SENI UKIR MACAN KURUNG DI DUKUH BELAKANG GUNUNG, DESA MULYOHARJO KABUPATEN JEPARA Slamet Supriyadi, dkk. * Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui (a) makna seni kerajinan tradisi ukir macan kurung bagi masyarakat pengrajin di desa Mulyoharjo, (b) pola-pola perilaku berkesenian yang dilakukan oleh pengrajin tradisi ukir, macan kurung di desa Mulyoharjo, (c) bentuk hasil karya seni tradisi macan kurung ditinjau dari aspek ukuran, motif ragam hias dan finishing. Makna kerajinan seni ukir macan kurung merupakan warisan leluhur penduduk setempat dengan unsur filosofis bahwa manusia yang angkara murka, serakah, gila kekuasaan bisa dikendalikan dan dibatasi dengan perisai kebajikan melalui dasar moralitas yang baik. Dalam berkarya seni, pengrajin macan kurung memulai dengan pemilihan bahan alat kenudian proses pembuatan ukir melalui sejumlah tahapan, dari mendesain hingga finishing. Bentuk karya macan kurung berukuran sekitar tinggi 70 cm dan lebar 30 cm atau sesuai pesanan. Motif utama ialah seekor macan yang berada di dalam kerangkeng, di atas kerangkeng terdapat seekor burung rajawali mencengkeram seekor ular. Finishing bentuk menggunakan politur.
Pendahuluan Seni kerajinan ukir pada dasarnya adalah jenis kerajinan tangan, mempunyai sifat menghias benda-benda fungsional. Seni ukir banyak digemari oleh masyarakat dalam kaitannya dengan benda hias murni, terlebih benda hias fungsional. Jepara adalah satu daerah yang sangat terkenal hasil kerajinan ukir kayunya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Di Dukuh Belakang Gunung, Desa Mulyoharjo, Jepara, terdapat karya seni ukir yang mempunyai ciri khas dan merupakan model satusatunya ukir kayu yang ada di Indonesia. Dari observasi awal ditengarai bahwa seni ukir yang ada di desa tersebut adalah karya seni ukir yang memiliki keunikan dan kualitas teknik ukir yang sangat tinggi. Karya ukir tersebut terkenal dengan nama "Seni Ukir Macan Kurung”. Seni ukir macan kurung merupakan jenis karya seni yang terbuat dari kayu glondong (utuh) dengan bentuk visualnya berwujud patung macan (harimau) yang dirantai, kemudian di luar jeruji terdapat hiasan motif batu karang dan naga. Karya ukir macan kurung dipandang sebagai cikal bakal seni ukir Jepara. Dari penjelasan seorang tokoh seni ukir Jepara, terungkap bahwa seni ukir di Desa Mulyoharjo merupakan awal dari terbuatnya karya ukir kayu. Hal tersebut sesuai dengan yang 1
2 diceritakan R.A. Kartini dalam suratnya kepada Ny. Abendanon, bahwa di Desa Mulyoharjo banyak orang yang pandai mengukir, di antaranya adalah Singowirjo (Pemda Jepara 1979:51). Seni ukir macan kurung merupakan keahlian yang hanya dimiliki oleh keluarga Singowirjo, dan sekarang tinggal Bapak Sunardi yang meneruskan seni ukir macan kurung itu. Yang bisa mengerjakan seni ukir macan kurung hanya Bapak Sunardi, sedang generasi muda sekitar desa tersebut tidak ada yang mampu dan mau mengembangkan karya macan kurung karena teknik pembuatannya dinilai sangat sulit dan penuh misteri. Dengan demikian jika tidak ada penanganan lebih lanjut karya ukir yang unik dan hanya satu-satunya di Jepara khususnya dan Indonesia umumnya dimungkinkan akan punah jika generasi Singowirjo sudah tidak ada lagi. Di lain pihak, pewarisan atau pengalihan keahlian keluarga Singowirjo kepada masyarakat di sekitarnya juga masih dirahasiakan. Mengingat karya ukir macan kurung merupakan satu-satunya seni ukir yang ada di Jepara, maka perlu diupayakan penanganannya karena macan kurung dimungkinkan bisa menjadi cindera mata “khas” ukir Jepara sekaligus dapat mengangkat nama kota Jepara. Penanganan yang serius perlu dilakukan agar karya seni ukir yang unik dan bermutu tinggi dapat dilestarikan dan tidak punah. Dengan demikian penelitian ini sangat urgen dan menarik untuk dilaksanakan agar aset seni budaya yang hampir punah ini dapat dihidupkan kembali atau direvitalisi. Masalah yang dikaji dalam pemelitian ini ialah (1) apa makna seni kerajinan tradisi ukir macan kurung bagi masyarakat pengrajin di desa Mulyoharjo yang hingga sekarang masih merupakan bagian dari kehidupan sehari-harinya, (2) bagaimana pola-pola perilaku berkesenian yang dilakukan oleh para pengrajin tradisi ukir macan kurung di desa Mulyoharjo, dan (3) bagaimana bentuk hasil karya seni tradisi ukir macan kurung ditinjau dari beberapa aspek, sebagai produk kesenian /budaya. Metode Penelitian Lokasi penelitian yang dijadikan fokus kajian adalah dukuh Belakang Gunung, Desa Mulyoharjo, Jepara. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan antropologis yang menekankan aspek kebudayaan, baik secara struktur maupun kejiwaan sebagai basis dalam memahami persoalan yang dikaji secara holistik. Seni kerajinan ukir
3 tradisi di sini dilihat sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dengan aspek pengrajin sebagai pelaku kesenian, dan latar belakang budaya setempat sebagai sistem nilai yang dipedomani, sehingga untuk menjelaskan berbagai fenomena yang ada, dilakukan dengan mendalam secara deskriptif kualitatif. Data informasi yang digunakan sebagai sumber materi penjelasan berupa perilaku dan gagasan dari informan, lokasi serta peristiwa maupun isi dari dokumen (periksa Bogdan dan Taylor dalam Subiyantoro 1998). Sumber data yang digali meliputi informan, tempat, dan peristiwa serta sumber dokumentasi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui (1) pengamatan terlibat dan (2) wawancara mendalam. Pengamatan terlibat dilakukan pada tempat-tempat pengrajin ukir macan kurung dijadikan basis kajian. Perilaku dan ekspresi para pengrajin serta kondisi tempat kerajinan, peristiwa/konteks merupakan fokus pengamatan. Untuk mempertajam peristiwa-peristiwa yang terkait dengan masalah penelitian, diatasi dengan cara memprotret, sehingga hasil foto dapat dianalisis untuk mengembangkan keterbatasan indera saat itu. Wawancara mendalam (in-depth interviewing), dilakukan kepada informan dengan mekanisme secara informal, dengan pertanyaan yang tidak terstruktur, namun tetap mengarah pada fokus masalahnya (Spradley 1979). Informan yang diwawancarai meliputi pengrajin ukir macan kurung, aparat desa (lurah), tokoh masyarakat Proses pengambilan data melalui teknik wawancara dibantu dengan alat rekam, supaya informasi yang dihimpun sedapat mungkin lengkap. Permasalahan yang dicari jawabnya dengan teknik wawancara mendalam ini adalah bagaimana konsep pembuatan kerajinan seni ukir macan kurung dan bagaimana perilaku kesenian yang dilakukan para pengrajin ukir tradisi, serta fungsi berbagai bentuk ukir macan kurung yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan antropologis yakni dengan mengupas persoalan penelitian dengan kebudayaan sebagai subjek analisis secara holistik. Model analisisnya menggunakan model analisis interaktif atau interactive model of analysis (Tjetjep Rohendi Rohidi 1992). Dalam analisis isi, data yang akan dianalisis adalah data dokumentasi seperti beberapa hasil, bahan dan alat kerajinan ukir macan kurung, foto-foto, brosur, katalog pameran. Hasil analisis data ini selain untuk mengecek data yang diperoleh dari sumber yang lain (seperti sumber informan, tempat dan peristiwa), dimaksudkan juga
4 untuk melengkapi kekurangan data. Validitas data dilakukan re check data serta triangulasi sumber (Nasution 1988).
Desa Mulyoharjo dan Legenda Dukuh Belakang Gunung Desa Mulyoharjo terletak di sebelah utara pusat kota Jepara ± 4 km ke arah utara. Penduduknya kebanyakan bermata pencaharian nelayan, petani dan sebagian sebagai pengrajin. Desa Mulyoharjo khususnya dukuh Belakang Gunung masyarakatnya sebagian besar sebagai pengrajin ukir kayu, mereka dari segi pendidikan rata-rata lulusan SD-SMA dan penghasilan rata-rata penduduk
± Rp. 400.000,- per bulan. Khusus
pengrajin macan kurung terdiri dari satu keluarga yang masih menekuni kerajinan yang khas di Jepara itu. Terkait dengan kerajinan ukir dukuh Belakang Gugung, terdapat legenda dengan kisah sebagai berikut. Konon pernah ada seorang Patih Majapahit bernama Sungging Purbangkara.. Raja yang berkuasa ketika itu adalah Brawijaya. Patih ini seorang keturunan Cina. Ia sangat ahli dalam bidang seni, terutama seni melukis dan seni ukir. Dengan kemahirannya itulah, sang raja memerintahkan agar patih membuatkan lukisan permaisurinya. Hati patih sangat senang, karena mendapat kepercayaan dari raja. Maka kemudian dibuatlah dengan hasil lukisan yang mirip seperti permaisuri raja. Sebelum secara tuntas selesai, tiba-tiba kuas yang masih bertinta, yang digunakan untuk melukis itu jatuh tepat pada lukisan permaisuri dekat bagian alat kemaluannya. Tetesan tinta hitam ini oleh patih sengaja tidak dihapus. Setelah menghadap raja, sang patih sangat dipuji-puji, karena apa yang diinginkan rajanya terpenuhi. Lukisan yang dipersembahkan mencerminkan wajah permaisuri yang benar-benar cantik tanpa tercela sedikitpun. Namun setelah melihat secara cermat ke arah lukisan, di mana terdapat tahi lalat di dekat kemaluan, raja menjadi berang dan marah. Sang patih dicurigai pernah menggauli sang permaisuri. Hal ini didasarkan bahwa sang permaisuri raja tersebut mempunyai tahi lalat, persis sebagaimana yang dilukiskan di tempat kemaluannya. Untuk menghukum sang patih, maka kemudian ia dinaikkan di atas layang-layang. Pada waktu layang-layang telah membumbung tinggi, tali layang-layang diputus oleh sang
5 raja. Dengan keadaan tidak menentu itu kemudian salah satu pahat kesayangan Sungging Purbangkara jatuh di dukuh Belakang Gunung, Desa Mulyoharjo (wawancara dengan Bapak Sunardi 2003; baca Subiyantoro 1998; bandingkan Gustami 2000). Bertolak dari legenda ini, para warga meyakini asal mula seni ukir yang mula-mula disebarkan oleh orang Belakang Gunung, yang kejatuhan pahat dari patih Purbangkara. Sampai sekarang pewarisan cerita legenda seni ukir dari generasi ke generasi tidak pernah putus dan diyakini generasi saat ini di dukuh Belakang Gunung Kabupaten Jepara. Makna Kerajinan Seni Ukir Macan Kurung Bagi Pengrajin Kerajinan biasa diartikan sebagai usaha yang bersifat menghasilkan barangbarang dan alat kebutuhan keluarga sehari-hari, merupakan pekerjaan rutin di luar bidang pertanian. Kerajinan dalam arti lain adalah hasil dari keterampilan yang berwujud bendabenda kebutuhan rumah tangga yang pengerjaannya memerlukan kecermatan mata dan kemahiran tangan. Berdasarkan fungsi dan tujuannya, antara pekerjaan seni dan kerajinan dapat dibedakan dari pengerjaan dan kualitas hasilnya, sehingga kadar nilainya pun berlainan pula. Bertalian dengan kerajinan, The Liang Gie (1976) membedakan art dan craft yakni bahwa seni bersifat perlambang dan menciptakan realita baru, sedang kerajinan merupakan pekerjaan rutin yang disesuaikan dengan kegunaan praktis (periksa pula Soeroto 1983). Dalam membuat benda-benda kerajinan, dibutuhkan bekal keterampilan dan kemahiran tangan seorang pengrajin, dan hal ini merupakan faktor utama yang menentukan hasilnya. Tentang keterampilan tangan ini Kusnadi (1982/83:44) berpendapat bahwa: “Keterampilan ini didapat dari pengalaman dengan tekun bekerja saja, yang dapat meningkatkan cara atau teknik penggarapan serta memperdalam hasil kualitas kerja seseorang, yang akhirnya memiliki keahlian, bahkan kemahiran dalam suatu profesi tertentu” Pada mulanya membuat kerajinan merupakan upaya untuk menghasilkan bendabenda yang disesuaikan dengan kegunaan praktis, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam kehidupan rumah tangga. Proses berikutnya, kerajinan dikembangkan dengan sengaja dengan maksud selain berfungsi sebagai benda
6 kebutuhan sehari-hari juga dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi. Menurut Soeroto (1983:21), pengembangan itu terjadi bukan hasil dorongan kepentingan ekonomis, melainkan dorongan kepentingan sosio kultural berupa keinginan golongan masyarakat atas untuk memiliki barang-barang yang mengandung nilai seni atau keindahan. Seni kerajinan ukir macam kurung merupakan warisan leluhur penduduk setempat. Memiliki makna yang beragam berdasarkan pengalaman dan pandangan mereka. Pengakuan tentang makna tersebut tidak terlepas dari kondisi lingkungan sosial budaya dan juga faktor ekonomi mereka. Pewarisan keterampilan mengukir dalam hal ini melalui proses sosialisasi dan interaksi antara satu generasi dengan generasi pendahulunya. Pola pikir dalam menerima pengetahuan dari pendahulunya sering bersifat statis tanpa berani mengubah tradisi yang sudah berlaku. Kerajinan ukir macam kurung dimaknai oleh pengrajin sebagai warisan leluhur yang dipercayai sebagai cikal bakal dari munculnya kerajinan ukir di Belakang Gunung khususnya dan kerajinan ukir di Jepara pada umumnya. Makna Kepercayaan Pengrajin seni ukir macan kurung di dukuh Belakang Gunung meyakini betul tentang legenda Ki Purbangkara atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ki Sungging Adi Luwih. Konon Sungging Adi Luwih ini adalah seorang patih Kerajaan Majapahit. Patih ini seorang keturunan bangsa Cina. Dia sangat ahli dalam bidang seni khususnya seni lukis dan seni ukir. Karena kepiawaiannya melukis maka selain sebagai aparat pemerintahan beliau juga banyak mengembangkan bakat melukis dan mengukirnya, sehingga di kalangan istana Patih Purbangkara sangat dikenal keahlian melukisnya. Makna Mata Pencaharian Pengrajin ukir macan kurung merupakan pengrajin yang mengembangkan ukir macan kurung yang tidak setiap pengrajin ukir mampu dan mau mengerjakan kerajinan tersebut. Pada masa RA Kartini, beliau bercita-cita ingin mengembangkan kemampuan dan potensi para tukang ukir yang ada di Jepara. Pada waktu RA Kartini memanggil tukang ukir Singowirjo yang berasal dari dukuh Belakang Gunung Desa Mulyoharjo, RA Kartini memberi pesanan berupa kotak tempat
7 perhiasan dengan motif yang diciptakan RA Kartini dari hasil sulaman, yang kemudian dipandang sebagai asal mula motif Jepara (berdasarkan wawancara dengan informan Dosen Akademi Perkayuan dan guru SMIK Negeri Jepara). Mula-mula Singowirjo mengerjakan kerajinan berukuran kecil-kecil misalnya kotak perhiasan, pigura kaca, asbak dan sebagainya. Kerajinan itu dipasarkan oleh RA Kartini pada teman-temannya kaum bangsawan dan teman-teman dari Belanda dengan memberi promosi bahwa di Jepara ada tukang ukir yang pandai mengerjakan macam-macam kerajinan ukir. Dari Singowirjo itulah mulai diturunkan keterampilan mengukir kepada anak-anaknya. Makna Kebudayaan Dari wawancara dengan beberapa informan, diketahui bahwa pekerjaan membuat macan kurung kurang menjanjikan dari segi materi karena selain pembuatannya rumit, waktu mengerjakan lama tetapi harga jualnya tidak sesuai dengan jerih payah mereka. Paling hanya kembali modal saja, tetapi anehnya mereka masih saja menggeluti pekerjaan itu. Sampai saat ini, dilihat dari perkembangan materi, pengrajin macan kurung masih sama seperti dulu dengan kehidupan sehari-hari yang sederhana, namun semangat untuk tetap mempertahankan ciri khas desanya masih menyala. Pola Perilaku Pengrajin dalam Berkarya Seni Ukir Kebiasaan membuat kerajinan ukir macan kurung para pengrajin Belakang Gunung mencakup aktivitas proses bertindak dalam membuat ukir yang melibatkan unsur bahan dan alat untuk sarana teknologinya serta proses cipta menuju hasil yang kesemuanya melibatkan kemampuan pengrajinnya. Pola perilaku seni pengrajin meliputi kemampuan dalam pemilihan bahan, penggunaan alat, teknik mengukir dan proses mengerjakannya, serta finishing karya. Pemilihan Bahan Bahan ukir macan kurung terdiri dari kayu mahoni, kayu jati, kayu trembesi. Setiap bahan mempunyai karakter masing-masing. Ukuran medelin (garis tengah) kayu yang digunakan untuk kerajinan macan kurung antara ∅ 20 – 50 cm berasal dari kayu utuh (glondong).
8 Sebelum dikerjakan menjadi ukir macan kurung, bahan kayu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan di tempat yang agak panas, biasanya di samping rumah pengrajin dengan cara disandarkan di dekat dinding rumah. Setelah ± 4 hari kayu dihilangkan kulitnya, lantas dipetheli (dikampak) untuk memperoleh bentuk garis besar yaitu dengan membentuk lingkaran balok. Setelah itu kayu dibiarkan agak kering tempat pengrajin nanti membuat sketsa di atasnya. Alat yang digunakan pengrajin Alat merupakan media teknologi untuk mempermudah proses pembuatan ukir kayu. Dengan alat pekerjaan yang direncanakan bisa terwujud. Pengrajin macan kurung dalam proses pembuatan karya menggunakan alat kerja ukir yang hampir sama dengan alat ukir kayu pada umumnya. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan ukir macan kurung terdiri atas: (1) pethel (kampak kecil), digunakan untuk membuat bentuk global kayu yang masih utuh, (2) gergaji, digunakan pengrajin untuk memotong kayu sesuai dengan ukuran yang diinginkan, (3) jangka besi, untuk mengukur lebar lingkaran kayu sesuai dengan ukuran yang diinginkan, (4) pahat ukir kayu, yang terdiri dari pahat penguku, penyilat, kol, pengot dan pahat bengkok, (5) martil ukir (gandhen), (6) batu asah, untuk menajamkan pahat ukir, (7) sikat ukir, yang terbuat dari ijuk, berbentuk panjang dan pendek, digunakan untuk membersihkan kotoran-kotoran di sela-sela ukiran. Proses Pembuatan Ukir Macan Kurung Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, proses pembuatan ukiran oleh pengrajin, karya ukir macan kurung dikerjakan melalui tahapan (1) pemilihan bahan, (2) mendesain, (3) merancap, (4) ndhasari (membuat dasar/latar), (5) mbukaki (mengukir global), (6) ngelus (menghaluskan), (7) matut (menyempurnakan) dan (8) finishing. Tahap finishing merupakan tahap akhir proses pembuatan ukiran. Tahap ini mencakupi tahapan mengamplas ukiran dengan cermat dan hati-hati sebab jika tidak dimungkinkan lekukan-lekukan ukiran akan hilang tergores amplas. Proses mengamplas dilakukan bertahap dari amplas kasar bernomor 2 sampai yang halus yakni amplas Nomor 0,5. Setelah diamplas, kemudian disikat agar bersih dari debu bekas amplas. Kemudian dipoles dengan politur, dimulai dari yang encer agar pori-pori kayu tertutup dengan politur, baru tahap pelapisan berikutnya paling sedikit empat lapisan dalam proses mempolitur.
9
Simpulan Makna kerajinan seni ukir macan kurung bagi perajin adalah warisan leluhur penduduk setempat yakni ada unsur filosofi bahwa manusia yang angkara murka, serakah, gila kekuasaan dan sebagainya dengan dibatasi perisai kebajikan melalui dasar-dasar moralitas yang baik. Pola perilau perajin dalam berkarya meliputi kemampuan dalam berkarya yakni kemampuan dalam pemilihan bahan, penggunaan alat teknik mengukir dan proses mengerjakan, serta teknik finishing karya. Bentuk hasil karya seni ukir macan kurung berukuran tinggi 70 cm, lebar 30 cm, dengan ragam hiasnya seekor macan yang ada di dalam jeruji /kerangkeng kemudian di atas kerangkeng terdapat motif seekor burung rajawali sedang mencengkeram seekor ular. Finishing bentuk ukiran menggunakan politur.
Daftar Pustaka
Collingwood, RG. 1974. The Principles of Art. A. Galaxy Book: Oxford University Press. Gans, H J. 1974. Popular Culture and High Culture Analysis and Evaluation of Taste. New York: Basic Books, Inc. Publisher. Gustami, SP. 2000. Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara; Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Herkovits, M.J. 1964. Cultural Dynamics. New York: Alfred Knopf. Koentjaraningrat. 1983. “Metode Penggunaan Data Pengalaman Individu” dalam Metodemetode Penelitian Masyarakat (Koentjaraningrat, Ed.). Jakarta: PT. Gramedia. Kusnadi. 1983. “Peranan Seni Kerajinan Kuningan (Tradisional dan Baru) dalam Pembangunan” Analisis Kebudayaan, Depdikbud. Mattil, E.L. 1959. Meaning in Crafts. New Jersey Prentical Hall, Inc: Englewood Cliffs. Miles, MB & Huberman, AM. 1984. Qualitative Data Analysis: A Source of a New Methods. Beverly Hills: Sage Publication.
10 Murniatmo, G. 2000. Khasanah Budaya Lokal. Sebum Pengantar untuk Memahami Kebudayaan Daerah di Nusantara. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Ocvirk, O.G. et al. 1960). Art Fundamentals: Theory and Practice. I Owa: WM. C. Brown Company. Pemda Tingkat II Jepara. 1979. Seni Ukir Risalah dan Kumpulan Data tentang Perkembangan Jepara. Jepara: Pemda Kabupaten Daerah Tingkat II Jepara. Rappaport, R.A. 1999. Ritual and Religion in the making of Humanity. Cambridge University Press. Rohidi, T.R. 1992. Analisis Penelitian Kualitatif . Terjemahan. Jakarta: UI Pres Rohisi, T.R. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Bandung: Yayasan LSM Soeroto, S. 1983. “Sejarah Kerajinan di Indonesia” Prisma LP3ES, Agustus Stafford, W. and Frederick Clandelaria. 1966. The Voices of Prose. McGraw-Hill Book Company. Subiyantoro, S. 1997. Profil Industri Kerajinan Ukir Jepara. Surakarta: UNS. Hasil Penelitian Subiyantoro, S. 1998. Proses dan Pola Enkulturasi Seni Ukir di Dukuh Taraman, Desa Mantingan Kabupaten Jepara. Thesis S-2. Program Pascasarjana UI. Tidak dipublikasikan. Sumarjan, S. 1981. “Kesenian dan Perubahan Kebudayaan” Analisis Kebudayaan. Th I. No. 2 Supono. 1990. Kerajinan Patung Macan Kurung di Mulyoharjo Jepara. Skripsi. Fakultas Sastra UNS The Liang Gie. 1976. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya
*
Penulis adalah seorang magister pendidikan, Tenaga Pengajar Prodi Seni Rupa FKIP UNS Surakarta