Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 INDUKSI KALUS RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii DENGAN PENAMBAHAN ZAT PENGATUR TUMBUH GOLONGAN AUKSIN
RB-03
Sri R. H. Mulyaningrum*, Andi Parenrengi, Emma Suryati dan Siti Fadilah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros – Sulawesi Selatan *Penulis untuk korespondensi, E-mail:
[email protected] Abstrak Induksi kalus pada rumput laut K. alvarezii dilakukan untuk menghasilkan kalus. Penggunaan zat pengatur tumbuh yang sesuai sangat mempengaruhi proses induksi kalus pada rumput laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin terhadap proses induksi kalus rumput laut K. alvarezii. Eksplan rumput laut K. alvarezii dipelihara pada media agar dengan konsentrasi 0,8% yang diperkaya dengan pupuk Conwy. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dengan perlakuan zat pengatur tumbuh golongan auksin yang berbeda, yaitu: IAA (indole acetic acid), IBA (indole butiric acid), dan NAA (naphthaleneacetic acid) dengan konsentrasi 0,4 mg/L. Hasil dari tahap pertama digunakan pada tahap kedua dengan perlakuan kepadatan eksplan yang berbeda, yaitu: A=5 eksplan/petridish; B=10 eksplan/petridish; C=15 eksplan/petridish; D=20 eksplan/petridish; E=25 eksplan/petridish. Pada masing-masing perlakuan, dilakukan pengulangan sebanyak 3 ulangan. Parameter yang diamati adalah kecepatan induksi kalus, sintasan, dan morfologi kalus. Analisa data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan gambar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh golongan auksin yang berbeda memiliki kecepatan induksi yang berbeda. Kecepatan induksi tertinggi sebesar 71,67% pada penambahan IAA dengan sintasan tertinggi sebesar 90% pada kepadatan 20 eksplan/petridish. Morfologi kalus terdiri dari tiga bagian yakni kalus padat, filamen berpigmen, dan kristal filament kalus. Kata kunci: auksin, induksi kalus, Kappaphycus alvarezii Pengantar Rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii atau sering dikenal dengan Eucheuma cotonii merupakan golongan alga merah (Rhodophyta) yang mengandung karaginan dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat pesisir. Rumput laut merupakan komoditas prioritas karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu: teknologi budidayanya mudah dilakukan, modal yang diperlukan dalam budidaya rumput laut relatif kecil, usia panen singkat, sehingga merupakan komoditas yang cepat untuk mengatasi kemiskinan, kegiatan budidaya rumput laut hingga proses pengolahan pasca panen merupakan kegiatan yang padat karya Pada aspek budidaya, ia mampu menjadi kunci pemberdayaan masyarakat pesisir, selain itu, permintaan pasar dunia masih sangat tinggi. Pangsa pasar rumput laut di mancanegara semakin cerah, seperti Hongkong, Korea Selatan, Perancis, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, serta beberapa negara industri maju lainnya. Menurut Anggadiredja (2007), peluang pasar dunia yang belum terpenuhi terhadap produksi rumput laut masih tinggi, yakni tahun 2007 sekitar 53.100 ton dan diperkirakan akan meningkat menjadi 72.510 ton pada tahun 2010. Salah satu permasalahan dalam pengembangan budidaya rumput laut adalah keterbatasan benih yang kontinyu. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya dengan propagasi in vitro melalui kultur jaringan. Menurut Parenrengi et al. (2007), benih rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat diperoleh dari alam, hasil budidaya, atau mikropropagasi di laboratorium melalui kultur jaringan. Lokasi-lokasi yang masih memiliki potensi benih alam memungkinkan untuk menggunakan benih alam, tetapi lokasi yang sulit untuk mendapatkan benih alam maka dapat menggunakan rumput laut hasil budidaya atau hasil kultur jaringan. Perkembangan mikropropagasi tanaman melalui teknik kultur organ, jaringan, dan sel memberikan prospek yang menjanjikan bagi pengembangan bioteknologi tanaman, dan peluang yang besar pada manipulasi genetik, propagasi tanaman, dan produksi tanaman komersil. Kesuksesan teknik mikropropagasi pada tumbuhan tingkat tinggi mendorong pengembangannya pada rumput laut yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan produksi rumput laut. Kultur jaringan merupakan salah satu upaya penyediaan benih yang kontinyu dan berkualitas. Salah satu
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-03) - 1
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 teknik kultur jaringan yang sering digunakan dalam pemuliaan tanaman adalah embriogenesis somatik melalui induksi kalus. Induksi kalus pada rumput laut K. alvarezii dilakukan untuk propagasi klon dan menghasilkan filamen sebagai materi untuk pemuliaan (Reddy et al., 2008). Penggunaan media kultur yang sesuai merupakan syarat yang harus terpenuhi pada kultur jaringan. Menurut Paula et al. (2001), kondisi kultur dan media yang sesuai dapat menstimulasi pertumbuhan rumput laut secara in vitro. Salah satu komponen media yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan dan regenerasinya adalah zat pengatur tumbuh. Pertumbuhan kalus ditentukan oleh penggunaan zat pengatur tumbuh yang tepat. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam media, pertumbuhan akan terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali (Prakoeswa et.al., 2009). Menurut Yokoya et al. (2004), jenis zat pengatur tumbuh yang berbeda akan memberikan efek stimulasi yang berbeda pula pada pembentukan kalus rumput laut. Zat pengatur tumbuh jenis auksin memiliki fungsi untuk menstimulasi pembentukan kalus karena zat pengatur tumbuh golongan auksin berperan dalam inisiasi pembelahan sel, dan pengaturan meristem menjadi suatu jaringan tidak terorganisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin terhadap proses induksi kalus rumput laut K. alvarezii. Bahan dan Metode Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: rumput laut K. alvarezii, zat pengatur tumbuh golongan auksin jenis Indole Acetic Acid (IAA), IBA (indole butiric acid), dan NAA (naphthaleneacetic acid), air laut steril, media agar, akuades, betadin, antibiotik mix spektrum luas (streptomycin, kanamycin, rifamphycin, terramycin, penicillin), media conwy, alcohol, tisu. Alat yang digunakan adalah: skapel, pinset, erlenmeyer, mikropipet (Eppendorf), laminar air flow (Flowfast H Faster), lemari kultur, petridish, cell culture dish (corning), mikroskop Bausch and Lomb, kamera digital (Optika Microscopes CCD Sensor), lemari kultur. Metode Induksi kalus dilakukan dengan metode Reddy et al. (2003) yang dimodifikasi. Rumput laut K. alvarezii dipotong dengan ukuran 2 cm. Kemudian, dicuci dengan air laut steril. Selanjutnya, dilakukan sterilisasi eksplan menggunakan larutan iodine (bethadine 0,1%) selama 3 menit, kemudian dilakukan pencucian menggunakan larutan antibiotik mix 0,1%. Eksplan steril kemudian direndam dalam larutan antibiotik mix 0,1% dalam media conwy selama 2 hari (Gambar 1).
A Gambar 1.
B
Persiapan eksplan steril: pemotongan eksplan (A); perendaman pada antibiotik spektrum luas (B).
Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh Eksplan steril dikeringkan dengan tisu steril dan dipotong-potong sepanjang 4–5 mm. Selanjutnya, eksplan diinokulasi pada media agar 0,8% yang diperkaya dengan pupuk conwy dengan penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin sebesar 0,4 ppm. Sebagai perlakuan adalah jenis zat pengatur tumbuh golongan auksin yang berbeda, yakni: IAA, IBA, dan NAA, dan o setiap perlakuan 3 ulangan. Eksplan kemudian dikultur selama 2 bulan pada suhu 20 C dengan
2 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-03)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 penerangan lampu neon berkekuatan 1500 lux dan fotoperiode terang: gelap=12:12. Penggantian media dilakukan setiap 1 minggu dengan media baru yang sama dengan media sebelumnya. Parameter yang diamati adalah kecepatan induksi dengan menghitung jumlah eksplan yang membentuk kalus. Penentuan kecepatan induksi kalus ditentukan sesuai metode Yokoya et al. (2004), menggunakan rumus:
% =
ℎ ℎ
× 100%
Perlakuan Kepadatan Eksplan Eksplan diinokulasi pada media agar 0,8% yang diperkaya dengan pupuk conwy dengan penambahan IAA 0,4 ppm. Sebagai perlakuan adalah kepadatan eksplan, yakni: A=5 eksplan/petridish; B=10 eksplan/petridish; C=15 eksplan/petridish; D=20 eksplan/petridish; dan E=25 eksplan/petridish dengan 3 ulangan untuk setiap perlakuan. Kultur dilakukan selama 2 bulan pada suhu 20°C dengan penerangan lampu neon berkekuatan 1500 lux dan fotoperiode terang: gelap=12:12. Penggantian media dilakukan setiap 1 minggu dengan media baru yang sama dengan media sebelumnya. Parameter yang diamati adalah kecepatan induksi dan sintasan kalus. Kecepatan induksi dihitung dengan metode Yokoya et al. (2004), sedangkan sintasan ditentukan dengan menghitung kalus yang hidup. Morfologi kalus Pengamatan morfologi kalus dilakukan dengan menggunakan mikroskop. Kalus yang terbentuk dipindahkan ke cell cuture dish kemudian diamati di bawah mikroskop. Data morfologi disajikan secara deskriptif dari hasil pengambilan gambar di bawah mikroskop Hasil dan Pembahasan Perlakuan Zat Pengatur Tumbuh Jenis zat pengatur tumbuh yang berbeda memberikan efek stimulasi yang berbeda pula pada perkembangan kalus rumput laut K. alvarezii. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa kecepatan induksi tertinggi sebesar 71,67% pada penambahan IAA. Kemudian, berturut-turut IBA (51,67%), NAA (48,33%), serta kontrol (11,67%) (Gambar 2). 80 Kecepatan induksi (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 Kontrol
IAA IBA NAA Zat Pengatur Tumbuh Gambar 2. Kecepatan induksi rumput laut K.alvarezii pada berbagai jenis auksin. Kecepatan induksi tertinggi diperoleh dengan penambahan auksin jenis IAA yang menunjukkan bahwa respon terhadap IAA lebih baik. Hal ini bisa terjadi karena rumput laut K. alvarezii memiliki hormon endogen jenis IAA sehingga plastisitas kontrol terhadap IAA lebih baik dibanding zat pengatur tumbuh lain. Menurut Prasad et.al. (2010), dalam rumput laut K. alvarezii terkandung fitohormon golongan auksin jenis IAA, golongan sitokinin jenis kinetin dan zeatin, serta golongan giberellin jenis GA3. Interaksi zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen yang ditambahkan ke dalam media dapat membantu pembentukan kalus. Sedangkan menurut Yokoya et al. (2004), perbedaan efek stimulasi bisa terjadi karena perbedaan karakter dan aktivitas dari zat pengatur tumbuh. IAA memiliki sifat kimia yang lebih stabil dan mobilitasnya di dalam tanaman
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-03) - 3
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 rendah. Sifat-sifat itulah yang menyebabkan pemakaian IAA dapat lebih berhasil karena sifat kimianya yang mantap dan pengaruhnya yang lebih lama (Prakoeswa et.al., 2009).
Kecepatan induksi (%)
Perlakuan Kepadatan Eksplan Kepadatan eksplan yang berbeda memberikan sintasan yang bervariasi. Sintasan terbesar adalah D (90%), kemudian berturut-turut C (64,44%); B (56,67%); E (33,33%); serta A (13,33%) (gambar 3). Pada kepadatan 20 eksplan/petridish, tingkat kematian eksplan paling rendah. Pada kepadatan 5–10 eksplan/petridish, kematian eksplan cukup tinggi karena tingkat penyerapan terhadap zat pengatur tumbuh tinggi dan berakibat pada terhambatnya perkembangan eksplan dan kematian eksplan. Menurut Gunawan (1992), zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik selain nutrien yang dalam jumlah sedikit dapat mempengaruhi proses-proses fisiologis, namun dalam jumlah yang berlebih dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Kematian eksplan banyak terjadi pada awal kultur. Hal ini dikarenakan pada awal masa kultur eksplan baru beradaptasi dengan lingkungan kultur, sehingga kondisinya belum stabil. Menurut Huang et al. (1998), kondisi kultur, seperti intensitas cahaya yang tinggi selama kultur, serta penggantian media kultur secara periodik, dapat membunuh sel-sel kalus yang mengakibatkan penurunan sintasan kalus. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 A
B C D E Kepadatan (eksplan/petridish) Gambar 3. Sintasan kalus pada kepadatan berbeda.
Kepadatan (eksplan/petridish)
Kisaran kecepatan induksi pada kepadatan yang berbeda adalah 33,33–71,67%. Kecepatan tertinggi diperoleh pada kepadatan D (71,67%), kemudian berturut-turut C (53,33%); B (43,33%); E (40%); dan A (33,33%) (Gambar 4). Kepadatan eksplan yang ditanam dalam setiap petridish juga mempengaruhi proses induksi. Volume media kultur diduga memiliki interaksi dengan kepadatan eksplan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kultur. Interaksi ini diduga berhubungan dengan menurunnya senyawa inhibitor dalam media (George & Sherrington, 1984).
E D C B A 0
20
40
60
80
Kecepatan induksi (%) Gambar 4. Kecepatan induksi rumput laut K.alvarezii pada kepadatan berbeda.
4 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-03)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Morfologi kalus Morfologi kalus yang terbentuk terdiri dari tiga bagian, yakni: kalus padat, filamen kalus berpigmen, dan kristal filamen kalus (Gambar 5). Menurut Munõz et al. (2006), eksplan K. alvarezii memiliki filamen kalus berbentuk kristal dan filamen kalus berpigmen. Berbeda dengan Turbinaria conoides yang memiliki filamen kalus dalam dua bentuk: (a) filamen kalus berserabut yang terbentuk pada pusat potongan eksplan, (b) filamen kalus yang berbentuk gelembung-gelembung (Kumar et al., 2007).
Gambar 6. Morfologi kalus rumput laut K. alvarezii: kalus padat (a); filamen kalus berpigmen (b); kristal filamen kalus (c) (skala bar : 10 µm). Induksi ditandai dengan terjadinya pigmentasi pada permukaan eksplan, kemudian terbentuk kalus yang berwarna coklat tua. Penambahan zat pengatur tumbuh golongan auksin dapat menstimulasi pembentukan kalus. Zat pengatur tumbuh golongan auksin berperan dalam proses inisiasi pembelahan sel dan pengaturan meristem menjadi suatu jaringan tidak terorganisir (Gaspar et al., 1996). Berdasarkan penelitian Risjani (1999), meristem terdiri dari sel-sel yang memiliki daya regenerasi tinggi. Pada rumput laut K. alvarezii dilaporkan pula meristem memiliki metabolisme nutrien yang tinggi, sehingga inisiasi pembesaran dan proliferasi sel lebih aktif (Risjani dan Yunianta, 2007). Jenis media dasar dan komposisi media yang digunakan dalam kultur in vitro sangat mempengaruhi kecepatan induksi kalus jaringan yang digunakan. Selain itu, adanya zat pengatur tumbuh dalam media kultur juga merupakan faktor yang menentukan dalam keberhasilan induksi kalus dari jaringan eksplan yang dikulturkan. Shirin et al. (2007) mengatakan bahwa adanya auksin dalam media kultur dapat mempercepat terjadinya induksi. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Zat pengatur tumbuh golongan auksin yang berbeda memiliki kecepatan induksi yang berbeda. Kecepatan induksi tertinggi sebesar 71,67% pada penambahan IAA dengan sintasan tertinggi sebesar 90% pada kepadatan 20 eksplan/petridish. Penambahan auksin pada media kultur menghasilkan kalus rumput laut K. alvarezii. Morfologi kalus rumput laut K.alvarezii terdiri dari tiga bagian, yakni: kalus padat, filamen kalus berpigmen, dan kristal filamen. Saran Dalam melakukan seleksi eksplan untuk kultur, hendaknya mempertimbangkan keseragaman umur dan bagian eksplan yang dipotong agar diperoleh keseragaman proses induksi. Daftar Pustaka Anggadiredja. 2007. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. hal 50-53. Gaspar, T., C. Kevers, C. Penel, H. Greppin, D.M. Reid & T.A. Thorpe. 1996. Plant Hormones and Plant Growth Regulators in Plant Tissue Culture. In Vitro Cell Dev. Biol.-Plant (32) : 272 – 289.
Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-03) - 5
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
George E.F. &and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation By Tissue Culture, Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Reading, UK. Eastern Press. 709 p. Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. hal 43-51. Huang, Y., S. Maliakal, D.P. Cheney & G.L. Rorrer. 1998. Comparison of development and photosynthetic growth for filament clump and regenerated microplantlet culture of Agardhiella subulata (Rhodophyta, Gigartinales). J. Phycol. (34) : 893 – 901. Kumar, G.R., C.R.K. Reddy & Bhavanath Jha. 2007. Callus induction and thallus regeneration from callus of phycocolloid yielding seaweeds from the Indian coast. J. Appl. Phycol. (19) : 15 – 25. Munõz, J., A.C.C. Lõpez, R. Patiño & D. Robledo. 2006. Use of plant plant growth regulators in micropropagation of kappaphycus alvarezii (Doty) in airlift bioreactors. J. Appl Phycol (18) : 209-218. Parenrengi, A., E. Suryati & Rachmansyah. 2007. Penyediaan benih dalam menunjang kebun bibit dan budidaya rumput laut, Kappaphycus alvarezii. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan, 7 Agustus 2007 di Jakarta. 12 pp. Paula, E.J., C. Erbert & R.T.L. Pereira. 2001. Growth rate of the carragenophyte Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Gigartinales) in vitro. Phycological research (49) : 155-161. Prakoeswa, S.A., Ribkahwati & D.R. Suryaningsih. 2009. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Dian Prima Lestari. Sidoarjo. hal. 3-29. Prasad, K., A.K. Das, M.D. Oza, H. Brahmbhatt, A.K. Siddhanta, R. Meena, K. Eswaran, M.R. Rajyaguru & P.K. Ghosh. 2010. Detection and quantification of some plant growth regulators in a seaweed-based foliar spray employing a Mass Spectrometric Technique sans Chromatographic Separation. J. Agric. Food Chem., 2010, 58 (8), p. 4594–4601. Reddy, C.R.K., Raja G. Krishna Kumar, A.K. Siddhanta & A. Tewari. 2003. In vitro somatic embryogenesis and regeneration of somatic embryos from pigmented callus of Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (Rhodophyta, Gigarti-nales). J. Phycol. 39: 610–616. Reddy, C.R.K., B. Jha & Y. Fujita. 2008. Seaweed micropropagation techniques and their potentials : an overview. J. appl. Phycol 20 : 609-617. Risjani, Y. 1999. Studies on thallus regeneration and N content in the tissue of E. alvarezii. Agritek 4(7) : 64-68. Risjani, Y. & Yunianta. 2007. Metabolisme asam amino pada algae laut K.alvarezii (Rhodophyceae). Jurnal penelitian perikanan 10(2):199-203. Shirin F., M. Hossain, M.F. Kabir, M. Roy & S.R. Sarker.2007. Callus induction and plant regeneration from intermodal and leaf explants of four potato (Solanum tuberosum L) cultivars. World J. Agric. Sci., 3(1) : 01 – 06. Yokoya, N.S., J.A. West & A.E. Luchi. 2004. Effects of plant growth regulators on callus formation, growth and regeneration in axenic tissue cultures of Gracilaria tenuistipitata and Gracilaria perplexa (Gracilariales, Rhodophyta). Phycological Research 52 : 244–254. Tanya Jawab -
6 - Semnaskan _UGM / Rekayasa Budidaya (RB-03)