Sesi 2: Spatial Planning Tema: ”Dimensi Politik dalam Rencana Tata Ruang di Tingkat Nasional dan Local” Sub-Themes: Tata Ruang dan Korupsi Judul: Penataan Ruang dan Korupsi (Studi Kasus Provinsi Riau)
Oleh: Raflis Local Unit Manager Forest Governance Integrity Transparency International Indonesia Email:
[email protected] HP: 081276189862 www.raflis.wordpress.com Abstrak Beberapa titik rawan tindak pidana korupsi dalam penataan ruang adalah: 1)Penyusunan rencana tata ruang, 2)Pelaksanaan tata ruang, 3)Penertiban tata ruang. Pada saat proses penyusunan sangat diwarnai oleh kepentingan sektoral dan dunia usaha baik itu Pertambangan, Perkebunan maupun kehutanan (Korupsi pembuatan aturan perundangan). Pada saat pelaksanaan rentan tejadinya pemberian izin yang melanggar tata ruang (korupsi perizinan). Pada saat penertiban ketika pelanggaran ditemukan tidak bisa dilakukan penegakan hukum. (Judicial Corruption).Pembahasan tindak pidana korupsi akan difokuskan pada tiga hal diatas dengan mengambil studi kasus provinsi riau. Pada tahapan perencanaan proses yang berjalan di provinsi riau telah lebih dari sepuluh tahun, prosesnya diwarnai tarik menarik kepentingan antara Kementrian kehutanan, pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Proses penyusunan rencana tata ruang provinsi riau dimulai dengan pemutihan atas pelanggaran perizinan masa lalu. Pada tahap pelaksanaan akan kita bahas pelanggaran perizinan terhadap tata ruang sebelumnya, baik terhadap rencana tata ruang provinsi maupun terhadap TGHK. Pada tahap penegakan hukum akan dibicarakan izin yang dikeluarkan mentri kehutanan yang melanggar Rencana tata ruang nasional, TGHK, RTRWP maupun rencana tata ruang kabupaten. Pada bagian akhir akan dibahas tentang perlawanan secara konstitusi oleh departemen kehutanan terhadap UU Penataan ruang dengan membenturkan dengan UU kehutanan yang juga tidak secara konsisten dilaksanakan. 1. Pendahuluan Provinsi Riau terletak di bagian timur sumatera dengan luas daratan 9,4 juta ha, 40% diantaranya merupakan dataran rendah yang bergambut dan sebagian diantaranya dipengaruhi pasang surut1. Arahan spasial penggunaan lahan sudah diatur oleh Perda No 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau (RTRWP). 1
Daryono, “Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan dengan Kebakaran di ArealPerkebunan dan HTI Rawa Gambut”
Sebelumnya telah ada Kepmen No 173 tahun 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Sampai saat (Agustus 2011) ini perbedaan fungsi antara TGHK dan RTRWP belum ditemukan jalan penyelesaian. TGHK menetapkan 97,8% dari luas wilayah provinsi sebagai kawasan hutan sedangkan RTRWP menetapkan 54%2. Upaya pemerintah provinsi untuk menyelesaikan gap tersebut telah telah lebih dari 10 tahun dengan melakukan revisi RTRWP namun belum ditemukan kesepakatan dengan departemen kehutanan. Disisi lain pemberian izin pemanfaatan ruang untuk sector kehutanan, perkebunan dan pertambangan tetap dilakukan dengan melanggar arahan zonasi pada kedua aturan tersebut. Adanya ketentuan tentang penertiban perizinan dan Sangsi Pidana terhadap pemberi izin dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang merupakan momentum positif dalam memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terlanjur salah dimasa lalu baik itu sector kehutanan, perkebunan maupun pertambangan. Namun poin positif ini mendapat perlawanan secara konstitusi baik oleh pemerintah daerah maupun departemen Kehutanan sebagai upaya untuk melindungi perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan dimasa lalu. Mekanisme perdagangan kayu internasional dan perubahan iklim juga dimanfaatkan oleh departemen kehutanan untuk melindungi perizinan yang tidak sesuai dengan ketentuan dengan mekanisme Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (SVLK dan PHPL) serta mekanisme Moratorium Perizinan. Sementara itu, pemberian izin kehutanan masih mengabaikan rencana tata ruang Penataan Ruang terdiri dari Perencanaan tata ruang, Pemanfaatan Ruang dan Penertiban Pemanfaatan Ruang. Dari Pemetaan Rantai Korupsi Kehutanan di Provinsi Riau3 ditemukan beberapa rantai korupsi yang dominan diantaranya: 1) Rantai Regulasi: Perubahan zonasi kawasan hutan dalam rencana tata ruang, 2)Rantai Perizinan: Pemberian izin pemanfaatan hutan yang melanggar ketentuan, 3) Rantai Supply kayu: Perencaan penebangan yang melanggar ketentuan, 4) Rantai penegakan hukum: Gagal menghukum izin yang melanggar aturan, 5)Rantai Riset dan sertifikasi: Penyimpangan riset dan manipulasi terhadap proses sertifikasi. 2. Penyimpangan Peyusunan Rencana Tata Ruang Proses penyusunan rencana tata ruang provinsi riau telah dilakukan semenjak tahun 2000, sampai saat ini (Agustus 2011) Draft RTRWP belum bias ditetapkan, ini terjadi karena banyaknya kepentingan yang melatarbelakangi penyusunan RTRWP tersebut, sampai saat ini masih dalam kajian tim terpadu departemen kehutanan. Secara hukum saat ini Provinsi Riau terdapat 4 zonasi kawasan yang mengatur aspek tata ruang diantaranya: 1) Rencana Tata Ruang Nasional, 2) Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), 3)Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP), 4) Rencana Tata Ruang Kabupaten. Dari keempat tingkatan rencana ini masing masing mempunyai gap yang cukup besar yang mengatur fungsi ruang yang berbeda pada lokasi yang sama. (Lihat Gambar 1)
2
Zazali.A,” Mengawal Revisi Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) RiauUntuk menyelamatkan Hutan Alam Riau yang tersisa dari Ekspansi Perkebunan Besar Kelapa Sawit dan Akasia 3 Transparency International 2010
Gambar 1. Perbedaan Fungsi Antara Kawasan Lindung dan Budidaya di kabupaten Bengkalis4
Besarnya gap antara tingkatan rencana tata ruang disebabkan oleh multi interpretasi dari stakeholders penataan ruang terhadap regulasi penataan ruang baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten sebagai akibat dari belum sempurnanya UU Penataan Ruang. Ketika terjadi penyimpangan tidak ada lembaga yang cukup kredibel dalam menertibkan pelanggaran atau melakukan harmonisasi antara satu aturan dengan aturan yang lainnya. Pembiaran terhadap penyimpangan ini dibiarkan tanpa ada sangsi yang diterapkan ketika pelanggaran yang dilakukan. Kriteria kawasan lindung maupun budidaya telah diatur dalam PP No 47 tahun 1997 dan PP No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Nasional, jika proses penyusunan rencana tata ruang mengikuti criteria kawasan lindung dan budidaya maka perbedaan fungsi yang terjadi hanya pada perbedaan tingkat ketelitian peta. Proses penyusunan rencana tata ruang provinsi yang baru diwarnai oleh pemutihan pelanggaran izin yang diberikan sebelum tahun 2007 baik oleh pemerintah kabupaten, provinsi maupun departemen kehutanan.dengan memasukkan izin yang sudah diberikan sebelum tahun 2007 sebagai kawasan budidaya walaupun secara criteria masuk kategori kawasan lindung menurut PP 26 tahun 2008.tentang rencana tata ruang wilayah nasional. Selain itu proses penyusunan juga mengabaikan PP No 10 tahun 2000 tentang tingkat ketelitian peta dalam penataan ruang dengan alasan data tidak tersedia. 2.1. Penyimpangan di Tingkat Departemen Sektoral (Departemen Kehutanan Setelah ditetapkannya PP 26 tahun 2008 depertamen kehutanan tidak melakukan revisi peta penunjukan kawasan hutan atau TGHK terhadap rencana tata ruang nasional. Disisi lain mandate UU 41 tentang Kehutanan mengenai proses pengukuhan kawasan hutan tidak dilaksanakan dengan baik oleh departemen kehutanan5 sehingga belum ada kawasan hutan per provinsi yang ditetapkan6 dengan demikian Kawasan Hutan Provinsi Riau belum mempunyai status hukum. Ketika RTRWN tidak dijadikan rujukan oleh departemen kehutanan kemudian dilakukan intervensi penyusunan RTRWP dengan 4
Raflis, 2011, Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal Audit BPK 2008, LHP BPK Nomor : 33/LHP/XVII/02/2009 6 Kawasan Hutan Provinsi Riau Masih Mengacu Pada Kepmen 173 tahun 1986 tentang TGHK 5
dasar PP No 10 Tahun 2010 tentang Persetujuan Substansi Perubahan Fungsi kawasan Hutan terhadap RTRWP. “Mungkinkah perubahan fungsi kawasan hutan dilakukan sebelum fungsi kawasan hutan tersebut ditetapkan ??...” Beberapa penyimpangan yang terjadi di tingkat perencanaan kehutanan yang berdampak pada penyusunan rencana tata ruang provinsi diantaranya7: 1. Tidak dilaksanakannya inventarisasi kawasan hutan di tingkat wilayah dan unit pengelolaan sebagai dasar dari penunjukan kawasan hutan dan penyusunan neraca sumberdaya hutan. 2. Tidak dilaksanakannya proses pengukuhan kawasan hutan seperti: Penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, penetapan kawasan hutan dan penetapan fungsi kawasan hutan, tetapi dibentuk Tim terpadu untuk mengkaji perubahan fungsi kawasan hutan. 3. Terjadi proses perubahan fungsi kawasan hutan yang tidak sesuai dengan aturan, sehingga memunculkan istilah TGHK dan TGHK update8, Perubahan fungsi kawasan hutan secara parsial tidak pernah dipublikasikan dan dilaksanakan untuk melegalkan perizinan yang tidak sesuai dengan TGHK. 2.2. Penyimpangan di Tingkat Provinsi dan Kabupaten Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Provinsi yang baru, terdapat beberapa penyimpangan diantaranya: 1) Rencana Tata Ruang sebelumnya dan Rencana Tata Ruang Nasional tidak dijadikan acuan, 2) Draft RTRWP disusun dengan data yang tidak lengkap dengan mengabaikan pedoman Penyusunan RTRWP dan PP Tingkat Ketelitian Peta dalam Penataan Ruang, 3)Mengikuti Keinginan investor dengan memutihkan pelanggaran perizinan9, 4) Belum Mempunyai Kajian Lingkungan Hidup Strategis. 5)Minimnya Peran Serta Masyarakat dalam Proses Penyusunan RTRWP. Table 1. Perbedaan Fungsi Kawasan antara Draft RTRWP, RTRWP1994, RTRWN dan TGHK
Fungsi Kawasan Kawasan Budidaya Kawasan Lindung Gap Data Jumlah
Draft RTRWP
RTRWN
RTRWP 1994
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
Luas (ha)
%
Luas (ha)
7.018.782
77,48%
5.336.794
58,91%
6.785.234
74,90%
8.107.673
89,50%
1.931.295
21,32%
3.677.165
40,59%
1.911.399
21,10%
908.106
10,02%
108.750
1,20%
44.868
0,50%
362.194
4,00%
43.048
0,48%
Raflis 2009, Problematik Sektor Kehutanan dan Perkebunan di Provinsi Riau Statemen di media, namun tidak ada dokumen legal yang menunjukkan hal itu 9 Raflis 2007, 10 Penyimpangan dalam Penyusunan Draft RTRWP Riau 8
%
9.058.826 100,00% 9.058.826 100,00% 9.058.826 100,00% 9.058.826 100,00%
7
TGHK
100%
89.50% 77.48%
74.90%
75% 58.91% 50% 25%
40.59% 21.32%
21.10% 10.02%
0% Draft RTRWP
RTRWN
Kawasan Budidaya
RTRWP 1994
Kawasan Lindung
TGHK Gap Data
Gambar 2. Grafik Perbandingan Fungsi kawasan lindung dan budidaya antara draft RTRWP, RTRWP 1994, RTRWN dan TGHK di Provinsi Riau
Penyusunan Rencana Tata Ruang provinsi mengabaikan Rencana Tata Ruang Nasional maupun RTRWP 1994, tetapi justru TGHK dijadikan sebagai acuan. Dari gambar ….dan table… dapat dilihat bahwa RTRWN mengalokasikan 40,59% sebagai kawasan lindung sedangkan dalam draft RTRWP hanya 21,32%. Hasil analisis spasial terhadap lampiran VII PP 26 tahun 2008 seluas 3.654.934 ha wilayah provinsi riau ditetapkan sebagai kawasan lindung. Sementara itu seluas 1.017.918 ha. diantaranya adalah Izin IUPHHKHT terdapat didalam kawasan lindung10. Berdasarkan mekanisme penertban pola ruang dalam UU no 26 tahun 2007 izin yang tidak sesuai dengan RTRWN atau akibat perubahan RTRWN harus dicabut melalui 2 mekanisme yaitu: 1) 962.584 ha diantatanya batal demi Hukum (memperoleh izin dengan cara yang tidak benar karena melanggar RTRWP, TGHK dan kawasan bergambut), 2) 55.370 ha Batal dengan konpensasi (Sesuai dengan tata ruang sebelumnya tetapi ditetapkan berbeda dalam RTRWN. 3. Penyimpangan dalam Pelaksanaan Penataan Ruang. (Sebelum UU 26 Tahun 2007) Pada masa lalu Rencana Tata Ruang yang tidak disosialisasikan dengan baik serta hampir tidak pernah dijadikan rujukan spasial dalam melaksanakan program pembangunan. Pemberian izin pemanfaatan ruang cenderung mengabaikan rencana tata ruang. Pelanggaran Perizinan Kehutanan dan Perkebunan Terhadap TGHK dan RTRWP 1994 Jenis Perizinan Pelanggaran RTRWP 1994 Pelanggaran TGHK IUPHHK-HT 592.004 672.118 Perkebunan 363.329 233.397 *) *) Izin yang harus mendapatkan pelepasan kawasan hutan dari mentri kehutanan seluas 1.010.229 ha
10
Raflis 2011, Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal
Penyimpangan perizinan terhadap rencana tata ruang karena masing masing pihak tidak menjadikan rencana tata ruang sebagai arahan spasial dalam pemberian izin. Dalam pemberian Izin kehutanana beberapa actor yang bertanggungjawab diantaranya: 1. Dinas Kehutanan Kabupaten mengabaikan RTRWK dan TGHK dalam memberikan pertimbangan tehnis. 2. Bupati mengabaikan RTRWK dalam memberikan Rekomendasi 3. Dinas Kehutanan Provinsi mengabaikan RTRWP dan TGHK dalam memberikan pertimbangan tehnis 4. Gubernur mengabaikan RTRWP dalam memberikan rekomendasi 5. Komisi Amdal dan konsultan penyusun amdal mengabaikan RTRWK, RTRWP dan TGHK dalam penyusunan amdal 6. Badan Planologi Kehutanan mengabaikan TGHK dalam memberikan persetujuan lokasi 7. Mentri Kehutanan Mengabaikan TGHK dalam penerbitan izin. 8. Perusahaan mengabaikan criteria kawasan dalam menyusun delineasi makro dan mikro (Kriteria kawasan dalam delineasi makro dan mikro sama dengan criteria dalam PP 26 tahun 2008) Dari actor yang terlibat dalam pemberian izin dapat dilihat bahwa penyimpangan dilakukan secara bersama sama mulai dari tingkat kabupaten, provinsi maupun nasional. Beberapa temuan penyimpangan perizinan • Penerbitan 79 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam/ Tanaman di luar peruntukannya menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Riau, dengan total luas kawasan yang dilanggar mencapai 3,7 juta ha. (KPK 2010) • Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHKHT) tidak sesuai ketentuan yang mengakibatkan tujuan pembangunan HTI dalam meningkatkan produktivitas lahan kosong, padang alang-alang dan semak belukar tidak tercapai dan memberikan peluang pemegang IUPHHK-HT/HTI melakukan penebangan tanpa melakukan penanaman kembali. Hal tersebut terjadi karena Menteri Kehutanan dalam memberikan IUPHHK-HT tidak berdasarkan hasil penelitian yang memadai dan tidak menaati ketentuan yang ada dan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau memberikan RKT landclearing yangtidak sesuai ketentuan (BPK 2008) • Mantan Bupati pelalawan dan mantan kepala dinas kehutanan provinsi riau sudah divonis bersalah dalam memberikan perizinan tidak sesuai ketentuan • Beberapa bupati berstatus sebagai tersangka dan gubernur masih berstatus saksi dalam kasus korupsi pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan 4. Tindak Pidana Penataan Ruang (Setelah UU 26 Tahun 2007)11 Dengan disyahkannya UU No 26 tahun 2007 dan PP 26 tahun 2008 yang disertai dengan sangsi pidana bagi pemberi izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang tetap tidak merubah prilaku pemberian izin. Sangsi Pidana Bagi Pemberi Izin dalam UU No 26 tahun 2007 Pasal 37 ayat (7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pasal 73 ayat (1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), 11
Raflis 2011 Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 73 Ayat (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. (Studi Kasus PT RAPP Sektor Pulau Padang)12 Pada tanggal 12 juni 2009 mentri kehutanan menerbitkan Izin IUPHHK-HT terhadap PT RAPP pada kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam PP 26 tahun 2008 yang juga melanggar TGHK, RTRWP dan RTRWK. Pemberian izin ini merupakan tindak pidana penataan ruang sebagaimana diatur dalam pasal 73.UU 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Namun sampai akhir mei 2011 aktifitas land clearing masih tetap dilakukan di sector lain sedangkan untuk sector pulau padang masih dalam tahap persiapan land clearing. Atas pelanggaran ini tidak ada pihak yang melakukan gugatan pidana atas izin yang dikeluarkan oleh mentri kehutanan tersebut. Proses keberatan dari masyarakat kepulauan meranti terhadap mentri kehutanan tidak ditanggapi oleh kementrian kehutanan sehingga memunculkan gejolak social ditengah masyarakat. (Mei 20011 Gambar 3. Lampiran Peta SK. terjadi pembakaran 2 escavator milik perusahaan) 327/Menhut‐II/2009 Blok Pulau Padang
Beberapa penyimpangan dalam penerbitan izin ini diantaranya: 1)Rekomendasi bupati bengkalis tidak mempertimbangkan rencana tata ruang wilayah kabupaten bengkalis 2)Pertimbangan tehnis dari dinas kehutanan provinsi riau dan Gubernur Riau tidak mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Provinsi Riau tetapi masih mempertimbangkan TGHK, 3)Badan planologi kehutanan dan Mentri kehutanan tidak mempertimbangkan TGHK serta mengabaikan saran kepala dinas kegutanan dan gubernur riau. 4)Studi amdal yang dibuat perusahaan tidak menjelaskan bahwa pada kawasan tersebut merupakan kawasan bergambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter dan harus dilindungi menurut aturan perundangan, serta tidak dijelaskan tentang dampak penurunan permukaan tanah yang berpotensi menenggelamkan pulau tersebut13. 5)Mentri kehutanan mengeluarkan izin dengan mengabaikan Rencana Tata Ruang Nasional, TGHK, dan kelayakan lingkungan. Tidak ada pertimbangan pemberian izin terhadap UU 27 tahun 2007 tentang tata ruang kawasan pesisir dan pulau kecil sebagai ekosistem yang rentan terhadap dampak lingkungan. Dari kelima penyimpangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa IUPHHK-HT melanggar 4 aturan perundangan yaitu: UU no 41 tentang kehutanan, UU 26 tahun 2007 tentang kehutanan, UU 27 tahun 2007 tentang penataan ruang kawasan pesisir dan pulau kecil, UU 32 tahun 2010 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Dari analisis spasial dapat diketahui bahwa pemberian Izin IUPHHK-HT pada blok pulau padang melanggar RTRWN, TGHK, RTRWP dan RTRWK diantaranya: 12 13
Raflis 2011, Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal Raflis 2010, Hipotesa tenggelamnya sebuah pulau
• •
•
•
Tehadap RTRWN : Dari 41.717 ha Izin yang dikeluarkan 28.160 ha atau 67,5% dari luas izin diantaranya ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh PP 26 tahun 2008 Terhadap TGHK Keseluruhan areal perizinan melanggar TGHK, IUPHHK-HT hanya boleh diberkan pada kawasan hutan produksi (HP), sebagian besar kawasan diperuntukkan sebagai kawasan budidaya tetapi bukan untuk IUPHHK-HT. Izin yang diperbolehkan pada kawasan ini hanyalah IUPHHK-HA dan Perkebunan. Terhadap RTRWP14 Dari 41.717 ha izin yang diperbolehkan hanya pada APK kehutanan yaitu seluas 24.118 ha atau 57,81% dari luas perizinan, 3.954 ha atau 9,48% diperuntukkan untuk perkebunan sedangkan 17.599 ha atau 32,71% merupakan kawasan lindung. Total pelanggaran terhadap RTRWP seluas 19.599 ha atau 42,19% dari luas izin Terhadap RTRWK Berdasarkan Perda No 19 tahun 2004 tentang RTRWK Bengkalis15 tidak ada alokasi kawasan untuk perizinan IUPHHKH-HT. Dari 41.717 ha perizinan ini 13.235 ha (31,73%) diantaranya diperuntukkan untuk kawasan budidaya perkebunan dan pertanian sedangkan 28.482 ha (68,27%) ditetapkan sebagai kawasan lindung. Dapat dikatakan bahwa IUPKHHKH-HT pada kawasan ini 100% melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
Keluarnya SK. 327/Menhut‐II/2009 setelah keluarnya UU 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional seharusnyalah sangsi pidana dalam UU No 26 tahun 2007 dapat diterapkan. Tindak Pidana penataan Ruang (lihat box 1). Hal ini dapat kita lihat penyimpangan pemberian izin serta pelanggaran yang konsisten terhadap RTRWN, TGHK, RTRWP dan RTRWK. Dari penyimpangan pemberian izin dan pelanggaran rencana tata ruang dapat dikatakan bahwa actor yang bertanggungjawab dalam pelanggaran ini adalah: 1)Mentri Kehutanan, 2)Gubernur Riau, 3)Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, 4)Bupati Bengkalis, 5)Kepala Dinas Kehutanan Bengkalis. Kelima actor ini bertanggungjawab atas pemberian izin yang melanggar tata ruang. 5. Penyimpangan dalam Penertiban Pola Ruang. Sampai saat ini hampir tidak ditemukan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai ditertibkan/ dicabut. Dari 592.004.ha Izin kehutanan, 363.329.ha izin perkebunan, yang tidak sesuai dengan RTRWP serta 672.118 ha izin kehutanan, 233.397.ha izin perkebunan, yang tidak sesuai dengan TGHK tidak pernah ditindak/ ditertibkan. Yang terjadi adalah upaya pemutihan pelanggaran tersebut dalam revisi RTRWP yang baru (Lihat bagian 2.2) Beberapa pelanggaran yang ditemukan namun tidak ada upaya penertiban diantaranya16: 1. Pelaksanaan kegiatan pertambangan oleh PT Riau Multi Investama, PT Budi indah Mulia Coal, dan PT Arara Abadi di kawasan hutan tidak sesuai dengan ketentuan berpotensi kerusakan hutan dan khusus untuk PT AA terdapat potensi tidak dibayarnya IHH (PSDH) senilai Rp924.146.900,00 dan DR senilai Rp1 .940.315.000,00. 2. PT Sawit Rokan Semesta membuka kawasan hutan untuk jalan perkebunan melanggar ketentuan yang merugikan negara sebesar Rp139.059.360,00 dan USD4 .213,92. 14
Perda No 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau Izin ini terdapat di kabupaten Kepulauan Meranti, karena kabupaten ini belum mempunyai RTRWK maka yang digunakan adalah RTRWK kabupaten Induk. 16 LHP BPK Nomor : 49/LHP/XVII/09/2009 dan LHP BPK Nomor : 33/LHP/XVII/02/2009 15
3. Pembangunan perkebunan sawit oleh PT Sinar Inti Sawit di Kabupaten Bengkalis tidak sesuai dengan ketentuan mengakibatkan penggunaan kawasan HP dan HPT menjadi areal perkebunan sawit PT SIS tidak sah dan menimbulkan potensi hilangnya kawasan hutanyang merugikan negara dari nilai tegakan kayu sebesar Rp l4.673.356.100,00 dan iuran kehutanan yang tidak terpungut yaitu PSDH sebesar Rp I.467.335.610,00 dan DR sebesar US$ 5 86.934,24. 4. Pembangunan perkebunan sawit oleh PT Padasa Enam Utama di Kabupaten Rokan Hulu dan Kampar tidak sesuai ketentuan mengakibatkan kawasan HPT Batu Gajah seluas +4.184,59 Ha digunakan tanpa izin yang sah. 5. Pembangunan perkebunan sawit pada PT Meskom Agro Sarimas di Kabupaten Bengkalis tidak sesuai dengan ketentuan mengakibatkan penggunaan kawasan HPK dan HPT seluas +6.659,05 Ha tidak sah dan merugikan negara berupa nilai tegakan kayu sebesar Rp32.403.5 I 5.013,48 dan USD477.014,33. 6. Perusahaan tambang batubara PT Citra Tambang Riau (PT CTR) belum memiliki izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan, namun sudah melaksanakan eksploitasi yang mengakibatkan potensi terjadinya kerusakan hutan diareal eksplorasi dan eksploitasi serta kerugian negara darinilai potensi tegakan kayu SebesarRp97.467.000,00 sertaiurankehutanan berupa PSDH dan DR masing-masing Rp9.746.700,00 dan USD1.743,00, terjadi karena Gubernur Riau menerbitkan izin kuasa pertambangan kepada PT CTR sebelum adanya izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan, PT CTR lalai dalam memenuhi kewajiban atas pemakaian kawasan hutan untuk pertambangan yang menjadi tanggung jawabnya, serta Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau tidak optimal dalam melakukan fungsi pengamanan Selain itu kasus korupsi pemberian izin yang tidak sesuai dengan ketentuan oleh mantan bupati pelalawan yang sudah divonis bersalah juga tidak dilanjutkan dengan upaya penertiban izin karena juga melanggar tata ruang (sampai saat ini masih operasional di lapangan). Di sisi lain departemen kehutanan justru mensyahkan izin yang dikeluarkan tersebut dengan menetapkan dengan surat keputusan mentri Upaya hokum yang dilakukan terhadap 14 perusahaan yang memiliki cacat perizinan oleh Polda riau pada tahun 2008 diakhiri dengan SP3 karena saksi ahli dari departemen kehutanan mengatakan bahwa izin tersebut legal secara hokum, sementara itu izin ini juga melanggar TGHK dan RTRWP yang diberikan pada kawasan bergambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter (menurut criteria dalam tata ruang masuk kedalam kawasan lindung). Terkait kasus ini Tim satgas mafia hokum menemukan beberapa kejanggalan dan kasusnya harus dibuka kembali 6. Melegalkan Pelanggaran Tata Ruang Beberapa inisiatif yang muncul akibat dorongan dunia internasional dimanfaatkan oleh departemen kehutanan untuk melegalkan pelanggaran dimasa lalu terhadap rencana tata ruang diantaranya: 6.1. Mekanisme Sertifikasi PHPL dan SVLK17 Sertifikasi PHPL dan SVLK merupakan instrumen kebijakan pemerintah Indonesia untuk merespon permintaan pasar, terutama pasar ekspor bahwa produk industri kehutanan menggunakan bahan baku dari sumber yang legal atau lestari. PHPL dan SVLK 17
Raflis 2011, Tinjauan Legalitas Perizinan dalam sertifikasi SVLK dan PHPL
dimaksudkan untuk melakukan lacak balak (tracebility)/ chain of custody sehingga asal usul kayu dapat dipertanggung jawabkan dari sumber yang tepat yaitu memenuhi (complience) peraturan dan UU di bidang Kehutanan dengan instansi terkait (Tenaga Kerja, Keuangan dan lain sebaginya). PHPL dan SVLK digunakan untuk memperoleh kepercayaan pasar internasional dan membuktikan bahwa kampanye yang kerap dituduh beberapa organisasi asing bahwa industri kayu Indonesia sebagian besar menggunakan bahan baku kayu ilegal adalah tidak benar disamping itu juga merupakan menjadi bagian dari upaya pemberantasan pembalakan liar dan mempromosikan penggunaan kayu legal. Mekanisme sertifikasi ini jika dilaksanakan dengan baik akan bermanfaat untuk perbaikan tata kelola kehutanan di Indonesia, akan tetapi oleh departemen kehutanan dimanfaatkan untuk melegalkan pelanggaran perizinan dimasa lalu dengan tidak dimasukkannya indicator legalitas kawasan sebagai indicator kunci sehingga perusahaan yang melanggar rencana tata ruang dapat diberikan sertifikasi SVLK dan PHPL. Indikator 1.1. Kepastian Kawasan Pemegang Ijin memiliki 3 pengertian diantaranya: a. Kepastian status areal UnitManajemen IUPHHK-HA/HT/HTI terhadap penggunaan lahan, tata ruang wilayah, dan tata guna hutan memberikan jaminan kepastian areal yang diusahakan. b. Kegiatan penataan batas merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam kerangka memperoleh pengakuan eksistensi areal IUPHHK-HA/HT/HTI, baik oleh masyarakat, pengguna lahan lainnya maupun oleh instansi terkait. c. Pal batas merupakan salah satu bentuk rambu yang memberikan pesan bahwa areal yang berada di dalamnya telah dibebani oleh ijin. Ketiga pengertian dalam indicator ini justru tidak menjawab persoalan legalitas kawasan pemegang izin. Terhadap pengertian dalam poin a) tidak dijelaskan dokumen tata ruang yang mana yang dipakai sebagai alat verifikasi, seharusnya dicantumkan “ Kesesuaian terhadap Tata Ruang: RTRWN, RTRWP, RTRWK18”. Sedangkan pengertian pada point b dan c merupakan kewajiban perusahaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan SK perizinannya. Penambahan Poin b dan c dalam indicator ini justru akan memperlemah pelanggaran yang ditemukan pada pengertian poin a. Indikator 1.1. Seharusnya merupakan indicator kunci yang tidak boleh dilanggar, karena jika indicator ini dilanggar maka Izin tersebut akan cacat hokum dan dapat dibatalkan melalui mekanisme pembatalan perizinan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Dari 4 IUPHHK-HT yang lulus sertifikasi SVLK dan PHPL di provinsi riau diantaranya: 1)PT Perawang Sukses Perkasa Industry, 2)PT Satria Perkasa Agung, 3)PT Bukit Batu Hutani Alam, 4) PT Sakato Pratama Makmur. Keempat Izin IUPHHK-HT ini melanggar RTRWN, TGHK dan RTRWP. 6.2. REDD+ dan Penundaan Pemberian Izin Baru 19 Kerjasama bilateral untuk penyelamatan hutan yang disepakati di Oslo, Norwegia, beberapa waktu lalu itu juga memberi keuntungan dari segi finansial bagi Indonesia. Pemerintah Norwegia bersedia menggelontorkan dana sekitar satu miliar dolar AS untuk 18 19
Raflis 2010, Perencanaan Kehutanan dan Rencana Tata Ruang di Provinsi Riau Raflis 2011, Analisis Moratorium Hutan Riau
pelestarian hutan Indonesia sebagai implementasi konsep REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation). Salah satu dari isi perjanjian tersebut adalah: menerapkan moratorium izin pengusahaan hutan baru yang akan berlaku selama dua tahun. Komitmen ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Kemudian diikuti oleh SK Mentri kehutanan No 323/Menhut-II/2011 tentang Peta Indikatif Penundaan pemberian izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain.(Peta Moratorium) Namun sangat disayangkan Peta Pola Ruang Wilayah Nasional dan Penunjukan Kawasan Hutan Tidak dijadikan rujukan dalam pembuatan peta ini. Disamping itu juga terjadi pengaburan beberapa istilah serta tidak adanya penjelasan yang memadai tentang mekanisme pembuatan peta tersebut. Peta moratorium ini secara tidak langsung mengabaikan Rencana Tata Ruang Nasional dan berpotensi memutihkan pelanggaran perizinan yang harus ditertibkan sesuai dengan amanat UU No 26 tahun 2007. Dari Analisis spasial peta moratorium terhadap RTRWN Table 2: Perbandingan Moratorium perizinan terhadap RTRWN di Provinsi Riau Moratorium Hutan Alam Hutan Alam dan Lahan Gambut Lahan Gambut Tidak di Moratorium Jumlah
RTRWN Jumlah Kawasan Kawasan Gap Budidaya Lindung Data 43.813 617.845 308 661.965 7.540 369.010 43 376.593 1.343.494 947.511 1.470 2.292.474 3.941.948 1.742.799 43.048 5.727.794 5.336.794 3.677.165 44.868 9.058.826
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa 1.394.847 ha kawasan yang di moratorium berada pada kawasan budidaya berdasarkan RTRWN, sementara itu 1.742.799 ha kawasan lindung justru tidak ditetapkan untuk moratorium. Kawasan lindung yang tidak dimoratorium pada umumnya berada pada kawasan bergambut sedangkan kawasan budidaya yang di moratorium berada pada perkebunan rakyat eksisting. 7. Perlawanan Secara Konstitusi terhadap UU Penataan Ruang. Adanya sangsi pidana dan pembatalan perizinan yang diatur dalam UU 26 tahun 2007 mendapat perlawanan secara sistimatik oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten melalui Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten dengan membenturkan UU Penataan Ruang dengan UU Otonomi Daerah. Disamping itu Departemen kehutanan mempertentangkan dengan UU Kehutanan. Baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten maupun departemen kehutanan merespon revisi rencana tata ruang provinsi dan kabupaten dengan mengabaikan rencana tata ruang nasional dengan mengamankan izin-izin yang telah diberikan tetapi ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam rencana tata ruang nasional yang harus dibatalkan menutut UU 26 tahun 2007.
7.1. Pemutihan Pelanggaran dalam penyusunan RTRWP Proses revisi rencana tata ruang provinsi dan kabupaten mengabaikan pedoman penyusunan rencana tata ruang dan tidak menjadikan tata ruang sebelumnya dan rencana tata ruang nasional sebagai acuan revisi tetapi melegalkan pelanggaran perizinan terhadap rencana tata ruang sebelumnya dan rencana tata ruang nasional yang dikenal sebagai pemutihan penyimpangan pemanfaatan ruang yang dilarang dalam UU 26 200720. Dari hasil analisis spasial ditemukan pelanggaran IUPHHK-HT terhadap TGHK ditemukan seluas 1.047.653 ha, terhadap perda no 10 tahun 1994 seluas 590,895 ha dan pelanggaran terhadap kawasan bergambut seluas 584.837 ha, disamping itu terdapat 1.017.954 ha izin IUPHHK-HT pada kawasan lindung dalam RTRWN21. Sekitar 844.191 ha (83,93% dari luas pelanggaran) IUPHHK-HT yang harus dicabut berdasarkan UU no 26 tahun 2007 diputihkan dalam draft RTRWP 2008-2028, dimana pada lokasi IUPHHKHT yang seharusnya dicabut izinnya disusulkan sebagai kawasan budidaya dalam draft RTRWP 2008-2028. (lihat tabel 3) Table 3. Pemutihan Pelanggaran dalam Draft RTRWP 2008‐2028 Keterangan IUPHHK-HT di Provinsi Riau IUPHHK-HT Melanggar RTRWN Pelanggaran IUPHHK-HT diputihkan dalam Draft RTRWP 2008-2028
Luas (ha) 1.868.615 1.017.954 844.191
% 100 54,48% 45,18%
7.2. Pembentukan Tim Terpadu Oleh Departemen Kehutanan UU no 26 tahun 2007 dan PP 26 tahun 2008 ternyata tidak ditindaklanjuti dengan kebijakan departemen kehutanan dengan merevisi fungsi kawasan hutan terhadap perubahan Rencana Tata Ruang Nasional. Kebijakan yang dikeluarkan adalah dengan mengeluarkan Permenhut No. P.28/ Menhut-II/2009 tentang persetujuan substansi kehutanan terhadap Rencana Tata Ruang Provinsi. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya PP No 10 Tahun 2010 tentang Persetujuan Substansi Perubahan Fungsi Kawasan Hutan terhadap RTRWP. Kriteria dan indicator yang digunakan sebagai dasar perubahan fungsi kawasan diantaranya dengan memperhatikan “Keabsahan perolehan hak dan perizinan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan22.” Poin ini bertentangan dengan pasal 37 UU 26 tahun 2007. Criteria ini dapat dikatakan merupakan pemutihan atas pelanggaran pemanfaatan ruang untuk melindungi izin yang sudah dikeluarkan oleh departemen kehutanan dengan melanggar rencana tata ruang maupun TGHK. 7.3. Pemutihan Pelanggaran terhadap TGHK 20
Penjelasan pasal 23 dan 26 UU 26 tahun 2007 Hasil analisis Spasial IUPHHK‐HT 2008 terhadap RTRWN, RTRWP, TGHK dan data kedalaman gambut. 22 matriks penentuan kriteria dan indikator (Penelitian Terpadu) Pemaduserasian dalam rapat TIM terpadu Pengkajian perubahan pemaduserasian TGHK dengan RTRWP riau di Hotel Pangrango2 Bogor pada tanggal 16 desember 2009 21
Bentuk pemutihan pelanggaran perizinan lainnya dapat dilihat pada Permenhut Nomor : P. 53/Menhut-II/200823 dan Nomor : P. 33/Menhut-II/2010 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi yang melegalkan pelanggaran IUPHHK-HT yang sudah terlanjur diberikan pada kawasan hutan produksi konversi (HPK) serta Permenhut Nomor : P. 34/Menhut-II/2010 24 yang membolehkan perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan produksi terbatas (HPT) menjadi hutan produksi(HP) dan atau hutan produksi konversi(HPK). 8. Potensi Korupsi dalam Penataan Ruang Pemberian izin pada kawasan yang tidak sesuai dengan aturan perundangan merupakan indikasi kuat bahwa terdapat praktek korupsi dalam setiap pembiaran atas pelanggaran yang dilakukan. Korupsi dalam penetapan zonasi kawasan hutan dalam rencana tata ruang diantanya:1) Menciptakan ketidakpastian terhadap zonasi kawasan hutan dengan mempertentangkan RTRWN, TGHK, RTRWP, RTRWK, sehingga ketika terjadi pelanggaran tidak bisa ditindak secara hukum, 2)Melakukan pemutihan pelanggaran perizinan terhadap TGHK, RTRWP dan RTRWK melalui revisi RTRWP maupun RTRWK, dilakukan untuk melindungi praktek korup yang terjadi atas pemberian izin yang melanggar aturan yang dilakukan sebelumnya. Perlindungan terhadap izin yang melanggar tata ruang ini dilanjutkan dengan upaya meloloskan izin-izin yang bermasalah secara hukum ini melalui mekanisme sertifikasi SVLK dan PHPL (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari). Sampai Juni 2011 sudah dilakukan sertifikasi terhadap 5 IUPHHK-HT di provinsi riau dengan predikat baik dan dinyatakan lulus sertifikasi. Hal ini dilanjutkan dengan diproteksinya izin izin yang bermasalah dalam Peta Moratorium yang ditetapkan dengan SK Mentri kehutanan No 323/Menhut-II/2011 Pada setiap tahapan penataan ruang rentan terjadi korupsi, hal ini disebabkan karena banyaknya kepentingan penguasaan ruang oleh sekelompok orang dari beberapa penyimpangan diatas dapat diidentifikasi beberapa praktek korupsi diantaranya: 1. Tahapan Penyusunan Tata Ruang.(Korupsi dalam Pembuatan Aturan) a. Pemutihan pelanggaran perizinan dalam rencana tata ruang sebelumnya dan Tata Guna Kawasan Hutan (TGHK) dalam draft RTRWP yang baru b. Menciptakan ketidakpastian fungsi kawasan dengan membiarkan gap antara RTRWN, TGHK dan RTRWP sehingga pelanggaran yang terjadi tidak bias ditertibkan. c. Melakukan penyusunan Rencana Tata Ruang dengan data yang tidak lengkap sehingga bias dijadikan alasan untuk membiarkan terjadinya pelanggaran dikemudian hari. d. Pembentukan Tim Terpadu oleh Departemen Kehutanan untuk melindungi/ memutihkan Perizinan yang terlanjur salah dimasa lalu. 2. Tahap Pelaksanaan Tata Ruang (Korupsi Perizinan) 23
Pasal 8 Apabila terdapat HPK dalam areal kerja IUPHHK‐HA/IUPHHK‐HT, maka pemanfaatan HPK oleh pemegang IUPHHK‐HA/IUPHHK‐HT diberikan sampai masa berlaku izin berakhir. 24 Pasal 9 ayat 1 huruf a. hutan produksi terbatas menjadi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi yang dapat dikonversi;
a. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang maupun TGHK b. Pemberian Pertimbangan tehnis Izin pemabfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP maupun TGHK c. Pemberian Rekomendasi atas izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP dan TGHK d. Pemberian izin lingkungan dan studi Amdal atas izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP dan TGHK 3. Tahap Penertiban Tata Ruang(Korupsi Penegakan Hukum) a. Tidak melakukan upaya hokum atau upaya hokum yang lemah untuk menertibkan pelanggaran RTRWP dan TGHK b. Adanya upaya pemutihan pelanggaran dengan membagun opini baru melalui sertifikasi SVLK dan PHPL dan Moratorium perizinan, seolah olah izin yang di sertifikasi dan tidak masuk dalam skema moratorium adalah legal. 9. Penutup Kepatuhan terhadap peraturan hukum dapat timbul dari beberapa sebab. Pertama, rasa takut terhadap ancaman sanksi dan paksaan, seperti pencabutan izin, hukuman kurungan, denda, dan sebagainya (hard enforcement). Kepatuhan hukum seperti ini sangat tergantung pada konsistensi aparat penegakan hukum. Sekali konsistensi itu dilanggar atau intensitas pengawasan menurun, maka potensi pelanggaran semakin besar. Dalam hal ini kepatuhan hukum masyarakat tergantung pada faktor aparat penegak hukum. Kedua, kepatuhan yang dilakukan atas keinginan masyarakat itu sendiri (soft enforcement). Dalam hal ini kepatuhan hukum timbul dari kesadaran masyarakat, yang dikenal sebagai "kesadaran hukum". Kedua sebab tersebut di atas sama pentingnya, walau untuk penegakan jangka panjang kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran hukum terbukti lebih efektif.25. Dari ketidaksesuaian fungsi kawasan hutan antara RTRWN, TGHK, RTRWP dan RTRWK sulit dilakukan proses penegakan hukum dan kesadaran hukum sulit untuk dilakukan ketika terdapat 4 aturan hukum yang bertentangan satu dengan yang lain. Ketentuan pidana tentang pemberi izin yang belum lazim dalam sistem hukum kita, terdapat dalam Pasal 73 ayat (1) menyatakan:"Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan dengan paling banyak Rp. 500.000.000" Unsur tindak pidana muncul berdasarkan asumsi bahwa selayaknya pejabat pemberi izin pasti mengetahui rencana tata ruang, dan logika hukum (rasio legis) tidak mungkin pejabat memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang karena izin itu sendiri merupakan instrumen pengendalian, dan pengendalian itu sendiri merupakan tugas dan wewenangnya. Apabila pejabat memberikan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, "patut diduga" terdapat unsur kolusi, korupsi dan nepotisme.26” 10. Daftar Pustaka: 1. Audit BPK 2008, LHP BPK Nomor : 33/LHP/XVII/02/2009 25 26
Perwira Indra, Ketentuan Sanksi dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Perwira Indra, Ketentuan Sanksi dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
2. Audit BPK 2008, LHP BPK Nomor : 49/LHP/XVII/09/2009 3. Daryono, “Pengalaman Penegakan Hukum yang Berkaitan dengan Kebakaran di ArealPerkebunan dan HTI Rawa Gambut” 4. Perda No 10 tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 5. Perwira Indra, Ketentuan Sanksi dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 6. Raflis 2010, Hipotesa tenggelamnya sebuah pulau 7. Raflis 2010, Perencanaan Kehutanan dan Rencana Tata Ruang di Provinsi Riau. 8. Raflis 2011, Analisis Moratorium Hutan Riau 9. Raflis 2011, Menyerahkan Hutan Kepangkuan Modal 10. Raflis 2011, Tinjauan Legalitas Perizinan dalam sertifikasi SVLK dan PHPL 11. Raflis, 2007, 10 Penyimpangan dalam Penyusunan Draft RTRWP Riau 12. Raflis, 2009, Problematik Sektor Kehutanan dan Perkebunan di Provinsi Riau 13. Tim Terpadu RTRWP Riau, 2009, Matriks penentuan kriteria dan indikator (Penelitian Terpadu) Pemaduserasian dalam rapat TIM terpadu Pengkajian perubahan pemaduserasian TGHK dengan RTRWP riau. 14. Transparency International 2010, Rantai Korupsi Kehutanan” 15. Zazali.A,” Mengawal Revisi Rencana Tata Ruang Provinsi (RTRWP) RiauUntuk menyelamatkan Hutan Alam Riau yang tersisa dari Ekspansi Perkebunan Besar Kelapa Sawit dan Akasia