Linguistika Akademia Vol.1, No.3, 2012, pp. 259~274 ISSN: 2089-3884
CARA MEMANGGIL NAMA PANGGILAN ORANG DI MADURA Fahrurrazi e-mail:
[email protected] ABSTRACT A call name is a name used to call someone. In Madura, how to call the call name, especially which is Arabic, there is a uniqueness which differs with the other regions. The purpose of this paper is to explain what factors that influences it, because Sapir-Whorf hypothesis says that "language can influence the perspective of human beings". The method of this study is deletion method which analyzes a construction of language which gets deletion. The analysis shows that the way of calling a name which consists of two words gets deletion, for example Muhamammad Hasan, only the final syllable that remains, the syllable "Muh-ham" will get deletion, until the syllable "mad" which remains. Sometimes, the realization phoneme /d/ in the syllable "mad" when pronounced will be /t/, therefore Muhammad Hasan will be called Mat Hasan. This is influenced by the structure of the language of Madura itself which often occurs in their daily life. It is a reduplication (morphological aspect) that occurs in the words of Madura, For example, word “rèng-orèng”, on the first word, the syllable "o" will get deletion, the word “rèng” which only remains. So, the word "orèng-orèng" becomes "rèngorèng".
ABSTRAK Nama panggilan adalah sebuah nama yang digunakan untuk memanggil seseorang. Di Madura, cara memanggil nama panggilan orang khususnya yang berbahasa Arab, terdapat keunikan yang berbeda dengan cara memanggil nama orang di daerah lainnnya. Paper ini bertujuan untuk menjelaskan kira-kira faktor-faktor apa yang mempengaruhinya, karena sebagaimana yang di katakan Sapir-Whorf bahwa “Bahasa dapat mempengaruhi pola pikir manusia”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pelesapan atau delisi, yaitu meneliti sebuah konstruksi yang mengalami pelesapan dalam sebuah bahasa. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam pemanggilan sebuah nama yang terdiri dari dua kata telah mengalami pelesapan, misalnya Muhamammad Hasan, maka hanya suku kata akhir yang akan tetap ada, suku kata “Muh-ham” akan mengalami pelesapan, hingga hanya tersisa suku kata “mad”. Namun, dalam pengucapannya fonem /d/ dalam suku kata “mad” dalam realisasinya ketika diucapkan akan mengalami perubahan menjadi /t//, oleh karena itu Muhammad Hasan dipanggil Mat Hasan. Hal ini dipengaruhi oleh satu
260
struktur bahasa Madura (tataran morfologi) yang sering di ucapkan dalam kesehariannya, yaitu bentuk reduplikasi yang terjadi dalam kata-katanya. Misalnya kata orèng-orèng, maka pada kata pertama, suku kata “o” akan mengalami pelesapan, kemudian hanya tersisa “rèng”, sehingga “orèngorèng” menjadi “rèng-orèng”. Kata kunci: nama panggilan; bahasa Madura; pelesapan
A. PENDAHULUAN Sebutan Madura mengacu pada sebuah kawasan yang terletak di sebelah timur laut kota Surabaya, di sebelah utara Selat Madura, dan di sebelah selatan Laut Jawa. Kawasan ini meliputi seluruh daratan Pulau Madura, dan juga pulau-pulau kecil yang terdapat disekitarnya, seperti Pulau Sapudi dan Kangean. Kawasan ini terbagi empat wilayah, yaitu Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Penduduk yang mendiami kawasan ini adalah mayoritas masyarakat etnik Madura yang menuturkan bahasa Madura. (Sutoko, 1998: 1) Menurut pendapat para penuturnya, dalam kegiatan dan pelaksanaan pemakaiannya, bahasa Madura mempunyai empat dialek, yaitu (1) dialek Bangkalan, (2) dialek Pamekasan, (3) dialek Sumenep dan (4) dialek Kangean. Dialek tersebut bisa diketahui dari ciri-ciri masing dialek melalui perbedaan leksikalnya, fonologisnya, dan perbedaan intonasinya. (Sutoko, 1998: 43) Namun di balik itu semua, ada satu hal kecil yang menarik untuk dikaji diantara salah satu dari kebudayaan yang ada di Madura, yaitu cara memanggil nama panggilan orang di Madura. Nama diri adalah identitas seseorang. Lazimnya seorang anak manusia akan memiliki sebuah nama. Biasanya nama seseorang itu lebih dari dua suku kata sehingga nanti dia akan memiliki sebuah nama panggilan. Fungsi nama panggilan sendiri adalah agar mempermudah untuk mengingat dan mengenal seseorang. Misalnya “Fahrurrazi” terdiri dari empat suku kata yaitu “Fah-rur-ra-zi” maka orang lain bisa memanggil dia “Fahrur” atau “Razi”. Hal ini adalah hal yang lazim menurut kebiasaan. Namun, di Madura ada perbedaan cara memanggil yang berbeda dengan daerah lainnya. Misalnya ada nama “Abdurrahman” maka akan dipanggil “Durrahman”. Kenapa kok tidak dipanggil dengan sebutan yang lebih baik misalnya “Abdu” atau “Rahman”? Hal ini berbeda dengan contoh pada nama “Fahrurrazi”. Tentu saja Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
261
hal ini bukanlah suatu hal yang salah dan jelek misalnya orang Madura suka mempelesetkan bahasa atau penyebutan nama yang tidak sesuai dengan struktur bahasa adalah fakta orang Madura (Fauzi, 2011: 2). Secara kebahasaan tentu fenomena ini bisa dijelaskan secara ilmiah. Sebagaimana konsep kebahasaan yang dimiliki oleh SapirWhorf bisa dilihat dengan dua sudut pandang (Wadhiarso, 2005: 2): a. Hipotesis pertama adalah linguistics relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum parallel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut. b. Hipotesis kedua adalah linguistic determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. Intinya, linguistic relativity (relativitas bahasa) menyatakan bahwa perbedaan dalam berbagai bahasa mencerminkan pola pikir yang berbeda dari penutur bahasanya, sedangkan linguistic determinism (determinisme bahasa) menyatakan bahwa bahasa yang digunakan untuk menentukan cara pandang dan pola pikir penuturnya dalam melihat realitas dunia (Strazny, 2005: 927). Oleh karena itu, dalan tulisan ini akan dibahas mengenai cara memanggil nama panggilan orang di Madura. Hal itu karena menurut penulis, cara memanggil nama panggilan orang di Madura dipengaruhi oleh struktur bahasa yang digunakan dalam bahasa Madura. Apakah benar cara memanggil nama panggilan orang di Madura itu dipengaruhi oleh bahasa Madura? Dalam tulisan ini, penulis fokus pada cara pemanggilan nama panggilan orang yang menurut penulis tidak sesuai dengan kaidah bahasanya, terutama nama-nama orang Madura yang berbahasa Arab, karena struktur bahasanya sama dengan bahasa Arab. Namun, jika terdapat perubahan dalam pemanggilannya tentu tidak akan sesuai dengan struktur bahasa yang ada dalam bahasa Arab. Fenomena ini telah terjadi di Madura, sebagaimana pada contoh nama “Abdurrahman” yang dipanggil “Durrahman”, maka nama Cara Memanggil Nama Panggilan Orang di Madura (Fahrurrazi)
262
panggilan ini jelas tidak sesuai dengan struktur bahasa Arab. Tapi, lebih penting lagi kira-kira faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadi cara pemanggilan yang seperti itu. Ini penting karena merupakan budaya khas orang Madura. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan digunakan metode analisis distribusional, yaitu sebuah metode yang alat penentunya adalah adalah dari dalam bahasa itu sendiri (Soeparno, 2002: 121). Namun, tidak semua metode yang ada dalam metode distribusional akan digunakan semua. Penulis hanya akan menggunakan salah satunya, yaitu teknik pelesapan atau delisi. Teknik pelesapan atau delisi adalah suatu unsur atau suatu satuan lingual yang menjadi unsur dari sebuah konstruksi (morfologis atau fraseologis) dilesapkan atau dihilangkan serta akibat-akibat struktural apa yang terjadi dari pelesapan itu, Jadi teknik ini pada hakekatnya adalah pengurangan unsur dari sebuah konstruksi (Subroto, 1992: 77). B. SEPUTAR MADURA 1. Geografis Madura Pulau Madura terletak di sebelah timur laut Pulau Jawa, yakni diantara 113°-115° Bujur Timur dan 6.5°-75° Lintang Selatan. Batasbatas pulau Madura ialah sebelah selatan selatan merupakan Selat Madura, sebelah utara merupakan Laut Jawa, sebelah timur merupakan Laut Jawa, sebelah barat merupakan Selat Madura. Pulau Madura tidak memiliki gunung berapi maupun sungai yang lebar yang efekftif untuk pengairan. Oleh karena itu, keadaan tanah di pulau Madura sangat tandus. Sebagian kecil daerah disepanjang pantai selatan terdiri atas sawah tadah hujan yang hanya dapat ditanami padi pada musim hujan. Sisanya yakni di daerah pedalaman sampai di bagian utara, memanjang dari barat ke timur tanah pegunungan dan tegalan yang tanahnya agak liat dan berwarna kuning kecokelatan (Sutoko, 1998: 32-33). 2. Sejarah Penamaan Pulau Madura Secara keretabasa (etimologi rakyat) di kalangan masyarakat awam banyak berkembang asal usul nama Madura yang direka-reka sebagai singkatan suatu ungkapan yang dikaitkan dengan mitologi dan legenda setempat. Terkenal diantaranya adalah maddhuna saghârâ (madu segara), maddhu è ra-ara (madu di tanah lapang), Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
263
maddhuna dârâ (madu darah), madârâ (berdarah), padhu ara (dari bahasa Jawa Kawi padu ara yang berarti pojok tanah air, atau tapak di pojok Jawa), dan lemah dura (juga dari bahasa Kawi yang berarti tanah di kejauhan). Akan tetapi tidak satu pun diantara dugaan asal usul nama Madura yang bersumberkan singkatan tadi memiliki landasan ilmiah tak terbantahkan, karena dulu memang bukan demikian cara orang memberi nama pada suatu tempat. (Rifai, 2007:30) Menurut Gonda (1973) sebagaimana dikutip oleh Rifai, penamaan Madura berasal dari orang India pada abad-abad awal millennium pertama. Mereka adalah kaum Brahmana yang terhitung terpelajar tadi menggunakan bahasa Sansekerta dinamakanlah pulau tersebut Madura. Kata Madura menurut Mardiwarso sebagaimana yang dikutip oleh Rifai dalam bahasa Sansekerta berarti permai, indah, moleh, cantik, jelita, manis, ramah tamah, dan lemah lembut. (Rifai, 2007: 28-29). 3. Keadaan Sosial Madura Di Madura terdapat ciri khas yang berbeda dengan daerah lainnya. Kekuatan sosial kemayarakatan sangat erat sekali di antara mereka. Mereka hidup dalam perumahan yang berkelompok-kelompok. Perumahan yang berkelompok menjadi satu itu disebut tanean lanjang, arti harfiahnya ialah “pekarangan panjang”. Menurut Cf, Koesnoe (1975), Laceulle (1929) dan Ter Haar (1939) tanean lanjang adalah pemukiman yang tertua di Pulau Madura. (Jonge, 1989: 13) Di pekarangan terdapat rumah, dapur, kandang, dan sering juga sebuah langgar. Pada dasarnaya semua rumah dibangun di bagian utara halaman dengan sisi depannya menghadap ke selatan. Dapur dan kandang didirikan berhadapan dengan perumahan dengan sisi depannya menghadap ke utara (“petani harus bisa mengawasi istri dan ternaknya”). Langgar menutup pekarangan tersebut dibagian barat. Pada malam hari langgar digunakan sebagai tempat tidur bagi anak laki-laki yang sudah besar. Di sekitar pekarangan terdapat pohon-pohon, semak-semak, belukar, dan tanaman-tanaman yang membuat perumahan itu sebagian besar tertutup dari pandangan mata. Pertama-tama tumbuhan dipekarangan itu, kadang kadang diperkuat oleh pagar bambu yang Cara Memanggil Nama Panggilan Orang di Madura (Fahrurrazi)
264
dibelah, berfungsi sebagai perlindungan. Di samping itu tanamantanaman tersebut memenuhi aneka ragam kebutuhan seperti sayur mayur, buah-buahan, bunga, rempah, dan kayu bakar. Tanaman kacang-kacangan, umbi-umbian, dan tanaman yang menjalar itu saling menunjang satu sama lain atau merambat di pohon-pohon kelapa, siwalan, atau memba. Di antara bangunan-bangunan itu tumbuh pohon pisang dan pohon papaya. Di pedalaman yang jauh letaknya, pagar-pagar hidup itu terjalin dengan jenis bambu yang berduri sehingga tidak mudah pagar itu dilalui. Setiap tanean lanjang memiliki pintu masuk resmi. Dianggap tidak sopan bagi orang luar untuk masuk dengan menggunakan jalan yang menyimpang (Jonge, 1989: 14). C. KARAKTERISTIK TATA BAHASA MADURA Sebagaimana halnya di Jawa, prasasti yang pernah dijumpai di Madura juga beraksara Pallawa serta menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Dapatlah dimengerti jika kemudian bahasa Madura juga dituliskan dengan aksara anacaraka yang disebut dengan carakan Madura. Aksara inilah yang semula diajarkan pada anak-anak sekolah diakhir abad XIX, tetapi lambat laun lalu digantikan dengan huruf Latin. Dikalangan pesantren dikembangkan penggunaan huruf Arab untuk menuliskan bahasa Madura yang disebut peghu. Sekarang penulisan bahasa Madura sudah umum dilakukan dengan abjad Latin. Dalam bahasa Madura asli dikenal adanya 7 atau 8 realisasi vokal (a,â,è,e,I,o,ó,u), dan 26 atau 27 realisasi konsonan (b,bb,c,d,dh,ḍ,ḍh,f,g,gh,j,jh,k,l,m,n,ng,ny, p,r,s,t,u,y), tetapi rupanya tidak ada diftong sejati, walaupun ada bunyi ay,ây,au,oy dan uy. Beberapa huruh seperti sy,kh,q,x,v, dan z dipakai untuk menuliskan unsur serapan kata asing. Berbeda dengan bahasa Indonesia serta kebanyakan bahasa suku-suku bangsa nusantara lainnya, dalam kata-kata bahasa Madura terdapat kata-kata dengan konsonan rangkap (seperti lebbâs, cacca, eddus, sokkla, kappra dan petteng). (Rifai, 1989: 51) Bahasa Madura memiliki ciri khas yang berbeda dengan bahasa-bahasa lainnya. Keunikan itu terletak pada tataran morfologisnya. Menurut Lieber (2009: 2) morphology is the study of word formation, including the ways new words are coined in the languages of the world, and the way forms of words are varied Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
265
depending on how they’re used in sentences (Morfologi adalah studi mengenai pembentukan kata, termasuk cara pembentukan kata baru dalam bahasa-bahasa di dunia dan variasi-variasi kata berdasarkan cara penggunaannya dalam kalimat). Tata bahasa Madura ini memiliki keunikan sendiri sehingga sangat menarik untuk dikaji. Bahasa Madura dari tataran morfologisnya bisa kita lihat sebagai berikut (Azhar, 2011). 1. Bentuk ulang dalam bahasa Madura pada umumnya berupa perulangan sebagian suku akhir, hanya sedikit yang berupa perulangan sebagian suku awal, dan tidak dijumpai perulangan penuh. Seperti contoh ‘nak-kanak’ (anak-anak), ‘lon-alon’ (alun-alun), ‘ter-penter’ (pandai-pandai), ‘din-raddin’ (cantik-cantik). 2. Konstruksi komparatif atau untuk menyatakan “lebih.dari”, digunakan konstruksi D+an. Sebagai contoh ‘raja’an’ (lebih besar), ‘penterran’ (lebih pintar). Dengan konstruksi seperti itu, Bahasa Madura meletakkan penanda komparatif di belakang, berbeda dengan Bahasa Indonesia yang meletakkan penanda komparatif di depan seperti frasa ‘lebih besar’ dan ‘lebih pintar’. (D = Kata Dasar). 3. Konstruksi superlatif atau menyatakan “paling”, digunakan konstruksi R+D+-an. Seperi contoh ‘terpenterran’ (paling pintar), dan ‘dinraddinan’ (paling cantik). (R = Reduplikasi) 4. Untuk menyatakan “berlagak seperti orang” digunakan konstruksi R+ma+D, seperti contoh ’Jamaraja’ dalam kalimat ’Jha’ jamaraja’ (jangan berlagak seperti orang besar, ’Jha’ ne’makene’ (jangan berlagak seperti orang kecil. Selain itu prefiks [ma-] yang melekat pada bentuk ulang dapat berposisi di depan bentuk ulang atau dengan kata lain berstruktur ma- + R + D, seperti pada kata ’majaraja’ (menjadikan besar-besar) dalam kalimat ’pupuk rowa majaraja tanemman’ (pupuk itu menjadikan tanaman besar-besar).
Cara Memanggil Nama Panggilan Orang di Madura (Fahrurrazi)
266
Pelafalan bahasa Madura dapat tajam ataupun halus, condong bernada rendah dan terdengar berat sehingga sangat terasa asing bagi telinga bukan orang Madura. Penyebabnya karena terjadinya vocal lunak â (yang dilafalkan mirip seperti e) hampir sama dengan vocal eu Sunda dan Aceh). Yang adakalanya dirangkai dengan konsonan l,r,w,dan y (bulâ – saya, disamping lako – kerja; gherrâ – kaku, disamping mera – merah; ghuwâ – gua, di samping powa – mudah digigit; serta diyâ – di sini, disamping paya – payah), serta yang selalu dirangkai dengan konsonan b, bh, d, dh, ḍ, ḍh, g, gh, j dan jh (bâlâ – beri tahu dan bhâlâ – keluarga; dâlâ’ – sodomi dan dhâlâ – sampai; ḍâḍâ – dada dan ḍhâḍhâ – rentan; gâgâ’ – gagah dan ghâghâ – raba; serta jâgâ – jaga dan jhâghâ – bangun). Para penutur bahasa Nusantara yang lainnya pada umumnya sulit menirukan atau melafalkan bentuk-betuk tersebut dengan tepat karena dalam bahasa mereka gejala monofernemis seperti itu tidak dikenal. (Rifai, 2007: 52) Itulah karakteristik bahasa Madura yang sangat menunjukkan ciri khas bahasa Madura berbeda dengan bahasa lainnya. Namun ciri khas yang sangat menonjol dan sering digunakan dalam seharihari sebagaimana menurut Pratista (1984) dan Steven (1991) yang dikutip oleh Rifai (2007: 52), yaitu bentuk reduplikasi yang dilakukan dengan mengulang suku kata akhir (dwilingga: rèng-orèng – orangorang, lo’-tello’ – hari ketiga, ra’-para’ – dekat tapi jauh, ghu-ongghu – sungguh-sungguh, juk-tojuk – duduk. Bentuk reduplikasi sering terjadi dalam keseharian orang Madura, karena reduplikasi ini terdapat dalam banyak aspek, yaitu kata benda (rèng-orèng), kata kerja (juk-tojuk), kata sifat (ghuongghu), kata keterangan (ra’-para’). Secara morfologis tentu bentuk kata reduplikasi itu punya kata dasar yakni kata yang terakhir. Secara pemaknaan dalam kata benda itu menunjukkan kejamakan, dalam kata kerja menunjukkan ke-intransitifan, dalam kata sifat maknanya tetap sesuai dengan kata dasarnya, dalam kata keterangan juga tetap sama dengan makna kata dasarnya. Namun dalam penghitungan menyatakan pembagian dan waktu (tergantung konteksnya), misalnya lo’-tello’ (tiga-tiga) bisa berarti “di bagi tigatiga” atau bermakna “hari ketiga”. Selain itu, karakteristik bahasa Madura lainnya, adalah dalam bahasa Madura pada umumnya, memiliki tiga tingkat tutur. Pertama Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
267
Basa enjaq-iya, merupakan tingkat varian bahasa yang biasa atau ngoko dalam bahasa Jawa. Kedua Basa Engghi-bunten, merupakan tingkat varian yang lebih halus dari Basa enjeq-iya, dalam bahasa Jawa sama dengan tataran Madya, jenis bahasa ini dipakai oleh sesama kawan dalam situasi pergaulan yang formal; satu sama lain saling menghargai. Ketiga Basa engghi-bunten, merupakan tingkat tutur dalam bahasa Madura yang paling tinggi atau halus, dalam bahasa Jawa setingkat dengan kromo; jenis bahasa ini dipakai oleh orang Madura dalam situasi satu sama lain saling menghormati. (Wibowo, 2002: 33) D. ASAL MUASAL PENAMAAN ORANG MADURA YANG BERNUANSA ISLAM Pertama-tama nama-nama orang Madura tidak bernuansa Islam (berbahasa Arab). Namun, karena masuknya Islam ke Madura maka nama-nama seperti, Lenggi, Pandan, Arta’, Buter dan Kaddu’ yang tempo dulu umum diberikan pada anak-anak Madura lalu tergantikan dengan nama-nama yang Islami, Misalnya nama yang bersumber pada Asmaul Husna (nama-nama suci Allah seperti Abdurrahman), nama-nama nabi (seperti Yunus, Ayyub, dan Musa), intinya yang terkait dengan keislaman atau berbahasa Arab. Karena dalam lima dasawarsa terakhir penggunaan jhâjuluk (nama-nama tua pengganti) yang berbahasa Jawa Kawi dan berbau feodal sudah ditinggal orang, maka nama-nama yang bernuansa Islam jadi terpatrikan terus menerus dalam masyarakat Madura. (Rifai, 2007, 44-45). Mengenai cerita masuknya Islam ke Madura, Islam masuk ke Madura dimulai sejak paruh abad ke-15, pertama kali di daerah sekitar pantai selatan Sumenep. Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. Menurut Schrieke (1955) penyebar yang pertama ialah pedagang yang berasal dari India (Gujarat), Malaka, dan Sumatera (Palembang). Kemudian menurut De Graaf dan Pigeaud (1974) kemudian mereka disusul dengan pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaan dagang kecil Surabaya dan Gresik. Abdurrahman (1971) mengatakan bahwa menurut cerita turun temurun, seorang anak lelaki dari saudaranya Ampel menetap di desa pasudan dekat ibukota sumenep. Oleh karena itu, pengislaman penduduk di Madura meluas lebih lanjut Cara Memanggil Nama Panggilan Orang di Madura (Fahrurrazi)
268
setelah raja-raja, mungkin pada pertengahan Abad 16, memeluk agama Islam dan mendorong penyebarannya. Pada pertengahan abab lalu, menurut Hageman (1858) di Sumenep terdapat 2.120 “ulama islam”, lebih banyak dari pada Madura Barat dan pamekesan. Hal itu, dikarenakan sumenep menjadi kawasan perdagangan yang paling ramai, sehingga menjadi daerah Islam yang penting. Kemudian menurut Geertz (1960) pada abad ke-19, cita-cita untuk menaati ajaran agama Islam menjadi semakin kuat, semakin lebih ditekankan ketika hubungan-hubungan antara penduduk nusantara Indonesia dan semenanjung Arab semakin meningkat. Pengalaman-pengalaman para jamaah haji yang kembali dari Mekah, informasi dari para imigran Arab, dan penelaahan karyakarya baru oleh pemimpin keagamaan terkemuka menyebabkan gambaran-gambaran yang semakin jelas tentang ajaran agama Islam dan tafsiran-tafsirannya. (Jonge, 1989: 240-241) Menurut Wirjoasmoro sebagaimana di kutip oleh Kuntowijoyo (1989: 44) Kehidupan keagamaan berakar kuat dalam adat orang Madura. sepanjang tahun penuh dengan selamatan-selamatan Islam-adat. Salah satu diantaranya, misalnya dilaksanakannya Tajin sora (sebuah selamatan bubur dan ayam, dilaksanakan pada bulan Sora atau Muharram, bulan pertama pada bulan Islam), Safar (sebuah sedeka lain untuk mengenang Sayyid Abu Bakar yang telah memenangkan perang melawan Dajjal, Raja Iblis, Molotan (Maulid Nabi) pada bulan Rabiul Awal, Arasol pada bulan Rabiul awal, dan masih banyak-banyak adat islami lain yang setiap bulannya ada. Begitupun, kehidupan sehari-hari anak-anak juga penuh dengan suasana keagamaan. Sebelum tidur anak-anak membaca dua kalimat syahadat. Para santri suka sekali hadrah, atau main gendang dan menyanyi. Singkatnya, agama memainkan peranan sangat penting dalam sosialisasi anak-anak dan kehidupan seharihari orang pada umumnya. Penting juga untuk diperhatikan bagaimana kehidupan keagamaan diturunkan dari generasi ke generasi. Pendidikan agama memenuhi kegiatan sehari-hari baik tua maupun muda. Orang tua mengirimkan anak-anak mereka ke pusat pendidikan agama, mengajar mereka di rumah, atau kedua-duanya. Lembaga pendidikan terendah adalah sekolah-sekolah langgar yang merupakan milik pribadi guru-guru agama. Jumlah sekolah-sekolah langgar seperti itu besar sekali. Menurut laporan-laporan, pada Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
269
tahun 1893 pernah terdapat 54.241 langgar. (Kuntowijoyo, 1989: 4445) E. CARA MEMANGGIL NAMA PANGGILAN ORANG DI MADURA 1. Nama yang berawalan Muhammad Nama yang berawalan Muhammad kemudian diikuti oleh sebuah kata misalnya dalam nama Muhammad Hasan, maka hanya suku kata yang akhir yang akan tetap ada kemudian dua suku kata sebelumnya (suku kata “Muh-ham”) akan mengalami pelesapan/delisi. Sehingga, hanya akan tersisa suku kata “mad”. Kemudian Fonem /d/ (Voice Alpiko Alveolar) dalam suku kata “mad” dalam realisasinya ketika diucapkan akan mengalami perubahan menjadi /t/ (Voiceless Alpiko Alveolar). Oleh karena itu cara memanggil nama Muhammad Hasan menjadi Mat Hasan. Begitupun ketika kata sesudah Muhammad itu bukan berbahasa arab. Misalnya pada contoh Muhammad Banjir. Maka prosesnya sama seperti pada contoh sebelumnya. Cara memanggil nama panggilan nama Muhammad Banjir akan menjadi Mat Banjir. Sama halnya walaupun ketika ada kesamaan pengucapan fonem terakhir dalam suku kata “mad” dengan fonem awal pada kata setelahnya, misalnya pada kata Muhmmad Tahir. Maka, sama juga dengan contoh nama sebelumnya, yang mengalami perubahan hanya pada kata Muhammad-nya, sedangkan kata setelahnya tetap tidak berubah. Sehingga nama Muhammad Tahir pun dipanggil “Mat Tahir”. Contoh nama lainnya, misalnya Muhammad Hari menjadi Mat Hari dan Muhammad Bahri menjadi Mat Bahri. Fenomena-fenomena tersebut terjadi karena bentuk morfologi dalam reduplikasi kata-kata yang sering terjadi di Madura. Misalnya, juk-tojuk dalam pembentukan morfologisnya mirip dengan Mat Hasan, Mat Tahir, dan Mat Banjir. 2. Nama yang berawalan Ahmad Nama yang berawalan Ahmad dalam proses pemanggilannya sama juga dengan pada pembahasan nama yang berawalan Muhammad. Namun berbeda dengan kata Muhammad, dalam kata Ahmad hanya mengalami satu pelesapan yakni hanya satu suku kata, yakni suku kata “Ah”. Sehingga pun yang tersisa hanya suku kata “mad”. Jadi nama yang berawalan Ahmad misalnya pada contoh nama Ahmad Cara Memanggil Nama Panggilan Orang di Madura (Fahrurrazi)
270
Yasin maka akan menjadi Mat Yasin. Contoh lainnya, misalnya Ahmad Hasin menjadi Mat Hasin dan Ahmad Alwi menjadi Mat Alwi. Fenomena-fenomena tersebut juga terjadi karena bentuk morfologi dalam reduplikasi kata-kata yang sering terjadi di Madura. Misalnya, ra’-para’ dalam pembentukan morfologisnya mirip dengan Mat Yasin dan Mat Alwi. 3. Nama yang berawalan Abdul Nama yang berawalan Abdul kemudian diikuti oleh sebuah kata misalnya dalam nama Abdul Hakim, maka hanya suku kata akhir yang akan tetap ada, kemudian suku kata sebelumnya (suku kata “ab”) akan mengalami pelesapan/delisi. Sehingga, hanya akan tersisa suku kata “dul”. Tapi pada fonem terakhir /l/ tidak mengalami perubahan dalam realisasinya. Sehingga nama Abdul Hakim akan dipanggil dengan nama Dul Hakim. Sebenarnya kata Abdul menurut kaidah bahasa Arab, terdiri dari dua morfem yakni morfem Abdu dan al. Tapi, pada dalam penulisan latinnya menjadi Abdul. Misalnya pada contoh Abdul Hakim, dalam kaidah bahasa arabnya harusnya penulisannya adalah Abdu Al-Hakim. Al ( )الatau lam ta’rif adalah lam yang masuk pada isim (kata benda). Lam ta’rif ketika ketika menghadapi huruf hijaiyah akan memiliki dua peraturan. Pertama, lam (l) itu harus dibaca jelas ketika bertemu dengan huruf ( ء ب غ ح ج ك و خ ف ع ق ي مtransliterasinya: ’, b, gh, ḫ, j, k, w, kh, f, ’, q, y, m, h), secara istilah ini disebut dengan huruf qomariyah. Kedua, lam (l) di masukkan (lamnya tidak dibaca, kemudian bacaannya sesuai huruf sesudahnya) ketika bertemu dengan huruf ( ط ث ص ر ت ض ذ ن د س ظ ز ش لtransliterasinya: th, t, sh, r, ts, dl, dz, n, d, s, zh, z, sy, l), secara istilah ini disebut dengan huruf syamsiyah. (Annuri, 2010: 115-116). Jadi ketika fonem /l/ bertemu dengan fonem fonem huruf syamsiyah maka fonem /l/ akan berasimilasi dengan fonem sesudahnya. Misalnya, dalam nama Abdurahman (secara penulisan arab sebenarnya (Abdu Al-Rahman) maka akan menjadi Durrahman. Sebenarnya proses pelepasaan/delisi fonem /l/ dalam realisasinya memang karena kaidah dalam bahasa Arab. Jadi, Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam cara pemanggilan nama orang yang berawalan Abdul ketika bergabung dengan kata lain Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
271
sesudahnya, maka perubahannya hanya pada pelesapan suku kata “ab”-nya. Kemudian fonem /l/-nya kadang tetap diucapkan secara jelas atau tidak jelas sesuai fonem apa yang ada sesudah fonem /l/ sebagaimana pada penjelasan sebelumnya. Contoh lainnya, misalnya Abdussyakur menjadi Dussyakur dan Abdul Mu’ien menjadi Dul Mu’ien. Fenomena-fenomena tersebut juga terjadi karena bentuk morfologi dalam reduplikasi kata-kata yang sering terjadi di Madura. Misalnya, te-sate dalam pembentukan morfologisnya mirip dengan Durrahman dan Dussakur. 4. Nama yang berwalan Abu Nama yang berawalan Abu kemudian diikuti oleh sebuah kata misalnya dalam nama Abu Namin, maka hanya suku kata akhir yang akan tetap ada, kemudian suku kata sebelumnya (suku kata “a”) akan mengalami pelesapan/delisi. Sehingga, hanya akan tersisa suku kata “bu”. Dalam pengucapannya pun akan tetap di baca “bu” karena berakhiran suara vokal, yakni vokal /u/. Sehingga nama Abu Namin dipanggil Bu Namin. Namun penulis hanya sedikit menemukan nama-nama yang berawalan Abu. Fenomena ini pun juga terjadi karena bentuk morfologi dalam reduplikasi kata-kata yang sering terjadi di Madura. Misalnya, lo’-telo’ dalam pembentukan morfologisnya mirip dengan Bu Namin.
F. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, penulis dapa mengambil kesimpulan bahwa cara pemanggilan nama panggilan orang di Madura di pengaruhi oleh salah satu struktur bahasa Madura (tataran morfologi) yang sering di ucapkan dalam kesehariannya, yaitu bentuk reduplikasi yang dilakukan dengan mengulang suku kata akhir (contoh: rèng-orèng – orang-orang, lo’-tello’ – hari ketiga, ra’para’ – dekat tapi jauh, ghu-ongghu – sungguh-sungguh, juk-tojuk – duduk. Dalam reduplikasi yang terjadi dalam kata bahasa Madura, sebenarnya mengalami pelesapan atau delisi pada sebelum suku kata terakhir. Misalnya oreng-oreng maka, pada kata pertama, suku kata “o” akan mengalami pelesapan, kemudian hanya tersisa “rèng”, sehingga “orèng-orèng” akan menjadi kata “rèng-orèng”. Sama Cara Memanggil Nama Panggilan Orang di Madura (Fahrurrazi)
272
halnya juga, pada nama-nama yang seperti Muhammad Hasan dipanggil Mat Hasan, Abdurrahman dipanggil Dur Rahman, Abu Namin dipanggil Bu Namin. Berdasarkan penelitian ini, maka jelas bahwa cara pemanggilan nama panggilan orang di Madura sesuai dengan salah satu Hipotesis saphir Whorf yang mengatakan bahwa bahasa bisa mempengaruhi pola pikir manusia. Selain itu, hal ini juga sesuai dengan salah satu teori sosiolinguistik, yaitu interferensi. Interferensi menurut Weinreich sebagaimana dikutip oleh Jendra (2010: 94) adalah “Interference is originally used to refer to the deviation from the norm of using language that occurs in the speech of bilinguals as an effect of their familiarity with another language”. Dalam pandangannya, interferensi terjadi apabila ada suatu penyimpangan dalam penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa atau pengenalan lebih dari satu bahasa, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa interferensi merupakan penyimpangan norma-norma bahasa yang satu akibat pengaruh bahasa yang lain (Ubadillah, 2011: 4). Dengan kata lain, cara memanggil nama panggilan orang di Madura yang strukturnya merupakan struktur bahasa arab mengalami interferensi oleh kekuatan bahasa Madura sendiri yang merupakan bahasa ibu orang Madura sendiri. G. DAFTAR PUSTAKA Azhar, Iqbal Nurul. 2010. “Verba Bahasa Madura” http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/artikelbahasa/verba -bahasa-madura/. Annuri, Ahmad. 2010. Panduan Tahsin Tilawah Al-Qur’an dan Ilmu Tajwid. Jakarta: Al-Kautsar. Edi Subroto, D. 1992. Pengantar Metode Linguistik Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Fauzi. 2011. Membongkar Mitos Dan Label Negatif Orang Madura: (Analisis Semiologis Roland Barthes dan Dekonstruksi Jacques Derrida). Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jendra, Made Iwan Indrawan. 2010. Socilinguistics. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274
Linguistika Akademia
ISSN: 2089-3884
273
Jonge, de Hub. 1989. Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam. Jakarta: PT. Gramedia. Kuntowijoyo. “Agama Islam dan Politik: Gerakan-gerakan Sarekat Islam Lokal di Madura, 1913-1920 dalam Jonge, Hub de (ed). 1989. Agama, Kebudayaan. dan Ekonomi: Studi Interdicipliner tentang Masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali Pers. Lieber, Rochelle. 2009. Introducing Morphology. United States of America: Cambridge University Press. Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media. Soeparno. 2002. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Strazny, Philipp (ed.). 2005. Encyclopedia of Linguistics. New York: An Imprint of the Taylor & Francis Group. Sutoko dkk. 1998. Geografi Dialek Bahasa Madura. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ubaidillah. 2011. “Interferensi Penggunaan Nama Diri Berbahasa Arab di Indonesia” dalam Adabiyyat Jurnal Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya. Wadhiarso, Wahyu. 2005. Pengaruh Bahasa Terhadap Pikiran. http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/hubungan_antara_bahasa _dan_pikiran.pdf. Wibowo, dkk. 2002. Tatakrama Suku Bangsa Madura. Yogyakarta: CV. Fisca Sari.
Cara Memanggil Nama Panggilan Orang di Madura (Fahrurrazi)
274
Linguistika Akademia, Vol. 1, No. 3, 2012 : 259 – 274