serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya resistensi, timbulnya hama sekunder, musnahnya musuh alami dan terjadinya pencemaran lingkungan, juga dapat membahayakan kehidupan manusia, baik petani maupun konsumen (Deptan 2005). Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah, melalui penguasaan teknologi budi daya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan PHT dan pengaturan jarak tanam (Deptan 2005). Sistem pertanian ini menggunakan pestisida dan pupuk dalam jumlah yang rendah dan aplikasi pestisida dilakukan hanya pada tanaman yang terserang OPT. Sistem input rendah mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia, dengan memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Tujuan sistem input rendah adalah untuk memaksimalkan produksi jangka pendek serta mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang (Reijntjes et al. 1992). Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani dalam proses transisi (Reijntjes et al. 1992). Sistem pertanian organik
bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui
proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan sisa tanaman, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati. Kondisi pertanian polikultur mempunyai ekosistem yang kompleks dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Produktivitas pertanian organik juga sebanding 12
dengan pertanian yang menggunakan zat-zat kimia sintetis sebagai pupuk ataupun pestisida (Sitanggang 1993). Tanaman tomat dan jagung pada sistem organik dan input rendah dengan mengurangi pestisida sampai 50% memberi respon pada keberadaan arthropoda, patogen dan nematoda.
Walaupun demikian, penggunaan pestisida ini tidak
mempengaruhi hasil dan dapat mengurangi biaya pengelolaan hama dan menurunkan dampak lingkungan (Clark et al. 1998). Pertumbuhan padi pada pertanian alami lebih toleran terhadap kerusakan yang disebabkan
oleh
Oulema oryzae (Coleoptera: Chrysomelidae), dan dapat
meningkatkan hasil padi dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan sistem konvensional. Pada pertanaman padi di lahan konvensional, adanya kerusakan yang disebabkan o leh hama O. oryzae tersebut dapat menyebabkan tanaman padi lebih peka terhadap patogen, sehingga intensitas penyakit menjadi tinggi dan kehilangan hasil lebih besar (Andow dan Hidaka 1998). Proteks i tanaman pada pertanian organik umumnya dilakukan melalui pengelolaan terhadap lingkungan sehingga tanaman mampu
bertahan terhadap
serangan hama dan patogen. Pada pertanian organik dilakukan kegiatan yaitu pemantauan terhadap hama dan penyakit, rotasi tanaman dan
mengurangi
pengolahan tanah. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan agens hayati dan pestisida botani (Bruggen dan Termorshuizen 2005). Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari segi sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Keanekaragaman Hayati Keanakeragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumberdaya hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran pada ekosistem, spesies dan genetik (Watson et al. 1995). Menurut Primack et al. (1998) bahwa keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkat pengertian, yaitu tingkat spesies, komunitas dan ekosistem.
13
Aspek-aspek yang diamati dalam rangka menganalisis keanekaragaman hayati antara lain adalah jumlah spesies, kelimpahan, peny ebaran, dominasi, variasi spesies di dalam suatu habitat dan ekosistem (Magurran 1988). Keanekaragaman habitat merupakan jumlah spesies di dalam suatu habitat atau lahan pertanian (Rice 1992) dan terjadi interaksi antara spesies tersebut (Primack et al. 1998). Menurut Ludwig dan Reynold (1988) bahwa keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu jumlah total spesies dan kemerataan spesies. Indeks yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal yang disebut indeks keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi suatu nilai tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan. Dengan demikian prosedur penghitungan keanekaragaman meliputi indeks kekayaan (richness indices),
indeks keanekaragaman (diversity indices) dan indeks
kemerataan (evenness indices) (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Indeks kekayaan spesies meng- gambarkan ukuran jumlah spesies pada suatu habitat atau komunitas. Banyaknya indeks yang dapat digunakan untuk menghitung kekayaan spesies antara lain Indeks Margalef, Menhinick dan Hulbert (Ludwig dan Reynolds 1988;
Magurran
1988).
Indeks
keanekaragaman
merupakan
ukuran
keanekaragaman yang ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap spesies yang diamati (Ludwig dan Reynold 1988), sedangkan Magurran (1988) menyatakan sebagai kelimpahan spesies (spesies abundance). Indeks keanekaragaman yang telah dikenal antara lain adalah Indeks Berger-Parker dan Indeks Shannon-Wienner.
Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali Apabila ada dua jenis mikroorganisme dalam satu tempat maka yang akan terjadi adalah interaksi yang berperan dalam suatu proses untuk mencapai keseimbangan biologi. Beberapa hasil interaksi kedua mikroorganisme tersebut diantaranya
adalah
mikroorganisme,
merangsang
atau
menghambat
pertumbuhan
kedua
merangsang atau menghambat pertumbuhan spora rehat,
menyebabkan kematian bagi mikroorganisme lain dan kadang-kadang interaksinya 14
dapat
mengakibatkan
kerusakan
pada
tanaman
yang
menjadi
inangnya.
Mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens antagonis berasal dari berbagai divisi antara lain: bakteri, cendawan, virus maupun mikrofauna predator seperti nematoda, protozoa dan lain-lain. Agens antagonis yang ideal menurut Baker dan Cook (1974), harus memenuhi syarat yang meliputi: 1) tersedia dan berkembang di rhizosfer dan filosfer dalam upaya mencegah infeksi, 2) mampu memproduksi substrat, zat antibiotik beracun yang efektif pada konsentarsi yang rendah apabila diaplikasikan di lapangan dan tidak mudah terdegradasi dengan cepat, 3) antibiotik yang dihasilkan oleh satu agens antagonis harus mampu merangsang perkembangan antagonisme lain, 4) antibiotik yang dihasilkan tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman inang, 5) mampu beradaptasi pada kisaran inang yang luas dan dapat diproduksi secara masal untuk diperdagangkan, 6) spora perkecambahan harus muncul cepat atau setidaknya lebih cepat dari pertumbuhan patogen, 7) antagonis harus mampu beradaptasi dari pada patogen terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Secara alami di tajuk tanaman (filosfer) dan di dalam tanah (rhizosfer) terdapat beberapa mikroorganisme yang berpotensi mengendalikan patogen cendawan dan bakteri. Pseudomonas kelompok fluorescens
selain terdapat di dalam tanah juga
relatif tinggi kerapatannya pada permukaan daun. Agens antagonis kelompok ini telah dikembangkan untuk skala laboratorium dan telah dipasarkan sebagai agens biokontrol, misalnya P. fluorescen A506 yang dijual dengan nama dagang BlightBanTM A506 untuk mengendalikan Erwinia amylovora penyebab fire blight pada apel dan pear (Tjahjono 2000). Bakteri kelompok ini dicirikan oleh adanya pigmen berwarna hijau kuning yang digunakan untuk iden tifikasi serta klasifikasi. P. fluorescen diantaranya memiliki sifat mampu mendominasi pemanfaatan eksudat yang dikeluarkan oleh akar, berkembang biak dengan cepat dan mampu mengkolonisasi daerah perakaran (Schippers et al. 1987). Bakteri antagonis yang pertama diproduksi secara massal dan dikembangkan sebagai agens biokontrol dan telah dipasarkan di Cina, Rusia, USA dan Meksiko pada tahun 1980 adalah Bacillus sp. (Tjahjono 2000). Keunggulan Bacillus jika dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah mampu
menghasilkan
endospora yang tahan terhadap suhu tinggi dan rendah, pH ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan yang lama. 15
Selain bakteri, kelompok mikroorganisme yang juga memiliki potensi sebagai agens biokontrol adalah cendawan. Salah satunya adalah Trichoderma sp. yang merupakan cendawan saprofit yang hidup dalam tanah, yang umumnya sudah digunakan untuk mengendalikan cendawan patogen, tetapi akhir-akhir ini dicoba untuk mengendalikan bakteri patogen (Cook dan Baker
1983). Cendawan
Trichoderma sp. dapat mengkoloni sklerotia Rhizoctonia solani (Tronsmo 1996). Paath (1988) melaporkan bahwa hifa Trichoderma sp. bersifat antagonistik terhadap perkembangan bakteri Pseudomonas solanacearum isolat tembakau dan tomat secara in-vitro. Konsep PHT dalam Pertanian Organik Beberapa kebijakan pemerintah yang menunjang pengendalian hama terpadu (PHT) telah dikeluarkan sejak beberapa dekade yang lalu sangat mendukung dalam pelaksanaan pertanian organik. Kebijakan pemerintah dalam usaha pengendalian hama terpadu (PHT) dituangkan dalam REPELITA III tahun 1979/1980 – 1983/1984, yaitu Inpres no. 3 tahun 1986 tentang pelarangan penggunaan 57 formulasi pestisida untuk tanaman padi. Selain itu terdapat Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Kebijakan pemerintah lainnya yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan mentargetkan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dengan tersedianya pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Karena itu pengembangan pertanian organik merupakan salah satu pilihan dalam menunjang ketahanan pangan lokal (local food security) (Sumarsono
2005). Kebijakan
pemerintah tersebut selain digunakan untuk mengamankan produksi juga untuk mengamankan
faktor-faktor
lingkungan
dalam
menciptakan
pertanian
berkelanjutan, aman terhadap pelaksana dan konsumen (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Pelaksanaan program pengembangan pertanian organik telah dimulai tahun 2001 dengan “Go Organic 2010“ dengan misi “meningkatkan kualitas hidup masyarakat
dan
kelestarian
lingkungan
Indonesia,
dengan
mendorong 16
berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan“ (Darmadjati 2005). Usaha-usaha untuk menciptakan pertanian berkelanjutan di atas menghadapi berbagai kendala, terutama dalam ekosistem pertanian (agro ekosistem) yang umumnya rentan terhadap kerusakan oleh OPT dan bencana peledakan OPT. Hal ini disebabkan kurangnya keanekaragaman spesies tanaman, spesies serangga atau patogen dan perubahan yang tiba-tiba karena cuaca dan perlakuan petani, tidak seperti halnya dengan ekosistem alami (natural ecosystem) (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Pengendalian hama terpadu merupakan cara pengelolaan pertanian dengan setiap keputusan dan tindakan bertujuan meminimalisasi serangan OPT, sehingga mengurangi bahaya terhadap manusia, tanaman dan lingkungan. Sistem PHT memanfaatkan semua teknik dan metode (biologi, genetis, mekanis, fisik dan kimia) dengan cara seharmoni mungkin, untuk mempertahankan populasi hama berada di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomis, serta mengurangi biaya perlindungan apabila pengendalian OPT dilakukan dengan pengendalian hayati (Deptan 2005). Dalam sistem pertanian organik, musuh alami berperan dalam menekan laju pertumbuhan hama dan mengatur keseimbangan populasi hama, sehingga konsep PHT yang dipraktekkan dalam sistem pertanian organik searah dengan pembangunan berkelanjutan. Proses penyadaran pentingnya pertanian organik tidak dapat berjalan dalam waktu singkat, harus difasilitasi dengan berbagai kebijakan seperti jaminan pemasaran . Stabilitas harga diupayakan tidak hanya terbatas pada pengelolaan pasar, tetapi peningkatkan kualitas gabah melalui pembangunan lumbung modern (ware house system ). Proses sosialisasi dapat berjalan dengan cepat apabila didukung dengan fasilitas, dana dan sumber daya manusianya.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Identifikasi
arthropoda
dan
mikroorgansime
dilakukan
di
Laboratorium
Biosistematika Serangga dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Januari 2006. 17
Persiapan Lahan Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan pertama seluas 2.400 m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secar a konvensional dan input rendah serta lahan ke-dua seluas 5.857 m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secara organik. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan oleh kerbau. Selanjutnya dilakukan proses penghalusan tanah dengan menggunakan cangkul dan garu. Untuk mempercepat proses penghalusan tanah dilakukan pengairan. Penanaman Padi Benih padi yang digunakan adalah varietas Cisantana yang berasal dari Balai Benih Padi di Muara, Bogor. Benih dikecambahkan dengan cara direndam dalam air selama sehari. Selanjutnya benih yang sudah berkecambah ditebarkan pada lahan pesemaian yang sudah diolah dalam kondisi berlumpur (tidak tergenang air). Setelah bibit padi berumur 21-24 hari, bibit siap dipindahkan ke lahan sawah. Penanaman dilakukan dengan cara cabut pindah (transplanting). Bibit ditanam sebanyak 2-3 tanaman/lubang dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Perlakuan Percobaan ini terdiri dari empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan terdiri dari sistem pertanian 1) konvensional (d ipupuk dengan urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 100 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 20 kg/ha), 2) input rendah (menggunakan bokashi 1 ton/ha, urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 10 kg/ha), 3) organik 5 (dipupuk dengan bokashi 5 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik), dan 4) organik 10 (menggunakan bokashi 10 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik). Pupuk organik bokashi diaplikasikan setengah bagian pada waktu pengolahan tanah dan sisanya diaplikasikan sehari sebelum tanam. Pupuk NPK (Urea + TSP + KCl) setengah bagian diaplikasikan sehari sebelum tanam dan sisanya diberikan pada saat tanaman berumur sekitar 14 hari setelah tanam (HST). Pengamatan Hama dan Penyakit Pengamatan hama dan penyakit dilakukan pada 45 rumpun contoh per petak yang ditentukan secara diagonal. Perkembangan penyakit dan populasi hama pada
18
setiap petak diamati seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama dan penyakit. Pengamatan pada setiap petak percobaan dilakukan dengan menentukan lima sub petak contoh berukuran 1 m x 1 m yang ditentukan secara diagonal (Gambar 1). Jumlah rumpun tanaman yang diamati adalah 9 tanaman contoh/sub petak contoh (45 rumpun /petak).
Gambar 1 Bagan pengambilan subpetak contoh tanaman padi pada satu perlakuan Perkembangan hama dan penyakit dilakukan secara langsung di pertanaman padi dengan menghitung luas dan intensitas serangan hama utama, serta intensitas penyakit utama. Hama dan penyakit utama tanaman padi yang diamati meliputi penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar daun padi. Pengamatan dilakukan sebanyak 10 kali dengan interval pengamatan seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama dan penyakit. Luas serangan hama penggerek batang padi dan tungro dihitung dengan rumus (Direktorat Perlindungan Tanaman 2000):
L = n/N x 100% Keterangan : L = Luas serangan (%) n = Jumlah rumpun padi terserang N = Jumlah seluruh rumpun padi yang diamati Intensitas serangan hama, untuk hama pengerek batang padi dihitung dengan rumus : 19
I = b/B x 100% Keterangan : I
= Intensitas serangan (%)
b = Jumlah anakan atau malai yang terserang B = Jumlah anakan atau malai yang diamati
Intensitas penyakit kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun d ihitung dengan rumus Towsend & Heuberger (1943) dalam Unterstenhofer (1976): n
?
n.v i
I =
x 100 %
Z.N Keterangan : I
= Tingkat kerusakan padi
n = Jumlah rumpun dengan kategori serangan ke-i v = Nilai skala tiap kategori serangan ke-i Z = Skala kategori serangan tertinggi N = Jumlah rumpun yang diamati Kriteria penyakit dihitung berdasarkan katagori sebagai berikut: Tabel 1 Kategori penyakit 1
No. 1 2 3 4 5
Kategori serangan tidak ada serangan serangan ringan serangan sedang serangan berat serangan sangat berat
Skala (v) 0 1 2 3 4
% kerusakan (x) x=0 0 < x = 25 25 < x = 50 50 < x = 75 75 < x = 100
Pengamatan Arthropoda Pada setiap lahan pertanian baik konvensional, input rendah dan organik, dilakukan pengambilan sampel serangga dengan jaring serangga (sweep net) dan lubang jebakan (pitfall trap) seperti metode Niemela et al. (1990). Pengambilan sampel serangga dengan jaring serangga dilakukan pada pagi hari pukul 8 sampai 11. Pada setiap petak percobaan ditetapkan lima lokasi yang ditentukan secara diagonal. Pada setiap lokasi contoh dipilih satuan contoh dengan 10 ayunan ganda 20
jaring. Lubang jebakan dipasang sebanyak 4 buah per petak perlakuan d i pematang sawah. Lubang jebakan berupa wadah plastik (240 ml) yang telah diisi dengan larutan deterjen sebanyak 20-30 ml yang dipasang di dalam lubang tanah. Bagian tepi wadah diatur sama rata dengan permukaan tanah di sekitarnya dan dibiarkan selama 24 jam. Jebakan dilindungi dari paparan sinar matahari dan curah hujan dengan selembar seng berukuran 20 cm x 20 cm yang ditunjang besi setinggi 15 cm dari permukaan tanah. Pada MT I pengamatan arthropoda dengan jaring serangga dan lubang jebakan dilakukan sebanyak 6 kali pengambilan sampel, sedangkan pada MT II pengamatan arthropoda dengan jaring serangga sebanyak 2 kali pengambilan sampel dan dengan lubang jebakan dilakukan
sebanyak 11 kali
pengambilan sampel. Arthropoda yang tertangkap dengan jaring serangga d imasukkan ke dalam botol berisi alkohol, kemudian dibersihkan dari kotoran. Arthropoda hasil tangkapan dengan lubang jebakan disaring dengan kain saring kemudian dibersihkan dan dibilas dengan air. Arthropoda yang telah dibersihkan tadi, disimpan dalam tabung film berisi larutan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium. Pengumpulan data dilakukan setiap satu minggu sejak umur tanaman 2 minggu setelah tanam (MST) menjelang panen. Identifikasi arthropoda dilakukan sampai tingkat famili dengan mengacu pada buku Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et al. 1996), The Pest of Crops in Indonesia (Kalshoven 1981) dan The Insect of Australia (Naumann et al. 1996). Pemisahan dilanjutkan dengan memperhatikan perbedaan morfo-spesies (hanya kode). Ukuran keanekaragaman yang menunjukkan proporsi spesies yang paling melimpah di analisis dengan menggunakan rumus Indeks Berger-Parker (d) (Southwood 1980; Magurran 1988). d = Nmax/N Keterangan : d : Kelimpahan spesies Nmax : Jumlah individu yang paling dominan N : Jumlah total individu semua spesies Penetapan tingkat keanekaragaman spesies arthropoda dihitung menggunakan indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wienner (Magurran 1988). 21
H = - ? pi ln pi Keterangan: H : Indeks keragaman spesies pi : Proporsi individu yang ditemukan pada spesies ke-i Keragaman maksimum (H’ max) dapat terjadi bila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama, dengan kata lain H’/H’max /ln (S); dimana S adalah jumlah spesies. Perbandingan antara nilai keragaman yang diperoleh dengan nilai keragaman maksimum adalah nilai evenness (E) yang berkisar antara 0 dan 1. Nilai 1 terjadi apabila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama (Magurran 1988): E = H/ln S Keterangan: E : Indeks kemerataan spesies Evenness H : Indeks keragaman spesies S : Jumlah spesies Analisis Mikroorganisme Mikroorganisme penghuni daun (filosfer) dan tanah di sekitar perakaran tanaman padi (rhizosfer) diamati dua kali yaitu pada fase pertumbuhan tanaman vegetatif dan generatif . Contoh
daun (1 gr) dan tanah (5 gr) masing-masing
dimasukkan ke dalam 50 ml aquades steril dan diaduk secara konstan selama 15 menit. Suspensi yang diperoleh diencerkan sampai 10-4, kemudian diambil sekitar 0,05 ml dan disebar pada media TSA, Kings B dan MA (martin agar). Untuk mengisolasi kelompok bakteri tahan panas, suspensi pengenceran selanjutnya dipanaskan dalam penangas air (clifton boiling bath ) pada suhu 80º C selama 30 menit dan dibiarkan dingin. Suspensi disebar pada media TSA (tryptic soy agar). Mikroba yang tumbuh pada media diidentifikasi berdasarkan bentuk, elevasi, warna dan tepian koloninya dengan mengacu pada buku Introductory Mycology (Alexopoulus dan Mims 1979), dan Methods for The Diagnosis of Bacterial Diseases of Plant (Lelliot dan Stead 1987). Penetapan tingkat keanekaragaman dan indeks kemerataan spesies mikroba dihitung men ggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dan indeks kemerataan spesies Evenness (Magurran 1988).
22