SERAT CEMPORET
TIDAK DIPERJUALBELIKAN Proyek Bahan Pustaka Lokal Konten Berbasis Etnis Nusantara Perpustakaan Nasional, 2011
Serat
CEMPORET
oleh R. NG RANGGAWARSITA Alih aksara dan alih bahasa SUDIBJO Z. HADISUTJ1PTO
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Balai Pustaka
Perum Penerbitan dan Perceiakan BALAI PUSTAKA BP N o . 3334 H a k p e n g a r a n g dilindungi u n d a n g - u n d a n g Cetakan keenam
— 1987
Perancang kulit: Adjie Soesanto
KATA PENGANTAR
Serat Cemporet karya pujangga besar R. Ng. Ranggawarsita ini pernah dibicarakan oleh mendiang P r o f . Dr. R. Ng. Purbacaraka, dalam bukunya Kepustakaan Jawa. Ia memuji, namun sekaligus juga mencelanya, dengan mengatakan antara lain: bahasa Serat Cemporet terlalu tinggi. Pembicaraan orang desa menggunakan bahasa yang terlampau halus, sehingga terasa sangat dibuat-buat. Terlepas dari kritik tajam yang diungkapkan oleh P r o f . Dr. R. Ng. Purbacaraka, cerita yang dipaparkan dalam kitab ini benar-benar memikat dan memukau pembaca. Tokoh-tokoh yang ditampilkan, baik dari kalangan masyarakat manusia, binatang, maupun dari golongan dewa-dewa serta siluman berpadu dalam sebuah lakon yang padat kisahnya. Buku ini diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Jawa. Dengan bahasa Indonesia dimaksudkan agar cerita yang memukau ini dapat dinikmati oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Jawa. Sedangkan teks bahasa Jawanya disajikan bagi mereka yang masih ingin menikmati untaian bahasa plastis pujangga Ranggawarsita yang mempesona. Balai Pustaka
5
D A F T A R ISI
Kata Pengantar I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII XIV XV XVI XVII XVIII XIX XX XXI XXII XXIII XXIV XXV XXVI XXVII
237 245 250 255 262 269 274 287 296 303 309 316 320 325 330 333 338 343 347 353 358 362 367 371 374 381 387
Dhandhanggula, Sinom, Asmaradana, Kinanthi, Mijil, Gambuh, Dhandhanggula, Sinom, Asmaradana, Kinanti, Dhandhanggula, Maskumambang, Gambuh, Mijil, Asmaradana, Sinom, Pangkur, Pucung, Asmaradana, Sinom, Durma, Dhandhanggula, Asmaradana, Durma, Kinanthi, Sinom, Dhandhanggula,
7 PNRI
XXVIII XXIX XXX XXXI XXXII
Sinom, Pucung, Durma, Asmaradana, Sinom,
393 398 403 406 411
8 PNRI
I.
1. Songsonggora (Payung agung) sebagai lambang keselamatan, bagaikan winidyan (dikaruniai pengetahuan) yang sesuai benar dengan apa yang diidam-idamkan, namun tetap ringaringa (ragu-ragu) sewaktu menggubah, karena tidak darbe (memiliki) kemampuan yang tinggi, sehingga terlebih dahulu harus angruruhi (mencari) saat terbukanya kesadaran, yang mirong (melawan) kerisauan batin, dan jaga (menjaga) angkara murka, seraya mohon luwaring (semoga terbebas dari) kesedihan, agar jangan kongsi (sampai) bingung dalam menyusun jalannya cerita ini, dan demikianlah cerita ini ginupila (digubah). 2. Sesungguhnya buku cerita ini disusun atas kehendak Sri Baginda IX, yang bertakhta di kerajaan besar Surakarta. Sri Baginda termasyhur di dunia karena kesaktiannya dan sebagai perujudan utama akan sifat-sifat utama, suci, berhati sabar, sentosa, pemurah serta tulus cintanya kepada rakyat, sehingga besar maupun kecil mereka semua mendoakan kesejahteraan kerajaan Sri Baginda. 3. Sebagai awal dari cerita ini akan diungkapkan sebuah kias yang indah yang dapat dijadikan teladan dalam melakukan segala hal, asal saja dicari yang rahayu untuk memperingatkan kekhilafan budi, agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan mudah. Yang diungkapkan sebagai suri teladan adalah cerita lama, bagian akhir dari Pustaka Rajaweda, yakni tentang negara Purwacarita. 4. Negeri itu sangat aman sejahtera berkat wibawa raja, yang bergelar Sri Mahapunggung, yang kukuh berpegang pada C a t a t a n : P a d a bait p e r t a m a , k h u s u s d a l a m k a t a - k a t a y a n g d i c e t a k m i r i n g , t e r d a p a t s u k u kata suku-kata yang dapat dirangkaikan menjadi n a m a sang pujangga: Kadyan Ngabei Ranggawarsita
9 PNRI
darma dan peraturan serta ahli di bidang ilmu pengetahuan. Semula Raja Suwelacala yang menjadi awal cerita, mempunyai enam orang anak laki-laki yang berimbang kesaktiannya. 5. Yang sulung bernama Raden Jaka Punuhun. la tertarik pada bidang pertanian. Oleh karena itu ia naik takhta dan memerintah segenap masyarakat tani di daerah Pagelen dan sekitarnya. Di sanalah ia membangun sebuah kota sebagai pusat pemerintahan daerah Pagelen dan Kutaarja serta bergelar Sri Manuhun. 6. Anak yang kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba. Tertarik pada dunia perdagangan. Oleh karena itu layaklah kalau ia sangat tekun berusaha mengumpulkan modal, sehingga akhirnya menjadi raja saudagar, berpusat di Jepara dan bergelar Sri Sadana. 7. Anak yang ketiga bernama Raden Jaka Karungkala. Kegemarannya menjelajahi hutan belantara, berburu kijang, rusa, banteng, lembu dan memikat burung. Waktu tua menjadi raja di Kirata, memimpin para pemburu, para penangkap binatang, para pemelihara ternak dan semua pedagang daging. 8. Dulu kotanya di Prambanan dan bergelar Sri Kala. Juga terkenal dengan sebutan Kirataraja. Adiknya, yakni Jaka Tunggulmetung, kegemarannya mengarungi lautan mencari ikan, atau menyadap enau di waktu siang, seraya membuat garam di waktu malam. 9. Oleh karena itulah dahulu ia merajai segenap nelayan, mengumpulkan dan memimpin para penyadap serta menguasai para pembuat garam. Dulu pusatnya di Pagebangan dan bergelar Sri Malaras. Anak yang sumendi, yakni kakak si bungsu bernama Raden Jaka Petungtantara. Karena gemar beroleh puji dan samadi serta mempelajari ilmu kependetaan dan kepujanggaan istana. 10. Jadilah ia raja para maharesi. Segenap pendeta dan ajar, itiklah yang ia kuasai, seraya menghimpun para penghulu serta brahmana dan mengatur kehidupan beragama di Medangkawit. Oleh karena itu ia bergelar Raja Resi Sri Madewa. Pertapaannya berpusat di Pamagetan, yang terletak di lereng Gunung Lawu, dibangun sebagai sebuah kerajaan yang sejahtera. 10 PNRI
11. Adapun yang paling muda, lahir dari permaisuri, bernama Jaka Kanduyu. Kegemarannya berorganisasi, menghimpun dan mempersatukan rakyat kecil, sehingga setiap kali ada permusyawaratan selalu seia sekata dengan segenap sanak keluarga. Ia memang mahir membangkitkan semangat dan memikat hati, sehingga memperoleh kewibawaan. 12. Ketika ia berkelana memperluas daerah kekuasaan dengan membawa pasukan, terjadilah ia menang perang mengalahkan Sri Daneswara beserta patihnya yang muksa bersamasama. Setelah keduanya kalah, tak ada yang tampil lagi. Seluruh punggawa dari kerajaan itu sepakat untuk menyerah. Tak lama kemudian Raden Jaka Kanduyu menjadi raja di Purwacarita. 13. Berkat pahala Hyang Hutipati, ia dianugerahi kebijaksanaan yang sempurna. Kemudian berganti nama menjadi Sri Mahapunggung, meneruskan gelar raja yang dikalahkannya dalam peperangan, sekaligus untuk merahasiakan kesaktiannya. Upacara penobatannya dihadiri oleh para brahmana, resi dan raja-raja dari mancanegara. 14. Peristiwa itu terjadi pada masa Srawana, tahun Sadamuka, yakni tahun Surya: seribu tiga puluh satu, atau menurut hitungan tahun Candra: seribu enam puluh satu, yakni kurang lebih satu tahun setelah mengangkat saudara-saudaranya memerintah di kerajaannya masing-masing, lengkap dengan daerah kekuasaannya 15. Demikianlah, telah berlangsung beberapa waktu lamanya tanpa ada sesuatu halangan. Kini tersebutlah di Pagelen Sri Baginda Sri Manuhun, yang sedang merasa masygul. Sebabmusabab kesedihannya ialah, berputra dua orang, dua-duanya cacat. Seorang cebol dan yang seorang lagi wujil. Yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana. 16. Yang Wujil diberi nama Raden Jaka Sangara. Hal itu membuat ayahnya sangat malu, sehingga siang dan malam ia tiada hentinya bersembahyang, mohon petunjuk dewa. Yang didambakan ialah semoga dianugerahi anak laki-laki yang tampan, serba bisa mengatasi segala sesuatu, agar supaya tidak mencemaskan. 11 PNRI
17. Kini terdengarlah petunjuk dalam samadinya. " H a i , Sri Baginda, mintalah pertolongan kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon. Engkau pasti akan memperoleh sarana sehingga bisa mendapat anak laki-laki yang tampan dan pantas. Segeralah engkau ikhtiarkan, dan jangan membawa pengiring." 18. Sri Baginda keluar dari tempat samadinya, pergi tanpa pengiring dengan cara menyamar. Syahdan, bergantilah yang diceritakan, kyai buyut yang bertempat tinggal di Sendangkulon, bernama Buyut Samalangu, putra Buyut Salinga, cucu seorang biku sakti yang bernama Resi Samahita. 19. Buyut Samalangu itu beristri jin, mempunyai anak lakilaki dan perempuan. Yang tua perempuan bernama Rara Srini. Adiknya bernama Jaka Sarana, tampan. Karena pengaruh tapa, kedua anaknya tidak serupa dengan anak kelahiran desa, akan tetapi seperti putra raja. 20. Keduanya selalu menjadi hiasan berita di desa-desa dan dukuh-dukuh sekitar Sendangkulon. Orang meracau membayangkan perasaannya, betapa bahagianya andaikata terbalas cintanya. Akan tetapi tidak terpenuhi karena takut kepada Ki Buyut, yang bertabiat lemah lembut serta selalu berprihatin dalam sembahnya untuk menjaga keselamatan keluarga. 21. Tersebutlah Ki Buyut, yang tengah memohon sepenuh hati, bertafakur dalam sanggarnya. Hatinya terpusat kepada anak, semoga mendapat anugerah kemurahan dewata, terpilih oleh raja. Permohonannya terkabul bersamaan dengan turunnya wahyu di waktu malam. 22. Turunlah istrinya, jin yang bernama Dyah Ratna Sriwulan. Ia datang dengan tiba-tiba, dan Ki Buyut pun segera bersiap di tempat yang sepi. Setelah ditanya maksud kedatangannya, istrinya lalu memberi petunjuk dengan jelas. Suaminya diminta supaya membenahi rumah karena akan ada tamu. 23. Bukan tamu sembarang tamu dari golongan rakyat biasa, namun seorang raja yang menguasai sebuah kerajaan yang berpusat di Pagelen bergelar Sri Manuhun. Kedatangannya karena mentaati petunjuk. Ia sedang masygul karena kedua anaknya 12 PNRI
menderita cacat. Ia memperoleh petunjuk supaya menemuimu hendak minta isyarat. 24. Kelak pasti mempunyai putra yang tampan. Petunjuk itu benar-benar dilaksanakan. Ia datang seorang diri tanpa pengiring. Karena memang sudah kehendak dewata, dan sudah takdir Rara Srini menjadi perantara, ia diperistri oleh raja, untuk menurunkan keturunan yang mulia, sekaligus menarik saudara sekandung ikut merasakan kebahagiaan. 25. Mendengar hal itu Kyai Buyut gembira di hati, lalu ia bertanya, " W a h a i , Adinda. Bagaimana caranya agar hal itu bisa terlaksana secara meyakinkan sesuai dengan kehendaknya, terbuka secara serasi." Ratna Sriwulan menjawab, " J a n g a n kuatir! Sayalah yang akan mengatur dengan menggunakan siasat 26. atau sarana sebagai tabir. Anda menggunakan cara yang terbuka, pasti nanti ada tanda-tandanya yang berciri tulisan. Jelaskan apa adanya. Jika sudah ada buktinya, di situlah saatnya menerka-nerka isyarat, yang cocok dengan 4 petunjuk yang harus ditafsirkan. Lalu tinggallah puji dan d o a . " 27. Sesudah selesai memberi penjelasan, sang dewi lalu pamit kepada suami. Dalam sekejap mata ia telah lenyap, gaib tertutup suasana. Tersebutlah Kyai Buyut, ketika hari menjelang pagi ia memberi tahu anaknya supaya memperpatut tata rumah. Yang disuruh mengiakan. Keduanya mulai bersiap-siap. 28. Petanennya dibersihkan, semua diberi bunga yang harum, lantainya dihampari tikar berderet-deret, minuman diatur di atas para-para dengan sesajian lengkap dan penuh, tak ada yang mengecewakan. Ki Buyut diberi tahu oleh anaknya, bahwa segala persiapan di dalam rumah sudah selesai. Ia merasa gembira, lalu ke luar. 29. untuk menyongsong kedatangan raja. Tak lama kemudian bertemu di pagar rumah, kedua-duanya merasa gembira. Ki Buyut Samalangu gopoh-gopoh mempersilakan, dan raja pun setibanya di dukuh menanggapi dengan senang, lalu masuk ke rumah. Sri Baginda dipersilakan duduk di petanen yang sudah diatur. Dengan senang hati ia duduk tanpa ragu-ragu. 30. Kyai Buyut duduk menunduk di hadapannya bersama 13 PNRI
kedua orang anaknya. Beberapa saat kemudian Ki Buyut mengucapkan sambutan selamat datang, " A t a s kedatangan Sri Baginda, hamba merasa sangat beruntung bagaikan kedatangan dewata, yang menganugerahi kemuliaan tanpa bandingan melingkupi segala-galanya. 31. Sampai pohon-pohon dan daun-daun semuanya senyap. Semuanya bertambah indah dan semakin subur karena terlindung oleh kewibawaan manikam kerajaan yang luhur. Hamba bagaikan mimpi. Apakah gerangan yang paduka kehendaki sehingga datang menyamar seorang diri tanpa pengiring. Pagi-pagi benar tersesat dan berkenan mengunjungi pondok hamba. 32. Tiada lain hamba mohon aksama, siap menerima kemurkaan paduka, jika sekiranya kurang tata krama. Karena hamba hanyalah pacal dusun, yang tak mungkin tahu akan sopan sant u n . " Sri Baginda menjawab, "Sudahlah, jangan berkata demikian. Memang sengaja saya sampai di sini. Sebabnya ialah karena taat kepada p e t u n j u k , " Sri Baginda lalu menjelaskan duduk persoalannya. 33. Sejak awal hingga akhirnya bertemu. Kemudian ujarnya meminta, "Sesungguhnya aku mengharapkan pertolonganmu. Terserah bagaimana petunjukmu, aku m e n u r u t . " Mendengar penuturan Sri Baginda, Kyai Buyut benar-benar takjub, lalu berdatang sembah, "Duhai junjungan hamba, sungguh tak terbayangkan keajaiban kehendak dewa itu. Namun, apa kemampuan hamba? 34. Orang desa, lagi hanya petani jelata. Paling-paling hanya mengolah tanaman, menanam biji-bijian seadanya, seperti jepen, jali, jawawut, bijen, cantel, jatil, kedali sebagai mata pencarian untuk selama-lamanya. Mustahil untuk menduga-duga masalah kesaktian, yang benar-benar tidak mungkin melaksanakannya. Oleh karena itu hamba berserah diri 35. ke bawah kaki paduka, menghaturkan hidup dan mati, hanya karena merasa bertanggung jawab, namun hati ini terasa bergejolak. Mengapa dunia jadi terbalik, junjungan minta sarana kepada rakyatnya. Tentu tidak akan terjadi, lautan mengalir ke kubangan air. Demikianlah jika diumpamakan dengan air. 14 PNRI
36. Tidak sesuatu dengan kodrat dunia, dan keajaiban itu seribu langka. Sungguh hamba tidak dapat memikirkan kehendak Sri Baginda yang demikian. Yang terjadi sejak zaman dahulu kala bagi seorang raja, jika ada rakyatnya yang kekurangan sandang pangan maupun kegelapan budi, rajalah yang mengatasinya." 37. Raja Pagelen berkata lembut, " H a i , Paman. Meskipun demikian, namun aku ini mentaati petunjuk dewata, yang tidak akan ingkar meski kita mengingkarinya. Dewata selalu mengetahui segala gerak-gerik umatnya. Aku tetap mendesak dan berusaha sampai berhasil. Meskipun hanya sekedar kata-kata tanpa dasar yang aku peroleh, biarlah. Akan kuterima juga. 38. Asalkan engkau yang menjadi lantaran memberi sarana, saya akan merasa p u a s . " Ki Buyut berdatang sembah dengan suara lembut, " W a h a i , Sri Baginda. Jika demikian kehendak paduka,-hamba tidak dapat ingkar lagi, karena terdesak oleh kebutuhan dan karena ingin mengamini, hamba hendak menunjukkan jalan menurut cara orang kecil berdasarkan ilmu orang dusun. 39. Mudah-mudahan dapat memenuhi harapan, sesuai dengan petunjuk, yang gamblang dan tebang," Sri Baginda berkata lagi, " N a h , Paman! Jangan ragu-ragu. Laksanakanlah segera ilmumu seadanya." Ki Buyut segera mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil tertutup. 40. Sesudah diletakkan di hadapan Sri Baginda, Kyai Buyut lalu berdatang sembah, "Sri Baginda, sekarang silakan paduka mengambil sastra wedar tanpa aksara. Pilihlah satu yang paduka kehendaki." Sri Baginda heran sekali melihatnya karena caranya yang sangat ajaib dalam melakukan usaha mendapatkan petunjuk. 41. Beberapa saat kemudian Sri Baginda mengambil sastra wedar. Ketika diteliti tampak ada tulisannya, kemudian dibaca, dan berbunyi, " H a i , Sri Baginda! Sudilah engkau mengambil Srini sebagai sarana, yang akan merupakan pagar keselamatan." Sri Baginda terdiam. Ia belum dapat menangkap sasmita atau petunjuk yang tertulis itu. Relung kalbunya masih ruwet. 42. Akhirnya Sri Baginda berkata, " P a m a n Buyut. Coba jelaskan makna kalimat ini. Apa gerangan maksudnya. Aku 15 PNRI
belum dapat menangkap artinya." Kyai Buyut tersenyum berdatang sembah, " H a m b a mohon maaf. Seyogyanya paduka mengambil lagi. Siapa tahu, petunjuk tulisannya berlainan." Sri Baginda tidak menolak. 43. Kemudian mengambillagi selembar daun tal, lalu selembar lagi, hingga tiga kali. Semua tiada bedanya. Aksara dan kalimatnya sama, seperti yang sudah-sudah. Hati Sri Manuhun masih tetap bingung, akan tetapi kebingungannya tidak diperlihatkan. Sambil memikirkan pemecahannya, barangkali menemukan jawaban, Sri Baginda berpura-pura 44. mendekati Ki Buyut, lalu berkata lembut, " P a m a n , saya tertarik kepada kedua anak yang menghadap itu. Tingkah lakunya terampil. Yang laki-laki maupun yang perempuan serba luwes dan sangat pantas rupanya. Menilik ujudnya, mungkin kakak adik. Apakah itu a n a k - a n a k m u ? " 45. Kyai Buyut menjawab dengan sebenarnya, demikian, " D u h a i Sri Baginda. Benar ia anak hamba, kelahiran Sendangkulon, sudah lama berpisah dengan ibunya sehingga selalu menjadi buah hati. Karena hanya merekalah milik hamba, rasa-rasanya keduanya tidak dapat berpisah dari ayahnya. Oleh karena itu siang dan malam keduanya tetap berada di a s r a m a . " 46. Sri Baginda tersenyum seraya berkata lembut, "Sudah sepantasnya orang mempunyai anak, tentu begitu itu anggapannya. Menurut kata peribahasa, umpama kereweng kencana. Dasar kedua anakmu itu memang baik-baik. Sudah sepantasnya bagaikan nyawa. Sepintas lalu seperti kembar. Mana yang lebih tua, dan siapa namanya?" 47. Ki Buyut menjawab, "Yang tua Srini, sedangkan yang muda bernama S a r a n a . " Sri Baginda berkata menanggapi, "Kalau begitu, yang tua pantas memelihara isi istana. Sedangkan yang muda memelihara k e r a j a a n . " Mendengar ucapan Sri Baginda, Ki Buyut menyembah. Beberapa hari kemudian Sri Baginda pulang, diiringkan oleh Ki Buyut sekeluarga. 48. Setibanya di istana Sri Baginda memanggil pimpinan para menteri, yang merupakan orang kepercayaan dalam pemerintahan yakni Arya Pratala dan Arya Banawa. Keduanya adalah ipar 16 PNRI
Sri Baginda. Diceritakan, Arya Pratala itu, adiknya bernama Ken Pratiwi menjadi selir Sri Baginda. 49. .Dialah yang mempunyai anak laki-laki cebol, yang diberi nama Raden Jaka Pratana. Sedangkan Arya Banawa, kakak perempuannya bernama Rara Jahnawi, yang menjadi sesepuh para selir Sri Baginda, berputra laki-laki wujil, diberi nama Raden Jaka Sangara, yang sudah diceritakan tadi. Begitulah ceritanya. 50.. Pimpinan para menteri itu telah datang menghadap Sri Baginda. Mereka diberi tahu tentang segala peristiwa yang telah terjadi. Semua merasa heran. Sekarang atas kehendak Sri Baginda, Rara Srini diangkat menjadi permaisuri raja. Sedangkan kedua selir menjadi pendamping yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala pekerjaan di dalam istana. 51. Kyai Buyut diberi kedudukan sebagai sesepuh dan sebagai pendeta istana, diberi kekuasaan untuk memberikan pengajaran ke arah budi pekerti yang baik. Sarana diangkat jadi perdana menteri yang memegang kendali pemerintahan. Kedua Arya sebagai pendamping dalam memegang kekuasaan untuk mengatur segala macam pekerjaan pemegang hukum kerajaan. 52. Adik dari Ki Buyut yang bernama Umbul Samawana telah lama tiada dan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Jaka Gede, sekarang ditugasi menggantikan uwanya bergelar Buyut Agung berkedudukan di Sendangkulon, diangkat oleh Sri Baginda. Dengan demikian sejahteralah dukuh Sendangkulon karena penguasanya mahir membina kewibawaan. 53. Rara Srini, tidak lama antaranya hamil. Setelah cukup waktunya, lahirlah anaknya laki-laki, tampan dan mungil sehingga benar-benar seperti Sanghyang Asmara, menggembirakan hati Sri Baginda. Putranya disambut dan dilihat, keadaannya benar-benar pantas dan tampan, diberi nama Raden Jaka Pramana. 54. Rajaputra mendapat berkat dewata sehingga cepat menjadi besar, diberi emban bernama Ni Wilasita. Waktu berjalan terus, putra baginda sudah hampir menjelang akil balig. Semakin jelaslah rupanya akan menguasai inti insan yang terpuji. Serba suci serta mahir akan kaidah-kaidah hubungan yang tersamar, sehingga pantas menjadi seorang raja. 17
SERAT CEMPORET - 23
PNRI
II
1. Arkian diceritakan kerajaan Jepara, dahulu yang menjadi raja ialah Sri Sadana, yang sudah mempunyai seorang permaisuri, putri seorang nakoda besar dari Nusakencana bernama Dewi Rajataadi. Ayahnya bernama Datu Rukma. 2. Permaisuri Jepara telah melahirkan lima orang anak. Yang bungsu perempuan. Yang sulung laki-laki, tampan dan menarik bagaikan Hyang Darmajati, seimbang dengan namanya, yakni Raden Jaka Sudana. Gemar berprihatin dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ketika sudah dewasa bernama Arya Laksana. 3. Yang kedua juga laki-laki, tinggi besar dan diberi nama Raden Jaka Barana, semula kegemarannya berdagang. Setelah dewasa bernama Arya Anggliskara bergelar Daneswara. Anak yang tengah juga laki-laki bernama Raden Jaka Suwarna, tampan lagi menarik 4. bagaikan Arya Dananjaya. Kegemarannya menjadi tukang emas. Setelah dewasa bernama Anggliskarpa, namun lebih terkenal dengan sebutan Arya Artadaya. Si Sumendi, yakni kakak si bungsu juga laki-laki, tampan lagi menarik, ramah, sikapnya terbuka bagaikan Raden Narayana. 5. Kegemarannya menjadi belantik dan diberi nama Raden Jaka Pararta. Setelah dewasa bernama Raden Kartabasa, bergelar Artadiya! Putra bungsu Sri Baginda adalah perempuan, cantik manis bernama Dewi Suretna. 6. Setelah dewasa tidak dapat hemat dan cermat. Sangat pemboros menghabis-habiskan harta, karena kegemarannya setiap hari ialah menderma. Tabiatnya sangat pemurah. Ayahandanya selalu marah-marah. Terus-menerus diajar untuk berhemat 18 PNRI
tak juga berhasil, hingga menyebabkan kepedihan sebagaimana galibnya manusia. 7. Sampai-sampai diberi gelar Kusuma Rara Artati. Tujuannya ialah agar sifatnya yang pemboros bisa sembuh. Namun ternyata tetap ganas terhadap harta, sehingga tak dapat dipercaya untuk mengurus harta. Itu semua karena sifatnya yang pemurah, budinya yang kuat, tulus dan halus. Kemarahan ayah bundanya tidak pernah ia rasakan sampai ke hati. Meskipun demikian ia sangat taat kepada tata krama. 8. Hentikanlah dahulu di Jepara, berganti kini yang diceritakan, ialah kerajaan di Prambanan. Yang bertakhta bergelar Sri Kala. Ia sudah beristri seorang wanita berasal dari Samapura', bernama Dewi Jempina, putra Adipati Kalang Andaga. 9. Dengan Sri Baginda ia melahirkan empat orang anak. Yang sulung perempuan bernama Dewi Karagan. Adiknya bernama Dewi Jonggrangan. Kedua putri itu laksana kembar. Adiknya laki-laki juga tampan bagaikan Arya Setyaki dan diberi nama Raden Jaka Sangkala. 10. Ia gemar akan keperwiraan. Setelah dewasa bergelar Arya Prawasakala. Adiknya lagi, yakni yang bungsu, juga lakilaki tampan, ramah, pandai melawak membuat tawa sehingga menyenangkan hati. Rupanya mirip putra Dwarawati. Dengan Raden Samba tak ada bedanya. 11. Kegemarannya ialah kepada untaian kata yang indah. Mahir akan makna susastra. Namanya Raden Jaka Pramada, dan sesudah dewasa juga bernama Raden Prawasata. Akan tetapi pada waktu itu orang menyebutnya dengan panggilan Arya Bawaswara, terbawa oleh kegemarannya menyanyi, melagukan syair mendendangkan lagu yang penuh nasihat. 12. Kerajaan Pagebangan, itulah yang kini diceritakan. Pada waktu itu yang menjadi raja ialah Raden Tunggulametung, yang bergelar Sri Malaras, kawin dengan Ken Kadresan putri Sang Walagasi dan sudah melahirkan dua orang anak, keduanya lakilaki. 13. Yang sulung diberi nama Raden Jaka Suwarda, yang sesudah dewasa bergelar Kutaramanawa, terbawa oleh kegemaran19 PNRI
nya dan ketekunannya mengusahakan tercapainya apa yang dikehendaki seria membuat hal-hal yang mengagumkan. Perujudannya seperti Arya Seta putra Raja Wirata. 14. Adiknya bernama Jaka Pamekas, perujudannya seperti Arya Drestajumena. Setelah dewasa bernama Sunduk Prayoga, karena tabiatnya yang gemar kepada segala sesuatu yang serba tengah-tengah dalam melakukan segala hal. Semuanya serba dipertimbangkan secara patut dan tidak berlebihan. 15. Kerajaan Lawu Pamagetan, itulah yang sekarang diceritakan. Pada waktu itu yang bertakhta bernama Petungantara, tekun bertapa karena ilmu kependetaan yang digemarinya, sehingga terkenallah gelarnya Resi Sri Madewa. Ia kawin dengan anak Wiku Satmata. 16. Putri itu bernama Rara Kenya dan sudah melahirkan dua orang anak. Yang tua lahir perempuan diberi nama Dewi Rasi. Sangat kuat tapanya dan hidup menyendiri sejak muda karena tidak mau berumah tangga. Adiknya laki-laki bernama Raden Surasa, tampan dan lemah lembut budi bahasanya. 17. Ia mementingkan laku kependetaan. Tabiatnya suci, dan kehidupan batinnya seperti ayahandanya, yang menjadi maha resi. Setelah dewasa ia bergelar Resi Gana. Tersebutlah kini kerajaan Purwacarita. yang bertakhta di sana bergelar Sri Mahapunggung. 18. Istrinya ada tiga orang, semuanya apsara anak dewa Resi,merupakan anugerah ketika menang dalam peperangan. Istri yang pertama bernama Dewi Sundadari, yang kedua bernama Mandyadari, sedangkan yang termuda bernama Dewi Upalabi. Ketiganya sudah berputra. 19. Putra sulung yang lahir dari Dewi Sundadari adalah laki-laki bernama Raden Kandaga, yang sesudah dewasa bernama Raden Lembujawa atau Arya Kalayuda. Yang kedua lahir dari Dewi Mandyadari, juga laki-laki bernama Raden Kandawa. 20. Setelah dewasa bernama Raden Arya Rajaniti, kemudian setelah tua bernama Kaladenda. Putra raja yang tengah-tengah lahir dari Dyah Upalabi, bernama Raden Kandeya. Setelah besar 20 PNRI
berganti nama menjadi Arya Pralambang, kemudian setelah tua menggunakan nama Arya Kalandaru. 21. Kakak si bungsu lahir dari Dewi Sundadari lagi, bernama Raden Kandiyara, kemudian setelah besar bernama Raden Titiswara, lalu Kalajaya setelah tua. Anak yang bungsu lahir dari Dewi Upalabi seorang anak laki-laki bernama Raden Kandiyana. 22. Setelah dewasa menggunakan nama Arya Panitisastra dan kemudian setelah tua Kalapramuda. Putra perempuan lahir dari Dewi Mandudari. Benar-benar sangat cantik. Semula diberi nama Kusuma Rara Kandini, kemudian setelah dewasa disebut Retna Kenyapura, 23. dengan nama panggilan Dewi Candraswara. Tersebutlah setelah tiba masanya yang tak dapat ditunda lagi, ketiga permaisuri itu bersama-sama lenyap di angkasa. Tak ada seorang pun yang ingat akan anak-anaknya, sehingga menyebabkan Sri Baginda yang ditinggalkan termangu-mangu, hatinya merasa kesepian, sehingga tak dapat dipikir lagi kecuali lalu bersemadi dengan khusyuk dalam sanggar. 24. Kemudian mendapat petunjuk dewata, terdengar jelas di telinga kiri bahwa sekarang disarankan supaya menikah dengan sanak sendiri, yakni Dewi Wara Sulastri. la adalah putri raja Pandayanata. Setelah itu hilanglah kesedihan Sri Baginda karena telah terlaksana menikah lagi. 25. Permaisuri yang terakhir ini, yakni Dewi Wara Sulastri telah melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat tampan mengalahkan keindahan mayapada dan telah diberi nama, yakni Raden Kandiawan. Ayah bundanya sangat sayang dan diharapkan kelak menggantikan takhta ayahnya. 26. Pada waktu itu kebetulan bersamaan waktunya dengan penobatan adik sang permaisuri yang bernama Raden Sadewa menjadi raja di Pajang Pengging menggantikan ayahnya dengan berganti nama menjadi Sri Baginda Darmawangsa, bergelar Andayapati atau Andayaningrat 1. 27. Sekarang kembali menceritakan kerajaan Pagelen. Putra raja mulai menunjukkan sifat-sifat birahi sehingga menyebabkan ayah bundanya sangat gembira. Rasa-rasanya sudah saat21 PNRI
nya pantas untuk berumah tangga, hendak dijodohkan dengan putri raja. Dan yang diharapkan tak lain ialah putri dari Jepara. 28. Tak lain ialah Dewi Suretna, yang rupanya sudah seimbang benar. Lebih-lebih karena masih saudara dan umurnya juga seimbang. Pasti tak akan mengecewakan, dan tak mungkin akan ditolak. Demikianlah setelah tercapai kata sepakat, Sri Baginda Sri Manuhun menunjuk yang akan diutus, tak lain ialah Patih Sarana. Ia segera berangkat dengan membawa sepucuk surat. 29. Segera setelah sampai di Jepara, diiringkan menghadap Sri Baginda. Surat sudah diterima lalu dibaca. Maksud yang terkandung di dalamnya sesuai dengan kehendak Sri Baginda. Jawabannya dibawa serta waktu pulang. Intinya berisi, bahwa semua maksud telah disetujui. Setibanya di Pagelen jawaban itu segera diserahkan. 30. Pesan yang disampaikan di luar surat, yakni yang dipesankan kepada patih, tak ada yang terlupakan, semua disampaikan. Sri Baginda merasa gembira. Kemudian rajaputra diberitahu tentang perkawinannya dengan sanak sendiri, yakni putri Jepara yang bernama Dewi Suretna. 31. Ternyata rajaputra menolak. Ia tidak bersedia menjalani jika kedua orang kakaknya belum ada yang beristri. Hati Sri Baginda tersentak, bingung, jalan apa yang harus ditempuh agar terlaksana mengawinkan kedua anaknya karena keduanya dikodratkan cacat 32. Sebentar memeras pikiran, lalu mendapat ilham untuk memanggil mentuanya. Setelah menghadap lalu diberitahu tentang masalah yang akhirnya menjadi penghalang. Yakni jawaban rajaputra yang tidak mau beristri jika kedua kakaknya ternyata masih membujang. 33. Yang menjadi penghalang, bagaimana mungkin mereka beristri karena keduanya cacat. Mendengar persoalan tersebut mentua Sri Baginda segera mengheningkan cipta. Kemudian datanglah istrinya yang peri, memberi keterangan bahwa kedua putraraja yang cacat itu, yakni yang cebol dan wujil, kelak akan mendapat jodoh melalui keajaiban. 34. Keterangan dari istrinya yang peri itu telah disampaikan 22 PNRI
kepada Sri Baginda dan berhasil melenyapkan kepedihan hati. Sri Baginda setelah mendengar keterangan itu bagaikan daun layu tertimpa hujan gerimis di musim keempat, sehingga mekarlah pucuk daun semi bunga, pohon menghijau indah sedap dipandang. 35. Hentikanlah dahulu sejenak karena akan ada pergantian cerita, yakni di kerajaan Prambanan. Raja Sri Kala yang hendak menghibur diri pergi ke hutan berburu kijang serta rusa, Sri Baginda beristirahat di bekas istana Raja Baka. 36. Barisan pemburu dan pemikat serta tuaburu yang mengiring sudah siap sedia dan diperintahkan membagi tugas. Beberapa lamanya berlangsung perburuan itu, namun Sri Baginda merasa kecewa karena para pemburu hanya memperoleh hasil sedikit. Pulanglah Sri Baginda dengan perasaan tidak puas. 37. Ketika tiba di kota secara kebetulan mengetahui perbuatan yang serampangan. Pada waktu itu Raden Arya Prawasakala menebang dahan-dahan beringin yang menutup jalan. Semua ditebang habis. Sri Baginda terkejut melihatnya. Tambahan pula ia mendengar suara rajaputra yang muda. 38. Pada waktu itu Raden Arya Prawasata sedang mendendangkan lagu merdu yang syairnya menggambarkan suasana hutan dalam lagu Jaludatagati. Sri Baginda semakin kesal. Karena marahnya kepada rajaputra, Sri Baginda keterlepasan berkata, " A n a k k u itu tampan-tampan akan tetapi mengapa kejangkitan watak buruk. 39. Yang seorang sok pemberani. Segala tingkah lakunya tidak sabar, seperti banteng lepas di padang. Yang muda juga sok pintar. Pagi sore berdendang tiada hentinya mengoceh seperti burung. Sedangkan burung beo pun tidak demikian!" 40. Ucapan Sri Baginda itu menjadi kenyataan. Ucapan terlarang jadi terbukti. Kini kedua putranya mengalami salah rupa. Yang tua benar-benar menjadi banteng besar. Putra yang muda menjadi burung beo berbulu hitam kehijau-hijauan. Akan tetapi keduanya masih bisa berkata-kata. 41. Keduanya teramat sedih dan merasa mendapat amarah batin sehingga terkena oleh kutukan ayahnya. Lalu keduanya bersama-sama menghadap Sri Baginda. Dengan kata-kata yang me23 PNRI
milukan keduanya mohon ampun agar dapat pulih dari ujudnya yang salah. Ketika Sri Baginda melihatnya, ia tertegun heran, hatinya bingung.
24 PNRI
III
1. Raja berkata lembut, " H a i , nanti dulu. Aku ingin bertanya. Siapakah sebenarnya engkau berdua ini. Dua ekor binatang hutan tetapi anehnya dapat berkata-kata seperti layaknya manusia?" 2. Keduanya menjawab bersama-sama, "Aduhai junjungan hamba, mengapa gerangan benar-benar lupa terhadap suara putra paduka. Semoga dimaklumi bahwa yang menjadi banteng ini, adalah hamba Arya Prawasakala. 3. Yang berujud burung beo, adalah hamba Prawasata. Mengapa hamba menjadi begini, benar-benar hamba tidak tahu. Hamba mohon ampun, dan mohon diruwat agar dapat kembali lagi menjadi manusia." 4. Bergejolak hati Sri Baginda. Tertegun seraya sangat sedih dan merasa bersalah karena telah menyumpahi kedua putranya. Tak menduga akan berakibat buruk demikian. 5. Kini atas kehendak dewata, Sri Baginda mendengar petunjuk yang jelas, berdesing di telinga kanan, " H a i , Sri Baginda, jangan gundah tentang nasib buruk putramu. Terimalah sebagai takdir. 6. Akan tiba masanya kelak melalui pertemuan jodoh antara rajaputra Pagelen dengan putri Jepara, yang sudah ditakdirkan menjadi jodohnya. Mereka bertemu di Medangsewu melalui keajaiban dewata. 7. Sekarang perintahkanlah keduanya bertapa atau berprihatin menyamar diri untuk sementara. Yang tua tugasnya berdana tenaga. Berat maupun ringan dilakukan untuk menolong orangorang yang mengalami kesusahan maupun kelelahan karena berjalan. Itulah yang akan menjadi jalan kesembuhannya. 8. Sedangkan yang muda sebaiknya memberi bantuan 25 PNRI
dengan kata-kata, memberi penjelasan kepada orang-orang yang bertanya, menunjukkan jalan orang-orang yang tersesat, memberi keterangan kepada orang yang ragu-ragu, memperlihatkan sesuatu yang akan dialami. Itulah yang akan menjadi jalan permohonannya terkabul. 9. Jika ada yang bertanya, jawablah bahwa dirinya adalah burung beo hutan biasa. Mengapa dapat berkata-kata, katakanlah, hanya karena meniru-niru belaka. Jika sudah demikian, ambillah burung-burung yang lain sebagai sahabat agar mengerti bahasa mereka. 10. Pada akhirnya nanti, sebaiknya menjual suara ke wilayah Pagelen. Lebih baik lagi kalau bisa mengabdi kepada Jaka Pramana. Akan tetapi jika ditanya jangan mengaku bahwa dirinya adalah rajaputra P r a m b a n a n . " 11. Suara yang memberi petunjuk telah berakhir. Demikianlah Sri Baginda, telah memberi penjelasan kepada kedua putranya sesuai dengan_petunjuk yang diterima dan menganjurkan supaya melaksanakannya. Mudah-mudahan mendapat pertolongan dari kemurahan dewata. 12. Kedua putranya lalu berpamitan dan sesudah mendapat izin lalu berangkat. Sri Baginda tampak tertegun sayu karena rasa ibanya. Peristiwa itu kemudian terdengar oleh anaknya yang tua, yakni Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan, 13. bahwa kedua adiknya mengalami bencana berganti rupa, dan akhirnya terusir, entah pergi ke mana. Kedua putri itu hatinya teramat gundah dan duka cita membayangkan derita adiknya. 14. Mereka tak dapat menahan lagi cucurnya air mata yang semakin deras, dan akhirnya timbullah kemauannya yang tak tertahan lagi untuk pergi mencari kepergian adik-adiknya. Tengah malam keduanya berangkat melalui gorong-gorong air. 15. Tak ada seorang pun yang mengetahui sampai mereka tiba di luar kota. Selanjutnya mereka berjalan menyimpang dari jalan yang biasa dilalui orang, menyusup-nyusup hutan melewati semak-belukar menerjang jurang curam yang puaka tanpa mengindahkan bahaya. 26 PNRI
16. Ketika fajar pagi hampir menyingsing, tampaklah citra bayangan cahaya menerpa rata mendung dan kabut pagi. Mega di langit semburat ungu, selaras keindahan di dalam puri. 17. Ketika siang hampir menjelang, terdengarlah kokok ayam hutan, berbaur hingar suara burung bagai para abdi bangun tidur di waktu pagi, pergi ke kolam mengambil air. Keduanya teringat keadaan di istana, sehingga mereka berjalan sambil sebentarsebentar menoleh ke belakang. 18. Raja siang telah lahir. Semua yang tumbuh di hutan telah nyata kelihatan, membuat hati kedua remaja putri itu cemas kalau-kalau terkejar oleh penyusul. Mereka lalu mencari tempat untuk bersembunyi ke dalam jurang yang curam tanpa mengindahkan bahaya yang mungkin mengancam dirinya. 19. Keduanya memang sudah bertekad lebih baik mati kalau tidak memperoleh berita di mana gerangan tempat adiknya. Demikianlah apabila dewata sedang menghendakinya, kedua putri itu melihat mata air memercik-memercik dari sela-sela batu, membuat sang dewi asyik melihat. 20. Di situlah keduanya beristirahat. Karena lelah dan letih keduanya tertidur sampai matahari setinggi penggalah. Ketika mereka terbangun, tak alang kepalang mereka terkejut karena jurang yang curam telah lenyap dan tampaklah istana emas teramat indah. 21. Hiasan di dalam istana bagaikan puri tempat para putri, namun siapakah gerangan pemiliknya? Kedua putri itu takjub akan tetapi juga takut. Tak lama kemudian ada wanita cantik muncul tak karuan dari mana datangnya. 22. Ada beberapa orang yang mengiringkannya, semuanya wanita, juga cantik-cantik parasnya membawa tempat sirih dan peludahan. Kedua putri itu menduga bahwa yang datang adalah bidadari. Kedua putri itu ragu-ragu hendak bergeser dari tempatnya karena sudah terlanjur didekati 23. seraya disambut dengan kata-kata lembut merdu, " D u h a i kedua Anakku, mengapa engkau was-was, dijemput malahan hendak pergi. Kalian hendak ke mana? Jangan engkau kuatir. 27 PNRI
24. Aku hendak berkata terus terang. Dengarkanlah wahai anakku, dan ketahuilah bahwa aku ini memang bidadari. Namaku Dewi Mulat, putra Batara Caksu keturunan Hyang Darmadewa. 25. Aku bertempat tinggal di sini ini, sesungguhnya untuk menjaga seisi hutan. Peristirahatan di dalam jurang ini dibangun oleh ayah ketika masih bertapa dengan kedudukan sebagai biku, dan dibangun sambil melakukan tapa. 26. Tapanya diterima oleh dewata yang mulia, sehingga ia mendapat perkenan untuk berpadu dengan para dewa, dan di sana dapat bertemu kembali dengan ibunda Dewi Roma, dan aku ditinggalkan di sini menunggu sanggar pemujaan ayah, 27. hanya ditemani oleh tiga orang perempuan, ubon-ubon, endang dan sonlrang (= tingkat-tingkat murid perempuan di pertapaan). Yang laki-laki hanya cantrik dan cekel saja. Hidup demikian ini kalau aku rasakan semakin lama semakin menyedihkan, yakni pedihnya hidup sebatang kara yang selalu gelisah tak berkesudahan. 28. Kemudian atas kemurahan Hyang Utipati turunlah Dewi Uma memberi petunjuk yang jelas, bahwa sesungguhnya memikirkan kesedihan itu tak ada manfaatnya. Perasaan sedih itu harus diterima dengan .perasaan pasrah, agar supaya keprihatinan akan diterima sebagai laku. 29. Sekarang engkau,aku izinkan untuk melengkapi jumlah bidadari, akan tetapi masih harus tetap tinggal di sini untuk menjagai tempat ini sebagai yang disembah-sembah oleh para siluman dan makhluk halus penghuni sepanjang jurang ini. 30. Perintahlah mereka. Pasti akan menjadi kawan serumah dalam istana emas ini. Nah lihatlah, apa yang tampak olehmu. Seketika itu juga tampaklah di tempat ini, di dalam hutan ada istana emas yang indah terhias beraneka macam ratna. 31. Aku benar-benar takjub, namun hati ini masih tetap gundah dan pilu. Kemudian Dewi Uma berkata lagi, Lihat dan kuatkan hatimu! Tak usah merasa was-was dan cemas. Yang akan engkau temui di sini hanya kemuliaan yang serba utama. 32. Terimalah manik maya ini yang akan menjadi sumber penghidupan untuk memerintah semua makhluk halus. Begitu aku 28 PNRI
terima, Batari Uma langsung gaib. Bersama dengan itu datanglah para raja siluman. 33. Mereka datang menghadap dan menyembah. Mereka sudah tidak ragu-ragu lagi bahwa akulah yang berkuasa memerintah mereka. Oleh karena itu, wahai kedua anakku, kuatkanlah hatimu dan jangan sampai salah terima. Kedatanganku secara mendadak ini 34. sesungguhnya hendak memberi petunjuk, bahwa saudara-saudaramu itu akan sembuh. Kesembuhannya juga melalui cara yang aneh. Tunggulah di sini saja seraya engkau bertapa untuk sementara. 35. Jika sudah tiba saatnya mendapat pertolongan, pasti ada yang terasa, baik dengan perantaraan cipta, pelambang, terlihat atau terdengar. Pada saat itulah akan aku jelaskan." Kedua putri itu menurut, lalu bercampur dengan para siluman. 36. Syahdan di negeri Prambanan. Raja Sri Kala sekarang hatinya benar-benar tergoncang karena lenyapnya kedua raja putri, Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan, 37. yang pergi meninggalkan istana tak tentu arah tujuannya, hanya berdua saja tanpa teman. Karenanya sangat menggundahkan dan mencemaskan ayah bundanya, sehingga bertambah resah gelisah. 38. Sekejap ia menjerit, hampir-hampir melayanglah nyawanya seketika. Demikian pula para abdi perempuan, semua menangis memilukan hati sehingga membuat perasaan Sri Baginda semakin kalut, tak tahu apa yang harus diperbuat karena hiruk pikuknya suasana. 39. Sadar sejenak termangu lalu berusaha melenyapkan suasana sendu dengan menghibur permaisuri serta meredakan suara tangis. Kemudian menunjuk seseorang agar memanggil Patih Tumenggung Anila, adik permaisuri. 40. Tak lama antaranya telah datang menghadap Sri Baginda. Kepada patih yang selalu menjadi wakil raja itu, Sri Baginda menjelaskan segala sesuatu yang menimbulkan kesedihan sehingga semuanya menjadi kalut dan semakin bertambah lagi sejak kedua putrinya lenyap. 29 PNRI
41. Kedua putri pergi di tengah malam tanpa teman, tidak menentu arah tujuannya. Kemudian Sri Baginda bersabda, " H a i , Patih, jika engkau setuju, yang aku perintahkan mencari adalah anakmu si Margana. Kalau ia berhasil menemukan mereka, 42. aku berjanji, kelak, yang mana pun yang dipilih, pasti aku anugerahkan." Ketika didengarnya sabda Sri Baginda, patih menyembah seraya menangis, sehingga yang melihatnya turut mencucurkan air mata. 43. Sri Baginda bersabda lembut, "Sudahlah, jangan terlampau dirasakan, karena hanya akan menambah kesedihan saja. Sekarang keluarlah dan sampaikanlah perintahku kepada anakmu. Berangkatlah segera, dan jangan membawa pengiring banyak-banyak. 44. Aku turut m e n d o a k a n . " Patih menyanggupi, lalu ke luar. Setibanya di luar istana ia langsung pulang ke rumahnya dan segera memberi tahu putranya akan segala kehendak Sri Baginda. 45. Kini ditugasi supaya mencari kedua orang putri dengan janji akan dianugerahkan, yang mana saja yang menjadi pilihan. Raden Margana menyatakan kesanggupannya, lalu segera bersiapsiap idan berangkat. 46. Ia berangkat seorang diri, tanpa teman dan dengan cara menyamar. Ia mencoba mencari warta. Perjalanannya terluntalunta dan teramat sengsara. Perjalanannya itu benar-benar menyedihkan. 47. Tersebutlah Sri Baginda, kesedihannya tidak pernah mereda. Kemudian bersamadi di dalam sanggar agar memperoleh petunjuk akan kehendak Yang Maha Kuasa serta ingin mengetahui di mana gerangan kedua putrinya yang hilang tak tentu rimbanya. 48. Dewata berkenan memberi petunjuk berkat kesentosaan hati Sri Baginda. Bersamaan dengan itu datanglah bidadari Dewi Mulat, yang memberi penjelasan bahwa kedua putri Sri Baginda 49. telah ditolong, diangkat menjadi anak dengan cara hidup berkumpul dengan para siluman. Sudah menjadi kehendak dewata, bahwa kelak sesudah tiba saatnya akan bertemu jodoh 30 PNRI
sesama putra raja. Perjodohannya berlangsung melalui cara yang ajaib. 50. Demikianlah kedatangan Dewi Mulat seraya menghibur mereka yang sedang mengalami kesedihan, diminta agar supaya berserah diri kepada takdir. Atas pertanyaan ia menjelaskan bahwa dirinya adalah bidadari bernama Dewi Mulat, putri Sanghyang Caksu. 51. Sri Baginda mendekat dan menyampaikan puji-pujian. Dewi Mulat menanggapinya sejenak, kemudian ia gaib. Demikianlah kesedihan di istana Prambanan telah lenyap, semuanya merasa bersyukur, disertai rasa pasrah.
31 PNRI
IV
1. Tersebutlah di Negeri Jepara, kini RajaSri Sadana selalu berikhtiar memberi tuntunan kepada putrinya, Dewi Suretna, agar dapat berlaku hemat dan teliti. 2. Akan tetapi nyata sekali tidak ada hasilnya. Apa yang diperbuat dengan uang dan harta hanya memperturutkan kegemarannya memberikan dana. Sehari-hari memberi pertolongan atau ganjaran kepada orang-orang yang hidupnya susah. Uang mengalir terus 3. menyebabkan pemborosan terhadap harta kekayaan negara, karena selalu disebar. Akan kemurahan hati putrinya yang berlebihan itu, ayahnya merasa kesal dan akhirnya berubah bersemu marah. 4. Putrinya tidak diperbolehkan menguasai sarana kesejahteraan. Maksud ayahnya tak lain ialah agar dapat menghentikan kebiasaannya. Lebih-lebih ia sedang dipingit dalam menghadapi hari perkawinannya 5. dengan putra kakanda raja di Pagelen yang lahir dari permaisuri. Sri Baginda kuatir kalau-kalau menimbulkan kekecewaan dalam rencana perkawinan itu. Jika diketahui tabiatnya yang demikian, yakni pemboros, tentu akan menjadi celaan yang memalukan. 6. Karena merasa kesal dan masgul, sang dewi mengurung diri di dalam kamarnya. Ia kesal karena tidak diizinkan memberi pertolongan kepada orang-orang yang menderita, padahal mereka itu sesama hidup di dunia. 7. Yang ia pikirkan adalah rasa malunya, karena akan kelihatan bahwa dirinya tidak mantap menepati rasa asihnya sebagai seorang putri utama yang dimasyhurkan sejak zaman dahulu kala, yang ditandai dengan sifat asih dan pemurah 32 PNRI
8. terhadap sesama manusia dengan jalan memberikan kewibawaannya untuk menambah martabat dan kesejahteraan negerinya, sehingga rakyat tidak berpaling, perasaan bakti mereka tetap tulus, sehingga akhirnya dapat menjaga kedaulatan. 9. Karena tidak dapat terus melaksanakan kehendaknya itu, sang dewi selalu kelihatan kusut dan muram, lenyap cahaya matanya karena merasakan kemurkaan ayahnya. Lebih-lebih ia mendengar pembicaraan ayahnya bahwa dirinya akan dipersandingkan 10. atau dijodohkan dengan saudara sepupu, putra kerajaan Pagelen dengan dalih mempertautkan tali silaturahmi. Akibatnya, sang dewi menjadi semakin sedih, lunglai lesu bagaikan tak berurat lagi. 11. Demikianlah kesimpulannya, sehingga tanpa ragu-ragu lagi ia melupakan segala macam bahaya, berkeras menuruti kehendak hatinya yang sudah tidak sabar lagi, padahal hanya karena salah duga sipi kira, 12. dan keliru mendengar berita yang belum nyata, bahwa dirinya, menurut kehendak ayahnya akan dijodohkan kelak dengan putra Raja Pagelen dari permaisuri. 13. Padahal menurut cerita yang ia dengar, putra Pagelen itu semuanya menderita cacat tubuh, cebol dan wujil sehingga tidak pantas bersanding dengan seorang putri. Oleh karena itulah sang dewi merasa segan untuk menerimanya. 14. Keadaannya serba susah. Menolak berarti salah, akan tetapi jika diturut, diri merasa malu. Sedangkan kemurkaan ayahnya yang selalu memerintahkan agar hemat dan cermat, tidak terlalu menyiksa hatinya, karena hal itu sudah lumrah dalam kehidupan ini. 15. Hanya satu yang ia bingung. Ialah tentang perkawinannya. Jika sampai terjadi dijodohkan dengan orang cebol atau wujil, rasanya lebih baik dibunuh. Itulah sebabnya ia selalu berpikir. 16. Akhirnya berketetapan, hanya kenekatan saja yang akan dilaksanakan. Pikirnya telah pasti, yakni mati dengan mengSERAT CEMPORET
33
-
PNRI
gantung diri di hutan Krendawahana, tiadalah lagi pertimbangan lainnya. 17. Akhirnya ia pergi diam-diam di waktu malam, seorang diri tanpa teman. Dengan sembunyi-sembunyi ia ke luar, tak ada seorang pun mengetahuinya. Lolosnya sang dewi benar-benar seperti digerakkan oleh dewata. 18. Sang dewi tidak melalui jalan-jalan biasa, dan hanya berjalan di waktu malam. Jika siang telah datang, ia bersembunyi di dalam jurang yang curam, karena takut terkejar oleh pasukan yang mencarinya. 19. Dewi Suretna terlunta-lunta dalam perjalanannya dan selalu menyusup-nyusup dalam hutan. Tinggalkanlah dahulu yang lolos di tengah malam, tersebutlah di negeri Jepara. Sepeninggal sang dewi 20. ayah bundanya gundah gulana. Hatinya teramat sedih. Rakyat pun turut kebingungan. Banyak yang menangis menghibahiba, atau tercenung mematung kebingungan teringat kepada yang meninggalkan puri. 21. Mereka mencarinya di semua penjuru, namun sepi tiada tanda-tanda pelacakan. Raja Jepara segera memerintahkan rakyatnya untuk mencari. Ada yang mengendarai kuda, ada pula yang berlari-lari, 22. ke seluruh pelosok kota dan desa-desa, namun belum juga ditemukan. Kemudian menugasi putranya, yakni Raden Sudana agar segera menyusul ke mana perginya si adik Dewi Suretna. 23. Dipesan harus berhasil, diberi teman seorang sentana sesepuh bernama Arya Tiron. Keduanya segera bersiap-siap. Sesudah mohon diri lalu berangkat tanpa pengiring. 24. Keduanya pergi dengan menyamar. Di sepanjang jalan berusaha menyerap berita seraya menjelajahi desa-desa mengetuk pintu-pintu, makin lama makin jauh terlunta-lunta membawa rasa prihatin. 25. Demikianlah yang pergi mencari. Di samping itu ada lagi jalur cerita yang berlangsung bersamaan masa, merupakan 34 PNRI
bagian yang menangguhkan bagian yang terdahulu, menjadi pengganti di bagian ini. 26. Ceritanya, di daerah Medangsewu ada sebuah desa besar terpencil, yang membangun adalah Ki Cemporet. Semula seorang mantri di negeri Purwacarita, yang diberhentikan karena dianggap kurang pandai. 27. Yang menggantikan adalah menantunya bernama Demang Cemuris. Ki Cemporet diangkat menjadi buyut di luar kota. Ia membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal dan dinamakan desaCengkarsari. 28. Disebut juga dukuh Cengkalsewu. Yang tinggal di situ hanya Ki Buyut sendiri bersama istrinya. Akan tetapi tak lama kemudian Ki Demang Cemuris 29. kematian istrinya dengan meninggalkan anak yang masih kecil, yang baru bisa bermain-main sendiri bernama Jaka Kulampis. Karena ibunya sudah tiada, yang menjaga dan memelihara ialah 30. Ki Buyut dan istrinya. Cucunya itu telah diambil sebagai anak angkat, karena sepeninggal ibunya, ia tidak mempunyai anak yang lain. Oleh karena itu rasanya tak dapat berpisah lagi dengan cucunya. Adapun Ki Demang Cemuris sendiri, 31. telah menyerahkan anaknya tanpa ragu-ragu. Ia meneruskan pengabdiannya. Kadang-kadang saja setelah menerima imbalan jasa ia sekaligus menengok 32. keadaan dan kesejahteraan anaknya. Ki Buyut beserta istrinya di Cengkarsari itu mata pencariannya yang berfaedah ialah pergi ke hutan dengan pembagian kerja begini: 33. Kyai Buyut mengambil kayu dan mengumpulkan ranting-ranting kering. Sedangkan Nyi Buyut mencari daun jati serta daun pohon palasa. Apa yang sudah mereka peroleh, 34. dijual ke warung. Berkat kemurahan dewata, pekerjaan itu menjadi sumber sandang pangannya, ringan, tidak menyusahkan orang lain dan berkat kerajinannya, hasilnya cukup untuk mencukupi kehidupannya setiap hari. 35. Tersebutlah Ki Buyut dan istrinya, seperti biasa pergi ke hutan mengambil kayu dan daun jati, sumber rezekinya. 35 PNRI
36. Setibanya di tengah hutan belantara, agak terlunta kedua suami istri itu dalam mencari kayu dan daun yang bagus. Setelah pekerjaannya selesai dan hendak pulang, ternyata jadi bingung tak tahu jalan. 37. Karena tersesat dalam perjalanan yang sudah biasa dilalui, suami istri itu sudah berputar-putar mengelilingi tempat yang sama namun tidak menemukan jalan. Seketika mereka jadi bingung dan kesal. 38. Demikian bingungnya sehingga keadaannya sangat menyedihkan. Keduanya sudah seperti berputus asa. Sesudah sangat lelah mencari jalan, keduanya lalu beristirahat sambil memikirkan jalan ke luar. Syahdan diceritakan kembali 39. yang sedang terkena laknat karena kekesalan ayahnya, yakni para rajaputra Prambanan yang sudah berubah menjadi banteng dan burung. Perjalanannya juga terlunta-lunta melewati daerah-daerah puaka. 40. Ketika sampai di hutan Sendangsewu keduanya berhenti karena merasa senang melihat keindahan hutan di situ. Sambil beristirahat keduanya juga memikirkan jalan agar petunjuk yang mereka terima bisa terlaksana. 41. Kemudian keduanya berpisah, mencari jalan sendirisendiri. Banteng menghadang di tengah jalan. Si burung beo selalu berdendang melagukan kidung dan kakawin dengan harapan supaya terdengar oleh manusia, dan kemudian karena merasa tertarik, manusia itu akan mencarinya. 42. Si beo yang berkidung hinggap di dahan nagasari. Tak hentinya menyuarakan tembang berlagu syair indah. Yang mulamula digubah adalah suasana hutan yang indah. 43. Tersebutlah Kyai Buyut beserta istrinya mendengar suara burung beo bernyanyi, sayup-sayup menawan hati, seketika hatinya menjadi tenang. Timbul harapan akan ada pertolongan dewata. 44. Dengan suara itulah dijadikan lantaran memberi pertolongan. Dengan gembira Ki Buyut dan istrinya mendekati, lalu melihat seekor burung beo. Akan tetapi tak lama kemudian terkejut melihat kedatangan seekor banteng. 36 PNRI
45. Ki Buyut hendak lari tetapi tak jadi karena mendengar panggilan si burung. " H a i Kyai, jangan takut. Silakan mendekat ke sini. Banteng itu tidak bermaksud j a h a t . " 46. Mendengar panggilan itu Ki Buyut bukan mairi herannya menyaksikan keajaiban tersebut. Ujarnya dalam hati, " B u r u n g dapat berkata-kata. Mungkin, inilah ujud dari orang yang salah melakukan tapa, sehingga menitis kepada burung." 47. Karena si Banteng mendekam, Ki Buyut jadi tidak takut, lalu bersama istrinya mendekat, menyapanya dengan katakata manis, "Duhai burung, apa maksudmu sebenarnya, coba jelaskanlah! 48. Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak serta tahu akan tata krama dan sopan santun. Baru kali inilah saya bertemu." 49. Banteng menyahut, "Kyai, kuminta Anda memaklumi. Karena saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya mendekam saja. Itu pun sudah kuanggap baik." 50. Hampir-hampir Kyai Buyut tidak dapat menjawab ketika mendengar ucapan si banteng, karena benar-benar tidak menduga ada binatang dapat bercakap-cakap dengan baik. Kata-katanya tidak tumpang tindih, ramah lagi bersahabat. 51. Tidak berbeda dengan si burung. Banyak yang terpikir dalam hati Kyai Buyut dan istrinya sehingga tercenung diam membisu meskipun hatinya penuh kekaguman. Namun karena kewanitaannya, istri Ki Buyut memang agak takut. 52. Kyai Buyut kemudian berkata, "Wahai sang Andaka, sesungguhnyalah sama saja. Meskipun kami ini manusia, akan tetapi lebih hina daripada binatang hutan karena kami ini sangat bodoh. 53. Akan tetapi saya ingin bertanya, siapakah sebenarnya A n d a b e r d u a ? " Menco menjawab lembut, "Kyai, sesungguhnya saya ini memang hanya burung hutan belaka. Banteng ini pun 54. benar-benar binatang. Bukan sanak bukan saudara, akan tetapi sejak bertemu lalu bersahabat, sama-sama mengem37 PNRI
bara di dalam hutan. Untuk mempererat persaudaraan, ia memanggil adik kepada saya. 55. Lama-kelamaan semakin akrab dan lancar dalam mempelajari bahasa yang baik. Tujuannya ialah agar supaya dapat menangkap dan mengikuti percakapan manusia sehingga tidak mendapat celaan. 56. Caranya memperoleh dan mendapat tambahan beberapa patah kata, ialah karena seringnya memberikan bantuan. Berat dan ringan kami lakukan atau menunjukkan jalan kepada mereka yang tersesat tak tahu jalan serta menolong orang yang mengalami kesulitan ataupun sakit." 57. Mendengar penjelasan itu Kyai Buyut berpikir, lalu ujarnya lebut, " N a k , jika demikian sungguh kebetulan. Saya dan istri saya ini sedang tertimpa kesusahan. 58. Menjadi bingung tidak tahu lagi mana utara dan mana arah selatan, sehingga akan pulang ke rumah tidak tahu jalan lagi. Sekarang, jika tidak keberatan, berilah kami petunjuk, ke manakah arah yang benar, 59. agar dapat kami ikuti, untuk pulang ke Cengkarsari." Burung menco menjawab dengan suara lembut, ujarnya, "Baiklah. Mudah-mudahan bisa. Akan tetapi jika bisa, ada permintaan kami, yaitu asal saya dan banteng, kedua-duanya diambil sebagai anak. 60. Dan hendaknya benar-benar seperti anak sendiri, tanpa canggung-canggung dan menggunakan bahasa halus. Yang utama ialah menggunakan kata-kata " n g o k o " , dan jangan merasa raguragu." Sejenak Ki Buyut terdiam, akan tetapi segera menyanggupi, lalu ujarnya, 61. " W a h a i , Nak! Benar-benar keb^'Uan. Syukurlah, kalian mau dikasihi dan mengaku bapa kepada orang tua yang bodoh, lagi hanya sebagai petani miskin. Kelonggaran hatimu saja yang kuharap. Siapa tahu nanti kurang pemeliharaanku." 62. Menco menjawab demikian, "Baiklah, Kyai. Kami pun demikian. Kami minta maaf, jika ada sesuatu yang kurang baik atau ada kata-kata yang kurang tepat dan kurang sopan, 63. karena hanya sebangsa burung. Harapan saya pun se38 PNRI
derhana saja, yaitu hanya sekedar untuk dilihat. Mudah-mudahan saja dapat membuat suasana menjadi asri, dan dapat memberi kegembiraan, sehingga dapat mendatangkan keberuntungan dan keselamatan." 64. Ki Buyut menjawab, " N a k , perkara itu janganlah kuatir. Benar-benar sudah sama perasaan kita, dan sudah menghilangkan perasaan syak wasangka. Mudah-mudahan keadaan itu tetap dapat dipelihara." Burung menco senang mendengar jawaban itu. 65. Banteng menyambung pembicaraan, demikian, "Wahai Ki Buyut yang sudah bersedia memberi kegembiraan kepada kami, dan dengan sungguh-sungguh hendak mengasihi kami. Saya pun menyerahkan jiwa raga, semoga tetap menjadi anakmu. 66. Pintaku hanyalah, semoga Kyai Buyut tidak mempunyai perasaan cemas mengambil binatang hutan sebagai anak, lalu merasa berat memberi makan. Hal itu sama sekali jangan dicemaskan. Jangan kuatir bahwa kami akan menyusahkan. 67. Sebabnya ialah, karena makhluk itu, baik manusia, hewan, ikan maupun burung sudah mendapat bagian masingmasing, apa yang tersedia sebagai makanannya, sehingga pasti dapat mencari serta memilih mana yang tepat baginya." 68. Mendengar ucapan banteng itu Kyai Buyut tertawa seraya ujarnya, "Wahai anak-anakku, mengapa membuat kias segala, dan mengapa pula menduga-duga yang bukan-bukan. Lihatlah saja, bagaimana kelak. 69. Menurut perasaanku, ayahlah yang sebenarnya merasa beruntung karena sangat berhutang budi. Sekarang saja sudah akan dilepaskan dari kesulitan, yang benar-benar menyusahkan bahkan dapat mendatangkan bencana." 70. Burung menco tersenyum seraya berkata, " N a h , sekarang marilah kita berangkat." Mendengar ucapap si burung, banteng segera merendahkan tubuhnya seraya minta supaya ditunggangi. Ki Buyut dan istrinya menurut. 71. Banteng berjalan di belakang mengikuti terbangnya si menco. Ketika perjalanan mereka sampai ke tepi hutan, acap kali menemukan perhiasan dan beberapa pucuk keris seperti pakaian para prajurit. 39 PNRI
72. Perhiasan serta benda-benda itu tidak ada seorang pun yang melihatnya. Barang-barang itu adalah sisa-sisa barang kuna. Banteng berkata lembut, ujarnya, "Kiranya cukuplah sudah. Barang-barang itu nanti dapat dijual ke kota, lalu ditukarkan dengan kebutuhan rumah tangga." 73. Kyai Buyut pun patuh, la sangat gembira, dan merasa memperoleh jalan yang mudah untuk mendapatkan rezeki. Beberapa saat kemudian terbebaslah mereka dari hutan yang sangat lebat.
40 PNRI
v
1. Setibanya di desa Cengkarsari, Kyai Buyut suami istri benar-benar tak segan-segan lagi menganggap banteng dan burung sebagai anak-anaknya. Jika bercakap-cakap. 2. Kyai Buyut dan Nyi Buyut menggunakan bahasa ngoko, sedangkan banteng dan burung menggunakan bahasa krama. Mereka masih terus berbuat kebaikan dan membantu bekerja. Ki Buyut masih tetap menjual barang-barang yang ditemukan. 3. Sambil mengolah tanah, ditanami segala sesuatu yang ada manfaatnya, seperti umbi-umbian dan sebagainya. Bahkan kebunnya diperluas dengan tanaman-tanaman tahunan, sehingga desa Cengkarsari semakin bertambah sejahtera keadaannya. 4. Suatu waktu banteng dan burung pergi berdua, masuk ke dalam hutan, kemudian bersepakat membagi tugas. Banteng tetap bertugas seperti biasanya, yakni memberi pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan, terutama kepada orang-orang yang tersesat. 5. Sedangkan si burung menco akan menunaikan tugas dengan cara-cara memberi tuntunan ke arah keselamatan. Yang dituju ialah negeri Pagelen. Sesudah menentukan tujuan masingmasing, si burung terbang melayang, sedangkan banteng tetap berjalan. 6. Kini diceritakan kembali suatu peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sama, yaitu tentang perjalanan putra raja Jepara, yang perjalanannya sudah semakin jauh dalam usahanya mencari adiknya. 7. Di mana-mana selalu mencari berita, namun belum juga mendapat keterangan tentang tempat maupun tujuan kepergian adiknya. Sepanjang jalan ia selalu bersedih hati. Pada akhirnya 41 PNRI
Raden Sadana dan pamannya, Arya Tiron berunding untuk menentukan tindakan selanjutnya. 8. Berundinglah raja putra dengan Arya Tiron, dan mereka sepakat untuk menanyakan perihal adiknya kepada orangorang yang mampu melihat sesuatu yang gaib. Sesudah sepakat, mereka lalu berpisah. 9. Perjalanan Raden Sadana sampai ke lereng utara Gunung Purwapada. Di sana ia bertemu dengan seorang pertapa sakti bernama Resi Panurta, yang tinggal di pertapaan Martawu. 10. Sang Raden bertanya, dan telah mendapat jawaban bahwa yang dicari, sekarang masih terselubung oleh tatanan yang berasal dari sudutnya Hyang Utipati, yang sedang berkehendak membuat lakon bagi umatnya. 11. Tujuannya ialah menjodohkan pasangan pria dan wanita melalui cara-cara atau lakon yang aneh. Dan hal itu belum boleh dibicarakan pada waktu kini, karena benar-benar merupakan rahasia. Kelak, tidak lagi lama antaranya, akan ada kabar beritanya. 12. Jika ditunggu dengan sabar, tak lama lagi tentu akan dijumpai dan sudah berpasangan. Mendengar jawaban itu, raja putra agak tentram hatinya, karena sudah memperoleh berita. 13. Namun demikian kesedihannya belum lenyap sama sekali, karena keterangan tersebut belum dapat mengungkapkan dengan nyata, di mana gerangan adiknya yang sedang dicarinya. Raja putra mempertimbangkan akan menunggu saja sambil menentramkan perasaan. 14. Sekaligus sambil memohon kepada Yang Maha Kuasa, semoga dapat segera mengetahui tempat tinggal adiknya. Meskipun kelak kembali ke istana, namun sedapat-dapat setelah berhasil menjumpai atau menemukan yang dicarinya. 15. Demikian pendapatnya, agar tidak sia-sia dalam menjalankan tugas. Sesudah berpikir masak-masak, rajaputra menyatakan niatnya hendak bertapa, menentramkan diri di padepokan yang berada di gunung. Resi Panurta pun sangat setuju. 16. Segera ia diberi tempat tinggal, yang semuanya sudah serba tersedia, dan mendapat tugas menjaga seluruh siswa. Demi42 PNRI
kianlah, rajaputra itu benar-benar tinggal di tempat yang sunyi untuk bersamadi. 17. Tinggalkanlah dahulu yang bersunyi-sunyi, beralih cerita tentang raja putri Jepara Dewi Suretna, yang berjalan terlunta-lunta, menyimpang dari jalan yang biasa. 18. Kepergiannya itu benar-benar tanpa tujuan, namun terus memaksa diri hanya karena merasa malu, ia memperturutkan kekesalannya. Semakin jauh ia berjalan, semakin terluntaluntalah ia, dan akhirnya sampai ke daerah hutan Mendangsewu. 19. Mendengar gemuruhnya suara burung serta gemerasaknya binatang hutan berlarian, membuat perasaannya menjadi kecut. Sang Dewi lalu memperlambat langkahnya, seolah-olah seisi hutan itu mempengaruhinya. 20. Binatang-binatang bertubuh lunak yang bersuara, bagaikan mengiris-iris perasaannya yang sedang gundah. Burung cocak yang berkicau ramai, seolah-olah menambah kejengkelannya, dan kemudian merak yang turut bersuara telah mengejutkan dan membuatnya cemas. 21. Suara merak itu bagaikan keluh kesah seseorang yang sedang menanggung duka. Kokok ayam hutan yang keras terasa bagai menambah perasaan kalut. Burung beluk dan tekukur serta dohan yang menyambar-nyambar pun bagaikan menambah rasa lunglai lesu. 22. Suara tenggeret yang nyaring terasa bagaikan mengejek kerinduannya. Sedangkan suara kelopak-kelopak daun dan bunga yang ramai berciap seperti suara anak ayam, membuat hati bingung, akan tetapi burung elang melongok memperhatikan. Burung gogik, dan sepasang burung hujan bergulat bermesraan. 23. Kijang dan rusa lari melesat karena mendengar auman harimau. Suaranya riuh menggeletar, membayangkan perasaannya yang ngeri. Sekelompok kera berteriak sambil menyeberang jalan, diikuti oleh musang, yang tampaknya seperti takut ketinggalan. 24. Semua itu seperti para pelayan istana yang sedang bergalau kacau, heran bercampur risau serta gundah gulana, sehingga tak lagi memikirkan pribadinya, tak pula mampu memikirkan 43 PNRI
yang lain, dan akhirnya jatuh pingsan tak bergerak, namun perasaannya bagaikan diiris sembilu. Demikianlah keadaan mereka yang ditinggalkan. 25. Tiba-tiba sang dewi melihat seekor ular besar membelit pohon, bersembunyi di sela-sela daun yang rimbun, bercampur dengan onak duri yang bergulung-gulung serta rumput yang lebat dan tebal serta ketat. Keadaan itu sekejap membuat hatinya agak kecut. Akan tetapi terbawa oleh kerasnya hati, 26. perasaannya ia tekan, dan dengan perasaan yang mantap, tanpa ragu-ragu yang sungguh sulit untuk dibayangkan dan hanya dapat dikatakan, karena memang sudah menjadi niatnya untuk melarikan diri dengan menantang bahaya daripada merasa malu, sang dewi terus melanjutkan perjalanannya. 27. Demikianlah Dewi Suretna berjalan terus, dan akhirnya sampailah ia ke sebuah hutan bunga yang tampak indah, membuat hatinya merasa senang dalam perjalanan itu. Apalagi karena bunga-bungaannya berbau harum semerbak menyentuh hidungnya. 28. Pohon-pohonnya masih muda-muda dengan daun-daun yang sedang bersemi. Sinarnya lembut, membuat hati sang dewi menjadi tenang. Pemandangan menjadi semakin menyenangkan dengan adanya mega-mega yang beralih tempat, sehingga membuat daerah itu menjadi teduh, bagaikan memberikan hiburan. 29. Mega-mega itu terpecah berderai-derai karena tiupan angin, kemudian ada bunga-bungaan yang rontok, jatuh di tanah semerbak baunya. Lebah pun terbang, suaranya bergalau lembut ketika menyambar-nyambar bunga sambil mengisap sarinya, seolah-olah sedang merayu-rayu, 30. memikat hati memuaskan rasa, menyejukkan sanubari yang tengah kecewa. Sang dewi merasa terpesona. Rasa-rasanya seperti sedang bercengkerama di taman sari sambil mencari hiburan, yang dapat memberinya kegembiraan. 31. Berganti lagi ceritanya, namun lakonnya berpadu dengan keadaan sang dewi. Tersebutlah si banteng yang selalu memberikan bantuan kepada mereka yang bepergian ke dalam hutan, saat itu pun ia sedang berjalan berkeliling. 44 PNRI
32. Tak lama antaranya banteng melihat seorang wanita muda, cantik berada di hutan seorang diri, serta tampak bahwa wanita itu sedang mengalami kesedihan. Wanita itu ia dekati, sehingga terkejutlah dia. 33. Cepat-cepat ia hendak lari, akan tetapi langkahnya terhenti ketika didengarnya banteng itu berkata, " W a h a i Sang Dewi. Hendaknya jangan salah duga. Meskipun saya ini binatang hutan, namun tak ada niatku untuk mengganggu atau berbuat j a h a t . " 34. Sang dewi benar-benar heran, melihat dan mendengar kata-kata binatang itu, yang benar-benar teratur serta sopan. Hatinya menjadi tenang dan tidak merasa takut, bahkan segera bertanya dengan suara lembut, ujarnya, " H a i , Banteng! 35. Berkatalah dengan terus terang, siapa engkau sebenarnya. Baru kali ini aku melihat, ada binatang dapat berkata-kata demikian lengkap." Banteng pun menjawab dengan suara lembut juga, ujarnya, "Wahai, Sang Dewi. Jika Anda bertanya, 36. sesungguhnya saya benar-benar binatang. Bisa berkatakata, hanya karena sering mendengarkan orang bercakap-cakap. Lama-kelamaan dapat juga berkata-kata." 37. Sang Dewi bertanya, demikian, "Bagaimana engkau bisa bergaul dengan manusia, sedangkan engkau sendiri adalah binatang. Bagaimana asal-mulanya?" Banteng menjawab, "Dengan memberi pertolongan. 38. Setiap kali ada orang yang kesusahan, misalnya karena barang yang dibawanya terlalu berat, sayalah yang menolong membawakannya. Demikian pula jika ada orang bingung dalam perjalanan, saya pun memberi pertolongan. 39. Sebaliknya, paduka ini wanita dari mana. Sungguh sangat asing berada dalam hutan tanpa teman, mengapa demikian menyedihkan, dan tampaknya juga sedang bersedih hati. Bagaimana sebenarnya? 40. Bukan karena sembrono saya bertanya. Siapa tahu saya dapat membantu memberikan sarana pertolongan ala kadarnya." Sang dewi menjawab, akan tetapi berpura-pura, ujarnya, 41. "Saya ini seorang endang dari gunung. Namaku Rara Tumon. Kepergian saya sampai ke tempat ini, ialah karena di45 PNRI
paksa kawin. Saya tidak mau karena memang belum ingin kawin, 42. dan masih senang bebas mengurus diri sendiri. "Itulah sebabnya saya lari." Banteng bertanya lagi dengan suara lembut, "Sekarang bagaimana kehendak p a d u k a ? " Sang dewi menjawab demikian, "Ketetapan hatiku, 43. hendak mencari desa yang tersembunyi. Hanya sekedar mencari tempat untuk beristirahat. Syukurlah jika mendapatkan tempat untuk mengabdi." Banteng dengan ramah memberi saran, demikian, " J i k a setuju, marilah beristirahat di desa. 44. Saya mempunyai seorang sahabat, bahkan benar-benar sudah seperti ayah saya sendiri, bernama Ki Buyut Cemporet. Tempat tinggalnya di dukuh Cengkarsari tidak jauh dari sini. Ia tidak mempunyai anak. 45. Boleh dikatakan saya diaku sebagai anak, padahal binatang. Opennya seperti memelihara anak. Lebih-lebih kepada paduka kelak. Pasti sangat teliti dan hati-hati, disertai kecintaan yang luar biasa." 46. Ketika sang dewi mendengar apa yang dikatakan oleh banteng, ia merasa sangat gembira, sehingga ia menurut saja apa yang disarankan oleh banteng, yang bermaksud baik itu. Harapannya timbul, " M u d a h - m u d a h a n hal ini dapat menjadi jalan menuju keselamatan." 47. Banteng lalu merendahkan tubuhnya seraya berkata lembut, "Silakan Dewi, naiklah ke punggung si banteng ini." Sang dewi tanpa ragu-ragu menurut. Sesudah naik, berjalanlah si banteng. 48. Tak lama antaranya sampailah ke Cengkarsari. Setibanya di pagar pekarangan, banteng berhenti dan sang dewi turun, lalu diiringkan masuk ke pekarangan. Ki Buyut dan Nyi Buyut menyongsong kedatangannya dengan hangat. 49. Sesudah masuk ke dalam rumah dan duduk dengan tenang, Ki Buyut suami istri bertanya dengan grapyak, ujarnya, " A n a k k u , engkau datang bersama wanita yang sangat cantik, cahayanya gemilang bagaikan keturunan bangsawan tinggi. Siapakah gerangan?" 50. Sang banteng lalu bercerita. Dikisahkannya sejak perte46 PNRI
muannya sampai akhirnya sampai di rumah ini. Semua telah ia paparkan. Ki Buyut dan Nyi Buyut sangat gembira mendengarnya. 51. Kemudian ujar si banteng lagi, "Wahai Ayah dan Biyung! Gadis ini seyogyanya diambil sebagai anak. Kelak pasti akan baik akibatnya, karena telah menolong orang yang mengalami kesusahan. 52. Biarlah dia menjadi saudaraku. Kuharap Ayah dan Biyung tidak ragu-ragu untuk menyantuninya." Ki Buyut dan Nyi Buyut sangat gembira dan puas mengambilnya sebagai anak. 53. Keduanya amat sayang dan akrab kepada sang dewi. Anggapannya tidak setengah-setengah, namun seperti kepada anak yang ia lahirkan sendiri. Demikianlah pula sang dewi, juga sud&h membapa mengibu. 54. Mereka saling menggunakan bahasa ngoko, yang terasa lebih mengakrabkan. Hati dan perasaan mereka sudah saling senang-menyenangi. Berkatalah Kyai Buyut kepada istrinya dan si banteng, ujarnya, " H e n d a k n y a serruia menjadi saksi, dan mentaatinya, bahwa si upik itu, 55. sekarang namanya akan kuganti. Selaras dengan rona wajahnya, sebaiknya kuberi nama Rara Kumenyar, sesuai dengan cahaya wajahnya yang bersinar-sinar." Nyi Buyut mufakat sekali, seraya mengangguk-angguk. 56. Si Banteng tertawa gembira seraya ujarnya, " A y a h , saya juga setuju jika demikian itu namanya. Benar-benar sudah seimbang, sehingga menurut perasaan saya, tepat sekali. Lagi pula mirip benar dengan wujudnya. 57. Dan sekaligus akan merupakan penyamaran untuk menghindari beragam pertanyaan orang. Kelak pasti tidak ada yang mengira ini dan itu, sehingga akan lulus hidup bersama. Dan siapa tahu, kelak akan menjadi lantaran ke arah kebahagiaan." 58. Kyai Buyut merasa bahagia luar biasa. Ia lalu minta, agar istrinya menyiapkan tempat bagi anaknya. Kemudian kamarnya dipajang dengan indahnya. Sementara itu banteng mohon diri, hendak kembali 59. ke dalam hutan meneruskan tugasnya memberi pertolongan. Sesudah semua setuju, berangkatlah iia untuk menunaikan 47 PNRI
tugasnya mengamalkan jasa. Demikianlah, dan kini diceritakan peri keadaan raja putra di negeri Pagelen. 60. Dahulu, ketika Raden Jaka Pramana menolak dijodohkan dengan putri Jepara, alasannya ialah karena sangat takut dan hormat kepada kedua kakaknya yang belum menikah. Itulah sebabnya, mengapa hatinya selalu ragu-ragu. 61. Ayah dan ibunya selalu berusaha membangkitkan kesediaannya agar perkawinan itu dapat terlaksana, karena sudah menjadi janjinya dengan raja Jepara. Akan tetapi raja putra tak goyah pendiriannya. Bahkan sinar matanya mencerminkan kesedihan. Karenanya ia berusaha menghibur hatinya. 62. Ia selalu bercengkerama di taman dengan emban yang mengasuhnya, yang bernama Nyai Wilasita, bersama beberapa orang pelayan, yang bertugas menjaganya. Tersebutlah 63. burung menco yang terbang tadi, sudah sampai ke tempat itu, lalu hinggap beristirahat di pohon angsoka. Ia merasa senang melihat wanita-wanita yang berada di taman, bermacammacam yang mereka lakukan. 64. Ada yang sedang memetik bunga-bungaan, sebagian lagi bermain-main air seraya bermain-main sambil berenang di kolam air, ada yang sedang mengatur kainnya, ada yang sedang mengurai rambut, dan ada juga yang sedang bersanggul. 65. Ada pula yang sedang mengenakan kembennya dengan ketat, sehingga sebagian dari urat-urat buah dadanya tampak melela, penuh berisi bagaikan kelapa gading, dan ada pula yang sedang menekan dan mengelus-elus alisnya. 66. Sebagian lagi sedang berendam di air, ada yang bercermin melihat bayangannya di dalam air, ada yang sedang membuat wiron kainnya yang setengah terangkat, sehingga betisnya tampak sebagian. 67. Bunga-bunga semuanya bermekaran, asri dan indah dipandang. Tertiup angin sepoi, semerbak baunya, membuat tentram bagi hati yang sedang dilanda sedih. Lebah bersuara lirih menghisap bunga-bunga itu. 68. Si menco sangat terpesona melihatnya. Juga melihat tingkah-laku para wanita si menco merasa senang. Ia berniat me48 PNRI
manfaatkan kegembiraan wanita-wanita itu agar kedatangannya diketahui. Sesudah merakit kata, mulailah ia bersenandung secara lucu sekali, demikian, 69. " H u r ketekuk burcet colang-caling, akak kaok-kaok, empu-empu kuk huk iyeh-iyeh, kukukruruk uwek uwig-uwig, cingcing goling cip-cip, ciet toet teblung. 70. Tit tit tuit keok tiit tiit, kokok kokok petok, kelek-kelek etet-etet duet, gemek-gemek tirtir parenjentir, cet-cet cuit-cuit, otuk-otuk o w u k . " 71. Para pelayan wanita itu senang sekali ketika mendengarnya. Mereka mencari sumber suara, seraya ujarnya, "Suara apakah gerangan ini? Celometan tak keruan, akan tetapi bersanjak lengkap." Sesudah beberapa lamanya 72. mereka mencari, tampaklah oleh mereka seekor burung menco. Orang-orang perempuan itu heran, akan tetapi mereka sudah dapat menduga, bahwa burung itulah yang berceloteh. Ujar mereka, " R u p a n y a burung inilah yang mengoceh. Pantas tidak teratur!" 73. Seorang di antara para wanita itu berkata lembut, " A k h , sudah adatnya burung menco meniru-niru segala macam bunyi. Saya kira menco itu menco hutan. Kentara dari suaranya, yang campur aduk. 74. Ada yang mirip suara burung, ada yang mirip suara binatang, ada yang mirip suara katak rawa, ada yang mirip suara binatang melata, ada yang seperti suara ayam atau unggas piaraan. 75. Coba kata-kata kakawinnya yang baik, tentu akan enak didengar." Tiba-tiba si menco menyela, katanya, " A k h , mengapa harus tergesa-gesa. Jika harus menggunakan kata-kata yang teratur seperti yang sudah mahir memperhalus kakawin, saya memang belum mampu.
49
SERAT CEMPORET - 4
PNRI
VI
1. Yang demikian itu sesungguhnya karena benar-benar ada yang ditiru, jadi ibaratnya hanya mengikuti saja atau meniru apa adanya apa yang diucapkan oleh manusia di sembarang tempat. 2. Tentu saja diambil yang patut. Yaitu mengambil sesuatu yang dapat dijadikan penyuluh hati yang sedang lupa. Lama-kelamaan serba sedikit dapat melaksanakannya. Kemudian diteruskan dengan mempelajari lagu, akan tetapi serba tanggung dan masih setengah-setengah. 3. Jadi hanya lumayan saja, supaya tidak canggung kalau membaca kidung atau membawakan tembang kawi. Sedangkan kewibawaan yang ditiru, hanya asal mirip belaka." 4. Yang mendengar lalu tertawa riuh, dan kemudian ada yang berkata, demikian, " N a h , baiklah, burung. Biarlah sebisamu, asalkan b a i k . " Si burung menjawab, "Baiklah, nanti, perlahan-lahan d a h u l u . " 5. Si burung lama termenung, karena sedang berpikir, apa yang akan ia kidungkan agar terdengar oleh raja putra, karena memang itulah tujuannya. Para ceti rupanya tidak sabar lagi menunggu, lalu ujarnya lagi, " N a h , cepatlah, jangan ragu-ragu! 6. Berkidunglah yang teratur agar terdengar oleh gustik u ! " Jawab si burung, "Nanti sebentar, sabar dulu dan jangan tergesa-gesa. Biar lambat asal selamat." 7. Kemudian mulailah si burung bersenandung dengan suara yang lembut dan merdu. Syairnya diambil dari lagu Pramugari, namun disadur, dan diganti dengan lagu Gambuh, demikian kalimatnya, 8. " A d ? seorang desa, mata pencahariannya mengambil kayu ke dalam hutan. Yang diambil adalah kayu kering kecil50 PNRI
kecil, diambilnya berdikit-dikit, kemudian ditukarkan dengan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 9. Selesai mencari kayu lalu menggali ubi, juga di dalam hutan belantara. Itulah yang digunakannya untuk memberi nafkah anak istrinya. Pada suatu hari, ketika ia sedang menggali ubi, 10. pikirannya berangan-angan, membayang-bayangkan dengan perasaan yang buram: nanti ini, ada kemungkinan aku menemukan harta karun berupa emas murni seperiuk, yang beratnya seratus kati. 11. Akan tetapi kalau aku bawa pulang waktu pagi, takut kalau-kalau ada yang melihatnya. Kalau aku bawa pulang di waktu malam ketika orang-orang sudah pada tidur, setiba di rumah repot juga mengurus emas sebanyak itu. 12. Kalau anak istriku tahu, pasti semuanya membujuk akan minta dibagi saja sama rata. Akhirnya pasti akan menjadi bahan pertengkaran. Jika demikian, celakalah aku. 13. Lebih baik aku pendam saja di bawah lumbung. Tersembunyi dengan baik, sehingga tidak ada orang yang melihatnya. Setiap tengah malam kuambil sedikit, kira-kira cukup aku tukarkan dengan barang-barang yang penting saja. 14. Inti sari atau makna kidung ini, pantas dijadikan teladan yang bagus, bagaimana cara mengatur dan mengelola suatu kerajaan yang baik, yang dilaksanakan secara waspada dan sadar, untuk mencapai kesejahteraan." 15: Sampai sekian si burung berhenti berkidung, lalu diam dan menunduk. Pendengarnya tertarik dan sangat senang. Para wanita itu hampir-hampir berseru, " H a i , menco! 16. Bagus, bagus. Hayolah berkidung lagi!" Jawabnya demikian, "Baiklah, hai orang cantik!" yang disambut tertawa riuh para ceti, sehingga terdengar oleh raja putra, yang lalu bertanya, Apa gerangan yang ditertawakan." 17. Seorang pelayan menjawab, demikian, " A d a seekor burung menco dapat berkidung. Kakawin yang dibawakannya lengkap dan tepat. Ucapannya jelas, fasih seperti manusia betulbetul. Akan tetapi mula-mula tidak keruan ucapannya. 51 PNRI
18. Kemudian yang belakangan kalimat kidungnya teratur dan berurutan, berupa dongeng yang digubah dengan kata-kata kawi, memberi acuan berupa peringatan kepada hati yang khilaf karena menuruti hal-hal yang tidak b e n a r . " 19. Raja putra merasa heran dan berpikir dalam hati, benarkah demikian. Ia segera turun hendak melihat dengan mata kepala sendiri. Setibanya di tepi kolam ia selalu mendongak mencari tempat si menco bertengger. 20. Ketika si burung melihat, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa yang datang itu adalah raja putra Pagelen. Sesudah sejenak memperhatikan, ia segera turun dari pohon, lalu hinggap di pangkal pohon beringin. 21. Lalu ditanya, " A p a k a h itu, burung menco yang mahir berkidung melagukan kakawin tentang ilmu ketataprajaan serta tidak canggung mengumandangkan lagu? Jika benar demikian, saya ingin bertanya. 22. Bagaimana asal mulanya, dan apa pula yang menjadi tujuanmu. Jika hanya berpura-pura atau benar-benar mampu, cobalah ceritakan padaku, apa sesungguhnya yang telah terjadi atasmu?" 23. Si burung menjawab lembut, ujarnya, "Benar, sayalah yang tadi berkidung, namun sesungguhnya belum mahir atau ahli dalam hal kakawin, dan hanya sekedar merangkai kata, itu pun masih kaku. Dalam mempertautkan kata-kata yang baik, seringkah masih kurang tepat. 24. Meskipun demikian memberanikan diri dengan pengetahuan yang baru sedikit. Lumayan untuk bekak mempelajari kata-kata kawi, dan untuk mengembangkan kemampuan bernyanyi, agar supaya tidak terlanjur bodoh. 25. Ya, siapa tahu jika pada suatu saat terpaksa, lumayan juga dapat berkidung, karena memang sesungguhnya saya ini burung sejak mulanya, sehingga sudah sepantasnyalah tidak ada yang diketahui oleh hati ini kecuali hanya terbiasa mencari buahbuahan. 26. Demikianlah, jika selalu asyik masyuk terhadap makanan semata-mata, maka sudah sepantasnya pula akan kurang budi, 52 PNRI
lagi pula tidak pernah mendapat ajaran kebudayaan, sehingga akhirnya semakin hina. 27. Apa daya, kalau bukan hanya belajar tentang tatacara manusia yang baik dengan jalan mempelajari beberapa kata. Siapa tahu dapat memperoleh pengetahuan yang istimewa. 28. Dahulu saya pernah mengalami atau menjalani yang demikian itu, paduka. Akan tetapi hati ini masih belum mau melakukannya dengan sungguh-sungguh, sehingga hasilnya selama tiga tahun penuh, baru dapat bersiul. 29. Saat itu hampir-hampir saya putus asa, akan tetapi keinginan hati yang keras tidak meluntur untuk tetap mencari jalan, bagaimana caranya agar memperoleh hasil yang baik, dan dapat memelihara keinginan hati yang baik itu. 30. Kemudian saya meneruskan perjalanan, berjalan-jalan ke sebuah negeri yang besar, yaitu kerajaan Prambanan, dan di sana mengabdi kepada raja putra, dengan selalu menurut perintah tanpa pernah melakukan kesalahan serta sangat jinak, sehingga tidak ditempatkan dalam sangkar. 31. Saya dipelihara sampai hampir satu tahun lamanya, namun baru dapat mengoceh dengan lancar, dan hanya dapat menirukan ucapan-ucapan manusia dan kadang-kadang suara binatang pun saya tirukan, yaitu ucapan-ucapan atau suara-suara yang enak untuk didengar. 32. Itulah sebabnya jika saya mengoceh jadi ceblang-ceblung. Barang siapa mendengar akan tertawa, lalu menyalahkan. Akan tetapi sering pula terjadi, seseorang mau menolong dengan mengajar kata-kata krama dan ngoko. 33. Menjelang dua tahun barulah hilang ceblang-ceblungnya, dan mulai dapat membagi tingkat-tingkat bahasa serta mengetrapkan bentuk aktif maupun pasif, sesuai dengan makna dan penggunaannya. 34. Ketika belajarnya lagu-lagu kidung, untaian bait lagu Jaludatagati, dan kadang-kadang lagu Bremararum serta Girisa dan Tebulasol sudah hampir mahir, 35. tambahan pula junjungan saya jika membaca kidung seringkah lagu Sardula, saya turut bersenandung dengan suara 53 PNRI
lirih. Akan tetapi di bagian-bagian yang bernada tinggi menjadi keras, lalu bersama-sama melepaskan suara. 36. Hal itu sangat menyenangkan junjungan saya. Oleh karena itu siang malam saya tidak boleh pergi meninggalkannya. Di mana-mana saya selalu berada di hadapannya, sehingga mengalahkan kesenangan atau hiburan lainnya. 37. Sesudah kurang lebih tiga tahun, j u n j u n g a n saya terpengaruh oleh suatu fitnah, dengan mempercayai pengaduan para abdi, yang sudah seia sekata menginginkan agar saya dibunuh. 38. Itulah asal mulanya saya menyingkir dan kembali mengembara ke tengah-tengah hutan, mencari tempat-tempat yang aman sambil menentramkan hati yang gundah. 39. Akan tetapi akibatnya semakin tidak karuan karena mendengarkan suara-suara yang campur aduk dari bunyinya binatang hutan yang ada di sekitar saya, sehingga terpengaruh dan sering ikut-ikutan seraya kembali lagi cleblang-cleblung. 40. Dasar saya ini burung, padahal tadinya belum begitu mahir akan kidung-kidung yang merupakan teladan-teladan yang baik, maka ketika mendengarkan suara yang tidak karuan itu jadi bingung, dan akhirnya terbawa menjadi kacau. 41. Hati saya sangat kalut ketika berada di tengah hutan belantara. Kemudian mendapat petunjuk berupa ilham yang sejati, yaitu saya diperintahkan mengabdi dengan setia kepada raja putra Pagelen yang muda. 42. Saya benar-benar terhanyut oleh perasaan, lalu saya laksanakan hingga sampai di taman ini, dan karena melihat para wanita yang sedang bergembira ria, maka kikuklah saya jadinya ketika hendak berkidung. Yang terucapkan tumpang tindih tak teratur, 43. mengoceh asal berbunyi saja, meniru apa yang pernah saya dengar di masa yang lalu, yakni binatang, unggas serta burung-burung di hutan. Karena ditertawakan, merasa agak kesal. Mungkin dikira saya ini datang mengamen. 44. Yang kemudian saya usahakan benar, sehingga dapat agak teratur. Maksud yang terkandung di dalam hati, tidak lain 54 PNRI
hanya padukalah yang menjadi idam-idaman saya. Itu pun jika berkenan mengambil burung menco sebagai piaraan. 45. Meskipun tidak imbang, hanya sebagai juru kidung pun atau untuk bercerita tentang dongeng-dongeng yang pantas dijadikan teladan serta contoh, bagaimana para pembesar mengatur negeri dan memberikan perintah, juga sudah lumayan." 46. Raja putra tersenyum, seraya ujarnya, "Baiklah burung. Engkau kupelihara sebagai hiburanku. Asal saja engkau selalu taat dan mau menerima dengan ikhlas lahir batin." 47. Si burung menunduk dalam-dalam karena keharuan hatinya. Kemudian mulailah ia berlagu membawakan kidung yang berisi dongeng dengan kidung Sardula. Suaranya halus, manis dan merdu, sedangkan lakon yang diutarakannya sangat menarik.
55 PNRI
VII
1. Dahulu kala ada seorang raja. Kerajaannya adalah di daerah Mamenang. Raja itu sangat bijaksana, sangat masyhur di seluruh dunia, bergelar Prabu Jayamisena. Permaisurinya ialah Dyah Citraswara, putri seorang biku, yakni Begawan Citradana. Suatu ketika permaisuri berbadan dua, kemudian melahirkan bayi dampit atau kembar siam. 2. Laki-laki dan perempuan berari-ari tunggal. Seketika itu Dewi Citraswara meninggal sesudah melahirkan. Sri Baginda menjadi ragu-ragu dalam menghadapi kehidupan, dan hidupnya terasa sepi, namun dalam kesepian itu selalu teringat pada tambatan hatinya. Akhirnya Sri Baginda mengikuti kepergian permaisurinya ke alam baka. Seluruh negeri menjadi gempar, rakyat gelisah dan prihatin, bingung tak tentu yang akan dilakukan. 3. Kebingungan itu timbul karena tak ada yang dapat dijadikan pimpinan. Sanak saudara, keluarga kerajaan serta seluruh rakyat seolah-olah seluruhnya tenggelam dalam kedukaan, dan ingin mengikuti kepergian raja dan permaisuri ke alam yang mulia. Setelah mereka dapat menerima akan ketentuan dewata, barulah mereka memikirkan kedua bayi yang hampir-hampir tak terurus karena telah ditinggalkan oleh ayah bundanya, sehingga sangat membingungkan. 4. Bayi laki-laki dan perempuan itu akhirnya menjadi putra angkat pamannya, Raja Matahun, yang mengambil dan memeliharanya seperti memelihara putranya sendiri. Keduanya telah diberi nama, sesuai dengan perujudannya. Yang laki-laki diberi nama Raden Kiswara, sedangkan yang perempuan diberi nama Dewi Kiswari, dan keduanya selamat tanpa mala petaka. 5. Demikianlah, eyangnya yang menjadi pertapa meninjau ke Matahun, ia memberi nama pula kepada kedua cucunya. Yang 56 PNRI
laki-laki diberi gelar Raden Alidrawa. Yang perempuan Endrawila. Setelah kedua anak itu dewasa, Resi Citradana berusaha keras agar kedua anak itu secara tekun mempelajari sastra Weda. 6. Ilmu pengetahuan Weda gunanya untuk mengetahui masalah puji serta sembah, tataran dalam jabatan keagamaan, melaksanakan darma yang utama. Sedangkan pamannya, yakni raja Matahun yang bergelar Jayakusuma, mendidik masalah kebahasaan yang baik, perilaku yang menjurus ke arah keselamatan, ilmu pemerintahan yang menjadi pangkal keselamatan seorang raja, untuk menciptakan kewiraan yang utama, 7. dan membina manusia-manusia berpengetahuan, yang merupakan sarana yang setia dan berani, sebagai pendamping raja yang kuat, agar kerajaan semakin luhur. Jika seluruh rakyat rukun, tanpa ada perasaan curiga-mencurigai, sehingga raja akan dapat mangkat, matah, matrap serta mandum. Mangkat berarti, mengatur kedudukan dan panggilan kepada seseorang berdasarkan kepantasannya untuk mempererat rasa kesatuan menurut kedudukan masing-masing. 8. Matah berarti, membagi tugas pekerjaan setiap petugas, baik tugas pekerjaan yang kasar maupun yang halus serta membaginya sesuai dengan kemampuan masing-masing, sehingga pelaksanaannya tidak tumpang tindih atau campur aduk. Matrap berarti, mentrapkan keadilan. Jika sesuatu perkara sudah diadili secara tepat berdasarkan hukum, keputusannya hendaknya sesegera mungkin dilaksanakan. Mandum, artinya memberi atau membagikan sesuatu, entah banyak entah sedikit, akan tetapi merata ke seluruh wilayah. 9. Dalam membagi itu enggan berlaku tidak adil. Meskipun demikian ada juga pembagian yang berbeda-beda, sesuai dengan penghasilan masing-masing menurut urutan pangkat dari bawah ke atas, agar tidak menimbulkan syak-wasangka, dan agar semuanya taat dan sungguh-sungguh tunduk menurut perintah, sesuai dengan pentrapan sama, beda, dana dan denda. Demikian itu sehingga dapat disebut menepati hukum keadilan. 10. Lebih baik lagi jika dalam usaha menegakkan keadilan disertai dengan kebijaksanaan dan kesadaran terhadap segala hal, 57 PNRI
agar keputusan yang diambil benar-benar adil dan tepat selaras dengan hukum dan pengayoman terhadap seluruh rakyat. Bijaksana artinya, mengetahui segala perilaku serta gerak-gerik seluruh negeri, sehingga dapat melihat yang buruk dan yang baik, sebagai bahan pertimbangan dalam pemeriksaan. 11. Sadar artinya, ada kecermatan atau ketelitian di dalam hati ketika mentrapkan hukuman maupun mensiasat. Hukum dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi. Yang benar dan yang salah sama-sama mendapat hak dan kewajiban. Yang benar mendapat ganjaran, yang salah mendapat hukuman. Dengan demikian akan kokoh dan masyhurlah menjadi tata-laksana yang teliti dalam hal pemeriksaan dan pengambilan keputusan. 12. Tersebutlah Raden Alidrawa itu, ia selalu mentaati ajaran pamannya, sehingga pikiran dan perasaannya benar-benar cerdas dan tajam, tak pernah bingung menghadapi segala persoalan. Dalam mengendalikan pemerintahan sebagai pengganti ayahnya, namanya menjadi masyhur. Dialah Sri Baginda Kusumawicitra atau Sang Ajipamasa, yang menguasai seluruh Tanah J a w a . " 13. Selesailah sudah si burung berkidung. Raja putra, Raden Jaka Pramana hatinya sangat puas, lalu ujarnya ramah, " H a i burung! Engkau benar-benar mahir berbicara, ahli membawakan kidung. Sungguh sangat kebetulan untuk menjadi teman, penghibur penerang kesedihan dan memberi peringatan pada hati yang retak." 14. Burung segera diberi isyarat supaya mendekat dan diterima dengan kedua tangan kiri dan kanan, diperhatikan ujudnya seraya dibelai-belai, lalu ujarnya, " I n i pantasnya diberi nama si J a m a n g . " Si menco berterima kasih, dan sangat setuju. Sesudah itu burung dibawa ke istana. Jinak tanpa kurungan. 15. Raden Putra semakin sayang. Siang malam tak boleh pergi. Burung menco itu diberi kebebasan, namun semua gerakgeriknya selalu diperhatikan. Para pelayan, emban serta babu mendapat tugas untuk mengurus minuman serta makannya. Tempat bertenggernya tidak dibatasi. Dibiarkannya di mana ia mau. Apa yang disenanginya serba tersedia dengan persediaan yang tidak mengecewakan. 58 PNRI
16. Demikianlah keadaan di negeri Pagelen. Kini tersebutlah di dukuh Cengkarsari. Ki Buyut Cemporet sekeluarga pada waktu itu mendapat sinar dan menjadi tempat curahan kasih. Hatinya gembira karena nafkahnya serba mencukupi keinginannya. Dalam mendidik dan menyantuni Rara Kumeyar, secara sambil lalu, mengambil contoh dari berbagai dongeng. 17. Dongeng-dongeng itu diambil yang pantas menjadi contoh teladan bagi wanita utama, yang memenuhi segala persyaratan, serba halus dan tak mau berbuat yang tak senonoh. Rara Kumenyar yang mendengarkannya, hatinya tersentuh dan tergugah, teringat akan kekhilafannya, sehingga berulang kali minta dongeng yang dapat dijadikan kias teladan bagi wanita. 18. Nyai Buyut juga selalu menurutinya. Di malam hari sang Dewi dipeluk dalam tidurnya, lama-kelamaan lalu mendongeng. Demikian dongengnya: Pada jaman dahulu kala ada seorang biku, yang sudah faham benar akan segala macam cara menyembah Yang Mahakuasa, bernama Resi Drawa. Ia adalah keturunan Hyang Bayu. Sejak masih muda bertapa menyendiri di Gunung Kawi, yang termasuk wilayah kerajaan Mamenang. 19. Istrinya bernama Endang Rasi, adik Biku Rasika, anak Resi Darmaketu, keturunan Hyang Kamulasidi. Pada masa itu Resi Drawa sudah mempunyai seorang anak perempuan yang sangat ayu, diberi nama Kusuma Rara Sarwasri, karena benarbenar tanpa cela. 20. Semakin dewasa semakin nyata kecantikannya. Pandangan matanya tajam sekali. Wajahnya selalu menunjukkan keramahtamahan, akan tetapi pikirannya sangat tumpul. Oleh karena itu ayah ibunya selalu berusaha secara halus, baik katakata maupun dengan pandangan yang memberi isyarat, seraya memberi nasihat. 21. Ketahuilah bahwa kewajiban wanita itu harus menggunakan tingkat-tingkat. Setiap tingkat ada tiga macam. Yang pertama tercakup dalam kata-kata: rigen, tegen, mugen. Yang dimaksud dengan rigen ialah, dapat mengerjakan segala sesuatu sampai selesai. Misalnya merakit keadaan di dalam rumah, diatur 59 PNRI
dengan pantas serta sesuai penempatannya, sehingga tidak menimbulkan kejanggalan. 22. Arti tegen ialah, tekun dalam melakukan suatu pekerjaan. Apa yang sedang dikerjakan, dilakukannya sampai selesai tanpa menyeleweng kepada yang lain. Mugen berarti mantap dalam hati, mantap tekadnya, setia, dalam arti tidak mempunyai pandangan kepada yang lain serta tidak mau melakukan perbuatan tercela. Tingkat yang kedua ialah, gemi, nastiti, dan ngati-ati. 23. Makna gemi ialah, dapat mengatur dan mengusahakan terkumpulnya harta dan uang, dengan cara tidak pemboros dan tidak sembarangan. Gemi, juga berarti menjauhi kata-kata atau bahasa yang tidak senonoh serta serba beralasan dalam segala hal. Nastiti, artinya selalu memperhitungkan segala sesuatu dengan merasa sayang untuk melakukan sesuatu yang tidak membawa hasil, dan cemas apabila miliknya berkurang. 24. Makna ngati-ati di dalam hati ialah, memasang mata dahulu ketika memulai suatu niat, dan segala tindakan selalu diperhitungkan dahulu, baik berjalan, duduk maupun berbicara sebagai suatu sikap batin yang selalu waspada, agar supaya dapat mengetahui adanya rintangan, di saat mendapat kepercayaan untuk menjaga sesuatu rahasia tidak berbuat ceroboh. 25. Tersebutlah tingkat yang ketiga ialah: gumati, mangerti dan miranti, Gumati, artinya sungguh-sungguh sampai ke dalam hati dalam hal merawat atau memelihara. Sungguh-sungguh tanpa perasaan segan. Mangerti, artinya dapat membuat perasaan orang lain menjadi puas, karena tindakan atau sikap yang sesuai dengan tempat dan waktu. 26. Adapun arti miranti ialah, selalu siap memenuhi keinginan, dapat membagi waktu dengan baik, rajin mengusahakan persesuaian pendapat serta siap melaksanakan tugas kewajiban, baik siang maupun malam. Jika hal-hal tersebut dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, pasti akan dikasihani oleh suami, dan dianggap sebagai wanita berbudi utama. Ni Sarwasri benar-benar taat akan nasehat ayah bundanya. 27. Oleh karena itu ia menjadi sangat termasyhur sebagai wanita utama, sehingga banyak yang datang melamar. Hilir 60 PNRI
mudik orang datang, namun tak ada yang sesuai di hatinya, karena masih lebih gemar bersamadi. Hal itu membuat sang resi selalu prihatin. Ujarnya tanpa dipikirkan, " A p a k a h anakku itu, kelak akan berjodoh dengan singa h i t a m ? " Ucapan tersebut ternyata benar-benar terjadi. 28. Tersebutlah pada waktu itu, Sri Jayabaya, sepeninggal permaisurinya yang bernama Dewi Sara, tak pernah makan maupun tidur. Hal itu disebabkan karena cintanya. Yang dilakukan ialah selalu bersamadi di dalam sanggar. Sesudah berjalan tiga bulan, ia mendapatkan petunjuk berupa suara. Semua petunjuk itu datang pada saat kesedihan hampir berakhir. 29. Tahulah sudah, bahwa permaisuri sudah manunggal menjadi satu dengan paruhannya semula ketika masih berujud atma. Sekarang bernama Rara Sarwasri, putri Resi Drawa, yang tinggal di puncak Gunung Kawi sebelkh timur. Sri Baginda merasa gembira, kemudian hendak mencarinya, dan pergi tanpa pengiring. 30. Ketika tiba di lereng Gunung Kawi, Sri Baginda mendengar berita, bahwa putri yang dicarinya belum juga mau kawin, sehingga ayahnya marah, dan mengucapkan kata-kata kekesalan untuk dirinya sendiri, bahwa mungkin kelak akan memperoleh jodoh harimau hitam. Sementara itu Sri Baginda yang merasa heran, lalu mengubah dirinya menjadi harimau hitam legam kehijau-hijauan dan gagah. 31. Kemudian harimau itu memasuki pertapaan dengan sikap yang sangat sopan. Ketika ditanya juga menjawab dengan suara lembut, bahwa ia bernama Kesawa, dan berniat melamar Rara Sarwasri. Sang Resi tertegun dan termangu-mangu. Dalam hati ia merasa menyesal, mengapa telah mengeluarkan kata-kata kekesalan. Ternyata kata-katanya itu menjadi kenyataan. Sang Resi rupanya tidak mengenal, siapa sebenarnya yang datang itu. 32. Namun putrinya, Ken Sarwasri lebih waspada penglihatan batinnya. Ia tidak ragu-ragu, bahwa harimau itu sebenarnya penjelmaan seorang raja besar, bahkan raja itu adalah penjelmaan Hyang Wisnumurti, yang bertahta di negeri Mamenang. San?
PNRI
putri sadar, karena ada yang membisiki rasanya, demikian, "Ken Sarwasri, jodohmu nanti, berujud harimau h i t a m . " 33. Bisikan itu diberitahukannya kepada ayahnya, sang resi, sehingga ayahnya pun beranggapan, bahwa hal itu merupakan petunjuk dewata, dan ia pun pasrah. Kawinlah sudah pada waktu itu, upacaranya dihadiri oleh semua maha resi dari agama Siwa maupun Buddha. Semuanya mendoakan kesejahteraan perkawinan itu. Demikian pula para dewa dan bidadari, turut memuji dan memberi selamat. 34. Beberapa hari setelah upacara itu selesai, dan mereka yang memberikan doa restu telah bubar, tibalah saatnya harimau hitam itu minta diri. Pada waktu itu yang diminta sebagai bekalnya hanyalah biji kacang hijau. Pesannya kepada.mentuanya demikian, "Kalau hendak menjenguk, kelak, hendaknya mengikuti tumbuhnya biji kacang hijau, sampai ke tempat yang d i t u j u . " 35. Resi Drawa berjanji akan memenuhi pesan itu. Tidak lama antaranya berangkatlah harimau hitam membawa istrinya, yang digendong di punggung. Setibanya di istana, harimau hitam pun kembali ke wujud sebenarnya, yakni Sri Baginda Jayabaya. Pada masa itu masyhurlah bahwa Dewi Sara hidup kembali dengan nama baru, Sarwasri. 36. Beberapa waktu kemudian, sang resi hendak menjenguk anaknya. Apa yang hendak dibawa sudah dipersiapkan. Sesuai dengan tempat tinggalnya, yakni sebagai penduduk daerah pegunungan, maka Endang Rasi menggendong hasil kebun secukupnya. Sang resi dan istrinya berangkat berdua tanpa pengiring, karena yang akan dicari belum jelas tempat tinggalnya. 37. Ketika keduanya turun gunung, tak lama antaranya sudah tampak pohon kacang hijau yang tumbuh sepanjang jalan. Keduanya mengira tumbuhan itu tidak akan jauh. Lalu diikuti ke mana pun arahnya, hingga akhirnya sampailah di daerah kerajaan, masih terus saja tumbuhan kacang hijau itu belum putus. Akhirnya keduanya dipersilakan oleh sang perdana menteri, untuk mengikutinya masuk ke dalam istana. 38. Sang Resi Drawa berjalan terus, dan akhirnya sampai di hadapan Sri Baginda. Ketika dilihatnya Ken Sarwasri duduk di 62 PNRI
samping Sri Baginda, Resi Drawa yang tidak mengetahui akan rahasia itu, merasa heran. Hal itu tampak pada sikap Resi Drawa yang tampak ragu-ragu. Karenanya lalu dipersilakan oleh Sri Baginda dengan kata-kata demikian. 39. " N a h , paman! Mendekatlah ke mari. Duduklah lebih dekat bersama putra paman. Sekarang pun tak usah berbeda seperti saat-saat di gunung dahulu. Demikian pula bibi, duduklah dekat paman, dan tidak usah terlampau berpegang pada peraturan sopan santun. Ketahuilah, bahwa saya, sekarang ini telah menjadi anak anda. Adapun sebab-musababnya ialah, diawali dari kesedihanku yang luar biasa karena ditinggal istri, 40. yakni permaisuriku yang bernama Dewi Sara. Seketika itu hati saya menjadi gelap dan putus asa. Dalam keadaan dukacita yang amat berat itu, saya paksakan menancapkan dan memanjatkan tuntutan hati dengan suatu tekad, jika tidak segera mendapat pelipur hati yang sama seperti Dewi Sara, saya berniat bunuh diri. Menuruti hati yang teramat gundah itu, saya lalu menyendiri bersamadi di dalam sanggar, untuk mohon petunjuk atau kehendak Yang Maha Kuasa. 41. Bagaimana sebenarnya kemauan Sang Pencipta? Saya berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengetahui asas yang sebenarnya, dan bagaimana pula kesudahan dan akhir dari lelakonku itu. Ternyata segera mendapat pertolongan dari Yang Maha Kuasa untuk mengobat hati yang pedih, sehingga bagaikan terlepas dari kerita kematian, berkat telah memperoleh usaha hati berupa wanita utama, sehingga hati ini meluap kegembiraannya. 42. Rasanya sudah tidak dapat menahan kesedihan lagi karena tertekan oleh perasaan rindu. Air mata bercucuran karena terkungkung oleh rasa cinta. Jalan keluarnya ialah dengan cara memuji secara tekun, membiarkan tubuh menderita, tersendatsendat tumbuhnya bagaikan tumbuh-tumbuhan yang tak pernah tersiram air. Akan tetapi pada akhirnya tersiram hujan lebat, merata memberikan petunjuk. 43. Petunjuk tersebut demikian jelas pemaparannya, dan saya pun segera melakukan petunjuk dewa. Setelah menjelma saya segera melawat ke Gunung Kawi. Paman, mengapa saya lakukan 63 PNRI
yang demikian itu, tak lain ialah karena adinda Dewi Sara menitis pada anak paman Ken Sarwasri, yang ditakdirkan harus memenuhi tugasnya sebagai permaisuri tunggal di kerajaan ini, 44. Untuk menghimpun kewibawaan di kelak kemudian hari. Mengapa saya memberanikan diri dengan jalan tidak langsung atau menyamar dengan mengubah ujud sebagai harimau hitam, ialah agar tidak diketahui oleh orang. Lagi pula saya mendengar berita yang mewartakan bahwa anak paman belum bersedia bersuami. Kalau saya tidak menggunakan samaran dengan mengubah ujud, dan nanti ditolak, tentu akan nista rasanya. 45. Mengapa saya minta benih kacang hijau, itu sebagai tanda saja. Atas semua tingkah laku saya itu, tak lain minta dimaklumi saja oleh paman beserta bibi, sebab saya telah menyusahkan paman dalam perjalanan, dan juga telah membuat paman ragu-ragu. Syukurlah bahwa sekarang semua telah bertemu dalam keadaan selamat." Setelah sang resi mendengar semua 46. paparan Sri Jayabaya, rasa hatinya bagaikan teriris dan seketika hilanglah seolah-olah daya pikirnya. Seperti terserap lalu menunduk, perasaannya melayang bagaikan bermimpi di kala tidur, kemudian bangun tertegun-tegun dan masih tetap heran, namun sedikit sudah bisa berpikir, "Ternyata para dewata yang mulia tidak dapat dihalang-halangi dalam membuka segala kehendaknya. 47. Lelakon ini sungguh-sungguh sangat aneh. Benar-benar tidak kuduga, bahwa beginilah kesudahannya," demikian pikir Resi Drawa, kemudian dengan suara lirih ia berkata, " W a h a i Sang Prabu, sejenak perasaan saya bagaikan terserap hilang. Hati ini benar-benar khilaf karena tertutup oleh kekesalan. Untunglah berkat pengaruh kewibawaan Sri Baginda pada akhirnya dapat terangkat kembali dengan pesat. 48. Sungguh tidak masuk akal sama sekali, sehingga bagaikan menemukan sorga yang mulia. Sedangkan untuk kemuliaan di hari akhir nanti sama sekali tidak terbayangkan akan seperti yang ditemui sekarang ini. Benar-benar saya merasa sangat berbahagia dan sekaligus bersyukur kepada Sang Pencipta dunia dengan anu64 PNRI
1
gerahnya yang maha besar, yang benar-benar tak mungkin diperbandingkan dengan apa pun. 49. Karenanya sangat saya junjung tinggi, saya tempatkan di ubun-ubun, dan saya anggap sebagai pusaka. Sabda Sri Baginda yang menunjukkan kasihnya kepada saya, saya pujikan semoga tulus dan lestari untuk selama-lamanya, terpatri dalam sanubari dan selalu menjadi sumber harapan agar dapat menjadi himpunan pengayoman di bumi, meluas sampai ke tri b u a n a . " 50. Resi Drawa lalu menasehati anaknya, demikian, " W a h a i anakku. Aku harapkan engkau dapat mengabdi pada manusia yang tidak sederajat, lebih-lebih raja yang sangat sakti penjelmaan Hyang Wisnumurti, yang teramat masyhur di dunia, berhati suci dan waspada terhadap segala laku. Engkau wahai anakku, ingatlah selalu bahwa engkau berasal dari golongan kecil, sehingga syukurilah semua ini dengan sungguh-sungguh. 51. Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa agar mendapat anugerah yang lebih besar dan memberi pengaruh yang merata. Dari derajat rendah, engkau telah dijadikan berderajat luhur, padahal mendapat tugas menguasai seluruh isi istana. Engkau pasti banyak mempunyai madu, yang terdiri dari para putri utama. Engkau harus mampu dan sepenuh hati mengemong dan melindungi seluruh madumu. 52. Janganlah engkau menimbulkan syak-wasangka. Usahakanlah agar semuanya akrab, rukun bagaikan saudara. Jangan sekali-kali merasa, bahwa engkaulah yang paling dikasihi. Ada sebuah teladan yang baik, yakni permaisuri Astina pada masa lalu. Pemaisuri Sri Sudarsana, seorang putri bangsawan, putri patih Supadma yang bernama Ratna Dewi Padmasari, yang amat masyhur karena kesucian hatinya. 53. Sikapnya selalu merendah, menenggang perasaan orang dengan penuh kasih. Apabila para madunya menunjukkan sikap iri, ia tanggapi dengan hati yang sabar. Itu semua dilakukannya karena takut kepada suami, disertai perasaan bahwa dirinya adalah abdi. Padahal para istri Sri Sudarsana itu menurut cerita berjumlah dua puluh lima orang, dan semuanya berasal dari para putri boyongan dari Manimantaka, bekas istri raja raksasa. SERAT CEMPORET - 5
65
PNRI
54. Ketika baru mendapat putri boyongan, Dewi Padmasari tidak dikasihi lagi, bahkan segala tingkah lakunya selalu dicela dan diejek oleh para madunya, sehingga terjadilah ia diperintahkan supaya menyingkir oleh Sri Baginda, dan ditempatkan di pengasingan. Dewi Padmasari tidak membantah. Ia hampir tidak mendapat perhatian raja sama sekali, karena raja sedang tercurah kasihnya kepada istri-istri muda yang memikat hati. 55. Meskipun demikian hatinya tidak berubah. Hatinya pasrah menerima perlakuan yang merendahkan dirinya. Pada waktu itu ia semakin terdesak ketika Sri Sudarsana mencari isyarat agar dapat berputra. Sri Sudarsana minta tolong kepada begawan Mintuna, diberi sebuah isyarat berupa sebuah mempelam, yang harus dibagikan kepada istri-istrinya. 56. Dengan demikian kelak akan berputralah istri-istrinya. Sri Baginda mentaati pesan sang bagawan. Mempelam sudah dibagi-bagi, hanya dijadikan dua puluh lima iris, lalu dibagikan kepada istrinya yang baru, yakni yang bukan permaisuri. Habislah sudah mempelam itu, dan hanya tinggal peluaknya saja, yang ditempatkan di atas baki emas. 57. Sri Baginda lupa kepada permaisuri, karena teraling oleh rasa cintanya kepada istri muda. Dengan demikian permaisuri tidak mendapat bagian. Sungguh suatu keadilan dewata yang mulai telah terjadi. Ialah seorang pelayan permaisuri hatinya seperti digerakkan. Peluak yang terletak di atas penampan emas itu diambilnya, kemudian dibawa ke taman dan dihaturkan kepada Ratna Dewi Padmasari. Peluak itu segera dihisap-hisap. 58. Rasa hatinya seperti tersumbat sesuatu karena tidak mendapat bagian daging mempelam. Meskipun demikian peluak yang dihisap-hisap itu terasa nikmat sekali. Tanpa disadari peluak itu ternyata tertelan. Sang dewi tertegun-tegun dan sangat heran. Sesudah beberapa lama antaranya, para istri pun hamil. Sri Baginda sangat gembira karena keinginannya terkabul. 59. Setelah tiba masanya lalu lahir, berturut-turut putranya laki-laki dan semuanya tampan. Sedangkan istri yang tua, yakni permaisuri melahirkan kijing, sehingga semakin mudah bagi para madunya untuk memperolok-olok dan mencela habis-habisan. 66 PNRI
Dewi Padmasari tinggal diam, dalam hati ia berserah diri kepada yang Maha Kuasa. 60. Sri Baginda bersikap pura-pura tidak mendengar perihal putra yang salah rupa, dan sudah merasa bahagia melihat putraputra yang lain yang cukup banyak itu. Pada suatu hari Sri Baginda pergi ke pertapaan yang ada di Gunung Rasamala. Para istrinya ikut serta sambil mengemban anaknya masing-masing. Tujuan Sri Baginda ialah hendak memintakan restu serta nama bagi putraputranya kepada begawan Mintuna. 61. Untuk mempercepat cerita, sampailah sudah dan bertemu dengan sang pertapa. Maksud kedatangannya telah diutarakan. Sang tapa sudah melaksanakan. Masing-masing sudah diberi nama. Sesudah selesai barulah sang bagawan berkata kepada Sri Baginda, bahwa sebenarnya masih mempunyai istri serta putra, yang lebih daripada yang lain. 62. Karena malu, raja selalu menjawab, bahwa sudah tidak mempunyai istri dan putra yang lain seperti yang disebut-sebut itu. Sang begawan tersenyum dan berkata bahwa ia tak dapat dibohongi. Ia terus mendesak, hingga akhirnya raja mengakui, bahwa sesungguhnya masih mempunyai permaisuri, yang melahirkan putra salah rupa. 63. Yaitu berupa kijing, dan itulah sebabnya dirahasiakan. Sang begawan tersenyum lalu mengutarakan segala sesuatu yang telah terjadi, setelah menyalahkan raja. Raja heran mendengarnya, dan seketika itu terdiam. Sang begawan menghiburnya dengan kata-kata lemah lembut, " W a h a i sang permata dunia, janganlah tuan bersedih. Sayalah nanti yang akan menyelamatkannya. Sesungguhnya memang sedang dijadikan lakon yang aneh 64. oleh para dewa. Sri Baginda tidak usah prihatin, karena istri dan putra paduka sudah sampai di gunung ini, sebab berangkatnya hampir bersamaan dengan keberangkatan Sri Baginda. Kemudian sang begawan menyuruh seorang cantrik untuk menjemputnya. Utusan segera berangkat, dan tak lama antaranya sudah kembali mengiringkan permaisuri. 65. Putra baginda raja yang berujud kijing, saat itu juga di67 PNRI
usahakan membuatnya nirmala dengan cara memantrainya dengan mantra yang sakti. Usaha sang begawan berhasil. Keadaan yang buruk telah berubah menjadi nirmala, kini telah berujud manusia, bentuk tubuhnya serasi, tampan lagi tenang dan memancarkan wibawa, cahayanya gilang-gemilang bagaikan bulan purnama. 66. Perasaan ibunya seperti melayang-layang, karena benarbenar tidak menduga sama sekali, bahwa demikianlah jadinya. Akhirnya senanglah hatinya melihat putranya yang tampan, berbeda dan melebihi putra-putra yang lain. Sri Baginda sendiri bukan main herannya. Semua yang melihat tak ada yang dapat berkata-kata. Rasanya seperti dalam mimpi. 67. Sang begawan kemudian berkata, "Duhai Sri Baginda, karena putra paduka sekarang sudah selamat nirmala sebagai manusia, mohon diketahui, bahwa saya akan memberinya nama yang p a n t a s . " Raja menyatakan persetujuannya. Putra yang utama sudah diberi nama Raden Kijing Wahana. 68. " J u g a bernama Kijing Nirmala, yang dianggap tepat sebagai peringatan sesuai dengan lelakonnya. Sesungguhnya dialah kelak, yang sanggup menghimpun dan memimpin dunia menggantikan paduka, sebagai yang baku untuk melindungi sanak saudara. Pusat kerajaannya kelak akan pindah ke wilayah Wirata," demikian keterangan begawan Mintuna. 69. Sri Baginda merasa gembira ketika mendengar ramalan begawan Mintuna. Akhirnya cintanya menjadi sangat besar terhadap putra yang luar biasa itu, dan hampir-hampir tak boleh berpisah dari Sri Baginda. Seketika ingatlah Sri Baginda kepada istri yang tua, yang benar-benar sangat setia kepada suami. Para istri muda takjub luar biasa menyaksikan keajaiban itu. 70. Tidak lama kemudian Sri Baginda beserta para istri dan putra semua pulang. Setibanya di istana segeralah pemaisuri tua, Dewi Padmasari ditetapkan sebagai pemuka dari istri-istri raja seluruhnya. Dia kembali menjadi mustika istana, berwenang mengatur dan menentukan segala hal di dalam puri istana. 71. Para istri muda sangat takut dan hormat serta taat atas segala perintahnya, karena merasa dirinya bernaung kepada per68 PNRI
maisuri. Meskipun demikian Dewi Padmasari sedikit pun tidak merasa bahwa dirinya menjadi pemimpin atas para madunya. Sikapnya ramah bersahabat seperti kepada saudara sendiri, karena dirasakan sebagai sama-sama mengabdi. 72. Tak ada seorang pun dari para madunya yang terkena syak wasangka. Bahkan sewaktu-waktu ada di antara mereka yang mendapat amarah raja, permaisurilah yang memintakan -maaf. tujuannya tak lain ialah agar sama-sama selamat dalam mengabdi pada suami, sehingga tercapai kerukunan dan saling bantu. Dengan demikian tak pernah merasa kesal di hati, sekaligus menyadari akan martabatnya sebagai keturunan bangsawan luhur, yang harus dapat bertindak sebagai teladan. 73. Permaisuri Sri Sudarsana benar-benar meupakan permata dunia yang pantas menjadi contoh teladan bagaimana seorang wanita menjadi pendamping suami yang benar-benar menepati kedudukannya sebagai seorang wanita, yang karena kesetiaannya akhirnya menemukan keutamaan serta mendapat anugerah. Oleh sebab itu aku harapkan engkau dapat mencontoh pengabdian yang seperti itu. 74. Lagi pula jika dibanding dengan engkau, anakku! Dalam hal garis keturunan kebangsawanan, sesungguhnya memang bukan bandingannya. Meskipun demikian, seperti itulah pendiriannya dalam mengabdi kepada junjungannya, yaitu selalu sadar bahwa dirinya dikuasai. Nah, engkau harus tabah. Karena telah mendapat anugerah, dan itu berarti kebahagiaanmu sekarang tak terhingga, jangan sampai hatimu khilaf. 75. Dalam melaksanakan segala perintah raja harus berdasarkan rasa berbakti karena kewajiban, dan lahir batinmu jangan sampai alpa. Dan jangan sekali-kali engkau merasa sebagai istri raja, akan tetapi tetaplah merasa sebagai rakyat yang mengabdi kepada raja, yang masih dapat dikenai hukuman. Dengan demikian hatimu tak akan berangkara, sehingga selamat untuk selamalamanya. 76. Kuharap pesanku ini engkau ingat-ingat, dan jangan hanya sampai pada ucapan saja, melainkan harus diamalkan secara nyata. Jangan tergesa-gesa dalam segala hal, namun harus di69 PNRI
perhitungan dengan cermat. Keinginan pun hendaknya dibatasi, dikira-kira bagaimana yang baik. Jangan pula melupakan isyarat pandangan yang tajam sebagai cara untuk selalu menuju ke arah keselamatan. 77. Dengan demikian barulah dapat dikatakan bahwa engkau benar-benar sayang kepada orang tua, yang sudah berprihatin demi engkau yang menerima karunia yang besar." Dewi Sarwasri setelah selesai mendengarkan nasehat ayahnya menanggapinya dengan jawaban demikian, "Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya, dan saya junjung di atas kepala, semoga menjadi azimat dalam kehidupan saya selama-lamanya. Atas restu ayah, 78. mudah-mudahan saya dapat mengamalkan semua wejangan paduka, yang mengharapkan keutamaan budi seperti yang telah dipaparkan tadi, yaitu tentang tingkat pengabdian kepada junjungan yang merupakan perhiasan hidup berumah tangga serta kesetiaan dan kesungguhannya. Mudah-mudahan saya dapat mengambil teladan dan mencamkan budi Dewi Padmasari, permaisuri Astina itu. 79. Alih-alih saya dapat menyamai darma bakti yang utama. Setidak-tidaknya saya akan berusaha melatih diri sekuasa saya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup ini. Mudah-mudahan mendapatkan kasih yang tulus sejak di dunia hingga akhir hayat. Mudah-mudahan pula selalu dituntun oleh kesucian, dituntun oleh cipta yang baik, sehingga bertaut dan berhasillah segala yang diidamkan. Sesungguhnya saya sedia melaksanakannya." 80. Sesudah beberapa lama antaranya, sang resi minta diri pulang ke pertapaan, dan sudah diijinkan. Perjalanannya tidak diceritakan. Selamat sudah sampai ke Gunung Kawi," demikianlah dongengnya Nyai Cemporet kepada Rara Kumenyar. Kemudian sambungnya dengan suara lembut, " N a k , camkanlah dongeng tadi sebagai teladan yang utama. 81. Dongeng itu dapat dijadikan tamsil tentang cara orang perempuan mengabdi kepada suami. Jika kelak engkau mengabdi suami dan mentaati seperti yang terurai dalam dongeng tadi, pasti engkau akan mendapatkan kesejahteraan untuk selama-lamanya 70 PNRI
di dalam rumah tanggamu." Rara Kumenyar senang sekali mendengar dongeng harimau hitam itu. 82. Dongeng itu telah tercatat selengkapnya dalam hatinya, lalu menjawab anjuran biyungnya dengan suara lembut, " J i k a dapat terlaksana seperti itu syukurlah. Dongeng tadi memang dapat dijadikan pelajaran, atau sebagai batu asah untuk memperhalus budi dan menjadi teladan yang baik. Dengan demikian, jika kelak berada di tengah-tengah masyarakat, akan mampu mengetahui segaia seluk-beluknya. Siapa tahu akan menjadi pendorong bagiku untuk mendapat anugerah kasih seperti yan^ «udah di ceritakan." 83. Nyai Buyut sangat gembira. Sang dewi dicium berkalikali dengan penuh rasa kasih. Menjelang pagi mendatang, Rara Kumenyar ke luar, hendak pergi ke patirtan seraya menyandang tempat air di pinggangnya. Tangannya yang satu lagi menjinjing cucian. Hatinya terasa pilu bercampur gundah, tenggelam angannya pada tamsil cerita. 84. Tersebutlah yang menjelma menjadi burung, waktu itu ia meninggalkan taman bunga di Pagelen, tujuannya ialah pergi ke dukuh Cengkarsari, untuk meninjau keselamatan orang tuanya. Ketika ia tiba di dekat patirtan, dilihatnya seorang wanita luar biasa cantiknya, cahaya wajahnya bagaikan bulan. 85. Burung menco asyik memandanginya, serta memperhatikan bentuk tubuhnya yang serba selaras dengan raut wajahnya. Si burung bergumam sendiri, ujarnya, "Dari manakah gerangan wanita ini? Kecantikannya mengalahkan keindahan alam. Cahayanya gilang-gemilang, akan tetapi sinar wajahnya bersemu sedih. Jelas pada pandangan matanya yang sayu. Akan tetapi hal itu justru menambah kecantikannya. 86. Mengapa ia tampak bersedih hati. Akh, sungguh kasihan. Sungguh sayang, jika tidak dipandang dan ditemukan serta bersanding dengan bangsawan. Lagi pula, seandainya benar ia orang dukuh, ketrampilannya tidak mirip dengan orang-orang kelahiran pedesaan. Yang kedua, ditilik dari raut wajahnya, serta sinar mata dan keluwesan tubuhnya, sangat mirip dengan sang rajaputra gustiku. 71 PNRI
87. Selama ini belum pernah aku melihat wanita yang kecantikannya seperti dia. Benar-benar aku tidak dapat menduga. Sinar wajahnya cemerlang. Mungkin memang keturunan seorang raja, yang sedang dijadikan lakon oleh dewata. Bagaimana gerangan sebab-musababnya, sehingga ia tinggal di Cengkarsari, menyerupai orang desa? 88. Andaikan dia dapat kuhaturkan kepada gustiku, kiranya akan dapat menjadi pengobat rindu, sehingga terhiburlah kedukaannya. Akh, siapa tahu dapat kubujuk dia, dan nanti kusampaikan kepada gustiku. Alangkah gembiranya tentunya. Dan siapa tahu, wanita inilah yang akan menjadi jalan atau sarana pembebasan diriku, sehingga aku akan pulih seperti semula, karena jasaku telah diterima." 89. Sesudah menyusun dan mereka-reka kata di dalam hati, mulailah si menco melagukan sebuah kidung tembang gede. Suaranya halus dan merdu, sayup-sayup mengalun menarik hati. Karena hari memang masih terlalu pagi, lagi pula suasana pun demikian sepi, sehingga suara si menco mengejutkan sang dewi. Suasana pagi memang masih remang-remang. Pandangan mata belum jelas, karena terhalang kabut, sehingga suara yang didengarnya membuat sang dewi merasa takut. 90. Perasaan cemas dan ragu mengganggu kalbunya. Kemudian berucaplah ia seperti kepada dirinya sendiri, demikian gumamnya, "Suara apakah itu, gerangan? Kedengarannya seperti orang melagukan kidung. Sungguh aneh, dan baru kali ini ada hantu bisa berlagu. Sungguh sangat mengherankan. Mungkinkah hantu itu semula berasal dari manusia? Waktu itu cahaya matahari sudah mulai menerangi bumi, sehingga lembar-lembar daun asam yang kecil pun sudah mulai tampak jelas. (Sebenarnya kalimat terakhir itu merupakan isyarat pergantian tembang Sinom).
72 PNRI
VIII
1. Dengan perasaan ragu-ragu, sang dewi mencoba melihat-lihat ke atas. Ia melihat seekor burung menco hinggap di sebuah dahan beringin. Masih dengan perasaan ragu-ragu, sang dewi berkata lirih, "Inilah kiranya, hantu yang melagukan kidung tadi, yang seolah-olah meninabobokan. Sekarang rahasianya sudah ketahuan. Dialah yang telah menimbulkan pikiran yang bukan-bukan." 2. Mendengar ucapan sang dewi, si menco tersenyum. Kemudian ia turun mendekati sang dewi, seraya ujarnya, "Saya bukan hantu, akan tetapi benar-benar seekor burung menco." Sang dewi semakin heran. Sesudah berpikir sejenak, ia menanggapi ucapan burung menco dengan kata-kata lembut, ujarnya, "Tidak mustahil, jika aku mengira, bahwa engkau ini sebangsa peri perayangan. 3. Atau barangkali danyang yang bertempat tinggal, dan sekaligus sebagai penjaga patirtan ini. Sebab benar-benar tidak masuk akal, burung dapat berkata-kata, serta mahir akan kakawin dan menyanyikannya dengan merdu. Baru kali ini saya melihat burung seperti engkau. Sangat bagus, serba indah, dan ujudnya serba selaras." 4. "Duhai, dewi yang bagaikan bidadari," demikian ujar si burung menco memikat hati, lalu lanjutnya, " N a m a saya ialah si Jamang. Saya berasal dari negeri Pagelen. Di sana saya ditempatkan di sebuah taman bunga, sebagai binatang kesayangan Raden Jaka Pramana. Dia adalah seorang satria yang sangat utama. Semula, saya menco hutan juga. 5. Akan tetapi telah dipelihara sejak kecil, diajar tatakrama, dan dilatih tahap demi tahap, sehingga akhirnya saya bisa mengucapkan beberapa perkataan, dan kemudian mampu me73 PNRI
lagukan tembang dan kidung, tentu saja saya menjadi jinak. Kedatangan saya ke tempat ini, sesungguhnya hanya untuk bercengkerama, dan mencari hiburan. 6. Saya mengantuk karena semalam kurang tidur. Saya lalu pergi dengan maksud ingin beristirahat. Setiba saya di sendang patirtan ini, lalu beristirahat di pohon beringin. Entah mengapa, rasanya menjadi tenang dan puas, karena bertiupnya angin yang membawa bau semerbak wangi, terasa sampai ke hati, sehingga jadi segan meneruskan perjalanan. Tiba-tiba saya melihat Sang Dewi 7. datang membawa tempat air dan cucian, tampaknya hendak pergi ke patirtan. Semakin hilanglah perasaan letih dan lesu saya. Kantuk pun hilang sama sekali, karena senang melihat keindahan yang memancarkan cahaya. Sang Dewi benar-benar mirip dengan gusti saya. Benar-benar bagai pinang dibelah dua. Sampai sinar matanya, juga tidak berbeda. 8. Demikian pula raut wajahnya. Saya bukan bermaksud mempersamakan, akan tetapi menurut pendapat saya, memang benar-benar sama. Wahai Sang Dewi, dari manakah paduka sebenarnya, karena baru kali ini saya melihat Sang Dewi berada di dukuh Cengkarsari ini," ketika sang dewi mendengar kata-kata si burung menco, berdesirlah perasaannya. 9. Semua itu disebabkan karena hatinya memang sedang gundah gulana, teringat akan perbuatannya meninggalkan istana. Akan tetapi kesedihannya tidak diperlihatkan, bahkan disembunyikan dengan cara bersikap manis, yang diutarakannya dengan kata-kata lembut, demikian ujarnya, " H a i , burung, namaku ialah Rara Kumenyar. Dulu, aku ini seorang kelana pengembara, yang tak tentu arah tujuannya, dan dalam keadaan sengsara. 10. Kemudian aku dipungut oleh Ki Buyut Cengkarsari, dan dianggap sebagai anaknya sendiri, tanpa ada perasaan kikuk sama sekali." Menco segera menyahut, demikian ujarnya, " J i k a demikian halnya, wahai Sang Dewi, saya ingin berterus terang, bahwa saya pun ingin turut serta menjaga keselamatan Sang Dewi. Dan hendaknya Sang Dewi ketahui, 74 PNRI
11. bahwa saya ini sesungguhnya, di masa yang lalu telah dipungut anak oleh Ki Buyut suami istri. Bahkan siang malam saya tidak boleh pergi meninggalkan Cengkarsari." Sang Dewi segera menyahut, ujarnya, " H a i burung, kalau demikian, engkau dan aku merupakan saudara angkat. 12. Bagaimana asal-mulanya engkau diambil a n a k ? " tanya sang dewi gembira. Si menco lalu bercerita, sejak mula bertemu di tengah hutan, sampai akhirnya dipungut, dan menjadi anak angkat. Setelah mendengar cerita si burung, sang dewi ganti bercerita, bahwa yang telah menyelamatkannya, 13. dan menjadi perantara adalah seekor banteng. Dengan perasaan hangat, si burung menanggapi penuturan sang dewi, dengan ucapan demikian, "Perasaan saya sangat gembira, bahwa Sang Dewi berkenan menyatakan perasaan kasihnya kepada saya, dengan mengakui saya sebagai saudara, meskipun saya ini seekor burung. Yang saya minta hanyalah, semoga Sang Dewi memaklumi keadaan saya." Jawab Rara Kumenyar, "Iya, Dik. Aku pun demikian. Kita sama-sama makhluk, dan sudah menjadi takdir kita masing-masing. 14. Dan sekarang, saya pun ingin memberikan nama padamu, sebagai pernyataan tanda keakrabanku kepada saudara muda. Kunamakan engkau, Sinom. Jamang mengucapkan terima kasih, dan berjanji akan memakai nama itu, dan tambahnya, " S a y a sangat senang, dan mudah-mudahan dapat menjadi cahaya keselamatan bagi kehidupan saya untuk selama-lamanya, dan semoga dewata turut merestuinya." 15. Sang dewi sangat gembira, dan kemudian ia bertanya dengan suara lembut, " H a i , Dik, aku ingin bertanya. Mengapa engkau mengantuk, dan mengapa pula semalam suntuk tidak tidur. Apa kerjamu semalam itu? Mungkin membaca buku, atau barangkali mengiringi gending, karena pada saat itu gustimu berulang t a h u n ? " 16. Jamang menjawab, " M e m a n g bukan alang-kepalang beratnya mengabdi kepada gusti. Siang malam tidak boleh pergi, disanding di tempat tidur. Kalau kebetulan gusti sedang membaca kidung, saya berada di arah kakinya. Semalam-malaman saya me75 PNRI
mijati. Sesudah selesai menghibur diri dengan membaca kidung, 17. saya lalu mendapat perintah untuk melanjutkan membaca kakawin yang berisi dongeng-dongeng kuno, yang digubah dalam bentuk tembang Kawi. Itu berlangsung sampai semalam suntuk, dan dipilih yang bagus-bagus, yang berisi tamsil teladan. Kadang-kadang siang hari sudah dimulai lagi, atau dari pagi hari sampai matahari terbenam. 18. Itulah sebabnya saya berjalan-jalan, sambil lalu mencari-cari, barangkali ada burung menco liar, akan saya bujuk, dan mudah-mudahan dapat turut serta mengabdi. Dengan demikian saya berharap, tugas saya menjadi agak ringan, karena ada yang dapat diajak bergiliran, sehingga memungkinkan untuk mengaso, baik malam maupun siang." 19. Sang dewi bertanya lagi, " A p a sebab, gustimu selalu berada di tempat tidur siang malam membaca kakawin?" Menco menjawab lagi, demikian, "Gusti sedang sakit rindu kepada putri Jepara. Saya tidak tahu asal-mulanya. Akan tetapi hal itu kentara sekali dalam kidung-kidung yang digubahnya." 20. Menco meneruskan keterangannya, "Demikian gubahan yang dibuat oleh sang rajaputra: Wahai dinda, ratna Jepara, mengapa engkau salah faham, terlampau berhati-hati jadi keliru, namun mengapa diperturutkan juga, dan kemudian pergi memperturutkan hati murka. Tak mau bersabar barang sebentar, sehingga terbawa-bawa seperti orang bingung, dan kemudian mengikuti kata hati yang tidak benar. 21. Tidak ingat lagi kepada ayah dan bunda, yang menjadi gundah gulana. Wahai kekasih, wahai jantung hatiku. Kemanakah gerangan tujuanmu? Sudilah engkau berkirim berita, dan ingatlah kepadaku yang menunggu-nunggu. Meskipun engkau tak sudi padaku, akan tetapi kuharap engkau jangan menaruh syak wasangka, dan selalu menjauhkan diri sehingga mengganggu hati yang sedang pedih. 22. Itu merupakan gubahan tembang Bangsapatra Kawi, yang hanya terdiri dari satu bait saja. Akan tetapi masih ada lagi yang benar-benar hebat luar biasa. Lebih-lebih jika dilagukan oleh gusti. Tembang Sulanjari namanya. Dasar suaranya halus dan 76 PNRI
merdu, sehingga meresap sampai ke hati, sehingga dapat menyembuhkan orang sakit. Tanah yang gersang atau pohon yang angker, dapat punah kegersangan dan keangkerannya." 23. Pedih dan getir hati sang dewi mendengar cerita si burung menco, sampai air matanya bercucuran. Keringatnya menetes deras, rasanya sudah hampir pingsan, namun sedapat-dapat ia bertahan. Wajahnya menunduk, seolah-olah menyembunyikan suatu rahasia. Akan tetapi sinar matanya tidak kentara. Karena perasaannya sudah terpagut, maka ujarnya lirih, " H a i , adik, jika engkau bersedia, 24. ajarilah saya, kidung Bangsapatra dan Sulanjari, agar saya bisa melagukannya. Saya benar-benar tertarik." Menco menjawab, " I t u gampang, asal saja mau belajar dengan membaca karya-karya sastra, maka kelak jika sudah dapat ilmunya, tidak akan bingung membawakan lagu-lagu. 25. Hanya sekarang ini, izinkanlah adinda pulang dulu, kalau-kalau ditunggu-tunggu oleh gusti rajaputra, karena tadi pergi tanpa pamit. Jika pulangnya sangat terlambat, tentu saya disalahkan." Sang dewi lalu bertanya, "Kira-kira berapa hari lagi, adik akan datang ke mari?" 26. "Besok pagi," jawabnya singkat, seraya melesat ke angkasa. Sang dewi termangu-mangu, dan terbersit perasaan rindu, kecewa serta cemas mengganggu hati, yang mendebarkan jantung. Semua itu terasa sangat berat menindih perasaannya, sehingga akhirnya sang dewi jatuh pingsan. Ketika ia siuman, ternyata tak dapat bangkit, karena terlanjur tidur disebabkan kantuknya yang tak tertahan lagi, terbawa keasyikannya mendengarkan dongeng harimau hitam. 27. Matahari sudah sepenggalah, sang dewi belum juga pulang dari kolam air. Nyai Buyut pergi mencarinya. Ketika disusul ke sendang, sang dewi ditemukan tidur di atas batu datar di pinggir kolam. Periuk air serta cucian tergeletak di sampingnya. Nyai Buyut termangu-mangu, dan ragu-ragu untuk membangunkannya agar tidak terkejut. 28! Sejenak Nyai Buyut berpikir, kemudian ia berdoa, demikian ucapnya, " W a h a i dewata yang menguasai kolam, yang 77 PNRI
menjaga dan melindungi anakku! Baik-baiklah dalam menjaganya, agar dalam tidurnya tidak sampai menyeleweng, atau bermimpi yang bukan-bukan. Harapanku ia akan mendapat petunjuk, dekat jodohnya dengan pria yang u t a m a . " 29. Sang dewi lalu bangun. Melihat biyungnya berada di sampingnya, ia bertanya lembut, " S u d a h lamakah, biyung di sini?" Dengan penuh kasih sayang Nyai Buyut menjawab, "Belum, belum lama. Wahai anakku, biyung sangat terharu melihat engkau. Mengapa engkau sampai tergolek tidur di tepi sendang? 30. Tidakkah tubuhnya berasa sakit? Lama benar engkau kutunggu, sampai aku mengira yang bukan-bukan. Begitulah orang tua kepada anak, cintanya benar-benar tercurah, dan itulah sebabnya aku menyusul ke mari. Kalau hendak tidur, tidurlah di tempat tidur yang harum. Engkau dapat tidur sepuas hati, dan tidak akan ada yang mengganggumu." 31. Jawab sang dewi, " W a h a i biyung, saya minta maaf, karena sangat mengantuk, sehingga tidak terasa, tertidur di tepi kolam. Saya bermaksud mengambil air, tengah beristirahat makan sirih, bersandar pohon beringin, mata terasa semakin berat terusap semilirnya angin. 32. Tubuh terasa semakin lesu, mata terpejam-pejam lalu tertidur, lupa akan segala-galanya, lupa bahwa semula akan mengambil air. Ketika terbangun ternyata biyung sudah duduk di sampingku. Aku benar-benar heran, dan rasanya seperti mimpi. Jika kuingat kembali, rasanya seperti tak ada sesuatu yang terjadi." 33. Nyai Buyut tersenyum seraya ujarnya, " N a h , Anakku, marilah kita pulang. Tetapi pergilah dulu ke air, dan mari kubant u . " Sang dewi menurut. Ia segera mengambil kendi dan periuk airnya, kemudian membersihkan badan di pemandian. Sesudah mengambil air, lalu pulang ke rumah bersama biyungnya. 34. Tersebutlah sang dewi, sejak mendengar cerita berita dari si burung menco Jamang, hatinya selalu sedih. Ia senantiasa terkenang akan gubahan rajaputra, yang dirakit dalam bentuk kakawin. Susunan kalimatnya yang runtut, terasa manis dan indahnya meresap ke tubuhnya. Setelah ia mengetahui bahwa 78 PNRI
tunangannya dulu itu adalah putra Pagelen, yang ternyata berujud seorang satria yang tampan dan perkasa, 35. menyesallah ia, karena telah memperturutkan dorongan hatinya, sehingga ia telah berlaku tergesa-gesa, tanpa lebih dahulu mengetahui kebenarannya, dan kemudian telah mempercayai berita yang simpang siur. Akhirnya ia mengalami kesengsaraan. Rasanya sulit untuk mencapai keinginannya, karena sudah terlanjur mengalami lakon yang menyulitkan. Hanya suatu keajaiban yang memungkinkan keinginannya dapat terjadi. Ia memikirkan hal itu begitu mendalam, sampai nafasnya terasa sesak, dan terusmenerus membisu di tempat tidurnya. 36-. Terasa berat sekali ia menanggung rindu. Dicobanya untuk menenteramkan hatinya, namun tiada berhasil, bahkan semakin terasa sampai ke pusat kalbunya, yang menjadi sesak dan cemas dalam menantikan si Jamang, yang berjanji akan kembali lagi bermain-main ke sendang, dan sa/iggup datang besok pagi. Sekilas ia teringat kepada si menco, akan tetapi yang tercetus di hati adalah kekesalan. 37. "Bercerita belum selesai, sudah buru-buru pulang. Tuntutannya saja tak karuan. Mentang-mentang disayang oleh gustinya, lalu jadi sombong, tak ingat lagi yang ditinggal, terasa hampa, rindu, bingung, hati terasa retak karena hanya membayangbayangkan berdasarkan ceritanya saja. 38. Lebih baik tak usah bercerita, sehingga hatiku tidak menjadi resah. Jika ia tidak datang, berarti si Jamang itu mengingkari janji. Dan jika ia benar-benar tidak datang ke sendang, mungkin akulah yang akan menjadi korban kerinduan, lama-kelamaan hanyut di sendang, karena selalu menanti-nantikan kedatangannya. Akh, begitu sengsaranya aku, karena mempercayai kata-kata yang belum ada buktinya. 39. Mungkin ia hanya bermanis-manis mulut, dalam menganggap dan mengaku saudara kepadaku,- ketika ia berkata di pohon beringin itu? Jika mengingat-ingat ceritanya, terasa semakin rindu. Cerita si Jamang tentang gustinya, apabila menggubah kidung, seperti lebah yang hendak menghisap madunya bunga. Kemerduan suaranya membuat orang mabuk asmara. 79 PNRI
40. Seperti merayu atau memuja seorang wanita. Benarbenar secara lahiriah mampu, dan secara batiniah pun mahir menawan hati. Tingkah lakunya membuat hati tergugah, sampai perasaan menyesal ini menggelora di hati, tergugah oleh kidung, yang kalau tidak dihalang-halangi oleh kesadaran, dapat mengakibatkan aku mendadak menjadi gila. 41. Kepandaian gustimu kautonjol-tonjolkan. Jika ia mulai membaca kakawin, dapat membuat hati menjadi bingung bercampur bimbang, terpesona bujuk rayu. Rasanya seperti terngiangngiang di telinga, terkena pengaruh suara merdu, halus memikat hati. Lebih-lebih jika merayu, mengajak menikmati laku asmara. 42. Bijak benar ia menyusun berita sambil memikat hati, lalu demikian akrab dan mempersamakan rupa, dikatakan mirip, seperti hendak membandingkan. Rasanya mustahil untuk-bertemu karena aku telah hina dina begini. Mengapa harus membayang-bayangkan untuk memperoleh pasangan yang tidak seimbang. 43. Saya timbang-timbang seperti kerakap hendak mencapai langit. Atau seperti hendak melempar bintang. Sudah merugi, dan pasti tak kan kena, karena menurut perhitungan pun tidak akan tersentuh, disebabkan jauhnya memang bukan alang-kepalang. Meskipun demikian tidak mustahil pula dapat terjadi, jika dewata berkehendak membuat keajaiban dalam bentuk lakon umatnya. 44. Jika sudah demikian, kemampuan manusia ialah bersandar pada takdir, serta berlindung pada Yang Maha Kuasa." Sesudah selesai berangan-angan, sang dewi lalu merebahkan.diri hendak tidur, akan tetapi mendadak bangkit lagi seperti orang kebingungan. Ki dan Nyai Buyut terkejut, lalu ujarnya lembut, " N a k , mengapa engkau resah gelisah begitu. Tidurmu tidak tenang seperti biasanya." 45. Sang dewi berusaha mengelak, ujarnya, "Mungkin karena tanggung, tidurku ini. Belum pulih kantukku sehabis kurang tidur semalam. Waktu itu tidak terasa mengantuk, karena asyik mendengar dongeng harimau hitam." 46. Ki dan Nyai Buyut tersenyum mendengar jawaban sang dewi, lalu ujarnya, " N a h , sekarang beristirahatlah. Tidurlah se80 PNRI
puasmu. Biar terus sampai semalam suntuk, tak usah kau merasa rikuh. Jika tidak, nanti badanmu akan merasa sangat lesu." Saihg dewi pura-pura tidur, berselimut kain, lalu membujur di tempat tidur. 47. Kini tersebutlah di petamanan Pagelen, Raden Jaka Pramana bertanya kepada pengasuhnya, mengapa burung kesayangannya tidak kelihatan. Nyi Wilasita menjawab, "Biasanya selalu ada di sini. Mungkin sedang bermain-main ke kolam. 48. Karena burung itu lepas bebas tak bertali, dan tidak dimasukkan dalam kurungan, maka sekehendaknya dapat terjadi. Para abdi perempuan yang mengawasi tingkah lakunya, meskipun si Jamang berkeliling ke tempat para perempuan pun, tidak ada yang kuwatir. 49. Akan tetapi jika ia pergi terbang tinggi ke angkasa, siapa yang dapat mengejar bangsa burung yang bersayap? Palingpaling cuma berteriak-teriak, karena manusia itu gundul tak bersayap. Oleh karena itu, nanti kalau ia pulang, sebaiknya dimasukkan saja ke dalam kurungan. 50. Mendengar keterangan para abdi, Raden Jaka Pramana sangat cemas. Lalu ia pergi mencarinya. Lama sudah ia mencari si burung menco, akan tetapi burung itu tidak terdapat di taman. Kemudian dicari di sekitar kolam. Tak lama antaranya si menco datang, segera dipanggil, dan turun mendekat ke hadapan gustinya. 51. Si Jamang ditanggapi dengan tangan, kemudian ditanya dengan kata-kata lembut, " D a r i manakah engkau, Jamang? Lama engkau tak kelihatan." Si menco menjawab hormat, "Dari dukuh Cengkalsewu, berjalan-jalan mencari angin, lalu terhenti karena kagum melihat seorang wanita yang sangat cantik, yang cahayanya bagaikan b u l a n . " 52. Kemudian dengan mahirnya si menco melukiskan sang dewi, demikian, "Tubuhnya mulus serba selaras, rambut tebal berwarna hitam kehijau-hijauan, ujungnya bagaikan lung pakis, sinomnya lebat bagai daun sedang bersemi, rambut pelipisnya bagaikan bunga melati yang masih kuncup, alisnya berkilat jelas, SERAT CEMPORET - 6
81
PNRI
matanya tajam berkilat-kilat, hidung mancung, bibir bagaikan manggis merekah. 53. Giginya bagaikan gubahan permata, rapat teratur rapi, dan bentuknya seperti tetesan air hujan. Suaranya sangat sedap didengar, pipinya bagaikan seiris limau, telinga bagai simbar berembun, dagu bagaikan emas dicetak, sedangkan lehernya lemas dan indah serta panjang, pundaknya bagaikan timbangan emas. 54. Dadanya luas dan tegap, bahu bagaikan panah yang tajam dengan urat-urat yang seolah-olah bersinar, antara kelihatan dan tidak, sungguh sangat menarik, bagaikan kilauan air. Wajahnya bersemu hijau, payudara bagaikan kelapa gading. Betisnya seperti paha katak, meruncing. Pantatnya serasi sekali dengan pangkal seperti supit udang. 55. Tumitnya sangat halus dan indah, kaki bagaikan aur gading, telapak bagai pisang emas, jari-jari ramping meruncing, kukunya bagai emas hanyut. Perawakannya semampai anggun, manis luar biasa. Kecantikannya mengandung wibawa, benarbenar mencerminkan martabat seorang putri utama. 56. Jika diperhatikan benar, lama-kelamaan wibawanya semakin menonjol. Ujudnya seperti boneka kemala. Pakaian yang dikenakan serba pantas, karena memang pandai mengkombinasikan warna dan potongan, sesuai dengan suasana, disesuaikan pula dengan keserasian tubuhnya, satu demi satu mendapat perhatian, sehingga benar-benar seperti lukisan indahnya. 57. Sama sekali tidak sepadan sebagai gadis dusun. Setelah saya perhatikan benar-benar dan saya perbandingkan raut wajahnya, serta sinar matanya, benar-benar mirip dengan paduka, Gusti. Demikian pula kelembutan dan cahaya wajah yang halus berkilau, semua sama. Perbedaannya hanyalah, ia seorang wanita, sedangkan Gusti, seorang laki-laki. Sorot wajahnyaimencerminkan perasaan duka. 58. Mungkin ia berdarah Witaradya. Kebetulan sang dewi tadi sedang mengambil air ke kolam. Hari masih pagi-pagi benar. Sang dewi berhenti di bawah pohon beringin, tampak seperti raguragu. Ketika mendengar suara saya yang melagukan sebuah kidung, dikiranya mambang penjaga sendang. 82 PNRI
59. Setelah matahari bersinar terang, sang dewi lalu melihat saya, dan dikiranya saya ini hantu. Saya menjawab, bahwa saya benar-benar seekor burung, burung menco piaraan paduka, rajaputra Pagelen. Seketika itu sang dewi tampak terpikat, takjub tertegun-tegun. 60. Bahkan saya bangkitkan keinginannya, kemudian saya ceritakan juga bagaimana indahnya kidung itu, jika paduka yang mengidungkannya. Ia mendengarkannya dengan penuh perhatian, dan akhirnya diam terpukau, seolah-olah hatinya terpukul. Saya .tanyakan nama serta tempat tinggal orang tuanya. 61. Pertanyaan saya itu saya ajukan, karena baru sekali itu saya melihatnya di dukuh Cengkarsari. Ia mengaku sebagai orang yang papa dan sengsara, dipungut sebagai anak oleh Ki Buyut Cengkarsari. Sedangkan namanya ialah Rara Kumenyar. Dengan akrab kemudian saya jelaskan pula, bahwa saya pun sudah dipungut sebagai anak 62. oleh Ki Buyut Cengkarsari. Sang dewi sangat gembira mendengarnya, dan tanpa ragu-ragu ia mengaku saudara, dan tidak segan-segan menganggap saya sebagai adik. Saya pun menanggapinya dengan baik. Sesudah itu saya diberi nama si Sinom, sebagai tanda kasihnya kepada saya. 63. Ia benar-benar menganggap saya sebagai saudara muda. Setelah beberapa saat lamanya kami bercakap-cakap, saya lalu minta diri, dan segera kembali ke hadapan paduka, karena tadi saya pergi tanpa pamit ketika hendak berjalan-jalan ke dukuh. Hampir-hampir saya tak diperbolehkan pergi, dan dipesan supaya benar-benar kembali lagi ke sana. Saya pun menyanggupinya untuk kembali ke sana besok pagi." 64. Si burung sudah selesai dengan ceritanya. Tersebutlah rajaputra, Raden Jaka Pramana, benar-benar merasa takjub mendengar cerita si burung. Berita itu benar-benar meresap ke sanubarinya, dan akhirnya ia terkena perasaan rindu kepada Rara Kumenyar, sang dara dari Cengkarsari, yang selalu diceritakan oleh si menco Jamang. 65. Akan tetapi perasaannya tidak diperlihatkan. Ia segera kembali ke taman bersama burung kekasihnya. Waktu itu hari 83 PNRI
lelah malam, sang rajaputra berada di tempat tidurnya. Setelah berpikir panjang, ia mengambil keputusan, ingin membuktikan kenyataan cerita si burung. 66. Setelah hari pagi datang kembali, si menco segera diperintahkan supaya kembali ke Cengkarsari, membawa sebuah sarana rahasia, yang akan dipakai sebagai sarana pembuktian. Sebuah wasiat pemberian ibunya berbentuk cincin dengan permata yang bercahaya-cahaya, bernama cincin manik adiwarna, itulah yang dijadikan sarana. 67. Kasiat cincin itu ialah, dapat menghirup warna. Sesudah permatanya diperhatikan sejenak, lalu segera diusapkan ke wajah sang rajaputra. Hasilnya, di dalam permata cincin itu lalu tampak gambar yang indah, yaitu ujud dari Raden Jaka Pramana. 68. Kemudian dijelaskannya kepada si Jamang, nanti setibanya di Cengkarsari, sesudah bertemu dengan Rara Kumenyar, dan sesudah ia melihat dengan seksama akan rupa sang rajaputra, usapkanlah cincin itu ke wajah sang dewi. Selanjutnya cincin itu harus dibawa pulang, karena rajaputra ingin melihat rupa sang dewi. 69. untuk membuktikan kebenaran berita si Jamang. Sesudah selesai dengan pesan-pesannya, cincin manik adiwarna lalu dikalungkan di leher si menco. Jamang mohon diri, dan sesudah diberi izin oleh rajaputra, ia segera melesat ke angkasa. Tersebutlah kini di dukuh Cengkarsari. Diceritakan kembali keadaan Rara Kumenyar, yang selalu menanggung rindu.
84 PNRI
IX
1. Ketika pagi datang berseri, sang dara Rara Kumenyar teringat akan janjinya serta janji si Menco Jamang, yang telah berjanji mengadakan pertemuan lagi di sendang. Lalu gopoh-gopoh Rara Kumenyar pergi ke sendang, dengan alasan akan mengambil air. 2. Tak lama antaranya ia telah sampai ke sendang, dan berdiri di tepinya. Wajahnya menunjukkan perasaannya yang agak ragu mengenai janji si Jamang, yang katanya akan kembali. Ia mendongak, melihat-lihat ke atas, yakni ke pohon beringin, akan tetapi yang dicari tidak ada. 3. Banyak burung berkicau, gemuruh suaranya pagi itu, akan tetapi si Burung Menco tidak ada. Perasaan Rara Kumenyar tidak tenteram dalam menantikan si Menco yang sangat diharapharap kedatangannya. Ia menduga-duga. 4. "Jangan-jangan ia ingkar janji. Kata-kata si Menco itu, mungkin hanya mengoceh belaka. Waktu menyatakan kesanggupannya seolah-olah serba pasti, akan tetapi akhirnya hanya janji kosong. Sudah lama kuperhatikan dan kunantikan, ternyata ia belum datang. 5. Jika ia benar-benar ingkar janji, benar-benar membuat aku menderita, dan mungkin aku hanyut di sendang ini." Tak lama ia berpikir demikian. Si Menco Jamang telah datang, yang terbang merendah, dan sangat terpesona melihat penunggunya. 6. Ia segera mendekati sang dewi, dan ditanggapi dengan tangan, lalu dibelai ubun-ubunnya, seraya ujarnya, "Kukira engkau tak jadi datang, hai engkau Sinom kesayanganku. Hampir-hampir aku berpendapat bahwa ucapan-ucapanmu semua bohong belaka." 7. Si burung menjawab dengan suara lembut, ujarnya, 85 PNRI
" M e m a n g benar, sebagai burung menco saya biasa mengoceh. Akan tetapi tak mempunyai watak pembohong dalam segala ucapannya. Takut ingkar janji. Saya datang agak terlambat, karena lama minta penjelasan akan segala pesan 8. gusti saya sang Rajaputra. Kemarin ketika saya kembali, saya ditanya, mengapa lama tak kelihatan, sehingga membuatnya kuatir. Lebih-lebih karena kepergian saya kemarin tanpa pamit. Hampir-hampir saja sang Rajaputra kesal bercampur marah, 9. dan kemarahannya ditujukan kepada para abdi yang menghadap. "Semua itu gara-gara kamu juga. Aku tunggutunggu, karena sudah sangat ingin bertemu denganmu, kekasih yang telah lama berpisah," demikian ujar Sang Rajaputra. Saya lalu bercerita. Semua saya ceritakan, dan akibatnya, sang Rajaputra terkena sakit asmara. 10. "Saya ingin membuktikannya," demikian ujarnya, lalu sambungnya, " H a i , Jamang, tanggapanku kepada ceritamu itu, aku benar-benar telah merasa senang sekali terhadap Rara Kumenyar. Akan di pihak lain, yakni sang Dewi, 11. jangan-jangan dialah yang tidak sudi padaku. Jika demikian, akulah yang akan mendapat malu. Oleh karena itu, hai Jamang, sekarang aku berikan sebuah pertanda atau sarana untuk membuktikan kebenaran beritamu. Nah, inilah cincinku, yang bernama Manik Adiwarna. 12. Di dalam permatanya terisi gambarku yang sebenarnya. Perlihatkanlah kepada sang dewi. Jika ia memang sudi menerima diriku, ia kuharap memberi pertanda akan rupa sang dewi. Rekamlah gambarnya dalam cincin ini. 13. Akan tetapi engkau harus pandai-pandai membujuknya, agar jangan sampai merasa tersinggung," demikian penuturan si Burung, sampai yang mendengar seperti kehilangan kesadaran, sangat heran, dan agak ragu-ragu, rasanya seperti tak dapat berkata-kata. 14. Setelah berpikir beberapa saat lamanya, Rara Kumenyar mengambil keputusan untuk membuktikan cerita yang didengarnya. Ia melihat dengan jelas, bahwa di leher si Burung terdapat se86 PNRI
buah kalung permata yang bersinar-sinar cahayanya seperti bintang. 15. Sang dewi hendak mengambilnya. Tangannya sudah bergerak, akan tetapi hatinya berdebar-debar, dan tubuhnya pun gemetar. Hal itu disebabkan karena ibarat bunga yang masih kuncup, yang madunya belum dihisap oleh serangga. 16. Sekarang ia akan menyaksikan rupa seorang pria yang bagaikan bunga padma, yang suaranya demikian merdu bagaikan lebah. Pengaruh hubungan pria dan wanita itulah yang menyebabkan hati menjadi berdebar-debar. Si menco tersenyum, lalu menunduk. Cincin sudah dilepas, dan sudah diterima sang dewi. 17. Ketika diperhatikan, tampak nyata sekali gambar sang rajaputra, tertera di pusat cincin. Rupanya digambarkan demikian, bahwa cahayanya bagaikan matahari, tubuh serba serasi dan halus, perawakannya sedang dan anggun. 18. Sinarnya yang berkilauan bagaikan perada dibakar, namun mengandung kesedihan sehingga tampak lunglai. Saat itu sedang mengurai rambut yang diberi hiasan berupa cunduk bunga yang berayun-ayun, lebih indah lagi karena ada daun bunganya. 19. Rambutnya lebat bersemu hijau, terkena oleh sinarnya, mata pun turut bersemu hijau juga, bahkan mengenai tubuh, semakin mempertampan dirinya, sehingga bagaikan kencana digosok, seperti dilukis dengan halus. 20. Sinomnya bagaikan daun karawista, atau bagaikan akar serabut yang lebat, berderet-deret gemerlapan, memancarkan bau harum semerbak, kacanya besar dan bagus, menambah luasnya pemandangan, bagaikan bianglala mengandung air. 21. Rambut pelipisnya berbentuk kuncup bunga turi, dahi berbentuk dahi angsa, bergurat urat-urat menghijau bagai bunga digubah alis bagai daun alis-alis, melengkung memancarkan wibawa, mata bagaikan laut bersimbur. 22. Hidung berukuran sedang serta mancung, bagaikan emas digosok, bibir berwarna kesumba kemerah-merahan bagaikan ir.ar.ggis merekah, giginya hitam mengkilap, rapat seperti diatur, berbentuk biji semangka. 23. Pipi bagai durian selapis, telinga laksana tepinya wadah 87 PNRI
buah-buahan, lehernya yang tampak jenjang bagai burung merak melayang, pundak bagaikan timbangan emas, dadanya bidang bersemu hijau, bahu bagaikan busur gading. 24. Lekuk betisnya meruncing, tumit halus menarik, kaki bagaikan tangkai bunga, telapak menyerupai kalung, jari-jari lentik serasi, kukunya bagaikan emas yang sudah luluh cahayanya berkilauan. 25. Sinar matanya mencerminkan kewibawaan, sebagaimana layaknya seorang satria tama. Raut wajahnya lembut, seperti rumput yang sedang bertumbuh muda tersiram tirta amarta. Sepintas lintas dipandang, bagaikan dewa turun ke bumi. 26. Sesudah memperhatikan gambar sang rajaputra dengan saksama, pandangan mata sang dewi serasa gelap seperti hendak pingsan, lalu bersandar ke batang pohon, nyawanya serasa hendak melesat dari jasadnya. Seketika hatinya tercekam, terbantun ke dalam permata cincin adiwarna. 27. Terasa berat sekali rasanya menahan derita, sampai permata itu lepas dari tangannya. Si burung menco cepat tanggap, cincin segera disambut dengan paruhnya, dan dimasukkan ke lehernya. Melihat sang dewi teramat sedih, dengan gugup menco mendekat serta menghibur, " A d u h a i sang Dewi yang utama, 28. sabarkanlah hati sang Dewi, dan jangan terlanjur lupa diri. Ingatlah kepada si Sinom, yang telah jauh-jauh datang memenuhi janji, dengan niat saling menjaga dan membina persesuaian dan kesepakatan pendapat, akan tetapi pada akhirnya hanya membuat kesedihan. 29. Jika demikian halnya, saya pamit saja, karena saya tak dapat menanggungnya, apabila usaha saya justru mengakibatkan kesengsaraan. Sedangkan kedatangan saya ke mari, berniat membina keselamatan. Benar-benar saya doakan, semoga kelak menjadi obor penerang dan tempat berteduh. 30. Lebih baik teguhkanlah hati sang Dewi, mungkin akan segera terlaksana, berdua hidup sejahtera serta menciptakan kesenangan di dalam istana, segala keinginan dapat terpenuhi." Setelah kesadarannya pulih kembali, sang dewi bangkit, terteguntegun seperti bermimpi. 88 PNRI
31. Ia masih tampak bingung, hingga beberapa saat lamanya diam membisu seperti tugu pemujaan. Dengan suara lembut si menco bertanya, " A p a gerangan yang menyebabkan hati sang Dewi sangat tergoncang, dan mengapa tak mau berkata apa pun. Apakah karena gambar gusti saya tidak berkenan di hati?" 32. Sang dewi menjawab dengan sendat seraya mengelus rambutnya, "Ketahuilah, wahai adikku, Sinom! Aku sama sekali tidak mempunyai pikiran seperti itu. Mengapa aku sampai lupa, tidak mengucapkan sepatah kata pun, sebenarnya sedang merasakan keadaan diriku, sendiri. 33. Ketika aku melihat rupa serta citra gustimu, rajaputra Pagelen, aku merasa ragu-ragu, cemas dan kuatir, kalau-kalau diriku ini tidak berkenan di hatinya, karena bukan bandingannya, yaitu antara gusti dengan sahaya. 34. Aku keturunan orang hina-dina, sedangkan di sana keturunan bangsawan. Bagaimana mungkin hal itu bisa terlaksana. Paling-paling hanya akan membuat sakit a s m a r a . " Ketika mendengar ucapan sang dewi, si burung menco mendekat lalu duduk, dengan lemah-lembut ia berkata, 35. " W a h a i , Sang Dewi, yang secantik bidadari, mengapa Sang Dewi ragu-ragu. Masalah itu sebenarnya sudah ada pada saya. Singkatnya, saya lihat dari tanggapannya, serta kesediaan Gusti memberi perintah kepada saya, 36. rasanya tidak ada aralnya. Gusti bersetuju dengan apa yang saya sampaikan, dan itulah pula sebabnya Gusti memberi tanda gambar, yang tertera di dalam permata, agar supaya Sang Dewi setuju, untuk mewujudkan apa yang sama-sama dikehendaki. 37. Dan ditilik dari keadaannya sekarang, telah lenyap perasaan rindunya kepada putri Jepara, karena sudah tertutup oleh penuturan saya, berganti kepada Paduka. Oleh karena itu, sesungguhnya sudah jelas apa yang sebenarnya dikehendaki. 38. Sayalah yang akan menanggung kelak, apabila sampai menyalahi janji, hancurkan raga si menco ini sebagai kurban penanggung demi terlaksananya idam-idaman Sang Dewi. Seme89 PNRI
lukut pun saya tidak merasa menyesal." Sang Dewi berkata lembut, ujarnya, " A d i k k u , Sinom, 39. diri saya boleh diibaratkan seperti batu yang terbenam ke dalam air, mustahil rasanya akan dapat timbul kembali. Sudah merugi ternyata tak ada manfaatnya, malahan semakin terlanjurlanjur s u s a h . " Menco menanggapinya dengan suara lembut, " J i k a sudah menjadi kehendak dewata, 40. pasti tidak dapat disingkiri. Tinggi-rendah dapat saja terlaksana, dan sudah banyak contohnya, para raja di zaman kuno, banyak yang mengambil keturunan orang kebanyakan, yang akhirnya menjadi tinggi juga, karena keberuntungan itu jatuhnya tidak memilih tempat. 41. Siapa yang dapat menentukan datangnya keberuntungan, mala-petaka, dan datangnya maut, serta datangnya sakit. Semua itu merupakan gaibnya Yang Mahakuasa. Manusia hanya berlindung dan berserah kepada kehendak T u h a n . " 42. Mendengar kata-kata si menco, perasaan sang dewi menjadi tenang, dan teringat pula akan cerita Ki Buyut yang telah didengarnya, ialah tentang Sarwasri dengan harimau hitam. Lalu ujarnya dengan suara lembut, " A d i k k u , tampaknya lebih baik aku menurut 43. saja padamu. Lebih-lebih karena engkau tampaknya sudah ahli menjadi Mak C o m b l a n g . " Menco tersenyum dan menyembah, seraya ujarnya, "Duhai Sang Dewi, ambillah permata ini, dan usapkanlah ke wajah Sang Dewi." 44. Sang dewi menurut. Dengan perlahan-lahan diambilnya cincin di leher si menco, kemudian diusapkan ke wajahnya. Seketika tampaklah gambarnya, tertera di dalam permata, sedikit pun tak ada bedanya dengan rupa sang dewi. 45. Sang dewi takjub melihat khasiat permata, yang aneh dan dapat menghasilkan keajaiban. Burung menco lalu pamit, dan sang dewi menyerahkan cincin permata. Jamang melesat, membubung ke udara, dan lenyap dari pandangan mata. Yang ditinggal menjadi rindu. 46. Tertegun diam bagaikan sebuah tugu manik, perasaannya semakin tersayat-sayat, bingung sedih, ragu-ragu, dan ke90 PNRI
mudian terasa kerinduannya kepada yang terujud dalam gambar. Teringat akan perbuatan yang lalu, dirinya-sendirilah yang dipersalahkan, 47. karena telah menuruti nafsunya yang telah mendorongnya kepada tindakan tergesa-gesa, yang akhirnya membuat dirinya serba salah di dalam kehidupannya. Untuk menghibur dirinya-sendiri, akhirnya ia berkata dalam hati, bahwa semua itu telah terjadi karena kehendak dewata yang agung, yang tak mungkin ia hindari. 48. Sang dewi lalu berjalan lambat-lambat, bermaksud pulang ke rumah. Jalannya lesu seperti orang kelaparan. Sebentar berjalan sebentar berhenti membawa rasa sedihnya. Setibanya di rumah, sang dewi langsung masuk ke kamar tidur. 49. Lalu merebahkan diri, wajahnya dibenamkan ke dalam guling untuk menekan kerinduannya, yang dicoba untuk diendapkan, namun tidak juga tenang. Perasaannya tidak menentu, terungkap kepedihannya oleh gambar, oleh tampang yang membuatnya rindu. Rajaputra, yang ternyata adalah seorang pria utama, 50. selalu tergantung di ulu hati, melela di sudut mata sang rajaputra Pagelen itu. Demikian kuatnya ia menahan perasaan, akhirnya sang dewi tertidur. Sementara tidak diceritakan. Tersebutlah si menco Jamang, 51. perjalanannya sudah sampai ke tempat pencengkermaan. Burung itu turun perlahan-lahan, langsung menuju ke hadapan sang Rajaputra, dan semakin mendekat ketika dipanggil. Cincin permata sudah diserahkan kepada Gustinya. 52. Sesudah perlahan-lahan dilepas, lalu dikenakan di jarinya, seraya ujarnya lembut, " J a m a n g , engkau agak lama, aku sudah menunggumu sejak l a m a . " Si Burung lalu menceritakan hasil perjalanannya sejak berangkat, pertemuannya dengan sang dewi, sampai akhirnya pulang kembali. 53. Sang Rajaputra merasa takjub, lalu langsung memperhatikan cincin permata, melihat gambar sang dewi. Ia sangat terpesona, diam membisu, dan semakin bergelora kerinduannya kepada Rara Kumenyar. 91 PNRI
54. Sesudah debar hatinya reda, mulailah ia menggagas, "Dalam peristiwa ini, keanehannya ialah, adanya seorang gadis desa, yang melihat rupanya seperti keturunan seorang raja besar. Dugaanku memang belum meyakinkan. 55. Aku rasa, mungkin dia memang rajaputri Jepara, yang hilang mengembara, dan kemudian menyamar, berkumpul dengan penduduk desa. Dulu telah dipertunangkan denganku. Kini membuatku rindu." 56. Kemudian ia berkata lembut kepada burung kesayangannya, " H a i , Jamang, tindakan selanjutnya, seyogyanya diusahakan agar tidak menimbulkan kesulitan, dan tidak berkepanjangan." 57. Si burung menco menjawab perlahan, "Terserah kehendak Paduka, asal kelak kemudian hari benar-benar terlaksana, karena saya telah berjanji kepada sang dewi, bunga Cengkarsewu, dan meyakinkannya bahwa Paduka benar-benar berkenan." 58. Rajaputra menjawab lembut, " J a n g a n khawatir, dasar sudah aku niatkan. Mungkin memang sudah kehendak dewata, ia akan menjadi jodohku. Nyatanya hatiku langsung merasa tertarik. Yang masih menjadi buah fikiran ialah, 59. bagaimana kesudahannya kelak, karena dulu aku sudah dipertunangkan oleh ayahanda raja dengan Dewi Suretna, rajaputri Jepara. Waktu itu aku tidak menurut perintah, dan sekarang berganti haluan, 60. bermaksud kawin dengan anak pungut seorang buyut desa. Dapat dibayangkan betapa kemarahan ayahanda, karena akan membuat suramnya kerajaan, merendahkan kewibawaan serta nama raja utama, yang tak mau bertindak nista." 61. Menco tertegun, tak dapat berkata-kata. Sesudah berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya ia berkata dengan suara lembut, "Duhai, junjunganku Rajaputra, menurut pendapat saya, bagi Paduka tidak ada halangannya. 62. Urusan belakang sesungguhnya gampang. Jika kelak Ayahanda murka, sebaiknya diterima saja dengan enak, bahwa kelak tidak akan diangkat menjadi permaisuri, dan jika akan dikawinkan dengan putri lain, terserah Sri Baginda, karena segala pertimbangan ada pada Paduka Ayahanda. 92 PNRI
63. Lagi pula saya mendengar berita, bahwa rajaputri Jepara sekarang telah meninggalkan istana secara diam-diam, tak diketahui asal-mulanya. Dengan demikian mungkin Ayahanda Baginda hatinya sudah menjadi kendor, dan tidak akan terlampau mendesak terhadap putranya. 64. Mungkin memang belum ditakdirkan menjadi jodohnya, sehingga banyak halangannya. Andaikata kelak rajaputri Jepara kembali pulang, tentu juga sudah kecewa, dan hal itu dapat dijadikan alasan untuk menolak pembicaraan yang lampau, dan itulah yang dapat dihaturkan kepada Ayahanda Baginda. 65. Sedangkan Paduka sendiri, Gusti! Tak usah merasa ragu, mentang-mentang melaksanakan tekad kawin dengan orang kebanyakan. Sebab sesungguhnya belum tentu dia itu keturunan orang kebanyakan. Siapa tahu bahwa sebenarnya keturunan luhur atau bahkan seorang putri mahkota. 66. Andaikan benar demikian, bukannya hina, malahan merupakan anugerah besar. Semula dikira rendah, kemudian ternyata luhur. Demikianlah keajaiban dewata dapat membuat lakon. Jika sudah menjadi pilihannya, dapat saja terjadi melalui sembarang jalan. 67. Banyak yang sudah mengalami sejak zaman dahulu kala, dan para raja Pulau Jawa banyak pula yang mengalami lakon yang mirip dengan Paduka, ialah memperistri gadis desa, yang tidak dianggap sebagai suatu perbuatan tercela, malahan dapat menambah keindahan istana. 68. Karena bagi para bangsawan luhur, wanita itu merupakan hiasan, tanpa memilih atau melihat silsilahnya. Asal kecantikannya hebat, menambah kewibawaan. *Sudah adatnya, para raja beristri banyak. 69. Memang wanita itu hanya merupakan pengemban atau wadah permata mulia. Sedangkan permatanya, adalah si pria. Wanita diibaratkan pula hanya bisa ke sorga dengan menumpang (pria) belaka. 70. Bagaimana kelak saja, jika sudah terlaksana. Paduka tentu dapat menimbang, serta memikirkan bagaimana baiknya. 93 PNRI
Sekarang tersila Paduka, karena Paduka telah melihat rupanya dengan n y a t a . " 71. Si burung telah berhenti berkata-kata. Rajaputra sendiri setelah mendengar hatinya agak tenang. Pada waktu itu malam pun turun, rajaputra kembali ke kamar tidurnya, dan selalu tergoda perasaan rindu, seolah-olah segera membimbing tangannya.
94 PNRI
X
1. Gambar sang dewi tidak henti-hentinya dipandang. Permata diciumi berulang-ulang, dicumbu dan dirayu, "Aduhai dewiku yang mengobarkan api asmara, mengapa engkau diam membisu? 2. Tersesat ke taman bunga, kedatanganmu benar-benar kunantikan. Telah lama engkau duduk, mengapa engkau takut dan seperti berahasia. Karena itu berkatalah engkau. Sepatah kata saja, akan kubeli dengan nyawaku. 3. Jika benar-benar tidak mau berkata-kata, benar-benar akan bersedih tak berkeputusan, dan terus-menerus gundahgulana. Aku, abdimu, tak merasa bersalah tertimpa dukacita. Apa gerangan yang menyebabkan engkau Ziarah? 4. Sungguh tidak menggembirakan. Dinda, lebih baik engkau minta sesuatu benda isi negeri, yang indah dan paling indah, pilihlah yang ada di Pagelen, karena semua adalah milikmu. 5. Apakah engkau ragu-ragu, kalau-kalau tidak kujadikan istri? Sedikit pun tak ada pikiran seperti itu. Seandainya ada pikiran demikian, ialah karena aku beranggapan sebagai abdi, malahan engkau kujadikan pujaan tersembunyi, bagaikan inti semangat istana. 6. Meskipun engkau gadis desa, namun ujud rupamu mengalahkan putri seorang raja. Segenap keindahan di mayapada seluruhnya kalah oleh kemanisanmu. Kendati pun para bidadari 7. di Indraloka, akan kusut dan suram jika dibanding denganmu, sehingga mustahil menandinginya. Wahai, ratunya segala yang manis, intinya segala kemala, sarinya segala yang indah, 8. tidurlah di peraduan. Kakanda yang mencumbu dan merayu dengan kata-kata lembut, yang akan mencumbu meng95 PNRI
hibur hatimu. Janganlah engkau merasa malu atau membuatku malu, yang ingin memperhalus perilaku yang tidak sabaran. 9. Semoga selalu dalam keadaan rukun, siang-malam selalu berdua bagaikan mimi dan mintuna, sampai pun kelak di alam abadi, jangan sampai jauh tempatmu dalam kehidupan sejahtera di sorgaloka. 10. Meskipun sampai tujuh kali engkau menjelma, abdimu tetap mengikut dan mencari. Jika adinda menjelma pada t>unga, bertakhta di daun bunga yang berseri, aku akan berada di kelopaknya, menunggu-nunggu keharumanmu. 11. Jika bertakhta di permata mulia, berpadu dengan sinar mirah, aku hinggap di sayap burung merak, melela membayangbayangi, sehingga dapat saling memandang dengan jelas, karena kita sebenarnya sudah sejiwa dan berpadu menjadi satu. 12. Jika engkau menjelma ke bulan, aku adalah lingkaran sekitar bulan, sehingga selalu berada di tempatmu. Segenap sinarmu memikat hati, asyik menuruti kehendak hati, dan saling berjanji sampai akhirnya saling merasakan kenikmatan. 13. Sebenarnya akan lebih baik jika kita menikmati keindahan di taman bunga, atau berdua di dalam istana dengan segala macam kewibawaan, puas dan asyik bermain cinta, dan akhirnya memerintah kerajaan. 14. Dapat memenuhi segala keinginan, kesejahteraanmu akan meliputi segala macam, karena tersedianya yang serba utama, lalu terbiasa dalam keadaan demikian untuk seterusnya, seraya disayang dan dimanjakan dengan harapan akan menjadi obor dunia." 15. Demikianlah sang rajaputra, dalam melukiskan kerinduannya disertai dengan lagu kidung yang indah, sehingga semua yang mendengar, ialah para ceti, para nyai, dan para emban tak seorang pun berfikir (apa yang sedang dialami rajaputra). 16. Mereka senang mendengarkan, hanyut terbawa suara yang merdu, seolah-olah sedang merayu dengan kata-kata yang lembut. Mereka tertidur dengan nikmat, seolah-olah terkena pengaruh, belalang pun tak ada yang berselisik. 17. Ketika fajar hampir menyingsing sang rajaputra me96 PNRI
manggii kekasihnya, si menco Jamang. Tak lama antaranya si Jamang sudah menghadap. Ujar rajaputra dengan suara lembut, " H a i , Jamang, kembalilah engkau 18. ke dukuh Cengkarsari. Temuilah sang dewi, dan cincin manik Adiwarna ini berikan padanya sebagai tanda cintaku, dan sebagai sekadar penghibur hati, agar supaya tidak terlampau menahan derita. 19. Beritahukanlah pula supaya bersabar, siapa tahu aku bisa segera bertemu dengan sang dewi." Menco Jamang menanggapinya, demikian, " J i k a demikian, sungguh kebetulan sekali, karena pada waktu bertemu 20. sang dewi sangat senang akan khasiat permata mulia, karena kemampuannya menghirup rupa. Malahan dikenakannya di jari telunjuk, betul-betul pas benar seperti miliknya sendiri." 21. Setelah selesai berkata-kata, si menco lalu mohon diri, kemudian melesat ke angkasa. Tinggal rajaputra merasa rindu. Tersebutlah di Cengkarsari, ialah sang dara Rara Kumenyar, yang selalu menanggung rindu dendam. 22. Lubuk hatinya telah terjerat, terpikat, dan terbayangbayang melihat gambar yang ada di cincin. Ia telah berusaha melupakannya, akan tetapi tetap tak dapat dilupakan. Rasa-rasanya seperti menampak di tempat tidur, membangkitkan dan memikat rasa sayang. 23. Perasaannya selalu disembunyikan, takut kalau-kalau rahasianya terbuka sehingga akan mendapat malu, terlebih-lebih karena masih gadis, bingung karena terkena asmara. Itulah sebabnya ia merahasiakannya. 24. Ketika fajar mulai menyingsing ia keluar dari kamarnya tanpa berhias, bahkan rambutnya dibiarkan terurai. Ia bermaksud menenteramkan hatinya dengan berembun pagi, rupanya seperti bulan kesiangan, dan hendak mandi ke kolam air. 25. Roma wajahnya bersemu kemerahan karena menahan perasaan, sebab selalu terbayang akan gambar yang berada dalam permata manik, ialah rajaputra yang teramat tampan, yang sudah tertanam di .hatinya. SERAT CEMPORET - 7
97
PNRI
26. Setiap selangkah ia berhenti, sehingga sendatlah perjalanannya, terkena sinar yang lembut, cahaya ronanya tidak berkurang, malahan menambah kecantikannya, manisnya memenuhi buana. 27. Hijau bersemu keindahan, bagaikan bianglala memendam air. Bunga-bungaan, dan daun-daun yang baru bersemi, semua keindahannya menjadi kusut, terkalahkan oleh sang dewi yang bagaikan bulan. Jalannya sudah sampai ke kolam. 28. Sang dewi segera mandi, dan sesudah keluar dari air lalu mengenakan kain pengering seraya mengurai rambut, lalu duduk di batu yang hitam halus, cahayanya berkilau gilang-gemilang. 29. Rambutnya melambai-lambai, berderai tetesan air dari rambutnya seperti permata disebar, sinarnya berpijaran memberi tambahan keindahan akan tumbuh sang dewi dari Cengkarasari itu. 30. Perasaannya seperti tersayat-sayat oleh kerinduannya, teringat akan pertemuannya dengan Jamang di kolam, sewaktu mengambil permata mulia yang berisi gambar rajaputra. Perasaan sang dewi seperti tertusuk gunting, sekaligus mendapat dua buah luka. 31. Pertama karena dilanda oleh berita, kedua lemas bercampur pilu terbelit rupa, dan kedua-duanya menyebabkan sakit rindu, yang selalu membelit hati, dan terus-menerus terbayangbayang, serasa hendak pergi menyusul untuk mencari si burung menco. 32. Tak antara lama sejak sang dewi berada di tepi kolam, datanglah sang menco Jamang, terbang mengepak-epakkan sayapnya di angkasa, seraya menggubah lagu, seolah-olah mencumbu menyabarkan hati sang dewi. 33. " D u h a i dewanya kecantikan, jangan terlampau bersedih hati. Sekarang, apa yang tengah diidam-idamkan sudah hampir terlaksana. Tinggal sebentar lagi. Oleh karena itu bersabarlah." 34. Sang dewi terkejut mendengar kidung cumbuan si burung. Ia tidak pangling akan suara burung kesayangannya, si Sinom, yang sesudah dipanggil dengan cepat datang menghadap sang dewi yang bagaikan bidadari. 98 PNRI
35. Lalu disambut dengan pertanyaan dan ucapan-ucapan yang lembut, " H a i Adinda, selamatkah kedatanganmu ke hadapanku? Engkau benar-benar arif. Tanpa janji namun dapat datang memenuhi panggilan h a t i . " 36. Menco tersenyum, lalu jawabnya, "Sambutan sang Dewi saya junjung di kepala, saya ikatkan di ujung rambut, semoga menjadi penyambung nyawa, sehingga dapat tetap mengemong Sang Dewi. 37. Kedatangan saya ke hadapan Sang Dewi membawa anugerah sejati, karena diutus oleh junjungan saya untuk menyerahkan pertanda kasih sayang, berupa cincin manik Adiwarna, semoga dapat dijadikan pelerai rindu. 38. Demikianlah pesan junjungan saya, sang rajaputra, " N a h inilah cincinku, sampaikanlah kepada sang Dewi yang bagaikan bidadari. Mungkin tidak lama lagi, aku akan mencarinya, 39. menyusul cincinku." Mendengar berita itu sang dewi sangat gembira. Setelah menerima cincin, lalu dipakai di jari telunjuk. Sedang benar, dan menambah kecantikannya. Cincin itu selalu dilihat berulang-ulang. 40. Gambar sang rajaputra, dan gambarnya sendiri, sinarnya silih sentuh bagaikan burung kudadu diadu dengan bintang wayua, mengadu sinarnya yang gemerlapan. 41. Seperti permata mulia, atau bagaikan mutiara dengan berlian. Jika diumpamakan bunga, bagaikan melur dan melati. Semisal daun, bagai daun muda dan yang tengah bersemi. 42. Ditatapnya dengan tenang gambar yang indah itu. Sang dewi lalu berkata lembut, " H a i Adinda Menco. Permata ratna ini benar-benar tampak manis sekali di jariku. 43. Aku kenakan di jari telunjuk, sedang benar tak berselisih, seperti barang pesanan. Jika dipakai oleh junjunganmu, di jari manakah dikenakannya? Samakah dengan aku? 44. Yaitu di jari telunjuk?" demikian tanya sang dewi. Menco Jamang menjawab dengan suara lembut, " J i k a Gusti yang memakainya, dikenakan di jari kelingking. Hai itu sudah selayaknya untuk ukuran pria dan wanita." 99 PNRI
45. Sang dewi tersenyum, lalu ujarnya, "Kalau begitu, kelak dapat bertukar pakai. Hal itu tentu saja apabila wartamu terlaksana secara nyata, dan bukan hanya sekedar kata-kata penghias bibir belaka." 46. "Tentu saja sangat b a i k , " ujar menco Jamang dengan suara lembut. Setelah beberapa saat lamanya, Jamang pun minta diri, kembali ke taman istana sambil mencari teman. 47. "Dulu itu saya belum memperoleh teman, karena terhalang oleh keperluan yang lebih penting, sehingga bolak-balik setiap pagi." Mendengar ucapan Jamang, sang dewi merasa kasihan, dan mengizinkan Jamang pergi. 48. Jamang lalu terbang, sebentar-sebentar berhenti seraya melihat-lihat. Tersebutlah sang dewi, yang hendak kembali ke rumah, telah berjalan membawa kerinduannya, sepanjang jalan selalu terbayang-bayang. 49. Jalannya sendat sekali karena sebentar-sebentar berhenti, dan menoleh terbangnya si menco Jamang. Setibanya di rumah langsung masuk ke kamar, tidur tengkurap, kepalanya disesapkan ke dalam guling. 50. Ia mendekam dalam kamar, tak keluar sepanjang hari sampai malam. Selama memendam perasaan rindu, ia tak pernah mau makan dan tidur, sampai tubuhnya kelihatan kurus. Cahaya ronanya bersemu hijau, dan tampak lemah-lunglai. 51. Ki Buyut dan Nyi Buyut terkejut melihat keadaan anaknya, ialah sang dewi yang terus-menerus berada dalam kamarnya berdiam diri sampai sehari-semalam. Mereka sama sekali tidak mengerti, dan hanya mengira sang dewi menderita sakit. 52. Buyut suami-istri masuk ke kamar anaknya. Mendengar orang tuanya masuk, Rara Kumenyar terkejut lalu bangun. 53. Ia kemudian duduk. Rona wajahnya kelihatan pucat bagaikan bunga layu. Ia bangun tertegun-tegun, sanggulnya yang terurai tidak ia perdulikan. Rambutnya menutupi wajahnya, bagaikan bulan purnama tertutup mega tipis. 54. Buyut suami-istri sudah duduk dengan perasaan heran melihat keadaan anaknya, yang matanya cekung seperti bianglala, lalu bertanya dengan lembut, " A d u h a i Anakku, buah hatiku, 100 PNRI
55. tak seperti biasanya engkau gemar tidur, berlarut-larut sampai lupa makan. Rupamu memperlihatkan sedang bersedih, dan sekarang tampak wajahmu tidak seperti biasanya. Apa gerangan sebabnya, yang menyedihkan hatimu? 56. Apakah engkau sakit, atau barangkali sedang bertirakat, yang nyata kelihatan pengaruhnya pada tubuhmu yang jadi kurus, seolah-olah sedang menahan hati karena beratnya menanggung rindu, atau karena sedang menyesali sesuatu yang sangat mengganggu perasaanmu. 57. Katakanlah secara jujur kepada orang tuamu, wahai Anakku. Jangan engkau ragu ataupun malu. Apa sesungguhnya yang engkau inginkan? Sedapat mungkin akan kami usahakan, kalau sekiranya dapat menghilangkan kesedihanmu, 58. asal saja masih dalam batas-batas kemampuan kami." Ketika sang dewi mendengar desakan kedua orang tuanya yang demikian itu, lama belum juga ia menjawab. Ia berpikir, apa yang seyogyanya ia lakukan. Setelah dipikirkan masak-masak, 59. ia mengambil keputusan, hendak berkata terus-terang karena keadaannya sudah terjepit, dan karena telah tertebak, berbohong pun sudah tak ada gunanya. Lagi pula sudah menjadi kewajiban orang tua pula, untuk memikirkan persoalan yang dihadapi anaknya. 60. " D u h a i , Ayah dan Ibu. Sesungguhnya keadaan diriku menyerupai cerita seperti yang terungkap dalam dongeng masa lalu, ialah seperti Sarwasri dan harimau hitam. Saya ini akan diambil 61. oleh sang rajaputra, ialah seorang satria utama, Raden Jaka Pramana dari negeri Pagelen. Sekarang ini kami baru sampai pada taraf perkenalan, lewat utusannya, yaitu binatang kesayangannya, seekor b u r u n g . " 62. Ki dan Nyi Buyut terkejut. Nyi Buyut tersenyum, seraya ujarnya dengan lembut, " A n a k k u , kiranya telah bermimpi. Sungguh aku tak menduga sama sekali. Kesedihanmu itu rupanya karena pengaruh perasaanmu, karena engkau memang telah cukup dewasa." 101 PNRI
63. Leher sang dewi lalu dipeluk seraya diciumi, " D u h a i Anakku, sayang. Engkau telah membuat perasaanku khawatir. Ucapanmu tadi rasanya mustahil akan terlaksana, karena rasanya tidak selayaknya engkau mengimpikan madu yang manis seperti itu." (Pertanda ganti tembang Dandanggula).
102 PNRI
XI
1. Nyi Buyut meneruskan kata-katanya, demikian, " A n a k ku, apa yang engkau katakan tadi, sesungguhnya aku pun sudah menyadari, bahwa akulah yang paling bersalah. Memang sudah masanya bagimu, wahai Anakku yang cantik molek, sudah pantas bila engkau berumah tangga, mengabdi pada seorang pria. Pada saat ini kami memang belum mampu melaksanakan keinginanmu, karena hal itu baru dapat diselenggarakan sesudah dipersiapkan lebih dahulu. Dan sekarang baru dalam taraf melihat-lihat serta menghadapi engkau, sekaligus memperhatikan yang sekiranya sesuai di hati. 2. Oleh karena itu, wahai Anakku, sabarlah untuk sementara. Jangan engkau tergesa-gesa menuruti keinginanmu itu. Pintalah secara alamiah, karena jodoh itu sudah ditentukan oleh dewata. Jika belum masanya, luar biasa sulitnya. Sedang kalau sudah tiba masanya, berjarak samudra atau terhalang gunung pun akan bertemu j u a . " 3. Mendengar kata-kata ayah-ibunya seperti itu, sang dewi merasa sangat pilu hatinya. Ia menahan air-matanya, sehingga dadanya terasa sesak, dan sendatlah suaranya ketika menjawab, demikian, " A d u h a i , Ibu dan Ayah, saya minta Ayah dan Ibu jangan salah faham. Saya sama sekali tidak merasa seperti yang Ibu katakan tadi, dan bukan pula karena bermimpi. 4. Apa yang saya kemukakan, benar-benar merupakan suatu kenyataan, bukan karena mereka-reka, karena sebenarnya sudah ada pertandanya, ialah sebentuk cincin istimewa pemberian sang rajaputra, yang disebut Manik Adiwarna. Cincin itu besar sekali khasiatnya, dapat menghirup rupa. Bahkan permata cincin itu berisi gambar sang rajaputra, 5. berjajar dengan gambarku sendiri." Sesudah meng103 PNRI
utarakan hal itu, sang dewi lalu menyerahkan cincin. Peristiwanya sejak awal hingga akhir telah dipaparkan secara lengkap. Ki Buyut dan istrinya sangat asyik mendengarkan, merasa takjub, dan termangu-mangu melihat ujud permata, serta kedua gambar di dalamnya yang saling berpandangan, tampak seperti satu garis keturunan. 6. Terpikir di hati mereka, "Kalau begitu, anakku Rara Kumenyar ini dilihat dari ciri-cirinya, jelas keturunan langsung bangsawan tinggi, bahkan keturunan penguasa negara yang sedang terlempar ke luar, karena sedang dijadikan lakon oleh dewata agung. Sudah nyata akan tandanya dari anugerah yang hampir membawanya untuk kembali melalui kejadian yang ajaib. 7. Sesudah pikirannya menghubung-hubungkan semua yang dihadapi, Ki dan Nyi Buyut semakin kasihan melihat keadaan sang dewi. Akan tetapi mereka pun sudah menduga bahwa akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan. Kedua orang tua itu lalu berkata lembut, " A d u h a i Anakku, jika benar demikian, kami benar-benar bersyukur. Sebagai orang tua, kami turut mendoakan, semoga dapat terlaksana dengan segera. Kami hanya akan mohon perlindungan dan mengabdikan diri. 8. Namun demikian hendaknya jangan memperturutkan hati gundah. Sabarkanlah hatimu yang sedang menanggung rindu. Bukankah sudah terlahir janjinya. Karenanya tenangkanlah hatimu dalam menunggu anugerah sejati i t u . " Mendengar kata-kata penghibur dari Ki dan Nyi Buyut, sang dewi berjanji akan mematuhinya, akan bersabar, akan menenangkan hati sesuai dengan nasihat yang menuju ke arah keselamatan. 9. Kita tinggalkan dahulu desa Cengkarsari, untuk menceritakan kembali si menco Jamang, yang perjalanannya dilakukannya dengan sabar sambil melihat keindahan hutan. Tampaklah bermacam-macam buah-buahan, yang menyebabkannya merasa senang sampai ia berhenti seraya berkidung dengan suaranya yang merdu merayu, sehingga segenap burung mendekatinya karena tertarik mendengar suaranya. 10. Kemudian ada dua ekor burung menco jantan betina ingin turut serta belajar. Dengan kata-kata yang halus kedua 104 PNRI
burung itu menyatakan keinginannya yang sangat agar dapat • mengucapkan kata-kata yang terpuji. Jamang menanggapinya dengan gembira serta menyanggupinya. Ia telah berpikir, bahwa dirinya akan mendapatkan teman, dan kedua-duanya akan turut serta mengabdi kepada gustinya di kota Pagelen. 11. Kedua menco itu pun dengan gembira menerima tawaran Jamang untuk bersama-sama mengabdi. Jamang segera berangkat, ditemani kedua burung. Setelah tiba di tempat, keduanya disuruh menunggu di taman. Ia sendiri segera menghadap sang rajaputra, dan ditanggapi dengan tangan. Kedua burung menco yang dibawanya menunggu dan hinggap di pagar besi. Jamang lalu menceritakan perjalanannya sebagai utusan ke dukuh Cengkarsari. 12. Bahwa tugasnya menyerahkan permata mulia sudah diterima oleh sang dara, dan sangat menghargainya atas pemberian itu. Sang dewi mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga, dan kemudian dikenakannya di jari telunjuk,'.sangat pantas dan menambah kecantikannya bagaikan bidadari turun ke bumi. Tampak nyata sekali. Dasar sudah cantik ditambah lagi berhiaskan cincin. Kecantikannya jadi berlipat-ganda. 13. Rajaputra sangat gembira mendengar cerita si burung Jamang, lalu ubun-ubunnya diciumi seraya ujarnya lembut, "Kalau tidak salah aku melihat engkau membawa kawan. Keduanya juga burung menco. Apakah mereka masih termasuk keluarg a m u ? " Menco menjawab hormat, "Gusti, junjunganku, 14. mereka itu hanya sesama bangsa burung, yang ketemu di tengah perjalanan di tengah hutan. Waktu itu sama-sama beristirahat, kemudian saya berkidung, dan akhirnya mereka tertarik, dan menyatakan keinginan mereka untuk mendapat pelajaran bahasa yang baik. Itulah sebabnya mereka turut ke mari. Jika Paduka berkenan, kedua burung itu akan turut mengabdi menjadi teman saya." 15. Rajaputra menyatakan persetujuannya untuk menambah binatang kesayangannya sebagai penghibur hati dalam menanggung beban rasa rindu. Burung itu disuruh panggil. Jamang menoleh memberi isyarat, dan kedua burung itu merun105 PNRI
duk hormat. Keduanya dipanggil menghadap, lalu diterima dengan tangan kiri, sedangkan Jamang di tangan kanan. 16. Rajaputra sangat gembira karena kedua burung itu demikian jinak. Potongan perawakannya diperhatikan, dan ternyata warnanya pun indah, lalu ujarnya, "Kiranya pantas jika keduanya diberi nama yang selaras. Yang betina si Cunduk, sedangkan yang jantan ini baiknya kuberi nama si Sumping." Kedua burung itu merasa senang. 17. Kemudian dibawa ke serambi luar. Para ceti dan abdi wanita, para emban, babu dan teman-temannya, semua merasa senang ketika melihat si Jamang pulang membawa sepasang burung menco yang bagus dan jinak seperti burung piaraan. Burung baru itu menambah keindahan suasana taman. Mereka berganti-ganti mengurus makanan dan minumannya. 18. Pada waktu itu sang rajaputra siang-malam selalu berdekatan dengan burung kesayangannya, sebagai penghibur hati yang masih senantiasa gundah karena kerinduannya yang semakin memuncak kepada Rara Kumenyar, yang selalu terbayang-bayang di sudut matanya, menyusup ke relung sanubari. 19. Akibatnya tak mau makan dan tak dapat tidur, sehingga tubuhnya semakin susut, rona wajahnya menguning, layu dan lesu. Cahayanya menyerupai sinar senja hari. Para emban, abdi wanita, babu sama sekali tiada yang menduga bahwa junjungannya sedang memendam kesedihan, karena rajaputra tetap merahasiakannya. 20. Pengasuhnya yang paling dekat, ialah Nyi Emban Wilasita, tidak tenteram hatinya melihat junjungannya kini semakin layu, tubuhnya semakin rusak. Ia berpikir, "Sayalah yang akan dipersalahkan, jika tetap berdiam diri tanpa berpikir. Tak urung saya juga yang salah. 21. Lebih baik saya laporkan saja ke istana, menyampaikan keadaan ini kepada Sri Baginda, dan permaisuri sekarang juga. Terserah nanti bagaimana perkenannya." Sesudah lama memikirkannya, Nyi Emban Wilasita segera pergi ke istana. Sri Baginda beserta permaisuri pada waktu itu sedang duduk di sanggar pemujaan. 106 PNRI
22. Yang mereka perbincangkan tak lain ialah putranya, Raden Jaka Pramana, yang telah lama tidak datang menghadap. Sri Baginda merasa gundah karena putranya yang muda tak mau mentaati perintah ayah, tak mau menuruti perintah ketika hendak dikawinkan dengan saudara sepupunya, rajaputri Jepara. 23. Permintaannya, baru mau kawin jika kedua saudaranya sudah kawin, ia tidak akan membantah kehendak orang tuanya. Padahal kedua putra yang tua, yaitu yang cebol dan kerdil menurut ilham yang diterima kelak akan mendapat jodoh melalui keajaiban. Lebih gundah lagi karena telah lama mendengar berita bahwa putri Jepara 24. telah nekad menghilang karena memperturutkan kesalahpahamannya, bahwa ia hendak dijodohkan dengan putra yang tua, yakni dengan salah seorang yang cacat itu. Prabu Sri Manuhun semakin bingung menghadapi rencana perkawinan putranya karena terhalang oleh cacat, yang menyebabkan ujud mereka tidak tampan. Itulah sebabnya Sri Baginda sangat prihatin dan samadi dengan tekun. 25. Demikianlah, tiba-tiba datang Nyi Emban Wilasita, menghadap Sri Baginda dengan sikap sangat bersungguhsungguh, dan atas pertanyaan Sri Baginda, ia menjelaskan sebagai berikut, " D u h a i Paduka Sri Baginda, kedatangan hamba ke hadapan Sri Baginda memang ada perlu. Hamba melaporkan, bahwa putra Baginda Raden Mantri, yang sedang melipur hati, 26. untuk membangkitkan rasa gembira di taman, sekarang tubuhnya menjadi kurus seperti sedang menanggung rindu. Adapun asal-mulanya sangat asyik dengan binatang kesayangannya yang berupa burung menco, yang dapat berkata-kata bernama si Jamang. Belum lama ini tambah dengan dua ekor lagi yang diberi nama si Cunduk, dan si Sumping. Semua sangat disayanginya. 27. Siang-malam tak pernah berpisah dengan ketiga burung kesayangannya itu. Hamba tidak dapat menjajagi mengapa tampak gejala kerinduan sehingga lupa makan dan tidur, dan terus-menerus menggubah tembang dan kidung yang indah seperti sedang mencumbu seorang wanita. Entahlah yang menjadi tambatan hatinya, karena tak pernah keluar dari k a m a r . " 107 PNRI
28. Selesai Nyi Emban mengutarakan laporannya, Sri Baginda tertegun heran mendengarnya. Demikian juga permaisuri. Kemudian ujar baginda kepada permaisuri, "Wahai Adinda, bagaimana keadaan anakmu itu? Membuat bingung orang tua. Disuruh kawin tidak mau, sekarang ternyata sakit a s m a r a . " 29. Permaisuri mengutarakan dugaannya, demikian, " D u hai Baginda junjungan hamba, mungkin putra Paduka merasa menyesal karena tunangannya hilang tak tentu rimbanya, padahal sudah termasyhur bahwa rajaputri Jepara calon istrinya itu kecantikannya mengalahkan segala macam keindahan di dunia, terlebih lagi berbudi pemurah. 30. Dulu keberatannya adalah karena takutnya terhadap saudara tua, karena merasa dirinya yang m u d a . " Sri Baginda lalu mengutarakan sarannya, demikian, " J i k a demikian halnya, wahai Adinda, sekarang bujuklah anakmu, apa sebenarnya yang menjadi ketetapan hatinya. Jika sudah mau menurut kepada orang tua, sesuai dengan adat yang berlaku, ibaratnya dengan seadanya diselenggarakan." 31. Seketika itu sang permaisuri pergi dari hadapan Sri Baginda diiringkan oleh para abdi menuju ke taman. Emban Wilasita tidak ketinggalan. Setibanya di taman, putranya, Raden Jaka Pramana melihat ibunya datang ia menyongsong mencium kaki. 32. Bahu anaknya segera dipeluk, diciumi dengan mata berlinang-linang, terharu hatinya melihat kekurusan dan kelesuan putranya. Lalu diajak masuk, duduk di kamar tidur. Para emban, parekan, babu duduk di pendapa. Permaisuri berusaha menentramkan hati sang rajaputra. 33. " A d u h a i Anakku, Gusti, yang selalu berada dalam jiwaku! Mengapa aku datang ke mari, ialah karena mendengar bahwa engkau sedang bersedih, dan memperturutkan perasaan yang kurang baik, sampai menimbulkan dugaan yang bukanbukan, dengan melalaikan kewajiban, yakni tak mau datang menghadap ke hadapan Ayahanda Baginda. 34. Anakku, aku sudah sampai ke mari, dan tampak jelas tandanya, ialah tubuhmu yang sampai rusak begitu. Oleh karena itu jangan engkau teruskan dengan hiburan-hiburan yang tidak 108 PNRI
bermanfat. Lebih baik mencari yang dapat mendatangkan kebahagiaan, dan kegembiraan manusia di dunia ini, yaitu hiburan yang bermanfat. Dan yang bermanfaat itu tak lain ialah beristri. 35. Enak dilihat dan dapat menimbulkan kesenangan. Dasar engkau putra seorang raja, dihormati oleh seluruh rakyat Pagelen. Meskipun kawin dengan seratus wanita, tentu banyak yang bersedia, dan kemudian ada putranya, yang akan menambah keceriaan. Alangkah bahagianya hati ini, berwibawa, termasyhur, dan tidak memalukan bagi kerajaan ayahanda. 36. Jangan selalu bersedih hati. Pilihlah putri-putri utama yang engkau kehendaki, yang dapat menggembirakan hatimu, yang cantik, yang seimbang untuk istrimu, putri para raja, mana yang sekiranya sesuai dengan keinginanmu. Tak usah ragu-ragu karena kami sebagai orang tua pasti akan bersetuju asalkan tidak berlama-lama." 37. Demikianlah ujar sang permaisuri, yang membuat rajaputra menjadi bingung. Akhirnya ia menjawab, demikian, " A d u hai, Ibu junjunganku. Apa yang Ibu utarakan sangat saya junjung tinggi. Akan tetapi hati saya sekarang ini belum terbuka. Karena menyangkut masalah perkawinan, saya mohon bersabar.dulu, dan sedang saya pikirkan. 38. Jika hati saya sudah terbuka, sewaktu-waktu kehendak itu datang, tidak akan ada halangannya lagi." Mendengar jawaban seperti itu ibunya teramat sedih, lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata membawa kesedihannya, dan kembali ke istana. Para parekan, dan babu mengiringkan kembalinya permaisuri. Sementara itu yang ditinggalkan di taman, ialah Raden Jaka Pramana, 39. memberi perintah kepada kedua burung kesayangannya, Sumping dan Cunduk, yang seketika itu juga diperintahkan segera pergi ke istana untuk mendengarkan pembicaraan ayahbundanya, apa gerangan kehendaknya. Kedua burung menco segera berangkat, perjalanannya mengikuti kembalinya permaisuri, yang setibanya di istana segera menghadap Sri Baginda, menyampaikan semua yang dialaminya, 40. sejak awal, madya, dan wasana. Serasa sesak dada Sri Baginda, dan hatinya menjadi kesal mendengar segala yang diuta109 PNRI
rakan permaisurinya. Kemudian sorot matanya membayangkan kemarahan yang tertuju kepada putranya, yang telah membuatnya bingung. Tak lama antaranya tampaklah dua ekor burung menco berjingkat-jingkat mendekat ke hadapan Sri Baginda. 41. Seketika itu hatinya serasa terbakar, kemarahannya seperti meledak. Dengan cepat mengambil panah, busurnya segera ditarik, dan melesatlah anak panahnya mengenai tubuh menco jantan. Sumping jatuh dan mati, tak lama antaranya bangkainya musnah. Melihat jantannya mati terkena panah sakti, Cunduk 42. mundur lalu melesat ke angkasa seraya menjerit keras, berteriak-teriak memanggil-manggil jantannya, ujarnya memilukan, "Suamiku si Sumping sirna, menjadi korban kemarahan Sri Baginda. Matinya teraniaya. 43. Ke manakah gerangan perginya. Aku akan mengikutinya agar menjadi s a t u . " Mendengar suara itu Sri Baginda semakin marah. Semiang pun tak dipikir. Emban, ceti dan para abdi merasa kasihan melihatnya, dan akhirnya mereka merasa menyesal. Menco Cunduk meninggalkan taman menemui menco Jamang. 44. Memberi tahu kematian suaminya, sejak awal sampai akhir. Jamang menyesal mendengar hal itu, karena samasekali tidak menduga bahwa kini ia kehilangan kawan. Mungkin memang sudah takdir. Sesudah berusaha menghiburnya, Jamang lalu menghadap gustinya bersama Cunduk. Setiba di hadapan gustinya, dengan suara lembut ia mengabarkan kematian Sumping. 45. Yang menjadi sebab-musababnya sudah diceritakan. Rajaputra menyesal ketika mendengar kematian Sumping, sehingga menitikkan air-mata serta kasihan sekali melihat si Cunduk, yang sudah tidak mempunyai suami, dan selalu resah-gelisah mengingat akan suaminya. Rajaputra berusaha menghibur yang sedang prihatin, bagaikan emas hanyut di air (isyarat pergantian tembang Maskumambang).
110 PNRI
XII
1. " W a h a i Cunduk, janganlah engkau terlalu prihatin, dan tak usah was-was hatimu, dan terimalah itu sebagai takdir, 2. mati terkena panah sakti, karena ayahanda baginda yang menjadi penyebabnya, mungkin memang sudah kehendak dewata. 3. Akulah yang beribu-ribu berhutang budi, karena ia tewas selagi melaksanakan perintahku, membuktikan kemantapan, dan kesetiaannya mengabdi. 4. Suamimu si Sumping aku pujikan, semoga ia sampai ke tempat tujuan di sana agar dapat menarik engkau kelak untuk bersatu kembali, 5. sehingga tak ubahnya dengan manusia." Jamang menyambung, ujarnya, " C u n d u k , engkau sungguh beruntung, mendapat amanat dari gusti. 6. Resapkanlah sampai ke hati dengan baik, jangan waswas. Kematian suamimu itu terimalah dengan sabar dan t a b a h . " 7. Cunduk mengangguk seraya menjawab, " Y a , baiklah!" sekarang sudah kelihatan bahwa Cunduk sudah tidak prihatin lagi, tampak ronanya sudah bersinar. 8. Pada waktu itu matahari sudah terbenam. Kedua menco sudah ditempatkan pada tempat tidurnya masing-masing. 9. Rajaputra masih duduk seorang diri, dan masih selalu memikirkan kematian Sumping yang terkena panah ayahandanya. 10. Tak dapat dilupakan, dan selalu menimbulkan perasaan pedih. Tanpa terpikir, terlontar saja kata-katanya, demikian, "Mengapa kemarahan ayahanda baginda tidak berterang-terang. 11. Mengapa kepada si Sumping kesayanganku. Padahal sesungguhnya kepada akulah sasaran utama kemurkaannya. Aku pun sudah merasa 111 PNRI
12. bersalah karena tak mau melaksanakan perintahnya untuk kawin, dan hal itu membuat kesal ayahanda. Jika perintah itu kulaksanakan, 13. sungguh terlalu, tanpa mengingat saudara tua, karena keduanya belum berumah tangga. Tentu akan terasa janggal sekali bagiku. 14. Meskipun kakanda sudah rela lahir batin, akan tetapi tak pantas juga dilihat orang. Kalau sampai terdengar ke lain negeri, sungguh membuatku malu karena telah menerjang kebiasaan. 15. Karena peristiwa ini telah menimbulkan keruwetan, maka sebenarnya sudah tidak ada gunanya aku tetap berada di negeri ini. 16. Apabila selalu mendapat amarah dan keresahan hati ayahanda baginda, sungguh merupakan hal yang tidak baik. Oleh karena itu lebih baik aku meninggalkan istana." 17. Tekad bulat sang rajaputra ialah hendak pergi dengan diam-diam. Ayah-bundanya sudah tidak diingat lagi, dan ia menuruti dorongan keinginannya. 18. Ketika hari telah larut malam, sang rajaputra berganti pakaian dengan pakaian yang sudah kumal seperti pakaian seorang cantrik, akan tetapi mengenakan pedang mulia. 19. Panah sakti beserta busurnya dijinjing. Kedua menco sudah diambil, bertengger di busur dalam keadaan masih tidur. 20. Setelah selesai bersiap-siap, maka Raden Jaka Pramana segera meninggalkan taman istana, berjalan seorang diri. 21. Ia langsung keluar dari istana menuruti kehendaknya, dan ke luar melalui pintu belakang. Para babu, emban, ceti, para abdi 22. tak ada yang tahu. Demikian pula orang-orang laki-laki yang bertugas jaga tidur nyenyak, diam membisu tak ada yang bergerak seperti terkena pengaruh gaib, 23. sehingga lajulah perjalanan pejalan malam itu. Pergi tanpa rintangan, menyimpang dari jalan biasa, seolah-olah sedang dilemparkan oleh dewata. 112 PNRI
24. Dalam perjalanan melalui tempat-tempat yang sulit dilalui, hatinya sedih dan bingung. Jalannya lemah-lunglai, rona wajahnya sayu dan lesu, bagaikan sinar bianglala. 25. Kebetulan pada waktu itu bulan sedang gelap, jadi remang-remang samar, hanya bintang gemintang yang bersinar, memberi penerangan kepada yang sedang berjalan. 26. Dan seolah-olah seperti menunjukkan jalan yang rata melalui padang yang luas atau gili-gili sawah, yang padinya sedang bertumbuh hijau merata. 27. Airnya mengalir ke mana-mana, mengalir ke tempat yang lain, suaranya riuh gemericik seperti menangis iba. 28. Ada juga sebagian yang baru disebari benih, kelihatan hijau subur, bersinar memancarkan keindahan, membuat hati menjadi tenteram. 29. Pohon-pohon nyiur tampak ujungnya, bersinar gemerlapan. Bayangan langit dengan bintang-bintangnya bagaikan emas hanyut, atau bagaikan gelombang lautan. 30. Katak berdendang bersahut-sahutan seperti mengucapkan selamat kepada sang pejalan malam, disahut oleh suara belalang sawah, 31. berkelesik-kelesik seperti menyentuh-nyentuh perasaan ibanya yang pergi meninggalkan istana, dan berjalan tak tentu arah tujuan membawa perasaan gundah-gulana. 32. Dibalas oleh suara derik oreng-oreng, menggeletar serak bagai turut bersedih melihat yang sedang menahan air-mata, yang kukuh kemauannya. 33. Sayup-sayup terdengar bunyi isyarat, menambah rasa sedih, sehingga menyebabkan sang sedih menjadi ragu-ragu dalam meneruskan perjalanannya. 34. Sementara itu terasa angin berhembus lembut, embun pagi turun merata, serasa menjadi penawar bagi yang sedang berjalan, terus meresap sampai ke tubuhnya. 35. Suasana semakin remang-remang karena awan menutup bintang, sehingga sinar terangnya teraling mendung yang mengalahkannya. Alam menjadi gelap-gulita. 36. Kerlap kilat dan tatit saja yang kadang-kadang gemerSERAT CEMPORET - 8
113
PNRI
lap. Langit menjadi semakin gelap, seperti turut merasakan kesedihan, membangkitkan kasih sang kelana. 37. Sebab sang kelana itu seorang satria utama, keturunan bangsawan tinggi, berdarah pemusnah keangkaraan, dari benih manusia yang kuat tapanya. 38. Sebagai manusia yang dituruti segala kehendaknya, dan dikasihi oleh dewa, padahal sedang tertimpa kesedihan, maka seluruh dunia turut menandainya. Suara gemuruh membahana bersahut-sahutan. 39. Puncak-puncak bukit dan gunung beruntuhan, gemuruh berdentam-dentam, laut menggelombang dahsyat, bumi bergerak bagai digoncang, langit dalam sekejap menjadi pekat. 40. Sang rajaputra jadi berdebar-debar, heran bertanyatanya di dalam hati, "Pengaruh apakah gerangan, suara hingarbingar ini?" 41. Tak lama antaranya datanglah neneknya yang berupa peri, Dyah Retna Sriwulan meluncur dari angkasa, langsung menuju ke tempat rajaputra 42. disertai bau harum semerbak wangi menghambar. Raden Jaka Pramana terkejut melihat wanita yang sangat cantik, yang kedatangannya didahului bau harum. 43. Dikiranya seorang bidadari turun sehabis melanglang dunia. Sang raden menekuk lututnya, lalu berkatalah Retna Sriwulan, 44. "Ketahuilah, bahwa aku ini nenekmu peri, bernama Dyah Sriwulan. Keperluanku menemuimu ialah untuk menyatakan rasa kasihku, dan untuk memberi petunjuk. 45. Sekarang pergilah engkau ke Cengkarsari, dan mengabdilah kepada Buyut Cemporet. Engkau harus bisa mengambil hati, 46. karena sesungguhnya engkau telah ditakdirkan menjadi jodoh Rara Kumenyar. Cucuku, sesungguhnya Rara Kumenyar itu ialah rajaputri Jepara, 47. yang bernama Dewi Retnadi (Suretna), yang semula telah dipertunangkan dengan engkau, akan tetapi salah faham. 48. Ia mengira akan dijodohkan dengan salah seorang 114 PNRI
kakakmu yang cacat. Ia merasa malu, dan kemudian meninggalkan istana. 49. Karena sesungguhnya sedang dijadikan lakon yang aneh oleh dewata yang mulia. Itulah sebabnya hal itu harus terjadi, dan tidak dapat diingkari, 50. karena turunnya kodrat itu jika sudah terlaksana dalam iradat benar-benar tak dapat berubah, dan berlangsung dengan wahana keadaan. 51. Karena terjadinya memang sudah digariskan sejak awal, maka jodoh itu, wahai Cucuku, jika dipikirkan benar-benar sangat ajaib. 52. Meskipun teraling samodra terhalang gunung, jika sudah jodohnya dengan sendirinya akan ketemu, dan akan terlaksana dengan mudah. 53. Jika sudah tiba saatnya, berterus teranglah. Apa kehendakmu jangan kaurahasiakan lagi kepada Buyut Cengkarsari, dan kemukakanlah dengan cara yang sopan. 54. Dan kuberikan kepadamu sebuah sarana berupa mustika bernama Wandirawani. Mustika ini besar khasiatnya. 55. Jika dikulum dalam mulut, dan disertai ucapan mantera " b o n g l o t " (mantera penyingkir), pasti bisa siluman sehingga tak akan terlihat, dan dapat melihat keajaiban. 56. Jika diikat dengan akar beringin putih, ialah yang disebut akar mimang, dapat masuk ke dalam alam kasar maupun halus, dan mampu menghadapi segala macam keadaan. 57. Sedangkan akar itu, jika ditanam dalam tanah, maka barang siapa melangkahinya pikirannya akan menjadi bingung, dan akhirnya tidak tahu jalan. 58. Untuk mencari akar beringin putih, hendaknya engkau mencari seekor banteng yang terpercaya, dapat berkata-kata seperti manusia. 59. Banteng itu tahu dengan pasti tempat beringin putih tumbuh. Dan ketahuilah bahwa banteng dan burung itu memang harus menjadi temanmu. 60. Juga kelak akan ada sebab-musababnya dalam bertaut115 PNRI
nya lakon ini. Jelasnya, kelak akan menjadi penyebab terbukanya keajaiban. 61. Sekarang hal ini belum boleh dikemukakan. Masih terkunci, namun kuncinya sudah hampir menyentuh (lubang kunci). Semua bergerak menuju ke s a n a . " 62. Kata-kata Dyah Retna Sriwulan sudah habis. Seraya memegang mustika pemberian nenekandanya, Raden Jaka P r a m a n a heran mendengarnya. 63. Kemudian ia mengucapkan beribu-ribu terima kasih serta menyatakan kesanggupannya untuk mentaati semua pesan, lalu menyembah, dan mohon restu semoga tercapai sesuai dengan idam-idamannya. 64. Kedua burung menco terkejut, bangun dalam keadaan basah-kuyup karena kehujanan. Mereka sangat takut menyaksikan pancaroba. 65. Sesudah selesai memberi petuah kepada cucunya, Dyah Retna Sriwulan lalu lenyap mengangkasa. Raden yang ditinggalkan seorang diri merasa heran. 66. Tersebutlah setelah hari menjelang pagi. Raden Jaka Pramana meneruskan perjalanannya. Di sepanjang jalan selalu berhasil mengatasi kesulitan. 67. Berjalan di daerah hutan Mendangsari banyak terdengar gemuruh suara penghuni hutan. Perasaan raden menjadi senang.
116 PNRI
XIII
1. Hatinya seolah-olah melayang. Binatang dan burung hiruk-pikuk dengan suara keras, bersahut-sahutan tinggi rendah menambah rindunya yang sedang berjalan. Ia tertarik karena seolah-olah memberi isyarat. 2. Kera terasa membujuk. Mereka berada di belakang berseru gemuruh, bergayutan di dalam beringin, seolah-olah sedang berusaha mencari jejak sang perwira muda. 3. Di sebelah kiri terdengar suara gemerincing berdencangdencang babi hutan saling mendahului. Demikian pula barisan kijang yang tampaknya iri, dan tidak mau ketinggalan, seolaholah mereka itu bersama-sama membayang-bayangi perjalanan, dan turut berprihatin. 4. Lembu dan banteng pun berlari cepat-cepat, berteriakteriak seraya lari menyimpang. Seolah-olah mereka kecewa melihat satria yang memilih meninggalkan istana. 5. Jauh di depan yang mempesona, membuat tenangnya hati yang sedang terpikat, ialah suara burung yang terdengar lirih, kemerduannya memberi hiburan, bagai pelerai perasaan rindu. 6. Suaranya makin lama makin keras ditingkah meriah kokok ayam hutan bersahut-sahutan bagaikan tangis para abdi perempuan yang ditinggalkan, sedang mereka menjadi kesepian serta rindu karena tak ada yang dilihat lagi. 7. Perasaan rajaputra sedih dan pilu, dan selalu menahan air mata, seraya memanjatkan puji. Tak lama antaranya terdengar suara burung merak menyapa, menambah bingungnya yang sedang ragu di hati. 8. Merak jantan yang berjambul meningkah suara, bersahut-sahutan dengan yang berada di semak-semak, bertalu-talu 117
PNRI
suaranya bagaikan turut bersedih, bingung karena rindu, karena kerinduan hatinya jelas terlihat. 9. Ketika pagi hari sudah terang, Jamang dan Cunduk kelihatan tidak gembira, rajaputra bertanya dengan suara lemah lembut, ujarnya, "Duhai Jamang, dan Cunduk kesayanganku! 10. Mengapa kalian tampak lesu, hingga seperti kapuk teronggok? Barangkali kalian merasa sakit, dan mengantuk karena kurang t i d u r ? " Jamang menjawab dengan suara perlahan. 11. "Gusti, Sang Rajaputra. Kami mohon maaf sebesarbesarnya. Sesungguhnya kami tidak sakit, dan tidak pula mengantuk karena semalam tidak tidur, melainkan hanya karena perasaan cemas. 12. Ketika semalam terjadi huru-hara alam, kami sudah bangun kedinginan, sampai ketika nenek Paduka turun memberi petunjuk, semua masih kami ingat. Sekarang bagaimana kehendak Paduka. 13. Apakah kiranya jadi mencari banteng hutan yang dapat berkata-kata seperti manusia? Dan bagaimana pula caranya agar dapat menemukannya?" 14. Berkata rajaputra, " J a m a n g ! Jika engkau setuju, tak lain engkaulah yang kusuruh mencarinya di dalam hutan belantara ini, karena engkaulah yang sudah waspada." 15. Jamang tersenyum lalu jawabnya, " A t a s restu Paduka, rasanya dulu saya pun ingat akan rupa banteng hutan yang dapat berkata-kata seperti manusia. 16. Pekerjaannya memberi pertolongan, memberi petunjuk jalan terhadap orang yang kebingungan. Yang kedua, jika ada orang yang mengalami kesengsaraan, misalnya keberatan bawaan sehingga menyulitkan perjalanannya. 17. Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong membawakan sampai ke mana pun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, 18. dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang caranya yang sekiranya sesuai. 118 PNRI
19. Banteng yang mendengar ujar orang-orang yang ditolongnya lalu menjawab dengan bahasa manusia, bahwa balas jasa itu sebenarnya tidak ada manfaatnya. Yang penting ialah, asal tetap ingat, dan tak lupa mengakui sebagai teman baik lahir maupun batin. 20. Cara demikian itu sudah cukup, ujarnya. Tentu saja yang mendengar sangat heran, lalu bertanya mengenai asal mulanya dapat berkata-kata dengan baik. Jawabnya ialah, hanya menirukan percakapan orang belaka. 21. Dulu saya pun turut terbawa-bawa, dalam hati ingin meniru seperti banteng yang dapat berkata-kata itu, dengan cara menirukan yang gampang dari percakapan manusia. 22. Ketika hampir mahir bercakap-cakap itulah saya bertemu dengan banteng hutan. Saya memanggilnya, dan dijawab dengan panggilan adik. Persahabatan kami benar-benar akrab tanpa perasaan segan-segan lagi. 23. Perpisahan yang terjadi adalah hanya untuk mengurus keperluan kami masing-masing dalam pembagian tugas," demikian cerita si Jamang, yang membuat senangnya rajaputra. 24. Lalu ujarnya lembut, " N a h , sekarang carilah segera si banteng hutan i t u . " Jamang segera terbang melesat. Ringkasnya ia telah ketemu dengan si banteng, lalu menceritakan pengalamannya. 25. Akhirnya ia berkata, " J i k a mau, sekarang dipanggil oleh sang r a j a p u t r a . " Banteng sudah mengikut, dan setibanya di tempat penantian, banteng duduk dengan sopan serta mendapat ucapan selamat dari rajaputra. 26. Banteng menjawab dengan ucapan banyak terima kasih. Rajaputra lalu mengutarakan keinginannya. Banteng menyetujui dan bersedia membantu. Kemudian dipersilakan naik, dan banteng berjalan perlahan-lahan, 27. langsung memasuki hutan belantara. Ringkasnya cerita akar beringin putih yang dicari sudah diperoleh, dan sudah diterima oleh rajaputra dengan perasaan sangat gembira. 28. Kemudian diminta meneruskan perjalanan ke Cengkar119 PNRI
sari. Banteng diminta berhenti, karena hendak memberi kabar lebih dulu. Yang disuruh memberi kabar ialah Jamang. 29. Yang mendapat perintah melesat. Si menco telah mendahului. Ia telah tiba di dukuh Cengkarsari, dan telah memberi penjelasan kepada Ki dan Nyi Buyut, tentang segala sesuatu yang telah dan akan terjadi. 30. Keduanya lalu segera menyuruh sang dewi bersiap-siap mengatur tempat dan hiasan rumah, karena tamu yang sangat dinanti-nantikan sudah hampir datang. 31. Mendengar berita itu sang dewi menjadi bingung dan tergoncang. Ia mencoba berpikir, namun tetap bingung. Ternyata apa yang selalu diharap-harap kini terbukti, akan tetapi ia tidak tahu, bagaimana nanti caranya. Tambahan lagi hatinya merasa sedih dan pilu. 32. Ki dan Nyi Buyut gopoh-gopoh pergi menjemput. Menco Jamang pun segera kembali ke tempat gustinya menanti, dan kemudian memaparkan hasilnya sebagai utusan, bahwa semuanya telah berlangsung dengan baik. 33. Sang rajaputra meneruskan perjalanannya, lalu bertemu dengan Ki dan Nyi Buyut, yang segera menyembahnya, kemudian dipersilakan masuk ke rumah. Sang rajaputra menurut, kemudian sekaliannya duduk bersama. 34. Raden disambut dengan kata-kata, "Ternyata Paduka berkenan datang ke dukuh Cengkarsari yang keadaannya tidak karuan. Namun didatangi juga, sehingga rasanya seperti kejatuhan wahyu, karena sebenarnya teramat mustahil. 35. Sebesar rambut pun tidak menduga. Oleh karena itu hamba mohon beribu-ribu maklum, jika sekiranya kami kurang sopan, sebagai rakyat dusun yang jauh dan tak pernah mengerti tatacara istana." 36. Rajaputra menjawab, "Banyak terima kasih. Sebelum, dan sesudah aku datang, aku sudah memaklumi sepenuhnya. Karena itu tak usah merasa rikuh. 37. Kedatanganku ke dukuh Cengkarsari dengan bersungguh-sungguh memang sudah aku niatkan. Jika tidak berkeberatan, dengan sangat kuminta suatu pengayoman. 120 PNRI
38. Dengan sungguh-sungguh aku akan menganggap sebagai a y a h . " Tersebutlah Ki Buyut, ketika mendengar ucapan rajaputra lalu menyembah dalam-dalam seraya berkata dengan suara lirih, ujarnya, "Aduhai Paduka Rajaputra, mengenai sabda yang telah terlisankan, 39. rasanya kami tak dapat menjawab. Adapun gusti hendak mengayom kepada abdi, keadaannya seperti dunia terbalik. Sejak dahulu kala hingga kini, hal seperti itu belum pernah terjadi. 40. Barangkali akan mendapat laknat yang luar biasa. Jika diumpamakan sebagai elung, manakah elung besar merambat di elung kecil." Rajaputra menjawab lembut, "Karena sedang menjadi lakon, 41. diri saya ini dapat diumpamakan seperti layang-layang tanpa benang, terbang tak terkendali tertiup angin, dan jatuh di mana saja, dan dapat dipungut oleh siapa pun. 42. Oleh karena itu tak usah ragu-ragu dalam menerima benih yang sedang mengalami sengsara." Ki Buyut menjawab, "Restu Paduka saja yang akan kami junjung tinggi. Sekuasa kami, Paduka pasti akan kami terima. 43. Tentu hanya dengan keadaan sekadarnya, dan semua kami serahkan atas kuasa dewata yang gaib. Tak lain kami hanya memanjatkan puji syukur, dan berusaha ke arah yang b a i k . " 44. Dengan tersenyum manis Jamang turut berbicara, katanya, "Ayah, dengan demikian Anda sekarang kedatangan dan menerima keluarga bertumpuk-tumpuk, yang harus Anda gendong." 45. Ki Buyut menjawab lembut, " T a k lain aku hanya menerima, Anakku. Dan turut serta menjaga Gusti atas kehendak dewa agung, karena adanya lakon yang a j a i b . " 46. Jamang berkata lagi, " J i k a demikian beribu-ribu syukur, karena dewa bersifat pemurah dan pengasih. Terimalah dengan sabar dan tawakal bayangan keselamatan ini, 47. dan jangan ragu-ragu, kalau-kalau terkena oleh laknat yang besar. Bangsawan itu dapat diumpamakan seperti keris pusaka wasiat dari leluhur. Jika dipelihara dengan baik-baik, 121 PNRI
48. demikian pula penghormatannya, barangkali pengaruh baiknya akan semakin berkesinambungan, merata, dan menjadi penyebab kebahagiaan. Sudah banyak contoh yang mirip dengan kejadian ini. 49. Pada zaman dahulu kala seorang raja besar yang bertakhta di Kerajaan Malawapati, gelarnya termasyhur, ialah Raja Anglingdarma. 50. Diguncang oleh dewata karena khilaf dalam perilaku, yakni menjadi penyebab terbukanya jangka peristiwa gaib, sehingga terkena oleh laknat, ujudnya diubah menjadi burung belibis. 51. Dipungut sebagai anak, dan dipelihara oleh Demang Kalungsur, yang bertempat tinggal di desa Wanasari. Sesudah tiba saatnya kembali seperti semula, ada kebahagiaan yang ia terima, 52. atas pertolongan rajanya, bahkan mendapat pangkat tinggi sebagai mahamenteri yang berkuasa atas pengadilan kerajaan besar, di mana segala masalah yang rumit diserahkan. 53. Itulah suatu jasa yang sudah ada kenyataannya. Tentang Anda sendiri, Ayah, entahlah kelak kesudahannya. Tentu saja belum dapat dipastikan, karena keberuntungan manusia itu tidak selalu s a m a . " 54. Ki Buyut senang mendengar cerita si Jamang, karena cerita itu seolah-olah memperingatkannya, sehingga menimbulkan pemikiran yang baik. Ia berkata lirih, "Terserah kepada Sang Pencipta l a k o n . " 55. Rajaputra tertawa, kemudian berkata dengan suara lembut, " H a i Burung, engkau sudah waspada terhadap segala kemungkinan." Sang burung menjawab, "Sangat jauh dari apa yang Paduka k a t a k a n . " 56. Selama bercakap-cakap rajaputra selalu memperhatikan ke kiri dan ke kanan, karena selama itu sang dewi yang selalu dirindukannya tidak tampak. Padahal yang dirindukannya memang tak mungkin ke luar, untuk menampakkan diri.
122 PNRI
XIV 1. Hati sang rajaputra selalu berdebar-debar karena keinginannya untuk melihat rupa sang Dewi Cengkarsari, meskipun telah melihat gambar sang juwita, 2. yang ada di dalam permata mulia, yang benar-benar luar biasa cantiknya. Sekarang ini ia ingin melihat kenyataannya agar supaya puas akan rupa yang selalu terbayang-bayang di pelupuk mata, sehingga akan terobatilah rindunya, atau sebagai pelipur rindu. 3. Akan tetapi perasaannya selalu ditutup-tutupi karena masih merasa rikuh, dan agak malu mengingat kedudukannya. Dalam hati saja selalu bertanya, "Bagaimanakah caranya agar aku dapat bertemu pandang dengan kekasihku?" 4. Jamang melihat keinginan gustinya, lalu bertanya kepada Nyi Buyut Cemporet, "Biyung, ke manakah gerangan anak Anda putri? Lama ia tak kelihatan. 5. Mengapa seperti berpura-pura tidak t a h u ? " Nyi Buyut menjawab dengan lembut, "Mungkin sedang mengatur tempat sirih. Mengapa lama, mungkin agak takut karena belum tahu tatacara kebangsawanan." 6. Ki Buyut pun menyambung, ujarnya, " H a i , istriku, suruhlah dia agak cepat jika memang masih lama ia mengatur tempat sirih, yang hendak dihaturkan kepada gusti." Nyi Buyut mengangguk. 7. Tersebutlah yang mengintip dari sela-sela daun pintu, yaitu sang dewi, sebenarnya telah membawa tempat sirih yang telah teratur rapi dan indah. Akan tetapi hendak ke luar agak ragu-ragu untuk mengantar tempat sirih itu ke hadapan rajaputra. 8. Ketika ia melihat rupa sang rajaputra, bulu romanya berdiri, sedang hatinya berdesir hebat seperti hendak putus. Tubuhnya gemetar, dan kemudian hatinya berdebar-debar, selu123 PNRI
ruh kekuatannya seperti lenyap sehingga tak kuasa berjalan, la berusaha berpikir. 9. "Bagaimana caranya agar perasaan rinduku dapat lenyap? Jika aku tidak datang ke hadapannya, jangan-jangan dianggap tidak tahu sopan-santun, sehingga mungkin kena marah, dan celakalah diriku." 10. Ia merasa serba salah, sehingga tingkah lakunya juga tak menentu. Nyi Buyut yang sudah lama menanti, segera bergeser dari hadapan rajaputra dengan maksud melihat sang dewi. 11. Sang dewi pun melihat, lalu ia segera menyingkir, bersembunyi ke kamar seraya bersedekap menenteramkan hatinya yang selalu berdebar-debar, tubuh terasa dingin. Nyi Buyut melihat, lalu ujarnya lembut, 12. " A d u h a i Anakku, tambatan jiwaku, mengapa tiduran? Anakku, apakah engkau kecewa dengan tamumu itu? Ibumu ini hanya nempil. Enkaulah yang mestinya wajib menemui, tetapi mengapa selalu bersikap angkuh? 13. Bagaimana kehendakmu sekarang? Apakah akan membuat malunya orang yang merindukan dirimu? Apakah tidak merasa kasihan kepada tamu itu? Kerajaan Pagelen itu jauh benar letaknya dari sini, sudah dijalaninya ke sini dengan bersusahpayah. 14. Marilah kita menghadap pada yang baru datang itu, Anakku! Tak usah merasa malu karena sudah sama-sama dikehendaki." Beberapa saat lamanya barulah sang dewi menjawab, suara sendat dan lirih, "Sabarlah dulu, Biyung. 15. Biar kuatur dulu nafasku yang tak keruan seperti akan menutup ulu hati. Tubuhku gemetar, penglihatanku menjadi kuning berkunang-kunang di sekitarnya, berpendar-pendar seperti gerimis. 16. Kena apa gerangan aku ini, denyut jantung seperti akan putus, atau seperti kejatuhan batu kalau melihat tamu yang datang itu. Bagaimana caranya supaya kuat, sedang rasanya hendak pingsan saja. 17. Hendak menghadap rajaputra, kaki rasanya lumpuh, selalu kesemutan dan terasa kaku. Pandangan mataku sebentar 124 PNRI
terang sebentar gelap seperti orang bermimpi. Begitulah perasaanku, Biyung!" 18. Lama Nyi Buyut menunggu anaknya, sang dewi. Sesudah ia tenang dan tenteram barulah Nyi Buyut kembali mengajaknya, "Mari, Nak, segeralah kita ke d e p a n . " 19. Mendengar ajakan biyungnya perasaan sang dewi masih berdenyut-denyut. Karena itu ujarnya, "Sabarlah, Biyung. Berjalanlah di depan, saya di belakang saja. Tubuhku masih gemetar." Nyi Buyut menurut, berjalan perlahan-lahan. 20. Tiba di depan sang dewi memandang sekilas, lalu menunduk lagi, bersembunyi di belakang biyungnya. Cahaya wajahnya memerah karena bercampur malu, menambah kemanisannya bagaikan bintang bercahaya turun ke bumi.
21. Ketika rajaputra melihat rupa sang dewi, demikian pula ketika sang dewi berada dekat di hadapannya, perasaan kedua remaja itu sama-sama tergetar. Dan ketika beradu pandang, hati keduanya bagaikan piring besar yang remuk rendam. 22. Sang dewi sendiri ketika beradu pandang terasa seperti mati di tempat, jadi serba salah tingkah. Akibatnya tempat sirih yang dibawanya jatuh di hadapan rajaputra, dan segera ditangkap oleh Nyi Buyut. 23. Sang dewi yang tampak malu itu segera berlari mengundurkan diri, masuk ke rumah langsung ke kamar tidur. Ia merebahkan diri serta menutup kelambu. Sang rajaputra terteguntegun heran. 24. Rasanya seperti hendak bersegera menyusul ke dalam rumah, bahkan terus memulainya di tempat tidur karena tak kuasa lagi menahan, penglihatannya terasa gelap, terus menyusup sampai ke hati, memberat perasaan rindunya. 25. Nyi Buyut memohonkan maaf dengan suara manis, "Aduhai sang Rajaputra, maafkanlah sebesar-besarnya, karena anak hamba belum pernah bergaul dengan Gusti, akibatnya ia jadi bingung. 26. Yang terpikir olehnya hanyalah perasaan takut, kalaukalau kata-katanya keliru sehingga akan menyebabkan kesalah125 PNRI
a n . " Rajaputra menjawab lembut, "Biyung, sesungguhnya aku sudah memakluminya." 27. Waktu itu hari pun malamlah. Sang rajaputra sudah dipersilakan beristirahat di tempat tidur. Tempat tidurnya sudah diatur dengan rapi dan indah, tentu saja seukur dengan keadaan di dusun. 28. Yang berada di dekat rajaputra adalah kedua ekor burung. Banteng beserta Ki dan Nyi Buyut tidur di lantai menjaga gustinya. Sedangkan sang dewi tidur di dalam kamar, 29. ialah di kamar sebelah barat petanen. Yang berada di dekatnya ialah saudara angkat yang masih kecil bernama Ki Jaka Kulampis, yang sangat dicintainya sebagai kawan dekat. 30. Tersebutlah sang rajaputra yang berada di tempat tidur bersama burung kekasihnya, hatinya selalu gelisah karena menuruti perasaannya yang serasa mendesak-desak karena gejolak kerinduannya. 31. Hatinya selalu resah-gelisah, membayang-bayangkan seolah-olah sedang merayu dengan kata-kata yang lembut merdu, seperti b e r p a n t u n , " rubah batu di gunung, dua sekawan bersukaria. Sudah bertemu langsung, mengapa gerangan berahasia. 32. Sauh kapal pijar membara, kura-kura di atas kapal, kapal merayap lemah dan lambat. Angkuhnya sungguh luar biasa, pura-pura tidak mengenal, padahal kuharap ramah dan m i n a t . " 33. Kemudian pikirannya berbalik, lalu gumamnya, " A k a n tetapi kurasa dalam hati, benar juga ia bersikap begitu untuk memegang teguh kesusilaannya, karena sadar bahwa dirinya adalah benar-benar putri utama, kukuh sopan-santunnya, dan tidak memperturutkan hatinya yang sedang r i n d u . " 34. Burung menco berusaha menyabarkan rajaputra, demikian ujarnya, "Aduhai Gusti, jangan memperturutkan perasaan rindu. Itu hanya akan menambah susah, tambahan lagi tak ada faedahnya, dan akan mempersulit laku. 35. Karena lakon itu sebenarnya sudah diatur, taatilah perintah, dan dekatilah dengan sabar. Lenyapkanlah kecurigaan perasaan Ki dan Nyi Buyut, dan sabarkanlah hati Gusti. 36. Sekarang ini Gusti sedang digoncang oleh dewata. 126 PNRI
Pelaksanaannya harus ditempuh dengan melamarnya. Tidak ada hal-hal yang perlu diragukan karena memang sudah terpepet, dan sudah diketahui pula rahasianya. Bukankah lebih baik dibicarakan saja secara terus-terang." 37. Mendengar saran si burung menco, rajaputra merasa senang, dan dengan gembira menerimanya. Saat itu juga Ki dan Nyi Buyut langsung dipanggil menghadap. 38. " P a m a n dan Bibi, kuharap kalian berdua mau memberi maaf. Kedatangan saya ke mari sebenarnya atas kehendak dewat a , " demikian rajaputra mengawali pembicaraan, dan selanjutnya segala persoalan sudah dipaparkan. 39. Ketika Ki dan Nyi Buyut mendengar kata-kata yang telah terucapkan, keduanya tertegun-tegun sangat heran. Hatinya serasa hilang sehingga beberapa saat lamanya tak kuasa berbicara. Kemudian jawabnya lembut, " A d u h a i Gustiku, ,40. kehendak dewata dalam membuat lakon benar-benar tidak dapat dibayangkan. Terlaksananya pun benar-benar ajaib. Menurut pendapat hamba, akhirnya serba mudah, dan tinggal melaksanakannya saja karena dibicarakan pun sudah silih t e m u . " 41. Rajaputra menanggapinya dengan kata-kata lembut, ujarnya, " A k a n tetapi rahasiakanlah dahulu, karena belum saatnya tersiar luas. Masih dirahasiakan oleh dewata." Ki Buyut menyambung, "Baiklah, Gusti! 42. Pasti tidak akan mengecewakan. Asalkan sudah terlaksana, sehingga tiada halangannya lagi dalam pergaulan suamiistri. Walaupun sekedar kekuatan seorang petani, yang hanya sampai pada kehendak, namun hati ini rasanya ingin besar besaran." 43. Jamang menyela dengan kata-kata lembut, " A d u h a i sang Rajaputra, saya rasa pendapat Ki dan Nyi Buyut itu baik. Yang dikhawatirkan ialah, api bersanding ijuk. 44. Jika terjadi rembetan atau letikan api, tentu ijuk akan terbakar, sehingga buruk beritanya ke masyarakat. Sebaliknya, jika segera dipertemukan, tak ada lagi yang tabu, dan tinggal menjaga keselamatannya s a j a . " 127 PNRI
45. Rajaputra setuju dengan pendapat tersebut, dan pembicaraan pun telah memperoleh kata sepakat. Saat-saat menunggu tidak diceritakan. Tibalah pada suatu hari, sang dewi telah diberitahu, apa yang telah diputuskan bersama. 46. Kemudian diadakan persiapan-persiapan dan pengaturan tempat. Semuanya sudah siap, termasuk segala macam sesaji. Kini bertepatan dengan datangnya keberuntungan, ada seorang nakhoda besar datang bertemu, 47. membawa barang dagangan beraneka warna yang serba istimewa dan indah, diusung oleh dua puluh lima orang buruh. Keperluannya ialah hendak membalas kebajikan, dengan menghadiahkan yang serba istimewa kepada Ki Buyut. 48. Yang menjadi sebabnya ialah, karena anaknya dulu, ketika pergi berdagang, setibanya di hutan wilayah Cengkarsari, dan sedang beristirahat, ternyata kebingungan tak tahu jalan. Yang menolong menunjukkan jalan yang benar, 49. sang banteng, yang ketika ditanya mengaku anak orang bernama Ki Buyut Cemporet. Jadi kedatangannya ke Cengkarsari itu memang dengan tujuan khusus. 50. Ki Buyut luar biasa gembira, karena mereka datang tepat pada waktu yang diperlukan. Pemberian mereka sudah diterima, berupa perhiasan emas intan yang serba berkilauan, telah diterimakan kepada Ki Buyut. 51. Kemudian mereka diminta menjadi saksi perkawinan antara kedua remaja. Ki Juragan beserta seluruh rombongannya turut mendoakan dengan segala senang hati. Ki Buyut segera mempersiapkan segala sesuatunya. 52. Banteng dan menco sudah mendapat tugas supaya menghadap sang pengantin mempersembahkan pakaian kebesaran. Nyi Buyut juga sudah membagi-bagi dan mempersiapkan pakaian yang serba indah, dan mempersiapkan jamuan.
128 PNRI
XV
1. Sesudah persiapannya selesai, lengkap dengan segenap hiasannya, meskipun tidak diadakan upacara temu, akan tetapi peresmian perkawinan antara rajaputra dan rajaputri itu dihadiri oleh para undangan Ki dan Nyi Buyut dari tetangga desa. 2. Para undangan yang masih termasuk keluarga sudah pada datang ke Cengkarsari. Ringkasnya, pada waktu itu pengantin sudah temu, duduk bersanding di dalam rumah. Cahayanya berkilau-kilauan bagaikan bulan kembar. 3. Semua hadirin kagum melihat rupa kedua mempelai. Keduanya pantas benar dipersandingkan. Burung menco mengapit tempat duduk di sebelah kiri dan kanan. Penempatannya tampak pantas, menyerupai sepasang patah. 4. Banteng mendekam di depan, berbedak, dan berkalung cindai, seolah-olah dijadikan hadiah. Keramaian para hadirin tidak tampak berseri, karena kemeriahannya terkalahkan oleh kedua mempelai yang laksana hiasan dunia. 5. Para tamu semuanya berpikir dalam hati, bahkan setengahnya memastikan bahwa kedua mempelai keturunan raja-raja. Hal itu dapat ditilik dari rona wajahnya. Mereka bertanya-tanya kepada Ki Buyut, siapa sebenarnya kedua mempelai itu. 6. Dengan bahasa semua mereka diberitahu. Kata-kata Ki Buyut masih perlu penafsiran, la katakan, bahwa ia tidak tahu menahu mengenai asal-usulnya. Keduanya datang ke Cengkarsari dalam keadaan yang patut dikasihani, lalu keduanya diambil sebagai anak. 7. Karena seolah-olah sebanding, dan ketika ketemu sudah sama-sama dewasa, maka mereka dijodohkan. Keduanya samasama mau. Demikian cerita Ki Buyut, lalu ujarnya lagi, "Dengan SERAT CEMPORET - 9
129
PNRI
demikian tidak kepalang tanggung lagi aku mengasuh mereka, karena tak perlu mereka berjauhan. 8. Selalu sejahtera untuk selama-lamanya, dan siapa tahu kelak kemudian hari timbul keberuntungan dan kewibawaannya, dan kami dapat turut serta menikmatinya. Umpama tanaman, tumbuh, dan berbuah lebat, dapat turut memetik hasilnya." 9. Mereka menanggapi demikian, " I t u sangat baik. Mudah-mudahan gagasan itu terlaksana. Bukankah ada tamsilnya, seperti orang yang berdekatan dengan orang yang sedang menangguk ikan, pasti akan selalu basah kena percikan lumpur. Demikian ibaratnya di kalangan masyarakat yang kurang baik. 10. Tak lain turut mendoakan, semoga semuanya mendapat kebahagiaan, menunggunya sambil bertiduran." Yang mendengar semua gembira. Sedang Ki Nakhoda beserta keluarganya tidak bosan-bosannya melihat 11. rupa kedua mempelai, yang bagaikan dewa turun ke bumi, sangat patut dan pantas untuk ditonton. Rona wajahnya bercahaya kemilauan, berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka betul-betul tidak habis mengerti. Demikian pula tentang si burung menco serta banteng, 12. yang ternyata dapat berbicara sopan seperti manusia. Sungguh sangat ajaib. Bermacam-macam dugaan mereka. Sesudah itu lalu makan bersama, masing-masing mengambil piring, dan semua merasa gembira. 13. Beberapa hari kemudian para tamu pun bubar, kembali ke rumah masing-masing. Ki Nakhoda pulang ke Jepara. Kedua pengantin sudah rukun, dan selalu berduaan. 14. Kedua mempelai itu selalu merasa bahagia, tanpa aral apa pun, diasuh oleh Ki dan Nyi Buyut. Begitulah keadaan mempelai berdua yang selalu rukun dan saling mencinta, kini mengulang cerita dulu tentang keadaan Kerajaan Pagelen sepeninggal rajaputra, 15. yang membuat kegemparan para abdi perempuan, lalu melapor kepada Sri Baginda. Ayah-bunda sangat pedih, seluruh istana menjadi gempar mencarinya ke mana-mana. Orang berlari130 PNRI
an dalam suasana kebingungan. Di mana-mana terlihat suasana kesedihan. 16. Hilangnya rajaputra terdengar oleh kedua saudaranya, ialah rajaputra yang tua, yang cacat, yaitu Raden Jaka Pratana dan Raden Jaka Sangara. Keduanya lalu meninggalkan istana untuk mencari, adiknya. 17. Itu dilakukannya karena sangat kasihnya kepada saudara muda. Dan itu pula sebabnya mereka berdua tanpa memikirkan bahaya maupun rintangan di perjalanan menuruni jurang mendaki gunung memasuki hutan belantara. 18. Keduanya sudah seia-sekata, jika yang dicarinya tidak diketemukan, akan terus' mencarinya, ataupun sampai mati, mereka akan tetap menyusupi hutan. Raja Sri Manuhun serta istrinya sangat sedih. 19. Masih terbayang kepergian rajaputra yang muda, kini bertambah sedih lagi karena kepergian rajaputra yang tua pergi entah ke mana. Perasaan mereka semakin kacau-balau, bahkan seluruh negeri ikut menjadi gempar. 20. Tak ada lagi yang dapat dilihat, tambahan melihat permaisuri yang terus-menerus jatuh pingsan. Dihibur dan dijunjungjunjung, dan raja pun selalu berusaha menghiburnya dengan lemah-lembut agar kesedihan permaisuri berkurang. 21. Suara tangis di dalam istana bagaikan suara guruh. Laki-laki dan perempuan menangis, membuat semakin bingungnya sri baginda. Perasaannya terasa menyesak, kacau silih berganti, dan semakin bertumpuk. Karena sudah tidak dapat berpikir lagi, maka hatinya seolah-olah ditutup, kemudian berusaha mengheningkan cipta. 22. Perbuatan raja itu membuat angkasa menjadi gelap, pertanda kehidupan menjadi senyap, sinar aiam menjadi suram, karena ada seorang raja utama sedang mengalami kesedihan, sehingga mempengaruhi kehidupan lainnya. Sri Baginda sangat memeras budi 23. mohon kepada dewata, petunjuk, bagaimana gerangan akhir dari para rajaputra yang pergi tak berberita. Akhirnya 131 PNRI
beroleh ilham, petunjuk berujud nasihat, bahwa hilangnya para rajaputra itu 24. tidak mendapat halangan suatu apa, karena memang atas kehendak dewata, dijadikan lakon yang aneh. Kelak ketiga putra di waktu kembali ke istana sudah beristri semua. Tunggulah dengan tenang sambil mendoakannya. 25. Demikianlah petunjuk berupa suara yang diterimanya. Hati baginda sudah tenang, pasrah kepada Sang Pembuat Lakon. Seketika itu teringat pada waktu memberi kabar kepada pihak besan, ialah ketika hendak merayakan perkawinan putranya, ternyata putranya membuat keruwetan, 26. karena ia tak mau dikawinkan, sebab sangat takut kepada saudara tua yang kedua-duanya masih bujangan. Hal itu membuat suasana jadi ruwet, akan tetapi kemudian mendapat petunjuk, bahwa kedua putranya akan mendapat jodoh melalui suatu keelokan. 27. Sekarang ketiga-tiganya menghilang, dan itu akan menjadi penyebab mereka mendapat jodoh. Kemudian Sri Baginda berkata lembut kepada istrinya, menjelaskan petunjuk yang diterima. Istri baginda pun hatinya lapang, timbul harapannya, kesedihannya telah hilang. 28. Seluruh penduduk turut gembira, kegelapan telah lenyap, dan kembali terang. Penduduk Pagelen tenang kembali karena telah mendapat berita tentang petunjuk kepada Sri Baginda. Kerajaan besar itu sudah kelihatan tenteram, cahayanya sudah timbul lagi. 29. Kemudian diceritakan lagi suatu peristiwa yang terjadi secara bersamaan, yakni di Kerajaan Pagebangan, di wilayah Surabaya. Pada waktu itu yang bertakhta di sana ialah Prabu Tunggulmetung, dan Sri Baginda sedang bersedih. 30. Sebabnya ialah karena rakyat di seluruh negeri, yang mata-pencahariannya menyadap enau, tak ada yang ke luar airnya Hal itu benar-benar membuat Sri Baginda sangat sedih. Setelah berpikir lalu memerintahkan wadyanya untuk mencari 31. sarana atau syarat yang ampuh kepada para pertapa, yaitu sarana untuk memulihkan keadaan. Duta segera berangkat, 132 PNRI
dan ketika duta itu sampai di Wirasaba, di kaki Gunung Tunggarana, 32. utusan dari Pagebangan bertemu dengan utusan raja Jepara yang bernama Arya Tiron, yang sedang mengembara mencari Dewi Suretna. Di situlah kedua utusan raja itu bertemu.
133 PNRI
XVI
1. Lalu saling menanya, dan sudah saling berwarta tentang keperluan masing-masing. Keduanya sama-sama takjub, dan akhirnya mereka sepakat untuk saling membantu. Keduanya lalu menuju ke sebuah puncak gunung. Tak lama antaranya datanglah seorang laki-laki membawa pikulan air. 2. Ketika dipanggil orang itu berhenti, dan kemudian ditanya oleh Arya Tiron. Orang itu menjelaskan, namanya Putut Sadaka, baru saja mengambil air ke lambung gunung, ke sebuah sendang yang bernama Tirtamaya. Nama itu diberikan oleh sang Resi karena airnya sangat sejuk dan jernih. 3. Sang Arya bertanya lagi tentang nama sang Pertapa, dan nama gunung itu. Putut Sadaka menjawab dengan suara lirih, bahwa gunung itu bernama Tunggarana, sedangkan sang Pertapa ialah Resi Caracapa. Adapun pertapaannya disebut Giri Ketawang. 4. Kemudian Putut Sadaka bertanya, " A n d a ini satria mana, dan siapa nama A n d a ? " Yang menjawab Aryo Tiron. Ia menerangkan berasal dari Jepara. Apa keperluannya juga telah dijelaskan. Sungguh sangat kebetulan, Putut Sadaka diminta mengantar kedua mereka yang ingin bertemu dengan sang Pertapa. 5. Putut menjawab, "Baiklah, mari saya antar. Kebetulan sekali di sini tadi pagi baru saja mengadakan perayaan, sehingga tentu menyenangkan sekali." Kemudian ketiganya berjalan. Setibanya di batas pertapaan, Putut berjalan mendahului. 6. Sesudah meletakkan tempat air, ia segera menghadap sang Resi, mewartakan kedatangan tamu, dua orang, dan mereka utusan raja Jepara, sedangkan yang seorang lagi berasal dari 134 PNRI
Pagebangan. Sekarang mereka menunggu di luar. Sang Resi memerintahkan supaya tamunya segera dipersilakan masuk. 7. Putut Sadaka segera menemui kedua tamu dan segera dipersilakan masuk. Kedua tamu menurut, setibanya di halaman disongsong oleh Resi Caracapa, dan dipersilakan masuk ke sanggar. Yang disuruh pun segera mengikutinya. 8. Sesudah duduk tenang, lalu sang Resi mengucapkan sambutannya, demikian, " A d u h a i , para tamu yang terhormat. Karena baru pertama kali ini saya bertemu, izinkanlah saya bertanya, apakah gerangan maksudnya, dari mana asalnya, dan siapa kiranya nama Tuan? 9. Dan apa gerangan keperluan Tuan-tuan bersama-sama mendaki gunung ini?" Arya Tiron yang menjawab. Ia bercerita dari awal sampai akhir, bahwa keperluannya menghadap sang Pertapa ialah ingin mohon petunjuk tempat tinggal orang yang sedang dicarinya. Utusan dari Pagebangan 10. juga sudah mengutarakan keperluannya, bahwa dirinya diutus oleh Sri Baginda untuk minta sarana pertolongan pembebas kesedihan. Adapun yang menimbulkan kesedihan ialah karena seluruh rakyat menderita kesusahan dalam mata-pencahariannya menyadap enau, karena tidak dapat memperoleh nira. 11. Demikianlah keterangan kedua tamunya. Resi Caracapa terdiam mendengarnya. Hatinya merasa heran, tetapi kemudian ujarnya lembut, "Mengatasi masalah itu mudah, dan tinggal dipinta kepada dewata. Saya mempunyai sebuah pusaka peninggalan kakek saya, yang disebut Kitab Sidawakya (yang kata-katanya selalu benar). 12. Hitungannya berdasarkan perbintangan, bulat seperti cakrawarti (Roda). Biasanya, yang sudah-sudah banyak yang cocok. Baiklah kelak dapat dicoba, siapa tahu berhasil, sebab harus bersabar untuk sementara, dengan sarana bersamadi, dipuja agar Kitab Sidawakya itu benar-benar memberikan pertolongan. 13. Oleh karena itu Tuan berdua seyogyanya menunggu semalam dulu, agar apa yang Tuan berdua inginkan dapat terlaks a n a . " Kedua tamunya menurut. Ketika malam datang, Resi Caracapa lalu membuka Kitab Sidawakya. Sesudah masing135 PNRI
masing keperluan dihitung, terdapatlah petunjuk untuk masingmasing. 14. Arya Tiron diperintahkan pergi ke dukuh Cengkarsari, langsung menuju ke rumah Buyut Cemporet. Sekarang ini yang dicari sudah dalam keadaan kawin. Sudah menjadi kehendak dewata bahwa Dewi Suretna berjodoh dengan Raden Jaka Pramana. 15. Terlaksananya melalui suatu lakon yang ajaib. Sekarang ini sudah tiba saatnya terbuka. Arya Tiron sangat gembira mendengar kata-kata sang Resi. Sudah barang tentu ia akan mengindahkan petunjuk itu. Sesudah itu sang Resi lalu memberikan sesuatu kepada utusan Raja Pagebangan. 16. Adapun yang dijadikan saran untuk kelestarian matapencarian menyadap pohon enau mengumpul nira, berupa daun nyiur kuning tersurat rajah yang sangat halus berbentuk kumbang menghisap madu. Di atasnya tertulis puji-pujian turunnya kemanisan. Kelak disuruh memberikan kepada rakyat, dan 17. disuruhnya memasukkan ke dalam bumbung yang terbuat dari bambu hitam, dan diberi kapur sirih. Sarana itu sudah diterima. Setelah hari pagi, keduanya minta diri kepada Sang Resi Caracapa. Keduanya diiring dengan doa selamat, lalu bersamasama berangkat ke tujuan mereka masing-masing. 18. Yang pulang ke negeri Pagebangan, setibanya di negeri, utusan itu lalu menyerahkan sarana. Apa yang dipesankan juga telah dikisahkan, dan segera dilaksanakan. Raja Tunggulmetung segera mengundangkan dan membagikan janur kuning bersurat itu kepada seluruh rakyatnya. 19. Semua saja yang pekerjaannya menyadap nira diperintahkan mengambil janur kuning. Sesudah dilaksanakan, merata di seluruh negeri, maka para penyadap itu dalam penyadapannya airnya mengalir dengan deras, sehingga mereka dapat memperoleh nira seperti sedia-kala, bahkan melebihi waktu yang sudah-sudah. Serta-merta lenyaplah kesedihan Sri Baginda 20. beserta seluruh rakyatnya, dan mereka gembira sekali. Kini tersebutlah kembali, yang dahulu pergi mencari putri Pram136 PNRI
banan yang meninggalkan istana di malam hari, ialah Raden Margana. Selama dalam perjalanan ia selalu berprihatin. 21. Perjalanannya terlunta-lunta. Ia lalu mohon petunjuk dewata, dan atas kemurahan dewa ia mendapat petunjuk supaya pergi ke desa Malandangan yang terletak di sebelah utara Gading, menemui Kyai Buyut Saraswati, tentu dapat dijadikan teman mencari. 22. Raden Margana tanggap dan mentaati petunjuk. Seketika itu dilaksanakan, dan sudah sampai di Malandangan bertemu Ki Buyut Saraswati, yang pada waktu itu kebetulan sedang menengok tanamannya. Hatinya sangat gembira menerima kedatangan anak patih itu. Raden Margana lalu diajak masuk ke dalam rumah. 23. Sesudah masuk Ki Buyut bertanya, apa gerangan keperluannya, tumben pula datang menjenguk sanak lambung kiri. Selanjutnya Ki Buyut berkata, "Saya merasa berbahagia sekali, Anda sudi berkunjung ke rumah k a k e k . " Raden Margana lalu mengutarakan maksud kedatangannya, 24. Kisahnya dari awal sampai akhir sudah diceritakan. Ki Buyut sangat heran mendengarnya, dan kemudian ia berkata lirih, "Raden Cucu! Mungkin sudah kehendak dewata, mengapa orang kecil diikutsertakan dalam persoalan seperti itu. 25. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana dapat menemukannya. Akan tetapi kalau memang mendapat tugas dari dewata, tentu tak dapat ingkar lagi. Sedapat-dapat akan turut membantu Paduka dalam menemukan rajaputri. Semua itu tergantung pada keberuntungan Paduka. 26. Akan tetapi permintaan saya, sebaiknya Paduka beristirahat dulu di rumah kakek ini, sambil memikirkan cara bagaimana yang sekiranya baik. Meskipun sudah menjadi kehendak dewa, namun dapat diikhtiarkan agar mudah dan tidak susah. 27. Perlahan-lahan mencari berita dulu dari berita-berita berangkai dari kiri-kanan. Atau bertanya dulu kepada orang yang waspada. Kelak jika sudah mendapat petunjuk tentang di mana kiranya kedua putri yang dicari itu, tidak akan sia-sialah kita lak137 PNRI
sanakan. Jauh maupun sulit tempat yang harus kita tuju, kita akan pergi." 28. Jawab Raden Margana, "Kakek, sungguh sangat baik. Saran Anda bagus, dan membuat perasaan saya menjadi tenang. Dengan demikian perintah dewa tidak diabaikan oleh manusia. Benar saya mendapat petunjuk untuk mengajak Anda, Kakek. Itu berarti saya memang diperintahkan mentaati petunjuk orang tua, 29. yang dapat memberi saran yang baik menuju keberhasila n . " Buyut Malandangan tersenyum. Malam pun tiba. Tersebutlah ketika hari telah pagi datanglah seorang tamu dari desa Soka. Tamu itu masih keluarga sendiri dari Ki Buyut Malandangan. 30. Namanya Umbul Wibra. Sudah ditemui oleh Buyut Malandangan, dan disambut dengan baik. Keperluannya ialah hanya datang menjenguk karena telah lama tidak bertemu. Ki Umbul Wibra bertanya pula tentang tamu yang datang, dan sudah diberitahu oleh Buyut Malandangan 31. sejak awal hingga akhir. Umbul Wibra heran mendengarnya, dan seketika itu mewartakan bahwa di Gunung Wilis ada pertapa berpakaian serba hitam, seperti seorang maharesi, akan tetapi caranya bertapa aneh. 32. Ia bersamadi di bawah pohon, siang-malam tak bergerak meski kena hujan dan panas. Wajahnya seram menakutkan, pantas kalau sedang bersamadi dengan jalan tapa bisu. Semua orang yang pergi ke hutan takut mendekatinya. Takut terkena laknatnya atau tuahnya. 33. Menurut dugaan saya sang Maharesi itu waspada terhadap segala hal, karena bisa ditandai dari tapanya yang sangat k u a t . " Ketika Kyai Buyut mendengar berita dari Umbul Wibra itu, pertama-tama ia merasa sangat heran, dan kemudian menyatakan terima kasih. 34. Kemudian ia berkata kepada Raden Margana, ujarnya, " D u h a i Raden, apa yang dikabarkan oleh Umbul Wibra itu rasanya sangat kebetulan. Marilah kita laksanakan, menemui Sang Maha Biku yang bertapa menurut ajaran Weda di puncak Gunung Wilis." Raden Margana pun sangat setuju. 138 PNRI
35. Kemudian Ki Buyut Saraswati bersiap-siap untuk melakukan perjalanan. Sesudah persiapannya selesai, lalu berpesan kepada Umbul Wibra supaya menjaga keluarganya, dan menunggu pedukuhan. Yang mendapat perintah menyatakan kesanggupannya. Tak lama antaranya berangkatlah mereka dengan hati yang mantap.
139 PNRI
XVII
1. Buyut Malandangan dan Raden Margana sudah berangkat berjalan terus tidak mengindahkan sulitnya jalan yang dilalui. Dengan penuh semangat keduanya berniat*saling membantu. Untuk mempercepat cerita, ringkasnya mereka sudah sampai di Gunung Wilis. 2. Puncak Gunung Wilis kelihatan gagah. Setibanya di puncak tampaklah sudah sang Pertapa. Keduanya segera bersila di hadapan Biku yang serba hitam, kemudian Ki Buyut berkata dengan suara lembut, " D u h a i Sang Pertapa, saya mohon beriburibu maaf 3. atas kedatangan saya ini, bersama-sama dengan Raden Jaka diutus oleh Raja Sri Kala, yang bertakhta di kerajaan Prambanan. Kami mendapat tugas mencari dua orang putri yang meninggalkan istana di waktu malam, yang hingga kini belum ketahuan di mana mereka berada. Jika diperkenankan 4. kami ingin bertanya, dan berharap mendapatkan petunjuk yang jelas, agar dapat mencarinya secara pasti." Jawab sang Pertapa, " Y a , aku mau memberi petunjuk, di mana tempatnya yang tepat putri yang kalian cari. 5. Tempatnya tidak jauh. Pikiran keduanya sedang ditutup menurut kehendak Sang Penyelamat, dan menyebabkan timbulnya suatu lakon. Akan tetapi keadaan itu atas kehendak dewata agung, yang menciptakan suatu keajaiban, tujuannya adalah memberikan jodoh buat kedua putri itu. 6. Aku mau memberi petunjuk, akan tetapi temanmu yang kaubawa itu, sekarang kuambil jadi menantu, kawin dengan a n a k k u . " Ki Buyut Malandangan segera menanggapinya dengan suara lembut, ujarnya, " D u h a i , Sang Pertapa, akan kehendak Anda itu, seyogyanya ditanyakan kepada yang berkepentingan. 140 PNRI
7. Saya ini hanya sekedar menemaninya." Kemudian Ki Buyut berbisik-bisik. Ternyata Raden Margana tidak mau, karena Rajaputri yang sedang ia cari selama itu, jika nanti dapat ditemukan, kelak akan dianugerahkan, 8. satu di antaranya, mana yang dikehendaki. Ki Buyut lalu menyampaikan jawaban penolakan kepada sang Pertapa, ujarnya, "Kalau hendak diambil menantu Raden Margana menolak keras." Sang Pertapa menanggapinya dengan suara lembut, demikian, " N a k , ketahuilah, 9. bahwa Putri Prambanan itu sudah ditakdirkan bukan sebagai jodohmu. Kalau engkau menginginkannya, hanya akan membuat kesedihan hati belaka, lagi pula tak mungkin terlaksana. Yang pantas dan seimbang ialah dengan p u t r i k u . " Mendengar kata-kata itu Ki Buyut bingung dan tak dapat berkata-kata." 10. Sang Pertapa selalu memaksa, akan tetapi Raden Margana berkeras menolak, dan akhirnya menjadi marah karena merasa mendapat rintangan. Tak sabar lagi, segera ia menghunus pedangnya. Dengan keras ia berkata, bahwa tak sudi ia dijadikan menantunya. 11. Ia hanya ingin bertanya, dan sudah wajibnya pertapa memberi pertolongan. Sang Pertapa menjawab, bahwa ia tak mau memberi petunjuk. Raden Margana segera bertindak. Pertapa hitam itu ditikam. Sekejap suasana menjadi gelap, dan ketika sinar terang memancar kembali tampaklah sebuah istana yang megah dihias dengan indahnya. 12. Raden Margana dan Buyut Malandangan terkejut melihat, dan bukan main herannya. Istana itu tampak sunyi. Kemudian ada seseorang datang, yang tampaknya seperti utusan raja, yang berkata lembut, " N a h , marilah. Kalian dipanggil Sri Baginda." 13. Keduanya berjalan mengikuti. Setibanya di hadapan raja, tampak raja itu melihat dengan pandangan marah menyala, dan dada membara, akan tetapi sebenarnya hatinya tetap sabar. Kata-kata yang diucapkan terdengar lemah-lembut, demikian, "Mungkin sinar yang baik dari orang yang baru kelihatan. 14. Maksud baik dari kalian yang baru saja datang, sehing141 PNRI
ga kuucapkan selamat datang. Dari manakah asal kalian, dan ke mana pula tujuan kalian. Siapa nama kalian yang sudah masyhur. Berkatalah dengan terus-terang, siapa tahu aku dapat memberi saran. 15. Jika kalian tidak berterus-terang, pasti kalian akan terkena kutuk, dan mendapat hukuman yang memalukan, lagi pula kalian pasti tidak merasa bahwa kedatangan kalian telah melanggar tata-tertib, dan tidak mengindahkan tatacara yang berlaku serta meremehkan sopan-santun." 16. Dalam berkata-kata itu sri baginda selalu tersenyum, dan sebentar-sebentar melihat kedua orang yang duduk di hadapai nya. Raden Margana dan Ki Buyut gemetar ketakutan, karena keduanya sadar bahwa dirinya kena murka. Duduk menunduk dalam-dalam, sedih dan mohon dikasihani. 17. Yang menjawab ialah Ki Buyut Malandangan, demikian ujarnya, " A d u h a i Paduka Sri Baginda, sudah sepantasnyalah orang yang bersalah mendapat hukuman. Akan tetapi hamba mohon dimaklumi, karena sebenarnya kami tidak dengan sengaja memasuki tempat yang serba rahasia ini." 18. Kemudian Ki Buyut menjelaskan ketika bertemu dengan pertapa yang serba hitam, kemudian terjadi perselisihan karena sang Pertapa memaksa Raden Margana menjadi menantunya. Yang diminta menolak keras, bahkan akhirnya menjadi marah. 19. Raden Margana itu terbawa darah mudanya, berani tapi kurang berhati-hati, maka sang Pertapa hitam itu ia tikam. Akhirnya tampaklah istana yang megah, dan sesudah itu kami menghadap P a d u k a . " Sri baginda berkata, " I t u semua sudah kuketahui. 20. Aku katakan terus terang, bahwa akulah sebenarnya yang menyerupai pertapa. Sekarang bagaimana kehendakmu. Ingin selamat atau ingin h u k u m a n k u ? " jawab Buyut Malandangan, "Karena sudah terjepit, 21. kami serahkan hidup mati kami. Sekehendak Paduka akan kami jalani, asal saja ada perkenan menolong memberi petunjuk di mana tempatnya para putri yang lolos di waktu malam. Meskipun bukan jodohnya, asalkan kelak dapat menemukannya. 142 PNRI
22. Jadi pencariannya ada hasilnya, sehingga perjalanan kami tidak sia-sia. Itu hanya sekedar menambah keyakinan kami dalam melaksanakan tugas, sebagai orang yang mengabdi kepada r a j a . " Raja itu berkata, " T a m p a k n y a seperti masih berahasia, 23. dan seperti mendakwa menduga-duga. Kalau begitu diberitahu pun tak ada gunanya. Terserah kepada kalian kalau mau mencari." Mendengar ucapan raja, Raden Margana dan Ki Buyut semakin sedih hatinya, hingga keduanya mencucurkan air mata. 24. Ketika raja melihat, seketika itu timbullah belas-kasihannya, lalu tampak mengeluarkan sebuah mustika seraya berkata seolah-olah menghibur, ujarnya, " T a k usah bersedih hati. Ini sebuah ratna yang dapat memperjelas penglihatan. Perhatikanlah dengan seksama, pasti dapat melihat yang gaib-gaib." 25. Diberikan dan sudah diterima. Raden Margana memperhatikan, dan tampaklah kedua putri yang lolos di waktu malam, disembunyikan dan hidup dengan para siluman. Raden Margana sangat heran, lalu bertanya perlahan," Dengan begini sudah jelas, akan tetapi bagaimana cara mendekatinya?" 26. Raja menjawab, "Sekarang belum dapat kaudekati. Kelak tidak urung kedua putri itu jika sudah tiba masanya, tidak usah dicari lagi akan muncul." Raden Margana sudah tidak menuntut lagi. Kemudian raja bertanya 27. kepada Buyut Malandangan, demikian, " A k u ingin bertanya keterangan yang jelas tentang anak ini. Anak siapakah dia, dan bagaimana silsilahnya sejak dahulu k a l a . " Buyut Malandangan menjawab, " I a , anak patih. 28. Yaitu Tumenggung Anila, Patih Sri Kala yang sekarang bertakhta. Sedangkan silsilahnya, ialah keturunan seorang resi yang sakti. Memang ada aluran ceritanya sejak dahulu-kala." Raja menyela, "Ceritakanlah!" 29. Buyut Malandangan meneruskan, " D u h a i Sri Baginda, sebagai permulaan, dahulu kala ada seorang biku, yang menguasai segala macam pengetahuan tentang kebajikan, pertapaannya ada di Gunung Kidul, bertapa dengan kuatnya, bernama Resi Sakeli. 30. Ia mempunyai anak Patih Tubar di zaman Raja Karung143 PNRI
kala, seorang raja raksasa. Patih Tubar itu kemudian naik takhta menggantikan Raja Baka di negeri Prambanan. 31. Juga bergelar Prabu Baka, yang untuk ringkasnya, ia beranak dua orang. Yang tua bernama Ken Busur, sedangkan yang muda bernama Raden Jayasandika, dan dialah yang dipertunangkan dengan Rara Jonggrang. 32. Akan tetapi rupanya sudah menjadi kehendak dewata, mereka sungguh-sungguh ditakdirkan tidak berjodoh. Ketika negeri Prambanan rusak, banyak sekali yang ingin mengambil Rara Jonggrang, khususnya Raden Bandung Bandawasa, anak Raden Darmamaya. 33. Ketika negeri Prambanan ditaklukkan, Rara Jonggrang akan diperistri, akan tetapi sang dewi menolak keras, karena sudah terlanjur cinta dengan suaminya yang telah meninggal, ialah Prabu Baka. Akan tetapi Bandung Bandawasa sangat menginginkannya, dan sangat mencintai 34. Rara Jonggrang, yang kemudian mengajukan persyaratan, ialah minta seribu buah candi. Permintaan itu sudah dipenuhi. Akhirnya, dengan alasan hendak menghitung, siapa tahu masih kurang dari seribu, Raden Bandung pun mengabulkannya. 35. Akan tetapi kesudahannya sang dewi menghilang, memaksa diri, lolos di tengah jalan terdorong oleh perasaan malu. Raden Bandung yang kecewa terus mencarinya, dan akhirnya bertemu dengan Raden Jayasandika. Raden Bandung Bandawasa dibujuk, dengan kata-kata manis, 36. dipersilakan masuk ke istana. Ia menurut, lalu ditangkap beramai-ramai oleh bala-tentara Prambanan. Raden Bandung mati dengan jalan menjerumuskannya ke dalam sumur. Tersebutlah Rara Jonggrang yang meloloskan diri tanpa mengindahkan bahaya, 37. ketika tiba di tepi Kali Opak, lahirlah kandungannya yang memang sudah tiba saatnya lahir. Anaknya lahir perempuan, akan tetapi atas kehendak dewa rupanya Rara Jonggrang sudah sampai pada batas umurnya, dalam ujud mati sesudah melahirkan, sehingga kasihanlah bayinya. 38. Bayi itu dipungut oleh Randa Dadapan, diberi nama 144 PNRI
Rara Nawangsih. Tersebutlah Raden Jayasandika yang masih tetap mencari Rara Jonggrang, terlunta-lunta tak karuan. Menurut cerita kuno, ia terkena oleh kutukan Raden Bandung, 39. sehingga menjadi anjing, namun masih tetap mencari tunangannya, karena tidak tahu bahwa yang dicarinya sudah tiada. Ia berusaha sangat keras supaya berhasil, sekaligus mohon kepada dewata, agar terbebas dari ujudnya yang salah. 40. Lama antaranya, tersebutlah Rara Nawangsih yang dipungut oleh Randa Dadapan, pada waktu itu sudah dewasa. Siang malam pekerjaannya menenun.
SERAT CEMPORET - 10
145
PNRI
XVIII
1. Ketika Raden Jayasandika sudah mendapat kasih pertolongan dewata yang mulia, sampai ia di desa Sokakarwi, akan tetapi selalu bersembunyi di pagar saja. 2. Masih bingung kalau-kalau sampai ketahuan oleh penduduk desa. Tersebutlah ketika orang-orang sedang bekerja, di mana orang laki-laki maupun perempuan tengah sibuk dengan mata pencaharian. 3. Masing-masing menuju ke tempat pekerjaannya, maka di desa Dadapan, yang disebut juga desa Sokakarwi pada waktu itu kosong karena hampir tidak ada orang sama sekali. 4. Yang masih tinggal hanyalah anak-anak kecil, para brahmana, dukun, penanak nasi, dan para penenun. Kebetulan Rara Nawangsih tinggal di sebuah rumah panggung yang sepi, 5. seraya menenun benang putih yang akan dibuat menjadi setagen. Atas kehendak dewata, teropongnya jatuh ke tanah. Ia menjadi sedih karena ia sendiri tak dapat mengambilnya. 6. Maka ia memutuskan untuk lebih baik mengadakan semacam sayembara, ujarnya, "Barang siapa dapat menolong mengembalikan teropongku, barang tentu aku sangat gembira, dan berterima kasih. 7. Jika laki-laki, ia akan menjadi suamiku. Jika perempuan, akan saya anggap sebagai saudara sehidup semati." P a d a waktu itu anjing merah, 8. mendengar kata-kata demikian itu merasa mendapat jalan yang baik untuk menemui orang yang selama ini dicari-cari. Yang menyebabkan ia demikian khilaf, (bahwa yang bersuara itu adalah Rar-a Jonggrang) ialah karena suara Rara Nawangsih sama benar dengan suara Rara Jonggrang. 146 PNRI
9. Gopoh-gopoh ia membawa teropong tadi dengan mulutnya, lalu cepat-cepat menaiki tangga. Setibanya di atas ia memperhatikannya sejenak seraya menyerahkan teropong yang jatuh. 10. Si Gadis telah menerima dengan perasaan heran, dan sangat menyesal, mengapa ia telah mengucapkan sayembara. Ia merasa telah mendapat amarah dewata. 11. A k a n tetapi ia menerimanya sebagai takdir, namun ia hendak bunuh diri. Si anjing yang melihat gelagat itu, lalu menghiburnya, dan menjelaskan siapa sebenarnya dia. 12. Lalu memohon dengan sangat agar terbebas dari ujudnya sebagai anjing, dan kembali jadi manusia. Permohonannya terkabul, ada petunjuk dewa, 13. diizinkan berujud manusia hanya di waktu malam. Siang hari kembali berujud anjing lagi, dan Rara Nawangsih juga diberi kewaspadaan, 14. sehingga baik siang maupun malam dapat melihat ujudnya yang sebenarnya sebagai manusia. Oleh karena itu dapatlah mereka berkasih-kasihan sampai mempunyai seorang anak lakilaki 15. bernama Raden Suputra. Dulu diperintahkan mengabdi ke negeri Medangkawit, pada masa pemerintahan Prabu Widayaka. 16. Pengabdiannya sangat setia, sehingga mendapat anugerah sri baginda diangkat menjadi bupati, dan dianugerahi nama Dipati Andaka, 17. menguasai segenap golongan Kalang, ialah para tukang kayu dan pemburu, penangkap binatang, dan para pemikat burung, sehingga terkenal dengan sebutan Adipati Kalang Andaka. 18. Daerah kekuasaannya ialah sepanjang Gunung Kidul, yang kemudian menjadi kerajaan Prambanan, yang belum antara lama, ialah pada masa pemerintahan Sri Baginda Mahapunggung, 19. semua saudaranya diangkat menjadi raja menguasai golongan-golongan tertentu. Ada yang memerintah golongan tani serta saudagar. 20. Sebagian memerintah golongan bermata pencaharian di 147 PNRI
hutan seluruhnya. Sekarang ini, yang bernama Prabu Sri Kala, yakni yang bertahta di kerajaan Prambanan sekarang, 21. permaisurinya yang bernama Dewi Jempina, adalah anak Adipati Kalang Andaka. Dewi Jempina mempunyai seorang adik laki-laki bernama Anila. 22. Sekarang sudah mendapat kedudukan tinggi bergelar tumenggung, menjadi pimpinan para menteri, ialah menjadi patih, yang memegang kendali pemerintahan kerajaan Prambanan. 23. Seterusnya, Tumenggung Anila itu mempunyai anak tiga orang laki-laki semuanya tampan. Yang sulung bernama Raden Margana. 24. Selanjutnya yang tengah bernama Raden Srawana, dan yang bungsu ialah Raden Surasa. Adapun Raden Margana, tidak lain ialah ini. 25. Mengapa ia sampai ke hadapan Sri Baginda, sejak awal ceritanya sudah kami paparkan seluruhnya dengan jujur. Sekarang terserah atas perkenan Sri Baginda." 26. Mendengar cerita itu Sri Baginda tertawa, lalu ujarnya lembut, "Ki Buyut, menurut pendapatku, engkau termasuk orang yang memiliki ingatan kuat, dan banyak ceritanya. 27. Ternyata engkau dapat bercerita secara runtut, dan baik. Caramu menghubung-hubungkan cerita yang satu dengan yang lain sungguh tepat. Apakah engkau pun termasuk dalam alur itu?" 28. Jawab Ki Buyut, "Beribu ampun Sri Baginda, mungkin akan terkena aral jika mau menceritakan sesuatu, lalu berkeinginan mengaku-aku. 29. Sebenarnya saya memang masih ada hubungan kekeluargaan. Ya, sudah lupa-lupa ingat, memang dahulu masih ada hubungan, garisnya berasal dari Prabu Tubar. 30. Dulu ada saudara tua Raden Jayasandika, seorang wanita yang bernama Dewi Busur. Dialah ibu saya, 31. kawin dengan ayah saya yang bernama Empu Mudra. Sebagai buah cinta kasih mereka, lahirlah saya. 148 PNRI
32. Dengan demikian jika dipertautkan hubungan antara Raden Margana dengan saya, ialah cucu misan. 33. Akan tetapi saya sama sekali tidak mengakunya demikian, karena saya termasuk orang rendah. Sekarang ini sudah kalah asal. Oleh karena itu hanya berlindung, dan mengaku sebagai rakyat biasa." 34. Sri Baginda gembira sekali mendengarnya, kemudian ujarnya lembut, " P a n t a s engkau bisa bersikap tepat, karena turut memiliki asal-usul kebangsawanan. 35. Karena itu pantas mengawal ke mana pun. Syukurlah jika yang dicari itu dekat. Tinggallah di sini untuk sementara. 36. Kedua putri itu sekarang belum saatnya dipaparkan, karena masih digaibkan oleh dewa sebagai tabir yang menyembunyikan mereka. 37. Yang dapat dilakukan ialah memohonnya dengan sabar, dan diusahakan sambil bertapa, agar putri-putri raja itu dapat segera kembali." 38. Buyut menjawab, "Baiklah, terserah Paduka, karena Paduka telah memberi petunjuk yang pasti tentang tempat kedua rajaputri." 39. Tak lama antaranya ada seekor kera datang dari dalam istana diiringkan oleh para abdi perempuan, lalu mendekati Raden Margana. 40. Kyai Buyut dan Raden Margana terkejut melihat kera itu, keduanya bergeser. Lalu mendapat isyarat dari sri baginda agar kera itu segera dibunuh. 41. Raden Margana segera menghunus kerisnya, kera itu segera ditikam. Sekali tikam matilah kera itu. Para abdi perempuan semua menangis beriba-iba. 42. Tak lama kemudian mayat kera itu lenyap, berganti menjadi seorang perempuan cantik. Kyai Buyut dan Raden Margana diam terpaku tak dapat berkata-kata. 43 Sri Baginda segera memeluk bahu putrinya dengan air mata berlinang-linang, seraya ujarnya, "Duhai Anakku, ternyata 44. cukup lama engkau terkena kutuk mendapat amarah. 149 PNRI
Ini adalah pertolongan dewa, yang telah termasuk dalam janjiku sejak lama. 45. Sudah kukatakan bahwa barang siapa memberi pertolongan, melepaskan dirimu karena kesengsaraan, dapat kembali seperti sedia kala, sudah ditakdirkan menjadi j o d o h m u . " 46. Sang dewi turut menangis, lalu menyembah. Mendengar penjelasan ayahandanya ia menjawab, berserah kepada kehendak ayahnya. 47. Sesudah menjawab sang dewi lalu kembali masuk ke istana. Ia sangat malu terhadap tamu yang akan menjadi jodohnya. 48. Sri Baginda lalu berkata kepada Raden Margana dan Ki Buyut Saraswati, demikian ujarnya, " J i k a kalian bingung, saya akan bercerita.
150 PNRI
XIX
1. Sesungguhnya saya ini bangsa dewa. Di sini menjadi raja. Namaku Sanghyang Srenggadewa, putra Sanghyang Naba, keturunan Sanghyang Wisnu. Putri tadi adalah anakku. 2. Ia sebangsa bidadari, namanya Retna Srenggana. Mengapa ia berkeadaan salah seperti kera, karena dulu terkena kutukan. Sebabnya mengalami kesengsaraan, semula ialah 3. minta mustika bumi, karena ingin dapat melihat segala jenis binatang yang hidup di dunia, dan ingin melihat segala macam yang elok, yang indah-indah, serta yang gaib-gaib. 4. A p a yang diinginkan oleh anak saya itu, sebenarnya ingin menolong dunia, memberi pertolongan kepada umat manusia sebagai sarana hidupnya. A p a yang diinginkan oleh anakku ialah ingin meniru kesaktian seperti di masa dahulu kala, 5. seperti yang pernah diperbuat oleh sang Dewi Rukmawati, putri Hyang Antaboga. Akan tetapi keinginannya itu saya cegah, karena memang tidak diizinkan, sebab hal itu merupakan rahasia dewata. Jika tidak ditakdirkan untuk itu, akibatnya akan mengalami penderitaan. 6. Jika kemauan untuk mengetahui yang gaib-gaib itu demikian keras, itu masih boleh diusahakan agar dapat tercapai dengan jelas, ialah dengan menggunakan sarana manik mustika pranawa, 7. seperti yang sudah pernah aku berikan dulu itu. Akan tetapi Ni Retna Srenggana tidak puas, dan dikembalikannya. Yang diinginkan tetap hanya mustika manikara. Kucegah tidak menurut, sehingga akhirnya membangkitkan amarahku, dan ke luarlah kata-kata yang tak terkendalikan lagi. 8. Orang yang terlalu menurutkan nafsunya itu seperti berwatak kera. Itulah sebabnya anakku pada akhirnya berujud seper151 PNRI
ti kera. Aku benar-benar sangat menyesal, tak menduga kalau kata-kata itu berakibat demikian, sehingga menimbulkan keruwetan hati. 9. Yang tak dapat lagi menahan kesedihan, waktu itu ialah ibunya. Benar-benar berat sekali penderitaannya. Tak lama kemudian ada petunjuk, bahwa tentang anakmu itu tak lama lagi akan mendapat pertolongan. Sekarang terimalah dengan sabar. 10. Maka aku dan istriku hanya berserah kepada kehendak dewata. Cukup lamalah aku memohon dengan bersamadi di istana ini, sampai raja para siluman tunduk kepadaku. 11. Aku tetap tinggal di Gunung Wilis. Sedangkan istriku dulu, yang tak kuat menahan derita, akhirnya meninggal. Tinggallah aku sendiri di sini mengusahakan pulihnya anakku sampai akhirnya membuat pernyataan, 12. ialah mengumumkan sayembara, barang siapa dapat mengembalikannya atau membebaskannya dari rupa kera, dan kembali berujud seperti manusia, maka dialah sebagai hadiahnya, yaitu dialah yang akan menerimanya sebagai tanda terbebasnya kesedihan yang luar biasa. 13. Oleh karena itu, Raden, sekarang laksanakanlah perkawinan itu. Jangan engkau ragu-ragu. Aku turut membantu memohon kepada dewata, agar kedua rajaputri itu dapat segera kembali." 14. Raja sudah berhenti bercerita. Ketika mendengar, Ki Buyut dan Raden Margana sangat heran, kemudian menanggapinya, "Karena sudah sesuai dengan sabda Sri Baginda, kami serahkan jiwa dan raga." 15. Ringkasnya cerita, kala itu Raden Margana sudah dipertemukan, berjodoh dengan Dewi Srenggana. Sudah rukun, dan saling mencintai. Di situ diangkat menjadi raja menguasai segenap siluman. 16. Kyai Buyut Saraswati diangkat menjadi sesepuh. Beberapa waktu kemudian Sri Baginda Sanghyang Srenggadewa mangkat dan kembali ke tempat asalnya yang mulia. Raden Margana beserta istri tetap tinggal menguasai istana. 152 PNRI
17. Mustika pranawa yang telah diceritakan tadi diserahkan kepada Dewi Srenggana. Berdua selalu mengenyam kasih dan cinta. Beberapa lama kemudian sang dewi mengandung, dan setelah tiba waktunya ia melahirkan bayi kembar laki-laki. 18. Ujud keduanya sangat berbeda. Yang tua putih mulus, bertubuh manusia berwajah kera. Sedang yang muda berbentuk bongkok, bertubuh manusia berwajah kera hitam legam. 19. Keduanya mempunyai ekor. Temannya lahir, yang tua, ialah air kawahnya serta tembuninya seketika itu menjadi manusia. Kawahnya berujud manusia kerdil, tembuninya berujud manusia bajang. 20. Sedih hati ayahnya melihat wujud anak-anaknya, yang keempat-empatnya bermacam-macam wujudnya. Ibunya sangat malu terhadap suaminya, juga demikian sedih sehingga di dalam hatinya memohon kematian saja dalam bentuk mati sesudah melahirkan. 21. Ia kembali ke alamnya yang lama ke Indrabawana, berkumpul lagi dengan ayahnya. Tersebutlah Raden Margana, terlalu bingung ia ditinggalkan istrinya, melihat anak yang wujudnya tak seperti manusia biasa. 22. Rasanya seperti ingin turut mati saja. Buyut Malandanganlah yang selalu menghibur kesedihannya. Adapun anakanaknya, yang bertindak sebagai ibunya adalah para pelayan perempuan, emban, dan babu, telah bekerja dengan baik sehingga memuaskan. 23. Jadinya tetap menjadi raja di kahyangan siluman menguasai Gunung Wilis. Raden Margana dan Buyut Malandangan itu cukup lama tinggal di dalam alam siluman. 24. Sekarang ganti yang diceritakan, tersebutlah di desa Cengkarsari, beritanya sudah tersebar luas, bahwa Rara Kumenyar benar-benar putri Jepara, kini sudah menikah dengan tunangannya dahulu, 25. ialah rajaputra Raden Jaka Pramana. Yang mula-mula menceritakan ialah Jaka Kulampis, yang menceritakannya kepada anak-anak, sehingga akhirnya semakin meluas beritanya, karena semakin tersiar di kalangan orang banyak. 153 PNRI
26. Berita itu akhirnya terdengar oleh yang mencari, yaitu rajaputra Jepara Raden Sudana, yang dalam pencariannya lalu bertapa di Gunung Purwapada. Setelah beritanya cukup jelas, ia segera meninggalkan pertapaannya. 27. Maksudnya ialah hendak pergi ke Cengkarsari. Seorang diri tanpa kawan, jalannya cepat-cepat, berjalan lurus menerjang jurang curam dan terjal, batu maupun gunung yang sulit dilalui. Ketika ia tiba di daerah hutan 28. Jatisari, bertemulah Raden Sudana dengan Arya Tiron, yang tengah beristirahat di tengah perjalanannya. Keduanya saling menanyakan keselamatan masing-masing serta bagaimana hasilnya mencari. Mereka sudah saling memberi kabar. 29. Keduanya sama-sama heran. Sesudah berunding keduanya sepakat, bahwa sang rajaputra dan Arya Tiron meneruskan perjalanan bersama. Ringkasnya, keduanya sudah sampai di desa Cengkarsari. 30. Terdorong oleh hatinya yang sudah tidak sabar lagi, keduanya langsung masuk ke dalam rumah, melihat adiknya, putri Jepara sudah bergandengan dengan Raden Jaka Pramana, di samping perasaan malu, mereka pun merasa disepelekan karena saudaranya terlunta-lunta karena tunangannya. 31. Adiknya hendak direbut kembali melalui suatu peperangan. Karena tak sampai melihat, Raden Sudana segera ke luar bersama Arya Tiron. Setibanya di luar lalu mengata-ngatai, dan menantang, "Marilah berperang tanding, jika benar-benar satria utama. 32. Jangan berlaku licik, dengan perbuatan durjana berani membawa pergi saudaraku lalu bersembunyi di desa. Jika benar satria utama tentu tidak demikian itu tingkahmu. Tidak memakai aturan seperti laku orang hina. 33. Ke marilah berperang tanding, bergandeng jari mengadu pedang. Jangan hanya bisa berbuat licik. Aku benar-benar marah, dan malu karena keadaan saudaraku. Jika engkau tidak mengerti aku adalah rajaputra J e p a r a . " 34. Mendengar umpatan-umpatan pendatang, seketika itu Raden Jaka Pramana menjawab, " H a i , Rajaputra, engkaulah yang tak tahu aturan, tidak menggunakan pikiran, 154 PNRI
35. nekad saja seperti orang sinting, tanpa tatakrama. Engkau datang ke mari tanpa menanyakan keterangan, tiba-tiba mengira yang b u k a n - b u k a n . " Raden Sudana menjawab lagi, " J a n g a n banyak bicara! 36. Meskipun engkau mau ingkar, tapi buktinya telah ada. Sudah kelihatan bergandengan t a n g a n . " Karena tak tahan lagi mendengar, Raden Jaka Pramana segera keluar dari dalam rumah seraya telah bersiap untuk berperang. 37. Dewi Suretna menahan suaminya, sang rajaputra, dan minta supaya membiarkannya, akan tetapi ia tak dapat menahannya sehingga menjadi sangat bingung. Ki dan Nyi Buyut menjerit serempak. 38. Kedua burung menco turut ke luar. Setibanya di luar keduanya lalu mulai berkelahi, ramai tarik-menarik, sama-sama tak bersenjata, lalu sama-sama menggunakan keris. 39. Akan tetapi kerisnya tak bermanfaat. Kemudian mengambil panah. Raden Jaka Sudana segera melepaskan panahnya, meluncur seperti bintang jatuh. Kedua burung menco segera bertindak, 40. maksudnya hendak menangkap panah itu. Akan tetapi karena tangkapannya meleset, yang kena malahan badannya sendiri. Akibatnya kedua burung menco itu terkena senjata, langsung jatuh, dan mati, bangkainya hilang. 41. Menco Cunduk tetap mati, karena sudah manunggal lagi dengan Sumping di alam baka. Sedangkan tubuh menco Jamang kembali menjadi manusia seperti keadaannya di masa lalu, ialah rajaputra Prambanan. 42. Hal itu terjadi sesuai dengan petunjuk, bahwa Raden Prawasata yang mendapat kemurkaan ayahnya, Prabu Sri Kala, akan terbebas secara demikian itu. Yang melihat sangat heran, dan kemudian Raden Prawasata segera menghadap Raden Jaka Pramana. 43. Sikapnya sangat hormat, lalu ditanya, "Siapakah yang ada di mukaku ini. Baru kali ini aku melihat." Raden Prawasata lalu memberi penjelasan peri keadaannya sejak awal hingga akhir, ialah sejak terkena kutukan sampai teruwat menjadi manusia kembali. 155 PNRI
44. Ketika mendengar cerita itu Raden Jaka Pramana keheran-heranan, kemudian perasaannya merasa lega, dan akhirnya bersyukur kepada dewata. Ketika teringat kembali akan musuhnya, ia segera menggenggam panahnya. 45. Dewi Suretna melihat, sangat cemas hatinya, lalu membujuk dengan kata-kata lemah-lembut, ujarnya, "Aduhai sembahanku, guru utamaku yang nyata, ingatlah bahwa musuh itu masih saudara sendiri. 46. Jika perang ini diteruskan, dan kemudian ada yang tewas, tentu akan menjadi cela besar. Lebih baik bunuhlah saya, supaya tidak memperpanjang cerita, dan menjadi penyebab pertentangan ini." Jaka Pramana berkata, 47. demikian ujarnya, " H a i , Adinda pujaanku. Timbulnya perselisihan ini memang dari engkaulah sebabnya. Saya dikira melarikan engkau. Sekarang bagaimana pendapatmu dalam mengusahakan kebaikan dan keselamatannya?" Dewi Suretna menjawab, 48. ujarnya, "Kalau begitu, mudah. Sayalah yang akan membujuk kakak, memberi tahu agar ia tidak terus-menerus menghina." Jaka Pramana setuju. Sang dewi segera maju ke hadapan kakaknya. 49. Dalam keadaan hampir-hampir menangis ia berkata dengan suara halus, " A d u h a i Kakanda, saudaraku. Karena sayalah yang bersalah terhadap saudara tua dan kepada ayah bunda, sekarang bunuhlah saya. 50. Ya, siapa lagi yang wajib melepas kematian saya kecuali Paduka. Kehidupan saya di dunia yang selalu memalukan akan mengorbankan saudara. Oleh karena itu lebih baik saya yang dibunuh." 51. Seketika itu luluhlah kemarahan Raden Jaka Sudana, lalu ujarnya lembut, " A d u h a i Adikku yang kucintai, yang kucari ke mana-mana, ceritakanlah padaku segera bagaimana peristiwanya 52. sampai engkau dalam keadaan menyedihkan berada di desa Cengkarsari ini, dan ternyata sekarang telah kawin dengan kakanda Jaka Pramana. Bagaimana asal-mulanya?" Sang dewi berkata lembut menceritakan seluruh pengalamannya 156 PNRI
53. sejak awal hingga akhir dengan cermat. Kakaknya sangat takjub, dan merasa bersalah karena kurang teliti, dan hanya memperturutkan nafsunya. Ia benar-benar menyesal, dan merasa telah berhutang budi. 54. Perkawinan adiknya dengan Raden Jaka Pramana memang merupakan kehendak Yang Maha Mengetahui. Akan tetapi sebagai seorang satria yang menyesali tindakannya, ia memutuskan untuk dengan diam-diam pulang ke Jepara. 55._ Arya Tiron pun setelah mendengar cerita selengkapnya, turut membujuk, ujarnya, "Duhai Raden, rupanya beradanya adinda Paduka di desa Cengkarsari ini memang sudah merupakan kehendak dewata. 56. Lagi pula ketika dulu sejak kecil keduanya telah dipertunangkan. Anehnya ada saja aralnya, akan tetapi ternyata sekarang dapat lestari berpadu menjadi jodohnya. Alangkah suka-citanya ayahanda P a d u k a . "
157 PNRI
XX
1. Rajaputra Jepara gembira ketika mendengar, lalu pergi diam-diam diikuti oleh Arya Tiron. Sang dewi kembali menghadap putra raja. Raden Jaka Pramana sangat gembira pula karena peperangan bisa dihindari hanya dengan berita. 2. Keduanya lalu kembali ke rumah disongsong oleh Ki Buyut beserta istrinya, yang menyongsong junjungannya dengan gopoh-gopoh. Setibanya di rumah semua merasa gembira. Raden Jaka Pramana sangat sayangnya kepada Raden Prawasata. 3. Sungguh tidak menduga sama sekali bahwa selama ini berkumpul dengan saudara sendiri. Kemudian rajaputra bertanya kepada Ki dan Nyi Buyut, di mana gerangan si banteng, mengapa tidak kelihatan. Buyut menjawab, "Sedang bepergian ke hutan, 4. meneruskan tugasnya memberikan pertolongan." Belum lama mereka bercakap-cakap, tiba-tiba datanglah si banteng menghadap rajaputra. Melihat adiknya telah terbebas dari dosanya, dan sudah pulih kembali menjadi manusia tanpa mengetahui asal mulanya. Ia menduga, tentu atas pertolongan sang rajaputra. 5. Lalu ujarnya menghiba-hiba seraya menahan tangisnya, " D u h a i permata dunia, kekasih dewata yang mulia! Saudara saya si burung sudah Paduka selamatkan, telah sempurna menjadi manusia, hilang penyakitnya sehingga sembuh sama sekali. Sekarang bebaskanlah saya agar kembali 6. berujud manusia, karena saya pun telah menepati janji seperti yang diucapkan oleh ayah. Petunjuk dewa sudah jelas, bahwa sekarang terbebasnya diri saya adalah karena P a d u k a , " demikian ujar si banteng, yang sangat mengharapkan pertolongan. Raden Jaka Pramana yang mendengarnya, 7. sangat kasihan di hati. Lalu berkata dengan suara lemah lembut menceritakan asal mulanya si burung menco terbebas, dari 158 PNRI
awal sampai akhir tak ada yang ketinggalan. Banteng merasa sangat kecewa karena kepergiannya ke hutan ternyata telah meninggalkan keberuntungan dan keselamatan, tidak melihat yang telah membebaskan kesengsaraan. 8. "Sekarang bagaimana saya ini jika tidak dapat kembali berujud manusia atas pertolongan Paduka. Mungkin saya akan bunuh diri," demikian ujar banteng. Rajaputra menjawab dengan air mata bercucuran, " A d i k k u , terimalah ketentuan dewata, dan mohonlah ampun dengan sungguh-sungguh. 9. Karena telah ada petunjuk dewata, pasti tidak lama lagi. Tidak ada dewa mengingkari janji. Andaikata saya membebaskan adinda dengan menggunakan panah, karena tidak mendapat petunjuk dewata, tentu saja hati saya cemas. Kalau sampai menyebabkan kematian tentu akan menyebabkan kesedihan. 10. Siapa nanti yang kehilangan, tentu segenap sanak saudara sibiran tulang. Jangan terburu nafsu, karena pasti tidak baik kesudahannya. Orang yang ingin mempercepat kematian yang belum sampai pada janjinya, akan mendapat laknat d e w a . " Raden Prawasata menyambung, ujarnya, " D u h a i Kakakku, benar, apa yang dikatakan Kakanda. 11. Jika sudah menjadi kehendak dewata, bagaimana caranya menghindari penderitaan ataupun kesenangan. Saya pun hanya sekadar menjalani cobaan dewata. Kalau Paduka berbuat nekad, dapat dikatakan menjadi pemarah, pendek pikir, dan kurang pertimbangan. Akibatnya kesentosaan tekadnya tidak kukuh. 12. Karena sudah lazimnya manusia ini mengalami perubahan dan pergeseran. Karenanya harus tabah, dan jangan cemas. Takdir kehidupan manusia ini memang harus mengalami susah, mulia, tinggi, rendah. Oleh karena itu semuanya harus diterima, dan siapa tahu tidak lama lagi sudah hilang penyakitnya, kembali ke asalnya semula sebagai manusia." 13. Banteng sudah lega hatinya, lalu ujarnya lembut kepada adiknya, Raden Prawasata, " H a i , Adikku, saya titipkan diriku. Kuharap engkau dapat memaklumi, karena mempunyai saudara berupa binatang. Tentu rupaku ini tidak pantas. Meskipun demikian kuharap engkau bersedia mengalinginya." 159 PNRI
14. Tatkala mendengar Raden Prawasata menjawab dengan lembut, " D u h a i Kakanda, saudaraku. Janganlah Kakanda khawatir. Sungguh, tidak akan ada halangannya perasaan saya bersaudara." Rajaputra menyambung, ujarnya, "Semua sudah berjalan dengan baik, akrab dan rukun bersaudara." 15. Ketika mereka sedang asyik berbincang-bincang, tibatiba datanglah cucu Ki Buyut yang bernama Jaka Kulampis, langsung menghadap sang rajaputra memberitahukan datangnya tamu, " D u a orang laki-laki, dua-duanya cacat, cebol dan wujil, akan tetapi cahayanya seperti keturunan bangsawan. 16. Sikapnya sopan, menanyakan Paduka, dan sekarang menunggu di luar pagar. Ketika saya bertanya, keduanya mengaku dari negeri Pagelen," demikian Jaka Kulampis. Ketika sang rajaputra mendengar berita tersebut, 17. langsung menduga bahwa yang datang ialah kakaknya, yang diutus mencarinya. Seketika itu segera ia menjemput kakaknya yang baru datang. Semua turut mengiringkan. Ketika bertemu dengan kakaknya, keduanya lalu berpelukan. Perasaannya samasama terharu sehingga semua menangis seperti orang perempuan. 18. Semua turut menangis. Sesudah tangis mereka reda, lalu dipersilakan masuk ke rumah. Kedua tamu menurut. Sesudah masuk lalu duduklah mereka, dan sesudah tenang lalu saling menanyakan keselamatan masing-masing. Semua merasa gembira dan bersyukur. 19. Berganti-ganti mereka menceritakan pengalaman mereka dari awal, madya, sampai akhir. Semua merasa takjub. Pada akhirnya dari pihak kedua tamu bertanya dengan kata-kata 1 lembut, " H a i , Adikku, bagaimana rencanamu sekarang. Tetap tinggal di tengah hutan, dan tidak pulang ke kota? 20. Lalu siapa yang dapat dipuja-puja menjadi bunga istana. Kasihanilah orang tuamu. Ayah dan ibu sangat sedih karena tak ada yang dapat dipandang. Kalau semua memilih pergi mengembara terus-menerus, lalu bagaimana nanti keadaan di kerajaan. 21. Oleh karena itu pulanglah sekarang, sayangilah negeri agar tidak rusak." Si adik menjawab pertanyaan kedua kakaknya 160 PNRI
dengan suara lembut, " W a h a i Kakanda, saudaraku! Apa yang Paduka kemukakan itu memang benar. Akan tetapi saya ini sekarang sedang melaksanakan petunjuk dewata. 22. Sesungguhnya mudah saja kelak, untuk kembali ke istana. Tak ada kesulitannya jika sudah dikehendaki oleh Yang Maha Mengetahui." Kakaknya berkata lagi, " J i k a begitu kehendakmu, tentu kakak a k a n ' t u r u t serta. Ke mana pun engkau pergi kami akan selalu mengikut, tak mau berpisah lagi. 23. Mengapa aku bersusah payah memilih pergi diam-diam berusaha mengikuti jejakmu, ialah karena tak dapat tinggal di istana namun berpisah dengan saudara, meskipun hidup serba senang, dan enak karena di kerajaan apa pun serba ada, akan tetapi jika harus berpisah dengan saudara, 24. rasanya serba kecewa adanya. Tak ada gunanya hidup senang." Raden Jaka Pramana menjawab, " J i k a sudah seia sekata, sebaiknya tinggallah di sini, memanjatkan puja mohon keselamatan." Kedua kakaknya setuju untuk tinggal di desa Cengkarsari, yang menjadi semakin makmur, dan kemudian dibangun menyerupai tata kerajaan. 25. Sesudah berlangsung demikian itu, kemudian rajaputra Raden Jaka Pramana tak putus-putusnya memberi anugerah uang dan pakaian yang indah-indah kepada Ki dan Nyi Buyut. Beberapa hari kemudian banteng mendapat perintah supaya memasang akar mimang, 26. di perempatan-perempatan jalan besar. Hal itu sudah dilaksanakan. Akibatnya, setiap ada orang lewat menjadi bingung tak tahu jalan. Mereka diberi petunjuk oleh banteng supaya bertanya kepada Buyut Cengkarsari, karena dialah yang bisa mengembalikan ingatan orang. 27. Para saudagar, pedagang datang berduyun-duyun menemui Ki Buyut. Mereka sudah diberi petunjuk agar dapat berjalan terus dengan selamat. Mereka berterima kasih, sehingga bermacam-macamlah pemberian mereka, karena mereka merasa puas. Kepandaian Ki Buyut semakin termasyhur. 28. Yang datang bertanya semakin banyak. Ki Buyut diaku sebagai guru sejati bersamaan dengan turunnya keberuntungan, SERAT CEMPORET - 11
161
PNRI
sehingga semua petunjuknya ditaati. Ia menjadi semakin kaya, dan banyak yang turut mengayom, dan bertempat tinggal di Cengkarsari, yang semakin makmur dan indah sejahtera, berkat ketempatan keturunan Witaradya. 29. Kini diceritakan lagi Raden Sudana bersama Arya Tiron, perjalanan mereka sudah sampai di kerajaan, lalu masuk ke istana menghadap ayah bundanya, raja di Jepara, yang waktu itu bersama permaisuri tengah bersamadi di kamar pemujaan. 30. . Melihat kedatangan putranya keduanya sangat gembira. Raden Sudana segera menyembah. Ayah bundanya ingin sekali segera mendengar beritanya, lalu bertanya lembut seraya berurai air mata, " D u h a i Anakku, bagaimana hasilnya engkau mencari saudaramu. Mengapa pulang sendiri? Apakah tidak berhasil?" 31. Raden Sudana menjawab, bahwa adiknya sudah ketemu di desa Cengkarsari, sudah bersuami dengan tunangannya dulu. Selanjutnya Raden Sudana menjelaskan demikian, "Ketika hamba sampai di sana terjadilah perkelahian, saling desak dengan pedang karena hamba membela saudara perempuan. 32. Hati rasanya terbakar nafsu, akan tetapi akhirnya terputus oleh adinda yang datang membujuk dengan mengisahkan semua pengalamannya yang telah dialami. Ketika hamba mendengar, hamba pun merasa menyesal karena kurang teliti dan tidak memeriksa lebih dahulu. Lalu hamba pergi dengan diamdiam, dan agak malu juga kepada Kakanda Jaka Pramana. 33. Sekarang semuanya terserah P a d u k a . " Sri Baginda dan permaisuri heran mendengarnya. Di dalam hati keduanya terpikir, " D u h a i Dewata jika memainkan umatnya sangat aneh jalannya peristiwa. Sungguh tak menduga kalau demikian j a d i n y a . " 34. Sesudah berpikir lalu berserah kepada takdir. Apalagi karena semula sudah dipertunangkan, dan sekarang berjodoh dengan sendirinya atas kehendak Tuhan Yang;Maha Mengetahui. Tak dapat lain kecuali setuju dan merestui. Prabu Sri Sadana berkata lembut, " A n a k k u , jika demikian itu berita yang engkau bawa, 35. kami merasa sangat gembira, karena tempat tinggal adikmu sekarang sudah jelas di desa Cengkarsari. Akan tetapi 162
PNRI
karena caranya yang nista, dan tercela, jadi tidak baik. Oleh karena itu harus ditutup dengan cara menyerang ke desa Cengkarsari. 36. Tujuannya ialah agar semakin mantap perkawinan dan pertaliannya dengan putriku. Lebih baik lagi jika segera diketahui dan dibicarakan dengan kakanda prabu Sri Manuhun bagaimana terjadinya semua peristiwa ini. Dengan demikian tidak akan sulit menyelesaikannya, karena semua akan mendapat jalan keluar dari orang tua masing-masing." 37. Demikian tanggapan sri baginda. Rajaputra sependapat dengan kehendak ayahandanya. Kemudian perdana menteri dipanggil, dan diperintahkan mempersiapkan bala tentara, lenpkap dengan peralatan perangnya. Rajaputra segera mengundurkan diri dari hadapan ayahandanya, keluar dari istana untuk melaksanakan perintah, mempersiapkan pasukan perang.
163 PNRI
XXI
1. Perdana Menteri (Patih) sudah dipanggil menghadap sri baginda. Patih Reksapraja sudah diperintahkan mempersiapkan peralatan perang serta pasukan untuk menyerang desa Cengkarsari. 2. Semua menteri sudah diberitahu agar bersiap-siap. Gemuruh suara bala tentara, gamelan perang berbunyi, ialah gendang, gung, gerantang, seruling, teteg, yang bersahut-sahutan dengan bunyi tongtonggrit. 3. Suaranya gemuruh bagaikan gunung meletus. Persenjataan lengkap, demikian pula tunggul dan bendera. Rakyat berjajar mengiringkan keberangkatan Sri Baginda. Gamelan bersahut-sahutan, dan terdapat di mana-mana. 4. Sang Prabu Sri Sadana segera berangkat, lengkap dengan seluruh pengiring. Adapun yang ditugasi menjaga kerajaan dan sebagai pelindung rakyat negeri Jepara ialah rajaputra. 5. Dalam tugasnya itu Raden Sudana didampingi oleh keluarga raja. Perjalanan Sri Sadana itu membuat gemparnya rakyat negeri. Di sepanjang jalan disambut sorak sorai gemuruh. 6. Hentikan dahulu cerita perjalanan Raja Jepara, berganti ke negeri Pagelen. Sudah terdengar berita bahwa para putra Pagelen berada di desa Cengkarsari. Dan Raden Jaka Pramana sudah berumah tangga. 7. Ia menikah dengan rajaputri Jepara, tunangannya dahulu, terlaksana dengan cara yang ajaib atas kehendak dewata. Sri baginda sangat gembira, dan segera memanggil patihnya. 8. Sri baginda bermaksud berkunjung ke Cengkarsari. Patih sudah mengadakan persiapan beserta bala tentara. Sri baginda lalu berangkat. Perjalanannya tidak diceritakan. Ketika sampai di daerah Cengkarsari 164 PNRI
9. ternyata sudah penuh oleh pasukan Jepara, yang bersenjata lengkap. Sri baginda heran lalu berhenti, dan berkata kepada patih, " H a i , Patih, tanyakanlah kepada pasukan yang melakukan pengepungan. 10. Bagaimana kehendak adinda prabu, mengapa datang menyerang kemenakannya sehingga lupa akan sanak s a u d a r a . " Patih Sarana segera pergi ke barisan Jepara menemui senapatinya. 11. Ketika sedang bertanya kepada Patih Reksapraja ketahuan oleh Prabu Sri Sadana. Sri baginda sangat gembira, dan memerintahkan supaya memanggilnya. Patih Sarana sudah menghadap sri baginda. 12. Sudah diberitahu apa sesungguhnya maksud sri baginda sejak awal sampai akhir secara lengkap. Ketika mendengar Patih Sarana tersenyum. Akhirnya sri baginda Jepara berkata lagi, demikian, " P a t i h , sesudah engkau mengetahui duduk persoalannya, 13. sekarang Kakanda Prabu aku persilakan ke mari, agar dapat berembug dengan tenang, apa yang seyogyanya dilakukan, agar jangan tampak celanya, saling menjaga karena semua masih bersaudara." 14. Patih Sarana lalu pergi. Setibanya di hadapan gustinya ditanya, dan sudah menyampaikan keinginan adinda baginda. Sri baginda tidak berkeberatan, dan segera pergi ke pesanggrahan adiknya. 15. Tiba di pesanggrahan, bertemu lalu berpeluk-pelukan, keduanya sama-sama merasa gembira. Beberapa saat kemudian keduanya masuk ke desa. Penduduk Cengkarsari cemas dan bingung. Mereka berbondong-bondong hendak mengungsi, 16. karena berpikir akan diserang musuh. Raden Jaka yang kemudian mendengar bahwa yang datang ialah ayahandanya, raja Pagelen bersama raja Jepara, segera memberitahu penduduk Cengkarsari. 17. Penduduk desa kembali tentram, dan kembali ke rumah masing-masing. Tak lama antaranya tampaklah ayahanda beserta pamandanya, Raja Jepara. Dengan gugup Raden Jaka Pramana sekalian segera menyongsong, bertemu di halaman, dan segera masuk ke rumah. 165 PNRI
18. Kedua orang raja telah duduk. Kedua putranya segera menyembah kaki ayahandanya berganti-ganti sambil menahan tangisnya, karena hatinya sangat terharu, teringat tingkah lakunya di masa lalu. 19. Ayahandanya pun terharu melihat putranya, sehingga harus menahan tangis. Semua yang melihat terpengaruh, ikut menitikkan air mata. Kemudian sri baginda menghibur putranya dengan kata-kata lemah lembut. 20. " A d u h a i kedua putraku, berserahlah kepada Tuhan dalam menerima semua peristiwa ini, yang benar-benar sangat aneh, dan pasti tak dapat dihindari. Lestarilah kalian berdua saling mencintai." 21. Kedua putra taat akan sabda ayahandanya. Seketika itu hatinya sudah tenang, semua merasa gembira, lalu mengatur santapan dari bekal yang dibawa dari kerajaan diatur di atas meja, lalu mereka makan bersama. 22. Kedua raja seolah-olah membayar nazar, santap bersama dengan para putra, karena lamanya baru dapat bertemu kembali. Para putra beranggapan demikian terhadap ayahanda baginda. 23. Seluruh pasukan pun telah mendapat bagian mereka masing-masing. Semua berpesta dan bergembira. Sesudah selesai lalu diberikan kepada para pelayan. Semua mendapat bagian nasi dan lauk pauknya. 24. Raja Pagelen dan raja Jepara memperhatikan dengan saksama kepada sang banteng, yang berada dekat putranya, lalu bertanya, dan sudah dijawab tentang asal-usulnya dari awal sampai akhir. 25. Sangat heran dan kasihan melihatnya, bahwa putra raja kemenakannya terkena oleh mala petaka. Kemudian dimohonkan kepada dewata agar kembali menjadi manusia karena sudah tiba pada janjinya. 26. Mereka diberi ilham dengan petunjuk dewata, yang dengan jelas memberi tahu demikian, " H a i , Sri Baginda, tentang banteng itu belum diperkenankan menjelma. Sekarang masih ada kehendak dewata memberinya tugas lagi. 166 PNRI
27. Nanti jika kedua anakmu, yang cebol dan wujil sudah menikah. Hal itu hampir terlaksana. Kedua raja menerima, lalu memberitahukannya kepada semua putranya. 28. Sebagai umat akhirnya bersandar dan berlindung pada kehendak Tuhan Yang Maha Mengetahui. Raja Jepara bertanya kepada kakandanya, "Bagaimana sekarang kehendak P a d u k a mengenai kedua putra ini?" 29. Jawab raja Pagelen, "Sekarang akan saya bawa pulang ke kota. Jangan tanggung-tanggung, akan kurayakan sekaligus. Dan seyogyanya Adinda Prabu menyaksikan upacara temu putranda." 30. R a j a Jepara setuju untuk merayakan perkawinan putranya, lalu jawabnya, "Benar, agar segera selesai, tidak menjadi pikiran lagi, dan tinggal mendoakan agar selamat sejahtera perkawinannya." 31. Pembicaraan kedua raja itu sudah mencapai kata sepakat. Lalu hari pun malamlah. P a d a waktu itu raja Pagelen didatangi oleh besannya peri, yang minta kedua putra yang cebol dan wujil. 32. Petunjuk dewata dahulu, kini sudah saatnya terlaksana. Pintanya, " J a n g a n khawatir di hati, dan berserahlah kepada dewata. Dengan membawa si banteng itulah kelak akan menjadi sarana terlaksananya perkawinan mereka b e r d u a . " 33. Prabu Sri Manuhun sangat lega hatinya, karena ternyata cocok dengan petunjuk. Kemudian diberitahukannya kepada kedua putranya yang cebol dan wujil. Keduanya menurut. Lalu banteng pun segera diberi tahu. 34. Mereka sudah berangkat, diisyarati supaya dapat berkumpul di alam siluman. Demikianlah mereka, kini berganti cerita, pagi harinya raja Pagelen memberitahukannya kepada adinda raja serta putra. Semua merasa takjub, dan akhirnya berserah kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui. 35. Kemudian raja Pagelen memerintahkan bala tentaranya, agar bersiap karena hendak pulang ke kota. Raja Jepara p u n memerintahkan pasukannya untuk berangkat ke Pagelen karena hendak menghadiri perayaan temu putranya. Semua sudah siap. 167
PNRI
36. Kedua orang raja itu segera berangkat mengendarai kuda. Mempelai berdua dibawa dengan tandu diiringkan para bupati, dan seluruh bala tentara sehingga membuat jalan menjadi ramai.
168 PNRI
XXII
1. Keberangkatan para adipati itu benar-benar membuat indahnya perjalanan. Gamelan berbunyi ramai diiringi lagu-lagu kidung. Kelompok gamelannya bertingkat-tingkat. Setiap kelompok besar ada payung agungnya, bendera, dwaja, umbul-umbul disertai sekelompok penabuh gamelan yang menabuhnya dengan lembut. Di sepanjang jalan suasananya meriah sekali. 2. Hiasan bermacam-macam semuanya indah. Berwarnawarni bagaikan kembang setaman. Barisan berjalan perlahanlahan, dibiarkan seenaknya. Diberi makan di sepanjang jalan. Desa yang dilalui menghidangkan suguhan. Orang laki-laki maupun perempuan berderet-deret banyak sekali, saling mendahului ketika berjalan karena inginnya melihat pengantin. 3. Bersap-sap berjejal-jejal tak dapat ditembus. Pekerjaan ditinggal tak mereka perdulikan karena hendak melihat pengantin. Mereka benar terpesona, karena baru sekali itulah mereka melihat hiasan-hiasan yang indah. Perjalanan sudah sampai ke batas kota Pagelen. Keluarga istana dan para bupati menjemput di luar kota. 4. Ringkasnya sudah sampailah perjalanan kedua rombongan kerajaan di kota Pagelen. Prabu Sri Manuhun dan adinda raja telah masuk ke istana bersama para putra. Seluruh pasukan telah mendapat pesanggrahan di pasebannya para bupati. Semua bersuka ria. 5. Mereka mengatur tempatnya masing-masing. Umbulumbul, dwaja, bendera, dan gamelan menambah keindahan, dan keramaian. Semua tertawa-tawa gembira. Tersebutlah sri baginda, setibanya di istana disambut para istri, lalu duduk di singgasana. Sekarang kedatangan sri baginda bersama raja Jepara membawa kegembiraan. 169 PNRI
6. Demikian pula putranya, rajaputra telah membawa wanita utama, dan merupakan pasangan yang selaras. Para parekan, emban, dan babu tak puas-puasnya memandang, terpesona akan keelokan, dan ketampanan pasangan yang baru saja datang, seperti Ratih dan Kamajaya. Kemudian permaisuri Dewi Srini memeluk putranya. 7. Matanya berkaca-kaca seperti hendak menangis. Rajaputra serta istrinya menanggapinya dengan mencium kaki ibunya, yang kemudian berkata dengan lemah-lembut, " D u h a i Anakku, buah hatiku, hampir-hampir hilang harapanku untuk dapat bertemu lagi dalam keadaan selamat. Pada waktu engkau menghilang, hampir saja aku nekad bunuh diri karena selalu teringat padamu. 8. Dulu disuruh kawin selalu menolak dengan berbagai alasan. Sekarang datang sudah membawa istri putri utama tiada cela bagaikan bidadari turun. Pandai benar engkau mencari istri. Mungkin memang anugerah dewata yang luar biasa." Demikian pula istri sri baginda yang bernama Dewi Pratiwi, turut menangis sedih teringat akan putranya. 9. yang cebol dan ujil. Dewi Pratiwi bertanya-tanya di dalam hati, "Kepergiannya dulu membela saudara. Sampai ke mana pun akan dicari. Yang dicari sudah pulang, mengapa dia tidak turut pulang? Apakah terus mengembara? Kalau benar lalu siapa yang dapat kupandang. Meskipun ujudnya jelek, akan tetapi ia merupakan tambatan hati, sehingga selalu terbayang-bayang, di pelupuk m a t a . " 10. Raja Pagelen menghibur istrinya. Dikatakan bahwa semua itu sudah menjadi kehendak dewata. Harus demikian itulah lakonnya. Oleh karena itu harus diterima dengan tabah dan rasa syukur, karena akan memperoleh kemuliaan sejati. Kemudian diceritakan peristiwa yang dialami oleh putranya sejak awal, yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Mendengar hal itu para istri sangat takjub, dan akhirnya pasrah. 11. Dewi Srini berkata lembut kepada besannya, raja Jepara, "Kalau demikian, sesungguhnya perkawinan antara ki putra dan ni putri harus menggunakan sarana. Sebabnya ialah 170 PNRI
karena yang akan menikah itu kedua-duanya anak bungsu." Prabu Sri Sadana sangat setuju memakai teladan kuno. 12. Prabu Sri Manuhun menyambung, ujarnya, " J a n g a n khawatir, aku sangat setuju. Pasti diadakan upacara 'tumplek punjen' (= upacara khusus yang diadakan jika kedua mempelai anak bungsu), dan uang lima suku. Adik besan aku serahi bagian menyediakan beras setadah, dan p o n j e n n y a . " Raja Jepara menjawab, "Ringan benar kakak besan, karena hanya menyediakan uang tiga puluh wang. 13. Masih ada lagi kewajiban Paduka, yakni pada malam menjelang upacara temu. Saat itu harus diadakan sesaji demi keselamatan semuanya, yaitu pada malam midodareni. Sesaji tujuh macam yang banyak racikannya. Nasi golong tujuh pasang disertai telur ayam tujuh butir yang diolah lembarang (semacam rendang). 14. Kemudian pecel ayam, dan sayur menir. Ayamnya harus ayam hitam mulus. Hitam sampai ke kulit, mulus sampai ke kukunya. Ialah yang disebut ayam cemani. Lalapnya timun dan kecambah, ditambah jenang subur, yang juga berjumlah tujuh pasang. Semua disertai uang satu we (ikat) ditaruh di dalam takir. Sesaji ini dimaksud sebagai penghormatan kepada para leluhur. 15. Yang pertama ditujukan kepada Sanghyang Esa, tujuannya memuliakan budi. Yang kedua Sanghyang Bisma, tujuannya memuliakan nafsu. Selanjutnya untuk Sanghyang Suksma Kawekas, tujuannya memuliakan nyawa. Keempat kepada Sanghyang Kamajaya, tujuannya memuliakan rasa. Yang kelima, 16. ditujukan kepada Sanghyang Asmarasejati, tujuannya memuliakan cahaya. Yang keenam ditujukan kepada Sanghyang Bayu, tujuannya memuliakan hidup. Sedangkan yang ketujuh ditujukan kepada Sanghyang Sambo, tujuannya memuliakan zat. Dengan demikian lengkaplah sudah tujuh macam, ialah untuk t u j u h warga." 17. Raja Pagelen tersenyum manis seraya ujarnya, "Begitukah adat istiadat di Jepara? Banyak benar racikannya. Semua itu Nyi Ratulah yang berkewajiban." Permaisuri tersenyum, lalu jawabnya, " S e m u a itu sesungguhnya sudah disediakan baik sara171 PNRI
na maupun semua racikan sesajinya. Tinggal memilih hari s a j a . " 18. Raja Jepara gembira luar biasa, lalu ujarnya, "Kalau begitu tinggal melaksanakan saja perhelatan perkawinan ini, Ayunda, jangan tanggung-tanggung. Dua sarana yang lain menjadi tanggungan saya. Bagian Anda sudah cukup. Kelak sewaktu saya ngunduh ke Jepara, maka sayalah yang akan melengkapin y a . " Permaisuri tersenyum. 19. Pembicaraan tersebut tidak berlangsung lama. Dalam hal keinginan mereka memikirkan kegembiraan serta pesta perkawinan itu semua sudah merasa senang. Kemudian ke luarlah santapan diatur berderet-deret, semuanya serba lezat, minuman serba manis, dan semuanya bertambah gembira. 20. Sesudah selesai lalu diundurkan. Sedangkan di luar keadaannya tidak berbeda, juga pesta, semua bersuka ria. Ringkasnya cerita pengantin sudah dirias. Upacara temu diselenggarakan di dalam istana, yang dihias dengan sangat indahnya. Pengantin didudukkan di sebuah pelaminan yang indah sekali, keduanya bagaikan bulan kembar. 21. Banyak wanita-wanita cantik yang mendapat tugas merias pengantin. Banyak yang terpesona dan tercengang-cengang melihat pantasnya pasangan pengantin, yang dihias dengan busana yang serba indah sehingga semakin rupawan mengalahkan keindahan dunia. Cahayanya berkilauan. Barang siapa melihat merasa senang. 22. Sinar permata berkerlip-kerlip, berkilau bagaikan bintang tertiup angin. Cahayanya berwarna-warni, dari mirah, berlian, intah, mirah, yakut, dan pakaian yang serba indah menjadi hiasan tersendiri menambah keindahan, dan kepermaian datulaya. Masih ditambah lagi dengan hiburan tari bedaya serimpi, tampak semakin semarak. 23. Serempak dengan gubahan kakawin, yang dibawakan dengan suara merdu menambah keindahan istana. Yang mendengar hatinya senang, yang melihat terpesona. Suasana keramaian itu menyerupai keadaan di Indraloka. Para bidadari sedang mempertunjukkan tari-tarian, ditonton oleh para dewa-dewi. 24. Kemudian dilanjutkan dengan makan bersama di dalam maupun di luar istana. Semua merasakan keberuntungan. Para 172 PNRI
tumenggung menikmati suara gending, karena di semua pasebannya ada seperangkat gamelan dibunyikan. Mereka bergembira, menari-nari, ada juga yang bermain judi, dan ada pula yang minum-minum. 25. Penduduk kota seperti dihimpun. Penduduk-penduduk desa pun terbawa pula. Orang laki-laki dan perempuan di seluruh Pagelen seolah-olah sedang melakukan kerja gotong-royong gugur gunung. Anak-anak pun berdatangan karena diadakannya pertunjukan khusus di alun-alun. Orang-orang yang tidak mendapat bagian pekerjaan, ialah orang jompo, kakek-kakek, neneknenek ingin turut serta melihat 26. keramaian di dalam kota. Rumah mereka tinggalkan, tak mereka perdulikan karena inginnya melihat keramaian besar di saat perkawinan gustinya. Berdesak.desakkan berhimpit-himpitan tak dapat ditembus lagi. Mereka terus-menerus menonton sampai beberapa hari lamanya. Raja berkehendak agar kedua mempelai dibawa berkeliling istana. 27. Semua persiapan telah selesai dikerjakan. Tempattempat yang akan dilalui oleh kedua mempelai sudah dihias dengan indah. Dwaja, umbul-umbul, dan berkelompok-kelompok gamelan sudah pula dipersiapkan. Keindahan di sepanjang jalan yang akan dilalui tidak ada yang mengecewakan. Di sekeliling tembok istana bukan main indahnya. Kemudian berangkatlah dari dalam istana. 28. Kendaraannya bermacam-macam. Yang berjalan paling depan ialah para punggawa yang masih muda-muda beserta anak buahnya, pilihan dari keturunan Winani. Mereka mengendarai kuda. Yang menyambung di belakang mereka ialah sanak keluarga raja. Sesudah itu barulah kedua mempelai yang mengendarai kereta terbuka, 29. yang dihias dengan emas dan bermacam-macam permata yang berkilauan cahayanya. Suasananya bagaikan upacara temu sang Dananjaya dahulu ketika mendapatkan putri Dwarawati. Menyambung di belakangnya ialah ayahandanya, raja Jepara dan raja Pagelen beserta permaisuri. Di belakangnya lagi ialah bala tentara. 173 PNRI
30. Gamelan yang semula ditabuh sayup-sayup menjadi bergemuruh. Luar biasa indahnya hiasan yang menyemarakkan upacara perkawinan kedua mempelai itu. Di sepanjang jalan orang laki-laki dan perempuan yang menonton berlarian saling mendahului. Berdesak-desakan, dan masih terus berdatangan, penuh di sekeliling istana. Kemudian mempelai dan kedua orang raja kembali masuk istana. 31. Bala tentara sudah kembali lagi ke alun-alun bersuka ria tiada henti-hentinya. Siang malam mereka makan, pesta, bersuka ria terus-menerus, sampai setengah bulan lamanya barulah pesta itu berakhir. Beberapa hari kemudian raja Jepara mohon diri kembali ke negerinya, 32. bersama kedua mempelai yang sekaligus minta diperkenankan untuk diunduh, dan akan dirayakan lagi. Prabu Sri Manuhun ketika mendengar permohonan adiknya, raja Jepara itu dengan senang hati menyetujuinya. Kemudian hal itu diberitahukan kepada bala tentaranya. Sesudah segenap persiapan selesai, sri baginda lalu berangkat. 33. Keras bergemuruh di sepanjang jalan. Kakanda raja beserta pasukannya melepas keberangkatannya. Perjalanannya lancar. Setibanya di luar kota, raja Pagelen beserta pengiringnya kembali. Rombongan terus berjalan dengan lancar. Tak diceritakan keadaan mereka di perjalanan. Sudah tiba di kota Jepara. 34. Diceritakan bahwa pada waktu itu sudah dirayakan lagi dengan keramaian yang tiada mengecewakan, tak berbeda dengan keramaian di Pagelen. Semua serba indah. Ayah ibu dan sanak saudara sangat gembira. Keramaian berlangsung berhari-hari, bermacam-macam ma canan dan hidangan dalam pesta serba cukup. Pengantin membuat semua orang tertarik.
174 PNRI
XXIII
1. Keduanya rukun dan saling mencintai, tiada halangan suatu apa. Perkawinan Raden Jaka Pramana dengan Dewi Suretna lulus lestari. Kini diceritakan kembali, mereka yang diisyarati bercampur dengan siluman. 2. Putri Prambanan dulu itu, ialah Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan merasa sangat sedih karena telah lama belum juga berjumpa dengan kedua saudaranya. Dewi Mulat berusaha menghiburnya, "Kalian jangan bersedih. 3. Sekarang ini sudah hampir bertemu yang kalian cari itu. Akan tetapi atas kehendak Tuhan Yang Maka Mengetahui, engkau akan mendapatkan jodoh putra seorang raja. Jika engkau mau menikah dengan mereka, maka kalian akan dapat bertemu dengan saudara kalian. 4. Jika engkau menolak, kalian pasti tak dapat segera bertemu, dan mungkin akan tetap berada di sini." Kedua putri itu ketika mendengar kata-kata Dewi Mulat, seketika kesedihannya semakin memuncak, lalu mendesak menanyakan maksud Dewi Mulat. 5. " D u h a i Dewi, yang tahu akan yang gaib-gaib. Beri tahulah kami, siapa gerangan bakal jodoh kami. Apakah dari jenis manusia, atau mungkin siluman, agar kami dapat mempertimbangkannya." Dewi Mulat menjawab demikian, 6. "Kalau menurut kehendak dewata, dijodohkan dengan manusia, ialah rajaputra Pagelen." Kedua gadis itu berkata, "Kami sangat setuju, karena dulu kami telah mendengar kabar berita 7. ketika masih berada di kota, bahwa putra uak, raja Pagelen semua tampan, dan wira u t a m a . " Keduanya mempercayai berita itu, dan berharap dapat segera bertemu dengan kedua saudaranya. 175 PNRI
8. Sudah terbayang kegembiraannya, tak tahu mereka keliru menerima berita, bahwa putra Jepara yang tampan adalah Raden Jaka Pramana, tidak menduga akan kedua saudaranya yang cacat, 9. cebol dan wujil. Mereka tidak menduga sama sekali, dan hanya berdasar perkiraan bahwa semuanya tampan. Karenanya mereka langsung menyatakan kesediaannya, ternyata jodohnya tidak begitu jauh, karena keduanya merupakan saudara sepupu. 10. Dewi Mulat berkata lembut, "Syukurlah jika sudah berbaik. Karena saya ini hanya sekadar melaksanakan. Buruk, tanpa rupa pun jangan menolak, jika sudah dikehendaki oleh dewata, sebab tak mungkin mengingkarinya. 11. Siapa tahu dapat memperoleh pertolongan dewata, sesuai dengan yang kalian inginkan. " T a k lama antaranya datanglah banteng menghadap, duduk dengan sopan, lalu ditanya oleh Dewi Mulat. 12. " A p a gerangan keperluanmu datang menghadap?" Banteng menjawab, bahwa ia hendak minta kedua putri. Dewi Mulat bertanya lagi, "Siapa yang m e n y u r u h m u ? " Banteng menjawab, atas perintah Dewi Sriwulan, 13. karena hendak dijodohkan dengan gusti, rajaputra, jadi maksud kedatangannya adalah hendak melamar. Belum selesai berkata-kata, banteng melihat kedua putri, 14. ia tidak lupa bahwa mereka adalah saudaranya, ialah Dewi Karagan dan Jonggrangan. Ia merasa sangat heran akan keanehan yang diciptakan oleh dewata dalam menciptakan lakon, sehingga ia mencucurkan air mata. Karena ditanya oleh Dewi Mulat. 15. " H a i , banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi dapat bercakapcakap seperti manusia." 16. Banteng menjawab dengan suara perlahan, "Dulu saya mempunyai saudara, yang rupanya seperti itu. Mengapa saya teringat kepadanya, karena sekarang ini ada berita bahwasanya 176 PNRI
mereka pergi dengan diam-diam di waktu malam, hilang tak tentu rimbanya."' 17. .Dewi Mulat tersenyum, dan segera menyela, "Sudahlah tak usah dipikirkan. Sebaliknya aku bertanya, apakah kedua rajaputra itu dari P r a m b a n a n ? " Jawab banteng, "Dari negeri 'Pagelen." 18. "Cocok dengan p e t u n j u k , " ujar Dewi Mulat. Lalu sambungnya, "kalau begitu aku berikan." Akan tetapi sebelum pembicaraan itu selesai, tiba-tiba datanglah Raden Margana, bersama Buyut Malandangan 19. langsung menghadap sang dewi, tujuannya tak berbeda, ialah minta kedua putri. Dewi Karagan dan Jonggrangan tidak pangling pada yang datang, ialah kemenakan ibunya, jadi saudara sepupu juga. 20. Segera didekati. Dengan air mata bercucuran sang dewi bertanya, " H a i , adinda Margana, apakah engkau diutus oleh ayahanda, dan mengapa engkau bisa mengetahui t e m p a t k u ? " 21. Raden Margana menjawab dengan air mata berlinanglinang pula, dan akhirnya ia berkata perlahan-lahan, "Segalanya telah saya lakukan dalam pencarian ini sehingga saya terluntalunta, dan baru sekaranglah bertemu. 22. Sekarang, marilah kita pulang." Dewi Mulat menukas cepat, ujarnya, " E , nanti dulu, sabarlah. Karagan dan Jonggrangan sudah menjadi anakku, dan tadi sudah terlanjur kuberikan kepada banteng. 23. Engkau berniat mencari, karena sudah ketemu, dan sekarang hendak bersuami atau kawin, sebaiknya kauturuti saja. Pasti tidak menyusahkan bukan? Bahkan mungkin membuatmu selamat." Ketika Raden Margana mendengar kata-kata itu. 24. hatinya langsung terbakar. Putri Prambanan itu sudah dijanjikan, kelak jika ditemukan akan diperbolehkan jadi istrinya. Padahal sekarang sudah ditemukan, akan tetapi ada yang menghalang-halanginya-. 25. Kemudian ia menjawab lembut, " D u h a i Ratu Siluman, janganlah Paduka menghalang-halangi. Diizinkan atau tidak, SERAT CEMPORET - 12
177
PNRI
sang dewi akan saya bawa. Jika tidak dapat saya bawa, berarti merugi karena harus pulang dengan hampa tangan. 26. Mengapa saya memaksa, karena sudah lama saya mengembara, baru kali ini saya temukan, lalu usaha saya akan gagal karena adanya banteng itu, yang saya anggap sebagai penghalang. Jika tak dapat mengurungkan niatnya, saya malu. 27. Dan jika sang putri tak dapat saya bawa, lebih baik saya mati bersama dalam peperangan dengan banteng itu. Sebabnya ialah karena sang putri itu termasuk dalam sayembara. Jika saya berhasil mencarinya, maka ia akan menjadi ganjaran saya. 28. Yang mana pun yang saya pilih, pasti akan diberikan sebagai anugerah atas keberhasilan saya menemukannya." Ketika Dewi Mulat mendengar semua penuturan Raden Margana, 29. hatinya menjadi bingung. Kemudian ujarnya dengan kata-kata lembut, " H a i , Margana anakku, baiklah. Akan tetapi karena sudah menjadi kehendak dewata, bagaimana?" Buyut Malandangan berusaha menengahi, ujarnya, 30. " D u h a i , sang Dewi yang cantik, karena sekarang ini kedua putri ini menimbulkan persoalan yang membingungkan, maka supaya tidak bingung, sebaiknya dibagi sa ; a seorang satu. Dengan demikian sama-sama terpenuhi keperluannya, dan tidak menimbulkan pertentangan." 31. Sang dewi menjawab lembut, " S a r a n m u itu benar. Akan tetapi atas kehendak Tuhan Yang Maha Mengetahui, kedua putri itu jodohnya bukanlah banteng ini, melainkan sesama manusia, 32. sama-sama putra raja, yang dipastikan sebagai jodohnya ialah rajaputra Pagelen yang tua, dua-duanya." Raden Margana tersenyum lalu menukas, " D u h a i , Sang Dewi. 33. Jika demikian, saya pun merasa tidak rela kalau saudara saya akan dijodohkan dengan putra Pagelen, sebab sangat nista dan cela kawin dengan orang cacat. 34. Meskipun keduanya itu rajaputra, akan tetapi berarti aniaya. Lebih baik tidak usah jauh-jauh sang Dewi berikan saja kepada saya." Banteng yang sedari tadi diam, setelah mendengar inti pembicaraan dan kekerasan Raden Margana, 178 PNRI
35. yang jelas ingin memiliki kedua saudaranya, padahal menurut petunjuk yang sudah diberitakan, caranya dia mendapat ampun, kembali berupa manusia ialah jika kedua putra raja yang tua sudah menikah. 36. Kawinnya kedua saudaranya, Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan dengan kedua putra Pagelen sudah menjadi kehendak dewata sebagai penukar ujudnya yang salah, kini akan dihalang-halangi, 31. seketika itu timbullah kemarahannya. Tandanya ia marah ialah, tanduknya diacukan seraya mendengus, lalu berseru keras, "Hayolah Margana, kalau engkau hendak mengambil kedua putri itu, 38. mari, tandingilah dahulu kesaktianku. Nanti jika aku sudah kalah, sang putri kuserahkan padamu. Tak ada yang mengganggumu lagi. Tujuanku pun sama, dan akan saya bela dengan darah. 39. Aku pun hanya sekadar diperintah oleh junjunganku. Jika aku tidak berhasil, sungguh sangat memalukan, karena aku telah menyatakan kesanggupanku. Jika aku pulang dengan tangan hampa tidak membawa sang putri, 40. alangkah malunya aku, diutus sekali saja karena ada penghalang lalu tidak berhasil. Aku bela tugasku dengan pengorbanan nyawa. Kendatipun harus mati, aku akan tetap memegang teguh petunjuk. Itulah duta utama. 41. Mantap dalam pengabdiannya kepada gusti, tidak gentar menghadapi halangan dan rintangan. Mentang-mentang binatang hutan, lalu kaukira tidak berani? Kunyatakan bahwa aku menantangmu!" Raden Margana ketika mendengar tantangan 42. telinganya bagaikan diselentik. Ditantang oleh banteng, dasar orangnya cenderung senang memamerkan keberanian, dengan cepat ia menghunus pedang. Dewi Mulat yang melihat perkembangan itu lalu berkata kepada keduanya, "Karena kalian sama-sama ngotot, 43. sekarang aku berjanji. Siapa di antara kalian berdua yang menang akan menerima kedua putri. Nah, sekarang keluarl a h ! " Yang mendapat perintah lalu pergi. Setibanya di halaman segera bertarung, tak ada yang berniat mundur. 179 PNRI
XXIV
1. Raden Margana mengucapkan mantra ajaran ayah mertuanya dulu, ialah Batara Srenggadewa. Kesaktiannya ialah pengobaran api. Tak lama antaranya di angkasa terdengar suara gemuruh. 2. Datanglah api pembakar menyala-nyala,, lalu membesar berkobar-kobar. Banteng bersiap lalu memuja turunnya hujan penyiram. Pujanya terkabul, seketika hujan turun dengan derasnya, 3. membanjiri api yang sedang menyala-nyala. Sumber pembakar itu punah tanpa sisa. Melihat kesaktiannya lenyap tersapu air, Raden Margana berganti cara. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. 4. Ketika dihentakkan ke luarlah panah beribu-ribu menyerang bagaikan gerimis. Seketika banteng mengeluarkan angin puyuh, menyapu segenap panah. Setiap kali meluncur ditolak oleh angin. 5. Raden Margana lalu menjejak tanah, bergetar bagai digoncang, menganga lebar, lalu datanglah bangsa siluman yang menjadi rakyatnya, ialah sambang, simparan, jalegong, banaspati, 6. dan raksasa kerdil membawa pasukannya seperti tongsot, tetekan putih, jerangkong baung, suwanggi, godrah lungkrah, janggitan, dan ulir-ulir. 7. Semua termasuk bangsa hantu, dan mereka membawa senjata perang. Semua bergerak menakut-nakuti. Bermacammacam rupanya serba buruk rupanya. Ada yang hanya berupa paha sampai kaki, ada lagi yang hanya kepala, ada pula yang hanya bahu sebelah. 8. Ada telapak tangan membawa senjata, ada kepala terjungkir, bertanduk dan berambut panjang serta kusut. Bahunya 180 PNRI
dalam sikap bertolak pinggang, mulutnya menganga memperlihatkan taringnya, lalu menggeram seperti harimau. Ada pula yang mencibir-cibirkan bibirnya. 9. Semuanya menyerang banteng, yang terus-menerus ke kiri dan kanan menerjang. Menyeruduk, menanduk, menyepak, melempar-lemparkan ke atas. Tanduknya menghantam ke kiri dan ke kanan. Karena terlalu banyak lawan, ia lalu berhenti diam menenteramkan hati. 10. Sekilas ia memandang ke angkasa, seketika datanglah para siluman peri prayangan bala tentara Dewi Sriwulan yang hendak membantu melawan musuh. Segenap iblis itu 11. berputar-putar berperang di angkasa. Suaranya gemuruh mengerikan, mendung hitam menebal, guntur dan guruh bersahut-sahutan, cahaya kilat bersabungan, bumi bergoncang, suara angin menderu keras. 12. Bala tentara Raden Margana kalah, ditandai suara tangis gemuruh bertalu-talu. Segenap tanah yang tadi menganga pulih kembali seperti semula. Raden Margana heran luar biasa. 13. Ia lalu maju mengamuk hanya dengan pedang, disambut oleh banteng, ramai bergulat. Banteng menanduk, menginjak, menabrak menghantam ke kiri dan ke kanan dengan mata membelalak merah. Setelah lama berperang, 14. Raden Margana tertanduk, dilempar ke atas berkalikali, dibanting ke tanah sampai pingsan, lalu diseruduk, terinjak lalu diinjak-injak, berulang kali diseruduk dengan tanduk. Ia sudah tidak dapat melawan, dan akhirnya mati digilas. 15. Buyut Malandangan sangat terkejut melihat Raden Margana tewas. Ia maju hendak membelanya seraya membawa pedang panjang. Akan tetapi ketika hendak menerjang banteng, ia mendengar suara memperingatkannya. 16. Demikian ujar suara itu, " H a i Buyut Malandangan, jangan engkau maju ke medan perang. Lebih baik engkau mengurus anak-anak Margana yang tinggal di istana emas. Mereka itu kelak bawalah mengabdi 17. ke Pagelen, pasti akan diterima, dan dapat menarik mendapatkan kasih sayang. Kalau engkau melawannya, tak urung 181 PNRI
engkau pasti mati bagaikan sulung masuk ke api. Tak ada manfaatnya engkau membela kematiannya. 18. Margana itu sudah pasti kehendak dewata sampai pada janjinya untuk berkumpul dalam kemuliaan istrinya." Setelah suara itu habis, mayat Raden Margana lalu lenyap. 19. Buyut Malandangan sudah pergi dengan diam-diam, masuk kembali ke istana emas. Anak-anak Margana yang semula sendirian tanpa pengawal sudah dihimpun di kahyangan. Kembali kepada cerita semula, 20. sang banteng melihat musuhnya sudah lenyap, hatinya sangat gembira. Pikirannya segera beralih kepada Retna Sriwulan, dan kedua rajaputra. Tak lama antaranya ketiganya sudah datang. 21. Mereka lalu berkumpul menghadap Dewi Mulat, dan sudah ditemui. Dewi Sriwulan mengungkapkan apa yang sudah dijanjikan, ialah dijodohkannya kedua putri dengan rajaputra yang saat itu telah dibawanya. 22. Ketika Dewi Karagan dan Jonggrangan melihat calon suaminya, kedua rajaputra yang semuanya menderita cacat, cebol serta wujil, tanpa pamit lagi keduanya pergi karena hatinya sangat menyesal. 23. Melihat sikap kedua putrinya, Dewi Mulat menjawab kata-kata Dewi Sriwulan dengan lemah-lembut, "Baiklah, Dik. Memang benar janji saya telah dipenuhi. Akan tetapi harus kutanyakan kembali kepada yang berkepentingan." 24. Dewi Sriwulan setuju, lalu Dewi Mulat bertanya kepada kedua putri. Jawaban mereka, "Baiklah, kami bersedia kawin, asal saja dapat memenuhi 25. apa yang menjadi permintaan kami, yaitu keinginan kami semasa kecil." Dewi Mulat bertanya," Apa keinginanmu itu? Katakanlah sekarang, apa keinginanmu masing-masing?" Keduanya lalu mengutarakan keinginannya. 26. Yang menjawab dulu ialah Dewi Karagan, demikian katanya, " W a h a i Ibu, saya hanya ingin mengemukakan sabda ayah, yang mempunyai keinginan demikian: kelak jika menikah, 182 PNRI
mudah-mudahan dapat terpenuhi keinginannya sebagai maskawinnya. 27. Berupa tempat yang luas, yang segala sesuatunya dapat kelihatan dengan jelas dengan segala macam tanaman, yang dalam sekejap mata hasilnya dapat dipetik. Jika sudah dapat memenuhinya, siapa pun orangnya, dialah yang berwenang mengambilnya sebagai istri." 28. Sedangkan jawaban Dewi Jonggrangan demikian, " W a h a i Ibu, Sang Dewi, tuntutan saya seperti yang dikatakan oleh ayahanda, kelak.jika anakku ini hendak menikah, sebagai maskawinnya ialah, 29. barang siapa dapat membuat kolam besar berair jernih dengan seketika melalui ciptanya, dialah yang berhak menjadi suami. Hanya itu saja. Jika dapat memenuhi, 30. pasti saya tidak akan membantah perintah, dan sanggup menjalani." Dewi Mulat lalu kembali ke tempat duduknya, lalu mengutarakan apa yang diutarakan oleh kedua putrinya sebagai suatu sayembara. 31. Ketika mendengar hal itu, kedua rajaputra merasa dirinya ditolak, lalu mengundurkan diri diiringkan oleh banteng. Dewi Sriwulan mengejarnya. Setibanya di luar ia membujuk kedua rajaputra dengan kata-kata manis.
183
PNRI
XXV
1. " A d u h a i , Raden cucuku, janganlah khawatir tentang permintaan atau sayembara yang dinyatakan oleh Dewi Karagan serta Jonggrangan itu. Karena itu jangan kautolak. 2. Andaikata permintaannya itu tidak dapat kaupenuhi, sungguh sangat memalukan. Engkau berdua adalah putra raja. Hendak kawin saja ditolak, sungguh harus malu pada d u n i a . " Kedua putra raja itu berkata lembut, 3. ujarnya, " D u h a i Neneknda Dewi, kalau kami sendiri rasanya mustahil bisa melaksanakan. Kami tidak mempunyai kepandaian. Kesaktian pun kami tidak ada. Itulah sebabnya kami pergi. 4. Jika tidak ada pertolongan atas belas kasih Paduka, bagaimana kami akan memenuhinya." Dewi Sriwulan berkata, "Mengapa saya suruh menyanggupi, tentu saja akulah yang akan menolong." 5. Kedua rajaputra itu berkata, " J i k a atas kehendak Paduka, marilah kita kembali menyanggupi permintaan mereka." Dewi Sriwulan segera kembali ke hadapan Dewi Mulat beserta kedua rajaputra. 6. Dewi Mulat bertanya lembut, " A p a k a h permintaan mereka kalian sanggupi?" Dewi Sriwulan menjawab, "Karena sudah diniati, sedapat mungkin menyanggupinya." 7. Ketika mendengar Dewi Mulat sangat gembira. Kemudian Sang Dewi Sriwulan minta diri hendak mencari budi daya. Dewi Mulat menyetujuinya. 8. Dewi Sriwulan sudah pergi diiringkan kedua rajaputra. Setibanya di kahyangannya, maka kedua rajaputra diberi sarana berupa dua buah mustika. 184 PNRI
9. Yang satu mustika air, yang satu lagi mustika bumi. Kemudian keduanya dipesan, agar setelah kembali ke tempat, mustika itu digenggam, kemudian mengheningkan cipta memanjatkan permohonan apa yang dikehendaki, dan terlaksananya yang dimaksud 10. kepada dewata, pasti akan dikabulkan. Sesudah selesai menerima pesan, keduanya lalu berangkat ke tempat yang dipilih. Sesudah hari menjadi malam, kedua rajaputra telah berada di daerah Tanah Ketangga. 11. Keduanya memuja mengheningkan cipta mengkhusyukkan samadi menjadi tenang, mohon agar keinginannya dikabulkan melalui kedua mustika. Permohonannya dikabulkan dewata. Segera kedua mustika itu 12. terlepas dari tangan mereka. Ketika mustika bumi terlepas, serta merta tampaklah suatu tempat yang asri dengan tata rakit seperti taman istana penuh pohon buah-buahan. 13. Pohon buah-buahan itu semuanya sedang berbuah, dan sudah cukup waktunya untuk dipetik. Buah-buahan yang serba manis berjajar seperti diatur berkelompok-kelompok menurut jenisnya, juga sudah masanya dipetik. 14. Sedangkan mustika air, ketika tertanam ke bumi seketika menjadi kolam yang mengeluarkan air jernih, dibangun menyerupai kolam berpagar tanggul batu. 15. Di kiri kanan kolam diberi taman hiburan yang tampak menyenangkan. Bunga-bunga berderet mengelilinginya, harum semerbak baunya, dan bunga-bunga itu kelihatan indah. 16. Sesudah keduanya selesai bersamadi, tampaklah sudah tandanya, kemudian datanglah Dewi Sriwulan, yang memberi tahu bahwa keduanya mendapat belas kasihan dewata, karena ternyata yang diinginkan dapat terjadi bersama-sama. 17. Kebun buah-buahan dan kolam yang besar itu tampak indah. Dewi Sriwulan merasa gembira, dan segera pergi menghadap Dewi Mulat membawa kedua rajaputra. 18. Sambil tersenyum ia berkata, "Duhai dewanya para bidadari, apa yang disayembarakan sekarang sudah terlaksana. Oleh karena itu kedua orang putri 185 PNRI
19. jadi saya minta, tetap sebagai pasangan, menikah dengan kedua rajaputra. Jika tidak percaya, marilah, saya persilakan melihat perkebunan dan kolam yang jernih." 20. Dewi'Mulat merasa gembira, dan segera menemui Dewi Karagan dan Jonggrangan. Mereka berdua diberi tahu bahwa apa yang diminta sekarang telah dipenuhi semua. 21. Ketika mendengar, kedua putri itu sangat sedih. Lalu mencari-cari lagi alasan untuk mengurungkannya, agar tidak jadi menikah dengan kedua rajaputra. 22. Akhirnya mereka berkata dengan suara lembut, demikian, " D u h a i Ibu Dewi, sekarang sudah terlaksana, tentu sajakami harus bersedia melaksanakan. Akan tetapi ada permintaan lain. Kami minta syarat lagi. 23. Buatkanlah bagi kami candi yang indah sebagai pesanggrahan kami, agar kami tidak kecewa di waktu kami bersenangsenang di kolam. Demikian juga jika kami memetik buah-buahan, agar kami mempunyai tempat untuk beristirahat." 24. Setelah mendengar tuntutan putrinya, Dewi Mulat lalu menyampaikannya kepada Dewi Sriwulan, yang segera pergi diiringkan kedua rajaputra. 25. Setibanya di luar pintu, Dewi Sriwi lan berkata dengan suara lembut, " C u c u k u , rajaputra, jangan kalian khawatir. Tentang permintaan itu, akulah yang akan memenuhinya." 26. Rajaputra menjawab, "Siapa lagi yang dapat dan mau berbelas kasih jika bukan Paduka Neneknda. Kalau tidak, barangkali gagallah perkawinan kami, karena permintaannya tidak lumrah dengan sesama manusia." 27. Setelah hari menjadi malam kedua rajaputra itu telah diberi sarana dua buah batu muksala, yang ujudnya menyerupai batu asahan. "Keistimewaan batu itu, jika direndam dalam air, 28. dan kemudian air itu disiramkan ke batu, kalau diukir batu itu menjadi empuk. Sedangkan yang membantu pekerjaan, sarananya adalah sebuah cupu permata, yang di dalamnya berisi minyak tala. Jika minyak itu diusapkan ke mata, 29. kalian akan dapat melihat rakyatku, para peri, para hyang, makhluk halus, yang dapat disuruh m e m b a n t u , " demikian 186 PNRI
petunjuk Dewi Sriwulan. Kedua putra raja itu telah menerimanya, dan akan mentaati segala petunjuk. Setelah hari tengah malam, 30. semua pesan tadi sudah dilaksanakan. Ringkasnya cerita, candi sekejap sudah berdiri. Dewi Sriwulan merasa gembira, dan segera menemui 31. sang dewi yang memimpin para Sura dengan membawa kedua rajaputra, memberitahukan bahwa terpenuhi sudah permintaannya yang berupa candi, yang berdiri dalam waktu sekejap. Sekarang menagih janji. 32. Minta agar segera dinikahkan dengan kedua rajaputri, dan jangan membuat ulah lagi atau mempunyai permintaan lainnya. Dewi Sri Mulat menjawab dengan kata-kata lembut, 33. Ujarnya, "Saya harap tidak terjadi salah faham. Kewajiban saya cuma bertanya, sedangkan jadinya perkawinan, ada pada yang hendak menjalani." Kemudian Dewi Mulat pergi ke tempat kedua putrinya. 34. Kepada kedua putri diberitahukan bahwa candi yang diminta sudah jadi berjajar dengan Katangga. Nah, sekarang laksanakanlah, karena sudah menjadi kehendak dewata, pasti tak dapat diingkari. 35. Nyatanya segala permintaanmu yang aneh-aneh, yang gaib-gaib sudah terpenuhi semua. Sekarang saya mengizinkan terlaksananya perkawinanmu, dan semoga sejahtera selama-lamanya." 36. Kedua putri itu ketika mendengar kata-kata Dewi Mulat hatinya semakin sedih. Pikirannya sudah mantap. Jika jadi menikah dengan kedua satria yang cebol dan wujil, 37. rasanya lebih baik mati karena tidak seimbang rupanya. Meskipun putra raja, namun tidak layak menikah dengan seorang putri. Padahal sekarang segenap permintaannya telah dipenuhi. 38. Oleh karena itu benar-benar membingungkan. Jika menolak, berarti menyalahi janji. Menyalahi atau mengingkari janji menyebabkan cela, dan tidak pantas menjadi berita, dan akhirnya menimbulkan malu juga. 39. Kecuali itu akan mendapat laknat dewata karena selalu bersyak wasangka, menganggap diri lebih tinggi, lalu minta yang 187 PNRI
tidak-tidak. Kesimpulan dari pemikirannya, tetap berusaha menolak. 40. Mereka lalu menjawab dengan kata-kata yang manis agar tidak menimbulkan rasa masgul di hati dalam usahanya mencari-cari alasan. " A d u h a i Ibunda Dewi, karena sudah terpenuhi, 41. tentu hanya akan setuju, dan melaksanakan perintah, akan tetapi kami mohon beribu-ribu maaf, hendaknya jangan sekarang. Mohon ditangguhkan beberapa hari, jika kami sudah bertemu dengan kedua saudara k a m i . " 42. Dewi Mulat berkata lembut, "Terangnya engkau masih menuntut kedatangan saudaramu. Dulu engkau sudah aku pesan. Mengapa masih berdalih juga. Apa sebenarnya halangannya? 43. Tentang tuntutanmu itu, sesungguhnya aku hanya sekadar menyampaikannya kepada yang berkeinginan." Kemudian hal itu segera diberitahukan kepada Dewi Sriwulan, yang heran, tertegun, dan tak dapat berkata-kata. 44. Tak lama antaranya lalu pergi bersama kedua putra raja seraya ujarnya lembut, "Raden, sekarang lakukanlah karena semua itu kehendak dewata. Jangan sekali-kali merasa masgul. 45. Mohonlah secara khusuk, bersamadilah mencapai keheningan "sampai ke dalam sanubari agar keinginanmu tampak cemerlang, sehingga permohonanmu diterima dan dikabulkan oleh dewata." 46. Kedua rajaputra taat. Sampai beberapa malam duduk tafakur memusatkan pikirannya terhadap cita-citanya, serta bertekad mati. Jika tidak mendapat pertolongan lebih baik mati saja. 47. Didorong rasa malunya dalam usahanya hendak mendapatkan teman hidup yang sejati dengan tujuan khusus sang putri, sampai saat itu selalu mengeluh sedih karena lamarannya ditolak. 48. Lalu ke luar tekadnya untuk bersamadi, tidak makan, dan tidak tidur. Hatinya terpusat pada sembuhnya cacatnya, mengharap pertolongan serta belas kasihan, dan semoga mendapat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, yang ternyata kemudian memberi petunjuk. 188 PNRI
49. Petunjuknya demikian, " H a i , umatku yang menyembah teliti teguh hati, memohon dengan sungguh lahir batin, mendapat anugerah dewata, menjadikan keberhasilan bagi semuanya. 50. Melingkupi segala yang ada. Nah, lakukanlah segera bersuci ke dalam kolam agar cacatmu lenyap, terbebas dari segala derita, kemudian dapat berpadu serta diterima sebagai jodoh. 51. Putri yang engkau inginkan, semua bersedia menerima dengan senang hati, sebagai bukti bahwa anugerah memang sudah saatnya terbuka. Dewa memang kasih dan sayang kepada hambanya. Oleh karena itu lakukanlah segera berendam di dalam kolam-." 52. Petunjuk yang berujud kata-kata itu telah selesai. Rajaputra menyembah, lalu pergi ke kolam. Tak lama antaranya keduanya sudah sampai ke kolam lalu berendam di dalam air yang jernih berkilau. Rasanya tembus sampai ke hati, 53. meresap sampai ke tulang siingsum, merata ke kulit, dan daging, darah daging kuku serta rambut, semua terasa lemah lunglai bagaikan dilepas dari pautannya. Beberapa waktu lamanya keduanya mandi, kemudian keluar dari air. 54. Air dalam kolam itu habis, kembali keadaannya seperti sediakala. Kedua rajaputra saat itu juga sudah berganti rupa. Bentuk dan potongan tubuh keduanya bagaikan kembar. 55. Cahayanya kelihatan gilang-gemilang, selaras keturunan raja. Keduanya terkejut, dan seketika itu sama-sama pangling. Kemudian mereka saling bertanya. Ketika keduanya menyebutkan namanya, 56. mereka tertegun, dan keheran-heranan. Diam membisu serasa tak dapat berkata-kata. Jika diingat-ingat rasanya seperti bermimpi dalam sekejap, karena mereka sama sekali tidak menduga akan keajaiban yang diciptakan dewata. 57. Sesudah itu mereka merasa sangat gembira, lalu kembali ke kahyangan bertemu dengan Dewi Sriwulan. Sang dewi melihat dengan jelas bahwa kedua rajaputra itu sudah sembuh sama sekali. 58. Lalu ujarnya dengan lembut, " H a i Kedua cucuku yang tampan, sekarang sudah tiba saatnya menagih janji yang sudah tertunda beberapa hari. Marilah kuantar kalian b e r d u a . " 189 PNRI
59. Kedua rajaputra menurut, lalu segera mereka berangkat. Tak lama antaranya ketiganya sampai di kahyangan serba emas. Dewi Sriwulan masuk mengiringkan kedua teruna.
190 PNRI
XXVI
1. Langsung menuju ke hadapan dewanya para bidadari. Dewi Mulat segera menyongsong dan mengajak duduk beserta kedua putrinya. Dewi Sriwulan berkata, " D u h a i Putri yang amat cantik. Bagaimana kehendak Anda, karena sekarang telah lewat beberapa hari, 2. kalau sekiranya sang dewi tidak mau menepati janjinya untuk menikah, berarti mereka ingkar janji yang sudah diucapkannya. Ya apa boleh buat, kalau tetap menolak, maka kami pun harus menerimanya, karena kami sadar b%hwa yang kami bawa adalah para rajaputra yang tidak layak disantuni." 3. Ketika mendengar ucapan demikian Dewi Mulat tertawa lalu ujarnya lembut, " A d i n d a , aku ini hanya merawat mereka selama mereka berada di sini. Aku sudah berusaha dengan sepenuh tenaga untuk menuntunnya ke arah yang b e n a r , " demikian ujar Dewi Mulat, yang selama berkata-kata menjadi terkejut melihat dua teruna yang berada di belakang 4. Dewi Sriwulan. Satria'tampan menarik hati, dan keduanya seperti kembar. Ia seketika bertanya, " H a i , Dinda Dewi Sriwulan, siapakah yang duduk di belakangmu. Rasanya baru kali ini saya melihat. Apakah mereka itu benar-benar manusia. Cahayanya benar-benar serupa dengan darah Witaradya." 5. Dewi Sriwulan menjawab, "Mengapa Paduka pangling? Sesungguhnya, itulah rupa mereka yang ditolak, si Cebol Wujil. Sekarang seperti itulah-ujudnya berkat hatinya yang selalu sabar dan sangat prihatin, akhirnya mendapat jalan kesembuhan sebagai manusia." 6. Dewi Mulat kagum dan heran melihat rupa kedua rajaputra, lalu menanyakan asal mulanya terbebas dari cacat mereka. Dewi Sriwulan menjawab, "Semua atas kehendak dewata," lalu 191 PNRI
diceritakan asal mulanya, dan sambungnya, "Akhirnya kami datang, dan tingkah lakunya pun sudah berubah p u l a . " 7. Dewi Mulat berkata, " P a n t a s , lalu memasang taji. Jika tidak diterima juga, saling menyerah, dan tak menghendaki. Kalau begitu, Adinda, rasanya tak akan ada yang merasa kecewa, karena sudah sama-sama pantas untuk kita sampaikan kepada kedua p u t r i k u . " Sesudah berkata demikian, Dewi Mulat lalu 8. berkata lembut kepada kedua putri, " H a i , Anakku, bagaimana kesudahan pembicaraan ini? Apakah kalian bersedia, atau akan tetap menolak? Katakanlah yang benar, dan sekarang lihatlah rupa calon suamimu itu. 9. Tampan, simpatik lagi serba selaras." Kedua putri ketika mendengar kata-kata Dewi Mulat, dan telah melihat dengan jelas akan rupa kedua rajaputra yang cahayanya indah menawan hati menjadi malu, dan menyesal akan tingkah laku mereka yang sudah-sudah. 10. Atas kehendak dewata mereka kini kena tempelak. Setelah berpikir akhirnya mendapat jalan ke luar, lalu jawabnya lembut, " A d u h a i , Ibunda, tentang perintah Paduka itu, kalau sudah menjadi kehendak dewata menciptakan keajaiban demikian itu, 11. kami setuju atas kehendak Ibunda, dan tak akan ingkar atau menghindar. Mengapa dahulu kami berulah, dasarnya memang mencoba kegaiban Tuhan Yang Maha Mengetahui, yang ternyata berakhir begitu." Dewi Mulat merasa gembira lalu ujarnya lembut, "Kalau demikian pasti akan terlaksana." 12. Kemudian ujarnya lagi kepada Dewi Sriwulan, " A d i n d a Dewi, sudah seimbang sekarang. Keduanya tidak menolak lagi. Sekarang tinggal melaksanakan peresmian perkawinan mereka." Dewi Sriwulan menjawab, " Y a , baiklah. Sekarang saya minta perkawinan mereka diresmikan. 13. Nanti beberapa hari lagi akan saya serahkan kepada yang berwajib, karena kedudukan saya di sini hanya sekedar menjadi penghubung atas kehendak dewata." Dewi Mulat menjawab, "Marilah kita laksanakan." Ringkasnya cerita, pada saat itu 14. rajaputra dan rajaputri sudah dipertemukan. Dewi Karangan dijodohkan dengan Raden Jaka Pratana, sedangkan 192 PNRI
Dewi Jonggrangan dijodohkan dengan Raden Jaka Sangara. Kedua pasangan itu hidup rukun berkasih-kasihan. Serba gembira, dan tak ada aral apa pun. 15. Tersebutlah sang banteng yang berada di perkebunan yang indah dalam keadaan sangat sedih. Rasanya seperti ingin segera mati. Ketika berada di bawah pohon beringin, yang terpikirkan ialah, dulu menurut petunjuk ia akan sembuh seperti sedia kala melalui tugas mengawinkan. 16. kedua orang rajaputra. Tugas itu telah dilaksanakan masuk ke alam siluman mengikuti putri peri, yang pada akhirnya ditolak karena sang putri tidak mau. Oleh karena itu sang banteng lalu berusaha mencari jalan ke luar agar dapat kembali seperti asalnya semula sebagai manusia. 17. Ternyata ia mendapat petunjuk, demikian suara yang ia dengar, " H a i , banteng, jika engkau ingin sembuh, di bawah pohon beringin ini ada sebuah cupu permata, yang berisi minyak dipanirmala (cahaya kesembuhan). Jika engkau ambil, khasiatnya dapat memulihkan segala macam keadaan yang salah r u p a . " 18. Segera sang banteng mengikuti petunjuk yang ia dengar. Pohon beringin lalu ditumbangkan. Setelah roboh, dicarinya di tempat tancapan akar tunjang, dan tak antara lama cupu istimewa itu ia temukan. Baunya harum semerbak. Cupu itu dibuka, dan diambil minyaknya, lalu diborehkan ke tubuhnya. 19. Sesudah rata di seluruh tubuhnya, ia merasa lesu dan sangat mengantuk, sehingga berkeadaan antara tidur dan jaga. Ketika tiba-tiba terbangun, ia heran melihat rupanya yang sudah pulih seperti dulu. Raden Prawasakala waktu itu berada di tengahtengah hutan. Dengan takjub ia mencoba mengingat-ingat, sekejap seperti tak menduga akan keadaannya. 20. Akan tetapi ia sudah tidak dapat melihat kahyangan peri karena sudah kembali ke dunianya, ialah dunia manusia. Kemudian ia berjalan-jalan menghibur hati. Ketika tertiup angin, ia lalu berhenti, beristirahat di bawah pohon. Diceritakan kembali sang pengantin. 21. Atas kehendak Dewi Sriwulan, disuruhnya supaya membawa istrinya kembali ke Pagelen, suami istri berjalan darat. SERAT CEMPORET - 13
193
PNRI
Kedua rajaputra berkata, "Sesungguhnya kami bingung akan jalan yang menuju ke k e r a j a a n . " Dewi Sriwulan menjawab, " J a n g a n khawatir, sayalah yang akan menunjukkan j a l a n . " 22. Kemudian kedua pasang pengantin baru itu disuruh ke luar. Seketika kembalilah mereka ke alam manusia, berada di lereng gunung, dan seketika itu pula mereka merasa heran sekali. Mereka telah menduga bahwa ketika mereka berada di dalam istana emas ialah karena terjerumus ke dalam alam siluman. 23. Sdmua merasa seperti bermimpi. Kemudian mereka berjalan berbimbingan tangan dengan istri mereka masing-masing hendak pulang ke kota. Jalannya menyimpang dari jalan biasa karena merasa kikuk dalam membawa istri, kedua putri Prambanan. Merasa bingung kalau-kalau dilihat orang. 24. Tentu akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik di perjalanan. Barang siapa melihat akan salah duga, karena tidak mengerti asal mulanya. Tentu akan dikira membawa lari perempuan. Benar bahwa jalan hutan itu berada di bawah kekuasaan Prabu Sri Kala yang bertakhta di Prambanan. 25. Meskipun Prabu Sri Kala itu pamannya, karena memang saudara ayahnya, akan tetapi jika dikira melarikan, tentu akan menimbulkan keributan. Berjalan belum begitu jauh, sang pengantin bertemu dengan Raden Prawasakala, yang juga segera melihat kedua saudaranya berjalan beriringan dengan laki-laki tampan. 26. Mereka berhenti berjalan lalu semua duduk. Raden Prawasakala segera dipeluk oleh kedua putri. Putra Pagelen pun turut memeluknya, kemudian bertanya kepada istrinya, " A d i n d a , siapakah ini, satria yang tinggi besar lagi tampan, dan serba pantas?" 27. Sang dewi lalu memberitahukan bahwa satria itu saudaranya. Kedua putri itu melihat adiknya jadi sedih. Dengan menahan tangisnya mereka bertanya, " A d u h a i Adikku, sekian lama engkau kucari, baru sekaranglah ketemu. Di manakah adikmu Prawasata? Mengapa sampai berpisah denganmu?" 28. Raden Prawasakala menjawab, " A d a di Pagelen. Sekarang ia mengabdi kepada kakanda Raden Jaka P r a t a m a . " Sang 194 PNRI
putri bertanya lagi, "Bagaimana asal mulanya sehingga kalian jadi berpisah?" Adiknya lalu memberi penjelasan, sejak awal, segala hal yang dialami sampai akhir, semua diceritakan. 29. Sejak terkena malapetaka, ialah berganti rupa menjadi burung dan banteng sampai saat kesembuhannya. Kedua putri sangat heran mendengarnya, dan air matanya terus-menerus bercucuran. Kedua rajaputra pun ketika mendengar cerita itu 30. bukan main takjubnya. Kemudian ganti bercerita tentang pengalamannya ketika hendak mendapat jodoh. Waktu itu masih dalam keadaan cacat, ujudnya cebol dan wujil bersama dengan banteng. Sungguh tak menduga bahwa ternyata bagaikan tunggul kayu teraling daun. 31. Ternyata berjodoh dengan saudara sendiri sekulit-sedaging mengalami lakon ajaib atas kehendak dewata. Sekarang semua sudah selamat, maka tak lain wajib mengucapkan beribu syukur. Ketika mendengar Raden Prawasakala pun merasa takjub, dan akhirnya semua merasa gembira. 32. Lalu ia menyembah kedua kakaknya. Dengan perasaan cinta yang tulus ia berkata, "Duhai Kakanda berdua, karena sudah sama-sama merasa gembira, dan mendapatkan keselamatan berkat anugerah dewata, sekarang seyogyanya Kakanda menghadap pada ayahanda. 33. Alangkah gembiranya, dan demikian pula ibunda permaisuri. Putra yang dicari-cari sudah pulang sendiri. Lagi pula Ayunda berdua sudah berduaan dengan Paduka Kakanda, berjodoh dengan keluarga sendiri berkat lakon ajaib yang diciptakan dewata." 34. Ketika mendengar permintaan tersebut kedua rajaputra menjawab lembut, "Dinda, terima kasih atas saran Dinda. Akan tetapi kami minta maaf, karena kami ini sedang melaksanakan petunjuk Neneknda Dewi Sriwulan, supaya kembali ke negeri kami dulu. Kelak kami pasti datang menghadap 35. Pamanda bersama kakakmu sang Dewi." Ketika mendengar alasan itu Arya Prawasakala teringat akan pengalamannya yang lalu, sesungguhnya berhasil sembuh karena mentaati pe195 PNRI
tunjuk diikutsertakan kepada kedua kakaknya. Lagi pula jika ia kembali ke Prambanan 36. tidak bersama adiknya, Raden Prawasata, tentu kurang baik. Karena ketika berupa binatang selalu bersama-sama. Akhirnya ia berkata kepada kakaknya berdua, " D u h a i Kakanda, jika demikian kehendak Kakanda, 37. adinda setuju. Mari kuantar, agar Uaknda Baginda merasa lega, dan tidak selalu cemas atau bersyak-wasangka terhadap Kakanda, karena kembalinya ke kerajaan sudah menjadi tampan bersama remaja putri yang cantik-cantik." 38. Kedua putri tersenyum, sedangkan kedua rajaputra menutup bibirnya. Ujar sang putri lembut, "Siapa yang pantas membumbui, memberi garam dan asam jika bukan saudara, tentu tidak pantas. Kalau dulu aku tahu bahwa engkau adalah si banteng, alangkah sayangnya aku padamu. 39. Dan tidak akan menolak meskipun kawin dengan si cebol, dan si wujil, akan menurut kehendak s a u d a r a . " Adiknya menjawab dengan kelakar, ujarnya, "Kalau begitu Kakanda berdua akan saya bawa pergi, saya carikan jodoh putri kembar, yang mirip ayunda. 40. Sebagai ganti kedua satria yang cebol dan wujil akan saya carikan untuk dijodohkan dengan ayunda nantinya. Rasanya tidak sulit mencarinya. Di setiap jembatan atau pohon waru maupun warung pasti tidak akan k u r a n g . " Kakaknya menyambung, " I t u sebabnya kami dulu ditolak oleh ayundamu. 41. Andaikata tidak mendapat petunjuk, rasanya lebih baik segera mati. Teringat akan pengalaman itu, untunglah mendapat belas-kasihan sehingga berubah rupa begini. Dan kemudian ayundamu ternyata setuju. Hanya permohonanku kepada dewata yang mulia, semoga lestarilah rupaku yang sudah lurus dan baik ini, 42. agar supaya tidak kecewa pengemongku pada ayundamu, lulus untuk selama-lamanya." Raden Prawasakala segera menanggapinya dengan hangat, ujarnya, " J i k a demikian ujar Paduka, mungkinkah terjadi seseorang berganti-ganti rupa bagaikan daun jatuh h i d u p . " 196 PNRI
43. Sang putri menyambung, " J i k a sudah menjadi kehendak dewata, pasti kuterima juga, dan berserah atas kehendak d e w a t a . " Adiknya tanggap lagi, " Y a , syukurlah jika menepati kedudukannya sebagai wanita, berwatak putri utama. Suami menjadi jalan ke arah alam baka. 44. Barang siapa pasrah, akan diterima oleh dewata. Suluh anugerah itu timbangannya ada dua, dunia dan alam baka. Pasti ada kenyataannya menurut tingkat kesadarannya. Jangan merasa ragu-ragu, dan tawakallah terhadap keberuntungan masingmasing." 45. Mereka benar-benar sangat gembira. Kemudian setelah beberapa saat lamanya beristirahat dan berbincang-bincang, dan sesudah seia-sekata, mereka lalu berjalan. Tersebutlah suatu peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sama, Buyut Malandangan yang dulu menjadi raja segala macam siluman, 46. dan memelihara anak-anak Raden Margana yang telah tiada, karena masih tergolong bangsa jin, anak-anak itu sudah menjadi dewasa. Mereka berpikir, lalu menanyakan ayah-bunda mereka. Mereka dihibur agak puas, Buyut Malandangan mengaku sebagai ayah mereka. 47. Akan tetapi mereka tidak puas. Jadinya diberi tahu yang sebenarnya, bahwa ayah-bundanya telah muksa. Dulu ada petunjuk agar keempat mereka mengabdi kepada raja di negeri Pagelen. " J i k a kalian setuju, mari kuantar kalian ke k e r a j a a n , " demikian ujar Buyut Malandangan. 48. Kemudian lanjutnya, "Mungkin pengabdianmu kepada raja dapat diterima karena kalian pun keturunan manusia baikbaik. Saya ini sebenarnya kakekmu, kakek misan. Oleh karena itu saya benar-benar sedia berkorban, tinggal di sini karena merasa berkewajiban. 49. Saya sangat sayang p a d a m u . " Ketika keempatnya mendengar kata-kata Buyut Malandangan, seketika mereka menahan tangis, teringat dirinya yang tidak ingat akan rupa ayah-bundanya. Ternyata sudah yatim-piatu dipelihara oleh kakeknya. Sangat sedih hati mereka. 197 PNRI
50. Buyut Malandangan kasihan benar melihat keempat raden, lalu menghibur mereka dengan kata-kata lemah-lembut, "Sudahlah jangan bersedih hati. Terimalah bahwa itu takdir, kehendak dewata. Saya pun sudah berkorban tinggal di sini meninggalkan rumah, dan pekarangan 51. beserta keluarga, sanak-saudara. Jangan kaupikirkan lagi yang sudah kembali ke alam baka, karena sudah benar-benar sempurna. Pikirkanlah masa yang akan datang, ialah tentang keselamatan hidup ini." Ketika para cucu itu mendengar nasihat kakeknya, seketika hati mereka tenang dan pasrah. 52. Akhirnya setuju akan saran-saran kakeknya, lalu disuruh bersiap-siap. Setelah persiapannya selesai mereka segera berangkat Ki Buyut mengantar cucu-cucunya. Membukanya tabir alam siluman, dulu telah dipesan cara-caranya oleh raja siluman. 53. Setibanya di luar pintu gerbang, sekejap kemudian telah tampak dan berada di alam manusia. Mereka berjalan terus menyusuri kaki gunung. Tak lama antaranya mereka bertemu dengan rombongan rajaputra, yang berjalan bersama istri mereka, ialah yang terdiri dari satria Pagelen serta Prambanan. 54. Mereka terkejut melihat orang-orang yang mendatangi. Empat di antaranya salah rupa. Mereka ditunggu sambil berhenti. Tak lama antaranya tampak ada yang mengantar, orangnya sudah tua, yang kemudian datang menghadap rajaputra. Ketika ditanya, ia menjawab dengan lemah-lembut.
198 PNRI
XXVII
1. " D u h a i Tuanku, satria yang sedang dalam perjalanan, nama hamba Buyut Malandangan. Nama itu terbawa dari nama desa. Nama hamba yang sebenarnya ialah Saraswati, seorang buyut atau tetua. Sedang anak-anak ini adalah cucu kemenakan, yang sudah yatim-piatu, dan keadaannya patut dikasihani, karena belum mempunyai n a m a . " 2. Rajaputra bertanya lembut, "Mengapa semuanya salah rupa? Bagaimana asal-mulanya?" Ki Buyut menjawab sopan, ujarnya, "Keadaan mereka itu sudah sejak kecil. Sudah menjadi kehendak dewa, dibuat bermacam-macam." Rajaputra bertanya lagi, "Anak-anak ini dari mana asalnya, dan siapa orang tuanya?" 3. Ki Buyut memberi penjelasan, " D u l u ayahnya bernama Raden Margana. Adapun asal-mulanya, diutus oleh sri baginda yang bertakhta di Prambanan mencari dua orang putri yang hilang, sampai akhirnya terjerumus ke istana raja siluman lalu diambil menantu, dan lahirlah anak-anak ini. Ibunya sudah muksa kembali ke kahyangan. 4. Sedangkan Raden Margana, dulu tewas berperang dengan banteng, karena pada waktu itu bertepatan waktunya dengan ketemunya kedua orang putri tersebut. Ketika memperebutkan kedua putri ia terkalahkan. Hamba semula hendak membela kematiannya, tiba-tiba ada petunjuk dewa, ditugasi dan lebih baik menghimpun keempat anak ini." 5. Kedua rajaputra, demikian pula istri-istrinya serta Raden Prawasakala mengerti bahwa Ki Buyut telah pangling, sehingga mereka menanggapinya dengan tersenyum, dan tidak berterus-terang, " H a i , Kakek, terimalah kehendak dewata," demikian ujarnya. Ki Buyut bersembah lagi, " T u a n k u , Satria. 199 PNRI
6. Karena hamba sudah menceritakan alur cerita mereka, hamba ingin bertanya dengan terlebih dulu mohon maklum. Baru kali ini hamba melihat Paduka, satria utama, mengapa membawa putri-putri melalui jalan-jalan yang sulit? Apa gerangan kehendak Paduka? 7. Siapa kiranya nama Paduka, dan berasal dari kerajaan m a n a ? " Rajaputra menjawab sambil tersenyum, " J i k a engkau benar-benar tidak mengerti, kami ini satria dari Pagelen, baru saja dari Prambanan. Mengapa kami melalui jalan-jalan yang sulit, ialah karena tidak membawa pasukan pengiring." 8. Mendengar penjelasan itu Ki Buyut segera berdatang sembah, "Gusti, kalau begitu sungguh kebetulan. Kami sendiri pun hendak ke Pagelen. Sekarang secara kebetulan di perjalanan bertemu dengan apa yang dipaparkan dalam petunjuk. Tuanku, Rajaputra, jika Paduka berkenan, sebenarnya keempat anak ini hendak mengabdi kepada Ayahanda Paduka. Mungkin dapat dijadikan h i b u r a n . " 9. Ketika mendengar rajaputra merasa gembira, dan merasa mendapat teman di perjalanan. Lalu ujarnya lembut, "Ki Buyut, kalau begitu kebetulan, jadi pengiring. Saya setuju sekali. Tentang dihaturkannya kelak ke hadapan sri baginda, sayalah yang menanggung memohonkannya agar sri baginda berkenan menerima pengabdiannya." 10. Mendengar janji rajaputra Ki Buyut gembira, lalu sembahnya, " T u a n k u , kalau demikian silakan Tuanku berjalan. Hamba dan keempat anak ini akan mengiringkan." Rajaputra setuju, kemudian para rajaputra berjalan kembali. 11. Ketika rombongan itu tiba di daerah perkotaan Kerajaan Pagelen, mereka menjadi tontonan orang banyak. Yang melihat amat senang, rajaputra dan rajaputri, di belakang, yang mengiringkan rupanya aneh. Baru kali ini mereka melihat rupa seperti itu, sehingga banyak yang tertarik mengiringkan, terutama para penggembala di desa-desa. 12. Tersebutlah di Negeri Pagelen, pada waktu itu sri baginda sedang bersamadi di sanggar pemujaan karena rindu pada putra-putranya yang dibawa oleh besannya, Dewi Sriwulan, me200 PNRI
ngapa tak ada kabar beritanya. Prabu Sri Manuhun bersamadi dengan khusyuk, memohon kepada dewata akan kedatangan rajaputra. 13. Pada suatu malam tiba-tiba datanglah Dewi Sriwulan memberi' tahu sri baginda tentang apa yang dialami oleh para putra. Semua diceritakan, sejak awal hingga akhir tak ada yang terlampaui. Ketika mendengar sri baginda takjub dan terteguntegun. Akhirnya bersyukur kepada dewata, karena ternyata telah mendapat anugerah sejati. Dewi Sriwulan lalu gaib. 14. Pagi harinya sri baginda menceritakannya kepada istrinya. Semua merasa gembira. Kemudian mengutus supaya patih dipanggil. Tak lama antaranya patih sudah datang menghadap, lalu diberi tahu tentang semua berita yang diterima. Patih sangat takjub. Akhirnya yang diberi tugas menjemput rajaputra 15. ialah pamannya, Arya Pratala sepasukannya. Juga mengirimkan utusan khusus ke Prambanan serta ke Jepara membawa surat. Sesudah semua persiapan selesai serta cukup, duta berangkat secepatnya. Demikian pula yang menjemput mengiringkan Arya Pratala. 16. Ringkasnya cerita rombongan penjemput sudah sampai di luar kota. Arya Pratala segera bertemu dengan rajaputra, dan kemudian mereka duduk di pesanggrahan. Semua merasa berbahagia, karena mereka tidak menduga akan peristiwa yang benarbenar sangat ajaib sehingga membuat takjubnya banyak orang. 17. Tak lama kemudian rajaputra dan Arya Pratala berangkat diiringkan pasukannya. Perjalanannya jadi indah. Penonton berdesak-desak, gemuruh suaranya bertalu-talu. Perjalanan sudah sampai ke kota raja Pagelen, lalu masuk ke wilayah istana, ialah dalam puri. Suara penduduk bergemuruh. 18. Ayah-bunda menjemput di Sri Menganti, lalu berpapasan terus masuk ke istana. Kedua putri dibimbing oleh kedua ibu, sedangkan r,ajaputra dibimbing oleh sri baginda dengan tangan kiri dan kanan. Raden Prawasakala berhenti di pendapa bersama kelima pengiring. 19. Ia menunggu perintah sri baginda. Itulah sebabnya berada di pendapa bersama banyak punggawa. Sri baginda telah 201 PNRI
duduk di kursi gading. Kedua putranya tak boleh berjauhan, karena selalu dipeluk. Kedua putranya menyembah ayah-bundanya. Bahunya diciumi dengan penuh kasih sayang. 20. Sri baginda dan sang permaisuri rasanya seperti mendapat permata mulia sebesar gunung karena putranya yang sangat ditunggu-tunggu kini telah datang dengan rupa yang lain. Semua sudah menjadi tampan, halus, dan sudah membawa istri, dua orang putri utama yang masih keluarga sendiri, yang perkawinannya melalui suatu keajaiban. 21. Lalu ditanya tentang cerita serta pengalamannya sejak awal-mulanya. Semua sudah diceritakan sejak awal sampai akhir. Sri baginda dan istri-istrinya ketika mendengar merasa takjub. Mereka yang mendengar tak bisa berkata-kata, sehingga terpaku, melongo belaka. Tak menduga akan demikian kejadiannya, rasanya seperti orang bermimpi yang benar-benar menjadi kenyataan. 22. Orang-orang di dalam istana terpesona melihat rupa pasangan itu. Rajaputra dan rajaputri itu diperhatikan seperti kembar rona wajahnya. Para emban, ceti, pawongan, parekan serta emban, dan babu yang menghadap bermacam-macam pendapat mereka karena rasa senang dan puas, lalu mencoba mengira-ngira. 23. Mereka berbincang-bincang dengan berbisik-bisik antara lain demikian, " A d u h , aduuuh, benar-benar tidak bisa dipikirkan, sungguh keajaiban luar biasa keadaan gusti rajaputra itu. Dulu cebol dan wujil, sekarang serba bagus. Apa gerangan sebabnya?" yang lain menyambung, "Mungkin berkat besan sri baginda, putri peri sebangsa jin itu!" 24. Ada juga yang berkata, "Menurut pendapatku, keberhasilannya ialah karena ibundanya, Dewi Pratiwi. Aku kira sangat prihatin, karena sebagai selir tua kemudian terdesak oleh selir muda Dewi Srini, yang kemudian menjadi permaisuri. Sebabnya ialah karena putranya cacat." 25. Temannya menjawab, "Aneh-aneh saja pikiranmu itu. Lebih baik diam, jadi tidak membuat perkiraan yang salah. Jika hal itu terdengar oleh sang permaisuri, apa faedahnya? Hal semacam itu boleh dikatakan sudah merupakan keberuntungan masing-masing. Dan raja itu 'kan sudah serba tahu. Penglihatannya bagaikan dewata. 202 PNRI
26. Oleh karena itu kedua rajaputra yang mendapat anugerah dewata, sesungguhnya karena ayahandanya sangat khusyuk memohon, dan sangat kuat doanya, lalu dikabulkan oleh dewata. Itulah tandanya, ialah suatu keajaiban luar biasa. Sudah tampan, berhasil mendapatkan putri, lagi pula putri r a j a . " 27. Ada seorang parekan menyambung, "Benar katamu itu. Sekarang Kerajaan Pagelen semakin semarak, karena akan membuat indahnya istana. Lebih-lebih jika gusti rajaputra Raden Jaka Pramana sekalian kembali kelak, berhimpun sepasang-sepasang, akrab dengan kakak-kakaknya. 28. Tentu sri baginda semakin berbahagia, karena para putra lengkap, semuanya cantik dan tampan. Wahai dewata mulia, semoga lestarilah kebahagiaan gusti. Sebagai hamba tak lebih permohonanku, ke utara, ke selatan aku berlindung agar hati ini selalu tenteram. Rakyat kecil semakin makmur hidupnya, lalu tinggal membuat kesenangan s a j a . " 29. Kemudian terbaur ramainya suara di luar, terdengar semua gembira ria baik laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Sri baginda bertanya kepada kedua putranya, yang dijawab, bahwa ada saudara, seorang satria putra raja yang semula jadi banteng telah pulih kembali menjadi manusia, tinggi besar serta tampan bernama Prawasakala. 30. Mengapa menjadi tertawaan, ialah karena membawa pengiring lima orang, yang rupanya aneh-aneh. Asal-mulanya, mereka itu bertemu di tengah perjalanan, lalu memohon hendak mengabdi kepada ayahanda baginda. Empat orang di antaranya adalah anak-anak Arya Margana, sedang yang seorang lagi masih kakeknya, bernama Buyut Malandangan. 31. Seterusnya segenap keperluannya telah dihaturkan. Sri baginda heran bercampur gembifa, " N a k , kalau begitu utuslah seseorang supaya segera memanggil mereka. Mengapa sampai terlambat. Mempunyai saudara sampai terlupakan karena terbaur dengan teman-temannya." Lalu mengutus seorang ceti. Tak lama sudah masuk mengiringkan mereka yang dipanggil. Gemuruh suara orang di dalam istana. 203 PNRI
32. Raden Prawasakala segera menghadap, duduk sejajar kakaknya, rajaputra. Setelah duduk lalu disapa oleh Prabu Sri Manuhun, " A n a k k u , jangan berkecil hati kepada uakmu yang lupa akan kemenakan. Kasihan, di luar tidak dipikir. Yang salah itu kakakmu, 33. mengapa ditinggal di luar? Lagi pula tak usah raguragu, ikuti saja ke mana perginya. Selamat datang, Nak! Engkau telah menanam b u d i . " Mendengar sapaan uaknya Raden Prawasakala berdatang sembah, ujarnya, " U a k Prabu, sabda selamat Paduka hamba junjung tinggi, semoga menjadi pengikat jiwa. 34. Mengapa hamba tinggal di luar ialah karena membawa kelima orang yang rupanya aneh-aneh. Kalau hamba tinggalkan di luar, takut kalau ditertawakan menjadi syak-wasangka atau membuat keonaran. Itulah sebabnya berhenti di p e n d a p a . " Sri baginda dan permaisuri senang mendengarnya. 35. Lalu sri baginda bertanya, " C o b a sebutkan, siapa nama kelima orang yang hendak mengabdi i t u ? " Rajaputra bertanya kepada Ki Buyut Saraswati, yang lalu menjelaskan segala hal mengenai dirinya serta cucu-cucunya. Prabu Sri Manuhun gembira mendengarnya, lalu sambutnya, "Baiklah, pengabdian kalian aku terima. 36. Dan semua akan kuberi nama. Yang kerdil bernama Bujug. Yang berbadan manusia berwajah kera, berbulu putih mulus, kuberi nama Jaka Bedes. Adiknya, yaitu yang berwajah lutung, dan seluruh tubuhnya hitam legam, rasanya pantas jika kuberi nama Jaka Buset. Yang berbentuk bajang 37. kuberi nama Jaka Igugigug. Semua menjadi piaraanku. Sedangkan yang menjadi embannya tetap Ki Buyut Malandangan. Yang mendapat nama semuanya menerimanya, dan menjunjung tinggi. Sesudah itu lalu santap bersama. Semua merasa sangat gembira. Laki-laki dan wanita di dalam istana semua ikut bergembira. 38. Sesudah selesai lalu diserahkan kepada para abdi. Semua mendapat bagian. Rakyat seluruh kerajaan bergembira ria. Hadiah tak berkeputusan dalam bentuk uang, kain, senjata, tak ada yang ketinggalan menerima makanan dan pakaian. Niatnya 204 PNRI
memang untuk mempersenang rakyatnya. Karena gembiranya, sri baginda bagaikan membayar nazar. 39. Kedua pasang pengantin sangat disanjung-sanjung. Kedua pasangan itu benar-benar menjadi hiasan istana. Para kesayangan yang empat tersebut tidak pernah berpisah. Di sembarang tempat selalu menjadi tertawaan orang. Beberapa hari kemudian semua bubar. Orang-orang yang meramaikan suasana di istana sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. 40. ' Yang gemuruh itu ialah karena kedatangan dua orang raja, dari Jepara, dan dari Prambanan beserta pengiringnya. Dengan tergesa-gesa rakyat Pagelen bersiap-siap. Sesudah persiapan selesai lalu diperintahkan menjemput para tamu. Yang menjemput ialah patih beserta orang-ora^ng bawahannya. Mereka gopoh-gopoh, dan setibanya di luar kota, para penjemput sudah bertemu dengan kedua raja.
205 PNRI
XXVIII
1. Seketika lalu berangkat, gemuruh di sepanjang jalan suara pasukan pengiring. Tampak bermacam-macam benda upacara yang serba indah, bagaikan mendung bergayut. Umbulumbul beraneka warna, berkilau-kilauan, merah memenuhi. Jika diperhatikan bagaikan gunung terbakar. 2. Berlapis-lapis susul-menyusul. Senjata berjajar rapat berkilat-kilat terkena sinar matahari. Karena tiupan angin benderanya melambai-lambai. Dari jauh tampak serempak rapi dan serasi, bagaikan laut yang pasang sedang surut kembali. 3. Kendaraan yang berderet-deret bagaikan alun-alun bergerak. Pakaian yang beraneka warna bagaikan gunung bunga. Gamelan berbunyi lembut sayup-sayup. Berjalan sudah sampai ke istana. Kedua raja sudah dijemput di gapura oleh kakanda baginda. 4. Lalu masuk ke istana. Pasukan pengiring berhenti di luar, berkumpul di alun-alun, dan serempak mereka mendirikan tenda. Tersebutlah sri baginda yang masuk ke istana, lalu duduk. Sesudah sejenak mengatur nafas, raja Pagelen mengucapkan selamat datang kepada para adindanya. 5. Lalu menanyakan mengapa dapat datang bersama-sama, padahal utusan yang dikirim belum begitu lama berangkat. Kedua raja menjawab, " P a d u k a Kakanda, utusan itu bertemu di tengah perjalanan. Kami sudah berangkat karena sudah diberi tahu oleh Ratna Dewi Sriwulan 6. tentang kejadian yang dialami para putra. Kami segera berangkat ke mari karena ingin segera melihat rupa para putra dan putri, yang telah lama dicari ke mana-mana. Seluruh penduduk kacau balau mencari kian ke mari. Siang malam tak karuan sampai dijadikan sayembara. 206 PNRI
7. Akan tetapi tak ada yang berhasil. Dan sekarang kami mendapat berita pemberitahuan yang jelas, bahwa semua sudah berada di Pagelen. Sekarang ternyata benar-benar di sini, sehingga ibarat orang penasaran yang hanya menduga-duga, lebih baik datang membuktikan keajaiban yang terjadi atas kehendak Yang Mahakuasa." 8. Kalimatnya terasa belum selesai, Prabu Sri Kala segera memeluk putranya, laki-laki perempuan seraya menahan tangisnya. Kata-katanya terdengar lirih, "Aduhai nyawa pujaanku, jantung hatiku. Aku hampir nekad bunuh diri karena kekhilafanku yang terlanjur-lanjur. 9. Anak mengalami nasib buruk sehingga berganti rupa menjadi banteng dan burung, lalu mengembara mencari kesembuhan, kedua saudaranya mencari, pergi dengan diam-diam di waktu malam, turut mengembara tanpa berita sama sekali. Untunglah mendapat belas-kasihan Dewi Mulat memberi petunjuk tentang keadaanmu, sehingga 10. agak tenang dan pasrah sebagai penghibur hati, dan dapat dijadikan pegangan untuk memberitahukannya kepada ibumu pada waktu itu. Akhirnya kalian pulang, Anakku manis, dan sudah bersuami pula. Sedang putra-putraku telah kembali ke ujudnya semula. Nah, Anakku, ceritakanlah pengalamanmu." 11. Rajaputra dan rajaputri masing-masing menceritakan pengalamannya. Pengalamannya yang memilukan diceritakan dari awal hingga akhir secara lengkap. Prabu Sri Kala takjub mendengarnya, dan tangisnya semakin keras sampai tersedu-sedu. Semua yang melihat turut merasa sedih, dan hampir semuanya menahan air mata. Raja Pagelen menghibur mereka dengan katakata lemah-lembut. 12. "Adinda, sudahlah, tak usah dipikirkan lagi apa yang telah terjadi di masa lalu. Karena sekarang sudah selamat berkat anugerah Tuhan Yang Maha Mengetahui, dan para putra pun sudah pula kembali, lebih baik sekarang kita pikirkan bagaimana baiknya untuk mereka itu. Pembicaraan mengenai mereka itu kiranya akan membuat perasaan menjadi tenang dan terang, dan 207 PNRI
semuanya akan membebaskan pikiran dari segala macam kebingungan." 13. Seketika itu perasaan raja Prambanan menjadi tenang, dan sangat bersyukur kepada dewata. Akhirnya menjawab dengan suara lembut, "Daulat Kakanda Baginda, karena telah menjadi kehendak dewata bahwa kedua nini putri harus menyatu di bawah duli Paduka, 14. saya berserah saja untuk melaksanakan kehendak P a d u k a . " Raja Pagelen menanggapi demikian, " J i k a sudah sepakat, upacara temu akan saya selenggarakan." Raja Jepara menyela, "Saya pun sangat setuju. Akan tetapi sekarang saya akan berkaul sarana. 15. Tentu dengan upacara bubak kawah (bagian dari upacara berhubung mempelai pria dan wanita sama-sama anak sulung), dan upacara rarapangkon pun tak boleh ketinggalan. Dengan dua pasang ayam jantan betina yang masih m u d a . " Kakaknya menyambutnya dengan kata-kata, "Benar, Dinda n u j u m ! " Sang Prabu Sri Kala tersenyum, dan sangat menyetujuinya. Permaisuri menyambung kata-kata sri baginda, 16. ujarnya, " J i k a semua sudah sepakat, baiknya segera diberitahukan kepada para pekerja supaya segera mempersiapkan segala sesuatunya. Sedangkan para perempuan, sayalah yang akan mengatur pembagian tugas mereka untuk mempersiapkan segala macam syarat dan sesaji. Nanti semuanya akan siap." 17. Raja Pagelen dan raja-raja yang lain semua sangat gembira. Segera para punggawa diberi tahu. Semua bergotong-royong mempersiapkan segala sesuatunya. Gamelan berbunyi lembut membawakan Gending Nguyu-uyu yang merdu. Kedua pasang pengantin sudah dirias, gilang-gemilang bagaikan perada dibabar. 18. Rajaputra dan sang dewi sudah dipertemukan. Bunyibunyian bergemuruh, keras mengguntur. Hiasan bermacammacam gemerlap berkilauan, berbinar-binar mengkilap cahayanya bercampur menyebabkan pakaian yang beraneka warna semakin gemerlapan. 19. Tertimpa sinar lampu menambah indahnya pemandangan. Seluruh istana menjadi semakin asri dan indah. Ditambah lagi 208 PNRI
dengan cahaya yang melingkupi para raja dan para putra mereka yang bagaikan bulan purnama. Kemudian pengantin duduk berjajar di depan pelaminan. 20. Laki-laki dan wanita menurut kelompoknya masingmasing. Di depan sekali para raja duduk sejajar. Para ibu permaisuri di kelompok khusus wanita juga duduk berjajar di depan. Demikian pula para putra. Kemudian santap bersama. Mereka pesta sampai puas. 21. Di dalam maupun di luar istana tak berbeda, bermain, dan berpesta pora, menikmati gending dan pembacaan kakawin. Demikian para raja di dalam istana. Beberapa hari kemudian Prabu Sri Kala serta adindanya, raja Jepara mohon diri. 22. Dan para putra diunduh waktu itu juga ke nyatakan persetujuannya, Adindaku semua, sekarang kuberi wasiat nama.
pengantin dimohon untuk sekaligus negeri Prambanan. Raja Pagelen medengan kata-kata demikian, " W a h a i saksikanlah. Kedua putramu itu akan
23. Jaka Pratana aku beri nama Kalabumi, karena yang menyebabkan keselamatannya ialah bumi. Sekarang Jaka Sangara kuberi nama Kalabanyu, karena keselamatannya disebabkan oleh air (= banyu). Sedangkan tempat, di mana permohonan mereka diterima, 24. yaitu tanah di Ketangga kuberi nama Bumipetik, karena pada waktu itu ketika putra-putraku membangun perkebunan yang indah, buah-buahannya sedang masanya dipetik. Karena di situ pula tempatnya bekas kolam yang dapat memuliakan rupa mereka berdua, maka kuberi nama Amartalaya. 25. Pohon beringin yang ditumbangkan oleh banteng pada waktu itu, yakni yang berisi minyak Dipanirmala di dalam cupu manik, sekarang kuberi nama Waringinrubuh, karena di tempat itu kelak akan berdiri sebuah negara jika sudah mendekati zaman akhir. 26. Sedangkan kelima orang itu semua aku beri ganjaran. Yang pertama Buyut Malandangan, kuberikan padanya desa Perdikan, menghimpun daerah Malandangan dan sekitarnya* SokaSERAT CEMPORET - 14
209
PNRI
karwi, dan Dadapan. Ia berdiri sendiri, akan tetapi berada di bawah kekuasaan Adinda Prambanan. 27. Sebabnya ialah karena nyata telah turut membela negara. Sedangkan anak Margana, karena berkorban sampai mati, yang kumaksud adalah dulu, ayahnya, maka sekarang kuangkat menjadi Bupati Kalang, menguasai daerah sekitarnya pula. Si Bujug, kuberi nama Arya Margasa. 28. Si Jaka Bedes kuberi nama Arya Mregapati, si Buset kuberi nama Arya Kiratapati atau Gremajati, dan si Jaka lgugigug kuberi nama Wanabaya. Mereka itu seluruhnya kutitipkan kepada Adinda s e m u a . " 29. Demikianlah keputusan sri baginda. Adik-adiknya ketika mendengar perintah kakandanya, tak ada yang berkeberatan. Semua setuju dan menyatakan akan mentaatinya. Lalu segera memberi perintah pada pasukannya, dan setelah siap kemudian berangkat, gemuruh suara pasukan. Ringkasnya cerita, pada waktu itu kedua raja 30. sudah tiba di negeri masing-masing. Prabu Sri Sadana kembali ke negeri Jepara bersama putra-putranya. Sedangkan Prabu Sri Kala kembali ke Prambanan dengan kedua pasang mempelai, dan upacara penghormatan segera diselenggarakan. 31. Segala sesuatu tidak mengecewakan, tak ubahnya seperti Kerajaan Pagelen, semuanya berjalan dengan baik, tiada halangan suatu apa. Beberapa hari kemudian Prabu Sri Kala memberi pengumuman kepada para punggawanya, bahwa anak mendiang Margana sudah diangkat sesuai dengan perintah kakandanya. 32. Demikian pula Buyut Malandangan. Masih ada lagi yang bersama-sama menerima pengangkatan berupa anugerah sri baginda, ialah saudaranya Margana, dua orang, yang semuanya diberi kedudukan, diikutsertakan kepada kemenakannya, sekaligus untuk mengawasi tugas-tugas pekerjaan Kalang Mregasa. 33. Mereka ialah, Raden Srawana, mendapat kedudukan sebagai bupati, bernama Tumenggung Wanasigra. Adiknya, Raden Surasa diikutsertakan pula dalam tugas itu dengan nama 210 PNRI
Tumenggung Wanayasa. Penobatan para bupati Kalang itu sudah terlaksana. 34. Beberapa hari kemudian kedua rajaputra kembali ke Pagelen bersama istri mereka. Tak lama kemudian atas kehendak ayahandanya kedua rajaputra itu dinobatkan menjadi Pangeran Adipati, dan ditetapkan sebagai senapati perang. 35.' Maksud ayahandanya ialah untuk mendampingi rajaputra yang muda, yang dicalonkan mengganti ayahandanya. Bersamaan dengan itu Dewi Pratiwi juga diangkat menjadi permaisuri sejajar dengan Dewi Srini. Peristiwa itu terdengar pula ke Jepara. 36. Hal itu menyebabkan Raden Jaka Pramana tersinggung dan salah-faham, mengira bahwa dirinya sudah tidak dipikirkan lagi oleh ayahandanya, dan kelak yang akan menggantikan takhta ayahandanya pasti kakaknya, sebab ternyata sekarang Dewi Pratiwi sudah dijadikan permaisuri, 37. sejajar dengan ibunda permaisuri. Lagi pula kedua kakaknya sudah diangkat menjadi Pangeran Adipati. Padahal sudah terberitakan secara luas, bahwa dialah yang kelak akan menggantikan takhta ayahandanya. Jika berita itu tidak menjadi kenyataan, tentu akan sangat membuatnya malu kepada mentua serta rakyat. 38. Pemikirannya semakin keliru, dan tak mau kembali ke negeri Pagelen. Ia meninggalkan Jepara kembali ke Cengkarsari membawa kedua iparnya, mengumpulkan penduduk desa, dan tak lama pengikutnya sudah banyak. Cengkarsari menjadi semakin besar dan sudah ramai seperti kota. Rakyat besar-kecil, semua membelanya.
211 PNRI
XXIX
1. Rajaputra Raden Jaka Pramana itu berniat memberontak, mendirikan kerajaan tersendiri, dan tidak mau tunduk kepada ayah maupun paman-pamannya. 2. Hal itu dilakukan karena kesal, salah faham, dan akhirnya di desa Cengkarsari diselenggarakan, dan diatur sebagai sebuah kerajaan. 3. Tak lama antaranya sudah kelihatan seperti sebuah negeri yang besar, para pedagang berdatangan, dan sangat makmur sejahtera. Pada waktu itu Raden Jaka Pramana 4. menobatkan dirinya sebagai raja didukung oleh penduduk desa dengan dukungan yang sungguh-sungguh bergelar Sri Baginda Maharaja Dewasraya. 5. Cengkarsari diberi nama Kerajaan Medangsewu. Yang diangkat sebagai patih ialah rajaputra Jepara yang bernama Raden Jaka Barana. 6. Orangnya tinggi besar, pantas benar menjadi perdana menteri, Ia diberi gelar oleh kakaknya, Sri Baginda Dewasraya 7. dengan gelar Arya Anggliskara, yang diserahi kekuasaan serta tata pemerintahan, dan pembagian tugas para punggawa besar maupun kecil. 8. Adiknya, Raden Suwarna diangkat menjadi patih pendamping, berkewajiban mengurus segala macam pekerjaan dalam istana. 9. Dan sudah diberi gelar atav nama Arya Anggliskarta. Sedangkan Buyut Cemporet diangkat menjadi pimpinan para sesepuh. 10. Cucunya, yakni Jaka Kulampis telah diangkat menjadi punggawa, dan sudah diberi nama serta gelar sebagai Tumenggung Saragupita. 212 PNRI
11. Untuk jabatan mantri, bekel, petinggi desa, umbul, dan peragak dipilih yang serba bisa. Berdirinya kerajaan itu tidak mengecewakan. 12. Pada setiap hari persidangan, yang dibicarakan ialah bagaimana menghimpun, dan menarik ke pihaknya daerah di sekitarnya. 13. Pasukan serta persenjataan negeri Medangsewu semakin besar. Yang datang masih terus mengalir, berkelompok-kelompok tiada putus-putusnya turut mendukung, dan memperkuat kerajaan itu. 14. Makin lama beritanya makin tersebar luas bahwa di Cengkarsari ada yang bertakhta sebagai raja. Berita itu pada akhirnya terdengar sampai ke negeri Jepara. 15. Prabu Sri Sadana hendak menyerangnya karena dikira benar-benar musuh. Akan tetapi setelah beritanya semakin jelas bahwa raja di Cengkarsari itu putranya, Raden Jaka Pramana, 16. bertakhta di wilayah hutan Medangsewu, dan rakyatnya sudah cukup banyak, akhirnya dipikirkan lagi, karena masih berada di wilayah Jepara. 17. Menantunya itu dibiarkannya menuruti keinginannya, karena tidak menimbulkan permasalahan apa pun bagi negeri. Ayahandanya di Pagelen tidak mengerti. 18. Namun akhirnya setelah cukup lama, berdirinya kerajaan di Medangsewu itu terdengar juga, akan tetapi tidak tahu bahwa yang bernegara itu putranya. 19. Pikirnya, tentu musuh. Oleh karena itu segera memberi perintah kepada Patih Minangsraya agar membawa balatentaranya menyerang raja pemberontak yang tak tahu tatakrama itu. 20. Gopoh-gopoh patih mempersiapkan pasukannya lengkap dengan persenjataannya. Setelah persiapan selesai, patih segera berangkat. 21. Pendampingnya ialah empat orang punggawa. Arya Kumbala, Arya Satiti, Mantri Medangsura serta Arya Pajangsora, 22. masing-masing membawa bala tentara lengkap dengan persenjataannya. Gemuruh suaranya di sepanjang jalan serta gegap gempita bagaikan gunung berhuru-hara. 213 PNRI
23. Suara tabuh-tabuhan bersahut-sahutan berderak mengguntur. Gedang berdentang disambut suara bengkilang, tongtonggrit, bende, beri, begor, gurnang riuh gemuruh gegap gempita. 24. Seluruh pasukan berjalan dengan penuh semangat di sepanjang jalan, berharap segera bertemu dengan musuh, dan bertempur. Tak lama antaranya pasukan itu telah sampai ke perbatasan negeri Jepara. 25. Daerah Medangsewu itu termasuk wilayah negeri Jepara. Kedatangan bala tentara itu sudah didengar oleh Prabu Dewasraya. 26. Mendengar negerinya didatangi sebuah pasukan yang besar lengkap dengan persenjataan, pihak Kerajaan Medangsewu merasa gugup, lalu mengumpulkan prajuritnya. 27. Sesudah berkumpul lalu berunding dengan patihnya serta seluruh punggawa membahas datangnya musuh yang besar jumlahnya dari kerajaan induk. 28. Bagaimana pendapat dan kemantapan tekad para manggala praja. Menyerah atau melawan, atau menyingkir? Arya Anggliskara mengemukakan pendapatnya, demikian, 29. "Gusti, yang datang itu sudah jelas musuh. Padahal kita sudah sengaja berbuat begini. Kalau menyerah malu. Lagi pula, mengapa perwira takut mati? 30. Sudah terlanjur bercawat berniat singsat, bertahan dan tidak akan menyingkir. Biarlah mengadu ranjau serta lembing, melaksanakan ujar yang telah terucapkan. 31. Jika tidak dipegang teguh akibatnya justru merugikan. Jika diumpamakan nasi rames yang telah tersedia di atas piring, dihidangkan tentu enak dimakan. 32. Masalah musuh kita serbu saja dengan gempuran. Siapa yang terdesak atau kalah dialah yang akan dikejar. Dan jika pertahanan kita sudah goyah, lebih baik kita menyingkir." 33. Kemudian Arya Anggliskara menyambung, ujarnya, "Benar, Kakanda. Apa lagi yang harus kita ragukan. Punya keinginan itu memang harus diperjuangkan sampai berhasil atau tidak. 214 PNRI
34. Untuk itu kalau perlu, berperang pun kita lakukan. Menyerang habis-habisan. Siapa kalah tergilas. Jika diumpamakan seperti orang bertaruh dalam perjudian, kadang-kadang ia pun mencari pinjaman. 35. Tetapi harus selalu sadar akan ketentuan: menang jadi arang kalah jadi abu. Di dalam perjuangan, baik dengan kekuatan, kecerdikan, saling desak, jika kehilangan akal pasti akan terpental. 36. Jika terlalu asyik memukul pasti akan menyerah kalah. Pedomannya ialah rukun menjadi kuat, kukuh tak dapat didesak, disertai tekad berusaha sekuat tenaga." 37. Para tumenggung sudah seia sekata. Prabu Dewasraya tersenyum seraya ujarnya, "Kalau begitu, marilah kita bersiap. 38. Memburu cukup seadanya saja senjata kalian. Sesuaikan saja dengan keadaan medan, asal sudah dilaksanakan bersama, saling membantu, dan seia sekata." 39. Tak lama antaranya mereka telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, membawa senjata, serempak dalam barisan yang rapat, kemudian barisan menyebar memenuhi medan. 40. Tiba-tiba ada utusan datang membawa surat dari pihak Medangkawit. Yang mengirim utusan ialah Patih Minangsraya. 41. Yang diutus seorang senapati senior, Arya Kumbala. Pada waktu itu sudah dibawa menghadap Prabu Dewasraya. 42. Dengan cepat surat diterima oleh sri baginda, lalu dibaca, demikian bunyinya, " H a i pemberontak yang tak sopan. Memberontak dengan mengumpulkan orang-orang jahat. 43. Dari manakah asal-usulmu, dan siapa namamu? Dan mengapa engkau berani mendirikan kerajaan yang dapat mengakibatkan engkau dihukum? 44. Melakukan perampasan wilayah, hendak memukul, menguasai, dan menduduki tanah ini. Apakah engkau tidak mendengar berita bahwa negeri Purwacarita banyak manggalanyayuda, 45. yang tangguh, dan perwira dalam peperangan. Satu mampu bertanding seratus? Sekarang engkau benar-benar kutanya. Menyerah atau tetap melawan? 215 PNRI
46. Kalau menyerah ikatilah senjatamu. Engkau beserta pasukanmu aku hadapkan kepada sri baginda. Kalau hendak melawan, majulah ke medan perang." 47. Selesai membaca surat tersebut Prabu Dewasraya segera memerintahkan menulis jawaban. Sesudah selesai, utusan segera diperintahkan kembali. 48. Tak lama antaranya utusan sudah sampai ke perkemahannya. Surat segera diserahkan kepada Arya Minangsraya. Jawaban itu segera dibuka, demikian bunyinya: 49. "Suratku yang bertakhta di Medangsewu, Prabu Dewasraya, yang perwira di medan laga, merajai rakyat yang besar yang gagah perkasa. 50. Ketahuilah wahai sang Perdana Menteri, aku sudah mengerti akan surat Anda yang berisi pertanyaan akan kesungguhan niatku. Sesungguhnya aku siap melayani. 51. Anda beserta pasukan Anda bersiaplah untuk berperang. Aku sudah siap-sedia. Setiap saat aku tetap berani." Sesudah kalimat itu selesailah bunyi surat tersebut. 52. Segera patih memberi perintah kepada seluruh pasukan-nya supaya maju ke medan perang, diiringi bunyi-bunyian perang, yang berbunyi bersama-sama antara musuh dan teman. 53. Hiruk-pikuk suaranya, gemuruh, dan mengguntur di kedua pihak. Bunyi-bunyian keras bertalu-talu menimbulkan suasana mencekam. Mereka serempak maju menyerang, tak ada yang berniat mundur. sjc s|c s|c sfc *
216 PNRI
XXX
1. Beradunya kedua pasukan besar itu bagaikan singa mengamuk karena tak ada yang takut mati, tidak takut akan musuh, berani tanpa ragu-ragu bagaikan banteng terluka, bergelut campur aduk saling mendesak. 2. Ramai sekali desak-mendesak berganti tempat. Segenap prajurit Medangkawit terus maju menakut-nakuti lawan, menggertak bagaikan harimau. Perangnya berusaha menguasai medan tanpa mempedulikan rapatnya barisan terpecah karena hanya berkeinginan menyerbu, dan menyerbu. 3. Prajurit Medangsewu bersemangat tak mengindahkan lawan, karena hanya bertekad berani. Tidak mengindahkan rintangan. Mereka maju terus dengan senjata kudi, tarantang, palang panjang melintang, ketepel besar, lori, golok, geranggang hiruk-pikuk menyerang ke kiri dan ke kanan. 4. Jika terdesak lalu menyerang dengan lemparan-lemparan batu, bertubi-tubi bagaikan gerimis senjata paser tak ada putus-putusnya. Ranjau tali terdapat di mana-mana. Hal itu menyebabkan seluruh pasukan Medangkawit menjadi kacau, dan selalu kebingungan. 5. Mereka selalu terdesak, dan mengalami kesukaran. Akan tetapi mereka tidak berniat meninggalkan medan pertempuran. Sudah banyak yang mati, namun bantuan selalu bertambah-tambah. Yang mati tak terhitung lagi banyaknya, baik musuh maupun teman sendiri. Dalam medan pertempuran sudah banjir darah. 6. Lama-kelamaan pasukan Medangsewu terdesak karena lawan terlalu banyak. Mereka berkumpul mengatur siasat. Kemudian memasang ranjau-ranjau tajam yang terbuat dari bambu dan 217 PNRI
lidi enau tak terhitung banyaknya. Pasukan Medangkawit sama sekali tidak menduga. 7. Yang mereka ketahui hanyalah, bahwa musuh terdesak, dan sudah tidak menyerang. Mereka lalu menyerbu terus mengejar lawan. Mereka terkena ranjau tajam, lukanya seperti terkena banyak tusukan. Mereka berjatuhan mengaduh-aduh kesakitan. Pasukan Medangsewu sibuk menembakinya. 8. Kemudian mereka menyerang lagi dari samping, mengamuk serempak dengan gagah berani. Pasukan Purwacarita (Medangkawit) lari tunggang-langgang. Yang terkejar langsung dibunuh dengan kudi dan tarantang. Korban berjatuhan tidak terhitung banyaknya. 9. Sisa dari yang terbunuh berantakan, lalu mengungsi ke arah senapati. Melihat pasukannya rusak, Patih Minangsraya memberi perintah kepada pasukannya supaya mundur ke pesanggrahan, lalu berunding dengan para bupati. 10. Senapati Arya Kumbala memberi penjelasan kepada patih dengan suara lirih, demikian, "Semoga Anda ketahui rahasia musuh kita. Ketika saya membawa surat pendesak perang saya lalu dibawa 11. ke hadapan raja pemberontak. Ternyata yang menjadi raja di Medangsewu itu ialah Raden Jaka Pramana, putra Pagelen. Kedua patihnya adalah putra Jepara. 12. Saya tidak pangling karena benar-benar sudah jelas merupakan persekutuan dua hati, Pagelen dan Jepara yang hendak memberontak. Yang dijadikan aling-aling atau wayangnya putranya sendiri. 13. Jika tidak mendapat bantuan dari kedua kerajaan itu, rasanya pemberontakan itu tak akan berhasil, tak mungkin begitu banyak pengikutnya, dan tak mungkin berani. Sungguh serba salah jika peperangan ini diteruskan. 14. Karena mendapat bantuan pasukan dari dua kerajaan, pasti kita tak mampu melawannya. Sekarang pasukan kita sudah rusak. Kita bisa mempersiapkan diri lagi setelah mendapat keterangan, dan disampaikan kepada sri baginda. 218 PNRI
15. Karena mereka itu masuk keluarga sendiri, bagi kita meskipun harus mengorbankan nyawa lebih baik menunggu dulu bagaimana jelasnya perkenan sri baginda. Namun itu masalah nanti. Yang penting untuk menghindari jangan sampai kita dipersalahkan, sebagai duta kita harus teliti." 16. Demikian keterangan sang Arya Kumbala. Patih Minangsraya ketika mendengar berita yang lengkap itu luar biasa herannya. Lalu ujarnya lembut, " A d i n d a , jika demikian halnya 17. sudah terlambat. Mengapa dulu tidak bilang?" jawab Arya Kumbala, "Menurut perkiraan saya tidak akan menimbulkan kesulitan melawan pasukan Surasanti itu. Saya kira mudah, tak tahunya berat juga dilawan. 18. Soalnya perangnya rusuh dan tidak teratur, tidak biasa berperang dengan cara begitu. Sekali ini berperang dengan perusuh, siasat jadi berantakan, dan akhirnya kita benar-benar berantakan diamuk ranjau tajam. Kita lari lintang-pukang terus dikejar." 19. Arya Pajangsora menyela, ujarnya, "Kalau kita mundur, malu. Berarti meninggalkan medan. Jika para punggawa karena pasukannya berantakan lalu turut lari lintang-pukang, 20. alangkah semakin gembiranya hati musuh. Coba bayangkan, berperang dengan mantri desa saja sudah meninggalkan medan. Jika sekiranya setuju sebaiknya membuat surat. Sedangkan pasukan tetap berada dalam barisan." 21. Patih Minangsraya setuju, lalu membuat surat. Tak lama sudah selesai, lalu menunjuk utusan, yang segera berangkat. Tiba-tiba hari pun malam. Tersebutlah mereka mendapat kemenangan dalam peperangan, 22. pasukan Medangsewu dijamu makan, pesta besar bersukaria mengambil hati bala tentara. Dan bala tentara Surasanti pun puas menerima kebaikan rajanya. 23. Adapun prajurit yang tewas dalam peperangan ahli warisnya semua dihimpun untuk menggantikan kedudukannya menurut tingkatnya masing-masing dari yang tewas. Yang lukaluka segera diobati, dan sudah sembuh kembali. 219 PNRI
24. Pagi hari berikutnya, utusan sang patih, setibanya di ibukota kebetulan tepat pada hari persidangan. Sri baginda tengah bermusyawarah dengan para punggawa, dan dihadap segenap bala tentara, datanglah duta menghadap. 25. Utusan segera dipanggil. Setibanya di hadapan sri baginda, surat dipersembahkan dan segera dibuka, dibaca dalam hati. Sri baginda sangat heran. Pada waktu itu surat tersebut 26. diserahkan kepada kakanda baginda, Resi Sri Madewa, serta mohon pertimbangan bagaimana mengenai persoalan kemenakannya, putra Pagelen yang memberontak. Sekarang telah bertakhta sebagai raja di Medangsewu, dan telah membuat pertahanan, 27. serta menghimpun segenap rakyat desa. Sekarang ini yang diajak ialah saudara ipar, para putra Jepara. "Kami mohon pendapat P a d u k a , " demikian pinta sri baginda. Resi Madewa menanggapi surat tersebut. 28. Setelah isi surat itu dicerna, sang resi lalu menjawab dengan suara lembut, " D u h a i Sri Baginda, semoga Paduka ketahui, saya telah mendengar berita yang jelas, bahwa sebabnya Jaka Pramana menyatakan dirinya sebagai raja 29. di Medangsewu itu ialah karena merasa tersinggung, dan bersyak-wasangka terhadap ayahandanya. Sebabnya ialah karena Jaka Pramana, yang sudah diangkat menjadi Pangeran Adipati, dan dicalonkan bertakhta di negeri Pagelen, 30. akan tetapi ia masih mempunyai saudara tua yang cacat, cebol dan wujil, anak dari para selir. Akan tetapi kemudian terjadi keajaiban atas kehendak dewata, menciptakan suatu peristiwa karena cintanya kepada hamba-Nya.
220 PNRI
XXXI
1. Para putra yang cebol dan wujil itu menikah dengan putri Prambanan. Yang menjadi pemadu lakon semuanya tergolong bangsa siluman. Yang seorang Dewi Mulat, ratu segenap makhluk halus. Seorang lagi Dewi Sriwulan. 2. Yang kedua itu tergolong bangsa peri, besan raja Pagelen. Para putra yang cacat itu diminta oleh Dewi Sriwulan. Yang mendukung Rara Karagan dan Rara Jonggrangan ialah Dewi Mulat. 3. Dulu diadakan sayembara membuat perkebunan, candi, dan kolam. Semua terlaksana. Kolamnya lalu dipakai untuk mandi, sehingga berubahlah rupanya menjadi tampan. 4. Kedua orang putri, yakni Dewi Jonggrangan dan Dewi Karagan lestari menjadi jodoh mereka. Yang tua berjodoh dengan yang tua, yang muda berjodoh dengan yang muda. Mereka lalu kembali ke negerinya bersama-sama istri-istri mereka. 5. Raja Pagelen sangat gembira karena putra yang cacat ketika pulang telah menjadi tampan, dan sudah beristri. Mereka sangat dimanjakan. Beberapa hari kemudian kedua-duanya dinobatkan menjadi Pangeran Adipati. 6. Demikian pula ibundanya, Dewi Pratiwi, diangkat jadi permaisuri sebagai pasangan permaisuri Dewi Srini, yakni ibu Raden Jaka Pramana. Itulah sebabnya menjadi syak-wasangka. 7. Ia merasa bahwa kelak tak akan menggantikan ayahandanya, padahal beritanya sudah tersebar. Akhirnya ia memberontak, dan menobatkan dirinya menjadi raja di Medangsewu, terbawa oleh hatinya yang gelap sehingga berbuat nekad, dan tak mau kembali ke negeri Pagelen. 8. Ia malu terhadap rakyat. Adanya di daerah Jepara ialah terbawa mentuanya, karena menjadi menantu raja Jepara, Prabu 221
PNRI
Sri Sadana. Itulah sebabnya semua teman atau pembantunya para putra Jepara. 9. Jadi semua termasuk iparnya." Demikian Resi Sri Madewa telah memaparkan cerita, Prabu Sri Mahapunggung sangat heran ketika mendengar cerita itu. 10. Kemudian dengan kata-kata lembut sri baginda bertanya, "Siapakah yang membawa berita itu? Sungguh sangat ajaib. Ketika saya mengirim utusan, mengapa Paduka tidak berkata apa p u n ? " Resi Sri Madewa menjawab. 11. "Karena belum lama. Baru-baru ini saya berkunjung ke negeri Jepara, dan mendapat cerita seperti itu. Karena ketika diadakan upacara temu mereka turut menungguinya." 12. Sri baginda bersabda lagi, "Kakanda, jika demikian halnya, tentang pemberontakan Ananda Jaka Pramana itu supaya tidak terlanjur-lanjur seyogyanya dibantu, karena kita semua turut berkewajiban. 13. Sekarang Anda saya utus. Pergilah ke Cengkarsari. Panggillah ia segera, nanti sayalah yang akan mengatur tentang kewibawaannya agar huru-hara ini segera padam. Mengapa harus berselisih, padahal masih sesama keluarga. 14. Berangkatlah hari ini juga. Sedangkan pasukan yang berbaris, perintahkan saja supaya mereka b u b a r . " Utusan kembali ke pasukannya dengan membawa surat jawaban berisi perintah untuk membubarkan barisan. 15. Mendengar perintah sri baginda, Sri Madewa menyatakan persetujuan dan kesanggupannya. Sesudah itu persidangan dibubarkan. Sri baginda kembali ke dalam istana, dan hari pun malamlah. 16. Pagi hari berikutnya Resi Sri Madewa berangkat bersama utusan yang kembali ke barisan seraya membawa surat. Mereka berjalan cepat-cepat. Perjalanannya tidak diceritakan, dan sampailah sudah pada waktu itu 17. di tempat pasukan berbaris. Resi Sri Madewa dan utusan yang seperjalanan dengannya segera menemui ki patih, yang bersama-sama para punggawa telah diberi tahu tentang apa yang harus dilakukan. 222 PNRI
18. Akhirnya Resi Sri Madewa berkata, "Sekarang atas perintah sri baginda, demi keselamatan semua pihak persoalan ini dihentikan saja. Saya diutus membujuknya. Selain dari itu, sri baginda juga menyampaikan jawaban berisi perintah untuk membubarkan barisan. "Ketika mendengar patih merasa heran. 19. Demikian para bupati semua tak menduga akan demikian kesudahannya. Mereka lalu memberi aba-aba membubarkan barisan. Resi Sri Madewa lalu berjalan menuju ke barisan Medangsewu. 20. Segenap bupati terkejut melihat yang datang bertangan kosong, seorang diri tanpa teman. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya seperti seorang raja pendeta. Patih waspada melihat, bahwa yang datang adalah pamandanya, 21. yakni darah Maharesi Medangkawit, sang Resi Sri Madewa, dan melihat pula musuhnya yang berbaris sudah bubar seluruhnya. Patih segera menghadap Prabu Dewasraya. 22. Ia melapor bahwa pamannya, sang Resi Sri Madewa datang. Kemudian lanjutnya, "Mungkin diutus sri baginda. Dan pasukan yang berbaris pun semua d i b u b a r k a n . " Ketika Sri Baginda Dewasraya mendengar hal itu seketika hatinya menjadi tenteram. 23. Lalu memerintahkan supaya menyongsong, akan tetapi tiba-tiba pamandanya sudah tiba. Semua punggawa memberi jalan. Prabu Dewasraya pun gopoh-gopoh turun dari tempat duduknya lalu menghampiri sang Maharesi. 24. Setelah diterima lalu duduk. Dan sesudah berdiam sejenak, Prabu Dewasraya menyampaikan ucapan selamat datang kepada pamandanya. Sang Resi Sri Madewa menjawab dengan suara lembut, " Y a , aku selamat. 25. Anakku, kedatanganku ini diutus oleh sri baginda untuk memanggilmu. Ayahandamu sudah menyadari kesalahannya hingga terjadi peperangan. Sama sekali tidak menduga 26. bahwa engkaulah yang bertakhta di hutan Medangsewu, dan mengira benar-benar musuhlah yang berkumpul di sini. Sesudah mendengar penjelasan, beliau sangat menyesal. Kemudian aku diutus untuk menemuimu. 223 PNRI
27. Ayahandamu, sri baginda Medangkawit sungguh sudah tidak khilaf akan segala kejadian yang dialami oleh orang tuamu serta saudara-saudaramu yang mengakibatkan engkau marah. Semua sudah aku paparkan. 28. Tentang persoalanmu" itu, janganlah engkau khawatir kalau-kalau tidak jadi bertakhta di negeri Pagelen. Yang menanggung ialah pamanmu, Sri Baginda Mahapunggung, agar engkau lestari naik takhta. 29. Marilah sekarang engkau kuantar menghadap ke Medangkawit beserta seluruh pasukanmu. Dasar beliau itu sesembahanmu yang pantas engkau taati. Jika tidak ditaati akan menimbulkan perpecahan. 30. Anakku! hal semacam ini dapat dikatakan, riak menjadi gelombang. Memperturutkan hati yang tidak baik, tidak baik pula beritanya didengar orang. Bermusuhan sesama bangsa itu sungguh keterlaluan. Mengapa sesama keluarga tidak rukun, dan berselisih. 31. Tidak ada hasilnya, tetapi malahan rusak tak bermanfaat. Kalau memang tak ada yang dapat diperoleh, karena masih satu asal. Maka dari itu lebih baik saling memelihara yang akan menghasilkan kekuatan. Orang yang kuat tenaganya, akan berwatak kukuh, kokoh tak dapat dirobohkan. 32. Musuh pasti akan takut dan ngeri melihat kemasyhuran, kekuatan, dan persatuannya. Kerajaan yang istimewa, makmur sejahtera ada contohnya menurut cerita masa lampau di zaman Pancakurala. 33. Saudara sedarah terpecah-pecah. Yang dimaksud ialah Pandawa dan Astina (Korawa), yang pada akhirnya negerinya rusak, rakyatnya berantakan. Meskipun Pandawa berhasil memperoleh kemenangan, dan merebut negeri Astina, akan tetapi kewibawaannya sudah berkurang. 34. Susutnya kewibawaan itu ialah karena kekurangan rakyat kecil. Akan tetapi pada masa itu yang menghancurkan kerukunan ialah satria golongan Korawa, sehingga merekalah yang kehilangan daya kekuatannya. Anakku, peristiwa yang dialami oleh leluhurmu itu hendaknya kau ingat. 224 PNRI
35. Andaikata engkau ini berniat memberontak, berarti engkau telah membuat benih mala petaka kepada seluruh rakyat. Ingatlah hendaknya akan takhta ayahandamu serta pamanpamanmu. 36. Tak salah lagi semuanya itu bermula dari Medangkawit. Oleh karena itu engkau harus menyadarinya," sampai di situlah nasihat sang Resi Sri Madewa. Prabu Dewasraya, setelah mendengar nasihat pamandanya, 37. seketika menundukkan kepala dalam-dalam, dan pada akhirnya menjawab dengan air mata bercucuran, " A d u h a i , Paman. Apa yang Paduka kemukakan semuanya benar. Akan tetapi sesungguhnya hamba tidak berniat memberontak 38. terhadap Kerajaan Medangkawit. Hamba menyadari siapa hamba ini sehingga tak berani melawan junjungan, raja di raja dunia. Mustahil hamba lakukan. Karena Paman Biku sudah tidak akan khilaf terhadap 39. kehidupan hamba, asal-mulanya kerewelan, lalu mendirikan negeri di sini adalah karena ayahanda, dan ragu-ragu terhadap saudara tua. Hamba menurut untuk menghadap ke Medangkawit. 40. Akan tetapi yang menghadap hanya hamba sendiri beserta kedua ipar hamba. Kalau bersama pasukan, janganjangan membuat rakyat terkejut." Pamannya, Resi Sri Madewa menanggapinya dengan suara lembut, " A n a k k u , niatmu itu benar, dan tampak menghormati orang tua. 41. Dan dengan demikian sudah menunjukkan perasaan takut, yang ditandai dengan tiadanya pasukan. Hal itu sesuai dengan apa yang aku laporkan, bahwa pemberontakanmu itu tidak berniat menentang junjungan. Dengan demikian telah mengimbangi rasa kasih orang tua. 42. Sebab ketika ayahandamu, sri baginda mendengar ceritaku tentang kesalah-fahaman itu beliau segera memberi perintah untuk membubarkan barisan. Kerusakan pasukan yang sudah terjadi sama sekali tidak dihiraukan. 43. Yang tampak mendapat perhatian hanyalah masalah keluarga belaka. Nah, Anakku, jika sudah sependapat bersiaplah, SERAT CEMPORET - 15
225
PNRI
dan marilah kita berangkat. Dan sekarang bubarkanlah barisan prajurit i t u . " Prabu Dewasraya segera memberi perintah kepada Patih Anggliskara. 44. Barisan prajurit sudah dibubarkan. Segenap perwira di desa itu merasa heran serta bingung menimbang peristiwa itu. Terpikir kemenangannya dalam peperangan, akan tetapi tidak mendapatkan barang rampasan, bahkan sekarang rajanya menyerah. 45. Mereka lalu bubar. Sesudah selesai persiapannya, Prabu Dewasraya beserta kedua patihnya, dan Resi Sri Madewa segera berangkat. Negeri Medangsewu seketika jadi suram. 46. Sudah tidak ada lagi yang terpandang. Bagaikan cincin kehilangan permatanya. Suara orang berbicara dengan temantemannya terdengar menggema. Ujar seorang di antara mereka, " A k u tidak menduga bahwa gusti tidak kukuh mempertahankan niatnya. Padahal dalam peperangan yang lalu 47. prajuritnya belum kalah melawan pasukan kerajaan. Bahkan sebenarnya sudah memperlihatkan keunggulan. Akan tetapi ketika orang yang menyerupai brahmana itu datang, lalu diajak berbincang-bincang, langsung saja menyerah. Semangatnya mencair, dan lenyap. 48. Barangkali terkena syarat karena brahmana itu banyak memiliki mantra, guna-gunanya m a n j u r . " Kemudian ada temannya menyambung, " A k h , sudah pantas kalau terus saja menurut, karena yang datang tadi paman dari pihak ayahandanya. 49. Dan aku pun mendengar berita bahwa junjungan kita itu awal-mulanya menobatkan diri sebagai raja
52. karena sudah membawa korban beberapa orang prajurit kerajaan, dan sebagian lagi menderita l u k a . " Teman yang lain menyambung lagi, ujarnya, "Kalau begitu beruntunglah kita karena tidak terbawa-bawa dalam kesalahan ini. 53. Sebaliknya jika kita segera menyingkir, maka seluruh rakyat'desa ini akan kena hukuman mati. Arang habis besi binasa. Kewibawaan wahyu tak didapat, dan hanya akan teraniaya." 54. Ada temannya yang menjawab demikian, " J a n g a n berpikir begitu. Sebenarnya sri baginda yang bertakhta di Medangkawit itu tidak tahu bahwa yang bertakhta di sini adalah kemenakannya, yakni putra kakandanya. 55. Dikira benar-benar musuh yang hendak memperluas daerah jajahan, dan mendirikan kerajaan di sini. Oleh karena itu segera digempur. Setelah mendapat keterangan menyesallah hatinya, karena ternyata masih darah-daging sendiri. 56. Sekarang ini dipanggil, mungkin akan mendapat anugerah sebagai hiburan agar hatinya menjadi tenteram. Jika diumpamakan seperti seorang anak yang rewel, menangis berlara-lara, hanya akan bisa diam kalau ia ditolong oleh ayah yang berwenang. 57. Mengapa junjungan kita itu reda amarahnya, karena yang diutus sangat pandai membujuk, dan memberi keterangan bahwa ia bersedia mempertanggungjawabkan kesalahannya jika nanti mendapat amarah baginda."
227 PNRI
XXXII
1. Akhirnya penduduk desa hanya dapat berdoa, dan berharap semoga selamat perjalanan gustinya yang dipanggil oleh ayahanda baginda. Semoga pula mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan besar. Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing, dan ada pula yang tetap menjaga istana. 2. Tersebutlah yang hendak pergi menghadap sri baginda ketika sampai di Medangkawit kebetulan hari Kamis. Sri baginda di balairung dihadap para punggawa. Resi Sri Madewa datang membawa ketiga rajaputra, langsung menuju ke hadapan sri baginda. 3. Resi Sri Madewa lalu berdatang sembah, " T u a n k u Sri Baginda, inilah mereka yang telah membuat huru-hara." Sri baginda menanggapi, "Sekarang Anda tanyakanlah kepada mereka, bagaimana niatnya." Setelah ditanya jawabnya ialah, "Menyerahkan mati hidup. 4. Karena sudah bersalah, segala-galanya terserah Sri Baginda, dan bersedia menerima segala h u k u m a n . " Sri baginda bertanya lagi, " J i k a mereka bersungguh-sungguh, apa gerangan tanda penyerahannya kepada saya?" Para rajaputra itu mengerti akan sasmita, lalu ketiganya meletakkan keris mereka seraya mencium kaki sri baginda. 5. Sri baginda sangat kasihan melihat ketiga kemenakannya, yang sudah memperlihatkan kesetiaannya yang sungguhsungguh. Bahunya dipeluk. Kemudian Prabu Sri Mahapunggung memberi perintah kepada Patih Minangsraya, demikian, " H a i , Minangsraya, kumpulkanlah segera para ahli waris para mantri, dan para perwira 6. yang tewas di medan perang." Patih segera melaksanakan tugasnya. Setelah semua menghadap, sri baginda berkata 228 PNRI
kepada kakandanya, sang resi, bahwa sekarang putranya, Prabu Dewasraya, namanya sebagai raja dicabut karena akan diangkat menjadi patih pemegang kuasa utama 7. di negeri Medangkawit. Sudah diberi nama, ialah Arya Mandanasraya." Adapun kedua iparnya, yang berasal dari negeri Jepara saya angkat menjadi punggawa. Namanya tetap seperti semula, ialah Arya Anggliskara dan Arya Anggliskarta. 8. Keduanya sebagai pendamping saudaranya yang menjadi patih, yakni si Arya Mandanasraya. Sedangkan Patih Minangsraya menjadi kawan berunding dalam memperbincangkan masalah-masalah kenegaraan. Keduanya menjadi dwitunggal. Menyatu dalam mengolah segala masalah, dalam arti tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. 9. Dan segenap mantri, perwira yang tewas di medan perang, anak atau ahli warisnya semua menggantikan kedudukan mereka. Juga jangan berubah segala hak dan penghasilannya, sesuai dengan kedudukan ayahnya," demikian keputusan sri baginda. Resi Sri Madewa menyatakan kesanggupannya. 10. Segera semua perintah sri baginda diundangkan. Yang menerima anugerah semua menyatakan, "Siap menerima tugas." Besar maupun kecil akan mentaatinya. Semua telah terlaksana dengan selamat. Adapun daerah Medangsewu dianugerahkan kepada putra Resi Sri Madewa, 11. yang bernama Raden Dewanggana, yang sekaligus diangkat menjadi bupati tamping (daerah perbatasan) dengan nama Arya Medanggana. Ia diperkenankan segera berangkat. Semua yang menghadap sudah bubar. Sri baginda kembali ke istana. Beberapa hari kemudian Arya Medanggana sudah berangkat untuk menunaikan tugas di Medangsewu. 12. Sekarang tersebutlah negeri Pagelen yang sedang ditimpa duka. Sebabnya ialah karena para istri raja sedang menuntut hak putra-putranya untuk kelak menggantikan takhta kerajaan. Dewi Srini pada waktu itu mohon agar kelak yang naik takhta tetap Jaka Pramana. 13. Ketika hal itu didengar oleh Dewi Pratiwi, hatinya sangat tidak rela. Mengapa putra yang muda yang dicalonkan 229 PNRI
menggantikan takhta. Seharusnya yang berhak ialah yang tua. Mengapa dulu tidak menuntut, ialah karena rupanya yang jelek. Sekarang hak atas takhta itu harus tetap diberikan kepada yang tua. 14. Mengapa harus dibedakan? Apa gerangan kesalahannya sedangkan ia pun rajaputra, yang lahir dari permaisuri. Kini rajaputra, Raden Jaka Pramana pikirannya sudah berubah, dan sudah berniat tidak akan kembali negeri Pagelen 15. bahkan kemudian mendirikan kerajaan di desa Cengkarsari, yang kemudian dinamakan Medangsewu, sebagai raja bergelar Prabu Dewasraya, menghimpun rakyat desa, sehingga ketahuan dari kerajaan Medangkawit, lalu diserang, dan menyebabkan banyak korban, 16. menyebabkan ibundanya berkali-kali jatuh pingsan. Sri baginda sangat sedih. Nyawanya seolah-olah hendak putus mendadak. Gemuruh di dalam istana mengurus sri baginda dan permaisurinya. Untunglah ada kemurahan dewata, datanglah peri besannya membawa berita memberi petunjuk bahwa putranya, Raden Jaka Pramana 17. sekarang masih dalam keadaan selamat di kerajaan Medangkawit. Bahkan mendapat anugerah dari sri baginda, yaitu diangkat menjadi patih bersama kedua iparnya. Kedua putra Sri Sadana diangkat menjadi punggawa. Seketika mendengar berita itu, sri baginda sadar kembali. 18. Sri baginda lalu menghibur permaisuri, memberitahukan wangsit yang diterima. Seketika itu hatinya terhibur. Sri baginda mendapat ilham untuk mengatasi tuntutan para istrinya. Dengan kata-kata yang lembut baginda bersabda, " W a h a i para istriku! Sekarang jangan membuat persoalan. Semua akan aku serahkan kepada yang berkewajiban. 19. Ialah yang mengangkat aku di atas takhta negeri Pagelen ini. Tak lain ialah dari Medangkawit. Sekarang kedua anakmu akan saya antar ke sana. Sedangkan adiknya sudah lebih dulu berada di s a n a . " Kedua istri baginda telah setuju. Sesudah pembicaraan selesai dan semua pihak sepakat segera mereka berangkat. 230 PNRI
20. Sri baginda beserta istri dan kedua putranya beserta beberapa orang pasukan pengiring. Perjalanannya tidak diceritakan sampai di Medangkawit. Adinda sri baginda sudah mendengar bahwa kakandanya menjenguk, lalu segera memerintahkan Patih Minangsraya 21. menjemput dengan beberapa orang prajurit. Segera mereka berangkat, dan setelah bertemu langsung dipersilakan masuk ke istana. Raja Pagelen serta istrinya masuk ke istana, dijemput oleh sri baginda di pintu Sri Menganti beserta keempat permaisurinya. 22. Kemudian mereka duduk. Sri Baginda Medangkawit memanggil para putra, dan Patih Mandanasraya. Semua sudah duduk berderet di hadapan sri baginda. Beberapa saat kemudian sri baginda mengucapkan selamat datang, disambut dengan perasaan gembira. 23. Sri Baginda Medangkawit dengan suara lembut dan akrab berkata, " A d u h a i Kakanda, telah lama kiranya tidak meninjau kerajaan Medangkawit. Sekarang datang bersama istri Kakanda, sehingga saya merasa sangat berbahagia bagaikan ketamuan dewata 24. menganugerahkan wahyu. Kakanda sebagai lantaran sehingga kesejahteraan kerajaan akan timbul m e r a t a . " Raja Pagelen menjawab lembut, " A d u h a i Adinda Prabu, sama-samalah. Kakanda sendiri sudah berusaha sedapat-dapat, karena sangat rindunya dalam menunggu baik siang maupun malam. Akan tetapi belum juga sempat karena kesibukan menjaga ketenteraman rakyat. 25. Akan tetapi kali ini ada keharusan menghadap karena kakanda sedang prihatin, disebabkan adanya pertentangan para istri," demikian jawab raja Pagelen yang selanjutnya menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut tadi. Semua telah dipaparkan. Adiknya sangat heran, lalu jawabnya seraya tersenyum, "Semiang pun tidak menduga kalau kedatangan Kakanda membawa masalah." 26. Raja Pagelen menyela, " M o h o n beribu-ribu maaf Adinda, atas segala kesalahan saya, yang telah berani mengganggu. 231 PNRI
Tak lain karena sangat bingungnya. Dan rasanya hanya Adindalah yang dapat membebaskan keprihatinan itu sesuai dengan perikeadilan dan perikemanusiaan." 27. Raja Medangkawit merasa kasihan melihat kakandanya. Kemudian ujarnya lembut, "Baiklah Kakanda. Karena sudah tertimpa oleh peristiwa ini, sedapat mungkin berusaha mengkikis keprihatinan. Saya harap tinggallah di sini untuk sementara." 28. Ketika mendengar tanggapan adiknya, seketika hati kakaknya menjadi tenang. Ke luarlah kemudian hidangan, lalu santap bersama. Berkat ketenangan perasaan sri baginda, adik serta kakak, demikian pula permaisuri kakandanya hatinya turut menjadi tenang, dan berpengaruh juga kepada para rajaputra. 29. Beberapa hari kemudian sri baginda mengadakan persidangan, dihadap segenap punggawa. Yang terdekat di hadapannya ialah kakandanya, raja Pagelen Sri Manuhun serta Resi Sri Madewa, dan para rajaputra semua. Sri baginda raja diraja 30. bersabda lembut kepada kakandanya, sang resi, demikian, " K a k a n d a , harap Kakanda undangkan, bahwa sekarang atas perkenan saya, kedua putra Pagelen yang tua itu, semua saya angkat menjadi raja menguasai sebuah negeri. Yang pertama Ananda Jaka Pratama, 31. sekarang saya angkat menjadi raja di daerah Medanggesing bergelar Prabu Pratala. Kerajaannya saya namakan Mukabumi. Adiknya, ialah Ananda Jaka Sangara bertakhta di wilayah Herbangi bergelar Prabu Tirtanata. 32. Sedangkan Arya Mandanasraya tetap sebagai Pangeran Adipati di negeri Pagelen, sekaligus menjabat kedudukan patih, dan kelak akan menggantikan takhta ayahandanya." Demikian titah sri baginda. Kemudian Resi Sri Madewa segera mengundangkan perintah sri baginda itu. 33. Para rajaputra yang mendapat anugerah sangat gembira dan beisyukur. Lalu mereka menyembah, diberi doa restu dan mendapat izin untuk segera berangkat. Sang Prabu Sri Manuhun sudah terbebas dari keprihatinannya karena para putranya sudah terhindar dari kemungkinan perebutan kewibawaan. 232 PNRI
34. Persidangan sudah bubar. Sri baginda kembali ke istana, kemudian memberi tahu para istri. Semuanya sangat gembira. Beberapa hari kemudian Prabu Sri Manuhun pulang ke negerinya beserta para istri dan permaisuri, berangkatnya bersama-sama dengan keberangkatan para rajaputra.
233 PNRI
PNRI
Serat
CEMPORET
PNRI
PNRI
I.
DHANDHANGGULA
1. Songsong gora candraning hartati, lwir winidyan saroseng parasdya, ringa-ringa pangriptane, tan darbe labdeng kawruh, angruruhi wenganing budi, kang mirong ruhareng tyas, jaga angkara nung, minta luwaring duhkita, aywa kongsi kewran lukiteng kinteki, kang kata ginupita. 2. Pangapusing pustaka sayekti, saking karsa Dalem Sri Narendra, kang kaping sanga mandhireng, Surakarta praja gung, sumbageng rat dibyadi murti, martotama susanta, santosa mbek sadu, sadargeng galih legawa, sih ing wadya gung alit samya memuji, raharjeng praja nata. 3. Nahan mangkya mukyaning kekawiri, wasitadi dadya sudarsana, salaksananing barang reh, rmuruh kang rahayu, mangka pemut limuting budi, dumadi tan sangsaya, wahyeng wuryanipun, kang pustaka raja wedha, winardya ring tepa palupining nguni, Prajeng Purwacarita. 4. Dahat karta arjaning nagari, kawibawan prabaweng narendra, kang kasebut bisikane, Prabu Sri Mahapunggung, denirambek sudarma niti, widagdeng pangawikan, kamulaning dangu, Sang Prabu Suwelacala, putra jalu nenem samya pekik-pekik, sembada mandraguna. 5. Kang asepuh pribadi wewangi, Raden Jaka Panuhun punika, remen olahing tetanen, marma jumeneng ratu, angreh sagung wong among t,-mi, Tanah Paglen sadaya, lan saurutipun, akarya kutha wangunan, nama Prabu Sri Manuhun amengkoni, ing Paglen Kuthaarja. 6. Putra ingkang panenggak winarni, sira Raden Jaka Sandhanggarba, lampah dagang karemane, dahat dennya manungku, sangkaning reh mardya marsudi, dadining artadaya, marmanireng 237 PNRI
dangu, jumeneng ratu sudagar, akekutha ing Japara nama ngalih, Sang Prabu Sri Sadhana. 7. Panengahing putra awewangi, sira Raden Jaka Karungkala, sabeng wana karemane, ambedhag ambubujung, kidang sangsam bantheng jejawi, myang memikat kukila, prapteng wredanipun, jumeneng ratu kirata, angreh para grema tuhaburu tuwin, kalang jagal sadaya. 8. Parambanan kuthanireng nguni, apanengran Sang Prabu Sri Kala, Kirataraja parabe, anulya arinipun, Jaka Tunggulmetung wewangi, sesabeng jro narmada, karemenanipun, anggung mamandaya mina, myang ndederes aren ing raina wengi, sinambi karya uyah. 9. Marmanira nguni angratoni, sagunging wong tukang ngambil mina, angiras angreh wong nderes, wong poyahan winengku, Pagebangan kuthaning nguni, ran Prabu Sri Malaras, sumendhining sunu, Dyan Jaka Petungtantara, amandhita karem ing pudya semadi, marsudi puruhita. 10. Marma dadya ratuning maharsi, sagung para pandhita myang ajar, kang samya winengku kabeh, ngiras mong kang pangulu, brahmana gung ing Mendhangkawit, amranata agama, mangkya namanipun, Prabu Resi Sri Madewa, aneng Lawu Pamagetan apepidik, arja winangun praja. 11. Dene putra kang anem pribadi, mijil saking garwa prameswara, Jaka Kandhuyu namane, karem reraton iku, amiluta maring wadya lit, ing -saben aseseban, kasub sabayantu, lawan sagung kadang warga, prawignya met marta nala memalad sih, marma ntuk kawibawan. 12. Duk lelana dikara ndon jurit, wus kelakon jayeng adilaga, Sri Daneswara muksane, sareng lan patihipun, dwita rota tanpa pepulih, punggaweng praja samya, abipraya nungkul, ing wasana samantara, Raden Jaka Kandhuyu madeg narpati, aneng Purwacarita. 13. Saking parmane Hyang Utipati, sinung putus ing kawicaksanaan, dadya angalih namane, Prabu Sri Mahapunggung, nunggak semi kang mukseng jurit, angiras sesangkriban, kasudib238 PNRI
yanipun, samana jumenengira, ingestrenan dening para brahmanarsi, myang ratu mancapraja. 14. Jroning mangsa Srawana marengi, taun Sadhamuka lumaksana, surya sangkala etange, rupa tri mukseng lebu, ketang candra sangkaleng warsi, janma nem tanpa rupa, antara setaun, dennya ngangkat para kadang, sinung praja sowang-sowang angratoni, ing reh sabawahira. 15. Wus mangkana ing antara lami, lulus datan ana karakara, mangkaya wuwusen ing Paglen, Sang Prabu Sri Manuhun, kataman tyas sengkel kekeling, darunaning sungkawa, denira ses'unu, kaping kalih samya cacad, cebol wujil kang sawiji den wastani, Raden Jaka Pratana. 16. Kang awujil sinungan wewangi, Raden Jaka Sengara punika, kang rama dahat wirange, anggung dennya manungku, pudyastuti ing ariratri, minta parmaning dewa, ing pangesthinipun, sinungana putra priya, kang apekik sarwa widagdeng pambudi, supadi tan sandea. 17. Mangkya wonten wasita kapyarsi, jroning pudya heh Sri Naranata, amintaa pitulunge, buyut kang adhedhukuh, aneng Sendhangkulon sayekti, sira antuk sarana, bisa asesunu, jalu pekik asembada, poma nuli lakonana aywa kongsi, anggawa wadyabala. 18. Mijil saking pahoman narpati, tanpa rowang lunga nis samana, anamur kula karsane, kuneng gantya winuwus, Kyai Buyut kang apalinggih, Sendhangkulon awasta, Buyut Samalangu, putrane Buyut Salinga, pan kawayah wiku dibya kang wewangi, Sang Resi Samahita. 19. Buyut Samalangu rabi peri, darbe suta jalu lan wanodya, kang sepuh estri wastane, Rara Srini puniku, arinira priya wewangi, risang Jaka Sarana, sembadeng wewangun, tan amambu weton desa, kalih pisan kadi turasing narpati, labeting kasutapan. 20. Kongsi dadya kekembanging warti, urut kanan kerining padesan, padhukuhan Sendhangkilen, ngamya yamyaning kayun, kapirenan kakendhut ing sih, nanging tan kasembadan, ajrih mring Ki Buyut, denirambek mamardawa, tur anjantur subrata ngreh pudyastuti, rumakseng kulawarga. 239 PNRI
21. Kawarnaa Ki Buyut ing mangkin, lagya ngesthi pamusthining driya, meheng aneng pah'omane, telenging tyas mring sunu, sinungana nugrahaning sih, parimarmaning dewa, kinathik ing ratu, kasuyunan panarima, peparengan wahyaning wahyu nibani, nuju ratri samana. 22. Katurunan somahira peri, apanengran Dyah Retna Sriwulan, datan sesangkan praptane, Ki Buyut nulya gupuh, asanega enggon kang sepi, sawusnya amemarta, paran gatinipun, sangdyah misik wewentehan, lakinira kinen rumanti ing panti, mangkyarsa katamiyan. 23. Dudu sesamanira trah alit, narendra dibya amengku praja, kuthanira ing Pagelen, jejuluk Sri Manuhun, prapteng kene mituhu wangsit, wit saking kasengkelan, denira sesunu, priya karo nandhang cacad, sinung tuduh kinen apanggih sireki, tembung minta sarana. 24. Yekti tembe apeputra pekik, tanggap gita gati linaksitan, anggana tilar wadyane, pan karsane dewa gung, wus kapasthi si Rara Srini, yeku dadya pancadan, ginarwa ing ratu, anrahken wijining wirya, anenarik kadang warga kulit daging, karoban ing bagyarja. 25. Kyai Buyut sukeng tyas miyarsi, awasana atangkis wacana, heh yayi paran margane, bisa kelakon iku, rapet nora amadal sumbi, sembadaning parasdya, wenganing panuju, apajar Retna Sriwulan, aywa kewran ingsun kang karya pakarti, nilib gelar wangunan. 26. Saranane minangka ling-aling, sira mijilna cara kawedhar, yekti ana pratandhane, cirining sastra iku, apepajar sajarwa jati, yen wus kapara nyata, kono tibanipun, panggrayanganing sasmita, cundhuk lawan wasita kang den arteni, kari pepuji puja. 27. Sawusira sang retna nulya mit, maring laki muksa sanalika, silum kalimputan ing reh, warnanen Kyai Buyut, duk andungkap ing gagat enjing, memisik maring suta, kinon amematut, satataning bale griya, kang liningan kalih sami nayogyani, mangkat atata-tata. 28. Kang patanen binarsihan sami, cinampuran ing sekar angambar, banjeng ginelaran lante, lantingan munggwing sangku, 240 PNRI
sangkep saji-saji menuhi, tan ana kang kuciwa, wau ta Ki Buyut, pinaliwaraning suta, pangruktining wisma wus sarwa miranti, sukeng tyas nulya mentar. 29. Methukaken rawuhing narpati, tan adangu cundhuk aneng dhadhah, samya karenan kalihe, Ki Buyut Samalangu, gurawalan angacarani, narendhra tan lenggana, sarawuhing dhukuh, dan samya umanjing wisma, sang aprabu pinarnah patanen rakit, resep tan taha-taha. 30. Kyai Buyut sumungkem ing ngarsi, lawan sutanira karo pisan, dupi sawatara sareh, manembrama Ki Buyut, dhuh sarawuh paduka gusti, pun dasih kemahyangan, raosing tyas ulun, yayah keturunan dewa, aparing sih kamulyan kang tanpa siring, martani saniskara. 31. Tekyan taru lata samya sepi, asarwa sri resmi tumaruna, kasuyuman prabawane, sotyaning praja luhung, kadya anupena pun patik, punapa kang kinarsan, dene anenamur, anggana tan kanthi wadya, umun-umun kasasar kasdu nendhaki, pasudhungan kawula. 32. Tarlen ulun nuhun pangaksami, acecadhang atadhah deduka, bok dhompo silakramane, rehning gadibal dhusun, tangeh wrin ing udanegari, narendra angandika, wus aja den wuwus, dhasare ingsun temaha, prapteng kene amarga nuhoni wangsit, sarehira winedhar. 33. Purwa wasananira apanggih, tembung ambebana amiluta, pitulungira yektine, sun sumarah satuduh, Kyai Buyut ngungun miyarsi, umatur angrerepa, dhuh gusti pukulan, pan inggih boten kadosa, kaelokan karsaning jawata lewih, amba saged punapa. 34. Tiyang dhusun tur atani bentil, kajawi mung ulah tetaneman, tanja wiji sawontene, jepen jali jewawut, wijen canthel jathil kedhali, mangka pangupaboga, ing salamenipun, sepen saking panggrayangan, ing kadibyan saestu boten nglabeti, muhung atur bongkokan. 35. Wonten ing pada paduka gusti, ananggakken rehing pejah gesang, saking rumaos kaweken, ketang ing tyas mawantu, SERAT CEMPORET - 16
241
PNRI
teka sungsang buwana balik, gusti mundhut sarana, mring kawulanipun, saestu tan kalampahan, pundi wonten seganten mili mring belik, punika lamun toya. 36. Mrojol saking kahananing bumi, inggih sewu langka kaelokan, estu dahat tan andimpe, makaten karsa prabu, kang kewilang ing nguni-uni, panjenenganing nata, lamun wadyanipun, wonten ingkang kekirangan, sandhang tedha miwah reruweding budi, ratu kang karya mulya. 37. Nateng Paglen angandika aris, heh ta paman nadyan mangkonoa, jer ingsun angestokake, wasitaning dewa gung, kang tan ulap dipun kilapi, mosik satmateng titah, ingsun parikudu, angudi ing dadinira, nora ketang antuk tutur datanpa wit, temahan anarima. 38. Angger sira ingkang anjalari, sung sarana yekti kapirenan, Ki Buyut alon ature, dhuh pukulan sang prabu, yen makaten ing karsa gusti, inggih tan saged selak, ing sasaged ulun, labet saking ngayubagya, ulun dedah dedalaning bangsa bincil, kawruh ing padhusunan. 39. Mbok manawi saged minangkani, andaradasih ingkang wasita, kantenan ing sawantahe, sang nata ngandika rum, heh ta paman lah aja wigih, anuli nyatakena, apa sakawruhmu, Ki Buyut angrakit nulya, rontal kuning kasapta dinunung munggwing, sajroning talekeman. 40. Wusnya katur mring ngarsa narpati, Kyai Buyut alon aturira, dhuh gusti suwawi mangke, inggih karsaa mundhut, sastra wedhar kang tanpa tulis, memiliha satunggal, pundi kang panuju Sri Narendra ngungun mulat, ing pratikel dene sakalangkung ghaib, tanduking mardiguna. 41. Tan antara dan anglaksanani, nata malap kang caraka wedhar, liningling katon tulise, winaos ungelipun, he ta kita nata den apti, amet Srini Sarana, mangka pager ayu, prabu kendel tan ngandika, dereng ndungkap sasmita cirining tulis, ruwet woding wardaya. 42. Awasana amemudhar ing ling, heh ta paman Buyut jarwanana, ukara paran karepe, ingsun durung anggayuh, Kyai Buyut mesem turnya ris, tarlen tadhah deduka, sumangga puku242 PNRI
lun, yogya malih angalapa, bok manawi sanes wawarahing tulis, narendra tan lenggana. 43. Dyan angunus punang rontal malih, ingangkatan kongsi kaping tiga, datan ana prabedane, jumbuh satembungipun, myang sastranya kadya kang uwis, tansah jibeg ing nala, prabu Sri Manuhun, nanging sinamun ing netya, samudana ngiras angupadi budi, wewengan sawatara. 44. Tan antara marta miraketi, mring Ki Buyut alon angandika, paman ingsun mata kapen, mring bocah karo iku, ingkang padha sumiweng ngarsi, parigel solah bawa, sambadeng wewangun, jalwestri punjul ing warna, papantese pepantaran kakang adhi, bayeki sutanira. 45. Kyai Buyut matur jarwa jati, dhuh pukulan inggih anak amba, wedalan ing Sendhangkilen, pisah lan biyungipun, manggung dadya gantilan ati, awit saking sapala, kadi datan sinung, sah ing bapa kalih pisan, marma rare sakarongron sariratri, mandhok ing padhepokan. 46. Sri narendra mesem ngandika ris, bener bae wong darbe atmaja, mangkono ing panganggepe, iya bebasanipun, lwir kencana wingka upami, dhasar karo prayoga, sutanira iku, pantese minangka nyawa, kaya kembar lah iku tuwa kang endi, lawan arane sapa. 47. Buyut matur kang sepuh pun Srini, ingkang anem wasta pun Sarana, narendra pangandikane, lamun mangkana patut, kang atuwa mengku j r o puri, kang anom mangku praja, Ki Buyut andheku, yata ing antara dina, mangkya prabu kondur Ki Buyut umiring, lawan sakulawarga. 48. Sapraptaning praja Sri Bupati, animbali pramodeng nayaka, kang minangka andeling reh, Arya Pratala iku, lawan Arya Banawa sami, kaipe ing narendra, kacariteng dangu, sira sang Arya Pratala, ari estri Ken Pratiwi iku dadi, pangrembe garwa nata. 49. Putra jalu cebol den wastani, Raden Jaka Pratana punika, Arya Banawa kandhane, estri kadange sepuh, apanegran Rara Jahnawi, panekaring garwendra, apeputra jalu, wujil ingkang winastanan, Raden Jaka Sangara nalikeng nguni, mangkana winursita. 243 PNRI
50. Pramodaning nayaka wus prapti, ing ngarsendra samya dhinawuhan, kang pawarta salwiring reh, pareng ngungun wotsantun, apuwara mangkya karsa ji, Rara Srini kaangkat, dadya garwa prabu, de pangrembe sakalihan, mangka kondhanging garwa amisesani, pakaryan jroning pura. 51. Lawan Kyai Buyut apalinggih, tuwanggana mangka purohita, winenangken memulang reh, mangruruh silarjayu, sang Sarana mangkya piniji, dadya patih wisesa, bangbang alum-alum, Arya kalih kondhangira, kinawasa amematah barang kardi, kadarmaning jro praja. 52. Arinira Ki Buyut inguni, kang panengran Umbul Samawana, wus alama pamuksane, mung tinggal suta jalu, wasta Jaka Gedhe ing mangkin, kinen gumantyeng uwa, aran Buyut Agung, ing Sendhangkulon semana, samya lulus winisudheng narapati, mumpuni ing kawiryan. 53. Ing antara lama Rara Srini, anggarbini tumekaning masa, mijil jalu atmajane, pekik sarwa lus lurus, yayah Sanghyang Asmara jati, sukeng tyas sri narendra, kang putra sinambut, kawangwang wangunanira, tuhu pantes respati sinung wewangi, Raden Jaka Pramana. 54. Antuk parmaning dewa putraji, enggal ageng wus sinungan emban, Ni Wilasita wastane, antara lama sampun, meh angangkat mepek birai, sangsaya kawistara, wewangunanipun, mumpuni tyas kasujanan, sarwa sadu widagda sandining wadi, pantes dadya srinata.
244 PNRI
II. SINOM
1. Nahan gantya kawuwusa, prajeng Japara inguni, kang madeg nata panengran, prabu Sri Sadhana mangkin sampun amawa sori, atmajane nakoda gung, saking Nusakancana, nama Dewi Rajatadi, kang adarbe suta wasta Datu Rukma. 2. Samana garwa narendra, puputra kalima estri, kang pambayun mijil priya, sambadeng warna respati, yayah Hyang Darmajati, pantes lawan naminipun, Raden Jaka Sudhana, karem ulah bratastuti, duk diwasa anama Arya Laksana. 3. Kang panenggak mijil priya, gung aluhur den wastani, Rahaden Jaka Barana, karem mardagang inguni, diwasanya wawangi, Arya Anggliskara iku, paparab Daneswara, panengah jalu wewangi, Raden Jaka Suwarna pekik sambada. 4. Yayah Arya Dananjaya, kemasan kang den karemi, dupi praptaning diwasa, nama Anggliskarpa nguni, kasebuting wewangi, Arya Artadaya iku, sumendhi mijil priya, ing warna pekik respati, ambaranyak yayah Raden Narayana. 5. Karem ulah balantikan, samana sinung wawangi, Rahaden Jaka Pararta, duk diwasa akakasih, Dyan Kartabasa nguni, Artadiya parabipun, wuragiling atmaja, punika mijil pawestri, ayu endah anama Dewi Suretna. 6. Praptaning diwasanira, tan bisa gemi nastiti, dahat boros atarabas, karana kang den karemi, dadana saben ari, sih welasan ambekipun, kang rama anggung duka, pinardi-pardi tan dadi, kongsi konus pangenesing kamanusan. 7. Duk samana pinaraban, Kusuma Rara Artati, pai^andene meksa ganas, tan kena den pitayani, labet saking berbudi, ambek santa santosa lus, dukaning yayah rena, t a n r i n a s a tekeng ati, nanging dahat amituhu silakrama. 245 PNRI
8. Data tita ing Japara, gantya winursiteng kawi, praja di ing Parambanan, kang madeg nata wewangi, Prabu Sri Kala nguni, wus amengku wanodyayu, met saking Samapura, Dewi Jempina kang nami, putranira Dipati Kalang Andaga. 9. Wus patutan lan narendra, sekawan kang sepuh estri, anama Dewi Karagan, Dewi Jonggrangan kang rayi, lwir kembar kang suwarni, ari malih mijil jalu, sambadeng wewangunan, yayah sang Arya Satyaki, pinaringan nama Dyan Jaka Sangkala. 10. Karem maring kaprawiran, diwasanira wawangi, sang Arya Prawasakala, ari malih kang wuragil, mijil priya respati, ambaranyak sarwa cucud, angresepken wardaya, yayah putra Dwarawati, Raden Samba saplaking wangun tan wingwang. 11. Karem maring lulungidan, surasaning sastra ngenting, nama Dyan Jaka Pramada, duk diwasa den wastani, Dyan Prawasata nguni, kasebuting wong anguwuh, sang Arya Bawaswara, labet dennya nggung ngrerepi, rerumpakan mardaweng lagu lukita. 12. Praja di ing Pagebangan, mangkya winursiteng kawi, samana kang madeg nata, sang Tunggulmetung inguni, kasebuting wewangi, Prabu Sri Malaras iku, kramantuk Ken Kadresan, sutaning sang Walagesi, wus patutan kakalih pan samya priya. 13. Kang asepuh sinurvg aran, Dyan Jaka Suwarda nguni, duk diwasa apeparab, Kutharamanawa mangkin, deniranggung marsudi, kasidaning barang kayun, karya reh kaelokan, asambada kang suwarni, kadi Arya Seta atmajeng Wiratha. 14. Arinira apanengran, Jaka Pamekas kang warni, kadi Arya Dresthadyumna, duk diwasa awawangi, Sunduk Prayogya nguni, labet saking ambekipun, aremen sarwa madya, anandukken barang gusthi, winatara kang sambada lan sambawa. 15. Prajeng Lawu Pamagetan, mangkya winarna ing kawi, kang madeg nata samana, Petungantara wawangi, akarem mangunteki, kapandhitan kang ginilut, kasebut namanira, Resi Sri Madewa nguni, akramantuk yoganing Wiku Satmata. 16. Apanengran Rara Kenya, wus patutan putra kalih, kang sepuh mijil wanudya, winastan sang Dewi Rasi, kapati brata 246 PNRI
nguni, wahdat sangkanireng timur, tan arsa palakrama, ari jalu awewangi, Dyan Surasa sambadeng warna dyatmika. 17. Karem ulah kapandhitan, ambek santa marteng kapti, lwir kang rama maharsindra, diwasanira wewangi, Dyan Resi Gana nguni, nahan gantya kang winuwus, prajeng Purwacarita, kang jumeneng narapati, nama Prabu Sri Mahapunggung samana. 18. Garwanya tri waranggana, sami yoganing dewarsi, mangka ganjaran jayeng prang, garwa sepuh awewangi, sang Dewi Sundadari, kang panengah namanipun, Mandyadari sang retna, kan nem Dewi Upalabi, duk samana wus peputra sowangsowang. 19. Putra sepuh kang patutan, saking Dewi Sundadari, jalu nama Dyan Kandhaga, diwasanya awawangi, Dyan Lembujawa nguni, Arya Kalayuda iku, sutendra kang panenggak, saking dewi Mandyadari, mijil priya anama Raden Kandhawa. 20. Duk diwasa apanengran, Raden Arya Rajaniti, nama warda Kaladhendha, pamadyaning narpasiwi, saking Dyah Upalabi, Dyan Kandheya namanipun, diwasa ngalih aran, Arya Pralambang inguni, Arya Kalandaru namanireng warda. 21. Kang sumendhi saking garwa, Dewi Sundadari malih, nama Raden Kandhiyara, duk diwasa awawangi, Dyan Titiswara nguni, Kalajaya sepuhipun, warujuning atmaja, saking Dewi Upalabi, mijil jalu nama Raden Kandhiyana. 22. Diwasa panengran Arya, Panitisastra inguni, wardanya Kalapramuda, putra kang mijil pawestri, saking Dyah Mandudari, warnanira yu pinunjul, kasebuting panengran, Kusuma Rara Kandhini, duk diwasa nama Retna Kenyapura. 23. Parab Dewi Candraswara, yata praptaning antawis, prameswari katri pisan, pareng mukseng ngawiyati, tan ana tolih siwi, sri narendra kari mangu, mangun tyas kahenengan, sanalika tanpa budi, mung manungku samadi aneng pahoman. 24. Antuk parmaning bathara, winasiteng karna keri, mangkya kinen akramaa, prenah kadange pribadi, Dewi Wara Sulastri, punika atmajanipun, Prabu Pandayanata, mangkana sri narapati, nir duhkita wus kalakon palakrama. 247 PNRI
25. Prameswari kang pamungkas, sang Dewi Wara Sulastri, samana wus apeputra, mijil priya warna pekik, nirken hyanghyang ing bumi, sampun sinungan jejuluk, Rahadyan Kandhiawan, rama ibu langkung asih, pan ginadhang tembe gumantia nata. 26. Kaparengan duk samana, arining sang prameswari, anama Raden Sadewa, tinanem ing Pajang Pengging, gumantyeng kang ramaji, sinung ngalih namanipun, sang Prabu Darmawangsa, peparab Andayapti, inggih Prabu Andayaningrat kapisan. 27. Mangsuli kang cinarita, praja di ing Paglen mangkin, atmajendra kawistara, pasang semuning birai, ramebu sukeng galih, winatara wus pakantuk, pantes yen akramaa, antuk samaning putraji, kang kaesthi amung putri ing Japara. 28. Dewi Suretna punika, wus atimbang kang suwarni, dhasar kadang papantaran, tan kuciwa madalsumbi, sambadaning panggusthi, sang Aprabu Sri Manuhun, anuduh kang dinuta, patih Sarana pribadi, amawa srat lelancaran angkatira. 29. Enggal prapta ing Japara, kerid maring byantaraji, srat katampen tinupiksa, sarasaning kang kaesthi, sambadeng tyas narpati, winangsulan antukipun, ijemaning wasita, yen wus sarwa nayogyani, sapraptaning Paglen katur kang wangsulan. 30. Myang ijeman jawining srat, kang winarah ing apatih, datan ana kaliwatan, kabeh ature angenting, sukeng tyas sri bupati, samana sang narpasunu, tinari palakrama, antuk kadange pribadi, ing Japara anama Dewi Suretna. 31. Dahat mopo aturira, tan kadugi anglampahi, yen kang raka sakalihan, dereng wonten palakrami, kanggeg tyas sri bupati, asmu kewran ing pangruruh, marganing kaleksanan, amiwaha putra kalih, dennya sami tinitah kuciweng warna. 32. Marsudi tyas samantara, sinung ilham animbali, sang marsepuh prapteng ngarsa, jinatenan ing pangesthi, puwara dadya westhi, wangsulaning narpasunu, tan arsa palakrama, yen kadange tuwa maksih, samya lamban dereng amengku wanodya. 33. Pringganing tyas kayaparan, kalakoning among swami, dennya karo padha cacad, martuwendra amiyarsi, sakala mesu budi, somahira peri rawuh, mangsit yen atmajendra, kang acebol lawan wujil, benjang badhe entuk jodho kaelokan. 248 PNRI
34. Wus katur ing sri narendra, wasitaning somah peri, ambirat tyas kawiyogan, prabu dupi amiyarsi, yayah ron alum anglih, karirisan sawur-sawur, ing mangsa labuh kapat, enggar samya lumung sari, raras ruming taru resmi tumarena. 35. Henengena samantara, gantya kang winarna malih, prajadi ing Parambanan, sang Prabu Sri Kala mangkin, karsa met upakreti, maring wana ambebujung, manjangan lawan kidang, masanggrahan sri bupati, aneng tilas kadhatoning Prabu Baka. 36. Wadya grema myang kirata, tuwaburu kang umiring, wus miranti dhinawuhan, kinen samyandum ing kardi, tekeng antara kongsi, kacuwan tyasira prabu, dennya kang para grema, amung antuk sawatawis, dadya kondur sarya ngemu dukacipta. 37. Prapteng praja kaparengan, uninga reh tan suririh, Dyan Arya Prawasakala, marupuh panging waringin, kang ngurug marga sami, rinampasan kabeh rampung, narendra kagyat mulat, kawewahan amiyarsi, swaraning sang narpatmaja kang taruna. 38. Radyan Arya Prawasata, ura-ura angrerepi, rumpakaning wanasaya, sekar Jaludhatagati, sangsaya muring-muring, rengu maring narpasunu, ngandika tan riringa, putraningsun pekik-pekik, nanging padha kadhihinan tuwuh ala. 39. Kang sawiji paksa sura, tan suririh barang kardi, lwir andaka anggambira, kan taruna iku ugi, paksambek angluwihi, esuk sore angingidung, tan ana henengira, anggung ngoceh kaya paksi, nadyan menco masa silih mangkonoa. 40. Sabda nata katemahan, ila-ila anartani, mangkya putra sakalihan, samya nandhang salah warni, kang sepuh anemahi, dadyandaka angun-angun, atmaja kang taruna, dadya menco asmu wilis, nanging karo maksih bisa tata janma. 41. Dahat dennya analangsa, rumasantuk rengat batin, kataman soting sudarma, pareng marek ing ngarsa ji, samya met mamalad sih, mintaksama anenuwun, ruwating salah rupa, sri narendra duk udani, kagyat mangu ngungun ing tyas larasmara.
249 PNRI
III. ASMARADANA
1. Pangandikanira aris, lah ta mengko sun tetanya, sajarwaa sira karo, sajatine ika sapa, dene ta sato wana, teka padha bisa muwus, kaya tataning manusa. 2. Pareng matur sarya nangis, dhuh pukulun paran marma, teka dahating kasupen, dhateng swaraning atmaja, lah inggih koningana, kang dados andaka ulun, pun Arya Prawasakala. 3. Kang awarni menco ugi, kawula pun Prawasata, menggah sangkaning dumados, dahat sami katambetan, anuwun pangaksama, rinuwata dimen mantuk, waluya jatining janma. 4. Kampiteng tyas sri bupati, ngungun sarya sru nalangsa, rumangsa kaluputane, denira ngling nguman-uman, ing putra sakalihan, tan anyana yen tumuwuh, anemahi purwandana. 5. Mangkya parmaning dewa di, sri narendra amiyarsa, wasita ing sawantahe, amelingi karna kanan, heh prabu aywa tikbra, durwakaning tanayamu, pupusen wus pasthinira. 6. Yen wus mangsa ruwat sami, marga saking pasangketan, rajaputra ing Pagelen, lawan putri ing Japara, pinasthi dadi somah, temu aneng Mendh^ngsewu, kaelokaning bathara. 7. Mangkya konen atetaki, mendhem kula saantara, kang atuwa dana gawe, abot entheng linakonan, tulunga wong rekasa, kasayahan barang laku, dadi jalaran waluya. 8. Kang taruna iku becik, adedana pamicara, amikanken ing patakon, tuduh marga wong kasasar, sung surup kasamaran, mintonaken kang tinemu, dadi witing katarima. 9. Yen tinakon den awadi, angakua menco wanan, marma bisa muwus wite, mung tetiron anenular, manawa wus mangkana, meta mitra para manuk, mrih bisaa basanira. 250 PNRI
10. Ing wekasan iku becik, ambaranga ura-ura, maring tanah ing Pagelen, sokur lamun sumawita, aneng Jaka Pramana, tinakonan aywa ngaku, yen putra ing Parambanan. 11. Kendel swara kang amangsit, mangkana sri naranata, wus sajarweng putra karo, sawewarahing wasita, kinen anglakonana, bok manawantuk pitulung, saking parmaning bathara. 12. Putra karo samya pamit, wus kalilan sareng mesat, prabu mangu tyas katongton, ketang dennya kawlasarsa, samana ing antara, kapiyarseng putra sepuh, Dewi Karagan Jonggrangan. 13. Lamun ari-nira sami, anemahi ila-ila, salah rupa sakarone, apuwara tinundhungan, wisata tan karuwan, sangdyah kalih tyas kalulun, dahat rudah dukacipta. 14. Tan kawawa anaheni, dresing waspa marawayan, temah adreng ing karsane, mirudangles angupaya, paraning arinira, pareng mangkat tengah dalu, margeng urung-urung toya. 15. Datan ana kang udani, kongsi prapteng jaban praja, murang marga sabanjure, anggung ngayam-ayam wana, angambah tarataban, anrang jurang siluk-siluk, tan angetang pringgabaya. 16. Meh anggagat bangun enjing, kawuryan kang sayempraba, rawat-rawat murweng sorot, sumirat bangbang irawan, awunawun warata, imantara urat rayung, yayah raras srining pura. 17. Meh rahina kapiyarsi, kaluruking sato wana, myang kukila srang swarane, lwir pawongan tangi nendra, arsa maring patirtan, menget mangu kapirangu, lampahira sakalihan. 18. Byar rahina samya keksi, tetuwuhan jroning wana, karya tis-tis tyas sang sinom, melang lamun katututan, dadya met pasenedan, marang jurang siluk-siluk, nirken pringganing sarira. 19. Mung angayam-ayam pati, yen tan antuka pawarta, panggonaning ari karo, yata panguncanging dewa, samya non tuking tirta, tumaritis saking watu, kacaryan tyas sang kusuma. 20. Aneng kono raryan sami, labet lesu kasayahan, temah nendra sekarone, kongsi prapteng lingsir wetan, anglilir kagyat mulat, sirnaning kang jurang trejung, katon pura mas sarwendah. 21. Uparengganira kadi, raras ruming jro udyana, nanging tanbuh kang adarbe, angungun dyah sekalihan, angemu tyas katresnan, samantara ana rawuh, wanudyayu tanpa sangkan. 251 PNRI
22. Sawatara kang umiring, sami dyah ayu kawuryan, manggung pawohan pangidon, sakalihan anggraita, yen iku waranggana, arsa mingser mangu-mangu, dennya selak kaprepekan. 23. Sarta tansah den sesanti, ing sabda ris manuhara, adhuh lae yoganingong, karo padha tyas sandeya, pinaran arsa lunga, maring endi ing sedyamu, aywa na kang salah cipta. 24. Mangkya padha sun jateni, rengenta heh yoganingwang, wruhanira ingsun kiye, satuhu yen waranggana, panengran Dewi Mulat, yoganing Bahthara Caksu, turunan Hyang Darmadewa. 25. Ingsun aneng kene iki, sajatine rumaksaka, ing udyana wana kabeh, jroning jurang pawirungan, jeng rama kang ayasa, duk teteki maksih wiku, mangka sambening subrata. 26. Katarimeng bhatara di, kalilan wor sakahanan, lawan para dewa kabeh, aneng kono bisa tunggal, lan ibu Dewi Roma, ingsun kari atutunggu, sanggar pamujaning rama. 27. Mung kanthi wanudya katri, ubon-ubon endhang sontrang, wong priya mung cantrik cekel, samana yen ingsun rasa, sangsaya kararantan, rentenging wong lola tuhu, tansah mular amlasarsa. 28. Parmaning Hyang Utipati, Dewi Uma kang tumedhak, sung wasita sawantahe, lah ta Mulat tanpa karya, wiyadining wardaya, pupusen wus pasthinipun, ing temahan katarima. 29. Mangkya sira sun lilani, angganepi waranggana, nanging maksih aneng kene, rumeksaa jro udyana, minangka pahulunan, sagung siluman lelembut, urut jurang pawirungan. 30. Rehen kabeh yekti dadi, rowang manggon ing pura mas, lah dulunen apa katon, samantara kang kawuryan, jroning udyana wana, ana pura sri rarasrum, rinenggeng mas sarwa retna. 31. Pangunguningsun kapati, tansah tistis sotaningtyas, Dewi Uma andikane, lah ta Mulat den santosa, aywasmu was sumelang, aneng kene kang tinemu, mung kamulyan sarwa tama. 32. Enya manik maya iki, kang minangka panguripan, angreh bangsa suksma kabeh, sun tanggapi samantara, Bathari Uma muksa, kaparengan praptanipun, para ratuning siluman. 33. Padha marek atur bekti, panganggepe wus tan samar, yen ingsun kang kawasa ngreh, marma karo yoganingwang, den 252 PNRI
padha santoseng tyas, aywa na kang salah surup, praptaningsun tanpa sangkan. 34. Yekti arsa sung wawangsit, mungguh kadangira priya, ing tembe waluya karo, jalaraning kanirmalan, dening reh kaelokan, antinen jroning manungku, aneng kene saantara. 35. Yen wus wahyaning antuk sih, yekti ana kang karasa, sarwa cipta sasmitane, kasatmata kapiyarsa, ing kono sun sajarwa, sang dyah kalih amituhu, pareng samya wor siluman 36. Data tita kang winarni, nagari ing Parambanan, sang Prabu Sri Kala mangke, kataman tyas aru-ara, murcaning kang atmaja, rajaputri kalihipun, Dewi Karagan Jonggrangan. 37. Met siliban denira nis, tan karuwan kang pinaran, moh ing rowang mung karongron, marma dahat karya rudah, rudatining sudarma, myang ibu barubah wimbuh, kambah wiyang tyas wuyungan. 38. Tan pantara denira njrit, meh murcatma sanalika, pareng para parekane, karunanglut amamalat, tyas prabu wimbuh tikbra, tambuh wimbaning marbangun, kabangan wor aru-ara. 39. Menget mangu marang wingit, angingimur maring garwa, myang anyirep tangis kabeh, anuduh kang dhinawuhan, nimbali kyanapatya, Tumenggung Anila iku, arining sang padniswara. 40. Tan adangu sampun kerid, marek byantara narendra, patih angatas karyane, sang nata sampun sajarwa, wiyadining wardaya, matambuh karoban wimbuh, samurcaning kang atmaja. 41. Sang rajaputri kekalih, nilib ratri tanpa rowang, tan karuhan pawartane, hen patih lamun sambada, sutanta si Margana, kang ingsun tuduh angruruh, kalamun bisa kapanggya. 42. Ing tembe sun pratignyani, endi kang dipun piliha, yekti sun tarimakake, wau ta rekyana patya, duk myarsa sabda nata, sumungkem temah wetu luh, kang mulat bela udrasa. 43. Sri narendra ngandika ris, wus aja karasa-rasa, ananangi reh wirangrong, hen patih • metua njaba, waraha sutanira, nuli mangkata den gupuh, aywa pati nganggo rowang. 44. Sun jumurung pudyastuti, kya patih matur sandika, lengser saking ngarsa katong, sapraptaning jawi pura, njujug ing dalemira, saksana pajar ing sunu, rehing karsendra sadaya. 253 PNRI
11. Mangkana pamuntunipun, kang tyas tanpa sanggarunggi, aniraken pringgabaya, denira dreng anuruti, ing karsa kang tan saranta, amung saking salah tampi. 12. Lan kaliru ing pangrungu, dening warta durung yekti, lamun karsane kang rama, pinikramekaken benjing, antuk putraning narendra, ing Pagelen saking padmi. 13. Mangkya pamiyarsanipun, putra ing Pagelen sami, nandhang cacad cebol bajang, tan sambada mengku putri, marma sangdyah rasaning tyas, kewran dennyarsa nglakoni. 14. Lamun lumuh dadi luput, kalingseman yen nuruti, dene dukane kang rama, kinen gemi lan nastiti, tan anggares rasaning tyas, wus lumrahing wong ngurip. 15. Mung sawiji kang pakewuh, denirarsa palakrami, lamun kongsi kalakona, dhaup lan wong cebol wujil, amilalu pinatenan, marma tansah mesu budi. 16. Ing wekasan kang tinemu, mung amuntu tyas pinasthi, pasthining pangesthinira, arsa ngendhat tekad pati, marang ing Krendhawahana, datan ana kang tinolih. 17. Katemahan los ing dalu, anggana datanpa kanthi, nilib anunungkul lampah, tanana wadya udani, lwir kinuncang ing jawata, sang dyah denira lunga nis. 18. Lampahira sang retnayu, murang marga saben ratri, yen raina asingidan, aneng jroning jurang trebis, wedi lamun katututan, dening wadya kang ngulati. 19. Kalunta-lunta ing laku, kusuma Dewi Retnadi, tansah ngayam-ayam wana, sigegen kang ngingkis ratri, warnanen prajeng Japara, samurcanira sang putri. 20. Ramebu tyas era-eru, dahat wiyoganing galih, sawadya wayang wuyungan, karuna amamalat sih, mangu moneng kaonengan, karantan kang tilar puri. 21. Mungseng denira angruruh, sepen datan antuk titik, sri narendra ing Japara, dadakan wadya tinuding, kinen lalayu ngupaya, lalancaran lari-lari. 22. Mring praja myang dhusun-dhusun, nanging meksa tan kapanggih, dadya amemiji putra, Raden Sudhana pinardi, angulari arinira, panaring Dyah Suretnadi. 256 PNRI
23. Dipun kongsi antuk parlu, pinaringan mangka kanthi, wadya santana pituwa, Arya Tiron dyan rumanti, wusnya mit linilan mentar, tanpa wadya anindaki. 24. Sang kalih nanamur laku, samarga-marga mamarti, laju j u j u r jajah desa, manglanglang amilang kori, kalantur kalunta-lunta, saparan sangu prihatin. 25. Nahan ing reh kang angruruh, wonten winursiteng kawi, sarenganing lalampahan, lwir babagan anglayoni, nunggal dhadhakaning kandha, kang crita kinarya genti. 26. Laladan ing Medhangsewu, wonten desa geng amregil, kang babadhe wastanira, Ki Camporet iku nguni, mantri ing Purwacarita, seren saking tuna budi. 27. Kang gumantya putra mantu, awasta Demang Camuris, Ki Cemporet winisudha, dadya buyut jaban nagri, babad wana adhedhekah, winastan ing Cengkarsari. 28. Karan dhukuh Cengkalsewu, nenggih ingkang angenggeni, muhung Ki Buyut priangga, kalawan somahireki, nanging tan pantara lama, sira Ki Demang Camuris. 29. Kapejahan somahipun, tilar suta maksih alit, lagya nembe bisa dolan, awasta Jaka Kulampis, labet biyunge wus lena, kang among ngapen-apeni. 30. Ki Buyut sasomahipun, putu wus den ambil siwi, ketang pejahe kang rena, tan adarbe suta malih, marma kadi tan kena sah, dene Ki Demang Camuris. 31. Pamasrahing putra jalu, tan adarbe sanggarunggi, lulus denira ngawula, kadhingkala anampeni, papancening panganira, ngiras perlu amartuwi. 32. Kaharjaning sutanipun, Ki Buyut ing Cengkarsari, kalawan sasomahira, pakaryan kang maedahi, sadina-dina mring wana, dumdumaning nambut kardi. 33. Kyai Buyut amet kayu, ariripik ipil-ipil, dene Ni Buyut ngupaya, ing godhonging wreksa jati, myang godhonging wit palasa, lamun wus pakantuk sami. 34. Den edol marang ing warung, kamurahaning dewadi, dadi sandhang panganira, mayar nora ngrekasani, kacagak salamenira, labet wekel mamarsudi. SERAT CEMPORET - 17
257
PNRI
35. Mangkya warnanen Ki Buyut, kalawan somahireki, samya kesah maring wana, gaota ngreh upakreti, kadi sabensabenira, met wreksa myang godhong jati. 36. Sapraptanireng wana gung, kalunta dennya ngulati, ing wreksa ron kang prayoga, dupi wus samyantuk kardi, nedya mantuk maring wisma, kasamaran tan wrin margi. 37. Labet saking kataliku, ing laku kang den lakoni, mayeng pangupayanira, anglanglangi tan pakolih, Ki Buyut lan somahira, sakala sengkel kekeling. 38. Denira kaplengan bingung, langkung dennya kawlas asih, lwir milalu kalihira, katalangsa ngaso sami, amet wewenganing driya, nahan ta warnanen malih. 39. Kang lagya kataman siku, ing ruwidaning sudarmi, rajaputra Parambanan, kang warna andaka paksi, lampahe kaluntalunta, samarga-marga nrang wingit. 40. Prapteng wana Sendhangsewu, raryan kapirenan sami, raras srining wanawasa, sawatara akarya ring, ngulari jalaranira, warahing wasita.jati. 41. Pan wus samya andum laku, andaka ngadhang ing margi, menco tansah ura-ura, angraras kidung kakawin, amrih kapiyarseng janma, lamlaming tyas mangulari. 42. Menco denira ngidung, mencok ing pang nagasari, tan pegat ambawa tembang, alelagon sekar kawi, purwaka kang rinumpaka, araras srining wanadri. 43. Wauta Kiyai Buyut, lan somahira miyarsi, mring menco kang ura-ura, layu-layu nganyut ati, asrep ing tyas sanalika, cipta parmaning dewadi. 44. Jalaran angsung pitulung, Ki Buyut nulya marani, lan somahe kapirenan, andulu sang menco paksi, tan antara kagyat mulat, wonten andaka nekani. 45. Ki Buyut arsa lumayu, kandheg panguwuhing paksi, he Kyai sampun sandeya, suwawi marek mariki, pun andaka tan anedya, tindak asikara budi. 46. Duk miyarsa Kyai Buyut, pangunguning tyas tan sipi, kaelokan kang mangkana, manuk bisa basa janmi, bayeki wong tapa salah, tumetes nitis ing paksi. 258 PNRI
47. Punang andaka anjerum, Ki Buyut dadya tan ajrih, marek lan sasomahira, amiraket tembung manis, dhuh sang paksi paran marma, jatenana ing pangeksi. 48. Andika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pareki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. 49. Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. 50. Kyai, Buyut duk angrungu, kadi tan bisa mangsuli, saking dahat katambetan,sato bisa mardaweng ling, tan tumpangso tembungira, rumaket amamalat sih. 51. Tan beda lan wau manuk, kathah panggagasing galih, Kyai Buyut somahira, meneng anon tanpa muni, mangu manguneng aning tyas, rehning estri asmu ajrih. 52. Kyai Buyut nulya muwus, dhuh sang andaka sayekti, asami-sami kewala, nadyan manusaa kami, asor dening sato wana, labet dahat tuna budi. 53. Muhung mangke nuhun dunung, sinten paduka kakalih, menco aris saurira, satuhunipun Kiyai, paksi wawanan kewala, lawan andaka puniki. 54. Pan enggih sato satuhu, tan kalebet kulit daging, amung panggih amimitran, sami sasabeng wanadri, sarawunganing rarasan, dhateng kula basa adhi. 55. Lami-lami saya maksud, dennya sami amarsudi, ing indhaking basa krama, mrih sageda anambungi, yen wonten wong ararasan, sampun kongsi den waoni. 56. Dene sangkaning pakantuk, wewah tembung sawatawis, amung asring dana karya, awrat entheng den lampahi, tedah marga wong kasasar, atutulung suker sakit. 57. Duk miyarsa Kyai Buyut, anggarjita muwus aris, angger lamun makatena, kaleresan ing samangkin, ulun lawan nyai somah, samya nandhang kawlas asih. 58. Bingung tan wruh ing ler kidul, arsa mantuk datan bangkit, dennya supe marginira, mangkya lamun amarengi, mugi angsunga pitedah, pundi prenah kang sayekti. 259 PNRI
59. Dimen kenginga tinurut, mantuk dhateng Cengkarsari, menco alon wuwusira, inggih penet lamun bangkit, angger kula lan andaka, kalih samya kambil siwi. 60. Dipun kadi suta tuhu, tanpa subasiteng krami, tembung ngoko kang utama, sampun mawi wigah-wigih, buyut kendel sanalika, laju muwus anyagahi. 61. Dhuh angger panudyeng kayun, sukur kasdu mamalat sih, ngaken bapa wong atuwa, yutun tur atani bentil, den ageng ing paramarta, mbok kirang ngapen-apeni. 62. Menco anauri wuwus, inggih Kyai sami-sami, kula pan samanten uga, anenuhun pangaksami, manawi kirang prayoga, selang titih silakrami. 63. Sarehning bangsaning manuk, pinuwunga sawatawis, mung lowung-lowung sinawang, pinten banggi damel asri, suka pirenan ing driya, nanarik bagya basuki. 64. Ki Buyut nauri wuwus, angger sampun walang galih, saestu sami kasedya, angicalaken balung ri, alulusa pinilala, menco suka duk miyarsi. 65. Andaka nambungi wuwus, Kyai Buyut kang sudyapti, angraket suka pirena, sengsem sung sumungsung ing sih, tarlen apasrah jiwangga, tetepa umanjing siwi. 66. Amung dika Kyai Buyut, sampun mawi sanggarunggi, mendhet suta sato wana, rumasa wrat angingoni, puniku tan pisan-pisan, yen kongsia ngrekasani. 67. Sabab titahing dewa gung, janma sato mina paksi, wus pinanci sowang-sowang, kang amasthi dadya bukti, yekti saged angupaya, myang amilih kang pakolih. 68. Buyut latah sarya muwus, adhuh sutengulun yekti, dene dahat asambawa, teka ndadak andadalih, kang tan pisan makatena, inggih benjang den titeni. 69. Manawi pangraos ulun, pun bapa kang begja ugi, dahat kapotangan gesang, mangke badhe den luwari, ribed rubedaning griya, kang nedya narik bilai. 70. Sang menco mesem amuwus, lah suwawi mangkat aglis, san andaka sigra mendhak, amamalar den tumpaki, Ki Buyut lan somahira, sampun sami anuruti. 260 PNRI
71. Lumaksana katut pungkur, ibering kang menco prapti, tepis iring wanawasa, sring amanggih rajapeni, myang curiga sawatara, lwir busananing prajurit. 72. Nanging datan ana kang wruh, katemahanireng nguni, sang andaka alon mojar, punika wus anyekapi, kasadea dhateng praja, urub betahing papanti. 73. Kyai Buyut amituhu, dahat sukanireng ati, rumasa ntuk marga gampang, denira met upakreti, samantareng wanci mangkya, mijil saking wana werit.
261 PNRI
V. MIJIL
1. Sapraptaning dhukuh Cengkarsari, buyut lanang wadon, datan anggop-anggop pang^nggepe, maring sira sang andaka paksi, kadi suta yekti, lamun imbal wuwus. 2. Tembung ngoko kewala pakolih, bantheng lawan menco, maksih anganggo krama basane, lulus samya tulung dana kardi, Ki Buyut lestari, adol kang tinemu. 3. Ngiras ulah bumi den tanduri, barang ingkang kanggo, karowodan sapanunggalane, sarta mencar karang kirna kitri, dhukuh Cengkarsari, katon arjanipun. 4. Sang andaka lan sang menco paksi, kesah sakarongron; prapteng wana rembug andum gawe, bantheng tetep lumastareng kardi, tetulung kaswasih, atuduh marga yu. 5. Sang amenco nedya anuhoni, met reh karahayon, kang tinuju mring praja Pagelen, sawusira sesewangan kapti, ngambara sang paksi, andaka lalaku. 6. Kuneng gantya kawuwusa malih, sarenging lalakon, narpatmaja Japara lampahe, kalunta-lunta sangsaya tebih, dennya angulari, paraning rinipun. 7. Tansah mamarta tan antuk titik, sang dyah dununging don, ing samarga-marga gung wirage, Radyan Sudhana myang kang umiring, Arya Tiron nguni, pamuntuning kayun. 8. Narpatmaja dadya gunem pikir, lawan Arya Tiron, arsa mungseng ngupaya pataken, maring para waskitheng pangesthi, abipraya sami, mangkat andum purug. 9. Radyan Arya laksana winarni, lampahira anjog, imbang wukir Purwapada kang ler, panggih lawan wiku dibya sakti, sang Panurta resi, ing dhepok Martawu. 10. Atatanya sampun den jateni, yen kang kaupados, mangkya maksih kalimputan ing reh, saking padoning Hyang Utipati, karsa murweng gati, dhateng titahipun. 262 PNRI
11. Karya jodhoning jalu lan estri, saking lampah elok, dereng keni kinira ing mangke, dennya maksih kekeran sayekti, benjang tan alami, wonten wartinipun. 12. Yen saranta tumunten kapanggih, sampun ajejodhon, rajaputra ing sapamyarsane, kemengan ing sabda sang palinggih, asrep sawatawis, denirangsal uthut. 13. Nanging rentenging nala tar enting, weca dereng melok, ari kang linari saparane, rajaputra rarantaning kapti, muhung anganganti, mangreremken kayun. 14. Saben memesu pudya samadi, maring sang murweng don, nunten kantenana dumununge, nadyan kondura mring praja benjing, yen sampun nrenjuhi, ingkang dados perlu. 15. Tan katunan denira tinuding, sawusnya ngraraos, siwayendra tembung anyenyekel, rerem wonten padhepokan Wukir, sang Panurta resi, kalangkung jumurung. 16. Dyan pinarnah pandoning pipidik, wus sarwa rumantos, kinen angreksa para siswane, narpaputra denira marsudi, lulus alestari, maheneng manungku. 17. Nihan nengena kang don mahening, gantya kacariyos, rajaputri Japara lampahe, retnaningdyah Dewi Suretna di, tansah murang margi, ngalaya ing purug. 18. Tanpa sedya mider anderpati, mung lingsem katongton, angubungi budi kang tan sareh, kalunta-lunta sangsaya tebih, ngambah laladaning, wana Medhangsewu. 19. Amiyarsa srang swaraning paksi, barasating sato, karya maras angres sarirane, sangdyah rara ririh ing lumaris, yayah narawungi, sesining wana gung. 20. Resres munya lwir angiris-iris, sang merang wirangrong, cocak pricohan usreg angoceh, isthanira mimbuhi ruruntik, runtag ing tyas tistis, pareng mrak anguwuh. 21. Memba pasambating sang mong wingit, sata wana petok, lwir ngririwuk sora sru swarane, beluk deres dohan anamberi, kadi anambahi, wimbaning marbangun. 22. Gareng ngereng lwir ngerang-erangi, moneng cenggeretnong, angku-angkupan pating karelek, karya lengleng kang ulung tumiling, tuhu gogik kolik, engkak lwir moneng kung. 263 PNRI
23. Kidang sangsam mesat amiyarsi, sardula anggero, girang-girang munya ting salenger, kang wanara mere merang margi, jelarang ngareni, langkapa kasaput. 24. Yayah kayungyuning para cethi, ngungun anglelamong, amilalu tan ana tinoleh, anemahi kantaka tan osik, tyas anglir rinujit, sagunging kang katun. 25. Kang sarpa gung rumagang mulet wit, senedan rerongkop, wor bebundhel bondhotan ukele, dukut rerungkud ruket ngarawit, weh riwuting kapti, sang adreng ing kayun. 26. Tyas pinuntu mantep tan alirip, tangeh yen rinaos, rehning sampun sinedyeng karsane, amiruda rudita nrang westhi, merang mirang kapti, saparan andarung. 27. Sang kusuma Dewi Suretna di, lampahnya anglajo, anjog karangsari sri warnane, karya rena reseping lumaris, gandanya nanduki, kongas marbuk arum. 28. Wraksa tumaruna ron sumemi, sumunar angayom, karya ayem-ayem wardayane, kasembuh ing jaladara manglih, surem-surem keksi, yayah anglilipur. 29. Sumyar-sumyar kasilir ing angin, sekar wigar rontok, tibeng siti angambar gandane, kang bremara rumengeng namberi, angengingsep sari, kadya sung pangrungrum. 30. Manuhara pamareming galih, mepu tyas mangepon, sangdyah rara kasengsem senene, yayah lelangen ing tamansari, met pangaring-aring, pangimuring kayun. 31. Gantya ingkang winarnaa malih, tempuking lelakon, sang awarna andaka ing mangke, kang amanggung adadana kardi, andon ing wanadri, mider alelaku. 32. Tan adangu andaka ningali, wanudyayu anom, munggweng wana tanpa rowang ijen, pareng semune ngemu prihatin, pinarpekan aglis, kagyat sang liring rum. 33. Anedyangles kandheg amiyarsi, andaka turnya Ion, dhuh sang retna sampun salah daleh, nadyan ulun sato wana inggih, tan anedya kardi, lampah aru-biru. 34. Sang kusuma ngungun aningali, pamuwusing sato, dene tata ateteh basane, dadya resep tan angrasa ajrih, angandika aris, heh ta angun-angun. 264 PNRI
35. Sajarwaa sapa sira iki, ingsun tembe tumon, sato bisa arentes tembunge, sang andaka aturira aris, dhuh sang rara putri, paduka andangu. 36. Inggih amba pan sato sayekti, sagede miraos, amung saking asring mirengake, rerasaning j a n m a sawatawis, ing alamilami saged imbal wuwus. 37. Angandika kusumaning adi, teka bisa kang wong, lan manusa paran kamulane, dene sipating sato sireki, bantheng anauri, saking atutulung. 38. Saben wonten j a n m a kawlas asih, mbebekta rekaos, amba ingkang tulung nggawakake, tuwin lelampah bingung ing margi, kula anjalari, asuka pitulung. 39. Balik paduka wanudya pundi, dahat nyalawados, munggweng wana tan wonten rowange, dene memela memelas asih, kados ngemu sedhih, paran dunungipun. 40. Tan katenta punapa pun patik, mila amamartos, bokmanawi saged madhangake, asarana tulung sawatawis, sangdyah amangsuli, samudaneng wuwus. 41. Ingsun iki pan endhang ing ardi, aran Rara Tunon, amilalu praptaningsun kiye, marga rineh sinung jatukrami, ingsun tan nglakoni, saking durung sarju. 42. Maksih remen mong sarira mami, marma kalakon los, sang andaka alon ing ature, paran karsa paduka ing mangkin, sang dyah anauri, kencenging tyasipun. 43. Nedya maring desa kang kapering, muhung met pangason, sokur bage pakantuk angenger, sang andaka turira malad sih, yen pareng suwawi, arerem ing dhukuh. 44. Amba darbe pawong mitra janmi, manjing bapa yektos, apanengran Ki Buyut Cemporet, padhekahannya ing Cengkarsari, celak saking ngriki, tan adarbe sunu. 45. Ulun prasasat ingaken siwi, mangka sipat sato, gumatine lwir amengku rare, mendah paduka rara ing benjing, dipun eni-eni, tresnane kalangkung. 46. Sang kusuma wau duk miyarsi, sasojaring sato, kapirenan tan lenggana ing reh, dene nedya akarya prayogi, bok anjajalari, nanarik rahayu. 265 PNRI
47. Nulya mendhak andaka turnyaris, suwawi sang sinom, anumpaka gigire pun bantheng, sang dyah rara laju anuruti, pan sampun anitih, andaka lumaku. 48. Tan adangu prapteng Cengkarsari, lampahnya angaso, aneng dhadhah sang dyah dyan lumengser, kerid manjing padhekahan aglis, Ki Buyut myang rabi, methuk kusung-kusung. 49. Sampun samya arerem ing panti, buyut lanang wadon, amamarta dhuh praptanira ngger, dene akanthi kenya linuwih, cahyane nelahi, lwir rembesing madu. 50. Sang andaka sajarweng pawarti, wite duk patemon, awasana prapteng ngriki mangke, papajare wus ingandhar sami, suka duk miyarsi, Ki Buyut Ni Buyut. 51. Sang andaka nulya muwus malih, dhuh rama dhuh embok, kenya punika ing prayogine, inggih mangkya ingambila siwi, tembe antuk becik, mupu kawlas ayun. 52. Umanjinga dados kadang yekti, lan amba ing mengko, sampun taha-taha pangrengkuhe, Kyai Buyut lan somahireki, karenan ing kapti, wus ingambil sunu. 53. Kalih samya raket-rumaket sih, maring sang lir sinom, datan ringga-ringga panganggepe, yayah tenaya nggenira yogi, dene sang retnadi, wus ambapa biyung. 54. Tan abasan-binasan pakolih, tyas sarju kasarjon, Kyai Buyut mesem pamuwuse, mring andaka lan somahireki, estokena sami, yen si rara iku. 55. Mengko iya arane sun elih, pantesing pasemon, aran Rara Kumenyar becike, labet saking cahyane dumeling, Ni Buyut njurungi, suka manthuk-manthuk. 56. Sang andaka alatah sarya ngling, ramamba nggih condhong, lamun makatena panengrane, wus sambada sun duga prayogi, teka angemperi, dennya pasang patut. 57. Ngiras mangka pakantuk tetawing, salimuraning wong, mboten wonten kang angira tembe, lulus dennya anguyun ngemongi, inggih pinten banggi, nanarik bagya yu. 58. Kyai Buyut sukanira ngenting, somahe gya kinon, miranteni sang rara enggone, dyan sinungan pajangan sarwa sri, samantara mangkin, andaka mit wangsul. 266 PNRI
59. Maring wana atutulung kardi, wus samya rinojong, nulya mangkat tulus dana gawe, henengena nihan ta winarni, prajeng Paglen mangkin, risang narpasunu. 60. Raden Jaka Pramana inguni, duk mopo jinodho, lawan putra Japara yektine, saking dahat jrih ing kadang kalih, dereng among swami, marma tyas margiyuh. 61. Yayah rena tan pegat maripih, dennya mrih kalakon, rehning sampun dadya ubanggine, narpatmaja tangeh tyas lumirig, ngemu netya wingit, met pangimur-imur. 62. Manggung lelangen udyana sari, lan emban kang among, Nyai Wilasita panengrane, miwah pawongan parekan cethi, rumaksa keng gusti, mangkana winuwus. 63. Ibering paksi menco wus prapti, ing udyana anjog, mencok aneng pang angsoka rereh, suka mulat sanggyaning pawestri, munggweng tamansari, mawarna kadulu. 64. Ana ingkang amet sari-sari, saweneh ceciblon, alelangen lelangen aneng we, ana lagya miwir-miwir tapih, raras ngore weni, ana ngukel gelung. 65. Weneh lagya kekemben mathinthing, maya-maya katon, babayuning payudara menter, menthek-menthek kadi tiris gadhing, ana kang pinidih, alise den elus. 66. Weneh ana kang kokobok warih, ana kang angilo, wayangannya aneng pinggiring we, ana nuju amimiru tapih, pinidih winingkis, kengis wentisipun. 67. Kembang-kembang ngayangan andadi, raras asri tinon, kaesisan angambar gandane, maweh ayem yamyaming tyas tistis, bremara ngrerengih, ngingingsep rum-arum. 68. Menco kacaryan dennya ningali, solahing pra sinom, nedya pinet ing parisukane, amet jalaranira katitik, sawusnya ngrarakit, banyolan nginidung. 69. Hur ketekuk burcet colang-caling, akak kaok-kaok, empu-empu kuk huk iyeh-iyeh, kukukuruk uwek uwig-uwig, cingcinggoling cip-cip, ciyet theyot theblung. 70. Thit thit thuit keok ciyit-ciyit, kokok kokok petok, kelek-kelek ethet-ethet dhuwet, gemeg-gemeg thir-thir parenjenthir, cet-cet cuwit-cuwit, othuk-othuk owuk. 267 PNRI
71. Duk miyarsa pra pawongan cethi, suka amiraos, swara apa mangkene unine, ting celebung teka nganggo dhong-dhing, nulya den ulati, tan antara dangu. 72. Ngungak-ungak ana menco keksi, ngungun para wadon, wus anduga yen iku kang ngoceh, muwus malih kalingane iki, pangocehe paksi, layak nora runtut. 73. Ana pawongan amuwus aris, wus adating menco, atitiron kang dadi unine, ingsun kira menco ing wanadri, katara kang uni, cawuh campur bawur. 74. Ana ingkang angemperi paksi, ana memper sato, ana memper kodhok rawa laren, ana memper gegremetan siti, ana kaya pitik, iwen kang den ingu. 75. Bok kang genah tembunging kakawin, enak kapyarseng wong, menco muwus dene daya-deye, yen widagda mardaweng kakawin, tembung kramaniti, dereng pati gambuh.
268 PNRI
VI. GAMBUH
1. Makaten yektinipun, saking dahat wonten kang tinurut, mung babasan napak tilas nurun sungging, ing saenggen-enggen anggung, anggupita swaraning wong. 2. Tinular kang apatut, kinarya met pemuting tyas limut, lami-lami lumaksana sawatawis, laju anggegulang lagu, nanging tanggel maksih mogol. 3. Mung tembung lowung-lowung, datan kadung lamun angingidung, ura-ura lelagoning sekar kawi, kawibawan kang tiniru, iri-iriban kemawon. 4. Gumer kang samya ngrungu, ana muwus lah ta iya manuk, ing sabisa-bisanira angger becik, sang kukila sauripun, inggih mangke alon-alon. 5. Kukila kendel mangu, m^rsudeng tyas denirarsa ngidung, mrih kapyarseng narpatmaja kang kaesthi, para cethi malih muwus, lah ta mara aja kadho. 6. Ngidunga ingkang runtut, dimen kapiyarseng gustiningsun, sinauran lah ta mangke dipun aris, ampun eteh tyas kasusu, alon-alon den kalakon. 7. Saksana murweng kidung, sang kukila wilet swaranya rum, rerumpakan kawi lagu pramugari, mangkya pinet jarwanipun, salin gambuh kang lalagon. 8. Wonten wong sikep dhusun, pan^gaotanira ngambil kayu, maring wana risik ripik ipil-ipil, kaurupken kang pakantuk, acukup ing barang butoh. 9. Lamun wus ngambil kayu, andhudhuk wi selog ing wana gung, kang kinarya ingoning saanak rabi, ing antara dina nuju, duk andhudhuk uwi selog. 10. Sambaweng ciptanipun, angrarantam sotaning tyas limut, mengko baya patutane ingsun iki, nemu pendheman mas tatur, sagenuk wrat satus katos. 269 PNRI
11. Sun gawa mulih esuk, sumelang tyas lamun ana kang wruh, ingsun usung yen ratri sireping janmi, prapteng wisma teka ewuh, pangrawating mas samono. 12. Yen anak b o j o weruh, yekti tansah samya angririmuk, minta andum warata kang murwat sami, ing wekasan dadya ngudur, kadrawasan badaningong. 13. Sun pendhem soring lumbung, aparimpen tan ana wong kang wruh, saben wayah tengah wengi amet kedhik, kira-kira kang acumpu, kaurupken barang kanggo. 14. Surasane jro kidung, pantes mangka sudarsana luhung, patraping reh amengku prajadi murti, tanduking awas lan emut, pangayaming karahayon. 15. Kendel pangidungipun, paksi menco nulya theruktheruk, kang miyarsa resep sukane angenting, pawongan pareng amuwus, lah ta iya-iya menco. 16. Ngidunga maneh bagus, sinauran lah enggih wong ayu, gumer samya sumyak-sumyak para cethi, kapiyarseng narpasunu, andangu witing guguyon. 17. Pawongan siji matur, wonten menco saged angingidung, lukitaning kakawin putus patitis, teteh kadi janma tuhu, kang rumuhun anyalemong. 18. Sareng kang kantun wau, urut-runtut ukaraning kidung, dodongengan rinumpakeng sekar kawi, asasmita karya pemut, limuting tyas kamituhon. 19. Narendraputra ngungun, ngunandika paran wadinipun, dyan tumedhak arsa uninga pribadi, prapteng tembing tambak agung, anggung ngungak nggoning menco. 20. Dupi sang kukila wruh, wus tan samar yen kang prapta iku, narpatmajeng Pagelen sinambang lirih, dyan tumurun saking kayu, mencok woding waringin wok. 21. Dinangu apa iku, menco ingkang widagdeng pangidung, rerumpakan kawi Iwiring kramaniti, datan kewran nawung lagu, yen satuhu sun mamartos. 22. Kamulanireng dangu, miwah sangkan paraning sedyamu, yen sambawautawa sambada yekti, muga jatenana ingsun, paran wadining lelakon. 270 PNRI
23. Sang kulila Ion matur, inggih amba kang wau ngingidung, nanging dereng lebda widagdeng kakawin, namung tembung maksih widhung, aben manis kirang manggon. 24. Nanging tyas kumacelu, sumerepa sawatawis lowung, kinarya wit sisinaon murweng kawi, myang mardapa mardi lagu, sampun ngantos kabesturon. 25. Inggih ta yen kapuntu, pinten-pinten saget angingidung, dennya tuhu paksi kamulaning nguni, pantes mudheng tyas tar wilun, mung kalunglun anglanglang woh. 26. Makaten yen katungkul, mungkul dhateng tetedhan satuhu, tantan tuman destun temen kirang budi, kabudayan tan pakantuk, ing wekasan sangsaya sor. 27. Anjawi mung sinau, tata-caraning janma satuhu, anunular wiraosan sawatawis, mbokmanawi saged antuk, pangawikan kang kinaot. 28. Rumuhun ulun sampun, ^nglampahi makaten pukulun, parandene kang tyas maksih madal sumbi, ngantos tigang warsa muput, amung saweg saged singsot. 29. Ingriku meh anglalu, nanging dereng suda drenging kayun, angupadi sangkaning reh amet pamrih, kang pakantuk saged tulus, lastantuning tyas kinaot. 30. Wekasan amba laju, aleledhang dhumateng praja gung, Parambanan sumawiteng narpasiwi, nutut tan pakeling luput, cumbu datan mawi jontrot. 31. Kaingah meh sataun, saweg saged angoceh cumurut, amung nurut wuwusing wong sawatawis, kadhang rajakaya tinut, kang pakantuk ing parungon. 32. Makaten milanipun, lamun ngoceh calebang-calebung, singa myarsa gumujeng lajeng maoni, asring wonten kang tetulung, mulang tembung krama ngoko. 33. Andukap kalih taun, wiwit mantun calebang-calebung, saged minta tataning reh kramaniti, matrapaken tanggap tanduk, empan papaning wiraos. 34. Dupi meh sarwa putus, anggegulang laguning pangidung, rurumpakan sekar Jaludhatagati, kadhang sekar Bremararum, myang Girisa Tebukasol. 271 PNRI
35. Bandara yen angidung, asring sekar Sardula sinawung, amba tumut rengeng-rengeng swara ririh, duk angelik melangmelung, sareng samya ngumbar. ulon. 36. Punika sakalangkung, sukaning tyas bandara yen tinut, mila datan kenging pisah siyang ratri, sinandhang saenggenipun, kalangenan sami kasor. 37. Antawis tigang taun, bandaramba kataman tyas korub, amielu waduling para kakasih, rembag sampun sabayantu, amba pinrih dados layon. 38. Ingriku milanipun, amba oncat angambara silum, wangsul dhateng samadyanireng wanadri, amet sarjuning panuju angreremken tyas wirangrong. 39. Nanging saya margiyuh, mirengaken swara ambebarung, unen-unening buburon narawungi, katomah sring ilu-ilu, wangsul calewa-calewo. 40. Wantuning ulun manuk, kala ngajeng sagedipun lowung, kekidungan saking tuladan prayogi, sareng myarsakken baliwur, wasana kanut tumpangso. 41. Tyas ulun langkung bingung, wonten wana ing gung liwang-liwung, nunten antuk cipta sasmita sajati, amba kinen amilulut, ing Paglen sang sutendra nom. 42. Ulun dahat kayungyun, angayati prapteng tamansantun, wrin pawestri kang mangun lelangyan sari, badhe ngidung dados kadung, wedalipun ting taledhok. 43. Ngoceh sawetu-wetu, anyenyengkok nguni kang rinungu, bebujengan sato peksi ing wanadri, ginuyu-guyu anjelu, sinengguh mbabarang betho. 44. Kang kantun ulun pesu, lajeng saged sawatawis runtut, marsudeng tyas mung paduka kang kaesthi, yen kapareng karsa mupu, ingon-ingon paksi menco. 45. Sanadyan mboten urup, amung jagi angingidung lowung, myang dongengan kang apantes dadya misil, sudarsananing wong agung, mengkupraja murweng pakon. 46. Mesem sang narpasunu, sarwi ngandika lah iya manuk, ingsun ingu dadia lelangen mami, angger sira nut miturut, anarima lair batos. 272 PNRI
47. Kukila marikelu, kalulun tyas mangkya murweng kidung, dedongengan sekar Sardula :inguni, swara wilet manis arum, mamalad sih kang lelakon.
SERAT CEMPORET - 18
273
PNRI
VII.
DHANDHANGGULA
1. Duk rumuhun wonten narapati, prajanira tanah ing Mamenang, amumpuni pambekane, kasub ing rat pinunjul, Prabu Jayamisena nguni, garwa Dyah Citraswara, atmajaning wiku, sang Bagawan Citradhana, ing antara garwa nata anggarbini, ambabar dhadhampitan. 2. Jalu estri tunggal ari-ari, sanalika Dewi Citraswara, konduran ing kamuksane, narendra kapirangu, mangunengan honeng ngenani, ali-alining nala, temahan tumutur, maring kamuksaning garwa, era-eru sapraja oter prihatin, eyung wayang wuyungan. 3. Lenglenging tyas tan ana tinolih, kadang kadeyan santana wadya, anglir lalu bela kabeh, mring kang muksweng don luhung, ri sampunnya pinupus sami, ing reh pandoning dewa, mangkana tinemu, jabang bayi meh kapiran, tinilar ing rama ibu kawlas asih, tanbuh kang gada rena. 4. Ing wekasan bayi jalu estri, dadya putra puponing kang paman, nateng Matahun kang amet, pamulasaranipun, sampun kadi putra pribadi, katengran sowang-sowang, pantesing wawangun, kang apriya Dyan Kiswara, kang pawestri anama Dewi Kiswari, lulus tanpa sangsaya. 5. Mangkana kang eyang sang maharsi, atuftiwi maring Matahunan, sung peparab ing wayahe, kang jalu ajejuluk, Radyan Alidrawa inguni, kang estri Endrawila, ing peparabipun, dupi praptaning diwasa, Resi Citradhana dahat amemardi, pardining sastra wedha. 6. Amikanken ing reh pudyastuti, myang pangkataning panatagama, matrap darmeng kotamane, kang paman Sri Matahun, Prabu Jayakusuma nguni, memardi madu basa, basukining 274 PNRI
laku, amengku reh natapraja, kang dadya wit santosaning narapati, kretarta wiratama. 7. Wong aguna srana satya wani, mangka kanthining nata sudibya, wuwuh luhur karatone, yen rukun sawadya gung, datan ana kang sanggarunggi, narendra bisa mangkat, matah matrap mandum,. lwiring mangka kalungguhan, myang babasan amet pantes angraketi, ing prenah sowang-sowang. 8. Lwir mamatah karyaning wadya lit, agal lembut bisa minta-minta, kang amurwat panambute, tan kongsi cawuh worsuh, lwire mantrap empaning adil, lamun wus benerira, kasidaneng khukum, kalakona sanalika, lwiring pandum paparing pan akeh kedhik, warata sanagara. 9. Lumuh lamun babau kapini, amung ana pandum kakaotan, murwat saking pasilane, uruting ngandhap luhur, supadya ywa ana sakserik, dimen amituruta, nut karsa satuhu, lairing kang sama beda, dana dhendha mangkana dadya netepi, widagdeng pangadilan. 10. Luwih malih lamun anuhoni, nganggo awas emut barang karya, mrih sambadeng kasidane, denira ngreh amengku, ing santana wadya gung alit, lwire kang awaskitha, maring lakulaku, solah bawaning sapraja, dadi bisa niteni kang ala becik, terus lan pepariksan. 11. Lwire emut sajroning tyas titi, anamakken dana myang siasat, ngango empan papan ing reh, kang bener lan kang luput, padha nemu ganjaran wajib, dene kang kabeneran, pradana tinemu, kang aluput pinidana, dadya kasub sudibya pranata titi, mariksa amisesa. 12. Yata Raden Alidrawa nguni, anetepi wulange kang paman, widagdeng tyas sarahsane, tan kewran barang kawruh, marma dennya jumeneng aji, gumantyeng rama nata, kasub naminipun, Prabu Kusumawicitra, ya sang Ajipamasa amisesani, sesining Nuswa Jawa. 13. Wus palastha pangidunging paksi, narpatmaja Dyan Jaka Pramana, kapirenan ing pranane, rumaket wuwusipun, lah kukila sira sayekti, pratameng pamicara, wignya nembang kidung, liwat dening pasang yogya, dadi rowang ngimur-imur anrang wingit, mengeti rengating tyas. 275 PNRI
14. Dyan kukila sinengan marpeki, katanggapan asta kering kanan, kawangwang wawangunane, sarwi den elus-elus, angandika pantese iki, si Jamang aranira, menco matur nuhun, mangayubagya ing karsa, wus mangkana paksi binakta mring panti, tutut'tanpa sengkeran. 15. Radyan Putra lumuntur ingkang sih, siyang ratri datan keneng sah, paksi winong sasolahe, pawongan emban babu, samya kinen ngapen-apeni, pangombe myang makanan, panenggaranipun, saarjunira inguja, kesenengan sinung sarwa na miranti, cawisan tan kuciwa. 16. Nahan prajeng Pagelen ing mangkin, kawuwusa dhukuh Cengkarsasra, Ki Camporet lan somahe, samana samya sinung, kasenenan sasananing sih, saharseng tyas kaskaya, kayumanan kayun, dennya mardi mamardawa, maring Rara Kumenyar sinambang liring, salwiring dodongengan. 17. Kambilan kang pantes dadya misil, sudarsananing estri utama, kang mumpuni sabarang reh, sareh tan arsa saru, Dyah Kumenyar dennya miyarsi, karaseng tyas mamalad, emut kang kalimput, temah tuman amiminta, dongengan kang keni kinarya palupi, lepiyaning wanudya. 18. Nyai Buyut teka anuruti, nuju ratri sang dyah kinelonan, dangu-dangu andodongeng, ing kana ana wiku, wikan lwiring pamudyastuti, panengran Resi Drawa, turasing Hyang Bayu, tapa sangkaning taruna, atutruka mregil aneng wukir Kawi, laladan ing Mamenang. 19. Somahira aran Endhang Rasi, kadang wardane Wiku Rasika, kang ayoga sakarone, sang Resi Darmaketu, turasing Hyang Kamulasidhi, samana Resi Drawa, sampun asusunu, wanudyayu kang suwarna, sinung aran Kusuma Rara Sarwasri, dennya tanpa kuciwa. 20. Duk diwasa sangsaya kaeksi, raras ingkang pamulu wiletan, sumeh pasang pasemone, nanging tyas mudha piunggung, marma tansah dahat pinardi, dene kang yayah rena, rinirih rumarum, ing wuwus sarta winawas, sasmitaning nitya kang sinawang sarwi, watareng pituturan. 21. Kawruhana wajibing pawestri, kudu nganggo kanthi pangkat-pangkat, nigang warna sapangkate, dene ta kang 276 PNRI
rumuhun, rigen tegen mugen winardi, kang rigen iku bisa, barang karya rampung, angrerakit jroning wisma, tinata kang pantes sambadeng pangrukti, tan ana winaonan. 22. Lwiring tegen jenak barang kardi, kang sinambut nora salewengan, kongsi tekeng sarampunge, kang mugen wardinipun, wekel wungkul ati sawiji, tan mangro tingalira, mantep tekadipun, lumuh ing reh kadursilan, pangkat ingkang kapindho gemi nastiti, angati-ati ing tyas. 23. Lwiring gemi bisa angrumati, myang mamardi dadining branarta, tana lerweh nora brahbreh, sirik ing basa saru, sarwa sasab sabarang kardi, lwire nastiti tansah, matitisken etung, lumuh tuna barang karya, ngeman marang laku kang datan pakolih, melang yen kalolongan. 24. Lwiring ngati-ati jroning ati, masang netya murweng manubawa, ngarah-arah sabarang reh, patraping tindak tanduk, laku linggih solah lan muni, mung ngesthi tyas wiweka, wikan ing pakewuh, lamun lagi pinitaya, pinasrahan angopeni barang wadi, tan kena asembrana. 25. Pangkat kaping tri ingkang winarni, gumati myang mangreti mirantya, kang gumati iku lwire, tumemen kang tinemu, tumanem ing manah dennya mrih, ngopeni mulasara, tanpa taha tuhu, kang mangreti wardinira, bisa nuju prana angon angawruhi, wahyaning masa kala. 26. Mungguh wardining kang amiranti, tansah dennya cacadhang ing karsa, manci-manci sawancine, taberi amrih sarju, jaga karya rahina wengi, yen iki tinuhonan, kinasih ing kakung, kasebut ambek utama, Ken Sarwasri mastuti tumameng ati, wulanging yayah rena. 27. Marma kasub kotamaning estri, akeh ingkang ngebunebun enjang, sosowangan wong sasawen, tan ana kang panuju, dennya maksih karem semadi, sang resi anggung tikbra, wawangsoning wuwus, apa baya sutaningwang, tembe antuk jodho singabarong langking, samana katemahan. 28. Sri Bathara Jayabaya nguni, samuksane garwa Dewi Sara, tansah tajin dhahar sare, tahan kataman ing kung, mung manungku pudya samadi, aneng jro pamursitan, kongsi tigang 277 PNRI
tengsu, antuk wangsit winasita, sarahsaning cipta sasmita marengi, meh luwar kang subrata. 29. Waskitha yen garwa prameswari, wus anunggal dadi sakahanan, lan paliyan kamulane, duk samya atmeng dangu, mangkya karan Rara Sarwasri, yoganing Resi Drawa, ingkang adedunung, graning wukir Kawi wetan, sri narendra sekung tyas arsa ngulati, wisata tanpa wadya. 30. Prapteng srengganing kang wukir Kawi, amiyarsa lamun sang dyah rara, durung ngesthi wikramane, kongsi kang rama kau, awewangson wuwus pribadi, angira tembe baya, antuk macan wulung, samantara sri narendra, ngungun ing tyas malih singabarong langking, asmu wilis sembada. 31. Tumameng jro padhepokan nuli, anoraga solah bawanira, tinakonan muwus sareh, Kesawa namanipun, nedya momong Rara Sarwasri, sang resi kapiteng tyas, mangu amiduhung, dennya muwus wewangsonan, katemahan macan wulung anemahi, sang wiku katambetan. 32. Nanging sutanira Ken Sarwasri, wus waspadeng pandulu tan samar, lamun iku sajatine, kadadyan ratu agung, panjanmaning Hyang Wisnumurti, jumeneng ing Mamenang, sang dyah sinung emut, kang ameca jroning rasa, Ken Sarwasri jatukramanireng wuri, awarni singa kresna. 33. Winarahken mring rama sang resi, anggraita yen pandoming dewa, dadya mupus ing papasthen, samana sampun dhaup, kaestrenan sagung maharsi, tekyan sewa sogata, samya nguyuayu, rahayune pamiwaha, pareng para widadara widadari, sesanti mangestawa. 34. Ing antara sampurnaning kardi, kang samya sung raangestu bubaran, macan wulung duk pamite, minta kang mangka sangu, amung wiji kakacang wilis, wewelingira marang, marasepuhipun, yen martuwi amanuta, tuwuhane kacang ijo dipun kongsi, kapanggih kang pinaran. 35. Resi Drawa amituhu yekti, tan antara singa kresna mesat, anggawa kang garwa mangke, ginendhong aneng pungkur, sapraptaning praja wus salin, suwarna jatinira, Jayabaya prabu, samana wus kawarteng rat, lamun Dewi Sara mangkya gesang malih, Sarwasri namanira. 278 PNRI
36. Ing antara mangsa sang maharsi, arsa tuwi maring sutanira, wus miranti gegawane, sahananing wong gunung, endhang resi kang nggendhong dadi, sagrengan winatara, kelaring lumaku, mangkat tan amawi rowang, dennya durung karuwan paraning pamrih, tumekeng pangupayan. 37. Mudhun saking arga duk udani, tetuwuhaning kacang wilisan, tan atebih antarane, tinurut ing sapurug, kongsi prapteng jro praja maksih, anurut kang kawuryan, kacang ijo tuwuh, temah mangkya ingacaran, denira sang apatya kinen tut wuri, tumameng dhatulaya. 38. Sang Resi Drawa anut tumuli, prapteng ngarsa nata duk tumingal, Ken Sarwasri pasilane, jajar lan sang aprabu, angungun tyas tan wruh ing wadi, samanten kawistara, saking pasang semu, semangira Resi Drawa, marma laju ingacaran wuwus manis, dening sri binathara. 39. Lah ta paman den kapareng ngriki, sampun tebih enggennira lenggah, lawan sutanira mangke, ywa pae duk neng gunung, den parek myang swaminta bibi, subasita sirnakna, wruhanta wakingsun, mangkya dadya sutanira, darunaning nguni ngong kunjana kingkin, wit tinilar ing garwa. 40. Aran Dewi Sara prameswari, sanalika tyas limut karantan, taksih geng wegel wirage, musthi mangesti kayun, yen tan antuk lilipur nuli, kang kadi Dewi Sara, nedya nganyut tuwuh, milalu laraning nala, neng pahoman meheng mahas pudyastuti, megeng maneges karsa. 41. Tanduking don sang murweng dumadi, sru marsudi sidhining parasdya, kadiparan kasidane, lalakon wekasipun, sinung asih pitulung nuli, ing hyang kang amisesa, waluyaning kayun, yayah mangayut pralaya, kadautan ing usada wanudyadi, dadyardeng tyas ardaya. 42. Tan kawawa mawet genging wingit, labet karoban turidasmara, marawayan luh wijile, saking kinungkung ing kung, sekunging reh manungku puji, sarira trima ngrentang, ngrerentak lwir wiyung, tan sinuyunan ing toya, temah madres katrahan warsa martani, anartani wasita. 43. Wewentehan denira mamarti, adan nanduki tuduhing dewa, memba lumembar nalangke, mring wukir Kawi wau, mar279 PNRI
ma paman ngong laksanani, wit rindyah Dewi Sara, amanukmeng dunung, neng Sarwasri sutanira, wus kapasthi mapan kedah minangkani, amijeni prajarja. 44. Manguyuni kawiryawan wuri, mila kula nempuh byat ing lampah, sesandi warananing reh, mancala singha wulung, supadi tan katareng janmi, myang amiyarsa warta, yen sutanireku, dereng nedya mangun krama, lamun kula tan sarana malih warni, bok tinampika nistha. 45. Marma kula amiminta winih, kacang wilis pan minangka tandha, ing pratingkah wekasane, tarlen mung minta maklum, maring paman kalawan bibi, denira dahat karya, sangsayaning laku, angsung samar ing awerda, katujune sami karaharjan mangkin, sang resi duk miyarsa. 46. Sabdaning sang Sri Jayabaya ji, yayah jinait raosing driya, sakala sirna nalare, kapileng marikelu, kaluntaning cipta lir ngimpi, sajroning pagulingan, wungu pungun-pungun, tansah ngungun anglocita, e bathara nora kena den kikibi, mbuka salwiring sedya. 47. Teka elok ing lalakon iki, nora nyana mangkene dadinya, tan antara Ion ature, dhuh pukulun sang prabu, sakamantyan sotyaning dasih, anglir kalap sakala, limuting tyas muput, kalingan sengkeling cipta, kaprabawan wibawaning sang siniwi, lwir sumengka wak braja. 48. Mrojol saking panyakraning budi, aprasaksat manggih swarga mulya, dene kamulyan ing tembe, tan andimpe pukulun, yen manggiha kadi puniki, yekti pun patik begja, kamahyangan sewu, sukur ing sang murweng tingkah, mahangsung genging nugraha andhatengi, ingkang tanpa timbangan. 49. Sakalangkung dahat ing pamundhi, cinandhi ing embun pinusaka, pinudyarjeng kasidane, ing sabda jeng sanghulun, susatya sih marang ing dasih, mugi tulus salama, sumala neng kayun, mangayun-ayun ing cipta, mangayuni pangayoman ing sabumi, sumrambah tri bawana. 50. Awasana angsung ling ing siwi, babo sutaningsun den abisa, suwiteng dudu samane, dhasar ratu dibya nung, panjanmaning Hyang Wisnumurti, kasub kaonang ing rat, susantya mbeki280 PNRI
pun, waskitha salwiring tingkah, sira nini engeta asaling cilik, den banget sukurira. 51. Anarima mring kang murweng gaib, sinung wimbuh wimbaning nugraha, sumarambah wibawane, asor kinarya luhur, mangka kinen amisesani, sesining dhatulaya, yekti sugih maru, para putri kang utama, den tumanem bisaa mong angemuli, mring para marunira. 52. A j a karya sakserik ing ati, den araket rukun kadi kadang, ywa cipta sinihan dhewe, ana teladan luhung, prameswari Ngastina nguni, garweng Sri Sudarsana, tur darahing luhur, atmajeng patih Supadma, apaparab Retna Dewi Padmasari, kasusra mbek susanta. 53. Anoraga among rumaket sih, kinemeron maru marunira, tinahenan ing tyas sareh, saking ajrih ing kakung, lan rumasa kalamun abdi, mangka Sri Sudarsana, garwa kondhangipun, pangrembe salawe kehnya, beboyongan ing Manimantaka nguni, garwaning raksasendra. 54. Duk anembe pan kaseser ing sih, kesi-esi ing sasolah bawa, sinaru maru-marune, nganti kalakon iku, mring kang raka kinen sumingkir, kineker ing udyana, tan lengganeng tuduh, meh kasingkur sihing nata, labet saking karoban sihing pra rabi, anom mamalad prana. 55. Parandene nora pisan gingsir, ing tyasira muhung anarima, sinorken sih sarirane, kawimbuhan ing dangu, duk sang prabu Sudarsana ji, met srana puputraa, miluta pitulung, maring Bagawan Mintuna, sinung pelem cipta sarasa satunggil, kinen andum ing garwa. 56. Yekti tembe apuputra sami, sri narendra gya angayubagya, sang bagawan sawelinge, pelem pinrucah sampun, amung dadya salawe iris, dinumaken ing garwa, pangrembe sadarum, telas datan kalabetan, muhung kantun peloking pelem kang maksih, munggweng talam kancana. 57. Sang aprabu supe garwa padmi, kalingan sih ing garwa taruna, tan komanan ing papancen, parmaning jawata gung, parekaning sri prameswari, sinung osik sakala, pepelok sinambut, binekta maring ing taman, ingaturken Retna Dewi Padmasari, pelok dyan ingamudan. 281
PNRI
58. Cangkelegan raosing panggalih, denira tan sinung dagingira, langkung mirasa raose, pepelok nulya kolu, sang dyah lengleng ngungun tan sipi, wusing antara lama, pra garwa sadarum, samya wawrat sowang-sowang, sri narendra kalangkung sukaning galih, katarima ing karsa. 59. Wusing masa nulya asisiwi, tumaruntun putranira priya, apekik-pekik warnane, dene kang garwa sepuh, pan ambabar amios kijing, sangsaya amimirang, para maru-maru, cumacad cumela-cela, sang Dyah Padmasari kendel tan anggalih, pasrah sang murweng titah. 60. Sri narendra api tan miyarsi, maring putra kang asalah warna, kasesenan ing putra keh, antara ri sang prabu, tedhak maring dhepok ing wukir, Rasamala samana, saha garwa kebut, kang putra samya ingemban, karsa nata pinundhutken sawab nami, mring Bagawan Mintuna. 61. Enggaling carita sampun prapti, panggih lawan sang amahadwija, winedharaken karsane, sang tapa wus anurut, sowang-sowang tinengran nami, ri sampuning mangkana, sang bagawan matur, maring sang maha nararya, lamun maksih darbe garwa tuwin siwi, kang alangkung priyangga. 62. Prabu lingsem ing tyas dahat kumbi, lamun sampun tan adarbe garwa, miwah putra ing liyane, kadi kang wus winuwus, sang bagawan mesem dennya ngling, tan kenging kinilapan, sru pangudinipun, sang nata temahan jarwa, lamun tuhu maksih darbe prameswari, peputra salah warna. 63. Warna kijing pramila sinandi, sang bagawan mesem ajajarwa, amelehken sawadine, narendra myarsa ngungun, sanalika datan kenangling, ngrerapu sang mahdwija, sarya anabda rum, dhuh sang sotyaning bawana, aywa susah pun bapa kang mulya yekti, saweg damel kelokan. 64. Dening dewa sampun aprihatin, mangkya garwa tuwin putradika, sampun prapteng wukir kene, ing wau angrerantun, tedhakira sri narapati, sasampuning mangkana, sang dwija anuduh, cantrik kinen ngaturana, duta mesat tan antara dangu prapti, ngiring sang prameswara. 65. Putra nata kang awarna kijing, sanalika dyan sinidhikara, sarana mantra kamanden, katarima sang wiku, wus nirmala 282 PNRI
waluya jati, pan awarna manungsa, sambadeng wawangun, sigit aruruh dyatmika, cahyanira gumilang-gilang nelahi, kadi wulan purnama. 66. Ingkang ibu lengleng ing panggalih, dene sewu dahat tan anyana, lamun makaten dadine, wasana sukeng kalbu, myat warnaning putra kang sigit, pae lan para putra, ing sadayanipun, narendra ngungun kalintang, myang kang mulat tan ana bisa cumuwit, yayah wong anyupena. 67. Sang bagawan nulya matur malih, dhuh pukulun jeng sri naranata, kauningana ing mangke, putra paduka prabu, kang amulya jatining janmi, amba parabi nama, ing sapantesipun, narendra mangayubagya, sang sutama sampun sinungan wawangi, Raden Kijing Wahana. 68. Inggih Kijing Nirmala prayogi, mangka pemut rehning lelampahan, yekti punika ing tembe, kang kuwawi amengku, ambawani kang bawana di, gumantya ing paduka, minangka babaku, payomaning kadang warga, prajanira ing benjang apan angalih, mring laladan Wiratha. 69. Sri narendra suka duk miyarsi, wecanira Bagawan Mintuna, temahan dahat geng sihe, mring putra kang pinunjul, tan keneng sah lawan sang aji, ing sakala kemutan, mring garwa kang sepuh, kang setya tuhu ing priya, para garwa pangrembe ngungun tan sipi, wrin ing reh kaelokan. 70. Tan antara dyan kondur sang aji, saha garwa putra sadayanya, sapraptanireng pura ge, prameswari kang sepuh, sang kusuma Dyah Padmasari, tetep dadya pangarsa, garwendra sadarum, mangka musthikaning pura, wenang angreh kawasa amisesani, sajroning dhatulaya. 71. Para garwa pangrembe sang aji, langkung ajrih sungku sungkemira, ing sakarsa ngestokake, rumaos yen angayum, parandene Dyah Padmasari, samendhang tan angrasa, yen mangka tetunggul, maring para marunira, mandar raket rumaket lir kadang yekti, cipta samya ngawula. 72. Datan ana kang winalang ati, malah maru yen antuk hrunira, maring raka sasolahe, sinuwunaken maklum, supadyarja dennya dadasih, sumawita ing priya, sayuk sabayantu, tan kasang283 PNRI
sayeng wardaya, angidhepi yen tedhaking Dwarawati, ngimpuni kaninditan. 73. Tuhu lamun mamaniking bumi, prameswarining Sri Sudarsana, pantes dadya ondhe-ondhe, sumawita ing kakung, anetepi ambeking estri, atemen katemahan, utama tinemu, kataman ing parimarma, ya marmane den abisa ngirib-irib, labuhan kang mangkana. 74. Tur tinimbang lawan sira nini, mungguh lelurining para bangsa, sayekti dudu simake, samono ambekipuft, panganggone suwiteng gusti, eling yen kawisesa, sira den tuwajuh, sinung wimbuh geng nugraha, pan sepira nini begjanira mangkin, ing tyas aywa pepeka. 75. Dipun wedi bekti anglakoni, ing sabarang parentah sang nata, lahir batin aja mengeng, lawan aywa nakingsun, rumasa yen ginarweng aji, ngrasaa yen kawula, suwita ing ratu, wenang kapurba wisesa, dadi datan arda ing driyanta nini, widada salaminya. 76. Wekasingsun yoga dipun eling, aywa kandheg ing ucapucapan, kang abisa matrapake, arahen nyatanipun, sabarang reh ingirih-irih, aywa sadaya-daya, den watareng kayun, duduga lawan prayoga, aywa tilar riringaning nitya lungit, laksitaning nityarja. 77. Dadya temen welasira nini, mring wong tuwa kang nglakoni lapa, sira kang nampani angger, ugering nugraha gung, Dyah Sarwasri dupi myarsi, warahing resi rama, kalangkung anuhun, kapundhi ing murda dadya, jejimating gesang kawula salami, ing pangestuning rama. 78. Mugi sageda ulun lampahi, dhateng paring paduka wuwulang, kang mrih utameng ambeke, kadya kang wus winuwus, papangkatan suwiteng gusti, busananing akrama, setya tuhunipun, sageda tulad angraras, ambekipun kusuma Dyah Padmasari, prameswari Ngastina. 79. Pinten banggi saged angepleki, lelabetan labuhan utama, linanteh ing salintire, kasidaning tumuwuh, sinungana saharsaning sih, dunya prapteng delahan, sinardueng sadu, sinidhikareng ciptarja, pajampua sinambadan ing pangesthi, yektyamba tan lenggana. 284 PNRI
80. Nihan ing antara risang resi, pamit lengser maring padhepokan, wus linilan sakarone, datan winarneng ngenu, sampun prapta ing mukir Kawi, kendel pan dongengira, Ni Camporet wau, mring suta Rara Kumenyar, alon mojar nini den grahiteng galih, tuladan kang utama. 81. Keni kinarya lepiyan iki, pratikeling wong suwiteng priya, manawa tembe sirangger, angawula ing kakung, angestokna dongengan iki, amanggih karaharjan, ing salamenipun, denira mangun akrama, sang Dyah Rara Kumenyar suka miyarsi, dongengan singa kresna. 82. Wus kacathet saraosing galih, alon mangsuli mring biyungira, kang mangkono sukur bage, dongeng dadi wuwuruk, mangka wungkal lukiteng budi, dumadi sudarsana, sasananing wadu, widagdeng sawadinira, pirabara kasawaban nugraheng sih, kaya kang wus ginita. 83. Nyai Buyut sukanira ngenting, sang dyah rara tansah ingarasan, tumeleng kasok tresnane, andungkap bangun esuk, retnaning dyah mijil ing jawi, sedyarsa maring sendhang, sarya angindhit jun, asta anyangking wantingan, kararantan tyasira manawung wingit, limut ing kalaksitan. 84. Kawarnaa kang awarna peksi, linggar saking ing lalangyan sekar, patamanan ing Pagelen, sedyanira mring dhukuh, Cengkarsasra parlu martuwi, ing kaharjaning bapa, lawan biyungipun, dupi prapteng pinggir sendhang, aningali wanudya ayu linuwih, cahya anuksmeng wulan. 85. Paksi menco kacaryanan ngliling, anenawang wewangunanira, pantes pasang pasemone, paksi wangson ing wuwus, iki baya kenya ingendi, ngasorken langening rat, senene sumunu, semune angemu susah, katongton ing netya alum-alum manglih, malah sru wiwiletan. 86. Dene memela memelas asih, eman-eman yen tan kasatmata, rinaket dening wong gedhe, lan iki wong ing dhukuh, parigele tan angamboni, lamun wijilan desa, kaping kalihipun^ ing pasang rakiting wanda, myang pamulu rompyohing sarira mirib, gusti sang parpatmaja. 87. Dene salawase ingsun tan wrin, ing warnane wanudya punika, siora duga ingsun kiye, sunaring cahya mancur, baya iki 285 PNRI
trahing narpati, kinarya lelampahan, dening jawata gung, paran rehing mula buka, teka dinunungken aneng Cengkarsari, amemba wong padesan. 88. Mendah iki sun aturken gusti, kadi dadya usadeng turida, enggar dennya mong wirage, iya manawa iku, kena ingsun puluti pamrih, katur ing gustiningwang, mendah sukanipun, mbok mangkya mangka jalaran, ananarik nirmala waluya jati, saking sih katarima. 89. Sawusira ngrarantam ing batin, menco nulya medhar kekidungan, sinawung ing tembang gedhe, swaranya manis arum, layu-layu amilangoni, kagyat sang retnaning dyah, maksih umunumun, samun remeng-remeng mamang, kalimunan dening amunamun enjing, karya mamaras ing tyas. 90. Wingwrin awrin kengran angaweri, dadya muwus wawangson priangga, lah swaraning apa kiye, kaya wong angengidung, kadingaren ana memedi, lukiteng lelagonan, maweh salang gumun, apa kadadean janma, wus apadhang sunaring pradanggapati, katon sang roning kamal.
286 PNRI
VIII. SINOM
1. Sang Dyah mangu ngungak-ungak, anon luhuring waringin, ana menco mencok ing pang, rungak-rungak alon angling, apa ta baya iki, memedine kang ngingidung, kang kadi angengudang, mengko kawadakeng wadi, ndadak karya pangramtan kang ora-ora. 2. Menco mesem duk miyarsa, wasana amuwus sarwi, tumurun marek. sang rara, kulangger dede memedi, paksi menco sayekti, sang dyah sangsaya sru ngungun, mangangen-angen ing tyas, nanduki pangandika ris, layak bae sun kira peri prayangan. 3. Myang dhanghyang kang mfckayangan, rumaksa sajroning beji, teka langka katalika, manuk bisa basa janmi, lan widagdeng kekawin, ura-ura manis arum, ingsun tembe tumingal, kang kadi warnanta iki, paksi raras sarwa sri sarwa sambada. 4. Menco matur angrerepa, dhuh sang apindha absari, kawula wasta pun Jamang, saking Pagelen nagari, kang sinrung langensari, mangka meng-amenganipun, Raden Jaka Pramana, satria dibya dimurti, kamulyannya kawula menco wawanan. 5. Pinilala alit mila, winulang ing kramaniti, lanteh tinetah satitah, wasana amuwus wasis, ing basa sawatawis, myang ambawa tembang kidung, tutut saged anjilma, dene praptamba ingriki, inggih amung ngenggar-enggar met pasaban. 6. Angasokaken sarira, mentas karipan ing ratri, sapraptamba wonten sendhang, arerem witing waringin, teka marem tyas aring, kasliring ing maruta rum, rumaras trusing driya, aras-arasen lumaris, pan kasaru nyumerepi sang dyah rara. 7. Rawuh niawa jun wantingan, kadyarsa siram ing warih, saya bengkas lesu lesah, karipan tan anglabeti, karenan mikenani, senening warna sumunu, umemba bandaramba, lwir jambe nem sigar palih, wiletaning pasang pamulu tan siwah. 287 PNRI
8. Miwah ing pada wadana, mboten katenta nyamani, balik paduka sang rara, inggih wijilan ing pundi, ulun nembe udani, kang kadi warna sang ayu, wonten ing Cengkarsasra, sang dyah nalika miyarsi, turing paksi keksi saosiking karsa. 9. Ketang kararantan ing tyas, dennya mentar tilar puri, sinamun ing samudana, sasadon ingadu manis, winedharaken ing ling, he kukila araningsun, Niken Rara Kumenyar, kamulanira sun iki, ngulandara apapa kawelas arsa. 10. Pinupu ingambil suta, mring buyut ing Cengkarsari, kadi sutane priangga, tanpa subasita yekti, menco umatur malih, lamun makaten sang. ayu, ulun nuwila ganda, tumut rumaksa ngemongi, dhuh sang rara ing mangke kawningana. 11. Pan inggih amba punika, nguni pan sampun ingambil, suta mring buyut karonya, tan kenging sah siyang ratri, wonten ing Cengkarsari, sang retna ngandika arum, he manuk yen mangkana, kalingane sira iki, lawan ingsun pan isih sadulur angkat. 12. Paran mula bukanira, sireki ingaken. siwi, menco umatur sajarwa, wite nalika kapanggih, aneng tengah wanadri, wasananira pinupu, dadya u m a n j i n g s u t a , sang retna duk miyarsi, gantya jarwa yen ingkang karya raharja. 13. Jalaran saking andaka, menco tanggap matur aris, mangayubagya ing karsa, dene kasdu mamalad sih, miluta kadang peksi, amung mengkua mamaklum, angling Rara Kumenyar, iya nora beda yayi, padha titah wus pancene sowang-sowang. 14. Lan mengko sun paring aran, pan minangka tandha yekti, rakete kadang taruna, Sinom paparabireki, Jamang nuhun kapundhi, mangayubagya ing kayun, mangka caya-murcaya, gesang kawula salami, mugi-mugi jawata nembadanana. 15. Sang dyah dahat sukarena, wasana ngandika aris, he yayi ingsun tatanya, teka karipan saratri, nganti tan antuk guling, paran dadi pakaryamu, apa amaca layang, apa anyindheni gendhing, anujoni wiyosaning bandaranta. 16. Jamang matur tan kadosa, awrating suwiteng gusti, siyang dalu tan kenging sah, aneng pasutan sinandhing, kalamun anujoni, bandara karsa ngengidung, kawula wonten dagan, ing saratri ameteki, sakendeling mangun raras kekidungan. 288 PNRI
17. Ulun lajeng dhinawuhan, sumambung ngraras kekawin, dedongengan jaman kina, rinumpakeng sekar kawi, ngantos tekeng saratri, pinilihan kang pakantuk, amawa pralampita, kadhang siyang bamban malih, wiwit enjing dumugi seraping surya. 18. Marma amba aleledhang, ngiras pantes angulati, yen wonten menco wewanan, kawula icuk ing pamrih, sageda tumut ngabdi, ragi wonten mayaripun, ing pandamelan kula, wonten kang gilir gumanti, antuk ngaso ing dalu kalawan siyang. 19. Sang rara malih ngandika, apa jalaranireki, manggung rpinggu ing papreman, siyang dalu murweng kawin, menco umatur malih, saweg nandhang lara gandrung, lawan putri Jepara, tan wrin purwanya inguni, wus katawis yen angraras kekidungan. 20. Makaten kang rurumpakan, bandara sang narpasiwi, angger retnaning Jepara, pa genea salah dalih, kaduk tyas bela tampi, teka ndadak andadarung, miruda saking arda, adreng kelu wong kalilin, alin-alining nala kang linabuhan. 21. Tan tolih ing ibu rama, samya rudah angrudatin, angger atma jiwaningwang, paranira maring endi, mbok iya awawarti, mengeti kang kapirangu, sanadyan tan sudyarsa, amung aywa sangga runggi, anggung ginggang amigena tyas wigena. 22. Rurumpakan mung sapada, sekar Bangsapatra kawi, wonten malih kang pengpengan, bandara yen angrerepi, ran sekar Sulanjari, dhasar swara manis arum, rumesep rasaning tyas, maluyakken wong asakit, siti sangar kajeng angker dadya tawa. 23. Sru martrenyuh sang dyah rara, tansah rawat waspa kongsi, marawayan. kang swanita, meh sumaput den sayuti, -tumungkul asmu wadi, nanging sambang liringipun, tan pati kawistara, marma wuwusira aris, lah ta yayi yen sambada ing wardaya. 24., Ngong wuruken rerumpakan, Bangsapatra Sulanjari, dimen lebdeng kekidungan, saking dahating kapengin, mangsuli inggih gampil, angger purun mamrih kawruh, sinau maca sastra, ing benjang yen sampun bangkit, datan kewran amardaweng lelagonan. 25. Amung mangke kaparenga, pun yayi mantuk rumiyin, manawi den arsa-arsa, ing bandara narpasiwi, wisata tanpa pamit, ngantos lungse praptanipun, sayekti kalepatan, sang dyah rara muwus malih, ing antara pirang dina balenira. SERAT CEMPORET - 19
289
PNRI
26. Winangsulan benjang-enjang, sarya mesat ing wiyati, sang dyah mangu mangunengan, ngungun ing tyas asmu tistis, tansah mar temah kongsi, kasok kang sipta sumaput, angleleh laju nendra, labet karipan saratri, kapirenan dening dongeng singa kresna. 27. Prapteng wayah lingsir wetan, Nyai Buyut angulati, duk sinusul maring sendhang, sang retna katemu guling, ing gilang pinggir beji, jun wantingan sandhingipun, mangu tyas sanalika, nyai buyut widhag-widhig, denira mrih tangi kang tanpa rekasa. 28. Marsudi tyas samantara, Nyai Buyut asesanti, dhuh dewa hyang hyanging sendhang, kang rumakseng suta mami, den becik aywa kongsi, kasalimur jroning turu, angimpi lelawora, malah antuka wawangsit, parek ingkang jatukrama priyatama. 29. Sang retna wungu sakala, miyat biyunge sumandhing, alon denira ngandika, apa wus suwe neng ngriki, Ni Buyut anauri, pan durung antara dangu, dhuh anakingsun rara, katon temen amlas asih, teka sare tepining sendhang gelimpang. 30. Amilara raganira, suwe ingsun anti-anti, angira kang ora-ora, sarehning wong darbe siwi, meleng tumeleng ing sih, marma kalakon sun susul, lamun arsa anendra, mbok munggweng pajangan sari, tur anutug tan ana kang munasika. 31. Sang retna wangsulanira, dhuh biyung minta aksami, sarehning mentas karipan, nora nyana lamun guling, aneng tepining beji, sedyaningsun arsa ngangsu, lagi ngaso amucang, sendheyan wraksa waringin, sumyar-sumyar kasilir ing samirana. 32. Ngleles rasaning sarira, remrem ayam nulya guling, lali rehning mula buka, yen sedyarsa ngambil warih, bareng samengko tangi, biyung wus sumandhing lungguh, getuningsun kalintang, kaya kalayaping ngimpi, ngungun ngangen-angen saplengan tan nyana. 33. Ni Buyut mesem amojar, lah angger wus payo mulih, mara angambila toya, kene padha sun rowangi, sang dyah rara nuruti, nyandhak kendhi angindhit jun, susuci mring patirtan, sawusira ngambil warih, lan biyunge laju umantuk mring wisma. 34. Warnanen kusuma rara, tansah karantan ing galih, wartaning sang menco Jamang, rumpakaning narpasiwi, kang 290 PNRI
sinawung kakawin, rarasing reh manis arum, rumaras ing sarira, yen papacangannya nguni, putreng Paglen satriadi wirotama. 35. Miduhung ardaning driya, gita datan wrin ing gati, anut warta lelawora, temahan nemu kaswasih, pakewed minangkani, ing lelakon kasalimur, elok yen kalampahan, kasoking cipta ngranuhi, menggah-menggah manggung minggu pagulingan. 36. Kapetek sru lara brangta, ingarem-arem tan aring, ruijiasuk rosing tyasira, seseg sanityasa tistis, ketang manganti-anti, Jamang denirarsa wangsul, leledhang maring sendhang, sanggup nedya wangsul enjing, anglocita he menco dadi pangancam. 37. Durung tutug amamarta, nuli acengkelak bali, pepanggile tan acara, sumakeyan yen den sihi, mring bandaranireki, tan menget kang kari mangu, manguneng karungrungan, renteng rumantam ing batin, mung kawangwang ing warta gawanggawangan. 38. Luhung aywa cacarita, tan karya huyanging ati, yen ngantia nora prapta, si Jamang cidra ing jangji, tan kenjer maring beji, baya yamyam wayang wuyung, kendhang ana ing sendhang, denira ngendhang-endhangi, kudhangdhangan ngandhar kandha durung tandha. 39. Apa ujar ngomandaka, nggone rumengkuh ngakoni, kadang kadeyan maring wang, wuwuse duk neng waringin, ngangen-angen ngangeni, yen mardi mardaweng kidung, kadyangganing sadpada, ngudi mamaduning sari, raras ruming swara maweh larasmara. 40. Kadi ngungudang wanudya, sambada widagdeng budi, ngadoni ing kamindakan, tindak tanduke akardi, ardaning driya kongsi, kumudu sedya miduhung, kaminudan kidungan, kang winadaka sawadi, bisa ndudut dadyedan dadak-dadakan. 41. Kebare bandaranira, lamun bawa murweng kawin, maweh tyas kuwur kaworan, kaweweran ing pangrengih, hyunhyunen amiyarsi, kerut ing swara rum-arum, rumaras manuhara, mendah yen mangarih-arih, amumurih rarasing reh karasikan. 42. Bisa temen gawe warta, sinamun amikenani, banjur rumengkuh mamadha, wong den emper-emper warni, kaya nedya tinandhing, tangeh yen kalakon cundhuk, rumasa badaningwang, wus papa kawelas asih, ngangka-angka anjangka dudu sesama. 291 PNRI
43. Lamun ingsun rasa-rasa, lir katepan nggayuh langit, babasan ambalang lintang, tiwas tuna tan ngenani, saking nora nggepoki, panggrayangan nyamut-nyamut, samono datan kena, yen karsaning jawatadi, gawe kaelokan lakoning kawula. 44. Yekti sumedhe ing titah, anglindhung kang murweng gaib, sawurisa angrarantam, sang retna sedyarsa guling, dhatdhatan nulya tangi, kagyat Ni Buyut Ki Buyut, alon denira mojar, kadingaren rara mangkin, niba tangi nggonira nendra tan eca. 45. Sang dyah tangkis samudana, ayak kemanjon sun iki, tagihane duk karipan, durung cumpu bisa pulih, labet lagi ngalami, melek kalantur sadalu, bisane sabil mata, saking kasengsem miyarsi, caritane dedongengan singa kresna. 46. Ki Buyut lan somahira, mesem denira miyarsi, wus angger nuli lerema, tikel nggonira aguling, nadyan muput saratri, aja acipta pakewuh, mendhak akarya lungkrah, sang dyah api-api guling, singep wastra lajeng mujung ing pajangan. 47. Nahan gantya kang winarni, patamanan Paglen mangkin, Rahaden Jaka Pramana, andangu embanireki, dene tan ana keksi, kalangenanira manuk, matur Nyi Wilassita, sadangunya wonten ngriki, mbok manawi saweg ledhang mring sagaran. 48. Sarehning paksi umbaran, boten sinungan tatali, lawan tan mawi sengkeran, sakajeng-kajeng kadugi, nadyan pawongan cethi, angon solah bawanipun, sasedyane pun Jamang, kitir wonten langensari, kang saestu inggih boten kasamaran. 49. Balik lamun kaoncatan, ngambara ing ngawiyati, sinten kang saged tut wuntat, dhateng bangsaning suwiwi, baya mung cerik-cerik, labet manusa barundhul, tan sinung mawi elar, prayoginipun samangkin, lamun mantuk kinaranji ing sengkeran. 50. Radyan Jaka duk miyarsa, dahat sandeyening galih, lajeng atindak priangga, angulari menco peksi, dangu tari ana keksi, ing langen udyana santun, rinangu king patirtan, menco tan antara prapti, dyan sinengan tumurun marek mangarsa. 51. Nulya tinanggapan asta, sarya sinung sabda manis, dadi ngendi sira Jamang, dangu nora katupeksi, menco umatur aris, saking dhukuh Cengkalsewu, leledhang ngenggar-enggar, kandheg eram aningali, wanudyendah kang cahya nuksmeng sasangka. 292 PNRI
52. Cinandra raras kawuryan, sarira rurus sarwasri, rema memak ngendrawila, sisinom angron sumemi, sogokan anglung pakis, athi-athi ngudhup menur, alis meles ngalela, netra jait lindri-lindri, grana ngrungih lathine manggis karengat. 53. W a j a lir sotya rinipta, rentet rinuntut adhamis, winangun tetesing warsa, wedharing sabda rum manis, pipi anjruk salining, karna nglir simbar rumembun, janggut lir mas pinatar, kang jangga lumung respati, ngulan-ulan pepundhak anaraju mas. 54. Kang j a j a wijang alenjang, bau anglir astra lungid, linud ing bayu sumunar, maya-maya amranani, kadi tejaning warih, ijo semuning pamulu, prambayun ngenyu denta, wadidang andindang lungid, bocong rurus cecethik anyupit urang. 55. Kekemel memet angraras, kang suku amuluh gadhing, dalamakan amisang mas, dariji samya mucuk ri, kanaka lir mas kentir, dedeg angronje mawang rum, manis uleng-ulengan, dyatmika masemu wingit, lir netepi ambeking putri utama. 56. Dangu dangu yen sinawang, prabanira narawungi, kadi peputran kumala, busana sarwa mantesi, bangkit ngrakit lelungkit, sambadaning pasang semu, met asrining sarira, winijang sawiji-wiji, isthanira kadi gambar wewangunan. 57. Tan mambu kusuma desa, sareng amba timbang liring, padoning pada wadana, sunaring netya umirib, lawan paduka gusti, rompyoh senening pamulu, mulus meleng ngumala, amung kaot kakung putri, semunipun lir ngemu mawa sungkawa. 58. Baya trahing Witaradya, ing wau lagya marengi, sang rara ngangsu mring sendhang, maksih wanci gagat enjing, raryan soring waringin, rungak-rungak mandheg mangu, mireng suwanten amba, ambawa tembang kekawin, pan sinengguh kang ambau rekseng sendhang. 59. Sareng sampun byaring surya, sang rara lajeng ningali, inggih dhumateng kawula, amba tinarka memedi, kawula amangsuli, lamun satuhuning manuk, menco lelangenira, ing Paglen paduka gusti, sanalika lengleng ngungun mangunengan. 60. Malah kawula cecongah, lajeng amba pepajari, rarasing reh kekidungan, yen paduka angrerepi, kayungyun amiyarsi, 293 PNRI
temahan ndheleg anjentung, yayah karantan ing tyas, wasanamba pitakeni, nama tuwin dunungnya ingkang susuta. 61. Sarehning nembe tumingal, wonten dhukuh Cengkarsari, ngaken papa kawlas arsa, pinupu ingambil siwi, mring Buyut Cengkarsari, denen panengeranipun, nama Rara Kumenyar, ulun nunten mirangketi, asajarwa nguni wus ingambil suta. 62. Mring buyut ing Cengkarsasra, sang rara karenan myarsi, tan taha angaken kadang, tanpa subasiteng krami, rumengkuh tembung adhi, ulun dahat tanggap tanduk, ri sampuning mangkana, kawula dipun parabi, nama Sinom mangka tandha sih katresnan. 63. Angraket kadang taruna, sareng danguning antawis, ulun anunten pamitan, wangsul umarek ing gusti, jalaran tanpa pamit, dennya leledhang mring dhukuh, kados tan sinungana, winanti-wanti abali, amba inggih sagah wangsul benjang-enjang. 64. Kendel aturing kukila, wau ta sang narpasiwi, Rahaden Jaka Pramana, ngungun nalika miyarsi, tumunjem ing panggalih, temahan kataman gandrung, maring Rara Kumenyar, kusumaning Cengkarsari, kang den ojat papajare menco Jamang. 65. Maksih sinamun ing netya, dyan kondur mring balesari, lan kalangenan kukila, samana kasaput ratri, ri sang narendrasiwi, manggung pasareyanipun, mangangen-angen ing tyas, kapanggihira ing galih, sedya arsa tinandha kalawan nyata. 66. Dumugining byar raina, menco kinen wangsul nuli, maring dhukuh Cengkarsasra, amawa sarana wadi, minangka angyakteni, wasiat paringing ibu, nenggih warna kalpika, sinung sosotya dumeling, panengrannya supe manik adiwarna. 67. Kasiatireng kalpika, bangkit angingirup warni, mangkana punang sosotya,- ri sampunira liningling, ingusapaken aglis, pasuryaning narpasunu, temahan jroning sesran, katon isi gambar adi, asawujud Rahaden Jaka Pramana. 68. Nulya pepajaring Jamang, sapraptaning Cengkarsari, panggih ing Rara Kumenyar, yen sampun waspadeng warni, gambaring narpasiwi, laju ingusapna gupuh, wadanane sang rara, sotya kinen nggawa mulih, rajaputra sedyarsa uningeng warna. 294 PNRI
69. Setya tuhuning pawarta, ri sampunira memeling, supe manik adiwarna, kinalungaken ing paksi, Jamang anuhun pamit, linilan ing narpasunu, mesat nggayuh gegana, warnanen ing Cengkarsari, Dyah Kumenyar kang tansah anandhang brangta. $
jfc jC
%
295 PNRI
IX. ASMARADANA
1. Sapraptanira byar enjing, sira Dyah Rara Kumenyar, amengeti ubayane, papajaring menco Jamang, kekencan aneng sendhang, anulya mring beji gupuh, sengadi angambil toya. 2. Tan adangu nulya prapti, aneng satepining sendhang, raryan mangu tyas katongton, ketang denira ubaya, wangsuling paksi Jamang, ngungak-ungak tan kadulu, luhur waringin tan ana. 3. Kathah suwaraning paksi, srangsangan amunya enjang, nanging sanes paksi menco, sira Dyah Rara Kumenyar, tyas uyang mawuyungan, ngayun-ayun kang kayungyun, pangayamireng wardaya. 4. Baya ta cidra ing janji, si menco pamecanira, apa ngoceh angacemong, sanggupe nora kayaa, wekasan ngayawara, ingsun dangu angrarangu, inganti tan ana prapta. 5. Yen kongsia mbalenjani, yekti akarya sangsaya, sun kendhang ing sendhang kene, tan dangu pangangenira, praptane menco Jamang, kekejer saking ing luhur, mudhun kayungyun tumingal. 6. Mara umarek sang dewi, tinanggapan aneng asta, den elus-elus embune, sang rara aris ngandika, sun sengguh tan tumeka, si Sinom kalulutingsun, meh milalu lalawora. 7. Sang kukila matur aris, boten watak doracara, pun menco pancene ngoceh, nanging ing sawecanira, ing catur ajrih oncat, nggen amba watawis dangu, anerangaken pitungkas. 8. Ing bandara narpasiwi, duk wingi ing sapraptamba, dinangu reh karanane, dangu datang katingalan, karya sandeyaning tyas, teka mentar tanpa tutur, meh kuwur kaworan hawa. 9. Mring pawongan kang sumiwi, labet sira nora nana, mung oneng kahanan ingong, kakasih kongsi kapisah, ulun matur sajarwa, ing purwa wasana katur, temah dadya larasmara. 296 PNRI
10. Mangkya karsa den yekteni, makaten andikanira, he Jamang sandeyaningong, marang ing papajarira, ingsun wus kapirenan, mring Rara Kumenyar iku, balik sang rara ing kana. 11. Mbokmanawa tan sudyapati, ingsun ingkang kalingseman, marmanta Jamang ing mengko, ingsun aparing pratandha, tuhuning wartanira, lah ta iki supeningsun, aran manik adiwarna. 12. Sajroning sosotya mesi, sawujuding gambaringwang, tongtona sang kadi sinom, yen wus saharju sang retna, genti sunga pratandha, ing warnane sang liring rum, irupen aneng kalpika. 13. Nanging den bisa sireki, enggonira amiluta, aywa nganti akaryewoh, kendel aturing kukila, sang dyah duk amiyarsa, lengleng ngungun mangu-mangu, kadi tan kena ngandika. 14. Kapanggihira ing galih, sira Dyah Rara Kumenyar, angyaktekaken ing wartos, samantara awas mulat, gundhalaning kukila, kinalungan sotya mancur, prabanya pindha kartika. 15. Sedyarsa ngalap sang dewi, kumalawe ingkang asta, getergemeter ndharodhog, pan saking prabawanira, sekar maksih tigasan, dereng kaingsep kang madu, pinardi dening sadpada. 16. Mangkya arsa narawungi, warnaning sang pindha padma, lwir bremara raras rume, marma karya ketering tyas, hawaning estri priya, sang menco mesem andhelug, konus kalpika tinampan. 17. Dinulu katon dumeling, gambaring sang narpatmaja, munggweng maniking susupe, cinandra rarasing warna, cahya andiwangkara, sarira lurus sarwa lus, dedeg pideksa dyatmika. 18. Prabanira anelahi, yayah parada binabar, ngemu duhkita ngalentroh, lagya ngore-ore rema, sinung srat sinukarta, ing cucundhuk sekar andul, mawa ron mimbuhi raras. 19. Rema memak masmu wilis, kasunar senening netya, anjrah anjelareh ijo, amranani ing sarira, karya asrining warna, anglir kancana sinawut, cinawen ing karawitan. 20. Angarawistha kang weni, yayah sobrah amardapa, raratrarat murweng sorot, sogokan wangi mamanda, gedhah ngendhanu raras, wimbuh wimbaning pandulu, yayah teja ngemu tirta. 21. Athi-athi ngudhup turi, palarapan natar arga, linuding babayu ijo, kadi puspita mandara, alis angroning imba, malengkung katon ngunguwung, netya lir sagara muncar. 297 PNRI
22. Grana sedheng angrurungih, pindha kancana pinatar, lathi kengis menger-menger, amimba manggis karengat, waja anglaring kombang, menges arentet winangun, istha amiji samangka. 23. Pipi anduryan salapis. karna andala pawohan, anglunging jangga katongton, kadi manyura lumarap, pundhak lir pratola mas, j a j a wijang ijo semu, bau anggandhewa denta. 24. Wadidang lengkeh anglungid, pasilan alus memalad, suku lir wratsari tinon, dlamakan pindha sangsangan, jari mirit tilarsa, kanaka kadi mas luru, senening reh sarawungan. 25. Kumenyaring netra wingit, netepi satria tama, sikoning pamulu rompyoh, yayah dukut tumaruna, kataman tirta marta, sinambang liring ing semu, lir jawata ngejawantah. 26. Wusnya tamat ing pangaksi, gambaring sang narpaputra, sang dyah sumaput kang panon, nglegeyeh sumendhe wreksa, lir pecat jiwa kendhang, sakala tyas kerut korup, ing maniking adiwarna. 27. Karungrungan nahen wingit, sosotya sah saking asta, tanggap cinucuk sang menco, sinlobokaken ing jangga, myat sang dyah tyas katresan, gugup marek ngimur-imur, dhuh dhuh sang adining kenya. 28. Dipun sabil ing panggalih, sampun lalu kalayatan, emuta dhateng pun Sinom, tebih-tebih linampahan, nedya reksa-rumeksa, condhong cundhuking sarembug, wekasan karya duhkita. 29. Yen makaten kawula mit, tan saged angraosena, lamun sangsaya dadine, denten praptamba punika, nedya karya raharja, ulun pupuja saestu, mangka pandam pangauban. 30. Luhung den santoseng budi, kadi nunten kalampahan, mukti sari sakarongron, mangun kalangyan ing pura, sakarsa kasembadan, tyas menget sang retna wungu, pungun-pungun lir supena. 31. Lengleng adangu tan angling, anglir tugu sinukarta, sang menco umatur alon, paran darunaning driya, teka tan angandika, -punapa boten panuju, ing gambaring bandaramba. 32. Sang dyah seret amangsuli, sarya angelus kang rema, heh wruhanta yayi Sinom, ingsun pan nora katenta, darbe cipta mangkana, marma supe datan muwus, rumasa badan priangga. 33. Dupi uninga ing warni, citraning bandaranira, rajaputra ing Pagelen, mangu moneng kaonengan, yen tan kanggo ragengwang, dene dudu timbangipun, bandara lawan-kawula. 298 PNRI
34. Ingsun tedhaking pracori, kana tedhaking kusuma, paran bisane kalakon, manggung karya larasmara, menco duk amiyarsa, marek sarya makidhupuh, manis arum aturira. 35. Dhuh dhuh sang pindha absari, teka sandeya ing driya, kang makaten saestune, sampun wonten ing kawula, tanduking yogyapara, ulun wangwang pasang semu, dhawuh karsaning bandara. 36. Kados tan-mawa balung ri, anut saatur kawula, pramila ngantos kalakon, amaringi tandha gambar, munggweng jroning sosotya, supados paduka sarju, saharja samya sinedy'a. 37. Lawan katitik ing m a ^ k i n , marem dennya lara brangta, maring putri Jeparane, kalingan atur kawula, lintu dhateng paduka, mila estu sampun tamtu, ing sedya tuhuning karsa. 38. Kawula kang tanggel benjing, yen ngantosa andupara, sirnanen ragane menco, dadosa banten tempahan, tan garantes samendhang, sang retna ngandika arum, yayi Sinom yen mangkana. 39. Babasane ingsun iki, lir sela kelem ing tirta, elok bisane timbule, tiwas tuna tanpa guna, malah katula-tula, menco alon aturipun, yen sampun karsaning dewa. 40. Yekti tan saged sumingkir, andhap luhur kalampahan, sampun kathah tuladane, para ratu kina kina, amek darahe sudra, awekasan dados luhur, tan pilih tibaning begja. 41. Sinten kang saged amasthi, tekaning begya druhaka, lawan tekane kapaten, miwah tekane ing lara, ghaib kang murweng titah, kawula muhung anglindhung, sumendhe ing karsaning hyang. 42. Duk miyarsa sang retnadi, asrep ing tyas sanalika, mengeti dodongengane, Ki Buyut kang wus winarta, Sarwasri singha kresna, wasana ngandika arum, yayi mungguh prayoganya. 43. Ingsun iya mituruti, dhasar sira wus widagda, anetepi dadi jontrot, menco mesem ngaras pada, matur dhuh sang kusuma, sosotya paduka pundhut, kausapna ing wadana, 44. Sang dyah laju anuruti, ririh angalap kalpika, ingusapken pasuryane, byar katingal katon gambar, munggweng maniking sotya, datan asiwah sarambut, warnaning sang kadi retna. 45. Ngungun denira ningali, kasiyatireng sosotya, dene ghaib akaryelok, menco anulya pamitan, sang dyah ngulungken sotya, Jamang angambara silum, kang tinilar kari brangta. 299 PNRI
46. Anjenger lir tugu manik, sangsaya karantan ing tyas, karungrungan reh wirangrong, rangu-rangu kaonengan, lengleng warnaning gambar, mengeti tingkah ing dangu, nunutuh sariranira. 47. Denira dreng anuruti, ing karsa kang tan saranta, ing wekasan akaryewoh, empaning lampahanira, pamuntuning wardaya, pan wus karsaning dewa gung, paran denira mingkara. 48. Sang retna lumampah ririh, nedya mantuk maring wisma, ngalentreh pindha wong luwe, mandheg mangu sangu brangta, sapraptanireng wisma, sang retna laju anjujug, aneng ing pasuptanira. 49. Mujung nungkemi guguling, mangka panamuring brangta, ingarem-arem tan sareh, tyas tansah poyang-payingan, kararantan ing gambar, ing warna kang karya gandrung, rajaputra priyatama. 50. Gumantung tungtunging ati, cumanthel padoning tingal, narendraputra Pagelen, saking dahat sinabilan, angles sang dyah anendra, sinigeg datan winuwus, warnanen sang menco Jamang. 51. Lampahira sampun prapti, wonten ing langen udyana, kukila tumurun alon, anjujug ing ngarsanira, ri sang narendraputra, tinimbalan marek gupuh, sotya katur ing bandara. 52. Anulya ingunus ririh, ingagem munggweng ing asta, sarya angandika alon, rada suwe sira Jamang, banget sun arsaarsa, kukila alon umatur, ing purwa madya wasana. 53. Ngungun sang narendra siwi, laju angliling sosotya, mirsani gambar sang sinom, langkung denira kacaryan, nglengger tanpa ngandika, saya wimbuh tyas anggandrung, maring Dyah Rara Kumenyar. 54. Salejarira ing galih, mangkana rarantaning tyas, eloking lalakon kiye, dene kusuma ing desa, darbe warna mangkana, kadi darahing ratu gung, ewuh ing panduganingwang. 55. Ingsun rasa baya iki, rajaputri ing Japara, ingkang murca lalana ndon, namur momor ing padesan, nguni kang wus pinacang, jinatukrama lan ingsun, teka karya larasmara. 56. Wasana ngandika aris, mring kalangenan kukila, heh ta Jamang prayogane, ing tanduking lalampahan, iya binudi daya, aja nganti akaryewuh, lawan aja kaloreyan. 57. Paksi menco matur aris, inggih sumangga ing karsa, jangji ing tembe kalakon, rehning amba wus ubaya, dhateng sang kadi retna, kusumaning Cengkarsewu, ananggoni yekti karsa. 300 PNRI
58. Rajaputra ngandika ris, aywa sandeyeng wardaya, dhasar ingsun sedyakake, baya wus karsaning dewa, iku timbanganingwang, tyasingsun teka kayungyun, muhung wagele sun rasa. 59. Paran puwaraning kapti, sun nguni tinari krama, maring jeng rama sang katong, antuk sang Dewi Suretna, rajaputri Japara, datan anut ing satuduh, ing mangkya salin salaga. 60. Sedya mangun palakrami, suteng pupon buyut desa, iba jeng rama dukane, akarya kusuding praja, ngasorken kawibawan, jenenging ratu pinunjul, tan arsa tumindak nistha. 61. Menco legeg tan kenangling, mangangen-angen upaya, wasana umatur alon, dhuh pukulun rajaputra, bilih pangraos kula, boten adarbe pakewuh, paduka satriyotama. 62. Saestu ing wuri gampil, yen wonten dukaning rama, sinanggi krami kemawon, tembe tan kinarya garwa, yen nedya pinikrama, sumangga karsa pukulun, timbangan wonten paduka. 63. Lan amba mireng pawarti, rajaputri ing Jepara, ing mangkya wus mirudengles, tan wrin rehing mulabuka, kados ramanta nata, sampun kendho galihipun, pangajigkas-angkasing putra. 64. Baya ta dereng pinasthi, dede jatukramanira, marma kathah pangkalane, upami benjing kondura, inggih sampun kagelan, mangka panangkising rembug, kaatur ing sudarmendra. 65. Dene ta paduka gusti, sampun mawi areringa, dumeh nemah krama remeh, punika dereng kantenan, yen trahing padarakan, mbok anyandhung trahing luhur, kusuma lajering praja. 66. Kang saestu boten nisthip, malah genging kanugrahan, wit asor luhur wekase, kaelokaning jawata, dennya karya lampahan, yen sampun panujunipun, inggih tan apilih marga. 67. Kathah kang sampun ngalami, duk ing jaman kina-kina, emper-empering lelakon, para ratu Nuswa Jawa, amek garwa mangkana, panemune boten saru, mandar karya srining pura. 68. Awit bangsaning wiryadi, wanudya dadya lelangyan, tan apilih lulurine, jangji linangkung ing warna, mimbuhi kawibawan, sampun pangagemanipun, para nata sugih garwa. 69. Karantenipun pawestri, muhung minangka embanan, wawadhahing sotya kaot, denten ugering sosotya, atas wonten ing priya, wanudya bebasanipun, pan swarga nunut kewala. 301 PNRI
70. Kantenanipun ing benjing, lamun sampun kalampahan, paduka saget ambobot, mamantes prayogenira, amba sumanggeng karsa, sarehning paduka sampun, mirsani yaktining warna. 71. Kendel ture punang paksi, duk myarsa narendraputra, ragi asrep panggalihe, kasaput dalu samana, kondur ring pajungutan, tan pegat kataman gandrung, kadya ge anggandheng asta. ***
302 PNRI
X. KINANTHI
1. Gambaring sang kusuma yu, tan kendel liningling lingling, sosotya ingaras-aras, rinungrum ingarih-arih, dhuh mirah kang karyasmara, teka ngengleng datan angling. 2. Kasasar mring langyansantun, praptanta sun anti-anti, wus dangu denira lenggah, ndadak wedi ngemu wadi, marma nuli ngandikaa, sakecap sun tuku pati. 3. Yen nganti tita tan segu, kalakon kunjana kingkin, amirangrong karungrungan, dasihe tan ngrasa sisip, tinekan ing dukacipta, paran darunaning runtik. 4. Yekti kang kirang pakantuk, fuhung mumundhuta yayi, barang saisining praja, kang apeni raja peni, ing Pagelen pilihana, atas sira kang ndarbeni. 5. Apa sumelang ing kalbu, yen nora sun karya swami, tan angrasa pisan-pisan, nganggepe angaken dasih, mandar kinarya sengkeran, kumara sarining puri. 6. Sanadyan kusuma dhusun, nanging unusaning warni, ngasorken putrining raja, langen-langening sabumi, kandhih ing mamanisira, nadyan kang para apsari. 7. Ing Endrabawana kusut, surem kalamun tinandhing, tangeh yen angiribana, ratu-ratuning mamanis, manik-maniking kumala, sari-sarining sarwasri. 8. Sarea munggweng jinem rum, pun raka kang ngarih-arih, ngarum-arum manuhara, rumungruma ngaring-aring, aywa rumerang mimirang, rumaras reh tan suririh. 9. Turuta atut aruntut, karongron saari ratri, yayah mimi lan mintuna, nadyan tekan ing don adi, aywa doh dununganira, awibawa ing swargadi. 10. Tumitisa kaping pitu, dasihta tumutur nglari, yen yayi manuksmeng sekar, munggweng senening dalupi, sun andon aneng dalapa, manguyun-uyun wawangi. 303 PNRI
11. Lamun munggweng sotya luhung, mamor kenyaring her thathit, ingsun sumungsun ing merak, gumawang anaruwangi, sawang sawinging pranawa, wus sajiwa wor sawiji. 12. Yen sumusup ing sitangsu, ingsun sumeser ing sasi, tansah ing sasananira, sasenenira maladsih, sengsem saharsaning karsa, kangsen kongsi mirasani. 13. Pirabara mangraras rum, munggweng ing suyasa sari, karongron ing purantara, awibawa sarwa sarwi, nutug katrem langen cinta, wekasan anyakrawati. 14. Tan kasangsayeng ing kayun, kawiryawanta mumpuni, kataman ing sarwotama, tuman tumanem salami, ingeman dinarmadarma, dadya papandaming bumi. 15. Denira mardaweng gandrung, sira sang narendrasiwi, winor raras kekidungan, marma sagung kang miyarsi, cethi pawongan myang emban, tan ana kang nggraitani. 16. Malah samya suka ngrungu, lamlamen ing swara manis, pindha ngrungrum manuhara, lerleran denira guling, lir keneng pangaribawa, tan ana walang sulisik. 17. Sareng wanci gagat bangun, sang rajaputra nimbali, kalangenan menco Jamang, tan antara marek ngarsi, alon denira ngandika, e Jamang wangsulan malih. 18. Maring dhukuh Cengkalsewu, panggiha sang lir apsari, supe manik adiwarna, paringna mangka tandha. sih, pangarem-areming driya, aywa dahat nahen wingit. 19. Kinen saranta ing kayun, manawa bisa tumuli, ingsun panggih lan sang rara, menco Jamang matur aris, yen makaten kaleresan, dhasar nalika apanggih. 20. Sang rara remen kalangkung, ing kasiyating sotyadi, dennya bangkit ngirup warna, mandar kagem ing panuding, anyamleng saplak kewala, kadi agemnya pribadi. 21. Menco sawusnya umatur, amit mesat ngawiyati, rajaputra kari brangta, warnanen ing Cengkarsari, sira Dyah Rara Kumenyar, kang manggung kabyaktan kingkin. 22. Telenging nala kalunglun, lengleng lamlam aningali, kadarpa munggweng kalpika, linali lali tan lali, anglir anglela ing tilam, mamalad mumulet ing sih. 304 PNRI
23. Tansah sinamun ing semu, mbok kawadaka kang wadi, temah keni kalingseman, sarehning maksih kenyadi, rudah ing turidasmara, sinidhem kinarya sandi. 24. Sareng ing wanci byar esuk, medal saking tilam sari, mbombrong ngore-ore rema, ngarem-arem bun-bun enjing, kadya wulan karahinan, sedyarsa siram ing beji. 25. Kang cahya wenes anglayung, labet anahen wiyadi, ketang katongton ing gambar, kang munggweng sosotya manik, rajaputra wirotama, kang tumanem ing panggalih. 26. Ing satindak mandheg mangu, karya rendheting lumaris, kakenan ing sayempraba, semuning cahya tan lirib, malah amimbuhi raras, manise ngebeki bumi. 27. Ijo semu anawang rum, yayah teja ngemu warih, sari ronron tumaruna, kusut kalangyane sami, kasoran sang pindha wulan, lampahira prapteng beji. 28. Gya siram kusumaningrum, sawusnya mentas ing warih, angrarasuk papasatan, sarya angongore weni, lenggah ing sela gigilang, gumilang cahya dumeling. 29. Arawe-rawe kang rambut, mrawayan tetesing warih, yayah sosotya sinebar, kenyarira narawungi, maweh asrining sarira, kusumaning Cengkarsari. 30. Kararantan ing kung wuyung, mengeti nalika panggih, lan Jamang wonten ing sendhang, amulung kang sosotyadi, mesi darpeng narpatmaja, sang dyah tyasnya suduk gunting. 31. Kasok karoban ing catur, angles kapulut ing warni, samya narik lara brangta, melet mumulet kalingling, kadya lalu sumusula, nglalari sang menco paksi. 32. Pan dereng antawis dangu, dennya neng tepining beji, praptaning sang menco Jamang, kekejer munggweng wiyati, pansarya angrumpaka, lir rumungrum ngarih-arih. 33. Dhuh dhuh sang dewataningrum, sampun kabyatan tyas wingit, ing mangkya meh kasambadan, pamanthenging reh pangesthi, kantun sasiliring bawang, marma den sabil ing galih. 34. Kagyat myarsa sang retnayu, pangudang kidunging paksi, tan pangling suwaranira, yen Sinom kaluluting sih, sinengan dyan gurawalan, marek sang pindha apsari. SERAT CEMPORET - 20
305
PNRI
35. Nulya ingandikan arum, he yayi padha basuki, sapraptanta ngarsaningwang, luwih waskitha sireki, dene nora akekencan, bisa temen nuju kapti. 36. Menco mesem matur nuwun, pari marmanta sang dewi, kapundhi wonten mastaka, kacancang pucuking weni, dadosa tatambang jiwa, lulus dennya mong sang dewi. 37. Praptamba ngarsa sang ayu, amawa nugraha jati, dinuta ing jeng bandara, maringaken tengering sih, supe manik adiwarna, dadosa panglipur brangti. 38. Makaten andikanipun, bandara sang narpasiwi, lah iki susupeningwang, aturna sang lir apsari, kaya-kaya nora lama, ingsun nuli anglalari. 39. Sumusul susupeningsun, sang dyah suka duk miyarsi, anampeni kang sosotya, ingagem munggweng panuding, saplak amimbuhi raras, tansah den iling-ilingi. 40. Gambaring sang narpasunu, lan gambarira pribadi, prabanira sarawungan, mimba kudadu tinandhing, kalawan lintang wayuwa, adu sunar anelahi. 41. Upama sosotya luhung, yayah her laut her bumi, upama kang kembang-kembang, kadi menur lan melathi, upama kang gogodhongan, lir pradapa lan sumemi. 42. Ayem denira andulu, warnaningkang gambar adi, sang dyah aris angandika, heh yayimas menco paksi, mungguh kang sosotya retna, teka sunduk pasang manis. 43. Sun agem aneng panuduh, sedhengan tan nganggo lirib, kaya yasan wewelingan, ana bandaranta gusti, ageme munggweng suweda, apa cundhuk lawan mami. 44. Padha ana ing panuduh, menco Jamang matur aris, yen kagem ing jeng bandara, dumunung munggweng jejenthik, pan sampun pantes kewala, pantaraning kakung putri. 45. Mesem kusumaning ayu, lamun mangkana ing benjing, bisa liru pangageman, iku saupama yekti, kalakoning wartanira, nora karya ujar lamis. 46. Sang menco alon umatur, inggih kalangkung prayogi, ri sampuning samantara, Jamang nulya nyuwun pamit, wangsul ing taman udyana, ngiras angupados kanthi. 306 PNRI
47. Rumuhun dereng pakantuk, kalingan parlu puniki, ajrih yen angelirena, wungsal-wangsul saben enjing, sang retna duk amiyarsa, welas ing tyas anjurungi. 48. Nulya ngambara kang manuk, mandheg mangu milingmiling, warnanen sang kadi retna, sedyarsa kondur ing panti, lampahira sangu brangta, samarga-marga ngranuhi. 49. Rendhet denira lelaku, amandheg mangu manolih, ibering sang paksi Jamang, praptaning wisma sang dewi, anjujug pajanganira, sare nungkemi guguling. 50. Ngedhem pajungutanipun, saari ratri tan mijil, salaminya nahen brangta, tansah tajin dhahar guling, anglonging angga kawangwang, wenes ijo anglelentrih. 51. Kagyat Ki Buyut Ni Buyut, maring suta sang retnadi, manggung minggu pagulingan, kongsi ing saari ratri, tan anduga ing wardaya, mbok sang dyah kataman sakit. 52. Buyut sakarone gupuh, marani mring gyaning siwi, sira Dyah Rara Kumenyar, miyarsa sabawaneki, yen rama biyunge prapta, janggirat anulya tangi. 53. Lenggah cahya anglalayung, pindha lelayoning sari, pungun-pungun wangunira, gelung lukar tan tinolih, rewa-rewo lir purnama, kalingan ima manipis. 54. Buyut sakaro wus lungguh, ngungun myat warnaning siwi, cowong asawang wangkawa, wasana tatanya aris, dhuh lae lae nak ingwang, kang dadya gantilan ati. 55. Kadingaren karem turu, ngelalu lali ing bukti, wangun angemu sungkawa, pasemon beda ing mangkin, paran ta darunanira, kang dadya karaseng ati. 56. Apa sira lagi anglu, utama lamun sesirih, dene kasok ing sarira, kaya ngemu rasa batin, kabyatan ing lara brangta, miduhung angraranuhi. 57. Awecaa kang satuhu, mring wong atuwanta nini, aywa nganggo ewuh aya, apa kang kinarsa mangkin, ing sabisa mbokmanawa, njalari lejaring kapti. 58. Angger ingsun bisa dunung, sang rara duk amiyarsi, pangudining reh mangkana, dangu denira mangsuli, mangangenangen upaya, kapanggihira ing budi. 307 PNRI
59. Nedya sajarwaing wuwus, sarehning sampun kapipit, karuhunan ing pangira, sengadia tanpa kardi, pan wus wajibing wong tuwa, ngembat rurubeding siwi. 60. Dhuh dhuh rama lawan biyung, satuhune awak mami, angemperi lelampahan, kadi dodongengan nguni, Sarwasri lan singha kresna, ingsun tekarsa ingambil. 61. Lawan sang narendrasunu, satria dibyadimurti, Rahaden Jaka Pramana, ing Pagelen kang nagari, mengko lagya sarawungan, duta lalangennya paksi. 62. Kagyat Ki Buyut Ni Buyut, sarya mesem wacana ris, angger teka anyupena, iya tan nyakrabawani, katarik sotaning driya, labet wus diwaseng wanci. 63. Rinangkul lungayanipun, pan sarya dipun arasi, adhuh nyawa putraningwang, ndadak memarasi ati, elok lamun kalakona, nora pantes madu manis.
308 PNRI
XI.
DHANDHANGGULA
1. Mungguh iku pawartanta nini, sayekti ingsun wus rumasa, luwih kaluputan gedhe, wis sumedheng wong ayu, pantes lamun amangun krami, sumawita ing priya, ing samengko durung, bisaa angangkatana, lagi miling-miling kalawan anyandhing, nyawang tyas kacondhongan. 2. Marma nini den sareh rumiyin, aywa sadaya-daya ing karsa, pininta ing salintire, mapan jodho puniku, wus pinanci dening dewadi, yen durung tibanira, angele kalangkung, dene lamun wus tumiba, kaletana samodra kalingan wukir, sayekti katrenjuhan. 3. Sang Dyah Rara Kumenyar miyarsi, sojaring yayah rena mangkana, dahat angres wardayane, temahan anahen luh, asesegen seret denyangling, dhuh biyung lawan rama, ywa kaliru surup, ingsun nora pisan-pisan, angrasaa kang kadya wetyanireki, lawan tan anyupena. 4. Tuturingsun setya tuhu yekti, nora katenta kacakrabawa, pan wus ana pratandhane, yeki kalpika luhung, paparinge sang narpasiwi, ran manik adiwarna, agung sawabipun, bangkit angingirup warna, malah mamaniking kalpika mawesi, gambaring rajaputra. 5. Jajar lawan ing gambaran mami, sawusira wawarta mangkana, sang dyah angulungken supe, ing mula bukanipun, wus angandhar wasana titi, Ki Buyut sasomahnya, lengleng ngungun mangu, miyat warnaning sosotya, lawan sakaroning gambar imbang liring, lir tunggal gagayutan. 6. Anglocita yen mangkono iki, sutaningsun Ni Rara Kumenyar, katongton ing titikane, tus darahing wong agung, mengku praja lagi kaplesit, kinarya lalampahan, maring jawatagung, kacihna tandhane ana, kang nugraha meh arsa tumimbul malih, saking reh kaelokan. 309 PNRI
7. Sawusira ngrarantam ing batin, Kyai Buyut lan sasomahira, sangsaya wlas pandulune, cipta manggih bagyayu, sakaronya wacana aris, dhuh lae putraningwang, yen mangkono sukur, ora luwih wong atuwa, apepudya bisaa kalakon nuli, sun ngayum angawula. 8. Amung aja kadurus rudatin, dipun saranta ing brangtanira, pan wus ana ubayane, ayemna tyasireku, pangantining nugraha jati, sang dyah duk amiyarsa, tanduking pangrapu, nira buyut sakalihan, angestokken nedya asabil ing galih, rerem ing reh raharja. 9. Henengena dhukuh Cengkarsari, warnanen malih sang menco Jamang, arerendhonan lampahe, miyat srining wana gung, kawuryan ing pala menuhi, kacaryan dadya raryan, sarya angingidung, swara manis awiletan, sakathahing manuk-manuk amarani, kayungyun amiyarsa. 10. Nulya wonten paksi menco kalih, jalu estri nedya amiluta, madarweng tata basane, dahat dennya kapencut, amiluta ing tembung adi, Jamang kalangkung suka, samya sinung sanggup, cipta lamun antuk rowang, kalihira milua suwiteng gusti, ing Paglen Kuthaarja. 11. Menco kalih tan lenggana ing ling, Jamang nulya mangkat lalancaran, kukila karo kanthine, prapteng udyana kantun, marek maring sang narpasiwi, tinanggapan ing asta, menco kalih kantun, menco ing susuji rancang, Jamang matur ing sarehira tinuding, mring dhukuh Cengkarsasra. 12. Maringaken ingkang sosotyadi, sampun tinanggapan mring sang rara, sakalangkung pamundhine, aturnya sewu nuhun, dyan ingagem munggweng panuding, pantes mimbuhi raras, lir apsari nurun, katon cetha wela-wela, dhasar ayu mawi rinengga ing singsim, tikel endahing warna. 13. Rajaputra langkung sukeng galih, amiyarsa turing paksi Jamang, ingaras-aras embune, pangandikanya arum, mata kapen ingsun ningali, sira anggawa rowang, menco kalihipun, apa ta kalebu warga, lawan sira paksi Jamang matur aris, pukulun jeng bandara. 14. Inggih muhung sami bangsa peksi, panggih wonten samadyaning wana, sami andon wohing aren, kawula angingidung, kapiluyu kedah kepengin, wuwulang basa krama, atemahan tumut, manawi paduka karsa, sakarongron paksi kedah andadasih, dados kanthi kawula. 310 PNRI
15. Rajaputra saharju ing kapti, amimbuhi ing lelangenira, mangka panamur wirage, denira among gandrung, paksi nulya kinen nimbali, Jamang anolih wuntat, kalih makidhupuh, sinengan marek mangarsa, kalih pisan tinganggapan asta kering, Jamang ingasta kanan. 16. Kapirenan sang narendra siwi, dene samya cumbu kacepetan, liningling pasang wulone, pelag suwarnanipun, angandika pantese iki, teturutaning aran, kang wadon si Cundhuk, dene kang priya punika, prayogane ingsun parabi si Sumping, paksi mangayubagya. 17. Nulya binekta maring ing gadri, suka sagung pra cethi pawongan, emban babu sakancane, Jamang saantukipun, mawa menco bagus sarimbit, tutut anglir miaran, mimbuhi raras rum, asrining taman udyana, ganti-ganti kang samya ngapen-apeni, pangombe myang makanan. 18. Duk samana sang narendrasiwi, siyang dalu raket tan kena sah, kalawan kalangenane, mangka pangimur-imur, deniranggung kataman wingit, andarung lara brangta, kapetek ing gandrung, maring Dyah Rara Kumenyar, ingkang tansah munggweng padoning pangaksi, rumawat woding driya. 19. Temah tajin dhahar lawan guling, dadya karya anglonging sarira, wenes pasang pasemone, alum-alum ngelayung, senenira sumunar mirib, prabaning candikala, mban pawongan babu, tan ana ingkang nggraita, yen gustinya amangemu rasa wingit, labete sinasaban. 20. Pamongira kang tansah kinathik, sira Nyai Emban Wilasita, datan sakeca manahe, miyat ing gustinipun, mangkya saya angraranuhi, risak sariranira, pangangening kalbu, ingsun bakal kaluputan, lamun meneng kabesturon tanpa pikir, dadi paran tutuhan. 21. Becik ingsun lapur mring jro puri, atur uninga ing srinarendra, lan jeng prameswari mangke, paran ing karsanipun, sawusira ngrerantan batin, Ni Emban Wilasita, anunungkul laku, mesat maring dhatulaya, srinarendra saha garwa amarengi, lenggah sanggar pamujan. 22. Kang ginusthi lelenging panggalih, ingkang putra Dyan Jaka Pramana, lami tan merek ngarsane, nata tansah mangungkung, de311 PNRI
ning putranira taruni, tan anut ing sudarma, mopo ing patuduh, dennyarsa pinalakrama, antuk kadang naksanakira pribadi, rajaputri Jepara. 23. Darbe panggil lamun kadang kalih, sampun sami dhaup sasemahan, tan lengganeng sakarsane, mangka putra kang sepuh, kang acebol kalawan wujil, pepajaring wasita, yen ing tembe antuk, jodho saking kaelokan, kawimbuhan nguni amiyarsa warti, lamun putri Jepara. 24. Elos amilalu lelana nis, saking adreng kaliru panampa, yen nedya dhinaupaken, lawan putra kang sepuh, kang acacat salah sawiji, saya ruhareng driya, Prabu Sri Manuhun, derarsa mbawani putra, aruweda wida tan sambada sami, dahat marsudi karsa. 25. Nihan kasaru wau kang prapti, sira Nyai Emban Wilasita, marek ngarsa dhepe-dhepe, dinangu nembah matur, dhuh pukulun kangjeng dewaji, sowan amba ingarsa, inggih wonten prelu, kawula atur uninga, lamun putra paduka Rahaden Mantri, kang anglilipur driya. 26. Mangun kalangen udyana sari, mangke dahat kasok ing sarira, lir ngemu brangta wirage, ing mulabukanipun, kasengsem ing lalangen paksi, menco saget micara, Jamang wastanipun, anembe punika wewah, menco kalih tinengran pun Cundhuk Sumping, samya ingela-ela. 27. Tan kenging sah siyang lawan ratri, kalangenannya paksi titiga, kawula boten adipe, denira ngemu gandrung, ngantos supe ing dhahar guling, manggung angrurumpaka, ngraras tembang kidung, kadi ngengudang wanudya, kilap ingkang dados telenging panggalih, minggu ing pagulingan. 28. Nyai Emban kendel turireki, sang aprabu ngungun duk miyarsa, lawan jeng prameswarine, pangandikanya arum, srinarendra maring kang swami, he yayi kaya paran, putranira iku, gawe ewuhing wong tuwa, kinen palakrama tan arsa nglakoni, ing mangkya larasmara. 29. Prameswari matur ring raka ji, dhuh pukulun suhunan kawula, mbokputra paduka raden, inggih ngraos kaduwung, papacangan murca lunga nis, mangka sampun kawarta, badhe garwanipun, rajaputri ing Japara, warnanira ngasorken langen sabumi, tur ambeg paramarta. 312 PNRI
30. Dene pamoponira ing nguni, saking dahat jrih ing kadang warda, sarehning rumaos anem, sang nata ngandika rum, yen mangkono yayi ing mangkin, pilutanen ki putra, paran antepipun, lamun wus manut wong tuwa, babasane kecing-kecing den rahabi, amburu kalumrahan. 31. Sanalika sang wara mahisi, lengser saking ngarsaning nalendra, kering para parekane, tedhak mring taman santun, Emban Wilasita tan kari, sapraptane udyana, risang narpasunu, Rahaden Jaka Pramana, mirsa lamun ingkang ibu anedhaki, tundhuk mangaras pada. 32. Gya rinangkul lungayaning siwi, ingarasan sarya ngemu waspa, kamiwlasen pandulune, anglong wenes ngalayung, dyan binakta mring balesari, lenggah ing pajungutan, mban parekan babu, kantun aneng bale ngarsa, prameswari mangarih-arih maripih, maring sang narpatmaja. 33. Adhuh lae putraningsun gusti, ingkang umeleng woding jiwangga, nggoningsun tinjo marene, iya ingsun angrungu, lamun sira angraranuhi, angubungi ing karsa, kang nora panuju, nganti karya lelawora, amilalu lali tan nedya sumiwi, byantaraning narendra. 34. Ingsun kalakon prapta punika, angger sira kacihna katandha, nganti rusak sarirane, marma aywa linantur, ing lalangen kang tan pakolih, luhung amarsudia, kang enak tinemu, kabungahaning manungsa, aneng donya alangen kang maedahi, muhung mengku wanodya. 35. Asri kawuryan karya wiyadi, dhasar sira putraning narendra, keringan wong sa Pagelen, ameta rabi satus, yekti akeh kang minangkani, tur banjur momong putra, wimbuh senenipun, mendah saharsaning driya, awibawa kasusra tan anglingsemi, kapraboning sudarma. 36. Aywa manggung mirodeng rudatin, mimiliha putri kang utama, kang dadi seneng parenge, lamlam lenglenging kayun, kang sakira samya prayogi, timbanging jatukrama, padha suteng ratu, ngendi esthining tyasira, aja ewuh wong tuwa yekti nuruti, angger tan kaloreyan. 37. Kendel sabdaning sang prameswari, rajaputra emeng duk miyarsa, wasana wosing ature, dhuh pukulun jeng ibu, lumunturing 313 PNRI
sabda marmeng sih, dahat kalingga murda, anamung tyas ulun, ing mangke dereng kabuka, rehning krama anuwun sareh rumiyin, saweg kanam ing manah. 38. Bilih sampun katarbukeng budi, nuju karsa ing samasamasa, boten wonten pakewede, lengleng myarsa kang ibu, palarasan tyas ngemu titis, kondur ing dhatulaya, parekan lan babu, tumutur jeng prameswara, kawarnaa kang kantun ing tamansari, Raden Jaka Pramana. 39. Dhawuh maring kalangenan kalih, Sumping Cundhuk kinen sanalika, lelancaran mring pura ge, amyarsakna kang rembug, yayahrena paraning kapti, menco karo umesat, anglalantun laku, konduring retna dayita, prapteng pura marek ngarsaning raka ji, matur ing reh sadaya. 40. Purwa madya wasana mungkasi, sri narendra manggung menggah-menggah, kawidhengan panggalihe, myarsa saaturipun, temah ngemu ing netya wingit, tumeleng maring putra, labet akaryewuh, datan antara tumingal, menco kalih lincek-lincek marepeki, ing ngabyantara nata. 41. Sanalika kadi katatangi, kabaranang tanduking duduka, dyan angasta jemparinge, pinenthang larasipun, kang warastra mesat ngenani, angganing menco priya, Sumping niba lampus, tan dangu kuwanda musna, Cunduk miyat lamun lakine ngemasi, kataman sara dibya. 42. Palarasan ngambara saryanjrit, ngaruara sesambat ing priya, katuwone ingsun kiye, ngawula durung antuk, ing ganjaran kang angluwihi, wekasan kasangsaya, ing panemunipun, lakiku si Sumping sirna, dadi bantening duka sri narapati, patine siya-siya. 43. Iya paranira maring endi, ingsun milu amor sakahanan, sang nata sapamyarsane, mandar mimbuhirengu, ing sameridhang datan ginalih, emban cethi pawongan, kamiwlasen ndulu, temahan ngungun ing driya, menco Cundhuk oncat maring tamansari, panggih lan menco Jamang. 44. Apapajar sapatining laki, ing bubuka tekyan ing wasana, Jamang ngungun pamyarsane, dene tan angrempelu, lamun mangke koncatan kanthi, baya wus pasthinira, sawusnya ngrarapu, Jamang merek ing bandara, lawan Cundhuk prapteng ngarsa matur aris, Sumping sasirnanira. 314
PNRI
45. Karananing reh sampun kawarti, rajaputra ngungun duk miyarsa, menco Sumping sapatine, temahan akapiluh, myat ing Cundhuk awlas ningali, datan amawi somah, manggung wayang wuyung, ketang katongton ing priya, narpatmaja anglilipur ing prihatin, lir mas kentir ing toya. *
*
*
315 PNRI
XII.
MASKUMAMBANG
1. Sira Cundhuk aywa duhkita ngranuhi, waswas ing wardaya, patine lakinireki, pupusen wus pasthinira. 2. Anemahi kataman warastra adi, pan jeng rama nata, kang anguntapaken pati, baya karsaning jawata. 3. Ingsun ingkang sewu kapotangan becik, dene kamuksannya, jalaranira sun tuding, mantep setya angawula. 4. Lakinira si Sumping ingsun pupuji, tutuga ing kana, kang supaya bisa narik, ing sira mor sakahanan. 5. Dadi datan beda lan manusa jati, Jamang sumaruna, bagya Cundhuk sira mangkin, antuk sabdaning bandara. 6. Tatakinen tekeng ati den nastiti, aywa uwas-uwas, lakinira angemasi, pupusen ing panarima. 7. Cundhuk manthuk sarya muwus inggih-inggih, mangkya kawistara, Cundhuk mari kang prihatin, sumaringah netyanira. 8. Samana wus wayah suruping hyang rawi, menco kalih pisan, kaprenahken dennya guling, ing panggenan sowang-sowang. 9. Raden Putra maksih alenggah pribadi, anggung anggupita, patining sang menco Sumping, jinemparing rama nata. 10. Sru kagagas ing tyas sanityasa tistis, muwus wawangsonan, kalinganeya rama ji, wadiningkang dadi duka. 11. Ndadak maring si Sumping kakasih mami, talere maringwang, runtyakaning tyas ruruntik, ingsun iya wus rumasa. 12. Nandhang dosa dening lumuh nglaksanani, rineh palakrama, karya rudahing sudarmi, yen ingsun anglakonana. 13. Destun temen kadang warda tan tinolih, pan sakaro pisan, dereng sami among swami, kogel wagele sun rasa. 14. Nadyan kangmas wus anrus rila ing galih, tinon tan prayoga, kontab ing liyan nagari, mimirang amurang cara. 316 PNRI
15. Apan akaryewuh reruweding westhi, rehing lalampahan, dadi raganingsun iki, tanpa karya aneng praja. 16. Lamun anggung antuk rengu rengat batin, maring rama nata, ila-ila milalati, luhung ingsun tilar pura. 17. Wus pinuntu tyasira sang narpasiwi, sedya mrih miruda, rama ibu tan tinolih, nuruti adrenging karsa. 18. Dupi wayah titi sunya sang apekik, salin kang busana, kukumelan cara cantrik, nanging ngagem kadga mulya. 19. Sara dibya salangkapira cinangking, menco kalih pisan, wus sinambut amelangkring, ing gandhewa maksih nendra. 20. Sawusira rumanti sang narpasiwi, Dyan Jaka Pramana, mentar saking langensari, anggana datanpa wadya. 21. Laju njujur mijil saking jroning puri, denira nempuh byat, margeng bebutulan wingking, Jpabu mban cethi pawongan. 22. Tan ana wruh myang priya kang samya kemit, kapati anendra, dhedhep sirep tan ngulisik, lir keneng pangaribawa. 23. Dadya lekas kang ngangkas ngikis ing latri, lestari ing lampah, saparan memurang margi, kadi kinuncang ing dewa. 24. Puteking tyas kararantan anrang wingit, alayang-layangan, caya alum-alum anglih, yayah kang teja wangkawa. 25. N u j u masa anglonging wulan marengi, remeng-remang mamang, amyang kartika nelahi, anuluhi kang lalampah. 26. Kadi tutuh ing dadalan kang aradin, dharat ara-ara, anut gelenganing sabin, pari pareng tumaruna. 27. Marawayan kang tirta amaratani, mili liyanira, swara ura kumaricik, kadi mangruruh karuna. 28. Weneh lagya tetanjan kanjoran wiji, katon ijo wijang, sumunar senening warni, maweh ayeming wardaya. 29. Kelap-kelap kumenyar kang tirta kengis, wayanganing wiyat, lintang-lintang lir mas kentir, mimba tebaning harnawa. 30. Kang wrestija mangrentang sauran muni, kadyangsung pambagya, maring sang mangingkis ratri, sinarawung walang sawah. 31. Ting kalesik lir ngosikaken kaswasih, mring kang sah ing pura, saparan-paran lumaris, mawa ruroha ruhara. 32. Kasauran kang oreng-oreng mangerik, kether erak-erak, yayah manglut ambelani, udraseng adrenging karsa. 317 PNRI
33. Lamat-lamat myarsa.ngalamating uni, mimbuhi wigena, kemengan sang among ragi, denirandon ngulandara. 34. Samantara maruta ris mamartani, bun-bun sumarambah, karya tambaning lumaris, rumesep nrus ing sarira. 35. Karemengan kang ima-ima ngawengi, kartika kalingan, padhang mendhung kang angendih, petengndhedhet alimengan. 36. Ting salereg gebyaring kang kilat thathit, truh-truh ing ngawiyat, lir kandhuhan milu sedhih, mamalad sih sang lelana. 37. Labet saking satria dibyadimurti, rembesing kusuma, darahing andanawarih, wijining sudira brata. 38. Pan winowong sinuyunan ing dewa sih, kataman duhkita, sajagat amrantandhani, geter pater magenturan. 39. Babarungan gumuruh rug graning giri, sagara goraya, bumi jinjang lir ginonjing, akasa tedhuh makedhap. 40. Mawuyungan tyasira sang narpasiwi, ngungun ngunandika, prabawaning apa iki, gumerahing gara-gara. 41. Tan antara prapta eyangira peri, Dyah Retna Sriwulan, dumrojog saking wiyati, anjujug sang narpatmaja. 42. Mawa gandawida marbuk amrik minging, Dyan Jaka Pramana, kagyat umiyat kenyadi, rawuhnya manungsung ganda. 43. Pan kinira wara apsari nuruni, saking langlang jagat, asadhepok sang apekik, anabda Retna Sriwulan. 44. Aywa tambuh ingsun eyangira peri, aran Dyah Sriwulan, parluningsun apapanggih, asung sih papari marma. 45. Sira mangkya maringa ing Cengkarsari, iya angengera, mring Buyut Cemporet kaki, den abisa amiluta. 46. Awit sira wus kapasthi jatukrami, lan Rara Kumenyar, sajatine iku kaki, rajaputri ing Japara. 47. Apanengran Kusuma Dewi Retnadi, nguni kang pinacang, cinundhukken jatukrami, lan sira kaliru tampa. 48. Pan sinengguh nedya dhinaupken olih, kadangira tuwa, kang acacad salah siji, marma merang tilar pura. 49. Apan lagya kinarya lampahan kaki, ing reh kaelokan, dening jawata kang luwih, paran denira suminggah. 50. Wit turuning kodrat yen wus anartani, ana ing iradat, sayekti tan kena gingsir, mawa wahana kahana. 318 PNRI
51. Akarana tumaneme wus ginaris, mula-mulanira, marma j o d h o iku kaki, luwih gaib yen rinasa. 52. Kalingana samodra pangkalan wukir, yen wus dadi timbang, tumiba tempuh pribadi, tan rekasa wekasannya. 53. Yen wus masa prasajaa aywa wadi, wadakaning sedya, maring Buyut Cengkarsari, dhasarana anoraga. 54. Lawan ingsun paring sarana sireki, awarna musthika, winastan Wandirawani, agung sawabe punika. 55. Yen den emut sartane amatek aji, bonglot yekti bisa, siluman tan katupeksi, waskitha ing kaelokan. 56. Yen binebed oyoding waringin putih, yeku oyod mimang, bisa manjing agal rempit, ing ajur-ajer tan kewran. 57. Dene oyod lamun pinendhem ing bumi, singa lumangkaha, karya bingunging pangesthi, temahan tan wrin ing marga. 58. Pangamete kang oyod waringin putih, sira ngupayaa, andaka widagdeng wadi, bangkit muwus tata janma. 59. Iku weruh panggonane kang sayekti, witing wringin seta, karana andaka paksi, kudu mangka l^anthinira. 60. Besuk uga ana wahanane kaki, tempuking lampahan, tembe kinarya njalari, pambukaning kaelokan. 61. Durung kena lamun binabar ing mangkin, maksih kakancingan, soroge meh anggepoki, rumagang padha waraga. 62. Kendel sabdanira Dyah Retna Srisasi, ngungun duk miyarsa, Radyan Jaka sarya musthi, musthika paringing eyang. 63. Sarya matur anuhun dahat kapundhi, lajeng ngaraspada, sakreh nedya anastuti, mugi kasembadanana. 64. Menco kalih kagyat tangi angethithir, labet kajawahan. sakalangkung denira jrih, miyat geter patering rat. 65. Dyah Sriwulan sawusira amemeling, maring radyan wayah, nulya mukseng ngawiyati, rahadyan ngungun anggana. 66. Yata wau sareng dhungkap gagat enjing, Dyan Jaka Pramana, lestari lalampah malih, samarga-marga nrang baya. 67. Ngambah laladaning wana Medhangsari, kathah kapiyarsa, gumrah sesining wanadri, radyan gambuh ing wardaya. *
*
*
319 PNRI
XIII. GAMBUH
1. Yayah yamyam ing kayun, sato paksi usreg srang swara sru, titimbangan mangambak-ambak mimbuhi, sang oneng moneng ing ngenu, kasengsem lir sung pasemon. 2. Wanara angreriuk, aneng wuri amere gumuruh, kumaruwet munggweng pang waru waringin, lir nglalari angleluruh, paraning sang prawiranom. 3. Ing kering kumaruncung, rerancagan waraha rumuhun, myang harina meri tan purun ngareni, kadi sareng angrerantun, tumutur atur prihatos. 4. Tekan ana andanu, lan andaka lekas lakunipun, berik-berik palarasan merang margi, yayah kawagel andulu, mring kang milalu lungandon. 5. Ingayun kang kayungyun, akarya yem ing tyas sinarawung, srang swaraning paksi kapiyarsa ririh, rarasira sung pangimur, salimuraning wirangrong. 6. Sangsaya sru kasaru, kaluruking ayam wana barung, asauran lir sambating para cethi, kang tinilar kari mangu, manguneng tan ana tinon. 7. Karantan tyas martrenyuh, narpatmaja tansah anahen luh, sarya sayut mayat ingkang prayastuti, tan antara mrak manguwuh, weh wuwuhing sarwa keron. 8. Gumbala anarambul, imbal lawan kang aneng garumbul, ambal-ambal yayah ambul ambelani, bilulunganing keneng kung, kawangkungen tyas katongton. 9. Byar enjang kang kadulu, Jamang Cundhuk sami angandhuruk, raciyan putra atatanya ngasih-asih, adhuh Jamang lawan Cundhuk, kang dadi woding tyasingong. 10. Pagene padha ngrungkuk, teka kaya kapuk anglempuruk, baya ana kang karasa suker sakit, muwah arip kurang turu, sang Jamang kang matur alon. 320 PNRI
11. Gusti dyan narpasunu, amba nuhun aksama kang agung, estunipun tan katenta nandhang sakit, miwah karipan ing dalu, anjawi mung katalengso. 12. Duk wonten truh ing dalu, amba sampun tangi theruktheruk, ngantos eyang paduka tedhak sung wangsit, amba kemutan sadarun, mangkya paran kang rinaos. 13. Punapa inggih estu, angupadi kang andaka lawung, saged muwus satata caraning janmi, kados pundi sangkanipun, kapanggiha kang sayekios. 14. Ngandika narpasunu, ora luwih Jamang yen panuju, tarlen sira kang sun piji angulati, ing laladaning wana gung, yekti wus sarwa waspaos. 15. Jamang mesem umatur, ing pangestu paduka lumuntur, gajeg nguni kawula inggih ngengeti, warnaning andaka lawung, wasis ing wuwus anglir wong. 16. Karyanya sung pitulung, tedah margi wong amanggih bingung, kaping kalih yen wonten sangsayeng westhi, kawratan bebektanipun, ing lampah karya rekaos. 17. Andaka kang anyangkul, mbektakaken ing sapurugipun, salaminya makaten ing reh pakarti, ngantos kathah mitranipun, para juragan kumroyok. 18. Singa kang sampun sarju, rumaos yen kapotangan tuhu, sedya males amisungsung sawatawis, nanging kewran patrapipun, denira mrih kapanujon. 19. Andaka duk angrungu, cara janma wangsulaning wuwus, yen pituwas kang sayekti tanpa kardi, angger tansah awas emut, amet mitra lair batos. 20. Makaten sampun cukup, kang liningan kagyat langkung ngungun, taken witing awidagdeng kramaniti, winangsulan mung anurut, raosaning wong kemawon. 21. Rumuhun amba kelu, kapilayu ing tyas kumacelu, lir andaka saged muwus tata janmi, anunular kang pakantuk, narawungi wuwusing wong. 22. Meh lebdeng tanggap tanduk, panggih lawan sang andaka lawung, amba nguwuh sinauran tembung adhi, rumaketing kadang tuhu, tan mawi raos-rumaos. SERAT CEMPORET - 21
321
PNRI
23. Ing mangke pisahipun, amung sami ambebujung parlu, andum damel sowang-sowang den lampahi, Jamang kendel aturipun, kadarseng tyas prabu anom. 24. Ngandika lah den gupuh, upayanen si andaka lawung, Jamang mesat gancare carita kongsi, panggih lan andaka sampun, sajarwa rehing lalakon. 25. Wekasan lamun sarju, tinimbalan ing sang narpasunu, wus tumutur prapteng nggon denira nganti, sang andaka makidhupuh, sinambrameng prabu anom. 26. Mangsuli nuhun sewu, rajaputra sajarwa ing kayun, sang andaka jumurung tyas mangastuti, kaaturan nitih sampun, andaka lumampah alon. 27. A n j u j u r ing wana gung, enggaling carita sampun antuk, angupaya oyoding waringin putih, katanggapan narpasunu, dahat suka lair batos. 28. Anulya kinen laju, maring padhukuhan Cengkalsewu, sang gardana kinen kendela rumiyin, karsa cacala rumuhun, Jamang kinen amamartos. 29. Kang liningan sumebut, menco angruhuni lampahipun, prapteng dhukuh pan sampun sajarwa jati, maring Ki Buyut Ni Buyut, tanduking reh kang lalakon. 30. Sakaro gupuh-gupuh, aparentah maring sang retnayu, tatatata pasang rakite ing panti, mangkya meh praptaning tamu, ingkang dadya woding batos. 31. Sang dyah myarsa margiyuh, ngangen-angen ing tyas akaryewuh, dene pangajapanira anuhoni, benjang paran caranipun, karon reh angres wirangrong. 32. Ki Buyut lan Ni Buyut, gurawalan pan samya amethuk, menco Jamang nulya wangsul ngarseng gusti, umatur sarehning laku, yen wus sarwa kapanujon. 33. Tindak sang narpasunu, buyut karo tundhuk ngaras suku, sawusira ngancaran lenggah ing panti, sang narpatmaja anurut, dyan samya satata lunggoh. 34. Sinambrameng bagyayu, dennya kasdu rawuh wonten dhukuh, Cengkarsari tan pakra dipun tedhaki, yayah katiban andaru, saking sanget tebih elok. 322 PNRI
35. Boten nyana sarambut, ulun nyuwun ing pamaklum sewu, mbok angantos kikirangan tata krami, sarehning kawula dhusun, tebih tan mambu karaton. 36. Ngandika narpasunu, iya banget panarimaningsun, sadurunge sauwise prapta mami, wus sun gantungi pamaklum, aywa karya tyas pakewoh. 37. Karana rawuhingsun, aneng padhukuhan Cengkalsewu, pan karaya-raya nedya sun ayati, lamun kataman ing kayun, kilayu paksarsa ngayom. 38. Ngak^n bapa satuhu, duk miyarsa wau ta Ki Buyut, konjem siti pan sarya umatur aris, dhuh pukulan narpasunu, rehing sabda kang dhumawoh. 39. Kadi tan saged matur, dene gusti tekarsa mangayum, dhateng abdi asungsang buwana balik, dereng wonten adatipun, rumuhun prapteng samengko. 40. Bayantuk walat agung, saupami ingkang bangsa lunglung, pundi wonten gedhe rumambat ing cilik, narpatmaja ngandika rum, wit lagya dadi lalakon. 41. Babasane ragengsun, kadi layangan datanpa kenur, kabur dening kasrang ing maruta midid, saenggon-enggon tibanipun, pan wus wenang dadi pupon. 42. Marma aywa pakewuh, tumampaning wiji kawlasayun, buyut matur sawab paduka kapundhi, sasaged-saged pukulun, saestu kawula among. 43. Inggih sakadaripun, muhung sadarmi kewala ulun, atas wonten jawata kang murweng ghaib, tarlen mudya suka sukur, mung amardi karahayon. 44. Jamang manaru atur, rumesep sih mesem wuwusipun, yen makaten rama andika ing mangkin, kabrokan nampeni bratu, tundhatumundha anggendhong. 45. Ki Buyut Ion sumahur, ora luwih mung tumandho kulup, rumahabe ambau-reksa ing gusti, atas karsaning dewa gung, ananing lelakon elok. 46. Jamang malih amuwus, yen makaten sukur bagya sewu, pan jawata sipat mirah lawan asih, dipun sarju tyas tuwajuh, pangayaming karahayon. 323 PNRI
47. Sampun sandeyeng kayun, mbok kataman tulah sarik agung, bangsa luhur saupami wesi aji, wasiyat lelurinipun, yen sae dennya rumantos. 48. Inggih pamundhinipun, baya wimbuh sawabe lumintu, anartani lumantar marta martani, sampun kathah luwangipun, emper-empering lalakon. 49. Duk ing zaman rumuhun, wonten panjenengan ratu agung, angadhaton ing prajeng Malawapati, kasub ing jejulukipun, prabu Anglingdarma katong. 50. Kinuncang ing dewa gung, awit saking kalimput ing laku, anyangkani jangkaning lalakon ghaib, anekani keneng siku, sinalin warni cakarwo. 51. Pinupu kambilsunu, ingayoman mring DemangKalungsur, kang dhedhukuh padhusunan Wanasari, tekyan ing waluyanipun, wonten bagya kang dhumawoh. 52. Tinulung ratunipun, malah kasinungan pangkat luhur, angedhangkrang mangka patih misesani, pangadilaning praja gung, ruruwed kasrah ing kono. 53. Punika labetipun, ingkang sampun wonten tandhanipun, inggih kilap paduka rama ing benjing, yekti dereng saged tamtu, sowang-sowang bagyaning wong. 54. Ki Buyut suka ngrungu, kang carita kadya asung pemut, temah karya pangayam-ayaming budi, alon denira amuwus, pasrah kang murweng lelakon. 55. Rajaputra angguguk, mudhar sabda pangandikanya rum, heh ta manuk sira wus waskitheng westhi, sang kukila aturipun, langkung saking tebih elok. 56. Danguning wawan catur, rajaputra tansah andedulu, kanan kering dennya tan ana kaeksi, kusuma kang karya gandrung, tangeh mijile katongton.
324 PNRI
XIV. MIJIL
1. Manggung menggah-menggah ing panggalih, risang sutendra nom, denirarsa uninga warnine, kusumaning dyah ing Cengkarsari, nadyan wus udani, gambaring sang ayu. 2. Kang umunggweng jroning sesotyadi, tuhu yen kinaot, mangkya nedya uninga yektine, amrih marem remreming pangaksi, tan akarya brangti, minangka panglipur. 3. Nanging tansah sinamun ing liring, saking tyas pakewoh, semu merang maring sarirane, paran nggoningsun ngupaya sandi, mring kang dadya ati, panduking pandulu. 4. Jamang miyat reh krenteging gusti, nulya atetakon, maring sira Ni Buyut Cemporet, lah tah biyung putranta kang putri, dangu tan kaeksi, paran wadosipun. 5. Dene teka dahat mitambuhi, Ni Buyut lingnya Ion, angraracik pawohan kirane, mbok dangune saking ngemu ajrih, durung narawungi, luguning wong agung. 6. Kyai Buyut nulya anambungi heh ni somah mengko, enggalena yen kapara suwe, ni rara nggone tata tapsirih, kang katur ing gusti, manthuk Nyai Buyut. 7. Kawarnaa kang ngintip ing kori, nenggih sang lir sinom, mawa pawohan asri warnane, rangu-rangu denirarsa mijil, ngaturken tapsirih, ngarseng narpasunu. 8. Sareng miyat warnane sang pekik, mangkarag sumedhot, andharedheg dhegdhegan galihe, kang babayu kadya den lolosi, tan bisa lumaris, pangrantaming kalbu. 9. Paran nggoningsun anyaranani, nirken tyas pakewoh, lamun nora sumiweng ngarsane, mbok sinengguh deksura ing batin, baya antuk serik, kapiran wakingsun. 10. Kalithihan solahe sang putri, byating tyas kasompok, Nyai Buyut dangu pangantine, gya lumengser saking ngarseng gusti, nedya aniliki, mring sang retnaning rum. 325 PNRI
11. Sang dyah miyat dyan umentar aglis, senetan king gandhok, sarwi sidhakep menggah galihe, atabtaban sarira muriring, nyai nyambangliring, manis wuwusipun. 12. Aduh lae putraningsun gusti, teka anggeloso, apa getun mring dhayohira ngger, si biyang iki nyawa mung nempil, sira ingkang wajib, pijer adol angkuh. 13. Kayaparan karsanira mangkin, mimirang wirangrong, apa nora welas mring tamune, prajeng Paglen adoh saking ngriki, nganti den lakoni, lampah suku janggut. 14. Lae payo padha marek nini, mring kang nembe rawoh, aywa ewuh wus sinedyakake, sang dyah rara dangu amangsuli, swara seret ririh, den asareh biyung. 15. Iya mengko sun tatane dhingin, napasku tumpang so, kudu nangkep kulungati bae, badan gumeter panonku kuning, kokonang kalingling, amyang ting kalepyur. 16. Keneng apa baya awak mami, keketeg sumedhot, lir katiban ing sela kalane, lamun wikan mring tamu kang prapti, paran nggone bangkit, pan kudu sumaput. 17. Umareka mring ngarsa sang pekik, suku kaya lempoh, manggung gringgingen karasa cape, acatcatan panduluku salin,kaya wong angimpi, pangrasaku biyung. 18. Nyai Buyut dangu anganteni, mring putra sang sinom, wusnya tata tentrem sarirane, Nyai Buyut mangatag ing siwi, payo angger nuli, umarek ing ngayun. 19. Sang dyah myarsa tyas asenik-senik, lah biyung den alon, rumuhuna sun ing wuri bae, maksih krasa gumeter wakmami, Ni Buyut nuruti, lonlonan lumaku. 20. Prapteng ngarsa sang dyah aningali, tumungkul wit sinom, andhepepel wurine biyunge, cahya wenes saking semu isin, saya wimbuh manis, lir daru tumurun. 21. Duk tumingal risang narpasiwi, citraning sang sinom, lawan sang dyah duk parek ngarsane, samya kumepyur raosing galih, sampyuh tyasnya kadi, panjangputra remuk. 22. Sang dyah rara saputing pangaksi, kadya mati ngenggon, dadya gurawalan sasolahe, kang pawohan temah anggregeli, ing ngarsa sang pekik, cinandhak Ni Buyut. 326 PNRI
23. Sang dyah palarasan mundur aglis, lingsem kang katongton, manjing wisma mring pasareyane, anglegeyeh sarta tukup samir, sang narendra siwi, getun pungun-pungun. 24. Kadya age sumusul sang putri, murweng ing paturon, saking tan betah angraosake, yayah sumingeb rehing pangaksi, anrus ing panggalih, kabyatan kung wuyung. 25. Nyai Buyut matur mamalad sih, dhuh sang prabu anom, dipun ageng saganten nahangger, rehning sutamba dereng ngalami, srawungan ing gusti, marma kadi bingung. 26. Kang kaetang saestu mung ajrih, mbok ture tumpangso, ndadosaken ing kalepatane, rajaputra pangandikanya ris, e biyung sayekti, sun gantungi maklum. 27. Duk samana kasaput ing ratri, risang prabu anom, wus katuran angaso patanen, pangapiting kobong pan ing panti, rinakit sarwasri, sapatuting dhusun. 28. Dene kang kaparek raden mantri, paksi sakarongron, bantheng lawan buyut sasomahe, munggweng kajogan rumekseng gusti, sang retnaning sari, sare ing tilam rum. 29. Munggweng pangapit kilen patani, kang parek paturon, kadang angkat kang amaksih rare, apanengran Ki Jaka Kulampis, sanget den kasihi, mangka rowang batur. 30. Kawarnaa sang narendrasiwi, kang munggweng paturon, lawan kukila kalangenane, Raden Jaka tansah angranuhi, denira mong wingit, adreng tyas anggandrung. 31. Manggung ginggang tan tanggon ing galih, tansah anglalamong, lir angrurum arum raras rume, kunir pita sandining panggusthi, wus temu pribadi, paran wadinipun. 32. Tumbak tulup timbangan winilis, angkuhe tan bobot, wanara gung pancening adarbe, amewani lan amitambuhi, salahaning gendhing,mbok den mathem mathuk. 33. Nanging sun rasa sajroning ati, bener kang mangkono, anetepi susileng ambeke, eling lamun tusing putri adi, awidagdeng wadi, tan arda anggandrung. 34. Paksi menco ngimur ngarih-arih, ing sang prabu anom, dhuh dhuh sampun ngagengken wirage, tiwas maweh muwuhi wiyadi, mindhak tanpa kardi, ambabawur laku. 327 PNRI
35. Rehning lalakon sampun karakit, rumaket ing pakon, lineketan ing sapakantuke, mring Ki Buyut lan Ni Buyut mangkin, nirken sanggarunggi, ing tyas den tuwajuh. 36. Lagya kinuncang dening dewadi, dadining lalakon, kedah makaten ing pamintane, ewed punapa sampun kapipit, weweraning wadi, rinimbageng rembug. 37. Rajaputra kacaryan miyarsi, aturing sang menco, ngayubagya ing pamrayogine, sanalika laju den timbali, marek ngarseng gusti, Ki Buyut Ni Buyut. 38. Ingandikan lah paman lan bibi, aksamanta karo, marma ingsun nemah prapteng kene, iya saking karsaning dewadi, ing sarehing wadi, wus jinarweng wuwus. 39. Kyai Buyut Ni Buyut duk myarsi, sabda kang dhumawoh, pungun-pungun dahat pangungune, lengleng ing tyas adangu tan angling, wasana turnya ris, dhuh dhuh gustiningsun. 40. Tan kadosa karsaning dewadi, dennya karya lakon, teka elok makaten dadose, pangraos ulun kapanggih gampil, kantun anglampahi, rembag gothak-gathuk. 41. Raden putra angandika aris, nanging den awados, durung kena kabyawareng akeh, maksih kineker dening dewadi, buyut matur malih, dhuh inggih wong agung. 42. Apralebda boten madal sumbi, jangji wus kalakon, dados sirna ing walang sangkere, tan aetang tantinganing tani, mung temahan apti, tyas puwung-pinuwung. 43. Jamang sumaruna matur aris, dhuh sang prabu anom, ulun raos sakeca rembage, Kyai Buyut lan Ni Buyut mangkin, kang dipun calangi, geni sandhingan duk. 44. Yen ngantosa maretek maletik, sayekti duk kobong, temah awon kasuwur ing akeh, balik nunten anglampahi panggih, tan mawa balung ri, kantun mager ayu. 45. Narpatmaja jumurung sakapti, ing rembag wus golong, tan winarna nenggih antarane, sareng prapta ing dina sawiji, sang dyah wus winangsit, badhe rehing kayun. 46. Lajeng tata samaptaning panti, wus sarwa mirantos, saji-saji sangkep sadayane, mangkya marengi bagya kang prapti, wonten wong martami, pan nakoda agung. 328 PNRI
47. Mawa barang dagangan mawarni, kang sarwa di kaot, winot dening beberah salawe, parlunira nedya males becik, angsung kang sarwadi, maring Kyai Buyut. 48. Ajalaran sutanireng nguni, duk mardagang andon, prapteng wana Cengkarsari reren, temah bingung datan wrin ing margi, ingkang mitulungi, atedah margayu. 49. Sang andaka tinaken ngakeni, lamun sutaning wong, apanengran Ki Buyut Cemporet, marma praptanira gati-gati, maring Cengkarsari, dhasar wus tinuju. 50. Kyai Buyut sukanira ngenting, dene kapanujon, wus tinampenan barang pawehe, barang ingkang adi rajape.ni, sarwa keling-keling, kasrah mring Ki Buyut. 51. Lan jinawab kinen anakseni, panggihing karongron, ki juragan sakulawargane, samya jumurung ing pudyastuti, Ki Buyut nulya glis, asamekteng kayun. 52. Bantheng menco wus liningan sami, marek sang karongron, ngaturaken kang raja pangangge, Nyai Buyut miminta ngrarakit, busana sarwadi, myang andana sugun.
329 PNRI
XV. ASMARADANA
1. Ri sampunira miranti, sangkep sauparengganya, nadyan tan binayangkare, panggihing sang rajaputra, lan rajaputri mangkya, Ki Buyut lawan Ni Buyut, angundangi tangga desa. 2. Wus prapta ing Cengkarsari, kang maksih kalebu warga, nenggih enggaling cariyos, pan sampun panggih samana, jinajar aneng wisma, cahyanira angunguwung,kadya purnama kinembar. 3. Samya kacaryan ningali, warnaning sang pinangantyan, ing pantesing sakarongron, menco ngapit palenggahan, munggweng ing kering kanan, rinaras ing pasang patut, mimba patah sakalihan. 4. Bantheng andhepok ingarsi, sinung buburat garutan, sarta kinalungan cindhe, kadya kinarya sasrahan, kusut ing pasamuwan, kasoran lelangenipun, mring sang pindha hyanghyangin£ rat. 5. Samya ngranrantam ing batin, para tamu sadayanya, yen pangantyan sakaliyan, pan darahing Witaradya, katandha aneng netya, samya niti mring Ki Buyut, ing yaktining sakaliyan. 6. Winartan ing basa sandi, ujarira sinatengah, yen datan wrin kamulane, dene dennya sami prapta, ana ing Cengkarsasra, amung mupu kawlas ayun, pinet suta karo pisan. 7. Sarehning kadya tinandhing, samya katemu diwasa, ngong panggihken dadya jodho, sadaya mangayubagya, dadya tan katanggelan, dennya mong sakalihipun, pan datan kapareng tebah. 8. Lulus lestari salami, ing tembe wuri manawa, wonten begya daulate, pan samya nempil kewala, upami tetaneman, tuwuh baruwah wohipun, tumut ambal araramban. 9. Saure langkung prayogi, muga kasembadanana, apan ana babasane, wong acedhak nawu iwak, baladher balutheyan, yekti kacipratan endhut, iku ngibarating rucah. 330 PNRI
10. Ora luwih mung mumuji, karaharjaning sadaya, den anteni karo turon, kang miyarsa suka rena, dene kaki juragan, lan sakula warganipun, hyunhyunen dennya umulat. 11. Ing warnanira sarimbit, yayah dewa ngejawantah, pantes patute tinonton, senen sumunu sumunar, pae samaning janma, samya tan nduga ing kalbu, kalawan menco andaka. 12. Teka labdeng krama niti, dene dahat kaelokan, warnawarna pangangene, ri sampunira mangkana, lajeng samya bujana, ambul ambengan kinembul, samya suka parisuka. 13. Dupi ing antara ari, kang para tamu bibaran, mantuk maring ing wismane, dene wau ki juragan, mantuk maring Japara, risang pangantyan wus atut, karongron datan kena sah. 14. Lulus lestari sang kalih, tan ana sangsayanira, winong buyut sakarone, nihan ing sang sihsinihan, amangsuli carita, prajeng Pagelen rumuhun, saentaring rajaputra. 15. Karya gedering parestri, lajeng katur ing narendra, ramebu dahat wirangrong, sapuraya aru-ara, nelasah angupaya, layu-layu wayang-wuyung, saenggon-enggon wigena. 16. Kapiyarseng kadang kalih, narpatmaja kang awerda, kang acacad sakarone, Rahaden Jaka Pratana, Raden Jaka Sangara, tilar pura angluluru, saparane arinira. 17. Dahat denira marmengsih, tresna ing kadang taruna, pramila ambelani los, anderpati tan kaetang, pringgabayaning marga, nrang jurang rumangsang gunung, kongsi njajah wanawasa. 18. Kalih wus saeka kapti, yen tan panggih angupaya, anemah lalu ngaloyong, lelayu layang-layangan, mangayam-ayam wana, sang aprabu Sri Manuhun, saha garwa sru sungkawa. 19. Kawangwang dennya murca nis, narpatmaja ki taruna, kawimbuhan wiyadine, putra warda amiruda, lari-lari saparan, sangsaya tyas hera-heru, sanagara haru-hara. 20. Tan ana ingkang tinolih, lan mulat sang patniswara, manggung kantaka ingenggen, rinarapu rinarompa, nata tansah memalad, ngimur-imur amrih lipur, sungkawanira kang garwa. 21. Kadi grah tangis ing puri, jalwestri maca udrasa, kameron tyasira katong, sek-sek ngesak kasusahan, rhvut tambah331 PNRI
matambah, putek metek tyas pinuntu, memesu marsudi karsa. 22. Karya truh-truh ing wiyati, tidhem tandhanireng titah, surem sunaring rat kabeh, labeting ratu utama, kataman ing duhkita, anartani ing tumuwuh, dahat ngatas siptamaya. 23. Minta parmaning dewadi, paran dadining miruda, paratmaja tri estune, entare tanpa wawarta, antuk sipta sasmita, wasita marteng pitutur, yen murcaning putra nata. 24. Datan sangsaya ing westhi, pan wus karsaning jawata, kinarya lalakon elok, tembe antuking atmaja, katri asarimbitan, antinen ing sapakantuk, saantareng pudya brata. 25. Kendel sasmitaning wangsit, narendra tyas anarima, pasrah kang murweng lalakon, sanalika kaemutan, atur wartaning besan, duk arsa miwaheng sunu, putrane karya rubeda. 26. Tan purun jinatu krami, dahat ajrih kadang warda, maksih lamban sakarone, karya ruweding wardaya, antuk petya sanyata, yen atmaja kalilihipun, antuk jodho kaelokan. 27. Mangkya samya murca katri, apan kinarya jalaran, denirarsa ajojodhon, dadya manuhareng garwa, pajar rehing wasita, sang dayita tyas tumuntum, lipur pepering sungkawa. 28. Wus lejar wong sanagari, tedhuh tidhem wus apadhang, tyas adheng wong sa-Pagelen, wus antuk warteng wasita, wartaning ratunira, katon tentrem ing praja gung, senening cahya wus ana. 29. Nahan ta winarna malih, parenganing lelampahan, prajeng Pagebangan mangke, laladan ing Surapringga, ingkang mandhireng nata, sang Aprabu Tunggulmetung, kataman ing dukacipta. 30. Jalaran wong sanagari, dennya met kabudidayan, samya andederes aren, tan ana kang medal toya, karya sungkawa dahat, marsudi tyas dadya nuduh, wadya kinen angupaya. 31. Guna pangawikan luwih, maring sagung para tapa, sarana mrih kamulyane, duta mangkat lalancaran, praptaning Wirasaba, angancik sukuning gunung, wasta wukir Tunggarana. 32. Kapethuk dutanira ji, sri narendra ing Japara, kang panengran Arya Tiron, ingkang nglalari saparan, losing Dewi Suretna, duk ingriku sareng cundhuk, cundakanira srinata. 332 PNRI
XVI. SINOM
1. Lajeng taken-tinakenan, pan wus samya awawarti, perluningkang dadya karya, samya ngungun ing tyas kalih, wasana rehing kapti, karo rembag sabayantu, minggah puncaking arga, tan antara ana prapti, janma priya amawa rembatan toya. 2. Inguwuh kendel tinanya, mring Arya Tiron wawarti, anama Puthut Sadaka, pan mentas angambil warih, maring lambunging ardi, warta sendhang Tirtamayu, marma nama mangkana, sang resi kang amastani, labet saking toya srep wening kalintang. 3'. Sang arya malih tatanya, namaning sang apalinggih, kalawan wastaning arga, Puthut Sadaka turnya ris, ing Tunggarana wukir, namaningkang marsudyayu, sang Resi Caracapa, denten pratapanireki, winastanan inggih ing Giri Katawang. 4. Balik paduka punika, inggil^ satriya ing pundi, lawan sinten kang paparab, Arya Tiron amangsuli, saking Japara nagri, wus sajarwa rehing parlu, dahat kapasang yogya, kinen lumampah angirid, kalih pisan nedya panggih sang mahdwija. 5. Puthut nauri sumangga, lah suwawi kula iring, dhasar mangke kaleresan, ngriki mentas ariyadi, kala ing wau enjing, dahat katuju ing kayun, ri sampuning mangkana, katri angragancang wukir, prapteng wates puthut angruhuni lampah. 6. Sawusnya aseleh toya, dyan marek ngarsa sang resi, wawarta yen katamiyan, kalih cundakaning aji, saking Japara nagri, dene kang satunggilipun, saking ing Pagebangan, mangkya nganti wonten jawi, sang ayogya parentah angaturana. 7. Maring sang kalih dhatengan, Puthut Sadaka nulya glis, marek ing sakaronira, pan wus ingaturan sami, sang kalih anuruti, praptaning natar pinethuk, mring Resi Caracapa, katuran manjing pipidik, kang pinurih sakarone tan lenggana. 333 PNRI
8. Wus samya satata lenggah, sareng rerem saantawis, sang resi manadukara, dhuh-dhuh sang prapta martami, rehning katemben ngaksi, sumungsung anuwun dunung, ngajeng pundi sinedya, lan pundi sangkaning wingking, lawan sinten ingkang sinambat ing nama. 9. Lan denira paparengan, rumagang anggraning wukir, punapa kang dadya karya, Arya Tiron awawarti, miwiti amungkasi, sowanira sang awiku, nedya nuwun pitedah, dununge kang den ulati, dene ture duta saking Pagebangan. 10. Wus pajar preluning karya, yen dinuteng narapati, nuwun sarana kamulyan, birating tyas angrudatin, jalaraning rudatin, kawulanira sadarum, samya anandhang susah, denira met upakreti, panderesing aren datan antuk kilang. 11. Kendel denira papajar, yata nalika miyarsi, risang Resi Caracapa, ngungun ing tyas wacana ris, nalar punika gampil, pininta ing jawata gung, kula darbe pusaka, tilaranipun pun kaki, apanengran inggih Serat Sidhawakya. 12. Petang saking palintangan, buweng kadya cakrawarti, adat kang sampun kalakyan, kathah tatalaning nguni, inggih benjing cinobi, lamun wonten bejanipun, estu mawi antara, kanthi memesu marsudi, pinipudya sidining Srat Sidhawakya. 13. Marma kalih keparengan, rerem sadalu supadi, lajeng saged kaleksanan, pamilutaning sang kalih, kang liningan nuruti, samana praptaning dalu, sang Resi Caracapa, nggelar Serat Sidhayogi, wus kapetang darbe warta sowang-sowang. 14. r Arya Tiron ken umentar, maring dhukuh Cengkarsari, njujug bebuyuting desa, Ki Cemporet ingkang nami, yen mangkya kang den lari, wus apanggih runtung-runtung, risang Dewi Suretna, pan wus karsaning dewadi, dhaup lawan Rahaden Jaka Pramana. 15. Saking lakon kaelokan, mangsaning kababar mangkin, Arya Tiron langkung suka, myarsa sabdaning sang resi, yekti nedya ngastuti, kang dadya dununging tuduh, ri sampuning mangkana, sang resi nulya ngulungi, maring dutanira nateng Pagebangan. 334 PNRI
16. Nenggih kang mangka sarana, lestarining amarsudi, anderes aren mrih kilang, pan awarni janur kuning, sinrat rajah ngerawit, dhapur kombang ngingsep madu, ing luhur mawa sastra, pupuji turuning manis, tembe kinen maringaken wadyabala. 17. Pan kinen amadhahana, sajroning bumbung pring langking, lan sinungan apu pethak, samana wus den tampani, sapraptaning byar enjing, kalih aminta mit sampun, mring Resi Caracapa, samya sinung pudyastuti, pareng mentar andum paran sowang-sowang. 18. Kang mantuk mring Pagebangan, sapraptanireng nagari, duta ngaturken sarana, weweling sampun winarti, saksana anuhoni, sang Prabu Tunggulametung, janur kuning sinurat, ingundhangaken waradin, wadyabala sadaya sinung sarana. 19. Kang samya anderes kilang, kinen ngalap janur kuning, risampuning kalaksanan, rumambah wong sanagari, kang andederes sami, pan adres wijiling ranu, mulya samyantuk kilang, ngungkuli kadya kang uwis, sanalika nata luwar kang sungkawa. 20. Tekyan sagung wadyabala, wus enggar tyasira sami, henengna gantya winarna, mangkya kawuwusa malih, nguni kang anglalari, sang dyah kang mirudeng dalu, putri ing Parambanan, Raden Margana marsudi, ing samarga-marga amamati raga. 21. Katiwang-tiwang ing lampah, minta pramaning dewadi, antuk sasmita sawantah, kinen mentar mangayati, mring desa lering Gadhing, Malandangan wastanipun, panggiha warganira, Kyai Buyut Saraswati, yekti kena kinarya kanthi ngupaya. 22. Tanggap Rahaden Margana, amituhu rehing wangsit, sanalika linakonan, prapteng Malandangan aglis, panggih Ki Buyut nguni, marengi asambang tandur, tyas dahat sukarena, praptaning sang suteng patih, Dyan Margana ngacaran umanjing wisma. 23. Samana wus tinurutan, buyut nulya amamarti, kang dadya preluning karya, kadingaren amartuwi, mring sanak lambung kering, beja kemayangan ulun, andika sudi karsa, nedhaki wismaning kaki, Dyan Margana sajarwa ing praptanira. 24. Purwa tekyan ing wasana, wus pinajaraken sami, Ki Buyut duk amiyarsa, pangungunira tan sipi, wasana matur aris, 335 PNRI
tan kadosa raden putu, pan karsaning jawata, ndadak tiyang utikutik, tinempahken sinungan reh kang mangkana. 25. Kawula boten nyupena, paran sagede pinanggih, nanging yen sampun katempah, tuduhing sang murweng ghaib, tan saged anyinggahi, sasaged-saged sedya nut, labuh lampah paduka, panggihing sang rajaputri, inggih atas wonten ing beja paduka. 26. Nanging panuwun kawula, paduka rereh rumiyin, angasokaken sarira, wonten wismane pun kaki, ngiras ngupadi budi, amrih rembag kang pakantuk, nadyan karsaning dewa, kenging dipun ihtiari, kang supados mayar tan karya rekasa. 27. Salintiripun mamarta, gethok tular lambung kering, angupados patakenan, mring kang waskitheng pangesthi, mangke yen wus tinuding, pelengnya ingkang rinuruh, putri sakaronira, boten ical ngelampahi, tebih angel dununging nggen pinurugan. 28. Mangsuli Raden Margana, kaki kalangkung prayogi, sakeca rembag andika, reka asrep ing tyas mami, dados rehing dewadi, tan kilap mring titahipun, inggih ulun tinedah, anganthi andika kaki, yekti kinen s u m u r u p ing wong atuwa. 29. Saged pasang yogyapara, kang amrih lampah lestari, mesem Buyut Malandangan, kasaru kasaput ratri, warnanen sareng enjing, wonten wong prapta martamu, saking ing dhusun Soka, maksih warganya pribadi, katut saking Ki Buyut ing Malandangan. 30. Apanengran Umbul Wibra, apan sampun den panggihi, maring Buyut Malandangan, wus sinung bagya basuki, mung prelu amartuwi, dennya lami tan cumundhuk, yata Ki Umbul Wibra, mamarta kang nembe prapti, wus jinarwa mring Ki Buyut Malandangan. 31. Ing purwa madya wasana, ngungun nalika miyarsi, sanalika Umbul Wibra, lajeng denira wawarti, lamun ing ardi Wilis, wonten kang mesu manungku, mangangge sarwa kresna, isthanya kadya maharsi, nanging elok dennya mardi pudya brata. 32. Aneng ngandhaping kajengan, ing sari-ratri tan gingsir, kawarsan myang kabaskaran, sirung pasemon ngajrihi, pantes lagya marsudi, anglampahi tapa bisu, sagung janma wawanan, ajrih parek sang maharsi, mbck kasiku kataman ing upadrawa. 336 PNRI
33. Saking pangraos kawula, punika sang maha resi, waskitha ing saniskara, karana sampun katitik, titining matiraga, duk miyarsa Kyai Buyut, wartaning Umbul Wibra, pangungunira tan sipi, awasana dahat denira narima. 34. Tari ing Raden Margana, dhuh inggih raden suwawi, pajaring Umbul Wibra, rehning katuju ing kapti, sama dipun lampahi, panggih lan sang maha wiku, kang lampah cara meda, wontei} graning ardi Wilis, sira Raden Margana mangayubagya. 35. Ri sampunira mangkana, sira Buyut Saraswati, lajeng samapta ing lampah, sawusnya sarwa miranti, Umbil Wibra piniji, mbaureksa kadangipun, atengga padhukuhan, kang liningan anastuti, tan antara mentar tan atolih wuntat.
SERAT CEMPORET - 22
337
PNRI
XVII. PANGKUR
1. Sira Buyut Malandangan, lawan Raden Margana wus ngayati, a n j u j u r ing lampahipun, tan etang marga gawat, anderpati kalih ing tyas sabayantu, nenggih enggaling carita, wus prapta ing wukir Wilis. 2. Anragancang graning arga, prapteng pucak katon sang pindha resi, kalih sadhepok ingayun, mring wiku sarwa kresna, samantara Ki Buyut alon umatur, dhuh dhuh sang sudira brata, sewu nuhun pangaksami. 3. Inggih praptamba punika, lawan Raden Jaka samya tinuding, dening sang Sri Kala prabu, kang maharjeng Prambanan, angulati putri kalih los ing dalu, tan kantenan dunungira, manawi panudyang kapti. 4. Kawula nuwun tatanya, inggih mugi tedaha kang sayekti, kantenanipun angruruh, saure sang apindha, anauri ya ingsun gelem atuduh, enggone ingkang sanyata, putri kang sira ulati. 5. Tan atebih enggonira, sakaronya kaweran ing pangesthi, sawasthining sang karyayu, njalari lalampahan, nanging atas saking karsaning dewa gung, nggone karya kaelokan, paring jodhoning sang kalih. 6. Sun gelem angsung pitedah, nanging rowangira kang sira iring, mengko ingsun ambil mantu, dhaup lan putraningwang, dyan Ki Buyut Malandangan alon matur, dhuh sang yogi karsa tuwan, anjawi inggih tinari. 7. Kawula darmi tut wuntat, tan antara Ki Buyut abibisik, Raden Margana tan purun, denira putri nata, kang linari-lari ing saparanipun, lamun saged kapanggiha, pinaringaken ing benjing. 8. Sadhengah kang sinenengan, buyut nulya matur sang pindha resi, wangsulan kang tan panuju, sira Raden Margana, sru 338 PNRI
lenggana kalamun ingambil mantu, sang resi alon ngandika, lah den surupena kaki. 9. Iku putri Parambanan, wus kapasthi dudu jodhonireki, tiwas karya tyas martrenyuh, tur masa kalakona, kang apantes timbange lan putriningsun, kemengan duk amiyarsa, ngungun buyut tan kenangling. 10. Pan tansah pineksa-peksa, nanging raden puguh panggah ing galih, angemu duka kalangkung, cipta yen rinubeda, tan saranta dyan anyandhak kadganipun, sarta angandika sengak, yen tan sotah pinarsudi. 11. Mung nedya tanya kewala, rehning wiku wajib amitulungi, saure tan nedya tuduh, gadgada Dyan Margana, Resi Kresna sinuduk puwara limun, byar katingal purotama, rinenggarengga sarwi sri. 12. Radyan lan Ki Malandangan, kagyat mulat angungun kang tyas tistis, kasatmateng netya mesum, samana ana prapta, kadi dutaning narendra alon muwus, lah suwawi sakaliyan, tinimbalan ing narpati. 13. Wus tumutur prapteng ngarsa, prabu mulat api duka netyandik, j'ajanira sumung-sumung, nanging tyas paramarta, wahyaning kang pangandika manis arum, baya teja sulaksana, tejaning wong anyar keksi. 14. Sulaksanane kang lagya, prapteng kene temahan padha becik, saking ngendi kang kapungkur, myang paraning parasdya, sapa kasubing wawangi panjang kidung, jatenana mbokmanawa, ingsun bisa amrayogi. 15. Lamun nora sajarwaa, yekti padha kasiku anemahi, ing pidana kang asaru, tur masa rumasaa, dennya murang krama praptanira iku, tinggal tata tanpa cara, ambabawur silastuti. 16. Andikanya sri narendra, tansah mesem sinamun sambang liring, Radyan lawan Kyai Buyut, maketer tyas katresan, rumasa yen sakarone keneng siku, sumungkem ing kisma samya, sru nalangsa mamalar sih. 17. Mangkya Buyut Malandangan, kang umatur pukulun sri bupati, inggih sampun leresipun, titiyang lepat katrap, ing wekasan amba namung nuwun maklum, rehning boten katemaha, tumameng don sarwa sandi. 339 PNRI
18. Ri sampunira mangkana, buyut ngaturaken duk apapanggih, lan resi kang sarwa wulung, wekasan arubeda, amipeksa Dyan Margana kambil mantu, kang tinantun kipa-kipa, karya ardayaning budi. 19. Wau Rahaden Margana, wantuning nem sura kirang dudugi, sang Kresna lajeng sinuduk, puwara byar katingal, purotama temahan marek pukulun, sri narendra angandika, pan wus ingsun sumurupi. 20. Sajatine sun sajarwa, iya ingsun mau kang pindha resi, ing mengko paran karepmu, apa nedya raharja, apa ndhandhang marang sapudhendhaningsun, matur Buyut Malandangan, sarehning sampun kacepit. 21. Anagakken pejah gesang, sakarsendra pan patik anglampahi, angger wonten sih pitulung, amaringi pitedah, panggenane putri kang mirudeng dalu, nadyan sanes jodhonira, janji ing tembe kapanggih. 22. Dados denira ngupaya, antuk prelu tan katunan lumaris, inggih amung lowung-lowung, mewahi pakandelan, dennya anuhoni suwita ing ratu, prabu mesem angandika, dene teka ngemu wadi. 23. Lir andakwa angingira, yen mangkana winarah tanpa kardi, sakadare dhewe iku, denira angupaya, duk miyarsa Dyan Margana lan Ki Buyut, sangsaya ruhareng driya, temah rawat waspa sami. 24. Prabu mulat sanalika, dahat welas musthi masthika keksi, muwus yayah angingimur, aywa na tyas sandeya, iki retna pranawa murweng pandulu, winawasa ing locana, yekti wruh kang ghaib-ghaib. 25. Mulung sampun tinanggapan, Dyan Margana mawas wasana keksi, sang dyah kang amurceng dalu, slnawen wor siluman, langkung ngungun dadya alon aturipun, yen makaten wus kantenan, paran denira mareki. 26. Narendra arum ngandika, durung kena lamun sira parani, tembe yekti nora wurung, putri sakaronira, yen wus masa pan nora susah rinuruh, narima Raden Margana, narendra ngandika malih. 340 PNRI
27. Maring Buyut Malandangan, ingsun tanya genahe bocah iki, sapa ingkang asusunu, lan lulurining kina, alurane kang dadi wite rumuhun, matur Buyut Malandangan, punika sutaning patih. 28. Inggih Tumenggung Anila, patihipun prabu Sri Kala mangkin, dene rut-urutanipun, tedhaking resi dibya, inggih wonten gancaring cariteng dangu, nata alon angandika, mara alurena nuli. 29. Matur Buyut Malandangan, dhuh pukulun narendra kang mangka wit, pan ing kina wonten wiku, wikan ing reh pudyarja, adhedhepok prenah wonten wukir Kidul, marsudi sudira brata, panengran Resi Sakeli. 30. Punika nunten ayoga, Patih Tubar jamanireng narpati, Karungkala yaksa prabu, wau ta Patih Tubar, lajeng anggantyani ing kaprabonipun, panjenengan Ratu Baka, wonten Prambanan nagari. 31. Ajujuluk Prabu Baka, enggalipun pan puputra kakalih, kang sepuh nama Ken Busur, dene ingkang taruna, Raden Jayasandika panengranipun, punika kang pinapacang, lan rara Jonggrang inguni. 32. Nanging karsaning jawata, pan kapasthi sanes j o d h o sayekti, risaking karaton agung, nagari Parambanan, Rara Jonggrang kathah kang nedyarsa mupu, Raden Bandung Bandawasa, putreng Darmamaya nguni. 33. Duk bedhahe Parambanan, Rara Jonggrang karsa den ambil swami, nanging sang dyah sanget lumuh, wit sampun katandhegan, lawan garwa Prabu Baka kang wus lampus, nanging Bandung Bandawasa, sakalangkung sengseming sih. 34. Maring Dewi Rara Jonggrang, kalampahan ngantos darbe papanggil, amiminta candhi sewu, pan sampun kalaksanan, awasana sengadi nedya den etung, mbok kirang saking sahasra, Raden Bandung mituruti. 35. Temah sang dyah amiruda, anderpati wirarig merang ing margi, Raden Bandung tyas angungun, anglalari saparan, kawenangan Dyan Jayasandika wau, Raden Bandung Bandawasa, kapulet ing tembung manis. 341 PNRI
36. Katuran umanjing pura, anuruti lajeng katangkep nguni, dening wadyabalanipun, nateng ing Parambanan, Raden Bandung seda linuweng ing sumur, warnanen Dyah Rara Jonggrang, kang los angungsi nrang westhi. 37. Prapteng pinggir lepen Opak, wawratannya wusing masa alair, miyos putri putranipun, nanging karsaning dewa, Rara Jonggrang dhateng ing janjinipun, adhapur seda konduran, jabang bayi kawlas asih. 38. Pinupu Randha Dhadhapan, kasinungan nama Rara Nawangsih, warnanen kang angluluru, Raden Jayasandika, angalaya saparan kalawun-lawun, cariyosipun ing kina, antuk soting Bandung nguni. 39. Temahan dadya srenggala, maksih mungseng denira angulati, maring papacanganipun, tan wruh yen sampun lina, dahat dennya marsudi sidaning laku, minta parmaning jawata, luwaring asalah warni. 40. Lami ing antaranira, kacarita sira Rara Nawangsih, nenggih denira pinupu, maring Randha Dhadhapan, duk samana wus diwasa wancinipun, anenun pakaryanira, amucung ing sari ratri.
342 PNRI
XVIII.
PUCUNG
1. Dupi antuk, sih parmaning bathara gung, Dyan Jayasantika, prapteng dhusun Sokakarwi, sesingidan wonten ing dhadhah kewala. 2. Kewran lamun, kaserepan tiyang dhusun, yata ing nalika, masaning wong nambut kardi, jalu estri samya met pangupajiwa. 3. Andum purug, sowang-sowang jujugipun, dados ing Dhadhapan, utawi ing Sokakarwi, susuwengan tan wonten tiyang mirungga. 4. Amung kantun, rarya lit brahmana dhukun, padang patenunan, mila sang Retna Nawangsih, manggen wonten ing raranggon panepenan. 5. Sarya nenun, kentel pethak jagi bengkung, karsaning bathara, kang taropong tibeng siti, susah dennya tan saged mendhet priangga. 6. Dados lampu, pasanggiri wuwusipun, singa tutulunga, ngulungken taropong mami, yekti dahat sukaning tyas katarima. 7. Lamun jalu, dadya gurunadiningsun, manawa wanudya, sun anggep sudarawedi, ing nalika punika srenggala rekta. 8. Myarsa wuwus, makaten rumaos antuk, pasang yogyapara, kapanggih kang den ulati, dennya dahat kasamaran swaranira. 9. Gupuh-gupuh, anggondhol taropong wau, lajeng tumaracag, prapteng ranggon mawas liring, sarya ngulungaken taropong kang rentah. 10. Sang dyah sampun, anampeni sarya ngungun, amiduhung dahat, dennya muwus pasanggiri, rumaos yen kasiku dening jawata. 343 PNRI
11. Nanging mupus, ing papasthen aptinipun, arsa nganyut jiwa, srenggala waskitheng wadi, met pangimur sajarwa ing jatinira. 12. Lajeng mesu, aminta waluyanipun, dennya warni sona, dadosa manusa malih, katarima wonten wasitaning dewa. 13. Kalilan mung, waluya ing saben dalu, dennya warni janma, siyang dados sona malih, lawan Retna Nawangsih sinung waskitha. 14. Siyang dalu, saged anon kang satuhu, warnaning sujanma, mila kalampahan sami, sih-sinihan ngantos darbe suta priya. 15. Namanipun, Raden Saputra ing dangu, kinen sumawita, dhateng prajeng Medhangkawit, duk ing jamanira prabu Widhayaka. 16. Sakalangkung, kandel pangawulanipun, antuk sihing nata, jinunjung dados bupati, pinaringan nama Dipati Andaka. 17. Angreh sagung, wadya Kalang tuwaburu, grema lan kirata, katelah ingkang wawangi, Adipati Kalang Andaka punika. 18. Sinung lungguh, urut tanah ardi Kidul, prajeng Parambanan, ing antawis dereng lami, jaman Prabu Sri Mahapunggung samangkya. 19. Kadangipun, sadaya sami jinunjung, madeg naranata, sowang-sowang den ratoni, wonten angreh wadya tani myang saudagar. 20. Salong mengku, wadya wawanan sadarum, mangkya kang anama, sang Prabu Sri Kala inggih, kang maharjeng Parambanan sapunika. 21. Garwanipun, Dewi Jempina puniku, inggih kang susuta, Kalang Andaka dipati, arinira jalu wasta sang Anila. 22. Mangkya sampun, jinungjung nama tumenggung, dados mantri muka, mangka patih misesani, bangbang alum-alum prajeng Parambanan. 23. Lajengipun, Tumenggung Anila wau, katri sutanira, jalu sami pekik-pekik, kang asepuh awasta Raden Margana. 24. Tumaruntun, kang pamadya namanipun Rahaden Srawana, Dyan Surasa kang wuragil, dene Radyan Margana wau punika. 344 PNRI
25. Milanipun, prapteng ngabyantara prabu, witing lalampahan, amba sampun jarwa jati, sapunika sumanggeng karsa narendra. 26. Sang aprabu, miyarsa gumujeng ngguguk, alon angandika, sira buyut sun arani, kalebu wong elingan sugih carita. 27. Teka runtut, denira met pasang patut, traping teturutan, sarwa cakep apatitis, apa milu darbe bebeting ngaluran. 28. Buyut matur, nuwun pangaksama prabu, ila-ila paran, yen puruna angluluri, met pangawu-awu anawilaganda. 29. Kang saestu, mung kawula warga tuhu, inggih lamatlamat, wonten taleripun nguni, teturutan taler saking Prabu Tubar. 30. Duk rumuhun, pan wonten kadange sepuh, Dyan Jayasandika, wanudya kang awawangi, Dewi Busur punika biyung kawula. 31. Akramantuk, lan sudarmamba pukulun, wasta Empu Mudra, mangka tetarimaning sih, awasana angwontenaken kawula. 32. Dadosipun, manawi den urut-urut, Rahaden Margana, tepangipun lan pun patik, pan kaleres inggih putu naking-sanak. 33. Nanging ulun, tan pisan-pisan rumengkuh, rehning bangsa andhap, mangke sampun kawon asli, marma muhung mangayon ngawula warga. 34. Sang aprabu, miyarsa suka kalangkung, alon angandika, layak bisa pasang yogi, dene melu darbe bebeting ngawirya. 35. Yekti patut, tutwuri saparanipun, iya pirabara, parek kang den lari-lari, arerema aneng kene saantara. 36. Mengko durung, kapareng kagiyar iku, ing sakaronira, karana maksih ginaib, dening dewa kekeran reh winarana. 37. Tarlen muhung, pininta ing sapakantuk, sarta linantaran, lumaksita amartapi, mrih tumuli ulihe sang putri nata. 38. Buyut matur, inggih sumangga pukulun, rehning wus kantenan, paduka paring pangaksi, dumununge rajaputri sakaliyan. 39. Tan adangu, wonten wanara kang rawuh, saking dhatulaya, kering ing parekan cethi, lajeng amareki Rahaden Margana. 345 PNRI
40. Kagyat ndulu, Rahaden lan Kyai Buyut, mingser lungguhira, antuk sasmitaning aji, yen wanara nunten kinen ngrampungana. 41. Raden gupuh, saksana anarik dhuwung, kang wre linarihan, kapisanan angemasi, pra parekan pareng nangis ngaru-ara. 42. Tan adangu, kuwanda muka alintu, warna wanudyendah, lengleng ngungun tan kenangling, Kyai Buyut kalawan Raden Margana. 43. Sang aprabu, gadgada lajeng angrangkul, lungayaning putra, mawa waspa mamalad sih, mudhar sabda dhuh nini nora kayaa. 44. Nganti dangu, nggonira kataman luput, antuk ila-ila, iki pitulunging Widdhi, kang wus dadi pratignyaningsun ing kina. 45. Ujaringsun, singa kang angsung pitulung, angruwat citraka, nirmala waluya jati, wus kapasthi iku dadi jodhonira. 46. Sang retnayu, tumutur bela wetu luh, lajeng ngestupada, myarsa sabdaning sudarmi, aturipun jumurung sakarseng rama. 47. Sawusipun, sang dyah umanjing kadhatun, dahat a£mu wirang, maring sang Rahaden tami, denirarsa dadya jatukramanira. 48. Sang aprabu, pangandikanira arum, mring Raden Margana, miwah Buyut Saraswati, lamun tambuh ingsun andana pawarta. *
346 PNRI
*
*
XIX.
ASMARADANA
1. Sajatine ingsun iki, pan iya bangsane dewa, aneng kene madeg katong, aran Sanghyang Srenggadewa, yogane Sanghyang Naba, tedhakira Sanghyang Wisnu, putri mau putraningwang. 2. Pan bangsaning widadari, panengran Retna Srenggana, marmane salah kedaden, dadi wanara ing kuna, kena ing ila-ila, jalaranira ing dangu, anemahi upadrawa. 3. Minta manikara bumi, kapengin bisa weruha, kabeh sabangsaning sato, ingkang kumelip ing dunya, lan wruh ing saniskara, kang elok adi sadarum, tuwin kang asamar-samar. 4. Pangesthining putra mami, nedya amartani jagad, angsung pitulung wong akeh, mangka srananing tumitah, panggayuhe putrengwang, supaya bisaa tiru, kaya kadibyan ing kuna. 5. Ran sang Dewi Rukmawati, yogyaning Hyang Antaboga, nanging sun dahat tan aweh, marga iku nora kena, sengkeraning jawata, kalamun nora winahyu, anemahi kasangsaya. 6. Dene yen adreng ing kapti, yen nedya wrin kang asamar, kang ghaib kang elok-elok, iku sayektine kena, bisane aprastawa, saranane nganggo ndulu, manik musthika pranawa: 7. Wus sun ulungken inguni, nanging Ni Retna Srenggana, tan rena winangsulake, mung angudi manikara, sun penggak nora kena, temahan nangekken nepsu, akarya sabda tancala. 8. Wong banget ardaning kapti, kaya ambeking wanara, awekasan putraningong, nemahi rupa kuthila, ingsun getun kalintang, tan anyana yen tumuwuh, maweh ruweding wardaya. 9. Kang tan kena den sayuti, nguni ibune ni rara, kawangwang ing sungkawane, tan lami ana wasita, mungguhing sutanira, tan dangu antuk pitulun?, mengko dipun anarima. 10. Dadi ingsun iawan swami, anglindhung sakarsaning hyang, nganti lawas antarane, ingsun mesu nungku pudya, aneng 347 PNRI
pura punika, temah ratuning lelembut, suyud panjenenganingwang. 11. Sun katrem neng arga Wilis, dene nguni garwaningwang, tan taha nahen wirangrong, muksa ing kahanan mulya, ingsun kari anggana, aneng kene marsudyayu, nganti muntu ngejawara. 12. Amijilken pasanggiri, singa kang amulyakena, nggone salah rupa kethek, waluya jatining janma, pan minangka gantungan, dadi tatarimanipun, luwaring sungkawa dahat. 13. Marma rahaden samangkin, lakonana mangun krama, aywa sandeyeng galihe, ingsun milu arerewang, nuwunaken ing dewa, enggale bisa umantuk, sang putrindra sakaliyan. 14. Kendel sabdanireng aji, yata wau duk miyarsa, Ki Buyut lawan Rahaden, kalangkung pangungunira, wasana aturira, sarehning sampun panuju, amung pasrah ing jiwangga. 15. Enggaling carita nguni, sira Rahaden Margana, wus pinanggihken jojodhon, lawan sang Dewi Srenggana, wus atut sihsinihan, neng ngriku kinarya ratu, mengkoni sagung siluman. 16. Kyai Buyut Saraswati, pan kinarya tuwagana, dupi lami antarane, Prabu Sanghyang Srenggadewa, mukseng kahyangan mulya, Raden Margana kantun, saha garwa mengku pura. 17. Musthika pranawa nguni, kasrah sang Dewi Srenggana, mukti sari sakarongron, lamining antaranira, anggarbini sang retna, sapraptaning masanipun, mijil kembar samya priya. 18. Pan samya siwah kang warni, kang sepuh mulus apethak, awak janma rai kethek, dene wau kang taruna, adhapur palawija, warni janma cemeng mulus, rai lutung kasinungan. 19. Amawa buntut sang kalih, dene wau rowangira, kakang kawah awarni wong, pan abungker dhapurira, dene ari-arinya, bareng sanalika wujud, manusa dhapur abajang. 20. Kang rama sungkaweng galih, umiyat warnining putra, catur samya mawarna wre, kang ibu kalangkung merang, maring ing garwanira, tumanem manganyut tuwuh, adhapur seda konduran. 21. Ngulihi alame lami, ana ing Endrabawana, nunggil rama kamulyane, warnanen Raden Margana, manggung wayang348 PNRI
wuyungan, tinilar ing garwanipun, miyat putra salah warna. 22. Lir milalu bela lalis, sira Buyut Malandangan, kang tansah ngimur wirage, dene wau putranira, ingkang anggadarena, para pawongan mban babu, karya marem ing wardaya. 23. Dadya lulus angratoni, aneng kahyangan siluman, amengkoni wukir Ijo, sira Rahaden Margana, lan Buyut Malandangan, lami denira dumunung, aneng jroning panasaran. 24. Kuneng gantya kang winarni, nenggih dhukuh Cengkarsasra, wus kasusra pawartane, kalamun Rara Kumenyar, tuhu putri Japara, ing samangkya sampun dhaup, lawan papacangan lama. 25. Nenggih putraning narpati, Rahaden Jaka Pramana, wite kang amajarake, Jaka Kulampis samana, warta ing rare kafhah, wekasan saya misuwur, tinular-tular ing kathah. 26. Kapyarsa kang anglalari, rajaputra ing Japara, Raden Sudhana kang andon, amanungku pudyabrata, neng wukir P u r w a p a d a , wus t e r a n g p a w a r t i n i p u n , linggar saking padhepokan. 27. Sedya maring Cengkarsari, anggana datanpa wadya, lampahira age-age, ambebener tan aetang, nrang jurang angragancang, ing sela myang arga rigung, prapteng laladaning wana. 28. Anenggih ing Jatisari, sira Rahaden Sudhana, kapanggih lan Arya Tiron, kandheg raryan aneng marga, samya bagyabinagya, karaharjaning angluru, wus samya warta-winarta. 29. Langkung angungun sang kalih, wusnya rembag abipraya, narpatmajeng Japarane, andugekaken ing lampah, enggalireng carita, sang kalih pan sampun rawuh, ana dhukuh Cengkarsasra. 30. Datan saranta ing galih, karo lajeng manjing wisma, umiyat wus akakanthen, kang rayi putri Japara, lawan Jaka Pramana, lingsem rumasa den ekul, kadang kendhang keneng bedhang. 31. Nedya rinebut ing jurit, saking tan taha umulat, mijil lawan Arya Tiron, sapraptanira ing jaba, lajeng anguman-uman, susumbar payo prang pupuh, lamun satriya utama. 32. A j a ngucira ing budi, nganggo laku andurjana, wani ngiwat kadangingong, miruda singlon ing desa, yen satriya utama, 349 PNRI
nora mengkono tingkahmu, angelompra lir wong kumpra. 33. Ing kene payo prang tandhing, gandheng ukel liru kadga, aja kuciweng budine, yekti ingsun amurina, marang ing kadangingwang, kalamun sira atambuh, sun rajaputreng Japara. 34. Yata nalika miyarsi, Rahaden Jaka Pramana, sang prapta ing pangumane, sakala tangkis wacana, he sang rajapinutra, sira ingkang kurang dunung, nora nganggo kanthi nalar. 35. Amberung kadi wong baring, nora nganggo tatakrama, praptanira aneng kene, tan takon katranganira, mara-mara ngengira, Raden Sudhana sumaur, aja kakehan wicara. 36. Puluh selaka sireki, ujar pratandhane ana, mengko katon gandheng renteng, saking tan taha miyarsa, Raden Jaka Pramana, medal saking wisma gupuh, sarya wus samapta ing prang. 37. Sang dyah Suretna nggondheli, maring raka narpatmaja, kinen angemong kemawon, nanging tan antuk pamenggak, dahat kontrang-kantringan, Ki Buyut lawan Ni Buyut, sareng anjrit sakaronya. 38. Menco kalih samya ngiring, sapraptanira ing jaba, lajeng ruket sakarone, mire aneng kering kanan, rame sendhalsinendhal, samya akantaran bau, lajeng silih liru kadga. 39. Datan ana migunani, tuhu samya sakti sura, tandya musthi jemparinge, Rahaden Jaka Sudhana, linepasaken nulya, lumarap kadi andaru, tanggap menco karo pisan. 40. Anampani kang jemparing, tuna dungkaping panyendhal, ngenani badarie dhewe, dadya menco karo pisan, kataman ing senjata, kapisanan niba lampus, amurca kuwandanira. 41. Cundhuk tetep angemasi, pan sampun nunggil kahanan, lan Sumping ing kamulyane, dene raga menco Jamang, waluya warna janma, babar kadadyan ing dangu, narpatmajeng Parambanan. 42. Pan sampun jangjining wangsit, sira Raden Prawasata, denirantuk durakane, kang rama Prabu Sri Kala, langkung ngungun kang mulat, wasana rahaden gupuh, marek Dyan Jaka Pramana. 43. Dahat dennya mamalad sih, tinanya sapa kang prapta, ingsun katemben tumonton, matur Radyan Prawasata, purwa 350 PNRI
madya wasana, duk wite kataman siku, tekyan ing waluya janma. 44. Ngungun nalika miyarsi, Rahaden Jaka Pramana, kapirenan panggalihe, wekasan sukur ing dewa, ruwating kadangira, kemutan ing mengsahipun, angasta jemparingira. 45. Dewi Suretna ningali, langkung maras ing wardaya, angrerepa matur alon, dhuh dhuh pangajapan amba, gurunadi sanyata, mangke ing tyas dipun emut, yen maksih kadang priangga. 46. Yen ngantosa anemahi, aprang wonten raja pejah, estu dados cela gedhe, luhung ulun pejahana, boten mamanjang warta, anjalari rembag trewu, ngandika Jaka Pramana. 47. He yayi pupujan mami, ananing dadi rubeda, rehning saking sira wite, ingsun kinira angiwat, paran ing rembugira, nggone mamrih mamardyayu, umatur Dewi Suretna. 48. Kalamun makaten gampil, ulun ingkang amiluta, mring kakangmas amamartos, dennya adreng angengira, sarju Jaka Pramana, sang retna umangsah gupuh, umarek ngarsaning raka. 49. Pan sarya angemu tangis, aturira angrerepa, dhuh kakangmas kadangingong, rehning ulun kalepatan, dhateng ing kadang tuwa, tuwin maring rama ibu, mangke lajeng kalunasna. 50. Inggih sinten ingkang wajib, anguntapaken ing pejah, anjawi paduka mangke, dene ulun wonten dunya, tansah ndadawa wirang, badhe abanten sadulur, luhung ulun pejahana. 51. Sakala leleh ing galih, Rahaden Jaka Sudhana, pangandikanira alon, dhuh yayi pepujaningwang, kang sun lari saparan, ingsun wartanana gupuh, paran dadining lalakyan. 52. Dene sira kawlas asih, aneng dhukuh Cengkarsasra, lan samengko wus jojodhon, lan kangmas Jaka Pramana, paran ing mula buka, sang retna alon umatur, lampahanira sadaya. 53. Purwa wasananya titi, kang raka ngungun kalintang, rumasa kaluputane, denira kurang pariksa, angubungi tyas arda, dahat denira kaduwung, kapotangan ing kadarman. 54. Dhaupira ingkang rayi, antuk Dyan Jaka Pramana, pan wus karsaning Hyang Manon, nanging sarehning satriya, kaduwung solahira, dadya nedyangles amurud, kondur marang ing Japara. 351 PNRI
55. Arya Tiron duk miyarsi, gancaring lampahanira, bantu atur amboboleh, dhuh raden sang narpatmaja, menggah ari paduka, rehning karsaning dewagung, dennya wonten Cengkarsasra. 56. Kaliyan nalika nguni, wus pinacang alit mila, teka wonten rubedane, mangke lestantun tembayan, dumadi jatukrama, mendah sukane ing dangu, rama paduka srinata. *
352 PNRI
*
*
XX.
SINOM
1. Narpatmaja ing Japara, suka nalika miyarsi, lajeng angles entarira, Arya Tiron atut wuri, sang retna wangsul aglis, marek risang narpasunu, Raden Jaka Pramana, langkung sukanireng galih, dene kengser ing prang mung sarana warta. 2. Lajeng kondur maring wisma, buyut sasomahireki, gupuh methuk palarasan, mring gustinira sang kalih, sapraptanireng panti, sami suka reneng kayun, Raden Jaka Pramana, rumahap rumesep ing sih, maring ingkang rayi Dyan Prawasahata. 3. Dene dahat tan anyana, yen kumpul lan kulit daging, risampunira mangkana, wau sang narendrasiwi, pangandikanira ris, maring Ki Buyut Ni Buyut, andangu sang andaka, dene tan ana kaeksi, buyut matur lagya lalangen mring wana. 4. Lulus dennya dana karya, dereng dangu gunem lcawis, kasaru andaka prapta, marek ngarseng narpasiwi, umiyat ingkang rayi, wus aruwat dosanipun, waluya warna janma, tan wrin mulabukaneki, wus angira saking risang narpatmaja '5. Dadya matur angrerepa, pan sarya angemu tangis, dhuh dhuh sotyaning bawana, kakasihing jawata-di, kadang kawula peksi, sampun paduka rahayu, aparipurna janma, nirmala waluya jati, mangkya ulun ruwaten dimen waluya. 6. Arupa jatining janma, rehning wus netepi jangji, ing papajaring sudarma* terang wangsiting dewa-di, waluyanipun mangkin, jalaran saking pukulun, kendel turing andaka, dahat dennya mamalar sih, duk miyarsa Rahaden Jaka Pramana. 7. Dahat welas ing wardaya, wasana ngandika aris, papajar ing mula buka, ruwating sang menco paksi, purwa wasana titi, andaka dahat angungun, denira maring wana, tilar ing bagya basuki, tan mikani ingkang ambingkas cintraka. SERAT CEMPORET - 23
353
PNRI
8. Mangke ulun kadyaparan, yen tan ruwat warna janmi, saking pitulung paduka, baya milalu ngemasi, ngandika narpasiwi, pan sarya amijilken luh, he yayi den narima, papancening jawatadi, temenana pamintanta pangaksama. 9. Sarehning wus kawasita, ing dewa yekti tan lami, nora nana dewa cidra, ingsun ngruwata sireki, asarana jemparing, pan nora antuk pitutur, dening jawata mulya, melang-melang ing tyas mami, mbok nemahi antaka karya cintaka. 10. Iya sapa kang kelangan, kadang warga kulit daging, marma aywa ardayeng tyas, panemune nora becik, wong adreng nggege pati, kang durung ing jangjinipun, kasiku maring dewa, Dyan Prawasata nambungi, dhuh ki raka yogya sabdaning kakangmas. 11. Yen saking karsaning dewa, paran denira nyinggahi, ing papa kalawan arja, kawula darmi nglampahi, cobaning jawatadi, lamun paduka milalu, kasebut cueugetan, cekak nalar kirang budi, dumadi tan santa santosaning tekat. 12. Pan wus jamaking kawula, kasandhungan ewah gingsir, den tuwajuh aywa maras, papancenireng dumadi, saestu anglampahi, papa mulya andhap luhur, marma dipun narima, mbokmanawi tan alami, anirmala waluya jatining janma. 13. Andaka wus lejar ing tyas, pangandikanira aris, mring ari Dyan Prawasata, e yayi mung ingsun titip, marang ing awak mami, den agung aksamanipun, adarbe kadang kewan, yekti kuciwa ing warni, nanging dipun ageng ing warananira. 14. Rahadyan Prawasahata, duk miyarsa matur aris, dhuh raka kadang kawula, sampun sandeya ing galih, saestu tana westhi, esthining darbe sadulur, nambungi narpatmaja, wus padha prayoga sami, nggone padha raket rukun akakadang. 15. Lagya eca gunem rembag, kasaru wau kang prapti, putuning Ki Buyut ika, kang wasta Jaka Kulampis, marek sang narpasiwi, tur uninga wonten tamu, kakalih samya priya, cacad cebol lawan wujil, cahyanira kadya darahing kusuma. 16. Dyatmika ing solah bawa, atanya paduka gusti, mangkya kendel wonten dhadhah, nalikamba pitakeni, sangkanira ing wingking, sajarweng pangakenipun, saking Paglen nagara, wau ta sang narpasiwi, duk miyarsa atur pawarta mangkana. 354 PNRI
17. Wus anyipta yen kang raka, dinuta alari-lari, sanalika gurawalan, amethuk raka kang prapti, sadaya dyan umiring, tundhuk raka kalihipun, samya ararangkulan, karasa-rasa ing galih, temah samya karuna kadya wanudya. 18. Sadaya bela udrasa, sawusira samya lilih, katuran umanjing wisma, datan lenggana sang kalih, sapraptanireng panti, wus samya satata lungguh, rerem ing saantara, bagya-binagya basuki, tinanggapan ing suka lan panarima. 19. Agatya warta-winarta, salampahanira sami, ing purwa madya wasana', samya angungun tan sipi, wasana sang akalih, pangandikanira arum, he yayi paran karsa, tutruka aneng wanadri, apa nora kondur marang ing nagara. 20. Sapa kang pinudya-pudya, dadi sasarining puri, lan welasa wong atuwa, ramebu dahat rudatin, tan ana kang tinolih, malah samyarsa milalu, kalunglun saba paran, alalana lari-lari, yen kalakon priye lakune ing praja. 21. Marma samangke kondura, angemana kang nagari, supaya tan kasangsaya, kang rayi umatur aris, maring kang raka kalih, dhuh pukulun kadang ulun, leres sabda paduka, anamung kawula mangkin, anglampahi saking karsaning jawata. 22. Sayekti gampil ing benjang, antuke maring nagari, datan akanthi rekasa, yen sampun karsaning Widdhi, kang raka muwus malih, lamun mangkono karsamu, sayektine pun kakang, labuh sapati saurip, ing saparanira nora sedya ginggang. 23. Marma ingsun kadhempalan, bela milalu lunga nis, angrarantun ing saparan, saking nora bisa kari, aneng jroning nagari, apisah lawan sadulur, nadyan mukti wibawa, aneng praja sarwa sarwi, nanging lamun nora tunggal lawan kadang. 24. Daya kaduwung ing tingkah, destun temen mukti sari, matur Dyan Jaka Pramana, yen sampun saeka kapti, rerema wonten ngriki, mamrih pudya marsudyayu, kang raka tan lenggana, aneng dhukuh Cengkarsari, saya arja isthane winangun praja. 25. Ri sampunira mangkana, wau sang narendrasiwi, Rahaden Jaka Pramana, ganjaranira anggili, arta myang busanadi, maring Ki Buyut Ni Buyut, pan ing antara dina, risang andaka tinuding, kinen amasanga ingkang oyod mimang. 355 PNRI
26. Aneng dalan gung prapatan, pan sampun den laksanani, saben wonten wong aliwat, bingung datan wrin ing margi, sinungan tuduh sami, dening sang warna ngun-angun, kinen apitakena, bubuyut ing Cengkarsari, yeku bisa anangekken kaelingan. 27. Sagunging para juragan, babakul prapta anggili, manggihi Buyut samana, wus samya sinungan tuding, lestarining lumaris, temah anarimeng kayun, samyangsung warna-warna, dennya kalegan ing kapti, amisuwur Ki Buyut kadibyanira. 28. Kathah kang samya tatanya, ingaken guru sajati, parengan tibaning begja, satuduhe den anggepi, nderbala dadya sugih, kathah kang tumut angayum, wisma ing Cengkarsasra, sangsaya arja sarwasri, kasawaban kanggenan trah Witaradya. 29. Nihan ta malih winarna, Raden Sudhana ing nguni, lan Arya Tiron lampahnya, sampun prapta ing nagari, lajeng manjing ing puri, marek ngarsane ramebu, narendra ing Japara, saha garwa amarengi, amanungku jroning kamar pamidikan. 30. Andulu praptaning putra, langkung sukanireng galih, putra nulya ngaras pada, ramebu tyas katatangi, pangandikanira aris, sarya ambarebes kang luh, dhuh lae putraningwang, paran dennya lari-lari, dene legeh bae nora antuk karya. 31. Umatur Raden Sudhana, yen ari sampun kapanggih, wonten dhusun Cengkarsasra, sampun mawa jatukrami, pacanganireng nguni, kawula duk prapteng ngriku, ngantos apancakara, liru kadga silih ungkih, labet murinani ing kadang wanudya. 32. Kabaranang tyas angkara, wasana kogel ing ari, prapta amamalad prana, mamarta lampahan nguni, sareng ulun miyarsi, inggih rumaos kaduwung, kirang titi pariksa, ulun angles angoncati, semu lingsem mring kangmas Jaka Pramana. 33. Samangke borong paduka, sang nata duk amiyarsi, ngungun ing tyas saha garwa, saosikira ing batin, dhuh lae jawatadi, yen amayang titahipun, aluwih kaelokan, kalakon nggone nyangkani, nora nyana yen mangkono dadinira. 34. Ri sampunira mangkana, mupus papasthening asthi, dhasar nguni wus ginadhang, mangkya wus cundhuk pribadi, saking karsaning Widdhi, tarlen saharju jumurung, sang Prabu Sri Sadhana, pangandikanira aris, yen mangkono kulup ing pawartanira. 356 PNRI
35. Ingsun luwih sewu bungah, dene wus genah semangkin, panggonane arinira, aneng dhukuh Cengkarsari, nanging rehning puniki, jajalaran nistha saru, yekti datan prayoga, kudu nganggo sun alingi, gelar anglurugi maring Cengkarsasra. 36. Amrih kumandela pisan, nggone ngrengkuh amengkoni, mring putraningsun ni rara, sukur kawruhan tumuli, sarehing rembug iki, maring raka Sri Manuhun, dadining ing lalakyan, tan ewuh nggone anggalih, padha antuk marga saking wong atuwa. 37. Kendel sabdaning narendra, kang putra jumurung kapti, ing karsanira kang rama, sawusnya kinen nimbali, marang sang nindyamantri, kinen samapteng wadya gung, sabusananing aprang, narpatmaja lengser aglis, mijil saking pura lir magut andurma. *
*
*
357 PNRI
XXI.
DURMA
1. Kyai patih apan sampun tinimbalan, marek ing byantara ji, Patih Reksapraja, pan sampun dhinawuhan, kinen samapta ing jurit, sawadyabala, ngrabaseng Cengkarsari. 2. Pra niyaka sadaya wus ingundhangan, asamapta ing kardi, gumrah swareng bala, munya tabuhaning prang, kendhang gong garantang suling, teteg barungan, kekendhang lan thongthonggrit. 3. Sru gumuruh kadya giri gara-gara, gagaman amepeki, myang tunggul bandera, kuswa andher andherak, tedhakira sri bupati, pradangga umyang, sajuru-juru gendhing. 4. Sigra budhal sang Aprabu Sri Sadhana, kebut sawadya sami, dene kang pinatah, ambaurekseng praja, mangka payomaning dasih, nagri Jepara, nenggih narendrasiwi. 5. Sira Raden Sudhana pan kinanthenan, santananing narpati, wau lampahira, sang Prabu Sri Sadhana, karya gegering wadya lit, samarga-marga, surak gumuruh atri. 6. Henengena nihan gantya kawarnaa, ing Pagelen nagari, pan sampun miyarsa, lamun kang para putra, aneng dhukuh Cengkarsari, Jaka Pramana, wus mangun jatukrami. 7. Dhaup lawan rajaputri ing Japara, pepancangannya nguni, karsaning jawata, saking reh kaelokan, langkung sukanireng galih, sakala undhang, marang rekyana patih. 8. Karsa nata tedhak maring Cengkarsasra, patih wus amiranti, lawan wadyabala, sang nata nulya budhal, datan winarna ing margi, prapteng jajahan, wana ing Cengkarsari. 9. Wus kebekan dening wadya ing Japara, sangkep kaprabon jurit, ngungun sri narendra, kendel ing lampahira, ngandika mring kyai patih, heh mamartaa, mring wong kang ngepung baris. 358 PNRI
10. Karsanira yayi prabu kayaparan, dene ta anglurugi, mring pulunanira, lali ing kadang warga, Patih Sarana nulya glis, mring pabarisan, panggih lan senapati. 11. Ngatas warta mring Ki Patih Reksapraja, kauningan sang aji, Prabu Sri Sadhana, langkung sukaning driya, lajeng kinen animbali, Patih Sarana, marek ing byantara ji. 12. Wus winartan sarehing karsa narendra, purwa wasana titi, sang Patih Sarana, mesem duk amiyarsa wasana ngandika malih, nateng Japara, wusing mangkono patih. 13. Kaka prabu ingsun aturi samangkya, pareng manjing ing panti, rembug kang kapenak, kenane linaksanan, aja katon nora becik, reksa-rumeksa, wong padha kulit daging. 14. Kyana Patih Sarana lengser umesat, prapteng ngarsaning gusti, dinangu wawarta, karsaning ari nata, wus anglenggana ing galih, tedhak sakala, mring pasanggrahan ari. 15. Sareng prapta tundhuk samya rarangkulan, suka rena sang kalih, wusing saantara, umanjing padhekahan, tintrim wong ing Cengkarsari, wayang-wuyungan, anggili nedya ngungsi. 16. Cipta lamun pinarwasa dening mengsah, atasing pamiyarsi, Dyan Jaka Pramana, yen punika kang rama, nateng Paglen pan akanthi, nateng Japara, samya winartan sami. 17. Wong padesan tentrem tata wismanira, datan dangu kaeksi, ingkang rama prapta, lan paman Sri Japara, gugup amethuk sarimbit, tundhuk ing natar, dyan samya maring panti. 18. Sang narendra kalih wus atata lenggah, putra kalih ngabekti, maring ramanira, ing suku gantya-gantya, pan sarya angemu tangis, karantan ing tyas, tingkahira inguni. 19. Ingkang rama kamiwlasen maring putra, temahan asmu tangis, kang samya umulat, bela macaudrasa, tan antara sri bupati, ngingimur putra, kalayan sabda manis. 20. Adhuh lae putraningsun sakaliyan, den narima ing Widdhi, tanduking lelakyan, aluwih kaelokan, pasthi tan kena gumingsir, alestaria, karongron muktisari. 21. Ingkang putra ngestokken dhawuhing rama, sanalika tyas lilih, samya suka rena, lajeng tata bujana, sangu kang saking nagari, munggweng kameja, resep dhaharan sami. 359 PNRI
22. Nata kalih lawan sagung para putra, kadi nadar ing kapti, denira alama, panggih lan paratmaja, datan pae ing pangesthi, kang para putra, marang rama sang aji. 23. Wadyabala wus pinancen sowang-sowang, pan andrawina sami, suka parisuka, ri sampuning mangkana, linorod tekeng pakathik, pan kawaratan, sekul ulam waradin. 24. Nateng Paglen lawan narendra Japara, awas dennya ningali, marang sang andaka, dennya parek lan putra, andangu wus den wartani, kamulanira, purwa wasana titi. 25. Langkung ngungun asmu kawlasen tumingal, dene suteng narpati, pupulunanira, nemahi ila-ila, sinuwunken jawatadi, babaring janma, rehning wus prapteng jangji. 26. Sinung ilham wonten wasitaning dewa, mawantah awawarti, heh sri naranata, lamun iku andaka, tan kena babara mangkin, karsaning dewa, sinung pakaryan malih. 27. Yen wus krama sutanira karo pisan, ingkang acebol wujil, iya saantara, iki meh kalampahan, narima narendra kalih, lajeng wawarta, mring paratmaja sami. 28. Awekasan sumendhe rehing kawula, nglindhung karsaning Widdhi, sang nateng Japara, umatur mring kang raka, paran ta ing karsa mangkin, rembag paduka, prakawis putra kalih. 29. Nateng Paglen ing samengko ingsun gawa, kondur marang nagari, aja tanggung arsa, ingsun bawani pisan, becike yayi narpati, nguninganana, iya panggihing siwi. 30. Sri narendra Japara jumurung karsa, pamiwahaning siwi, inggih nunten ludhang, boten dados pamujang, kantun pupudya basuki, karaharjannya, denira palakrami. 31. Nata kalih wus golong ing rembagira, kasaru saput ratri, ya ta kacarita, nateng Paglen samana, kadhatengan besan peri, pan amiminta, putra kang cebol wujil. 32. Wecanira nguni mangkya kasambadan, sampun sandeyeng batin, den pasrah ing dewa, kanthi lawan andaka, punika margane benjing, dados jalaran, denyastu jatukrami. 33. Prabu Sri Manuhun dahat denira kalegan, dene trus lan wawangsit, sampuning mangkana, awawarah ing putra, kang 360 PNRI
cebol lawan kang wujil, datan lenggana, andaka dyan winangsit. 34. Wus umentar sinawen wor lan siluman, sigeg ganti winarni, sareng enjangira, nateng Paglen wawarta, mring arindra lawan siwi, ngungun kalintang, wekasan srah ing Widdhi. 35. Nulya undhang nata Paglen maring wadya, kondur maring nagari, sang nateng Japara, tan pae undhang wadya, mring Paglen nedya nenggani, panggihing putra, wus sarwa amiranti. 36. Sigra budhal sri narendra sakaliyan, awahana turanggi, risang pinangantyan, sarimbit jinempana, ginrebeg sagung bupati, sawadya bala, karya manising margi. *
*
*
361 PNRI
XXII.
DHANDHANGGULA
1. Pan akarya asrining lumaris, budhalira kang para dipatya, pradangga munya arame, rinaras bawa kidung, pangkatpangkat pangkoning gendhing, saben sabawatira, mawa payung agung, miwah bandera daludag, umbul-umbul kanthi wiyaga angrangin, gumrah samarga-marga. 2. Warna-warna rerenggan sarwasri, abyor kadi kang sekar setaman, arerendhonan lampahe, tinut sasukanipun, binojana samargi-margi, desa ingkang kancikan, samya tur susugun, jalwestri andher anyirap, ruruhunan lalari dennya lumaris, paksa myat sang pangantyan. 3. Tarap jejel tan kena sinapih, tan aetang tinggal ing pakaryan, dennyarsa wrin sang panganten, layu-layu kayungyun, dennya samya katemben ngaksi, rarasing uparengga, nenggih lampahipun, prapteng laladaning praja, ing Pagelen santana tuwin bupati, methuk jawining praja. 4. Enggaling carita sampun prapti, lampahira wadya kalih praja, aneng nagari Pagelen, sang Prabu Sri Manuhun, lan arindra manjing jro puri, kanthi kang paratmaja, pra wadya sadarum, wus sinungan pasanggrahan, aneng pasebaning kang para bupati, samya amakajangan. 5. Sowang-sowang dennya pasang rakit, umbul-umbul daludag bandera, myang pradangga raras rume, samya anguyuuyu, kawarnaa sri narapati, sarawuhireng pura, para garwa methuk, tundhuk lenggah singgasana, kapirenan rawuhe narendra mangkin, kanthi nateng Japara. 6. Lawan putranira narpasiwi, sampun mawa wanudya utama, pantes jodho sakarone, pra parekan mban babu, layu-layu dennya ningali, kayungyun wuryanira, rarasing sang rawuh, kadi 362 PNRI
Ratih Kamajaya, tan antara prameswari Dewi Srini, angrangkul ingkang putra. 7. Sarya kaca-kaca asmu tangis, narpatmaja lajeng ngaras pada, tumanggap saha garwane, pangandikanya arum, adhuh lae putrangong gusti, ingkang dadi woding tyas, tan nyana sarambut, maksih katemu raharja, duk losira ingsun meh milalu lalis, katongton putraningwang. 8. Nguni leleda tinari krami, mengko prapta wus anggawa garwa, putri adi tanpa tondhen, lir widadari nurun, bisa temen ngupaya rabi, baya sewu nugraha, paringing dewa gung, malih garwaning narendra, Dyah Pratiwi narawungi bela tangi, karantan putranira. 9. Priya ingkang cebol lawan wujil, kesahira anglabuhi kadang, lari-lari saparane, kang linuru wus mantuk, teka nora milu umulih, apa lalu lalanan, sapa kang sun dulu, nadyan ala tanpa rupa, dene ketang kumantil-kantil ing ati, katongton aneng netra. 10. Nateng Paglen angingimur swami, denira wus karsaning jawata, mangkono ing lalakone, den anarima sukur, dene antuk kamulyan jati, anulya winartanan, lampahaning sunu, ing purwa madya wasana, duk miyarsa pra garwa ngungun tan sipi, wekasan anarima. 11. Dewi Srini mesem matur aris, maring besan narendra Japara, lamun makaten estune, badhe pambangunipun, kaki putra lan nini putri, inggih mawi sarana, sarehning adhaup, sami ragil kalih pisan, Prabu Sri Sadhana dahat anjurungi, ngagem lepiyan kina. 12. Prabu Sri Manuhun anambungi, aja samar ingsun wus nglenggana, yekti nganggo tumplak-ponjen, lan arta limang suku, yayi besan ingsun bagehi, ya beras satadhahan, lan saponjenipun, sumambung nateng Japara, teka mayar ki raka mung nglaksanani, ardana tridasa wang. 13. Wonten malih paduka kang wajib, inggih maleming ambangkat karya, saestu mawi mumulen, karya rahayunipun, kang winastan medhadaryani, mumulya warga sapta, kathah roncenipun, sekul golong pitung kembar, kinanthilan tigan ayam pitung iji, den olah linembarang. 363 PNRI
14. Lawan pecel pitik jangan menir, ayamipun ules sarwa kresna, terus cemeng sakulite, mulus sakuku wulu, den wastani ayam cemani, lalaban timun cambah, lawan jenang subur, inggih samya pitung kembar, sinung arta sawe ing dalem satakir, ujubipun mumulya. 15. Marang Sanghyang Esa kang rumiyin, ingkang minulya punika Buda, Sanghyang Bisma kapindhone, kang den mumulya napsu, Sanghyang Suksma Kawekas malih, kang den mumulya nyawa, ping sakawanipun, maring Sanghyang Kamajaya, nenggih rahsa ingkang den mulya basuki, pangkat kang kaping lima. 16. Maring Sanghyang Asmara sajati, ingkang minulya punika cahya, kaping enem dumununge, nenggih mring Sanghyang Bayu, kang minulya punika urip, dene kang kaping sapta, mulya dunungipun, mring Sanghyang Sambo punika, amumulya edat jangkep pitung warni, nenggih kang warga sapta. 17. Nateng Paglen mesem ngandika ris, iku apa carane Jepara, teka akeh karonehe, ingkang mangkono iku, nimbok ratu ingkang majibi, mesem sang prameswara, makaten saestu, sampun sami sinadhiyan, kang sarana tuwin sagung saji-saji, kantun amilih dina. 18. Nateng Japara suka tan sipi, yen makaten kantun ingangkatan, pambangune kang panganten, sampun tanggel mbakayu, kang sarana kalih prakawis, inggih bebahan kula, pan andika cukup, benjing ing pangundhuh kula, mring Jepara kang agentos nguwaweni, mesem sang prameswara. 19. Tan antara dennya gunem pikir, denira mrih suka parisuka, resep rumesep galihe, kasaru wedalipun, dhedhaharan andher rinakit, kang sarwa amirasa, sangkeping pamatut, narendra lajeng dhaharan, myang anginum inuman kang sarwa manis, tyas samya suka rena. 20. Sawusira linorod ing dasih, dene njawi tan pae bujana, suka parisuka kabeh, enggalira ing wuwus, sang pangantyan wus den adani, winangun panggihira, aneng jro kadhatun, rinenggarengga sarwendah, linenggahken ngarseng pajangan sarwasri, kadi wulan kinembar. 21. Kathah langening sagung parestri, ingkang samya kawogan ing karya, mirengga sang pinanganten, kathah lamlamen 364 PNRI
ndulu, ing pantesing warna sarimbit, rinengga ing busana, sayembuh ngenguwung, ngasorken langening jagad, awiletan cahyanira narawungi, singa mulat karenan. 22. Senening sotya pating parelik, kumenyar lir lintang kapawanan, warna-warna sesunare, mirah sotya mar yakut, myang busana ingkang sarwedi, dumadi uparengga, mimbuhi raras rum, asrining sadhatulaya, katandukan langening badaya srimpi, kawuryan langyantaya. 23. Rempeg rinumpaka ing kakawin, ing swara rum raras srining pura, kang myarsa hascaryeng tyase, lengleng kang samya ndulu, isthanira duk ambawani, labet Ngendrabawana, para sura wadu, amamangun lenggot bawa, tiningalan dening sagung dewadewi, sengseming pasamuwan. 24. Dyan bujana andrawina sami, datan pae sajawining pura, samya alangen kamukten, sagung para tumenggung, amiraras asrining gendhing, saben ing pasebannya, pradangga winangun, langen-langening kasukan, abebeksan saweneh seneng mamain, miwah minum minuman. 25. Lir kinerig wadya j r o nagari, narambahi desa ingadesa, jalwestri wong sa-Pagelen, pan samya gugur gunung, tekyan rare sami sumiwi, piniji papajangan, aneng alun-alun, kang datan sinung pakaryan, janma ciklu kaki-kaki nini-nini, parlu kelu umulat. 26. Pasamuanireng jro nagari, nora ketang samya tilar wisma, dennya myat tongtonan gedhe, panggihing gustinipun, jejel uyel pipit pinipit, tan kena sinapihan, ing pandulunipun, tekyan ing antara dina, karsa nata putra pangantyan sarimbit, kiniter njawi pura. 27. Wus siyaga dennya pasang rakit, kang anedya kambah sang pangantyan, rinengga-rengga asrine, daludag umbul-umbul, myang pradangga sabilik-bilik, wusing pinatah-patah, lalangening ngenu, tan ana ingkang kuciwa, raras rume ngubengi ing baluwarti, budhal saking jro pura. 28. Warna-warna wahaninireki, kang rumuhun sagung pra punggawa, ingkang samya anem-anem, lan sapanekaripun, pepilihan trahing winarni, samya anitih kuda, wuri kang sumambung, 365 PNRI
sagunging para santana, sawusira nulya panganten sarimbit, munggweng rata gothaka. 29. Ingkang rinengga ing sarwa rukmi, myang sosotya kang manik prabawa, yayah nalika panggihe, sang Danangjaya dangu, panggih putri ing Dwarawati, duk ing sapanti Parta, wuri kang sumambung, kang rama nateng Japara, lawan nateng Paglen sakarongron swami, ing wuri wadyabala. 30. Sru gumuruh prandangga angrangin, langkung asru uparengganira, langyaning sang pinanganten, samarga-marga penuh, jalu estri kang samya ngaksi, rumahab reruhunan, jejel anglur selur, kemput angubengi pura, sang pangantyan kalawan narendra kalih, umanjing dhatulaya. 31. Wadyabala wus atata malih, aneng alun-alun makajangan, senengan tan ana nenge, sari ratri memangun, andrawina kasukan ngenting, prapteng samadya candra, pasamuan suwuk, sareng ing antara dina, sri narendra Japara anuhun pamit, kondur ring prajanira. 32. Saha putra panganten sarimbit, kalilana pan ingundhuh pisan, winangun binayangkare, sang Prabu Sri Manuhun, duk miyarsa aturing ari, sang Prabu Sri Sadhana, asuka jumurung, ri sampunira mangkana, undhang wadya sawusing sarwa miranti, narendra nulya budhal. 33. Asru gumuruh samargi-margi, raka nata lan sawadyabala, anguntapaken lampahe, gancang ing tindakipun, sapraptaning njaban nagari, nateng Paglen sawadya, apan samya wangsul, lestantun ing lampahira, lelancaran datan winarna ing margi, prapteng nagri Japara. 34. Kacarita nalika inguni, wus winangun rengganing pangantyan, tan kuciwa lelangene, tan pae duk binangun, aneng Paglen raras sarwasri, ramebu sukarena, myang kadang sadarum, kasukan andina-dina, asarwa njrah boga drawina menuhi, pangantyan karya brangta. *
366 PNRI
*
*
XXIII.
ASMARADANA
1. Atut sih-sinihan sami, tanana sangsayanira, tulus denira jojodhon, Rahaden Jaka Pramana, lawan Dewi Suretna, kuneng malih kang winuwus, kang sinawen wor siluman. 2. Putri Parambanan nguni, Dewi Karagan Jonggrangan, tyasira nahen wirangrong, dennya lami tan kapanggya, lan kadang kalihira, Dewi Mulat ngimur-imur, rara aywa na duhkita. 3. Samengko meh anrenjuhi, iya kang sira upaya, nanging karsaning Hyang Manon, sira sinung jatukrama, atmajaning narendra, yen sira kapareng dhaup, bisa panggih kadangira. 4. Dene yen nora nglakoni, tan nuli bisa kapanggya, baya lulus aneng kene, sang dyah kalih duk miyarsa, sabdaning Dewi Mulat, sanalika tyas martrenyuh, muntu saesthining karsa. 5. Dhuh sang waspada ing ghaib, kawula den jarwanana, badhe jatukramaningong, punapa jinis manusa, atawa yen siluman, kantenan panimbangipun, Dewi Mulat angandika. 6. Lamun karsaning dewadi, jinodho lawan manusa, rajaputra ing Pagelen, umatur sang dyah kalihnya, dahat jumurung karsa, awit nguni wus angrungu, ing pawarta babaratan. 7. Duk masih aneng nagari, yen atmajanireng uwa, nenggih narendra Pagelen, samya pekik wirotama, anuhoni pawarta, lan enggal saged kapangguh, kadangira sakaliyan. 8. Asmu suka jroning batin, tan wruh kaliru panampa, lamun putra ing Pagelen, kang apekik wirotama, Raden Jaka Pramana, tan nyana yen kadangipun, kalih samya nandhang cacad. 9. Acebol kalawan wujil, tan angrasa pisan-pisan, amung saking panyiptane, pan samya bagus sadaya, marmanira agahan, tan pareng doh tibanipun, panggih kadang naking sanak. 367 PNRI
10. Dewi Mulat ngandika ris, sukur yen uwis prayoga, ingsun pan angestokake, nadyan ala tanpa rupa, aja na tyas sandeya, yen wus karsaning dewa gung, paran denira suminggah. 11. Manawa bisa antuk sih, parimarmaning jawata, turut lan sedyanirangger, tan antara ana prapta, andaka marek ngarsa, asadhepok makidhupuh, dinangu mring Dewi Mulat. 12. Paran dennya marek ngarsi, andaka matur sajarwa, lamun nyuwun sakarongron, Dewi Mulat angandika, saking pakoning sapa, andaka alon umatur, karsaning Dewi Sriwulan. 13. Pan nedya jinatukrami, lawan gusti narpatmaja, tembung ngebun-ebun sore, dereng dugi aturira, andaka duk umulat, ing warnanira sang ayu, rajaputri sakaliyan. 14.' Tan samar yen kadang yekti, Dewi Karagan Jonggrangan, sakalangkung pangungune, kaelokaning jawata, dennya karya lampahan, temahan abarebes luh, dinangu mring Dewi Mulat. 15. Heh andaka paran wadi, durung tutug aturira, teka marawayan luhe, sajatine sira sapa, dene ta sato wana, teka awidagdeng wuwus, kaya tataning manusa. 16. Andaka umatur aris, ulun nguni darbe kadang, kados makaten warnine, pramila amba kengetan, awit ing sapunika, kawarti elos ing dalu, tan kantenan lenging prenah. 17. Dewi Mulat mesem sarwi, wus aja rinasa-rasa, balik ingsun atatakon, narpatmaja karo pisan, apa saking Prambanan, andaka alon umatur, saking Pagelen nagara. 18. Cundhuk sarahsaning wangsit, Dewi Mulat angandika, yen mangkono ingsun aweh, dereng dangu gunem rembag, kasaru ingkang prapta, Raden Margana ing dangu, lawan Buyut Malandangan. 19. Marek ingarsa sang dewi, tan pae tembung babana, maring sang dyah sakarone, Dewi Karagan Jonggrangan, tan pangling kang aprapta, lamun pulunaning ibu, kadangira nakingsanak. 20. Sanalika den prepeki, pan sarya maca udrasa, pangandikanira alon, he sira yayi Margana, apa dinuteng rama, dene sira bisa weruh, marang ing panggonaningwang. 21. Dyan Margana amangsuli, tumut barebel kang waspa, wasana umatur alon, dhuh inggih boten kadosa, nggen amba 368 PNRI
angupaya, pan ngantos kalawun-lawun, saweg punika apanggya. 22. Suwawi kondura mangkin, angandika Dewi Mulat, e mengko dipun asareh, Nini Karagan Jonggrangan, wus dadya putraningwang, iki mau wus katrucut, sun paringaken andaka. 23. Sira anedya ngulati, sarehning uwus kapanggya, mangkya arsa ajojodhon, iya turuten kewala, yekti nora rekasa, terkadhang karya rahayu, duk myarsa Raden Margana. 24. Kabaranang ing panggalih, dene putri Parambanan, dadya tembayaning tembe, kalamun bisa kapanggya, winenang dadya garwa, mangka ing mangko kapangguh, ana kang amalangmalang. 25. Wasana umatur aris, dhuh dewataning siluman, sampun paduka makewoh, kapareng boten parengan, sang dyah kawula bekta, lamun ngantosa katrucut, dados tuna tanpa karya. 26. Nggen kawula anderpati, salamine saba paran, saweg ing mangke kapregok, teka boten kasembadan, wida dening gardaka, kalebet angaru biru, yen wurunga arda merang. 27. Boten kabekta sang putri, leheng amilalu pejah, sampyuh prang kalawan bantheng, awit sang putri punika, kalebet sayembara, lamun kapanggih angruruh, dadya ganjaran kawula. 28. Sadhengah kang amba pilih, yekti manjing tetariman, pituwas amanggihake, yata wau duk miyarsa, sang Retna Dewi Mulat, sarentesing aturipun, sira Raden Margana. 29. Emeng raosing panggalih, wasana mamanuhara, heh Margana yoganingong, iya sarehne ing mangkya, pan wus karsaning dewa, Buyut Malandangan matur, anengahi ing watara. 30. Dhuh sang dewataning sari, sarehning mangkya sang rara, sakaro dados balero, sampun keron ing pangarah, pinandum siji^owang, dados sami antuk prelu, boten akarya rubeda. 31. Sang retna ngandika aris, bener kaya aturira, nanging karsaning Hyang Manon, ni rara karo punika, kang dadi jodhonira, dudu si andaka iku, yekti samaning manusa. 32. Padha yoganing narpati, kang wus pasthi dadya garwa, rajaputra ing Pagelen, kang warda sakaronira, mesem Raden Margana, wasana manaru atur, dhuh dhuh sang adining kenya. 33. Lamun makatena yekti, kula dahat boten suka, dene kadang kula mangke, pan nedya jinatukrama, lan putra Paglen SERAT CEMPORET - 24
3
PNRI
69
ika, sakalangkung nistha saru, dhaup lan wong nandhang cacad. 34. Nadyan sami putreng aji, nanging dhapur siya-siya, luhung sampun kapareng doh, dhateng ahulun priangga, andaka duk miyarsa, wose ing suwuwusipun, adrenging Raden Margana. 35. Sayekti yen darbe melik, maring kadang sakaliyan, mangka wasitaning wartos, denirantuk pangaksama, waluya warna janma, yen sampun krama satuhu, si wayendra sakaliyan. 36. Kadangira putri kalih, Dewi Karagan Jonggrangan, dhaupe raden karongron, pan sampun karsaning dewa, minangka lintupatra, denira asalah wujud, mangkya badhe kapangkalan. 37. Sanalika ngemu runtik, ingkang minangka pratandha, sungu pinasang ambekos, sarya asru wuwusira, payo kene Margana, yen sira nedyarsa mengku, marang putri sakaliyan. 38. Iya ayonana dhihin, mungguhing kadibyaningwang, mengko yen ingsun wus kasor, sang putri kasrah ing sira, tan ana munasika, padha bae sedyanipun, den tohi taker ludira. 39. Ingsun uga mung tinuding, kalawan ing pundheningwang, yen nganti tan antuk gawe, baya amirang babarang, wus dadi kasaguhan, yen legeh balia ngunthul, sang retna nora kagawa. 40. Katon apa ingsun iki, dinuta sapisan kala, kapalang nora kalakon, sun labuhi banten nyawa, nadyan tumekeng pejah, anuhoni ing pituduh, yeku caraka utama. 41. Mantep suwita ing gusti, nora nganggo lelemeran, katanggor baya pakewoh, aja dumeh sato 1 wana, kokira kurang sura, sun sumarah soroh amuk, duk myarsa Raden Margana. 42. Talingan kadya pinetik, tinantang marang andaka, dhasar kaduk ber kuwanen, sanalika narik kadga, Dewi Mulat umiyat, karo ingandikan arum, sarehning padha drawala. 43. Mengko ingsun punageni, sing sapaa jayeng yuda, anampani putri karo, wis padha metua jaba, kang liningan umentar, prapteng natar nulya tarung, tan ana nedya mundura.
370 PNRI
XXIV.
DURMA
1. Sira Raden Margana amatek mantra, saking wulang jnguni, rama martuwanya, Bathara Srenggadewa, aji pangubalan agni, datan antara, gumuruh ing wiyati. 2. Prapta-geni sasalad angalad-alad, ngrebda arda mawredi, yata sang gardaka, prayitna dyan amudya, turuning warsa martani, dyan kasartanan, sakala dres kang riris. 3. Ambanjiri marang dahana kang mubal, sasalad sirna tapis, Rahaden Margana, wrin lamun ajinira, cabar karoban ing warih, salin salaga, amusus asta kalih. 4. Duk kinepyak mijil jemparing awendran, mangsah kadya garimis, sakala gawala, matek ing bayurota, anapu sagung jemparing, singa umangsah, kasrang ing angin-angin. 5. Dyan Margana lajeng anggedrug bantala, oter kadya ginonjing, mangap ambuledhag, praptaning brakasakan, ingkang samya den ratoni, sambang simparan, jalegong banaspati. 6. Lan danawa bajang bangsa bajobarat, angarad angengirid, ing wadya balanya, thongsot thethekan pathak, jerangkong baung suwanggi, lan godrah lungkrah, janggitan ulir-ulir. 7. Asamapta bangsa memedi sadaya, kuswa gagaman jurit, nggegilani samya, mawarna salah rupa, ana pukang-pukang sikil, weneh mung sirah, ana bau sasisih. 8. Ana epek-epek amandhi gegaman, ana sirah anjungkir, jatha rambut gimbal, baune malangkadhak, mangap siyunge kaisis, anggreng lir macan, seweneh ngiwi-iwi. 9. Mangsah angarubut ngembuli andaka, ngiwa nengen mbijigi, anujah anyepak, nyarudug ngundha-undha, sungu tansah gobag-gabig, karoban lawan, kendel amesu budi. 10. Nenga wiyat sanalika praptanira, para siluman sami, peri parayangan, wadyane Dyah Sriwulan, nedya atutulung jurit, ngembari lawan, sagung para ibelis. 371 PNRI
11. Maputeran aprang ngambara ing wiyat, gumuruh nggegirisi, mendhung alimengan, guntur ketuk sauran, liweran kang kilat thathit, bantala mabah, adres kang angin-angin. 12. Pan kasoran wadyane Raden Margana, tandha swaraning tangis, gumuruh ibekan, sagung bantala rengka, pulih kadi wingi uni, Raden Margana, dahat ngungun tan sipi. 13. Lajeng mengsah ngamuk mung kalawan kadga, andaka anadhahi, rame leng-ulengan, amijig midak nujah, gobag-gabig amucicil, netya dadya rah, danguning prang kasliring. 14. Dyan Margana katlanjer ingundha-undha, binanting aneng siti, kantaka tinujah, keles ingidak-idak, wali-wali den bijigi, tan antuk lawan, mati den uli-uli. 15. Buyut Malandangan kagyat duk umiyat, Dyan Margana ngemasi, mangsah arsa tandang, sarya mandhi kalewang, dupyarsa mangsah ing jurit, lawan andaka, myarsa swara dumeling. 16. Awawarah heh ta Buyut Malandangan, aywa mangsah ing jurit, luhung ngimpunana, sutane si Margana, kang ana jro pura rukmi, iya ing benjang, parsudinen angabdi. 17. Maring Paglen yekti antuk katarima, ananarik antuk sih, lamun umangsaha, sira tan wurung sirna, dadi sulung lebu geni, datanpa karya, nggonira labuh pati. 18. Si Margana wus pasthi karsaning dewa, tumekane ing jangji, anunggal kahanan, ing kamulyaning garwa, satelasira kawangsit, kuwandhanira, Dyan Margana nulya nis. 19. Buyut Malandangan wus darpa larasan, manjing kadhaton rukmi, putraning Margana, anggana tanpa wadya, sampun samya den impuni, aneng kahyangan, mangsuli kang winarni. 20. Sang andaka miyat mungsuhe wus sirna, langkung suka tan sipi, yata sanalika, nyipta Retna Sriwulan, lawan sang sutengdra kalih, datan antara, katiga sampun prapti. 21. Lajeng marek ngarsaning sang Dewi Mulat, wus samya den panggihi, matur Dyah Sriwulan, kang dadya patembaya, dhaupe sang putri kalih, lan narpatmaja, kang ulun bekta mangkin. 22. Duk umiyat Dewi Karagan Jonggrangan, maring kang jatukrami, raden kalihira, pan samya nandhang cacad, acebol kalawan wujil, apalarasan, kaduwung ing panggalih. 372 PNRI
23. Dewi Mulat wruh sasmitane kang putra, dadya ris amangsuli, he yayi prayoga, dhasar wus kasembadan, pratignyaningsun ing mangkin, nanging asarat, kudu sun tari malih. 24. Retna Dewi Sriwulan jumurung karsa, Dewi Mulat anari, mring dyah sakaliyan, atur wangsulanira, inggih kadugi nglampahi, ajojodhohan, yen saged angluwari. 25. Inggih ingkang dados kekudangan kula, nalika taksih alit, Dewi Mulat nabda, paran kang kekudangan, padha matura samangkin, asesewangan, lajeng umatur sami. 26. Kang rumuhun nenggih sang Dewi Karagan, dhuh ibu ulun warti, andikaning rama, makaten kang kudangan, mbesuk lamun jatukrami, katekanana, minangka tiba sampir. 27. Papan jembar kang rakit sarwa kawuryan, tatanduran menuhi, pan padha sakala, kenaa ingundhuhan, yen wus bisa nglesanani, sadhengah wonga, iya wenang mengkoni. 28. Dene aturira sang Dewi Jonggrangan, dhuh jeng ibu sang dewi, kekudangan kula, nguni sabdaning rama, mbesuk anakingsun iki, yen jatukrama, mangka tukonireki. 29. Singa wonge kang bisa anekanana, sendhang agung awening, padha sanalika, dadi kalawan cipta, iya wenang amengkoni, amung punika, yen saged ngleksanani. 30. Kang saestu boten mopo ing parentah, inggih dhateng nglampahi, yata Dewi Mulat, wangsul mring palenggahan, papajar sojaring siwi, sakalihira, kang dadya pasanggiri. 31. Narpatmaja kekalih sareng miyarsa, rumasa yen tinampik, mundur palarasan, kering risang andaka, Dewi Sriwulan nututi, praptaning jaba, kanthi sabda malarsih. *
*
*
373 PNRI
XXV.
KINANTHI
1. Adhuh lae raden putu, aywa sandeya ing galih, mungguh ing pamintanira, kekudangan pasanggiri, Dewi Karagan Jonggrangan, pan aywa sira singgahi. 2. Oraa kalakon iku, destun temen karya isin, sira putraning narendra, tinampik arsa arabi, teka amimirang jagad, raden kalih matur aris. 3. Dhuh eyang sang murtiningrum, lamun kawula pribadi, kados boten kalampahan, labet saking tuna budi, ing kadibyan tan adaya, marma kawula ngesahi. 4. Yen boten wonten pitulung, ing sih paduka sayekti, asaged saking punapa, ngandika Dyah Retnasasi, marmane sun kon tumanggah, yekti sun kang mitulungi. 5. Raden kalih alon matur, yen saking karsa suwawi, wangsul nyagahi paminta, sang Dyah Sriwulan nulya glis, marek ngarsane sang retna, akanthi rahaden kalih. 6. Dewi Mulat ngandika rum, apa wus sambadeng kapti, mungguh kang dadi paminta, sumaur sang retna peri, sarehning sampun kasedya, sasaged-saged nyagahi. 7. Sang Dewi Mulat duk ngrungu, dahat sukanireng galih, ri sampunira mangkana, sang dyah peri aminta mit, nedya mamet budidaya, Dewi Mulat anjurungi. 8. Wus lumengser saking ngayun, radyan kalih atut wuri, praptaning kahyanganira, nenggih sang narendrasiwi, pan wus sinungan sarana, awarna musthika kalih. 9. Siji musthikaning banyu, kang siji socaning bumi, sapraptanira ing prenah, kinen amusthia mbenjing, memesu marsudi karsa, mardi sidaning dumadi. 10. Ing dewa yekti dinulur, sawusnya wineling-weling, dyan umentar maring papan, praptaning antara ratri, prenah pasiten Katangga, sira narpatmaja kalih. 374 PNRI
11. Samya memuja manengkung, manungku samadi hening, sinungana kang kinenan, dumunung musthika manik, dinuluran dening dewa, saksama musthika kalih. 12. Wal saking ing astanipun, nenggih mamaniking bumi, nulya byur katon kawuryan, papan asri pasang rakit, lir lalangyan ing udyana, pala kirna amenuhi. 13. Anjrah nedhenge kumundhuh, wowohan kang sarwa manis, a j a j a r kadya tinata, pininta-pinta rinakit, pinantha-pantha sapanthan, sumedheng nedheng pinethik. 14. Dene musthikaning banyu, tumanemira ing bumi, sanalika dadya sendhang, mijil kang atoya wening, winangung den istha kulah, pinageran ing parigi. 15. Sakanan keringing ranu, sinungan sasananing sih, suka renaning kawuryan, kembangira angubengi, sumeng ambabar gandanya, raras rume sarwa sari. 16. Paripurnaning manekung, kalihe wus mratandhani, mapake Retna Sriwulan, papajar lamun antuk sih, parimarmaning jawata, pareng denira dumadi. 17. Patalunan sendhang agung, kawuryan raras sarwasri, suka Dyah Retna Sriwulan, sanalika mentar aglis, marek Retna Dewi Mulat, angirid rahaden kalih. 18. P a n sarya mesem umatur, dhuh dewataning apsari, mangkya sampun kasembadan, ingkang dadya pasanggiri, pamintaning kekudangan, kusuma rara kakalih. 19. Saestu kawula suwun, tetep mangka jatukrami, dhaup raden sakaliyan, yen tan pracaya suwawi, karsaa amirsanana, patalunan sendhang wening. 20. Dewi Mulat sukeng kalbu, sanalika anedhaki, Dewi Karagan Jonggrangan, pinajaran ing pawarti, pamintaning kekudangan, mangkya kasambadan sami. 21. Sang dyah nalika angrungu, dahat denira rudatin, mangangen-angen upaya, supaya amrih tan dadi, denirarsa mangun krama, lan sang narpatmaja kalih. 22. Wasana alon umatur, dhuh ibu retna apsari, mangkya sampun kasambadan, saestu inggih nglampahi, nanging liya kukudangan, kula nuwun gungan malih. 375 PNRI
23. Kinaryakna candhi luhung, mangka pasanggrahan mami, supados boten kuciwa, yen ulun lalangen warih, ngengundhuh kang palakirna, saged remen panti aring. 24. Dewi Mulat duk angrungu, papajaring putra kalih, winedharaken anulya, maring sang Suretnasasi, tandya lengser saking ngarsa, tumutur rahaden kalih. 25. Sapraptaning njawi pintu, Dyah Sriwulan ngandika ris, kaki putu narpatmaja, aywa sandeya ing galih, pamintane kang mangkana, ingsun ingkang minangkani. 26. Narendraputra umatur, sinten kang yogya malarsih, anjawi paduka eyang, baya wurung jatukrami, kang pininta boten kaprah, sama-samaning dumadi. 27. Dupi antaraning dalu, sira atmajendra kalih, sampun sinungan sarana, sela muksala kekalih, dhapur wungkal pangasahan, sawabe yen kinum warih. 28. Kinalukuhken ing watu, empuk kalamun ingukir, dene kang tetulung karya, saranane cupu manik, ing jro isi lenga tala, yen sinipatken pangaksi. 29. Weruh marang wadyaningsun, peri parahyangan dhemit, kena kinen tentulunga, raden kalih anampeni, angestokaken ing sabda, praptaning samadya ratri. 30. Weweling sadaya wau, sampun samya den astuti, nenggih enggaling carita, candhi sanalika dadi, suka sang Retna Sriwulan, tan antara marek aglis. 31. Mring sang Retna sura wadu, angirid rahaden kalih, pepajar yen kasambadan, pamintane ingkang candhi, sami sanalika dadya, ing mangkya anagih jangji. 32. Sageda anunten pangguh, lan rajaputri kekalih, sampun akarya rubeda, agadhah panedha malih, suka Retna Dewi Mulat, pangandikanira aris. 33. Aywa salah panampamu, ingsun darma ananari, dadining apalakrama, atas kang arsa nglakoni, ri sampunira mangkana, Dewi Mulat anyedhaki. 34. Mring putra sang retnaningrum, wawarta yen sampun dadi, candhi jajar ing Katangga, iya lakonana mangkin, wus pasthi karsaning dewa, yekti tan kena gumingsir. 376 PNRI
35. Dene kabeh pamintamu, kang elok kang ghaib-ghaib, pan wus padha kasambadan, mengko ingsun angidini, ing dadining jatukkrama, widadaa ing salami. 36. Sang dyah kalih duk angrungu, tyas sangsaya angranuhi, pasthining pangesthinira, yen kalakon jatukrami, lan satriya karonira, kang acebol lawan wujil. 37. Baya amilalu lampus, labet tan timbang kang warni, sanadyan putraning nata, tan sambada mengku putri, mangka mangke kang paminta, wus samya den laksanani. 38. Marma karya tyas pakewuh, kalamun tan anglakoni, temah cidra ing ubaya, tembayane mbalenjani, akarya cela tan cala, satemah anglilingsemi. 39. Lan dinukan ing dewa gung, deniranggung sanggarunggi, amiroga raganira, momoga kang tan sayogi, tigasing panggagasira, panggah ananggulang galih. 40. Atur wawangsulanipun, rumesep ing ujar manis, amrih tan sandeyeng driya, denira anyanggi krani, dhuh ibu dewataningdyah, sarehning wus nembadani. 41. Saestu amung jumurung, ing sakarsa anglampahi, nanging sewu mintaksama, sampun kasesa ing mangkin, sumados antara dina, yen wus panggih kadang kalih. 42. Dewi Mulat ngandika rum, gampange tyasireki, met panggil tekaning kadang, nguni sira wus sun wangsit, teka sandeya ing driya, paran ingkang dadya westhi. 43. Mungguh kang dadi wuwusmu, yekti mung darma mamarti, maring kang darbe panedya, nulya pinajarken aglis, maring Dyah Retna Sriwulan, ngungun legeg tan kena ngling. 44. Tan antara nulya mundur, kalawan rahaden kalih, alon denira ngandika, raden lakonana mangkin, pan iki karsaning dewa, aywana darbe sakserik. 45. Banteren dennya memesu, maladi samadi hening, tumanem henenging prana, mrih pana pranaweng kapti, kakenan panuwunira, kinohan dening dewadi. 46. Raden kalih amituhu, prapteng antaraning ratri, amusthi pangesthinira, mantheng nedya tekat pati, yen tan antuk pariminta, leheng amilalu lalis. 377 PNRI
47. Kapasuk lingsem rumasuk, denirarsa misesani, sih-sinihaning parasdya, sumengsem ing sang suputri, tansah ngesah kasusahan, pangrampekira tinampik. 48. Tekat manungku manengkung, tajin dhahar lawan guling, pelenging nala nirmala, met pitulung mamalarsih, antuk sihing Hyang Wisesa, sumungsung asung wewangsit. 49. Denira marteng pitutur, he titahngong kang nastuti, nastiti santosaning tyas, aminta trus lair batin, antuk palalin jawata, lumantar marta martani. 50. Anartani ing sawastu, astutinen dipun aglis, sesucia maring sendhang, mrih kendhang cedanireki, ludhang kodheng kang sinandhang, cundhuk kacondhongan tandhing. 51. Lan putri kang sira tuju, sarju saharja ing kapti, saking wahyaning nuggraha, dewa sih narma ing dasih, marma nuli lakonana, a n j r u m sajeroning beji. 52. Kendel wangsit kang tumutur, narpaputra anastuti, nulya mentar mring patirtan, tan antara sareng prapti, anjrum jroning tirtamaya, miraos nrus tekeng ati. 53. Tumungtum mring balung sungsum, rumambah mfing kulit daging, getih daging kuku rema, angles kadi den lolosi, samantara wusing siram, sang karo mentas sing warih. 54. Sat banyuning sendhang agung, pulih kadya wingi uni, narpatmaja sakaliyan, sakala asalin warni, lurus larasing sarira, kadya kembar kang suwarni. 55. Katon cahyane sumunu, netepi trahing narpati, samya kagyat sanalika, pangling suwarnanireki, wekasan tanya-tinanya, duk samya sajarwa nami. 56. Lengleng ngungun pungun-pungun, legeg kadi tan kenangling, mengeti pangangenira, anglir kalayaping ngimpi, saking dahat tan anyana, kaelokaning dewadi. 57. Sawusnya suka kalangkung, wangsul mring kahyangan malih, panggih lan Retna Sriwulan, sang dyah waspadeng pangaksi, yen raden sakaronira, wus purna waluya jati. 58. Pangandikanira arum, heh putuningsun sang pekik, mengko wus padha prayoga, anagih kang dadya jangji, tekan ing antara dina, lah payo padha sun irid. 378 PNRI
59. Rahaden karo jumurung, saksana mangkat tumuli, katri tan antara prapta, kahyanganing pura rukmi, lebune Retna Sriwulan, kering sang taruna kalih. *
*
*
379 PNRI
XXVI. SINOM
1. Dumrojog ing ngarsanira, sang dewataning apsari, Dewi Mulat sanalika, nanduki satata linggih, lawan putra kakalih, Retna Sriwulan umatur, dhuh sang adining kenya, ngatas karsa kadospundi, mangke sampun prapta ing antara dina. 2. Yen meksa sang dyah tan arsa, anetepi jatukrami, cidra kang dadya ubaya, kang sampun dipun lampahi, inggih seleh samangkin, puluh-puluh kudu lumuh, sayekti anarima, rumaos kang ulun kanthi, narpaputra tan pakra ingupakara. 3. Dewi Mulat duk miyarsa, gumujeng ngendika aris, yayi ingsun mung sadarma, aneng kene angemongi, ingsun kaliwat saking, nggonsun mardi marsudyayu, mangkana Dewi Mulat, sadangunira wawan ngling, kagyat ndulu kang amunggweng wurinira. 4. Kusuma Retna Sriwulan, satriya bagus respati, kalih warnane lir kembar, sanalika amamarti, he yayi Dyah Srisasi, sapa neng wurinireku, dene tembe katingal, apa manusa sajati, cahyanira netepi trah Witaradya. 5. Umatur Retna Sriwulan, paduka teka apangling, saestu inggih punika, warnane kang dipun tampik, ingkang acebol wujil, makaten ing dadosipun, wantuning anarima, langkung anglalara ati, temah antuk marma nirmala sujanma. 6. Angungun Retna Srimulat, citrane rahaden kalih, atanya ing mula buka, bengkasing cedha sang kalih, matur sang retna peri, saking karsaning dewa gung, jalarannya winarta, wusana prapta puniki, sampun sami salin salelewanira. 7. Dewi Mulat angandika, layak banjur pasang taji, lamun tan kinatujonan, solo seleh tan nedyapti, lamun mangkono yayi, kaya tan cuwa ing kayun, samya prayoganira, rinembugaken sarimbit, sawusira mangkana sang Dewi Mulat. 380 PNRI
8. Alon denira ngandika, maring sang putri kakalih, heh ni dewi kayaparan, wekasaning rembug iki, apa ta anglakoni, apa ta sida mbeguguk, wartaa jatinira, lah dulunen ing samangkin, ing warnane bakal jatukramanira. 9. Bagus dyatmika sambada, sang dyah nalika miyarsi, andikaning Dewi Mulat, lan waspada aningali, warnane sang akalih, cahyane senen sumunu, karya mamalad prana, dadya lingsem asmu isin, pan kaduwung pratingkah kang kalampahan. 10. Mangke antuk wewelehan, saking karsaning dewadi, mangangen-angen upaya, wasana wusing binudi, lajeng umatur aris, dhuh-dhuh pukulun jeng ibu, menggah dhawuh paduka, yen wus karsaning dewadi, damel kaelokan kang kadi mangkana. 11. Saestu jumurung karsa, tan saged selak sumingkir, marma wau ngong leleda, dhasar sumgdya anyobi, ghaibira Hyang Widdhi, makaten ing dadosipun, sang Retna Dewi Mulat, suka angandika aris, yen mangkono yekti bakal kalampahan. 12. Ri sampunira mangkana, ngandika mring Dyah Srisasi, yayi dewi wus sembada, karone tan madal sumbi, mung kari anglakoni, bisane tumuli dhaup, matur Retna Sriwulan, lah inggih suwawi mangkin, kula nuwun kapanggiha jatukrama. 13. Yen sampun antara dina, kula pasrahken ing benjing, dhateng ingkang kuwajiban, sarehning amung sadarmi, wonten ngriki nyaweni, saking karsaning dewa gung, ngandika Dewi Mulat, payo padha den sahidi, duk samana nengggih enggaling carita. 14. Pan sampun panggih samana, rajaputra rajaputri, sira sang Dewi Karagan, antuk risang narpasiwi, Jaka Pratana nenggih, Dewi Jonggrangan adhaup, lawan Jaka Sangara, atut sihsinihan kalih, kapirenan tan ana sangsayanira. 15. Warnanen risang andaka, aneng patalunan asri, dahat denira sungkawa, kadya ge milalu lalis, aneng soring waringin, rantaning tyas kang kaetung, nguni wasitanira, denira waluya jati, kasinungan pakaryaning jatukrama. 16. Narpatmaja sakaliyan, pan sampun dipun lampahi, manjing alam palimunan, anut sang putrining peri, awekasan tinampik, labet sang retna tan sarju, marma risang gardaka, mangsah mesu masuh budi, mrih waluya apurna jatining janma. 381 PNRI
17. Pan lajeng antuk wasita, heh ta andaka sireki, yen sira arsa waluya, iki ngisoring waringin, ana cucupu manik, ing jro ana isinipun, lenga dipanirmala, kasiyate yen ingambil, bisa ngruwat sabarang kang salah rupa. 18. Gadgada risang andaka, nastuti wartining wangsit, waringin nulya dhinungkar, rubuh pancere ingudi, tan antara kapanggih, warnaning kang cupu luhung, angambar gandanira, binuka lisah ingambil, nulya binorehken ing sariranira. 19. Sampuning wrata sadaya, angga liyer langkung arip, dadya ngantuk layap-layap, jleg satangine aguling, angungun ing pangaksi, warna wus waluya tuhu, Raden Prawasakala, aneng madyaning wanadri, ngungun ngangen-angen saplengan tan nyana. 20. Nanging sampun kasamaran, maring kahyanganing peri, rehning wus ana ing dunya, ngulihi alaming janmi, risaksana lumaris, angenggar inggaring kayun, kasilir samirana, kendel raryan sasoring wit, nihan malih warnanen sang pinangantyan. 21. Karsaning Retna Sriwulan, kinen ambekta kang swami, kondur ing Paglen nagara, alampah dharat sarimbit, dyan kalih matur aris, saestu kawula bingung, margining dhateng praja, Dyah Sriwulan ngandika ris, aja samar ingsun kang tetulung marga. 22. Ri sampunira mangkana, kinen umijil ing njawi, panganten kalih kembaran, jleg wangsul alaming janmi, munggweng paranging ardi, sanalika langkung ngungun, wus angrasa kalihnya, duk sinawen pura rukmi, pan akalap aneng alam palimunan. 23. Sadaya kadya nyupena, saksana nulya lumaris, kalihe anganthi garwa, nedya kondur ing nagari, nilip lampahing margi, labet saking tyas pakewuh, denira mawa garwa, putri Parambanan kalih, rungak-rungak yen kawruhan dening janma. 24. Sayekti lamun akarya, pringga bayane ing margi, singa mulat salah tampa, wit tan wrin ingkang dadya wit, antuk pangira yekti, rangkat paracidreng lulut, margi wana punika, nenggih ingkang amengkoni, risang Prabu Sri Kala ing Parambanan. 25. Sanadyan kaprenah paman, kadanging rama sayekti, nanging yen sinengguh cidra, tan wurung akarya westhi, ing lam382 PNRI
pah dereng tebih, sang pangantyan katarenjuh, Raden Prawasakala, aningali kadang kalih, runtung-runtung lan priya bagus utama. 26. Dadya kandheg lampahira, nulya asatata linggih, Rahadyan Prawasakala, saksana rinangkul aglis, maring sang dyah kekalih, putreng Paglen tumut mengkul, atanya maring garwa, yayi iya sapa iki, dene priya adhegus sarwa sembada. 27. Sang dyah mamarta yen kadang, yata sang dewi kekalih, miyat wernaning rinira, kararantan asmu tangis, dhuh lae sira yayi, salawase ingsun luru, lagya mengko kapanggya, arinira aneng endi, Prawasata nganti pisah lawan sira. 28. Matur Dyan Prawasakala, wonten Pagelen andasih, pan anut wuri kakangmas, Dyan Jaka Pramana mangkin, sang dyah ngandika malih, paran ing kamulanipun, asesewangan lampah, kang rayi umatur aris, purwa madya wasana katur sadaya. 29. Duk awit kenging cintraka, anemahi salin warni, dadya paksi lan andaka, tekyaning waluya sami, ngungun duk amiyarsi, sang putri sakalihipun, luh tansah marawayan, risang sinatriya kalih, duk miyarsa ingkang wawarta mangkana. 30. Pangungunira kalintang, wasana gantya mamarti, ing reh lelampahanira, nalikarsa jatukrami, maksih cacad kang warni, cebol wujil dhapuripun, temahan salin warna, kartthi andaka inguni, tan anyana tunggak kalingan ronira. 31. Dene dadi padha kadang, akulit daging pribadi, nemu lakon kaelokan, saking karsaning dewadi, ing mengko wus basuki, tarlen sewu suka sukur, Raden Prawasakala, ngungun nalika miyarsi, awekasan sewu suka parisuka. 32. Lajeng dennya ngestupada, mring kang raka raden kalih, dahat denira sih tresna, anulya umatur aris, dhuh kakang raden kalih, sarehning sampun panuju, amanggih karaharjan, kanugrahaning dewadi, kangmas mangke sowana ing kangjeng rama. 33. Mendah sukaning wardaya, lan jeng ibu prameswari, putra kang dipun upaya, wus samya mantuk pribadi, lan kakang mbok sakalih, sampun katon runtung-runtung, lawan paduka 383 PNRI
34. Raden kalih duk miyarsa, pangandikanira aris, yayi banget anarima, nanging sun aminta alim, sarehning ingsun iki, lagya mituhu pituduh, eyang Retna Sriwulan, kinen mring praja rumiyin, tembe wuri yekti nora wurung sowan. 35. Maring jeng paman narendra, lan kadangira sang dewi, sang Arya Prawasakala, duk miyarsa angemuti, lampahira inguni, sayekti anut pituduh, tekaning awaluya, kinanthekken raka kalih, lan antuke maring prajeng Parambanan. 36. Yen tan kanthi arinira, Dyan Prawasata inguni, sayekti kirang prayoga, awit nalika nemahi, awarna sato kalih, tansah ing saenggenipun, wasana aturira, mring kang raka radyan kalih, d h u h kakangmas lamun makaten ing karsa. 37. Pun ari mangayubagya, suwawi kawula iring, supados uwa narendra, lajeng enggar ing panggalih, tan karya sanggarunggi, dhateng paduka pukulun, antuke maring praja, sami jelonet jelanthir, lawan kanthi prawan sunthi anjenthara. 38. Mesem sang retna kalihnya, dyan kalih atukup lathi, sang dyah alon angandika, sapa kang yogya mbumboni, nguyahuyah asemi, liya kadang nora patut, sumurupa manawa, yen sira bantheng inguni, mendah baya nggoningsun angela-ela. 39. Lan nora pisan sawala, nadyan dhaup cebol wujil, amituhu maring kadang, raden ari anauri, yen makaten prayogi, kangmas ing sakalihipun, kawula bekta kesah, ngong padosaken ing krami, putri ingkang kembar kados jeng paduka. 40. Dene nguni sinatriya, kang acebol lawan wujil, inggih kawula ngupaya, antuka paduka benjing, kados gampil ngulati, saben kerteg waru warung, saestu boten kirang, kang raka mesem nambungi, marma nguni sun tinampik mbakyunira. 41. Ajaa anut pitedah, kadya ge milalu lalis, eling lalakon mangkana, katuju antuk marmeng sih, asalin warna iki, kadangira teka mathuk, amung pamintaningwang, maring jawata kang luwih, tulusena raras ruruse warnengwang. 42. Supaya nora kecuwan, nggonira mengku ngemongi, marang ing mbokayunira, tulus ing salami-lami, Dyan Prawasakala glis, rumesep nanduki wuwus, yen makaten kang sabda, punapa inggih nemahi, solan-salin kadi amatrakilasa. 384 PNRI
43. Nambungi sang retnaningdyah, yen wus karsaning Hyang Widdhi, yekti padha anarima, sumendhe rehing dewadi, dyan ari matur aris, inggih sukur bage sewu, anetepi wanudya, amheking putri linuwih, gurunadi dadi dedalan delahan. 44. Sinten ingkang anarima, katarima ing dewadi, papandamaning nugraha, tinimbang kalih prakawis, ngarcapada swargadi, yekti wonten nyatanipun, pangkating kaninditan, sampun sandeya ing galih, den tuwajuh pepancening sowang-sowang. 45. Dahat dennya suka rena, wasana ing saantawis, dennya rerem rerembagan, wusing abiprayeng kapti, lajeng samya lumaris, nihan gantya kang winuwus, parenging lelampahan, Buyut Malandangan nguni, dennya angratoni sagunging siluman. 46. Lan ngimpuni sutanira, Raden Margana kang lalis, wantuning maksih kajiman, wus samya diwasa sami, angartika ing galih, nulya tanyeng bapa babu, ingimur mrih marema, ingaken badan pribadi, Buyut Malandangan bapa babunira. 47. Raden matur tan narima, dadya asajarwa jati, yen ramebu sampun muksa, inguni ana wewangsit, raden catur puniki, kinen suwita ing ratu, maring Paglen nagara, lamun sambada ing kapti, payo ingsun iring marang ing nagara. 48. Mbokmanawa katarima, nggonira suwiteng aji, sarehning sira punika, jinis janma kang manceri, tur darahing asinggih, ingsun iki kakekanmu, bubuyut naking sanak, marma dahat anglabuhi, aneng kene saking rumangsa kawogan. 49. Asih marma maring sira, raden catur duk miyarsi, linge Buyut Malandangan, sanalika ngemu tangis, denira tan ngemuti, ing warnaning rama ibu, kapanggih sampun lola, kaki ingkang angemongi, sakalangkung sungkawanireng wardaya. 50. Sira Buyut Malandangan, welas denira ningali, mring catur radyan siwaya, angingimur sabda manis, wus aywa na rudatin, pupusen wus pasthinipun, karsanira ing dewa, liwat saking ingsun iki, aneng kene tinggal banjar pakarangan. 51. Lawan somah kadang warga, pan wus aja sira pikir, kang aneng jaman kamuksan, pan wus asampurna jati, marsudiya ing wuri, karaharjaning tumuwuh, dyan wayah duk miyarsa, pangimur-imuring kaki, sanalika asrep ing tyas anarima. SERAT CEMPORET - 25
385
PNRI
kangmas, panggih sami kulit daging, saking lakyan kaelokaning jawata. 52. Dadya jumurung sakarsa, pamrayoganireng kaki, lajeng kinen asamapta, sawusing sarwa miranti, tandya umangkat aglis, Ki Buyut angiring putu, pambukane ing kijab, inguni pan wus winangsit, pratikele dening ratuning siluman. 53. Sapraptaning jawi dwara, sakedhap byar nulya ngaksi, ngambah alaming manusa, lestari dennya lumaris, tepis iringing wukir, datan antara kapethuk, lan sagung narpaputra, kang sarimbitan lan swami, satriyadi Pagelen lan Parambanan. 54. Kagyat denira umulat, j a n m a ingkang samya prapti, kacatur asalah warna, anulya dipun kendeli, tan dangu aningali, wuri ana kang tumutur, janma sampun awerda, marek ngarseng narpasiwi, dyan tinanya ature angguladrawa.
386 PNRI
XXVII. DHANDANGGULA
1. Dhuh pukulun satriya lumaris, amba wasta Buyut Malandangan, nama makaten labete, karan saking ing dhusun, sajatine wastamba yekti, Saraswati alenggah, buyut kamisepuh, dene ta rare punika, prenah putu sampun lola kawlas asih, pan dereng darbe nama, 2. Rajaputra atatanya aris, dene teka padha salah rupa, iku paran kamulane, Ki Buyut alon matur, kang makaten wus wiwit alit, sampun karsaning dewa, kadamel asnapun, ngandika malih rahadyan, bocah iki iya kawijilan ngendi, lawan anake sapa. 3. Buyut matur nguni kang manceri, apanengran Rahaden Margana, nenggih ing mula bukane, dinuteng sang aprabu, Parambanan kinen ngulati, putri kalih kang murca, temah ngantos korup, ing dewataning siluman, kambil mantu lairing rare puniki, ibu mukseng kahyangan. 4. Dene Raden Margana inguni, pejah aprang kalawan andaka, labet sareng kapanggihe, sang putri kalih wau, rerebatan kasor ing jurit, ulun anedya bela, anglabuhi lampus, wonten wasitaning dewa, kinen mupu luhung ngimpunana sami, rare catur punika. 5. Langkung ngungun sinatriya kalih, saha garwa Dyan Prawasangkala, mesem alon andikane, samudana ing tanduk, rehning buyut wus sinung pangling, he kaki den narima, karsaning dewa gung, nuwun Buyut Malandangan, awasana Ki Buyut umatur malih, pukulun sinatria. 6. Sarehning ulun sampun mamarti, gancaripun lelampahan samya, ulun gentos anaruwe, anuwun sewu maklum, mangkya amba katemben ngaksi, jeng paduka punika, sinatria luhung, teka anganthi wanudya, tebeng-tebeng lumampah ing marga rumpil, paran kang dados karsa. 387 PNRI
7. Lawan sinten sinambating wangi, lan ing pundi wijilaning praja, raden alon andikane, pan sinamun ing semu, lamun sira tambuh sayekti, ingsun iki satria, Pagelen sadarum, mentas saking Parambanan, marma alelaku ing marga kang rumpil, labet tan kanthi wadya. 8. Buyut miyarsa gya matur aris, yen makaten gusti kaleresan, ulun nedya mring Pagelen, mangkya katuju ngenu, cundhuk lawan pajaring wangsit, pukulun narpatmaja, yen paduka sarju, rare sakawan punika, pan anedya andasih ramanta aji, lowung mangka klangenan. 9. Rajaputra suka duk miyarsi, cipta antuk kanthi aneng jnarga, wasana Ion andikane, yen mangkono Ki Buyut, kabeneren dadi pangiring, sun dahat ngayubagya, kature ing besuk, kanjeng rama sri narendra, ingsun ingkang nanggungaken mamalar sih, karsaning sinuwitan. 10. Buyut Malandangan sukeng kapti, myarsa andikaning narpaputra, dadya alon ing ature, yen makaten pukulun, lah suwawi lajeng lumaris, kawula amangayap, lawan rare catur, narpaputra ngayubagya, ri saksana wus samya lumampah malih, sanggyaning paratmaja. 11. Sareng prapta laladaning nagri, ing Pagelen pan samarga-marga, dadya tongtonaning akeh, karenan samya ndulu, rajaputra lan rajaputri, ing wuri kang angayap, aneh warnanipun, lagya anembe umiyat, marma kathah ingkang kelu atut wuri, rare angon ing desa. 12. Henengena mangke kang winarni, prajeng Paglen sang sri naranata, nungku ing sanggar panepen, oneng ing putranipun, kang binekta ing besan peri, dene tanpa pawarta, Prabu Sri Manuhun, manggung nungku ing pahoman, amiminta parmaning jawata luwih, praptaning paratmaja. 13. N u j u ratri tan antara prapti, Dyah Sriwulan mangsit sri narendra, kang putra lelampahane, rinentesken sadarum, purwa madya wasana titi, sang nata duk miyarsa, ngungun pungunpungun, wekasan sukur ing dewa, dene kasinungan nugraha sajati, Dyah Sriwulan gya muksa. 14. Yata sareng prapta bangun enjing, sri narendra wawarta ing garwa, samya suka sadayane, tan antara anuduh, animbali 388 PNRI
rekyana patih, tan dangu prapteng ngarsa, nulya sinung dunung, sapepajaring wasita, langkung ngungun wasana ingkang piniji, methuk sang narpaputra. 15. Ingkang paman risang narpasiwi, Arya Pratala sawadyanira, lan amiji duta kinen, mring Parambananan gupuh, lawan maring Jepara nagri, mawa srat lelancaran, wusing sarwa cukup, sangkep samepaning karya, duta mesat bidhal kang amethuk sami, ngiring Arya Pratala. 16. Enggaling carita sampun prapti, kang amethuk sajawining praja, Arya Pratala nulya ge, tumundhuk narpasunu, tinanggapan satata linggih, aneng kutha wangunan, suka reneng kalbu, dene dahat tan anyana, manggih ing lalakon elok anglangkungi, karya ngunguning kathah. 17. Tan antara nulya budhal aglis, narpatmaja lan Arya Pratala, kering sawadya balane, asri lampahing ngenu, kang umiyat jejel apipit, gumuruh swarnanira, asundhul-sumundhul, lampahira sampun prapta, prajeng Paglen lajeng tumameng j r o puri, gumrah swaraning bala. 18. Rama ibu methuk sri manganti, nulya tundhuk manjing dalem pura, asuka rena galihe, kinanthi para arum, putri kalih lan ibu kalih, dene sang narpaputra, kinanthi sang prabu, aneng asta kering kanan, Raden Prawasakala kendel pandhapi, lawan wadya kalima. 19. Pan angatas dhawuhing narpati, marma kendel ana ing pandhapa, anunggil pra punggawa keh, wau ta sang aprabu, wus alenggah ing dhampar gadhing, kang putra tan kena sah, pan anggung pinengkul, putra kalih ngestupada, mring ramebu kang lungayan den arasi, kasok sih tresnanira. 20. Sri narendra lan sang prameswari, raosing tyas lir amanggih retna, ingkang sawukir agenge, dene ta putranipun, kang rinantam ing mangkya prapti, asalin warnanira, samya bagus lurus, lan wus antuk jatukrama, putri adi sakalih kadang pribadi, dhaup saking kelokan. 21. Nulya dinangu rehning pawarti, lalakone duk ing waunira, ginancarken sadayane, purwa wekasanipun, srinarendra ngungun miyarsi, lan sagung para garwa, mangkya samya 389 PNRI
ngrungu, mlengak malongo kewala, tan anyana dene kadya wong angimpi, ndaradarsihi nyata. 22. Wong jro pura sengsem samya ngaksi, ing warnane ingkang sarimbitan, pantes pasang pasemone, kadi kembar dinulu, rajaputra lan rajaputri, emban cethi pawongan, parekan mban babu, kang samya umarek ngarsa, warna-warna karenan amikenani, amaranggana raras. 23. Raraosan swara ting kalesik, adhuh lae ya nora kayaa, luwih kaelokan gedhe, gusti sang narpasunu, dene nguni acebol wujil, ing mengko sarwa wijang, apa marganipun, ana rowange angucap, mbok kagawa saking besaning narpati, putri peri kajiman. 24. Ana saweneh ingkang nauri, iku lamun ing panggayuhingwang, katarik saking ibune, Dyah Pratiwi puniku, ingsun kira anglara ati, dene pangrembe tuwa, ya teka kasundhul, lawan pangrembe taruna, Dewi Srini dadya garwa prameswari, labet putrane cacad. 25. Ana rowange ingkang nauri, aneh-aneh ingkang sira rasa, mbok teka menenga bae, gawe kriwikan luput, yen kapyarseng jeng nareswari, iya paedah apa, kang mengkono iku, wus bejane sowang-sowang, lawan ratu iku wus sarwa ngawruhi, sasat netra bathara. 26. Marma rajaputra karo iki, padha antuk nugrahaning ' dewa, saking kang rama yektine, dahat nggonira nungku, amemesu ing pudyastuti, kinarilan ing dewa, iki tandhanipun, iya luwih kaelokan, wis abagus mbentoyong amboyong putri, tur putrining narendra. 27. Ana parekan ingkang nambungi, iya bener iku wuwusira, mengko praja ing Pagelen, wuwuh kekembangipun, pan akarya asrining puri, mendah yen kondur benjang, gusti narpasunu, Rahaden Jaka pramana, saha garwa reruketan arerakit, raket lan raka-raka. 28. Pan sangsaya sukane sang aji, dene pepekan kang para putra, samya mendreng ambelancer, dhuh lae jawata gung, lulusena harjaning gusti, nora luwih kawula, ngalor ngidul ngayum, ngayem-ayem ing wardaya, pan wong cilik wuwuh renes antuk manis, kari karya karenan. 390 PNRI
29. Dyan katawur gumerahing jawi, kapiyarsa samya sukusuka, jalu estri sepuh anem, sri narendra andangu, maring narpatmaja kekalih, matur kalamun kadang, wresni narpasunu, babaranireng andaka, purna janma bagus sembada ing warni, wasta Prawasakala. 30. Marma dados guguywaning janmi, pan kabekta ingkang atut wuntat, janma lima wawarnane, ing mulabukanipun, katerenjuh wonten ing margi, tembung nedya suwita, ing jeng rama prabu, sutaning Arya Margana, kang sakawan satunggal kaprenah kaki, Ki Buyut Malandangan. 31. Salajengnya wus kaatur sami, sri narendra ngungun asmu rena, lamun mangkono nahangger, kinon nimbali gupuh, dene nganti kasuwen sami, darbe kadang kasimpar, labete katawur, lawan sarowange pisan, lajeng nuduh cethi tan adangu kerid, gumrah wong dalem pura. 32. Dyan Prawasakala marek ngarsi, tunggil lawan raka narpatmaja, tinandukan salenggahe, sang Prabu Sri Manuhun, angandika putrengsun kaki, aja kurang sagara, maring uwakamu, dene lali ing pulunan, melas arsa neng jaba nora pinikir, lupate kakangira. 33. Dene teka tinilar ing jawi, mbok ya aja nganggo suba sita, laragen ngendi enggone, bageya satekamu, kulup sira kang poteng becik, Raden Prawasakala, myarsa nembah matur, pukulun jeng wa narendra, lumunturing pambagya kawula pundhi, dadosa tambang jiwa. 34. Marma kawula kantun ing jawi, awit mawa wong lima punika, ingkang sami mawarna neh, tinilara ing pungkur, den gugujeng mbok esak-serik, dados karya wisuna, marma ulun lampu, kendel wonten ing pandhapa, sri narendra miyarsa suka ing galih, tuwin sri patniswara. 35. Nata nulya angandika aris, wartanana arane sadaya, wong lima kang nedya ngenger, rajaputra andangu, mring Ki Buyut Asaraswati, matur sarentesira, Prabu Sri Manuhun, suka rena duk miyarsa, angandika ingsun iya ananggapi, ing pasuwitanira. 36. Lawan padha sun sungi kakasih, kang abungker Bujug panengrannya, kang awak wong rai kethek, ulese putih mulus, 391 PNRI
Jaka Bedhes ingkang wewangi, iya sumendhinira, kang arai lutung, ireng mulus sawandanya, papantese Jaka Buset sun arani, ingkang dhapur abajang. 37. Jaka Igugigug kang wawangi, padha dadi kalangenaningwang, dene kang mangka embane, Buyut Mlandangan iku, kang sinihan sadaya sami, dahat kalingga murda, sadaya jumurung, sawusnya lajeng dhaharan, sakalangkung suka parisuka sami, jalwestri sajro pura. 38. Sawusira linorod ing dasih, kawaratan pra wadya sapraja, samya andrawina kabeh, ganjarannya lumintu, arta wastra astra waradin, baksana myang busana, kasenenan sinung, saharsa harsayeng karsa, sri narendra sukeng tyas kadya punagi, saking leganing driya. 39. Dahat den ela-ela sakalih, sakarongron raras ruming pura, tan pisah kalangenane, ing sanggen-enggenipun, manggung dadya guywaning janmi, wusing antara dina, bibaran sadarum, wadyabala kang mirengga, jroning pura wus samya makuwon sami, kasaru swara gumrah. 40. Nenggih rawuhing narendra kalih, ing Japara lan ing Parambanan, saha sawadyabalane, wong Paglen samya gugup, tata tata wusing miranti, pan sampun dhinawuhan, amethuk kang rawuh, patih lan wadya punggawa, gurawalan praptaning jawi nagari, tundhuk lawan srinata. *
392 PNRI
*
*
XXVIII. SINOM
1. Sanalika nulya budhal, gumuruh samargi-margi, swaraningkang wadyabala, dinulu mawarni-warni, upacara sarwasri, yayah mendhung angendhanu, umbul-umbul asinang, abra mberanang menuhi, yen sinawang kadya wukir kawelagar. 2. Andhendheng tumundha-tundha, gegaman jajar marapit, kasunaring diwangkara, kedhap-kedhap mbalerengi, kasilir angin-angin, kumelap ingkang lelayu, tinon saking mandrawa, golong gumulung sarwasri, isthanira lir robing jaladri pasang. 3. Tumaruntuning tunggangan, lir alun-alun umilir, anjrah ingkang busana bra, saengga lir wukir sari, pradangga angrarangin, lampahira sampun rawuh, ing salebeting praja, yata sri narendra kalih, wus pinethuk neng gapura lan rakendra. 4. Lajeng manjing dhatulaya, wadyabala kendel sami, aneng alun-alun aglar, golong makajangan sami, warnanen sri bupati, kang umanjing ing pura rum, nulya satata lenggah, duk arerem sawatawis, nateng Paglen sung pambagya pra arindra. 5. Dennya paparengan prapta, inguni dutanireki, pan dereng antara lama, umatur narendra kalih, pukulun kaka aji, duta katuju ing ngenu, kawula sampun bidhal, awit pinajaran sami, ing pawarta dening Retna Dewi Mulat. 6. Lampahaning paratmaja, gupuh umarek mariki, pan saking kedah uninga, warnining putra lan putri, denira sampun lami, linuru-luru sapurug, oreg wong sanagara, haru-hara lari-lari, sari ratri tan karuhan temah wara. 7. Tan ana antuk sipta sasmita sawantah, mangkin, saengga tiyang andaradarsihi, kaelokan
pawarta, mangka mangke antuk wangsit, wonten Pagelen nagari, sanyata wonten ngrempelu, saking kacakrabawa, inggihkarsaning sang murweng titah. 393 PNRI
8. Dereng dugi angandika, Prabu Sri Kala nulya glis, amengkul ing putranira, jalwestri saryasmu tangis, pangandikanya aris, adhuh nyawa pepujanku, woding wardayaningwang, ingsun meh milalu lalis, saking linglunging nala katula-tula. 9. Anak nemu ila-ila, temah ala salah warni, dadya gawala kukila, lalana met mulya jati, kadang kalih ngulati, losing dalu alelayu, malah nora cacala, katuju antuk malarsih, Dewi Mulat sung sulang lelakonira. 10. Rada marem anarima, mangka pangengimur galih, kena kinarya mamarta, maring ibunira nguni, wekasan sira mulih, wus palakrama wong ayu, dene ta kang apriya, wus purna waluya jati, sajatine putraningsun wawartaa. 11. Rajaputri rajaputra, sowang-sowang matur aris, angrentes lampahira, purwa wasana angenting, ngungun duk amiyarsa, sangsaya asenggruk-senggruk, sadaya kang umulat, awlas bela ngemu tangis, nateng Paglen angengimur manuhara. 12. Yayi wus aywa rinasa, ngrarantam kang wus kawuri, balik mengko wus waluya, antuk nugrahaning Widdhi, a t m a j a padha mulih, luhung mardi marsudyayu, ing rembug kang kapenak, tur amadhangaken pikir, dadi lodhang nora kodheng kawidhengan. 13. Yata nateng Parambanan, sakala tyasira lilih, dahat narima ing dewa, wasana umatur aris, pukulun jeng kakaji, sarehning sampun panuju, saking karsaning dewa, pun nini putri kakalih, kedah ngumpul sumuyud wonten paduka. 14. Kawula muhung sumangga, ing sakarsa anglampahi, nateng Paglen angandika, lamun wus panudyeng kapti, mengko ingsun bawani, winangun ing panggihipun, matur nateng Japara, ulun dahat anyondhongi, nanging ulun mangkya akaol sarana. 15. Estu mawi bubak kawah, rara pangkon datan kari, mawi ayam sakembaran, kang maksih dhere jalwestri, kang raka mesem angling, iya bener yayi n u j u m , sang Aprabu Sri Kala, mesem dahat anarjoni, prameswari nambungi sabdaning raka. 16. Kalamun sampun panudya, nunten kadhawuhna aglis, dhateng sagung wadyabala, supados nunten miranti, dene sagung parestri, ulun kang papajar dunung, sagunging sarat-sarat, myang saji-saji sakalir, estu mangke kapirantosan sadaya. 394 PNRI
17. Nateng Paglen sukarena, myang sagung kadang narpati, sanalika undhang wadya, gumuruh pareng miranti, pradangga angrarangin, gendhing raras nguyu-uyu, panganten kalih kembar, pan sampun den busanani, murub mubyar kadya parada binabar. 18. Wus pinanggihken samana, raden putra lan sang dewi, tabah-tabahan gumerah, rug gumuntur aswara tri, rerenggan warni-warni, muncar-muncar ting palancur, mancorong amancurat, sorot campur narawungi, kumenyaring busana maneka warna. 19. Kasunar abyoring pandam, kaya senening pangaksi, sapuraya asri raras, kasembuh cahya nglimputi, sagung kang para aji, miwah ingkang para sunu, kadi wulan purnama, sawusing panganten linggih, pan jinajar sangarsaning pepajangan. 20. Jalwestri wininjang-wijang, ing ngarsa kang para aji, lelajuran lenggahira, para ibu prameswari, myang sagung para putri, tarap andher aneng ngayun, miwah kang para putra, lajeng a b u j a n a sami, ngenting dennya amangun langen kasukan. 21. Ing njero miwah ing njaba, tan pae dennya mamain, a b u j a n a andrawina, angraras gendhing kekawin, dene sajroning puri, ingkang para ratu-ratu, prapteng antara dina, prabu Sri Kala minta mit, lawan ingkang rayi nateng ing Japara. 22. Lan kang putra pinangantyan, parenga ingundhuh mangkin, maring prajeng Parambanan, nateng Paglen anjurungi, pangandikanya aris, e para ari sadarum, ing mengko sahidana, sutanira karo iki, iya padha ingsun wasiyati nama. 23. Si kulup Jaka Pratana, arana sang Kalabumi, dene awit kamulyannya, jalaran saking ing bumi, Jaka Sangara mangkin, arana sang Kalabanyu, awit kamulyanira, ajalaran saking warih, dene enggon kang akarya katarima. 24. Iya tanah ing Katangga, sun arani Bumipethik, awit nguni putraningwang, duk karya talunan asri, woh woh samya kumethik, pan ing kono enggonipun, patilasaning sendhang, kang karya mulyaning warni, sun arani iya ing Ngamartalaya. 25. Waringin ingkang dhinungkar, dening andaka inguni, kang isi dipanirmala, ana jroning: cupu manik, samengko sun arani, iya ing Waringinrubuh, pan kapasthi ing mbenjang, iya kanggonan nagari, yen wus parek kalawan jaman wekasan. 395 PNRI
26. Dene iku wong kalima, padha ingsun ganjar linggih, dhihin Buyut Malandangan, sun pardikakken ing mangkin, iya ngimpuni bumi. Mlandangan saurutipun, Sokakarwi Dhadhapan, amiji macung pribadi, mung kareha maring yayi Parambanan. 27. Sarehning iku katingal, milu nglabuhi nagari, dene sutaning Margana, sarehning abanten pati, sudarmane inguni, mengko ingsun jungjung lungguh, dadi bupati Kalang, sawewengkonira sami, pan si Bujug arana Arya Margasa. 28. Si Jaka Bedhes arana, ikp Arya Mregapati, si Buset iku arana, si Arya Kiratapati, paparab Gremajati, pan si Jaka Igugigug, arana Wanabaya, ya kabeh puniku yayi, sun sampirken ana ing sira sadaya. 29. Kendel sabdaning narendra, kang rayi duk amiyarsi, andikaning raka nata, datan lenggana ing kapti, jumurung mangastuti, tandya undhang wadyanipun, wusing samapta budhal, gumuruh swaraning dasih, duk samana nenggih enggaling carita. 30. Wus prapta ing prajanira, sira sang narendra kalih, sang Aprabu Sri Sadhana, kondur mring Japara nagri, lan sagung para siwi, dene sang Sri Kala prabu, kondur mring Parambanan, lan putra panganten kalih, saantara winangun ing panggihira. 31. Tan kuciwa rerenggannya, tan pae nalika kadi, ana ing Paglen nagara, lulus tan sangsaya sami, wusing antara ari, nenggih sang Sri Kala prabu, angundhangi pra wadya, yen suteng Margana nguni, wus tinanem kadya dhawuhe kang raka. 32. Lawan Buyut Malandangan, wonten parenganireki, kang tampi kulawisuddhan, sih ganjaraning narpati, kadang Margana nguni, kalih samya sinung lungguh, kinanthekken pulunan, ngiras angawat-awati, bot-repote pakaryan Kalang Mregasa. 33. Sira Rahadyan Srawana, sinungan linggih bupati, ran Tumenggung Wanasigra, Raden Surasa kang rayi, kinanthekken ing kardi, sinungan nama tumenggung, awasta Wanasaya, sampun kalampahan sami, adegira sagunging bupati Kalang. 396 PNRI
34. Nihan ta antara dina, sira narpatmaja kalih, kondur mring Paglen nagara, saha garwa tan alami, karsanireng rama ji, raja putra kalihipun, samya jinunjung lenggah, dadya pangran adipati, tetep mangka senapatining ngalaga. 35. Karsanira ingkang rama, kinarya ngawat-awati, mring narpatmaja taruna, kang ginadhang gumantya ji, pareng lan Dyah Pratiwi, dadya prameswari prabu, timb'ang lawan sang retna, kusuma Dyah Dewi Srini, yata kapiyarsa saking ing Japara. 36. Sira Dyan Jaka Pramana, kaduk ing tyas bela tampi, yen mangkya sariranira, mring rama datan ginalih, tembe ingkang gumanti, kapraboning ramanipun, sayekti kadang tuwa, dene mangkya Dyah Pratiwi, wus kinarya dadya garwa prameswara. 37. Timbang ibu prameswara, kalawan kahg raka kalih, ingangkat prabu taruna, mangka kowaraning warti, panjenenganireki, ing tembe gumantya prabu, kalamun kuciwaa, satemah anglilingsemi, mring martuwa lawan maring wadyabala. 38. Dadya lalu ing wardaya, tan nedya kondur mring nagri, linggar saking ing Japara, wangsul maring Cengkarsari, lawan ipe kakalih, ngirup-irup wadya dhusunf tan lami anderbala, wus arja kadya nagari, agung alit bela tyas apepucungan. *
*
*
397 PNRI
XXIX.
PUCUNG
1. N a r p a s u n u Dyan J a k a P r a m a n a wau, anedya mbalela, mbawani kraton pribadi, tan nedya nut maring ingkang ramarama. 2. Saking laku kapuleting nala limut, kalintu p a n a m p a , wekasan ing Cengkarsari, ingadanan den esthi winangun p r a j a . 3. T a n adangu kawuryan kadi p r a j a gung, k a m b a h j a n m a dagang, k a r t a r a h a r j a nglangkungi, duk samana Rahaden J a k a Pramana. 4. Madeg ratu sinuyun ing wadya d h u s u n , j u m u r u n g pudyarja, karsa asisilih nami, risang m a h a r a j a P r a b u Dewasraya. 5. Cengkarsantun wasta prajeng Medhangsewu, kang mangka pepatya, ing J a p a r a narpasiwi, apanengran Rahaden J a k a Barana. 6. Agung luhur sambada ing pasang wangun, dadya mantri mukya, nenggih sinungan wawangi, dening raka sang A p r a b u Dewasraya. 7. Patih ngayun Arya Anggliskara iku, sinrahan kawasa, bang-bang aluming nagari, a m r a n a t a gung alit kang para wadya. 8. Arinipun Radyan Suwarna r u m u h u n , kinarya pepatnya, pangrembe amengku wajib, ruwet renteng pakaryan sajroning pura. 9. P a n wus sinung mangka panengeranipun, Arya Anggliskarta, Buyut Cempoiei inguni, pan kinarya ulu-ulu tuwanggana. 10. P u t u m p u n J a k a Kulampis j i n u n j u n g , kinarya punggawa, sampun sinungan kakasih, apanengran Tumenggung Saragupita. 11. Mantrinipun bebekel pratinggi dhusun, u m b u l myang paragak, pinilih kang sarwa bangkit, tan kuciwa adeging kaprabonira. 398 PNRI
12. Saben nuju ari pasewakanipun, sabala seseban, tansah denira anggusthi, ngirup-irup tepis iringing nagara. 13. Mendhangsewu wadyanira sangsaya gung, sagegamanira, kang prapta maksih anggili, gogolongan gumulung bela gegala. 14. Dadya kasub kasumbageng wartanipun, yen ing Cengkarsasra, wonten kang madeg narpati, kapiryarsa saking praja ing Jepara. 15. Sang Aprabu Sri Sadhana sedya nglurug, kinira yen mengsah, sareng wus terang ing warti, lamun ingkang putra Dyan Jaka Pramana. 16. Madeg ratu aneng wana Medhangsewu, pan wus anderbala, wekasan datan ginalih, dening maksih aneng laladan Jepara. 17. Ingkang mantu winong ing sasolahipun, dennya tan akarya, sangsayanireng nagari, ingkang rama ing Paglen datan uninga. 18. Yata wau lamining dina karungu, dennya araratyan, saking prajeng Mendhangkawis, tan uninga lamun punika kang putra. 19. Cipta mungsuh saksana lajeng anuduh, Patih Minangsraya, saha wadya anglurugi, maring ratu kraman kang amurang krama. 20. Gupuh-gupuh patih mepak wadyanipun, sagagamaning prang, sawusing sarwa miranti, tan antara kyana patih nulya budhal. 21. Kanthinipun anenggih punggawa catur, sang Arya Kumbala, lan Arya Satiti mantri, Mendhangsura miwah Arya Pajangsora. 22. Pan amengku sagunging wadyabala gung, sagegamanira, gumuruh samargi-margi, magoraya kadya giri gara-gara. 23. Rug gumuntur swaraning tengara barung, kekendhang tinembang, bengkilung lawan contonggrit, bendhe beri begor gurnang mawurahan. 24. Lampahipun samarga-marga nggaregut, enggal pangguting prang, tan alami nulya prapti, barisira aneng kikising Jepara. 25. Medhangsewu punika laladanipun, nagari Jepara, samana wus kapiyarsi, dening sang Aprabu Maha Dewasraya. 399 PNRI
26. Yen tinuju linurugan baris agung, sagegamaning prang, saking prajeng Medhangkawit, gugup lajeng angumpulken para wadya. 27. Wusing ngumpul rembag lawan patihipun, myang sagung punggawa, dennya mangkya den lurugi, mengsah agung saking lalajering praja. 28. Paran mungguh para manggala sadarum, kaantepaning tyas, apa nungkul apa wani, apa nglereg matur Arya Anggliskara. 29. Kang saestu punika mengsah pukulun, sampun jejaragan, lamun anungkula isin, destun temen prawira ajrih palastra. 30. Wus kebacut acawetan nedya cancut, cancalan cancala, caruk cacap lawan lembing, ngecakaken weca kang sampun kinecap. 31. Yen marucut temah kacurat kacurut, pama cacaruhan, munggweng lancaran cumawis, cinarakken binukti sayekti eca. 32. Balik mungsuh ingangsahan kalawan suk, singa kabarasat, kasoran gentos den ungsir, lamun kongsi angengserken ingungsenan. 33. Dyan sumambung Arya Anggliskarta matur, aleres kakangmas, ing tekad punapa malih, darbe krekat luput pisan kena pisan. 34. Aprang pupuh sipine saking katempuh, nempuh tutumpahan, singa apes kapalipis, neba butuh lir adu toh bobotohan. 35. Mung kuwakup kalah sirna menang ngukup, sajroning kakahan, okol ukel liru ungkih, lamun kongkal akale yekti kasingsal. 36. Temah nungkul lamun katungkul amukul, angger rukun rosa, bakuh tan kena ingungkih, den tekadi ambangkat sakuwatkuwat. 37. Pra tumenggung sampun tumanggah ing rembug, Prabu Dewasraya, mesem angandika aris, yen mangkono payo den samakteng karya. 38. Rebut cukup saanane gegamanmu, saajenging ajang, jangjine wus den lakoni, pareng giyak iyek sayuk abipraya. 39. Tan adangu wus prayitna ing pakewuh, akuswa gegaman, gumulung agolong pipit, ambalabar sumebar abebarisan. 400 PNRI
40. Dyan kasaru wonten caraka kang rawuh, amawa pustaka, saking mengsah Medhangkawit, rekadayanira Patih Minangsraya. 41. Kang tinuduh nenggih senapati sepuh, sang Arya Kumbala, samana sampun den irid, maring ngarsanira Prabu Dewasraya. 42. Surat gupuh tinanggapan sang aprabu, ungeling pustaka, he kraman kang murang krami, ambalila met bala wong alaala. 43. Sira iku ngendi ing kawijilanmu, lan aranmu sapa, dene teka wani-wani, araraton nuntuni patrap katrapan. 44. nDadak ngekul arep mukul amemengku, mbakoni bawana, apa nora ngrungu warti, yen ing Purwacarita sugih manggala. 45. Tur gegedhug padha prawireng prang pupuh, jitus tandhingira, mengko sira ingsun todhi, apa nungkul apa jumangkah lawan prang. 46. Lamun nungkul bongkokana gegamanmu, sira saha wadya, sun sebakaken sang aji, lamun nedya ngayoni payo lawan prang. 47. Tlasing tembung Prabu Dewasraya gupuh, wau punang surat, nulya kinen angangsuli, wusing dadya kang duta tinundhung mesat. 48. Tan adangu prapta ing pakuwonipun, surat katur marang, Arya Minangsraya nuli, angsul-angsul binuka ing tembungira. 49. Layangingsun kang maharjeng Medhangsewu, Prabu Dewasraya, ingkang prawireng ngajurit, angratoni wadya gung kang agegala. 50. Wahyanipun sira risang mantri ngayun, ingsun wus tumanggap, ing layangira panodhi, sayektine ingsun ngladeni kewala. 51. Sabalamu dipun samapteng prang pupuh, ingsun wus jejaga, ing samasa-masa wani, wus mangkana titi ungeling pustaka. 52. Patih gupuh undhang ngundhang wadyanipun, kinen mangsah ing prang, pareng kang tengara muni, babarungan kang mengsah kalawan rowang. SERAT CEMPORET - 2 6
401
PNRI
53. Rug gumuntur swara oter sru gumuruh, kang tabahtabahan, magoraya nggegirisi, sareng mangsah tan ana nedya mundura.
402 PNRI
XXX. DURMA
1. Pagutira wadya gung lir singa lodra, pan samya ambek pati, tan ajrih ing lawan, nirbaya nirwikara, kadi bantheng tawan kanin, ukel-ukelan, rok caruk silih ungkih. 2. Langkung rame udreg dedreg liru papan, sagung wong Medhangkawit, anggregut nggegila, gagap lir saradula, ing prang ngakah-angakahi, tan etung dhongkah, mung nedya ambyuk wani. 3. Wong ing Medhangsewu riwut tan wrin lawan, mung nedya ambek pati, bebentus tan etang, mangsah kudhi tarantang, bapang bandhil lawan lori, bendho garanggang, riwuk angowakawik. 4. Yen kaseser angsahira m b a n d h e m sela, k u m r u t u g kadi grimis, paser maliweran, jejiret angayangan, sagunging wong Medhangkawit, kawur ing gelar, tansah akontrang-kantring. 5. Manggung kengser kasrakating ruketira, tan nedya angoncati, ripbanen pepejah, bantu t a m b a h - m a t a m b a h , papati wus tanpa wilis, mengsah lan rowang, paprangan banjir getih. 6. P a n kaseser wadyabala Medhangsasra, saking karoban tandhing, ngumpul karya gelar, samya amasang borang, darejeg suwa sesuji, wong Medhangpurwa, tan ana nggraitani. 7. W r u h e lamun mungsuhe kengser tan mangsah, dadya anglud angungsir, samya keneng borang, tatu kadya rinanjap, niba temah ngolang-aling, wong Medhangsasra, riwut nibani bandhil. 8. Mangsah malih aminger saking ngiringan, sareng angamuk wani, wong Purwacarita, lumayu berangkangan, kang kacandhak den rampungi, kudhi tarantang, pepati tanpa wilis. 9. Sasesaning kang pejah samya sasaran, angungsi senapati, patih Minangsraya, miyat balane rusak, lajeng ngunduraken baris, amasanggrahan, rembag lan pra bupati. 403 PNRI
10. Senapati sira sang Arya Kumbala, mring patih matur aris, pan kauningana, wados mengsah punika, duk kala anonjok tulis, panodhi ing prang, ulun lajeng den irid. 11. Maring ngarsanira sri narendra kraman, ingkang umadeg aji, wonten Medhangsasra, Raden Jaka Pramana, putra ing Pagelen nguni, patih kalihnya, putreng Jepara sami. 12. Boten pandung pan inggih sampun tatela, sakuthuning tyas kalih, Paglen lan Jepara, nedya amalik tingal, kang minangka aling-aling, kinarya wayang, putranira pribadi. 13. Lamun boten angsal saking sakaliyan, kados tan saged dadi, adeging karaman, tan anjrah anderbala, lawan tan anedya wani, pan ewuh aya, linajengna ing jurit. 14. Dene antuk bebantu wadya rong praja, yekti boten kuwawi, mangkya para wadya, wus samya karisakan, gampil tatatata malih, yen wus katrangan, katur jeng sri bupati. 15. Wit punika kalebet badan priyangga, nadyan labuha pati, yen sampun kantenan, atas karsaning nata, nanging ta ing tembe wingking, tan parang tetah, duta kedah satiti. 16. Kendel aturira sang Arya Kumbala, wau ta duk miyarsi, Patih Minangsraya, ing sarentesing warta, pangungunira tan sipi, alon ngandika, lamun mangkono yayi. 17. Wus kas kuru nguni sira tan pepajar, Arya Kumbala angling, pangangkah kawula, boten karya rekasa, mengsah wadya Surasanti, gampil kewala, tan wrin awrat kang sanggi. 18. Labet resah perangipun boten tata, tan tate tau tandhing, nacak tiyang rucah, karya gelaning gelar, atemahan bosahbasih, cinidreng borang, rerangkangan den ungkih. 19. Anambungi sira Arya Pajangsora, yen amundura isin, atinggal galanggang, pan sipating punggawa, wadyanira potharpathir, akuthetheran, milu nginthar angenthir. 20. Mendah baya mungsuhe saya gambira, cacak punika jurit, lawan mantri desa, teka sampun asinglar, kalaraun panudyeng kapti, inggih karyaa, dene wadya kang baris. 21. Patih Minangsraya kasarjon ing driya, lajeng akarya tulis, tan antara dadya, amatah duta mentar, kasaru kasaput wengi, nihan kawarna, wau kang menang jurit. 404 PNRI
22. Wadya Medhangsasra sami binujana, andrawina menuhi, suka parisuka, pinet tyasira samya, para wadya Surasanti, rena kakenan, sih kadarmaning aji. 23. Dene wadyabala kang pejah ing aprang, waris ingimpon sami, ginantyakken lenggah, catoning sowang-sowang, ingkang anemahi kanin, dan ingusadan, pan wus nirmala jati. 24. Kawarnaa wau sareng enjingira, dutaning kyana patih, sapraptaning praja, marengi pasewakan, sang nata miyos tinangkil, sawadyabala, duta marek mangarsi. 25. Dyan ingawe praptaning byantara nata, angaturken kintaki, binuka sakala, sinuksma ing wardaya, langkung ngungun sri bupati, yata samana, nenggih punang kintaki. 26. Ingaturken raka Resi Sri Madewa, paran rehing panggusthi, dennya pupulunan, Paglen nedya balila, mangkya sampun madeg aji, neng Medhangsasra, dennya amasang rakit. 27. Angimpuni sagung wadyeng padhusunan, mangkya ingkang kinanthi, kadang ipenira, para putra Japara, pan inggih paduka galih, Resi Madewa, ananggapi kang tulis. 28. Sarahsanya sadaya sampun kadhadha, lajeng umatur aris, dhuh sri naranata, mangkya kauningana, ulun terang mireng warti, Jaka Pramana, denira madeg aji. 29. Wonten Medhangsewu saking kasinggetan, sak-serik ing sudarmi, kang mangka jalaran, inggih Jaka Pramana, wus kinarya pangran pati, ginadhang-gadhang, mengku Paglen nagari. 30. Nanging taksih andarbeni kadang warda, cacad acebol wujil, saking pangrembenya, nanging wonten kelokan, karsaning jawata luwih, damel lampahan, brangtanira ing dasih. *
*
*
405 PNRI
XXXI.
ASMARADANA
1. P u t r a kang acebol wujil, d h a u p putri P a r a m b a n a n , ingkang a m b o m b o n g lalakon, sami bangsane siluman, satunggal Dewi Mulat, pan angratoni lelembut, satunggal Dewi Sriwulan. 2. P u n i k a bangsaning peri, pan inggih kalebet besan, lawan narendra Pagelen,wau putra kang acacad, pininta Dyah Sriwulan, Dewi Mulat kang anyerung, Rara Karagan Jonggrangan. 3. Sami sayembara nguni, patalunan candhi sendhang, sadaya sampun kalakon, dene wau punang sendhang, nulya kinarya siram, temah santun warninipun, arurus raras kawuryan. 4. Sang rara putri kakalih, Retna Karagan Jonggrangan, alestantun dados j o d h o , kang sepuh antuk kang tuwa, anem antuk taruna, wangsule mring p r a j a n i p u n , sakarongron saha garwa. 5. Nateng Paglen sukeng galih, putra kang anandhang cacat, antuke raras karongron, kalangkung ingela-ela, nenggih antara dina, kalihe jinunjung lungguh, dadya pangran adipatya. 6. Lan ibune Ken Pratiwi, minggah dadya prameswara, pan minangka kembarane, Dewi Srini garinindra, punika ibunira, J a k a P r a m a n a satuhu, pramila dados sak ing tyas. 7. Angrasa ing tembe benjing, tan gumantya ramanira, mangka wus kapareng wartos, temahan dadya balila, madeg ing Medhangsasra, limut ing tyas lir anglalu, tan mulih Paglen nagara. 8. Lingsem mring sanggyaning dasih, wonten laladan Jepara, kabekta ing marsepuhe, labet dados mantunira, sang prabu Sri Sadhana, m a r m a sagung kanthinipun, para putra ing Jepara. 9. P a n saking kalebet wresni, kendel wau aturira, denira angrentesake, risang Resi Sri Madewa, yata duk amiyarsa, sang Prabu Sri Mahapunggung, dahat ngungun ing wardaya. 10. Pangandikanira aris, sarentesing lelampahan, sinten ingkang martosake, dene langkung kaelokan, kala kula anduta, p a d u k a tan darbe atur, matur Resi sri Madewa. 406 PNRI
11. Amargi dereng alami, saweg anembe punika, kawula mentas martinjo, dhateng ing prajeng Jepara, sinung warta mangkana, margi duk ing panggihipun, anenggani bayangkara. 12. Narendra ngandika malih, lamun makaten ki raka, aprakawis balilane, pun kulup Jaka Pramana, supados tan andadra, inggih prayogi tinulung, sarehning sami kawogan. 13. Andika mangke ngong tuding, dhatenga ing Cengkarsasra, katimbalana den age, kula ingkang amranata, ing kawiryawanira, amrih sirnaning dahuru, arubeda sami badan. 14. Mangkata dinten puniki, dene kang abebarisan, kinen bubara kemawon, wangsuling duta punika, kinanthilan pustaka, ngiras mangka angsul-angsul, dhawah bibaring barisan. 15. Resi Sri Madewa myarsi, pangandikaning narendra, matur sandika cumondhong, ri sampunira mangkana, pasewakan bibaran, narendra kondur ngadhatun, kasaput dalu samana. 16. Kawarnaa sareng enjing, Resi Sri Madewa budhal, kanthi duta sawangsule, sarya amundhi pustaka, lampahnya lelancaran, datan kawarna ing ngenu, samana pan sampun prapta. 17. ngGoning wadya kang abaris, sira Resi Sri Madewa, lawan duta kang andherek, anjujug rekyana patya, lawan sagung punggawa, wus winartanan sadarum, ing reh lelampahanira. 18. Wasana mangkya karsa ji, sinirep amrih raharja, ingsun dinuta beboleh, aliya ingkang mangkana, paring sul-angsul surat, dhawuh kukud barisipun, patih ngungun duk miyarsa. 19. Lan sagung para bupati, tan nyana lamun mangkana, wasana undhang balane, ambubarken barisira, sang Resi Sri Madewa, lajeng denira lumaku, mring barisan Medhangsasra. 20. Sagunging para bupati, kagyat andulu kang prapta, legeh tanpa rowang ijen, pasang pantesing busana, lir raja pinandhita, patih waspadeng pandulu, lamun punika kang paman. 21. Trah Maharsi Medhangkawit, risang Resi Sri Madewa, kalawan ndulu mengsahe, kang samya abebarisan, sampun samya bibaran, patih nulya marek gupuh, ing sang Prabu Dewasraya. 22. Matur yen kang paman prapti, risang Resi Sri Madewa, kados dinuta sang katong, lan wadya kang babarisan, binibarken sadaya, duk miyarsa sang aprabu, asrep ing tyas sanalika. 407 PNRI
23. Lajeng kinen angaturi, kasaru ing praptanira, ingkang paman dumarojog, piyak sagung wadyabala, sang Prabu Dewasraya, gurawalan makidhupuh, marek paman maharsindra. 24. Tinanggapan tata linggih, wusing rerem saantara, risang Dewasraya katong, mring paman atur pambagya, sang Resi Sri Madewa, pangandikanira arum, sayekti padha raharja. 25. Kulup praptaningsun iki, dinuta jeng sri narendra, animbali sira angger, ramanira wus rumasa, kalamun kaluputan, iya dadining prang pupuh, tan anyana pisan-pisan. 26. Yen sira kang madeg aji, aneng wana Medhangsasra, sinengguh mungsuh raraton, bareng wus ngrungu sesulang, gegetune kalintang, sun iki nuli tinuduh, marek marang jeneng para. 27. Pan ramanira sayekti, narendra Medhangkamulan, wus tan samar ing lelakon, babading wong atuwanta, lan kadang warganira, tekane sira dadi ru, wus sun gancarken sadaya. 28. Dene prakara sireki, aywa sandeyeng wardaya, yen nora gumantya katong, ana Pagelen nagara, kang tanggung pamanira, sang Prabu Sri Mahapunggung, lestarina madeg nata. 29. Mengko sira ingsun irid, sumiwi mring Medhangpurwa, saprajuritira kabeh, dhasar sesembahanira, pantes yen tinuruta, manawa nora miturut, andadekken cocongkrahan. 30. Bebasane iku kaki, kriwitan dadi grojogan, ngubungi tyas tan pakoleh, tan yogya kowaraning rat, mungsuhan padha bangsa, destun temen nora rukun, tunggal pangkon pancabakah. 31. Tiwas rusak tanpa kardi, yen menang tanpa kukupan, jer maksih tunggal banyune, becik kang reksa-rumeksa, pakolehe pan rosa, wong rosa wateke kukuh, bakuh tan kena kadhongkah. 32. Mengsah yekti kekes wingwrin, ngawruhi kowaranira, berawa wor wardayane, prajadi karta raharja, tetuladane ana, iya carita rumuhun, ing jaman Pancakurala. 33. Ecrah padha tunggal daging, Pandhawa lawan Ngastina, dadi lebur wekasane, karatone karusakan, balane kuthetheran, nadyan Pandhawa kang ngukup, kawiryawane wus suda. 34. Labet kurangan wadya lit, nanging duk jaman samana, ingkang ngilangken rukune, satria Sata Kurawa, dadine tanpa daya, iku elingana kulup, lakoning luluhurira. 408 PNRI
35. Upama sira puniki, nedyaa cipta balila, aweh wewinih pakewoh, maring sagung wadyabala, iya angemutana, adege ramanireku, lawan paman-pamanira. 36. Yekti saking Medhangkawit, marma sira den rumasa, kendel wau andikane, risang Resi Sri Madewa, wau duk amiyarsa, risang Dewasraya prabu, andikaning ingkang paman. 37. Tumungkul konjem ing siti, wasana alon turira, sarya marawayan luhe, dhuh paman dhawuh paduka, inggih leres sadaya, anamung saestunipun, kawula tan darbe cipta. 38. Dhateng prajeng Medhangkawit, pan inggih sinten kawula, apurun mengsah pupudhen, inggih binathareng jagad, tangeh yen kuwawia, sarehne paman sang wiku, sampun boten kikilapan. 39. Ing salelampahan mami, awiting dados leleda, wonten ngriki areraton, alabet saking sudarma, semanging kadang warda, saestu kawula anut, sumiweng Medhangkamulan. 40. Amung kawula pribadi, lawan ipe kalihira, mbokmanawi damel kaget, kang paman Resi Madewa, alon dennya ngandika, kulup bener ing karepmu, katon ngajeni wong tuwa. 41. Lan wus katon lamun wedi, tandhane tan nggawa bala, cundhuk lawan aturingong, nggonira meda punika, tan nedya malik tingal, dadi nimbangi puniku, sih tresnaning wong atuwa. 42. Ramanira sri bupati, bareng myarsa aturingwang, katalikuning lelakon, kalakon nuli parentah, ambucalaken bala, rusaking bala sadarum, wus nora pisan rinasa. 43. Amung katon kulit daging, kulup yen uwis sambada, pradangdana payo bodhol, lawan iku kang barisan, samengko bubarena, Prabu Dewasraya gupuh, undhang Patih Anggliskara. 44. Baris binubarken sami, sagung prawira ing desa, getun ngungun pangetange, katongton dennya menang prang, nora antuk boyongan, malah mangkya ratunipun, teka anungkul arisan. 45. Lajeng abibaran sami, ri sampunira samapta, Prabu Dewasraya katong, lawan patih kalihira, tuwin Resi Madewa, anulya budhalan gupuh, kusut prajeng Medhangsasra. 46. Tan ana kang den tingali, kadi koncatan sosotya, gumarumung swaraning wong, rarasan lan kancanira, gustiku tan 409 PNRI
anyana, tan antep ing sedyanipun, dene nggone mangun yuda. 47. Durung kasoran kang dasih, amungsuh lan wong nagara, mandar wus katon jayane, basa iku mau teka, wong kang rupa brahmana, ingandikan teka nungkul, leleh kanepsone ilang. 48. Apa baya den sarati, ki brahmana sugih mantra, mandi ing guna dhesthine, ana kancane angucap, layak banjur anuta, dene kang aprapta mau, paman kadange kang rama. 49. Lan ingsun angrungu warti, mungguh iku gustinira, marmane umadeg katong, ana desa Medhangsasra, singget lawan kang rama, jalaran kadange sepuh, kinarya pangran dipatya. 50. Lan ibune garwa wingking, iya nadyan iku tuwa, amung kinarya pangrembe, mangkya munggah ing papahan, dumadya prameswara,jeng gusti cipta tan wurung,bakal tan gumantya nata. 51. Ngungun kang samya miyarsi, wruh sulang ingkang mangkana, ing wasana dahat gawok, ana kang nambungi nabda, samengko tinimbalan, mring Medhangkamulan iku, patutane nemu dosa. 52. Dene wus bebanten pati, iya prajurit nagara, padha rusak sakancane, ana rowange angucap, bagya yen mangkonoa, kabeh nora milu-milu, iya kalepetan dosa. 53. Balik yen selak sumingkir, iki kabeh wong ing desa, padha nemu ukum layon, iya tiwas ngaya-aya, pan nora antuk karya, ing kawiryawaning wahyu, mung kantun panganiaya. 54. Ana rowange nauri, aywa ngrasa kang mangkana, sajatine sang akatong, kang maharjeng Medhangprawa, iya nora uninga, lamun pepulunanipun, atmajanira kang tuwa. 55. Sinengguh mungsuh sayekti, ngulur angelar jajahan, karya praja aneng kene, marma nuli linurugan, basa antuk katrangan, tyasira ngrasa kaduwung, dene lawan padha rowang. 56. Nggone tinimbalan mangkin, baya antuk kanugrahan, heneng-heneng moneng tyase, umpamane rare beka, anangis ngaruara, menenge saking tinulung, mring bapa kang kawajiban. 57. Marma gustinira lilih, dene ta ingkang dinuta, banget ing pamilutane, lan amamarta katrangan, nggone kalintu ing tyas, tumanggah gelem atanggung, yen antuk duka srinata. *
410 PNRI
*
*
XXXII. SINOM
1. Wekasan kawula desa, pan mung pupudya basuki, karaharjanireng lampah, gusti kang pinisudyapti, dening rama sang aji, nyandhunga kembang sawakul, ri sampuning mangkana, mantuk mring wismane sami, weneh ana kang ambaurekseng pura. 2. Warnanen ingkang lumampah, sumiweng sri narapati, praptaning Medhangkamulan, marengi ari Respati, nata miyos tinangkil, ing sawadyabalanipun, wau Resi Madewa, ngirid rajaputra katri, pan anjujug ing ngabyantareng narendra. 3. Umatur maring sang nata, dhuh pukulun sri bupati, inggih warnane punika, kang dados untraging bumi, narendra ngandikaris, mangke jengandika ndangu, paran ing karepira, wus dhinawuhaken nuli, aturira ngaturaken pejah-gesang. 4. Rehning sampun kalepatan, sumangga ing paduka j i, inggih atadhah duduka, sang nata ngandika malih, yen temen tyase katri, paran dadi tandhanipun, nggone nungkul maringwang, rajaputra anampeni, ing sasmita seleh kadga ngaras pada. 5. Sri narendra langkung welas, miyat pepulunan katri, katongton tuhu setyanya, rinangkul lungayaneki, wusnya ngandika aris, sang Prabu Sri Mahapunggung, maring rekyana patya, heh Minangsraya den aglis, ngumpulena warise mantri prawira. 6. Kang padha tiwas ing yuda, sandika rekyana patih, sampun samapta ing ngarsa, angandika sri bupati, maring raka sang resi, lamun mangke putranipun, sang Prabu Dewasraya, linungsur namanira ji, pan kinarya babaku patih wisesa. 7. Aneng nagari Medhangprawa, sampun sinungan wawangi, ran Arya Mandanasraya, dene ipenira kalih, saking Japara 411 PNRI
nagri, padha ingsun angkat lungguh, dadi punggawaningwang, arane maksih lestari, iya Arya Anggliskara Anggliskarta. 8. Pan minangka kondhangira, ing kadangira papatih, si Arya Mandanasraya, dene Minangsraya patih, iku kang dadi kanthi, angulah sabarang rembug, bot-repote ing praja, karo iku dadi siji, pangulahing bangbangalum aywa pisah. 9. Lan sagung mantri prawira, kang padha tiwas ing jurit, anak warise sadaya, dipun gantyakena sami, pan aywa owah gingsir, sabarang cacatonipun, ing linggihing sudarma, kendel ing pangandika ji, tur sandika wau Resi Sri Madewa. 10. Dhinawuhken sanalika, sadaya pangandika ji, kang atampi sihsiniyan, amung sandika nglampahi, gung alit anastuti, sami kalampahan sampun, dene ing Medhangsasra, kang ginanjar anampeni, ingkang putra risang Resi Sri Madewa. 11. Nama Raden Dewanggana, pan dadya bupati tamping, nama Arya Medhanggana, kalilan bidhalan aglis, bibar kang samya nangkil, narendra kondur ngadhatun, yata antara dina, wus bidhalan angetrepi, Arya Medhanggana aneng Medhangsasra. 12. Nihan gantya kawarrtaa, nagari ing Paglen mangkin, lagya kataman sungkawa, jalaran saking pra rabi, amothahaken siwi, benjang kang gumantyeng ratu, Dewi Srini samana, matur ring sri narapati, yen ing benjang tetep neng Jaka Pramana. 13. Sareng wau kapiyarsa, ing garwa Dewi Pratiwi, ing tyas dahat tan narima, dene atmaja taruni, ginadhang gumantya ji, yekti atas kang asepuh, marma nguni narima, wit saking kuciweng warni, inggih kedah tetepa dhateng kang tuwa. 14. Teka sinungan prabeda, paran ingkang dadya sisip, samya putraning narendra, mijil saking prameswari, kawimbuhan miyarsi, lamun risang narpasunu, Raden Jaka Pramana, lalu murtad ing panggalih, wus tan nedya kondur mring Paglen nagara. 15. Malah lajeng araratyan, aneng dhukuh Cengkarsari, winastan ing Medhangsasra, jejuluking narapati, Prabu Dewasraya ji, akanthi pra wadya dhusun, temahan kauningan, saking prajeng Medhangkawit, linurugan sawadyane tutumpesan. 16. Kang ibu anggung kantaka, sang nata dahat rudatin, lir murcatma sanalika, gumuruh sajroning puri, angrarampa sarim412 PNRI
bit, wonten pramaning dewa gung, kang besan peri prapta, mamarta atur wawangsit, lamun putranira Dyan Jaka Pramana. 17. Ing mangkya maksih waluya, aneng prajeng Medhangkawit, malah antuk sihing nata, nenggih kinarya papatih, kanthi ipe kakalih, yogeng Sri Sadhana prabu, sinung lungguh punggawa, sanalika duk miyarsi, sri narendra dadya emut ing wardaya. 18. Angingimur maring garwa, pepajar rehing wawangsit, dadya luwar sawatara, sinungan ilham ing galih, ing rubedaning rabi, pangandikanira arum, heh sagung garwaningwang, aywana akarya westhi, ingsun atasaken mring kang kawajiban. 19. Kang ngandegaken maringwang, ana ing Paglen nagari, pan saking Medhangkamulan, mengko padha ingsun irid, anakira kakalih, dena arine rumuhun, pan wus ana ing kana, garwa kalih anastuti, wusing sarju ing rembag anulya budhal. 20. Sang nata lan saha garwa, tuwin kang putra kakalih, lawan wadya sawatara, datan winarna ing margi, prapta ing Medhangkawit, ingkang rayi sang aprabu, apan sampun miyarsa, yen kang raka amartuwi, dyan anuduh kyana Patih Minangsraya. 21. Methuk lawan saha wadya, nulya budhalan tumuli, tundhuk laju ingaturan, umanjing ing dalegi puri, nateng Paglen lan swami, samya manjing ing kadhatun, pinethuk ari nata, aneng kori sri manganti, kanthi lawan catur garwa prameswara. 22. Anulya lenggah satata, sang nata ing Medhangkawit, animbali para putra, myang Mandanasraya patih, sampun sumiweng ngarsi, atarab andher supenuh, sawusing saantara, sumungsung bagya basuki, tinanggapan ing tyas dahat suka rena. 23. Sang nata ing Medhangprawa, rumesep umatur aris, dhuh inggih panduka raka, lami datan amartuwi, mring prajeng Medhangkawit, mangke ing sarawuhipun, mawi akanthi garwa, raosing tyas kula yekti, kamayangan kadi katamuan dewa. 24. Paring wahyu kanugrahan, lumantar marta martani, karaharjanireng praja, nateng Paglen matur aris, dhuh yayi samisami, pun kakang pan sakalangkung, inggih boten kadosa, cecengklungen siyang ratri, labet saking ambau rumekseng bala. 25. Mangke ulun kedah sowan, pun kakang manggih rudatin, saking daredahing garwa, wus den aturaken sami, nalarira 413 PNRI
sakalir, kang rayi kalangkung ngungun, mesem dennya ngandika, samendhang boten andalih, yen ki raka rawuhe mawa prakara. 26. Nateng Paglen aturira, sewu nuhun aksama ji, inggih ing lepat kawula, kamipurun angribedi, saking jibeg ing kapti, inggih ing saestunipun, kados amung paduka, kang saged mbengkas rudatin, anetepi adil paramarteng wadya. 27. Sang nateng Medhangkamulan, awlas denira ningali, mring kang raka sri narendra, wasana ngandika aris, inggih kaka sang aji, sarehning sampun katempuh, ing lampahan punika, sasaged ambengkas kingkin, arerema wonten ngriki saantara. 28. Asrep ing tyas sanalika, kang raka duk amiyarsi, ing sabdaning ari nata, kasaru saosan mijil, lajeng dhaharan sami, karesepan ing tyas prabu, kang rayi lan kang raka, lawan raka prameswari, lumuntur ing tuwin sagung paratmaja. 29. Tekyaning antara dina, sang nata miyos tinangkil, pepak sagung wadyabala, ingkang kaparek ing ngarsi, ki raka sri bupati, ing Pagelen Sri Manuhun, lan Resi Sri Madewa, lawan sagung para siwi, yata wau sri maha bathareng jagad. 30. Alon denira ngandika, mring kang raka brahmanarsi, kakang andika dhawuhna, yen ing mangke karsa mami, putreng Pagelen kalih, ingkang asepuh puniku, samya sun karya nata, inggih amengku nagari, kang rumuhun pun kulup Jaka Pratana. 31. Mangke kula karya raja, wonten tanah Medhanggesing, anama Prabu Pratala, prajane kula wastani, inggih ing Mukabumi, dene punika rinipun, kulup Jaka Sangara, wonten tanah ing Herbangi, panengrana sang Aprabu Tirtanata. 32. Pun Arya Mandanasraya, tetepa pangran dipati, wonten ing Paglen nagara, angiras dadya papatih, inggih ing tembe benjing, gumantya ing ramanipun, kendel andika nata, Resi Sri Madewa aglis, andhawuhken ing sakarsaning narendra. 33. Dahat suka anarima, paratmaja kang antuk sih, lajeng sami ngestupada, linunturan pudyastuti, kalilan budhal aglis, sang Aprabu Sri Manuhun, bengkas sungkawaning tyas, ingkang paratm a j a sami, kasampekan sapih saking kawiryawan. 414 PNRI
34. Ing pasewakan bibaran, narendra kondur ring puri, wawarta ing para garwa, karenan ing tyas tan sipi, dupi ing antara ri, sang Aprabu Sri Manuhun, kondur mring prajanira, saha garwa prameswari, sareng lawan budhale pra putra nata. TAMAT
415 PNRI
PNRI