepala daerah semata-mata sebagai alat pemerintah pusat untuk mengendalikan dan menguasai wilayah mereka. Kebijakan pemerintah yang sering dinilai Jawa-sentris menimbulkan ketegangan dalam konteks perebutan terhadap kepemilikan tanah serta akses ke sumber daya alam, kepemilikan tanah, dan potensi ekonomi antara kelompok pendatang dan penduduk asli di sebuah daerah. Misalnya, perbedaan perlakuan pemerintah terhadap transmigran yang mendapat fasilitas tanah dan rumah dengan penduduk asli yang tidak memperoleh fasilitas tersebut, atau antara pedagang yang kebanyakan adalah pendatang dan berhasil membangun kekuatan ekonomi dengan penduduk setempat yang mengandalkan diri pada hasil pertanian dan semakin terpuruk kemampuan ekonominya. Sistem peradilan, yang semestinya merupakan salah satu sarana penyelesaian konflik dan sengketa secara damai, sering tidak berjalan efektif, atau bahkan tidak berfungsi secara mandiri dan adil, karena telah dijadikan sekadar alat pembela penguasa atau siapa pun yang mampu membayar proses hukum. Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
111
Bagi masyarakat Papua, gunung adalah "mama" yang memberi manusia kehidupan. Penghancuran alam akibat tambang melukai kedirian mereka sebagai manusia. (Pertambangan Freeport, Papua; Antara)
Penataan Sumber Daya Alam Kalau dalam strategi pengembangan industri manufaktur dan buruh migran pemerintah dengan efektif memanfaatkan sumber daya manusia perempuan untuk melancarkan gerak roda pembangunan, pemerintah Orde Baru menyerahkan pengembangan industri pengelolaan sumber daya alam hampir sepenuhnya kepada perusahaan-
112
perusahaan asing. Pemerintah lebih mengambil peran sebagai penerima pembagian keuntungan dan penjaga keamanan wilayah eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dari gangguan rakyat penghuni asli wilayahwilayah tersebut. Konstitusi dan undangundang yang mengatur tata kelola hutan dan pertambangan memberi kewenangan kepada negara untuk mengelola sumber daya alam “guna
pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat.” Perangkat hukum ini memungkinkan perluasan penafsiran bahwa negara tidak saja mempunyai hak mengelola sumber daya alam, tetapi juga hak milik. Hukum dan kebijakan disusun sebagai alat pengesahan pemerintahan Soeharto untuk membagi-bagi wilayah Indonesia menjadi kaveling-kaveling eksplorasi minyak dan gas bumi,
KITA BERSIKAP
pertambangan, dan penebangan hutan untuk perusahaan-perusahaan asing. Kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru di bidang pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam Indonesia memang meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Persentase bagian GDP dari sektor pertambangan melonjak pesat dari 3,7% pada 1965 menjadi 12% pada 1977. Namun, hasil pengerukan bumi tersebut ternyata tidak dengan sendirinya meningkatkan kemakmuran masyarakat secara umum, sebagaimana terjadi di wilayah-wilayah kaya sumber daya alam, seperti Aceh dan Papua. Di samping itu, pembukaan wilayah-wilayah pertambangan biasanya diawali dengan penyingkiran penduduk setempat dalam jumlah besar tanpa kompensasi yang memadai. Teror, intimidasi, penangkapan, pemerkosaan, dan pembunuhan merupakan cara-cara yang lazim digunakan aparat keamanan negara – kadang-kadang bekerja sama dengan penjaga keamanan dari pihak perusahaan – untuk melancarkan proses pembebasan lahan. Negara membenarkan tindak-tindak kekerasan ini dengan menyatakan bahwa wilayahwilayah tersebut adalah milik negara dan menganggap penghuni asli yang menyatakan keberatannya sebagai pengacau.
Penggusuran terhadap penduduk asli wilayah-wilayah kaya sumber daya alam, termasuk para penambang tradisional, mendesak mereka mencari bidang pekerjaan lain yang sering kali tidak sesuai dengan kemampuan mereka dan hasilnya sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini masih diperparah dengan penyedotan dan perusakan sumber penghidupan yang lain, terutama sumber air bersih. Industri tambang membutuhkan air dalam jumlah yang sangat besar, sementara limbahnya mencemari sungai, hutan rawa sagu, lahan pertanian dan laut tempat perempuan biasa mencari ikan, karaka (sejenis kerang), dan nener (anakan udang). Alhasil, terjadi krisis air yang langsung menimpa wilayah kerja tradisional perempuan di rumah tangga: mencuci dan memasak. Jumlah air menurun, demikian pula mutunya, sehingga perempuan harus mencari sumber-sumber air lain yang lebih jauh dari tempat tinggalnya. Akibatnya, seperti yang dialami sejumlah perempuan Buyat, adalah persoalan reproduksi seperti gangguan kehamilan dan keguguran, serta sakit kulit yang parah. Mereka tidak mungkin berobat karena tidak memiliki uang.
Malam semakin larut. Dua bocah bersaudara . . . tangisnya meledak karena perutnya keroncongan sejak Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
113
siang. Orang tuanya, Jemmy Bawole (35 tahun) dan Ahyani (30 tahun), kebingungan. Tak ada nasi yang bisa ditanak dan ikan untuk dimasak. Tetangga pun sama miskinnya. Mereka tak mempunyai uang untuk belanja ke warung. Sang ibu akhirnya lari ke kebun orang. Ditemukannya pohon pisang yang buahnya masih mentah, dan dipetiknya beberapa. Sampai di rumah, pisang getas itu direbus lalu disuapkan pada sang anak. Sejenak tangis berhenti, tapi mereka tetap meringis. Apa enaknya pisang mentah rebus, memang! Kampung Nelayan Tanpa Aroma Ikan, Laporan dari Teluk Buyat (1), Republika, 4 Agustus 2004 Ketika tidak ada penyelesaian yang memuaskan, maka rasa diperlakukan tidak adil terus menumpuk di dalam masyarakat. Tuntutan referendum Aceh. (Aceh, 1999; Kemal Jufri)
114
Ketidakpuasan rakyat terhadap tata kelola sumber daya alam di Aceh dan Papua melahirkan gerakan-gerakan perlawanan yang menyatakan keinginan untuk merdeka dari Republik Indonesia. Negara menanggapi gerakan-gerakan yang pada awalnya tidak berkekuatan besar dengan menggelar operasi-operasi pengikisan pemberontakan berskala besar dan menyasar penduduk tidak bersenjata, termasuk perempuan. Tindak-tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan awalnya menimbulkan ketakutan, tapi lambat laun justru memupuk kebencian
masyarakat terhadap para penguasa rezim Orde Baru dan mendorong mereka untuk mendukung gerakan-gerakan perlawanan secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Semakin besar upaya untuk membasmi perlawanan masyarakat dengan kekerasan, semakin dalam rasa diperlakukan tidak adil. Dukungan masyarakat yang terus meluas membuat operasi-operasi militer tidak pernah sepenuhnya berhasil di Aceh dan Papua. Operasi-operasi militer tersebut bukan hanya untuk menjaga obyek-obyek vital negara dan mengamankan perputaran modal asing, tetapi juga untuk menegaskan kembali pentingnya keutuhan NKRI yang selalu didengungdengungkan sebagai bagian dari identitas nasional. Di sinilah ada bentrokan antara identitas nasional yang semata-mata bertumpu pada kesadaran kewilayahan dengan identitas masyarakat adat yang lekat pada alam. Bagi perempuan Amungme di Papua Barat, misalnya, alam secara utuh adalah tubuh seorang ibu. Di Timor Barat, masyarakat menganggap gunung adalah tulang, tanah itu daging, air itu darah, dan hutan itu rambut. Bagi masyarakat adat, karenanya, penghancuran alam secara semena-mena melukai kedirian mereka sebagai manusia.
KITA BERSIKAP
Kepatuhan buta terhadap prinsip keutuhan wilayah dan kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan militer menjaga kemuliaan dan kejayaan republik ini kembali mendapat pembenaran pada saat pemerintah Orde Baru memutuskan untuk melancarkan operasi militer di Timor Timur pada 1975. Dengan alasan adanya ancaman penyusupan kekuatan-kekuatan komunis yang akan membahayakan integritas dan stabilitas NKRI, militer menyatakan akan menaklukkan negeri kecil yang baru beranjak merdeka dari kekuasaan kolonial Portugis itu dalam waktu singkat (tiga minggu). Keputusan yang didukung oleh negara-negara Blok Barat dalam kerangka politik Perang Dingin ini ternyata membawa akibat berkepanjangan. Karena perlawanan rakyat Timor Timur demikian kukuh, pemerintah harus melipatgandakan kekuatan operasi militer Indonesia dan terlibat dalam peperangan yang diikuti dengan pendudukan di Timor Timur sepanjang hampir 25 tahun. Perang ini menimbulkan korban jiwa tidak sedikit di kalangan tentara Indonesia maupun rakyat Timor sendiri. Sesungguhnya, seandainya pemerintah Orde Baru secara efektif menjalankan pendekatan persuasif, maka tidak akan sulit bagi penduduk wilayahwilayah konflik tersebut untuk merasa
sebagai bagian yang bermartabat dari bangsa ini. Apalagi mengingat bahwa sebagian besar penduduk di ketiga wilayah tersebut berada dalam kondisi kemiskinan dan keterbatasan akses ke layanan-layanan dasar yang menjamin kesejahteraan. Gerakan-gerakan ini awalnya kecil dan sama sekali tidak mengancam keamanan teritorial negeri ini, apalagi jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan perlawanan pada akhir 1950-an yang mendapat dukungan finansial dan peralatan dari negeri-negeri lain. Karena tidak ada penyelesaian yang memuaskan, maka rasa diperlakukan tidak adil terus menumpuk. Kepada masyarakat Indonesia di luar Aceh, Papua, dan Timor Timur, gerakangerakan perlawanan ini digambarkan sedemikian berbahaya dan memiliki kemampuan mengacaukan negeri seluas Indonesia. Gambaran ini dijadikan alasan pembenar bagi penempatan aparat dalam skala besar, dengan pengawasan yang minim, sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap masyarakat sipil.
Pengerdilan Peran Perempuan Bila diamati secara keseluruhan, Orde Baru menjanjikan kelahiran kembali
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
115
Indonesia dari kebangkrutan ekonomi dan kemerosotan akhlak dengan ABRI sebagai pemimpin di depan (stabilisator dan dinamisator) dan birokrasi sebagai pengelola kegiatankegiatan pembangunan. Di seluruh negeri, birokrasi sipil berjalan sejajar dengan struktur militer yang bekerja sampai ke tingkat kelurahan dan desa. Sistem ini dipergunakan sebagai sarana pengawasan gerak masyarakat oleh masyarakat sendiri sampai ke tingkat rumah tangga melalui Rukun Warga dan Rukun Tetangga yang pada gilirannya, berdiri di atas konsep rumah tangga dengan peran para bapak sebagai Kepala Keluarga dan para ibu sebagai pendamping suami. Sekilas tatanan ini tampak demikian sempurna dan menjamin adanya keteraturan dan kerapihan derap bersama “massa mengambang” menuju Indonesia yang modern. Perempuan berada di tengah “massa mengambang” menyumbangkan tenaganya secara sukarela di rumah tangga, secara murah di wilayah industri rumah tangga, pekerjaan rumah tangga, dan manufaktur, dan meningkatkan pendapatan negara secara dramatis sebagai pekerja rumah tangga di negerinegeri asing. Perempuan juga menjadi pasukan sukarela utama dalam proyekproyek percepatan modernisasi di awal masa pemerintahan Orde Baru: Keluarga Berencana dan pembangunan desa. 116
Walaupun negara merumuskan peran dan posisi utama perempuan dalam pembangunan di rumah tangga, negara luput memperhitungkan sumbangan besar perempuan dalam rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai kewajiban perempuan, sementara kerajinan rumah tangga dilihat semata-mata sebagai sambilan. Kelengahan ini antara lain ditunjukkan dengan begitu lamanya waktu yang dibutuhkan negara untuk melindungi perempuan dari kekerasan terhadap rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga acap kali dibenarkan dengan alasan istri dianggap terlalu banyak menuntut, tidak patuh kepada suami, dan tidak becus mengurus rumah tangga. Berhadapan dengan kekerasan, perempuan menjadi sulit untuk berkiprah secara optimal. Banyak pula perempuan yang tidak dapat keluar dari hubungan yang penuh kekerasan, semata-mata karena ia tergantung secara ekonomi pada suaminya. Kondisi ketergantungan ini, secara tidak langsung juga merupakan buah dari ideologi negara yang membakukan peran perempuan di rumah demi menopang paradigma pembangunan. Perhatian pemerintah yang terpusat pada pertumbuhan ekonomi di sektorsektor padat modal asing juga sudah mengabaikan sumbangan perempuan
KITA BERSIKAP
bagi kelancaran dan keberhasilan program-program utama pembangunan. Pembakuan posisi dan peran perempuan dalam pembangunan sebagai pengurus rumah tangga, pendamping laki-laki, dan pencari nafkah tambahan menampilkan perempuan tidak lebih dari satu sekrup dalam mesin raksasa pembangunan. Bagi negara, perempuan bukanlah kekuatan pokok yang patut diperhitungkan pendapatnya dalam menentukan strategi pembangunan negara dan bangsa. Berangkat dari pandangan ini dapat dipahami bagaimana strategi industrialisasi Orde Baru meminggirkan
perempuan pedesaan dan mendorong mereka masuk dalam pasar tenaga kerja murah di dalam dan luar negeri. Akibatnya, perempuan menghadapi kekerasan dan ketidakadilan di berbagai ruang hidupnya, bukan saja akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang secara khusus bertujuan untuk membatasi gerak dan pikiran perempuan, tetapi juga kebijakan-kebijakan lain yang berlaku umum. Pemerintah Orde Baru membenarkan pembatasan dan penataan gerak masyarakat untuk menjamin kelancaran
Perhatian pemerintah pada pertumbuhan ekonomi mengabaikan sumbangsih perempuan bagi kelancaran dan keberhasilan programprogram utama pembangunan. Layanan kesehatan lewat Posyandu Mawar (Sukabumi, 1986)
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
117
dan kecepatan mencapai tujuan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada janji-janji pemerintah dan berupaya mencari jalan untuk mengungkapkan pendapatnya, pemerintah Orde Baru sudah terlanjur membatasi jalur-jalur utama yang memungkinkan penyelesaian sengketa secara damai. Institusi-institusi yang seharusnya berfungsi sebagai
ruang pertukaran pendapat tentang masalah-masalah besar yang dihadapi masyarakat tidak tersedia. Kantor-kantor pemerintah dan parlemen, kalau tidak dibebani tugas mengawasi keamanan dan ketertiban umum bersama aparat keamanan, lebih mengutamakan stabilitas pemerintahan yang sedang berjalan. Demikian pula dengan perundang-undangan dan institusi
peradilan yang seharusnya mengatur lalu lintas keberagaman pendapat dan aspirasi, serta menetapkan acuan-acuan pokok bangsa tentang kebenaran dan keadilan gagal melaksanakan kewajibannya. Mereka lebih berperan sebagai bagian dari penjaga keabsahan pemerintahan Soeharto dan kebijakankebijakan pembangunannya, dan mekanisme kerjanya telah sedemikian
Pembakuan peran jender oleh negara menampilkan perempuan tak lebih dari satu sekrup dalam mesin raksasa pembangunan dan menyebabkan perempuan berhadapan dengan kerentanan khusus pada kekerasan. Perempuan kuli angkut. (Jakarta, 2006 ;Tempo/Bismo Agung)
118
KITA BERSIKAP
dipenuhi dengan praktik-praktik korupsi sehingga masyarakat pun sudah tidak lagi memercayainya. Masyarakat juga tidak mudah mengusahakan ruang-ruang aman dan nyaman untuk berbincang tentang gagasan-gagasan kebangsaan dan tata laksana kenegaraan. Sekian produk perundang-undangan dibuat untuk mengawasi dan membatasi hak-hak dasar warga negara dalam berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi yang dijamin oleh Konstitusi. Kelompokkelompok yang dengan berani memilih untuk tetap menjalankan hak-haknya sebagai warga negara dituduh menyebar kebencian, penghinaan terhadap kepala negara, atau melakukan tindakantindakan makar yang merongrong pemerintahan yang sah. Penangkapan dan pemenjaraan terhadap para penyuara dan penuntut ketidakadilan terus berlangsung sepanjang masa pemerintahan Orde Baru. Komunitas-komunitas yang berusaha memperjuangkan keberlangsungan hidupnya dan mulai berpikir untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia dengan segera dihadapi dengan operasi-operasi penumpasan pemberontakan. Kekerasan, apakah dalam bentuk wacana yang mengancam dan menebar ketakutan, maupun dalam bentuk tindakan fisik mewarnai
langgam politik di masa pemerintahan Soeharto. Pada titik-titik paling kritis kekerasan melahirkan kekerasan, dan semua – perempuan dan laki-laki – tergulung dalam satu lingkaran yang hanya menghadirkan kekerasan sebagai jalan keluar. Ketika siklus kekerasan ini pecah menjadi konflik terbuka yang berkepanjangan, perempuan, yang sejak semula mengalami diskriminasi berlapis dalam berbagai bidang kehidupan, bukan saja terjebak dalam ketergantungan pada laki-laki untuk keselamatan hidupnya, tetapi juga harus menghadapinya dengan kerentanan-kerentanan khusus yang khas karena keperempuanannya.
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
119
Jejak Orde Baru Menata Tubuh, Ruang Gerak dan Identitas Perempuan dan Masyarakat Sebelum 1965
1965- 1968
1969-1973
1974-1978
Umum: Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi
Umum: 30 Sep 65: Peristiwa G30S
Umum: 1969: Pepera Papua
Umum: 1974: Peristiwa Malari
1965: UU No. 1/PNPS/ 1965 tentang Penodaan Agama
1970: mulai ada aksi buruh laki-laki
1975: Penyerbuan ke Timtim
1971: Golkar memenangkan Pemilu
Perempuan: 1974: Dharma Wanita & Dharma Pertiwi didirikan
UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. PP 10/59: Cina dilarang berdagang eceran di tingkat lebih rendah dari Kabupaten
1 Maret 66: Supersemar 1966: Perintah ganti nama bagi orang cina lewat kebijakan kabinet presidium No. 127/U/Kep/12/1966
1971: kontrak dengan Mobil Oil di Aceh 1972: kebijakan transmigrasi (UU 3/1972)
1974: Kowani mewakil organisasi perempuan di Golkar 1974 : UU 1/1974, Perkawinan
Maret ’67: Soeharto resmi jadi Presiden 1973: partai politik bergabung UU 1/ 1967 tentang penanaman modal asing; UU 11/1967 tentang penambangan 1967: KK dengan Freeport (pertambangan emas, Papua) 1967: pelarangan budaya cina, termasuk penggunaan aksara, lewat Inpres No. 14/1967 Perempuan: 1965: Gerwani dipecat dari keanggotaan Kowani 1966: Kongres Luar Biasa Kowani (Jakarta) menghasilkan keputusan untuk dukung kepemimpinan Soeharto 1968: Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN)
120
Perempuan: 1969: KB jadi bagian Repelita; BKKBN dibentuk 1972: nama PKK (1961) diubah menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga 1970.
1978: Peranan Wanita dalam Pembangunan dan Pembinaan Bangsa dalam GBHN
KITA BERSIKAP
1979 – 1983
1984 – 1988
1989 - 1993
1994 – 1998
Umum: 1982 : UU Pokok Pers UU Pokok Pers no. 21 tahun 1982
Umum: 1984: sanksi pembredelan media lewat Peraturan Menteri Penerangan no. 01/Per/Menpen/1984
Umum: 1989—1999: DOM Aceh
Umum: 1996-2004: pertambangan emas di Buyat
1984: Peristiwa Tanjung Priok
1990: kebijakan normalisasi kampus lewat SK Mendikbud No. 0457/0/1990
Perempuan: 1981: ujian klinis untuk susuk Norplant; Safari KB digalakkan 1982: SK 052/C/Kep/d.82 yang mengatur tentang penggunaan seragam sekolah 1983: RI mengekspor perempuan buruh migran
1986: Presiden Soeharto mendapat penghargaan dari FAO untuk Swasembada beras Perempuan: 1994: DPR RI ratifikasi CEDAW 1985: KB Mandiri dimulai
1983: Panca Dharma Wanita dalam GBHN
1987: Norplant disetujui untuk dipasarkan
1989: Peristiwa Talangsari, Lampung
1991: KK baru dengan Freeport 1993: Komnas HAM dibentuk 1993: Peristiwa Padepokan Haur Koneng, Majalengka
1996: Pengukuhan SBKRI lewat Keppres No. 56/1996 1997: Krisis moneter; pamor Orba turun 21 Mei 98: Soeharto Mengundurkan diri Perempuan: 13-15 Mei 98: Tragedi Mei 1998: Komnas Perempuan
Perempuan: 1989: Pres. Soeharto & PKK meraih Penghargaan Populasi PBB Mei 1993: pembunuhan Marsinah
Menimbang Ulang Posisi Perempuan dalam Pembangunan
121
"False Target" oleh Astari Rasjid (Dok. Foto Cemara 6 Gallery Café)
KITA BERSIKAP
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik Sejak pertengahan 1997, pamor Orde Baru mulai meredup. Perekonomian Indonesia yang menjadi simbol kesuksesan Orde Baru mulai merasakan dampak dari krisis ekonomi global. Indonesia tidak bisa membayar pinjaman luar negeri yang selama ini diandalkan pemerintah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan Orde Baru. Kebijakan pembangunan malah membuat Indonesia sangat tergantung pada impor, baik bahan pangan maupun bahan baku industri. Pemerintah lalu memutuskan untuk membiarkan nilai tukar rupiah ke dalam sistem pasar uang dunia. Akibatnya, harga bahan pokok melambung tinggi, bahkan sampai lebih sepuluh kali lipat. Situasi ini memicu protes di masyarakat dan demonstrasi
menentang Orde Baru segera meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Demonstrasi terutama dilakukan mahasiswa, perempuan, buruh, dan tani. Salah satunya adalah aksi Suara Ibu Peduli yang mendesak pemerintah menyediakan susu dan bahan makanan pokok dengan harga murah. Sejak awal 1998, demonstrasi terjadi hampir setiap hari di berbagai kota besar Indonesia. Dalam demonstrasi ini, pesertanya menuntut turunnya Presiden Soeharto yang telah memimpin rezim Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Di Jakarta, mahasiswa mulai menduduki gedung DPR, dan pasukan keamanan disiagakan penuh. Beberapa kali pasukan anti huru-hara dan aparat
IV
keamanan menangkap sejumlah orang yang diduga menjadi pemimpin demonstrasi; beberapa di antaranya tak pernah kembali. Aparat juga menggunakan pentungan, gas air mata, dan menembakkan peluru karet ke udara dan tanah untuk membubarkan aksi. Pada 12 Mei 1998, demi menghalau mahasiswa untuk keluar berdemonstrasi, aparat keamanan menembak ke dalam kampus Trisakti, Jakarta. Kali ini aparat menggunakan peluru tajam. Empat mahasiswa tewas akibat penembakan itu.
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
123
Sebaran Kekerasan terhadap Perempuan dalam Situasi Konflik* Aceh (1998 – 2007)
Mei 1998
Aceh
Jakarta, Solo, Surabaya, Medan
Kekerasan Seksual • eksploitasi seksual:8 • penganiayaan seksual:3 • penyiksaan seksual:12 • perlakuan tak manusiawi bernuansa seksual: 7 • perkosaan:31 (termasuk 3 kasus perkosaan massal; 4 kasus perkosaan berulang)
Kekerasan Seksual
1 ACEH 2 MEDAN, SUMATERA UTARA
• pelecehan seksual:9 • penganiayaan seksual:10 • perkosaan:52 • perkosaan dengan penganiayaan:14
Kekerasan Non-seksual • penganiayaan:1 • penyiksaan:31 • perlakuan tak manusiawi:9
1965 Jakarta, Bali, Padang, Lampung, Palembang, Yogya, Solo, Madiun, Kalimantan Timur Kekerasan Seksual
4 PALEMBANG PADANG, SUMATERA BARAT
3
• hamil akibat perkosaan:9 • kekerasan seksual (selain perkosaan & perbudakan seks):60 • pemaksaan aborsi:1 • perbudakan seksual:21 • perkosaan:74
124
LAMPUNG
5 6 JAKARTA
Kekerasan Non-seksual
Jemaah Amadiyah (2005 – 2006)
• KDRT sesudah pembebasan:3 • kerja paksa:56 • kekurangan makanan waktu ditahan:56 • pembunuhan:29 • penahanan sewenang-wenang:457 • penculikan:222 • penghilangan paksa:35 • penyiksaan:133 • wajib lapor pasca penahanan: 36
Cianjur, Bogor, & Lombok Barat, Lombok Tengah Kekerasan Seksual • ancaman perkosaan:3 • pelecehan seksual:1 • penyerangan seksual:3 Kekerasan Non-seksual • ancaman pembunuhan:1 • perampasan hak bekerja:1 • penolakan pencatatan perkawinan: 1
11 SURABAYA
7 BOGOR CIANJUR
8
9 SOLO YOGYAKARTA 10
Ruteng, NTT (2004) Ruteng, Manggarai, Flores Kekerasan Non-seksual • penahanan sewenang-wenang:4
12 MADIUN
KITA BERSIKAP Poso, Sulawesi Tengah (1998-2005) Poso, Sulteng Kekerasan Seksual • eksploitasi seksual:44 • pemaksaan aborsi:5 • penelanjangan paksa: ± 200 • percobaan perkosaan :1 • perkosaan: 11 Kekerasan Non-seksual • intimidasi:1 • KDRT: 6 • pembunuhan:1 • pembunuhan dengan mulitasi:3 • percobaan pebunuhan:2
Papua (1967-2009) Papua Kekerasan Seksual • aborsi paksa: 1 • eksploitasi seksual: 8 • KB paksa: 5 • perbudakan seksual: 4 • perkosaan: 57 • usaha perkosaan: 2
Maluku Maluku, Ambon Kekerasan Seksual • sunat paksa: 1 • perkosaan: 1
Kekerasan Non-seksual
Kekerasan Non-seksual
• ancaman pembunuhan: 7 • pekerjaan paksa: 2 • pembakaran/pengrusakan/pencurian harta benda: 14 • pembatasan ruang bergerak: 2 • pembunuhan: 3 • penahanan sewenang-wenang: 20 • penganiayaan: 17 • penghilangan paksa: 1 • penyiksaan: 9
• meninggal dunia: 3.080 • luka: 4.204 • pengungsi: 281.365
15 KALIMANTAN TIMUR
16 POSO, SULAWESI TENGAH MALUKU 19 18 PAPUA
Timor Timur (1974-1999) Timor-Leste Kekerasan Seksual • pelecehan seksual dan kekerasan seksual lainnya:231 • perkosaan:393 • perbudakan seksual:229 Kekerasan Non-seksual
13 LOMBOK
14 RUTENG
17 TIMOR LESTE
• pembunuhan: 4.451 • penghilangan paksa:80 • penahanan sewenang-wenang:4.110 • kekerasan lain:4.245
* Data berdasarkan dokumentasi Komnas Perempuan, kecuali untuk kasus Mei 1998 (dari TGPF Mei 1998), Timor Timur (CAVR; data kekerasan non seksual belum terpilah berdasarkan jenis kelamin), Papua (Tim Dokumentasi Papua), dan kekerasan non seksual Maluku (Komnas HAM, data belum terpilah berdasarkan jenis kelamin). Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
125
Tragedi Mei 1998 Esok harinya, 13 Mei 1998, kampus Trisakti dipenuhi oleh mahasiswa dan masyarakat yang hendak melepaskan jenazah rekan mahasiswa yang tewas tertembak. Kehadiran aparat keamanan dalam kegiatan itu memicu kemarahan massa. Suasana menjadi tidak terkendali ketika sejumlah orang mulai menyerang aparat dan merusak fasilitas keamanan yang ada di sekitar kampus. Di tengah situasi ini, muncul kelompok massa laki-laki yang bergerak menuju pusat perdagangan di dekat kampus sambil berteriak-teriak memancing massa untuk membakar bangunan dan menjarah toko. Api dan asap mulai terlihat memenuhi udara Jakarta. Pada waktu yang hampir bersamaan, kelompok massa yang lain bergerak di berbagai sentra ekonomi di Jakarta. Mereka menjarah, menghancurkan, dan membakar bangunan serta kendaraan yang mereka temui. Sasaran mereka adalah bangunan milik dan daerah yang mayoritas dihuni warga etnis Tionghoa. Agar tidak menjadi sasaran massa, ada banyak pintu rumah dan toko yang ditutup rapat dengan tulisan “milik pribumi”, “punya Haji”, atau “orang Muslim”. Kerusuhan menyebar cepat ke seluruh Jakarta dan berlangsung hingga dua 126
KITA BERSIKAP
hari berikutnya tanpa tindakan dari aparat keamanan. Hal ini sungguh membingungkan. Pada hari-hari sebelum kerusuhan, pasukan disiagakan penuh di dalam kota Jakarta. Sebaliknya, pada saat kerusuhan, hampir tidak tampak aparat keamanan di lokasi kejadian. Kalaupun ada, mereka seolah membiarkan aksi kerusuhan itu berlangsung. Bahkan, beberapa pos polisi dibiarkan dirusak dan dibakar massa. Kerusuhan, dengan pola yang sama, menjalar ke kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Surabaya, Solo, Palembang, dan Lampung. Informasi yang dikumpulkan oleh Tim Relawan untuk Kemanusian (TRuK) menunjukkan tidak saja bangunan dan kendaraan yang rusak dan terbakar di dalam kerusuhan itu. Ada ratusan orang yang terjebak dan tewas dalam gedung yang dibakar; sebagian banyak sengaja dijebak karena pintu gedung dikunci agar mereka tidak bisa lolos. Di tengah
Tulisan "Milik Pribumi", "Muslim" atau "Milik Haji", seperti dalam kerusuhan di Rengasdeklok 1997, juga dipasang secara spontan oleh masyarakat pada kerusuhan Mei 1998. Masyarakat paham bahwa ada kelompok tertentu yang disasar, yaitu komunitas Tionghoa. (Renggasdeklok, 1997; Kompas/Edy Hasbi).
kerusuhan itu pula, terjadi perkosaan massal, yaitu sejumlah perkosaan di banyak lokasi dan dalam bentuk gang rape (perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang secara bergantian), dan penyerangan seksual terhadap perempuan.
. . . mereka [korban] adalah dua anak perempuan bersaudara sepupu berusia 12 dan 15 tahun. . . . Saat kerusuhan, ruko [rumah toko] tempat mereka tinggal didobrak oleh sekelompok laki-laki. Salah satu korban diperkosa secara bergilir. Beberapa dari pelaku membawa papan untuk menghalangi lebih banyak orang dari rombongan pelaku [kerusuhan] untuk menyaksikan dan ikut serta dalam perkosaan tersebut. Korban jatuh pingsan; tetapi ia ingat bahwa pelaku menyebutnya “amoy kecil” . . . Korban selalu ketakutan kalau melihat bambu; dokter yang memeriksanya menduga korban juga dianiaya dengan benda tajam. Korban yang lain menyaksikan kejadian perkosaan itu dari tempat persembunyiannya di bawah meja. Ia terus didera rasa bersalah karena tidak bisa menolong waktu itu; hanya diam, tak bergerak dari tempat persembunyiannya. pendamping korban yang juga seorang guru, Saatnya Meneguhkan Rasa Aman (laporan KP), hal. 23
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
127
PETA SEBARAN KERUSUHAN MEI 1998 (Prof. Dr. Dadan Umar Daihani)
128
14 Mei 1998
14 Mei 1998
Titik Awal Kerusuhan
Hingga Pukul 12.00
14 Mei 1998
14 Mei 1998
Hingga Pukul 14.00
Total Lokasi Kerusuhan
KITA BERSIKAP
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Adanya pemerkosaan berkelompok dalam kerusuhan Mei 1998 dikonfirmasi oleh temuan TGPF Mei 1998 yang menunjukkan bahwa pemerkosaan tersebut tidak terbatas pada pemaksaan penetrasi penis ke vagina, sebagaimana definisi pemerkosaan menurut hukum pidana Indonesia, melainkan juga dengan menggunakan benda-benda lain sehingga merusak alat reproduksi korban. Setidaknya terdapat 85 kasus pemerkosaan dan penyerangan seksual yang dapat diverifikasi, dan dari kasuskasus tersebut disimpulkan bahwa pemerkosaan dan penyerangan seksual dilakukan:
Dua puluh dua tokoh perempuan atas nama Masyarakat Anti-Kekerasan terhadap Perempuan menuntut Presiden Habibie untuk bertanggungjawab atas Tragedi Mei 1998. (Jakarta, 15 Juli 1998; Carla Bianpone)
Menyikapi tindak kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998, perempuan bersama masyarakat yang peduli mendesak negara bertanggung jawab. Sejumlah tokoh perempuan bertemu untuk meyakinkan Presiden Habibie tentang adanya pemerkosaan Mei 1998. Mereka juga hendak memastikan adanya
penanganan korban dan peristiwa serupa tidak berulang. Dari pertemuan tersebut Presiden mengeluarkan pernyataan penyesalan atas peristiwa pemerkosaan Mei 1998, dan mendorong pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998 (TGPF Mei 1998) yang mengintegrasikan persoalan pemerkosaan massal dalam investigasinya, serta mendirikan Komisi
. . . oleh sejumlah pelaku di berbagai tempat yang berbeda dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan, dapat terjadi secara spontan karena situasinya mendukung atau direkayasa oleh kelompok tertentu untuk tujuan tertentu. Korban adalah penduduk Indonesia dengan berbagai latar belakang, yang diantaranya kebanyakan adalah etnis Cina. Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, (Seri Dokumen Kunci KP), hal. 28
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
129
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh PERNYATAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Setelah Saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Untuk hal itu, Saya menyatakan bahwa pemerintah akan proaktif memberikan perlindungan dan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari terulangnya kembali kejadian yang sangat tidak manusiawi tersebut dalam sejarah bangsa Indonesia. Saya harapkan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera kepada aparat pemerintah jikalau melihat adanya kecenderungan ke arah kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apapun juga dan dimana pun juga. Oleh karena itu, Saya, atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, mengutuk berbagai aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 15 Juli 1998 Ttd
130
B. J. Habibie
KITA BERSIKAP
Selain mengonfirmasi terjadinya pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998, TGPF Mei 1998 juga menegaskan adanya indikasi keterlibatan aparat keamanan dalam perencanaan dan pelaksanaan kerusuhan. ABRI juga dinilai lalai dalam menjalankan tugasnya karena tidak cukup bertindak dalam mencegah terjadinya kerusuhan. Di tengah upaya mengungkapkan kasus pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998, masyarakat dikejutkan oleh pembunuhan Ita Marthadinata, seorang perempuan Tionghoa yang berusia 17 tahun. Bersama Ibu dan keluarganya, Ita aktif membantu di TRuK. Sebelumnya,
korban dan keluarganya telah menerima beberapa ancaman pembunuhan dan surat kaleng. Bagi komunitas korban dan para pendamping korban kerusuhan Mei 1998, kematian Ita merupakan puncak teror untuk membungkam upaya pengungkapan kasus Mei 1998. Sebelum pembunuhan Ita, sejumlah pendamping juga menerima ancaman, seperti bahwa rumah mereka akan dibakar dan anggota keluarganya akan disakiti bila terus menyuarakan adanya korban pemerkosaan. Di komunitas Tionghoa, banyak yang bungkam dan memutuskan pindah dari Indonesia karena tersebar surat kaleng bertanda tangan “pribumi” yang mengancam bahwa akan ada lagi
Tabel 2. Jumlah Korban berdasarkan Jenis Kekerasan Seksual dan Asal Informasi Seksual
Perkosaan
Perkosaan dengan aniaya
Penganiayaan seksual
Pelecehan seksual
Langsung dari korban
3
-
3
1
Diperiksa dokter
9
3
1
-
Keterangan orang tua & keluarga
3
10
3
-
Saksi
10
-
-
8
Pendamping
27
1
3
-
Jumlah
52
14
10
9
Asal Informasi
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
pembunuhan terhadap warga Tionghoa. Pihak kepolisian menyangkal adanya indikasi teror dalam pembunuhan tersebut dengan menyatakan bahwa kasus Ita Marthadinata adalah tindakan kriminal murni. Menanggapi situasi ini, pihak keluarga Ita meminta masyarakat agar tidak mengaitkan kematian Ita dengan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Meski TGPF Mei 1998 telah memberikan laporannya, kontroversi tentang pemerkosaan Mei 1998 terus berlanjut. Mereka yang menyangsikan terus berkilah bahwa tidak mungkin laki-laki dapat memperkosa di tengah kerusuhan. Mereka menuntut agar ada korban memberikan kesaksian di hadapan publik sebagai bukti bahwa pemerkosaan memang terjadi. Karena tidak ada yang maju, mereka menuduh para pendamping korban telah melakukan kebohongan publik dan bertujuan merusak nama baik bangsa Indonesia. Di tengah kontroversi ini, Komnas Perempuan memfasilitasi pertemuan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan dengan beberapa perempuan korban kekerasan di Timor Timur, Aceh, dan Papua, selain juga korban Mei 1998. Pelapor Khusus PBB berkunjung pada 20 November-4 Desember 1998 atas undangan pemerintah Indonesia, yang
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
131
Pemerkosaan Sebagai Alat Perang
S
ejarah perang dunia mencatat bagaimana pasukan yang bertempur diiming-imingi janji boleh memiliki perempuan mana pun dari pihak musuh. Perempuan dianggap sebagai pampasan perang, bagian dari harta benda yang menjadi milik pemenang. Karenanya, hampir tidak ada upaya untuk menghentikan pemerkosaan atau perbudakan seksual. Bahkan, sesama anggota pasukan justru saling menyemangati untuk ikut melakukan tindakan tersebut.
Pemerkosaan terus-menerus muncul disemua situasi konflik bersenjata di Indonesia. Hal ini mengesankan bahwa pemerkosaan bukan suatu tindakan individu yang tidak disengaja melainkan strategi perang yang efektif. Perkosaan menjadi bagian dari penyerangan, cara penghukuman dan metode penyiksaan, dan alat teror bagi masyarakat. Pemerkosaan oleh musuh tidak saja menunjukkan ketidakmampuan pihak laki-laki untuk melindungi “hartanya”, tetapi juga tanda hancurnya simbol kesucian yang ada di dalam masyarakat. Anak yang lahir akibat perkosaan tidak lagi memiliki “darah murni” komunitas asal perempuan korban tersebut. Pemerkosaan juga memainkan peran penting dalam menaklukkan perempuan secara personal. Karena pemerkosaan adalah penyerangan terhadap seluruh integritas diri perempuan, maka pemerkosaan menjadi cara menghukum yang ampuh untuk menghancurkan kepercayaan diri korban, sebagaimana yang dialami sejumlah perempuan petempur. Dari penuturan korban, kami juga memahami bahwa pemerkosaan yang terjadi tidak hanya terbatas pada tindak pemaksaan coitus atau penetrasi penis ke vagina, sebagaimana yang didefinisikan di dalam hukum pidana Indonesia. Pemerkosaan terhadap perempuan yang terjadi di situasi konflik juga dilakukan oleh anggota komunitas dan anggota keluarga korban. Berulang dan berlarut-larutnya kasus pemerkosaan menunjukkan kepada masyarakat bahwa pemerkosaan merupakan cara untuk menyatakan kekuasaan. Akibatnya, laki-laki yang berada di pihak yang kalah melakukan perkosaan sebagai upaya untuk mengklaim kembali kontrol dan kuasanya. Dalam kasus serupa ini, target pemerkosaannya adalah perempuan anggota komunitasnya sendiri. Istri adalah yang paling rentan atas kekerasan ini.
saat itu dipimpin oleh B.J. Habibie. Dalam laporannya, Pelapor Khusus berkesimpulan bahwa sebelum Mei 1998, pemerkosaan terhadap perempuan telah dijadikan alat penyiksaan dan teror oleh aparat keamanan Indonesia di daerah-daerah tersebut. Pelapor Khusus mengemukakan bahwa budaya
132
penyangkalan atas kekerasan terhadap perempuan masih hidup di kalangan negara dan masyarakat. Laporan Pelapor Khusus kembali disangkal oleh pemerintah Indonesia di depan sidang HAM PBB di Jenewa. Rekomendasi laporan TGPF Mei 1998
untuk menyelidiki secara tuntas peristiwa Mei 1998 pun sampai saat ini belum ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dengan berbagai alasan, termasuk bahwa tidak ada korban pemerkosaan yang bersedia maju memberikan kesaksian. Agar kebenaran yang telah terungkap tidak hilang dari ingatan publik, Komnas
KITA BERSIKAP
kerusuhan dan menjadi pendamping bagi korban pemerkosaan. Cikal bakal ruang demokrasi yang tumbuh kembali pasca lengsernya Soeharto dirawat oleh kepemimpinan Presiden Habibie yang memercayai proses dialog sebagai cara penyelesaian masalah.
Pengungkapan peristiwa perkosaan Mei 1998 membuka jalan bagi pengungkapan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di dalam berbagai situasi konflik di Indonesia. (Jakarta, 1998; M. Sandra)
Perempuan menerbitkan laporan TGPF Mei 1998 dan Pelapor Khusus PBB. Meski diwarnai dengan penyangkalan, pengungkapan kasus pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 menjadi tonggak bagi sejarah baru Indonesia. Masyarakat yang selama ini dikerdilkan oleh negara mengambil langkah segera, secara perseorangan maupun berkelompok, untuk mengulurkan pertolongan bagi korban
Terungkapnya peristiwa Mei 1998 juga menjadi kunci bagi proses pengungkapan kebenaran dalam berbagai situasi konflik lainnya di Indonesia. Kekerasan terhadap perempuan, yang selama ini disembunyikan oleh Orde Baru, menjadi salah satu isu utama dalam agenda reformasi Indonesia. Hal ini memotivasi banyak perempuan yang kemudian memilih untuk mengorganisir diri agar dapat memberikan dukungan bagi pemulihan perempuan korban kekerasan di berbagai konteks. Ini adalah langkah penting dalam revitalisasi kelompok perempuan sebagai kekuatan yang berpengaruh bagi gerakan sosial di Indonesia.
Timor Timur Segera setelah pengungkapan peristiwa pemerkosaan Mei 1998, Komnas Perempuan menerima laporan pemerkosaan dan penyiksaan seksual terhadap perempuan di Timor Timur (sekarang Timor-Leste). Kekerasan ini
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
133
Kekerasan terhadap perempuan di Timor Timur berlangsung di tengah-tengah kekerasan lainnya terhadap masyarakat sipil. (Timor-Leste, 1999; CAVR)
berlangsung di tengah-tengah kekerasan lainnya terhadap masyarakat sipil. Kekerasan ini tidak banyak diketahui masyarakat Indonesia karena sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), informasi tentang wilayah tersebut dikontrol
134
langsung oleh rezim Orde Baru. Sebagian besar masyarakat Indonesia percaya bahwa bergabungnya Timor Timur menjadi provinsi ke-27 pada pertengahan 1976 adalah atas keinginan sukarela rakyat Timor Timur.
Pada saat Indonesia diproklamirkan, Timor Timur yang berbagi pulau dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur tidak termasuk sebagai wilayah Indonesia karena ia dijajah oleh Portugis. Bergabungnya Timor Timur, karenanya, selalu dielu-elukan sebagai keberhasilan ABRI membawa pulang “adik kecil” ke pangkuan Ibu Pertiwi. Sedikit masyarakat Indonesia di luar wilayah itu yang tahu bahwa saat pasukan Indonesia menyerbu masuk ke Timor Timur terjadi pembunuhan terhadap penduduk. Selama 24 tahun berikutnya, masyarakat Timor Timur hidup dalam ketakutan dan kekerasan. Dengan alasan memberantas kelompok Fretilin yang ingin memerdekakan Timor Timur, pasukan Indonesia melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Tempat pemukiman yang dicurigai sebagai daerah asal ataupun tempat persembunyian Fretilin dikepung. Warga disandera dan kebun-kebun dihancurkan sehingga warga kekurangan pangan. Mereka yang dituduh menjadi anggota Fretilin dibunuh, ditangkap, dan tidak pernah dikembalikan kepada keluarganya. Mereka yang ditahan mengalami penyiksaan, termasuk penyiksaan seksual dan pemerkosaan.
M (36 tahun) dari Viqueque ditangkap, diinterogasi dan diperkosa di tahun 1980-an setiap kali ada
KITA BERSIKAP
bentrokan antara militer dan kelompok gerilyawan, karena anggota keluarganya menjadi bagian dari gerakan perlawanan. Ia menyatakan bahwa pada tahun 1981 ia diperkosa berkali-kali dalam berbagai peristiwa berbeda. . . . D (38 tahun) berasal dari Viqueque ditangkap dan diperkosa dalam berbagai kesempatan sejak tahun 1975-1991. Ia dipaksa untuk melayani sejumlah aparat yang bertugas dekat kampungnya. Ia memiliki lima anak, semuanya ditengarai akibat dari perkosaan oleh aparat. . . dari unit Komando Daerah dan Unit Kopassus Nanggala. Laporan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Misinya ke Indonesia dan Timor Timur (Seri Dokumen Kunci KP), ha. 84
Kekerasan terhadap masyarakat sipil tidak berhenti setelah perubahan kepemimpinan di Indonesia pada Mei 1998. Kekerasan meningkat tajam setelah Presiden Habibie mengizinkan pelaksanaan jajak pendapat untuk menentukan masa depan Timor Timur, apakah tetap bergabung dengan Indonesia atau menjadi negara yang merdeka. Untuk memastikan bahwa warga memilih untuk tetap bergabung dengan Indonesia, milisi pro- integrasi melakukan intimidasi kepada warga.
Peta sketsa dari Desa Osso-Huna menggambarkan pemboman desa dan hutan tempat warga bersembunyi (Bacau, Timor-Leste, 2002; CAVR)
Penganiayaan dan juga pembunuhan, sebagai bagian dari intimidasi, dilakukan secara sistematis terhadap masyarakat. Pihak UNAMET (Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Timor Timur) yang ditugaskan mengawal jajak pendapat agar berlangsung damai dan independen menyebutkan bahwa hingga tengah Juli 1999, sebulan sebelum referendum dilaksanakan, sekitar 40-60 ribu jiwa mengungsi akibat aksi kekerasan itu.
Pada awal September 1999, hasil jajak pendapat diumumkan. Lebih dari tiga perempat warga Timor Timur memilih untuk merdeka. Pengumuman ditanggapi milisi dengan aksi membumihanguskan Dili, ibukota Timor Timur, dan beberapa kota lain. Milisi juga melakukan pembunuhan besarbesaran di mana sekitar 1.500 jiwa dibunuh atau dihilangkan. Di tengah situasi ini, pemerkosaan terhadap
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
135
Tabel 3. Potret Kekerasan Terhadap Perempuan di 23 Lokasi Pengungsian Timor Barat Hasil Investigasi Tim Kemanusian Timor Barat, 2000
perempuan terjadi. Milisi lalu memaksa sejumlah penduduk untuk meninggalkan Timor Timur dan mengungsi ke Timor Barat (bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Timur). Pemantauan di kamp pengungsian oleh Tim Kemanusiaan Timor Barat (TKTB) mengungkapkan adanya kasus penyekapan dan pemerkosaan, di samping kekerasan lainnya terhadap perempuan. Hasil pemantauan ini disampaikan kepada Komnas Perempuan, yang kemudian memfasilitasi terselenggaranya dialog publik tentang temuan tersebut dengan publik di Jakarta.
60% 53% 50% 40% 30% 22% 20%
10%
12% 10% 0%
136
3% Kekerasan dalam relasi personal
Perkosaan dan Penganiayaan Kawin Paksa dan Pelecehan dan Pembunuhan Ingkar Janji
Lain-lain
Menyikapi kekerasan yang terjadi di Timor Timur terkait pelaksanaan referendum, Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM di mana Komnas Perempuan menjadi salah satu anggotanya. Laporan KPP HAM menemukan bahwa pemerkosaan dan perbudakan seksual terhadap perempuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur terkait pelaksanaan referendum. Hasil investigasi ini ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung setelah adanya keputusan DPR RI untuk menjalankan pengadilan ad hoc HAM untuk Timor Timur pada 2002. Secara umum, persidangan ini diwarnai dengan ketegangan dalam mengurai peran negara Indonesia
Korban Antara Perempuan Target Kekerasan
P
erempuan dari komunitas musuh secara acak menjadi target kekerasan dan seringkali digunakan sebagai pengganti target sesungguhnya, yaitu para laki-laki anggota kelompok musuh. Dalam kasus Timor Timur misalnya, secara khusus, istri, anak, dan saudara perempuan anggota Fretilin menjadi target pemerkosaan dan penyiksaan oleh aparat Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi tentang keberadaan anggota Fretilin itu, sebagai sandera agar anggota keluarganya itu menyerahkan diri ataupun sebagai hukuman karena anggota Fretilin itu melarikan diri. Penggunaan perempuan sebagai korban antara lain juga digunakan sebagai intimidasi kepada warga lainnya agar tidak mendukung, apalagi bersekutu, dengan musuh. Pola serupa ditemukan dalam pengalaman perempuan korban kekerasan di Aceh dan Papua.
KITA BERSIKAP
dan tanggung jawab komando atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Proses persidangan diwarnai protes dari kelompok yang menuntut agar semua terdakwa dibebaskan karena mereka dianggap melakukan kekerasan untuk menyelamatkan keutuhan negara Indonesia. Pengadilan memutuskan pemimpin kelompok milisi dijatuhi hukuman penjara, namun upaya menelusuri pertanggungjawaban komando yang tidak mendatangkan hasil, sekalipun ada indikasi kuat keterkaitan kelompok milisi dengan institusi keamanan Indonesia. Hakim tidak memberikan perhatian pada kasus perkosaan dan perbudakan seksual, meski kejahatan ini disampaikan dalam dakwaan jaksa. Setelah referendum, lembaga independen CAVR (Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi) dibentuk di Timor Timur dengan tujuan mengungkap kebenaran tentang pelanggaran hak asasi yang terjadi pada kurun waktu 1974-1999. Temuan CAVR akan digunakan sebagai landasan untuk menyusun rekomendasi langkah reformasi dan inisiatif untuk mencegah terjadi kembali pelanggaran HAM, untuk menanggapi kebutuhan korban, serta untuk mendorong rekonsiliasi di dalam masyarakat TimorLeste. Dalam proses pengungkapan
Perbudakan Seksual
P
elapor Khusus PBB tentang Bentuk-Bentuk Perbudakan Masa Kini pada tahun 1998, Ms. Gay Mc Dougall, di dalam laporannya berjudul “Bentuk-bentuk Kontemporer Perbudakan: Perkosaan Sistematis, Perbudakan Seksual, dan Praktik Serupa Perkosaan Semasa Konflik Bersenjata” menyebutkan bahwa perbudakan seksual adalah “sebuah status atau kondisi seseorang yang kepadanya dilakukan semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan, termasuk akses seksual melalui pemerkosaan atau bentuk-bentuk lain kekerasan seksual”. Perbudakan seksual juga mencakup situasi-situasi di mana perempuan dewasa dan anak-anak dipaksa untuk “menikah”, memberikan pelayanan rumah tangga, atau bentuk kerja paksa lainnya yang melibatkan kegiatan seksual paksa, termasuk pemerkosaan, oleh penyekapnya. Pada masa penjajahan Jepang, kondisi serupa perbudakan seksual dialami oleh perempuan korban jugun ianfu. Di Timor Timur ada juga kasus perbudakan seksual di mana perempuan korban ditawan dan dipaksa memberikan layanan seksual bagi satu atau banyak tentara. Mereka
disuruh mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, memasak, dan membersihkan tempat di mana mereka ditawan. Ketika masa tugas pasukan selesai, ada perempuan yang diserahkan kepada pasukan pengganti. Kepala desa [Fahinehan] memberitahu Yonif Linud 100 bahwa EG2 [kakak korban] adalah komandan berpangkat tinggi di hutan dan karena itu ia harus dibunuh, atau, kalau tidak, TNI [ABRI] harus mengambil atau kawin dengan saudara perempuannya. Kemudian mereka mengambil saudara perempuan saya, EG. Mereka membawanya ke pos tentara dan memperkosanya secara bergantian. Mereka terus melakukan hal ini sampai tahun 1980 ketika mereka [Linud 100] selesai tugas dan digantikan oleh Batalyon 643. Mereka pun mengambil saya untuk menjadi TBO [tenga bantuan operasi] di pos tersebut . . . Saya melihat dengan mata kepala sendiri pemerkosaan yang dialami saudara perempuan saya. Waktu mereka meninggalkan Fahinehan, baru ia dilepaskan [dan diizinkan] pulang ke rumah. saudara korban, Pemerkosaan, Perbudakan Seksual, dan Bentuk-bentuk Lain Kekerasan Seksual (Seri Dokumen Kunci 8, KP), hal. 112
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
137
Perempuan korban mengungkapkan peristiwa kekerasan yang ia alami dalam public hearing CAVR untuk mengungkap kebenaran dan menabur benih rekonsiliasi di masyarakat. (Timor-Leste, 29 April 2003; Komnas Perempuan)
kebenaran tersebut, Komnas Perempuan diundang untuk menghadiri public hearing CAVR tentang perempuan dan konflik pada April 2003. Komnas Perempuan hadir untuk memberikan pandangannya pada persoalan ini, namun kehadirannya terutama sebagai wujud dukungan bagi perempuan korban dalam perjuangan haknya dan sekaligus untuk mempersiapkan diri Komnas Perempuan untuk secara optimal terlibat aktif dalam proses-proses pencarian kebenaran serta rekonsiliasi yang akan
138
berlangsung di Indonesia. Dalam audiensi ini, sejumlah perempuan memberikan kesaksian tentang pengalaman kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang mereka alami akibat konflik. Dalam laporan akhir CAVR disebutkan bahwa 853 dari sekitar 8.000 pernyataan yang dikumpulkan adalah kasus kekerasan seksual. Hampir setengah dari kasus kekerasan seksual adalah pemerkosaan, lebih dari seperempat adalah pemerkosaan yang
disertai dengan tindakan kekerasan seksual lainnya, dan sisanya adalah kasus perbudakan seksual. Mayoritas pelaku (93.3%) adalah aparat keamanan Indonesia dan kelompok lain yang terkait dengannya, dan selebihnya dilakukan oleh anggota Fretilin dan partai lain yang ada di Timor Timur pada waktu itu. Kasus kekerasan seksual ini terjadi di tengahtengah pembunuhan, penghilangan paksa, pemindahan paksa dan kelaparan, penahanan, penyiksaan, penganiayaan, dan berbagai bentuk lainnya pelanggaran
KITA BERSIKAP
Penduduk dipaksa oleh milisi untuk mengungsi ke Timor Barat setelah referendum di Timor Timur dimenangkan oleh pihak pro-kemerdekaan. (Timor Leste, 1999; Kompas/Edy Hasbi)
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
139
hak asasi manusia terhadap anggota masyarakat. Sebagai cara untuk mengurangi kemungkinan menjadi target kekerasan seksual, sejumlah perempuan muda menyembunyikan dirinya dengan berpenampilan seperti laki-laki. Ada pula yang segera dikawinkan oleh orang tuanya dengan laki-laki setempat. Ada pula perempuan yang menjadi istri simpanan daripada diganggu terus oleh banyak prajurit. Bahkan, ada keluarga dan tokoh komunitas yang “mengorbankan” perempuan tertentu kepada aparat agar perempuan yang lain tidak diganggu. Menindaklanjuti temuan CAVR, pada Maret 2005, pemerintah Indonesia bersepakat dengan pemerintah TimorLeste untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) untuk “belajar dari penyebab-penyebab kekerasan masa lalu guna membangun landasan yang kuat bagi rekonsiliasi, persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan [Indonesia dan TimorLeste].” KKP bekerja selama tiga tahun dengan fokus untuk menetapkan kebenaran “konklusif” mengenai peristiwa-peristiwa menjelang dan segera setelah penentuan pendapat di Timor Timur tahun 1999. Dalam rangka ikut mendorong upaya pengungkapan
140
kebenaran ini, Komnas Perempuan telah menyerahkan kepada KKP catatannya tentang berbagai bentuk, akar masalah, dan dampak dari kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung dalam situasi konflik di Indonesia selama ini, termasuk di Timor Timur. KPP juga menemukan bahwa pemerintahan dan institusi keamanan Indonesia adalah yang terutama bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi selama periode tersebut. Temuan Komisi ini juga menguatkan pemahaman bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pelanggaran HAM yang lebih luas yang terjadi di wilayah tersebut dalam konteks pelaksanaan referendum 1999. Temuan dan rekomendasi dari KKP telah disampaikan kepada pemerintah Indonesia dan Timor-Leste pada Juli 2008, dan tindak lanjut dari rekomendasi tersebut sampai saat ini masih terus ditunggu oleh publik di kedua negara.
Aceh Pada waktu yang hampir bersamaan dengan pengungkapan awal kasus pemerkosaan dan penyiksaan seksual terhadap perempuan di Timor Timur, Komnas Perempuan dihadapkan
KITA BERSIKAP
dengan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam konteks pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh sejak 1989. Status DOM diberlakukan oleh pemerintah dengan alasan untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang hendak memisahkan diri dari Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak pernah
menjelaskan kepada publik bahwa gerakan tersebut berangkat dari protes masyarakat terhadap tata kelola sumber daya alam, khususnya eksploitasi minyak oleh perusahaan Exxon Mobil, yang dianggap menyebabkan kemiskinanan pada masyarakat Aceh. Pemerintah lebih mengaitkan protes ini dengan gerakan Daud Beureu’eh pada 1950-an yang
Sisa Rumoh Geudong, tempat penyiksaan seksual, termasuk perkosaan, terhadap perempuan yang dituduh mendukung GAM (Aceh; Galuh Wandita)
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
141
ingin memproklamirkan Aceh sebagai negara Islam. Dengan status DOM, Aceh menjadi daerah yang tertutup bagi publik Indonesia dan pemerintah mengerahkan pasukan keamanan dalam jumlah besar ke sana. Seperti juga di Timor Timur, sweeping atau penyisiran ke kampungkampung sering kali diiringi dengan pemerkosaan terhadap perempuan setempat.
Korban ditangkap dan dibawa ke “Rumoh Geudong” oleh Kopassus setelah pulang mengunjungi anaknya di Malaysia. Korban disiksa, ditelanjangi, disetrum di payudara dan vagina selama 15 hari. [Beberapa bulan kemudian] korban kembali dijemput dengan tuduhan menyembunyikan senjata. Rumahnya hancur diobrakobrik, tetapi senjata tidak ditemukan. Korban dibawa kembali ke “Rumah Geudong” dan mendapatkan siksaan di sana, lalu dipindahkan ke Rancung dan [dua bulan kemudian] dilepaskan. Ketika dilepas terakhir, korban diminta uang Rp 500.000 dengan ancaman, kalau tidak diberikan, maka korban akan dijemput lagi. kesaksian korban, 45 tahun, sebagaimana dikutip di Peta Kekerasan terhadap Perempuan (laporan KP), hal. 234
Tuntutan untuk penegakan HAM di masa reformasi mendorong pemerintah 142
Indonesia mencabut status DOM Aceh pada Agustus 1998. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan berbagai perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan GAM, termasuk Jeda Kemanusiaan pada Juni 2000 dan Perjanjian Penghentian Permusuhan pada Desember 2002. Kedua perjanjian damai ini dianggap tidak berhasil karena bentrokan antara aparat dan GAM tetap terjadi. Karenanya, pemerintah Indonesia memberlakukan status Darurat Militer pada Mei 2003. Dua tahun kemudian, status pengamanan daerah ini diturunkan menjadi Darurat Sipil. Status Darurat Sipil baru dicabut pada tengah tahun 2005 pasca tsunami di Aceh, bencana yang mendorong pemerintah Indonesia dan GAM untuk memasuki tahapan baru didalam negosiasi damai. Selama konflik berlangsung, Komnas Perempuan mendapat laporan dari berbagai organisasi perempuan di Aceh bahwa perubahan status tersebut tidak memengaruhi tingkat kekerasan di Aceh. Pembunuhan, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan, dan bentuk-bentuk penganiayaan lainnya terus berlanjut. Dalam kontak senjata, tidak jarang pula terjadi penghancuran dan pembakaran bangunan serta penjarahan harta benda milik penduduk. Pelaku tidak hanya aparat Indonesia, tetapi ada juga dari
KITA BERSIKAP
pihak GAM, meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit. Seolah menjiplak taktik aparat Indonesia, penganiayaan terhadap perempuan oleh pihak GAM menyasar pada perempuan yang bertalian darah ataupun perkawinan dengan anggota TNI/POLRI, dan kepada mereka yang dituduh oleh GAM sebagai cuak atau mata-mata. Perempuan pembela HAM yang memberikan bantuan kepada perempuan, tanpa melihat latar belakang
mereka, menjadi terjepit di antara kedua belah yang bertikai. Banyak perempuan harus menanggung beban berlipat ganda selama konflik berlangsung. Mereka menjadi tulang punggung keluarga karena suami atau anggota keluarga yang laki-laki tidak dapat bekerja, baik karena ditahan ataupun karena melarikan diri ke hutan. Dengan pengetahuan, keterampilan,
Inong Balee adalah pasukan perempuan petempur GAM. Dalam sejarah Aceh pra-Indonesia, Inong Balee adalah pasukan perempuan di bawah komando Laksamana Malahayati. (Aceh; Tempo)
Perempuan Petempur Perempuan Target Kekerasan
P
Perempuan petempur adalah perempuan yang ikut mengusung senjata di dalam situasi konflik. Alasan untuk menjadi petempur beragam, salah satunya adalah akibat kehilangan orang-orang yang ia kasihi. Di Timor Timur, mereka bergabung dalam Falintil, sayap Fretilin yang bersenjata. Di Aceh, mereka tergabung dalam Inong Balee dari Gerakan Aceh Merdeka. Dalam bahasa lokal, inong balee berarti janda. Bila tertangkap, perempuan petempur kerap mengalami penyiksaan. Pemerkosaan digunakan sebagai salah satu alat penyiksaan agar mereka mau memberikan informasi tentang keberadaan pasukannya. Pemerkosaan juga menjadi alat yang efektif untuk menghukum perempuan petempur. Memanggul senjata dianggap sebagai kodrat laki-laki. Menjadi perempuan petempur dianggap mengkhianati kodrat perempuan yang bersifat penyayang dan lemah lembut karena ia yang melahirkan dan merawat kehidupan. Hukuman dimaksudkan agar mereka menjadi jera dan kembali pada “kodratnya”, yaitu berada di rumah saja, mengurus anak, suami, dan orangtua, serta mengikuti keputusan yang telah diambilkan baginya.
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
143
dan modal yang terbatas, pendapatan mereka hanya pas-pasan. Sebagian banyak menggantungkan diri pada hasil kebun atau menjadi buruh. Saat berkebun, perempuan bisa saja terluka
Perempuan Pembela HAM Perempuan Target Kekerasan
P
Perempuan pembela HAM adalah istilah yang digunakan untuk menyebut perempuan yang berjuang dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia bagi setiap orang, tanpa kecuali. Dalam aktivitas keseharian, mereka lebih sering menyebut diri sebagai pekerja kemanusiaan, aktivis perempuan, pendamping korban, community organizer, pekerja sosial, pekerja HAM, pengada layanan, hingga relawan. Karena aktivismenya, perempuan pembela HAM menjadi target kekerasan oleh pihakpihak yang bertikai. Intimidasi mereka alami saat menyalurkan bantuan bagi perempuan pengungsi dan menjadi negosiator untuk pembebasan sandera. Mereka dicap pengkhianat karena dianggap sebagai sikap simpati terhadap kelompok lawan. Dalam kasus Mei 1998, Timor Timor dan Aceh, ada yang sampai diancam dibunuh, baik dirinya sendiri maupun anggota keluarga.
144
ataupun terbunuh ketika ia terperangkap dalam kontak senjata. Mereka juga rentan menjadi korban pelecehan seksual saat diadakan penggeledahan oleh aparat untuk memastikan mereka tidak
membawa bantuan, termasuk makanan, kepada anggota GAM.
Perempuan pembela HAM juga rentan mengalami kriminalisasi atau dituduh sebagai pelaku tindak kejahatan. Di Papua, perempuan pembela hak masyarakat adat yang memprotes kehadiran perusahaan tambang dituduh melanggar hukum. Lain lagi pengalaman perempuan pendamping pemerkosaan terhadap lima perempuan muda Aceh pada 2001. Bersama dengan Komnas HAM perwakilan Daerah Aceh, para korban dan pendamping melaporkan kasus pemerkosaan ke Komnas HAM oleh anggota Brimob. Untuk perlindungan korban, pendamping menempatkan korban di rumah aman. Dalam proses investigasi, pihak kepolisian datang mengambil kelima korban dengan dalih berwenang memberikan perlindungan. Beberapa hari kemudian, korban mendatangi Komnas HAM di Jakarta dan mengubah kesaksiannya dengan menyatakan bahwa sesungguhnya mereka diperkosa oleh GAM. Pihak kepolisian lalu menuntut pendamping korban atas tindak penculikan dan pencemaran nama baik institusi negara.
juga ada yang menjadi korban, penyiksaan, penganiayaan, penangkapan, penahanan sewenang-wenang, perusakan properti, penghancuran sumber penghidupan, bahkan pembunuhan. Bentuk-bentuk kekerasan ini juga dialami oleh pembela HAM yang laki-laki. Namun, karena aktivitasnya terkait perjuangan hak perempuan dan karena ia seorang perempuan, ada pula pengalaman kekerasan khas, antara lain pemerkosaan, penyiksaan seksual, teror seksual, pelecehan seksual, stigmatisasi seksual dengan menggunakan cap “gerwani” atau “pelacur”, pengikisan kredibilitas dengan status perkawinan, pengerdilan kapasitas perempuan, serta pengucilan dan penolakan atas dasar moralitas, agama, adat, budaya, dan nama baik keluarga. Dalam pengalaman khas ini, para pelaku tidak saja pihak yang bertikai, tetapi juga anggota komunitas dan keluarganya. Lapisan kekerasan yang harus dihadapi mengecilkan ruang gerak perempuan pembela HAM, dan bahkan ada yang menarik diri dari gerakan demi kelangsungan hidupnya.
Selain intimidasi, stigmatisasi, dan kriminalisasi, perempuan pembela HAM,
Bersama dengan warga lainnya, perempuan dipaksa mengungsi, baik
KITA BERSIKAP
70 60 50 40
34
30 31
20 9
10
5
2
11 5
6
non seksual
Pasca MoU Agust ‘05 - 11 Jan ’06
Darurat Militer dan Sipil Mei ‘03 - Agust ’05
Dialog Damai RI - GAM 2000 - Mei 2003
Secara umum, perempuan berada dalam posisi terjepit di antara kedua pihak yang bertikai karena peran gendernya sebagai perempuan. Misalnya saja, nyawa perempuan ada dalam bahaya hanya karena ia menyiapkan makanan. Ia dituduh simpatisan GAM karena menyiapkan makanan bagi suaminya yang dicurigai sebagai anggota GAM. Padahal, menyiapkan makanan bagi suami dianggap sebagai kewajiban seorang istri. Persoalan serupa terjadi ketika perempuan disuruh menyiapkan masakan bagi pasukan Indonesia. Ia tidak bisa menolak karena akan dituduh sebagai pemberontak. Namun, bila ia melakukan, maka ia dituduh oleh GAM sebagai pengkhianat.
Tabel 4. Kekerasan terhadap Perempuan Aceh menurut Waktu dan Jenis Kasus
Operasi Militer 1999
Penduduk yang dipaksa mengungsi oleh GAM dijadikan tameng hidup agar pasukan bersenjatanya dapat berpindah tempat. Dalam pengungsian ini, pasukan GAM memegang kendali arus komunikasi ke dan dari pengungsian. Perempuan pengungsi tidak hanya
mengurusi keluarganya, tetapi juga melayani kebutuhan pangan pasukan bersenjata itu. Kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan hampir tidak ada. Apabila keputusan bukan oleh pihak pasukan bersenjata, maka diambil oleh kaum lakilaki yang berkumpul di meunasah atau masjid. Pemilihan tempat kumpul secara khusus menghalangi akses perempuan hadir dalam pertemuan; di meunasah, tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisahkan, serta perempuan dilarang masuk pada saat menstruasi.
Lintas Periode
oleh aparat Indonesia maupun GAM. Pengungsian paksa oleh aparat Indonesia dilakukan untuk memutus kontak warga dengan GAM atau menjadi sandera agar anggota GAM yang berasal dari kampung tersebut bersedia menyerahkan diri. Penduduk dipaksa tinggal di lapangan sepak bola, pinggiran rawa, atau pelataran pos keamanan. Bagi laki-laki dilarang berkebun, apalagi berpergian. Perempuan dalam kelompokkelompok kecil diperbolehkan mengambil hasil kebun dengan pengawasan yang ketat. Hasil kebun yang telah dimasak pun harus dibagi dengan aparat yang bertugas. Beberapa perempuan dipilih untuk membersihkan tempat yang dijadikan pos penjagaan. Sama seperti di Timor Timur, orang tua memilih untuk cepat-cepat menikahkan anak perempuannya karena khawatir anaknya mungkin menjadi korban pemerkosaan. Ada juga orang tua yang menyuruh anak perempuannya untuk mengenakan daster longgar yang biasanya digunakan oleh para ibu agar disangka telah menikah.
seksual
Pasca bencana tsunami, atas masukan kelompok perempuan Aceh, Komnas Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
145
Perempuan membangun mekanisme Pelapor Khusus untuk Aceh untuk mengungkap lebih utuh berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan di Aceh dan mendorong perubahan kebijakan berdasarkan temuan-temuan tersebut. Selain menguatkan informasi tentang kekerasan yang terkait langsung dengan pihak-pihak yang bertikai, Komnas Perempuan juga mencatat adanya kasuskasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh anggota keluarga dan komunitasnya. Perempuan hampir selalu disalahkan atas kekerasan yang ia alami. Dalam kasus kekerasan oleh suami, perempuan korban dituduh tidak mampu memberikan kepuasan kepada suami secara fisik, psikologis, maupun seksual. Dalam kasus pemerkosaan, perempuan korban dituduh memancing kekerasan. Apalagi bila pelaku adalah aparat keamanan yang memiliki relasi pacaran dengan korban. Anak perempuan yang menjadi korban pemerkosaan sering dipaksa untuk tidak melanjutkan pendidikannya, baik dari pihak sekolah maupun keluarga. Korban juga sering kali dipaksa kawin dengan pelaku pemerkosaan untuk menutupi aib keluarga, terutama jika korban menjadi hamil karena peristiwa kekerasan itu. Biasanya, pelaku tidak berkeberatan untuk mengawini korban karena dapat membebaskannya dari pertanggungjawaban hukum. Setelah 146
Kawin Cina Buta
D
Dalam hukum perkawinan Islam, pasangan suami-istri memiliki dua kesempatan rujuk setelah bercerai (talak) jika perceraian tersebut dilakukan atas keinginan suami. Bila tetap bercerai lagi (talak ketiga), yang nilainya sebanding dengan talak pertama dari pihak istri, pasangan suami-istri tersebut baru boleh rujuk kembali jika masing-masing dari mereka telah menikah dengan orang lain terlebih dahulu. Muhalil adalah seseorang yang dinikahi semata-mata agar sebuah pasangan dapat rujuk kembali. Biasanya, muhalil dibayar oleh pasangan yang hendak rujuk. Islam sesungguhnya melarang praktik muhalil. Komnas Perempuan menemukan bahwa praktik muhalil masih berlangsung di Aceh. Dalam bahasa lokal, praktik ini disebut “Kawin Cina Buta”. Perempuan yang menolak “Kawin Cina Buta” dituduh tidak mau mengabdi kepada suami. Padahal, menjalankan praktik “Kawin Cina Buta” menyebabkan perempuan menderita. Ia harus bersedia berhubungan seksual dengan laki-laki yang dibayar untuk menikahinya dan terpajan pada kekerasan. Dalam hubungan tersebut, mereka tidak boleh menggunakan alat kontrasepsi karena ada anggapan bahwa alat kontrasepsi tidak digunakan oleh pasangan suami-istri yang sah. Karenanya, perempuan tersebut bisa saja tertular penyakit seksual atau menjadi hamil. Tidak ada kepastian bahwa ia akan diceraikan keesokan harinya. Tidak ada pula kepastian bahwa pasangannya akan bersedia rujuk ataupun memperlakukannya dengan baik karena ia telah berhubungan seksual dengan laki-laki lain. Sangat sakit dan malu menjalankan Kawin Cina Buta. . . Saya merasa itu seperti ”dipakai” dan saya tahu itu juga menyakitkan suami. . . Cukup sekali saja saya menjalaninya. . . . Itu sangat menyakitkan, sedih, malu, dan nista. perempuan korban, Mencari dan Meniti Keadilan (laporan KP), hal. 48
KITA BERSIKAP
Akibat konflik, perempuan muda ada yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, bahkan menjadi kepala keluarga dalam usianya yang belia. (Aceh; KP).
perkawinan, korban ditelantarkan begitu saja sehingga harus menanggung beban sebagai orang tua tunggal. Bentuk kekerasan terhadap perempuan di Aceh lainnya yang mencuat dalam catatan Komnas Perempuan adalah pemaksaan jilbab. Tindak kekerasan ini berkembang setelah pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang memuat kewenangan penyelenggaraan Syariat Islam (SI).
Kewenangan ini dikuatkan dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pemberian kewenangan ini merupakan cara yang ditempuh pemerintah Indonesia untuk memenangkan hati masyarakat Aceh. Isu pelaksanaan Syariat Islam berhasil mengalihkan perhatian masyarakat dari penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM ke arah pembentukan simbolsimbol daerah untuk mengesankan Aceh
sebagai daerah yang Islami. Pemaksaan jilbab adalah salah satu contoh yang paling tampak. Dalam memaksakan jilbab, kelompok laki-laki yang tidak dikenal identitasnya melakukan razia jilbab. Mereka memaki, menjambak dan menyemprotkan cat mobil ke perempuan yang tidak berjilbab. Pemaksaan jilbab semakin marak setelah pemerintah Aceh mengeluarkan Peraturan Daerah (Qanun) No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Menurut peraturan ini, setiap
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
147
Pemaksaan busana pada perempuan untuk membangun identitas Aceh terjadi sejak tahun 1999 ketika pemerintah pusat menawarkan kewenangan pelaksaan Syariat Islam sebagai cara penyelesaian konflik Aceh. (Aceh; KP)
orang Islam yang tidak mengenakan “berbusana sesuai dengan tuntunan ajaran Islam” dapat dikenakan sanksi pidana kurungan selama tiga bulan atau denda dua juta rupiah. Razia-razia jilbab dilakukan oleh berbagai pihak, seperti kelompok “Taliban” yang menampilkan dirinya dengan jubah dan sorban, kelompok yang menyatakan diri anggota GAM, aparat TNI/POLRI, bahkan pihakpihak dari pemerintah serta kelompok
148
perempuan seperti Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Dalam razia ini, perempuan yang tidak mengenakan jilbab ataupun yang berjilbab tapi dengan pakaian ketat akan dipermalukan dengan cacian. Ada juga yang digunting bajunya. Razia jilbab kembali marak pasca bencana tsunami yang menghantam Aceh pada akhir 2004. Di dalam masyarakat berkembang anggapan bahwa tsunami adalah hukuman atas
sikap dan perilaku perempuan Aceh yang tidak menegakkan ajaran agama. Pada fase ini, razia jilbab juga dilakukan oleh Wilayatul Hisbah (WH), satuan khusus untuk pelaksanaan Syariat Islam yang berada di bawah koordinasi pemerintah daerah Aceh. Selain pemaksaan jilbab, penerjemahan tentang kewenangan pelaksanaan Syariat
KITA BERSIKAP
laki-laki dan perempuan dalam situasi apa pun dicurigai dan dimata-matai. Karena aturan ini menekankan aspek moralitas, maka perempuan muda dan janda menjadi sasaran utama dimatamatai. Mereka bisa saja ditangkap atas tuduhan ini, meski tanpa pembuktian yang jelas.
Hukuman cambuk adalah salah satu bentuk penghukuman yang melanggar hak konstitusional untuk bebas dari penyiksaan dan hukuman yang merendahkan martabat kemanusiaan. (Aceh Tengah, 19 Agustus 2005; Antara)
Islam juga dilakukan melalui Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang larangan khalwat yang didefinisikan sebagai “perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa
ikatan perkawinan”. Setiap orang Islam yang berada di Aceh yang melakukan khalwat dapat dikenakan hukuman 3 sampai 9 kali cambuk atau denda 2,5 sampai 10 juta rupiah. Aturan tentang khalwat ini menyebabkan semua relasi
Karena aturan busana dan khalwat menekankan aspek moralitas, hampir tidak ada ruang untuk membela perempuan yang dituduh melakukan pelanggaran aturan itu. Pada akhir 2005, empat pembela HAM ditahan karena dituduh melanggar aturan busana saat berada di lorong hotel tempat mereka menyelenggarakan kegiatan. Di dalam penahanan, mereka mengalami pelecehan seksual dengan ejekan oleh aparat Pamong Praja. Mereka melaporkan perlakuan tidak menyenangkan ini kepada polisi. Laporan mereka ditolak karena dianggap tidak kuat. Pada kasus pelanggaran qanun khalwat, perempuan yang dituduh telah melanggar qanun mengalami pelecehan seksual, sejak penangkapan sampai di pengadilan. Meskipun pengadilan menyatakan dirinya bebas, perempuan yang telah dituduh berkhalwat tetap dikucilkan oleh masyarakat. Salah seorang perempuan tersebut bahkan diusir dari kampungnya. Bagi perempuan yang dihukum cambuk,
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
149
stigma sebagai perempuan yang tidak bermoral akan terus dikenakan padanya oleh masyarakat. Bukan hanya ia yang dikucilkan, melainkan juga terhadap anak dan anggota keluarganya yang lain. Berdasarkan temuan lapangan dan hasil analisa, Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa baik aturan tentang busana maupun larangan khalwat merupakan aturan yang melembagakan diskriminasi terhadap perempuan dan cambuk merupakan bentuk hukuman yang merendahkan kemanusiaan. Dengan demikian, pelaksanaan Syariat Islam membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM dan menjadi tantangan berat bagi pemerintah dan masyarakat Aceh pasca konflik yang justru berkeinginan memajukan penegakan HAM. Hal ini disampaikan secara terbuka oleh Pelapor Khusus Komnas Perempuan di hadapan otoritas Aceh dan nasional pada awal 2007. Penyampaian ini merupakan sebuah langkah politik yang berisiko mengingat pada saat itu hampir tidak ada ruang di Aceh untuk mengkritik pelaksanaan Syariat Islam. Mereka yang kritis akan disudutkan dengan tuduhan melawan Islam dan mengingkari keinginan masyarakat Aceh. Bahkan, ada perempuan yang karena melakukan kritik terhadap WH justru diadukan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama 150
baik. Langkah Komnas Perempuan, yang memperoleh tanggapan positif dari pimpinan eksekutif dan masyarakat Aceh, menjadi awal terbukanya ruang dialog baik di pemerintahan maupun di masyarakat untuk meninjau ulang kebijakan-kebijakan tersebut. Bagi kelompok perempuan, pelaksanaan Syariat Islam adalah tantangan yang pelik. Pada masa konflik, kelompok-kelompok perempuan dapat duduk bersama dalam forum Dupakat Inong Aceh pertama (tahun 2000) dan bersepakat untuk membangun langkahlangkah bersama mencapai damai. Situasi berbeda tampak pada 2007 ketika Dupakat Inong Aceh berikutnya digelar. Kelompok-kelompok perempuan itu terbelah dalam menyikapi isu kekerasan terhadap perempuan terkait aturan busana dan larangan (khalwat). Isu moralitas dan identitas perempuan Aceh menjadi alasan bagi sebagian perempuan untuk mendukung aturan tersebut. Kepemimpinan gerakan perempuan Aceh saat ini sedang dipertaruhkan, terutama setelah dikeluarkannya qanun jinayat (hukum pidana). Aturan ini tidak saja mengukuhkan prasangka terhadap masyarakat, khususnya perempuan, berdasarkan pemahaman tunggal tentang moralitas, tetapi juga memantapkan penggunaan cambuk sebagai bentuk hukuman di samping
KITA BERSIKAP
memperkenalkan rajam sebagai bentuk penghukuman baru yang sah di Aceh. Konflik Aceh berakhir dengan ditandatanganinya MoU Helsinki sebagai pakta damai antara pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005. Patut dicatat bahwa perundingan damai ini tidak mengikutsertakan seorang pun perempuan pembela HAM yang selama ini menyerukan perdamaian. Proses penyelesaian pelanggaran HAM pada masa konflik Aceh masih belum menunjukkan titik terang; baik mekanisme Pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dijanjikan dalam MoU sampai kini belum terselenggara. Dana reintegrasi yang disediakan pemerintah pusat juga tersendat-sendat dalam pencairannya, dan distribusinya telah menimbulkan ketegangan baru di dalam masyarakat. Sebagian korban belum mendapatkan bantuan. Perempuan korban pemerkosaan dan penyiksaan seksual adalah yang paling sulit untuk mengakses dana tersebut. Korban pemerkosaan dianggap bukan prioritas penerima dana. Persoalan lain terkait dana bantuan adalah kemandirian korban. Selain karena jumlahnya yang terbatas, dana ini juga diberikan tanpa program bimbingan yang memampukan korban mengelola dananya dengan tepat. Sebagian besar korban belum
dapat mengembangkan kemandirian ekonominya setelah dana bantuan yang mereka terima habis.
Papua Pada saat kedatangan Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam misinya ke Indonesia, Komnas Perempuan memfasilitasi pertemuan perempuan korban kekerasan dari Papua bersamaan dengan perempuan korban dari Aceh, Timor Timur di samping korban dalam Tragedi Mei 1998. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, informasi tentang kekerasan di Papua, seperti juga di daerah-daerah DOM lainnya, adalah hal yang baru karena selama ini arus informasi yang tersedia hanya berasal dari pemerintah. Bergabungnya Papua ke Indonesia adalah cita-cita sejak zaman Soekarno, yang melancarkan kampanye “merebut kembali” Irian Jaya, baik dalam operasi militer maupun diplomasi internasional. Menanggapi hal ini, Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada Oktober 1962 membentuk pemerintahan sementara UNTEA-United Nations Temporary Executive Authority (Otoritas Eksekutif Sementara PBB). Pada 1963 UNTEA
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
151
menurut penelusuran sejarah Papua yang dilakukan setelah rezim Orde Baru tidak lagi berkuasa, pelaksanaan dan hasil Pepera hanyalah klaim sepihak dari Indonesia. Dalam menjalankan program pembangunan di Papua, pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan PT Freeport Indonesia untuk menambang tembaga dan emas. Kebijakan ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat, seperti juga di Aceh, karena dianggap tidak memberikan kemakmuran kepada penduduk setempat. Ketidakpuasan tersebut bukan hanya karena tenaga kerja lokal tidak terserap, tetapi tambang tersebut juga memangkas gunung dan limbahnya mencemari sungai dan tanah di sekitarnya. Dampaknya, masyarakat setempat yang masih menggantungkan diri dari hasil-hasil alam secara tradisional menjadi semakin miskin. Perempuan Papua juga berhadapan dengan kekerasan oleh negara, komunitas hingga keluarganya. (Papua, 2009; KP)
152
menyerahkan kuasa pemerintahan di Irian kepada Indonesia, di mana salah satu tugasnya adalah melaksanakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) untuk menentukan masa depan Irian Jaya. Pepera dilaksanakan pada 1969. Menurut pemerintah Indonesia, rakyat Irian secara aklamasi memilih untuk bersama Indonesia. Sebaliknya,
Menanggapi situasi ini, pemerintah Indonesia masa Orde Baru menuduh Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai penghasut ketidakpuasan masyarakat. Seperti juga di Aceh, pemerintah melakukan pendekatan keamanan dengan mengirimkan lebih banyak lagi pasukan untuk mengamankan lokasi tambang serta menumpas OPM. Penempatan aparat keamanan dalam jumlah yang besar dan hampir tanpa pengawasan membuka
KITA BERSIKAP
peluang tindak sewenang-wenang. Pembunuhan, penangkapan dan penahanan, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil terjadi hampir setiap hari. Komnas Perempuan mencatat adanya kasus pemaksaan satu pasang laki-laki dan perempuan untuk bersetubuh dan kemudian diarak dalam keadaan telanjang. Ada pula perempuan yang ditangkap dan ditahan, serta disiksa untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka mendukung OPM. Mama Yosefa, seorang perempuan pejuang hak masyarakat adat pernah dikurung di kamar penuh air dan tinja manusia selama satu bulan. Selama itu pula ia mengalami penyiksaan setiap kali diinterogasi, termasuk dengan dipaksa memanggul dengan kepala batang besi yang berat sekali selama berjam-jam, dan diancam diperkosa dan dibunuh.
Kalau anak saya nakal, orang kampung disini suka bilang ”Eh, dasar anak kolong [sebutan untuk anak yang tidak punya ayah jelas]. Ini bukan kamu punya daerah. Ini orang Yei punya daerah.” Saya rasa malu sekali, tertekan, malu dan kadang-kadang saya rasa minder dan suka sendiri di rumah. . . Kami sering tinggal pindah-pindah rumah. Keluarga saya sering marah saya dan anak saya serta suruh kami berdua keluar dari rumah. ”Kamu berdua
harus keluar dari rumah ini. Jangan bikin rumah ini haram.” perempuan korban pemerkosaan, Stop Sudah, laporan Tim Dokumentasi Papua, 2009
Bersama komunitas Amungme dan Komnas Perempuan, Mama Yosepha Alomang melihat areal di dalam pertambangan Freeport untuk pertama kalinya, atas undangan PT Freeport. Melihat gunung yang sudah dikeruk sehingga berlubang, Mama Yosefa berteriak: "Mana mama saya? Perutnya kok kosong!" (Timika, 2001; KP)
Pergantian kepemimpinan nasional pasca Mei 1998 hanya membawa sedikit perubahan ke Papua. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meminta maaf atas pelanggaran HAM yang terjadi, memerintahkan pembebasan tahanan/ narapidana politik Papua, mengganti
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
153
Diskusi komunitas menjadi ruang bagi perempuan untuk menuturkan dan memahami kekerasan dan beban berlipat ganda yang mereka alami akibat konflik. (Papua, 2009; KP)
154
nama Irian Jaya menjadi Provinsi Papua, dan membolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora bersamaan dengan bendera Merah Putih. Namun, pengibaran bendera Bintang Kejora lalu disikapi dengan cara yang berbedabeda. Pasukan yang bertugas ada yang membiarkan, tetapi ada pula yang menggelar operasi penurunan bendera
diikuti penangkapan terhadap para pengibar bendera dengan tuduhan makar. Di pusat, sejumlah elit politik terus-menerus mempertanyakan langkah Gus Dur dan mereka menganggap izin pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai “kecelakaan politik”. Pada masa Presiden Megawati,
KITA BERSIKAP
pemerintah menawarkan kewenangan otonomi khusus bagi Papua. Kewenangan ini dituliskan dalam UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 35 Tahun 2008. Termasuk di dalam UU ini adalah kewenangan untuk Papua memiliki lambang daerah dalam bentuk bendera dan lagu daerah selama merupakan “panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua”. Untuk penyelenggaraan otonomi khusus, pemerintah membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) guna melindungi hak-hak orang asli Papua yang berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan beragama. Pada praktiknya, pemerintah Indonesia kerap dinilai tidak serius dalam memberikan kewenangan khusus kepada Papua. Kebijakan pemerintah pusat tentang pemekaran Provinsi Papua, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan di Papua, dianggap bukti campur tangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan bertujuan untuk memecahbelah masyarakat Papua. Pemekaran juga dianggap sebagai dalih untuk memperbanyak jumlah pasukan keamanan karena struktur keamanan Indonesia dibuat sebangun dengan struktur administratif pemerintahan, Artinya, penambahan unit administratif
akan diikuti dengan penambahan pasukan keamanan. Meski telah ada kebijakan baru, kekerasan terhadap penduduk terus berlangsung, terutama terkait dengan aksi pengibaran bendera dan unjuk rasa menolak tambang atau perkebunan. Organisasi HAM di Papua mencatat tindak kekerasan terhadap masyarakat sipil di berbagai wilayah seperti Biak, Sorong, Manokwari, Wamena, Abepura, Wasior, Jayapura, Puncak Jaya, Nabire, Merauke, dan Serui. Dalam tindak kekerasan tersebut, perempuan juga berhadapan dengan ancaman pembunuhan kilat, penghancuran dan perampasan harta benda, serta pemutusan bahan pangan. Dalam kasus Puncak Jaya pada 2001, misalnya, aparat keamanan yang berasal dari Yonif 753 memaksa sekelompok perempuan untuk keluar dari honai – rumah khas Papua – karena dituduh menjadi simpatisan OPM. Penangkapan dan penahanan sewenangwenang atas dasar tuduhan makar terutama menyasar kepada perempuan yang aktif menolak eksploitasi sumber daya alam. Puncak dari kekerasan tersebut adalah pembunuhan Theys H. Eluai, Ketua Presidium Dewan Papua pada November 2001. Dalam rangka mengungkap kebenaran tentang peristiwa kekerasan yang berlangsung terhadap penduduk, Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
155
Komnas Perempuan menjadi anggota dari KPP HAM yang dibentuk oleh Komnas HAM terkait penyerbuan pasukan ke asrama mahasiswa di Abepura pada akhir tahun 2000. Tim investigasi menemukan bahwa mahasiswa yang ditangkap mengalami penyiksaan pada saat berada dalam tahanan. Bersama dengan tahanan lakilaki, perempuan mengalami penyiksaan fisik dan psikologis dengan makian yang didasarkan pada pembedaan ras dan agama. Selain itu, tahanan perempuan juga dilecehkan dengan makian yang merendahkan dirinya sebagai perempuan. Pada akhir 2002, Komnas Perempuan diundang untuk menghadiri pertemuan perempuan adat di Papua. Dalam pertemuan ini, sejumlah perempuan memaparkan persoalan kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) akibat maraknya prostitusi dan minuman beralkohol. Bagi perempuan Papua, persoalan prostitusi dan alkohol lebih besar daripada sekadar urusan nama baik daerah, alasan yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk menutup-nutupi persoalan tersebut. Kedua persoalan ini terkait erat dengan kehadiran militer di Papua. Sebagian besar pekerja seks berasal dari luar Papua dan berada di lokasi penempatan aparat. Banyak laki-laki Papua menggunakan uang yang ia 156
miliki dari usahanya ataupun dengan menukarkan dengan kayu gaharu untuk memperoleh layanan seksual ataupun alkohol. Kekerasan dalam bentuk penganiayaan fisik terutama terjadi bila istri menolak memberikan uang kepada suaminya ataupun ketika suami pulang dalam kondisi mabuk. Prostitusi diduga menjadi kunci penyebaran HIV/AIDS di Papua, dan para suami menyebarkan penyakit ini kepada istrinya di rumah. Karena menjadi rahasia umum bahwa oknum aparat keamanan berada di belakang penyediaan jasa seksual dan minuman alkohol, kehadiran prostitusi dan alkohol dicurigai oleh masyarakat Papua menjadi bagian dari taktik melemahkan perjuangan, bahkan untuk menghancurkan keberadaan rakyat Papua. Sejak pertemuan ini, Komnas Perempuan setiap tahun menerima laporan tentang kekerasan yang terjadi terhadap perempuan di Papua oleh organisasi pendamping korban yang bekerja di sana. Sejak awal 2009, atas permintaan dari Majelis Rakyat Papua (MRP), Komnas Perempuan melakukan penguatan terhadap kelompok masyarakat yang melakukan dokumentasi kekerasan terhadap perempuan sepanjang masa konflik di Papua. Mereka menemukan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan, seperti juga yang ditemukan di Aceh dan Timor Timur, terjadi
KITA BERSIKAP
secara meluas di berbagai daerah yang dianggap sebagai kantong perlawanan masyarakat. Ada korban yang mengalami pemerkosaan berkali-kali, dan bahkan ada yang mengalaminya berulang kali oleh aparat yang berbeda-beda selama lebih dari sepuluh tahun. Meski terjadi di dalam konteks konflik, di mana perempuan korban tidak memiliki daya untuk melawan, masyarakat cenderung menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya. Masyarakat juga melakukan pengucilan, tidak saja kepada korban, tetapi juga kepada anak akibat pemerkosaan, karena dianggap menjadi noda bagi kesucian masyarakat. Karena telah dianggap sebagai barang yang rusak, perempuan korban pemerkosaan sering kali kehilangan tempat di dalam keluarganya. Situasi ini menjadikannya perempuan masuk dalam lingkar kekerasan, yaitu rangkaian kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah pelaku di berbagai ranah yang berbeda. Sebagai contoh, seorang perempuan menjadi korban pemerkosaan berulang kali oleh aparat keamanan yang berbeda sejak 1997 saat ia baru berusia 14 tahun. Kali pertama ia diperkosa di dalam rumahnya dan dipaksa untuk meminum ramuan peluntur karena pelaku khawatir korban menjadi hamil. Pemerkosaan kedua terjadi pada 1999 oleh aparat kemanan dari pasukan yang
berbeda. Pelaku memerkosanya dua kali di hutan. Ketika mengetahui peristiwa yang menimpanya dari laporan warga, keluarga korban justru mengusirnya dari rumah. Pada 2008, korban kembali ke kampungnya. Saat itu ia hamil dua bulan. Seorang aparat masuk ke rumahnya dan memerkosanya. Pada saat melahirkan baru saya buka kartu dengan suami saya. Dia marah karena saya diperkosa oleh tentara. . . harga diri istri sudah hilang. Akhirnya dia ambil keputusan, dia lepas [menceraikan] saya. . . Terus [pemerkosaan] yang keempat dari Kopassus. Hari Minggu, tanggal 2 Januari [2009] rencana mau pulang, saya tunggu mungkin ada truk-truk kosong kah ke Tanah Merah. Seorang anggota dari Biak yang sedang bertugas di Kampung Upyetetko, Distrik Waropko, datang dengan motor sendiri. [Karena kenal] dia ajak naik motor dengan dia saja. Lalu pas sudah sepi-sepi di jalan dia tarik saya, masuk ke hutan, dia perkosa saya. Dia bilang, kalau kamu tidak mau melayani saya, saya kasih tinggal di sini, sudah terpaksa sudah saya ikut. Kejadian sekitar jam 12 siang. . . . Sekarang saya tinggal dengan suami [kedua]. . . Tapi hidup ini menderita. Menikah saya ditinggalkan suami pertama. Mereka
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
157
[masyarakat] bilang saya lonte. Tinggal dengan [suami] sekarang saya dapat pukul terlalu banyak, dapat sepak, kadang-kadang saya menangis, dia pukul terus. perempuan korban, rekaman Tim Dokumentasi Papua, 2009
Ruteng, Nusa Tenggara Timur
Pekerja seni ikut menyikapi persoalan kekerasan terhadap perempuan. "Destined" oleh Sriyani Hudyonoto (Dok. Foto Cemara 6 Gallery Café)
158
Pada awal 2004, masyarakat di daerah Ruteng, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur meminta Komnas Perempuan untuk membuat pemantauan tentang kekerasan terhadap perempuan di wilayah tersebut. Sebanyak empat perempuan dan tiga laki-laki ditangkap dan ditahan di Mapolres Ruteng karena ketahuan mengambil ubi kayu di kawasan hutan Ruteng. Salah satu dari perempuan yang ditangkap masih remaja berusia 16 tahun. Penahanan ini menyebabkan masyarakat berunjuk rasa pada keesokan hari. Bagi masyarakat, penahanan perempuan diartikan sebagai penculikan dan merupakan “tantangan perang” yang dilontarkan oleh polisi dan pemerintah daerah. Saat peristiwa unjuk rasa berlangsung, ada oknum polisi yang menghardik para tahanan
KITA BERSIKAP
perempuan karena dianggap menjadi penyebab unjuk rasa. Karena unjuk rasa ini, ketujuh penduduk itu ditahan selama 20 hari. Keempat perempuan ditahan dalam satu ruangan yang sempit dan mereka hanya diberi satu ember air untuk membersihkan diri. Mereka juga tidak didampingi oleh penasehat hukum saat dimintai keterangan dan dipaksa menandatangani dokumen yang tidak mereka ketahui isinya. Dalam menanggapi unjuk rasa ini, aparat polisi juga menembak ke arah massa sehingga menyebabkan 6 orang meninggal, 29 orang luka-luka, dan 7 orang cacat seumur hidup. Istri korban yang meninggal dunia ada yang sampai pingsan karena terpukul dengan kejadian tersebut. Ia juga menderita stres yang berkepanjangan. Perempuan yang suaminya meninggal dunia ataupun menjadi cacat seumur hidup harus menjadi pencari nafkah tunggal dalam keluarganya. Salah seorang di antaranya sangat khawatir bahwa ia tidak akan sanggup menyekolahkan anaknya dalam kondisi seperti ini. Tidak ada satu pun pelaku penembakan yang diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Kepala Polisi Sektor Ruteng dimutasikan untuk memetieskan kasus tersebut.
puncak ketegangan antara penduduk dan aparat kepolisian di kawasan hutan Ruteng. Ketegangan ini sudah berlangsung sejak 1993 ketika pemerintah menetapkan kawasan hutan tersebut sebagai hutan wisata. Penetapan ini berarti masyarakat tidak lagi boleh bercocok tanam ataupun menggunakan hasil hutan yang ada. Padahal, seluruh kehidupan masyarakat bergantung pada hasil kebun dan juga hasil hutan, seperti kayu bakar untuk memasak. Sejak 1920-an masyarakat Desa Colol dan Meler Kuwus di Kabupaten Manggarai juga telah bercocok tanam kopi di kawasan hutan Ruteng. Bentrokan dengan aparat terjadi karena masyarakat tetap bersikeras untuk menggunakan lahan yang telah mereka garap selama lebih dari 70 tahun. Pada 2001, pemerintah Kabupaten Manggarai mulai membabat tanaman kopi rakyat dan menggantinya dengan pohon jati dan mahoni yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Aparat keamanan disiagakan untuk menjaga perkebunan kayu itu. Akibatnya, bentrokan masyarakat dengan aparat semakin sering terjadi, seperti juga di kawasan-kawasan lainnya di mana terjadi perampasan tanah rakyat ataupun protes terhadap tata kelola
Peristiwa kekerasan di atas adalah
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
159
Masyarakat mengungsi dengan dikawal petugas keamanan. (Ambon, 23 Januari 1999; Dien Kelilauw/Antara)
160
Maluku
konteks konflik antarwarga yang terjadi di Maluku. Konflik Maluku berawal dari pertikaian dua pemuda di Pasar Mardika Ambon pada Januari 1999. Pertikaian ini segera menyebar menjadi konflik antaragama setelah adanya pembakaran masjid dan gereja. Bagi Indonesia, konflik Maluku sungguh mengejutkan. Di sana hidup tradisi gandong, yaitu ikatan persaudaraan antardua desa atau lebih karena keturunan dari leluhur yang sama, dan pela, yaitu ikatan persaudaraan di luar garis keturunan. Tradisi-tradisi ini menjadikan keluargakeluarga dengan agama yang berbeda sebagai satu keluarga besar yang saling hormat-menghormati. Tradisi ini telah berlangsung ribuan tahun sehingga Maluku terkenal sebagai simbol kerukunan umat beragama bagi Indonesia. Karenanya, ada yang menduga bahwa konflik Ambon adalah hasil rekayasa terkait perebutan kekuasaan pasca Orde Baru, seperti juga konflik bermuatan SARA yang telah lebih dahulu meletus di Sambas, Kalimantan Barat dan Sampit, Kalimantan Tengah. .
Belum lagi tuntas pengusutan kasus Mei 1998 dan pengungkapan kasuskasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh, Papua, dan Timor Timur, Komnas Perempuan langsung dihadapkan pada berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam
Korban meninggal dan luka-luka berjatuhan dari kedua komunitas – Kristen dan Muslim – yang bertikai di Ambon. Warga dari kedua komunitas juga terpaksa mengungsi karena desanya diserang dan rumahnya hancur atau habis dibakar. Komnas Perempuan
negara pada sumber daya alam.
KITA BERSIKAP
dihubungi oleh organisasi perempuan dan agama karena dalam penyerangan salah satu desa, terjadi sunat paksa terhadap perempuan. Korban berhasil dievakuasi keluar Ambon dalam kondisi shock berat dan menderita infeksi pada alat kelaminnya. Pihak korban dan pendamping memutuskan untuk tidak memublikasikan dan melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian. Alasannya untuk keputusan tersebut terutama, untuk melindungi keselamatan perempuan korban dan keluarganya dari pembalasan pihak pelaku, dan juga untuk menghindari kemungkinan akan memperburuk kondisi konflik.
simbol-simbol agama secara kasat mata. Eskalasi konflik yang begitu cepat di Ambon dan sekitarnya menyebabkan banyak perempuan terlibat “berperang” dengan ikut mengangkat senjata, menghalau musuh, menyelamatkan diri dan keluarganya, serta mempersiapkan kebutuhan senjata dan bom molotof untuk serangan balik. Ada pula yang memberikan dukungan kepada “pasukan” di komunitasnya dengan menyediakan makanan dan menjadi kurir sampai ke garis depan. Mereka juga menjadi tameng yang melindungi para pria ketika terjadi penyisiran senjata api oleh aparat keamanan.
. . . kita [perempuan] harus mempertahankan hidup. Sebelum terjadi konflik, dibentak saja nyali kita sudah ciut. Pada saat konflik, kita harus menyelamatkan diri di antara kobaran api, tembakan dan letusan bom. Kalau memang musuh sudah dekat, kita pakai senjata. Kalau tidak ada laki-laki, kita terpaksa maju. . . . Kalaupun mati, saya mati karena mempertahankan hidup saja.
Penggunaan simbol-simbol agama di dalam konflik Ambon menimbulkan ketegangan tersendiri bagi perempuan. Perempuan pengungsi kerap menjadi korban intimidasi sesama anggota komunitasnya agar ikut serta mendukung perang. Di pengungsian komunitas Muslim misalnya, perempuan dipaksa mengenakan jilbab oleh kelompok yang menamakan dirinya “Pasukan Jihad”. Penggunaan jilbab dianggap sebagai bentuk dukungan perempuan terhadap perjuangan komunitasnya. Contoh lainnya adalah permintaan sebuah organisasi pemberi bantuan agar perempuan pengungsi menggunakan jilbab untuk difoto saat mereka menerima bantuan. Seorang perempuan
perempuan pengungsi, rekaman KP, 2003
Pada awalnya, sejumlah perempuan percaya bahwa mereka berada dalam situasi “perang agama”. Apalagi karena pihak-pihak yang bertikai menggunakan
Pasar adalah cikal bakal perdamaian organik di Ambon. Perempuan dari kelompok bertikai bertemu dan saling bercerita tentang situasi di komunitas masing-masing. (Ambon, Rabu, 5 Juni 2002; Tempo/ Hendra Suhara)
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
161
koordinator pengungsian menuturkan bahwa ia memerintahkan warga untuk menolak bantuan tersebut akibat permintaan itu. Menanggapi konflik Maluku, pemerintah Indonesia mengirimkan pasukan sebagai penjaga perdamaian. Kehadiran pasukan ini, pada awalnya, disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat yang bertikai. Namun, merebaknya prostitusi dan kasus kehamilan di luar nikah akibat hubungan antara aparat keamanan dan perempuan muda setempat menimbulkan keresahan baru di masyarakat. Pekerja seks dari luar Maluku dituduh menyemangati perempuan Maluku untuk menjual diri demi uang ataupun perlindungan. Ada pula perempuan yang berpacaran dengan aparat dan kemudian bersedia untuk berhubungan seksual karena dijanjikan akan dinikahi. Mereka kemudian ditinggalkan begitu saja ketika menjadi hamil. Sangat sulit bagi perempuan tersebut melacak keberadaannya. Institusi keamanan tidak menanggapi dengan serius kasuskasus serupa ini. Paling jauh komandan menikahkan pasangan tersebut, bila pihak laki-laki belum menikah. Bila kemudian perempuan tersebut kembali ditelantarkan, tidak ada sanksi yang diberikan kepada pelaku. Sikap masyarakat pun tidak mendukung korban; sebaliknya malah muncul julukan bagi perempuan yang ditelantarkan yang 162
dibangun dari singkatan militer, misalnya saja, Koramil – Korban Rayuan Militer (aslinya: Komando Rayon Militer) dan Kopassus – Korban Pasukan Pegang Susu (aslinya: Korps Pasukan Khusus). Di tengah situasi ini, masyarakat dikejutkan dengan kasus pemerkosaan terhadap seorang perempuan muda oleh dua orang yang mengaku sebagai aparat keamanan pada Mei 2001. Korban dan pacarnya sedang berbincang di pantai ketika mereka didatangani oleh pelaku. Pacar korban disuruh menanggalkan pakaian, ditarik ke dalam laut dan dipukuli. Korban diperkosa secara bergantian. Ketika mencari pertolongan, korban bertemu dengan dua orang lakilaki yang justru hendak memerkosanya lagi. Untung saja ia berhasil menyelamatkan diri. Dengan dampingan ibunya, korban melaporkan peristiwa tersebut ke polisi. Saat penyelidikan berlangsung, kasus terpublikasi luas lewat media massa setempat. Karena peristiwa terjadi di pantai pada malam hari, perhatian publik terpecah. Sebagian masyarakat justru menyalahkan korban atas peristiwa tersebut. Selain kekerasan, perempuan korban konflik Maluku juga harus berhadapan dengan persoalan kelangsungan hidup keluarganya. Konflik menyebabkan ekonomi daerah tersebut ambruk dan banyak orang kehilangan mata
KITA BERSIKAP
pencahariannya. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sejumlah perempuan menjadi papalele¸ yaitu pedagang asongan. Perempuan papalele yang berjualan di pelabuhan kapal laut sering kali mengalami pelecehan seksual. Mereka tidak dapat menghindar ataupun melawan karena kedua tangannya sibuk memegang barang dagangan yang mereka usung di kepala.
perempuan tentang upaya damai yang sedang dikembangkan. Pertemuan ini berlangsung selama satu minggu di Jakarta pada pertengahan 2002. Namun, peran kepemimpinan perempuan dalam damai rupanya kurang mendapat perhatian. Dalam perundingan Malino untuk penyelesaian konflik Maluku, tidak ada seorang perempuan pun yang dilibatkan.
Pasar kebutuhan dapur adalah cikal bakal perdamaian organik di Ambon dan peran gender perempuan menyebabkan ia menjadi aktor perdamaian yang alamiah. Untuk kebutuhan dapur, perempuan memberanikan diri ke pasar sehingga berjumpa dengan perempuan dari komunitas lain. Dari perjumpaan ini, perempuan saling mengetahui dan memahami penderitaan yang dialami oleh masing-masing komunitas. Potensi damai ini menyebabkan aktivitas pasar sering mendapat gangguan oleh orangorang yang tidak dikenal.
Perlahan-lahan konflik di Maluku mereda. Perjumpaan damai antar anggota masyarakat yang berbeda agama mulai berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Layanan-layanan publik pun tidak lagi dipecah berbasis agama. Masyarakat juga lebih hati-hati dalam menyikapi isu agama yang dapat menghidupkan kembali konflik. Namun, dampak konflik masih membekas. Misalnya saja, pada tahun 2009 sebuah lembaga pendampingan masyarakat menyebutkan bahwa sampai saat ini masih ada 10.000 jiwa warga yang menjadi pengungsi. Korupsi yang meluas terhadap dana pengungsi menyebabkan mereka belum mendapatkan haknya. Mereka tinggal di atas tanah yang bermasalah, karena milik orang lain atau milik pemerintah sehingga setiap waktu bisa saja diusir. Dampak lain dari konflik
Didorong oleh keprihatinan bersama tentang situasi perempuan di dalam konflik Maluku, sekelompok perempuan membentuk jaringan lintas komunitas yang bernama Koalisi Perempuan Maluku. Koalisi ini kemudian meminta Komnas Perempuan memfasilitasi pertemuan mereka dengan sejumlah otoritas nasional untuk penanganan konflik. Mereka bermaksud menyampaikan aspirasi
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
163
yang terus terasa adalah segregasi wilayah. Hampir tidak ada pemukiman campur antaragama sebagaimana dahulu sebelum konflik.
Untuk melanjutkan hidup, perempuan pengungsi akibat konflik Poso menjadi penderes karet. Pengungsian dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan ketegangan antara penduduk lokal dengan pengungsi akibat sumber daya alam yang terbatas. (Poso, 2007; KP)
Poso Seperti juga di Maluku, konflik di Poso dimulai dari perselisihan warga dan diduga sebagai kepanjangan dari
perebutan kuasa yang terjadi pasca pengunduran diri Soeharto. Pada Desember 1998, terjadi pembacokan seorang pemuda di depan masjid di Poso, Sulawesi Tengah. Peristiwa tersebut terjadi bertepatan dengan bulan puasa dan masih dalam suasana Natal. Situasi Poso menjadi tegang karena isu perang agama mulai berkembang. Ketegangan antar kelompok agama sebetulnya sudah dimulai sejak isu agama dimunculkan dalam protes tentang hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Poso pada Oktober 1998. Aksi serang antar komunitas yang berbeda agama tidak lagi dapat dibendung setelah terjadi perkelahian antar pemuda di terminal bis Poso pada April 2000. Aksi awal saling serang yang berlangsung dari 15-21 April 2000 mengakibatkan 37 orang meninggal sementara ribuan lainnya mengungsi karena tempat tinggalnya dibakar. Konflik di Poso diperparah dengan adanya pasukan dari luar Poso untuk mendukung masing-masing pihak yang bertikai. Dalam penyerangan, pelaku melengkapi diri dengan senjata tajam, senjata rakitan (atau di masyarakat dikenal dengan sebutan bum-bum), dan senjata organik. Pada pertengahan 2005, Komnas Perempuan menerima permintaan dari masyarakat, baik melalui kunjungan resmi komunitas korban dan
164
KITA BERSIKAP
pendampingnya, maupun surat dari organisasi perempuan dan lembaga advokasi HAM di Sulawesi Tengah, untuk memfasilitasi pengungkapan pelanggaran HAM perempuan yang terjadi selama konflik Poso. Menanggapi permintaan ini, Komnas Perempuan menunjuk seorang Pelapor Khusus untuk memimpin tim pemantauan. Salah satu fokus pemantauan adalah berita tentang pemerkosaan terhadap perempuan dalam penyerangan sebuah pesantren Walisongo di Desa Situwu Lembah di bulan Juni 2000. Peristiwa ini diberitakan secara meluas di berbagai pertemuan dan di media massa sehingga memancing kemarahan komunitas Muslim. Desa Situwu Lembah, yang sebagian besar penduduknya adalah keturunan Jawa, terletak di kilometer 9 Kecamatan Lage, Kabupaten Poso. Hasil penyelidikan berbagai pihak tentang peristiwa penyerangan di Desa Situwu Lembah menunjukkan kesengajaan pihak aparat keamanan membiarkan penyerangan terjadi. Akibat penyerangan ini, puluhan orang laki-laki tewas terbunuh. Meskipun Komnas Perempuan belum menemukan bukti yang kuat tentang peristiwa perkosaan yang dimaksud, kemungkinan terjadinya perkosaan tidak dapat diabaikan begitu saja, apalagi mengingat bahwa dalam penyerangan tersebut terjadi penelanjangan paksa terhadap
200 orang perempuan warga desa. Mereka dikumpulkan di satu tempat oleh kelompok penyerang. Satu per satu dari mereka disuruh memasuki kamar dan melucuti pakaiannya. Para pelaku penelanjangan bermaksud mencari jimat yang menurut kabar biasa dikenakan perempuan Jawa di daerah kemaluan dan payudara. Mereka tidak berani melawan karena diancam akan merisikokan keselamatan jiwa keluarganya. Karena tidak berhasil menemukan apa pun, pelaku melepaskan para perempuan dan anak-anak. Mereka kemudian berjalan menuju ke markas militer terdekat dan mengungsi di sana.
Kehadiran di tengah pemukiman masyarakat, tanpa pengawasan yang cukup terkait cara berelasi dengan penduduk setempat, membuka peluang aparat menyalahgunakan kekuasaan dan status sebagai simbol perlindungan. (Poso, 23 Januari 2007; Antara)
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
165
Sampai hari ini, sebagian dari mereka memilih untuk tidak kembali ke Desa Situwu Lembah karena masih trauma dan tidak merasa aman. Meskipun perjanjian damai Malino I telah ditandatangani oleh tokohtokoh masyarakat pada Desember 2001, kekerasan terus berlanjut. Aksi penyerangan ke Desa Malei-lage pada Desember 2002 adalah salah
satu contoh. Dalam penyerangan ini terjadi pemerkosaan terhadap satu orang perempuan yang sebelumnya menyaksikan pembunuhan terhadap suaminya. Pihak-pihak yang hendak menyulut kembali konflik terus melakukan teror terhadap masyarakat. Teror ini antara lain berupa pemboman di tempat-tempat umum seperti pasar dan rumah ibadah, penembakan Pendeta
Tabel 5.
Kekerasan Terhadap Perempuan (KtP) dalam Konflik Poso, 1998-2005 70
58 60
50
40
30
20
seksual non seksual
10
2
3
Kekerasan terhadap Perempuan terkait langsung dengan konflik
166
7 2
Kekerasan terhadap Perempuan terkait penempatan Aparat Kemanan dan Militer
Kekerasan terhadap Perempuan di pengungsian
Susianti Tinulele pada Juli 2004, dan mutilasi tiga siswi SMU Kristen Poso pada Oktober 2005. Pendeta Susianti sedang memimpin kebaktian pada saat penembakan terjadi; ia meninggal akibat penembakan itu. Tiga siswi yang menjadi korban mutilasi sedang dalam perjalanan menuju sekolah ketika pelaku datang menghadang. Korban keempat bisa meloloskan diri, namun menderita trauma akibat peristiwa tersebut. Masih terkait dengan pembunuhan sewenangwenang terhadap perempuan adalah penembakan terhadap dua siswi SMEA Poso, November 2005. Kedua korban berhasil diselamatkan, tetapi mengalami gangguan fisik permanen akibat peluru yang bersarang di rahang mereka. Selain menimbulkan rasa takut, teror dalam bentuk kekerasan terhadap perempuan serupa ini juga diduga menjadi cara untuk memancing kemarahan komunitas korban. Namun aksi teror ini tidak berhasil memprovokasi komunitas korban untuk melakukan aksi balas dendam yang tentunya akan membuat konflik terus berlanjut. Di lokasi pengungsian, yang di Poso terbagi berdasarkan agama, perempuan tidak bebas dari tindak kekerasan, terutama di dalam rumah tangga. Kekerasan tersebut biasanya dipicu oleh suami mabuk, berselingkuh, serta memeras uang yang dihasilkan istri. Sikap
KITA BERSIKAP
masyarakat yang masih menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai kesalahan pihak perempuan menyebabkan korban sulit untuk mengadukan kasusnya dan memperoleh keadilan. Demikian pula persoalan yang dihadapi oleh perempuan korban pelecehan seksual dan pemerkosaan oleh sesama pengungsi. Kehadiran aparat keamanan, seperti juga telah dikenali dalam konteks konflik Aceh dan Maluku, menghadirkan kerentanan baru terhadap kekerasan bagi perempuan muda. Untuk mengamankan daerah, aparat keamanan dikerahkan ke seluruh pelosok Poso sejak pecah konflik Poso. Mereka tinggal dekat dengan pemukiman penduduk agar dapat segera menangkap informasi yang beredar dengan tujuan mengantisipasi pecahnya konflik. Karena sebagian besar aparat tersebut juga berusia muda, mereka menarik simpati para pemudi lokal. Sejumlah dari mereka kemudian berpacaran. Dalam relasi ini, sejumlah aparat memanfaatkan posisinya sebagai simbol pelindung dan berjanji kepada pacarnya akan menikahinya untuk mendapatkan layanan seksual. Beberapa perempuan yang menolak justru mengalami pemerkosaan. Sejumlah lainnya melakukan hubungan seksual dengan berpegang pada janji akan dinikahi. Ada yang kemudian menjadi
Kerentanan Perempuan Muda Perempuan Target Kekerasan
P
erempuan muda dan remaja putri menjadi target kekerasan korban kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual merujuk pada sebuah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atas seseorang untuk tujuan seksual, termasuk tetapi tidak terbatas pada, memperoleh juga keuntungan dalam bentuk uang, sosial, maupun politik. Sebagaimana ditemukan di Poso, Aceh, dan Maluku, eksploitasi seksual dilakukan oleh aparat keamanan yang kemudian menelantarkan perempuan setelah berhasil membujuknya untuk berhubungan seksual. Perempuan muda korban kekerasan eksploitasi seksual dikucilkan karena dianggap tidak mampu menjaga dirinya dari bujuk rayu laki-laki. Karena hubungan seksual di luar perkawinan dianggap menghancurkan kesucian perempuan, perempuan muda korban pemerkosaan dipaksa kawin dengan pelaku. Tujuannya untuk membersihkan aib diri, keluarga, dan komunitasnya. Perempuan muda yang mengungsi di Aceh dan Maluku mengeluhkan pengintipan, baik saat berada sendirian di tempat tinggalnya, maupun saat berada di tempat MCK (mandi-cucikakus). Laporan mereka sering kali tidak diindahkan secara serius oleh pengurus pengungsian yang bahkan menuding mereka tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan pengungsian yang serba terbatas. Padahal, bagi perempuan, tindak pengintipan tersebut mengurangi rasa aman karena dikaitkan dengan ancaman pemerkosaan. Di beberapa tempat, tercatat kasus pemerkosaan oleh orang tidak dikenal atau oleh sesama pengungsi. Upaya untuk melindungi perempuan muda dari kemungkinan menjadi korban kekerasan seksual semasa konflik justru melahirkan kekerasan baru terhadap perempuan. Perempuan muda menjadi korban kawin paksa dengan maksud menjaga kesuciannya agar tidak direnggut oleh pemerkosaan. Perempuan muda juga menjadi target pemaksaan busana karena ada anggapan bahwa pelecehan seksual terjadi akibat busana perempuan yang menonjolkan bentuk tubuhnya. Pemaksaan busana, khususnya kepada perempuan muda, juga dimaksudkan untuk membentuk citra komunitas berdasarkan identitas agama atau budaya tertentu.
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
167
hamil dan dipaksa oleh pasangannya untuk menggugurkan kandungannya. Banyak lagi perempuan yang ditelantarkan begitu saja; kasus-kasus seperti inilah yang dirujuk oleh Komnas Perempuan sebagai eksploitasi seksual. Sulit bagi perempuan korban eksploitasi seksual untuk memperoleh pengakuan atas kekerasan yang ia alami. Hubungan berpacaran antara korban dan pelaku menjadi dasar untuk meragukan korban mengalami perkosaan. Untuk kasus pemaksaan aborsi, pengaduan kasus malah dapat berbalik menjadi dakwaan terhadap perempuan korban atas tuduhan bahwa ia melakukan tindak kejahatan. Untuk perempuan korban eksploitasi seksual, masyarakat sudah memandang rendah mereka karena menganggap mereka mau begitu saja dirayu oleh laki-laki yang berseragam. Sama seperti di Maluku, julukan seperti Koramil (Korban Rayuan Militer), Kopassus (Korban Pasukan Pegang Susu), dan Selebriti (Sisa-sisa Brimob/Pasukan Perintis) diperuntukkan masyarakat bagi mereka. Perempuan korban juga dikucilkan dalam pergaulan masyarakat, misalnya saja dengan tidak mengundang atau memberikan giliran bagi rumahnya untuk menjadi tempat bagi ibadah bersama. Agar anaknya dapat dibaptis, korban yang beragama Kristen yang melahirkan akibat eksploitasi seksual harus bersedia diwakili 168
oleh orangtuanya di akte baptis.
. . . datang Dantonnya [komandan pleton dari pelaku] . . . dan bertemu dengan ketua adat di desa. Kemudian diputuskan [bagi pelaku dan korban] membayar adat 5 juta. Sekretaris desa sudah buat surat, tetapi hingga saat ini belum ada tindak lanjut . . . Pembayaran 5 juta itu sudah sesuai dengan keputusan adat, dan harus dibayar dalam 8 hari. Kalau tidak dibayar dalam jangka waktu tersebut, harus dibayar dua kali lipat. Saya sendiri sudah membayar denda adat ke desa sementara dia belum. Saya ingin ke sana, tapi tidak ada yang menemani. . . ini sudah 3 tahun jadi pembayaran harus dilipat. Saya beberapa kali menelpon tetapi dia tidak angkat, dan mau bilang anaknya sudah mau masuk sekolah dan butuh biaya. Sekarang nomor telefon sudah diganti . . . Saya kalau mau nikah tidak bisa karena proses adat belum selesai di mana pelaku belum membayar. Anak saya sudah dibaptis atas nama kakek dan nenek, akte kelahiran atas nama saya. korban eksploitasi seksual Poso, rekaman KP, 2007
Untuk menghindari pertanggungjawaban hukum, seperti juga di Aceh, pelaku kekerasan kerap memanfaatkan mekanisme adat atau kebiasaan setempat. Celah ini juga dimanfaatkan
KITA BERSIKAP
oleh aparat yang melakukan kekerasan seksual. Kawin siri, atau kawin tidak dicatat, digunakan untuk seolah-olah menepati janji menikahi perempuan korban. Setelah dinikahi, pelaku kemudian menelantarkan pihak perempuan begitu saja. Ada juga pelaku pemerkosaan yang membayar denda adat agar tidak diproses secara hukum. Denda adat biasanya berupa sapi atau uang, yang pembayarannya diserahkan kepada keluarga korban. Dalam satu kasus kekerasan dalam rumah tangga yang didokumentasikan Komnas Perempuan, suami, yang diberikan sanksi adat karena berselingkuh, justru menjual kebun milik bersama istrinya untuk membayarkan denda adat itu.
Jemaah Ahmadiyah Ketika konflik Ambon dan Poso mulai mereda, Indonesia dikejutkan dengan serangan terhadap kelompok Jemaah Ahmadiyah (JA). Serangan ini mengejutkan karena selama hampir 50 tahun, organisasi JA yang diakui sebagai organisasi keagamaan yang sah dan dapat menjalankan kegiatannya tanpa kendala. Penyerangan terhadap JA mulai terjadi sejak tahun 2002 di Kuningan di Provinsi Jawa Barat, dan di Mataram dan Lombok Timur di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Serangan terhadap
kelompok Ahmadiyah menguat pasca diterbitkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah adalah sesat. Fatwa ini kemudian menyemangati dikeluarkannya surat baik oleh Musyawarah Pimpinan Daerah maupun Kepala Daerah yang melarang kegiatan JA di berbagai lokasi seperti di Bogor, Garut, Sukabumi, Cianjur, Sumatera Selatan, dan Padang. Penyerangan terhadap JA dilakukan oleh kelompok laki-laki yang membawa simbol-simbol Islam seperti sorban dan atribut bertulisan Arab. Mereka juga menggunakan senjata berupa parang dan kayu. Memang sejak runtuhnya rezim Orde Baru, secara terbuka di dalam masyarakat berkembang kelompokkelompok berbasis agama ataupun suku yang tidak segan menggunakan kekerasan untuk memaksakan pendapatnya. Kelompok ini bahkan ada yang mengenakan seragam serupa militer dan memiliki mobil yang berpatroli layaknya polisi. Menanggapi situasi ini, pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada bulan Juni 2008 memerintahkan Jemaah Ahmadiyah (JA) untuk menghentikan kegiatannya yang dianggap tidak sesuai Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
169
170
KITA BERSIKAP
Setelah 50 tahun Jemaah Ahmadiyah menjalankan kegiatannya di Indonesia, pada Juni 2008 pemerintah, melalui SKB Tiga Menteri, membekukannya.
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
171
menganggap kami najis. Di sekolah, mereka berangkat dikawal polisi dengan naik mobil tahanan. Diantar sampai ke depan sekolah mereka dan dijemput polisi. Mereka menangis kenapa harus diperlakukan begitu perempuan korban anggota Ahamdiyah, rekaman KP, 2006
Perempuan anggota Jemaah Ahmadiyah mengadu kepada Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual, intimidasi, dan diskriminasi yang mereka alami. (Jakarta, 2006; KP)
dengan penafsiran Islam pada umumnya, tetapi keberadaan JA di Indonesia tidak dilarang. Pemerintah Indonesia juga memerintahkan agar kelompok masyarakat menghentikan penyerangan dan tindakan lainnya yang melanggar hukum terhadap JA.
Kami ingin mandiri, bangkit, dan berjualan di pasar. Tapi orang di pasar sudah dihasut untuk tidak membeli dagangan kami. Anak kami yang sekolah, mereka tidak boleh mandi di pemandian umum. Mereka 172
Berkenaan dengan penyerangan tersebut, pada 27 September 2006 Komnas Perempuan menerima pengaduan dari wakil komunitas Ahmadiyah tentang penyerangan pada komunitasnya di Cianjur tertanggal 19 September 2005 dan 14 Februari 2006, dan di Nusa Tenggara Barat pada 19 Oktober 2005 dan 17 Maret 2006. Hasil pemantauan Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa sebelum penyerangan terjadi, sejumlah perempuan mendapatkan intimidasi agar segera keluar dari JA. Mereka diancam bahwa rumahnya akan dirusak, serta ditakut-takuti dengan kotoran manusia yang diletakkan di bawah jendela dan di lubang angin kamar mandi. Dalam penyerangan, masjid, sekolah, dan rumah anggota JA dirusak, dihancurkan, dibakar, dan dijarah. Selama penyerangan, setidaknya dua perempuan mengalami ancaman pemerkosaan dan satu orang perempuan diancam akan dibunuh.
KITA BERSIKAP
Setelah penyerangan, anggota JA menghadapi pengucilan dari masyarakat sekitarnya. Ada perempuan yang selalu harus berjalan kaki karena tidak ada tukang ojek yang bersedia mengantarnya. Warga desa tidak lagi bersedia berbelanja di tempat usaha milik anggota Ahmadiyah. Di berbagai kesempatan, anggota JA selalu diejek sebagai pengikut ajaran sesat. Bahkan, seorang guru perempuan anggota JA kehilangan mata pencahariannya karena ia dikeluarkan dari sekolah negeri tempat ia mengajar. Kekerasan terhadap perempuan Ahmadiyah terus berlanjut di tempat pengungsian yang tersebar di daerahdaerah di mana penyerangan terjadi. Perempuan muda rentan mengalami kekerasan seksual, di antaranya, paksaan untuk menikah oleh orang yang tidak dikenal, dipeluk paksa dari belakang oleh warga setempat, diejek teli (vagina) oleh aparat Satpol PP yang bertugas menjaga lokasi pengungsian karena ia tidak mau mengacuhkan ajakan aparat tersebut untuk berkenalan, dan diintip pada saat sedang di kamar mandi. Seorang perempuan muda melaporkan bahwa ia mengalami percobaan pemerkosaan ketika ia sedang berbaring sendiran di rumah tempat ia mengungsi.
pengucilan dan diskriminasi di sekolah. Tidak ada yang bersedia menjadi teman mereka karena dianggap sebagai anak dari keluarga sesat. Sepuluh anak Ahmadiyah yang menjadi siswa di SD Negeri Mataram mendapat jadwal ujian yang berbeda dari kawan-kawannya. Dalam satu hari mereka harus mengikuti ujian dengan jumlah mata pelajaran yang lebih banyak. Mereka juga memperoleh rapor tanpa nilai yang hanya bertuliskan “Lapor, Anak-anak Ahmadiyah”.
Anak-anak dari keluarga penganut Ahmadiyah pun menjadi sasaran
Akibat penyerangan tersebut dan diskriminasi, beberapa perempuan
Front Pembela Islam menuntut pembubaran Jemaah Ahmadiyah. (Jakarta, 27 Agustus 2008; Tempo/Dimas Aryo)
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
173
mengalami stres berkepanjangan, gangguan pada fungsi reproduksi sehingga tidak menstruasi selama berbulan-bulan, dan ada pula yang mengalami keguguran. Karena aturan yang melarang kegiatan JA tidak dicabut, mereka selalu khawatir bahwa serangan akan kembali dilakukan. Perempuan dan keluarganya mengalami pemiskinan karena kehilangan rumah, ruang usaha, dan harta bendanya. Mereka juga tidak memiliki akses ke sumber penghidupannya, misalnya ladang tempat ia bercocok tanam, karena harus mengungsi. Dalam menyikapi penyerangan di Cianjur, polisi melakukan penjagaan di rumah dan gedung-gedung milik JA untuk mencegah perusakan lebih lanjut. Sebanyak 12 orang ditahan dan Pengadilan Negeri Cianjur menjatuhkan hukuman tahanan selama empat sampai enam bulan kepada mereka atas tindak penyerangan tersebut. Dalam kasus penyerangan di Lombok Barat, polisi melakukan evakuasi terhadap warga JA untuk menghindari korban jiwa. Penjagaan juga dilakukan terhadap aset JA, dalam bentuk rumah, gedung, dan lahan. Namun, sejumlah rumah di daerah tersebut telah dirusak. Lima orang ditahan atas penyerangan tersebut. Mereka akhirnya dilepaskan karena pihak kepolisian didatangi sembilan 174
truk penuh warga dari delapan desa yang mendesak pembubaran JA. Untuk menghindari penyerangan lebih lanjut, warga JA diungsikan ke Kota Mataram. Pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat memberikan bantuan makanan kepada 33 keluarga selama mereka mengungsi. Menimbang bahwa besar kemungkinan warga JA tidak dapat kembali ke daerah asal, pemerintah daerah Lombok Barat menyatakan kesediaannya untuk membeli seluruh aset warga JA yang ada di salah satu desa yang menjadi target penyerangan. Sampai saat ini, keputusan tersebut belum dilaksanakan. Hanya saja warga JA diperingatkan untuk tidak kembali ke daerah asalnya karena pihak pemerintah tidak bisa menjamin keamanan mereka. Kebencian dan kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah terus berlangsung hingga sekarang. Puncak penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah terjadi di Cikeusik, Jawa Barat, tanggal 6 Februari 2011 lalu. Tiga orang meninggal dunia dan lima orang luka-luka akibat serangan itu. Warga Ahmadiyah di daerah itu terpaksa mengungsi, dan istri korban meninggal harus menjadi orang tua tunggal yang menanggung sendiri beban hidup anak-anak mereka. Intimidasi terhadap warga Ahmadiyah bertambah ketika sejumlah pemerintah daerah ikut mengeluarkan aturan daerah yang
KITA BERSIKAP
melarang Ahmadiyah, dan pemerintah pusat tidak menunjukkan sikap hendak mencabut SKB tiga menteri yang tidak hanya melanggar hak atas kebebasan beragama tetapi juga potensial memicu kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Berlarut-larutnya kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai serangan terhadap berbagai kelompok minoritas agama. Salah satunya adalah penyerangan terhadap jemaat HKBP (komunitas etnis Batak beragama Kristen) di Bekasi. Seorang pendeta perempuan menjadi korban pemukulan dalam penyerangan yang dilakukan saat ia sedang memimpin ibadah. Proses peradilan kasus penyerangan komunitas agama minoritas hampir selalu diwarnai dengan intimidasi untuk membebaskan pelaku terkait sehingga menyulitkan hakim untuk dapat dengan aman dan adil memeriksa dan memutuskan perkara. Situasi ini terkait dengan dinamika pertarungan kuasa di tingkat nasional dan daerah.
Peristiwa 1965 Kami, para perempuan korban tragedi 1965 yang hadir dalam kesempatan ini, terdiri dari aktivis-aktivis perempuan
yang selama bertahun-tahun dipenjara tanpa proses hukum oleh pemerintah Orde Baru; para istri, anak-anak, dan keluarga eks tapol yang menderita sebagai dampak penangkapan, penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan sewenang-wenang suami, ayah, saudara, dan keluarga kami. Kami datang pada hari ini, mewakili nasib ribuan perempuan korban Tragedi 1965 yang tidak sempat hadir dalam kesempatan ini. surat pengaduan, perempuan korban tragedi 1965, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender
Senin, 29 Mei 2006 adalah hari yang bersejarah bagi Indonesia. Setelah selama 40 tahun membungkam, hari ini perempuan yang menjadi korban terkait Tragedi 1965 membuka diri dan menceritakan apa yang terjadi padanya kepada masyarakat Indonesia melalui penyerahan pengaduan kepada Komnas Perempuan. Mereka meminta kepada Komnas Perempuan untuk memeriksa pengaduan ini secara seksama sehingga dapat memperoleh pengetahuan tentang mengapa mereka dikorbankan dalam Tragedi 1965 . Mereka juga ingin memperoleh pemulihan hak-hak mereka
(laporan KP), Lampiran 1
Film "Pengkhianatan G30S/PKI", yang dibuat pada masa Orde Baru, diputar setiap tahun sebagai tontonan wajib bagi warga, khususnya pelajar.
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
175
dan anak-anak mereka sebagai korban dan warga negara di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebelum Mei 1998, hanya ada satu versi cerita tentang berdirinya Orde Baru yang diperbolehkan oleh pemerintah beredar di masyarakat. Dikisahkan dalam sejarah bahwa rezim Orde Baru dibangun dari keberhasilan ABRI melindungi bangsa Indonesia dari bahaya Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 30 September 1965 malam, PKI menculik, menyiksa, dan kemudian membunuh enam Jendral Angkatan Darat di Lubang Buaya. Anggota Gerwani dituduh ikut melakukan penyiksaan yang keji sambil menari bertelanjang. MayJen Soeharto berhasil membongkar siasat PKI ini dan PKI dapat dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Setelah diangkat oleh MPR/DPR sebagai Presiden pada 1967, Soeharto memimpin perbaikan tatanan negara bangsa Indonesia sehingga rakyat dapat menikmati jaminan keamanan dan kemakmuran melalui program-program pembangunan. Yang luput dari cerita tersebut adalah bahwa pemberantasan PKI “sampai ke akar-akarnya” menyebabkan 75.000 sampai 1 juta orang tewas karena dituduh menjadi anggota PKI maupun organisasi afiliasinya. Pembunuhan tidak saja dilakukan oleh militer tetapi
176
juga oleh anggota masyarakat. Pada masa itu, kebencian terhadap PKI dapat digunakan untuk membunuh lawan politik; cukup dengan menuduh seseorang sebagai anggota atau simpatisan PKI, maka orang tersebut dapat dibunuh. Negara menjatuhkan hukuman mati kepada para pemimpin PKI. Mereka yang ditahan mengalami penyiksaan dalam bentuk-bentuk yang mengerikan. Di luar tahanan, istri dan anak perempuan mereka yang ditahan menjadi sasaran pemerkosaan dan pemerasan. Hal ini bahkan dilakukan bila mereka ingin berjumpa dengan anggota
Perempuan aktivis Gerwani dan organisasi massa lainnya yang dianggap terlibat dalam peristiwa 30 September 1965 ditangkap dan dikumpulkan di lapangan Kartosuro. (Jawa Tengah, 1965; W. Sutarto/Antara)
KITA BERSIKAP
keluarganya yang ditahan. Pelakunya bisa aparat keamanan, bisa pula anggota masyarakat.
Adik saya bilang, “Kakak, perempuan itu [istri saya] ketika mati. . . menderita. . . Asal malam. . . [ia] diambil oleh kelurahan sana, disuruh tidur di sana, ya, disuruh pijit, disuruh macam-macam. Nanti kalau tidak ke kelurahan, ya, ABRI ke sini. . .” Lama ke lamaan, istri saya terus badannya kurus, kurus, kurus, perutnya terus besar. [Ia] meninggal tahun ’77. . . [Pada tahun] ‘79 saya kembali [dari tahanan]. Terus saya mendapat laporan dari RT saya sendiri, “Istrimu itu orang yang prihatin, yang menderita hatinya. Saat mau mati [isteri tanya], ‘Bapak kapan . . . kembalinya?’ [Ia] berharapharap. ‘Gimana tubuhku sudah terlanjur seperti ini. Apa bapak mau menerima saya lagi atau tidak?’ eks-napol terkait peristiwa 1965, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender (laporan KP), hal.80
Pada sekitar 1972-1974, dengan menyebutkannya sebagai program transmigrasi, aparat negara memindahkan secara paksa para istri dan anak-anak tahanan laki-laki ke Pulau Buru untuk berkumpul dengan tahanan laki-laki yang lebih dahulu dibuang ke
sana. Hanya ada fasilitas minim yang tersedia bagi mereka, misalnya tidak tersedia guru dan tenaga medis kecuali dari di antara mereka sendiri. Mereka tidak bisa memperjualbelikan hasil sawah yang mereka olah. Anak-anak mereka mengalami diskriminasi dan kekerasan dari penduduk setempat. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika pelakunya adalah aparat militer dan keluarganya. Bila melawan, ayah mereka yang menjadi
Stigma Gerwani sebagai perempuan amoral, sebagaimana digambarkan dalam relief Lubang Buaya, masih hidup sampai sekarang. (Jakarta, 2009; Komnas Perempuan).
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
177
Persekusi Berbasis Jender Persekusi adalah pengingkaran hak-hak dasar manusia atas dasar diskriminatif seperti agama, etnis, ras, budaya, gender, atau identitas politik. Persekusi termasuk pengingkaran hak-hak sipil politik, misalnya hak untuk rasa aman; untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi; hak untuk berpendapat; untuk memeluk agama dan kepercayaan; dan untuk ikut serta dalam pemerintahan. Pengingkaran terhadap hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya juga menjadi bagian dari persekusi seperti pengingkaran atas hak untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak; untuk pendidikan; untuk kesehatan, untuk terlibat dalam aktivitas sosial budaya; dan untuk menjalankan hidup berkeluarga. Persekusi ini secara aktif dijalankan oleh aparat negara, dan mengukuhkan diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat sekitar. Terkait peristiwa 1965, persekusi dilakukan terhadap setiap orang yang dituduh memiliki kaitan dengan PKI maupun keluarganya. Misalnya saja, istri tahanan dipecat dari pekerjaannya dan anak-anak dikeluarkan dari sekolah. Persekusi berbasis gender terjadi terhadap perempuan yang dituduh sebagai anggota Gerwani, dengan alasan pandangan politik (komunisme) dan gender (karena sebagai Gerwani mereka dianggap perempuan amoral). Persekusi terus berlanjut meski mereka telah dibebaskan dari tahanan lewat berbagai pengingkaran terhadap hak mereka untuk bebas dari stigmatisasi, kebebasan bergerak, berpolitik, bekerja, dan pendidikan. Sepanjang hidupnya, hingga saat ini, mereka masih terus mengalami pengucilan dan stigmatisasi.
178
tahanan akan memperoleh hukuman. Komnas Perempuan menemukan bahwa ada tiga perempuan yang masih berusia anak menjadi korban perbudakan seksual. Aparat militer secara rutin mendatangi rumah korban dan meminta layanan seks. Mereka tidak bisa menolak. Untuk mencegah korban hamil, aparat militer memaksa mereka untuk meminum pil KB. Ketika tahanan politik di Pulau Buru dibebaskan, negara tidak memberikan fasilitas apapun kepada perempuan dan anak-anaknya untuk dipulangkan, seperti tahanan laki-laki. Sebagai “transmigran” mereka harus mengupayakan kepulangannya sendiri. Pada masa segera setelah peristiwa 30 September, gambaran tentang keterlibatan Gerwani didukung dengan pemberitaan di media massa yang melukiskan Gerwani sebagai perempuanperempuan yang tidak bermoral. Citra tentang Gerwani ini masih bisa kita lihat di monumen tentang peristiwa 30 September yang terdapat di Lubang Buaya, dan di dalam film tentang peristiwa tersebut yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Tidak pernah sekalipun sejarah yang ditulis Orde Baru menyinggung kontribusi Gerwani dalam proses membangun negarabangsa Indonesia pada masa pasca kemerdekaan.
KITA BERSIKAP
Perempuan korban Peristiwa 1965 berdiri di gerbang Gedung DPR RI untuk dapat beraudiensi dengan Komisi III. Sebagian dari mereka ditangkap ketika masih remaja. (Jakarta, Februari 2007; Tempo)
Citra Gerwani tersebut seolah-olah menjadi alasan pembenar untuk melakukan penyiksaan terhadap tahanan perempuan yang dituduh sebagai anggota Gerwani. Penyiksaan yang mereka alami tidak saja dalam bentuk penganiayaan fisik, tetapi juga dengan cara dipaksa menyaksikan atau mendengar penyiksaan yang terjadi terhadap tahanan yang lain. Mereka juga
mengalami penyiksaan seksual, termasuk pemerkosaan dan penelanjangan dengan alasan mencari cap “palu arit”. Banyak juga yang mengalami kelaparan. Seperti juga tahanan laki-laki, mereka ditahan tanpa proses peradilan yang adil. Banyak pula korban salah ditangkap; mereka bukan anggota Gerwani bahkan sama sekali tidak mengetahui tentang organisasi tersebut.
Saat itu [akhir tahun 1965], saya baru mau berangkat sekolah. Ternyata saya malah diciduk. Katanya boleh langsung pulang, tapi ternyata [ditahan] sampai dua tahun. Saya waktu itu ‘kan masih kecil [berusia 17 tahun saat ditahan, baru kelas II SMEA], tidak tahu apa-apa. Orang-orang yang ditahan banyak sekali. Kalau ada yang mau tidur miring, miring semua. Kalau
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
179
tidur, beralas kardus. . . Di situ saya baru tahu bahwa orang-orang PKI itu baik-baik. . .Saya masuk ’65; ’67 bebas. Makannya dulu nasi bungkus dibungkus daun jati, makan nasi bulgur. Saya dulu tugasnya menata kardus untuk tidur, kalau pagi melipat kardus. perempuan korban, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender (laporan KP), hal. 76
Setelah dibebaskan, tahanan mengalami diskriminasi berkelanjutan dan sistematik. Mereka secara berkala harus melaporkan diri kepada instansi keamanan. Di dalam kartu identitasnya tercantum kode ET (eks-tahanan politik) yang menyebabkan mereka selalu dibedakan dalam pelayanan publik. Di dalam masyarakat, mereka tetap mengalami pengucilan. Stigmatisasi dan pengucilan juga dialami oleh seluruh anggota keluarganya, sehingga mereka mengalami diskriminasi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Orde Baru mengembangkan teknik penelitian khusus (litsus) untuk memastikan tidak ada aparat negara yang anggota keluarganya, seberapa jauh pun derajat kekerabatannya dan sekalipun tidak sepaham politik, pernah dituduh terlibat PKI. Teknik ini dikukuhkan sebagai
180
kebijakan negara yang berlaku pada seluruh pegawai negeri sipil dan prajurit angkatan bersenjata. Karena kebijakan ini, seluruh anggota keluarga yang dituduh terlibat peristiwa 30 September 1965 kesulitan memperoleh pekerjaan di tengah masyarakat ataupun di pemerintahan. Stigma terhadap Gerwani secara khusus digunakan untuk menghalang-halangi keterlibatan perempuan di dalam politik. Gerwani menjadi istilah untuk mengejek perempuan yang aktif menyuarakan pandangannya terkait persoalan sosial, dan khususnya ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Stigma ini pula yang digunakan untuk menakutnakuti perempuan pembela HAM pada masa sekarang agar berhenti dari perjuangannya mengupayakan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi perempuan, khususnya perempuan korban kekerasan. Ancaman ini terutama dialami perempuan pembela HAM yang bekerja dalam isu kekerasan di mana isu moralitas perempuan mencuat, misalnya terkait pemaksaan jilbab, kekerasan terhadap perempuan pekerja seks, perempuan dengan orientasi seksual sejenis, dan juga pornografi. Meskipun Orde Baru telah tumbang, dan kode “ET” di Kartu Tanda Penduduk telah dihapuskan dalam masa
KITA BERSIKAP
kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, ruang bagi para korban untuk mengisahkan apa yang mereka alami kepada masyarakat Indonesia masih sangat terbatas. Stigma terhadap PKI dan Gerwani masih terus hidup dan sering kali digunakan untuk membungkam masyarakat yang bersuara kritis. Stigma ini pula yang menyebabkan upaya rekonsiliasi di tingkat masyarakat juga berjalan lambat. Bagi anak-anak muda yang hendak mendorong rekonsiliasi harus berhadap dengan tentangan di dalam keluarganya. Banyak orang yang segera menutup ruang dialog karena masih menginternalisasi citra keji PKI yang dibangun oleh Orde Baru. Khawatir akan dikucilkan ataupun mengalami balas dendam, banyak korban atas keinginan sendiri maupun karena diminta oleh keluarga, memilih untuk tetap bungkam tentang kekerasan yang mereka alami. Di Bali, pembungkaman menjadi lebih kuat karena pelaku pembunuhan atau yang menyebabkan mereka ditahan adalah anggota keluarga para korban. Saat ini, sebagian dari bekas tahanan perempuan telah meninggal dunia. Banyak dari mereka yang masih hidup pun sudah lanjut usia namun tidak memperoleh kartu identitas seumur hidup, hak yang seharusnya diberikan kepada setiap warga negara yang telah berusia di atas 65 tahun. Sejumlah dari mereka mengalami gangguan kesehatan
permanen, termasuk gangguan alat reproduksi, karena penyiksaan hebat yang mereka alami selama dalam tahanan. Layanan kesehatan sulit mereka peroleh karena banyak yang hidup dalam kemiskinan. Bahkan ada yang hidup sebatang kara karena anggota keluarga masih takut ataupun malu untuk merangkul mereka akibat stigma dan diskriminasi yang melekat kuat pada Gerwani.
Tragedi Mei 1998 Setelah Sepuluh Tahun Beberapa kali saya didesak untuk meminta korban bersaksi. Ada yang berargumen bahwa kesaksiannya adalah untuk kepentingan jangka panjang penegakan HAM di Indonesia. Tetapi, tidak sesederhana itu dan karena itu saya jawab, “Kalau korban itu kamu atau anakmu atau saudaramu, apa kamu juga akan biarkan dia bertestimoni?” pendamping korban, Saatnya Meneguhkan Rasa Aman (laporan KP), hal. 50
Sepuluh tahun setelah Tragedi Mei 1998 terjadi, Komnas Perempuan menemukan bahwa perempuan korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
181
Mei 1998 tetap membungkam, dan tidak mau memberikan kesaksian di hadapan publik. Berdasarkan informasi para pendamping korban, Komnas Perempuan mengidentifikasikan tujuh faktor yang menjadi alasan bagi bungkam korban. Faktor yang paling utama adalah sikap negara pada kasus kekerasan seksual dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Negara dianggap melanggengkan impunitas bagi pelaku dengan membiarkan kontroversi berlangsung dalam masyarakat tentang ada tidaknya kasus kekerasan seksual terkait peristiwa Mei 1998 dan dengan tidak menindaklanjuti rekomendasi TGPF Mei 1998. Negara juga dianggap secara umum tidak menunjukkan kesungguhan dalam penanganan kasus pelanggaran HAM sebagaimana terlihat dalam proses hukum setengah hati untuk kasus pembunuhan Munir, seorang tokoh pembela HAM.
Faktor kedua adalah hukum. Baik di tingkat substansi maupun praktik, hukum Indonesia diragukan akan dapat memberikan keadilan kepada perempuan korban kekerasan seksual Mei 1998. Mekanisme perlindungan saksi dan korban, yang tersedia belum memeroleh kepercayaan perempuan korban dan komunitasnya. Apalagi, hukum pidana hanya memiliki definisi
182
terbatas tentang pemerkosaan dan cara pembuktiannya pun justru membebani korban. Faktor sejarah juga ikut bersumbangsih pada bungkamnya korban. Kerusuhan yang menargetkan komunitas Tionghoa telah terjadi beberapa kali, tidak sekalipun pemerintah berupaya serius untuk mengungkapnya. Tidak satu pun kerusuhan yang menyasar pada komunitas Tionghoa dicatat dalam penulisan sejarah Indonesia. Sebaliknya, Orde Baru seperti membiarkannya terjadi dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Meski kebijakan-kebijakan yang diskriminatif tersebut telah dicabut, komunitas korban merasa sangsi bahwa kali ini, dalam peristiwa Mei 1998, negara akan bersikap lain. Apalagi terkait kekerasan terhadap perempuan, yang selama ini jarang disebutkan dalam sejarah Indonesia. Sikap bungkam korban kekerasan seksual Mei 1998 juga dipengaruhi oleh nilai budaya atau kepercayaan yang dianut oleh perempuan korban dan/atau keluarganya tentang posisi perempuan di dalam keluarga dan tentang kekerasan terhadap perempuan. Pemerkosaan dianggap sebagai nasib sial yang tidak boleh dibicarakan dan juga aib bagi
KITA BERSIKAP
perempuan korban. Pemerkosaan juga dianggap karma atas tindakan tidak baik yang pernah dilakukan oleh leluhurnya. Menyampaikan pengalaman pemerkosaan secara publik berarti membongkar aib keluarga. Konsep kesucian perempuan dalam masyarakat juga menyebabkan pengungkapan pemerkosaan, terutama terhadap perempuan yang belum menikah, dianggap akan menimbulkan aib bagi korban. Selain itu, ada pula faktor masyarakat, yaitu sikap masyarakat yang tidak peduli, tidak berempati, bahkan menyangsikan keberadaan korban kekerasan seksual Mei 1998. Sikap ini ditunjukkan dengan tidak henti menuntut korban tampil di depan publik memberikan kesaksian tanpa memahami alasan-alasan yang menyebabkan korban bungkam. Keluarga juga memainkan peran penting. Karena korban adalah perempuan, keluarga merasa harus melindungi dengan cara mengambil keputusan bagi dirinya. Karena shock, trauma, dan merasa khawatir akan pembalasan dendam oleh pelaku, sejumlah keluarga memutuskan untuk mengungsikan korban dan menghalangi korban untuk bercerita. Alasan ketujuh adalah terkait dengan situasi diri perempuan korban pasca peristiwa kekerasan seksual Mei
Prasasti Jarum Mei 1998 dibangun untuk mengenang korban Tragedi Mei 1998. Jarum dan benang adalah simbol menjahit kembali luka akibat rasa kehilangan dan kepercayaan antar warga yang sempat koyak akibat kerusuhan Mei 1998. (Jakarta, 2009; KP)
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
183
• Indikasi keterlibatan sebagai pelaku • Masih membiarkan anggapan/bersikap mendua pada pendapat kekerasan Seksual Mei '98 hanya dugaan diskriminasi sistematik
• Shock, trauma, malu • Takut balas dendam pelaku • Ungsikan korban • Salahkan korban • Larang korban bercerita
BUDAYA
AR
GA
LU
RA
KE
MA
SY AR
AK
AT
• Tidak peduli/tidak empati kepada korban • Menuntut korban untuk tampil • Ada prasangka berbasis etnis
AH
AR
SEJ
ONA PERS
KORBAN BUNGKAM
L
GA
• Definisi perkosaan dalam KUHP tidak dapat akomodir pengalaman korban • Penegakan hukum diragukan dapat berikan keadilan • tidak ada perlindungan saksi korban yang mumpuni
M
184
• Perkosaan = nasib sial • Perkosaan = karma • Perkosaan = aib bagi perempuan
HUKU
Komnas Perempuan menemukan bahwa bukan hanya korban yang masih merasa trauma dan bungkam. Para pendamping berasal dari berbagai latar belakang, beberapa di antaranya adalah pekerja sosial. Mereka menjadi pendamping semata-mata karena mendapat kepercayaan dari korban. Setelah sepuluh tahun, para pendamping yang kami temui juga masih trauma akibat peristiwa yang dialami korban. Ada yang masih depresi setiap menjelang bulan Mei dan menjadi sangat emosional atau tegang saat mengingat peristiwa itu. Ada pula yang menginternalisasi peristiwa tersebut sehingga sampai memengaruhi kehidupan berkeluarganya. Kekecewaan mendalam karena terus berlangsungnya penyangkalan terhadap tragedi Mei 1998 menyebabkan beberapa pendamping memilih untuk menarik diri dari lingkungan sosial yang menyebabkannya
Diagram 1. Tujuh Faktor Penyebab Korban Bungkam
NE
1998. Sejumlah korban mengalami trauma, kehilangan ingatan, dan ada yang sampai tidak bisa lagi bicara bahasa Indonesia melainkan hanya dapat berbahasa ibu, yaitu bahasa Cina. Mereka tak ingin lagi diingatkan dengan peristiwa yang menimpanya, dan memutus ingatan masa lalu dengan berganti identitas dan pindah tempat tinggal, termasuk dengan meninggalkan Indonesia.
• Ingin melupakan/tidak ingin diingatkan • Kehilangan kemampuan linguistik • Meninggal dunia, bunuh diri • Trauma • Ganti identitas • Ingin memutus ingatan masa lalu • Pindah, termasuk meninggalkan Indonesia
• Bisu tentang serangan pada komunitas Tionghoa • KTP dalam konflik sering terlupakan
KITA BERSIKAP
teringat pada peristiwa tersebut. Temuan ini sungguh memprihatinkan. Sejak reformasi gerakan, perempuan telah berhasil mendesak negara untuk menerbitkan berbagai kebijakan publik yang mendukung pemenuhan hak asasi manusia bagi perempuan, misalnya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kebijakan di tingkat nasional dan daerah tentang layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan, UU Penghapusan Perdagangan Orang, dan kebijakan terkait kuota 30% di parlemen dan kebijakan-kebijakan lain terkait pengarusutamaan gender. Negara juga telah mensahkan UU Perlindungan Saksi dan Korban dan mendirikan lembaga pelaksananya. Jumlah organisasi penyedia layanan bagi perempuan pun tumbuh pesat, banyak yang memfokuskan diri pada kasus KDRT dan perdagangan orang. Semua ini masih belum mampu menumbuhkan rasa aman bagi perempuan korban Tragedi Mei 1998. Persoalan serupa, yaitu ketiadaan rasa aman, mungkin juga dihadapi oleh sejumlah banyak perempuan korban kekerasan lainnya. Karenanya, kita butuh menyusun langkah-langkah yang terarah, sebagai negara dan bangsa Indonesia untuk memungkinkan semua perempuan
korban kekerasan memperoleh hakhaknya secara utuh, baik sebagai korban maupun sebagai warga negara.
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
185
Tabel 6.
Kerentanan Perempuan dalam Situasi Konflik Korban
Jenis Kekerasan
Tujuan
Pelaku
Intimidasi; Provokasi
Kelompok "musuh";
Hukuman; Bukti penaklukan; Intimidasi
Aparat keamanan RI dalam operasi militer untuk penumpasan "pemberontak";
Pembunuhan, termasuk dengan cara mutilasi Pemboman
Perempuan anggota komunitas "musuh"
Penyerangan seksual, termasuk ancaman perkosaan dan pelecehan seksual Perkosaan Perbudakan seksual Penelanjangan dan/atau pengarakkan Mutilasi genital
Perempuan anggota keluarga "musuh", misalnya ibu, istri, anak Penyiksaan, termasuk perkosaan dan saudara perempuan dan bentuk-bentuk penyiksaan seksual lainnya Perempuan petempur, atau anggota kelompok "musuh" Eksploitasi seksual
Mendapat informasi Hukuman; Bukti penaklukan Intimidasi Layanan seksual
Kawin paksa
Perkosaan
Aparat keamanan Pacar, terutama aparat keamanan RI yang sedang bertugas Anggota komunitas Aparat
Penganiayaan dengan alasan Menjadi simbol kesucian aturan moralitas, termasuk aturan komunitas busana Perempuan muda dan remaja
Kelompok "musuh", termasuk kelompok massa yang tidak dikenali identitasnya
Kelompok "musuh"
Prostitusi paksa
186
Orang tidak dikenal
Anggota komunitasnya
Mencegah atau menutupi aib Orang tua- ayah dan/atau ibu; keluarga akibat hubungan seksual Anggota komunitasnya di luar pernikahan Ayah, paman atau anggota keluarga laki-laki yang lainnya; Pernyataan kekuasaan (Exercising Tetangga; power) Orang tak dikenal
KITA BERSIKAP
Korban
Jenis Kekerasan Pelecehan seksual, termasuk dengan cara mengintip Perkosaan Penganiayaan dalam bentuk fisik, psikis maupun seksual
Perempuan pengungsi
Perempuan pembela HAM
Tujuan
Pelaku Anggota komunitas
Pernyataan kekuasaan (Exercising power)
Orang tak dikenal Suami
Exsploitasi tenaga (memasak, mencuci, bersihbersih)
Layanan domestik
Kelompok lawan, termasuk aparat keamanan RI dalam operasi penumpasan "pemberontak"
Exsploitasi, dengan dijadikan tameng
Melindungi diri
Anggota komunitas
Penyiksaan, termasuk penyiksaan seksual
Menghentikan aktivisme pembelaan HAM
Kelompok-kelompok bertikai. termasuk aparat keamanan RI dalam operasi penumpasan "pemberontak"
Penganiayaan dan bentuk-bentuk intimidasi Kriminalisasi
Aparat penegak hukum dengan menggunakan hukum pidana
Menyingkap Kekerasan terhadap Perempuan dalam Konflik
187
"Kami mungkin tidak akan melihat keadilan. Kami bicara agar anak muda tahu apa yang terjadi, supaya kejadian serupa tidak terulang lagi." Pesan ibu-ibu korban Peristiwa 1965 (Jakarta, 2009; KP) 188
KITA BERSIKAP
BELAJAR DARI SEJARAH DAN ARAH KE DEPAN
V
Kejadian Mei ‘98 adalah noda untuk bangsa kita. Karena itu, ia harus diekspos betul-betul. Ia sejarah yang harus ditulis. Syukur-syukur kalau karena publikasi ini, di mana pun korban berada, mereka bisa lihat bahwa bangsa kita sendiri juga merasa tersakiti dengan kejadian yang menimpa mereka. Lewat publikasi ini, korban juga harus diteguhkan dan bukan untuk mengecam bahwa negara ini memang keji . . . Sejarah harus dilihat secara realistis. Inilah kebenaran. Kita harus menghidupkannya agar semua bisa belajar untuk memastikan bahwa peristiwa serupa tidak akan terjadi lagi. Pendamping korban pemerkosaan Mei 1998 yang juga seorang guru dan rohaniwan, rekaman KP, November 2007
—{—
Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
189
Belajar dari Sejarah Setelah menelusuri sejarah perempuan Indonesia dan pengalamannya dalam situasi-situasi konflik besar yang menentukan dalam perjalanan bangsa selama empat dasawarsa terakhir, apa yang kini kita pahami tentang kekerasan terhadap perempuan? Apa yang dapat kita kenali sebagai konteks dari kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sehingga kita tahu bagaimana menyikapi isu ini secara tuntas sampai akar-akarnya? Apa pembelajaran kita dari upaya perempuan Indonesia menangani diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sejak Indonesia mulai dibayangkan pada awal abad ke20 hingga ia porak-poranda oleh konflikkonflik berkepanjangan di berbagai belahannya satu abad kemudian?
Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan dan Para Korbannya Perempuan mengalami diskriminasi yang berlapis-lapis karena harus bertarung dalam dunia yang dikuasai oleh laki-laki dan menghadapi sistem ekonomi yang meminggirkan masyarakat miskin/ Patung "Multiple Roles" oleh Paula Isman (Dok. Foto Cemara 6 Gallery Café)
190
Jika kita simak pengalaman berbagai perempuan di sepanjang sejarah Indonesia, maka kita memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan bukanlah sebuah kekecualian, melainkan sesuatu yang muncul secara berulang dari satu konteks ke konteks lain melalui pola-pola yang serupa. Perempuan
korban kekerasan bukan hanya korban dari tindakan seorang atau beberapa orang pelaku tertentu di lokasi tertentu, tapi ia juga korban dari sebuah sistem kuasa yang penuh ketidakadilan yang telah menjerat semua, laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial tentang peran gender – laki-laki sebagai pihak yang memegang kuasa dan perempuan sebagai pendampingnya, bahkan miliknya – memberi beban yang tidak sebanding bagi laki-laki dan meminggirkan perempuan atas nama “kodrat”nya. Sistem kuasa ini berdiri di tengah-tengah kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa; dunia kerja dan usaha; serta, di dalam seluruh dinamika berpolitik dan bernegara. Masing-masing “dunia” ini mempunyai dinamika relasi kuasa yang juga penuh dengan ketidakadilan dan diskriminasi, apakah itu atas dasar kelas, ras, agama, kepercayaan, ataupun gender, secara sekaligus. Dengan demikian, perempuan miskin yang berasal dari komunitas kepercayaan minoritas, misalnya, akan tiga kali rentan terhadap diskriminasi: karena identitas gendernya, karena miskinnya, dan sekaligus karena kepercayaannya. Peminggiran yang berlapis dan dari macam-macam penjuru seperti ini membuat perempuan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan.
KITA BERSIKAP
Di masa Orde Baru, banyak perempuan mengalami diskriminasi yang berlapis karena, selain sebagai perempuan yang bertarung dalam dunia yang dikuasai oleh laki-laki, mereka juga harus menghadapi: sistem ekonomi yang mengunggulkan kepentingan modal kuat sambil meminggirkan masyarakat miskin; sistem politik yang menutup ruang demokrasi dan didominasi oleh militer, militerisme, dan budaya kekerasan; serta, sistem pengelolaan kehidupan berbangsa yang mementingkan penyeragaman identitas daripada kemajemukan dan kemandirian masyarakat. Ketika ketidakpuasan masyarakat, yang muncul dan berkembang dari berbagai kondisi ketidakadilan, bertemu dengan kegagalan mekanisme penyelesaian masalah secara damai – apakah melalui mediasi ataupun pengadilan – maka bibit-bibit konflik mulai bertebaran. Pengalaman perempuan di masa Orde Baru menunjukkan bahwa kerentanan perempuan berwajah banyak. Misalnya, kerentanan perempuan mempunyai dimensi ekonomi dalam bentuk pemiskinan perempuan dan/atau ketergantungan ekonomi perempuan kepada laki-laki kepala keluarga. Kerentanan ini membuat perempuan sulit menghindarkan diri dari kekerasan, apakah itu dilakukan oleh suami di rumahnya sendiri ataupun oleh majikannya di tempat kerja.
Pengalaman perempuan di masa Orde Baru juga menunjukkan bagaimana militerisme yang menyebar luas di masyarakat dan negara berkontribusi terhadap penggunaan kekerasan sebagai alat untuk “menyelesaikan masalah sambil menundukkan perempuan dari rumah tangga hingga situasi konflik. Ketika bibit-bibit konflik akhirnya pecah menjadi konflik bersenjata, perempuan menjadi sasaran tersendiri dalam serangan-serangan yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang bertikai. Dalam konflik-konflik di Aceh, Poso, Timor Timur, Papua dan peristiwa 1965, misalnya, kita tahu bahwa warga perempuan, seperti juga warga lakilaki, menjadi korban berbagai bentuk kekerasan seperti pembunuhan, penembakan, penganiayaan, penangkapan dan penahanan semena-mena, pemboman, intimidasi, pemindahan paksa, dan penyanderaan. Selain ini semua, perempuan juga mengalami berbagai bentuk kekerasan yang khas, yang jarang dialami laki-laki, seperti pemerkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan prostitusi paksa.
Diskriminasi berlapis terhadap perempuan juga dihasilkan oleh sistem politik yang menutup ruang demokrasi, militerisme, dan sistem pengelolaan kehidupan berbangsa yang mementingkan penyeragaman identitas masyarakat. (KP)
Dalam situasi konflik, perempuan dijadikan sasaran kekerasan ketika ia adalah anggota kelompok yang dianggap musuh dan sekaligus juga karena ia adalah perempuan. Misalnya, karena perempuan dianggap sebagai pertanda atas kesucian komunitasnya, maka warga Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
191
laki-laki komunitas tersebut haruslah bisa memastikan bahwa perempuan tidak kehilangan kesuciannya. Jika sampai terjadi, maka berarti seluruh komunitas akan turut kehilangan kesucian dan martabatnya. Dalam situasi konflik, penyerangan terhadap komunitas musuh sering dilakukan dengan menyerang warga perempuannya, umumnya melalui tindakan pemerkosaan atau bentuk kekerasan seksual lainnya. Serangan balik akan segera mengikuti tindakan ini sehingga terjadilah peperangan yang meluas. Dari perspektif perempuan, hal ini berarti bahwa tubuh perempuan telah dijadikan medan tarung dalam sebuah peperangan atau perebutan kekuasaan. Karena kondisi ini pula, sering kita simak bagaimana berita tentang terjadinya kekerasan terhadap perempuan menjadi sarana ampuh untuk membakar semangat perlawanan terhadap musuh. Pengalaman kekerasan perempuan erat kaitannya dengan konstruksi tentang peran gender yang hidup dalam masyarakat. Perempuan sering digunakan sebagai tameng (karena perempuan yang lemah tidak boleh diserang) atau sasaran antara (karena perempuan adalah milik suami atau bapak) dalam sebuah skenario penyerangan atau penyelamatan diri. Misalnya, perempuan dipaksa mengungsi dari satu tempat ke tempat lain sebagai 192
tameng agar pasukan yang bertikai dapat berpindah tempat dengan relatif aman. Atau, di tengah penyisiran senjata api dan senjata tajam, warga perempuan disorong ke depan untuk berhadapan dengan aparat keamanan karena keyakinan bahwa perempuan tidak akan mungkin dianggap berbahaya. Begitu banyak perempuan terjepit di tengahtengah para pihak yang bertikai dengan tuduhan sebagai pengkhianat sematamata karena mereka telah menyiapkan makanan bagi orang yang dianggap musuh. Perempuan macam apa saja yang menjadi sasaran kekerasan dalam sebuah situasi konflik bersenjata? Apakah mereka melulu perempuan yang pasif dan tidak berpihak? Cukup banyak perempuan yang memainkan peran aktif dalam konflik, apakah itu sebagai perempuan petempur yang ikut angkat senjata ataupun sebagai perempuan pembela HAM yang menjalankan kerjakerja kemanusiaan. Keduanya menjadi target kekerasan karena aktivitas mereka. Banyak perempuan petempur yang mengalami penyiksaan dalam tahanan, di mana pemerkosaan atau bentuk-bentuk penyerangan seksual lainnya dipakai untuk menaklukkan mereka. Perempuan pembela HAM kerap menghadapi situasi terjepit di tengah pihak yang bertikai karena memberikan bantuan
KITA BERSIKAP
kepada masyarakat korban konflik, menjadi negosiator untuk membebaskan sandera, atau menjadi pendamping bagi perempuan korban kekerasan. Tidak jarang para perempuan pembela HAM diberikan stigma “Gerwani” untuk mengikis keabsahan kerja mereka di mata masyarakat dan untuk menghalangi keberlanjutan aktivitas mereka. Walaupun kegiatan para perempuan pembela HAM tidak ada hubungan dengan organisasi Gerwani yang sudah lama tidak ada lagi, tetapi karena stigmatisasi terhadap organisasi ini tidak pernah diatasi dengan tujuan mematikan aktivisme dan kepemimpinan perempuan. Di tengah peperangan yang kasat mata dan bersifat masif, yang lebih banyak tercatat adalah kekerasan yang terjadi dalam aksi-aksi penyerangan atau dalam bentuk penyiksaan terhadap tahanan. Namun, perempuan tetap tidak luput dari kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga ataupun orang-orang lain yang berada dalam hubungan personal dengannya. Walaupun fokus perhatian publik sering lebih besar diberikan pada tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pihakpihak yang bertikai, termasuk oleh aparat keamanan negara, perlu diingat bahwa perempuan di wilayah konflik
juga masih harus berhadapan dengan kekerasan yang dilakukan oleh anggota komunitasnya sendiri. Kekerasan oleh warga komunitas perempuan sendiri kadang terjadi dengan pembenaran bahwa tindakan pemaksaan dilakukan untuk melindungi perempuan korban itu sendiri (baca: dipaksa kawin dengan pelaku); atau, untuk menegaskan dan membela identitas komunitas (baca: diwajibkan berpakaian mengikuti cara tertentu); ataupun untuk menjalankan tradisi yang, jika tidak dilaksanakan, akan mengancam keberlanjutan kehidupan bermasyarakat (baca: praktik Kawin Cina Buta). Masyarakat memandang perempuan yang telah diperkosa sebagai perempuan yang rusak dan ternoda. Perempuan yang telah diperkosa disandingkan dengan perempuan “baik-baik” yang dibayangkan sebagai perempuan perawan hingga hari perkawinannya dan perempuan yang setia terhadap suaminya sepanjang perkawinan. Perempuan yang tidak memenuhi syarat “perempuan baik-baik” harus menanggung aib karena dianggap telah mencoreng nama baik seluruh keluarga dan komunitasnya, beban yang harus ia tanggung seumur hidupnya. Dalam tradisi budaya-budaya tertentu, aib harus dihindari bukan saja karena menimbulkan malu, tetapi juga mengganggu Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
193
keharmonisan, dan bahkan dapat membawa malapetaka bagi keluarga dan komunitasnya. Karena beban menjaga kesucian diri, keluarga, dan komunitas diletakkan sepenuhnya pada pundak perempuan, tidak jarang perempuan korban malah dipersalahkan atas kejadian yang menimpanya. Mereka dianggap tidak mampu menjaga diri. Dalam kerangka berpikir seperti ini, martabat komunitas akan dapat dipulihkan kembali jika perempuan yang menjadi sumber aib bisa memperoleh kembali statusnya sebagai “perempuan baik-baik” dan bila keharmonisan komunitas kembali tertata. Untuk itu, para pemimpin masyarakat tidak jarang melakukan pemaksaan terhadap perempuan korban untuk kawin dengan pelaku kekerasan dan menyelenggarakan upacara adat untuk mengembalikan keharmonisan sosial. Di tengah himpitan beban tersebut umumnya perempuan korban kekerasan – terutama kekerasan seksual – lebih sering memilih untuk bungkam walaupun itu berarti ia harus menanggung dampak dari kekerasan tersebut dalam kesendirian. Hal ini merupakan pilihan yang bisa dipahami karena beban sosial yang harus ditanggung seorang perempuan korban kekerasan mungkin bisa lebih besar daripada kesakitan fisik yang dialaminya.
194
Tentang Pemisahan yang Menyesatkan Pengalaman menyikapi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan di situasi konflik mengajak kita untuk mencermati dengan lebih seksama pemisahan antara ruang privat dan publik. Pemisahan ini menimbulkan kerentanan khusus perempuan pada kekerasan. Ruang publik diasumsikan sebagai tanggung jawab laki-laki, sedangkan ruang privat dianggap tanggung jawab perempuan. Dengan demikian, perempuan yang memainkan peran publik, yang dianggap bukan sebagai perpanjangan peran domestiknya, dituding melanggar kodrat, dan patut dihukum. Perempuan yang berdikari dianggap menyalahi fungsinya sebagai pendamping laki-laki sehingga perlu ditundukkan. Dalam situasi konflik, penyiksaan seksual terhadap perempuan yang dituduh menjadi kekuatan pemberontak adalah upaya menegaskan kembali bahwa peran perempuan adalah di dalam rumah tangga, bukan di ranah politik. Di pihak lain, perempuan bisa juga dihukum sebagai pengkhianat atau disiksa justru karena memainkan peran konvensionalnya di ruang privat, yaitu memberi makan bagi suami atau keluarganya, sementara sang suami atau anggota keluarga kebetulan adalah bagian dari kelompok musuh.
KITA BERSIKAP
Pemisahan ruang publik dan privat, yang sesungguhnya tidak sesuai dengan pengalaman nyata perempuan, menimbulkan kerentanan khusus perempuan pada kekerasan. Perempuan pekerja di kebun sawit Korindo, Papua (Papua, 2009; KP)
Pemisahan ruang privat dari ruang publik juga memberi corak tersendiri terhadap bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konflik. Misalnya, perempuan dipaksa untuk menjadi objek seksual bagi laki-laki bersenjata secara jangka panjang dan sekaligus dipakai untuk melakukan kerja-kerja perawatan kerumahtanggaan si pelaku kekerasan.
Lembaga perkawinan dimanfaatkan – atau tepatnya disalahgunakan – sebagai sarana untuk mengecohkan masyarakat dan mengaburkan nilai kejahatan dari tindakan tersebut, yang sesungguhnya adalah perbudakan seksual. Pemisahan ruang privat dari ruang publik juga bisa memunculkan ketidakmampuan kita mengenali keterkaitan antar dua ruang ini dalam pertarungan kuasa yang terjadi pada situasi konflik. Catatan tentang kasuskasus kekerasan di dalam rumah tangga di situasi konflik menunjukkan ekspresi dan dampak perang tidak berhenti di ruang publik. Laki-laki yang kalah dalam perang di luar menggunakan ruang privatnya di rumah untuk memperoleh kembali keyakinan akan adanya daya kendali pada dirinya, setelah gagal mempertahankannya di luar rumah. Misalnya saja dalam kasus pemerkosaan dalam perkawinan di pengungsian, sejumlah korban mengungkapkan bahwa tindakan suami memaksa hubungan seksual adalah karena rasa tertekan mereka akibat konflik. Para istri tidak bisa menolak karena khawatir mendorong suaminya berselingkuh dan menimbulkan keretakan di dalam keluarga. Karena sifatnya privat, maka kasus serupa ini lebih sering dijadikan obrolan selingan untuk mengundang tawa daripada ditangani secara Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
195
efektif. Sejumlah organisasi yang melakukan pendampingan di komunitas memperlakukan kasus ini sebagai persoalan komunikasi antar pasangan, sehingga pemahaman tentang persoalan ini dan penanganannya terputus dari dinamika konflik bersenjata di sekitarnya. Pemisahan ruang publik dan privat senantiasa diikuti dengan penilaian bahwa kekerasan di ruang privat kalah penting dibanding kekerasan di ruang publik atau oleh aparat negara. Contohnya adalah kasus eksploitasi seksual oleh aparat keamanan yang bermula dari hubungan berpacaran, meyakinkan perempuan itu untuk berhubungan seksual dengan janji akan menikahinya dan kemudian, hampir selalu, mengakhiri hubungan tersebut tanpa memedulikan stigma dan beban lainnya yang harus ditanggung perempuan akibat hubungan mereka. Banyak pihak menganggap kasus semacam ini bukan pelanggaran HAM melainkan sekadar persoalan ingkar janji antara dua individu dalam suatu hubungan “suka sama suka”. Dalam konteks politik praktis, pemisahan ini ternyata memudahkan para politisi, yang umumnya laki-laki, untuk menggunakan masalah-masalah yang dianggap privat, seperti perkawinan, perilaku perempuan, dan pornografi, semata sebagai alat negosiasi untuk menata keseimbangan 196
antar kekuatan-kekuatan sosial politik (balance of power) yang sedang saling bertarung. Karena seluruh kontinum kekerasan terhadap perempuan – dari yang terjadi di ruang privat hingga di ruang publik – tidak terintegrasi dalam upaya-upaya penyelesaian dan pencegahan konflik, maka perempuan cenderung terus mengalami kekerasan meskipun konflik telah usai. Kekerasan yang dialami perempuan pasca konflik sekadar berubah bentuk: penyiksaan di tahanan menjadi kekerasan dalam rumah tangga; dari sebagai sasaran antara oleh musuh dalam penyerangan menjadi sandera dari ekspresi komunitasnya tentang kesucian dan moralitas. Karena kekerasan terhadap perempuan berakar pada diskriminasi berbasis gender, maka penanganan kekerasan tanpa sistem pertanggungjawaban dan mekanisme pencegahan yang efektif akhirnya menjadi sarana yang semakin meneguhkan relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Situasi ini akan mengurangi, bahkan mengingkari, kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dan setara dalam membangun kembali masyarakat pada masa pasca konflik. Akibatnya, seluruh upaya untuk menata kembali sistem tata negara agar lebih demokratis
KITA BERSIKAP
tidak akan menyentuh realita ketidakadilan yang dialami perempuan, separuh dari jumlah penduduk negeri ini. Pemisahan ruang privat dan publik adalah sarana yang efektif bagi pelaku untuk melepaskan diri dari tuntutan pertanggungjawaban. Impunitas, yang dimaknai sebagai “situasi dimana pelaku pelanggaran tidak mempertanggungjawabkan tindakannya” terjadi ketika masyarakat sendiri ikut membenarkan bentukbentuk tertentu dari kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, bagi perempuan, impunitas yang adalah sarana efektif untuk menahan perempuan dalam posisi nomor dua mempunyai pijakan yang kokoh dalam patriarki. Jadi, apa yang dimaksudkan dengan penanganan kekerasan terhadap perempuan secara tuntas sampai akar-akarnya? Artinya, kita tidak berhenti pada upaya mendorong pertanggungjawaban oleh pelaku dan mendukung pemulihan hak-hak korban, tetapi juga bekerja untuk memastikan agar pola-pola kekerasan yang berlaku sekarang tidak akan berulang lagi di masa depan. Caranya adalah dengan mengatasi akar-akar dari kekerasan, yaitu segala bentuk diskriminasi yang tertanam dalam berbagai aspek kehidupan.
Kerja keras kelompok perempuan mendesak perlindungan dari kekerasan di dalam rumah tangga berhasil melahirkan UU No. 23/2004. (Jakarta, 2004; KP)
Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
197
Dengan demikian, penanganan kekerasan terhadap perempuan hingga ke akar-akarnya mencakup penegakan nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan dalam seluruh aspek dan dimensi kehidupan. Hanya ketika nilainilai ini berlaku sama di dalam kehidupan pribadi (ranah privat) maupun di dalam kehidupan publik, baru ada kemungkinan bahwa agenda penghapusan segala bentuk kekerasan sungguh bisa dicapai. Penegasan negara pada hak perempuan dengan kehadiran UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan intepretasi Komite Melawan Penyiksaan di Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa pembiaran pada kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk penyiksaan merupakan contoh-contoh penerapan nilai-nilai tersebut secara setara. Keberagaman perempuan dan laki-laki Indonesia adalah fakta sosial yang tidak dapat dipungkiri. Keberagaman dalam bangsa Indonesia dijamin oleh Konstitusi sebagai landasan bernegara dan dirayakan oleh seluruh bangsa sebagai kekayaan bersama. Adalah tanggung jawab negara untuk memelihara dan menjaga berkelanjutannya. Tanpa jaminan tersedianya ruang-ruang aman bersama yang tidak dimiliki secara eksklusif oleh kelompok atau golongan masyarakat tertentu, maka kekerasan 198
dan konflik akan terus menghantui kita. Semakin luas dan jelas batasbatas ruang bersama ini, semakin tinggi kapasitas bangsa untuk mengelola keberagamannya. Adalah tanggung jawab negara untuk merawat dan melindungi ruang-ruang bersama ini. Bagi perempuan, ruang-ruang bersama tersebut adalah tempat untuk menjadi dirinya sesuai hati nurani, terbebas dari tuntutan komunitas untuk mewakili nilainilai dan kebiasaan-kebiasaan mereka melalui cara perempuan berpakaian, berperilaku, atau berbicara. Untuk menjamin tidak terjadinya kekerasan terhadap perempuan, perempuan perlu mempunyai kebebasan untuk memilih identitas dan jati dirinya yang tidak selalu statis sebab bisa berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Selain itu, perempuan membutuhkan ruang gerak yang cukup besar agar dapat berdikari untuk berjuang bagi diri, keluarga, dan/ atau komunitasnya, sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan dan kepentingannya. Penanganan kekerasan terhadap perempuan secara tuntas menuntut pengakuan dan perlakuan perempuan bukan pertama sebagai istri atau ibu, melainkan sebagai warga negara yang berdaulat dan yang mempunyai peran yang berbeda-beda dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk
KITA BERSIKAP
kemungkinan sebagai kepala keluarga, istri, dan ibu secara sekaligus. Kewargaan perempuan juga melintasi batasbatas negara, sebagai warga dunia, di mana perjuangan untuk keadilan gender dan hak-hak asasi perempuan juga dilancarkan. Peran-peran politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dimainkan beragam perempuan di ranah publik, membutuhkan langkahlangkah khusus untuk didukung dan berkembang. apalagi mengingat begitu besarnya upaya-upaya pembatasan yang dilancarkan akhir-akhir ini terhadap perempuan yang melepaskan diri dari peran-peran domestiknya atau yang memilih untuk memijakkan kakinya secara kokoh di dua dunia sekaligus, dalam kehidupan domestik kerumahtanggaan maupun dalam kehidupan publik di masyarakat atau negara. Tanpa adanya jaminan terhadap kedaulatan perempuan sebagai warga, di tingkat nasional dan global, maka perempuan akan terus rentan terhadap tindak kekerasan yang dilancarkan untuk menghukum perempuan yang dianggap melawan “kodrat”nya.
Tentang Kesejarahan Perempuan Berpolitik Pada Bab II, kita mengetahui bahwa sejak saat Indonesia mulai dibayangkan
di masa kolonial, perempuan sudah ikut aktif mengembangkan gagasangagasan tentang kebangsaan dan keperempuanan. Gagasan-gagasan ini bersifat unik dan otentik karena dibangun dari pengalaman khas perempuan pada zamannya dan berdasarkan keyakinan bahwa perempuan adalah soko guru peradaban (lihat kutipan surat Kartini tertanggal 21 Januari 1901, di Bab II). Berdasarkan gagasan-gagasan ini, sejumlah perempuan pemimpin memprakarsai inisiatif-inisiatif baru, seperti membuka sekolah-sekolah khusus untuk perempuan. Dalam bayangan mereka, perempuan yang berpengetahuan cukup – berkepandaian sesempurnasempurnanya sebagai [mana] kaum bapak (Sri Mangoensarkoro, Ketua Kongres Perempuan Indonesia II, tahun 1935) – menyandang kewajiban terhadap berkembangnya budi, kesejahteraan, dan kemajuan bangsanya. Ketika Indonesia sudah merdeka dan mempunyai kebebasan berpolitik yang seluas-luasnya, organisasi-organisasi perempuan mulai merumuskan agenda-agenda perjuangan yang khusus dikembangkan berdasarkan analisis mereka tentang kebutuhankebutuhan dan kepentingan spesifik perempuan. Tetapi, tidak lama kemudian, kemandirian organisasi-organisasi
Perempuan terlibat sejak awal dalam perumusan kebangsaan. Maria Ulfah Santosa mengikuti rapat KNIP. (Malang, 1947; CAS Oorthuys/nifa, coll. Nederlands foto museum)
Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
199
perempuan diuji ketika agenda mereka dianggap bertentangan atau tidak menguntungkan bagi kepentingan politik nasional. Contohnya, pada Bab II dijelaskan bagaimana tuntutan menolak poligami yang diangkat oleh banyak organisasi perempuan kemudian, setelah perdebatan panjang, akhirnya ditanggalkan atas permintaan para pemimpin nasional laki-laki. Alhasil, poligami bersyarat menjadi kompromi politik yang diambil oleh gerakan perempuan pada masa itu. Hingga saat ini, setengah abad kemudian, poligami masih menjadi isu kontroversial yang hangat diperdebatkan dan kompromi (poligami bersyarat) yang tercantum dalam UU Perkawinan tentang soal ini masih terus dipertanyakan dan digugat. Bab II menggambarkan suasana hati gerakan perempuan dalam dinamika perpolitikan pada saat pemilu tahun 1955. Mereka resah dengan kondisi terbawa dalam tarik-menarik antar partai politik, tetapi tidak kuasa keluar dari jeratan ini. Sementara itu, partaipartai politik tampak giat menggalang dukungan perempuan, tetapi tidak bekerja untuk memajukan tuntutantuntutan perempuan. Hampir setiap partai membentuk sayap perempuan sekadar untuk menggalang suara bagi partai. Situasi ini tidak jauh berbeda dengan keluhan-keluhan yang 200
diungkapkan oleh para perempuan calon anggota legislatif pada pemilu-pemilu mutakhir pasca Orde Baru, setengah abad kemudian. Setelah melakukan kompromi-kompromi politik yang akhirnya menciptakan kerancuan tentang penegakan hakhak perempuan, akhirnya pada awal 1960-an, gerakan perempuan menemui kebuntuan. Mari kita simak penjelasan pada Bab II, hal. 30 : Walaupun di tingkat bawah kerja sama antar organisasi perempuan masih berlanjut, di tingkat nasional ketegangan antarpimpinan organisasi menguat. Akibatnya, sangat sulit untuk menelurkan satu agenda terpisah politik perempuan. Perbincangan tentang isu-isu pokok seperti permaduan, perceraian, perkawinan anakanak, atau perdagangan anak dan perempuan, demikian juga isu-isu sosial ekonomi yang menuntut keterlibatan negara, semakin jarang terjadi karena gerakan perempuan disibukkan dengan upaya meredakan ketegangan di dalam tubuhnya dan menyesuaikan diri dengan perkembangan politik nasional yang semakin genting.
KITA BERSIKAP
Selanjutnya dijelaskan bahwa, akhirnya, gerakan perempuan, yang lahir bersama gerakan nasionalis, tidak bisa melanjutkan perbincangan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan di dalam tubuhnya dan untuk membangun kekuatan besar antara perempuan. Dengan demikian, gerakan perempuan kehilangan daya untuk mengatasi persoalan-persoalan besar yang dialami perempuan Indonesia.
perempuan dalam kancah perpolitikan nasional pada 195-0an hingga 1960an? Dalam situasi saat ini ketika peluang perempuan berpartisipasi dalam kancah perpolitikan nasional dan daerah menjadi semakin besar, kiranya gerakan perempuan dan politisi perempuan harus hati-hati agar tidak terjebak dalam situasi-situasi yang tidak menguntungkan perempuan, sebagaimana yang pernah terjadi separuh abad yang lalu.
Apa pembelajaran yang dapat sekarang kita petik dari seluk-beluk perjuangan
Kompromi yang menomorduakan isu-isu utama gerakan perempuan
demi kepentingan politik nasional, sebagaimana dulu, tidak kondusif bagi terpenuhinya agenda penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak-hak asasi perempuan pada abad ke-21 ini. Berbagai realitas pahit yang dialami perempuan dalam berbagai situasi konflik sepanjang empat dasawarsa terakhir – seperti pemerkosaan sebagai alat perang, kerentanan perempuan muda terhadap eksploitasi seksual oleh aparat keamanan, perbudakan seksual, dan pembungkaman perempuan korban
Kemandirian organisasi perempuan diuji ketika agenda mereka berhadapan kepentingan politik nasional. Pertemuan perempuan pejuang kemerdekaan bersama Ibu Negara, Tien Soeharto. (Jakarta, 1975; Antara)
Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
201
– membutuhkan konsentrasi dan analisis yang utuh, bukan hanya dari kaum perempuan melainkan dari bangsa dan negara secara menyeluruh. Perdebatan saat ini yang sedang berlangsung dalam keterkaitan dengan pengaturan oleh negara terhadap cara berpakaian perempuan, perilaku sosial perempuan yang belum menikah, dan seksualitas perempuan menunjukkan bahwa perempuan dan konsep keperempuanan dalam kebangsaan telah kembali menduduki posisi sentral pada perpolitikan nasional. Artikulasi kepentingan khas perempuan, kepemimpinan perempuan dalam berbagai bidang, serta terintegrasinya isu perempuan sebagai bagian sentral dari proyek-proyek nasional negara-bangsa menjadi kebutuhan yang pemenuhannya tidak bisa ditunda-tunda lagi. Bagaimana memastikan agar gerakan perempuan dan gerakan keadilan gender yang lebih luas dapat belajar dari jatuh-bangun para pendahulunya dan dapat memenuhi panggilan zaman ini dengan sebaikbaiknya?
202
Arah ke Depan Adil baru ada apabila pelaku meminta maaf kepada saya dan kepada korbankorban lain atas apa yang mereka lakukan di masa lalu. Pelaku dihukum sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan terhadap saya, sesuai dengan hukum yang berlaku. [Ada] jaminan hal yang terjadi pada saya tidak terjadi lagi pada orang lain, [dan] saya mendapat bantuan yang cukup sehingga bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik . . . korban penyiksaan seksual di Aceh, Laporan Komnas Perempuan, Mencari dan Meniti Keadilan, hal. 29
Agar dapat keluar dari belenggu yang diwariskan dari empat dasawarsa kekerasan terhadap perempuan dalam perjalanan bangsa Indonesia, maka langkah ke depan yang digariskan perlu mencakupi pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan; penegasan posisi sentral perempuan dalam visi kebangsaan dan tata kenegaraan; dan, pengembangan pemahaman publik, termasuk generasi penerus, di tingkat nasional dan global, tentang kegagalan dan keberhasilan dari sistem kuasa dan kelola yang telah dibangun untuk membela martabat dan hak-hak asasi setiap manusia tanpa
KITA BERSIKAP
kecuali. Jaminan ketidakberulangan hanya bisa dicapai jika kita punya bayangan baru tentang seluruh tatanan kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Bayangan baru ini termasuk tentang Indonesia yang merupakan milik bersama semua golongan masyarakat; tentang sistem ekonomi yang adil bagi semua; tentang pola berpolitik yang demokratis; dan tentang konsep pertahanan yang mengutamakan ketahanan manusia (human security). Langkah pertama yang diambil haruslah ditujukan kepada para korban dan upaya pemenuhan hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Sedangkan penegasan posisi sentral perempuan serta pemahaman publik dan generasi penerus merupakan bagian dari jaminan untuk memastikan ketidakberulangan.
Kebenaran dan Pengakuan Menurut standar internasional terkait upaya memutus tali impunitas, hak untuk mengetahui kebenaran tentang peristiwa-peristiwa kejahatan keji yang telah berlalu, beserta sebab-sebab dan akibatnya, adalah hak asasi setiap manusia. Bagi para korbannya, hak atas kebenaran ini tidak bergantung pada
ada atau tidaknya proses hukum terkait kasusnya. Untuk kejahatan-kejahatan keji yang berbasis gender, yang mana korbannya adalah perempuan, kunci kebenaran bisa berada pada dua pihak saja: kesaksian korban dan pengakuan pelaku. Karena pernyataan laki-laki dinilai lebih utama daripada kesaksian perempuan, tidak jarang perempuan korban memilih untuk bungkam. Dalam menghadapi situasi ini, Komnas Perempuan berupaya untuk mendengarkan alasan korban untuk bungkam. Dalam proses pengungkapan kasus kekerasan terhadap perempuan, kami menemukan bahwa banyak korban yang bungkam umumnya mengalami pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Ada korban yang masih merasa trauma sehingga tidak mampu menceritakan apa yang ia hadapi, dan ada yang menolak untuk bercerita karena akan membuatnya merasa terluka kembali. Ada yang ragu bahwa sanak keluarga, terutama suami dan anak, tidak akan mengerti apa yang ia alami sehingga ia khawatir mereka akan meninggalkannya sendirian. Ada korban yang khawatir bahwa pengungkapan kekerasan tersebut akan menyebabkan diri dan keluarganya dikucilkan dari masyarakat. Di dalam situasi di mana aparat negara menjadi pelaku kekerasan, atau diduga terlibat, Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
203
korban khawatir bahwa pengungkapan kasus akan menyebabkan keluarganya menjadi target kekerasan. Kekhawatiran ini pula yang membuat perempuan yang menjadi korban kekerasan karena menjadi ataupun diduga sebagai anggota Gerwani untuk terus bungkam selama 40 tahun lamanya. Mereka khawatir bahwa keluarganya akan mengalami pengucilan dan bahkan kehilangan mata pencaharian akibat memberikan kesaksian tentang kekerasan yang mereka alami. Dengan pertimbanganpertimbangan ini, sejumlah korban memilih untuk memutus hubungan dengan masa lalunya sendiri agar tidak diingatkan kembali tentang kekerasan yang ia alami. Ada yang menunggu hingga anak-anaknya dewasa, suaminya meninggal dunia, atau ketika ia merasa tidak ada lagi yang perlu dipertaruhkan dalam hidupnya, sebelum ia mau mengemukakan pengalamannya. Ada yang hanya bersedia menceritakan kepada pendamping, yaitu orang yang dipercayai untuk membantunya bangkit, tanpa pernah ingin ada orang lain yang tahu.
Saya tidak cerita kepada suami. Saya sangat takut dan merasa malu. Saya tidak berani ambil resiko dan tidak berani membayangkan kalau suami saya tahu . . . Mungkin akan terjadi perceraian. Malu kalau terjadi 204
Penerimaan masyarakat, bagi perempuan korban, adalah sama pentingnya dengan proses peradilan. Saling menguatkan perempuan korban kekerasan dalam proses menuju public hearing CAVR. (Timor Leste, 2003; CAVR)
KITA BERSIKAP
perceraian dan masyarakat nanti akan cari tahu [apa alasannya]. Kepada anak saya pun tidak cerita. Terlalu banyak nanti masalahnya. Biarlah saya simpan sendiri. perempuan korban penyiksaan seksual di masa konflik Aceh, Mencari dan Meniti Keadilan, laporan Komnas Perempuan, hal. 18
Ada tidaknya rasa aman untuk bercerita adalah kunci utama bagi perempuan korban dalam memutuskan untuk memberi kesaksian atas kejadian yang menimpanya. Kondisi ini dapat diciptakan dalam ruang-ruang personal yang dihadiri oleh orang-orang yang saling kenal dan yang membahas kasuskasus tertentu sesuai relevansinya bagi orang-orang ini. Rasa aman korban untuk bersaksi juga penting untuk diciptakan secara politik dalam ruangruang publik melalui pernyataanpernyataan resmi yang mengundang keterbukaan dan penerimaan masyarakat, dan untuk memperkecil peluang bagi pelaku untuk menghalangi pengungkapan tentang tindakannya. Dalam kedua konteks ini, kendalakendala budaya yang justru menghakimi dan menghukum para perempuan korban kekerasan seksual sebagai sumber aib bagi keluarga, komunitas, dan bangsanya harus segera dihilangkan. Masyarakat umum perlu meyakini bahwa
sikap menyalahkan korban adalah suatu tindakan diskriminatif terhadap korban dan merugikan kepentingan bersama untuk menegakkan kebenaran dan keadilan bagi semua. Setelah perempuan korban bersaksi dan menyatakan kebenaran atas dasar pengalamannya, maka dibutuhkan pengakuan bahwa pengalamannya adalah bagian yang akan melengkapi kebenaran yang lebih luas. Dalam skala kebangsaan, pengakuan terhadap kebenaran yang telah terungkap baru benar-benar bermakna jika diikuti dengan langkah-langkah seperti penulisan ulang sejarah bangsa dan penyebarluasannya melalui bahan ajar di sekolah-sekolah, ataupun di lokasi-lokasi memorialisasi yang memperingati saat-saat penting dalam perjalanan bangsa.
Rasa Adil dan Peradilan Menurut acuan internasional tentang keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan, para korban diharuskan mendapat perlakuan yang manusiawi dan menjunjung martabat dan harga dirinya. Akses korban pada sistem peradilan harus diupayakan secara khusus agar mereka bisa memperoleh penanganan segera, dan bantuan kepada korban dalam seluruh proses peradilan wajib diberikan. Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
205
Bagi perempuan korban kekerasan, pada umumnya pengadilan dianggap jauh, asing, dan kadang menakutkan. Khusus untuk para korban kekerasan seksual di Indonesia, keadilan melalui proses hukum dan peradilan merupakan suatu mimpi yang jauh di sana. Sebagian banyak perempuan korban pemerkosaan di Indonesia tidak dapat memperoleh keadilan melalui sistem peradilan pidana. Ketentuan hukum yang ada dalam lembar peraturan perundangan tentang pemerkosaan, baik itu definisi maupun syarat pembuktian, sama sekali tidak peka terhadap kerentanankerentanan perempuan. Ketentuan itu adalah produk pemikiran satu abad lalu yang sudah ditinggalkan oleh negaranegara lain agar dapat memenuhi rasa adil masyarakat yang terus berkembang sepanjang zaman. Agar keadilan dapat terwujud, perubahan harus dilakukan mengacu pada rasa adil bagi korban. Sistem hukum harus diperbaiki, baik di sisi substansi, struktur, dan budaya hukum, agar lebih tanggap terhadap kerentanankerentanan khas perempuan dalam mencari keadilan. Perbaikan ini adalah keniscayaan yang tidak lagi bisa ditawartawar. Cara penyelesaian kasus yang sering digunakan di berbagai situasi konflik adalah mekanisme adat atau bentuk 206
mediasi tradisional lainnya. Penyelesaian yang dimaksud biasanya menuntut pelaku membayarkan denda atau mengawini korbannya. Pembayaran denda adat oleh pelaku bertujuan untuk membersihkan aib masyarakat semata, sedangkan mengawini korban dianggap sebagai langkah yang tepat untuk melindungi si perempuan korban dari stigma sebagai sumber aib bagi keluarga dan komunitasnya. Tidak jarang bahwa pelaku menerima cara penyelesaian ini karena bisa membebaskan diri dari pertanggungjawaban secara hukum. Penanganan serupa ini adalah proses reviktimisasi korban karena menguatkan diskriminasi terhadap perempuan, tidak memberikan ruang bagi perempuan korban untuk mengungkan rasa keadilan yang ia butuhkan, dan menyebabkan mereka rentan pada berbagai kekerasan lainnya, termasuk penelantaran setelah perkawinan. Penerimaan masyarakat adalah hal yang penting dalam upaya memenuhi rasa adil korban, terutama bagi perempuan korban kekerasan seksual. Penerimaan keluarga dan lingkungannya adalah landasan dukungan bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk pulih dan membangun hidup baru. Artinya, perubahan pola pikir masyarakat tentang kesucian perempuan adalah sama penting dengan pembaruan sistem hukum dalam memastika akses keadilan
KITA BERSIKAP
bagi perempuan korban kekerasan.
Pemulihan dan Pemberdayaan Standar internasional terkait korban pelanggaran berat HAM menyebutkan bahwa para korban semestinya mendapatkan pemulihan (atau reparasi) yang cukup, efektif, dan segera sebagai bagian dari upaya untuk mendapatkan keadilan. Dukungan pemulihan bagi korban harus sepadan dengan beratnya pelanggaran yang dialami dan besarnya dampak yang diakibatkannya. Tercakup di sini adalah mengembalikan kondisi awal korban sebagaimana sebelum ia mengalami peristiwa pelanggaran, misalnya adanya kembali kebebasan korban untuk berinteraksi dengan masyarakat luas, untuk menikmati hak-hak asasinya, identitasnya, kewarganegaraannya, pekerjaannya, serta rumah tinggal dan hartanya. Korban berhak atas ganti rugi terhadap dampak-dampak yang bernilai ekonomi, termasuk ketidakmungkinan bekerja karena ia telah menjadi cacat (secara fisik ataupun mental) akibat pelanggaran yang dialaminya. Korban juga seharusnya mendapatkan akses pada layanan medis, psikologis, sosial, dan hukum dalam rangka rehabilitasi dirinya. Salah satu unsur penting dalam proses memulihkan kembali seorang korban
pelanggaran HAM, sesuai standar internasional, adalah rasa puas korban. Kelegaan hati korban bisa diperoleh jika pelanggaran yang dia alami bisa berhenti; ada pengungkapan yang lengkap dan benar kepada publik tentang kejadian yang dialami, tanpa membahayakan keselamatan si korban, keluarga, dan pendampingnya; ada pernyataan resmi atau putusan pengadilan yang menegaskan kembali
Pengungkapan kebenaran adalah juga ruang untuk penguatan kapasitas perempuan dari komunitas korban. Diskusi di salah satu barak dokumentator tentang temuan kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungannya. (Aceh, 2005; KP)
Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
207
208
harga diri, reputasi dan hak-hak korban; ada pernyataan maaf, termasuk pengakuan atas fakta-fakta mengenai apa yang sesungguhnya telah terjadi dan penerimaan tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan; adanya sanksi yang diberikan terhadap pelaku pelanggaran; ada upaya-upaya memperingati peristiwa yang terjadi dan langkah-langkah memberikan penghargaan kepada para korbannya; dan, ada pemaparan yang akurat tentang pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam materi-materi ajar di seluruh tingkat pendidikan.
dan jurnalis; ada pendidikan HAM dan politik dalam semua sektor masyarakat dan aparat keamanan; ada kode etik dan perilaku yang kondusif bagi HAM dalam institusi-institusi publik, termasuk lembaga-lembaga penegak hukum, media, medis, dan perusahaanperusahaan; ada mekanisme pemantauan yang efektif terkait konflik-konflik sosial dan kesepakatan-kesepakatan penyelesaiannya; serta, ada upaya pengkajian dan pembaruan hukum dan produk-produk kebijakan lain yang dapat berperan dalam terjadinya pelanggaranpelanggaran berat HAM.
Hal yang selalu disebut oleh para perempuan korban ketika Komnas Perempuan menanyakan apa harapannya ke depan ternyata juga masuk dalam standar internasional tentang hak-hak korban, yaitu adanya jaminan bahwa pelanggaran yang terjadi padanya tidak akan terulang lagi. Jaminan ini hanya bisa diberikan jika ada pembaruan dalam sistem dan lembaga-lembaga keamanan, termasuk ada sistem kontrol yang efektif dan berlakunya standar operasional yang kondusif bagi penghargaan hakhak asasi manusia; ada sistem peradilan yang berfungsi secara independen dan berada di atas kepentingan politik ataupun ekonomi; ada perlindungan yang efektif bagi pekerja kemanusiaan, pendamping hukum, pembela HAM,
Bagi perempuan korban pelanggaran berat HAM berbasis gender, seluruh langkah ini perlu dibangun di atas dan bersama rangkaian upaya dan gerakan yang bertujuan untuk mengubah nilainilai masyarakat dan peran institusiinstitusi agar tidak lagi melanggengkan pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara dan tidak lagi membuat pemisahan antara privat dan publik yang memojokkan perempuan. Perubahan serupa ini dibutuhkan untuk memastikan upaya pemulihan korban tidak melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Sudah terlalu banyak inisiatif “perlindungan” yang sesungguhnya adalah pembatasan ruang gerak dan kedaulatan diri korban dan perempuan
KITA BERSIKAP
secara umum. Contohnya, ada situasi di mana tokoh masyarakat, orang tua, dan/atau pemerintah mengeluarkan aturan yang membatasi cara berpakaian perempuan korban, yang memaksa korban untuk mengawini pelakunya, dan yang melarang korban untuk berinteraksi secara leluasa dengan tujuan “melindungi” sang perempuan korban. Langkah-langkah pemulihan bagi perempuan korban harus sejalan dan tidak terpisah dari upaya-upaya yang lebih luas untuk pemberdayaan perempuan secara politik, sosial dan juga ekonomi. Pada akhirnya, pemulihan perempuan korban kekerasan baru bisa tercapai secara nyata ketika komunitasnya dan institusi-institusi sosial dan negara yang mempengaruhi hidupnya, adalah juga bagian dari proses pembaruan tatanan negara-bangsa yang lebih luas yang menjamin kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan bagi semua warganya tanpa kecuali.
Dari Iboe Bangsa Menuju Perempuan Warga Bagaimana perempuan Indonesia membayangkan perannya dalam mencapai cita-cita bangsa untuk menciptakan kehidupan yang adil, sejahtera dan damai bagi semua?
Dulu, ketika Indonesia baru lahir, para pemimpin perempuan membayangkan perannya sebagai ibu bagi bangsanya. Sekarang, lebih setengah abad kemudian, setelah melampaui periode penuh kekerasan yang terjadi sejak awal rezim Orde Baru pada tahun 1965 hingga hari penutupnya pada 1998, perempuan Indonesia semakin sadar betapa penting untuk menegaskan bahwa peran perempuan tidak terbatas sebagai ibu, apalagi sebagai istri semata. Kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan yang lahir di zaman Orde Baru melembagakan pembakuan peran perempuan sebagai ibu dan sebagai istri yang pendamping bagi suami yang kepala keluarga. Pembakuan peran ini telah mengakibatkan pembatasan terhadap ruang gerak dan peluang berkembang bagi perempuan Indonesia sebagai aktor ekonomi, politik, dan sosial budaya dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menyimak data statistik tentang Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia dan capaian tujuan-tujuan MDGs (Millennium Development Goals) sejauh ini, maka jelaslah bahwa yang dirugikan oleh pembatasan-pembatasan ini bukan hanya kaum perempuan tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Pada kenyataannya, perempuan Indonesia abad ke-21 menjalani peran Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
209
yang beragam. Dari pengalaman kekerasan selama empat dekade terakhir di berbagai pelosok bumi Indonesia, kita mengetahui bahwa perempuan menjadi sasaran kekerasan dan penyerangan karena perannya sebagai pekerja kemanusiaan, sebagai pasukan yang ikut bertempur, sebagai anak muda yang tidak bersuami, selain sebagai istri atau ibu dari anggota-anggota kelompok musuh. Banyak perempuan juga pencari nafkah utama bagi keluarganya, bahkan tidak jarang sebagai orang tua tunggal bagi anak-anaknya. Karenanya, mereka perlu bekerja di dalam dan di luar rumah tangganya, siang dan malam, dan bahkan melintasi batas-batas negara, terutama sebagai pekerja rumah tangga negara-negara Asia dan Arab. Ada juga sejumlah perempuan yang menduduki posisi-posisi kepemimpinan di institusiinstitusi masyarakat dan negara dimana mereka dapat merealisasikan gagasan-gagasannya dan melakukan penyikapannya tentang keadilan, demokrasi, kesejahteraan, kebangsaan, dan kemanusiaan dalam tata kehidupan keluarga, sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Kenyataan ini menuntut kita, sebagai perempuan, sebagai publik yang berhati nurani, dan sebagai warga yang mau berkiprah, untuk menegaskan keberagaman perempuan dan keberagaman peran-peran perempuan.
210
Jika peran sebagai “Ibu Bangsa” sudah tidak lagi tepat untuk Indonesia abad ke-21, apa istilah yang bisa mencerminkan keberagaman dan kedaulatan perempuan di tengah jatuhbangunnya kehidupan berbangsa dan bernegara? Kewargaan merupakan suatu konsep yang dapat membebaskan kita dari pembedaan-pembedaan yang kaku dan mengekang antara publik dan privat (domestik) ataupun antara negara dan bukan-negara. Konsep kewargaan pertama-tama menempatkan setiap orang sebagai anggota yang berdiri sama tegak dalam suatu komunitas bersama dan menjadi bagian dari komunitas ini secara sukarela. Komunitas ini bisa sekecil keluarga dan rukun tetangga, bisa juga seluas bangsa yang mempunyai perbatasan dan peradaban umat manusia yang universal. Setiap anggota komunitas adalah sosok yang berdaulat, mempunyai keunikannya masingmasing, yang bersama-sama mengakui dan menyandang tanggung jawab untuk memelihara keberlanjutan dan kegunaan dari kebersamaan ini. Meskipun negara memainkan peran penting, ia bukan satu-satunya pihak yang berwenang dan bermakna. Sebagai warga, seseorang berinteraksi secara berdikari, baik dengan negara maupun dengan komunitas, dalam relasi yang setara melalui jejaring sosial yang majemuk dan dinamis serta
KITA BERSIKAP
melintasi ruang-ruang publik-privat, dan batasan agama, ras, dan suku. Konstitusi memberi jaminan-jaminan negara bagi setiap warganya, sedangkan Deklarasi Universal HAM menegaskan hak-hak asasi dari setiap warga umat manusia. Kaum perempuan juga mempunyai keanggotaan dalam persaudaraan global antarperempuan (sisterhood) yang sedang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi semua. Sebagai perempuan warga yang berkiprah dalam seluruh bidang kehidupan, bagaimana ia harus menyikapi bangsa dan negaranya? Berlajar dari masa lalu, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan atas nama keutuhan bangsa dan kepentingan negara. Sebagai perempuan warga yang berdikari, ia perlu terus berpengetahuan dan bersikap terkait segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya, termasuk
Agar dapat berkiprah secara optimal, perempuan tidak saja membutuhkan kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, tetapi juga bebas dari pembakuan peran ibu dan istri semata. (Jakarta, 2008; Tempo)
Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
211
yang dilakukan atas nama bangsa atau oleh negara. Sebagai perempuan warga dalam batas negara sekaligus dalam komunitas global lintas negara, ia ikut mendorong pertanggungjawaban atas segala tindakan yang melanggar hakhak asasi manusia di mana pun terjadi dan siapa pun korbannya. Perempuan warga membumikan nilai-nilai yang telah menjadi konsensus bersama peradaban manusia, mendukung berkembangnya sistem ekonomi yang adil bagi semua, dan menciptakan tradisi berdemokrasi di rumah hingga di parlemen, dan bersikap terhadap segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Untuk ini, perempuan warga senantiasa membangun kapasitas, keberdayaan dan kekuatannya untuk berjuang demi keadilan dan kesetaraan bagi semua di mana pun ia berada. Akhirnya, warga masyarakat dan negara perlu mengakui kesetaraan dan kontribusi perempuan dalam seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiprah dan pengalaman perempuan, dalam segenap jatuh-bangunnya, perlu masuk dalam sejarah resmi bangsa. Masyarakat perlu menegaskan kesetaraan perempuan dalam berbagai cara, termasuk dengan memastikan keterlibatan yang berarti bagi perempuan dalam proses-proses pengambilan 212
keputusan dan dalam ritual-ritual komunitas adat dan budaya. Bangsa dan negara perlu memastikan bahwa kiprah, pengalaman, dan kepemimpinan perempuan akan terus diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perjuangan dan pergulatan bangsa, dan manusia, untuk menciptakan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan bagi semua.
KITA BERSIKAP
Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
213
214
KITA BERSIKAP
Perempuan warga adalah sosok yang berdaulat, punya keunikannya masing-masing, dan mengakui dan bertanggungjawab untuk memelihara keberlanjutan dan kegunaan dari kebersamaan ini. (Jakarta, 1998; Antara) Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan
215
LAMPIRAN 1
Langkah-langkah Kebenaran, Pemulihan, dan Keadilan untuk Memajukan Penanganan Akar Masalah Empat Dasawarsa Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Usulan Komnas Perempuan November 2009
No. 1
Isu KEBENARAN Peningkatan pemahaman publik dan komunitas korban tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam empat dasawarsa sejarah Indonesia beserta akar-akar masalahnya.
Perbaikan cara pencitraan, sosok, dan peran perempuan dalam berbagai peristiwa penting dalam sejarah Indonesia.
216
Langkah 1 Tahun
Pemerintah mengembangkan bahan ajar tentang sejarah Indonesia di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang meliputi sejarah perjuangan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan sesuai temuan-temuan Komnas Perempuan. Pemerintah dan DPR RI mengesahkan RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi yang peka gender atas dasar masukan dari komunitas korban pelanggaran HAM dan pembela HAM, termasuk kaum perempuan, dan sesuai dengan standar internasional tentang hak-hak korban.
Langkah 5 Tahun
Pemerintah membuat pusat pendidikan sejarah nasional perempuan Indonesia yang melibatkan pelaku-pelaku sejarah perempuan, baik individu maupun organisasi, dalam pengembangan dan pemeliharaannya.
Pemerintah melengkapi pemaparan tentang sosok dan peran perempuan di museum-museum nasional, termasuk di Monas dan Lubang Buaya, dengan menggunakan pengetahuan baru yang diperoleh Komnas Perempuan.
No. 2
Isu
Langkah 1 Tahun
Langkah 5 Tahun
PEMULIHAN Pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi secara cukup, efektif, dan segera bagi perempuan korban pelanggaran berat HAM, sesuai standar internasional.
Presiden RI mengambil langkah khusus, bersama komisi-komisi nasional yang relevan seperti Komisi Nasional Lansia dan Komnas Perempuan, untuk memberikan bantuan pemerintah bagi perempuan korban yang lanjut usia dan lainnya yang membutuhkan bantuan segera.
Pemerintah membentuk dan menjalankan kebijakan yang peka gender tentang kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi berdasarkan pengetahuan yang telah dibangun dan dikembangkan oleh Komnas Perempuan.
Pemenuhan rasa puas dan lega bagi perempuan korban terkait peristiwaperistiwa kekerasan sosial politik di masa lalu.
Presiden RI memberikan pernyataan resmi secara publik untuk membangkitkan kembali harga diri dan martabat para perempuan korban dan keluarganya.
Pemerintah dan masyarakat mendorong dan menguatkan inisiatif masyarakat melakukan kampanye nasional untuk “Berhenti Menyalahkan Korban” yang telah diprakarsai oleh Komnas Perempuan.
Presiden RI mengambil langkah-langkah untuk mencabut kebijakan negara yang mengukuhkan stigma pada korban, termasuk korban perempuan, dan yang menyebabkan korban tidak dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara. Pemberian jaminan dalam bentuk langkahlangkah nyata untuk pencegahan agar tidak berulang lagi.
Pemerintah dan masyarakat memberikan peran publik bagi perempuan korban kekerasan dan perempuan pejuang dari zaman ke zaman dalam upacara-upacara nasional agar mereka dapat ikut membangun kesadaran kritis dan ketahanan bangsa, termasuk pada Hari Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, dan Hari Kartini.
Pemerintah, dengan seluruh jajaran sektoral yang relevan, bersama Komnas Perempuan mengembangkan sistem pemulihan yang komprehensif dan efektif bagi perempuan korban dengan peran aktif masyarakat dan kerjasama lintas institusi.
Pemerintah dan DPR RI mengintegrasikan pengalaman perempuan dan perspektif gender secara komprehensif dalam konsep dan upaya reformasi lembaga-lembaga keamanan dan kepolisian.
Pemerintah mengembangkan mekanisme yang efektif untuk pengkajian, perbaikan, atau pencabutan peraturan-perundangan di tingkat nasional, sektoral, dan daerah guna mencegah segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk perempuan minoritas.
Pemerintah, DPR RI, dan Komnas HAM mengembangkan kerangka hukum dan sistem bagi perlindungan pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM.
217
No. Isu 3
KEADILAN Peningkatan peluang perempuan korban Pemerintah dan lembaga-lembaga penegak kekerasan untuk memperoleh keadilan hukum meluncurkan program nasional untuk melalui proses hukum. kapasitas penegak hukum dalam memberi keadilan pada perkara-perkara kekerasan terhadap perempuan dalam sistem peradilan umum, agama, dan militer serta sistem peradilan ad hoc HAM. Pemerintah dan DPRI RI mendukung penguatan bantuan hukum yang berperspektif gender bagi perempuan korban kekerasan, termasuk melalui pengesahan RUU Bantuan Hukum. Pencegahan reviktimisasi perempuan korban kekerasan yang sedang mencari keadilan.
Pemenuhan rasa adil perempuan korban kekerasan.
218
Langkah 1 Tahun
Langkah 5 Tahun Pemerintah dan lembaga-lembaga penegak hukum mengembangkan standardisasi nasional tentang due diligence untuk penanganan perkaraperkara kekerasan terhadap perempuan sesuai standar internasional.
Pemerintah dan DPR RI merancang dan mengesahkan kerangka hukum nasional untuk memberi perlindungan yang efektif dan adil bagi korban kejahatan, kekerasan, dan pelecehan seksual. Pemerintah dan lembaga-lembaga penegak Pemerintah dan DPR RI menguatkan hukum menyediakan kerangka hukum bagi peran Lembaga Perlindungan Saksi dan peran pendamping korban dalam proses Korban dalam penanganan perkarapersidangan, termasuk melalui kebijakan perkara kekerasan terhadap perempuan Mahkamah Agung. dan penanganan saksi/korban perempuan. Pemerintah mencabut kebijakan Negara yang Negara memberikan sanksi hukum dan mengukuhkan stigma pada perempuan korban administratif yang memadai terhadap dan yang menyebabkan perempuan korban pelaku-pelaku pelanggaran HAM, tidak dapat menikmati hak-haknya sebagai termasuk kejahatan yang berbasis warga negara. gender.
LAMPIRAN 2
DAFTAR BACAAN
Sebagian besar bahan yang tercantum di dalam daftar ini menjadi acuan dan sumber informasi yang sangat membantu dan memperkaya proses penyusunan buku ini. Informasi tentang bahan bacaan lain ditambahkan untuk membantu pembaca yang berniat memperluas dan memperdalam pemahamannya tentang masalah-masalah yang dibahas dalam buku ini. BAHAN UMUM Instrumen-instrumen HAM Terpilih Komisi HAM PBB. 2005. Resolution on Impunity. Human Rights Resolution 2005/81. Majelis Umum PBB. 1999. Declaration on the right and responsibility of individuals, groups and organs of society to promote and protect universally recognized human rights and fundamental freedoms. UNGA Res 53/144. ________________. 2006. Basic principles and guidelines on the right to a remedy and reparations for victims of gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law. UNGA Res 60/147. ________________. 2009. Promotion and protection of all human rights, civil, political, economic, social and cultural rights, including the right to development. A/HRC/12/L.27. Orentlicher, Diane. 2005. Updated set of principles for the protection and promotion of human rights through action to combat impunity. Addendum in the report of the independent expert to update the set of principles to combat impunity. E/CN.4/2005/102/Add.1. United Nations Economic and Social Council. Republik Indonesia. 1958. Ikut serta negara Republik Indonesia dalam seluruh konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Undang-Undang 59 Tahun 1958. _______________. 1984. Undang-Undang 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (CEDAW).
219
_______________. Undang-Undang 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. _______________. 2004. Undang-Undang 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
BAB II Sejarah Pergerakan Nasional dan Sejarah Gerakan Perempuan: Umum Blackburn, Susan. 2009. Perempuan dan negara dalam era Indonesia moderen. Jakarta: Kalyanamitra. Poeze, Harry A. 2008. Di negeri penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600- 1950. Jakarta: KPG dan KITLV. Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman bergerak: Radikalisme rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Suminto, H. Aqib. 1985. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: Pustaka LP3ES. Vreede-DeStuers, Cora. 2008. Sejarah perempuan Indonesia: Gerakan dan pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu. Perjuangan Perempuan pada Masa Kolonial Aisjijah. 1939. Pemandangan terhadap pergerakan kaoem iboe oemoemnja dan Aisjijah choesoesnja. Djakarta: Soeara Aisjijah. Blackburn, Susan. 2007. Kongres perempuan pertama: Tinjauan ulang. Jakarta: Buku Obor dan KITLV Jakarta. Boekoe Peringatan Konggres Perempoean Indonesia II di Djakarta, 20-24 Juli 1935. Djojopuspito, Suwarsih. 2000. Manusia bebas. Jakarta: Penerbit Djembatan. Fitriyanti. 2001. Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatra Barat. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Pane, Armijn. 2008. Habis gelap terbitlah terang. Jakarta: Balai Pustaka. Putra, I Nyoman Darma. 2003. Wanita Bali tempo doeloe: Perspektif masa kini. Gianyar: Yayasan Bali Jani. Toer, Pramoedya Ananta. 2006. Panggil aku Kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
220
Walanda, A.P. Matuli. 1983. Ibu Walanda Maramis: Pejuang wanita Minahasa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Wiriaatmadja, Rochiati. 1985. Dewi Sartika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Perjuangan Perempuan pada Masa Kemerdekaan Kartowijono, Ny. Sujatin. 1982. Perkembangan pergerakan wanita Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu. Martyn, Elizabeth. 2005. The women’s movement in post-colonial Indonesia: Gender and nation in a new democracy. New York: RoutledgeCurzon. Rahayu, Ruth Indiah. 2005. Militerisme Orde Baru dan ideologi koncowingking: Pengukuhan ideologi perempuan Indonesia secara pemaknaan ksatria Jawa. Makalah disajikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme I, Yogyakarta, 17-19 November 2005. Soekarno, Dr. Ir. 1951. Sarinah: Kewadjiban wanita dalam perdjoangan Republik Indonesia. Cetakan ke 2. Jakarta: Jajasan Pembangunan Nasional. Wieringa, Saskia E. 1998. Penghancuran gerakan perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra. Pembentukan Citra Keperempuanan pada Masa Kolonial Locher-Scholten, Elsbeth. 2003. “Morals, harmony, and national identity: ‘Companionate Feminism’ in colonial Indonesia in the 1930s,” Journal of Women’s History, Winter 2003, Vol. 14, Issue 4. ____________________. 2000. “Colonial ambivalencies: European attitudes towards the Javanese household (1900-1942),” dalam Juliette Koning, Marleen Nolten, Janet Rodenburg, dan Ratna Saptari (eds.). Women and households in Indonesia: Cultural notions and social practices. Surrey: Curzon Press, hal. 28-44. Stoler, Laura Ann. 1996. “Carnal Knowledge and Imperial Power: Gender, Race, and Morality in Colonial Asia,” dalam Joan Wallach Scott (ed.). Feminism and history. New York: Oxford University Press, hal. 209-266.
221
BAB III Sejarah Orde Baru, Perempuan pada Masa Orde Baru (Umum) Arief, Sritua dan Adi Sasono. 1987. Modal asing, beban hutang luar negeri, dan ekonomi Indonesia. Jakarta: Penerbit UI. Blackburn, Susan. 2009. Perempuan dan negara dalam era Indonesia moderen. Jakarta: Kalyanamitra. Booth, Anne dan Peter McCawley (ed.). 1986. Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES. Chalmers, Ian dan Vedi R. Hadiz (eds.). 2000. The politics of economic development in Indonesia: Contending perspectives. London dan New York: Routledge. Hadiz, Liza (ed.). 2004. Perempuan dalam wacana politik Orde Baru: Pilihan artikel Prisma. Jakarta: Pustaka LP3ES. Lindsay, Maria Thelma. 1997. Daughters of development: The state and women in Indonesia. Tesis M.A. dari University of British Columbia, Kanada. Moertopo, Ali Mayor Jendral TNI/AD. 1972. Dasar-dasar pemikiran tentang akselerasi modernisasi pembangunan 25 tahun. Jakarta: Yayasan Proklamasi dan Center for Strategic and International Studies. Simpson, Bradley R. 2008. Economists with guns: Authoritarian development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968. Stanford: Stanford University Press. Subono, Nur Iman (ed.). 2000. Negara dan kekerasan terhadap perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan dan the Asia Foundation. Suryakusuma, Julia. 2004. Sex, power and nation: An anthology of writing 1979- 2003. Jakarta: Metafor Publishing. Pemanfaatan Tenaga Kerja Perempuan
Revolusi Hijau dan Industrialisasi Booth, Anne dan Peter McCawley (eds.). 1986. Ekonomi orde baru. Jakarta: LP3ES. Fauzi, Noer. 2003. Bersaksi untuk pembaruan agraria: Dari tuntutan lokal hingga kecenderungan global. Yogyakarta: Karsa, Insist Press, dan Konsorsium Pembaruan Agraria. __________. 1999. Petani dan penguasa: Dinamika perjalanan politik agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Pustaka Pelajar. 222
Mather, Celia E. 1983. “Industrialization in the Tangerang Regency of West Java: Women Workers and the Islamic Patriarchy,” Bulletin of concerned Asian scholars 15: 2-7. Mubyarto. 1983. Politik pertanian dan pembangunan pedesaan. Jakarta: Sinar Harapan. Muhajir, Anton. 2009, 28 Mei. Revolusi hijau, menjerat petani dengan racun. http:// www.balebengong.net/denpasar/tetangga/2009/05/28/revolusi-hijau- menjerat-petani-dengan-racun.html (diakses 17 November 2009). Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, perempuan, dan pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sunarijati, A. (ed.). 1995. Pekerja wanita, peran ganda dan persamaan hak. Jakarta: Lembaga Wanita, Remaja dan Anak DPP-SPSI dan Friedrich Ebert Stiftung. Buruh Migran Perempuan Krisnawaty, Tatik. 1995. “Pekerja migran perempuan Indonesia: Perlindungan dan kesejahteraannya,” dalam A. Sunarijati (ed.). Pekerja wanita, peran ganda, dan persamaan hak. Jakarta: Lembaga Wanita, Remaja dan Anak DPP-SPSI dan Friedrich Ebert Stiftung. Penataan Tubuh dan Ruang Gerak Perempuan
Perempuan dan Keluarga Berencana Adriana, K. Purwandari, N. K. E. Triwijati (et.al., eds.). 1998. Hak-hak reproduksi perempuan yang terpasung. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dwiyanto, A. dan M. Darwin (eds.). 1996. Seksualitas, kesehatan reproduksi, dan ketimpangan gender: Implementasi kesepakatan konferensi kependudukan Kairo bagi Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, dan The Ford Foundation. Hafidz, Wardah, Adriana Taslim, dan Sita Aripurnami. 1991. Family Planning in Indonesia: a plight for policy reorientation. Dokumen dipersiapkan untuk Konferensi INGI di Washington D.C., 24 April-2 Mei.
223
Mboe, Eva Maria J. 2003. Menjadi akseptor keluarga berencana: Sebuah sorotan etis teologis terhadap pola penerapan program keluarga berencana di Desa Oeekam, Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Skripsi. Kupang: Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana. Sciortino, Rosalia. 1998, Mei. The Challenge of Addressing Gender in Reproductive Health Programs: examples from Indonesia. http://gendwaar.gen.in/sawsg/ text/articles/Gender&Health/Gender13.htm (diakses 30 September 2009).
Organisasi-organisasi Perempuan Kartowijono, Ny. Sujatin. 1982. Perkembangan pergerakan wanita Indonesia. Jakarta: Yayasan Idayu. Wieringa, Saskia. 1998. Kuntilanak wangi: Organisasi-organisasi perempuan Indonesia sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra. _____________. 1998. Penghancuran gerakan perempuan di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra. Bibit-bibit Konflik: Penataan Identitas dan Alam
Politik Identitas Alatas, Alwi. 2007, 14 Februari. Kasus jilbab di sekolah-sekolah negeri di Indonesia. http://alwialatas.multiply.com/journal/item/34 (diakses 20 November 2009). Harsono, Rebeka dan Basilius Triharyanto (eds.). 2008. Jalan berliku menjadi orang Indonesia: Kisah tujuh perempuan Tionghoa korban diskriminasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Lindsey, Tim dan Helen Pausacker (eds.). 2006. Chinese Indonesians: Remembering, distorting, forgetting. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Noorsalim, Mashudi, M. Nurkhoiron, dan Ridwan Al-Makassary (eds.). 2007. Hak minoritas: Multikulturalisme dan dilema negara bangsa. Jakarta: Interseksi Foundation dan Yayasan Tifa.
224
Pengelolaan Sumber Daya Alam Arifin, Bustanul. 2001. Pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Jakarta: Erlangga. Benda-Beckmann, Franz von, Keebet von Benda-Beckmann, dan Juliette Koning (eds.). 2001. Sumber daya alam dan jaminan sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cahyadi, Erasmus (ed.). 2007. Tindak pidana lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam berbagai undang-undang sektoral dan upaya kodifikasinya ke dalam RKUHP. Jakarta: Huma dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Erman, Erwiza. 2005. Membaranya batubara. Jakarta: Desantara. Fauzi, Noer dan I Nyoman Nurjaya (eds.). 2000. Sumber daya alam untuk rakyat: Modul lokakarya penelitian hukum kiritis-partisipatif bagi pendamping hukum rakyat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Hardjasoemantri, Koesnadi. 2006. Ekologi, manusia dan kebudayaan: Kumpulan tulisan terpilih. Jakarta: Huma, Fakultas Hukum UI, ICEL, Kehati, dan Lapera. Heroepoetri, Arimbi. 2001. Tak ada tempat bagi rakyat: Wewenang pengelolaan sumber daya alam dalam UU. Jakarta: Kreasi Wacana. Kehati. 2006. Merekam jejak mitra pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. Jakarta: Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Maemunah, Siti. 2007, 10 Juli. Empat dekade industri pertambangan Indonesia, 10 Juli 2007. http://www.jatam.org/content/view/64/21/ (diakses 1 November 2009). Rosyida, Hilmy dan Bisariyadi (eds.). 2006. Masyarakat hukum adat: Inventarisasi dan perlindungan hak. Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Simatauw, Meentje, Leonard Simanjuntak, dan Pantoro Tri Kuswardono. 2001. Gender dan pengelolaan sumber daya alam: Sebuah panduan analisis. Kupang: Yayasan Pikul. Thayf, Anindita S. 2009. Tanah tabu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tunggal, Hadi Setia. 2005. Undang-undang minyak dan gas bumi beserta peraturan pelaksanaannya. Jakarta: Harvarindo.
225
Militerisme Orde Baru Crouch, Harold. 1999. Militer dan politik di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. McGregor, Katherine E. 2008. Ketika sejarah berseragam: Membongkar ideologi militer dalam menyusun sejarah Indonesia. Yogyakarta: Syarikat Indonesia. Rahayu, Ruth Indiah. 2005. “Militerisme Orde Baru dan ideologi koncowingking: Pengukuhan ideologi perempuan Indonesia secara pemaknaan ksatria Jawa,” Makalah disajikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme I, Yogyakarta, 17-19 November 2005. Roosa, John. 2008. Dalih pembunuhan massal: Gerakan 30 September dan kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia. Simpson, Bradley R. 2008. Economists with guns: Authoritarian development and U.S.-Indonesian relations, 1960-1968. Stanford: Stanford University Press. BAB IV Tragedi Mei 1998 Hutapea, Hotma Timbul (ed.). 2005. Reka ulang kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Solidaritas Nusa Bangsa. Jusuf, Ester Indahyani, Hotma Timbul, Olisias Gultom, dan Sondang Frishka. 2008. Kerusuhan Mei 1998: Fakta, data dan analisa. Jakarta: SNB dan APHI. Tim Relawan untuk Kemanusiaan. 1998. Kerusuhan Mei 1998 dalam perspektif: Memahami kekerasan terhadap perempuan dan mencari pemulihan bersama. Jakarta: Kalyanamitra. _____________________________. 1998. Sujud di hadapan korban tragedi Jakarta Mei 1998. Laporan investigasi dan analisa data Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Jakarta: Divisi Data Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Timor Timur Aditjondro, George. 2000. Menyongsong matahari terbit di puncak Ramelau: Dampak pendudukan Timor Lorosae. Jakarta: Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae (Fortilos).
226
________________. 1999. Tangan-tangan berlumuran minyak: Politik Minyak di balik Tragedi Timor Lorosae. Jakarta: Solidaritas untuk Penyelesaian Damai Timor Leste (Solidamor). Alatas, Ali. 2006. The pebble in the shoe: The diplomatic struggle for East Timor. Jakarta: Aksara Karunia. Campbell-Nelson, Karen, Yooke Adelina Damapolii, Leonard Simanjuntak, dan Ferderika Tadu Hungu. 2002. Perempuan dibawah laki-laki yang kalah: kekerasan terhadap perempuan Timor Timur dalam kamp pengungsian di Timor Barat. Kupang: Jaringan Kesehatan Perempuan di Indonesia Timur (JKPIT) dan Pengembangan Kapasitas Institusi Lokal (Pikul). Clark, Roger Stenson. 1999. Dekolonisasi Timor Timur dan norma-norma PBB tentang hak menentukan nasib sendiri. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste/Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR). 2005. Chega! Final report. Dili: CAVR. Cristalis, Irene. 2002. Bitter dawn: East Timor, a people's story. London: Zed Books. Hei, Rosentino Amado dan Nihal Bhuta. 2003. Mekanisme peradilan nasional untuk Timor Lorosae. Dili: Yayasan HAK dan Forum Komunikasi untuk Perempuan (Fokupers). Hill, Helen Mary. 2000. Gerakan pembebasan nasional Timor Lorosae. Dili: Yayasan HAK dan Sahe Institute for Liberation. Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste. 2008. Permemoriam ad spem. Final report. Jakarta: KKP. Kuntari, C.M. Rien. 2008. Timor-Timur, satu menit terakhir: Catatan seorang wartawan. Bandung: Mizan Pustaka. Taylor, John G. 1998. Perang tersembunyi: Sejarah Timor-Timur yang dilupakan. Jakarta: Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae (Fortilos). Widiantarti, Chr., Helio Freitas, dan I. Sandyawan Sumardi. 1999. Evaluasi dan rekomendasi kerja Tim Kecil Suaka Kemanusiaan Pengungsi Timor Leste di Jakarta: Sebuah pertanggungjawaban. Jakarta. Tulisan tak diterbitkan.
227
Aceh Arif, Azhar A. 2006. Serambi martabat Aceh. Jakarta: Kota Kita Press. Asiah. 2001. Hidup dan bertahan di wilayah konflik: Panduan keamanan bagi aktivis kemanusiaan. Banda Aceh: Koalisi NGO HAM Aceh. Clarke, Ross. 2008. Kasus keterlibatan Exxon Mobil di pengadilan karena perannya dalam pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Jakarta: International Center for Transitional Justice (ICTJ), Human Rights Working Group (HRWG), Kontras, Imparsial. ___________, Galuh Wandita, dan Samsidar. 2008. Memperhatikan korban: Proses perdamaian di Aceh dari perspektif keadilan transisi. ICTJ Occasional Paper. Jakarta: International Center for Transitional Justice (ICTJ). Fadhilatunnisa, Khilda. 2008. Posisi Komnas Perempuan dalam menyikapi penerapan Syariat Islam di Aceh. Skripsi. Jakarta: Forum Asia. 2000. Aceh, the untold story: An introduction to the human rights crisis in Aceh. Bangkok: Forum Asia. Hermawan, J. Budi. 2009. Laporan praktek penyiksaan di Aceh dan Papua selama 1998-2007. Jakarta: Imparsial. Ishak, Otto Syamsuddin. 2008. Dari maaf ke panik Aceh: Sebuah sketsa sosiologi politik. Jakarta: Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika) dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). ___________________. 2008. Perang dan perdamaian di Aceh. Jakarta: Tifa, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Imparsial. Koalisi Pengungkap Kebenaran (KPK) di Aceh. 2008. Demi kebenaran dan keadilan di Aceh. Jakarta: KPK Aceh. Kontras. 2004. Kajian dan monitoring Kontras terhadap pergerakan serdadu di Aceh Timur NAD. Jakarta: Kontras. ______. 2006. Aceh damai dengan keadilan: Mengungkap kekerasan masa lalu. Seri Aceh II. Jakarta: Kontras. Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Aceh. 2009. Kumpulan undang-undang terkait dengan penegakan dan perlindungan hak-hak perempuan . Lhokseumawe, NAD: LBH Apik Aceh. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh. 2007. Potret buram pemenuhan hak bantuan hukum Aceh 2007. Banda Aceh: LBH Aceh. 228
Mahkamah Syariah Aceh Darussalam. 2006. Peraturan perundang-undangan tentang Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh: Mahkamah Syariah Provinsi Aceh. Martin, Florence. 2006. Asesmen cepat panti sosial asuhan anak pasca tsunami di Aceh. Jakarta: Save the Children dan Departemen Sosial. Noerdin, Edriana. 2005. Politik identitas perempuan Aceh. Jakarta: Women Research Institute. Rahmany, Dyah. 2001. Rumah geudong: Tanda luka orang Aceh. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika). 2008. Aliansi, media penguatan masyarakat sipil: Mimpi tentang Aceh baru 45 (xiix). Jakarta: Yappika. __________. 2008. Aliansi, media penguatan masyarakat sipil 45 (L). Jakarta: Yappika. Papua Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Interaksi: Save Papua, save lost generation. Jakarta: Departemen Kesehatan. Giay, Benny. 2006. Pembunuhan Theys: Kematian HAM di tanah Papua. Yogyakarta: Galangpress. Hermawan, J. Budi. 2009. Laporan praktek penyiksaan di Aceh dan Papua selama 1998-2007. Jakarta: Imparsial. Irian Jaya Crisis Center. 2005. Pemekaran dan otonomi khusus wilayah Papua: Kumpulan perundang-undangan. Jakarta: Irian Jaya Crisis Center. Khairuddin, N. M. et.al. 2002. Belenggu adat dan kekerasan terhadap perempuan. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM). La Pona. 2002. Menggagas tempat yang aman bagi perempuan: Kasus di Papua. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Majelis Rakyat Papua (MRP). 2007. Media cultural “Sekilah Langkah MRP”. Jayapura: Sekretariat MRP. Osborne, Robin. 2001. Kibaran Sampari: Gerakan pembebasan OPM dan perang rahasia di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Pokja Papua. 2006. Inkonsistensi dan separatisme Jakarta: Mengapa tanah Papua terus bergolak? Jakarta: Pokja Papua. 229
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura. Memoria passionis di Papua: Potret sosial, politik, dan HAM sepanjang 2004. Jayapura: SKP Keuskupan Jayapura. Soehoed, A.R. 2005. Jilid I: Sejarah pengembangan pertambangan P.T. Freeport Indonesia di propinsi Papua: Membangun tambang dari ujung dunia. Jakarta: Aksara Karunia. ____________. 2005. Jilid 2: Sejarah pengembangan pertambangan P.T. Freeport Indonesia di propinsi Papua: Mengembangkan tambang kelas dunia di atas bumi. Jakarta: Aksara Karunia. _____. 2005. Jilid 3: Sejarah pengembangan pertambangan P.T. Freeport Indonesia di propinsi Papua: Tambang dan pengelolaan lingkungannya. Jakarta: Aksara Karunia. _____. 2005. Jilid 4: Sejarah pengembangan pertambangan P.T. Freeport Indonesia di propinsi Papua: Pertambangan dan pembangunan daerah. Jakarta: Aksara Karunia. Sugandi, Yulia. 2009. Analisis konflik dan rekomendasi kebijakan mengenai Papua. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES). Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta Papua, sebuah perspektif Papua. Jakarta: Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura. Tekege, Petrus P.T. 2007. Perempuan Papua: Dulu, sekarang, dan masa depan dalam fenomena pembangunan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tim Sintese. 2006. Sintese kapasitas pembangunan Papua. Jayapura: Tim Sintese. UNDP. nd. (setelah 2005?). Perikehidupan masyarakat dan keadaan lembaga kemasyarakatan di Papua, Indonesia: Suatu gambaran dari LSM. UNDP. Maluku Agustiana, Endah Trista dan Maria Pakpahan. 2004. Women and peace-building, Central Sulawesi and North Maluku. A Thematic Assessment. Jakarta: UNDP. Brown, Graham. 2005. Overcoming violent conflict: Peace and development analysis in Maluku and North Maluku. Jakarta: CPRU-UNDP. ISAI. 2004. Kajian tematis peran media dalam pembangunan perdamaian dan rekonsiliasi Sulawesi Tengah, Maluku, dan Maluku Utara. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi (ISAI).
230
Malik, Ichsan. 2003. Bakubae: Gerakan dari akar rumput untuk penghentian kekerasan di Maluku. Jakarta: Bakubae Maluku. Noveria, Mita et.al. 2003. Pengungsi di Maluku Utara dan Sulawesi: Upaya penanganan menuju kehidupan mandiri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Pieris, John. 2004. Tragedi Maluku. Jakarta: Yayasan Obor. Salampessy, Zairin dan Thamrin Husain. 2001. Ketika semerbak cengkih tergusur asap mesiu: Tragedi kemanusiaan Maluku di balik konspirasi militer, kapitalis birokrat, dan kepentingan elit politik. Jakarta: Tapak Ambon. Poso, Sulawesi Tengah Amidhan. 2005. Poso: Kekerasan yang tak kunjung selesai. Jakarta: Komnas HAM. Kontras. 2004. Ketika moncong senjata ikut berniaga: Ringkasan eksekutif keterlibatan militer dalam bisnis di Bojonegoro, Boven Digul, dan Poso. Jakarta: Kontras. Lasahido, Tahmidy. 2003. Suara dari Poso. Jakarta: Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (Yappika). Suhardi, Ahmad. 2006. Tragedi Poso. Rawabungan, Poso: Majelis Mujahidin Indonesia. Jemaah Ahmadiyah Muryadi, Wahyu (ed.). 2005. Ahmadiyah: Keyakinan yang digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisa Tempo. Peristiwa 1965 Cribb, Robert. 2004. Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Jakarta: Matahati. Fic, Victor M. 2005. Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah studi tentang konspirasi. Jakarta: Yayasan Obor. Hindley, Donald. 1964. The Communist Party of Indonesia 1951-1963. Berkeley: University of California.
231
Kaligis, O.C. dan Rum Aly (ed.). 2007. Simtom politik 1965: PKI dalam perspektif pembalasan dan pengampunan. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Nadia, Ita. 2007. Suara perempuan korban tragedi '65. Yogyakarta: Galangpress. Roosa, John. 2008. Dalih pembunuhan massal: Gerakan 30 September dan kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra dan Institut Sejarah Sosial Indonesia. __________, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (eds.). 2004. Tahun yang tak pernah berakhir: Memahami pengalaman korban 65, esai-esai sejarah lisan. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Tunggal, Hadi Setia. 2000. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 1999 tentang pengesahan konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial tahun 1965. Jakarta: Harvarindo. Zegepral. Pengaduan Korban Kekerasan 1965 kepada Komnas Perempuan, Jakarta 2. VCD. Jakarta: Komnas Perempuan, 2006. DOKUMEN KOMNAS PEREMPUAN Umum 2002. 2004. 2007. 2007. 2009.
Peta kekerasan: Pengalaman perempuan Indonesia. Perjalanan perempuan Indonesia menghadapi kekerasan. Perempuan pembela HAM: Berjuang dalam tekanan. Hal-hal penting mengenai pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia. Laporan independen Komnas Perempuan dipersiapkan untuk Laporan Indonesia gabungan periode keempat dan kelima kepada Komite CEDAW. Memecah kebisuan: Agama mendengar suara perempuan korban kekerasan demi keadilan. Sebuah seri terdiri dari tiga buku: Respon Muhammadiyah, Katolik, Protestan.
Catatan Tahunan 2001. Laporan tiga tahun pertama. 2003. Gambaran nasional kekerasan terhadap perempuan 2002: Kumpulan data dari lembaga pengadaan layanan di berbagai daerah. 2004. Dampak kelambanan pengesahan RUU A-KDRT: 303 lembaga membantu perempuan korban kekerasan tanpa dukungan landasan hukum. 232
2005. Lokus kekerasan terhadap perempuan 2004: Rumah, pekarangan, dan kebun. 2006. KDRT & pembatasan atas nama kesusilaan: Kekerasan terhadap perempuan 2005. 2007. Di rumah, pengungsian, dan peradilan: KTP dari wilayah ke wilayah. 2008. Sepuluh tahun reformasi. 2009. Kerentanan perempuan terhadap kekerasan ekonomi & kekerasan seksual: Di rumah, institusi pendidikan, dan lembaga negara. Buruh Migran Perempuan 2000. Perdagangan perempuan, migrasi perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan: Penyebab dan akibatnya. Laporan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. Seri dokumen kunci 3. 2003. Buruh migran Indonesia: Penyiksaan sistematis di dalam dan luar negeri. Laporan Indonesia kepada Pelapor Khusus PBB untuk HAM, Kuala Lumpur, 2 Juni 2002. 2006. Buruh migran tak berdokumen: Sebuah strategi perempuan mempertahankan kehidupan. Studi kasus lima buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di Malaysia. 2006. Reformasi dibelenggu birokrasi. Catatan hasil pemantauan awal terhadap INPRES No. 06 Tahun 2006. 2006. Membangun pemahaman dengan dialog antar budaya untuk perlindungan buruh migran Indonesia. Laporan interregional dialogue antara aktivis HAM Indonesia dan Timur Tengah. Jakarta, 6-7 Juli 2006. 2006. Mengakui dan melindungi: Buruh migran tak berdokumen dan buruh migran perempuan pekerja rumah tangga. Masukan dari proses Jakarta mengenai hak asasi buruh migran kepada dialog tingkat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang migrasi dan pembangunan. New York. 14-15 September 2006. Tentang Konflik 1999. Misi ke Indonesia dan Timor Timur. Laporan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. Seri dokumen kunci 1. 1999. Temuan tim gabungan pencari fakta peristiwa kerusuhan Mei 1998. Laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Seri dokumen kunci 2.
233
2003. Laporan investigasi pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, Maluku, Tanjung Priok, dan Papua 1999-2001. Kumpulan ringkasan eksekutif. Seri dokumen kunci 4. 2003. Tragedi Mei 1998 dalam perjalanan bangsa. Disangkal! 2004. Kondisi HAM perempuan di komunitas Buyat, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Laporan hasil pemantauan. 2004. Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan dan/atau dibiarkan oleh negara selama berlangsungnya konflik bersenjata (1997-2000). Laporan Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan. Seri dokumen kunci 5. 2005. Kondisi HAM perempuan petani pasca penangkapan dan peristiwa 10 Maret 2004 di Manggarai, NTT. Laporan hasil pemantauan. 2006. Pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual. Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) Timor-Leste. Seri dokumen kunci 8. 2006. Sebagai korban juga survivor: Pengalaman dan suara perempuan pengungsi Aceh tentang kekerasan dan diskriminasi. Laporan Pelapor Khusus untuk Aceh. 2007. Perempuan pengungsi bertahan dan berjuang dalam keterbatasan: Kondisi pemenuhan HAM perempuan pengungsi Aceh, Nias, Jogjakarta, Porong, NTT, Maluku dan Poso. Laporan Bersama. 2007. Kejahatan terhadap kemanusiaan berbasis jender: Mendengarkan suara perempuan korban peristiwa 1965. 2007. Mencari dan meniti keadilan: Pengalaman perempuan Aceh dari masa ke masa. 2008. Saatnya meneguhkan rasa aman: Langkah maju pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998. Laporan hasil dokumentasi Pelapor Khusus Komnas Perempuan tentang kekerasan seksual Mei 1998 dan dampaknya. 2009. Perempuan dalam jeratan impunitas: Pelanggaran dan penanganan. Dokumentasi Pelanggaran HAM perempuan selama konflik bersenjata di Poso, 1998-2005. Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan untuk Poso. 2009. Kondisi tahanan perempuan di Nanggroe Aceh Darussalam. Sebuah hasil pemantauan Komnas Perempuan. 234
2009. Perempuan dan anak Ahmadiyah: Korban diskriminasi berlapis. Laporan pemantauan HAM Komnas Perempuan. 2009. Atas nama otonomi daerah: Pelembagaan diskriminasi dalam tatanan negara-bangsa Indonesia. Laporan pemantauan Komnas Perempuan tentang kondisi pemenuhan hak-hak konstitusional perempuan di 16 kabupaten/kota pada 7 provinsi.
235