SIKAP HIDUP ORANG MADURA DALAM PANTUN
M. Tauhed Supratman dan Riska Mabrurah Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas Madura Pamekasan e-mail:
[email protected]
Abstrak Pantun Madura sebagai salah satu genre sastra yang ada di Madura mengandung sikap hidup masyarakatnya. Pantun Madura sebagai hasil karya sastra rakyat, ternyata mengungkapkan pesan moral yang perlu dilestarikan dan diteladani oleh generasi muda sekarang. Metode yang digunakan adalah metode kualitatuf. Hasil penelitian menggambarkan sikap hidup orang Madura seperti: sikap terhadap Tuhan, sikap terhadap sesama manusia, dan sikap terhadap pribadi. Kata kunci: sikap hidup, pantun, Madura.
PENDAHULUAN Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Melalui bahasa, budaya kelompok masyarakat tertentu bisa diketahui. Budaya tercermin dari apa yang dikatakan oleh masyarakat penuturnya. Keistimewaan bahasa yang dipakai suatu masyarakat atau bangsa tertentu membatasi caracara berpikir dan pandangan hidup masyarakat atau bangsa yang bersangkutan terhadap fenomena tempat mereka hidup. Susunan bahasa dan keistimewaan lain yang dimilikinya merupakan faktor dasar bagaimana suatu masyarakat memandang hakikat alam dan tempat mereka berada. Bahasa itu sudah terimplikasi secara langsung dalam “bentuk-bentuk kehidupan” manusia. Bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi antar penutur satu dengan yang lainnya, namun dibalik pemakaian bahasa tersirat pandangan hidup penutur, serta lebih luas pandangan hidup serta identitas suatu bangsa tertentu. Sikap hidup masyarakat tertentu dapat diketahui lewat bahasa atau ujaranujarannya, demikian dari pernyataan di atas. Ujaran-ujaran ini tidak hanya sekadar perbincangan sehari-hari, namun bisa juga berbentuk ungkapan yang lebih filosofis. Salah satunya yaitu dalam bentuk pantun. 470
Ada orang yang mengatakan bahwa jalan pintas untuk memahami segala sesuatu tentang bangsa atau suatu budaya adalah dengan menelaah atau mendalami pantun. Pantun muncul dari pengalaman hidup masa lampau nenek moyang. Seluruh pengalaman dari segi manapun, diaktualisasikan lewat tradisi lisan dalam bentuk pantun. Tidak hanya sekadar menjadi sebuah pantun yang tidak memiliki fungsi apaapa, pantun juga berfungsi sebagai pengukuh pranata dan lembaga kebudayaan, alat pengawas dan pemaksa pematuhan norma masyarakat, instrument pendidikan, dan juga alat komunikasi dalam kontrol sosial (Danandjaja, 1994:32). Pengaktualisasian budaya suatu masyarakat pun bisa terjadi lewat sebuah pantun mengingat fungsi – fungsi dari pantun di atas. Pantun juga bukan ungkapan peraturan yang hanya bisa menjadi pajangan, namun pantun bisa juga menjadi suatu spirit dalam hidup manusia. Spirit atau semangat dalam diri manusia bisa saja terluapkan akibat adanya suatu falsafah hidup yang berarti disini adalah pantun yang menjadi budaya pada masyarakat tertentu. Semangat disini berarti semangat untuk menjalani kehidupan sehari-hari yang pada akhirnya menjadi prinsip atau ideologi dalam hidup. Jadi, tindakan yang selalu dilakukan manusia di setiap detik hidupnya selalu bertumpu atau berpegang pada prinsip dalam hidupnya. Berbicara tentang pantun, di Indonesia yang terdiri dari berbagai suku-suku bangsa tentu saja memiliki banyak warisan budaya lisan berupa pantun ini. Salah satunya adalah pantun Madura atau dalam bahasa Maduranya papareghen, (pari’anJawa). Madura sangat unik sehingga peneliti menggunakan objek kajian pantun dari Madura. Keunikannya itu bisa dilihat dari bahasa serta perilaku orang Madura yang berbeda dengan orang kebanyakan. Namun, banyak hal yang belum terekspos secara maksimal di Madura. Bukan hanya kekayaan alamnya, tetapi juga kekayaan budaya yang memiliki nilai luhur tinggi. Jika tidak terjaga dengan baik, bukan tidak mungkin keluhuran itu akan luntur digempur gelombang globalisasi. Kekayaan budaya ini salah satunya adalah dalam bentuk pantun Madura. Hal yang paling menonjol dan kental ketika orang mendengar Madura adalah sikap manusia Madura yang sangat menjunjung tinggi harga diri. Harga diri disini berarti penghormatan yang berlebihan pada diri sendiri serta orang lain yang disini bisa berarti orang tua, tetuah adat, dll. Pada dasarnya harga diri yang sesungguhnya adalah merupakan harga diri atas kemuliaan karakter kita, yang meliputi keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran, dan kelembutan. Kita dituntut untuk memiliki hal-hal tersebut agar bisa memiliki harga diri yang tinggi yang sesungguhnya. Semua itu dapat diwujudkan melalui pembelajaran setiap hari. Hari-hari yang kita jalani, seharusnya dapat kita jadikan kesempatan untuk mengikis karakter buruk dalam diri kita dan mengembangkan kebiasaan yang baik untuk mewujudkan harga diri yang sesungguhnya. Dengan inilah kita bisa menjadi orang yang benar-benar
471
Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri
berharga. Pengagungan harga diri pun menjadi salah satu pribadi manusia Madura yang pada akhirnya menjadi prinsip hidup orang Madura kebanyakan. Bahkan ada pantun Madura yang memuat hal tersebut yaitu: Orèng males tadhâ’ lakona/Lakona ngokor dhâlika/Palerres tèngka lakona/Ma’ kantos kacalè dhika// Terjemahan: Orang malas tak mau bekerja/kerjanya mengukur tempat tidur/yang baik dalam bekerja/ agar engkau tidak ditegur// Begitulah, salah satu sikap yang dijunjung tinggi orang Madura adalah pentingnya manusia melakukan perbuatan yang berguna bagi manusia lain. Oleh karena itu, sejak dini orang-orang tua mengajak dan menekankan anak-anaknya agar memperhatikan tindak perbuatan yang baik yang berguna bagi masyarakat. Pesan-pesan moral yang seperti itu juga muncul dalam sejumlah paparegan nasihat, di samping juga menekankan pentingnya menjalankan syariat Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam filosofi orang Madura, bahwa sejak bayi orang Madura telah berbantalkan syahadat, berpayungkan perlindungan Allah, dan berselimutkan shalawat (bantal sadhat apajung Alla asapo’ salawat).
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan prosedur atau cara pemecahan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diteliti sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi.Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik observasi dan dokumentasi. Teknik observasi berupa pengamatan secara mendalam terhadap pantun Madura. Teknik dokumentasi berupa pendokumenan atau penulisan temuan data sesuai dengan klasifikasi data penelitian. Analisis data dilakukan secara induktif, karena pencarian data bukan dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sikap terhadap Tuhan Masyarakat Madura sangat erat dan lekat dengan masyarakat yang religius. Mayoritas masyarakat Madura memeluk agama Islam sehingga banyak sekali pondok-pondok pesantren, masjid, ataupun sekolah-sekolah yang berbasis Islam. Potret realitas masyarakat Madura terdahulu yang lekat dengan kerelegiusannya dapat kita lihat dalam sastra lisan atau sastra tutur yang berupa pantun. Pantun merupakan rekam sosial dari masyarakat terdahulu, tapi masih relevan dengan keadaan saat ini meskipun keadaan zaman sudah sangat berubah. Zaman yang semakin modern seperti sekarang ini, di Madura semakin banyak berdiri sekolahsekolah di pondok pesantren yang tentunya berbasis Islam. Pondok pesantren yang Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri
472
semakin menjamur menunjukkan fondasi Islam di masyarakat Madura sangat kuat bahkan sejak zaman dahulu seperti yang tergambar dalam pantun berikut: kalarassa gheddhâng bighi/gheddhâng maddhu amanèsan/malaraddhâ kana’ ngajhi/neng èpondhug atangèsan//(kelarasnya pisang biji/pisang madu sangat manis/sulitnya anak-anak belajar mengaji/di pondok sering menangis). Pantun di atas menggambarkan bahwa sejak dahulu pondok pesantren merupakan tempat yang terpercaya untuk menuntut ilmu agama. Ilmu Agama sangat penting dalam kaitan antara manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta. Keberadaan pondok pesantren yang semakin banyak saat ini menunjukkan masyarakat Madura dari waktu ke waktu tetap menjadi insan yang religius. Pantun diatas juga menggambarkan pentingnya mengaji untuk anak-anak Madura bahkan mulai diajarkan oleh orang tua sejak usia dini. Belajar mengaji dirasa sangat penting untuk mengajarkan dan mengaahkan anak-anak madura agar semakin dekat dengan agama dan Tuhan sejak anak-anak. Pantun agama sebagai sastra lisan membuat masyarakat Madura memiliki sikap yang baik terhadap Tuhan. Sikap yang baik terhadap Tuhan ini tercermin dalam pantun berikut: ngala’ lalang ka Panglèghur/nompa’ rata sampèranna/ta’ alanglang dhika lèbur/kor jhâ’ loppa pangèranna//(mengambil ilalang ke Panglegur/naik kereta pakai kain panjang/tidak melarang kau gemar sesuatu/asalkan jangan lupa pada Allah). Pantun di atas menjelaskan kepada kita agar tidak berlebihan dalam menyukai sesuatu. Berlebih-lebihan dalam menyukai sesuatu membuat kita rugi waktu, rugi uang, rugi tenaga karena terhipnotis dan tertipu keinginan sendiri yang mungkin saja keinginan itu tidak penting atau tidak bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain. Pantun ini juga menjelaskan dan mengingatkan kita agar selalu mengingat Allah sebagai Tuhan kita. Mengingat Tuhan akan membuat kita mempunyai sikap yang baik dalam kehidupan. Pantun ini membuat hubungan horizontal antara Pencipta dan makhluk ciptaan semakin kental, hal ini menunjukkan bahwa orang tua terdahulu sudah mengajarkan kita untuk selalu mengingat Tuhan. Mengingat tuhan dalam hal ini juga berartibahwa kita harus mematuhi ajaran-Nya agar selalu tetap berada di jalan yang benar dan diridhoi Allah. Isi pantun ini mengajak kita untuk senantiasa mendahulukan Allah dari pada yang lainnya. Banyak sekali orang terlalu mencintai dunia, barang-barang, harta benda, emas permata, mencintai seseorang, terlalu menyayangi hewan-hewan peliharaan, mencintai batu-batuan seperti batu akik yang sekarang ini sangat digandrungi kaula muda maupun tua. Mencintai suatu hal hendaknya jangan terlampau berlebihan, alangkah lebih baik jika kita mencintai duniawi dengan sederhana dan menempatkan Allah pada posisi yang setinggi-tingginya. Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri
473
Sikap terhadap tuhan adalah hal yang penting terbukti dengan adanya pantun agama salam sastra lisan/sastra tutur Madura. berbicara tentang agama tentulah akan berkaitan dengan sikap kita terhadap Tuhan. Menjalankan segala perintah-Nya merupakan kewajiban bagi umat Islam. Sikap terhadap Tuhan dalam menjalankan perintah Allah dapat kita lihat melalui pantun berikut: sanga’ empa’ karanjhângnga/ sapo poret ètastassa/ajjhâ’ loppa kabhâjângnga/ma’ salamet aheraddâ//(Sembilan empat keranjangnya/sapu lidi dilepasnya/janganlah lupa akan sembahyangnya/agar selamat akhiratnya). Pantun ini menjelaskan betapa pentingnya mendekatkan diri terhadap Tuhan dengan cara mengerjakan perintahnya seperti sembahyang (shalat). Puisi ini juga mengingatkan kita untuk tidak lupa mengerjakan shalat, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Madura merupakan masyarakat yang taat beragama. Shatat lima waktu adalah kewajiban untuk setiap pemeluk ajaran islam, maka dari itu shalat sangat penting untuk menjaga hubungan baik antara hamba dengan pencipta. Pantun diatas juga menegaskan bahwa setelah kematian masih ada dunia akhirat. Oarng islam percaya semua perbuatan kita di dunia akan menentukan nasib kita di akhirat. Setiap perbuatan baik akan diberi pahala oleh Allah, dan setiap perbuatan yang buruk akan diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah, untuk menjaga hubungan dengan Allah hendaknya kita saling mengingatkan sesama umat Islam untuk mengerjakan perbuatan yang baik terutama menjalankan perintah Allah terlebih perintah yang wajib seperti shalat harus kita utamakan. Pantun ini mengajak kita untuk melakukan ibadah shalat agar kelak di akhirat kita selamat dan ditempatkan dalam tempat yang baik dalam surga-Nya. Sikap Terhadap Sesama Manusia Masyarakat Madura pada umumnya merupakan masyarakat yang peduli dengan sesamanya. Hakikat manusia dengan sesamanya dalam masyarakat Madura dikonsepsikan dalam benntuk sikap bekerja sama (royongan) (Yasin: 55-56). Kegotong-royongan masyarakat Madura semakin terasa jika sama-sama berada di perantauan. Rasa saling memiliki, menghargai, dan rasa kekeluargaan sangat terasa sesama suku Madura. Sikap terhadap sesama manusia tercermin dalam pantun berikut: namen maghi’ tombu sokon/tabing kerreb bânnya’ kalana/ pong-pong ghi’ odi’ papadâ rokon/ma’ lè slamet pola tèngkana//(nanam biji asam tumbuh sukun/gedek rapat banyak kalanya/ mumpung masih hidup hendaklah rukun/agar selamat tingkah lakunya). Pantun diatas menunjukkan bahwa masyarakat Madura mencintai kedamaian, hidup rukun dan tentram dengan tetangga, kerabat, dan sesame makhluk hidup. Manusia sebagai makhluk sosial tentunya membutuhkan bantuan dan peran serta, serta bantuan dari orang lain sehingga interaksi dengan orang lain berjalan baik.
474
Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri
Hidup yang rukun membuat kita merasa nyaman menjalani kehidupan karena dengan hidup rukun kita akan terhindar dari permusuhan, pergaulan yang tidak baik, dan tingkah laku yang negatif pun bisa kita hindari. Hidup yang rukun bisa terwujud dari tingkah laku yang baik. Perilaku dan tingkah laku yang baik dimulai dari diri sendiri agar menjadi panutan bagi orang lain sehingga tingkah laku yang baik bisa tertular pada orang lain. Tingkah laku yang baik salah satunya dari sikap yang jujur. Sikap terhadap sesama manusia dalam masyarakat Madura dikonsepsikan dalam bentuk kejujuran ( jhujhur, ghatè/ta’ anduri pandân). Pentingnya sikap jujur tercermin dalam pantun berikut: sabu keccèk akopèyan/somorra bâdâ è dâjâ/lamon lècèk sakalèyan/saomorra ta’ è partajâ//(sawo kecik berbotol-botol/sumurnya ada di utara/kalaulah licik satu kali/selama hidupnya tak akan dipercaya). Pantun diatas menunjukkan kepada kita betapa pentingnya bersikap jujur terhadap sesama makhluk sosial. Pantun ini memberitahukan kepada kita bahwa masyarakat Madura sangat menghargai sikap kejujuran. Sikap jujur membuat diri lebih baik karena pada dasarnya dalam hidup ini salah satu hal yang membuat hidup kita menjadi sukses adalah kejujuran. Berperilaku tidak jujur akan berdampak negatif bagi diri sendiri, keluarga bahkan bagi lingkungan. Dampak bagi diri sendiri diantaranya yaitu mengurangi kepercayaan orang lain terhadap diri kita. Kepercayaan sangat penting untuk eksistensi kita dalam masyarakat, jika melakukan suatu kebohongan/keburukan di dalam kehidupan, maka akan menghilangkan kebaikan yang kita lakukan sebelumnya dan tidak akan mendapatkan kepercayaan lagi dari orang lain. Sikap terhadap sesama yang paling penting adalah sikap terhadap keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama dalam hidup kita. Orang tua merupakan orang yang paling penting dalam keluarga, oleh karena itukita harus berbakti kepada kedua orang tua. Berbakti dan patuh terhadap orang tua telah tercermin dan tertuang dalam pantun yang berbunyi: ngala’ sèrè èpèpèssa/èsarènga ghân sakonè’/kanèserrè orèng towa/sè mèyara kabid kènè’//(mengambil sirih akan ditumbuk/akan disaring sedikit demi sedikit/sayangilah orang tua/yang merawat sejak kecil). Pantun diatas mengajak kita untuk senantiasa menyayangi orang tua. Menyayangi oranng tua juga berarti mematuhi perintah orang tua, tidak membuat hati orang tua sakit, dan selalu membuat orang tua merasa bangga dengan kita sehingga kita menjadi anak yang semakin baik dan sukses karena doa orang tua adalah doa yang paling tulus sehingga doa orang tua akan selalu didengar dan dikabulkan Allah. Pantun ini menggambarkan bahwa sejak dulu masyarakat Madura telah menempatkan orang tua dalam posisi yang istimewa, hal ini terbukti dengan adanya pepatah “bhapa’, bhabhu’, ghuru, rato” yang artinya bapak dan ibu (orang tua)
Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri
475
terlebih dahulu, kemudian guru, dan terakhir adalah ratu/pemerintahan. Jelaslah bahwa masyarakat Madura memang telah dengan tegas menempatkan orang tua yang melahirkan dan merawat kita sejak kecil. Seberapapun kita membalas jasanya pasti tidak akan pernah terlunasi.
Sikap Terhadap Pribadi Sikap pribadi maksudnya adalah hal-hal yang harus dimiliki manusia sebagai diri sendiri. Sikap terhadap diri sendiri ini meliputi harkat dan martabat yang sangat di junjung tinggi oleh masyarakat Madura. Harga diri dan martabat memang sangat penting bagi masyarakat Madura, bahkan terkadang masalah harga diri menjadi masalah pertaruhan nyawa. Masalah harga diri yang terpotret dalam pantun Madura yaitu: nè’-kènè’ monyèna solèng/ nyambhelli pètè’ tadâ’ gâjina/nè’-binè’ jhâ’ lèng-ngalèlèng/capo’ pècè’ adâ’ ajhina// (kecil-kecil bunyi seruling/menyembelih anak ayam tidak ada lemaknya/ anak gadis jangan sering berkeliling/disentuh lelaki tiada harganya). Pantun ini menginginkan gadis-gadis di Madura terlindungi harga dirinya. Kehidupan modern ini banyak sekali hal-hal negatif yang harus dihindari oleh gadis-gadis agar tetap menjadi wanita baik-baik yang senantiasa memiliki harga diri terpuji. Perkembangan alat-alat transportasi saat ini membuat semua orang dengan mudah bertransportasi. Seringkali pantun dapat dengan tidak sengaja meramalkan apa yang akan terjadi karena pantun memang selalu relevan dengan keadaan zaman. Kehidupan sekarang banyak sekali rerempuan yang suka keluyuran dan pulang malam karena transportasi sangat mudah didapatkan. Pantun ini mengingatkan agar perempuan/gadis-gadis Madura untuk menjaga harga diri agar nama baik keluarga tidak tercoreng. Pantun ini juga mengajarkan kepada wanita agar berhati-hati saat berada di luar rumah, jangan sampai terjebak rayuan lelaki yang tidak bertanggung jawab dan gadis madura harus pandai menjaga diri agar tidak disentuh laki-laki yang tidak bertanggung jawab, maka dari itu gadis-gadis Madura harus pandai menjaga dirinya dan menjadi gadis baik dan tidak suka berkeliling agar nantinya bisa menikah dengan lelaki yang baik. Pantun ini menegaskan betapa pentingnya harga diri gadisgadis Madura. Sejalan dengan pantun tadi yang menjelaskan betapa pentingnya harga diri bagi masyarakat Madura, dalam pantun berikut terekam betapa pentingnya harga diri bagi laki-laki Madura, patunnya berbunyi: ka Sampang ka roma sakè’/Toan dokter acapèngan potè/ta’ ghâmpang dhâddhi rèng lakè’/mon ta’ pènter ta’ ghâmpang ollè// (ke Sampang ke rumah sakit/tuan dokter pakai topi putih/tidaklah mudah menjadi lelaki/kalau tidak pandai sulit memperoleh (yang dimaksudkan).
476
Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri
Pantun di atas menjelaskan kepada kita betapa pentingnya harga diri dan martabat laki-laki Madura. Laki-laki Madura harus pandai, mempunyai pola pikir dan pengetahuan yang luas, oleh karena itu disini disebutkan bahwa tidak mudah menjadi lelaki. Lelaki Madura haruslah pintar agar sesuatu yang diinginkan dapat tercapai. Menjunjung harga diri seperti ini membuat masyarakat Madura menjadi Manusia yang bekerja keras, pantang menyerah agar dapat memperoleh apa yang diinginkannya.
KESIMPULAN Sikap masyarakat madura adalah suatu perbuatan yang didasarkan pada suatu keyakinan/pendirian masyarakat Madura dalam menyikapi hidup ini (Busri, 2010: 63). Sikap masyarakat Madura yang diteliti pada penelitian ini menghasilkan beberapa sikap yang terkandung dalam pantun Madura. Sikap yang terdapat dalam pantun Madura yaitu sikap terhadap Tuhan, sikap terhadap sesama, dan sikap terhadap pribadi. 1)
Sikap terhadap Tuhan yang terkandung dalam pantun Madura yaitu menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, pesantren sebagai pusat menuntut ilmu agama, tetap mengutamakan Allah, dan meyakini hari akhir.
2)
Sikap terhadap sesama yang terkandung dalam pantun Madura yaitu meliputi sikap gotong royong, rukun dengan tetangga, bertingkah laku yang baik terhadap sesama, bertindak jujur dan menjauhi perilaku bohong, dan menyayangi kedua orang tua.
3)
Sikap terhadap pribadi yang terdapat dalam pantun Madura yakni meliputi penjunjung tinggian harga diri dan martabat bagi masyarakar Madura.
DAFTAR BACAAN Busri, Hasan. 2010. Simbol Budaya Madura dalam Cerita Rakyat Madura. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-lain. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti Eagleton, Terry. 2010. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Jonge, Huub De (ed). 1985. Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi Studi-studi Interdisipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Pers. Julian, Royyan.2013. Pandangan Hidup Etnik Madura dalam Kumpulan Puisi Nemor Kara. Skripsi tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Mahayana, Maman S. 2008. Kertas Kerja Seminar Kebangsaan Puisi melayu Tradisional. Kuala Lumpur, Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka. Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya. Yogyakarta: Nuansa Angkara.
Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri
477
Supratman, M. Tauhed. 2015. Fungsi Papareghan (Pantun Madura) Bagi Masyarakatnya. Makalah disajikan dalam rangka Seminar Nasional PIBSI XXXVII, Prodi PBSI, FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogjakarta, 2-3 Oktober 2015. Supratman, M. Tauhed. 2015. Potret Sosial dalam Pantun Madura. Makalah disajikan dalam rangka Seminar Nasional dan Launching Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI), Prodi PBSI, FKIP, UNS, Solo, 25 April 2015. Supratman, M. Tauhed. 2014. Representasi NilaiNilai Kehidupan dalam Pantun Madura. Makalah disajikan dalam rangka Seminar Nasional Penelitian Bahasa, Sastra dan Pengajarannya Dewasa ini, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Nusantara PGRI Kediri, 13 Desember 2014. Wiyata, A. Latief. 2013. Mencari Madura. Jakarta: Bidik-Phronesis Publishing. Yasin, Moh. Fatah. 2004. Representasi Pandangan Hidup Masyarakat Madura dalam Sastra Madura Modern. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
478 1152
Seminar Nasional: Memperkukuh Peran APROBSI dalam Mewujudkan Kemitraan dan Pemberdayaan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang Mandiri