Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto Ditinjau Dari Teori Mas Kawin Oleh, Romi Adi Kurnia Bangngu NIM: 712010032
JURNAL Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi
Program studi Teologi
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2015
Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto Ditinjau Dari Teori Mas Kawin
Abstrak
GKS Jemaat Kambaniru merupakan gereja yang jemaatnya mayoritas berasal dari suku Sabu, masyarakat suku Sabu mempunyai salah satu adat istiadat yang sudah mendarah daging dan harus dilakukan dalam upacara perkawinan yaitu Kenoto. Kenoto dalam bahasa Sabu, sebenarnya berarti tempat sirih yang terbuat dari daun lontar dan khusus dipakai oleh kaum pria dan sesekali juga ada yang dibuat dari daun pandan. Pada dasarnya perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang tetap dan setiap unsur memiliki maknanya sendiri. Dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau harga tidak ada yang dititik beratkan (beban) kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui bersama syarat-syarat dalam pedai kebue (bicara harga) yaitu harga mahar harus sesuai dengan harga mahar dari ibu mempelai wanita dan adapun anggapan orang Sabu bahwa seberapa pun harga yang dibawa oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan harga. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Metode penelitian kualitatif dan dipaparkan hasilnya secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa, di GKS Jemaat Kambaniru telah mengalami pergeseran makna Kenoto, di mana kenyataan yang terjadi saat ini adalah, harga atau nilai Kenoto menjadi tolak ukur harga diri dan prestise seseorang. Kenoto bukan hanya bentuk penghargaan akan perempuan semata tetapi untuk menunjukkan status sosial dan kebanggaan keluarga di dalam kehidupan bermasyarakat sehingga Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan perjanjian adat, saat ini telah berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan juga bentuk penghargaan terhadap harga diri perempuan.
Kata Kunci : Gereja, Sabu, Kenoto
Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto Ditinjau Dari Teori Mas Kawin
ROMI ADI KURNIA BANGNGU
712010032
PENDAHULUAN Kebudayaan adalah “Notre heritage n’est precede d’aucun testamen”‟ atau warisan yang diturunkan pada kita tanpa surat wasiat (René Char, seorang penyair Prancis). 1 Kebudayaan merupakan bagian dari kenyataan hidup manusia, di mana pun mereka hidup. Menurut Ralph Linton, “kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan.”2
Indonesia merupakan Negara dengan beragam suku di dalamnya. Setiap suku memiliki kebudayaan dan ciri khas mereka sendiri, memiliki adat istiadat, bahasa, simbol dan norma aturan yang mereka pegang secara turun temurun. Semuanya itu membuat suku yang satu akan terlihat berbeda dengan yang lainnya. Setiap unsur dalam suatu kebudayaan juga disebut simbol dan ada suatu diantara banyak unsur kebudayaan yang berfungsi sebagai pusat untuk mengintegrasikan unsur yakni unsur upacara, simbol dimaksud adalah dapat berupa benda, peristiwa, tingkah laku dan upacara-upacara. 3 Upacara perkawinan adalah salah satu simbol budaya yang juga hidup dalam peradaban manusia. Dalam sistem perkawinan selalu ada simbol pengikat atau „harga‟ tanda sahnya sebuah ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan dan hal itu dikenal dengan istilah mahar atau mas kawin. Menurut W.J.S. 1
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2011),19.
2
Ralph Linton, dalam Leonard Siregar ‘Antropologi Dan Konsep Kebudayaan’,http://papuaweb.org
(Accessed Agustus 21, 2014; 11:23WIB). 3
Clifford Geertz, Kebudayaan Dan Agama (Yogyakarta : Kanisius,1993), 36.
1
Poerwadarminta dikatakan, bahwa “mahar adalah mas kawin atau pemberian dari mempelai pria kepada mempelai wanita”.4 Mahar atau mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan.
Koentjaraningrat, seorang Antropolog berpendapat bahwa mas kawin mempunyai arti sebagai berikut :
Mas kawin adalah jumlah harta yang diberikan oleh keluarga pihak pemuda kepada gadis dan kaum kerabat gadis. Pada mulanya mas kawin itu berarti sebagai ganti rugi yakni dalam suatu kelompok manusia di mana setiap potensi tenaga yang terdapat dalam kelompok kecil terutama dalam keluarga kecil sangat penting sebab jika setiap kali dari kelompok itu diambil seorang gadis maka kelompok ini akan menderita kerugian, oleh sebab itu mas kawin dianggap sebagai pengganti kerugian. Besar kecilnya mas kawin berbeda-beda pada berbagai suku bangsa, kadang-kadang besar-kecilnya mas kawin harus ditetapkan secara berunding antara kedua 5 belah pihak yang bersangkutan.
Disamping itu, menurut Koentjaraningrat ada beberapa faktor yang umumnya dipakai dalam menentukan besar kecilnya harga mas kawin, yaitu: kedudukan/status sosial, kepandaian, kecantikan dan umur. Lalu kemudian muncul pertanyaan, siapa yang berhak menerima harta mas kawin? Menurut Koentjaraningrat, dalam tradisi masyarakat adat yang berhak menerima harta mas kawin adalah: pertama mas kawin diberikan kepada kaum kerabat si gadis yang diterima oleh orang yang sudah ditentukan. Kedua mas kawin diberikan kepada si gadis. Ketiga mas kawin diberikan kepada si gadis dan kerabatnya.
Pergeseran makna yang terjadi di dalam tradisi Kenoto karena budaya perkawinan di Sumba memakai Belis sebagai simbol untuk melamar seorang wanita yang sudah diwariskan dari nenek moyang orang Sumba secara turun-temurun serta Belis menandakan harga manusia.Orang Sabu yang awalnya tidak mengenal budaya perkawinan orang Sumba yaitu Belis karena hidup berdampingan dengan orang Sumba maka terjadilah akulturasi (penggabungan duabudaya atau lebih yang saling mempengaruhi) sehingga ada hal-hal yang ikut terbawa dalam tata hidup orang
4
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995, ),619.
5
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), 94-96.
2
Sabu diantaranya Kenoto. Sekarang harga Kenoto ditentukan berdasarkan pendidikan, latar belakang keluarga, pekerjaan si gadis dan lain-lain.Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan perjanjian adat, saat ini telah berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan juga bentuk penghargaan terhadap harga diri perempuan.
Namun yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah tentang budaya perkawinan dalam masyarakat Sabu yang disebut Kenoto dengan fokus pembahasan tentang pelaksanaan budaya Kenoto dalam kehidupan orang Sabu yang lahir dan hidup menetap di Pulau Sumba, khusunya di GKS Jemaat Kambaniru, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur yang adalah mayoritas jemaatnya yaitu suku Sabu.
Kata Kenotodalam bahasa Sabu, sebenarnya ialah tempat sirih yang terbuat dari daun lontar dan khusus dipakai oleh kaum pria. Sedangkan tempat sirih pinang yang khusus dipakai oleh kaum wanita adalah Kepepe. Kedua-duanya terbuat dari daun lontar dan sesekali juga ada yang dibuat dari daun pandan, yaitu sejenis pohon yang tumbuh di tepi sungai.Pemuda atau pemudi yang sudah dewasa dan siap nikah disebut Kepai. Pada dasarnya perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang tetap dan setiap unsur memiliki maknanya sendiri.6
Sebenarnya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau harga tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui bersama syarat-syarat dalam pedai kebue (bicara harga) dan seberapa pun harga yang dibawa oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan harga. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah, harga atau nilai Kenoto menjadi tolak ukur harga diri dan prestise seseorang. Kenoto bukan hanya bentuk penghargaan akan perempuan semata tetapi untuk menunjukkan status sosial dan kebanggaan keluarga di dalam kehidupan bermasyarakat. 6
Yunita Wadu, Kebudayaan Sabu, http://yunita-wadu.blogspot.com (Accessed Agustus 21, 2014 ;
15:00WIB).
3
GKS Jemaat Kambaniru, harus lebih teliti dalam melihat budaya Kenoto dalam pergeseran makna hidup orang Sabu, supaya jemaat tidak hanya mementingkan besarnya harga Kenototetapi harus melihat pergeseran nilai-nilai di dalamnya. Gereja juga harus mampu membuat jemaat sadar bahwa tidak hanya melihat besarnya jumlah pemberian dan stratifikasi sosial dari kedua belah pihak yang akan melakukan suatu proses adat Kenoto. Oleh karena itu gereja harus meyakinkan jemaat agar jangan melihat Kenoto sebagai sesuatu hal yang materialistis tetapi menemukan kembali makna Kenoto sebagai suatu simbol ikatan perjanjian adat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis melihat adanya pergeseran nilai harga mas kawin dalam perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini. Untuk itu, penulis merasa perlu untuk meneliti tentang bagaimana pemaknaan orang Sabu yang berdomisili di Kambaniru, Sumba Timur tentang Kenoto dan bagaimana tanggapan GKS Jemaat Kambaniru tentang Kenoto. Oleh karena itu, judul penulisan tugas akhir ini adalah “Sikap GKS Jemaat Kambaniru Terhadap Makna Tradisi Kenoto” Ditinjau Dari Teori Mas Kawin.
Berdasarkan judul penulisan tugas akhir, maka rumusan masalah ialah apa makna Kenoto bagi orang Sabu di GKS Jemaat Kambaniru tentang adat Kenoto saat ini? Melalui penelitian ini diharapkan Orang Sabu dalam hal ini yang juga adalah jemaat GKS Kambaniru menemukan pemaknaan yang sesungguhnya tentang Kenoto. Pemaknaan yang tidak berpusat pada prestise tetapi lebih pada menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Kenoto itu sendiri.Bagi GKS Jemaat Kambaniru, di mana gereja juga berperan sebagai kontrol sosial sehingga diharapkan juga dapat terus memantau perubahan sosial dalam jemaat dan dapat menuntun jemaat untuk melestarikan nilai-nilai luhur dari budaya setempat.
Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian ini bermaksud mendeskripsikan sekaligus menjelaskan sejumlah variabel dan menganalisa hubungan antar variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti.Metode ini memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian yang bersifat aktual, serta menggambarkan tentang variabel-variabel yang diteliti.7
7
Halari H. Nawawi,Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1983) 63
4
Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yaitu jenis penelitian dengan mengumpulkan bahan-bahan informasi dengan melakukan deskripsi tentang kehidupan masyarakat dalam bentuk penguraian fenomena yang ada secara detail dan jelas dalam bentuk kalimat-kalimat serta penelitian akan dilakukan di Waingapu, Sumba Timur khususnya di GKS Jemaat Kambaniru dengan cara observasi dan interview. Satuan pengamatan adalah bagaimana kehidupan Orang Sabu yang hidup di Sumba tepatnya di Kambaniru, khususnya dalam melaksanakan Perkawinan adat Kenoto dan yang menjadi satuan analisa adalah bagaimana sikap GKS Jemaat Kambaniru terhadap adat Kenoto.
Teknik pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan data melalui kepustakaan dari berbagai buku dan jurnal. Kepustakaan ini bermanfaat sebagai landasan teoretis yang akan menjadi acuan dalam menganalisa data penelitian lapangan, sehingga menjawab rumusan masalah penelitian. Pengamatan dan (interview) wawancaradilakukan untuk melihat proses pelaksanaan perkawinan adat Kenoto secara langsung. Sedangkan teknik (interview) wawancara bertujuan untuk mendapatkan data tentang masalah yang diteliti. (interview) wawancara memakai media rekaman, audio, dengan responden. Wawancara Bentuk wawancara yang digunakan ialahuntuk mengumpulkan data-data yang relevan, melalui wawancara terpimpin. Ini, ditujukan kepada para pemuka adat sebagai wakil dari masyarakat Sabuyang berdomisili di Kambaniru dan Pemimpin gereja. Wawancara dilakukan penulis terhadap informan kunci atau orang yang dianggap memiliki kompetensi serta pengetahuan permasalahan tentang objek yang diteliti. Setelah membahas tentang latar belakang, tujuan dan metode yang digunakan dalam penulisan tugas akhir ini, maka selanjutnya penulis akan memaparkan landasan teori tentang definisi pernikahan, yaitu pernikahan menurut kesepakatan dan sejarah, pernikahan dalam pemahaman dogma gereja.
Pernikahan: Kesepakatan Dan Sejarah Kesepakatan nikah adalah unsur konstitutif dan tak tergantikan dari perkawinan. Hal ini sesuai dengan doktrin Katolik bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak atau perjanjian timbal balik antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk persekutuan seluruh hidup. Sebagai makhluk rasional dan bebas, yang memiliki hak eksklusif atas penentuan nasib 5
sendiri, tindakan memberikan diri sendiri (self giving) dalam kesepakatan nikah tidak pernah bisa ditentukan oleh orang lain, melainkan oleh kehendak pribadi. Sehingga unsur pembangun satusatunya dari perkawinan sebagai perjanjian interpersonal ialah kesepakatan dua pribadi (seorang laki-laki dan seorang perempuan) yang konkret, riil, dan unik.Jadi, sebelum menjadi objek pengaturan hukum, kesepakatan nikah dituntut pertama-tama oleh hakikat dan kodrat perkawinan itu sendiri, dan terkait langsung dengan aspek-aspek internal dari kedua pribadi yang menikah. Sedangkan kedua unsur atau persyaratan lain, yaitu kapasitas yuridis dan tata peneguhan kanonik, merupakan penetapan hukum karena alasan-alasan eksternal atau di luar subjek manusia.8 Kesepakatan nikah berarti berbicara mengenai subjek yang melakukan dan juga objek kesepakatan nikah itu sendiri. Kesepakatan nikah adalah tindakan kehendak seorang laki-laki dan seorang perempuan (subjek) untuk membangun persekutuan suami-istri (objek). Subjek dan objek saling melengkapi dan saling memberi spesifikasi. Subjek yang membuat kesepakatan nikah adalah pribadi manusia yang rasional dan bebas. Ia bertindak dengan menggunakan akal budi dan kehendak bebasnya. Dari sudut subjek, kesepakatan nikah adalah tindakan kehendak (human act), yang dilakukan berdasarkan kemampuan spiritual yang diterangi oleh akal budi, sehingga seseorang memahami dan menghendaki objek tertentu sebagai suatu kebaikan.9 Ada mekanisme psikologis dalam kesepakatan nikah, yang melibatkan unsur intelektif (akal budi) dan unsur volitif (kehendak) dari subjek.Selanjutnya, subjek pelaku melakukan kesepakatan nikah secara benar sejauh ia berelasi dengan isi dari kesepakatan nikah itu sendiri, yakni dengan objeknya. Menyepakati berarti ada sesuatu yang disepakati (objek). Objek kesepakatan ialah perkawinan itu sendiri sebagai lembaga natural yang diciptakan oleh Allah sendiri. Apa pun yang diciptakan oleh Allah adalah benar, dan yang benar identik dengan kebaikan.10 Ada gereja yang menganggap pemberkatan nikah sebagai upacara gerejani yang bersifat sakramentil, ada yang menganggapnya sebagai kasualia (semi sakramentil) yang kurang bersifat sakramentil dan ada pula yang menganggapnya sebagai pelayanan yang biasa saja. Banyak 8
Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008), 18. Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008), 18. 10 Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008), 19. 9
6
gereja di Indonesia yang beranggapan, bahwa tugas gereja bukan saja untuk memberkati nikah anggota-anggotanya, tetapi juga untuk meneguhkan nikah itu. Berhubungan dengan itu akta gerejani ini mereka tidak mau sebut „pemberkatan nikah‟, tetapi „peneguhan dan pemberkatan nikah‟. Perkawinan adalah suatu peraturan dari Allah (Kej 2:24; Mat 19:3), ia berlaku untuk seumur hidup (Mat 19:6), ia mencerminkan hubungan antara Kristus dan JemaatNya (Ef 5:2223), karena itu ia harus dijunjung tinggi oleh anggota-anggota gereja (Ibrani 13:4), dan lainlain.11 Perkawinan adalah pertama-tama soal keluarga atau famili : mereka yang mengadakan perundingan, mereka yang menetapkan „mas kawin‟ pada orang Yahudi „mahar‟, mereka yang memimpin upacara perkawinan, dan sebagainya. Menurut peraturan-peraturan ini suatu perkawinan adalah sah, apabila berdasarkan atas persetujuan kedua pihak (pria dan wanita), dengan atau tanpa upacara. Di samping peraturan-peraturan perkawinan, gereja juga mengambil alih rupa kebiasaan Romawi, misalnya : pemasukan cincin ke jari manis dari tangan kiri wanita beberapa waktu sebelum perkawinan berlangsung, pemakaian tudung, pemakaian mahkota dan pembayaran mas kawin.12 Tanpa peneguhan dan pemberkatan (yang berlangsung dengan penumpangan tangan) perkawinan anggota-anggota gereja tidak dianggap sah.Dengan jalan demikian lama-kelamaan upacara gerejani ini berkembang menjadi „misa nikah‟, seperti yang kita temui dalam dokumendokumen liturgia lama. Dalam doa-doa nikah yang terdapat dalam dokumen-dokumen lama itu bukan saja diminta kepada Tuhan, supaya Ia memimpin, menjaga dan memelihara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan dalam hidup mereka, tetapi juga supaya Ia memberkati perkawinan mereka dengan „banyak anak‟. 13
Perkawinan bukanlah suatu persetujuan (perjanjian) antara dua orang saja, tetapi antara dua keluarga. Dalam abad ketigabelas pengaruh itu adalah begitu besar, sehingga gereja dapat menuntut, bahwa perkawinan anggota-anggotanya harus berlangsung di bawah pimpinan seorang rohaniawan. Perkembangan ini memberikan kemungkinan untuk menarik perkawinan ke dalam 11
J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 207. J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 208109. 13 J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 210. 12
7
wewenang gereja dan menggantikan undang-undang penikahan pemerintah dengan undangundang pernikahan gerejani. Ahli-ahli teologia mulai menekankan, bahwa perkawinan adalah suatu „sakramen‟.Mula-mula perkataan itu mereka pakai hanya sebagai indikasi dari perkawinan yang menghiaskan kesatuan antara Kristus dan jemaatNya, tetapi lama-kelamaan perkawinan mereka anggap sebagai alat anugerah dan mereka samakan dengan baptisan dan ordinasi (penahbisan).14
Perkawinan orang-orang Kristen bukan saja adalah suatu persekutuan hidup, tetapi juga suatu persekutuan percaya. Persekutuan percaya ialah, bahwa suami dan isteri dalam hidup mereka harus mempunyai penyesuaian paham tentang soal-soal yang prinsipil, seperti: makna hidup ini, maksud dan tujuan perkawinan, tugas suami dan isteri, tanggung jawab orang tua, pendidikan anak-anak, dan lain-lain.15
Perkawinan, seperti yang kita katakan di atas, adalah suatu persekutuan hidup: suatu persekutuan hidup antara suami dan isteri. Artinya: antara duaorang yang pada satupihak berbeda (sebagai pria dan wanita), tetapi yang pada pihak lain sama (sebagai manusia yang diciptakan menurut gambar Allah). Keduanya merupakan suatu dwitunggal: suatu dwitunggal yang hidup bersama dan yang bekerja bersama. Perbedaan mereka sebagai pria dan wanita dikehendaki oleh Allah.Maksudnya dengan perbedaan itu ialah, supaya mereka saling membantu, saling mengisi dan saling melengkapi.16
Perkawinan bukan saja dianggap sebagai soal suami dan isteri, tetapi juga sebagai soal orangtua dan keluarga. Suami dan istri yang kawin langsung atau tidak langsung berhubungan dengan orangtua dan keluarga mereka. Karena itu soal yang harus mereka bicarakan bersama ialah: Bagaimanakah hendaknya sikap mereka nanti terhadap orangtua dan keluarga mereka? Dan dari suami dan isteri kita harapkan kesadaran, bahwa hubungan dengan orangtua dan keluarga adalah sesuatu yang penting dan karena itu ia harus diperhatikan dan dibina dengan baik. 14
J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 211-212. J.L. Ch. Abineno, Perkawinan (persiapan, persoalan-persoalan dan pembinaannya), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 14-15. 16 J.L. Ch. Abineno, Perkawinan (persiapan, persoalan-persoalan dan pembinaannya), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 16. 15
8
Nikah adalah suatu peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Nikah adalah tata-tertib suci yang ditetapkan oleh Tuhan, khalik langit dan bumi; di dalam peraturan suci itu diaturnyalah hubungan antara pria dan wanita. Sejak pada mulanya Tuhan pun menghendaki supaya seorang laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan karib dengan isterinya, sehingga mereka menjadi sedaging (Kejadian 2:24).17
Iman Kristen selalu berpegang teguh pada pewahyuan (Kej 2:18-24) bahwa perkawinan berasal dari Allah sendiri, yang menghendaki suami-istri pertama sebagai awal kodrati dari segenap umat manusia. Perkawinan harus meneruskan hidup umat manusia. Sejak awal, persatuan pria dan wanita mempunyai duaciri pokok, yakni monogami dan langgeng. Hal itu kemudian dimaklumkan oleh Injil atas wewenang Yesus, yang menegaskan kepada orang farisi dan para rasul bahwa perkawinan itu dari dirinya sendiri haruslah terbentuk dari dua orang saja, pria dan wanita, yang membentuk satu daging saja dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu disatukan sehingga tak ada seorang pun yang boleh menceraikannya (Mat 19:5-6).18
Pernikahan:Dogma Gereja Tentu saja upacara sakramen sangat penting bagi pasutri yang bersangkutan. Tetapi upacara itu bahkan lebih penting lagi bagi umat beriman. Upacara perkawinan merupakan suatu tanda dan simbol bagi kita semua di dalam gereja bahwa pasutri ini memperoleh suatu panggilan yang baru di tengah kita. Perkawinan bukanlah suatu upacara kecil yang diselenggarakan oleh orang tua yang menyayangi anaknya; perkawinan adalah suatu upacara tahbisan.19
Upacara perkawinan juga sangat penting sebagai pendidikan mengenai makna sakramen mereka. Upacara itu mengingatkan mereka: “Dengarlah, perkawinan bukanlah urusan kamu berdua saja. Kami juga terlibat seperti kamu. Kamu harus ingat akan kami dan menjadikan kami bagian dari cintamu.” “Perkawinan adalah sakramen yang memberikan hidup. Hormatilah pasutri. Dengarlah mereka dengan setia. Mereka telah dipilih dari tengah kita untuk menjadi
17
J. Verkuyl, Etika Seksuil : Etika Kristen Jilid II, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1957), 52. Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 76. 19 FR. Chuck Gallagher, S.J. Pasutri Dua Seuntai, (Ende - Flores: Nusa Indah, 1991), 76. 18
9
nabi, yang mewartakan siapakah kita sebagai umat Allah.” Upacara perkawinan mengundang saudara-saudari seiman untuk memandang dan bersikap kepada pria dan wanita itu secara baru. Sekarang mereka bukan dua lagi. Kita dipanggil untuk mendengarkan mereka, karena mereka membangun kebersamaan mereka untuk mempelajari cara hidup kita bersama sebagai gereja.20
Apabila perkawinan di dalam gereja tidak berbeda dengan perkawinan yang kita lihat disekitar kita, maka akan sangat sulit bagi gereja sebagai keseluruhan untuk menyadari kekayaannya. Sakramen perkawinan dipanggil untuk mewahyukan gereja itu sendiri; untuk memberikan gereja jati dirinya yang khas. Jati diri kita tidak berasal dari dunia ini. Maka kalau perkawinan di dalam gereja berasal dari dunia ini, mengungkapkan nilai-nilai dari dunia ini, maka tidak usah heran mengapa gereja begitu bersifat duniawi. Dalam masa dan abad kita sakramen perkawinanlah yang dapat mengoreksi penyimpangan-penyimpangan gereja. Cinta pasutri satusama lain yang dilaksanakan secara istimewa dan yang akan menghasilkan panggilan untuk memperbaharui gereja dan untuk mengadakan rekonsiliasi di antara kita.21
Lebih lanjut, setelah memaparkan definisi tentang pernikahan berdasarkan kesepakatan dan sejarah serta pernikahan dalam pemahaman dogma gereja maka penulis akan menjelaskan hasil penelitian yaitu gambaran secara umum GKS Jemaat Kambaniru, kenoto dari perspektif orang Sabu dan dari perspektif GKS Jemaat Kambaniru. Bagian ini bertujuan untuk melakukan analisa pada tahap selanjutnya tentang tanggapan GKS Jemaat Kambaniru terhadap makna kenoto. Adapun pemaparan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, sebagai berikut:
Gambaran Umum GKS Jemaat Kambaniru Kabupaten Sumba Timur memiliki 96 pulau, baik yang berpenghuni maupun yang belum berpenghuni. Kabupaten Sumba Timur terletak diantara 119°45- 120° bujur Timur dan 9°1610°20 Lintang Selatan dengan batas-batas wilayah yaitu sebelah Timur berbatasan dengan laut Sabu, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah, sebelah Utara berbatasan 20
FR. Chuck Gallagher, S.J. Pasutri Dua Seuntai, (Ende - Flores: Nusa Indah, 1991), 77.
21
FR. Chuck Gallagher, S.J. Pasutri Dua Seuntai, (Ende - Flores: Nusa Indah, 1991), 90-91.
10
dengan Selat Sumba dan sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Hindia. Secara geografis, Kabutan Sumba Timur memiliki wilayah seluas 700,5 Km2 sedangkan wilayah laut seluas 8.373,35 Km2 dengan panjang garis pantai 433,6 Km2.22 GKS Jemaat Kambaniru termasuk dalam kabupaten Sumba Timur, GKS Jemaat Kambaniru terletak kelurahan Kambaniru, kecamatan Kambera, kabupaten Sumba Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur. GKS Jemaat Kambaniru berdiri pada tanggal, 05 Juni 1916. Sebelum jemaat ini berdiri sendiri, ibadah keluarga telah berlangsung secara bergilir di rumah tangga warga jemaat. Seorang Zending yang aktif dalam PI pertama di GKS Jemaat Kambaniruyaitu Pdt. J. J. Van Alphen dari tahun 1889-1893.Setelah beliau kembali diberikan tugas kepada Simon Lomi Nori. Pada tahun 1894 dilanjutkan oleh Cornelis de Bruyn dan membimbing GI Thomas Ha‟e Luhi (1902-1940). Disusul oleh Dowe Klass Wielenga (19041907), dan pada tahun 2015 di layani oleh Pdt. Ariyanti Mana, S.Th. Jumlah warga GKS Jemaat Kambaniru yaitu 5110 jiwa yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2,305 jiwa, sedangkan jumlah warga jemaat perempuan berjumlah 2,805 jiwa.Jemaat ini pun mempunyai visi dan misi. Visinya yaitu Kambaniru yang damai sejahtera di mana warga jemaatnya hidup dalam kasih, kebersamaan, sukacita, mandiri dan terpelihara keutuhan ciptaan Tuhan. Misinya yaitu membina, memperlengkapi dan memperdayakan pelayanan dan warga jemaat sebagai tubuh Kristus agar mampu mewujudkan Kambaniru yang damai sejahtera dimana warga jemaatnya hidup dalam kasih, kebersamaan, sukacita, mandiri dan terpeliharanya keutuhan ciptaan Tuhan.23 Kenoto:Perspektif Orang Sabu Aturan dan norma yang ada di masyarakat tentu dipengaruhi oleh tradisi yang ada dan berkembang di masyarakat. Tradisi disebut juga sebagai kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Begitupun dengan tradisi di masyarakat Sabu yang berdomisilih di Sumba Timur yang mengenal adanya tradisi Kenoto. Menurut responden pertama yaitu bapak MR (inisial) Kenoto adalah pernikahan adat suku Sabu. Kenoto bukan sebuah acara 22
http://sumbatimurkab.go.id/kondisi-geografi.html, (Accessed Agustus 24, 2015; 19:00WIB).
23
Majelis Jemaat (BPMJ) Statistik Jemaat Gereja GKS Kambaniru, (Waingapu 2015).
11
seremonial, tapi mengandung pesan filosofi adat, di mana seorang laki-laki dan perempuan sah membentuk sebuah rumah tangga jika sudah melalui adat Kenoto, masing-masing pihak akan tahu hak dan kewajiban, serta tahu apa resiko yang harus ditanggung jika melanggar kesepakatan yang sudah disepakati saat berlangsungnya Kenoto.24 Menurut responden kedua yaitu bapak JU (inisial), bagi orang Sabu yang memegang teguh adat budaya Kenoto, tentu dia akan tetap menghalangi pernikahan gereja itu sebelum anaknya di Kenoto. Maka itu sering terjadi ada yang batal nikah karena belum di Kenoto, sehingga Kenoto merupakan sebuah tradisi yang dianggap lebih penting dari pada pernikahan gereja.25Sehingga masyarakat Sabu yang berada di Sumba Timur yang belum melakukan tradisi Kenoto dianggap sebagai pasangan kumpul kebo dan mereka akan mendapakan perlakuan yang tidak terhormat.26 Menurut sejarahnya peminangan dilakukan pada hari lodo li (hari bicara) disaat itu rombongan pihak laki-laki yaitu didalamnya ada mae dan maiki (adik dan kakak dari ayah anak laki-laki) yang diwakili oleh juru bicara yang disebut mone li mengunjungi rumah perempuan. Kunjungan ini adalah proses awal sebelum masuk ke acara Kenoto dan disebut dengan acara „Kedakku Kelae‟ atau yang dikenal dengan „masuk minta‟ (Maho Ami).27 Dalam proses awal ini pembicaraan yang terjadi hanyalah sekedar menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan rombongan keluarga laki-laki ini adalah untuk meminang anak gadis dan pembicaraan ini disebut Pedai pe peho’o (bicara saling mengiakan), dalam proses ini utusan pihak laki-laki hanya membawa rukenana sebagai lambang peminangan. Sementara itu ayah dari anak perempuan yang akan dipinang (paja wali), didampingi ipar lelakinya (wui wagi) dan pihak orang tua dari ibu calon mempelai perempuan (pili dida) bersama-sama berunding menentukan „harga‟calon mempelai perempuan itu. Pedomannya ialah besar „harga‟ yang dulu telah diserahkan untuk ibu dari calon mempelai perempuan.28
24
Hasil wawancara dengan Bapak MR (inisial), 28 Mei 2015 pukul 18.00 WIT.
25
Hasil wawancara dengan Bapak JU (inisial), 26 Mei 2015 pukul 10.00 WIT.
26
Hasil wawancara dengan Bapak DR (inisial), 28 Mei 2015 pukul 16.00 WIT.
27
Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,1983),51.
28
Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu,53.
12
Jika serah terima telah dilakukan antara mone pedai li (juru bicara dari pihak laki-laki) dan Mone Uba (Juru bicara dari pihak perempuan), maka akan dilanjutkan pada proses berikut yaitu Kenoto. Namun biasanya dalam proses maho ami tadi telah dibicarakan dan disepakati tentang kebue (harga) yang harus disediakan oleh pihak laki-laki bagi pihak perempuan dan pada saat itu pihak laki-laki hanya boleh mendengarkan dan belum ada proses penawaran.
Tahap Peli kemudian disusuli tahap yang disebut dengan rukenana ae (sirih pinang besar), yakni pengantaran seekor babi besar oleh pihak lelaki ke rumah mertuanya. Babi ini disebut wawi rukenana ae, yang kemudian diikuti dengan penyampaian „harga‟ resmi kepada pihak lakilaki atau yang disebut dengan pepali kebue atau pedae kebue dan pada saat ini kedua calon mempelai diwakili oleh dara amu (anggota keluarganya).
Kemudian setelah melaporkan niat atau maksud ingin melakukan perkawinan adat kepada pemerintah setempat atau yang disebut pedelo pa katu, barulah dilakukan pemaho rukenana ae atau pemaho kenoto (memasukan Kenoto). Pada awalnya „harga‟ atau besaran ihi Kenoto (isi Kenoto) terdiri dari Kenana Wopaga (sirih yang dikeringkan), Kalla Wohad'a atau Wokoma (pinang kering yang sudah diiris-iris), Kalla Womuri atau Dowobolo (buah pinang utuh), worara (uang perak), roro (kalung perak), dan sejumlah uang. 29 Termasuk juga doi pa tele (uang di luar), bada wali atau hewan sembelihan. Ihi Kenoto adalah proses memasukan „harga‟ yang harus diserahkan oleh pihak calon mempelai laki-laki pada pihak calon mempelai perempuan dan ihi Kenoto dilakukan di rumah mempelai laki-laki. Setelah semuanya siap baru Kenoto itu diantar ke rumah mempelai perempuan. Acara penerimaan Kenoto oleh keluarga calon mempelai perempuan di kediaman perempuan disebut dengan hemata Kenoto dan selanjutnya diikuti dengan boka Kenoto (pembukaan Kenoto) yang kemudian diikuti dengan pembagian sirih dan pinang. Kenyataannya tak ada satu pun perkawinan yang dapat memenuhi tuntutan „harga‟ ini namun tuntutan adat mengharuskan penyebutan besarnya kebue karena dengan demikian perempuan dinilai tinggi.
Jika ditinjau dari proses dan pola yang terjadi pada masa lalu dan dibandingkan dengan saat ini adalah masih sama. Namun yang terlihat sedikit beda adalah pada bagian „harga‟ atau 29
Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu,53.
13
maharnya. Pada pelaksanaan Kenoto masa sekarang yang menjadi rukenana atau lambang pinangan tidak lagi hanya sirih dan pinang saja, tetapi prosesi awal ini disepakati dengan penyerahan simbol adat, antara lain:30 pertama, Ai atau ei (sarung) yang sesuai udu-kerogo ana wobanni atau sesuai udu-kerogo mempelai wanita dan dengan berpatokan pada „Hubi Ae atau Hubi Iki' (motif pada sarung). Kedua, Teru'u (Cincin Tunangan) yang polos tanpa ukiran dan berat sesuai kemampuan pria. Ketiga, anting, bebas tidak ditentukan (biasa giwang). Keempat, Keb'ae (kebaya) motif bebas. Kelima,Nalehu (Sapu Tangan) dan semua atribut kewanitaan (kususnya perangkat dalamnya). Berdasarkan nilai „harga‟ Kenotoitu sendiri pada masa lalu yang kemudian dibandingkan dengan nilai „harga‟ pada masa sekarang ini, terdapat perbedaan. Adapun makna dari Mahar saat ini yaitu:Kenana Wopaga (sirih yang dikeringkan) dengan bentuk seperti di "sate" dan di upayakan sirih ini berbentuk lingkaran seukuran isi luasnya dalam saku (kantong) tepung terigu segitiga biru, kira-kira diameter lingkaran 30 cm.Kenana Wo Muri (sirih hijau), 1/8 saku terigu.Kalla Wohad'a atau Wokoma (pinang kering yang sudah diiris-iris) dengan volume 1/2 saku terigu.Kalla Womuri atau Dowobolo (buah pinang utuh) kira-kira 1/8 saku terigu.Cincin Emas, polos (tidak boleh bermotif) sesuai kemampuan pihak lelaki tetapi harus ada kalung emas juga."Daun Sirih", daun sirih ini simbol ihiKenoto yang sebenarnya, berupa Do (uang) yang disesuaikan dengan kemampuan pihak laki-laki dan dalam prosesi hemata Kenoto, nanti akan dijelaskan berapa lembar yang kalau sekarang dikamuflase dengan hitungan 1 lembar daun sirih sama dengan Rp.100.000 nilai uang. Sebenarya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau „harga‟ tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui bersama syarat-syarat dalam pedae kebue dan seberapa pun „harga‟ yang dibawa oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan „harga‟. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan hanga’do(cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon mempelai wanita dan seluruh keluarganya.
30
Hasil wawancara dengan Bapak AR (inisial), 26 Mei 2015 pukul 16.00 WIT.
14
Kenoto: Perspektif GKS Jemaat Kambaniru GKS Jemaat Kambaniru yang mayoritasnya orang Sabu masih tetap mempertahankan tradisi budaya Kenoto. Prosesi adat ini tetap dijalankan karena mempertahankan atau menunjukan prinsip-prinsip kasih yang adalah ciri utama kekristenan. Adapun motivasi jemaat Kambaniru mempertahankan dan tetap melakukan adat Kenoto karena menyangkut harga diri orang Sabu yang juga secara adat seseorang diikat sah menjadi suami istri Kristen. Karena itu GKS Jemaat Kambaniru tetap melakukan serta melestarikan tradisi Kenoto yang diwariskan nenek moyang. Adat dan tradisi budaya Kenoto sudah berlangsung sekian lama dan gereja yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang berbudaya tetap mendukung dan tidak melarang itu, dan bukti dukungan gereja yaitu sebelum dan sesudah pelaksanaan Kenoto adanya doa yang dibawahkan oleh pelayan-pelayan gereja sehingga dalam segala sesuatu yang dilakukan oleh orang yang berbudaya serta memegang teguh adat, tetap mengutamakan dan mengandalkan Tuhan dalam seluruh kegiatan. Tujuan doa ini juga mencangkup ucapan syukur serta mendoakan kedua mempelai, sehingga mereka pun hidup baik menurut ajaran adat Sabu maupun ajaran gereja. Prosesi Kenoto pun GKS Jemaat Kambaniru tetap menjunjung tinggi makna kekristenan dalam adat istiadat ini, dimana Kenoto bagi jemaat Kambaniru bukan menjadi ajang gengsi tetapi melestarikan nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur yang tentunya tidak bertentangan dengan prinsip kekristenan yaitu kasih, sehingga GKS Jemaat Kambanirupun tidak melarang karena Kenoto sesuai dengan kontekstualisasi dalam pernikahan Kristen dan ada juga larangan dari adat istiadat Kenoto yang sesuai dengan nilai kekristenan yaitu seorang laki-laki atau seorang perempuan tidak boleh selingkuh karena jika kedapatan selinguh akan dikenakan sangsi diusir dari rumah dengan pakaian di badan, dan masih banyak lagi nilai-nilai kekristenan yang digunakan oleh pemangku-pemangku adat untuk menasehati mempelai yang hendak menikah dalam prosesi adat Kenoto.31 Praktek Kenoto juga merupakan perwujudan pengakuan bahwa prinsip pernikahan orang Sabu adalah monogami bukan poligami ataupun poliandri sebagaimana yang diajarkan dalam ajaran GKS, karena belum ada praktek Kenoto yang melanggar prinsip pernikahan monogami. 31
Hasil wawancara dengan Bapak JU (inisial), 26 Mei 2015 pukul 10.00 WIT.
15
Tradisi Kenoto tidak boleh menjadi batu sandungan bagi sebuah rumah tangga suku Sabu yang beragama Kristen (warga GKS) untuk diberkati dihadapan Tuhan dan jemaat-Nya. Sebaliknya ketika ada ruang yang diberikan gereja dan disepakati oleh pihak keluarga perempuan untuk berkat gereja maka akan dilaksanakan pemberkatan digereja barulah dilanjutkandengan Kenoto,tetapi yang harus diingat oleh keluarga laki-laki yaitu tidak boleh melalaikan kewajiban adat sehingga disebut sebagai orang Sabu yang tidak tahu adat.32 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan dipaparkan, selanjutnya penulis akan mengkaji hasil penelitian dan landasan teori tentang definisi pernikahan, yaitu pernikahan menurut kesepakatan dan sejarah, pernikahan dalam pemahaman dogma gereja. Hal ini bertujuan untuk melihat pergeseran nilai atau harga mas kawin dalam kenoto dan peran GKS Jemaat Kambaniru dalam adat istiadat kenoto. Pergeseran Nilai atau Harga Mas Kawin Dalam Kenoto J.L. Ch. Abineno menyatakan bahwa perkawinan adalah pertama-tama soal keluarga atau famili : mereka yang mengadakan perundingan, mereka yang menetapkan „mas kawin‟ pada orang Yahudi „mahar‟, mereka yang memimpin upacara perkawinan, dan sebagainya. Menurut peraturan-peraturan ini suatu perkawinan adalah sah, kalau ia berdasar atas persetujuan kedua pihak (pria dan wanita), dengan atau tanpa upacara.33Sesuai fenomena yang terjadi, GKS Jemaat Kambaniru juga melakukan hal yang sama, di mana ketika sebelum berlangsung acara adat Kenoto, terlebih dahulu dilakukan acara adat yaitu hari lodo li (hari bicara) disaat itu rombongan pihak laki-laki yaitu didalamnya ada mae dan maiki (adik dan kakak dari ayah anak laki-laki) yang diwakili oleh juru bicara yang disebut mone li mengunjungi rumah perempuan. Kunjungan ini adalah proses awal sebelum masuk ke acara Kenoto dan disebut dengan acara „Kedakku Kelae‟ atau yang dikenal dengan „masuk minta‟ (Maho Ami). Dalam proses awal ini pembicaraan yang terjadi hanyalah sekedar menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan rombongan keluarga laki-laki ini adalah untuk meminang anak gadis dan pembicaraan ini disebut Pedai pepeho’o (bicara saling mengiakan), dalam proses ini utusan pihak laki-laki hanya
32
Hasil wawancara dengan Bapak AR(inisial), 26 Mei 2015 pukul 16.00 WIT.
33
J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 208109.
16
membawa rukenana sebagai lambang peminangan. Sementara itu ayah dari anak perempuan yang akan dipinang (paja wali), didampingi ipar lelakinya (wui wagi) dan pihak orang tua dari ibu calon mempelai perempuan (pili dida) bersama-sama berunding menentukan „harga‟calon mempelai perempuan itu. Pedomannya ialah besar „harga‟ yang dulu telah diserahkan untuk ibu dari calon mempelai perempuan. Alf. Catur Raharso menyatakan bahwa kesepakatan nikah berarti berbicara mengenai subjek yang melakukan dan juga objek kesepakatan nikah itu sendiri. Kesepakatan nikah adalah tindakan kehendak seorang laki-laki dan seorang perempuan (subjek) untuk membangun persekutuan suami-istri (objek). Subjek dan objek saling melengkapi dan saling memberi spesifikasi. Subjek yang membuat kesepakatan nikah adalah pribadi manusia yang rasional dan bebas. Ia bertindak dengan menggunakan akal budi dan kehendak bebasnya. Dari sudut subjek, kesepakatan nikah adalah tindakan kehendak (human act), yang dilakukan berdasarkan kemampuan spiritual yang diterangi oleh akal budi, sehingga seseorang memahami dan menghendaki objek tertentu sebagai suatu kebaikan. Ada juga mekanisme psikologis dalam kesepakatan nikah, yang melibatkan unsur intelektif (akal budi) dan unsur volitif (kehendak) dari subjek. Selanjutnya, subjek pelaku melakukan kesepakatan nikah secara benar sejauh ia berelasi dengan isi dari kesepakatan nikah itu sendiri, yakni dengan objeknya. Menyepakati berarti ada sesuatu yang disepakati (objek). Objek kesepakatan ialah perkawinan itu sendiri sebagai lembaga natural yang diciptakan oleh Allah sendiri.Apa pun yang diciptakan oleh Allah adalah benar, dan yang benar identik dengan kebaikan.34 Sesuai hasil penelitan di GKS Jemaat Kambaniru kesepakatan nikah yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak sebelum berlangsungnya pernikahan yaitu mahar yang harus di bawah oleh mempelai laki-laki sebenarya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau „harga‟ tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui bersama syarat-syarat dalam pedae kebue dan seberapa pun „harga‟ yang dibawa oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan „harga‟. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon 34
Alf. Catur Raharso Pr. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik, (Malang: Dioma, 2008), 18.
17
mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Tetapi dimasa sekarang di GKS Jemaat Kambaniru telah mengalami pergeseran makna dalam hal jumah mahar yang disepakati yaitu jika keluarga dari mempelai laki-laki tidak bisa mencukupi jumlah mahar yang telah ditentukan oleh pihak keluarga perempuan maka adat istiadat Kenoto tidak akan berlangsung begitupun dengan jumlah mahar yang dulunya suku Sabu hanya melihat nominal sesuai dengan jumlah nominal dari jumlah mahar ibu mempelai wanita sekarang sudah terjadi juga pergeseran di mana nominal mahar yang harus di lihat dari latar belakang pendidikan mempelai wanita.
Peran GKS Jemaat Kambaniru Dalam Adat Istiadat Kenoto J.L. Ch. Abineno menyatakan bahwa tanpa peneguhan dan pemberkatan (yang berlangsung dengan penumpangan tangan) perkawinan anggota-anggota gereja tidak dianggap sah, dengan jalan demikian lama-kelamaan upacara gerejani ini berkembang menjadi „misa nikah‟, seperti yang kita temui dalam dokumen-dokumen liturgia lama. Dalam doa-doa nikah yang terdapat dalam dokumen-dokumen lama itu bukan saja diminta kepada Tuhan, supaya Ia memimpin, menjaga dan memelihara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan dalam hidup mereka, tetapi juga supaya Ia memberkati perkawinan mereka dengan „banyak anak‟.35 Sesuai fenomena yang terjadi di GKS Jemaat Kambaniru walaupun pemberkatan nikah sudah dilakukan di gereja, sedangkan upacara adat Kenoto belum dilakukan maka pernikahan mempelai di gereja dianggap belum sah karena menurut GKS Jemaat Kambaniru yang masih memegang teguh adat istiadat Kenoto pernikahan dianggap sah kalau sudah terlebih dahulu melakukan proses adat Kenoto karena bagi GKS Jemaat Kambaniru Kenoto bukan sebuah acara seremonial, tapi mengandung pesan filosofi adat, di mana seorang laki-laki dan perempuan sah membentuk sebuah rumah tangga jika sudah melalui adat Kenoto, masing-masing pihak akan tahu hak dan kewajiban, serta tahu apa resiko yang harus ditanggung jika melanggar kesepakatan yang sudah disepakati saat berlangsungnya Kenoto,sehingga tidak dianggap sebagai orang Sabu yang tidak tau adat. Bagi orang sabu yang memegang teguh adat budaya Kenoto tentu dia akan tetap menghalangi pernikahan gereja itu sebelum anaknya di Kenoto. Maka itu sering terjadi ada yang batal nikah karena belum di Kenoto, sehingga Kenoto merupakan sebuah tradisi yang dianggap
35
J.L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman Pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 210.
18
lebih penting dari pada pernikahan gereja, sehingga masyarakat Sabu yang berada di Sumba Timur yang belum melakukan tradisi Kenoto dianggap sebagai pasangan kumpul kebo dan mereka akan mendapakan perlakuan yang tidak terhormat. Al Purwa Hadiwardoyo menyatakan bahwa iman Kristen selalu berpegang teguh pada pewahyuan (Kej 2:18-24) bahwa perkawinan berasal dari Allah sendiri, yang menghendaki suami-istri pertama sebagai awal kodrati dari segenap umat manusia. Perkawinan harus meneruskan hidup umat manusia. Sejak awal, persatuan pria dan wanita mempunyai dua ciri pokok, yakni monogami dan langgeng. Hal itu kemudian dimaklumkan oleh Injil atas wewenang Yesus, yang menegaskan kepada orang farisi dan para rasul bahwa perkawinan itu dari dirinya sendiri haruslah terbentuk dari duaorang saja, pria dan wanita, yang membentuk satu daging saja dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu disatukan sehingga tak ada seorang pun yang boleh menceraikannya (Mat 19:5-6).36Sesuai hasil penelitian di GKS Jemaat Kambaniru praktek Kenoto merupakan perwujudan pengakuan bahwa prinsip pernikahan orang Sabu adalah monogami dan bukan poligami ataupun poliandri, sebagaiamana yang telah diajarkan oleh ajaran GKS. Karena selama ini belum adanya praktek Kenoto yang melanggar prinsip pernikahan monogami. Selain itu GKS Jemaat Kambaniru melibatkan pemimpin-pemimpin gereja dalam prosesi Kenoto dengan cara adanya doa dalam pembukaan dan penutupan prosesi adat Kenoto di jemaat Kambaniru. Setelah membahas teori dan analisa tentang pergeseran nilai atau harga mas kawin dalam kenoto dan peran GKS Jemaat Kambaniru dalam adat istiadat kenoto, maka selanjutnya akan disampaikan kesimpulan dan saran dari penulisan ini. Adapun kesimpulan sebagai berikut: Tradisi Adat Kenoto Yang Telah Terinkulturasi Dengan Budaya Sumba Indonesia merupakan Negara dengan beragam suku di dalamnya. Setiap suku memiliki kebudayaan dan ciri khas mereka sendiri, memiliki adat istiadat, bahasa, simbol dan norma aturan yang mereka pegang secara turun temurun. Begitu pun dengan masyarakat Sabu yang berada di Sumba Timur, mereka mempunyai salah satu adat istiadat yang sudah mendarah daging dan harus dilakukan ketika adanya upacara perkawinan yaitu Kenoto. Kenoto dalam bahasa Sabu, sebenarnya ialah tempat sirih yang terbuat dari daun lontar dan khusus dipakai oleh 36
Al. Purwa Hadiwardoyo MSF, Perkawinan Dalam Tradisi Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 76.
19
kaum pria dan sesekali juga ada yang dibuat dari daun pandan. Pada dasarnya perkawinan adat Sabu atau Kenoto ini memiliki urut-urutan dan pola yang tetap dan setiap unsur memiliki maknanya sendiri. Meskipun demikian, sekarang telah terjadi pergeseran makna yang terjadi di dalam tradisi Kenoto karena budaya perkawinan di Sumba memakai Belis sebagai simbol untuk melamar seorang wanita yang sudah diwariskan dari nenek moyang orang Sumba secara turuntemurun serta Belis menandakan harga manusia. Orang Sabu yang awalnya tidak mengenal budaya perkawinan orang Sumba yaitu Belis karena hidup berdampingan dengan orang Sumba maka terjadilah akulturasi (penggabungan dua budaya atau lebih yang saling mempengaruhi) sehingga ada hal-hal yang ikut terbawa dalam tata hidup orang Sabu diantaranya Kenoto. Sekarang harga Kenoto ditentukan berdasarkan pendidikan, latar belakang keluarga, pekerjaan si gadis dan lain-lain. Kenoto yang awalnya adalah simbol ikatan perjanjian adat, saat ini telah berubah menjadi nilai harga diri laki-laki dan juga bentuk penghargaan terhadap harga diri perempuan. Sebenarya dalam tradisi Do Hawu (dari pihak wanita) dalam hal ini mahar atau „harga‟ tidak ada yang dibebankan kepada pihak lelaki karena telah ada dan telah diketahui bersama syarat-syarat dalam pedae kebue dan seberapa pun „harga‟ yang dibawa oleh keluarga calon mempelai laki-laki, tidak pernah akan cukup atau sesuai dengan „harga‟. Oleh karena itu yang mencukupkan adalah seluruh keluarga calon mempelai pria dan calon mempelai itu sendiri melakukan hanga’do (cium Sabu dengan menggunakan hidung) kepada calon mempelai wanita dan seluruh keluarganya. Lebih lanjut, saran yang dapat diberikan yaitu gereja memiliki tugas memberitakan kabar baik, tidak menutup kemungkinan gereja hanya memberitakan pada sesama orang Kristen saja, tetapi gereja juga memberitakan kabar baik untuk semua lapisan masyarakat. Jemaat juga tidak lepas dari yang namanya lingkungan masyarakat, dan masyarakat terikat dengan budaya. Maka gereja juga perlu peduli dan memberikan perhatian khusus kepada budaya jemaatnya, dengan cara membuat ibadah-ibadah dengan memasukan unsur-unsur budaya kedalam ibadah-ibadah gerejawi. Sehingga dengan cara demikian jemaat tetap terus mengingat dan melestarikan budayanya.
20
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abineno, Ch. L. J. Pemberitaan Firman Pada Hari-Hari Khusus. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1981. Abineno, Ch. L. J. Perkawinan (Persiapan, Persoalan-Persoalan Dan Pembinaannya). Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1983. Geertz, Clifford. Kebudayaan Dan Agama. Yogyakarta : Kanisius,1993. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat, Hukum Agama. Bandung : Mandar Maju, 2003. Kana, Nico L. Dunia Orang Sabu. Jakarta: Sinar Harapan,1983. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1967. MSF Hadiwardoyo Purwa Al. Perkawinan Dalam Tradisi Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1988. Nawawi,Halari H. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1983. Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,1995. Pr. Raharso Catur Alf. Kesepakatan Nikah dalam Hukum Perkawinan Katolik. Malang: Dioma, 2008. Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius, 2011. S.J. Gallagher Chuck FR. Pasutri Dua Seuntai, Ende – Flores: Nusa Indah, 1991. Verkuyl, J. Etika Seksuil, (Etika Kristen). Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1957. JURNAL Linton, Ralph. dalam Leonard Siregar „Antropologi Dan Konsep http://www.papuaweb.org/uncen/dlib/jr/antropologi/01-01/jurnal.pdf
Kebudayaan’,
WEBSITES Genggong, Marsia Sumule. Makna Simbol Komunikasi Budaya Dalam Perkawinan Adat Suku Kulisusu di Kabupaten. Buton Utara,http://komunikasi.unsoed.(Accessed Agustus 21, 2014; 12:00WIB). Wadu, Yunita. Kebudayaan Sabu, http://yunita-wadu.blogspot.com(Accessed Agustus 21, 2014; 15:00WIB).
21