SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI TERAPAN 2016 SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA
“Peran dan Tantangan Pendidikan Vokasi dalam Pengembangan SDM Terampil di Indonesia”
Yogyakarta, 19 November 2016
SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI TERAPAN (SNTT 2016)
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL TEKNOLOGI TERAPAN (SNTT 2016)
ISBN 978-602-1159-18-7
2016 oleh:
SekolahVokasi Universitas Gadjah Mada
Hak Publikasi dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian maupun seluruh isi prosiding ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis penerbit.
ii | Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
SUSUNAN PANITIA
PenanggungJawab Ir. Hotma Prawoto S., M. T. IP-MD (Direktur Sekolah Vokasi) Ma’un Budiyanto, S.T., M., T (Wakil Direktur Bidang Penenlitian, Pengabdian Masyarakat, dan Kerja) Wikan Sakarinto, S.T., M. Sc., Ph.D. (Wakil Direktur Bidang Akademik dan Kemahasiaan) Ir. Heru Budi Utomo, M.T. (Wakil Direktur Bidang SDM dan Keuangan) Tim Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah Vokasi UGM 2016 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Paramita Her Astuti, S.E., M.Sc. Rina Widiastuti, S.S., M.A. Nuryati, S.Far., M.P.H Edi Kurniadi, S.T., M.T Ir. F. Eko Wismo Winarto, M.Sc. Ph.D Galih Kusuma Aji, STP., M.Agr M. Iqbal Taftazani, S.T., M.Eng Budi Sumanto, S. Si., M. Eng Prima Asrama Sejati, S. T., M. Eng
KetuaPanitia Budi Sumanto, S. Si., M. Eng Tim Pelaksana Koordinator Panitia Sekertaris Bendahara DDD & Editing Perlengkapan Acara & Tim Kreatif
: Joni Iskandar : Imandini Anggimelya Putri : Shinta Dewi Novitasari : Rosmawarda Yunarya : Swatika Adjie Hogantara : Dwi Cahyo Ramadhan
Humas Akomodasi & Transport
: Lailatul Isnaeni : Raka Trialviano Bagus Eko Afrizal
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | iii
PERAN PEMERINTAH DAERAH KULON PROGO DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI PARIWISATA : PARIWISATA BERBASIS ALAM Anggi Rahajeng Prodi Ekonomika Terapan Departemen Ekonomika dan Bisnis SV UGM Email :
[email protected]
ABSTRAK Pembangunan pariwsata memerlukan peran pemerintah baik pusat maupun daerah. Peran pemerintah pusat maupun daerah dalam pembangunan ekonomi dapat dilihat pada aspek perencanaan, kebijakan, regulasi dan pembangunan fasilitas publik yang mendukung industri pariwisata. Kabupaten Kulon Progo memiliki beberapa destinasi wisata berbasis alam yang potensial untuk dibangun dan dikembangkan namun belum optimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam membangun ekonomi pariwisata agar optimal di daerahnya dengan memperhatikan isu lingkungan. Kajian ini menggunakan triangulasi baik data maupun metode yang digunakan. Pendekatan teoritis yang digunakan adalah ekonomi kelembagaan berdasarkan model Williamson. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat maupun daerah Kabupaten Kulon Progo di bidang pembangunan ekonomi pariwisata mencakup pembangunan pengembangan terhadap aspek destinasi wisata, pemasaran pariwisata, industri pariwisata dan kelembagaan cukup besar dan sinkron. Penetapan destinasi prioritas oleh pemerintah pusat 2017 diikuti dengan penetapan 5 zonasi destinasi/kawasan strategis pariwisata (KSPD) di Kulon Progo. Kebijakan di sektor pariwisata juga diikuti dengan kebijakan investasi terutama infrastruktur melalui perbaikan iklim investasi dan pembangunan mega proyek di Kulon Progo (Pemerintah pusat-propinsi) untuk memantik pembangunan ekonomi dan sektor pariwisata. Program kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah raga bidang pariwisata diharapkan dapat mempengaruhi perilaku/mindset pelaku wisata untuk lebih paham dan sadar wisata sebagai antisipasi adanya perubahan matapencaharian sebagian besar penduduk Kulon Progo (non sektor pariwisata berubah ke sektor pariwisata). Pemerintah perlu mengawasi dan mengendallikan pembangunan destinasi wisata agar lestari (sustainable) dengan memperhatikan isu kapasitas, daya dukung dan kelestarian lingkungan terutama untuk kawasan/destinasi wisata yang berbasis alam.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri pariwisata Indonesia tumbuh secara signifkan (Kementerian Pariwisata dan Bappenas, 2016). Berdasarkan data Kementerian Pariwisata, jumlah wisatawan mancanegara 9.7 juta pada tahun 2015 bahkan data per Desember 2015 tercatat wisatawan mancanegara mencapai 10 juta meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 9.4 juta. Sektor pariwisata mendatangkan devisa Rp 150 Triliun (kurs Rp 12,000) pada tahun 2015. Kontribusi pariwisata terhadap PDB nasional pada tahun 2014 sebesar 4.01% sehingga pariwisata menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sejalan dengan kondisi pariwisata secara nasional, di tingkat daerah sektor pariwisata di Provinsi D.I Yogyakarta memberikan kontribusi yang relatif signifikan bagi perekonomian Yogyakarta. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY dari tahun 2010-2014 mengalami peningkatan. jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY mengalami peningkatan sebesar 12% pada tahun 2013. Pada tahun 2013 sebanyak 2.837.962 wisatawan yang terdiri dari wisatawan nusantara 2.602.074 orang dan wisatawan mancanegara 235.888 orang. Jumlah
wisatawan mancanegara meningkat menjadi 300,000 orang pada tahun 2015. Sektor pariwisata memiliki kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian Yogyakarta yang dapat dilihat dari kontribusi sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) terhadap PDRB DIY. Pada tahun 2013 kontribusi sektor PHR mengalami pertumbuhan sebesar 6.20% dalam PDRB DIY dan menempati peringkat teratas dalam pembentukan struktur PDRB DIY tahun 2013. Pertumbuhan di sektor PHR diantaranya didorong oleh peningkatan kunjungan wisatawan dan banyaknya kegiatan di DIY sepanjang tahun 2013.Otonomi daerah di Indonesia lebih fokus pada Kabupaten/Kota dibandingkan Provinsi. Berdasarkan data PAD Sub Sektor Pariwisata Kabupaten/Kota di DIY, Kabupaten Kulon Progo paling rendah dan relatif stagnan. PAD Sub Sektor Pariwisata Kabupaten Kulon Progo hanya berkisar Rp 2 Miliar saja selama 3 tahun terakhir (20122014). Kontribusi Kulon Progo terhadap total PAD Sub Sektor Pariwisata Kabupaten/Kota se-DIY sangat kecil dibandingkan daerah lainnya (sekitar 1%) tahun 20122014. Angka ini relatif timpang dibandingkan kontribusi Kabupaten Gunung Kidul (7% pada tahun 2014) dan Kabupaten Bantul (6% pada tahun 2014). Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Kulon Progo masih sangat relatif sedikit dibandingkan dengan daerah lainnya di DIY.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1511
Beberapa tahun ini Kabupaten Kulon Progo juga menjadi daerah yang kondisi perekonomiannya relatif tertinggal dibandingkan dengan daerah lainnya di DIY. Padahal Kabupaten Kulon Progo memiliki beberapa destinasi wisata berbasis alam yang potensial untuk dikembangkan menjadi potensi unggulan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Pariwisata dapat menjadi salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah daerah dan memiliki multilplier effect yang dapat mendatangkan manfaat bagi pembangunan ekonomi lokal (Javier dan Elazigue, 2011). Oleh karena itu untuk mengembangkan ekonomi pariwisata di Kabupaten Kulon Progo secara optimal khususnya pariwisata berbasis alam yang berkelanjutan diperlukan peran pemerintah. Peran pemerintah dalam pembangunan ekonomi pariwisata dapat diwujudkan dalam bentuk perencanaan, kebijakan, regulasi dan pembangunan fasilitas publik yang mendukung industri pariwisata. Kabupaten Kulon Progo sebagai salah satu daerah di Indonesia tentu saja segala perencanaan, kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo tidak lepas dari pemerintah Indonesia (pemerintah pusat). Permasalahan kajian ini adalah perencanaan, kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah terkadang muncul setelah terjadinya penurunan jumlah wisatawan maupun pendapatan daerah yang berasal dari sektor pariwisata. Namun ketika jumlah wisatawan meningkat muncul isu keterkaitan dampak ekonomi-sosial dan lingkungan dan isu koordinasi perencanaan-strategi di tiap level pemerintahan (pemerintah pusatprovinsikabupaten/kota). Pemerintah daerah seringkali dikritik karena relatif kurang tanggap terhadap isu pembangunan ekonomi pariwisata yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman pemerintah daerah tentang industri pariwisata beserta kebutuhannya dan peran pemerintah yang besar dalam menyediakan kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi pariwisata yang berkelanjutan terutama bagi pariwisata yang berbasis alam. B. Rumusan Masalah Jumlah kunjungan wisatawan dan pendapatan daerah yang berasal dari sektor pariwisata Kabupaten Kulon Progo relatif paling rendang dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya di Yogyakarta C. Tujuan Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di bidang pembangunan ekonomi pariwisata. 2. Mengidentifikasi konsistensi antar dokumen perencanaan pemerintah provinsi DIY dan Kabupaten Kulon Progo di bidang pembangunan ekonomi pariwisata. 3. Mendeskripsikan keterlibatan pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam pengelolaan dan pembangunan ekonomi pariwisata Kulon Progo. Temuan dalam kajian ini adalah assessment terhadap pelaksanaan dan review opsi ke depan untuk perencanaan dan pengelolaan ekonomi pariwisata yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan di Kulon Progo. D. Tinjauan Pustaka
Pengalaman negara United Kingdom (UK) mencatat bahwa pariwisata memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian negara dari segi skala, penciptaan lapangan pekerjaan, investasi dan sebagainya (UK Government, 2011). Pemerintah UK memprediksi selain sektor jasa keuangan dan bisnis serta konstruksi, sektor pariwisata akan menjadi sektor utama yang tumbuh pesat hingga tahun 2020 . Sumber data yang kredibel untuk menjelaskan data permintaan dan penawaran industri pariwisata baik di tingkat nasional maupun regional adalah Tourism Satellite Account (TSA) atau Neraca Satelit Pariwsata Nasional (Nesparnas). Data Nesparnas 2010-2014 menurut Kementerian Pariwisata 2014, rata-rata dampak kepariwisataan terhadap PDB Nasional tahun 2011– 2014 sebesar 3,99%. Sektor pariwisata memiliki dampak terhadap ekonomi makro Indonesia secara siginifikan, jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja, sektor pariwisata telah menyerap tenaga kerja sebesar 9% (10.32 juta orang) terhadap total kesempatan kerja yang ada tahun 2014. Selain dampak terhadap ekonomi makro baik nasional maupun daerah, pariwisata juga memiliki dampak terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal/komunitas lokal. Kegiatan pariwisata atau industri pariwisata tidak hanya berpengaruh positif terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat/komunitas lokal tetapi juga membawa pengaruh negatif (Buzinde, Kalavar dan Melubo, 2014). Contoh pengaruh positif antara lain peningkatan pendapatan keluarga, status ekonomi yang meningkat, kebahagiaan karena membaiknya perekonomian keluarga, sedangkan pengaruh negatif dari industri pariwisata antara lain lunturnya nilai-nilai dan kegiatan tradisi, adat, dan norma masyarakat/komunitas lokal. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi pariwisata. Pendekatan kebijakan yang dilakukan UNWTO untuk sektor pembangunan pariwisata adalah top-down artinya pengambilan kebijakan oleh pemerintah pusat maupun daerah, meskipun demikian pendekatan bottom-up juga diperlukan untuk mengakomodasi keterlibatan dan partisipasi masyarakat/komunitas lokal (Boukas dan Ziakas, 2015). Hal ini dilakukan untuk memastikan alokasi penggunaan sumber daya dapat dilakukan dengan optimal misalnya kelestarian heritage dan budaya (Kelly dan Becker, 2000) dan kemudian memasukkannya ke dalam perencanaan nasional maupun daerah (Sofield, 2003). Peran pemerintah juga diperlukan dalam mempromosikan investasi di sektor pariwisata seperti yang dilakukan oleh negara-negara di Mediterania. Kajian dilakukan salah satunya di negara Kroasia menunjukkan bahwa peran aktif pemerintah sangat penting dalam menarik dan mengendalikan permintaan investasi di sektor pariwisata. Sektor swasta sangat tertarik untuk melakukan investasi di sektor pariwisata karena trend pariwisata yang terus meningkat akan sangat menguntungkan secara bisnis namun sektor swasta relatif seringkali mengabaikan dampak sosial dan lingkungan (Kunst, 2011). Petrevska (2012) menyatakan pentingnya peran pemerintah dalam pembangunan pariwisata seperti proses privatisasi,
1512 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
membuat peraturan perundang-undangan, promosi pariwisata dan kebijakan fiskal dalam bentuk insentif. Peran pemerintah menjadi syarat tercapainya proses perencanaan yang mapan dan berkelanjutan. Kebijakan pariwisata dilakukan untuk memastikan pelayanan yang diberikan kepada pengunjung optimal dengan cara memaksimalkan keuntungan yang diterima oleh stakeholder dan meminimalkan dampak negatif, biaya dan akibat yang ditimbulkan destinasi yang sukses berkembang (Goeldner dan Ritchie, 2006). Dokumen perencanaan dan strategi untuk pembangunan ekonomi menjadi salah satu cara atau mekanisme yang penting untuk menilai prioritas pembangunan termasuk pembangunan pariwisata (Hall, 2005). Terkait perencanaan, kebijakan, peraturan dan penegakan merupakan salah satu elemen dalam teori ekonomi kelembagaan menurut Williamson (2000). Berdasarkan teori ekonomi kelembagaan, kelembagaan didefinisikan sebagai aturan informal dan formal yang mempengaruhi tata kelola ((governance) dan membentuk struktur insentif (North, 2000, Williamson, 2000 dalam Jaya, 2010). McLennan.,et.al (2014) menemukan bahwa industri pariwisata yang maju menjadi lebih cerdas, adaptive dan mengalami transformasi. Kajian ini menggunakan teori ekonomi pariwisata dan ekonomi kelembangaan untuk menjelaskan keterkaitan antara pariwisata-ekonomi dan peran pemerintah. Pariwisata menurut John Urry (1990). Gilbert (1990) mendefinisikan pariwisata sebagai salah satu bagian dari rekreasi yang melibatkan perjalanan ke suatu destinasi atau komunitas dalam jangka pendek yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan konsumen terhadap satu dan atau kombinasi kegiatan. Perjalanan yang dimaksud adalah perjalanan diluar normal places yang biasanya dikunjungi. Wisatawan adalah Pengunjung sementara yang paling sedikit tinggal selama 24 jam di negara yang dikunjunginya sedangkan pelancong/pengunjung adalah pengunjung sementara yang tinggal kurang dari 24 jam di negara yang dikunjungi.Seperti halnya Gilbert (1990), Vanhoe (2005) juga memberikan karakteristik pariwisata yang sama hanya Vanhoe menggunakan istilah inbound dan outbound tourism, internal dan international tourism. Berdasarkan tipe dan kategori pariwisatamaka aspek ekonomi muncul akibat dari konsumsi, pengeluaran yang dikeluarkan pengunjung dalam melakukan kegiatan wisata. Pariwisata merupakan sektor yang mempunyai kontribusi ekonomi yang cukup penting bagi pembangunan. Selain itu, pariwisata juga mempunyai dampak spasial yang positif dalam menciptakan daya dukung bagi daerah sekitarnya dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi (Bahar & Tambaru, 2012). Oleh karena itu, teori ekonomi digunakan untuk mendeskripsikan dan memberikan pendekatan baru dalam bidang pariwiwisata dan dengan menunjukkan potensi ekonomi yang dimiliki dapat menjelaskan dan memprediksi fenomena pariwisata yang terjadi. Metododologi dan analisis ekonomi digunakan untuk memberikan kontribusi materi baru tentang aktivitas utama dan bagaimana pariwisata dapat meningkatkan kepentingan ekonomi/kesejahteraan (Sinclair&Stabler, 1997). Pariwisata menjadi penting
bagi perekonomian negara/daerah karena skalanya yang besar, menciptakan lapangan pekerjaan, salah satu sumber yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara/daerah melalui pendapatan yang diperoleh dan pengeluaran yang dikeluarkan oleh turis, meningkatkan persaingan usaha, bahkan mendatangkan investasi dan peluang usaha ekonomi lainnya (UK Government, 2011). Demikian pentingnya pariwisata maka perlu peran pemerintah sebagai regulator agar pembangunan pariwisata optimal, mendatangkan manfaat ekonomi yang optimal bagi masyarakat dan memastikan kegiatan pariwisata dapat berkelanjutan dengan memperhatikan isu kelestarian lingkungan. Peran pemerintah dilihat dari teori kelembagaan dapat dijelaskan melalui model Williamson. Williamson (2000) mengemukakan model empat level analisis sosial menuju teori kelembagaan mulai dari aturan informal seperti norma, adat dan kebiasaan (level pertama). Ekonomi kelembagaan baru (NIE) mulai pada level 2 dan 3 dimana pada level tersebut semua lembaga/pelaku dalam suatu organisasi seperti industri ekonomi pariwisata terlibat seperti eksekutif (pemerintah baik pusat maupun daerah-provinsi dan kabupate/kota), legislatif (DPR-DPRD), judisial (lembaga penegak hukum), dan birokrasi pemerintah. Dalam NIE, definisi dan penegakan hak milik dan hukum kontrak antar agent menjadi penting.
Sumber: Williamson, 2000 Gambar. Williamson The New Institutional Economics (NIE) Ekonomi Kelembagaan, Empat Level Analisis Sosial Level 2 dan 3 merupakan peran dari aturan formal seperti peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, mekanisme, tata kelola dan dokumen perencanaan yang dibuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah mengenai pembangunan dan pengelolaan ekonomi pariwisata. E. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan riset kualitatif-triangulasi. Triangulasi merupakan salah satu pendekatan yang menggabungkan beberapa metode dan data. Metode/teknis analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah deskriptif yang diperoleh dari studi literatur, survei dan wawancara terstruktur. Triangulasi data biasanya menggabungkan sumber yang berbeda misalnya informan kunci (key informant), expert judgement dan grup (multiple group). Triangulasi metode merupakan metode yang tepat untuk menjelaskan fenomena. Fenomena tunggal yang dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda dalam hal ini
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1513
sudut pandang Pemerintah Pusat (diwakili oleh Bappenas), Pemerintah Kabupaten Kulon Progo (diwakili oleh Dinas Pariwisata Kulon Progo), pengelola dan pelaku usaha wisata alam (Pantai Glagah dan Pantai Congot Kulon Progo) dan wisatawan (di beberapa lokasi wisata pantai di Kulon Progo). Denkin dan Lincoln (2008) menjeaskan bahwa pendekatan triangulasi merupakan pendekatan yang mengkombinasikan lebih dari satu metode untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda untuk mendapatkan hasil yang komprehensif. Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder. Triangulasi data yang akan digunakan diperoleh melalui studi literatur, survei dan wawancara terstruktur. Data primer yang diperoleh melalui studi literatur Peraturan Perundang-Undangan dan Dokumen Perencanaan Sektor Pariwisata baik pusat maupun daerah Data primer diperoleh melalui survei dan wawancara terstruktur dengan berbagai pihak antara lain:Pemerintah Pusat (diwakili oleh Bappenas), Pemerintah Kabupaten Kulon Progo (diwakili oleh Dinas Pariwisata Kulon Progo), pengelola dan pelaku usaha wisata alam (Pantai Glagah dan Pantai Congot Kulon Progo sebagai key informan, expert judgement) dan wisatawan (di beberapa lokasi wisata pantai di Kulon Progo) sebagai multiple grup sources . II. PEMBAHASAN A. Kebijakan Pemerintah (Pusat-Daerah) Terkait Pariwisata Pariwisata merupakan industri yang banyak dikembangkan di negara-negara berkembang (developing country) pada tiga dekade terakhir karena dianggap memiliki peran yang besar dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional maupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini jelas terlihat dari banyaknya tempat wisata yang dibangun, dikembangkan, dan dipromosikan secara besar-besaran melalui berbagai media dan alat promosi oleh negaranegara berkembang. Masing-masing negara dengan berbagai strategi saling berlomba untuk memenangkan persaingan dalam mendatangkan wisatawan ke destinasi-destinasi pariwisata yang dimiliki.Bagi Indonesia, industri pariwisata merupakan suatu komoditi prospektif yang di pandang mempunyai peranan penting dalam pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah yang terbaru tentang pariwisata tercantum dalam UU No. 10 Tahun 2009 tentang pariwisata yang menyatakan bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan harus dilakukan secara sistematis, berencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan kepada perlindungan terhadap nilainilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2009, pemerintah baik pusat maupun daerah diwajibkan untuk membuat dokumen perencanaan pembangunan pariwisata (RIPPARNAS, RIPPARDA). Berdasarkan visi pariwisata secara nasional dimana pada tahun 2016 diharapkan kontribusi pariwisata baik secara makro maupun mikro dapat
meningkat.Kontribusi sektor pariwisata dalam PDB Nasional diharapkan naik menjadi 11% di tahun 2016 dan dapat menyumbang devisa sebesar Ro 172,8 Triliun atau naik ekitar 30 triliun rupiah dari tahun 2015. Target kenaikan devisa negara yang diperoleh sejalan dengan fokus pemerintah untuk mendatangkan wisatawan mancanegara sebanyak 12 juta wisatawan di tahun 2016. Jumlah wisatawan nusantara selama ini mendominasi dibandingkan jumlah wisatawan asing oleh karena itu pemerintah mencoba untuk mulai fokus menarik minat wisatawan asing berkunjung ke Indonesia. Pemerintah juga mentargetkan kenaikan indeks daya saing dapat naik terus setiap tahunnya. Untuk mencapai target dan visi sektor pariwisata tahun 2016-2019 maka pemerintah menetapkan strategi pengembangangan pariwisata. Strategi pertama untuk mengembangkan pariwisata adalah menyiapkan masterplan pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional, artinya pemerintah merencanakan mengembangkan pariwisata per wilayah. Kedua, pemerintah memfokuskan akselerasi pembangunan infrastruktur yang mendukung kawasan strategis pariwisata nasional melalui Kementerian PUPR. Berdasarkan data Travel and Tourism Competitiveness Report WEF, 2015, Ketersediaan infrastruktur pariwisata seperti konektivitas, dengan ilustrasi, daya saing infrastruktur pariwisata Indonesia menduduki peringkat 101, sementara Malaysia peringkat 68 dan Thailand 21. Kualitas sumber daya manusia dan tenaga kerja di sektor pariwisata Indonesia berada pada peringkat 53 relatif jauh tertinggal dengan negara tetangga seperti Singapura peringkat 3, Malaysia 30, dan Thailand 29 oleh karena itu strategi terakhir adalah mengembangkan institusi, SDM dan UKM kawasan strategis pariwisata nasional. Untuk mengembangkan destinasi pariwisata baik nasional maupun regional maka pemerintah membuat roadmap/masterplan pengembangan strategis pariwisata nasional. Masterplan merupakan suatu susunan ataupun rencana yang tersusun secara sistematis yang nantinya akan digunakan sebagai dasar dan pedoman dalam mengembangkan pariwisata sehingga pelaksanaannya sesuai dengan kebijakan dan aturan yang ada. Penyiapan masterplan yang telah disusun sebagai pedoman dalam pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional, dimana terdapat lima rencana utama untuk membuat konsensus stakeholder yang kemudian dilanjutkan untuk menentukan objek dan tujuan prioritas pariwisata. Selain itu juga diperlukan adanya identifikasi kebutuhan dari infrastruktur, juga optimalisasi kapasitas kawasan untuk turis asing sangat perlu diperhatikan sehingga dapat disusun suatu masterplan untuk kawasan terpadu untuk kawasan strategis pariwisata. RIPPARNAS merupakan dokumen Perencanaan pembangunan pariwisata nasional selama 15 tahun terhitung sejak tahun 2010- 2025 yang nantinya akan diacu oleh pemerintah daerah melalui dokumen RIPPARDA.Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Pariwisata Jangka Menengah Nasional secara garis besar digambarkan dalam RIPPARNAS. 1. Arah kebijakan pembangunan sektor pariwisata adalah pengembangan tujuan wisata agar memiliki
1514 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
daya tarik dan berdaya saing di dalam dan luar negeri dengan beberapa strategi 2. Pemasaran pariwisata nasional diarahkan untuk 3. Arah kebijakan sektor pariwisata salah satunya dengan pembangunan industri pariwisata 4. Pembangunan kelembagaan pariwisata diarahkan untuk membangun SDM Pariwisata dan organisasi kepariwisataan nasional Selain itu, sektor pariwisata menjadi salah satu dimensi pembangunan sektor unggulan dalam RKP (Rencana Kerja Pembangunan) 2017. Dalam pengembangan destinasi wisata diperlukan koordinasi dan peran aktif dari pemerintah pusat dalam hal ini Kemenpar bekerjasama dengan pemerintah daerah. Pengembangan destinasi wisata, pemerintah telah menetapkan 10 destinasi prioritas yang akan dikembangkan di tahun 2017.Peran pemerintah daerah dalam menyiapkan destinasi antara lain penyiapan objek wisata kemudian diikuti dengan pembangunan sarana dan prasarana transportasi bekerjasama dengan Kementerian PUPR dan Kemenhub. Selain itu pemerintah daerah juga harus berpartisipasi dalam pembangunan fasilitas umum dalam kawasan dan meyiapkan memperkuat kelembangaan pengembangan destinasi bersama Kemenpar, Kemen BUMN, dan Kemenkeu.Meskipun tidak ada satupun objek wisata di Kulon Progo yang termasuk 10 destinasi wisata prioritas pemerintah pusat 2017 namun lokasi Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang berbatasan dengan wilayah Kulon Progo. Oleh karena itu penunjukan Borobudur sebagai salah satu destinasi wisata prioritas menjadi peluang besar bagi Kulon Progo untuk dapat memperoleh manfaat dengan mengembangkan wisata Kulon Progo. Sesuai dengan arah kebijakan pemerintah pusat yang tertuang dalam RPJMN, RIPPARNAS maupun RKP 2017 di bidang pariwisata maka Pemerintah DIY juga melakukan hal yang serupa dan diteruskan kepada Kabupaten/Kota yang ada termasuk Kabupaten Kulon Progo. Pemerintah DIY memberikan saran dan permintaan kepada Pemerintah Kabupaten Kulon Progo fokus pada pengembangan sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan yaitu pertanian, pariwisata dan perdagangan. Arah kebijakan dan strategi pembangunan destinasi pariwisata daerah Kabupaten Kulon Progo tertuang dalam RIPPARDA 2015-2025. Sejalan dengan arah kebijakan dan strategi pariwisata pemerintah pusat dan provinsi, Kabupaten Kulon Progo juga membuat zonasi destinasi/kawasan strategis pariwisata (KSPD). KSPD yang dibentuk antara lain: 1. Suroloyo-Sendangsono dan sekitarnya: tema budaya alam pegunungan dan desa wisata, dengan segmen wisatawan minat khusus, 2. Sermo-Clereng-Wates dan sekitarnya: tema alam tirta, perkotaan dan desa wisata, dengan segmen wisatawan minat khusus. 3. Pantai Selatan dan sekitarnya bertema wisata alam, pantai, dan konservasi, dengan segmen wisatawan massal, 4. Kiskendo-Gunung Kelir dan sekitarnya bertema alam, budaya, agro, dan desa wisata dengan segmen wisatawan minat khusus, 5. Sentolo-Sidorejo dan sekitarnya bertema desa wisata dan industri kreatif.
Rencana pembangunan mega proyek bandara internasional yang dilakukan pemerintah pusat-daerah di Kulon Progo (637 hektare) di daerah Temon, pembangunan lanjutan Pelabuhan Ikan Adikarto (16,7 hektare) pembangunan pabrik besi baja (2,962 hektare), dan pengembangan Kawasan Industri Sentolo dan Lendah di atas tanah seluas 4.700 hektare diharapkan dapat membangun Kulon Progo dan mendukung pembangunan pariwisata daerah-nasional. Dalam rangka optimalisasi dan linkange arah kebijakan pembangunan pariwisata maka juga akan dibangun jalan dan penaiktarafan status jalan dari bandara menuju Candi Borobudur, yang dikenal dengan Bedah Menoreh. Hal ini tentu saja sejalan dengan penetapan Borobudur sebagai salah satu destinasi prioritas oleh pemerintah pusat. Pembangunan pengembangan pariwisata daerah harus sinkron dengan pusat. Sinkronisasi pembangunan pengembangan pariwisata nasional-daerah tercermin dalam dokumen perencanaan. Pembangunan pengembangan pariwisata Kulon Progo harus sejalan dengan Provinsi dan Nasional. Analisis sinkronisasi/konsistensi yang dilakukan dengan membandingkan dokumen Perencanaan secara umum dengan sektor Pariwisata (RPJMN, RPJMD DIY, RPJMD Kulon Progo, RIPPARNAS, RIPPARDA DIY, dan RIPPARDA Kulon Progo). B. Isu-Isu Strategis Isu strategis merupakan kondisi atau sesuatu yang harus diperhatikan atau diprioritaskan dalam perencanaan pembangunan karena dampaknya yang signifikan bagi entitas (daerah/masyarakat) di masa datang. Suatu kondisi/kejadian yang menjadi isu strategis apabila tidak diantisipasi, akan menimbulkan kerugian yang lebih besar dan atau menimbulkan idle tidak mendatangkan manfaat sehingga dapat menghilangkan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang. Isu-isu strategis pembangunan sektor pariwisata yang dihadapi oleh Kabupaten Kulon Progo sebagai berikut: 1. Pengembangan produk wisata/daya tarik wisata berbasis wisata alam dan budaya relatif cenderung stagnan 2. Destinasi wisata belum didukung dengan fasilitas utama dan fasilitas pendukung yang berkualitas dan terstandar (masih relatif jauh dari pelayanan prima) 3. Kurangnya aksebilitas. Kurang memadainya dan rendahnya kualitas jaringan aksesibilitas dari titik simpul distribusi menuju lokasi daya tarik wisata 4. Rendah kualitas SDM dan pengelola desa wisata maupun destinasi wisata yang berbasis komunitas dalam mengelola destinasi wisata. Pengelolaan masih bersifat konvensional dan belum optimal 5. Aksebilitas dan amenitas (fasilitas wisata lainnya) di desa/ kampung wisata masih belum mencukupi 6. Kuantitas dan kualitas pemasaran (informasi & promosi) relatif masih sangat kurang 7. Pemahaman dan pelaksanaan sadar wisata dan sapta pesona sebagian masyarakat pelaku wisata masih belum optimal. Sebagian besar masyarakat tidak memiliki background dalam sektor pariwisata. Isu livelihood change.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1515
8.
Kelembagaan. Kelembagan dari beberapa destinasi yang berbasis masyarakat belum terbentuk dengan baik. 9. Kurangnya minat investasi terhadap pembangunan dan pengembangan destinasi wisata di Kulon Progo. Peran pemerintah diperlukan untuk menjawab isu strategis yang muncul dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata Kulon Progo dalam bentuk kebijakan, program kegiatan. Pembangunan dan pengembangan wisata Kulon Progo perlu mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom) dan isu kelestarian lingkungan untuk mendukung visi Kulon Progo mewujudkan daerah yang lebih maju, mandiri, sejahtera lahir dan batin. C. Peran Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Berdasarkan dinamika perkembangan sektor pariwisata baik di level nasional maupun daerah (Kulon Progo) yang mulai menjadi sektor prioritas untuk mendukung pembangunan ekonomi maka muncul isu mengenai perubahan ekonomi-sosial masyarakat maupun “arah kebijakan” pemerintah. Williamson (2000) menyatakan bahwa perubahan ekonomi-sosial dapat berjalan dengan baik manakala proses transformasi kelembangaan sosial masyarakatpemerintah berjalan dengan baik. Dalam bidang pariwisata, pemerintah bertanggung jawab atas empat hal utama yaitu; perencanaan (planning) daerah atau kawasan pariwisata, pembangunan (development) fasilitas utama dan pendukung pariwisata, pengeluaran kebijakan (policy) pariwisata, dan pembuatan dan penegakan peraturan (regulation). Pemunculan objek-objek wisata di Kulon Progo seringkali diinisiasi oleh masyarakat/komunitas. Objek wisata dimunculkan oleh masyarakat, dikelola oleh masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat inilah yang seringkali dikenal dengan community-based tourism. Pemunculan objek wisata yang dikelola masyarakat menimbulkan isu livelihood change karena sebagian besar masyarakat tidak memiliki background dalam sektor pariwisata sebelumnya. Sebagian besar penduduk Kulon Progo bekerja di sektor primer (pertanian, peternakan) oleh karena itu pemahaman maupun pelaksanaan sadar wisata, sapta pesona dan pelayanan terhadap wisatawan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat pelaku wisata masih belum optimal. Perubahan ini sangat berkaitan dengan informal institutions, budaya/adat/kebiasaan, pola pikir (Williamson level 1). Menurut Williamson (2000), perubahan informal institutions menjadi sangat penting namun memerlukan waktu yang lama (100-1000 tahun) sehingga perlu dilakukan terus menerus dan dibantu dengan rekayasa kebijakan pemerintah.
Sumber: Data diolah Level 2 dari Williamson, untuk membangunkan dan mengembangkan pariwisata pemerintah Kabupaten Kulon Progo perlu melakukan identifikasi potensi, kebutuhan, problem, karakteristik berdasarkan wilayah/zonasi objek wisata yang ada bersama dengan perguruan tinggi/akademisi. Hal ini dilakukan agar pembangunan pariwisata dilakukan berdasarkan data, fakta dan riset sebagai bahan dalam pembuatan formal rules baik kebijakan, perencanaan, dan regulasi. Perencanaan dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti teknokratik (ilmiah berdasarkan data/fakta – evidence based dibantu oleh akademisi), politik, bottom up dan partisipatif. Pendekatan bottom up dan partisipatif artinya ada keterlibatan dan peran masyarakat dalam menentukan perancanaan dan menyusun prioritas bersama pemerintah. Tata kelola menjadi penting dalam proses pengembangan pariwisata Kulon Progo (level 3). Tata kelola sektor pariwisata yang baik harus berdasarkan komitmen-aggreement antara pemerintah dan masyarakat, isu enforcement terhadap peraturan, regulasi, dan koordinasi menjadi penting dan memerlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat/komunitas. Level 1-3 merupakan fokus dari bidang ilmu ekonomi kelembangan (NIE). Isu kelembagaan sektor pariwisata menjadi penting karena jika tidak diperhatikan mengakibatkan biaya ekonomi yang tinggi bagi pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata Level 4 mengenai alokasi sumber daya, insentif dan harga, tenaga kerja merupakan fokus pada bidang ilmu ekonomi neoklasikal yang cenderung lebih pada peran pasar.Pada level ini peran pemerintah melalui anggaran APBN/APBD untuk melakukan membiaya pembangunan seperti fasilitas utama dan fasilitas pendukung destinasi wisata yang saat ini masih terkendala baik kuantitas maupun kualitas. Peran pemerintah dalam level 4 ini untuk menjawab beberapa isu seperti kurangnya infrastruktur yang mendukung aksebilitas. Kurang memadainya dan rendahnya kualitas jaringan aksesibilitas transportasi termasuk jalan dari titik simpul distribusi menuju lokasi daya tarik wisata. Pembangunan tempat dan amenities destinasi wisata (toilet bersih, air bersih, jaringan komunikasi, faskes) pemasaran (informasi & promosi) yang relatif masih sangat kurang. Jika bergantung pada anggaran pemerintah tidak mencukupi, karena anggaran pemerintah sangat terbatas oleh karena itu peran swasta sangat diperlukan dalam bentuk investasi. Oleh karena itu perbaikan iklim investasi di Kulon Progo mutlak diperlukan untuk menarik investasi. Perbaikan iklim investasi dapat dilakukan dengan berbagai strategi dan
1516 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
kerjasama antar level pemerintahan (kabupaten/kotaprovinsi-pusat). Reformasi birokrasi untuk mempercepat dan menyederhanakan proses pengadaan tanah, pembenahan iklim ketenagakerjaan agar menarik dan tidak memberatkan dunia usaha. Investasi sangat penting dalam pembiayaan pembangunan sehingga pembangunan tidak hanya mengandalkan sumber dana APBN/D semata. Penglibatan sektor swasta dalam bentuk investasi juga merupakan penerapan konsep pentahelik dalam pembangunan bersama masyarakat dan akademisi sehingga pembangunan Indonesia menjadi milik bersama. Peran pemerintah Kabupaten Kulon Progo dalam pembangunan sektor pariwisata Kulon Progo dapat dilihat dari program kegiatan yang dilakukan. Beberapa program untuk mendukung pengembangan pariwisata yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang tertuang dalam Renja SKPD Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Bidang Pariwisata 2015 antara lain Pengembangan Destinasi Pariwisata, Pengembangan Pemasaran Pariwisata dan Pengembangan Kemitraan.Pemerintah Kabupaten Kulon Progo secara kelembagaan telah membentuk Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) untuk mengembangkan potensi yang ada di di setiap kecamatan. Tujuan dibentuknya POKDARWIS adalah untuk mengelola dan mengembangkan potensi pariwisata baik pengelolaan wilayah maupun sarana dan prasarana. Pemerintah Kulon Progo memiliki banyak program untuk mengembangkan pariwisata Kulon Progo, namun belum semua wilayah di Kulon Progo menjadi prioritas pemerintah untuk dikembangkan karena keterbatasan sumber daya. Prioritas kebijakan maupun program kegiatan di sektor pariwisata perlu dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat/komunitas. Menurut beberapa key informant dari berbagai pengelola destinasi wisata di Kulon Progol, sosialisasi dan komunikasi antara pemerintah-masyarakat/komunitas perlu ditingkatkan terkait program prioritas sehingga masyarakat pun dapat memahami daerah mana saja dan apa yang menjadi alasan pemerintah untuk memprioritaskan wilayahwilayah tertentu saja sehingga masyarakat/komunitas tidak merasa terabaikan peranananya. III. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa potensi, peluang dan tantangan pembangunan sektor pariwisata Kulon Progo cukup besar. Jumlah wisawatan baik nusantara maupun asing ke Kulon Progo masih relatif rendah jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga meskipun pendapatan daerah yang diperoleh dari sektor pariwisata terus meningkat dari tahun ke tahun namun jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain di DIY hasil yang dicapai Kulon Progo belum optimal. Kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah di bidang pembangunan ekonomi pariwisata mencakup pembangunan pengembangan terhadap aspek destinasi wisata, pemasaran pariwisata, industri pariwisata dan kelembagaan. Kebijakan tersebut tercantum dalam dokumen perencanaan sektor pariwisata RIPPARNAS-
RIPPARDA. Penetapan destinasi prioritas oleh pemerintah pusat 2017 diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dengan penetapan 5 zonasi destinasi/kawasan strategis pariwisata (KSPD). Kebijakan di sektor pariwisata juga diikuti dengan kebijakan investasi terutama infrastruktur melalui perbaikan iklim investasi dan pembangunan mega proyek di Kulon Progo (Pemerintah pusat-propinsi) untuk memantik pembangunan ekonomi dan sektor pariwisata. Kebijakan sektor pariwisata yang tercermin dalam dokumen perencanaan perencanaan sektor pariwisata RIPPARNAS-RIPPARDA menunjukkan bahwa perencanaan sektor pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kulon Progo konsisten dengan Provinsi DIY dan pemerintah pusat. Konsistensi tersebut terlihat jelas dari visi pembangunan sektor pariwisata untuk mewujudkan destinasi pariwisata yang berdaya saing,berkelanjutan, mandiri dan mampu mendorong pembangunan daerah dan meningkatkan kesejahterakaan masyarakat. Isu strategis dalam pembangunan sektor pariwisata (kualitas SDM, pengembangan destinasi wisata, kelembagaan, dan promosi) memerlukan rekayasa dan intervensi pemerintah. Rekayasa pemerintah/intervensi pemerintah dilakukan dengan kebijakan, program dan kegiatan. Program kegiatan yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah raga bidang pariwisata diharapkan dapat mempengaruhi perilaku/mindset pelaku wisata untuk lebih paham dan sadar wisata sebagai antisipasi adanya perubahan matapencaharian sebagian besar penduduk Kulon Progo (non sektor pariwisata berubah ke sektor pariwisata). Peran dan keterlibatan pemerintah dalam mengawal proses transformasi matapencaharian yang diikuti dengan transformasi kelembagaan di sektor pariwisata mutlak diperlukan. Peran pemerintah dan swasta juga diperlukan dalam pembangunan infrastruktur utama destinasi wisata maupun infrastruktur pendukung. Pemerintah perlu mengawasi dan mengendallikan pembangunan destinasi wisata agar lestari (sustainable) dengan memperhatikan isu kapasitas, daya dukung dan kelestarian lingkungan terutama untuk kawasan/destinasi wisata yang berbasis alam. B. Saran Kebijakan regulasi dan perencanaan pembangunan sektor pariwisata baik di level pemerintah pusat-daerah terutama Kabupaten Kulon Progo secara dokumen relatif sudah sangat bagus namun pemerintah perlu memperkuat aspek kelembagaan, perubahan sosial-ekonomi-budaya masyarakat, koordinasi antar stakeholder, law enforcement dan isu lingkungan terutama untuk destinasi wisata berbasis alam. Pemerintah perlu terus memperhatikan perubahan sosial-ekonomi-budaya masyarakat di sekitar destinasi wisata agar tidak menimbulkan dampak yang sangat negatif terhadap lingkungan alam dan mengawal proses transformasi sosial ekonomi-budaya masyarakat agar lancar dalam jangka panjang sehingga masyarakat Kabupaten Kulon Progo tidak latah dalam mengembangkan sektor pariwisata.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1517
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
IV. DAFTAR PUSTAKA Ali, D. 2004."Pemanfaatan Potensi Sumberdaya Pantai sebagai Obyek Wisata dan TIngkat Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Lokasi Wisata", thesis Bahar, A & R. Tambaru. 2012. "Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan Wisata Bahari di Kabupaten Polewali Mandar," – Baum, Tom. 2015. Human resources in tourism: Still waiting for change?eA2015 Reprise. Tourism Management 50 pg 204-212 Boukas Nikolaos, Ziakas Vassilios. 2015. “Tourism Policy And Residents' Well-Being In Cyprus: Opportunities And Challenges For Developing An Inside-Out Destination Management Approach”. Journal Of Destination Marketing & Management Brokaj Rezarta. 2014. “Local government`s Role in The Sustainable Tourism Development of A Destination”. European Scientific Journal November 2014 Edition vol.10, No.31 Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Buzinde, C. N., Kalavar, J. M., & Melubo, K. 2014. “Tourism and community well-being: The case of the Maasai in Tanzania”. Annals of Tourism Research, 44, 20–35 Denzin, N. K., & Lincoln Y. S. (Eds.). 2008. Collecting And Interpreting Qualitative Materials (3rd Ed.) Thousand Oaks, CA: Sage. Dwyer Larry, Forsyth Peter, Spurr Raymond. 2016. “Tourism Economics And Policy Analysis: Contributions And Legacy Of The Sustainable Tourism Cooperative Research Centre. Journal Of Hospitality And Tourism Management Xxx (2016)
10. Elliott James. 1997. Tourism Politics and Public Sector Management. Routledge: London and New York 11. Goeldner, C. R. & Ritchie, J. R. B. 2006. Tourism: Principles, Practices, Philosophies. John Wiley & Sons Inc., New Jersey 12. Hall, M. C. 2005. The Future Of Tourism Research. In: Ritchie, B. (Ed.) Tourism Research Methods: Integrating Theory With Practice, CABI Publishing, Pp.: 221-231 13. Javier Aser B and Elazigue Dulce B. 2011. “Opportunities and Challenges in Tourism Development Roles of Local Government Units in the Philippines”. Presented in Annual Conference of the Academic Network of Development Studies in Asia (ANDA). Skills Development for New Dynamism in Asian Developing Countries under Globalization. March 5-7, 2011 Symposion Hall, Nagoya University Japan. Japan Society for the Promotion of Science (JSPS) and Nagoya University 14. Jaya, Wihana Kirana. 2010. “Kebijakan Desentralisasi di Indonesia dalam Perspektif Teori Ekonomi Kelembagaan”. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi UGM. Yogyakarta
15. Joanne Connell, Stephen J. Page and Tim Bentley. 2009. Towards sustainable tourism planning in New Zealand: Monitoring local government planning under the Resource Management Act. Tourism Management 30 pg 867–877 16. Kelly, E. D., & Becker, B. 2000. Community Planning: An Introduction To The ComPrehensive Plan. Washington, DC: Island Press 17. Kementerian Pariwisata Indonesia. 2014. Laporan Kinerja Kementerian Pariwisata 2014. Kementerian Pariwisata Indonesia 18. Kementerian Pariwisata. 2014. Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS) 2010 – 2014. Kementerian Pariwisata Indonesia 19. Kunst Ivo. 2011. “The Role Of The Government In Promoting Tourism Investment In Selected Mediterranean Countries - Implications For The Republic Of Croatia”.Tourism And Hospitality Management, Vol. 17, No. 1,Pp. 115-130 20. Maria D. Alvarez and Bengi Ertuna. 2016. Barriers to stakeholder involvement in the planning of sustainable tourism: the case of the Thrace region in Turkey. Journal of Cleaner Production 111 pg.306-317 21. Mclennan Char-Lee J, Ritchie Brent W, Ruhanen Lisa M and Moyle Brent D. 2014. “An Institutional Assessment Of Three Local Government-Level Tourism Destinations At Different Stages Of The Transformation Process”. Tourism Management 41 (2014) 107-118 22. Moustakas, C. 1994. Phenomenological Research Methods. Thousand Oaks, CA: Sage 23. North, Douglass C. 1995. “Institutions and the Performance of Economies Over Time” in: Menard, Claude and Mary M. Shirley (2005). Handbook of New Institutional Economics. Springer-Verlag. Berlin 24. Petrevska Biljana. 2012. “The Role Of Government In Planning Tourism Development In Macedonia”.Innovative Issues And Approaches In Social Sciences, Vol. 5, No. 3, IIASS – Vol. 5, No. 3, September 2012 25. Sinclair M. Thea and Stabler Mike, 1997. The Economics of Tourism. Routledge: London and New York 26. Smith, Stephen L.J and Nunkoo, Robin. Robin Nunkoo. 2013. Political economy of tourism: Trust in government actors, political support, and their determinants. Tourism Management 36 pg 120132 27. Sofield, T. H. 2000. Empowerment For Sustainable Tourism Development. Oxford: Elsevier 28. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta 29. UK Government. 2011. Government Tourism Policy (Report). United Kingdom 30. Vanhove Norbert. 2005. The Economics of Tourism Destinations. Elsevier 31. Vincentia Reni Vitasurya. 2016. Local Wisdom for Sustainable Development of Rural Tourism, Case on Kalibiru and Lopati Village, Province of Daerah Istimewa Yogyakarta.
1518 |Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016
Procedia - Social and Behavioral Sciences 216 pg 97 – 108 32. Williamson, Oliver E. 2000. “The New Instituitional Economics: Taking Stock, Looking Ahead”. Journal of Economic Literature. Vol. XXXVIII
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Terapan SV UGM 2016 | 1519