Seminar Internasional bersama Dr. Ali Mabruk dari Cairo University
CIPUTAT – Kamis, 03/04/14, Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta bekerjasama dengan Internasional Institut of Quranic Studies (IIQS) Kairo, menyelenggarakan Seminar Internasional (al-Multaqâ al-Fikry al-Daûly) dengan mengangkat tema “Beda Buku Nushûsh Haula al-Qur’ân fi al-Sa’yi wara’a al-Qur’ân al-Hayy karya Ali Mabruk”. Sebagaimana tema-nya, perhelatan internasional kali ini menghadirkan Dr. Ali Mabruk, dosen Cairo University sebagai narasumber utama. Dan untuk narasumber pembanding, dihadirkan beberapa tokoh berikut: Pertama, Prof. Dr. Khuzaemah T Yanggo MA (guru besar fiqih perempuan alumni al-Azhar University, pengurus MUI Pusat, juri MTQ dan direktur pascasarjana IIQ); Kedua, Prof. Dr. Thibb Raya MA (guru besar bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah, dewan pakar Pusat Studi al-Qur’an Quraish Shihab); Ketiga, Dr. Ahsin Sakho Muhammad MA (ahli qira’at dan tafsir alumni Universitas Ummul Quro Madinah, juri MTQ, pentashih al-Qur’an dan rektor IIQ); Keempat, Dr. Ahmad Munif Suratmaputra MA (ahli fiqih alumni PTIQ, MUI pusat dan Pembantu Rektor I IIQ). Adapun bertindak sebagai moderator dalam acara ini, Moh. Ulinuha Khusnan MA (alumni al-Azhar University dan dosen IIQ). Selain itu, hadir pula, purek III IIQ, Dr. Ummi Khusnul MA, dekan fakultas Ushuluddin Dr. Faizah Ali Syibromalisi MA, dekan fakultas Tarbiyah Dr. Anshori MA, dekan fakultas Syariah Dra. Afidah Wahyuni MA, kabiro akademik IIQ Dra. Hj. Nur Izzah MA, ketua LPPI Dr. Romlah Widayati, bendahara dan bagian personalia IIQ Ibu Ririt, dosen-dosen seperti Dr. Anshori Sayuthi MA, Ali Mursyid M.Ag, Istiqomah MA dan yang lain-lainnya. Para mahasiswa pascasarana dan beberapa pengurus BEM IIQ juga hadir. Bahasa pengantar yang digunakan
selama seminar, baik ketika presentasi maupun sessi diskusi, full bahasa Arab, tanpa ada penerjemahan. Presentasi Ali Mabruk Mengawali presentasinya Ali Mabruk menyatakan; “Fokus kajian saya, sebagaimana yang saya tulis dalam buku saya, tidak lagi mempersoalkan kajian al-Qur’an secara ontologis, artinya tidak hendak membahas apakah al-Qur’an itukalâmullah atau bukan, atau pembahasan yang sejenisnya. Karena kajian yang semacam itu sudah lama dibahas oleh para ulama. Fokus kajian saya sekarang adalah mencermati tentang bagaimana interaksi (ta’âmul) antara umat Islam dengan al-Qur’an, dalam sejarah peradabannya, sehingga dapat diperoleh rumusan tentang bagaimana sekarang ini kita seharusnya berinteraksi dengan al-Qur’an. Kajian yang saya tekankan adalah tentang bagaimana kita berinteraksi (ta’âmul) dengan al-Qur’an dengan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan pendekatan sebagaimana dipraktekkan oleh para sahabat Nabi SAW”. “Bila kita menengok sejarah Islam, maka setidaknya ada dua model pendekatan atau dua model cara berinteraksi dengan al-Qur’an. Pertama, model berinteraksi yang menjadikan alQur’an sebagai insiprasi untuk memperjuangkan kebenaran dan kemaslahatan. Kedua, model berinteraksi yang menjadikan al-Qur’an sebagai alat legitimasi dan justifikasi (pembenaran) bagi kepentingan (politik) tertentu”, kata Ali Mabruk lebih lanjut. Lebih jelas, ia menjelaskan: “Interaksi umat Islam dengan al-Qur’an model pertama dan model kedua, bisa dilihat dalam sejarah Islam, misalnya dalam peristiwa tahkîm. Di mana Ali bin Abi Thalib, meski banyak ditentang oleh kelompoknya, dan meski ia dalam posisi kuat saat peperangan melawan Muawiyah bin Abi Sofyan, menantu Nabi SAW ini tetap menerima tahkim, dengan pertimbangan untuk mencegah konflik yang lebih besar, mencegah pertumpahan darah yang lebih besar. Meski resikonya, dengan begitu, kekuasaan Ali bin Abi Thalib direbut secara licik oleh Muawiyah bin Abi Sofyan. Dalam hal ini suami Fatimah bint Rasul SAW ini tidak menjadikan al-Qur’an (baca: ajaran Islam) sebagai alat pembenar bagi kepentingannya, tetapi menjadikannya sebagai inspirasi untuk menciptakan kemaslahatan yang lebih besar. Ini adalah model interaksi pertama dengan al-Qur’an” “Adapun model kedua, sebagaimana yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sofyan. Dalam hal ini Muawiyah mengajukan sumpah dengan al-Qur’an, dan menyitir ayat al-Qur’an “wa man lam yahkum bimâ anzalallah fa’ulâika hum al-kâfirûn”, tetapi kemudian dengan ayat al-Qur’an itu, Muawiyah berhasil mengambil kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib, dalam peristiwa tahkîm. Diceritakan dalam peristiwa tahkim tersebut, Mu’awiyah mengangkat alQur’an dengan pedangnya, untuk mengajak Ali bin Abi Thalib menghentikan peperangan (gencatan senjata) dan menerima tahkîm.Jelas sekali, Mu’awiyah menjadikan al-Qur’an sebagai alat pembenar (justifikasi) untuk kepentingan politik. Ini adalah model pendekatan kedua, berinteraksi dengan al-Qur’an seraya menjadikannya sebagai legitimasi atau alat alat justifikasi untuk kepentingan tertentu”, jelas Mabruk lebih jauh. “Contoh lainnya,” lanjut Ali Mabruk, adalah; “Abu Bakkar as-Shiddiq” dan “Abdul Malik bin Marwan”. Ketika Abu Bakar as-Shiddiq dibai’at menjadi khalifah al-rasyidin yang pertama, dalam pidatonya ia menyebutkan: “Saya menjadi pemimpin kalian, meski saya bukan yang terbaik dari kalian….jika saya salah, maka kritik atau evaluasi lah saya…..”. Ini mengindikasikan bahwa Abu Bakkar terbuka untuk menerima kritik dan evaluasi. Ini berbeda sekali dengan Abul Malik bin Marwan, yang dalam pidatonya menyebutkan: “…..kalau ada orang yang berani mengkritik kebijakanku, maka ana qâtilhuhu (akulah yang akan membunuhnya). Jelas sekali Abdul Malik bin Marwan menjadikan kepentingan politik di atas segalanya, ia sangat otoriter
dan tidak bisa menerima kritik. Jika Abu Bakar tidak menjadikan al-Qur’an (baca: kebenaran Islam) demi mempertahankan kepentingan politiknya, dan ini adalah model interaksi dengan alQur’an yang emnjadikan al-Qur’an sebagai inspirasi untuk mencipatakan kemaslahatan, maka Abdul Malik bin Marwan, justru sebaliknya, menjadikan al-Qur’an sebagai alat untuk menjustifikasi (membenarkan) kepentingan politiknya yang otoriter”. Ali Mabruk terus saja menjelaskan secara panjang lebar mengenai isi buku yang ditulisnya. Namun kemudian moderator, Moh. Ulinuha Khusnan mencoba meringkasnya. Menurut moderator ada beberapa point penting dalam buku karya Mabruk ini. Di antaranya: Pertama, tahrir al-Qur’ân min qabdhah al-sulthah wa haimanatihâ (membebaskan al-Qur’an dari kungkungak kekuasaan dan hegomoni politik); Kedua, mu’âmalah ma’a al-Qur’ân mu’âmalatan hayyatan wâqi’iyyatan munfatihatan wa muntijatan (menyerukan adanya interaksi dengan al-Qur’an secara hidup, sesuai dengan persoalan kekinian, dan interkasi yang produktif); Ketiga, ja’lu al-qur’ân mu’âshara lahu wa mu’âsaharah lanâ (upaya menjadikan alQur’an sebagai hidayah yang relevan untuk masa kini); Keempat; anna likulli ra’sin ra’yun, lâ yanbaghi ijbâr al-akharîn ‘ala i’tinâqi wa ittibâ’i madzhabin auw manhajin mu’ayyanin (setiap orang berhak mengemukakan pandangannya, karena itu tidak sepatutnya memaksa orang lain untuk mengikuti salah satu madzhab tertentu; Kelima, al-Qur’an al-Hayy yang dimaksud Ali Mabruk adalah al-Qur’an yang murni yang dijadikan para sahabat Nabi sebagai inspirasi dan rujukan untuk menciptakan kemaslahatan, dan buka al-Qur’an yang sudah menjadi njlimet dengan berbagai kaidah yang dihasilkan oleh para ulama abad ke 2 dan ke 3 Hijriyah. Keenam, Ali Mabruk mengidealkan penafsiran al-Qur’an bi al-ra’yi sebagai model penafsiran yang relevan dengan masa sekarang. Ketika moderator bertanya kepada Mabruk; “Bukankah melakukan perubahan ke arah kemajuan umat Islam bisa dimulai dari berbagai hal, dan tidak mesti dari al-Qur’an. Bukankah kita bisa membiarkan kajian al-Qur’an apa adanya sekarang ini, lalu mengadakan usaha di luar itu untuk memajukan umat Islam? Mabruk menjawab: “Kita tidak bisa keluar dari al-Qur’an. AlQur’an adalah sesuatu yang menjadi sumber utama peradaban Islam. Seluruh ujtihad, karya para ulamma muncul di berbagai bidang, justru karena inspirasi dari al-Qur’an. Karena itu untuk memperbaiki dan memajukan peradaban tidak bisa tidak kita harus memperbaiki cara berinetraksi dengan al-Qur’an. Dalam hal ini kita tidak bisa keluar dari al-Qur’ân”. Sanggahan dan Kritikan Presentasi Ali Mabruk mendapatkan tanggapan, sanggahan dan kritikan yang hangat dan tajam, baik dari para narasumber pembanding, maupun dari para peserta seminar. Berikut ini tanggapan, sanggahan dan kritikan dari para narasumber pembanding: Dr. Ahsin Sakho Muhammad MA mula-mula mengapresiasi, menghargai gagasan Ali Mabruk, sebagai suatu upaya untuk membuka cakrawala baru bagi pembacaan dan pemahaman terhadap al-Qur’an. Tetapi Ahsin kemudian melontarkan beberapa kritikannya; Pertama, buku Ali Mabruk menggunakan bahasa yang terlalu filosofis, shingga sulit dipahami, kecuali oleh akademisi yang menggeluti filasafat dan pemikiran; Kedua, dari sisi ilmu Qirâ’ât, apa yang dikemukakan Ali Mabruk dalam bukunya, tidak sesuai dengan pandangan jumhûr ulama selama ini. Ini karena yang namanya Qirâ’âtadalah hal yang sudah paten, mutawâtir. Prof. Dr, Khuzaemah T Yanggo MA melontarkan beberapa sanggahan dan kritikan sebagai berikut: Pertama, sejalan dengan kritikan Dr. Ahsin, Prof. Dr. Khuzaemah juga mengkiritk tulisan Mabruk tentang Qirâ’ât. Menurut Khuzaemah, apa yang ditulis Mabruk, tidak sesuai dengan ilmu qirâ’ât al-Qur’an. Kedua, beliau juga mengkritik Mabruk tentang kutipan Mabruk kepada al-Baqillani. Seharusnya, menurut beliau, Ali Mabruk bukan hanya mengutip al-
Baqillani, jika memang al-Baqillani menyatakan bahwa kalamullah bukan kalam qadîm, karena itu tidak sesuai dengan pandangan jumhûr ulama. Prof. Dr. Thibb Raya MA mengemukakan pertanyaan dan kritikan. Ia bertanya tentang apa yang sesungguhnya dimaksud oleh Mabruk mengenai al-Qur’ân al-Hayy? Sedang kritikan Pa Thibb adalah mengenai apa yang ditulis Mabruk dalam bukunya yang menyatakan al-Qur’ân laîsa kalâm Allah haqîqiyan wa lakin majâziyan. Pa Thibb mengkritik keras tulisan Mabruk ini, dan menyatakan, mengenai hal ini, perlu hati-hati, dan layak diluruskan. Dr. Ahmad Munif Suratmaputra mengemukakan tanggapan dan kritiknya melalui makalah berbahasa Arab yang beliau tulis khusus untuk menanggapi karya Ali Mabruk. Pertama, Ust. Munif pertama-tama –dalam makalahnya- menegaskan bahwa al-Qur’an sebagai kalam Allah adalah final, tidak perlu dipersoalkan lagi. Bahwa sebagai kalam Allah, yang pada dasarnya adalah kalâm qadîm lâ harfa wa lâ shauta, dan ketika kalâm qadîm ini diiturunkan kepada Rasulullah SAW maka al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab agar umat manusia bisa memahaminya. Hal yang seperti ini –menurut ust. Munif- sudah jelas, dan tidak usah diperdebatkan lagi. Kedua, Ust. Munif menghimbau, dengan menyatakan bahwa sesungguhnya yang penting sekarang ini adalah usaha-usaha agar al-Qur’an bisa dipahami dengan benar dan baik oleh kaum muslimin, hingga ajaran-ajaran dan hukum-hukum dari al-Qur’an bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.Ketiga, ulama dan intelektual Islam memang wajib untuk mencari terobosan-terobosan pemikiran demi kemajuan umat, tetapi bukan dengan menebar dekonstruksi (tasykîk), keraguan dan mengguncangkan iman dan ‘aqîdah. Keempat: Ust. Munif menekankan bahwa al-Qur’an adalah qath’iyy al-tsubût dan qath’iyy alwurud, karena memang al-Qur’an itu al-manqûl ilaînâ bi al-tawâtur (sampai kepada kita dengan cara mutawatir). Hal ini tidak perlu diperedebatkan lagi. Beliau menambahkan, bahwa dalamm keranga syar’iyyah i’tiqâdiyah dan syar’iyyah khalqiyah, dalâlah alQur’an adalahqath’iyyah. Adapun dalam syar’iyyah amaliyah yang terkait dengan af’âl almukallifîn, maka dalâlah al-Qur’an ada yangqath’iyyah dan ada yang zhanniyah. Kelima, ust. Munif mengkritik tulisan Mabruk yang tidak diawali dengan basmalah, hamdalah, shalawat dan salam. Keenam, beliau juga mengkritik cara Mabruk menyusun buku-nya, yang tidak disusun sesuai susunan buku pada umumnya, yang disusun secara sistematis dengan bab-bab dan pasal-pasal yang diurutkan sedemikian rupa. Dr. Faizah Ali Syibromalisi MA, mengemukakan aprisasinya atas gagasan baru Mabruk, tetapi doktor tafsir perempuan alumni al-Azhar ini juga mengingatkan bahwa harus hati-hati agar tidak menyalahi dasar-dasar yang telah disepakati ulama kebanyakan (jumhûr). Dalam kesempatan ini dekan fakultas Ushuluddin ini mengemukakan bahwa mengani tafsir bi al-ra’yi, itu bukanlah hal baru, karena di IIQ hal ini diajarkan dan diyakini ada sejak zaman Nabi SAW dan para sahabat. Jadi ini bukan hal baru. Di akhir tanggapannya, alumus al-Azhar yang lulus dengan mumtâz ini, menanyakan mengenai model atau metode tafsir apa dan bagaimana yang sesuai dengan kondisi zaman sekarang ini? Dr. Anshori Sayuthi MA, mengemukakan persetujuan dan kritikan-kritikan tajamnya. Beliau mengemukakan persetujuan tentang bahwa mengenai Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah dalam peristiwa tahkim itu memang sesuai apa yang dikemukakan Mabruk. Hanya saja beliau tidak setuju ketika Ali Mabruk bahwa ditangan Mu’awiyah posisi al-Qur’an adalah sebagaimana posisi pedang khalifah, yang bisa memaksakan kehendak. Menyebut kata “pedang” untuk posisi alQur’an nampak kurang pas, dan berkonotasi bahwa al-Qur’an itu kejam, padahal yang dimaksud yang kejam dan otoriter kan Mu’awiyahnya. Selain itu doktor ahli fonetik al-Qur’an ini juga mengkritik pemahaman Mabruk mengenai mullafa qulûbuhum. Ust. Anshori juga tidak setuju dengan pandangan Ali Mabruk yang menyatakan likulli ra’sin ra’yun (setiap orang berhak mengemukakan pandangannya). Menurut Anshori Suyuthi, memang kita bebas berpendapat,
tetapi dalam agama itu ada hal-hal yang tsawâbit (pokok-pokok) yang tidak bisa diutak-atik lagi dan ada hal-hal yang mutaghayyirât(bisa berubah) yang masih bisa berubah sesuai hasil ijtihad yang relevan. Jawaban atas Tanggapan dan Kritikan Menjawab tentang kritikan para pembanding, mengenai Qirâ’ât dalam tulisannya, Ali Mabruk menyatakan bahwa apa yang ditulis dalam bukunya mengenai Qirâ’ât bukanlah istilah dalam Ilmu Qirâ’ât melainkan Qirâ’ât dalam arti “pembacaan atau cara memahami”, bukan Qirâ’ât dalam Ilmu Qirâ’ât al-Qur’an. Mengenai al-Baqillani, menurut Ali Mabruk, al-Baqillani adalah tokoh yang bermadzhab kalam Asy’ariyah, sementara beliau juga Asy’ari, jadi kiranya Ali Mabruk, tidak bisa mengkritik al-Baqillani. Karena, menurutnya, mengkritik al-Balqillani adalah sama dengan mengkritik alAsy’ari, sementara ia adalah bermadzhab kalam Asy’ari. “Tetapi memang, sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa meskipun al-Baqillani ini Asya’riyah tetapi dalam karyanya, al-Baqillani membagi kalamullah menjadi kalâm nafsy dan kalâm malfuzh. Kalâm nafsy adalah kalamullah yang qadîmdan azally. Yang bi lâ shaûtin wa lâ harfin. Sementara kalâm malfuzh adalah kalamullah yang disampaikan kepada manusia dengan lafazh bahasa Arab. Kalâm malfuzh ini artinya kalamullah yang qadim azally itu yang terucapkan (malfuzh). Dan karena malfuzh, tidak salah kalau kemudian alBaqillani yang Asy’ariyah itu menyebut kalam malfûzhsebagai hadîts (mahdûts). Kenapa alBaqillani memiliki rumusan seperti itu? Karena situasi saat ia menulis tentang ini, ada tantangan dari kalangan rasionalis mu’tazili yang menanyakan bahwa bagaimana mungkin al-Qur’ân dikatakanqadîm sementara ia adalah yang terucapkan (malfuzh)? Untuk menghadapi pertanyaan itu, kemudian al-Baqillani merumuskan tentang bahwa kalamullah dibedakan menjadi dua: kalâm nafsy dan kalâm malfuzh”, demikian jawaban Ali Mabruk. Mengenai mu’allafah qulûbuhum, yang oleh sahabat Umar tidak diberi zakat, padahal dalam alQur’an jelas ada ayat yang mewajibkan mereka sebagai penerima zakat, Ali Mabruk berdebat panjang dan seru dengan Ust. Dr. Anshori Suyuthi. Perdebatan terus saja mengahngat, sampai pkl. 14.00 WIB. Forum kemudian ditutup, dengan sessi foto-foto. Di sessi ini, yang barusan berdebat keras, Dr. Ali Mabrul dan Dr. Anshori Suyuthi bersalaman, berangkulan dan foto-foto bersama. Memang benar, sudah seharusnya demikian, meski berbeda pandangan, persatuan dan persaudaraan tetap dijaga. Wallahu a’lam bi al-shawab (Ali Mursyid) http://www.iiq.ac.id/index.php?a=detilberita&id=234 - .U01UHlfCZi0