Si Mata Elang Herna S Zaldi
G
ianina menatapi gedung sekolah SMU yang besar itu. Gedungnya tingkat dua, sudah tua, tapi tampak kokoh dan megah. Halamannya luas dan bersih. Di sekeliling lapangan olahraga berjajar pohon palm raja yang tampak kuat dan anggun. Kalau tidak ada hambatan yang berarti, sekolah ini akan menjadi sekolahan Gia. Semua persyaratan Gia masuk, malah nilai pelajarannya sedikit lebih baik dari persyaratan minimal sekolah itu. Sekarang papa Gia sedang menyelesaikan urusan administrasinya. Moeri dan Uli tampaknya punya optimisme yang sama. Oleh karena itu mereka merasa perlu meninjau sekolah itu. Bertiga mereka berjalan-jalan, ke toilet, ke kantin – tempat nanti mereka jajan, melihat-lihat ruangan kelas, dan terakhir mereka menuju lapangan olahraga. Kebetulan di sana mereka melihat beberapa orang cowok sedang main basket.
Gia, Moeri dan Uli duduk pada sebuah bangku terbuat dari beton persis di bawah gerumbulan pohon bogenvil. Di bangku-bangku lainnya ada beberapa cowok – tampaknya sama-sama calon siswa. Di lapangan ada sepuluh cowok sedang main basket. Tampaknya sedang latihan. Mereka tidak mengenakan seragam, dan mainnya juga sambil bercanda. Tiba-tiba Gia terkesiap. Di antara sepuluh cowok yang sedang berlarian dan bersimbah keringat itu Gia menemukan sebentuk wajah yang sudah amat dikenalnya. Wajah itu lagi. Gia menatap wajah itu dengan lebih saksama. Bila cowok itu sedang berada di pinggir lapangan, mendekati Gia berada, Gia pura-pura menunduk, tapi matanya terus mengawasi. Tak salah lagi. Gia menemukan mata itu lagi: Si Mata Elang. Gia menemukan alis hitam tebal dan hampir nyambung. Asya menarik napas panjang. “Li, lo pernah nggak seneng ama cowok,
seneeeng banget, padahal lo nggak kenal cowok itu, nggak tahu namanya, nggak tahu rumahnya…” kata Gia pelan. Pas di telinga Uli. Uli menatap wajah Gia dengan pandangan geli, “Lo lagi panas, ya? Kok nanya yang begituan?” “Jawab aja!” “Ya enggak-lah. Nggak mungkin. Seneng sama orang kan harus ada sebabnya.” Gia terdiam. “Emangnya kenapa?” serang Uli. “Ah nggak.” “Jangan bohong. Lo jatuh cinta sama salah seorang di antara mereka, ya?” “Ah nggak.” “Lo itu aneh Gia, sekolah aja belum tentu diterima, sudah mikir yang bukan-bukan,” kata Moeri. “Tapi emang nggak salah-salah banget sih. Cowoknya keren-keren juga sih.” Mata Gia masih pada cowok itu. Sang cowok sekarang istirahat. Ia digantikan dengan pemain lain. Ia duduk melonjorkan kaki di pinggir lapangan. Sekarang Gia makin yakin bahwa ia cowok yang sering hadir dalam lamunan, bahkan mimpinya. Gia sendiri sering tidak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Gianina “kenal” dengan cowok itu sudah lama. Lama sekali. Mungkin satu tahun lalu atau lebih. Gia tidak ingat benar. Yang jelas, ia ketemu dengan cowok itu di pusat perkulakan Carrefour. Waktu itu Gia sedang belanja dengan Mama. Tugasnya ngintil Mama mendorong-dorong troli mengumpulkan barang-barang belanjaan Mama. Waktu Gia memasuki sebuah lorong yang agak sempit troli Gia bersenggolan dengan troli orang. Celakanya, saat itu troli yang dibawa Gia membawa banyak barang bawaan, seperti mi instan dan berpak-pak tisue buat persediaan. Sebagian barang itu jatuh berserakan. Cowok minta maaf. Dia sibuk mengambili barang belanjaan Gia yang berserakan memenuhi lantai. Gia memperhatikan wajah cowok itu dengan nada malu. Soalnya, tabrakan itu sendiri sepenuhnya bukan kesalahan dia. Gia memang sedang nggak konsen. Tak ada yang istimewa dari cowok itu, kecuali matanya yang hitam tajam seperti elang. Alisnya tebal hitam hampir nyambung di pangkal hidungnya. Cowok itu sekilas tersenyum ke arah Gia. Soalnya… soalnya…. Kata orang... Gia juga memiliki mata seperti itu. Turunan papanya yang masih berdarah Timur Tengah. Beberapa saat mereka saling bertatapan. Mereka sama-sama tersenyum. Dan mereka pun berpisah. Cowok itu juga sedang ikut
mamanya belanja. Beberapa hari setelah itu Gia masih suka ingat kejadian. Kejadian sekilas, lucu, namun cukup mengesankan. Gia suka dengan bentuk senyum cowok itu. Tatapan matanya terasa teduh. Tapi cerita tentang cowok itu sedikit demi sedikit tenggelam ditutup dengan banyak peristiwa lain dalam kesibukan keseharian Gia. Sekitar satu tahun kemudian Gia merayakan acara tahun baru di Grand Palace Hotel di Puncak. Papa Gia kebetulan mendapat undangan gratis dari rekanan kerjanya. Gia datang sekeluarga dan mendapat meja agak di belakang. Waktu itu ada acara door prize-nya. Kebetulan keluarga Gia mendapat hadiah. Hadiahnya sendiri sebenarnya tidak seberapa, hanya sebuah payung. Waktu Gia kembali dari panggung seusai mengambil hadiah tersebut, Gia melihat wajah itu lagi. Malam itu suasana terang-benderang. Gia yakin benar. Cowok itu duduk bersama keluarganya. Saat itu dia tersenyum, dan bertepuk tangan – seakan ikut senang dengan hadiah yang didapatkan Gia. Sebenarnya malam itu Gia berharap bisa ketemu dengan cowok itu. Entah bagaimana caranya. Tapi tak ada kesempatan. Sampai acara berakhir cowok itu tidak muncul. Dua tiga hari setelahnya Gia masih suka ingat wajah itu, terutama matanya yang hitam itu. Tapi setelah itu lenyap lagi. Empat bulan setelah itu Gia liburan ke Bali bersama keluarganya. Ada banyak tempat yang dikunjunginya. Pada hari-hari akhir liburan Gia menginap di sekitar Pantai Kuta. Sewaktu ia sedang berenang bersama adik dan papanya, lagi-lagi ia ketemu dengan cowok itu. Tampaknya sama dengan Gia, cowok itu berlibur bersama keluarganya. Malah lebih banyak. Gia berpapasan dengan cowok itu di lapangan pasir. Waktu itu Gia hendak berenang, sementara cowok itu baru selesai berenang. Pakaiannya basah kuyup. Ia berjalan bersama sekitar tujuh orang anak kecil. Jarak antara Gia dan cowok itu hanya sekitar empat meter. Mereka sama-sama berhenti. Saling pandang. Saling senyum. Tapi cowok itu tak mengatakan apa-apa. Begitupun Gia. Ia bingung. Harus bilang apa coba? Cowok itu kemudian pergi karena seorang anak menarik tangannya. Gia sendiri kemudian berlalu menghampiri papanya yang sudah lama menunggu dengan papan selancarnya.
Dari laut tempat ia dan papanya berenang, Gia mengedarkan pandangannya ke daratan. Ia mencari keberadaan cowok itu. Nihil. Di lapangan pasir yang membentang luas itu Gia hanya melihat orang-orang yang tak dikenalnya. Kebanyakan orang bule. Sebenarnya Gia sempat berharap cowok itu kembali lagi ke laut, berenang bersama, mungkin sambil berkenalan, atau apalah. Tapi cowok itu benar-benar raib. Setelah kembali ke hotelnya, dan bahkan ketika Gia sudah kembali ke Jakarta, Gia sering teringat mata cowok itu. Suatu malam Gia malah pernah bermimpi cowok itu datang ke rumahnya. Sang cowok memperkenalkan namanya, tapi sayang Gia tak sempat mengingatnya. Cowok itu duduk di kursi teras rumahnya. Mereka ngobrol dan tertawa-tawa, akrab, mesra, saling melepaskan rindu selayaknya kenalan lama yang tidak jumpa bertahun-tahun. Gia senang dengan mimpi itu. Gia pengin mimpi itu terulang lagi. Tapi ya… mana bisa? Diam-diam Gia sering heran, ada apa dengan cowok itu? Juga dengan dirinya. Ada apa dengan pertemuan yang sekilas-sekilas seperti itu? Dan yang paling penting, ada apa dengan perasaannya? Orang ketemu cowok, biasa. Namanya punya mata dan sering bepergian. Ketemu berkali-kali, juga biasa. Di mana salahnya? Wong Jakarta ini juga sebenarnya nggak luas-luas banget. Yang mengherankan, kenapa ia punya perasaan yang mendalam seperti itu? Hari ini, di sekolah yang akan dimasukinya, lagi-lagi Gia ketemu cowok itu lagi. Gila! Ingin sebenarnya Gia bangkit, berjalan menghampiri anak itu. Ngobrol. Tapi jelas itu tak mungkin. Mustahil. Harga diri. Lagi pula, belum tentu cowok itu ingat pertemuan-pertemuan itu sebagaimana Gia mengenangya. Belum tentu cowok itu punya perasaan yang sama sebagaimana yang dirasakannya. Buktinya, sedari tadi ia cuek-cuek aja. Ia asyik main basket dengan teman-temannya. Kalau kenal, ia pasti menghampirinya, setidaknya mengangguk, atau tersenyum ke arahnya. Gia duduk di sana cukup lama, mustahil ia tidak mengetahui kehadiran Gia. Ya, selama ini Gia hanya bertepuk sebelah tangan. “Gia, ayo kita pulang.... Gia tersentak. Ia lihat Papa sudah berdiri di belakangnya. “Beres, Pa?” “Mudah-mudahan. Ayo cepat, Papa masih harus ke kantor. Atau kamu mau di sini dulu?”
Gia bimbang. “Moer, Ul, aku pulang duluan ya?” kata Gia akhirnya. “Oke,” kata Uli. Gia kemudian berjalan mengikuti langkah papanya ke arah tempat parkir. Moeri dan Uli pergi ke kantor tata usaha sekolah menemui orangtua mereka. * Gianina melewati hari pertama sekolahnya dengan perasaan senang campur sedih. Senangnya, sekarang Gia sudah anak SMU, ia akan mendapat banyak guru dan teman-teman baru yang sedikit banyak akan mempengaruhi kehidupannya. Sedihnya, di antara tujuh orang sahabat yang mendaftar di sekolah itu, hanya dia yang diterima. Tidak juga Uli dan Moeri. Nilai pelajaran mereka benar-benar pas-pasan. Sementara, sekolah ini terbilang katagori unggulan. Mereka kalah bersaing dengan anak-anak yang punya nilai lebih baik. Hari pertama hingga sebulan pertama sekolah, Gia tidak menghadapi masalah dan hal-hal yang istimewa. Semua berjalan biasa-biasa saja. Cerita tentang cowok itu juga tak berkelanjutan. Bahkan Gia agak ragu, apakah cowok itu sekolah di situ apa tidak. Yang pasti, semenjak Gia berada di sekolah itu, ia tidak pernah melihat batang hidungnya. Bisa jadi, waktu itu ia hanya numpang main basket. Bisa ‘kan??
Setelah sekitar tiga bulan berlalu, Gia berteman dengan Agnes, anak kelas II-10, yang lincah dan ramah. Mereka kenalan di kantin. Pertama, biasalah Agnes nanya nama, alamat rumah, hobi, dan lain sebagainya. Ketika sudah mulai akrab, Agnes nanya hal-hal yang lebih pribadi, misalnya, “Lo udah punya cowok belum Gia?” Gia hanya tersenyum. “Mana ada cowok yang suka sama cewek item, kurus lagi?” kata Gia. “Itu namanya merendahkan diri, meninggikan mutu.” Gia ketawa. “Aku sungguhan nih, Gi. Sebenarnya lo tuh cakep. Anggun lagi.” “Anggun? Maksud lo kayak ibu-ibu gitu?” Mereka ketawa-tawa. Hari Sabtu seusai sekolah, Agnes mengajak Gia menghadiri acara ultah temannya. Dengan halus Gia menolak undangan itu. Pertama, Gia agak kurang suka dengan pesta dan hal yang bersifat hura-hura. Kedua, ia sudah punya acara. Acara keluarga, arisan rutin saudara-saudara mamanya. Ketiga, ya nggak enak aja. Gia belum kenal siapa-siapa. Apalagi kakak kelasnya. Kalau yang ultah Agnes, masih mungkinlah. “Ini bukan pesta kok, Gi. Acaranya sebentar aja. Kita cuma kumpul dan makan-makan. Please Gi, aku harap lo ikutan. Ini kali aja. Setelah itu terserah aja.” Wajah Agnes tampak serius. Gia tetap bertahan. Agnes terus merayu. Memelas lagi. Hal ini membuat Gia heran. “Memangnya kenapa sih, Nes? Kenapa aku harus ikut?” Agnes menarik napas. Matanya yang bulat menatap Gia. Lama. “Apa boleh buat. Tampaknya aku harus terusterang sama lo....” kata Agnes akhirnya. Gia nyureng, nggak ngerti. “Jujur aja, semua ini aku lakukan untuk Daru.” Gia makin nggak ngerti. “Siapa Daru?” “Sahabat gue. Dia cowok yang baik. Pinter lagi. Tapi kelihatannya ada masalah dengan kejiwaannya. Dia anaknya nggak pede banget. Pemalu nggak ketulungan.” Trus apa hubungannya dengan aku?” Gianina benar-benar tidak mengerti. Agnes mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Jari-jari Agnes trampil memencet-mencet tombol.
“Aku ingin memperlihatkan foto sama lo. Tapi lo janji tidak bilang sama siapa pun. Soalnya benda ini aku reproduksi secara diam-diam dari pemiliknya. Gia makin bingung. “Janji?” “Ya, aku tidak akan bilang sama siapa pun,” kata Gia akhirnya. Agnes menemukan foto itu di dalam layar ponselnya. Agnes menyerahkan ponselnya pada Gia. “Lihatlah....” kata Agnes. Gia terkesiap. Gia melihat – dalam foto di ponsel itu – dirinya sedang berdiri mengenakan pakaian renang warna hijau lumut. Di hadapan Gia terlihat wajah cowok itu tersenyum. Ia berdiri di antara anak-anak kecil. Gia ingat, foto itu pasti dibuat di Bali, di Pantai Kuta. Seseorang rupanya telah mengambil foto saat itu. “Itu foto lo, kan?” kata Agnes. Gia mengangguk. Cowok di hadapan lo itulah Daru,” kata Agnes. Gia menggigit bibirnya. “Gue dan Daru bersahabat sejak lama, sejak di SLTP,” Agnes bercerita. “Sebagai sahabat, gue sering prihatin. Kasihan juga tu anak, setiap hari kegiatannya hanya belajar dan belajar. Atau menghabiskan waktunya di lab. Nggak gaul. Apalagi sama cewek. Padahal cukup banyak cewek suka sama dia. Suatu hari, pernah aku sarankan dia punya cewek. Eh, Daru malah cerita, katanya sebenarnya dia suka sama seorang cewek. Tapi, dia tidak tahu nama cewek itu. Dia juga tidak tahu di mana rumahnya, di mana sekolahnya, soalnya cewek itu dijumpainya hanya pada saat-saat yang serba kebetulan. Daru memperlihatkan foto ini. Secara kebetulan salah seorang keponakannya membuat foto ini di Bali.” Agnes menarik napas. “Diam-diam foto kusam itu gue repro. Belum lama Daru bilang sama gua bahwa cewek itu sekolah di sini. Tapi dasar Daru, dia malah bingung. Katanya dia nggak ngerti harus berbuat apa.” Agnes menatap mata Gia. Gia gelisah. “Apakah dia... siapa namanya... Daru... juga sekolah di sini?” kata Gia perlahan. “Yupz, kelas II-8. Tapi pasti lo ngga pernah melihatnya, karena dia memang jarang keluar kelas. Apalagi semenjak lo sekolah di sini. Saat istirahat dia betah bertahan di kelasnya. Kelas Daru di lantai dua. Tapi kata Daru, dia sering perhatiin lo dari atas....” Gia tersipu. “Nah Gia, sepertinya gue harus melakukan
sesuatu. Buat Daru. Mungkin juga buat lo. Itu juga kalo lo pernah menaruh hati buat cowok itu. Acara nanti siang itu sebenarnya ultah Yunita, salah seorang sahabat gue. Juga sahabat Daru. Daru bilang akan hadir. Gue pikir ada baiknya kalo lo juga ada di sana.” Gia bimbang. Sekali lagi ia memandangi foto di ponsel Agnes. Gia lalu mengembalikannya. “Kalo lo suka, nanti gue kirim ke BB lo,” kata Agnes. Gia mengangguk. “Nah Gia... jangan salah sangka. Gue bukannya mau jodoh-jodohin kalian. Itu urusan kalian. Gue hanya membuka sebuah kesempatan, siapa tahu sebenarnya kalian pengin ketemuan. Itu saja.” “Di mana acaranya....?” kata Gia pelan. “Di rumah Yunita. Ngga jauh kok dari sekolah. Jalan kaki dua menit juga sampai. Nah, kalo mau hadir, teleponlah mamamu, minta izin terlambat pulang barang dua atau tiga jam. Kalo perlu gue yang bicara sama orang rumah...” kata Agnes. Gia menggeleng. Ia coba tersenyum untuk menutupi hatinya yang tiba-tiba berdebar-debar. Ya, tampaknya tidak akan ada masalah kalo ia menelepon Mama untuk mengatakan ia terlambat pulang barang dua atau tiga jam. Acara ultah Yunita mungkin tidak ada hubungannya dengan Gia. Tapi ketemu cowok itu, Si Mata Elang, yang pernah begitu merasuk dirinya bahkan sampai terbawa mimpi, tentu akan sangat berarti buat kehidupannya. “Gimana Gi?” Gia mengangguk. “Ya.” Katanya pelan. “Satu lagi Gia, kalo nanti lo sempat ngobrol sama Daru, jangan singgung-singgung nama gue, termasuk soal foto itu. Kalian ngobrolah. Ketemuanlah seakan-akan kebetulan, sebagaimana yang telah beberapa kali kalian alami.” Gia tersenyum. Agnes tertawa dan membelalakkan sebelah mata untuk menggoda***
Pernah dimuat di Majalah gadis