Turning Point
‚Pelajaran apa yang paling bikin gue bete?‛ adalah sebuah pertanyaan yang terdengar di tengah pembicaraan antara Shika dan beberapa orang teman sekolahnya saat istirahat makan siang. ‚Yup. Pelajaran apa yang paling bikin lu bete?‛ ulang si penanya yang tak lain adalah Aeldo, teman sekelasnya. ‚Wah, banyaklah kalo itu mah. Gue nggak tau mana yang paling bikin bete.‛ Jawab Shika seadanya. ‚Pilih satu aja bro. Misalnya yang paling susah buat lu, atau yang gurunya paling nyebelin deh.‛ ‚Apa ya?‛ Shika termenung sejenak sambil terus memainkan gelas kopinya. ‚Kimia bikin pusing sih, tapi lu tau kan kalo gurunya cukup lucu sebagai seorang bujangan terakhir di kalangan guru. Fisika gurunya galak, tapi overall gue ngerti sih. Kalo bahasa, gurunya gabut, malah seneng gue...‛ Aeldo yang tak sabaran makin mendesak, ‚Ayolah, pilih satu aja masa nggak bisa? Kan gue mau nyari pelajaran yang lu nggak suka. Lumayanlah buat jadi ladang basah biar gue bisa jadi saingan yang baik buat lu.‛
1
Shika hanya tertawa kecil saja mendengar alasannya. Ia kemudian menggaruk-garuk kepalanya, berusaha mengingat mapel apalagi yang masih ada. Lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu, ‚AH! Biologi! Iya iya biologi yang paling bikin bete. Pelajaran dimana guru baper dan segudang hafalan bertemu!‛ ‚Oh.. jadi biologi nih? He he he sip deh kalo gitu. Ngepas banget sama gue yang pengen jadi dokter. Nah kan kalo gini rivalitas kita bisa berlanjut tanpa didominasi salah satu pihak. Okelah gue cabut dulu ke atas.‛ Bersamaan dengan itu, Aeldo sudah bangkit dan bersiap untuk pergi dengan wajah sumringah penuh kemenangan. ‚Eh tunggu dulu bro. Belum bayar lu.‛ Shika mencegat, yang hanya dibalas lawan bicaranya dengan melambaikan tangan dan segera berlari. Huh, untung cuma kopi. ‚Tuh orang kenapa dah?‛ tanya Affan yang juga ikutan heran melihat reaksi Aeldo barusan. ‚Kayak anak baru aja sih lu.. Kan dari dulu nih orang udah hobi main rival-rivalan. Sama Feno kek, Izzu, sampe Rizki juga dilawan. Maklumlah, sebagai calon dokter yang hobi maen mulu selama 2 tahun SMA, wajar kalo sekarang dia semangat belajar.‛ Jawab Luthfi sambil diam-diam mencomot sepotong otak-otak terakhir di meja. ‚Yee maling. Pinter juga lu ya. Sambil ngalihin perhatian orang, diem-diem ngembat makanan gue.‛ Celetuk Shika melirik ke arah Luthfi yang cekikikan karena ketahuan.
‚Tapi lu beneran nggak doyan biologi?‛ Tanya Affan kepada Shika. ‚Kagak. Paling gue hindarin tuh pelajaran.‛ Jawab Shika. ‚Bukannya dulu lu anak olim biologi ya? Kok malah nggak doyan?‛ tanya Luthfi heran. ‚He he he habisnya gue ngerasa paling tolol sih kalo udah masuk materi yang harus dihafal. Dulu aja pas pelatihan di Tangerang, nilai gue satu digit sendiri pas tes.‛ ‚Alah tetep aja nilai lu di rapot bagus mulu. Kampret banget kan..‛ potong Affan dengan nada dongkol. Ketiganya serentak tertawa dan bergegas pergi bersamaan dengan terdengarnya bunyi bel masuk. Meninggalkan meja mereka, piring kosong, dan penjaga kantin yang masih kewalahan melayani pesanan tanpa menyadari kalau mereka belum bayar. Dasar generasi korup! ***** Menjadi anak kelas 3 memang selalu melelahkan. Tak peduli generasi mana yang menjalaninya, akan selalu terdengar keluh kesah berkepanjangan di dalam kelas tiap saat. Di samping harus mengejar materi tahun terakhir, mereka juga masih harus dipusingkan dengan ujian praktek, ujian nasional, ujian masuk kuliah, dan tentunya materimateri yang sudah terlupakan di kelas 1 dan 2. Terasa kurang manusiawi memang kebijakan pemerintah tentang materi pelajaran di SMA. Terlalu banyak tuntutan yang mengatasnamakan kemajuan demi
menjaga daya saing lulusannya. Padahal di negara yang pendidikannya maju seperti Finlandia, justru mencoba untuk mengurangi jam sekolah dan konsentrasi materi, dengan harapan anak didiknya mempunyai lebih banyak waktu untuk terjun di lapangan langsung. Tapi sesial-sialnya generasi pendahulunya, belum pernah mereka merasakan kesialan yang dialami angkatan Shika sekarang ini. Angkatan ini mengalami 3 tahun terburuk yang dapat dibayangkan generasi sebelumnya. Menjalani tiap tahun ajaran baru dengan kurikulum baru. Dulu ketika kelas 1 misalnya, mereka mengikuti KTSP 2006. Tapi tahun berikutnya langsung diganti dengan K13. Merasa belum cukup, kurikulum kembali dikembalikan ke KTSP 2006 di tahun terakhir. Hasilnya? Banyak materi yang belum mereka pelajari, berada di kisi-kisi ujian nasional tahun ini. Tak heran, sampai sekarang pun hasil tryout mereka kebanyakan masih berkutat di angka 30-50. Shika, pada satu sisi sebenarnya kurang begitu peduli dengan apapun kebijakan yang akan diambil pemerintah. Toh kata mereka nilai ujian nasional sudah tidak berpengaruh. Tapi di sisi yang lain, dia belum bisa menerima juga kalau ijazahnya harus diisi berbagai macam angka selain 80 dan 90. Belum lagi untuk mendapat undangan universitas, nilai ujian nasional pun ikut berpengaruh. Ya walaupun jurusan pilihannya, Ilmu Filsafat, tak memiliki persaingan yang terlalu berat karena kurang populer, tetap saja tak ada jaminan baginya untuk dapat diterima. Makanya belakangan ini Shika agak khawatir juga, terutama dengan mapel-mapel yang masih belum bisa membuatnya bersemangat dalam mempelajarinya.
Di kelas biologi siang ini misalnya, Shika masih sangat kesulitan untuk melawan godaan angin AC yang berhembus kencang, membujuknya untuk terlelap dan melupakan pelajaran hari ini. Harus diakui, ini adalah cobaan yang berat baginya setiap kali berada dalam situasi serupa. Di depannya, buku yang terbuka menunjukkan sederet penuh nama-nama latin dari berbagai jenis bakteri, virus, dan jamur beserta fungsinya yang harus dihafalnya sampai tuntas sebelum hari ujian. Di papan tulis pun sudah terpampang berbagai jenis uraian berisikan karakteristik masing-masing kelompok makhluk hidup sampai sedetil-detilnya. Jumlah anggota, struktur selnya, ukurannya, hubungan kekerabatannya, dan masih banyak lagi. Shika masih berusaha matimatian melawan. Kedua tangannya tertumpu di atas meja agar dapat terus menopang dagunya dan membuatnya terjaga sepanjang pelajaran. Sesekali di tengah pelajaran ia mencoba mengalihkan perhatian dengan melirik keluar jendela dan memperhatikan apa saja yang mampu menarik perhatiannya. Entah itu sepasang burung yang berteduh di balkon, penjual makanan gerobakan yang kebetulan melintas di depan sekolah, atau bisa juga sekumpulan siswi SMA yang sedang menunggu angkot di tengah guyuran hujan. Apapun itu untuk membunuh kejenuhan sejenak, pikirnya. Suatu ketika saat dirinya masih terlalu sibuk menikmati pemandangan di luar, gurunya mendadak mengumumkan sesuatu, ‚Baik, sekarang saya ingin mengumumkan tugas akhir untuk ujian praktek kalian yang akan dilaksanakan dua bulan lagi..‛ ujar beliau memulai topik sambil tangannya sibuk merapikan bahan
pengajaran. Kebetulan jam juga sudah menunjukkan pukul 14.52, 3 menit sebelum bel pulang berbunyi. Semua anak memperhatikan dengan seksama. Yang sedang enak-enaknya tertidur, macam Firman dan Riyadh, bangun seketika. Pun dengan yang tengah asyik bercanda, macam Faiz, Praba, dan Kahfi. Tak ketinggalan pula Shika yang kini sudah mengalihkan pandangannya ke depan. ‚Untuk ujian praktek tahun ini...‛ lanjut beliau, ‚Saya ingin masing-masing dari kalian membuat semacam lab tumbuhan di rumah masing-masing yang nantinya akan kalian dokumentasikan dalam bentuk video sebagai bukti pengerjaan, makalah ilmiah, dan tidak ketinggalan juga power point yang akan kalian presentasikan di hari ujian.‛ Sontak saja sekelas menjadi heboh. Bagaimana tidak? Baru saja sebelum makan siang tadi guru fisika memberikan tugas untuk membuat proyek ilmiah dengan format serupa dan dengan tenggat waktu yang sama. Dua bulan tentu bukanlah waktu yang cukup untuk membuat sebuah tugas praktek dengan format serumit itu. Apalagi kalau sekarang ditambahkan satu lagi tugas serupa. Entah kapan selesainya. ‚Nah untuk tumbuhannya...‛ tambah beliau tanpa memberi jeda, ‚Silahkan pilih apapun jenisnya. Tapi tumbuhan yang kalian pilih ini tidak boleh tumbuhan lokal yang bisa kalian temukan di sekitar kota ini. Saya sudah punya list tanaman yang terlarangnya dan nanti akan saya pajang di mading sekolah. Dalam video kalian, saya mengharapkan minimal kalian menampilkan metode perawatan,
progress pertumbuhan, dan hasil akhir. Poin-poin penilaian akan saya sampaikan bersamaan dengan list tanamannya. Apa cukup jelas?‛ ‚Jelas, Paakkkkk...‛ jawab anak-anak dengan nada bicara yang kurang bersemangat. Shika hanya bisa menatap kosong ke depan sambil membuka lebar-lebar mulutnya, membayangkan bakal sesibuk apa hari-harinya selama dua bulan ke depan. Entah kebetulan atau tidak, di luar suara hujan dan gemuruh mulai terdengar jelas membahana. Dunia pun seakan sedang kompak-kompaknya dengan suara hati kecil milik Shika saat itu. Segera setelah bel pulang terdengar, anak-anak langsung berbondong-bondong keluar kelas dengan ekspresi lesu yang tak bisa mereka sembunyikan. Langkah mereka menjadi gontai, seolah-olah baru saja mendapat beban tambahan di punggung masing-masing. Beberapa anak bahkan sampai mengurungkan niat mereka untuk jalan-jalan sepulang dari sekolah dan lebih memilih untuk segera pulang demi menyegarkan badan dan pikiran. Harapannya bisa segera mendapat wangsit ketika sudah selesai istirahat nanti. Beberapa lagi yang tergolong agak rajin sudah mulai sibuk merencanakan tugas mereka dari sekarang. Mereka bahkan sudah terlihat berada di Sevel seberang sekolah untuk menumpang wi-fi dan mulai mencari tema masingmasing. Sementara Shika di sisi yang berbeda dari mereka, masih juga belum tahu hendak memulai dari mana. Pikirannya benar-benar kacau saat itu. Untuk mendapat tugas praktikum sebagai bahan ujian akhir,
mungkin berat tapi masih sanggup ia jalani. Tapi untuk mendapat tugas praktikum di pelajaran yang paling ingin dia hindari? Ini baru sulit. ‚Oh great!‛ makinya, ‚Apa hari gue bisa lebih buruk lagi?‛ matanya memandang dengan sebal kondisi cuaca saat ia hendak pulang, tepat di depan pintu lobby. Dengusan dan helaan nafas berkali-kali ia keluarkan. Kenapa cuaca buruk selalu datang di saat yang tidak tepat sih? Pikirannya bimbang. Antara harus berjalan kaki pulang, atau sabar menunggu hujan reda supaya bisa memesan ojek. Maklum, ojek sekarang beberapa agak ogah untuk menarik penumpang ketika sedang hujan begini. Pikir mereka, lebih baik kehilangan seorang atau dua orang pelanggan daripada harus meninggalkan kenyamanan pangkalan dan permainan catur mereka. Ia pun memilih berjalan kaki sore ini demi bisa mencari suasana baru sekaligus ide untuk kedua tugas akhirnya. Lagipula setelah dipikir-pikir, rasanya akan lama sebelum hujan benar-benar reda. Belum lagi dengan prinsip utamanya yang mengatakan bahwa ‘Dia tak suka menunggu, dan tak suka pula membuat orang lain menunggu.’. Seolah-olah hendak menirukan quote dari salah satu karakter di acara TV kesukaannya. Dirinya sudah terlanjur cuek, tak peduli dengan rintik-rintik hujan yang masih mengguyur ataupun kencangnya angin dingin yang berhembus kencang menusuk setiap senti kulitnya, yang hanya terbalut pakaian basah dan jas hujan tipis untuk sekedar menutupi tasnya, tanpa terlewatkan. Namun meskipun sudah jauh perjalanan yang dilaluinya, ide yang dinantikan tak kunjung datang. Bahkan ketika dia sudah mulai
memasuki jalanan rumahnya yang berlubang dan tergenang air hujan dimana-mana, tak ada secercah gagasan pun yang terbesit. Yang ia dapat sepanjang perjalanan tak lebih dari guyuran hujan, tajamnya jalanan aspal berlubang, dan perut yang makin keroncongan karena sudah menghabiskan begitu banyak tenaga untuk berjalan kaki pulang. Shika menghela nafas sejenak di depan pintu rumahnya. Kunci berputar dengan lancar diiringi dengan 2 kali bunyi yang khas. Begitu pintu kembali tertutup dan dia sudah berada di dalam, dilemparnya jas hujan beserta seluruh atribut yang melekat di badannya ke sebuah sudut kecil di ruang tamu. Nanti bisa dibereskan setelah istirahat sejenak, pikirnya. Pakaiannya yang basah masih melekat, sementara udara menjadi terasa berkali-kali lipat lebih dingin dari sebelumnya semenjak dia tiba di rumah. Tanpa membuang waktu, segera setelah tas ia letakkan, Shika tanpa ragu melepas seluruh pakaian yang masih menempel, meninggalkan hanya celana boxer lembab sesaat sebelum memasuki kamar mandi. Malamnya, ditemani secangkir kopi panas dan game Harvest
Moon yang kini sedang ia mainkan, Shika kembali berusaha memikirkan tema apa yang hendak ia angkat untuk tugas akhir tahunnya. Di dalam benaknya kini, Shika sedang mencari cara untuk menggabungkan kedua tugas tadi supaya ia bisa menghemat waktu, tenaga, dan tentunya uang. Rasanya sedikit menyebalkan sih ketika ia menyadari bahwa keduanya agak sulit untuk digabungkan dalam satu proyek tunggal. Terlebih untuk ukuran anak SMA sepertinya, yang sialnya terlanjur menjadikan biologi sebagai pelajaran nomor 1 yang paling ia tak sukai.
‚Damn! I need a brilliant idea! Gue nggak sudi juga kalo harus kerja dua kali. I mean, apa nggak bisa dipaketin aja dalam satu proyek bersama? Lagian, dua bulan? Mana cukup sih buat dua tugas kayak gini?‛ Shika terus menggerutu sambil menumpahkan kekesalannya lewat sang karakter utama di dalam game yang tak hentihentinya mencangkuli seluruh kebunnya. Selama 15 menit berikutnya, inilah yang terus dilakukannya. Tak peduli apa yang terhampar di depan sang karakter utama, Shika ngotot memerintahkannya untuk mencangkul. Entah itu tanah kosong, tanaman yang sudah susah payah ia tanam terakhir kali, bahkan sampai ‘hewan-hewan ternak virtual’ tak bersalah tak luput dari ayunan cangkul. Hingga pada akhirnya sebuah cangkulan terakhir yang mengenai batu besar dalam game tersebut membuat sang karakter pingsan dan layar pun langsung berubah menjadi gelap berangsurangsur.
(Lanjutannya silahkan cek di buku aslinya ya...)