Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS KEPITING BAKAU, Scylla tranquebarica Fabricius, 1798 DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT Agus A. Sentosa* dan Amran R. Syam Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jl. Cilalawi No. 01, Jatiluhur, Purwakarta Jawa Barat 41152 *Penulis untuk korespondensi, E-mail:
[email protected] Abstrak Perairan pantai Mayangan merupakan kawasan mangrove di Kabupaten Subang dengan komoditas tangkapan utamanya adalah kepiting bakau. Scylla tranquebarica (Fabricius,1798) merupakan salah satu dari empat jenis kepiting bakau yang terdapat di Mayangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek pertumbuhan dan mortalitas S. tranquebarica di perairan Pantai Mayangan, Subang. Survei lapang dilakukan pada bulan April, Juni, Agustus dan November 2009. Data lebar karapas dan berat kepiting bakau dikumpulkan melalui enumerator sejak Januari hingga November 2009. Data yang terkumpul dianalisis hubungan lebar karapasberatnya dan estimasi parameter pertumbuhan dan mortalitas menggunakan FiSAT II. Hasil menunjukkan kepiting bakau tersebut memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif. S. tranquebarica diduga memiliki lebar karapas asimtot (CW∞) sebesar 13,65 cm (jantan) dan 14,18 cm (betina) dengan laju pertumbuhan (K) kepiting bakau betina yang cenderung lebih cepat dibandingkan jantan. Laju mortalitas kepiting betina juga relatif lebih tinggi dibandingkan jantan. Keberadaan S. tranquebarica yang memiliki laju pertumbuhan yang rendah dan mortalitas yang tinggi diduga terkait dengan adanya degradasi habitat mangrove di Mayangan. Kata kunci: mayangan, mortalitas, pertumbuhan, Scylla tranquebarica Pengantar Kepiting bakau terutama dari genus Scylla sp. merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis penting (Sulistiono et al., 1994) terutama di wilayah Indo Pasifik (Millamena & Quinitio, 1999) karena jenis tersebut dikonsumsi sebagai sumber makanan laut yang berkualitas dan dijadikan komoditas ekspor (Fortes, 1999). Permintaan terhadap kepiting bakau cenderung meningkat, baik di dalam maupun di luar negeri. Volume ekspor kepiting secara nasional juga meningkat dari 18.673 ton pada tahun 2009 menjadi 21.537 ton pada tahun 2010 (Ditjen P2HP KKP, 2011). Perairan pantai Mayangan di Kabupaten Subang yang terletak pada 6°12,018’ – 6°14,018’ LS dan 107°45,00’ – 107°47,54’ BT memiliki karakteristik sebagai kawasan mangrove yang dua pertiga wilayahnya telah dimanfaatkan sebagai areal tambak tumpangsari (silvofishery) dengan sistem empang parit dan komplangan (Siahainenia, 2008). Perairan Mayangan merupakan salah satu daerah penghasil kepiting bakau yang utama di Provinsi Jawa Barat. Produksi kepiting bakau di Mayangan sebagian besar masih berasal dari aktivitas penangkapan. Syam et al. (2009) menginformasikan bahwa produksi kepiting bakau hasil tangkapan nelayan di Mayangan meningkat dari 20 ton/tahun (2007) menjadi 28 ton/tahun (2008). Menurut Rugaya (2006), tercatat terdapat empat jenis kepiting bakau di perairan Mayangan, yaitu Scylla serrata, S. olivacea, S. tranquebarica dan S. paramamosain. Syam et al. (2011) menunjukkan bahwa komposisi jenis kepiting bakau di sekitar perairan mangrove Mayangan didominasi oleh jenis Scylla serrata sebesar 88 %, kemudian S. tranquebarica 11,8 % dan sisanya adalah S. paramamosain. Penelitian mengenai kepiting bakau dari spesies S. serrata sudah sering dilakukan mengingat jenis tersebut merupakan jenis yang dominan dan umum dijumpai. Penelitian dengan obyek S. tranquebarica di perairan pantai Mayangan perlu juga dilakukan mengingat spesies tersebut merupakan salah satu komponen dalam komunitas kepiting bakau di Mayangan.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04) - 1
pMS-04
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 Populasi kepiting bakau di perairan Mayangan akhir-akhir ini cenderung mengalami tekanan yang berasal dari akibat degradasi habitat, alih guna lahan pada kawasan mangrove dan ekspoitasi yang berlebihan (Siahainenia, 2008). Wijaya et al. (2010) menyatakan bahwa populasi kepiting bakau berasosiasi dengan hutan bakau yang masih baik sehingga apabila habitat tersebut rusak maka akan memberikan dampak yang serius pada populasinya. Menurut Le Vay (2001), status bioekologi kepiting bakau yang berhubungan dengan biologi populasi perlu dipahami untuk mendukung pengelolaan kepiting bakau yang berkelanjutan. Oleh karena itu, kajian mengenai populasi S. tranquebarica perlu dilakukan dalam rangka pengelolaan dan konservasi sumber daya kepiting bakau di perairan Mayangan. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter populasi yang meliputi aspek pertumbuhan dan mortalitas S. tranquebarica di perairan pantai Mayangan, Subang. Bahan dan Metode Penelitian dilakukan di sekitar perairan Pantai Mayangan di Desa Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Survei lapang dilakukan pada bulan April, Juni, Agustus dan November 2009. Lokasi pengambilan data tersebar pada titik-titik penempatan bubu lipat (badong) yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di kawasan mangrove pantai Mayangan sebagaimana disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi penelitian di perairan Pantai Mayangan, Subang (Google, 2011). Sampel kepiting bakau yang diperoleh dari hasil tangkapan bubu lipat kemudian diidentifikasi berdasarkan Afrianto & Liviawaty (1992), Keenan et al. (1998) dan Siahainenia (2008). Sampel yang diperoleh lalu diamati jenis kelaminnya, kemudian diukur lebar karapas (cm) dan beratnya (gram) menggunakan calliper (jangka sorong) dan timbangan. Data lebar karapas dan berat kepiting bakau juga diperoleh dari hasil tangkapan nelayan setempat menggunakan bantuan enumerator selama periode Januari hingga November 2009. Pendugaan parameter pertumbuhan S. tranquebarica dilakukan berdasarkan data frekuensi lebar karapas dengan interval kelas 0,5 cm yang dikumpulkan setiap bulan selama bulan Januari sampai November 2009 menggunakan bantuan program Microsoft Excel. 2 Rasio kelamin dianalisis menggunakan uji chi square (χ ) untuk melihat keseimbangan rasio jantan dan betina (Walpole, 1992). Pola pertumbuhan kepiting bakau dianalisis menggunakan persamaan hubungan lebar karapas dan berat tubuh (Biswas, 1993) sebagai berikut: b W = a(CW)
2 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 dengan W adalah berat kepiting dalam gram, CW adalah lebar karapas kepiting bakau dalam cm. Nilai konstanta a dan b diestimasi melalui analisis regresi linier. Nilai b diuji ketepatannya terhadap nilai b = 3 menggunakan uji-t dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila nilai b = 3, maka pola pertumbuhan adalah isometrik, sedangkan bila b ≠ 3, maka pola pertumbuhan adalah alometrik (Effendie, 2002). Pertumbuhan kepiting bakau dianalisis menggunakan model pertumbuhan von Bertalanffy (Sparre & Venema, 1999; Effendie, 2002) dengan dengan persamaan matematis sebagai berikut: -K(t-to) Lt = L∞ (1 – e ) Metode penentuan panjang asimtot (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) diduga menggunakan subprogram ELEFAN I yang terdapat pada paket perangkat lunak FiSAT II (Gayanilo et al., 2005). Panjang asimtot (L∞) tersebut analog dengan lebar karapas asimtot (CW ∞) pada kepiting bakau. Umur teoritis (to) diduga menggunakan persamaan empiris Pauly (1983) dengan rumus sebagai berikut: Log –(to) = -0,3922 - 0,2752 Log L∞ - 1,038 Log K dan untuk penentuan kelompok umur (kohort) dilakukan pemisahan distribusi normal data frekuensi panjang dengan metode gerak maju modus dengan analisis Bhattacharya menggunakan paket program FiSAT II (King, 1995; Gayanilo et al., 2005). Laju mortalitas alami (M) diduga dengan metode Rikhter & Efanov (1976) yang terkait dengan Tm50% yang merupakan umur dimana 50% populasi telah matang (umur matang yang masif) dengan rumus sebagai berikut:
M=
1, 521 − 0,155 (Tm50%)0,720
Nilai Tm50% diduga dari informasi sekunder mengenai ukuran lebar karapas pada saat matang gonad dengan rumus yang dinyatakan Sparre & Venema (1999) sebagai berikut:
t = to −
L 1 *ln 1 − t K L∞
Pendugaan mortalitas total (Z) dilakukan menggunakan metode kurva konversi hasil tangkapan dengan panjang (length converted catch curve) pada paket program FiSAT II (Pauly, 1983; Gayanilo et al., 2005). Mortalitas penangkapan (F) dan laju eksploitasi dihitung dengan rumus Pauly (1983): Z = M + F dan E =
F Z
Hasil dan Pembahasan Scylla tranquebarica (Fabricius, 1798) memiliki karakteristik yang berbeda dengan ketiga jenis Scylla lainnya. S. tranquebarica memiliki ciri-ciri morfologi yang mudah dikenali (Gambar 2) antara lain memiliki bentuk karapas yang bundar agak lonjong serta tebal dengan warna hijau tua kehitaman. Kepiting tersebut juga memiliki duri-duri yang terletak di bagian depan tubuhnya, masing-masing 9 buah pada bagian kanan dan kiri tubuh, serta 4 buah duri terletak diantara dua buah tangkai matanya. Bentuk duri agak tinggi, membulat, dan tumpul serta terdapat dua duri yang tajam pada propondus dan dua duri tajam pada carpus. Kaki kepiting bakau terdiri dari lima pasang kaki dimana sepasang kaki pertama memiliki ukuran besar yang berbentuk capit dan pada kaki jalan terakhir mengalami modifikasi berbentuk dayung. Pola poligonal terlihat melimpah pada dua pasang kaki jalan terakhir dan sedikit atau tidak ada sama sekali pada bagian tubuh lainnya (Afrianto & Liviawaty, 1992; Keenan et al., 1998; Siahainenia, 2008).
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04) - 3
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Gambar 2. Scylla tranquebarica (Fabricius, 1798) yang tertangkap di Mayangan. Penelitian di perairan Mayangan dilakukan sejak Januari hingga November 2009 namun kepiting bakau dari jenis S. tranquebarica tidak tertangkap pada bulan Januari dan Februari. Total kepiting bakau yang tercatat tertangkap adalah sebanyak 1406 ekor yang terdiri atas 631 ekor kepiting jantan (44,88%) dan 775 ekor (55,12%) kepiting betina dengan rasio kelamin 0,8 : 2 1. Hasil analisis dengan uji chi-square (χ ) menunjukkan bahwa rasio kelamin kepiting bakau jantan dan betina berbeda nyata terhadap 1 : 1 sehingga kondisi populasinya tidak seimbang dan lebih didominasi oleh kepiting betina. Kondisi tersebut berbeda dengan jenis S. serrata di Mayangan yang lebih didominasi oleh kepiting jantan (Sentosa & Syam, 2011) namun sejalan dengan hasil penelitian (Tanod, 2000) di Segara Anakan, Cilacap. Perbedaan tersebut terkait dengan perbedaan preferensi habitat dan pola reproduksi antarjenis kepiting bakau di Mayangan (Siahainenia, 2008). Menurut Hill (1982), rasio kelamin kepiting bakau dapat berubah menurut musim, tempat dan ukuran kepiting.
Gambar 3. Distribusi frekuensi ukuran lebar karapas S. tranquebarica yang tertangkap selama penelitian di Mayangan. Gambar 3 menunjukkan distribusi ukuran S. tranquebarica yang tertangkap selama penelitian di Mayangan. Ukuran lebar karapas kepiting bakau jantan berkisar antara 4,7 – 13 cm (7,0 ± 1,48 cm) dan betina antara 5,0 – 13,7 cm (6,8 ± 1,36 cm). Kepiting jantan yang tertangkap didominasi oleh kelas ukuran lebar karapas 7,5 – 8,0 cm (23,45%) dan betina pada kelas ukuran 6,0 – 6,5 cm (25,74%). Kepiting betina yang berukuran kecil lebih banyak tertangkap dibandingkan yang jantan. Kondisi tersebut diduga terkait dengan kelimpahan
4 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 kepiting betina yang lebih besar dibandingkan jantan. Analisis Bhattacharya menunjukkan populasi S. tranquebarica selama penelitian di Mayangan terdiri atas 3 kelompok umur dengan struktur populasi yang berumur muda lebih banyak dibandingkan yang tua. Kondisi tersebut selaras dengan penelitian Siahainenia (2008) di Mayangan. Struktur umur kepiting bakau membentuk pola piramida dimana kepiting dengan lebar karapas kecil (umur muda) lebih banyak ditemukan dibandingkan yang berumur tua. Menurut Heddy & Kurniati (1994), populasi yang sebagian besar terdiri atas individu muda menunjukkan populasi yang sedang berkembang. Menurut Siahainenia (2008), tingginya populasi kepiting bakau berukuran kecil di Mayangan diduga akibat rendahnya kelimpahan makanan alami yang terkait dengan daya dukung ekosistem mangrove yang semakin menurun sehingga kondisi tersebut mengakibatkan individu kepiting bakau berukuran besar cenderung beruaya ke wilayah yang kelimpahan makanan alaminya relatif tinggi. Pola pertumbuhan yang diduga dari hubungan lebar karapas (carapace width/CW) dengan berat (Weight/W) S. tranquebarica di Mayangan disajikan pada Gambar 4. Hasil analisis menunjukkan nilai b sebesar 2,406 (jantan) dan 2,038 (betina). Berdasarkan uji t diketahui bahwa kedua nilai b tersebut berbeda nyata dengan nilai 3 (P<0,05) sehingga S. tranquebarica baik jantan dan betina di Mayangan memiliki pola pertumbuhan yang bersifat alometrik negatif. Berdasarkan Effendie (2002), pola pertumbuhan tersebut menunjukkan pertumbuhan lebar karapas kepiting bakau cenderung lebih cepat dari pertumbuhan beratnya. Pola pertumbuhan alometrik tersebut bersesuaian dengan pola pertumbuhan S. tranquebarica di perairan Segara Anakan, Cilacap (Tanod, 2000) dan di perairan Ujung Pangkah, Gresik (Tutuheru, 2004).
Gambar 4. Hubungan lebar karapas-berat S. tranquebarica di Mayangan. Parameter pertumbuhan S. tranquebarica di perairan Mayangan disajikan pada Tabel 1. Nilai CW ∞ dan K kepiting bakau tersebut diduga berdasarkan program ELEFAN yang menerjemahkan data distribusi frekuensi ukuran panjang dengan merunut pergeseran modus sebaran tersebut dalam urutan waktu yang disesuaikan dengan kurva von Bertalanffy. Kurva yang melalui modus terbanyak akan menggambarkan pola pertumbuhan dari kepiting tersebut (Sparre & Venema, 1999) sebagaimana disajikan pada Gambar 5. Tabel 1. Parameter pertumbuhan S. tranquebarica di perairan Mayangan. Jenis CW ∞ K to Φ Persamaan Pertumbuhan -1 Kelamin (cm) (tahun ) (tahun) -0,22(t+0,951) Jantan 13,65 0,22 -0,951 1,613 CW t = 13,65 (1 – e ) cm -0,23(t+0,898) Betina 14,18 0,23 -0,898 1,665 CW t = 14,18 (1 – e ) cm Pertumbuhan kepiting bakau betina di Mayangan relatif lebih baik dibandingkan jantan walaupun indeks performansi pertumbuhannya (Φ) tidak jauh berbeda. Kepiting bakau betina mampu mencapai ukuran lebar karapas asimtot (CW ∞) sebesar 14,18 cm sedangkan jantan hanya 13,65 cm sehingga ukuran maksimalnya cenderung lebih kecil. Laju pertumbuhan (K)
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04) - 5
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 kepiting bakau betina juga cenderung lebih tinggi dibandingkan jantan sehingga kepiting bakau betina.
Gambar 5. Analisis gerak maju modus dengan ELEFAN I yang menggambarkan pertumbuhan S. tranquebarica di Mayangan. Secara umum, nilai CW ∞ S. tranquebarica di Mayangan pada tahun 2009 tidak jauh berbeda dengan penelitian Siahainenia (2008) di lokasi dan jenis kepiting bakau yang sama cengan nilai CW ∞ sebesar 13,40 cm (jantan) dan 14,00 cm (betina). Namun, laju -1 pertumbuhannya cenderung lebih rendah dibandingkan nilai K sebelumnya, yaitu 1,40 tahun -1 (jantan) dan 1,27 tahun (betina) (Siahainenia, 2008). Kondisi tersebut diduga terkait dengan perubahan habitat di kawasan mangrove di Mayangan yang cenderung mengalami degradasi akibat alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak. Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa laju pertumbuhan dan indek performansi pertumbuhan antara lain dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan, terutama suhu dan ketersediaan makanan. Moosa et al. (1985) dan Hill (1982) menyatakan bahwa kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Ketersediaan pakan alami yang melimpah di habitatnya akan menyediakan energi yang cukup untuk pertumbuhannya. Namun, apabila habitatnya mengalami kerusakan atau perubahan, maka daya dukung terhadap keberadaan kepiting bakau menjadi rendah. Siahainenia (2008) menyatakan bahwa degradasi ekosistem mangrove diduga akan menurunkan populasi kepiting bakau di alam, baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Mortalitas alami merupakan tingkat kematian dalam populasi yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti pemangsaan, penyakit, tekanan lingkungan, umur tua dan lain-lain. Dugaan terhadap mortalitas alami pada suatu populasi merupakan hal yang sulit mengingat kompleksnya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas. Pauly (1983) telah mencoba
6 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 untuk menyederhanakan dugaan mortalitas alami berdasarkan rumus empirisnya yang mengaitkan kematian alami dengan rerata suhu permukaan perairan tahunan, namun rumus tersebut tidak dapat diaplikasikan pada jenis-jenis krustasea, moluska dan invertebrata lainnya (Sparre & Venema, 1999). Oleh karena itu, dugaan mortalitas alami kepiting bakau di Mayangan dilakukan menggunakan rumus menurut Rikhter & Efanov (1976) yang mengaitkan mortalitas alami dengan Tm50% yang merupakan umur dimana 50% populasi telah matang (umur matang yang masif) sebagaimana yang digunakan pula oleh Saputra (2005) untuk menduga mortalitas udang jari (Metapenaeus elegans) di Segara Anakan, Cilacap. Siahainenia (2008) menyatakan bahwa di perairan mangrove Subang ukuran minimum lebar karapas kepiting bakau jantan adalah 10 cm dan betina adalah 9 cm. Nilai tersebut digunakan untuk menduga umur Tm50% sehingga diperoleh umur matang yang masif bagi kepiting bakau jantan adalah 5,04 tahun dan betina 3,48 tahun. Kondisi tersebut menunjukkan kepiting bakau betina matang lebih cepat dibandingkan jantan. Mortalitas alami S. -1 -1 tranquebarica di Mayangan yang diduga sebesar 0,32 tahun (jantan) dan 0,46 tahun (betina). Terlihat bahwa S. tranquebarica betina lebih tinggi dibandingkan jantan. Mortalitas alami pada kepiting bakau disebabkan oleh umur tua, keadaan lingkungan yang kompleks, daya dukung lingkungan yang rendah, ketidakmampuan adaptasi, persaingan dan kelimpahan makanan alami yang rendah (Paundanan, 1990). Hasil analisis dugaan laju mortalitas total (Z) dengan kurva hasil tangkapan ukuran panjang yang dilinearkan disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 6. Nilai Z tersebut merupakan nilai koefisien slope negatif (-b) yang diperoleh dari plot logaritma alam jumlah contoh ikan (ln N) dengan umurnya (t) (Pauly, 1983). Tabel 2 juga menyajikan kembali nilai M, mortalitas penangkapan (F) dan laju eksploitasi (E).
Tabel 2. Nilai mortalitas dan laju eksploitasi S. tranquebarica di Mayangan. Confidence Jenis Z Korelasi M F 2 R -1 -1 -1 interval Kelamin (tahun ) (r) (tahun ) (tahun ) Jantan 0,68 0,57 – 0,80 -0,9585 0,9188 0,32 0,36 Betina 0,89 0,73 – 1,04 -0,9577 0,9172 0,46 0,43
E 0,53 0,48
Gambar 6. Length converted catch curve S. tranquebarica di Mayangan Laju mortalitas total (Z) kepiting bakau betina cenderung lebih tinggi dibandingkan kepiting bakau jantan, begitu pula dengan laju mortalitas tangkap (F) yang juga lebih tinggi. Hal tersebut disebabkan kepiting bakau betina lebih sering tertangkap oleh nelayan dan menjadi target utama mengingat keberadaan telur pada abdomennya. Laju eksploitasi kepiting bakau di Mayangan secara umum sudah berada pada kisaran tingkat eksploitasi yang optimum. Laju tingkat eksploitasi optimum terjadi jika terdapat keseimbangan rasio antara M dan F sehingga diasumsikan bahwa nilai eksploitasi optimum (EOPTIMUM) yang lestari setara dengan E = 0,5 (Gulland, 1971).
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04) - 7
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 Keberadaan S. tranquebarica yang memiliki laju pertumbuhan yang rendah dan mortalitas yang tinggi diduga terkait dengan adanya degradasi habitat mangrove di Mayangan. Hasil penelitian Siahainenia (2008) menyebutkan bahwa secara umum total laju mortalitas kepiting bakau pada wilayah perairan mangrove Mayangan, lebih disebabkan karena mortalitas alami dan bukan karena mortalitas penangkapan. Degradasi mangrove menyebabkan kelimpahan makanan alami menjadi lebih sedikit dan ruang untuk tumbuh, bereproduksi dan berlindung luasannya juga semakin sempit sehingga akan berpengaruh kepada pertumbuhan yang rendah bahkan akan menyebabkan kematian apabila kepiting bakau tidak mampu beradaptasi dengan kondisi habitat yang ada. Syam et al. (2009) menyebutkan persepsi masyarakat Mayangan mengenai sumber daya kepiting bakau juga menyebutkan bahwa penurunan populasi kepiting bakau juga diakibatkan oleh berkurangnya areal mangrove di kawasan tersebut. Aktivitas penangkapan kepiting bakau juga umumnya dilakukan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan sehingga tekanan penangkapan tidak terlalu besar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar pemanfaatan sumber daya kepiting bakau di Mayangan dapat berkesinambungan adalah dengan memulihkan kondisi populasi kepiting bakau yang sesuai dengan daya dukung lingkungan perairan sebagai habitatnya dan upaya pemahaman masyarakat dalam kegiatan pengelolaan sumber daya kepiting bakau yang berbasis penangkapan di alam yang sesuai dengan konsep keseimbangan alamiah. Kesimpulan 1. Pola pertumbuhan S. tranquebarica di perairan Pantai Mayangan bersifat allometrik negatif -0,22(t+0,951) ) cm bagi kepiting bakau dengan persamaan pertumbuhan CW t = 13,65 (1 – e -0,23(t+0,898) jantan dan CW t = 14,18 (1 – e ) cm untuk betina. 2. Laju mortalitas alami (M), mortalitas tangkap (F) dan mortalitas total (Z) kepiting bakau betina cenderung lebih tinggi dibandingkan kepiting bakau jantan. 3. Keberadaan S. tranquebarica yang memiliki laju pertumbuhan yang rendah dan mortalitas yang tinggi diduga terkait dengan degradasi habitat mangrove di Mayangan. Ucapan Terima Kasih Tulisan ini merupakan bagian dari kegiatan penelitian “Pemacuan stok kepiting bakau (Scylla spp) di Pantai Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat” Tahun Anggaran 2009 di Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Daftar Pustaka Afrianto, E. & E. Liviawaty 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius. Yogyakarta: 78p. Biswas, S.P. 1993. Manual of Methods in Fish Biology. South Asian Publishers, New Delhi: 157p. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2011. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2010: Buku I. Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Sekretariat Jenderal, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta: 526p. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta: 163p. Fortes RD. 1999. Mud Crab Research and Development in the Philippines: An Overview. In Keenan, C.P. & A. Blackshaw (eds). Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Scientific Forum held in Darwin, Australia, 21-24 April 1977. ACIAR Proceeding (78): 27 – 32p. Gayanilo, F. C. Jr., P. Sparre & D. Pauly. 2005. FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II (FiSAT II). Revised version. User's Guide. FAO Computerized Information Series (Fisheries). No. 8, Revised version. FAO Rome: 168p.
8 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04)
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012
Gulland, J.A. 1971. The Fish Resources of the Oceans. FAO Fishing News (Books) Ltd. Surrey: 255p. Heddy, S. & M. Kurniati. 1994. Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi: Suatu Bahasan tentang Kaidah Ekologi dan Penerapannya. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Hill, B.J. 1982. The Queensland Mud Crab Fishery. Queensland Department of Primary Industry. Series FI 8210. Queensland: 13p. Keenan, C.P., P.J.F. Davie & D.L. Mann. 1998. A Revision of the Genus Scylla De HAAN, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology, National University of Singapore, 46 (1): 217 – 245p. King, M. 1995. Fisheries Biology: Assessment and Management. Fishing News Books, Blackwell Science Ltd. Oxford: 341p. Le Vay L. 2001. Ecology and Management of Mud Crab Scylla spp. In Proceeding of the International Forum on the Culture of Portunid Crabs. Asian Fisheries Science (14): 101111. Millamena, O.M. & E.T. Quinitio. 1999. Reproductive Performance of Pond-sourced Scylla serrata Fed Various Broodstock Diets. In Keenan, C.P. & A. Blackshaw (eds). Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceeding of an International Scientific Forum held in Darwin, Australia, 21-24 April 1997. ACIAR Proceedings (78): 114 – 117p. Moosa, M,K., I. Aswandy, & A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau, Scylla serrata (Forskal) di Perairan Indonesia. LON-LIPI, Jakarta: 18p. Pauly, D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks. FAO Fisheries Technical Paper (254): 52p. Paundanan B. 1990. Potensi dan Beberapa Parameter Dinamika Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata Forskal) di Perairan Tamuku Luwu. Jurusan FAPET Universitas Hassanuddin. Thesis. Rikhter, V.A. & V.N. Efanov. 1976. On One of the Approaches to Estimation of Natural Mortality of Fish Population. ICNAF Res.Doc., 76/VI/8: 12p. Rugaya, H.S.S. 2006. Karakter Morfometrik Kepiting Bakau (Scylla serrata, Scylla paramamosain dan Scylla olivacea) di Perairan Pantai Desa Mayangan, Kab. Subang, Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Sorihi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate. Vol 1, No. 5: 26 – 42. Saputra, S.W. 2005. Dinamika Populasi Udang Jari (Meetapenaeus elegans de Man 1907) dan Pengelolaannya di Laguna Segara Anakan Cilacap, Jawa Tengah. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi: 213p. Sentosa, A.A. & A.R. Syam. 2011. Sebaran Temporal Kondisi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Pantai Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dalam Isnansetyo, A. dkk. Prosiding Seminar Nasional Tahunan VII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2011 Jilid II: Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada: BP-03, 9p. Siahainenia, L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Disertasi: 246p.
Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04) - 9
Seminar Nasional Tahunan IX Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 14 Juli 2012 Sparre, P. & Venema, S. 1999. Introduction to Tropical Fish Stock Assesment. (Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis, alih bahasa : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan). Buku 1: Manual. Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta: 438 hal. Sulistiono, S. Watanabe, & S. Tsuchida. 1994. Biology and Fisheries of Crabs in Segara Anakan Lagoon. In Takashima, F & K. Soewardi (eds). Ecological Assessment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture, JSPS-DGHE Program. DOHM Press. Tokyo, Japan: 65 – 76p. Syam, A.R., Sulistiono, E.S. Kartamihardja, S.E. Purnamaningtyas, P. Rahmadi, S. Romdhon, U. Sukandi, H. Satria, A. Nurfiarini & Kosasih. 2009. Pemacuan Stok Kepiting Bakau (Scylla spp) di Pantai Utara Jawa. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Laporan Akhir; 55p. Tidak Dipublikasikan. Syam, A.R., Suwarso & S.E. Purnamaningtyas. 2011. Laju Eksploitasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Mangrove Mayangan, Subang – Jawa Barat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 17 No. 3 September 2011: 201 – 207p. Tanod, A.L. 2000. Studi Pertumbuhan dan Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata, S. tranquebarica, S. oceanica di Segara Anakan, Kab. Cilacap, Jawa Tengah. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi: 50p. Tutuheru, A. 2004. Studi Pertumbuhan dan Beberapa Aspek Reproduksi Kepiting Bakau Scylla serrata dan S. tranquebarica di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi: 84p. Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika (Diterjemahkan oleh Bambang Sumantri). Edisi Ketiga. PT. Gramedia. Jakarta: 515p. Wijaya, N.I., F. Yulianda, M. Boer & S. Juwana. 2010. Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata F.) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (2010) 36(3): 439 – 456p. Tanya Jawab -
10 - Semnaskan _UGM / Manajemen Sumberdaya Perikanan (pMS-04)