SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH1 Oleh: Muchamad Ali Safa’at2
Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia desentralisasi dan sentralisasi telah beberapa kali mengalami pergeseran. Ada banyak faktor yang memengaruhi pasang surut desentralisasi, terutama watak kekuasaan negara (pemerintah pusat) apakah bergerak ke arah demokratis atau otoriter.3 Namun demikian, pergeseran yang terjadi tentu saja harus tetap berada dalam koridor UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Menurut konsep negara kesatuan memang desentralisasi berasal dari sentralisasi. Namun di sisi lain desentralisasi dan otonomi daerah adalah ketentuan UUD 1945. Hal ini berarti negara kesatuan harus dijalankan beriringan dengan otonomi daerah. Sentralisasi tidak boleh menghilangkan keberadaan otonomi daerah sebagai amanat konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kecenderungan sentralisasi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Kecenderungan tersebut dapat diidentifikasi baik dari sisi konsep pembagian urusan, kewenangan pembentukan peraturan daerah, maupun dalam pembagian kewenangan khususnya untuk pengelolaan sumber daya alam, kehutanan, dan tambang. Untuk memberikan gambaran lebih menyeluruh, pada bagian awal tulisan ini akan diuraikan mengenai landasan konstitusional otonomi daerah dalam negara kesatuan yang sudah menjadi kesepakatan nasional, terutama di era reformasi. Hal itu ditelusuri dari latar belakang pembahasan UUD 1945, ketentuan dalam UUD 1945 sebelum perubahan, Pembahasan Perubahan UUD 1945, serta beberapa Ketetapan MPR di awal masa reformasi yang secara khusus memberikan pedoman tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah. Politik Hukum Otonomi Daerah Pembahasan tentang otonomi daerah dalam sejarah konstitusi di Indonesia menunjukkan bahwa para pembentuk bangsa menghendaki pemberian otonomi kepada daerah. Hal ini mengingat ada kekhawatiran pada 1
Disampaikan pada Focus Group Discussion “Inventarisir Persoalan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah” yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Jakarta, 15 September 2015. 2 3
Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Lihat Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press - Jakarta: LP3ES, 1998).
1
saat itu bahwa bentuk negara kesatuan yang dipilih dapat melahirkan sentralisasi dan penyeragaman mengingat dalam konsep negara kesatuan memang tidak ada negara di dalam negara. Oleh karena itu perlu ketentuan yang memberikan pengakuan kepada daerah, baik sebagai daerah otonom maupun sebagai daerah administrasi, serta pengakuan terhadap hak asal-usul dan keistimewaan daerah.4 Pembahasan BPUPKI menghasilkan rumusan Pasal 18 yang menyatakan: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan Pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Keberadaan otonomi daerah dan daerah otonom semakin dipertegas dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan sebagai berikut. I. Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Walaupun memiliki landasan konstitusional yang sangat kuat, namun sebelum era reformasi pemberian otonomi kepada daerah dapat dikatakan belum pernah dilaksanakan. Di awal kemerdekaan dan masa orde lama secara normatif pernah dibentuk UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, dan UU Nomor 18 Tahun 1968 yang bersifat desentralistik, namun karena kondisi politik ketiga Undang-Undang tersebut dapat dikatakan belum pernah dilaksanakan dengan baik. Pada masa Orde Baru walaupun kondisi politik sangat stabil, namun penyelenggaraan pemerintahan daerah bersifat sentralistik melalui UU Nomor 5 Tahun 1974. Sentralisasi, terutama di masa Orde Baru, mengakibatkan munculnya kesenjangan antara pusat dan daerah. Daerah kehilangan identitas dan tidak dapat berinisiatif untuk menyelenggarakan pembangunan sesuai dengan kondisi dan kekayaan yang dimiliki. Kemajuan perekonomian nasional berbanding 4
Untuk pembahasan mengenai Pemerintahan Daerah di BPUPKI dapat dilihat pada buku R.M.A.B. Kusumah, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak. Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 339.
2
terbalik dengan kemajuan dan kesejahteraan di daerah. Hal ini adalah buah dari ketidakadilan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional. Sentralisasi disadari sebagai salah satu kelemahan masa lalu. Oleh karena itu di awal masa reformasi dibentuk Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketetapan MPR ini mengakui bahwa pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang harus dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah pada masa Orde Baru belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan.5 TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 mengamanatkan penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.6 Ketetapan MPR ini ditindaklanjuti dengan pembentukan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan sangat besar kepada daerah otonom, terutama daerah kabupaten dan kota yang dinyatakan sebagai tempat penyelenggaraan otonomi daerah secara utuh.7 Sesuai dengan format ketatanegaraan waktu itu, penyelenggaraan negara oleh semua lembaga negara dievaluasi oleh MPR setiap tahun. Untuk penyelenggaraan otonomi daerah, evaluasi dituangkan dalam TAP MPR Nomor IV Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Ketetapan MPR ini menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan sehingga banyak mengalami kegagalan dan tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kegagalan itu menimbulkan ketidakpuasan dan ketersinggungan rasa keadilan yang melahirkan antara lain tuntutan untuk memisahkan diri dan tuntutan keras agar otonomi daerah ditingkatkan pelaksanaannya.8 5 6 7 8
Lihat Konsideran TAP MPR Nomor XV/MPR/1998. Pasal 1 TAP MPR Nomor XV/MPR/1998. Lihat Penjelasan Umum UU Nomor 22 Tahun 1999. Lihat Konsideran Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000.
3
MPR berpendapat bahwa penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar, dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijaksanaan otonomi daerah yang sifatnya menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut: a. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreatifitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah. b. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar-pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan. c. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah. d. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah. TAP MPR Nomor IV Tahun 2000 juga memuat identifikasi permasalahanpermasalahan mendasar yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah antara lain adalah sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan otonomi daerah oleh Pemerintah Pusat selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat. 2. Kuatnya kebijakan sentraliasi membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintahan di daerah. 3. Adanya kesenjangan yang lebar antara daerah dan pusat dan antardaerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya budaya, infrastruktur ekonomi, dan tingkat kualitas sumber daya manusia. 4. Adanya kepentingan melekat pada berbagai pihak yang menghambat penyelenggaraan otonomi daerah. Berbeda dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 yang menempatkan pelaksanaan otonomi pada daerah kabupaten dan kota, Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 2000 mengamanatkan otonomi secara bertingkat antara daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Hal ini dapat dilihat dari rekomendasi ke-7 pada Tap MPR Nomor IV Tahun 2000 yang menyatakan 7. Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbagan Keuangan
4
antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap propinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga, dan sebagainya.
Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 2000 selanjutnya diikuti dengan pembentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undangundang ini walaupun tetap memberikan otonomi yang besar kepada daerah, namun tidak lagi menyatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah ada pada kabupaten dan kota. Sebaliknya, Undang-undang 32 Tahun 2004 menempatkan baik provinsi maupun kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Pengakuan terhadap pentingnya otonomi daerah juga dapat dilihat dari proses pembahasan perubahan UUD 1945 oleh MPR. Jika dilihat dari risalah sidang MPR, pendapat bahwa otonomi daerah yang seluas-luasnya harus dijalankan dalam negara kesatuan sangat dominan. Otonomi daerah melalui desentralisasi diyakini menjadi jalan untuk memberikan keadilan kepada daerah serta menjaga keragaman masyarakat Indonesia. Pada pembahasan materi perubahan Pasal 18 UUD 1945 memang sempat muncul pendapat untuk menggeser titik tekan otonomi daerah dari kabupaten dan kota, namun pendapat ini juga mendapat tentangan pada saat dilakukan dengar pendapat di daerah. Pada akhirnya diakui bahwa baik provinsi maupun kabupaten dan kota merupakan daerah otonom yang masing-masing memiliki kewenangan.9 SENTRALISASI DALAM UU NOMOR 23 TAHUN 2014 Proses resentralisasi yang telah ada dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ke Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ternyata berlanjut lebih kuat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Arah sentralisasi sudah dapat dilihat dari konsideran yang menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini menunjukkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 lahir karena pertimbangan belum efektif dan efisiennya penyelenggaraan pemerintahan daerah terutama dalam aspek hubungan
9
Lebih lanjut lihat Naskah Perubahan UUD 1945 terbitan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Buku IV.
5
pemerintah pusat dan daerah serta kesatuan system penyelenggaraan pemerintahan negara. Sentralisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dapat dilihat dari 6 (enam) hal, yaitu (1) Penegasan Kekuasaan Presiden, (2) prinsip pembagian urusan, (3) hubungan pemanfaatan sumber daya alam, (4) pengelolaan laut, (5) upaya hukum atas pembatalan Perda, dan (6) adanya lampiran Undang-undang yang mengatur pembagian urusan konkuren antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. 1. Penegasan Kekuasaan Presiden Walaupun di dalam pengertian umum pemerintahan daerah di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 masih memuat prinsip otonomi yang seluas-luasnya, namun hal itu tidak disinggung lagi dalam pasal-pasal dan digantikan dengan ketentuan tentang Kekuasaan Pemerintahan yang menegaskan kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan (1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Kekuasaan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diuraikan dalam berbagai Urusan Pemerintahan. (3) Dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden dibantu oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan tertentu. (4) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Penempatan ketentuan tersebut di dalam UU Pemerintahan Daerah hendak menegaskan bahwa otonomi daerah yang dibentuk melalui desentralisasi adalah pemberian dari pemerintah pusat. Konsekuensinya, seberapa besar urusan yang diberikan melalui desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan bergantung kepada pemerintah pusat. Hal ini sangat berbeda dengan Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya. Artinya, pemerintahan daerah memiliki kewenangan atas semua urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. 2. Prinsip Pembagian Urusan Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, pembagian urusan dikenal dengan istilah teori residu. Hal itu diatur dalam Pasal 10 sebagai berikut. (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi
6
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.
Jika membaca ketentuan Pasal 10 tersebut, daerah memiliki kewenangan menyelenggarakan semua urusan selain 5 (lima) urusan yang menjadi kewenangan pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pembagian kewenangan sebagaimana dianut dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tersebut tidak lagi dianut di dalam UU Nomor 23 Tahun 2014. Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 2014 menyatakan (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. (3) Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. (5) Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Berdasarkan ketentuan tersebut daerah tidak lagi begitu saja memiliki kewenangan menyelenggaraan urusan di luar urusan pemerintahan absolut yang diartikan sebagai urusan yang hanya menjadi urusan pemerintahan pusat, bukan sebagai pembatas di luar urusan tersebut adalah urusan pemerintahan daerah. Pemerintah daerah tidak begitu saja berarti berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren karena urusan pemerintahan ini lebih lanjut akan dibagi oleh pemerintah pusat antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten dan kota, baik untuk urusan pemerintahan wajib maupun urusan pemerintahan pilihan. Selain itu Pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 2014 juga menegaskan wewenang pemerintah pusat atas urusan pemerintahan konkuren, yaitu: a. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan; dan
7
b. melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pembagian urusan pemerintahan konkuren yang jika didentralisasikan akan menjadi dasar otonomi daerah sepenuhnya bergantung pada pemerintah pusat. Pusat dapat mengambil sebenuhnya, mendesentralisasikan kepada provinsi, mendesentralisasikan kepada kabupaten/kota, atau menggunakan dekonsentrasi. Secara lebih jelas manifestasi pembagian urusan pemerintahan konkuren dapat dilihat pada lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014. 3. Hubungan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pasal 14 UU Nomor 23 Tahun 2014 menentukan lebih rinci mengenai pembagian urusan terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Alam. Namun, rincian tersebut menegaskan tidak dianutnya lagi prinsip keadilan dan keselarasan yang semula menjadi prinsip dalam UU Nomor 32 Tahun 2004. Bahkan ditegaskan bahwa urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, energy, dan sumber daya mineral dibagi antara Pusat dan Daerah. Tidak disebutkan ada pembagian urusan dengan kabupaten/kota. Bahkan juga ditegaskan bahwa urusan pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan minyak dan gas bumi hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Daerah kabupaten/kota hanya memiliki wewenang pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota. Di bidang energy, daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan pengelolaan pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota setempat. Berikut ini ketentuan Pasal 14 UU Nomor 23 Tahun 2014. (1) Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi. (2) Urusan Pemerintahan bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota. (3) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. (4) Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pemanfaatan langsung panas bumi dalam Daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota.
4. Pengelolaan Laut Ketentuan pengelolaan laut diatur di dalam Pasal 27 UU Nomor 23 Tahun 2014. Pengelolaan sumber daya di laut sepenuhnya menjadi kewenangan daerah Provinsi. Hal ini tentu saja menggeser kewenangan serupa yang ditentukan oleh
8
UU Nomor 32 Tahun 2004 yang membagi antara daerah provinsi dengan daerah kabupaten/kota. Kewenangan pengelolaan sumber daya di laut yang dimiliki oleh provinsi meliputi a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c. pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut; dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara. 5. Upaya Hukum Pembatalan Perda Peraturan Daerah adalah produk hukum daerah yang diperlukan untuk menjalankan otonomi daerah. Peraturan Daerah merupakan wujud nyata dari prinsip demokrasi di tingkat daerah. Di dalam Peraturan Daerah sesungguhnya terwadahi inisiatif dan kewenangan menyelenggarakan urusan daerah itu sendiri. Dalam kerangka negara kesatuan, tentu saja Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga ada mekanisme pengawasan oleh pemerintah pusat. Namun dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 masih dibuka jalan hukum bagi daerah yang keberatan terhadap pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah pusat, yaitu melalui MA. Hal ini juga merupakan pengakuan terhadap daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berbeda dengan pemerintah pusat. UU Nomor 23 Tahun 2014 memperkuat aspek pengawasan Peraturan Daerah dengan menempatkan daerah yang membentuknya sebagai satu kesatuan dengan pemerintah pusat. Konsekuensinya, keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah pusat hanya dapat diajukan keberatan secara internal kepada pemerintah pusat, tidak dengan mengajukan upaya hukum ke MA. Hal ini diatur di dalam Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8) UU Nomor 23 Tahun 2014. 6. Lampiran Pembagian Urusan Konkuren UU Nomor 23 Tahun 2014 dilengkapi dengan lampiran daftar pembagian kewenangan urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Hal ini menegaskan bahwa teori reside tidak dianut lagi. Selain 5 (lima) urusan absolut yang menjadi wewenang pemerintah pusat tidak berarti menjadi wewenang daerah. Jika melihat keseluruhan pembagian wewenang dalam lampiran ini, paling banyak kewenangan dimiliki oleh pemerintah pusat dan daerah provinsi. Bahkan
9
ada beberapa urusan di mana daerah kabupaten/kota tidak memeliki kewenangan sama sekali. Urusan Kelautan, Pesisir dan Pulau Terpencil, daerah kabupaten/kota tidak memiliki wewenang. Kabupaten/kota hanya memiliki urusan bidang perikanan tangkap untuk pemberdayaan nelayan dan pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Di bidang kehutanan, daerah kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan terkait dengan perencanaan dan pengelolaan. Kabupaten/kota hanya berwenang mengelola Taman Hutan Rakyat (TAHURA). Urusan bidang Sumber Daya Mineral yang meliputi sumber daya geologi, mineral, batu bara, minyak, dan gas bumi dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi tanpa memberikan kewenangan kepada daerah kabupaten/kota. Demikian pula halnya dengan ketenagalistrikan. Daerah kabupaten/kota hanya diberi wewenang penerbitan ijin pemanfaatan langsung panas bumi dalam daerah kabupaten/kota.
10