Kata orang, nama adalah doa. Namaku Glann. Teman-teman memanggilku dengan glen. Diadaptasi dari kata Glans, yang dalam Bahasa Belanda artinya sinar atau kilatan cahaya. Aku lahir di Amsterdam sewaktu ibu ikut ayah meneruskan studinya di negeri tulip itu. Ibuku yang memberi nama demikian sebab ia suka sekali cahaya. Nampaknya apa yang dikatakan orang-orang memang benar, setidaknya bagiku. Seperti ibuku, aku juga penyuka cahaya. Lebih dari itu, aku mengagumi dan mencintai. Pertemuanku dengan cahaya berawal secara misterius di sebuah mimpi. Pernah di dalam mimpiku, aku berada di suatu padang rumput yang rumputnya berwarna serba hitam oleh gelap. Tidak ada cahaya. Kemudian di kejauhan seberkas kilau menyemburat. Pandanganku tercuri, aku pun berpaling. Tanpa sadar, seperti ada yang menuntunku ke sana, aku bergerak menuju ke titik itu. Langkahku beriringan dengan gerak sang cahaya. Semakin aku melangkah mendekat, cahaya itu juga
2
semakin bergerak naik membentuk bulatan besar. Aku merasa seperti berjalan mendekati matahari terbit. Lamat-lamat, cahaya yang mulanya serba putih kemudian berubah menjadi warna-warni. Merah, merah muda, kuning, hijau, biru, ungu. Seperti pelangi cahaya. Bermacam warna, berkilauan, beraura magis yang memesona. Aku tersihir namun terus berjalan meski pandanganku terpaku. Akan tetapi, mimpi terkadang juga dramatis dan menyebalkan. Beberapa langkah lagi aku sampai ke cahaya itu, menuju makhluk yang serba misterius itu, aku terbangun. Yang kuhadapi kini bukan lagi cahaya dalam mimpi tadi, namun sinar matahari pagi yang silau menghangatkan. Meskipun nyata dibandingkan dengan yang di mimpi, aku kecewa. Aku bangun, duduk di atas kasur menantang silau cahaya itu dengan mata telanjang. Benakku masih memikirkan peristiwa saat kesadaranku masih berpijak di realitas sebelumnya. Cukup lama, hampir satu jam sampai aku lupa sempat berkedip atau tidak.
3
Aku pun tersadar ada sesuatu dalam diriku yang sungguh aneh nan ajaib. Semacam anomali. Apa yang kulakukan barusan, batinku. Aku berbalik badan, dan kutemukan keganjilan lain yang membuat bulu kudukku meremang. Aku tidak merasakan silau sama sekali. Pandanganku tidak gelap, padahal baru saja menatap matahari selama itu. Ada apa ini, batinku lagi. Dengan percaya diri, badanku kembali kuputar. Aku menatap matahari itu lagi selama lima belas menit. Kali ini, aku menantang diri demi mengonfirmasi apakah aku mampu menatapnya selama itu tanpa berkedip. Tantanganku
rupanya
memverifikasi.
Meskipun
terkejut, namun semacam ada kebanggaan yang mencuat. Aku merasa seperti mendapat mukjizat. Aku pun berterima kasih pada mimpiku, pada cahaya putih yang berubah menjadi warna-warni namun belum kusaksikan dengan saksama. Aku yakin ada pertanda di balik ini semua. Dengan segala kemisteriusan bahkan ketidakmasuk-akalannya, mimpi juga tak jarang soal pertanda, bukan?
4
Aku kembali memikirkan cahaya megah berwarnawarni
dalam
mimpiku.
Pelan-pelan
senyumku
mengembang, dan di dalam hati, ada sebentuk perasaan yang membuncah dan sungguh bersemangat. “Glann, kok belum mandi? Nanti telat loh ke sekolahnya. Sarapan sudah siap” ibu datang membuka pintu sekaligus menjentik lamunanku. “Oh, iya, Bu” jawabku sedikit terkejut. Aku masih penasaran dengan apa yang ada pada cahaya di mimpiku. Rasanya belum tuntas. Kita bahkan belum sempat berkenalan secara resmi. Sudah bertemu, namun belum kenalan. Sial rasanya. Ini belum selesai. Kita harus ketemu lagi. Janjiku dalam hati lalu berjalan menuju kamar mandi.
*** Di kelas,
guru menjelaskan
mengenai berbagai
fenomena langit. Aku terperanjat. Aku teringat mimpiku dua tahun lalu. Rupanya, cahaya di mimpi itu benar-benar ada, dan terjadi. Namanya aurora. Sesaat setelah kuketahui namanya, aku langsung terobsesi, dan
5
bertekad untuk melihatnya langsung di depan mata, suatu hari nanti. Untuk itu, aku banyak mencari tahu dan belajar segala tentang aurora. Sejak saat itu, setiap ke perpustakaan, aku tidak lagi hanya membaca buku-buku dongeng dan hikayat, bacaan yang sangat kugemari sejak masih kanak-kanak.
Sekarang,
buku-buku
mengenai
astronomi resmi masuk jenis bacaan rutin dan favoritku. Bersamaan dengan itu, cintaku pada cahaya semakin tumbuh. Kupikir aurora yang paling indah ada di sebuah negeri di daratan Skandinavia bernama Finlandia. Aku pun ingin ke sana. Segala sesuatu yang berhubungan dengan aurora kini benar-benar menjadi obsesi hidupku. Sumbu semangat yang dinyalakan oleh cahaya impian. “Bu, kenapa ibu suka sekali dengan cahaya?” tanyaku di suatu sore saat ibu menjahit sobekan kecil pada seragam sekolahku. Mendengar pertanyaanku, ibu berhenti dan meninggalkan jahitannya yang belum selesai di atas pangkuannya. “Ibu belum pernah cerita
6
ya?
Kamu
benar-benar
mau
tahu?”
tanyanya
menolehkan pandangan ke kanan, tempatku duduk di sampingnya. Tangannya masih memegang seragamku yang belum selesai dijahit itu. Aku mengangguk untuk kedua pertanyaannya. Nampaknya ibu akan menceritakan sesuatu yang serius mengenai cahaya. Lengan kanannya kini memeluk bahuku. “Glann, langit tidak akan berwarna biru atau jingga jika tidak ada cahaya. Dan tanpa cahaya, kita tidak akan bisa melihat langit biru atau langit jingga” saksama aku mulai menyimak, pembicaraan ini nampaknya akan sangat menarik. “Mata tidak berarti apa-apa tanpa cahaya, Nak. Kalau tidak ada cahaya, mata tidak bisa melihat. Kita semua buta. Sebaliknya, cahaya juga mampu membutakan mata manusia. Cahaya lampu yang terlalu terang atau terlalu remang tidak baik untuk membaca karena akan mengganggu penglihatan”.
Ingin
rasanya
aku
ceritakan
pengalamanku dua tahun lalu di pagi hari itu. Ingin rasanya aku mengungkapkan bahwa cahaya dapat membutakan tidak berlaku padaku. Tapi kuurungkan 7
niat itu. Aku tidak mau merusak momen ibuku bercerita. Terkadang memang pilihan yang paling bijak adalah hanya mendengarkan. “Glann” lanjut beliau ”seorang pendaki dapat tersesat di hutan yang gelap pada malam hari jika tidak ada cahaya bulan atau lampu senter. Begitupun dengan para penyusur gua, kalau mereka tidak bawa senter dan tidak ada celah di dalam sana yang dapat ditembusi cahaya, maka kulit dan tulang mereka sudah rusak oleh karang dan batu. Tanpa cahaya, para pendaki dan penyusur itu akan sangat kesulitan menemukan jalan pulang. Dalam kegelapan, cahayalah yang kita butuhkan, agar kita tahu ke mana kita mengarah. Bagi ibu, cahaya juga merupakan pengingat agar jangan pernah kita merasa sombong sebagai manusia. Tanpa cahaya, kita tidak bisa melihat, tidak tahu bentuk dan warna benda-benda. Tanpa cahaya, hidup ini tidak berwarna, dan tidak ada keindahan”. Aku terdiam memikirkan penjelasan ibu, ibu juga memilih diam dan tersenyum melihatku. Setelah disela hening beberapa detik, aku kembali bertanya,”Lalu bagaimana dengan orang buta, Bu?” 8
“Kamu tahu, kenapa ada orang buta yang hidup bahagia? Karena meskipun matanya buta, tapi mata batinnya tidak. Ada cahaya di dalam sana yang mampu membuatnya
melihat
keindahan”
ibu
menunjuk
dadaku. “Kita yang tidak buta, harusnya lebih bersyukur.” Kembali aku tertegun mendengar ibu.
*** Sudah sepuluh tahun. Kini, Glann sudah dewasa. Tidak banyak yang berubah dari dirinya. Glann yang gemar membaca dongeng. Glann yang kalau berjalan tidak peduli sama siapa pun di sekitarnya, tapi justru menjadi pusat perhatian. Glann yang imajinatif. Glann si pengagum cahaya. Glann yang mencintai aurora. Ada yang bilang cinta sejati itu tidak ada, namun bagi Glann cintanya pada aurora merupakan cinta yang murni dan lestari, dibiakkan oleh jiwa yang meskipun halus tapi energinya sungguh kuat, adidaya tanpa bertendesi menguasai. Entah sejati atau tidak, namun cintanya tulus. Akan tetapi bagi orang-orang di
9
sekitarnya, cintanya buta dan gila. Teman-teman kami di kampus bahkan sampai meragukan kemanusiaannya sebab ia tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada manusia, tapi justru pada cahaya bernama aurora. Cinta yang tidak masuk akal sehat mereka. Padahal kalau mau, Glann bisa sangat mudah mendapatkan pacar. Gayanya yang selalu cuek, tutur bahasanya yang mencerminkan kecerdasan, dan wajahnya yang tampan bisa sangat ampuh menggaet hati perempuan, terutama yang mudah terpesona pada kesempurnaan tampilan luar. Tapi Glann tidak peduli selama cintanya pada aurora masih terpelihara. Cintanya yang hanya satu, dan masih utuh. Sampai suatu saat... Waktu itu, aku dan Glann pergi ke perpustakaan kota. Perpustakaan ini sebenarnya sudah canggih, semua serba
komputerisasi,
termasuk
sistem
absensi
pengunjungnya. Namun karena saat itu sedang mengalami
perbaikan
sistem,
maka
pengunjung
perpustakaan harus mengisi buku tamu secara manual seperti yang sudah disediakan di meja administrasi. Setelah mengisi buku tamu, Glann tampak aneh. Dia 10
seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia juga tidak menuju rak buku anak atau astronomi seperti kebiasaannya setelah mengisi buku tamu. Dia langsung duduk di ruang baca. Selagi aku membaca, kuperhatikan juga Glann yang tampak merenung di depanku. Konsentrasiku terbagi dua, antara buku yang sebenarnya ingin kunikmati ini dengan sahabatku yang nampaknya pikirannya sedang mengembara. Ingin rasanya Glann kutanya langsung apa yang sedang terjadi, namun ini perpustakaan. Aku tidak suka mengobrol di tempat seperti ini. Bagiku perpustakaan adalah tempat mencari, membaca, dan meminjam buku. Bukan tempat berdiskusi apalagi mengobrol. Lima belas menit kubiarkan situasi ini berlangsung. Akhirnya, aku menyerah. Aku tidak tahan melihat Glann. “Glann, lapar nih. Cari makan dulu yok” ajakku berpura-pura. Glann menyambutnya dengan antusias. Nampaknya jebakanku berhasil, atau jangan-jangan dialah
yang
sebenarnya
berhasil
mengumpanku,
sekalipun dia tidak butuh. Selalu begitu, Glann 11
bukanlah tipe orang yang suka curhat duluan, ia pandai mengatasi problemnya sendiri. Tapi kalau ada yang menanyakan terutama orang terdekatnya, ia akan menjawab meskipun musti sedikit dipaksa terlebih dulu. Keluar dari perpustakaan, kami menuju kafe di seberang jalan. Karena aku sebenarnya tidak lapar, namun untuk menutupi kebohongan, aku memesan es teh dan seporsi martabak kari. Glann memesan cappucino dan roti bakar. Menu-menu yang sebenarnya hanya snack bagi kebiasaan makan kami. Sambil menunggu pesanan datang, Glann serius menatap cahaya matahari dari balik jendela. Meskipun sudah dua tahun mengenalnya, namun aku masih selalu tidak habis pikir dengan kemampuan ajaibnya ini. Aku masih sering heran kenapa ia tidak merasakan silau dan pusing sedikit pun? Apakah jangan-jangan dalam dirinya ada titisan Dewa Apollo. Yang lebih tidak aku mengerti, ada apa di balik setiap cahaya itu yang begitu kuat menarik kesadarannya, apa yang dia lihat? Meskipun aku tidak pernah mengerti dunianya yang satu ini, aku adalah satu-satunya teman baiknya. 12