Edisi 2, April 2013
Kejutan Si Mata Merah “Fosil Hidup” itu ada di Asam Kumbang!
Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua!
Fotografer Terkesima dengan Katakkatak di Bumper
Biopalas dan Herpetologer Mania Herping Bersama DAAI TV
Foto kover: Kaloula baleata, © Khairul Umri
Salam konservasi!
S
ebuah kesenangan tersendiri melihat penelitian-penelitian yang walaupun sebagiannya tidak resmi dapat terangkum dalam satu wadah, seperti Majalah Herpetologer Mania (MHM). Barang kali penelitian yang dimaksud terkait amfibi dan reptil yang kini asyik bagi kelompok tertentu.
Pembimbing Ketua Departemen Biologi FMIPA USU Konsultan Kontribusi Mistar Kamsi, Giyanto, Munawar Kholis, Joko Guntoro Penanggung Jawab Posma Tarida Tua Pemimpin Redaksi Akhmad Junaedi Siregar Editor Chairunas Adha Putra Administrasi Desy Hikmatullah Kontributor Khairul Umri, Tengku Gilang Pradana, Herclus Tampubolon, Trisi Sanjaya, Siska Handayani Disainer Herpetologer Mania Diterbitkan oleh Herpetologer Mania Didukung oleh Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (BIOPALAS) Departemen Biologi FMIPA USU Redaksi menerima tulisan & foto dengan mengirimkannya ke e-mail
[email protected].
Daftar Isi Hal. 4 Fotografer Terkesima dengan Katak-katak di Bumper 6 Beda-beda Tapi Sama 8 “Fosil Hidup” itu ada di Asam Kumbang! 12 Kejutan Si Mata Merah 14 Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua! 16 Biopalas dan Herpetologer Mania Herping Bersama DAAI TV 18 Majalah Herpetologer Mania Akhirnya Dilaunching
2
Edisi kedua ini, saya melihat ada perkembangan ragam konten dan perubahan tampilan. Konten yang dimaksud misalnya tulisan dari luar Sumatera, yang dalam hal ini ditulis oleh Aditya Krishar Karim dari universitas di Papua - yang berarti juga pembaca MHM telah sampai ke Papua. Disain tampilan, saya lihat semakin mudah untuk dinikmati pembaca. Dengan ada media ini, dapat dirasakan bahwa etos kepenulisan penggiat amfibi & reptil semakin termotivasi, buktinya penulis yang menyumbangkan ide-idenya semakin bertambah. Akhir kata, semoga MHM semakin jaya. Ketua Dept. Biologi FMIPA USU Nursahara Pasaribu
Salam Herping! Senang sekali kami bisa berjumpa lagi dengan pembaca meskipun kita telah memasuki tahun yang berbeda. Tahun 2013 dianggap banyak kalangan sebagai tahun yang penuh dengan tantangan. Tahun ini pula semenjak tanggal 10 Februari yang lalu merupakan tahun ular bagi kalender Tionghoa–yang dalam dunia herpetologi–tentu saja adalah tahun yang istimewa. Sebelumnya redaksi menghaturkan minta maaf karena penerbitan Majalah Herpetologer Mania ini sedikit terlambat dari jadwal yang seharusnya. Kalau boleh kami jujur berkata, redaksi adalah orang-orang yang bukan bekerja di bidang herpetofauna. Tapi memiliki semangat biologi sebagaimana dulunya terlebih dahulu larut di bidang itu. Tapi tetap saja, ketertarikan terhadap amfibi & reptil tak akan pernah surut, dan oleh karenanya majalah ini tentulah akan tumbuh dan eksis di hadapan Anda. Itu janji kami. Pada edisi ini, kami menerima berbagai tulisan yang menarik di antaranya tulisan dari Aditya Krishar Karim mengenai Bufo melanostictus di Yogyakarta. Tak ketinggalan Aulia Fajria cukup antusias ingin menceritakan penemuan pertamanya dengan Si Mata Merah, demikian beliau menyebutnya. Khairul Umri mesti membongkar file foto-fotonya untuk memberi rasa lebih ramai di Herpetologer Mania. Redaksi juga melengkapi berita dan artikel yang relevan seputar herpetofauna dan profil tokoh penting yang berkecimpung di dunia amfibi dan reptil untuk mendekatkan kita sesama pecinta amfibi & reptil. Tak lupa pula kami mendokumentasikan kegiatan-kegiatan Herpetologer Mania agar cerita tersebut tak menguap begitu saja. Selamat membaca.
Kontributor Mania
reptil. Bufo melanostictus bagi orang Sumatera dan sekitarnya adalah sesuatu obyek biasa dan relatif dicuekkan. Tetapi tidak bagi mereka di Papua. Menemukannya katak puru itu di perkotaan adalah suatu catatan yang menarik.
Aditya Krishar Karim
B
anyak cara orang memandang sesuatu. Dan dengan cara pandang pula seolah-olah kebenaran itu subyektif. Hal tersebut pula melekat dalam dunia amfibi dan
Aulia Fajria
Aditya Krishar Karim , S.Si, M.Si dalam satu kesempatan studi di Yogyakarta tentu saja heran dengan keberadaan Bufo melanostictus yang tersebar merata dalam populasi yang tinggi. Asisten ahli di jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih (UNCEN) itu kemudian
D
dengan nama apa. Akhirnya karena tidak mau ambil pusing dipanggilnya saja itu dengan “si mata merah”. Usai melakukan metode pengenalan jenis terutama melakukan pemotretan, Aulia kemudian mencari cara mengidentifikasinya.
Ada satu jenis yang membuatnya penasaran. Kataknya bermata merah dan beliau bingung harus menyebutnya
Di Dept. Biologi USU, tempat kuliahnya, sebenarnya mudah melakukan identifikasi dengan buku-buku yang sudah ada. Namun kepercayaan diri masih menyelimuti gadis kelahiran 2 November ini. Ikuti cerita penemuan katak yang akhirnya dikenal dengan nama ilmiah Leptobrachium hendricksoni.
alam sebuah kesempatan, bersama teman-teman satu jurusan, Aulia Fajria mengunjungi resor Sei Betung yang berada dalam kawasan TNGL. Layaknya pinggiran sebuah taman nasional, anak kuliahan kelahiran Padang Panjang ini menemukan banyak ragam amfibi ketika melakukan pengamatan amfibi dan reptil.
mencatat secara detail beberapa parameter ilmiah tentang kodok itu misalnya perilaku selama melakukan amfleksus. Lahir di Biak, 14 September 1973 lalu, beliau telah melakukan publikasi herpetofauna ke dalam beberapa media di antaranya Jurnal Biologi Papua, Warta Herpetofauna Indonesia, RAP Bulletin, Prosiding Seminar Nasional, SAINS dan sebagainya. Nah, mari kita simak buah pikiran dari peneliti yang masih bergelut menamatkan S3-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam Majalah Herpetologer di edisi ini.
Siska Handayani Banyak orang tak percaya bahwa Siska Handayani cenderung memiliki kesukaan memperhatikan amfibi & reptil. Hutan beserta isinya pada dasarnya adalah sebuah keindahan bagi mahasiswi Biologi USU yang akhir-akhir ini mulai berkutat dengan rancangan skripsi. Dalam hal kesamaan hobi, Siska kini banyak berhubungan dengan orang-orang yang tak kalah “gila”, seperti Bang Mistar, pengamat amfibi dan reptil yang berdomisili di Kota Medan. Sebuah kesempatan dimanfaatkan langsung oleh Siska ketika ada kerja sama penelitian amfibi di hutan Batang Toru. Seperti halnya pengamatan amfibi yang kerap dengan bonus-bonus, mahasiswi yang menjabat sebagai Badan Pengurus Harian Biologi Pecinta Alam & Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) ini menemukan banyak corak warna pada katak jenis Rhacophorus barisani. Nah, simak ceritanya di edisi ini.
3
Foto-Herpet
Fotografer Terkesima dengan Katak-katak di Bumper Ilmu fotografi belakangan ini yang mulai monoton dengan objek-objeknya kemudian mereka mencari tantangan-tantangan baru. Fotografer mulai bosan dengan modeling, wedding, lansekap, bahkan jurnalistik dalam pelatihan-pelatihan fotografi. Ketika mengetahui Komunitas Herpetologer Mania memiliki objek baru sebagai “model” foto, beberapa anggota Kelas Fotografi Andi Lubis (KFAL) lantas menyiapkan peralatan penuh untuk fotografi malam itu.
B
umi Perkemahan (Bumper) Sibolangit menjadi pilihan lokasi untuk hunting yang dilakukan Senin, 08 Oktober 2012. Di samping lokasinya tidak memakan waktu lebih dari 1,5 jam dari Kota Medan, daerah ini nyaman dijalani karena tidak banyak tumbuhan jelatang maupun pacet seperti di
4
Teks oleh Akhmad Junaedi Siregar Foto oleh Chairunas Adha Putra
model yang bagus dan memiliki tekstur warna yang khas,” komentar Andi Lubis, pengelola KFAL. Menurutnya tidak sulit memotret katak dan reptil lainnya karena objek hidup itu dapat didekati hingga setengah meter. Dengan peralatan seperlunya saja, amfibi dan reptil akan menjadi objek yang menarik.
daerah lain. Begitu juga dengan jumlah jenis amfibi dan reptil (herpetofauna) relatif menghibur sebagaimana data Biopalas, jumlah jenis amfibi dan reptil yang mereka data di lokasi ini hampir mendekati 40 jenis.
“Rasanya kami tidak perlu membawa tas dan peralatan maksimum. Cukup lensa dan baterai sesuai kebutuhan saja. Ini adalah pengalaman pertama yang mengasyikkan buat kami. Tentunya kami akan kembali dengan kegiatan serupa,” Andi Lubis menambahi.
“Pemotretan ini sangat mengasyikkan. Sepertinya katak-katak itu bisa menjadi
Jenis yang berhasil ditemukan antara lain Bufo juxtasper, Leptophryne borbonica,
2
3
(1) Fotografer dari KFAL sedang membidik Rana hosii, (2) Rana kampeni betina, (3) Huia sumatrana (4 & 5) Rana hosii, (6 & 7) aktifitas pemotretan.
4
1 Rana hosii, Rana debussyi, Rana kampeni, Huia sumatrana, Occidoziga lima, dan Cyrtodactylus lateralis. Pola warna kulit katak tersebut semakin indah dengan lighting yang pas oleh fotografer.
5
6
7 5
Observasi Rhacophorus barisani di Hutan Batang Toru
Beda-beda tapi Sama
Kawasan hutan Batang Toru Blok Barat memiliki stasiun pemantauan flora dan fauna yang dikenal dengan nama Camp Mayang seluas 12.000 ha. Kawasan ini termasuk kawasan hutan produksi yang dilaporkan memiliki keanekaragaman yang cukup menjanjikan. Tak jauh beda dengan hutan yang masih dalam kondisi baik di Sumatera, hutan ini masih memiliki harimau, orangutan, beruang madu, kucing batu dan tapir. Tak ketinggalan dengan Rafflesia gadutensis, Thismia sp. dan aneka macam anggrek menawan. Teks dan foto: Siska Handayani
Y
mulai dijadikan hutan lindung murni mengingat hutan tersebut berdasarkan SK Mentan nomor 847/1980 menunjukkan sebagian besar kawasan hutan Batangtoru masih tergolong hutan produksi dan area penggunaan lain.
Menilik pentingnya kawasan ini, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) telah mengkaji seharusnya kawasan Batang Toru sudah
Kenapa demikian penting? Saya mau melihatnya dari kacamata herpetofauna. Saya telah melakukan penelitian di kawasan ini selama tiga minggu lamanya. Catatan menunjukkan ada 15 jenis amfibi di dalam daftar. Salah satunya
ang lebih menantang lagi, di dalamnya ada beberapa gua dan air terjun. Namun itu tak bisa dikunjungi orang secara bebas. Lain halnya dengan fungsi ekologisnya, hutan ini menjadi penyangga 10 Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama DAS Sipansipahoras yang menjadi sumber PLTA Sipansipahoras.
6
Terlihat pola tubuh yang berbeda-beda pada Rhacophorus barisani awetan (foto-foto kiri). Ciri khas dari katak pohon ini adalah terlihat bintik-bintik putih pada anus. Rhacophorus barisani hidup (foto-foto kanan).
yang paling menarik adalah Rhacophorus barisani yang menurut beberapa catatan ahli merupakan amfibi endemik Bukit Barisan. Secara morfologis, Rhacoporus barisani mirip dengan Rhacoporus baluensis. Perbedaannya terletak pada pola warna, habitat, jari dan morfologi pelengkap dermal (Harvey, 2002). Rhacophorus barisani ini memiliki beragam warna dan pola yang membuat kita terkecoh. Beragam warna tersebut mungkin
dipengaruhi oleh cuaca dan suhu. Rhacophorus barisani ini sering ditemukan di pinggiran sungai, pinggiran rawa yang menempel di daun atau ranting pepohonan yang tingginya bisa mencapai lebih kurang 4 meter. Katak pohon ini juga memiliki lompatan yang cukup jauh dari ranting pohon satu ke ranting yang lain. Lompatannya seperti sedang melakukan terjun payung. Penelitian itu menyimpulkan, ada lima pola warna dan
motif yang berbeda-beda. Sempat kami merasa terkecoh untuk menyimpulkan kesamaan jenisnya. Tapi lambat laun, tim memahami katak itu masuk dalam jenis yang sama. Kami merasa lebih yakin ketika Mistar Kamsi ikut dalam penelitian di minggu terakhir. Saya yakin betul, masih banyak keanekaraman hayati yang belum dikenal di hutan Batang Toru, salah satunya dari kelompok amfibi. Keberadaan hutan ini semakin penting bagi flora dan fauna terutama untuk kesejahteraan manusia itu sendiri.
Close Up Psammodynastes pictus juvenil @ Suaq Belimbing Foto. Khairul Umri
7
Situs
“Fosil Hidup”
itu ada di Asam Kumbang! 2
1
S
aat ini, di dunia terdapat sekitar 25 jenis buaya dan di Indonesia hanya terdapat 7 jenis, yaitu buaya mindoro (Crocodylus mindorensis), buaya irian (Crocodylus novaeguineae), buaya air asin/muara (Crocodylus porosus), buaya kalimantan (Crocodylus raninus), buaya air tawar/siam (Crocodylus siamensis), buaya sahul (Crocodylus sp.) dan buaya senyulong (Tomistoma schlegelii). Dua jenis dari ketujuh jenis di atas terdapat di penangkaran buaya milik Lo Than Muk, Jalan Bunga Raya II No. 59, Desa Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang, Medan, Sumatera Utara. Penangkaran Asam Kumbang dibangun pada tahun 1959 yang dimulai dengan 12 ekor anak buaya yang berasal dari sungaisungai di Sumatera Utara. Penangkaran buaya yang disebut-sebut sebagai yang terbesar di Asia ini memiliki luas sekitar 2 hektar dan menampung buaya mencapai
4
8
2.800 ekor yang terdiri dari 2 jenis yaitu, buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii). Selain buaya di penangkaran ini juga terdapat 1 jenis ular yaitu, ular phyton (Phyton reticulatus) dan 2 jenis kura kura yaitu, b a n i n g coklat (Manouria emys) dan kuya batok (Cuora amboinensis). Buaya muara merupakan penghuni terbanyak di penangkaran Asam Kumbang, memiliki ciri tubuh yang besar, moncong lebar, sisik belakang kepala berukuran sangat kecil, gigi berjumlah sekitar 17-19 buah, sisik punggung berlunas pendek dan berjumlah 16-17 baris dari depan ke belakang. Habitat alaminya di daerah muara sungai dan
Buaya merupakan hewan purba yang hanya sedikit mengalami perubahan dari zaman Cretaceous (sekitar 145-65 juta tahun yang lalu). Buaya memiliki kekerabatan yang lebih erat dengan burung dan dinosaurus jika dibandingkan dengan kebanyakan reptil pada umumnya. Beberapa contoh buaya purba yang hidup pada zaman tersebut di antaranya, Kaprosuchus saharicus, Araripesuchus rattoides, Laganosuchus thaumastos, Anatosuchus minor, Araripesuchus wegeneri, Sarcosuchus imperator dan Deinosuchus rugosus. Oleh Chairunas Adha Putra Foto dari berbagai sumber
3 memiliki kebiasaan suka berjemur di pagi hari. Morfologi luarnya memperlihatkan dengan jelas cara hidup hewan pemangsa akuatik. Tubuhnya yang streamline memungkinkannya untuk berenang cepat. Buaya melipat kakinya ke belakang melekat pada tubuhnya, untuk mengurangi hambatan air dan memungkinkannya menambah kecepatan pada saat berenang. Jari-jari kaki belakangnya berselaput renang, yang meskipun tak digunakan sebagai
(1) Perbandingan ukuran rangka rahang buaya purba dengan buaya modern, (2) Prof. Paul Sereno (kiri) dan Prof Hans Larsson menggali tengkorak buaya purba berusia 100 juta tahun di Nigeria, (3)Kaprosuchus saharicus, (4) perbandingan ukuran tubuh buaya purba dengan manusia, (5) buaya sedang makan, (6) Lo Than Muk bersama istri, (7) Crocodyllus porosus, (8) penghargaan dari walikota Medan.
5 pendorong ketika berenang cepat, selaput ini amat berguna tatkala ia harus mendadak berbalik atau melakukan gerakan tiba-tiba di air, atau untuk memulai berenang. Kaki berselaput juga merupakan keuntungan manakala buaya perlu bergerak atau berjalan di air dangkal. Hewan ini memiliki rahang yang sangat kuat, yang dapat menggigit dengan kekuatan luar biasa, menjadikannya sebagai hewan dengan kekuatan gigitan yang paling besar. Tekanan gigitan buaya ini tak kurang dari 5.000 psi (setara
dengan 315 kg/cm²) dibandingkan dengan kekuatan hiu putih raksasa sebesar 400 psi, atau dubuk (hyena) sekitar 800– 1.000 psi. Gigi-gigi buaya runcing dan tajam, amat berguna untuk memegangi mangsanya. Buaya menyerang mangsanya dengan cara menerkam sekaligus menggigit mangsanya, kemudian menariknya dengan kuat secara tiba-tiba ke air. Oleh sebab itu otot-otot di sekitar rahangnya berkembang sedemikian baik sehingga dapat mengatup dengan amat kuat. Mulut yang telah mengatup demikian juga amat sukar dibuka. Akan tetapi sebaliknya, otot-otot yang
6 8
7
9
Situs berfungsi untuk membuka mulut buaya amat lemah. Biasanya para peneliti buaya cukup melilitkan perekat besar (lakban) beberapa kali atau mengikatkan tali karet ban dalam di ujung moncong yang menutup, untuk menjaganya agar mulut itu tetap mengatup sementara dilakukan pengamatan dan pengukuran, atau manakala ingin mengangkut binatang itu dengan aman. Cakar dan kuku buaya pun kuat dan tajam, akan tetapi lehernya amat kaku sehingga buaya tidak begitu mudah menyerang ke samping atau ke belakang. Pada musim kawin buaya dapat menjadi sangat agresif dan mudah menyerang manusia atau hewan lain yang mendekat. Di musim bertelur buaya amat buas menjaga sarang dan telur-telurnya. Induk buaya betina umumnya menyimpan telurtelurnya dengan dibenamkan di bawah gundukan tanah atau pasir bercampur dengan serasah dedaunan. Embrio buaya tak memiliki kromosom seksual, yakni kromosom yang menentukan jenis kelamin anak yang akan ditetaskan. Jadi tak sebagaimana manusia, jenis kelamin buaya tak ditentukan secara genetik. Alih-alih, jenis kelamin ini ditentukan oleh suhu pengeraman atau suhu sarang tempat telur ditetaskan. Pada buaya muara, suhu sekitar 31,6°C akan menghasilkan hewan jantan, sedikit lebih rendah atau lebih tinggi dari angka itu akan menghasilkan buaya betina. Masa pengeraman telur adalah sekitar 80 hari, tergantung pada suhu rata-rata sarang. Berbagai atraksi dan pertunjukan dapat dilihat di penangkaran buaya milik Lo Than Muk ini, dari atraksi buaya, ular phyton, memberi makan buaya dengan melemparkan bebek yang dijual dengan harga Rp30.000 dan sekedar berfoto bersama satwa liar tersebut. Dari tahun 1959 sampai dengan sekarang penangkaran ini tidak pernah sepi dari pengunjung dan menjadi salah satu tujuan wisata favorit di pusat Kota Medan. Tahun 2012 yang lalu, keluarga Lo Than Muk mendapat penghargaan dari Walikota Medan, Drs. H. Rahudman Harahap, MM sebagai “Tourism Personality Of The Year”. Dan saat ini penangkaran ini sudah diresmikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Medan. Jadi jika Anda ingin melihat “fosil hidup” di zaman modern saat ini, Anda dapat mengunjungi penangkaran buaya milik keluarga Lo Than Muk sebelum semuanya benar-benar punah.
10
(Atas kiri) Anakanak sedang bermain dengan ular phyton, (atas kanan) baning coklat, (bawah) buaya-buaya koleksi penangkaran Asam Kumbang.
11
Jalan-jalan
Kejutan Si Mata Si Mata Merah, itulah panggilan yang tepat yang sering kami lontarkan ketika bertemu dengan salah satu jenis amfibi yang tidak kami tahu nama sebenarnya. Jenis itu merupakan amfibi yang belum pernah kami lihat selama masuk dalam ranah amfibi. Teks & foto oleh Aulia Fajria
P
Mungkin saja amfibi tidak menyukai tempat ini karena miskin aliran air. Di sini kering dan hanya ada dedaunan mati bertumpuk-tumpuk namun ada onggokan air di dalam parit yang jika tak hujan akan kering juga.
Cukup lama herping, seolah tak ada kehidupan amfibi di sini. Kami dihibur nyanyian jangkrik selama perjalanan.
Ketika kami ingin menyudahi kegiatan dan berbalik arah, si mata merah menghadang kami tepat pada jam 22.00 WIB hari Jumat, 8 Februari 2013 lalu. Dia seperti katak dari planet lain, soalnya matanya “bersinar merah” di kegelapan. Kelesuan kami berubah menjadi kegirangan. Semangat menyala tibatiba. Ketika kami ingin menangkapnya, sebelumnya kami terpesona dengan memperhatikan sekujur cirri-ciri
ertemuan pertama ini lumayan mengesankan karena sebelumnya kami sedang berputus asa ketika belum menemukan apa-apa sejauh berjalan. Malam hari itu, tanpa ditemani staf berwenang, kami berenam (Inggin, Tari, Siti, Karina, Bang Khomar dan saya sendiri) menelusuri daerah sekitar pondok di daerah Resort Sei Betung yang berada dalam kawasan TNGL. Kami berniat mendata amfibi di daerah ini tanpa peralatan maksimal– hanya dengan cahaya senter yang paspasan.
12
tubuhnya–yang tidak kami kenali sedikit pun. “Jenis baru!”, sorak salah seorang teman sambil mencoba untuk menggenggamnya. Kami yang juga polos untuk pengenalan jenis mengakui kebenaran itu. Misteri jenis ini menaikkan rasa antusias kami. Tak jadi pulang, kami kemudian melanjutkan kegiatan herping. Si mata merah seolah-olah membuka rekening list herpetofauna malam ini. Jenis demi jenis pun lalu kami dapatkan. Biar tak larut di kegelapan hutan lebih lama, kami melanjutkan herping di sekitaran pondok saja. Di sana si mata merah kembali menyapa kami. Perlu kami jelaskan bahwa keseluruhan tubuh si mata merah, matanyalah yang paling mencolok dengan mata besar berwarna merah keorenan menyala dan pinggiran berwarna biru. Katak ini memiliki kulit yang agak keras, tubuhnya berwarna coklat terlihat seperti mengilap. Garisgaris menghiasi ekstremitas depan dan
Merah belakangnya dan berukuran sekitar 8 cm dengan pergerakan sedikit lambat. Lebih lanjut kami mencoba mencari jenisnya di buku identifikasi panduan lapangan, kami belum menemukannya. Si mata merah masih “mengolok-olok” rasa keinginantahuan kami. Rasa penasaran memicu kami untuk melakukan herping di tempat lain, tepatnya di perbatasan antara daerah TNGL dengan perkebunan sawit yang sangat banyak terdapat kubangan. Ternyata rasa penasaran kami disambut meriah oleh pasukan si mata merah. Banyak sekali kami menemukan kelompok itu di sini, yang disusul oleh jenis-jenis lainnya dari amfibi yang mendiami daerah tersebut. Suara riuh sahut menyahut seakan menyambut kedatangan kami, termasuk ular air pemangsa mereka. Melangkah lebih jauh, kami bersua lagi dengannya. Sepertinya mereka adalah penghuni terbanyak kawasan ini, sekitar 15 ekor pada jarak 500 m.
Esoknya penasaran itu kami tanyakan kepada staf kehutanan di sini maupun kakak senior yang mungkin lebih mengenal. Jawaban mereka belum memuaskan. Sampai akhirnya kami bertanya kepada yang lebih tahu pada grup Herpetologer Mania di Facebook. Ternyata yang selama ini kami panggil si mata merah adalah Leptobrachium hendricksoni.
(Kiri) Si mata merah. (Atas kanan) Tim herping.
13
Observasi
Lihat Bufo melanostictus di Yogyakarta, Tidak di Papua! Oleh Aditya Krishar Karim (Laboratorium Zoologi, Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, email :
[email protected])
Gambar 1. Jenis Kodok Bufo melanostictus. a,b). Di sekitar kos-kosan mahasiswa di Jalan Kaliurang KM 5.0 Yogyakarta (Foto: Ervina Indrayani).
Kodok jenis Bufo melanostictus Schneider, 1799 atau sekarang dikenal Duttaphrynus melanostictus Schneider, 1799, dimasukkan ke dalam famili Bufonidae. Kodok ini memiliki penyebaran yang cukup luas di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi sampai di Papua dan Papua Nugini. Kodok ini cukup menarik dan memiliki nama yang banyak seperti bangkong kolong, kodok puru, kodok buduk (Jakarta), kodok berut (Jawa), kodok brama (Jawa untuk yang berwarna kemerahan), dan Asian black-spined toad, Common Indian Toad, Common Asian Toad (Inggris) (Iskandar, 1998; Menzies, 2006 ).
K
odok ini memiliki panjang antara 55-80 mm SVL untuk jantan dan 65-85 mm SVL untuk betina, berpenampilan gendut dan kulit yang kasar berbintilbintil. Pada bagian kepala terdapat gigir keras (biasanya berwarna kehitaman) menonjol yang bersambungan mulai dari atas moncong; melewati atas, depan dan belakang mata hingga di atas timpanum (gendang telinga). Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) yang besar panjang terdapat di atas tengkuk (Iskandar, 1998). Sekresi kulit dan kelenjar granular dari katak ini menghasilkan beberapa senyawa bufadienolida, alkaloid, steroid, peptida dan protein, yang memiliki aktivitas biologi yang penting seperti antimikroba, anti kanker dan lain-lain (Bhattacharjee et al., 2011, Gomes et al., 2011). Bagian punggung bervariasi warnanya
14
antara coklat abu-abu gelap, kekuningan, kemerahan, sampai kehitaman. Terdapat bintil-bintil kasar di punggung dengan ujung kehitaman. Sisi bawah tubuh putih keabu-abuan, berbintil-bintil agak kasar. Telapak tangan dan kaki dengan warna hitam atau kehitaman, tanpa selaput renang, atau kaki dengan selaput renang yang sangat pendek (Iskandar, 1998). Jenis ini terlihat sangat akrab dengan lingkungan tempat tinggal manusia. Makhluk ini sering terlihat di sekitar kos-kosan misalnya di dalam kamar mandi, teras rumah, bahkan masuk ke dalam rumah, di halaman, selokan dekat perumahan di sekitar perkampungan atau di kota-kota yang ada di Yogyakarta (Gambar 1). Juga teramati di tempattempat keramaian seperti di sekitar mallmall Malioboro. Dalam pengamatan sekitar wilayah kampus UGM, kodok puru ini sering terlihat melompat atau
duduk termenung melihat aktivitas mahasiswa UGM yang begitu ramai baik pada siang hari atau malam hari (Gambar 2). Keramaian kota Yogyakarta yang begitu padat tidak menjadi suatu masalah. Seolah-olah mereka berbaur dengan segala aktivitas manusia dan keramaian, walaupun beberapa ekor dijumpai mati tertabrak motor atau mobil di tengah jalan. Bahkan suatu ketika penulis sedang bersantap di rumah makan lesehan pinggir jalan, kodok tersebut juga teramati tanpa rasa takut. Mereka melompot-lompat dan berhenti sejenak menatapi kami dan melanjutkan perjalanannya entah ke mana. Selain itu, aktivitas ampleksus dari kodok ini dapat teramati pada saat hujan rintik, menjelang malam dekat rumah kontrakan kami di Yogyakarta, foto ini saya abadikan bersama anak saya Adiantha Putratama yang kala itu masih menjadi siswa di salah satu SD Negeri di Yogyakarta, sambil mengenalkan dan mengajarkannya tentang kodok ini (Gambar 3). Dilaporkan bahwa jenis ini merupakan kodok introduksi di Papua dan Papua Nugini (Menzies, 1976, 2006). Oleh karena itu, untuk menemukannya sangat sulit sekali dan sekarang memiliki penyebaran yang terbatas di wilayah Papua yaitu di daerah pesisir sekitar Manokwari (Kartikasari, dkk. 2012). Bahkan untuk wilayah Jayapura dan sekitarnya dari beberapa penelitian yang dilakukan mahasiswa kelompok Herpetologi Jurusan Biologi, FMIPA UNCEN tidak pernah masuk daftar sama sekali. Hal ini nampak berbeda di Yogyakarta, kodok ini mudah sekali dijumpai pada saat menjelang malam apalagi pada saat hujan rintik-rintik. Pertanyaannya, apakah para kodok jenis ini lebih senang tinggal di kota-kota yang ramai mengikuti pola hidup manusia yang suka mencari pekerjaan dan nafkah di kota-kota besar, dibandingkan tinggal di hutan-hutan tropis Papua yang tenang, aman dan damai? Untuk itu, bagi para herpetologis atau peminat hewan-hewan herpetofauna
yang belum pernah melihat jenis kodok ini, Kota Yogyakarta merupakan salah kota alternatif yang dapat dikunjungi selain melihat keindahan candi-candinya, tempat wisata dan keramaian kota ini juga dapat melihat jenis kodok yang memiliki persebaran yang unik tersebut. Gambar 2. Jenis kodok Bufo melanostictus. a,b). Di sekitar lingkungan Kampus UGM, c,d). Di sekitar lokasi Kaliurang Atas (Foto: Aditya Krishar Karim)
Gambar 3. Proses ampleksus kodok Bufo melanostictus pada malam hari di depan rumah kontrakan penulis di Yogyakarta (Foto: Aditya Krishar Karim).
Pustaka Bhattacharjee, P, Giri, B, and Gomes, A. 2011. Apoptogenic Activity and Toxicity Studies of A Cytotoxic Protein (BMP1) from The Aqueous Extract of Common Indian toad (Bufo melanostictus Schneider) Skin. Toxicon. 57(2): 225-236. Gomes, A., Giri, B., Alam, A., Mukherjee, S., Bhattacharjee, P and Gomes, A. 2011. Anticancer Activity of A Low Immunogenic Protein Toxin (BMP1) from Indian Toad (Bufo melanostictus, Schneider) Skin Extract. Toxicon. 58(1): 85-92. Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Pustlitbang Biologi-LIPI. Bogor. Menzies, J. 1976. Handbook of Common New Guinea Frogs. Wau Ecology Institute. PNG. Menzies, J. 2006. The Frog of New Guinea and The Solomond Islands. Pensoft Publisher. Bulgaria. Kartikasari, S.N., Marshall, A.J., and Beehler, B.M. (Eds). 2012. Ekologi Papua. Seri Ekologi Indonesia Jilid VI. Yayasan Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.
15
Event
Biopalas dan Herpetologer Mania Herping Bersama DAAI TV
Dunia amfibi dan reptil semakin hari semakin menarik. Di Sumatera Utara kegiatan herping (pengamatan amfibi dan reptil) dinilai semakin berkembang. Pesertanya tidak lagi peneliti di kalangan biologi – khususnya Biologi USU, namun sudah merambah ke kalangan fotografi dan siswa.
U
ntuk menjangkau kalangan yang lebih luas, Biopalas (Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup) Dept Biologi FMIPA USU, Herpetologer Mania dan Kelas Fotografi Andi Lubis (KFAL) melakukan herping bersama salah satu stasiun ternama, DAAI TV di Bumi Perkemahan Sibolangit, Kamis 1 Nopember 2012. Kegiatan tersebut merupakan salah satu program Biopalas dan Herpetologer Mania untuk kampanye pengenalan herpetofauna ke
16
kalangan umum. “Biopalas berdiri atas prakarsa mahasiswa Biologi yang memiliki minat khusus dalam penelitian sebagai aksi mencintai alam. Berdiri pada tahun 1998, Biopalas telah banyak melakukan penelitian di antaranya survei mentok rimba di Dairi, pengamatan burung air di Deli Serdang, penanaman bakau dan eksplorasi herpetofauna di banyak lokasi,” jelas Nursahara Pasaribu, Ketua Dept Biologi FMIPA USU saat diwawancarai reporter
DAAI TV. Ketertarikan terhadap amfibi dan reptil terlihat semakin nyata. Kelas Fotografi Andi Lubis sendiri telah mengikuti kegiatan edukatif tersebut selama tiga kali. “Kami sebagai fotografer yang biasanya mencari objek foto yang menarik telah menemukan tantangan baru. Foto model hampir terasa hambar karena kami telah menggelutinya beberapa tahun. Amfibi dan reptil memberikan kami model baru yang kami sukai. Bagi kami, herping photography tidak hanya amfibi dan reptil, kami juga sedang melakukan hiking yang menyehatkan,” kata Faisal Reza, salah satu anggota KFAL kepada DAAI TV usai herping. Biopalas dan Herpetologer Mania dinilai telah membuat amfibi dan reptil menjadi menarik. Kedua organisasi tersebut dapat memberikan informasi bagi kalangan yang membutuhkan. Ternyata mereka yang mulai mengenali herpetofauna cenderung akan semakin tertarik lagi seiring peningkatan pengetahuannya
tentang kedua kelas hewan melata itu. Bak kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Di samping itu, alumni Biopalas yang tidak aktif lagi di organisasi telah banyak bekerja di bagian lingkungan. Sebagian dari mereka juga membentuk komunitas baru seperti Herpetologer Mania, yakni komunitas yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi, tukar pikiran, kampanye, penelitian dan konservasi seputar amfibi dan reptil. Pengambilan gambar oleh DAAI TV memiliki latar belakang Universitas Sumatera Utara dan Bumi Perkemahan Sibolangit. Liputan tersebut masuk dalam rubrik Bingkai Sumatera DAAI TV. Jenis herpetofauna yang didata pada pengamatan bersama tersebut antara lain Rana kampeni, Rana debussyi, Rana chalconota, Rana hosii, Bufo melanostictus dan Fejervarya cancrivora. (AJS – Herpetologer Mania)
17
Event
Majalah Herpetologer Mania Akhirnya Di-launching
Setelah hampir sebulan proses pematangan, Majalah Herpetolonger Mania (MHM) akhirnya di-launching di Sekretariat Bersama Himpunan Mahasiswa Biologi (Himabio) USU dan Biologi Pecinta Alam dan Studi Lingkungan Hidup (Biopalas) Dept. Biologi di Gedung Unit VII Lt. 2 FMIPA USU, Senin, 05 Nopember 2012 lalu.
L
aunching dengan pemotongan kue bergambar katak tersebut diresmikan oleh Ketua Departemen Biologi FMIPA USU sekaligus pembimbing Majalah Herpetologer Mania, Ibu Nursahara Pasaribu. “Masyarakat biologi memiliki bidang kajian masing-masing yang disukainya. Di antaranya yang cukup ramai terlihat adalah pecinta amfibi dan reptil sehingga kita bisa berkumpul di ruangan ini. Apapun bidang di sini, pastilah departemen mendukung semampunya,” kata Ibu Nur, nama akrab panggilan mahasiswanya. Majalah Herpetologer Mania adalah majalah kecil yang terbit pertama kali di Sumatera yang mengkhususkan bidang liputannya pada seputar herpetofauna. Majalah digital tersebut terbit sebanyak 20 halaman dan diterbitkan secara reguler setiap tiga bulan sekali. “Setahu saya, produk ini bermula dari grup kecil di facebook bernama Herpetologer Mania. Karena peminatnya banyak, sekelompok yang tertarik – kesemuanya anak
18
Biopalas – menginginkan komunitas yang lebih nyata. Oleh karena itu, Herpetologer Mania boleh dikatakan adalah produk murni anak-anak biologi USU,” terang Giyanto, pendiri Biopalas. Lebih lanjut Giyanto mengharapkan agar Majalah Herpetologer Mania akan eksis ke depan. Majalah Herpetologer Mania memiliki tantangan yang cukup berat karena terkadang majalah seperti ini sering terjebak dengan liputan atau tulisan-tulisan monoton. Untuk itu, beliau mengharapkan keterlibatan dari semua tim redaksi dan Sahabat Herpetologer untuk mencurahkan segala kemampuan agar apa yang ditampilkan tidak terkesan membosankan dengan mengangkat isu-isu yang terbaru di bidang amfibi dan reptil. Bila perlu, meminta para ahli untuk ikut menyumbangkan tulisan di setiap edisi. Perlu diperbanyak cara pandang dalam melihat amfibi dan reptil agar menjadi isu menarik di mata pembaca. “Banyak yang belum kita ketahui tentang amfibi dan reptil. Limnonectes blythii adalah makanan
orang Karo. Juga bagaimana patung katak bertanduk bisa ada di Simpang Sembahe padahal penduduk yang ditanya mengaku tidak mengenal katak tanduk,” terang Akhmad Junaedi Siregar, pemimpin redaksi Majalah Herpetologer Mania tentang bahasan liputan potensial berikutnya. Boy Sandi, Ketua Umum Biopalas mengatakan dukungannya terhadap kegiatan-kegiatan Herpetologer Mania yang selaras dengan kegiatan Biopalas. “Kami akan siap membantu pada beberapa kesempatan dan tentunya kami akan senang jika ambil bagian dalam mengisi rubrik di majalah tersebut,” sambut Boy Sandi. Hadir dalam acara Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, Dewan Pendiri Biopalas, Anggota Luar Biasa Biopalas, Badan Pengurus Harian (BPH) Biopalas, relawan Biopalas dan segenap redaksi Majalah Herpetologer Mania. Pada kesempatan itu, peserta juga memakai jersey Herpetologer Mania sebagai media keakraban sesama pecinta amfibi dan reptil sekaligus peran dalam penggalangan dana kegiatan herping selanjutnya. Untuk mendapatkan majalah digital tersebut, Anda dapat mengunjungi blog herpetologermania.blogspot.com atau meminta langsung ke redaksi ke imel
[email protected]. (AJS – Herpetologer Mania)
Event
Songsong Tahun Ular 2564, Rahmat Gallery Datangkan berbagai Jenis Ular Mancanegara
M
enyambut Tahun Baru Imlek 2564 yang jatuh pada 10 Februari 2013, “Rahmat” International Wildlife Museum and Gallery melaksanakan pameran ular yang didatangkan dari berbagai daerah di Indonesia dan negara-negara lain selama 10-17 Februari 2013.
bisa yang mematikan. “Memang tidak semua ular yang ada di dunia memiliki bisa yang mematikan. Ada juga spesies ular yang dapat dipelihara oleh masyarakat. Jadi, melalui pameran seperti ini masyarakat tentunya dapat mengerti mana ular yang berbisa atau tidak,” sebut Nelly.
Manajer dan Koordinator “Rahmat” International Wildlife Museum and Gallery, Nelly R, menyebutkan, pameran ini merupakan partisipasi yang tematik dari museum hewan satusatunya di Indonesia ini untuk memeriahkan tahun baru Imlek 2564. “Tema pameran ini kita sesuaikan dengan kalender Tionghoa yang tahun ini jatuh pada Shio Ular,” ungkapnya.
Nelly menambahkan, pameran ini mendatangkan ularular dari negara Brazil, Australia dan Afrika, di samping berbagai koleksi dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Dalam rangkaian pameran tersebut, para pengunjung yang ingin datang ke museum Rahmat Gallery mendapatkan diskon masuk sebesar 20 persen dari harga biasanya, dan bisa langsung manyaksikan ular-ular unik yang ada di pameran.
Dari perspektif konservasi sendiri, dipilihnya pameran ular tersebut sekaligus untuk memperkenalkan kepada masyarakat bahwa tidak semua ular yang terkenal sebagai binatang mengerikan tersebut berbahaya atau memiliki
“Ini merupakan momen yang paling baik bagi masyarakat yang ingin manyaksikan berbagai macam ular, yang nantinya dapat menjadi sarana peningkatan pengetahuan mengenai jenis ular yang bisa dipelihara ataupun tidak,” ungkap Nelly. (AJ Siregar)
19
Penelitian merupakan salah
satu cara menunjukkan kecintaan terhadap amfibi & reptil. Didukung oleh 20