SEMINAR NASIONAL PERANPELESTARIANHIDUPANLIARDANEKOSISTEMNYA DALAM PEMBANGUNAN NASIONALYANGBERKELANJUTAN JAKARTA,22 JULl1997
PROSIDINGS
PENYUNTING: Kasijan Romimohtarto Soedjadi Hartono Sri Murni Soenarno
Diselenggarakan oleh: Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia, YSI (The Indonesian Wildlife Fund, IWF) 1997
:i
PROGRAM REHABILITASI DAN PENGELOLAAN
TERUMBUKARANG: SEBUAH UPAYA PENYELAMATAN LINGKUNGAN PESISIR INDONESIA! Kurnaen Sumadhidarga2 dan M. Kasim Moosa.1
ABSTRAK Penelitian terhadap ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia yang dilakukan oleh para peneliti dari Puslitbang Oseanologi-LIPI berhasil mengungkapkantentang adanya degradasi kondisi terumbu karang yang masih terus berlangsung. Kegiatan manusia merupakan penyebab utama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai penyebab langsung antara lain adalah penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan zat kimia beracun, sedangkan yang secara tidak langsung adalah sedimentasi dan pencemaran yang terjadi sebagai akibat dari berbagai kegiatan manusia. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia memiliki fauna karang batu yang paling tinggi keragamannya di dunia. Ekosistem terumbu karang adalah tempat tinggal, bertelur, mencari makan dan berlindung dari berbagai bentuk kehidupan. Banyak di antara biota yang hidup di ekosistem terumbu karang mempunyai nilai ekonomi penting, baik sebagai bahan makanan maupun sebagai bahan baku berbagai macam industri. Indonesia telah melakukan inisiatif untuk menyelamatkan ekosistem terumbu karangnya dalam bentuk suatu kegiatan yang diberi nama "Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang" atau "Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP)". Program ini dipersiapkan untuk mengatasi kondisi terumbu karang yang terus mengalami degradasi dan memungkinkannya untuk dikelola dengan mengikutsertakan masyarakat serta telah mendapatkan beberapa donor internasional yang bersedia memberikan bantuan pendanaan. Tujuan yang ingin dicapai ialah untuk memungkinkan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang secara lestari dan berkesinambungan. Untuk memungkinkan tercapainya tujuan program ini maka perlu dibangkitkan kepedulian masyarakat akan pentingnya penyelamatan suatu ekosistem dan meningkatkan jalinan kerjasama intersektoral serta dalam waktu bersamaan membangun kemamptian sumberdaya manusia dan jaringan informasi mengenai ekosistem terumbu karang.
1 Makalah disajikan pada Seminar Nasional "Peran Pelestarian Hidupanliar dan Ekosistemnya Dalam Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan" diselenggarakan oleh Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia, YSI (The Indonesian Wildlife Fund. IWF). Jakarta, 22 Juli 1997. 2 Kepala Puslitbang Oseanologi-LIPI 3 Ketua Tim Persiapan CORE MAP
""",'.". """"i'~,,"~i!I"~~~
ABSTRACT Researches on the Indonesian coral reefs carried out by the researchers of the Research and Development Center for Oceanology-LIP! have revealed that the degradation of the coral reef condition in Indonesia still persists. Human activities, directly or indirectly, cause this degradation. The direct causes, among other things, are fishing activities using dynamites and poisonous chemicals, while the indirect causes are sedimentation and pollution as the results of human activities. As an archipelagic state, Indonesia possesses the most diverse stony coral fauna in the world. Coral reef ecosystem is the home, the spawning and feeding grounds, as well as the hiding place for different kinds of life forms. Many of the coral reef biota are of economically importance as the resources of food as
well as of industrial materials.
.
Indonesia has initiated to safe her coral reef ecosystem under a program called "Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) ". This program is prepared for rehabilitating and managing the coral reefs which are undergoing continuous degradation, and enabling them to be managed by involving Indonesian people or communities. This program receives funding supports from several international donors. The aim of this program is to enable the continuous and sustainable utilization of the coral reef resources. To accomplish this aim, it is necessary to raise community awareness in conserving an ecosystem and to create intersectoral cooperation. At the same time, it is necessary to build human resource capability and to establish information network on coral reef ecosystem. PENDAHULUAN
Kawasan pesisir Indonesia sangat kaya akan berbagai ekosistem pantai seperti perairan estuari, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, paparan pasang surut, dan berbagai ekosistem kepulauan keci!. Masing-masing ekosistem ini, bersama-sama dengan berbagai macam habitat yang ada di dalamnya, mengandung keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi. Luas terumbu karang Indonesia yang sebenarnya masih belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar lebih dari 60.000 km2yang terbentang dari ujung barat sampai ke ujung timur perairan Indonesia (WALTERS 1994). Sekitar dua pertiga garis pantai Indonesia yang sangat panjang itu dilindungi oleh terumbu karang. Oi Indonesia terdapat tiga macam tipe struktur
terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi (fringing reej), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan terumbu karang cincin atau atol. Oi antara ketiganya, terumbu karang penghalang yang paling umum dijumpai (SUKARNO et al. 1981). Oalam strategi dunia mengenai konservasi (IUCN/UNEP/WWF. 1980), terumbu karang diidentifikasi sebagai salah satu komponen utama yang sangat 9
penting sebagai penunjang berbagai macam kehidupan yang dibutuhkan dalam produksi makanan, kesehatan dan berbagai segi kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjutan. Terumbu karang merupakan sumber bahan baku untuk berbagai kegiatan manusia seperti bahan bangunan, bahan baku industri, kerajinan, perhiasan, dan juga sebagai bahan penghias keindahan rumah. Belakangan ini semakin banyak terungkap bahwa berbagai jenis biota yang hidup di ekosistem terumbu karang ternyata mengandung substansi kimia aktif yang mempunyaipotensi untuk dikembangkansebagai bahan obat-obatan. Terumbu karang melindungi pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, mencegah terjadinya erosi pantai dan mendukung terbentuknya pantai berpasir di samping juga melindungi berbagai macam fasilitas yang dibangun di kawasan pelabuhan, pemukiman, lahan pertanian dan kawasan industri. Ekosistem terumbu karang bersama-sama dengan ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan, perlindungan dan juga merupakan tempat berpijah bagi banyak jenis biota laut yang berpotensi ekonomi. Peranan ekosistem ini juga sangat penting dalam menunjang perikanan tradisional berskala kedl, terutama bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Nilai dari perikanan kecil ini seringkali kurang diperhitungkan, karena sebagian besar nelayan yang menangkap ikan yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak tercatat. Namun demikian diperkirakan secara kasarnya bahwa panenan lestari dari perairan terumbu karang dengan kedalaman kurang dari 30 m adalah sekitar 15 ton per km2 (MUNRO & WILLIAMS 1985). Oi Asia Tenggara, perikanan perairan terumbu karang ini berperan penting. Sudah diperkirakan bahwa 8-10% dari seluruh produksi perikanan di Pilipina berasal dari produksi ikan karang, di Sabah dan Malaysia lebih dari 20% dan di Indonesia, sekitar 5% dari seluruh produksi perikanan negara berasal dari produksi ikan karang. Ikan-ikan yang hidup di perairan karang juga merupakan komoditi perdagangan dengan nilai yang tinggi dalam bentuk ikan konsumsi dan juga ikan hias. Selain ikan, juga berbagai biota laut lainnya yang hidup di ekosistem terumbu karang telah dimanfaatkan seperti kerang-kerangan (moluska), udang kepiting (krustasea), penyu, binatang karang (karang batu dan karang lunak) dan rumput laut (alga). Industri pariwisata sedang berkembang dengan amat pesat. Meskipun masih belum menempati urutan pertama .dalam menghasilkan devisa seperti pada beberapa negara, namun industri ini merupakan salah satu faktor utama penunjang perekonomian, terutama pada negara kepulauan seperti Indonesia yang beriklim sangat menyenangkan, dengan pantai berpasir dan berair jernih ditambah lagi dengan terumbu karang yang sangat indah dan menawan. Wisata bawah air, terutama di perairan terumbu karang beserta kegiatan pendukungnya, sedang berkembang di Indonesia dan diperkirakan akan dapat memberikan masukan devisa yang sangat besar bagi negara. Kegiatan penelitian biologi terhadap ekosistem terumbu karang Indonesia yang dilakukan sejak tahun enampuluhan sampai awal tahun tujuhpuluhan memberikan gambaran tentang bagaimana rentannya ekosistem terumbu karang ini, terutama terhadap kegiatan manusia dan sangat lambaIlIJya dalam hal kemampuanuntuk memperbaikidiri kalau sudah rusak (JOHANNES 1975). ]0
Penelitian-penelitian yang dilakukan belakangan ini memperlihatkan bahwa komunitas biota di perairan terumbu karang dinamis dan tidak mapan. Pergantian atau pun penyembuhan kembali dari gangguan alami merupakan kemampuan yang biasa dijumpai (CONNEL 1978). Hal ini pernah dikaji oleh beberapa pakar seperti PEARSON (1981), BROWN & HOWARD (1985), yang beranggapan bahwa terumbu karang sebenarnya tidaklah terlalu rentan sebagaimana diperkirakan. Namun, binatang karang batu, yang selanjutnya disebut saja karang batu, membutuhkan sinar matahari, suhu, kecerahan air, salinitas dan oksigen. Ketidakmampuan bergerak dari karang batu menjadikannyarentan terhadap siltasi dan kekurangan oksigen. Topan dan badai, penyakit dan perubahan paras laut menunjukkan bahwa terumbu karang sebenamya mampu mempertahankan diri terhadap berbagai musibah alami (PEARSON 1981), meskipun cara dan kecepatan penyembuhannya sangat
berbedaantarasatu denganlainnya.
'
Pemulihan terumbu karang akan diperkirakan memakan waktu yang sangat lama. Peristiwa geologik tertentu atau gempa tektonik dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang seperti yang terjadi di Indonesia, misalnya di Laut Flores atau di Laut Banda yang disebabkan oleh gempa bumi dan letusan gunung berapi. Namun demikian, dari pengalaman yang diperoleh di Kepulauan Banda, Maluku, ternyata terumbu karang di sana telah pulih kembali beberapa tahun setelah mengalami musibah letusan gunung berapi. Hal ini perlu dicermati pula bahwa pemulihan karang batu sangat bergantung pada ketersediaan larva karang di perairan bersangkutan dan juga keberadaan substrat tempat larva tadi menempelkandiri. Selain itu kecepatan tumbuh dari lain marga atau jenis karang batu sangat berlainan. Khusus untuk kasus Kepulauan Banda ini, terbentuknya kembali tutupan karang batu yang seolah-olah penuh (pristine) belum mencerminkan kondisi tutupan semula, karena jenis-jenis oportunistik tentunya dapat menguasai wilayah terlebih dahulu. Oleh karena itu pengkajian harus melihat kembali pada data yang ada sebelum letusan terjadi. Ada keprihatinan akan peranan manusia terhadap meledaknya populasi pemakan karang batu Acanthaster planci dalam kurun waktu yang semakin lama semakin sering walaupun belum diperoleh persamaan persepsi mengenai hal ini (BROWN 1987). Pemangsa karang batu d~at menimbulkandampak yang besar terhadap struktur dan pertumbuhan terumbu karang. Hal ini terlihat terutama di perairan Indo-Pasifik Barat yang pernah mengalami ledakan populasi Acanthaster planci yang menyebabkan kerusakan terumbu karang. Bertambahnya populasi pemangsa karang batu ini juga mulai terindikasi di beberapa perairan Indonesia seperti misalnya di Kepulauan Seribu. Meskipun dalam kehidupannya terumbu karang telah seringkali mengalami perubahan-perubahan alam, namun dampak dari kegiatan manusia bersamasama dengan faktor penyebab kerusakan alami dapat menjadikan semakin
melemahnyadaya kemampuanterumbu karang untuk memperbaikidirinya kembali. Hal ini terutama karena kegiatan merusak yang dilakukan oleh manusia sering bersifat lebih kronik, tidak bersifat sementara seperti halnya kerusakan yang terjadi akibat musibah alami. Karena terumbu karang mempunyai arti 11
ekonomikpentingmakakepulihannyadalamwaktuyang lamamerupakansuatu hal penting untuk dipikirkan. Ancaman-ancaman terhadap kelestarian terumbu karang sangat erat berkaitan dengan semakin padatnya penduduk di kawasan pesisir. Indonesia merupakan negara yang paling padat penduduknya di Asia Tenggara dan hampir semua pusat-pusat perindustrian berada di kawasan pesisir. Tekanan oleh penduduk terhadap perairan pantai walaupun pada beberapa daerah belum begitu parah namun terlihat semakin memberat. Terumbu karang tepi (fringing reef) yang terletak berdekatan dengan kawasan pantai amat rentan terhadap pencemaran dan sedimentasi yang berasal dari daratan walaupun sumbernya terletak cukup jauh, seperti misalnya penggundulan hutan dan perluasan areal pertanian. Atol dan terumbu karang penghalang (barrier reef) agak kurang rentan terhadap aktifitas manusia di daratan, karena pada umumnya terletak cukup jauh. Namun mereka tetap terancam oleh cemaran yang dibawa oleh arus laut atau yang ditimbulkan oleh kapal-kapal laut dan juga terhadap kegiatan penangkapan yang merusak seperti penggunaan bahan peledak dan racun KONDISI TERUMBU KARANG DI INDONESIA Berdasarkan hasil kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Oseonologi-LIPI, diperoleh gambaran bahwa hampir 43% terumbu karang di Indonesia sudah rusak berat atau bahkan dapat dianggap berada diambang kepunahan, sedangkan yang masih sangat baik hanya sekitar 7%. Informasi tentang dampak dari kegiatan manusia terhadap terumbu karang di Indonesia masih sedikit sekali yang dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah, yang menyajikan besarnya dampak yang timbul dan besarnya kemampuan ekosistem ini untuk memperbaikidiri. Ekosistem terumbu karang Indo~esia mengalami berbagai macam tingkatan ancaman terhadap keberadaannya. Xncaman-ancaman tersebut ada yang sangat sulit untuk diatasi, ada pula yang masih dapat ditanggulangikarena belum terlalu berat. Ancaman yang timbul akibat bencana alam memang seringkali berada di luar kemampuan untuk ditanggulangi, seperti bencana akibat gempa tsunami atau letusan gunung berapi. Namun bencana akibat ledakan pemangsa karang masih mungkin diperingan atau diatasi. Kerusakan yang paling dirasakan adalah karena berbagai kegiatan manusia yang dapat secara langsung ataupun secara tidak langsung dapat menyebabkankerusakan. Faktor-faktor penyebab kerusakan terumbu karang di Indonesia Ekosistem terumbu karang Indonesia merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya. Ketidak-tahuan masyarakat akan betapa rentannya ekosistem ini terhadap kegiatan manusia menyebabkan timbulnya degradasi. Beberapa faktor penyebab kerusakan antaranya diterangkan di bawah ini : 12
Sedimentasi Pengikisan tanah adalah sumber yang paling utama terhadap meningkatnya sedimentasi di perairan pesisir dan dianggap sebagai sumber utama yang memberikan dampak paling merusak terhadap keberadaan terumbu karang. Penebangan dan penggundulan hutan, serta perladangan dengan sistem tebang dan bakar hutan yang terjadi di berbagai daerah; dan penebangan hutan mangrove yang berfungsi sebagai perangkap sedimen, menyebabkan hutan ini semakin menyempit arealnya. Keadaan ini merupakan penyebab utama sedimentasi yang terjadi di perairan pesisir. Perluasan areal pertanian, industri dan perkotaan juga menyebabkan timbulnya sedimentasi akibat dari pengikisan lapisan permukaan tanah. Dampak lanjutan ialah akibat dari penggunaan pupuk dan pestisida dari kegiatan pertanian. Respons karang batu terhadap sedimen sangat beragam. Beberapa jenis karang batu hanya bertahan terhadap sedimentasi ringan namun ada juga yang mempunyai respons faal atau fisiologi untuk menghapus sedimen yang menempel.Namun biar bagaimana pun, banyak kejadian yang memperlihatkanterjadinya kerusakan terumbu karang yang parah yang diakibatkan oleh proses sedimentasi. Lebih-Iebih,siltasi semacam ini sangat sulit dikendalikan karena kemungkinan sumber sedimennya sendiri berada jauh dari lokasi yang mengalami gangguan dan berada di bawah wewenang beberapa instansi yang berlainan. Pencemaran Pencemaran perkotaan atau limbah karena sampah merupakan problema yang potensial di banyak negara. Penurunan kondisi terumbu karang akibat pencemaran perkotaan ini juga pernah dilaporkan di beberapa negara. Pencemaran karena sampah organik menimbulkan yutrofikasi dan merangsang pertumbuhan alga yang akan menutupi permukaan karang batu, menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dan kontaminasi toksik (JOHANES 1975, BROWN & HOWARD 1985; PASTOROK & BILYARD 1985). Kepulihan terumbu karang dapat berlangsung lebih cepat apabila sumber pencemarannya dihilangkan dan sekarang ini terlihat usaha yang semakin meningkat, yang berupaya untuk menyalurkan pembuangan air limbah ke tempat yang lebih dalam yang mempunyai arus kuat dan sirkulasi tidak terbatas. sehingga tidak mengganggu kelestarian terumbu karang. Pencemaran termal yang bersumber dari pusat-pusat pembangkit tenaga listrik dan kompleks industri dapat menyebabkan keluarnya zooxanthella dari binatang inangnya, suatu proses yang disebut "bleaching". yaitu menyebabkan memutihnya warna karang batu dan biota lain yang bersimbiose dengan dinoflagellata ini. Kenaikan suhu sekitar 4°C saja biasanya sudah dapat memberikan dampak yang merusak. Akibat jangka panjang dari pencemaran logam berat dan pencemar lainnya yang sejenis terhadap terumbu karang masih belum banyak diketahui. Namun yang sangat memprihatinkan adalah pada negara-negara yang melakukan kegiatan penambangan di kawasan pesisirnya. Thailand merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai kegiatan penambangan yang memberikan 13
dampakyang nyata terhadapterumbukarangdan terutamamelaluisedimentasi atau mungkin juga dampak tersebut terjadi melalui pencemaran (CHANSANG 1985). Penambangan timah lepas pantai juga merupakan kegiatan yang dapat menyebabkankerusakan ekosistem terumbu karang. Dampak dari pencemaran minyak terhadap terumbu karang sedang diteliti secara intensif. Sumber pencemaran minyak dapat berasal dari beberapa kegiatan seperti dari terminal minyak, buangan dari kapal, tumpahan kapal tanker, penyulingan dan juga dari pengeboran minyak lepas pantai yang kesemuanya merupakan sumber pencemaran yang sangat potensial. Perairan Asia Timur merupakan salah satu perairan yang sangat rawan terhadap pencemaran minyak akibat kebocoran kapal tanker dan laporan dari kecelakaan akibat pencemaran ini pernah diterima dari Indonesia dan Pilipina. Bertambahnya aktifitas perminyakan diperkirakan akan menyebabkan terusmenerus terjadinya kontaminasi akibat bocoran minyak dari kapal-kapal yang berlalu-lalang. Selat Malaka dan Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang paling rawan (BILAL 1985). Diperkirakan selama ini telah terjadi akibat dampak jangka panjang dari pencemaran minyak terhadap terumbu karang yang belum terdeteksi dengan baik, meskipun dampak jangka pendek yang cukup mematikan telah dapat dirasakan (KNAP et ai. 1983). Walaupun informasi mengenai dampak berat dari tumpahan minyak masih sangat kurang, namun pencemaran minyak yang secara kronik, terutama di daerah pasang-surut dimana karang batu dapat berada dekat dengan permukaan air, masih sering terlihat dalam bentuk gumpalan-gumpalan minyak (tar balls) yang menempel. Barangkali kerusakan yang paling parah yang akan dialami oleh terumbu karang dapat terjadi akibat dari operasi pembersihan tumpahan minyak dengan menggunakan zat kimia, karena deterjen kimiawi yang dipergunakan seringkali bersifat sangat toksik. Pengembangan wilayah pesisir Kegiatan seperti pengurukan untuk mendapatkan lahan bagi pengembangan industri, perumahan, rekreasi dan lapangan udara ataupun pengerukan untuk memperdalam alur pelayaran bagi pelabuhan atau marina, memberikan dampak yang sangat besar karena menyebabkan kekeruhan air dan juga dapat merubah pola sirkulasi air. Kekeruhan akibat sedimentasi dapat merambah ke kawasan yang luas karena sedimen dapat terbawa arus cukup jauh, tergantung pada besar kecilnya partikel sedimen, sehingga dapat mengganggu kehidupan terumbu karang yang letaknyajauh dari lokasi kegiatan. Penambangan karang batu Sejumlah besar karang batu dan pasir pantai diambil setiap tahunnya untuk kebutuhan pembuatan kapur, bahan pembuatan jalan dan bangunan, dan juga untuk fondasi rumah. Hal ini selain dapat menyebabkan timbulnya erosi juga menyebabkan berpindahnya pasir ke lokasi lain yang di sebabkan pola sirkulasi arus laut yang berubah. Penambangan karang batu di Indonesia adalah kegiatan yang sangat penting untuk dikaji, karena selain merupakan kegiatan yang 14
dilarang, juga menimbulkan dampak berat terhadap kawasan pesisir dan peruntukannya. Tangkap lebih (over-exploitation) Eksploitasi terhadap biota terumbu karang semakin bertambah giat dilakukan terutama pada waktu akhir-akhir ini dengan makin berkembangnya wisata bahari dan tumbuhnya berbagai rumah makan "sea-food". Sejumlah biota laut seperti ikan dan Avertebrata (terutama udang karang, akar bahar, berbagai moluska) mempunyai nilai penting sebagai makanan dan juga sebagai cindera mata atau bahan baku untuk membuat cindera mata. Biota ini telah ditangkap secara berlebihan yang dapat menjurus ke arah kelangkaan atau bahkan kepunahan. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa jenis kima (Tridacna spp dan Hippopus spp), lola atau troka (Trochus niloticus), siput hijau atau batulaga (Turbo marmoratus), dan triton (Charonis tritonis) yang hidup di perairan terumbu karang yang sudah sangat terancam keberadaannya. Penangkapan biota terumbu karang untuk perdagangan ikan hias kalau tidak diatur dengan baik akan menimbulkan ketidak-seimbangan biologik, karena semua makhluk yang mendiami ekosistem masing-masing mempunyai peranan yang tidak dapat dilepaskan antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya. Penangkapan ikan konsumsi yang berlebihan, seperti ikan-ikan kerapu (Epinephelidae dan Cephalopolidae), dan ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) menyebabkan nelayan harus mencari ikan-ikan ini di tempat yang lebih jauh dengan akibat harus menanggung biaya yang lebih tinggi dan resiko berlayar yang juga lebih tinggi. Penangkapanmerusak Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak ataupun bahan kimia beracun dinyatakan terlarang. Namun kegiatan penangkapan dengan cara ini masih terus berlangsung secara meluas di seluruh perairan Indonesia. Cara penangkapan dengan bahan kimia beracun dan bahan peledak merupakan kegiatan yang sangat merusak, karena selain menghancurkan terumbu karang juga banyak ikan yang terbunuh tidak dimanfaatkan (tidak diambil karena tidak bernilai ekonomik). Demikian juga banyak Avertebrata dan biota lainnya yang ikut terbunuh tanpa arti apa-apa bagi pelaku penangkapan. Penangkapan ikan karang dengan menggunakan jaring muro-ami yang melibatkan banyak tenaga manusia untuk menggiring ikan masuk ke dalam jaring dianggap merusak terumbu karang, karena mereka menggunakan tali yang diberi pemberat dan juga bambu yang kesemuanya merusak terumbu karang. Penangkapan dengan jaring muro-ami juga tersebar di Indonesia, Malaysia dan Pilipina. Cara penangkapan ikan lainnya yang dikategorikan dapat merusak terumbu karang adalah pukat dasar (trawl) yang dioperasikan berdekatan dengan terumbu karang dan penangkapan dengan bubu di terumbu karang dengan menimbuni alat tersebut dengan batu karang yang masih hidup. Penangkapan dengan menggunakan tombak atau panah (spearfishing) juga banyak dilakukan dan dampaknya terhadap kelestarian terumbu karang masih banyak diperdebatkan orang. 15
Pemanfaatanuntuk rekreasi intensif Walaupun sekarang ini wisata bahari belum menyebar luas di indonesia, namun gejala-gejaia peningkatan rekreasi ini menunjukkan peningkatan yang cukup tajam. Wisata bahari merupakan salah satu rekreasi yang dapat menimbulkan kerusakan pada terumbu karang, terutama berkenaan dengan kegiatan rekreasi penyelaman. Dampak negatif lainnya yang dapat ditimbulkan oleh wisata bahari adalah kerusakan terumbu karang akibat meletakkan jangkar di atas terumbu, perahu yang mendaratkan wisatawan di atas terumbu, wisatawan yang berjalan di atas terumbu, limbah dari kemasan (plastik, kaleng minuman) dan pengambilan biota sebagai cindera mata. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan wisata bahari pada umumnya bersifat lokal. Tampaknya dampak yang berat tidak berasal dari kegiatan di dalam airnya tetapi lebih sebagai akibat dari pengembangan wilayah pesisir untuk wisata dan pencemaran yang ditimbulkannya. Fasilitas untuk pariwisata biasanya terpusat pada suatu kawasan yang sempit berupa teluk-teluk kecil dengan sistem sirkulasi agak tertutup. Pemecah ombak atau dermaga yang dibangun untuk melindungi pantai dapat menyebabkan berubahnya pola arus sehingga mengakibatkan dapat berpindahnya timbunan pasir di kawasan pantai yang dapat menjurus kepada timbulnya erosi pantai. PROGRAM REHABILIT ASI DAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG Kerentanan terumbu karang membuatnya menjadi sangat peka terutama terhadap tekanan yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Hasil pemantauan terumbu karang yang dilakukan oleh Puslitbang Oseonologi-LIPl memperlihatkan bahwa lebih dari 71% terumbu karang di perairan indonesia berada dalam kondisi sedang atau jelek. Hal ini disebabkan oleh kegiatankegiatan yang disebutkan di atas. Di samping itu, rendahnya kesadaran masyarakat, termasuk aparat pengendali dan pengawasan, dan tumpangtindihnya birokrasi serta kelemahan dalam menentukan hak pemanfaatan daerah pesisir ikut dalam proses penurunan kondisi terumbu karang yang ada. Pemerintah menyadari akan pentingnya perlindungan terhadap ekosistem laut sehinggadirencanakanuntukmenetapkan30juta ha atau ]0% dari wilayah perairan laut Indonesia untuk dijadikan kawasan konservasi laut. Saat ini telah ditetapkan 2,6 juta ha daerah konservasi laut yang tersebar di 29 lokasi. 17 diantaranya merupakan tempat konservasi terumbu karang. Pencanangan beberapa inisiatif baru seperti Program Laut Lestari, Strategi Nasional Pengelolaan dan Konservasi Terumbu Karang dan Program Siskamla, telah membantu munculnya perhatian para pembuat kebijakan tentang masalahmasalah konservasi laut. lnisiatif untuk melakukan kegiatan Program Rehabilitasi dan Pengolahan Terumbu Karang (COREMAP) telah mendapat dukungan dari berbagai instansi pemerintah seperti Bappenas, LIP\' Departemen Dalam Negeri, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Departemen Pertanian, Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, dan Departemen Kehutanan. 16
Beberapa badan keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank), Global Environment Facilities (GEF). Bank Pembangunan Asia (ADB), JlCA dan AUSAIO (Australia) telah pula menyatakan akan ikut berpartisipasi dalam kegiatan COREMAP. Oalam persiapannya proyek mendapatkan bantuan dana dari Japan Grant Fund (JGF) dan Global Environment Facilities (GEF) yang disalurkan melalui Bank Duma. Tujuan Program Tujuan utama COREMAP adalah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut ekosistem terumbu karang Indonesia dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berada di sekitarnya. Oi samping itu, bagi terumbu karang yang rusak dan mengalami degradasi akan dicarikan jalan untuk merehabilitasinya serta membangun swadaya masyarakat untuk mengelola terumbu karang yang ada agar tidak menjadi lebih buruk kondisinya, bahkan diharapkan dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian berbagai bentuk kehidupan yang sangat tinggi keanekaragamannya di ekosistem tersebut dapat terpelihara dengan baik dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan lestari tanpa merusak sumberdaya alamnya. Pengelolaan diharapkan akan dilakukan oleh masyarakat setempat sendiri sehingga rasa memilikimenjadi nyata. Oleh karena itu, dalam kegiatan ini akan diadakan berbagai macam pendidikan dan latihan guna membangun sumberdaya manusia yang mampu dan mandiri. Komponen Program Komponen-komponenyang terdapat dalam program ini adalah: 1. Meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat akan pentingnya peranan terumbu karang bagi kehidupan manusia dan mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam memelihara, melindungidan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara lestari dan berkesinambungan. 2. Membentuk kesepakatan dan koordinasi intersektoral dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan terumbu karang. Oalam komponen ini dimasukkan kemampuan antar instansi terkait dalam mengantisipasi segala permasalahan yang menyangkut terumbu karang, menyusun rencana kegiatan, pelaksanaan pengelolaan dan pengawasan serta meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dan peralatan yang diperlukan. 3. Membangun dan meningkatkan sistem pemantauan, pengawasan dan penindakan hukum untuk menghindari kegiatan-kegiatan merusak. Komponen ini akan mengikutsertakan instansi terkait dalam bidang pengawasan, pemantauan, penyelidikan dan penindakan hukum yang ada dalam berbagai tingkatan. 4. Mengembangkan jaringan informasi mengenai rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang. Dalam komponen ini akan dilakukan kegiatan inventarisasi, penelitian dan pemantauan terumbu karang serta bertujuan mengembangkan cara-cara yang efektif untuk merehabilitasi dan mengelola terumbu karang agar dapat dimanfaatkan secara lestari dan berkesinambungan. Penelitian 17
dan pemantauan akan mencakup berbagai ilmu kelautan dan ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan. 5. Mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia. Komponen ini mencakup peningkatan mulai dari tingkat ketrampilan sampai dengan pendidikan tingkat tinggi (strata tiga). Juga dimaksudkan dalam pengembangan kemampuan sumberdaya manusia ini, mendidik masyarakat, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), untuk mampu melakukan kegiatan-kegiatan teknik dalam memperoleh penghidupan yang lebih baik seperti usaha budidaya sehingga tekanan terhadap terumbu karang akibat dari ketergantungan hidup yang tinggi menjadi berkurang. Persiapan Kegiatan Persiapan untuk mengantisipasi kegiatan COREMAP telah lama dilakukan oleh Puslitbang Oseanologi-LIPI dalam bentuk pengadaan kegiatan pendidikan dan pelatihan selam (SCUBA) serta mengajarkan metodologi untuk mengevaluasi kondisi terumbu karang yang diberi nama Program Pemantauan Terumbu Karang. Tujuan program ini adalah: 1. Membentuk simpul jaringan pemantauan terumbu karang yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia. 2. Mempersiapkan sumberdaya manusia yang memadai untuk menilai kondisi terumbu karang di Indonesia dalam usaha untuk pengelolaannya. 3. Membangun dan mengembangkan pusat data nasional mengenai terumbu karang. 4. Melatih SCUBA dan kemampuan untuk menilai kondisi terumbu karang dan ikan karang clan melakukan pemantauan kondisi terumbu karang untuk jangka panjang. 5. Memperkuat kerjasama antara perguruan tinggi, institusi pemerintah clan lembaga swadaya masyarakat. 6. Menambah pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya perairan pantai. Peserta pada umumnya mempunyai latar belakang pendiclikanyang sangat beragam dan berasal dari seluruh pelosok tanah air yang menaruh minat pada wilayah pesisir dan terdiri dari: . Tenaga pengajar pada perguruan tinggi; . Tenaga perencana pemerintah (pusat dan daerah); . Lembaga penelitian kelautan; . Tenaga pelaksana taman nasional; . L S M dan lembaga pembangunan kemasyarakatan . Swasta yang bergerak di biclang usaha kelautan, terutama yang berkaitan dengan perairan pantai. Program ini telah dimulai sejak tahun 1992 dan masih terus berlanjut. Sampai dengan akhir tahun 1996, jumlah peserta yang telah mengikutipenataran terbagi dalam peserta pelatihan selam (SCUBA) berjumlah 376 orang; peserta pelatihan monitoring dan penilaian terumbu karang berjumlah 408 orang; dan 18
peserta lanjutan 175 orang. Tenaga pengajar untuk kegiatan ini berjumlah 15 orang, peserta berasal dari ) 5 propinsi. Peserta yang mengikuti SCUBA berjumlah cukup besar, namun sebagian tidak berhasil memenuhi persyaratan untuk dapat mengikuti metodologi pemantauan. Jumlah peserta monitoring dan penilaian terumbu karang terlihat lebih besar daripada peserta yang mengikuti latihan selam, karena ada sebagian peserta pemantauan yang tidak termasuk dalam kegiatan pelatihan selam. Peserta yang mengikuti latihan untuk pelatih atau peserta lanjutan adalah mereka yang telah mengikuti metodologi pemantauan.
RENCANASTRATEGIUNTUKIMPLEMENTASICORE~ Untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan telah disiapkan strategi yang masih terus dikaji dan akan diujicobakan untuk mendapatkan pengalaman. Beberapa strategi yang telah disusun adalah sebagai berikut:
I. Menghilangkanpenyebabkerusakan Konsep dasar Terumbu karang merupakan ekosistem yang mampu memperbaiki dirinya sendiri apabila diberi perlindungan dari dampak kegiatan manusia dan diberi kesempatan untuk menyembuhkandiri dari dampak kronis maupun akut. Pendekatan strategik Membangun intervensi untuk memperkecil atau menghilangkan dampak terhadap terumbu karang, memberikan kesempatan untuk memperbaiki stok dan memberikan altematif aktifitas ekonomibagi pemanfaat.
2.
Meningkatkan kesadaran pada kelompok pembuat keputusan dan masyarakat Meningkatkan pengertian tentang fungsi dan sifat-sifat alami terumbu karang akibat dari pemanfaatan dan altematif yang dapat diperoleh untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi tekanan pada sumberdaya serta perlunya strategi perlindungan konservasi. Kesadaran perlu ditingkatkan pada tiap lapisan masyarakat dan stakeholder kunci dalam kegiatan COREMAP. Pada dasamya sasaran dari program penyadaran mencakup pengambil keputusan dalam pemerintahan dan swasta di samping masyarakat pemanfaat pada lokasi prioritas kegiatan COREMAP. Oalam jangka panjang sasaran akan mencakup guru dan siswa. Melalui peningkatan kesadaran, bersama-sama dengan pelaksanaan peraturan dan peningkatan kemampuan, diperkirakan masyarakat akan menjadi lebih tanggap dan lebih bertanggung jawab untuk melindungi sumberdaya alamnya.
19
. 3. Mengembangkan sistem
pengelolaan setempat
(community based
management) Tanpa rasa ikut memiliki dan rasa tanggung jawab dari masyarakat terhadap pengelolaan dan konservasi terumbu karang, maka usaha mengelola dengan cara top-down terpusat akan mengalamikegagalan. Strategi Pendekatannya adalah: Memberikan kesempatan sepenuhnya bagi pengelola setempat untuk ikut serta dalam perencanaan, pemantauan, penerapan peraturan, dan perlindungan terhadap terumbu karang. Kemiskinan dan tekanan dari pertumbuhan penduduk merupakan faktor kunci penyebab timbulnya kerusakan terumbu karang yang terjadi sekarang. Kebutuhan akan kesempatan melakukan kegiatan ekonomi alternatif dan kemudahan mendapatkan kredit akan membangkitkan kegairahan dan membantu masyarakat untuk meningkatkantaraf hidupnya dan untuk menjauhi mereka dari praktek kegiatan merusak dan tidak lestari. Strategi penting bagi CORE MAP adalah: Pengentasan kemiskinan melalui pengembangankegiatan ekonomipedesaan. Meskipun desentralisasi tanggungjawab yang diberikan pada tingkat propinsi sampai desa diusulkan, namun peran pemerintah pusat masih sangat penting dalam skala nasional untuk membangun koordinasi, kebijaksanaan dan peraturan terpadu, yang akan menjadi pegangan dalam koordinasi kegiatan program di seluruh Indonesia dan untuk memperoleh kesinambungan pendanaan. Pengelolaan oleh masyarakat setempat mempersyaratkan perlunya dukungan dari unsur penegak hukum yang dapat diterapkan secara konsisten dan tegas. 4. Memusatkan perhatian pacta lokasi kunci Pelaksanaan kegiatan COREMAP akan dilakukan serentak di lokasi-Iokasi yang telah disetujui dengan tingkat dan macam intervensi/kegiatan serta waktu yang akan tergantung pada tingkat kesiapan masyarakat setempat. Pendekatan demikian memberikan keleluasaan untuk mempertimbangkan adanya keragaman sosial, ekonomi dan budaya serta kemampuan masyarakat untuk memikul tanggungjawab atas kegiatan COREMAP. Selesainya penilaian ekologik dan sosiologik untuk masing-masing lokasi merupakan langkah penting sebelum pelaksanaan kegiatan dilakukan. Dua kelompok kawasan dan lokasi yang diusulkan yakni: a. Kawasan dan lokasi yang penilaian dan analisis dasarnya telah selesai dilakukan dan dievaluasi telah siap untuk kegiatan implementasi. b. Kawasan dan lokasi yang telah memenuhikriteria untuk dilakukan penilaian, namun belum dilakukan penilaian sosiologik maupun ekologik yang dipersyaratkan.
20
5. Membangun kemampuan dan memperkuat kerjasama antar-instansi terkait Strategi mempromosikan pengelolaan bertumpu pada sistem setempat akan sangat bergantung pada kapasitas perorangan dan kelompok orang dalam suatu institusi, LSM, dan masyarakat setempat untuk ikut mengambil bagian secara aktif dalam pengelolaan dan konservasi terumbu karang dengan melakukan berbagai kegiatan secara efektif dan efisien. Beragam kemampuan dan pengetahuan diperlukan pada tiap tingkatan, termasuk ketrampilan teknik (seperti misalnya, perencanaan, pemantauan dan perawatan alat), pengelolaan sumberdaya manusia, keterampilan dalam berorganisasi.
6. Membangunkerjasama dan jaringan koordinasi
.
Ekosistem pesisir dan laut saling berkaitan dan saling bergantung. Sistem hubungan antar-manusia yang bertanggungjawab untuk pemanfaatan dan pengelolaan terumbu karang dan ekosistem laut lainnya cenderung tidak terkoordinasi dan kegiatan sektoral seringkali mempunyai kebijaksanaan tujuan yang bertentangan. Membangun kerjasama jaringan koordinasi antar pelaksana dari berbagai instansi sangat diperlukan sebagai strategi untuk mendukung COREMAP. Strategi ini akan dilaksanakan dengan pembentukan pusat-pusat informasi terumbu karang (COREMAP) yang akan dilaksanakan secara nasional. 7. Memberikan dukungan pada peraturan tradisional yang sesuai Mendukung dan memperkuat penggunaan hukum adat untuk konservasi sumberdaya laut. Pemerintah mengakui hak ulayat laut tradisional dan praktek konservasi yang dapat mendukung dan memperkuat tujuan COREMAP. Sebagai contoh sasi di Maluku, awig-awig di NTB, sasisen di Irian Jaya, haholo di NTT, Clanongko-rompong serta sillelebas di Sulawesi Selatan. Hukum adat mempunyai potensi untuk mendukung pengelolaan konvensional dan memperkuat konservasi sumberdaya alam tertentu termasuk juga terumbu karang secara keseluruhan. Strategi ini akan memasukkan pengakuan dan mendukung praktek-praktek yang dilakukan, serta mengusahakan dukungan legislatif atasnya. Pada dasamya setiap hukum adat yang mendukung pengelolaankonvensional adalah bersifat lestari secara ekologikdan ekonomik.
8.
Pengelolaan yang berfokus pada penelitian dan pemantauan Untuk melaksanakannya, perlu disusun suatu strategi menggunakan bantuan teknik dan arahan bagaimana mengimplementasikan kegiatan COREMAP, dengan jalan mendapatkan masukan-masukan dari berbagai keahlian teknik dari para pakar Indonesia di berbagai instansi, LSM dan juga dari luar negeri. 9. Belajar dari pengalaman Sebagai komponen akhir COREMAP perlu belajar dari pengalaman, baik pengalaman Indonesia sendiri maupun lainnya, mengenai pengelolaan terpadu 21
sumberdaya alam dan ekosistem lainnya untuk menangani proyek-proyek yang besar dan sangat kompleks. PENUTUP
Program COREMAP direncanakan akan dimulai pelaksanaannya pada tahun anggaran 1998/1999. Tahapan pertama atau tahapan inisiasi merupakan tahapan untuk mengadakan uji coba pada empat propinsi dengan menggunakan dana bantuan dari luar dan diperkirakan memakan waktu tiga tahun. Pada enam propinsi lainnya akan dilakukan kegiatan dengan menggunakan dana pemerintah. Proses mendapatkan dana bantuan masih dalam tahap pembicaraan. Tahap berikutnya adalah tahapan akselerasi. Dana bantuan untuk tahapan akselerasi juga diperkirakan tiga tahun. Tahapan berikutnya adalah tahapan pemantapan (internalisasi) yang juga masih dalam proses serta diperkirakan
akan memakanwaktu lebih lama. Kesemuanyaakan'sangat bergantungpada , keberhasilan dari tahapan inisiasi. Setelah itu diharapkan masyarakat bersama dengan LSM dan Pemerintah Daerah akan terus melakukan kegitan pengelolaan dan juga pemanfaatan secara lestari dan berkesinambungan yang merupakan kegiatan pasca program. DAFfAR PUST AKA BILAL, J. 1985. The state of hydrocarbon pollution in the East Asian Seas based on studies in the Southeast Asian Seas region. In: Environment and Resources of the East As~anSeas. UNEP Regional Seas Report and Studies 69: 217-233 ,/ BROWN, RE. 1987. Worldwide death of corals: natural cyclical events or man-made pollution?Marine Pollution Bulletin 18 (1): 9-13. BROWN, RE. & L.S. HOWARD 1985. Assessing the effects of "stress" on reef cor,als.Advances in Marine Biology 22: 1-63. CHANSANG, H. 1985. Tin mining and sedimentation effects on shallow water benthic communities. In: Environment and Resources of the East Asian Seas. UNEP Regional Seas Report and studies 69: 249-254. CONNEL, J. 1978. Diversity in tropical rainforests and coral reefs. Science 199: 1302-1310. IUCNIUNEP/WWF 1980. World Conservation Strategy. IUCN, Gland, Switzerland. JOHANNES, R.E. 1975. Pollution and degradation of coral reef communities. In: FERGUSON WOOD, EJ & JOHANNES, R.E. (eds), Tropical Marine Pollution. Elsevier ScientificPublishing?Amsterdam: 13-50. KNAPP, AH; T.D. SLEETER; R.E. DODGE; S.c. WYERS; H.R. FRITH & S.R. SMITH 1983. The effects of oil spills and dispersant use on corals. In: Oil and Petrochemical Pollution 1(3) : 157-169.
22
MUNRO, J.1,. & D. MCB. WILLIAMS 1985. Assessment and Management of Coral Reef Fishes: Biological, environmental and socio-economic aspects. Proceedings of the Fifth International Coral Reef Congress 4: 545-578. PASTOROK, R.A. & G.R. BILYARD 1985. Effects of sewage pollution on coral reef communities.Marine Ecology Progress Series 21: 175-189. PEARSON, R. 1981. Recovery and recolonisation of coral reefs. Marine Ecology Progress Series 4: 105-122. SUKARNO; M. HUTOMO; M.K. MOOSA & P. DARSONO 1981. Terumbu Karang di Indonesia. Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. SDE 100. Lembaga OseanologiNasional: 112 h. WALTERS, J.S. 1994. Property rights and participatory coastal management in the Philippines and Indonesia. Coastal Management in Tropical Asia 3: 2024.
23