Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 PERFORMA PERTUMBUHAN UDANG WINDU Penaeus monodon STRAIN TUMBUH CEPAT YANG DIPELIHARA DENGAN KEPADATAN RENDAH PADA KONDISI SALINITAS TINGGI
RB-04
Muhammad N. Syafaat*, Syarifuddin Tonnek dan Abdul Mansyur Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg Sitakka 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan *Penulis untuk korespondensi, E-mail:
[email protected] Abstrak Diantara kendala yang dihadapi pada pemeliharaan udang windu adalah kondisi salinitas yang tinggi pada musim kemarau yang dapat mencapai > 50 ppt. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai performansi pertumbuhan udang windu tumbuh cepat yang dipelihara dengan kepadatan rendah pada kondisi salinitas tinggi. Satu unit tambak dengan 2 2 luas 4000 m disekat menjadi dua bagian dengan luasan masing-masing sekat ± 2000 m . Tiap sekat A dan B dimasukkan udang windu yang terlebih dahulu ditokolkan selama 60 hari. Sekat A ditebari tokolan udang windu tumbuh cepat dan sekat B dimasukkan udang windu kontrol dengan berat awal rata-rata 3,69 g (A) dan 2,13 g (B) dan kepadatan masing-masing 2 ekor/meter. Sampling dilaksanakan tiap 2 minggu untuk mengukur berat rata-rata dengan lama pemeliharaan selama 22 minggu atau 5 bulan 2 minggu. Pada akhir penelitian diambil sampel sebanyak 100 ekor/sekat untuk mengetahui sex rasionya. Pengukuran kualitas air berupa salinitas, suhu, dan pH dilakukan secara insitu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang windu yang dipelihara baik pada perlakuan A (tumbuh cepat) maupun perlakuan B (kontrol) mampu bertahan hidup pada kondisi salinitas tinggi (>40 ppt) yang berlangsung selama 4 bulan dan dapat bertumbuh. Pada perlakuan A diperoleh berat akhir rata-rata dan produksi yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan B, namun nilai FCR dan sintasan pada perlakuan B lebih baik. Kata kunci: pertumbuhan, udang windu, kepadatan rendah, salinitas tinggi Pengantar Udang windu sebagai salah satu komoditas andalan perikanan senantiasa mendapat perhatian untuk peningkatan produksi ditengah berbagai macam kendala yang dihadapi dalam pembudidayaannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah perakitan strain unggul melalui selektif breeding. Selektif breeding dilaksanakan untuk mendapatkan calon induk udang windu dengan sifat fenotipe dan genotipe yang lebih baik (Wardana et al., 2008). Induk hasil selektif breeding diharapkan mampu menghasilkan larva yang berkualitas dengan tingkat pertumbuhan yang baik dan tahan terhadap penyakit selama pemeliharaan. Pada tahun 2010, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut (BBPPBL) Gondol, berhasil memproduksi larva udang windu unggul dengan karakter tumbuh cepat dan SPF. Keberhasilan produksi benur udang windu tumbuh cepat ini perlu ditindaklanjuti dengan serangkaian uji coba pemeliharaan di tambak untuk melihat performansinya sebelum diperkenalkan kepada masyarakat. Salah satu teknik pemeliharaan udang windu yang banyak diaplikasi petambak adalah budidaya dengan kepadatan rendah. Pemeliharaan udang windu dengan kepadatan rendah diharapkan mengurangi kompetisi pakan dan pemangsaan diantara udang, sehingga diperoleh pertumbuhan dan sintasan yang lebih tinggi. Mansyur & Mangampa (2007) menyebutkan bahwa dengan kepadatan rendah petambak dapat menghasilkan ukuran panen yang lebih besar dengan nilai jual yang memadai. Pemeliharaan dengan kepadatan rendah juga diharapkan menjadi satu teknologi standar dalam pemeliharaan udang windu di tambak untuk dipersiapkan sebagai calon induk. Diantara kendala yang dihadapi selama pemeliharaan udang windu di tambak, yaitu kondisi salinitas yang tinggi pada musim kemarau yang dapat mencapai > 50 ppt. Menurut Ye et al. (2009), salinitas merupakan salah satu faktor abiotik yang sangat penting dalam budidaya perairan. Meskipun udang windu yang dikenal bersifat euryhaline mampu bertahan pada kisaran salitas 1–57 ppt (Chen, 1990 cit Ye et al., 2009), namun dijelaskan oleh Ye et al. (2009) bahwa level optimal salinitas untuk pertumbuhan, kelangsungan hidup dan efisiensi produksi adalah kerapkali bersifat spesifik spesies. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-04) - 1
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 mengenai performansi pertumbuhan udang windu tumbuh cepat yang dipelihara dengan kepadatan rendah pada kondisi salinitas tinggi. Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di instalasi tambak Takalar, Balitbang budidaya air payau, 2 Maros. Satu unit tambak dengan luas 4000 m disekat menjadi dua bagian dengan luasan masing2 masing sekat adalah 2000 m . Tiap sekat A dan B ditebari udang windu yang telah ditokolkan selama 60 hari. Sekat A ditebar udang windu tumbuh cepat dan sekat B dimasukkan udang windu kontrol dengan berat awal rata-rata 3,69 g (sekat A) dan 2,13 g (sekat B) dan kepadatan masingmasing 2 ekor/meter. Sampling dilaksanakan setiap 2 minggu untuk mengukur berat rata-rata dengan lama pemeliharaan 22 minggu atau 5 bulan 2 minggu. Pada akhir penelitian, diambil sampel sebanyak 100 ekor/sekat untuk mengetahui sex rasionya. Kegiatan penelitian dimulai dengan persiapan tambak sesuai dengan protap persiapan budidaya udang, yaitu: pengeringan/pengolahan tanah dasar, pemberantasan hama, dan pengapuran dosis 250–300 kg/Ha. Selanjutnya, dilakukan pemasukan air dan aplikasi klorin. Setelah aplikasi klorin dilakukan pemupukan menggunakan pupuk anorganik urea dan TSP (1:1) dosis 50-100 kg/ha. Pemberian probiotik hasil fermentasi diberikan tiap 3 hari setelah memasuki 2 bulan masa pemeliharaan sampai akhir penelitian. Kultur bakteri probiotik dengan dosis rata-rata 3,5–5,5 l/Ha dikultur melalui proses fermentasi selama 3 hari dengan media tepung ikan, dedak halus, yeast, dan molase, serta air tambak. Dosis dan metode media fermentasi sesuai dengan pedoman yang sudah ada. Pengukuran kualitas air berupa salinitas, suhu, dan pH dilakukan secara insitu. Data disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dan dibahas secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Hasil Beberapa parameter seperti pertumbuhan, sintasan, produksi, FC, dan sex rasio disajikan pada Tabel 1. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pada perlakuan A diperoleh berat akhir rata-rata dan produksi yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan B, namun nilai FCR dan sintasan pada perlakuan B lebih baik. Tabel 1.
Pertumbuhan, sintasan, produksi, FCR dan sex rasio yang diperoleh pada akhir penelitian. Perlakuan Parameter A B 2 Luas tambak (m ) 2000 2000 Padat penebaran (ek/m) 2 2 Berat awal rata-rata (gr/ekor) 3,69 2,13 Berat akhir rata-rata (gr/ekor) 29,67±5,501 22,06±4,515 Pertumbuhan Mutlak (gr) 25,98 19,93 Laju pertumbuhan harian (gr/hari) 0,18 0,14 Sintasan (%) 84,03 93,8 Produksi (kg) 99,72 82,76 FCR 2,26 1,82 Size (ek/kg) 33,7 45,33 Sex rasio (♂ : ♀) 53 : 47 57 : 43 Berat rata-rata (♂) 27,96±3,373 21,3±3,972 Berat rata-rata (♀) 31,61±6,711 23,05±5,025
Pembahasan Pertumbuhan dan Sintasan Pertumbuhan Udang windu selama pemeliharaan diperoleh berat akhir rata-rata untuk perlakuan A (29,67 g/ekor), sedangkan perlakuan B (22,06 g/ekor) dengan laju pertumbuhan harian untuk A (0,18 g/hari) dan B (0,14 g/hari) (Tabel 1). Pertumbuhan yang diperoleh lebih lambat dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Sundadarajan et al. (1979) yang memelihara P. monodon di tambak tanah dengan padat penebaran 2 ekor/m, dipelihara selama 80
2 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-04)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 hari tanpa pemberian pakan tambahan diperoleh berat akhir rata-rata 32.26 g (berat awal rata-rata 0,5 g) dengan laju pertumbuhan harian sebesar 0,39 g/hari. Salah satu faktor yang diduga menyebabkan rendahnya pertumbuhan udang windu yang diperoleh adalah kondisi salinitas yang tinggi selama pemeliharaan (Gambar 1). Pada salinitas yang tinggi, transformasi energi banyak dimanfaatkan untuk proses osmoregulasi daripada untuk pembentukan daging, sehingga pertumbuhan menjadi lambat (Gunarto et al., 2010). Penaeus monodon mengalami proses osmoregulasi yang efisien pada kisaran salinitas 15-30 ppt dan proses isosmotik pada kisaran 2325 ppt (Cawthorne et al., 1983 dalam Allan & Maguire, 1992; Pillay,1993). Salinitas optimum untuk budidaya P. monodon adalah 25 ppt (20-30 ppt), perubahan salinitas sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan energi dalam tubuh udang (Ye et al., 2009).
Pertumbuhan (g)
35 30 25 20 15 10 5 0 60
74
90 106 120 135 149 163 177 190 205 219 228 Masa pemeliharaan (hari)
Gambar 1. Grafik pertumbuhan udang windu (Penaeus monodon) selama penelitian (▲: Tumbuh cepat, ■ : Kontrol ). Sintasan yang diperoleh pada perlakuan A, yaitu 84,03%, lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan B sebesar 93,8%. Nilai sintasan yang tinggi pada kedua perlakuan, yakni (>80%), meskipun dipelihara pada kondisi salinitas tinggi, dimungkinkan karena udang windu bersifat euryhaline dan teknologi budidaya menggunakan kepadatan rendah disertai pemberian pakan tambahan, sehingga dapat menunjang kelangsungan hidup meskipun pertumbuhan yang diperoleh tidak optimal. Krants & Norris (1975) dalam Sundadarajan et al. (1979) mengemukakan bahwa sintasan 60–80% pada budidaya udang windu dapat diperoleh jika dipelihara pada kondisi yang sesuai selama pemeliharaan tanpa adanya predator dan temperatur serta salinitas berada pada sub-optimal. Produksi dan FCR Produksi yang diperoleh untuk perlakuan A sebesar 99,72 kg (498,6 kg/ha) dan B sebesar 82,76 kg (413,8 kg/ha). Produksi udang yang dipelihara dengan teknologi ekstensif dapat mencapai 1000 kg/ha pada saat panen dan panen bisa dilakukan 3 kali dalam setahun (Lee dan Wickins, 1992). Sebagai perbandingan, produksi yang diperoleh pada pemeliharaan udang windu dengan kepadatan 2 ek/m pada kisaran salinitas (10,9- 22,42 ppt) sebesar 514,7 kg/ha (1000– 1500 kg/ha/thn) (Sundararajan et al.,1979). Chakraborthi et al. (1986) melaporkan produksi udang windu yang diperoleh pada tiga lokasi berbeda berkisar 250–329,3 kg/ha atau 500–987,9 kg/ha/thn dengan kisaran salinitas 5-30 ppt dan kepadatan 4 ek/m. Terlihat bahwasanya produksi yang diperoleh pada kondisi salinitas tinggi (>40 ppt) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan produksi pada kondisi salinitas yang lebih rendah. FCR untuk perlakuan A dan B, yaitu berturut-turut 2,26 dan 1,82. Nilai FCR yang diperoleh cukup tinggi, hal ini diduga karena kondisi lingkungan kurang mendukung khususnya salinitas yang relatif tinggi selama pemeliharaan. Pada salinitas yang tinggi, transformasi energi banyak dimanfaatkan untuk proses osmoregulasi daripada untuk pembentukan daging, sehingga pertumbuhan menjadi lambat (Gunarto et al., 2010). Perubahan salinitas sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan energi dalam tubuh udang (Ye et al., 2009).
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-04) - 3
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 Sex Ratio Rasio perbandingan antara jantan dan betina yang diperoleh pada akhir penelitian relatif seimbang pada masing-masing perlakuan dimana sex ratio untuk perlakuan A (53 : 47) dan perlakuan B (57 : 43). Hasil pengamatan juga menunjukkan berat rata-rata betina untuk masingmasing perlakuan terlihat lebih berat dibanding jantan. Pada perlakuan A, berat rata-rata betina 31,61 g dan jantan 27,96 g. Pada perlakuan B, berat rata-rata betina 23,05 g dan jantan 21,3 g. Kualitas Air Data monitoring kualitas air berupa suhu, salinitas, dan pH selama penelitian disajikan dalam bentuk grafik sebagaimana berikut ini: 60 Suhu ( OC )
40 30 20 10
1 14 28 43 56 70 84 98 115 130 145 169
Hari
Hari
Pengukuran salinitas selama penelitian dengan interval tiap 14 hari.
Gambar
3.
Pengukuran suhu selama penelitian dengan interval tiap 14 hari.
169
145
130
115
98
70
56
43
28
1
9.2 9 8.8 8.6 8.4 8.2 8 7.8 7.6 7.4 14
2.
Ph
Gambar
1 14 28 43 56 70 84 98 115 130 145 169
0
84
Salinitas (ppt)
50
40 35 30 25 20 15 10 5 0
Hari Gambar 4. Pengukuran pH selama penelitian dengan interval tiap 14 hari. Salinitas tertinggi selama pemeliharaan, yaitu 58 ppt pada hari ke-115 (3-10-2011). Kondisi salinitas tinggi pada hari ke-115 diperparah dengan nilai pH yang juga tinggi, namun suhu perairan o berada pada kisaran optimal yaitu 28 C. Salinitas yang tinggi dapat mengakibatkan gas-gas kurang terlarut seperti oksigen, sehingga jika salinitas meningkat maka ketersediaan oksigen terlarut berkurang (Irianto, 2005). Kelarutan gas-gas akan semakin rendah jika bersamaan dengan tingginya salinitas, suhu perairan juga tinggi (Tabel 2).
4 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-04)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 Tabel 2. Kelarutan oksigen dalam air (mg/l) pada suhu dan salinitas yang bervariasi pada tekanan udara yang jenuh 1 atm. Salinitas (ppt) o Suhu ( C) 0 8,75 17,5 26,25 35 0 14,6 13,8 13,0 12,1 11,3 5 12,8 12,1 11,4 10,7 10,0 10 11,3 10,7 10,1 9,6 9,0 15 10,2 9,7 9,1 8,6 8,1 20 9,2 8,7 8,3 7,9 7,4 25 8,4 8,0 7,6 7,2 6,7 30 7,6 7,3 6,9 6,5 6,1 35 7,1 40 6,6 (Sumber: Munro (1978) cit Irianto (2005)) Kondisi salinitas tinggi (> 40 ppt) selama penelitian yang berlangsung lebih dari 4 bulan (Gambar 2) masih dapat ditoleransi oleh udang windu yang dipelihara dan dapat bertumbuh (Gambar 1). Hal ini dimungkinkan karena udang windu termasuk organisme perairan yang bersifat euryhaline. Menurut Chen (1990) cit Ye et al. (2009), P. monodon memiliki kisaran toleransi yang luas terhadap salitas yaitu 1–57 ppt. Setiap organisme perairan, memiliki batas toleransi terhadap salinitas. Meskipun organisme perairan dapat hidup pada kondisi yang melewati batas optimal, namun pertumbuhan dan reproduksi mereka akan terpengaruh (Pillay, 1993). Pertumbuhan yang baik pada udang windu diperoleh antara 10-25 ppt (Pillay, 1993), sementara Liao (1986) cit Ye et al. (2009) menyebutkan bahwa kisaran salinitas yang sesuai untuk budidaya udang windu, yaitu 10–35 ppt. Afrianto & Liviawaty (1991) menyebutkan bahwa salinitas air yang cocok untuk digunakan mengisi tambak budidaya udang windu berkisar antara 15-20 ppt. Selama masa pemeliharaan dalam kondisi salinitas tinggi, parameter kualitas air lainnya seperti suhu dan pH sempat mencapai batas optimum. Nilai suhu tertinggi diperoleh pada hari keo 145 (2-11-2011) yang mencapai 34 C dan Nilai pH tertinggi, yaitu 9 diperoleh pada hari ke-43 s/d 56 dan hari ke-98 s/d 115. Boyd (1990) dalam Ferreira et al. (2011) menyebutkan nilai suhu yang 0 direkomendasikan, yaitu 28-30 C dan nilai pH berkisar 8-9. Peningkatan nilai suhu dan pH yang melebihi batas optimum bersamaan dengan tingginya kadar salinitas dapat memperburuk kondisi perairan seperti rendahnya kelarutan oksigen dalam perairan (Tabel 2). Kondisi salinitas yang tinggi selain berpengaruh terhadap kelarutan gas-gas juga diduga berpengaruh terhadap pH perairan. Menurut Allan & Maguire (1992), pada beberapa kasus didapatkan bahwa penurunan nilai salinitas kemungkinan dibarengi dengan penurunan pH. Hasil pengamatan nilai salinitas dan pH selama penelitian ini juga cenderung menunjukkan hal tersebut, di mana pada hari ke-115 nilai salinitas yang tinggi bersamaan dengan nilai pH yang tinggi pula dan selanjutnya pH cenderung mulai menurun bersamaan dengan penurunan nilai salinitas (Gambar 2 dan 4). Salah satu upaya penanganan yang dapat dilakukan pada kondisi suhu tinggi, yaitu penggunaan kincir yang berfungsi untuk menghomogenkan kondisi perairan tambak melalui pengadukan selain membantu difusi oksigen ke dalam air. Selama masa pemeliharaan, tidak digunakan kincir karena udang dipelihara dengan kepadatan rendah dan pertimbangan efisiensi. Selain itu, aplikasi probiotik di tambak juga merupakan salah satu upaya untuk menunjang keberhasilan budidaya udang windu pada kondisi lingkungan yang ekstrim misalnya pada kondisi salinitas tinggi. Menurut Gunarto & Hendrajat (2008), penggunaan probiotik dalam budidaya di tambak merupakan keharusan dalam SOP (standard operating procedure), di samping faktorfaktor lain, seperti penggunaan benur berkualitas dan bersifat SPF, penggunaan tandon atau sistem resirkulasi, penerapan biosekuritas, persiapan tambak maksimal, penggunaan pakan berkualitas, dan lainnya. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Udang windu yang dipelihara, baik Perlakuan A (kontrol) maupun perlakuan B (strain tumbuh cepat) mampu bertahan hidup pada kondisi salinitas tinggi (>40 ppt) yang berlangsung selama 4 bulan dan dapat bertumbuh. Pada perlakuan A diperoleh berat akhir rata-rata dan produksi yang lebih tinggi dibanding pada perlakuan B, namun nilai FCR dan sintasan pada perlakuan B lebih baik.
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-04) - 5
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 Saran Teknik penjarangan dan pemberian pakan tambahan, sebaiknya diaplikasikan selama pemeliharaan udang windu dalam kondisi salinitas tinggi untuk menunjang keberhasilan budidaya khususnya budidaya skala tradisional. Selain itu, aplikasi probiotik dan pengoperasian kincir selama kondisi salinitas tinggi juga dianjurkan untuk membantu menjaga kestabilan perairan. Daftar Pustaka Afrianto, E. & E. Liviawaty. 1991. Teknik pembuatan tambak udang. Penerbit kanisius. Yogyakarta. 132 hal. Allan,G.L. & G.B. Maguire. 1992. Effects of pH and Salinity on survival, growth, and osmoregulation in Penaeus monodon Fabricius. Aquaculture 107:33-47. Chakraborti, R.K., D.D. Halder, N.K. Das, S.K. Mandal & M.L. Bowmik.1986. Growth of Penaeus monodon fabricius under different environmental conditions. Aquaculture 51:189-194. Ferreira, N.C., C. Bonetti & W.Q. Seiffert. 2011. Hydrological and Water Quality Indices as management tools in marine shrimp culture. Aquaculture 318 (425-433). Gunarto., Muliani, & A. Mansyur. 2010. Pengaruh aplikasi sumber C-karbohidrat (Tepung tapioka) dan fermentasi probiotik pada budidaya udang windu penaeus monodon pola intensif di tambak. Jurnal Riset Aquaculture 5(3):393-409. Gunarto & E.A. Hendrajat. 2008. Budidaya udang vanamei, Littopenaeus vannamei pola semi intensif dengan aplikasi beberapa jenis probiotik komersial. Jurnal riset akuakultur Vol.3(3): 339-349. Irianto, A. 2005. Patologi ikan teleostei. Gadjah mada university press. 255 hal. Lee, D.O’C. & J.F. Wickins. 1992. Crustacean farming. John Wiley & Sons,Inc,New York. 392 hal. Mansyur, A.& M. Mangampa. 2007. Membangkitkan kembali gairah petambak melalui budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan kepadatan rendah. Media akuakultur 2(2):62-66. Murdjani, Z. Arifin, D. Adiwijaya, U. Komaruddin, A. Nur, A. Susanto, A. Taslihan, K. Ariawan, M. Mardjono, E. Sutikno, Supito, M.S. Latief, C. Cokarkin & T.P. Proyoutomo. 2007. Penerapan best management practices (BMP) pada budidaya udang windu (Penaeus monodon Fabricus) intensif. Departemen kelautan dan perikanan, Direktorat jenderal perikanan budidaya, Balai besar pengembangan budidaya air payau, Jepara. 67 hal. Pillay, T.V.R. 1993. Aquaculture (Principles and Practices). Fishing News Books, A division of Blackwell Scientific Publication Ltd. 575 hal. Sundararajan, D., S.V.C. Bose & V. Venkatesan. 1979. Monoculture of tiger prawn, Penaeus monodon fabricius, in a brackishwater pond at madras,India. Aquaculture 16:73-75. Suyanto,S.R. & A. Mujiman. 1982. Budidaya Udang Windu. Penebar swadaya. Jakarta. 213 hal. Wardana, I.K., A. Muzaki, Fahrudin, I.G.N. Permana & Haryanti. 2008. Selektif breeding udang windu Penaeus monodon dengan karakter pertumbuhan dan SPF (specific pathogen free). Jurnal Riset Aquaculture 3(3):301-312. Ye, L., S. Jiang, Q. Yang, W. Wen & K. Wu. 2009. Effects of salinity on growth and energy budget of juvenile Penaeus monodon. Aquaculture 290:140-144. Tanya Jawab -
6 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-04)