Tajuk Utama
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 =
KERUING:
PENSUBSTITUSI KAYU IMPOR UNTUK COOLING TOWER Oleh : Barly dan Putera Parthama
S
etiap proses produksi yang melibatkan panas dan/atau menghasilkan air panas sebagai dampak sampingan, memerlukan menara pendingin atau cooling tower. Cooling tower adalah suatu sistem atau sarana yang berfungsi untuk mendinginkan air panas yang dihasilkan sebelum digunakan kembali atau dikembalikan ke tanah/bumi. Cooling tower juga merupakan salah satu sarana paling vital dalam industri pemanfaatan sumber energi panas bumi (geothermal). Ke depan pemanfaatan energi terbarukan panas bumi akan semakin meningkat dengan terbitnya ketentuan yang membolehkan “penambangan” panas bumi pada kawasan hutan lindung. Sejalan dengan itu, kebutuhan akan cooling tower juga akan meningkat. Bagi sebagian orang, sebuah cooling tower mungkin dibayangkan semata sebuah menara dengan tangki air di atasnya. Tidak sepenuhnya salah, hanya saja“menara”tersebut bisa sebesar gedung berlantai empat dengan ukuran tower panjang 50 m, lebar 17 m dan 3 tinggi 15 m dengan kapasitas tangki 6.840 m / jam atau 164.160.000 liter/hari. Dengan ukuran sebesar itu, bisa diperkirakan kayu yang diperlukan. Dan, karena bersentuhan dengan air, maka tidak sembarang kayu dapat dipergunakan. Di sini, pemilihan jenis dan teknologi pengawetan kayu akan mendapat arena aplikasi yang cukup menantang.
Depan Unit 1 (Redwood), tengah (Unit 2) dan belakang (Unit 3) kayu keruing o
panas bersilangan 90 , mengalir mendatar yang masuk melalui fill packing. Proses pendinginan uap air dapat dilakukan dengan cara alami, mekanis, dan atau kombinasi dari keduanya. Pada proses secara alami, biasanya digunakan konstruksi beton dan dilakukan pada menara pendingin yang berkapasitas besar. Sedangkan pada proses secara mekanis, digunakan kipas yang digerakan oleh motor untuk mendistribusikan udara segar ke dalam menara pendingin. Prinsip kerja cooling tower pendingin sebagai berikut: Air panas dialirkan melalui pipa ke bak
Mengapa Kayu? Cooling tower bukan sekedar bangunan, melainkan sebuah sistem atau alat yang berfungsi untuk memindahkan panas melalui kontak langsung antara air panas dengan udara segar dengan bantuan kipas. Ada dua model, yaitu: pertama, model arah berlawanan (counter flow) di mana pergerakan udara segar dan air panas o berlawanan arah 180 , mengalir tegak lurus keatas melalui fill packing. Kedua, model arah memotong (cross flow), dimana pergerakan udara segar dan air 6
Depan (Unit 1) kayu Redwood, Tengah dan belakang (Unit 2 dan 3) kayu keruing
Forpro
= Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
penampungan di bagian atas (water inlet) dengan menggunakan pompa, kemudian melalui corong dimasukkan ke dalam mangkuk untuk dijatuhkan melalui fill packing. Panas yang dilepaskan air yang dijatuhkan, bersentuhan dengan udara segar dari luar yang masuk melalui kisi-kisi dinding (louver). Aliran udara dipercepat dengan bantuan kipas serta melepaskannya melalui cerobong udara di bagian atas menara. Air yang sudah dingin dalam bak penampung selanjutnya dinetralkan sebelum dimanfaatkan kembali sebagai air proses, diinjeksikan kembali ke perut bumi, atau dibuang ke saluran umum. Konstruksi utama cooling tower umumnya terdiri atas bagian luar (seperti dinding, lantai, dan bak penampung air) dan bagian dalam (seperti drift eliminator, fill packing, dan rangka). Konstruksi tersebut semuanya menggunakan kayu, kecuali bak penampung air dingin (cold water basin) yang terbuat dari beton bertulang. Kayu banyak digunakan untuk frame, fill packing, drift eliminator, hot water basin, distribution box, fan deck, fan ring, handrail, ladder, spilce, acces door, dan partition sheating. Jumlah sel (cell) yang dibuat bergantung 3 pada kapasitas air yang didinginkan (m /jam). Dengan demikian makin banyak sel yang digunakan makin banyak jumlah kayu yang diperlukan. Kayu merupakan salah satu bahan konstruksi yang banyak digunakan untuk cooling tower karena memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan beton dan baja, antara lain: elastis, mudah dibentuk, relatif sangat kuat dibandingkan dengan beratnya, tahan terhadap korosi, relatif lebih murah dan yang sangat penting, kayu adalah penghantar panas yang buruk.
Tutup bak air panas, lantai dan pagar dari kayu keruing pada Unit 2 dan 3
Forpro
Menara pendingin konstruksi beton Unit 4 milik Pertamina
Jenis Kayu untuk Cooling Tower Jamaknya sebuah sarana industri, cooling tower semestinya tidak boleh dibangun sekenanya, karena ada spesifikasi standar yang berlaku, yang dikeluarkan asosiasi cooling tower internasional. Penyimpangan dari spesifikasi standar, misalnya bisa menyebabkan produk yang dihasilkan tidak mendapat sertifikasi. Indonesia sendiri belum memiliki SNI cooling tower. Dan nampaknya pembangunan cooling tower di Indonesia belum ketat benar dalam mengacu standar internasional. Hanya persoalannya, ketika misalnya sebuah perusahaan geothermal melakukan tender pekerjaan pembangunan cooling tower, pada umumnya spesifikasi yang diacu adalah spesifikasi standar internasional. Dalam spesifikasi tersebut antara lain disebutkan jenis-jenis kayu yang dapat digunakan dan tentu saja bukan jenis-jenis yang ada di Indonesia. Dalam spesifikasi pengawetan kayu tercantum nama jenis-jenis kayu yang digunakan untuk cooling tower, yaitu Southern Pine, Ponderosa Pine, Coastal Douglas-fir, Western Hemlock, Hemfir dan Redwood. Semua jenis kayu ini adalah kayu asing, dan bila ini diacu, maka bisa menimbulkan kesulitan bagi pemborong lokal. Oleh sebab itu, adalah sangat penting untuk mencari jenis-jenis lokal yang memenuhi persyaratan termasuk teknologi pengawetannya. Jenis kayu tersebut di atas, memiliki sifat fisismekanis yang setara dengan kayu Pinus (Pinus merkusii) dan Melur (Podocarpus sp.) yang tumbuh di Indonesia. Kedua jenis kayu itu tidak lebih rendah dibanding Redwood yang biasa dipakai
7
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 =
sebagai bahan konstruksi menara pendingin di Amerika Serikat. Hasil uji laboratorium terhadap kayu Douglas-fir menunjukkan nilai mekanisnya setara dengan kayu meranti yang biasa digunakan sebagai kusen di rumah sederhana, yaitu nilai MOE 2 2 55.000 kg/cm dan kekuatan tekan 230 kg/cm atau kelas kuat IV. Dalam hal itu, kayu pinus lebih kuat, yaitu kelas kuat III. Pada tahun 1986, dipilih jenis kayu keruing sebagai bahan konstruksi menara pendingin Unit II dan III Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di Kamojang. Alasan dipilih jenis kayu tersebut karena termasuk kelas kuat I-II, lebih kuat dari jenis kayu daun jarum di Amerika. Selain itu juga mudah diawetkan (kelas keterawetan I-II) berdasarkan hasil pengujian menggunakan bahan pengawet tipe CCA menurut proses vakum-tekan. Bahan pengawet tersebut lazim digunakan dalam proses pengawetan kayu untuk cooling tower. Hasil pengamatan pada tanggal 7 Juni 2012, terhadap cooling tower Unit II dan III PLTPB Kamojang menunjukkan bahwa bangunan tersebut masih kokoh atau bagus meskipun usianya sudah mencapai 25 tahun. Penampilannya tampak berbeda dengan Unit I yang dibuat dengan kayu Redwood, dan kini telah berusia 30 tahun, yang sudah mengalami penggantian pada bagian lantai dan tutup bak menggunakan kayu keruing yang diawetk an. Hasil tersebut mengokohk an kedudukan kayu keruing sebagai komponen menara pendingin sebagai pengganti kayu impor. Performa kayu keruing terbukti tidak kalah, selama diawetkan dengan bahan pengawet yang tepat dan dilakukan dengan benar sesuai standar. Pengawetan Kayu Keruing Di bawah, dicantumkan berbagai standar sebagai rujukan pada waktu mengawetkan kayu keruing bahan konstruksi menara pendingin Unit II dan III PLPTB Kamojang, yaitu : 1. AWPA standar C30-79 yang merujuk kepada Standar C2-80, dimana tercantum persyaratan retensi CCA yang diperlukan adalah 0,4 lb per 3 cu.ft atau 6,4 kg/m dihitung berdasarkan bahan oksida. 2. British Standar BS 4485 yang mencantumkan konsentrasi larutan CCA minimal 5% (b/b). 3. BWPA Manual (British Wood Preserving Assosiation) yang mencantumkan ketentuan konsentrasi larutan CCA berdasarkan umur layanan kayu pada bangunan yang selalu berhubungan
8
dengan air : 4% (15 tahun) dan 5% (30 tahun) atau 5% (15 tahun) dan 6% (30 tahun) pada bangunan yang berhubungan dengan air laut. 4. Australian Standar 1604-1980 mencantumkan persyaratan retensi Celcure A(P) berdasarkan ketebalan kayu, yaitu tebal kayu di atas 37 mm 3 sebesar 12 kg/m dan ketebalan sampai 37 mm 3 yaitu 24 kg/m . 5. Indian Standar IS: 401-1982 mencantumkan 3 persyaratan retensi CCA sebesar 12 kg/m . 6. Cooling Tower Institute CTI Bulletin WMS di Amerika Serikat mencantumkan persyaratan 3 retensi CCA sebesar 0.4 lb/cu.ft atau 6,4 kg/m . 7. Standar Filipina PHILSA 104:1975 mencantumkan persyaratan Celcure A untuk struktural 13,42 3 3 kg/m dan rusuk (slats) 26,78 kg/m . 8. Standar Malaysia MS 360:1986 mencantumkan 3 persyaratan retensi CCA sebesar 16 kg/m dengan penetrasi 25 mm. Hasil pengawetan kayu keruing dengan cara vakum-tekan menggunakan bahan pengawet CCA yang dilakukan oleh PN Metrika di Cikampek, dimuat dalam Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol 11 (8):1993. Bagan pengawetan yang diterapkan berpengaruh nyata terhadap banyaknya bahan pengawet yang terdapat di dalam kayu (retensi). 3 Disarankan untuk mencapai retensi 24 kg/m , konsentrasi yang digunakan minimal 6,25% 3 dengan absorbsi larutan sebanyak 384 liter per m . Pengukuran retensi berdasarkan penimbangan berat contoh dan pembacaan skala dapat dipakai untuk memperkirakan retensi berdasarkan hasil analisa kimia di laboratorium, biasanya lebih tinggi. Sehingga perbaikan dalam mengatasi penyimpang dapat segera dilakukan dan pemakai kayu dapat cepat mengetahui hasilnya. Pengalaman di atas, sudah dipakai sebagai bahan pertimbangan dan saran bagi para pihak yang memerlukan dan beberapa industri yang telah menggunakan kayu untuk merenovasi cooling tower, di antaranya PT Star Energy, Pangalengan, PT Karakatau Steel, Cilegon; Petrokimia, Gresik; Pupuk Kujang, Cikampek; PT Stratomer, Merak, Pupuk Iskandar Muda, Aceh; dan PT Pupuk Sriwijaya, Palembang. Diagnose Kerusakan Karena cooling tower sangat vital, maka kondisinya harus selalu prima. Untuk mengetahui adanya kerusakan pada komponen kayu struktural dapat dilakukan pengukuran dengan meng-
FORPro
= Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
gunakan alat ultrasonik yang kemudian data uji ultrasonik tersebut dikonversikan kekekuatan kayu. Jika terjadi penurunan kekuatan selanjutnya disarankan untuk diperbaiki. Pada komponen kayu non struktural, kerusakan sering terjadi pada tutup bak disekitar mulut pipa air panas dimasukkan (inlet). Papan lantai dek, memangkuk (cupping) disebabkan perbedaan suhu permukaan papan pada bagian atas dan bawah, dan dapat diatasi dengan cara penyemprotan (spraying). Di bagian pagar dan tangga kerusakan terjadi pada bidang potong transversal (cross cutting) disebabkan oleh pelapukan. Pencegahan pelapukan dapat dilakukan dengan cara melaburkan larutan bahan pengawet pekat pada waktu cooling tower diistirahatkan ketika kegiatan pemeliharaan (overhaul) .
Upaya dan Riset Lebih Lanjut Beberapa hal yang perlu segera dilakukan dalam mengantisipasi semakin meningkatnya kebutuhan cooling tower ke depan antara lain: 1. Menyusun SNI cooling tower termasuk aspek jenis kayu dan pengawetannya. 2. Mencari jenis-jenis kayu lain, selain keruing yang memenuhi syarat untuk cooling tower. 3. Mencari bahan pengawet alternatif selain CCA. 4. Mem- promote penanaman jenis keruing, termasuk dalam pengembangan HTI kayu pertukangan kayu keruing sudah makin langka dan harganya tinggi. Memang masih banyak kerja keras yang harus dilakukan, khususnya oleh Litbang Kehutanan, apabila tidak mau untuk keperluan cooling tower Indonesia harus mengimpor berbagai jenis kayu temperate.
Tajuk Utama
Mengenal GAHARU
Latar Belakang Dalam dekade terakhir terjadi perubahan harga gaharu secara signifikan, sementara pada sisi lain banyak institusi, ormas dan media yang melakukan sosialisasi produksi gaharu secara buatan. Situasi ini telah menarik banyak pihak yang terlibat dalam pengusahaan gaharu di seluruh Indonesia. Banyak investasi dilakukan oleh berbagai kalangan, mulai dari kelompok tani hingga pengusaha kelas besar dengan ekspektasi yang sama, yaitu memperoleh keuntungan maksimal. Namun fakta yang dijumpai dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan hasil sebaliknya, banyak pihak mengalami kerugian baik dalam perdagangan maupun budidaya gaharu. Faktor utama yang berperan dalam fenomena tersebut adalah kekeliruan informasi mengenai gaharu. Dalam tulisan ini diuraikan beberapa aspek yang perlu diketahui oleh semua pihak yang tertarik menekuni usaha gaharu. Istilah Gaharu Gaharu adalah nama perdagangan nasional untuk kayu aromatik yang dikenal di berbagai daerah dengan sebutan garu, alim, karas, ahir, FORPro
Oleh : Jamal Balfas
age, kereh, seringak, nyabak dan beberapa nama daerah lainnya. Kayu gaharu dalam perdagangan internasional biasa dikenal dengan nama agarwood, kingswood, eaglewood, aloeswood, oudh, jinkoh dan istilah lainnya. Kayu ini merupakan kayu termahal di dunia karena harganya dapat mencapai lebih dari US$ 10,000 per kilogram (Anonim, 2007). Kayu gaharu yang benar, atau disebut ”gaharu betul” adalah bagian kayu yang mengandung minyak dan resin sebagai akibat gangguan fisis pada jaringan kayu yang diikuti dengan infeksi oleh mikroba pada jenis tertentu terutama dari genus Aquilaria dan Gyrinops , famili Thymeleaceae (Sidiyasa dan Suharti, 1998; Anonim, 1999b). Formasi minyak dan resin juga terjadi pada genus lainnya, seperti Gonystylus, Aetoxylon, Enkleia dan Wikstroemia namun gaharu dari kelompok ini bernilai rendah dan dikenal dengan istilah ”gaharu buaya”. Dengan demikian secara praktis dapat digunakan pedoman dalam penentuan jenis 9
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 =
gaharu secara anatomis, apakah sampel kayu wangi (aromatik) termasuk pada gaharu betul atau gaharu buaya berdasarkan struktur anatomi yang dimiliki oleh genus tertentu sebagaimana tampak pada Gambar 1. Jenis gaharu yang paling umum dijumpai di Indonesia adalah Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa untuk wilayah Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sedangkan A. fillaria dan Gyrinops spp. umumnya diperoleh dari wilayah Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. Semua kayu dari kelompok jenis tersebut berwarna cerah, putih sampai berwarna krem, serta memiliki berat jenis yang rendah (sekitar 0,3) bila tidak mengandung minyak dan resin.
Aquilaria malaccensis
Gyrinops spp.
Gambar 1. Struktur anatomi kayu gaharu
Kualitas dan Harga Kayu Gaharu
Kegunaan Gaharu
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa kayu gaharu mengandung bahan aromatik berupa minyak dan resin. Kehadiran dua bahan aromatik pada kayu ini secara umum menentukan kualitas kayu tersebut, makin tinggi kandungan minyak dan resin, maka makin tinggi kualitas dan harga kayu gaharu. Kayu gaharu yang memiliki kualitas terbaik biasa dikenal dengan kelas ”double super” atau ”super” (Gambar 2), sedangkan kualitas terendah biasa dikenal dengan istilah ”TGC” (Tanggung Campur) atau ”kemedangan”. Istilah double super dimaksudkan pada kayu gaharu yang nyaris atau tenggelam di air, artian kayu gaharu kelas ini memiliki berat jenis mendekati atau lebih dari 1. Hal ini berarti kayu double super mengandung minyak dan resin secara kumulatif lebih dari 200% berat kayu gaharu tanpa isi. Kayu double super dapat mengandung minyak hingga 12% dari berat kering, selebihnya adalah resin, yaitu sekitar 188% atau lebih dari berat kering. Sedangkan kelompok kayu kemedangan adalah kayu gaharu yang paling sedikit mengandung minyak (sekitar 0,1% dari berat kering) dan resin sekitar 8% dari berat kering. Oleh sebab itu berat jenis kayu kemedangan mendekati berat jenis kayu gaharu tanpa isi, yaitu sekitar 0,3. Harga kayu double super yang dipasarkan oleh pedagang di Jakarta beberapa bulan lalu dapat mencapai lebih dari Rp 600 juta/kg, sementara pembelinya dapat menjual barang yang sama di China dengan harga lebih dari US$ 100.000/kg. Harga kayu gaharu dari kelompok kelas super di Jakarta umumnya dipasarkan di bawah US$ 20.000/kg. Kayu gaharu dari kelompok kelas A, B dan C memiliki keragaman harga yang sangat lebar, mulai dari US$ 250 hingga US$ 3.000/kg.
Penggunaan kayu gaharu secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
10
1. Pengobatan Kayu gaharu telah digunakan untuk pengobatan sejak abad ke-3 oleh bangsa China dan Jepang (Wikipedia, 2008). Kemudian menyebar kebangsa lainnya, seperti India, Yunani dan Arab. Kayu gaharu digunakan untuk pengobatan berbagai penyakit gangguan pencernaan, ginjal, paru, hati dan jantung. Jenis kualitas gaharu yang digunakan untuk pengobatan umumnya berasal dari kualitas baik, yaitu kelas A, Super atau Double Super. Konsumsi obat dari kayu ini dilakukan dengan mengunyah serpihan gaharu, atau merebus serpihan gaharu, kemudian meminum larutan ekstraknya. Cara lain yang paling banyak dilakukan dewasa ini adalah menghirup asap dari bakaran kayu gaharu atau dikenal dengan istilah aroma terapi.
Gambar 2. Contoh kayu gaharu super
FORPro
= Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
2. Meditasi Penggunaan kayu gaharu untuk keperluan meditasi dilakukan oleh hampir seluruh pemuka agama di dunia. Kualitas gaharu yang digunakan untuk keperluan ini sangat beragam, mulai dari yang paling baik (Double Super) untuk patung dan tasbih, hingga kualitas rendah, bahkan gaharu sintetik banyak digunakan sebagai pengharum ruang peribadatan. 3. Parfum dan Dupa Penggunaan kayu gaharu untuk parfum umumnya dilakukan melalui pengolahan destilasi serpihan gaharu menjadi minyak. Minyak yang dihasilkan kemudian digunakan sebagai parfum atau bahan campuran parfum. Bahan baku kayu gaharu untuk pembuatan minyak umumnya berasal dari kelas gaharu rendah, terutama kemedangan dan kelas tanggung campur (TGC). Bahan baku dari kelompok kelas ini memiliki batasan harga maksimum sekitar Rp 100.000/kg. Batasan ini dapat berubah di masa mendatang bila harga minyak gaharu dapat meningkat secara nyata. Limbah penyulingan minyak gaharu berupa serpihan kecil atau serbuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan dupa. Serbuk tersebut biasanya dicampur dengan perekat (kanji) dan bahan pewangi, kemudian dicetak menjadi dupa menurut bentuk dan selera konsumen.
Gambar 3. Contoh gaharu murni sintetik (BMW)
infeksi pada pohon berlangsung selama lebih dari satu tahun atau sudah terjadi pembentukan gaharu, pohon ditebang, kemudian bagian kayu yang mengandung gaharu dipisahkan dari jaringan lainnya (Gambar 4). Menurut Donovan dan Puri (2004) teknologi inokulasi telah dikembangkan di India sejak tahun 1930-an. Kayu gaharu dari kelompok ini umumnya mengandung sedikit minyak dan resin, serupa dengan kelas kemedangan atau TGC. Harga kayu sintetik ini berkisar antara Rp 200.000 sampai Rp 1.500.000/kg, setara dengan harga kayu gaharu alam kualitas rendah.
Gaharu Sintetik Dalam dekade terakhir banyak dijumpai produk kayu gaharu sintetik. Kayu gaharu jenis ini secara umum terdiri dari dua kelompok produk, yaitu kelompok murni sintetik dan kelompok semi sintetik. Kelompok murni sintetik diawali dengan melakukan ekstraksi resin pada serbuk gaharu dengan pelarut metanol, kemudian resin yang diperoleh ditingkatkan konsentrasinya dan selanjutnya dimasukkan ke dalam kayu gaharu kualitas rendah dengan cara impregnasi. Produk kayu gaharu sintetis ini biasa dikenal dengan istilah ”Black Magic Wood” atau disebut BMW (Gambar 3). Cara ini mampu meningkatkan kandungan resin dan kualitas kayu gaharu, sehingga harga kayu gaharu yang semula bernilai sekitar Rp 30.000/kg dapat meningkat hingga mencapai lebih dari Rp 1.000.000/kg. Kelompok gaharu semi sintetik adalah produk gaharu yang diperoleh melalui perlakuan gangguan fisis pada pohon gaharu dewasa dengan atau tanpa diikuti perlakuan inokulasi. Setelah FORPro
Gambar 4. Contoh gaharu semi sintetis hasil inokulasi
DAFTAR PUSTAKA ______. 1999. Plant Resources of South-East Asia No. 19: Essential-oil plants. Prosea Foundation. Bogor. ______. 2007. Factual information about cultivated agarwood. http://www.traffic.org/ news/ press releases/wood. Diakses tanggal 5 April 2008. Donovan, D. dan R. Puri. 2004. Learning from traditional knowledge of non-timber forest products: PenanBenalui and the autecology of Aquilaria in Indonesian Borneo. Ecology 11
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 =
and Society 9(3): 3. [online] URL: http://www. ecologyandsociety.org/vol9/iss3/art3/ Sidiyasa, K. dan S. Suharti. 1998. Potensi jenis pohon penghasil gaharu. Prosiding Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu. Direktorat
Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Jakarta. Wikipedia. 2008. Agarwood. http://en.wikipedia. org/wiki/Agarwood. Diakses tanggal 12 April 2008.
Artikel
B
u d a y a pengobatan tradisional dengan memanfaatkan bagian-bagian tanaman sudah lama teruji dan tumbuh berkembang di Indonesia. Dalam perkembangannya, dikenal istilah jamu, kemudian dikenal dengan adanya obat herbal terstandar (OHT), dan terakhir yang kita kenal dengan istilah fitofarmaka. Ketiganya merupakan tingkatan produk obat- obatan yang berasal dari tumbuhan. Jamu dapat dibedakan dengan obat tradisional lainnya karena jamu belum mengalami proses standardisasi bahan baku. Menurut Poerwadarminta (1976) jamu adalah obat yang dibuat dari akar-akaran, daundaunan, kulit dan sebagainya atau bahan obatobatan dari tumbuhan. Standardisasi bahan baku sangat diperlukan dalam uji praklinik maupun uji klinik sebagai persyaratan untuk mendapatkan status fitofarmaka yang setara dengan obat konvensional yang dapat diresepkan oleh dokter. Slogan “kembali ke alam” mendasari penggunaan bahan tumbuhan sebagai pengobatan tradisional saat ini. Kesadaran adanya efek samping bila mengkonsumsi obat konvensional (modern) dalam waktu yang lama, bahan alam yang relatif murah dan kemudahan memperolehnya, serta kenyataan adanya penyakit tertentu yang belum dapat diobati dengan obat modern menjadi sekian alasan mengapa obat bahan alami mulai kembali digunakan. Pemanfaatan hasil hutan di Indonesia belumlah mampu menggali potensi sumber daya alam secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan lebih dominannya konsumsi hasil hutan berupa kayu 12
ENAM JENIS POHON BERKHASIAT OBAT DAN KEBERADAANNYA Oleh : Andianto* dibandingkan hasil hutan non kayu atau hasil hutan ikutan lainnya. Salah satu hasil hutan ikutan diantaranya berupa bahan kimia alami yang berasal dari jenis-jenis tanaman hutan yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat. Sebagai wilayah mega biodeversity, tidak dipungkiri bahwa hutan di Indonesia sangat kaya akan berbagai jenis tumbuhan. Dari sekitar 30.000 jenis tumbuhan di Indonesia, tidak kurang dari 1.000 jenis diantaranya diketahui dapat digunakan sebagai bahan baku obat (Hamid et al., 1990 dalam Zuhud, 1991). Tumbuhan obat adalah jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku obat bahan alam maupun modern (Dalimartha, 2008). Diantara tumbuhan yang berkhasiat obat tersebut diketahui 87 jenis adalah pohon hutan (Jafarsidik, 1986). Komponen kimia tumbuhan terbagi ke dalam beberapa golongan senyawa yang sebagian besar merupakan bahan ekstraktif tumbuhan. Zat ekstraktif merupakan produk akhir proses metabolisme yang terbagi ke dalam dua kategori, yaitu metabolisme primer dan metabolisme sekunder. Metabolisme primer merupakan susunan kimia sederhana (gula, asam amino, lemak sederhana) dan terdapat pada semua tanaman serta jumlahnya bergantung pada jenis, gen, unsur FORPro
= Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
hara, iklim dan taksonominya tidak berbeda. Pada metabolisme sekunder penyebaran senyawanya terbatas (hanya ada pada jenis tertentu) dan campuran senyawanya lebih kompleks (seperti tanin, lignin, lemak, terpen), serta taksonominya berbeda. Golongan senyawa ekstraktif tersebut dikenal dalam beberapa kelompok senyawa, yaitu : 1. kelompok terpens dan terpenoids seperti resin, minyak atsiri; 2. gabungan senyawa phenolik seperti tanin; 3. lemak seperti minyak lemak; dan 4. lilin (wax) seperti karet, gum. Terpens merupakan zat ekstraktif kayu yang mengandung semua kelas terpen (dari monoterpenes hingga tetraterpenes, kecuali sesterpena yang merupakan kelas yang sangat jarang). Terpen merupakan hidrokarbon murni. Gabungan senyawa phenolik meliputi tanin, lignin, flavonoids, stilbene dan quinon. Minyak lemak yang dihasilkan oleh tumbuhan dikelompokkan dalam senyawa lemak. Lemak merupakan ester asam karbonat tinggi (asam lemak) dengan gliserol. Sedangkan lilin adalah ester asam lemak dengan alkohol tinggi (Syafii, 2009). Kelompok senyawa-senyawa yang berasal dari tumbuhan selain merupakan sumber dari banyak bahan farmasi dan obat-obatan juga digunakan sebagai bahan baku industri cat, pewarna, plastik dan korek api. Kelompok senyawa terpens seperti resin sebagian dihasilkan dari Famili Dipterocarpaceae yaitu Shorea, Vatica, Dryobalanops. Jenis tumbuhan ini menghasilkan produk yang dikenal dengan damar mata kucing. Produk ini memiliki komposisi asam damar, damar resin yang berguna sebagai bahan baku pembuatan korek api, kembang api, plastik, plester, vernis dan lak. Kopal juga merupakan produk dari kelompok resin yang dihasilkan dari pohon Agathis yang memiliki komposisi seperti pinena yang berguna dalam pembuatan cat, vernis, lak merah dan tinta. Produk lain dari kelompok resin ini adalah gondorukem, yang berasal dari suku Pinaceae. Gondorukem memiliki komposisi kimia anhidrida asam abietat dan abietat anhidrida yang berguna dalam pembuatan sabun, campuran cat, tinta, pelitur. Produk lainnya adalah jernang yang diperoleh dari jenis Daemanorops yang memiliki komposisi kimia berupa resin drako yang diperlukan dalam pembuatan bahan pewarna keramik, marmer, cat dan keperluan farmasi. Kemenyan juga salah satu produk yang berasal dari jenis Styrax yang memiliki komposisi kimia berupa ester benzoat, benzeldehida, vanilin, asam sinamat dan sterol yang digunakan untuk obat batuk, obat luka, kosmetik FORPro
dan industri vernis (Syafii, 2009). Akar wangi, cendana, nilam, kayu putih, eukaliptus, gandapura, dan kamper menghasilkan produk minyak atsiri yang berguna untuk bahan kosmetik, farmasi, aroma pewangi dan insektisida. Pohon jarak, kemiri, tengkawang dan wijen juga menghasilkan senyawa lemak yang dimanfaatkan untuk farmasi, energi, pangan dan kosmetik. Sedangkan bahan sebagai penyamak dapat diambil dari berbagai jenis pohon seperti akasia dan jenis-jenis pohon mangrove. Sebagai bahan karet dapat diambil dari pohon perca, jelutung, jenis Palaqium dan jenis-jenis dari suku Sapotaceae. Bahan ini dimanfaatkan dalam produk insulator kabel, pembuatan gigi, perekat, cat dan permen karet. Gom dihasilkan dari pohon Acasia, Sterculia dan, Swietenia yang dimanfaatkan dalam pembuatan perekat, korek api, dan tinta (Syafii, 2009). Potensi pemanfaatan jenis-jenis pohon sebagai sumber bahan kimia terutama yang diketahui berkhasiat obat sudah banyak dikenal, namun kondisi keberadaan jenis-jenis tersebut di lapangan dewasa ini belum banyak diketahui. Daerah-daerah di Indonesia yang menginformasikan data keberadaan jenis pohon tertentu yang dikenal berkhasiat obat belum semuanya benar, hal ini bisa saja karena berbagai perubahan dan kondisi di lapangan akibat berbagai faktor yang terjadi. Gencarnya exploitasi menyebabkan tidak sedikit jenis-jenis tertentu mulai langka atau bahkan tidak lagi diketahui keberadaannya. Tulisan ini menyajikan informasi sekilas mengenai keberadaan 6 (enam) jenis pohon berkhasiat obat baik yang tumbuh di hutan alam maupun di areal kebun masyarakat hasil survey tahun 2005 hingga tahun 2009, serta manfaat kandungan kimia alami-nya yang disadur dari beberapa sumber literatur . A. P a k a n a n g i / K i s e r e h ( C i n n a m o m u m parthenoxylon/C. porrectum) Jenis pohon Cinnamomum spp. termasuk dalam suku Lauraceae. Menurut Rismunandar (1989) suku Lauraceae memiliki ciri pohon mulai kulit batang hingga ranting yang mengandung minyak atsiri, daunnya tunggal, berseling dan berwarna hijau. Pucuk daun ada yang berwarna kemerah-merahan. Bunga kecil berkelamin dua berwarna hijau atau kuning. Bentuk buah buni, berbiji satu, berdaging bulat memanjang. Kostermans (1957) mengelompokkan 2.000 hingga 2.500 jenis anggota 13
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 =
famili Lauraceae ke dalam 31 marga (genus) diantaranya adalah genus Cinnamomum, Sassafras, Litsea, Eusideroxylon, Cryptocarya dan Cassytha. Terdapat sekitar 600 jenis pohon di Indonesia yang dikenal dan biasa disebut dengan nama daerah “medang” yang di dalamnya termasuk genus Cinnamomum. Dalam Prosea No. 5 (2) tahun 1995 disebutkan bahwa marga (genus) Cinnamomum beranggotakan sekitar 250 jenis. Heyne (1987), m e ny i n g g u n g b e b e r a p a a n g g o t a m a rg a Cinnamomum diantaranya seperti C. burmanii Bl., C. camphora Nees & Eberm., C. Cassia Bl., C. culilawan Bl., C. javanicum Bl., C. Parthenoxylon Meissn., C. Sintok Bl., dan C. zeylanicum Breyn. Pakanangi/Kisereh ( C. par thenoxylon/C. porrectum) dapat ditemukan di lahan perkebunan coklat milik rakyat di Desa Namo, dusun Sada Unta, Gunung Panto Lumba Kec. Kulawi, Kabupaten Donggala propinsi Sulawesi Tengah. Pohon ini tumbuh pada lahan dataran tinggi dan pegunungan dengan ketinggian sekitar 800 mdpl. Pohon yang ditemui berdiameter kecil dan merupakan trubusan dari tunggak pohon tebangan yang sudah mati. Pada peninjauan ke lokasi pabrik pengolahan minyak pakanangi (PT. Artha) tahun 2008 di Desa Batu Suya, Kecamatan Sindue Kabupaten
Pohon dan batang kayu pakanangi/kisereh (C. parthenoxylon/C. porrectum)
14
Donggala, bahan baku yang digunakan umumnya berupa tunggak-tunggak dan akar pohon pakanangi yang berasal dari daerah Kabupaten Poso, dan sekitar Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Penyelamatan/pelestarian jenis pohon pakanangi perlu segera dilakukan karena saat ini keberadaannya sudah sangat sulit ditemukan. Penghentian pengolahan minyak pakanangi perlu dipertimbangkan apabila tidak ada upaya budidayanya. Apabila hal ini dibiarkan berlangsung, dikhawatirkan jenis pohon pakanangi nasibnya akan serupa dengan jenis pohon eboni yang sudah masuk dalam jenis yang dilindungi. B. Kulilawang/Kulilawan (C. halmaherae) Pohon berkhasiat obat dengan nama setempat kulilawan ditemukan pada areal hutan adat di Desa Telutih Baru, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah. Hutan adat ini berada di bawah lereng yang berbatasan dengan daerah luar kawasan Taman Nasional Manusela. Saat ditemukan terdapat sekitar 10-15 pohon dan kurang lebih 20-25 anakan kulilawan (sapling) dengan kondisi tapak hutan berupa batu-batu berkarang. Berdasarkan hasil identifikasi pada herbarium Puslitbanghut Hutan dan Konservasi (Puskonser) Bogor, nama botanis pohon ini adalah Cinnamomum halmaherae Kosterm. Berdasarkan informasi masyarakat setempat, pemungutan kulit kulilawan dilakukan dengan cara menebang pohon hingga roboh. Hal tersebut mengakibatkan keberadaan pohon kulilawan di Desa Telutih Baru, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah semakin berkurang dan sulit ditemukan. Sepuluh tahun silam, di sekitar daerah ini pernah terdapat usaha penyulingan minyak kulilawan yang dikelola oleh masyarakat setempat. Karena bahan baku semakin berkurang, usaha ini akhirnya gulung tikar dan saat ini usaha demikian sudah tidak ditemukan lagi. Selain kulilawan, di daerah ini juga terdapat jenis pohon lain dengan nama daerah kanini, kole, linghua, kenari, kayu besi dan meranti. Masyarakat memanfaatkannya untuk bahan pembuatan rumah, kayu bakar dan pembuatan perabot rumah tangga. Pada lahan areal hutan adat ini sudah banyak ditanami jenisjenis pohon perkebunan seperti cengkeh, coklat dan jati super. Hasil peninjauan di Desa Negeri Lima, Kecamatan Leihitu di kabupaten yang sama ditemukan sejenis pohon dengan ciri kulit batang mengeluarkan bau harum balsam. Namun FORPro
= Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
Daun dan kayu Kulilawan (C. halmaheirae Kosterm)
demikian jenis pohon ini belum diketahui nama setempatnya dan belum dimanfaatkan sebagai tanaman obat oleh masyarakat. Hasil identifikasi contoh herbarium, pohon ini memiliki nama botanis Alphitonia zizyphoides A.Gray suku Rhamnaceae. Kurangnya pengetahuan masyarakat setempat mengenai jenis-jenis pohon yang memiliki khasiat obat menyebabkan ketidak pedulian terhadap jenis ini, sehingga pemanfaatan pohonnya hanya sebatas untuk pembuatan rumah. C. Kayu Manis (Cinnamomum sp.) Produk dari beberapa jenis pohon Cinnamomum umumnya berasal dari bagian kulitnya yang berasa manis, sehingga kebanyakan masyarakat menyebut jenis ini dengan pohon kayu manis. Kulit kayu manis padang adalah kulit batang C. burmannii, dalam perdagangan dikenal dengan nama Cassia vera dengan bau khas aromatik, rasa agak manis, agak pedas dan kelat. Jenis C. zeylanicum dalam dunia perdagangan dikenal dengan ceylon cinnamon. Jenis C. burmanni yang asli Indonesia dalam perdagangan diberi nama padang kaneel atau cassia vera eks. padang. Jenis C. sintok Blume banyak ditemukan di Jawa Barat dan Tengah. Sedangkan C. culilawan Blume asli dari Ambon (Rismunandar, 1989). Menurut Anonim (2007), penyebaran C. burmannii di Indonesia banyak terdapat di daerah Sumatera, khususnya di daerah Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Kerinci. Pohon kayu manis di Sumatera disebut dengan holim, holim manis, modang siak-siak (Batak), kanigar, kayu manis (Melayu), madang kulit manih (Minangkabau). Di Jawa dikenal dengan huru mentek, di kalangan masyarakat suku Sunda dikenal dengan kiamis, kanyengar (Kangean), dan di daerah lain seperti kesingar (Nusa Tenggara), kecingar, cingar (Bali), onte (Sasak), kaninggu (Sumba), Puundinga (Flores). Selanjutnya dijelaskan bahwa tanaman ini juga terdapat di daerah Srilanka, namun kulit FORPro
batangnya lebih tipis dari kulit batang C. burmannii yang ada di Indonesia. Dikenal 2 varietas C. burmannii, varietas pertama yang berdaun muda berwarna merah pekat dan varietas kedua berdaun hijau ungu. Varietas pertama terdiri dari 2 tipe, yaitu tipe pucuk merah tua dan tipe pucuk merah muda. Varietas yang banyak ditanam di daerah pusat produksi di Sumatera Barat dan Kerinci adalah varietas pertama. Varietas kedua hanya didapat dalam jumlah populasi yang kecil. Kayu manis pucuk merah mempunyai kualitas yang lebih baik, tetapi produksinya lebih rendah daripada kayu manis yang berpucuk hijau. Meskipun keberadaan pohon kayu manis awalnya banyak tumbuh di hutan, dewasa ini sudah banyak dibudidayakan pada lahan perkebunan, dan pekarangan penduduk. Kegunaan dan manfaat jenis kayu Cinnamomum spp., seperti kayu manis sangat luas dan kandungan kimianya telah banyak diinformasikan. Bahan aktif pada kayu manis adalah eugenol dan safrol yang ditemukan pada kayu atau kulit (Putra, 2005) dalam Triantoro dan Susanti (2006). Menurut Sastrohamidjojo (Personal comm., 2005) dalam Triantoro dan Susanti (2006) disebutkan bahwa komponen senyawa kimia yang diperoleh dari kayu kulilawan (C.culilawane Bl.) hampir sama dengan senyawa kimia yang berasal dari kulitnya, yaitu eugenol (69,0%) dan safrol (21,0%). Eugenol dan safrol tidak hanya terdapat pada tanaman kulilawang dan masoi tetapi juga pada pala ( Myristica fragrans ), kayu manis (C.burmanii), cengkeh (Sizygium aromatica), dan sirih (Piper betle). Di Indonesia banyak pohon Cinnamomum penghasil minyak atsiri yang mengandung komponen safrole (Sumadiwangsa, 2006). Hasil penelitian Triantoro dan Susanti (2006) pada Kulilawan menunjukkan bahwa eugenol kayu teras di bagian pangkal (66,23%) lebih tinggi dibandingkan dengan bagian ujung (34,36%), dan sebaliknya safrol berkadar lebih tinggi pada bagian ujung (12,10%) dibandingkan dengan bagian pangkal (9,56%). Eugenol digunakan sebagai bahan baku farmasi, yaitu sebagai obat analgesik lokal dan antiseptik. Selain itu disebutkan pula bahwa eugenol dapat dikonversi menjadi senyawa turunan amfetamin maupun L-DOPA (dihidroksi fenil alanin) yang dikenal sebagai obat parkinson. Safrole dapat digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan tropical antiseptik dan ekstasi (Triantoro dan Susanti, 2006). Beragamnya kegunaan senyawa safrole mengindikasikan perlunya kehati-hatian dalam penggunaan jenis kayu Cinnamommum. 15
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 =
Masyarakat Kabupaten Solok di Sumatera Barat sebagian besar memanfaatkan pohon kayu manis untuk diambil kulitnya. Pemanfaatan batang pohon kayu manis umumnya digunakan untuk kayu bakar dikarenakan kayunya yang cepat mengalami retakan, sehingga sebagian kecil masyarakat memanfaatkannya sebagai kayu pertukangan. Pohon kayu manis (C. coriaceum Camm dan C.burmanii Blume) banyak tumbuh di Desa/Jorong Bukit Gompong, Petak Tinggi, Koto Gadang Talang, Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat. Pohon ini ditemukan di areal lahan perkebunan swasta, hutan alam serta hutan rakyat. Tumbuh pada lahan yang datar hingga dataran tinggi dan pegunungan, dengan ketinggian sekitar 900 mdpl. Tinggi pohon berkisar antara 4 - 15 m dengan diameter pangkal batang antara 7-50 cm. Potensi pohon kayu manis cukup tersedia di daerah setempat, terlihat pada pekarangan dan kebun masyarakat dan merupakan usaha sampingan selain menanam tanaman kebun/ladang. Selain di Kabupaten Solok, pohon kayu manis juga tumbuh di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan pada areal lahan pekarangan rumah dan kebun warga. Jenis yang ditemui adalah C.subavenium Miq., C.inners Reinw ex. Blume dan C.celebicum Miq. Jenis-jenis ini tumbuh pada lahan yang datar hingga dataran tinggi dan pegunungan dengan ketinggian sekitar 800 mdpl. Tinggi pohon berkisar antara 3 - 15 m dengan diameter pangkal batang antara 8 - 25 cm. Potensi pohon kayu manis cukup tersedia di daerah setempat (desa Cindranae dan sekitarnya).
Di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah juga ditemukan pohon kayu manis (C.burmanii). Pohon ini ditemukan di areal lahan hutan yang sudah dibuka menjadi lahan perkebunan coklat milik rakyat. Tumbuh pada lahan dataran tinggi dan pegunungan dengan ketinggian sekitar 800 mdpl. Jenis kayu manis yang ada di daerah ini merupakan hasil penanaman masyarakat pada tahun 1972 yang merupakan jenis tanaman dalam program reboisasi saat itu. Namun saat ini pohon kayu manis digantikan dengan jenis tanaman perkebunan (coklat), sehingga pohon kayu manis yang terdapat di daerah ini hanya merupakan sisa hasil penanaman tahun 1972 yang belum di tebang. Di Kecamatan Kedungbanteng, Desa Windujaya, Dusun Peninis yang terletak di lereng Gunung Slamet-Jawa Tengah, pohon kayu manis didominasi oleh C.burmanii yang dikenal dengan nama setempat Keningar dan C.iners yang dikenal dengan manis atau ki teja. Tinggi pohon tercatat antara 10 - 15 m dan diameter pangkal batang antara 25 - 30 cm. Umur pohon diperkirakan 15-30 tahun. Daerah ini memiliki curah hujan tercatat rata-rata 3000-4000mm/tahun (type B). Pohon kayu manis tumbuh pada lahan dataran tinggi dengan ketinggian 500-1000 mdpl, dimana suhu udara 0 berkisar antara 24,4 - 30,9 C. Kondisi lahan setempat memiliki kemiringan lereng sekitar 25-40% yang merupakan zona pegunungan Serayu utara yang sebagaian besar tertutup oleh endapan Gunung Slamet dengan jenis tanah latosol coklat. Daerah setempat merupakan daerah aliran sungai (DAS) Serayu, Sub Das Logawa. D. Pulai (Alstonia sp.)
Pohon, daun dan batang kayu manis (Cinnamomum sp.) di Kabupaten Banyumas - Jawa Tengah
Pohon dan batang kayu manis (Cinnamomum sp.) di Kabupaten Solok - Sumatera Barat
16
Salah satu jenis tumbuhan yang juga diketahui berkhasiat obat adalah Pulai (Alstonia sp.). Jenis ini termasuk ke dalam suku Apocynaceae. Secara hirarki taksonomi jenis ini berturut-turut termasuk ke dalam Kingdom Plantae, Divisi Magnoliophyta, Klas Magnoliopsida, Ordo Gentianales, Suku/famili Apocynaceae dan Genus Alstonia (Anonim, 2008). Dari sekitar 40 hingga 60 jenis pohon Alstonia spp. yang dikenal dengan nama Pulai diantaranya adalah A. macrophylla, A. angustiloba, A. angustifolia, A. spatulata, A. elliptica, A. oblongifolia, A. pneumatophora, A. scholaris, A. costaca dan yang terkenal adalah A.scholaris (L.) R.Br. (Anonim, 2008). Salah satu jenisnya, yaitu A.pneumatophora (pulai rawa) dapat mencapai diameter 100 cm dengan tinggi 40-50 m, mempunyai banir dan batang FORPro
= Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
bergalur berwarna abu-abu hingga putih. Jenis kayu ini cocok untuk ukiran, peti dan kayu lapis. Jenis ini memiliki akar nafas yang besar dan panjang, sehingga dikenal dengan pulai rawa. Bagian kulit A.scholaris mengandung alkaloid sebagai bahan obat. Kayunya banyak digunakan untuk papan tulis sekolah, sehingga dinamakan scholaris. Pohon A.scholaris dapat mencapai tinggi lebih dari 40 m, batang pohon tua beralur sangat jelas, sayatan berwarna krem dan banyak mengeluarkan getah berwarna putih (Anonim, 2001) Jenis A.scholaris umumnya disebut dengan pulai gading (Pulai putih) dan tersebar luas terutama di Sumatera, Kalimantan dan Jawa Barat (Anonim, 2008). Genus Alstonia terdiri dari sekitar 40 jenis, dimana dua jenis merupakan tumbuhan asli di daerah tropis Afrika, empat jenis di Australia, sekitar 15 jenis di daerah Pasifik, 12 jenis di daerah Malesiana dan sisanya di benua Asia. (Rudjiman et al., 1994). Selanjutnya diinformasikan bahwa kulit jenis ini mengandung latex yang penting dan sering digunakan sebagai obat tradisional, di daerah Fiji digunakan untuk mata yang bermasalah, kulitnya digunakan untuk melawan malaria dan bahan obat penenang di Pilipina dan jenis ini begitu populer di India dan Jawa untuk penyakit diare dan disentri. Heyne (1987) mencatat bahwa di Indonesia terdapat 11 jenis Alstonia , yaitu A.acuminata Miq, A.angustifolia Wall, A. angustiloba Miq, A.eximia Miq, A.grandifolia Miq, A.pneumatophora Backer, A.polyphylla Miq, A.scholaris R. BR., A.spathulata BL., dan A.villosa (Blaberopus villosus Miq). Provinsi Sumatera Selatan merupakan salah satu wilayah dimana dapat ditemui keberadaan pohon jenis pulai. Tiga jenis pulai yang dapat ditemui di daerah ini adalah pulai putih (A. scholaris), pulai hitam ( A. angustiloba) dan pulai rawa (A. pneumatophora). Selain di kawasan hutan KHDTK (Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus) Balai Penelitian Kehutanan Palembang, tegakan pulai rawa (A. pneumatophora) terlihat tumbuh di sudut pinggiran jalan arah ke luar kota. Pohon Pulai diinformasikan banyak digunakan sebagai bahan obat-obatan. Menurut Heyne (1987) getah A.pneumatophora dimanfaatkan untuk penyembuhan luka bernanah, dan kulit A.scholaris dapat digunakan untuk membersihkan lambung dari lendir, mengobati perut kembung dan pembengk ak an limpa. Jenis A. scholaris mengandung tiga senyawa alkaloid yaitu ditamine, echitamine (ditaine), Echitenines, beberapa senyawa lemak dan resin, sedangkan dalam FORPro
Daun dan kayu pulai putih (A. scholaris)
penggunaan sebagai obat kulitnya dimanfaatkan untuk obat tradisional sebagai obat diare dan disentri (Grieve, 2009). Menurut Anonim (2008), kulit A.scholaris mengandung alkaloida ditanin, ekitamin (ditamin), ekitanin, ekitamidin, alstonin, ekiserin, ekitin, ekitein, porfirin dan triterpen, sedangkan daunnya mengandung pikrinin, dan bunga pulai mengandung asam ursolat dan lupeol yang dapat mengatasi borok, bisul, rasa sakit setelah melahirkan (nifas), beri-beri dan payudara bengkak karena bendungan ASI. Kulitnya diberitakan dapat mengatasi demam, malaria, limpa membesar, batuk berdahak, diare, disentri, kurang nafsu makan, perut kembung, sakit perut, kolik, kencing manis, tekanan darah tinggi, wasir, anemia, gangguan haid, rematik akut. E. Gaharu (Aquilaria sp., Gyrinops sp.) Famili dari beberapa jenis penghasil gaharu adalah Thymelaeaceae genus Aetoxylon, Aquilaria, Gyrinops dan Gonystylus. Genus Aquilaria tercatat memiliki 12 jenis. Jenis dari Thymelaeaceae diantaranya adalah Amyxa pluricornis Domke, Gyrinopsis cumingiana, Phaleria Sp., Gyrinops versteegii (Gilg) DOMKE, Aquilaria malaccensis LAMK., A.beccariana VAN TIEGH., dan A.microcarpa BAILL. Manfaat gaharu dikelompokkan ke dalam penggunaan obat-obatan, parfum dan kosmetika (Anonim, 2002). Menurut Sidiyasa dan Suharti (1987) dalam Anonim (2002), selain jenis tumbuhan Aquilaria spp. dan Gonystilus spp., gaharu dapat diperoleh dari jenis-jenis tumbuhan seperti Weikstromia spp; Enkleia spp; Actoxylon spp; Gyrinops spp; dan Dalbergia spp. Dalam buku Flora M a l e s i a n a ( 1 9 6 0 ) te rc a t a t b a hw a f a m i l i Thymelaeaceae terdiri dari beberapa genus, yaitu Aquilaria, Enkleia, Linostoma, Wikstroemia, Daphne, Gyrinops, Drapetes, Pimelea dan Amyxa. Di sekitar daerah Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara ditemukan beberapa jenis pohon penghasil gaharu genus Aquilaria. Batang pohon ini memiliki diameter berkisar 20 cm - 65 cm dengan tinggi berkisar 10 m - 25 m. Masyarakat setempat mengenal 4 jenis pohon penghasil 17
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 =
gaharu yang dicirikan dengan penampakan kulit batang pohon dan bentuk daun, yaitu gaharu buaya, gaharu tanduk, gaharu air, dan gaharu beringin. Dari beberapa sumber Herbarium Wanariset Samboja, diperoleh informasi bahwa di sekitar daerah Samboja hanya dapat ditemukan 2 jenis pohon penghasil gaharu, yaitu A.beccariana, dan A.microcarpa. Diinformasikan juga bahwa A. Malaccensis belum pernah ditemukan di daerah Kaltim bagian selatan (Kutai Kertanegara). Adanya sejumlah masyarakat yang masih menebang pohon penghasil gaharu yang belum tentu kayunya mengandung gaharu, dikhawatirkan akan semakin langkanya jenis-jenis pohon penghasil gaharu. Dikahawatirkan apabila penebangan pohon ini terus berlanjut akan menimbulkan kelangkaan di daerah Samboja. Kegiatan pembudidayaan anakan pohon penghasil gaharu, serta penyuntikan pohon guna mendapatkan kandungan gaharu sudah diupayakan saat ini. Pohon gaharu (G.versteghii, G.cumingiana) juga ditemukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur di wilayah kerja RPH Anfoang selatan pada tanah yang berbatu kapur keras yang minus air. Tinggi pohon sekitar 4 - 6 m dan diameter antara 15 - 20 cm. Pohon ini banyak tumbuh di hutan alam kawasan lindung yang mutlak tidak boleh ada kegiatan produksi. Umumnya tumbuh pada daerah tanah berbatu, miskin hara dan air.
Pohon pasak bumi dapat ditemukan di desadesa Kecamatan Bangkinang Barat -Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Ditemukan di kebun karet rakyat yang berumur kurang lebih 15 tahun. Pohon ini memiliki ketinggian sekitar 0,5 - 9 m dengan diameter pangkal batang 1-12 cm, adapun ukuran diameter pangkal akar berkisar 1-15 cm dan panjang akar 45 - 245 cm. Lokasi ditemukannya pasak bumi ini awalnya merupakan wilayah hutan adat (ulayat). Menurut informasi salah satu warga setempat, hutan adat dapat dijadikan areal perkebunan dengan biaya sangat murah. Untuk lahan seluas 1-2 Ha masyarakat cukup membayar seharga 300 - 400 ribu kepada orang yang dituakan, yaitu Nini Mama (Datuk). Bila keadaan ini berlangsung terus, dikhawatirkan hutan adat semakin berkurang dan berubah menjadi perkebunan. Pohon pasak bumi di daerah ini umumnya masih berbentuk anakan tingkat tiang (sapling) dan junmlahnya agak jarang, namun demikian ditemukan juga pohon dengan akar berdiameter sebesar ukuran paha orang dewasa dengan panjang kurang lebih dua meter. Masyarakat sekitar masih menganggap pohon pasak bumi sebagai tanaman penggangu (gulma), sehingga pada saat pembersihan lahan untuk perkebunan maka pohon pasak bumi banyak yang ditebas. Dikarenakan sifat pohon yang mudah bertunas diduga akar pasak bumi berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Hal ini terlihat pada ukuran akar yang umumnya hampir sama atau lebih besar dari ukuran batang pohon. Pohon pasak bumi berbuah pada bulan Juni, namun belum diketahui kapan mulai dan berakhir menghasilkan buah.
Pohon dan kayu gaharu (Aquilaria sp.)
F. Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) Jenis pohon pasak bumi (E.longifolia Jack) termasuk anggota dari suku Simaroubaceae. Suku Dayak Kenyah menggunakannya untuk obat sakit perut dan demam, suku Banjar menggunakannya untuk aphrodisiac (penunjang stamina), sedangkan di Thailand digunakan untuk anti malaria. Pasak bumi sudah merupakan komoditi ekspor (Mandang dan Andianto, 2005). 18
Pohon dan akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.)
Penutup Sejalan dengan perkembangan industri obat maupun farmasi yang berbahan baku tumbuhan (herbal), maka seiring itu pula eksploitasi terhadap tumbuhan berkhasiat obat gencar dilakukan yang notabene hingga saat ini masih banyak yang FORPro
= Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
berasal dari hutan alam. Usaha secara bijaksana melalui pengkayaan atau penanaman jenis-jenis pohon berkhasiat obat secara intensive perlu segera dilakukan guna mencegah dan mengurangi langkanya jenis-jenis pohon tersebut terutama jenis-jenis tertentu yang sangat bernilai ekonomis. Sudah saatnya program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga diarahkan kepada upaya pemenuhan bahan baku industri obat dan farmasi. Sumber Bacaan Anonim, 2001. I nformasi singk at benih. No.2.Alstonia scholaris (L) R.Br. Indonesia Forest Seed Project. T.H.R. Ir.H. Juanda. Bandung. http://www. dephut.go.id/ INFORMASI/RRL/IFSP/ Alstonia_scholaris.pdf . diakses tgl. 27-10-2009. jam 11.58. _____. 2002. Rekomendasi Strategi Generik Pengembangan Industri Gaharu. Biro Kerjasama Luar Negeri dan Investasi. Sekretariat Jenderal. Departemen Kehutanan. _____. 2007a. Kayu Manis, http : //www. wikipedia.org., diakses 26 April 2007. _____. 2007b. Cinnamomum burmannii (Nees &Th.Nees) Nees ex Blume Padang cassia, http : //www.usda.com., diakses 27 April 2007. _____. 2008a. Jenis poh Pulai.http:// pule3. wordpress.com/ diakses tgl 27-10-2009 jam 12.10 _____. 2008b. Kenalilah Pulai (Alstonia sp.)....... (Bagian III). Teknik silvikultur.http:// ozonsilampari.wordpress.com/2008/02/01/ diakses tgl. 27-10-2009. jam 12.05 _____. 1995. PROSEA. Plant Resources of South-East Asia No 5 (2). Timber trees: Minor commercial timbers. Bogor Indonesia. _ _ _ _ _ . 1 9 6 0 . Fl o r a M a l e s i a n a . S e r i e s I . Spermatophyta Flowering Plants. Vol 6, part 6. Wolters-Noordhoff Publishing. Groningen, The Netherlands. Dalimartha, S. 2008. Jamu, Dahulu, Sekarang, Dan Masa Depan. Makalah Semiloka: Jamu, Brand Indonesia. Kementrian koordinator Bidang Perekenomian. Jakarta.
FORPro
Heyne, K. 1987.Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid II. Terjemahan. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Jafarsidik, Y.1986. Potensi tumbuhan hutan (pohon) penghasil obat tradisional. Prosiding diskusi pemanfaatan kayu kurang dikenal. 13-14 Januari, 1987. Cisarua, Bogor. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Kostermans, A.J.G.H. 1957. PENGUMUMAN. Communication. Balai Besar Penjelidikan Kehutanan Indonesia. Nr 57. Lauraceae. Balai Besar Penjelidikan Kehutanan Indonesia. Bogor. Mandang, Y.I. dan Andianto. 2005. Identifikasi jenis kayu berkhasiat obat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan pengembangan Teknologi Hasil Hutan. Belum dipublikasikan. Poerwadarminta, J.W.J.S. 1976. Kamus umum bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta. Rudjiman, Gintings, N., Martawijaya, A., Ilic, J. 1994. Plant Resources of South-East Asia 5. (1) Timber trees: Major commercial timbers. P.8290. PROSEA. Bogor. Rismunandar, 1989. Kayu Manis. Penebar Swadaya. Jakarta. Syafii,W. 2009. Kontak personal dan Bahan kuliah Pemanfaatan Komponen Kimia Hasil Hutan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sumadiwangsa S, E . 2006. Laporan Mengikuti Second Regional Survey Meeting on SafroleRich Essential Oils. 28-30 September 2006. Kuala Lumpur, Malaysia.Tidak diterbitkan. Triantoro, R.G.N. dan Susanti, C.M.E. 2006. Kandungan bahan aktif kayu kulilawang (Cinnamomum culilawane Bl.) dan Masoi ( Cryptocaria massoia ). Makalah pada pelatihan fungsional peneliti tingkat pertama angkatan XXXV-LIPI, Cibinong. Tidak diterbitkan. Zuhud, E.A.M. 1991. Pelestarian pemanfaatan tumbuhan obat hutan tropis Indonesia. Kerjasama Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB Bogor dan Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia, Bogor.
19