Pertemuan Kelima
SIAPAKAH AKU INI DI DALAM EMOSI-EMOSIKU? 01. Doa Pembuka: Datanglah Roh Kudus atau “Allah yang tidak berubah, semoga aku mengenal diriku sendiri!” atau “Tuhan, semoga aku dapat melihat!” (Kedua doa singkat terakhir itu diucapkan berulangulang dengan kerinduan besar.) 02. Pengantar Tema Hidup kita ini sangat dinamis. Karena itu, kita persis menemukan keindahan hidup kita. Di situlah letaknya. Setiap hari, malahan setiap saat hidup kita itu selalu unik. Tidak pernah ada dua kesempatan yang sama persis satu dengan yang lainnya. Setidaknya kita dapat mengenali dinamika hidup kita dalam dua pola antagonistik, yang menyatu di dalam kehidupan kita. Ada saat ketika kita mengalami kegembiraan yang meluap-luap. Kita merasakan sukacita yang luar biasa besarnya. Kita tenggelam di dalam samudera kebahagiaan. Pada saat seperti itu kita mengalami kedekatan dan intensitas relasi pribadi, baik dengan diri sendiri, sesama maupun dengan Tuhan. Namun, pada kesempatan lain, mungkin kita mengalami situasi yang persis sebaliknya. Kita seakan masuk ke dalam perangkap pengalaman dukacita, kemarahan, kejengkelan, kesusahan. Itulah saat kita masuk di dalam kegelapan hidup yang sangat pekat. Kita seakan-akan kehilangan harapan dan pegangan. Kita mungkin mengalami perasaan keterasingan dengan diri kita sendiri, dengan sesama, malahan dengan Tuhan. Segala yang ada di dalam diri kita seakan tak bermakna. Segala yang ada di sekitar kehilangan pesonanya. Demikian pula pengalaman dan pandangan kita dengan Tuhan mengalami perubahan. Terlepas dari apapun yang kita alami, satu hal yang pasti adalah bahwa di dalam setiap pengalaman, entah yang menyenangkan ataupun yang menyebalkan, kita dapat belajar mengenali segi-segi kepribadian kita. Kita dapat mengenal segi-segi positif (kekuatan, keutamaan, kemampuan) yang membantu kita untuk bertumbuh lebih lanjut sekaligus segi-segi negatif (hambatan-hambatan, kerapuhan-kerapuhan, cacat-cacat) yang menghalangi kita untuk berkembang. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa di dalam setiap pengalaman kita belajar untuk mengenali “perangkapperangkap” yang mungkin tanpa sadar menjerat kita. Berkenaan dengan itu, para ahli pengembang kepribadian mempunyai nasehat agak standar yang bunyinya kurang-lebih sebagai berikut: “Jika Anda sedang berada di dalam suatu situasi yang cenderung berat sebelah, entah yang positif atau yang negatif, janganlah sekali-kali membuat sebuah keputusan.” Pandangan ini cukup tepat karena bias emosional dalam sebuah keputusan akan sangat kuat berdampak pada hasil sebuah keputusan dan pelaksanaannya. Sebagai ilustrasi, kita mengambil contoh pengalaman Herodes, yang mengambil keputusan konyol ketika menyaksikan tarian putri Herodias yang “menyukakan hatinya”. Dia “bersumpah” untuk memberikan apapun yang diminta oleh putri itu. Penginjil Markus menulis: “Pada waktu itu anak Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
49
perempuan Herodias tampil lalu menari, dan ia menyukakan hati Herodes dan tamu-tamunya. Raja berkata kepada gadis itu: „Minta dari padaku apa saja yang kauingini, maka akan kuberikan kepadamu!‟” (Mrk 6: 22). Pucuk dicinta ulam tiba! Herodias yang dipenuhi dengan kebencian tidak menyia-siakan kesempatan. Kepala Yohanes Pembaptis yang diminta. Herodes pun masuk di dalam perangkapnya sendiri: harga diri, kehormatan, kekuasaan, dll. Demi semuanya itu, dia rela mengorbankan Yohanes Pembaptis: kepalanya dipenggal sebagai hadiah sebuah tarian. Tentu saja, kita masing-masing dapat menemukan dan menyadari perangkap-perangkap tertentu di dalam diri kita yang mesti kita hindari pada saat-saat seperti itu. Kini marilah kita menelusuri apa pesan Kitab Suci kepada kita dan kemudian ajaran St. Montfort mengenai topik ini. Para tokoh di dalam Kitab Suci adalah manusia biasa, yang juga memilik emosi-emosi seperti kita. Dua tokoh, Bunda Maria dan Tuhan Yesus, menjadi teladan kita dalam menghadapi emosi-emosi mereka berkenaan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Mari kita perhatikan apa yang disampaikan KS, terutama Injil, mengenai kedua tokoh tersebut.
“Ketika malaikat itu masuk ke rumah Maria, ia berkata: „Salam, hai engkau yang dikaruniai,
Tuhan menyertai engkau.‟ Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya di dalam hatinya, apakah arti salam itu” (Luk 1: 28-29; bdk, juga dengan Luk 2: 41-52: kisah Tuhan Yesus ditemukan kembali di Bait Allah). Semula Bunda Maria gelisah dan bingung menghadapi peristiwa yang tak terduga itu. Namun, kemudian kegelisahan hatinya itu berubah menjadi suatu “aktivitas kebijaksanaan”, yakni “bertanya di dalam hati”.
“Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. …” (Luk 10: 21). Tuhan Yesus bergembira karena “jalan-jalan rahasia Allah menyata”.
“Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, …” (Luk 19: 41). Tuhan Yesus mempunyai “keprihatinan yang besar terhadap kesejahteraan rohani orang lain”.
“Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerusalem. Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, …” (Mrk 11: 15). Kemarahan Tuhan Yesus diluapkan demi penegakan keadilan dalam hidup beragama.
“Maka menangislah Yesus. Kata orang-orang Yahudi: "Lihatlah, betapa kasih-Nya kepadanya!" (Yoh 11: 36). Tangisan Tuhan Yesus adalah ungkapan kasih dan empati-Nya yang terdalam terhadap orang lain.
Kita juga dapat menemukan emosi-emosi St. Montfort yang terungkap di dalam aneka tulisannya. Misalnya, di dalam tulisannya, Doa Menggelora untuk memohon Misionaris-misionari, St. Montfort mengungkapkan kekuatan emosinya yang positif. Mari kita perhatikan beberapa kutipan berikut ini: Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
50
“Bukankah lebih baik aku mati saja, ya Tuhanku, daripada setiap hari menyaksikan betapa ngerinya Engkau dihina tanpa si pelakunya dapat hukuman yang setimpal pada saat mana aku sendiri malah terancam bahaya turut terseret dalam banjir ketidakadilan yang semakin mengganas? Maka lebih baik aku mati seribu kali. Jadi, kirimkanlah aku bantuan dari atas atau ambillah nyawaku kepada-Mu” (DM 14).
“Izinkanlah aku berseru di mana-mana: Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran! Tolong! Tolong! Tolong! Api dalam rumah Tuhan, api dalam jiwa manusia, api yang sudah sampai ke tempat Yang Mahasuci. Tolong saudara kita yang dibunuh, tolong anak-anak kita yang dibantai, tolong orang tua kita yang ditikam. „Siapa yang memihak kepada Tuhan, datanglah kepadaku‟ (Kel 32: 26)” (DM 28-29).
03. Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi pribadi dan bersama: Setelah berefleksi mengenai emosi-emosi yang kualami, baik yang positif maupun yang negatif, dan becermin pada pengalaman Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan St. Montfort, saya mencoba untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini: a) Sumber-sumber batin apakah yang muncul melalui emosi-emosiku dan yang perlu dikuatkan? b) Apakah saya telah memberikan reaksi atau tanggapan yang memadai (tepat, benar) dalam
menghadapi aneka pengalaman?
c) Jika belum, bagian atau reaksi manakah yang perlu saya sadari dan perbaiki?
04. Niat: Saya mendaraskan doa Litani Roh Kudus agar memperoleh kebijaksanaan untuk mengenal diriku yang sejati. Setelah itu, …
Saya mengucap syukur kepada Allah atas karunia emosi-emosiku dan atas semuanya yang saya pelajari melalui emosi-emosiku itu.
Saya memilih salah satu sikap batin Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang tampak dalam hidup mereka melalui emosi-emosi yang mereka alami, dan saya memikirkan cara konkret untuk menyatukannya di dalam ziarah hidupku.
05. Pewartaan Sabda: Ibrani 5: 7-9. Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehanNya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
51
telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya. 06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Marilah kita mendaraskan atau menyanyikan Ave Maris Stella, kemudian di dalam persatuan dengan Bunda Maria kita merenungkan emosi-emosi yang dialami Tuhan Yesus dan Bunda Maria selama sengsara-Nya. Rangkaian pertama: Pengkhianatan Yudas. “Setelah Yesus berkata demikian Ia sangat terharu, lalu bersaksi: „Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku‟” (Yoh 13: 21-22). Rangkaian kedua: Sakrat maut di Taman Getsemani. “… lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. …‟” (Mrk 14: 34). Rangkaian ketiga: Yesus diolok-olok. “Dan orang-orang yang menahan Yesus, mengolok-olokkan Dia dan memukuli-Nya. Mereka menutupi muka-Nya dan bertanya: „Cobalah katakan siapakah yang memukul Engkau?‟ Dan banyak lagi hujat yang diucapkan mereka kepada-Nya” (Luk 22: 63-65). Rangkaian keempat: Yesus merasa ditinggalkan. “Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga. Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: „Eloi, Eloi, lama sabakhtani?‟, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk 15: 33-34). Rangkaian kelima: Maria berdiri di dekat salib. “Malahan kehadiran ibu-Nya yang terberkati menambah secara menyakitkan penderitaan-Nya, oleh karena ketika Dia sedang menghadap ajal-Nya Dia melihat ibu-Nya berdiri di kaki salib, tenggelam dalam laut kedukaan” (CKA 160). 07. Doa Penutup: Litani Santa Perawan Maria.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
52
Pertemuan Keenam
SIAPAKAH AKU INI DI DALAM CITA-CITAKU YANG TERDALAM? 01. Doa Pembuka: Datanglah Roh Kudus atau “Allah yang tidak berubah, semoga aku mengenal diriku sendiri!” atau “Tuhan, semoga aku dapat melihat!” (Kedua doa singkat terakhir itu diucapkan berulangulang dengan kerinduan besar.) 02. Pengantar Tema Jika kepada kita diajukan sebuah pertanyaan ini, “Apa yang hendak Anda lakukan jika hari ini Anda diberi kesempatan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa yang dikehendaki atau apa yang diimpikan?”, hampir dapat dipastikan bahwa akan muncul beragam jawaban. Jawaban-jawaban atas pertanyaan ini mengarah kepada langsung kepada aktualisasi diri kita sebagai manusia, tetapi sekaligus mengantar kita kepada penemuan inti diri kita. Ada sebuah kisah sangat inspiratif, yang sudah saya dengar ketika masih kecil. Kisah ini diceritakan oleh imam yang memimpin perayaan Misa pada salah satu hari Minggu. Isi cerita mengenai seorang janda yang sangat miskin dengan seorang anak masih kecil yang baru mulai belajar merangkak. Hidup perempuan ini dan anaknya sungguh memprihatinkankan, menyedihkan. Pada suatu ketika tiba-tiba dia didatangi oleh orang yang tidak dikenal. Orang anonim ini menawarkan sebuah hadiah yang sangat besar. Tanpa banyak pertimbangan, perempuan ini pun menyetujui tawaran orang anonim tadi. Kemudian dia mengikuti orang itu ke sebuah bangunan yang sangat besar. Ternyata bangunan itu adalah sebuah gudang penyimpanan harta kekayaan orang itu. Ketika mereka berada di depan gudang itu, tiba-tiba pintu terbuka secara otomatis. Saat masuk ke dalam, janda itu menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dia gambarkan dengan kata-kata. Dia begitu terpukau. Dia coba mengusap-usap matanya karena merasa seakan-akan dirinya sedang berada di negeri impian. Segala sesuatu yang diperlukan dan diinginkan ada di situ, terpampang di depan matanya. “Nah, Ibu, Anda boleh mengambil apa saja yang diinginkan!” Demikian kata orang tak dikenal itu menyadarkan dia dari lamunannya. “Namun,” kata orang itu lebih lanjut, “waktu ibu sangat terbatas, hanya 30 menit. Setiap beberapa menit Anda akan diperingkatkan. Setelah itu, pintu gudang ini akan tertutup dengan sendirinya. Segala yang ada di luar adalah milik Anda dan yang tertinggal di dalam adalah milik saya. Ingat ya, Bu, waktu Anda sangat terbatas dan jangan lupa ambillah yang paling penting dan perlu untuk Anda!” Sesudah itu, ibu janda itu pun dipersilahkan untuk mulai mengambil apa saja yang dapat diraih tangannya. Sambil menggendong anaknya, dia mulai mengambil dan membawa keluar gudang beras berkarung-karung, mi instan, biskuit, bubur bayi, susu, dan pelbagai macam jenis makanan lain. Demikian pula pakaian untuk dirinya dan anaknya.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
53
Tak lama berselang terdengar suara peringatan, “Ibu, waktu Anda tinggal 25 menit. Ingat yang terpenting!” Mendengar itu dia pun melihat-lihat dan meraih apa saja: alat elektronik, perhiasan (kalung emas, cincin berlian, dll). Ketika diperingatkan lagi, dia semakin panik. Sudah banyak barang yang dikeluarkan. Namun, dia merasa masih ada banyak barang yang dapat dia ambil. Anak dalam gendongannya pun dia rasa sebagai halangan bagi dia untuk lebih leluasa bergerak mengambil barang-barang yang diperlukan dan diingankan. Anaknya pun diberi mainan dan dibiarkan bermain sendirian di lantai. Dia melanjutkan perburuannya: mengambil barang-barang lain. Suara peringatan terdengar lagi, “Ibu, waktu Anda tinggal 15 menit! Ingat yang terpenting!” Dia masuk mencari dan mencari, mengambil dan mengambil lagi apapun yang dirasa paling penting dan perlu. Sementara itu, bayinya sudah jenuh bermain sendirian dan mulai merangkak ke arah yang dia suka. Ketika dikatakan bahwa waktunya tinggal 10 menit, janda itu pun dengan tergesa-gesa mengeluarkan barang-barang yang telah diambil dari gudang itu. Peringatan terdengar lagi, “Ibu, waktu Anda tinggal 5 menit. Ingat yang terpenting!” Dia merasa bahwa barang-barang penting telah dia ambil. Kini dia dapat bernapas lega sambil memandangi tumpukan barang yang berhasil dia kumpulkan. Tak lama kemudian, suara peringatan terdengar lagi, “Ibu, waktu Anda tinggal 1 menit. Ingat yang terpenting!” Peringatan terakhir ini tidak lagi dia hiraukan karena barang yang terkumpul lebih dari cukup, hingga suara itu terdengar lagi untuk terakhir kalinya, “Ibu, waktu Anda telah habis!” Pintu gudang pun perlahan-lahan tertutup dengan sendirinya. Kemudian dia mulai memilah-pilah barang-barang itu. Namun, ketika sedang melakukan itu, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ketika dia memedang kain gendongan bayinya, dia terkejut. Dia coba mencari-cari keberadaan bayinya di antara tumpukan barang. Tiada suara tangisan bayinya. Siasia pencariannya karena bayinya telah terjebak di balik kokohnya gudang penyimpanan harta itu. Dia marah dan minta supaya pintu gudang itu dibuka supaya dia dapat mengambil bayinya. Dia juga rela mengembalikan semua barang itu asal dia memperoleh kembali bayinya. Namun, terdengar suara, “Ibu, saya telah memperingatkan Anda: „Ingat yang terpenting!‟ Kita telah sepakat dengan peraturan permainan! Waktu Anda telah habis!” Selanjutnya, hanya ada kesunyian mencekam yang menemani janda itu, yang menangis pilu karena telah meninggalkan bayinya, buah hatinya, hal terpenting dalam hidupnya, demi harta benda duniawi. Si janda dalam kisah tersebut, mengartikan “hal terpenting dan paling perlu” adalah barang-barang atau harta jasmaniah yang dapat mengisi kekosongan yang sebelumnya telah dia alami. Dia lupa bahwa harta duniawi itu bukanlah segala-galanya yang dapat memberi kepuasan atau kebahagiaan yang paripurna. Harta duniawi hanyalah sementara, fana. Sedang kerinduan terdalam kita bersifat abadi, kekal. Lantas, jika kita coba melihat diri kita sendiri, sampai sejauh ini, apakah kita sudah sungguh memilih yang terbaik bagi kehidupan kita? Inspirasi apakah yang kita timba dari ajaran Kitab Suci? Kini, marilah kita belajar pada beberapa tokoh yang disajikan oleh Kitab Suci kepada kita: Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan Santo Paulus. Kemudian kita melihat bagaimana St. Montfort coba memetakan apa yang seharusnya menjadi “cita-cita” atau kerinduan terdalam seorang “yang dibaktikan kepada Kristus melalui Bunda Maria” demi cinta. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
54
a) Cita-cita terdalam Bunda Maria: Penginjil Lukas melukiskan jawaban yang diberikan Bunda Maria kepada utusan Tuhan, “Kata Maria, „Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu‟” (Luk 1: 38). Kemudian penginjil Yohanes melukiskan peristiwa di Kana. Dikatakan bahwa “ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: „Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!‟ …” (Yoh 2: 5). Di dalam kedua peristiwa itu, kita melihatkan dengan terang-benderang dua hal yang sesungguhnya menjadi kerinduan terdalam Bunda Maria. Pertama, sebagai pribadi beriman, Bunda Maria menyatakan dirinya untuk dengan setia “melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Allah”. Selain itu, kedua, dia mengarahkan dan membantu orang-orang lain untuk juga belajar melaksanakan rencana dan kehendak Allah di dalam hidup mereka. “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!” b) Cita-cita terdalam Tuhan Yesus Penginjil Yohanes melukiskan doa Tuhan kepada Allah, Bapa-Nya: “Bapa, … permuliakanlah Anak-Mu supaya Anak-Mu mempermuliakan Engkau … . Ia akan memberikan hidup yang kekal kepada semua yang telah Engkau berikan kepada-Nya. Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus” (Yoh 17: 1-3). Lebih lanjut Tuhan berdoa: “Semoga mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku, dan Aku di dalam Engkau, … supaya dunia percaya, bahwa Engkaula yang telah mengutus Aku” (Yoh 17: 21). “Ya Bapa, Aku mau supaya di manapun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku…” (Yoh 17: 24). Coba kita perhatikan apa yang hendak dikatakan Tuhan Yesus di dalam ketiga kutipan di atas? Sesungguhnya ada tiga pesan penting yang hendak Tuhan sampaikan berkenaan dengan “cita-citaNya yang terdalam”. Pertama, Tuhan ingin “memuliakan Allah Bapa-Nya dengan menganugerahkan kehidupan kekal kepada orang yang percaya kepada-Nya. Kedua, Tuhan merindukan “persatuan” semua pengikut-Nya sebagai bentuk kesaksian akan keesaan Allah. Ketiga, Tuhan merindukan persatuan-Nya yang adikodrati dengan semua pengikut-Nya. c) Cita-cita terdalam Santo Paulus Di dalam Suratnya kepada Umat di Filipi, St. Paulus menulis, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan … . aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus --- itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu … supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman…” (Fil 1: 21-26). Santo Paulus merindukan persatuan pribadi yang paripurna dengan Kristus. Namun, bersamaan dengan itu, dia juga mempunyai keprihatinan yang mendalam terhadap keselamatan orang lain, umat yang dia gembalakan. Dia tidak ingin bersikap egois, hanya memikirkan keselamatan sendiri, tetapi berusaha untuk menjadi lebih murah hati, altuistik, dalam menghayati imannya kepada Kristus. Kasihnya kepada Kristus dia ungkapkan melalui kasihnya kepada sesama.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
55
Kini marilah kita melihat apa yang disampaikan St. Montfort mengenai cita-cita terdalam seorang pengikut Kristus. Di dalam tulisannya, Bakti Sejati kepada Maria (BS), St. Montfort menulis sebagai berikut: “Oh! Betapa menyenangkan dan berharga di mata Allah dan Bunda-Nya yang suci seorang penghormat yang melayani Perawan suci tanpa sedikitpun mencari dirinya sendiri! Tetapi sekarang jarang ditemukan orang semacam itu! Agar jangan lagi seperti itu, saya mengangkat pena untuk menulis apa yang telah bertahun-tahun saya ajarkan dengan berhasil selama karya misi, baik secara publik maupun secara pribadi” (BS 110). St. Montfort menegaskan bahwa sudah sepantasnya seorang Kristen melayani Kristus dan Bunda Maria dengan “tanpa pamrih”. Penjelasan ini berkaitan erat dengan pemaparannya mengenai cirri-ciri bakti sejati. Salah satu cirinya adalah “tanpa pamrih”. Orang yang menghayati bakti sejati kepada Bunda Maria, hendaklah melakukannya dengan tulus hati tanpa mengharapkan imbalan atau balasan. Jika mengharapkan imbalan atau pamrih tertentu, orang akan mengalami kekecewaan karena sulit untuk menggambarkan “buah-buah nyata” suatu tindakan pembaktian diri. Singkatnya, hakikat pembaktian seluruh diri persis terletak di dalam pertumbuhan batin untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus. Nah, persis “kerupaan dengan Kristus” itulah yang menjadi sasaran akhir pembaktian seluruh diri yang diajarkan St. Montfort, sebagaimana dikatakan di bawah ini: “Oh! Betapa bermanfaatnya usahaku, kalau buku sederhana ini jatuh ke tangan seorang yang berwatak baik, yang dilahirkan dari Allah dan Maria, dan „bukan dari darah atau daging atau dari keinginan seorang lelaki‟ (Yoh 1:13); dan juga kalau buku ini, oleh rahmat Roh Kudus, akan membuat dia menemukan dan memahami keluhuran dan nilai bakti sejati dan kokoh terhadap Perawan teramat suci, yang akan saya uraikan sekarang ini!” (BS 112) Membawa setiap orang Kristen semakin dekat dengan Kristus dengan bantuan Bunda Maria adalah misi pokok St. Montfort. Dia mengajukan pilihan kepada setiap pengikuti Kristus: memberikan segala-galanya kepada Kristus melalui Bunda-Nya yang tersuci atau sama sekali tidak memberikan apapun. Maka, dia pun berani mengatakan: “Kalau saya, anak dan hambanya yang paling hina, dengan darahku yang penuh kejahatan dapat menyumbang sesuatu untuk membuat hati manusia terbuka bagi kebenaran-kebenaran yang saya tulis demi penghormatan kepada Bundaku yang terkasih dan pemimpinku yang tertinggi, maka saya akan memakai darah itu ganti tinta untuk membentuk huruf-huruf ini” (BS 112). 03. Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi pribadi dan bersama: Setelah berefleksi mengenai cita-citaku yang terdalam, saya ingin becermin pada pengalaman Tuhan Yesus, Bunda Maria, dan Santo Paulus, dan kemudian menjawab pertanyaan berikut ini: a) Ada banyak cita-cita yang terkandung dalam benak kita. Cita-cita terdalam manakah yang perlu ditegaskan dan diwujudkan? b) Cita-cita manakah yang perlu saya lepaskan? Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
56
c) Bagaimana cita-cita manusia Kristiani yang digambarkan oleh St. Montfort memberi inspirasi bagi hidup dan karyaku?
04. Niat: Saya mendaraskan doa Litani Roh Kudus agar memperoleh Kebijaksanaan untuk mengenal diriku yang sejati. Kemudian:
Saya mengucap syukur kepada Allah atas karunia cita-citaku di bidang rohani.
Saya memilih salah satu cita-cita Tuhan Yesus dan Bunda Maria, dan saya memikirkan cara konkret untuk menyatukannya dalam hidup dan karyaku.
05. Pewartaan Sabda: Efesus 3: 14-19. Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa, yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya. Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu, sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.
06. Kontemplasi melalui Doa Rosario: Marilah kita mendaraskan atau menyanyikan “Ave Maris Stella” kemudian merenungkan peristiwaperistiwa mulai, yaitu pemenuhan cita-cita semua pengikut Yesus. Rangkaian pertama: Yesus bangkit. Kita mencita-citakan cinta kasih Allah. Rangkaian kedua: Yesus naik ke surga. Kita mencita-citakan karunia-karunia surgawi. Rangkaian ketiga: Roh Kudus turun atas para rasul. Kita mencita-citakan kedatangan Roh Kudus. Rangkaian keempat: Maria diangkat ke surga. Kita mencita-citakan bakti sejati kepada Maria. Rangkaian kelima: Maria dimahkotai di surga. Kita mencita-citakan ketekunan dalam rahmat Allah.
07. Doa Penutup: Litani Santa Perawan Maria. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
57
Pertemuan Ketujuh
SIAPAKAH AKU INI DI DALAM KEPUTUSAN-KEPUTUSANKU YANG TERPENTIG? 01. Doa Pembuka: Datanglah Roh Kudus atau “Allah yang tidak berubah, semoga aku mengenal diriku sendiri!” atau “Tuhan, semoga aku dapat melihat!” (Kedua doa singkat terakhir itu diucapkan berulangulang dengan kerinduan besar.)
02. Pengantar Tema Di dalam kehidupan kita, ada hal-hal yang dapat kita hindari atau malah kita abaikan. Namun, satu hal ini tak dapat kita abaikan begitu saja jika kita sungguh mau mengalami pertumbuhan dalam hidup, baik dalam tataran manusiwi maupun tataran kehidupan ilahi, rohani. Setiap saat, dalam kadar yang berbeda-beda kita mesti berani membuat aneka keputusan. Persis di dalam keputusan-keputusan yang diambil, kita perlahan-lahan menemukan diri kita yang sesungguhnya. Mungkin kisah ini dapat membantu kita untuk memahami nilai penting “keberanian” untuk mengambil sebuah keputusan di dalam kehidupan kita. Ada sekelompok pencinta alam ketika berkesempatan melakukan pendakian sebuah gunung. Salah satu anggota rombongan adalah Sipengecut, demikian namanya. Pada awal pendakian mereka masih kompak. Setiap orang berusaha sekuat tenaga untuk terus berjalan. Namun, lama-kelamaan anggota rombongan mulai tercecer. Ada yang berjalan paling depan, ada pula yang terseok-seok di belakang. Malam pun semakin gelap. Tanpa disadari oleh rekan-rekannya, Sipengecut tersesat dan kemudian mengalami kecelakaan. Dia seorang yang tidak percaya pada apapun di luar dirinya, termasuk Tuhan. Dia terjatuh ke dalam jurang. Beruntung bahwa tangannya masih dapat meraih sebatang pohon kecil yang rupanya cukup kuat. Tubuhnya tidak sampai menghujam dasar jurang. Selama berjam-jam dia bergelantung kayak kalong pada satu-satunya pegangannya itu. Dia berusaha untuk berteriak sekeras-kerasnya untuk minta tolong. Tak seorang pun rekan-rekannya yang dapat mendengarkan teriakannya karena jurang itu terlalu dalam. Apalagi rekan-rekannya sudah jauh meninggalkan dia dengan arah yang berbeda. Ketika dia hampir kehabisan tenaga dan harapan, tiba-tiba meluncurlah dari mulutnya teriakan, “Tuhan, tolonglah aku!” Dia segera mendengar seakan-akan ada suara yang menyuruh dia melepaskan pegangannya. Namun, seperti namanya, dia pun takut untuk mengambil keputusan pada saat yang Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
58
amat penting, genting, dan kritis itu. Dia takut tubuhnya hancur lebur, luluh lantak di dasar jurang. Karena itu, dia pun relas bergelantungan sepanjang malam. Saat fajar menyingsing, dia menyadari bahwa pesan suara yang didengarnya itu. Dasar jurang hanya berjarak setengah meter dari telapak kakinya. Sipengecut tidak berani mengambil sebuah keputusan karena dia hanya berpegang pada keyakinan akan dirinya sendiri. Memang tidak sepenuhnya salah. Namun, jika dia menyadari bahwa ada banyak hal lain yang berada di luar cakupan akal budinya, ada banyak hal yang berada di wilayah “misterius” dalam kehidupan ini, dia mesti mempunyai cukup keberanian untuk membuat sebuah keputusan dengan setiap resikonya. Marilah kita belajar mengikuti dua tokoh dalam Kitab Suci, yakni Bunda Maria dan Santo Paulus. Setelah itu melihat ajaran Santo Montfort mengenai keputusan terpenting yang telah kita buat di dalam kehidupan kita. a. Bunda Maria dan Santo Paulus: 1) Keputusan-keputusan Bunda Maria dan kekuatan batinnya Penginjil Lukas Yohanes melukiskan jawaban Bunda Maria ketika menerima kabar gembira dari malaikat Tuhan, “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Lk 1: 38). Bunda Maria menanggapi berita Malaikat Gabriel dengan memberikan jawaban demikian karena dia sungguh yakin akan kekuasaan Yahweh, Allah Israel. Dia percaya bahwa Yahweh selalu mempunyai rencana dan kehendak agung yang akan menyelamatkan bangsa Israel. Tanggapannya berangkat dari keyakinannya yang mendalam akan kasih dan kebaikan Yahweh. Melalui tanggapannya itu, Bunda Maria mengambil sebuah keputusan penting, yakni menyatakan penyerahan seluruh dirinya kepada Allah. Dia hendak mengabdi kepada Allah ketika dengan tegas dia menyatakan, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; …” (Lk 1: 38). Pernyataan itu ditegaskan lebih lanjut ketika dia mengunjungi Elizabeth, saudari sepupunya, di Yehuda. Ketika dikunjungi, Elizabeth menyalami Bunda Maria, “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Lk 1: 42-43). Bunda Maria meneruskan pujian itu kepada Allah sebagaimana kerap kita lantunkan, “Kidung Maria” (Lk 1: 46-56). Demikian pula sikap dan tindakan Bunda Maria tetap konsisten menyatakan “pengabdiannya” kepada Allah ketika dia mesti menyaksikan peristiwa Salib yang tragis, sebagaimana dilukiskan oleh penginji Yohanes, “Di dekat salib Yesus, berdiri ibu-Nya” (Yoh 19: 25). Penginjil Yohanes mengisahkan peristiwa perkawinan di Kana, Galilea. “Kata Yesus kepadanya: „Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba.‟ Tetapi ibu Yesus berkata kepada pelayan-pelayan: „Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!‟” (Yoh 2: 4-5) Bunda Maria mengajarkan para pengikut Tuhan untuk melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan sebagaimana dia sendiri telah menyatakan dalam perkataan dan tindakannya. Lantas, di mana persisnya kekuatan yang dimiliki oleh Bunda Maria yang kemudian memampukan dia untuk mengambil semua keputusan penting itu? Kita dapat menyebut beberapa keutamaan hidupnya di sini: Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
59
Bunda Maria mempunyai “kesadaran yang mendalam bahwa dia dikasihi oleh Allah”. Di sini kita dapat mengingat kembali salam Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria, “…"Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau" (Lk 1: 28). Bunda Maria juga mempunyai sikap “kerendahan hati dan keterbukaan terhadap kebijaksanaan dan rencana Allah”. Sekali lagi, jawaban Bunda Maria menegaskan sikapnya itu, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan” (Lk 1: 38). Bunda Maria memiliki “tekad yang kokoh-kuat untuk mewujudkan kesanggupannya” sebagaimana dinyatakan dalam jawabannya “… jadilah padaku …” (Lk 1: 38).
2) Konflik batin St. Paulus Di dalam Suratnya kepada Umat di Roma, St. Paulus mengatakan, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. … . Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku” (Rom 7: 15.21-23). St. Paulus dengan jujur mengungkapkan pertarungan di antara dua kekuatan yang berkecamuk di dalam dirinya. Perjuangannya menghadapi pertarungan di antara kekuatan kebaikan dan kejahatan di dalam dirinya adalah juga ungkapan mengenai kondisi nyata setiap manusia yang mesti terusmenerus untuk memilih yang baik dan menjauhkan diri dari yang jahat. b. Ajaran St. Montfort 1) Keputusan orang yang menjalankan “bakti sejati” Bagaimana persisnya keputusan itu? Mari kita perhatikan salah satu bagian rumusan “pembaktian diri” yang ditulis St. Montfort di dalam karyanya, Cinta dari Kebijaksanaan Abadi” (CKA): “Untuk selamanya aku menyangkal Setan, segala kesia-siaannya dan perbuatan-perbuatannya; aku menyerahkan diriku seluruhnya kepada Yesus Kristus, Kebijaksanaan yang menjelma, untuk memikul salibku mengikuti Dia segala hari hidupku supaya menjadi lebih setia kepadaNya dari pada sampai sekarang. … . Aku memilih engkau , ya Maria, menjadi Ibuku dan Ratuku. Sebagai hambamu, aku menyerahkan dan membaktikan kepadamu: tubuhku dan jiwaku, segala milikku yang rohani maupun jasmani, termasuk juga nilai pahala dari setiap perbuatanku yang baik di masa lampau, kini dan kelak. Aku memberi hak kepadamu untuk menggunakan diriku dan segala yang kumiliki, sekehendakmu, tanpa pengecualian, agar Allah semakin dimuliakan kini dan sepanjang masa” (CKA 225). Keputusan kita sebagai pengikut Kristus adalah “penyerahan seluruh diri kepada Kristus Kebijaksanaan yang menjelma, memikul salib mengikuti Kristus, agar lebih setia lagi”. Untuk mencapai tujuan itu, kita memilih Bunda Maria sebagai “sarana” yang paling aman, mudah, pendek, dan suci. Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
60
2) Pertumbuhan batin Keputusan itu sebuah peluang sekaligus tantangan. Disebut sebagai “peluang” karena keputusan tersebut adalah sebuah jalan yang mengantar setiap pengikut Kristus untuk mencapai kehidupan yang sejati. Namun, bersamaan dengan itu, keputusan yang sama mengantar kita untuk berhadapan dengan kenyataan bahwa kehidupan sejati yang diperjuangkan adalah sebuah target seumur hidup. Nah, komitmen atas “keputusan penting” itu menentukan pertumbuhan seseorang. Di dalam Bakti Sejati kepada Maria (BS), St. Montfort mengatakan: “Karena hakekat bakti ini terletak di dalam batin yang harus dibentuk, maka tidak semua orang memiliki kemampuan untuk mengertinya secara sama. Beberapa orang akan sampai ke sisi lahiriah dan berhenti di situ, dan mereka ini merupakan jumlah yang terbesar. Beberapa lagi, dalam jumlah yang lebih kecil, akan maju terus sampai ke bagian batiniah, tetapi mereka naik hanya satu tingkat. Siapa yang akan naik sampai ke tingkat yang ke dua? Dan siapa yang akan berhasil sampai tingkat yang ketiga? Akhirnya siapa yang akan tetap tinggal di situ? Hanya dia, yang kepadanya Roh Yesus Kristus akan membuka rahasia ini” (BS 119). Di dalam kutipan di atas, kita menarik beberapa poin penting. Pertama, inti bakti sejati kepada Maria adalah pertumbuhan kehidupan batiniah, spiritual. Kedua, bakti sejati mempunyai dimensi lahiriah, yang juga unsur penting. Ketiga, pertumbuhan kehidupan batin adalah buah kerjama sama orang yang menghayati “pembaktian diri” itu dengan karya Rahmat Allah.
03. Pertanyaan-pertanyaan refleksi pribadi dan bersama: Setelah becermin pada pengalaman Bunda Maria, konflik batin Santo Paulus, dan ajaran St. Montfort, saya menjawab pertanyaan berikut ini: a) Apa yang dapat menjadi suatu keptusan hari ini yang mempengaruhi hidupku dan menjadi landasan bagi semua keputusan yang lain? b) Apa yang mesti saya lepaskan untuk mempertahankan keputusanku itu?
04. Niat: Saya mendaraskan doa Litani Roh Kudus agar memperoleh karunia kerendahan hati, keterbukaan, dan tekad untuk mencari kerajaan Allah di dalam hidupku. Kemudian: a) Saya membaharui janji-janji baptisku. b) Saya memilih mempercayakan hidup kristianiku kepada Bunda Maria.
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
61
05. Pewartaan Sabda: “TUHAN, aku tidak tinggi hati, dan tidak memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku. Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku. Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!” (Mzm 131: 1-2).
06. Kontemplasi dalam Doa Rosario Suci: Marilah kita mendaraskan atau menyanyikan “Ave Maris Stella” kemudian bersama St. Montfort, merenungkan beberapa motif yang “memperlihatkan keunggulan pembaktian diri kita kepada Yesus melalui Maria.” Rangkaian pertama: Dengan membaktikan diri kepada Yesus melalui Maria, kita memberikan seluruh diri kita demi pelayanan kepada Allah (BS 135). Rangkaian kedua: Pembaktian diri ini membantu kita untuk mengikuti teladan Kristus, yang “mengunci diri-Nya di dalam rahim Perawan suci” (BS 139). Rangkaian ketiga: Pembaktian diri kepada Yesus melalui Maria adalah sarana yang sangat baik agar Allah semakin dimuliakan (BS 151). Rangkaian keempat: Bakti ini adalah jalan yang mudah, pendek, sempurna, dan aman untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Di sinilah letak kesempurnaan seorang Kristiani (BS 152). Rangkaian kelima: Bakti ini memberikan kebebasan batin yang besar, yaitu kebebasan anak-anak Allah, kepada siapapun yang menghayati bakti ini dengan setia (BS 169).
07. Doa Penutup: Litani Santa Perawan Maria
Kerabat Santo Montfort (KSM) Indonesia | Totus Tuus – TAHAP II: PENGENALAN DIRI
62