Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
SEMINAR INTERNASIONAL
Towards a Less Cash Society in Indonesia
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Juni 2006
1
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Kata Pengantar Kegiatan seminar internasional sistem pembayaran tentang “Towards a Less Cash Society in Indonesia” telah dilaksanakan selama dua hari di Bank Indonesia, Jakarta, pada tanggal 17-18 Mei 2006. Dari kegiatan tersebut telah dapat kami rangkumkan pokok-pokok materinya dalam buku laporan seminar, dengan harapan agar dapat disimak pandangan dari para pembicara baik dari luar maupun dalam negeri. Dengan latar belakang nara sumber yang beragam mulai dari praktisi, pelaku bisnis, akademisi, anggota parlemen dan dari kalangan bank sentral sendiri serta dengan pembagian kelompok topik diskusi yang lebih terfokus diharapkan buku laporan seminar ini dapat memberikan gambaran utuh dan lengkap tentang peta sistem pembayaran non tunai di masyarakat Indonesia dan berbagai peluang pengembangannya ke depan. Materi buku laporan seminar ini dibagi dalam lima bagian. Bagian Pertama – Pendahuluan – memuat informasi topik para pembicara, pesan penting Gubernur Bank Indonesia dalam pembukaan seminar, dan catatan-catatan penting Bank Indonesia dalam pelaksanaan seminar yang perlu diketahui oleh para peserta seminar yang terangkum dalam keynote speaker Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran. Bagian Kedua - Pokok-Pokok Materi Seminar – dirangkum butir-butir pokok bahasan yang disampaikan oleh masing-masing pembicara dilanjutkan dengan rangkuman hasil diskusi dan tanya jawab yang dituangkan pada Bagian Ketiga. Sementara itu, dalam mengoptimalkan kehadiran pembicara asing di Indonesia, kami rangkumkan hasil sesi diskusi dan tanya jawab di ruang terpisah antara tim teknis dengan Prof. Dr. Leo van Hove dari Vrije Universiteit Brussel dan Mr Antony Morris dari Octopus Cards Ltd Hong Kong sebagaimana dapat dilihat pada Bagian Keempat. Bagian terakhir, Bagian Penutup, kami sarikan pokok kesimpulan seminar yang dilengkapi dengan lampiran materi tulisan dan tayangan seminar dari para pembicara. Kami berharap dengan laporan hasil seminar ini dapat diingat kembali wacana dan solusi yang telah berkembang selama berlangsungnya seminar serta sekaligus sebagai tambahan pengetahuan bagi pihak yang tidak ikut seminar. Makin banyak pihak yang mengetahui permasalahan ini, diharapkan dapat ikut membantu terciptanya masyarakat yang berkecenderungan pada penggunaan alat pembayaran non tunai. Jika terdapat masukan atau komentar mengenai materi dalam laporan hasil seminar ini, dengan senang hati kami berharap masukan dan komentar tersebut dapat disampaikan kepada kami, Tim Pengaturan dan Perizinan Sistem Pembayaran, Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia, melalui e-mail:
[email protected]. Jakarta, Juni 2006 DASP
2
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................................................. 2 Daftar Isi ............................................................................................................................. 3 Bagian Pertama .................................................................................................. 4 Pendahuluan ...................................................................................................................... 4 Penyelenggaraan Seminar Internasional Sistem Pembayaran “Towards a Less Cash Society in Indonesia” ................................................................. 5 1. Waktu dan Tempat Seminar ........................................................................................ 5 2. Pembicara ....................................................................................................................... 5 3. Moderator. .................................................................................................................... 5 4. Peserta Seminar ............................................................................................................ 5 5. Jadwal Seminar. ............................................................................................................ 6 Sambutan Gubernur Bank Indonesia ............................................................................. 9 Keynote Speech Seminar Deputi Gubernur Bank Indonesia. .................................. 12 Bagian Kedua ..................................................................................................... 17 Pokok-Pokok Materi Seminar. ....................................................................................... 17 Pokok-Pokok Materi Seminar Hari I: Non-Cash Payment Instruments ................................................................................... 18 A. Sesi 1: Policy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development ................... 18 B. Sesi 2: Oversight and Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments ........... 25 Pokok-Pokok Materi Seminar Hari II: Market Collaboration and Expectations on Non-Cash Payment Instruments Development .......................................................... 27 A. Sesi 1: National Payment Gateway from the Point of View of Practitioners .. 27 B. Sesi 2: Market Collaboration among Banks, Non Bank Issures, Billers, Merchants and Supporting Services (Switching Companies and Financial Acquirer) ..................................................................................................... 31 Bagian Ketiga ..................................................................................................... 37 Tanya Jawab dan Diskusi ............................................................................................... 37 I. Hari I Sesi 1 .................................................................................................................... 38 II. Hari I Sesi 2 ................................................................................................................... 40 III. Hari II Sesi 1................................................................................................................. 43 IV. Hari II Sesi 2 ................................................................................................................ 48 Bagian Keempat ................................................................................................ 52 Diskusi dengan Pembicara Asing di Luar Seminar ..................................................... 52 Bagian Kelima ....................................................................................................62 Penutup ............................................................................................................................ 62
3
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian
Pertama
PENDAHULUAN
4
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Penyelenggaraan Seminar Internasional “ To w ards a Less Cash Society in Indonesia” 1 . Waktu dan Tempat Seminar Seminar dilaksanakan pada tanggal 17 dan 18 Mei 2006 di Ruang Serbaguna, Gedung Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 3 Kompleks Perkantoran Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10110. 2 . Pembicara Pembicara terdiri dari anggota parlemen, pakar ekonomi, akademisi, praktisi perbankan dan praktisi bisnis yang sangat terkait dengan kegiatan sistem pembayaran, serta internal Bank Indonesia, yaitu: a. Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RI; b. Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI; c. Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar Ekonomi; d. Prof. Dr. Leo van Hove, Vrije Universiteit Brussel; e. Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and Risk Management, Octopus Cards Ltd, Hong Kong; f. Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia; g. Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika; h. Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank Indonesia; i. Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia; j. Bramudija Hadinoto, Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia; k. D.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk; l. Budi S. Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk; m. Ahmad Bambang, PT. Pertamina (Persero); dan n. Ir. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan Sistem Informasi dan Pengembangan Teknologi PT. Jasa Marga (Persero). 3 . Moderator Moderator terdiri dari akademisi dan internal Bank Indonesia, yakni: a. Edmon Makarim, SH, S.Kom, LL.M, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia; b. Halim Alamsyah, Direktur Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia; c. Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia; dan d. Dyah N.K. Makhijani, Kepala Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional, Bank Indonesia. 4 . Peserta Seminar Peserta seminar terdiri dari pakar dan praktisi perbankan, teknologi informasi, instansi pemerintah, Bank Indonesia, merchants, perusahaan penyelenggara kliring/switching, akademisi dan wakil dari lembaga konsumen Indonesia. Dihadiri undangan sekitar
5
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
200 orang yang terdiri dari: a. Internal Bank Indonesia (± 30 orang): 1) Beberapa Pimpinan Direktorat terkait; dan 2) Pimpinan Kantor Bank Indonesia Kelas 1 (Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar). b. Eksternal Bank Indonesia (± 170 orang ), antara lain dari: 1) Departemen Kominfo, Departemen Keuangan, dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; 2) Kalangan perbankan penerbit alat pembayaran dengan menggunakan kartu; 3) Anggota DPR; 4) Mahkamah Agung, Kejaksaan (Agung, Tinggi, Negeri), Pengadilan (Negeri, Tinggi) dan Aparat Kepolisian (Mabes Polri dan Polda); 5) Akademisi (beberapa perguruan tinggi di Jakarta, Bandung dan Bogor); 6) Perusahaan Penyelenggara Switching/Kliring ATM; 7) Merchants (KADIN, Hiswana Migas, Secure Parking, Trans Jakarta, Jasa Marga, Telkom, PLN, Carrefour, Hero dan beberapa responden utama dalam survei); 8) Operator Seluler; dan 9) Wartawan Bidang Ekonomi. 5 . Jadwal Seminar Hari Pertama, 17 Mei 2006 Non-Cash Payment Instruments 08.00 - 09.00 Registrasi Peserta 09.00 - 09.10 Pembukaan oleh Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia 09.10 - 09.30 Coffee Break 09.30 - 09.45 R. Maulana Ibrahim, Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran (Keynote Speaker)The Current Condition of Less Cash Society in Indonesia Sesi I. Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development 09.45 - 11.45 Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RIRegulating Less Cash Society in Relation to National Security Aspect, especially in the Attempt of Preventing Terrorism Financing Prof. Dr. Leo van Hove, Vrije Universiteit BrusselMacro Economic Aspects of Creating Less Cash Society Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar EkonomiLess Cash Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View of Indonesian ObserverPerry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank IndonesiaNon-cash Payments and Monetary Policy Implications in IndonesiaModerator: Halim Alamsyah, Direktur Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia 11.45 - 12.45 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi I
6
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
12.45 - 14.00
Istirahat, Shalat dan Makan Siang
Sesi II. Oversight & Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments 14.00 - 15.30 A s m a n A b n u r, Wa k i l K e t u a K o m i s i X I D P R - R I A s p e k Perlindungan Konsumen Dalam Less Cash SocietyProf. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Aspek Hukum dalam Implementasi Alat Pembayaran Non Tunai Elektronik (e-money) dan Kesiapan Perangkat Hukum Indonesia dalam Menunjang Terciptanya Less Cash SocietyBramudija Hadinoto, Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank IndonesiaPeran Bank Indonesia dalam Pengawasan Sistem PembayaranModerator: Edmon Makarim, SH, S.Kom, LL.M, Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi, Fakultas Hukum UI 15.30 - 16.30 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi II 16.30 - 16.45 Coffee Break dan Selesai Hari I Hari Kedua, 18 Mei 2006 Market Collaborations and Expectations on Non-Cash Payment Instruments Development 08.00 - 08.30
Registrasi Peserta
Sesi I. National Payment Gateway from the Point of view of Practitioners 08.30 - 10.15 Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and Risk Management, Octopus Cards Ltd, Hong KongTowards a Less Cash SocietyBudi S. Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk.Kesiapan Infrastruktur Telekomunikasi dalam Mendukung Less Cash SocietyAhmad Bambang, PT. Pertamina (Persero)Urgensi dan Manfaat Penggunaan Non-cash Payment Instruments bagi SPBU dan Masyarakat Moderator: Dyah N.K. Makhijani, Kepala Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional Bank Indonesia 10.15 - 11.30 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi I 11.30 - 13.00 Istirahat, Shalat dan Makan Siang Sesi II. Market Collaboration among Banks, Non Bank Issuers, Billers, Merchants and Supporting Services (Switching Company and Financial Acquirer) 13.00 - 15.00 Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank IndonesiaPeran Bank Indonesia dalam Mendukung Pengembangan Penggunaan Instrumen Pembayaran Non Tunai dalam Transaksi RitelProf. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri
7
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
15.00 - 16.00 16.00 - 16.30
Komunikasi dan InformatikaElectronic Money dan Peran Pemerintah dalam Transaksi Keuangan berbasis Teknologi InformasiD.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk.Prospek dan Tantangan dalam Mewujudkan Less Cash Society – Case Study BCAIr. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan dan Pengembangan Teknologi PT. Jasa Marga (Persero)Optimisasi dan Efisiensi Pengelolaan Jalan Tol dengan Menggunakan Non-cash Payment InstrumentsModerator: Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi II Kesimpulan dan Penutupan Seminar: Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia
8
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Pembukaan Seminar oleh Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia Dear distinguished speaker, Professor Leo van Hove, Para Pembicara dan Moderator yang saya hormati, Rekan-rekan Anggota Dewan Gubernur yang berbahagia, Para peserta seminar, serta hadirin sekalian yang berbahagia. Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh Marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Robbi atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita dapat berkumpul dan berdiskusi dalam suasana yang baik, menghadiri sebuah seminar yang sangat penting bagi masa depan kita semua. Seminar hari ini membahas salah satu masalah yang merupakan konsekuensi dari globalisasi dan semakin terintegrasinya perekonomian dunia saat ini. Uang dan sistem pembayaran, semakin hari semakin bekembang sepanjang zaman. Kini kita dihadapkan pada tantangan menuju masyarakat yang diistilahkan dalam seminar ini, “less cash society”. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada para pembicara baik dari luar maupun dari dalam negeri yang akan memberikan pandangan dan pengalamannya dalam pengembangan dan penggunaan instrumen pembayaran non tunai. On behalf of Bank Indonesia, I would like to extend a very warm welcome to Prof Leo Van Hove. Your presence here to share your valuable insight on the payment system, especially those on the aspects of economy and legal of less cash society, would be essential for us in developing more reliable and healthier payment system in the future. Hadirin sekalian yang berbahagia, Beberapa waktu lalu ada sebuah tayangan di stasiun televisi CNN mengenai pertumbuhan ekonomi di China. Di sana diceritakan bahwa sekitar 15-20 tahun yang lalu, kalau kita kehilangan credit card di China, kita tak perlu khawatir. Karena pada saat itu di China belum ada kartu kredit. Pencurinya tak akan bisa menggunakan kartu kredit untuk melakukan transaksi keuangan. Tapi sekarang, kemajuan perekonomian telah mendorong secara otomatis perkembangan teknologi, termasuk dalam sistem pembayaran. Gubernur Bank Sentral China pernah bercerita bahwa mereka saat ini sedang mengembangkan China National Advanced Payment System (CNAPS) yang di dalamnya sudah mencakup perkembangan teknologi dalam sistem pembayaran. Tentu kita harus berhati-hati kalau kehilangan kartu kredit sekarang di China. Satu hal yang jadi catatan kita dari berita tersebut adalah, Indonesia juga sedang menuju pada arah yang sama. Saat ini perkembangan alat pembayaran di negeri ini telah meningkat begitu pesat. Teknologi penggunaan instrumen pembayaran non tunai, baik secara domestik maupun secara internasional, telah berkembang pesat disertai dengan berbagai inovasi yang mengarah pada penggunaannya yang makin efisien,
9
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
aman, nyaman dan cepat. Kita melihat bahwa inovasi tersebut tidak saja pada berkembangnya penggunaan instrumen pembayaran berbasis kertas (paper-based), penggunaan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (card-based), dan pembayaran secara elektronik (electronic-based) tetapi juga sudah disertai dengan makin cepatnya proses penyelesaian setelmennya. Para pihak yang terlibatpun semakin bervariasi sehingga memerlukan koordinasi yang baik dalam menyediakan kerangka aturannya. Sejalan dengan itu, di lain sisi kita harus siap menghadapi berbagai konsekuensi yang dapat timbul dari semakin pesatnya perkembangan teknologi tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 2005 lalu, Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK). Dari PBI tersebut, kita melihat respon dan minat lembaga selain bank untuk menjadi penyelenggara kegiatan APMK, khususnya untuk penerbitan kartu pra bayar, sangat positif. Hal ini tercermin dari banyaknya perhatian dari lembaga selain bank tersebut yang meminta konfirmasi dan berdiskusi lebih lanjut kepada Bank Indonesia mengenai kemungkinannya untuk menjadi penyelenggara APMK baik sebagai penerbit kartu, financial acquirer, technical acquirer, maupun switching company. Secara umum, area yang dituju lembaga selain bank kebanyakan adalah untuk berpartisipasi dalam penerbitan kartu prabayar guna kepentingan micro payment, seperti untuk pembayaran tarif tol, transportasi, pembelian bahan bakar minyak, dan transaksi pembayaran retail lainnya. Saudara-saudara para peserta seminar yang saya hormati, Saya berharap seminar pada hari ini dapat dimanfaatkan sebagai wahana yang tepat untuk menggali masukan dan bertukar pikiran, dimana nanti kita mendapatkan garis, arahan, ataupun solusi yang tepat bagi kelancaran sistem pembayaran di Indonesia. Kami di Bank Indonesia, sebagai otoritas, akan tetap bertindak sebagai fasilitator dan katalisator untuk mendukung langkah konvergen antara berbagai pihak yang terkait dalam penyelenggaraan sistem pembayaran tersebut. Hal ini perlu dilakukan agar tercipta harmonisasi di antara para pihak, yang pada akhirnya dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas yang menuntut penggunaan instrumen pembayaran yang lebih convenience. Saya melihat seminar kita pada hari ini juga membahas berbagai aspek kebijakan dan aspek ekonomi dalam pengembangan instrumen pembayaran non tunai. Harapan saya berbagai pertanyaan dan kegalauan yang ada kiranya dapat kita diskusikan bersama. Saudara-saudara yang saya hormati, Demikian yang dapat saya sampaikan pada hari ini. Semoga di ujung hari nanti seminar ini dapat menghasilkan sebuah pandangan, gagasan dan rekomendasi yang nyata yang akan memperkuat keinginan kita untuk mewujudkan Grand Desain Upaya Peningkatan Penggunaan Pembayaran Non Tunai.
10
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Saya juga menyampaikan penghargaan kepada panitia dan rekan-rekan yang telah menyiapkan acara pada hari ini. Akhirnya, saya ucapkan selamat mengikuti seminar, dan dengan mengucap ‘Bismillahirahmanirrahim’ Seminar Dua Hari ini saya nyatakan dibuka. Sekian dan terimakasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh. Jakarta, 17 Mei 2006 Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah
11
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Keynote Speech : The Current Condition of Less Cash Society in Indonesia
R. Maulana Ibrahim Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Sistem Pembayaran Distinguished speaker, Professor Dr. Leo van Hove from Vrije Universiteit Brussel, Para Pembicara dan Moderator yang saya hormati, Rekan-rekan Anggota Dewan Gubernur yang berbahagia, S a u d a r a - S a u d a r a Ta m u U n d a n g a n , P e s e r t a S e m i n a r d a n H a d i r i n S e k a l i a n yang Berbahagia Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua Pagi ini, saya sangat berbahagia dan mengucap syukur dapat menyampaikan keynote speech pada seminar, yang saya rasa sangat penting bagi masa depan sistem pembayaran Indonesia. Topik less cash society yang beberapa waktu lalu masih merupakan wacana, hari ini telah memasuki tahapan yang lebih riil berupa kajian akademis melalui pembahasan dan diskusi yang berkembang dalam forum seminar “Towards a Less Cash Society” pada hari ini. Hasil seminar ini selanjutnya akan digunakan Bank Indonesia sebagai bahan untuk menyusun Grand Design peningkatan penggunaan instrumen pembayaran non tunai, yang merupakan spirit dari terciptanya less cash society. Saudara-Saudara Sekalian yang Berbahagia, Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan sistem pembayaran yang berbasis teknologi telah mengubah secara signifikan arsitektur sistem pembayaran konvensional yang mengandalkan fisik uang sebagai instrumen pembayaran. Paradigma para pelaku ekonomi dalam setelmen transaksi, juga telah mengalami pergeseran. Meski fisik uang sampai saat ini masih banyak digunakan masyarakat dunia sebagai alat pembayaran, namun sejalan dengan perkembangan teknologi sistem pembayaran yang pesat, pola pembayaran tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (non-cash). Setidaknya terdapat tiga basis instrumen pembayaran non tunai, yakni: · Paper-based: cek, bilyet giro dan nota debet · Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM · Electronic-based: e-money, internet banking dan mobile banking Kita sadari, bahwa perkembangan menuju less cash society merupakan trend yang tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut antara lain didukung oleh perkembangan infrastruktur dan teknologi sistem pembayaran seperti kartu ‘chip’ misalnya. Dari sisi konsumen, penggunaan instrumen (non-cash payment) seperti card-based
12
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
dan electronic-based saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan karena transaksi dapat dilakukan dengan praktis, cepat dan nyaman. Bagi masyarakat, penggunaan pembayaran non tunai dengan menggunakan kartu mempermudah transaksi mereka seperti penarikan tunai, transfer dana, dan pembayaran berbagai tagihan rutin lainnya. Semua itu dilakukan tanpa harus datang ke counter atau kantor bank. Bagi bank/penerbit, selain mengikuti trend, penggunaan instrumen non tunai dan berbagai derivatif produknya, tidak dipungkiri menjadi salah satu jurus untuk memperkuat daya saing bank, memperluas pasar, meningkatkan fee-based income dan memberikan layanan plus kepada nasabah. Dari sisi operasional, penggunaan non-cash instrument akan mempercepat dan mempermudah penyelesaian transaksi dan berbagai kebutuhan nasabah dalam satu waktu, serta dengan biaya transaksi yang relatif lebih rendah. Dengan berbagai kelebihannya, e-banking dan APMK juga secara perlahan-lahan telah menjadi bagian integral dari sistem operasional perbankan dan mengubah perilaku pelayanan bank kepada nasabah melalui konsep ‘close to customer’. Tidak hanya di Indonesia, perkembangan non-cash payment di kawasan Asia Pasifik secara umum juga menunjukkan peningkatan dimana nilai transaksi pembayaran melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM cenderung meningkat. Saudara sekalian yang berbahagia, Dari aspek makro, Bank Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa fungsi sistem pembayaran sangatlah kritikal dalam suatu perekonomian. Sistem pembayaran diibaratkan sebagai aliran darah yang menggerakkan dan melancarkan organ-organ perekonomian untuk menjamin kestabilan sistem keuangan. Setiap distorsi yang timbul dalam sistem pembayaran akan mengganggu transmisi likuiditas dalam perekonomian. Oleh karena itu, kelancaran sistem pembayaran melalui transaksi non tunai akan merupakan faktor penentu keberhasilan terciptanya stabilitas sistem keuangan dan efektivitas kebijakan moneter. Peningkatan perputaran ekonomi jelas menuntut dukungan sistem pembayaran yang cepat, aman, efisien, dan handal. Lancarnya sistem pembayaran, selain akan memberikan kepastian masyarakat dalam bertransaksi, secara otomatis juga akan mempercepat peredaran uang (velocity of money) dan mengurangi floating dana dalam setelmen. Perputaran uang yang semakin cepat dalam masyarakat akan menstimulasi kegairahan dan pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari money multiplier yang diciptakannya. Harus disadari, bahwa tingkat keberhasilan sistem pembayaran secara keseluruhan sangat tergantung pada kehandalan instrumennya, teknologi yang digunakan dan jaringan komunikasi. Setiap distorsi yang timbul pada jaringan komunikasi akan menimbulkan gangguan dalam sistem pembayaran yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, sangat concern terhadap potensi risiko tersebut. Oleh
13
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
karena itu saya sangat berharap bahwa para pelaku sistem pembayaran, baik bank maupun non bank, memiliki sistem manajemen risiko yang handal untuk menjamin keamanan dan kepastian bertransaksi. Lemahnya sistem keamanan dalam bertransaksi akan berdampak pada timbulnya risiko operasional dan risiko reputasi yang dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem pembayaran secara keseluruhan. Te r c i p t a n y a k e l a n c a r a n d a n k e a m a n a n s i s t e m i n i a k a n s a n g a t b e r p e r a n dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, dan gangguan atas sistem ini akan menimbulkan financial disturbances yang dapat berisiko sistemik. Saudara sekalian yang berbahagia, Seiring dengan pesatnya perkembangan sistem pembayaran global dan meningkatnya tuntutan publik akan layanan yang lebih baik di bidang jasa pembayaran dengan instrumen non tunai, berbagai penyempurnaan infrastruktur sistem pembayaran telah dan akan terus dilakukan Bank Indonesia, baik dari sisi regulasi, teknologi maupun kompetensi sumber daya manusianya. Kebijakan saat ini dan ke depan diarahkan dengan mengacu pada empat prinsip utama yakni: (i) minimalisasi risiko sistem pembayaran, (ii) optimalisasi efisiensi nasional dalam sistem pembayaran, (iii) kesetaraan akses bagi pelaku sistem pembayaran (fairness), dan (iv) prinsip perlindungan konsumen. Terlepas dari berbagai penyempurnaan infrastruktur tersebut, perkembangan sistem pembayaran nasional masih menyisakan beberapa isu yang perlu prioritas penanganan intensif. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan peningkatan kegiatan transaksi, turut memperbesar kemungkinan risiko dalam sistem pembayaran yang juga perlu dicermati dan diantisipasi. Ke depan, Bank Indonesia secara berhati-hati akan tetap konsisten untuk menegakkan aturan tentang transaksi non tunai ini, khususnya yang berbasis kartu dan elektronik, dalam upaya memberikan perlindungan, baik terhadap institusi penyelenggara maupun konsumen pengguna. Khusus untuk transaksi berbasis kartu, pada akhir tahun 2005, Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan APMK yang didalamnya telah memberikan rambu-rambu sekaligus guidance untuk pengembangan berbagai instrumen non-cash berbasis kartu. Pengaturan tersebut berlaku untuk seluruh penyelenggara kegiatan APMK sehingga dapat mendukung adanya persaingan yang sehat dalam usaha ini, termasuk aspek perlindungan nasabah, aspek pengawasan, dan aspek prudential regulation. Selain berbagai faktor tersebut, pengaturan APMK juga didasari pertimbangan pesatnya pertumbuhan alat pembayaran berbasis kartu i n i d a l a m l i m a t a h u n t e r a k h i r. S e b a g a i g a m b a r a n , pertumbuhan card based instruments seperti kartu kredit rata-rata per tahunnya telah mencapai sekitar 15-30%. Sedangkan untuk kartu debet mencapai 25%-30% per tahun. Sementara itu, perkembangan instrumen kartu prabayar atau stored value card juga sudah mulai marak digunakan, seperti kartu prabayar untuk kepentingan komunikasi, layanan
14
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
permainan anak-anak ataupun kartu busway. Pengembangan dan penggunaan sistem pembayaran non tunai ini di Indonesia potensinya masih sangat besar. Data dari World Bank menunjukkan bahwa hanya sekitar 40% penduduk usia 15-65 tahun memiliki rekening tabungan di bank. Selain itu, statistik uang beredar mencatat bahwa rasio penggunaan uang giral dibandingkan dengan uang kartal pada akhir tahun 2005 adalah 34% : 66%. Apabila produk inovatif perbankan seperti layanan ATM dan kartu debet diperhitungkan, maka rasio uang giral dan kartal mencapai 52% : 48%. Rasio tersebut menunjukkan bahwa instrumen non tunai telah memberikan kontribusi yang besar dalam menekan jumlah peredaran uang kartal dan mempercepat perputaran uang giral. Mencermati perkembangan alat pembayaran berbasis kartu ini, Bank Indonesia sebagai lembaga yang memiliki otoritas di bidang sistem pembayaran akan tetap berperan sebagai fasilitator dan katalisator dalam pengembangan instrumen pembayaran tersebut. Bank Indonesia juga akan terus mendorong institusi yang akan menjadi penyelenggara dan pengembang instrumen pembayaran non tunai ini, seperti pengelola transportasi, pengelola tol, perparkiran, dan penyedia jaringan komunikasi. Selain itu, pada level penetapan kebijakan, kami juga telah berkoordinasi dengan otoritas terkait pada level nasional seperti dengan Departemen Komunikasi dan Informatika dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan di bidang transfer dana dan transaksi elektronik. Saudara-saudara para peserta seminar yang saya hormati, Pertumbuhan berbagai instrumen pembayaran non-cash ini tak lepas dari upaya Bank Indonesia dalam mendorong terbentuknya less cash society dalam sistem pembayaran dengan tetap berpegang pada aspek prudensial dan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Namun demikian, dalam beberapa hal pengembangan less cash society ini masih menghadapi kendala, antara lain: masyarakat Indonesia masih merupakan cash society, dan memegang uang merupakan bagian dari suatu kebiasaan apabila tidak ingin dikatakan sebagai budaya, dimana tendensi bertransaksi dengan uang tunai masih tinggi. Disamping itu masalah infrastruktur pengamanan, teknologi, dan kesiapan perangkat hukum, masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut. Dari aspek legal, belum diakuinya bukti virtual dalam hal terjadi dispute, masih menjadi kendala dalam pengembangan instrumen non tunai khususnya yang berbasis elektronik (paperless). Penyalahgunaan kartu juga masih marak terjadi. Dari sisi ini, kepastian bertransaksi dan aspek perlindungan hukum baik kepada masyarakat pengguna instrumen maupun kepada para penerbit masih menjadi isu. Untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan instrumen berbasis kartu ini, Bank Indonesia secara bertahap meminta kepada para penerbit kartu untuk beralih dari penggunaan kartu magnetic stripe menjadi chip. Kebijakan ini semata-mata didasari pertimbangan untuk memberikan perlindungan baik kepada bank maupun nasabah.
15
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Terkait dengan langkah pemerintah yang meratifikasi International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing, 1997 dan International Convention for the Suppression of Terrorism Financing, 1999 pada tahun 2006, maka kekhawatiran sistem pembayaran digunakan sebagai jalur lalu lintas illegal money juga perlu dicermati. Untuk mengantisipasi hal tersebut, saat ini, melalui kerjasama dengan berbagai instansi terkait, Bank Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang Transfer Dana yang antara lain mengatur mengenai kewajiban perizinan terhadap semua penyelenggara transfer dana, termasuk non-bank money remitters. Dalam hubungan ini, secara internal Bank Indonesia pada tahun ini pun akan mengeluarkan ketentuan yang mengatur kegiatan money remittance. Saudara-Saudara Sekalian yang Berbahagia, Itulah yang dapat saya sampaikan. Menelaah topik-topik yang akan disampaikan dan dengan kualitas pembicara yang telah memiliki reputasi, saya optimis bahwa seminar ini akan mampu memberikan s e b u a h p e m i k i r a n , s e b u a h p e n y e g a r a n , d a n pada akhirnya terlahir suatu konsep strategis dalam mewujudkan less cash society. Ke depan, saya sangat menaruh harapan bahwa pengembangan transaksi noncash melalui jalur elektronik dan mengingat besarnya tingkat penerimaan masyarakat atas berbagai instrumen non-cash, akan menjadi salah satu stimulan untuk mempercepat era less cash society tersebut di Indonesia. Akhirul kalam, saya atas nama Bank Indonesia menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para pembicara dan hadirin sekalian yang telah meluangkan waktu, meringankan langkah dan berkontribusi dalam seminar ini. Demikian, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan tuntunan bagi semua niat baik yang kita rencanakan. Amin. Sekian dan terima kasih, Wassalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh.
Jakarta, 17 Mei 2006 Deputi Gubernur Bank Indonesia
R. Maulana Ibrahim S.
16
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian
Kedua
POKOK-POKOK MATERI SEMINAR
17
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
I. Pokok-Pokok Materi Seminar Hari I, Rabu, 17 Mei 2006 Non-Cash Payment Instruments A .Sesi 1 Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development 1. Regulating Less Cash Society in Relation to National Security Aspects, especially in the Attempt of Preventing Terrorism Financing (Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RI) Topik yang dipaparkan pembicara terkait dengan penggunaan transaksi yang memanfaatkan sarana non tunai sebagai upaya untuk mencegah terjadinya aksi teroris terkait dengan bidang keuangan dan pencucian uang. Dalam kesempatan tersebut dikemukakan bahwa penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat membantu usaha pencegahan dan identifikasi kejahatan, terutama jika dilakukan dengan melacak kegiatan pendanaannya termasuk didalamnya penggunaan transaksi untuk kegiatan terorisme. Secara rinci materi yang disampaikan oleh pembicara mencakup beberapa hal seperti: a. Terdapat beberapa Undang-Undang yang telah disusun untuk mengawasi dan mengatasi terorisme, antara lain: 1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme; 2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2005 tentang Pengesahan Undang-Undang No. 1 Tahun 2002; 3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003; 4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Kerjasama Internasional; 5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Kerjasama dalam Penanganan Kejahatan; 6) Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama Internasional dalam Pencegahan Terorisme Pengeboman, 1997; dan 7) Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama Internasional dalam Pengawasan Pendanaan Terorisme, 1999. b. Tindakan pencucian uang diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi terhadap uang yang diperoleh melalui kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum seperti tindak kejahatan untuk menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang tersebut. Tindakan pencucian uang dilakukan untuk menutupi asal-usul uang terhadap tindakan pelacakan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah atau otoritas yang berwenang dengan memasukkan uang tersebut pada sistem keuangan sehingga seolah-olah uang tersebut menjadi uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal.
18
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
c. Tindakan pencucian uang diyakini dapat memiliki dampak yang relatif luas terhadap masyarakat, antara lain: 1) Tindakan tersebut dapat memberikan kesempatan kepada pengedar narkotika, penyelundup, dan pelanggar hukum lainnya untuk melakukan dan bahkan memperluas ruang lingkup kegiatan illegal yang mereka lakukan. 2) Tindakan tersebut memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian nasional karena melibatkan jumlah uang yang relatif besar. 3) Tindakan tersebut dapat meningkatkan rasa tidak percaya dunia internasional karena dapat meningkatkan ancaman terhadap keamanan internasional. d. Dampak tindakan pencucian uang terhadap keamanan nasional antara lain: 1) Melemahkan sektor swasta yang legal; 2) Melemahkan integritas sistem keuangan; 3) Hilangnya kontrol atas kebijakan ekonomi; 4) Gangguan dan instabilitas ekonomi; 5) Hilangnya pendapatan; 6) Risiko dalam proses swastanisasi; 7) Risiko reputasi; 8) Risiko sosial. e. Kebijakan seperti “Know Your Customer” (KYC) dapat mencegah tindakan pencucian uang. f. Dalam pelaksanaan sarana pembayaran non tunai, pihak perbankanlah yang seharusnya menanggung biaya yang timbul karena pihak perbankan juga menikmati pendapatan dari pelaksanaan sarana pembayaran non tunai tersebut. g. Dalam rangka mengubah budaya masyarakat yang relatif kurang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai sarana pembayaran non tunai, upaya yang harus dilakukan adalah terutama memberikan edukasi yang memadai mengenai sarana pembayaran non tunai tersebut. h. Pemerintah Indonesia tengah mengusahakan kerjasama ekstradisi dengan Singapura, tetapi perjanjian kerjasama tersebut sulit dicapai, terutama karena adanya perbedaan persepsi dalam hal tindakan kejahatan yang dapat diikutsertakan serta perbedaan hukum di kedua negara. Pemerintah Singapura juga menginginkan agar kerjasama di bidang pertahanan juga dibicarakan pararel dengan kerjasama ekstradisi tersebut. 2. Macro Economic Aspects of Creating Less Cash Society (Prof. Dr. Leo van Hove, Vrije Universiteit Brussel) Dalam topik ini dipaparkan beberapa aspek penting mengapa harus mengupayakan less cash society (LCS) dan bagaimana caranya untuk mendorong upaya peningkatan LCS sehingga diperoleh manfaat ekonomi yang lebih besar.
19
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Pada topik ini digambarkan oleh pembicara tentang adanya contoh kasus penggunaan instrumen non-cash di Eropa. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Bank Sentral Belgia dan Belanda dijelaskan bahwa manfaat ekonomi yang dihasilkan apabila masyarakat mengubah perilaku penggunaan instrumen cash menjadi non-cash (dalam kasus ini lebih ditekankan pada e-purse dan kartu debet). Namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam mewujudkan suatu LCS karena adanya pandangan bahwa penggunaan instrumen non-cash lebih mahal dibandingkan instrumen cash. Secara rinci materi yang disampaikan oleh Prof Leo Van Hove mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Pada awal presentasi telah dijelaskan perbedaan antara less cash dengan cashless, dimana less cash berarti upaya untuk mengurangi penggunaan instrumen cash sedangkan cashless adalah upaya untuk menghilangkan penggunaan instrumen cash di masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, menurut pembicara, upaya menuju less cash lebih realistis dibandingkan cashless mengingat akan sangat sulit untuk menghilangkan instrumen cash sebagai alat bayar. Dijelaskan pula bahwa fokus upaya less cash adalah untuk mengganti kebiasaan penggunaan instrumen cash dalam transaksi pembayaran yang bersifat ritel (micro payment) dengan menggunakan instrumen non-cash. b. Telah dipaparkan pula mengenai fakta penggunaan instrumen non-cash untuk retail payment di Belgia. Pada tahun 2004, berdasarkan studi dari bank sentral Belgia, penggunaan cek mulai berkurang bahkan cenderung menghilang sementara penggunaan instrumen cash masih tinggi yaitu mencapai 81% dari total volume dan 63% dari total nilai. Fenomena lainnya adalah tingginya penetrasi pada kartu debet yang mencapai lebih dari 100% selama kurun waktu 25 tahun terakhir (54 transaksi per kapita per tahun). Sementara itu penggunaan kartu kredit kurang begitu populer di kalangan masyarakat Eropa karena hanya mencapai 7,1 transaksi per kapita per tahun dibandingkan dengan Amerika yang mencapai 65,1 transaksi per kapita per tahun dan penetrasi pada kartu kredit hanya sekitar 28%. c. Fenomena lain yang menarik adalah penggunaan e-purse di beberapa negara Eropa yang ternyata juga tidak terlalu sukses. Salah satu e-purse yang tergolong relatif berhasil adalah Proton card (Belgia). Jumlah kartu yang digunakan mencapai 9 juta kartu atau 88% dari populasi. Dilihat dari jumlah, walaupun jumlah pengguna cukup besar namun yang secara aktif (paling tidak 1 transaksi dalam 6 bulan terakhir) menggunakan Proton card hanya mencapai 20%. Apabila jumlah sleeping card diabaikan dalam penghitungan frekuensi pemakaian, maka penggunaan Proton card mencapai 4,1 transaksi per kartu aktif per bulan. d. Lebih lanjut, pembicara menyampaikan alasan perlunya dukungan terhadap upaya peningkatan less cash society antara lain: 1) Tingginya biaya penggunaan cash Biaya dihitung berdasarkan social cost yang terjadi dari setiap instrumen
20
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
pembayaran yang digunakan. Perhitungan social cost dilakukan dengan menjumlahkan seluruh biaya yang terjadi dari pihak-pihak yang terlibat dalam suatu transaksi ekonomi (konsumen, merchant, bank umum, bank sentral dan lain-lain). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh bank sentral Belanda dan Belgia terhadap penghitungan social cost yang terkandung dalam penggunaan seluruh instrumen pembayaran ditemukan bahwa penggunaan cash dalam pembayaran memiliki proporsi yang paling besar. Social cost instrumen pembayaran di Belanda mencapai EUR 2,9 milyar (0,65%GDP), dari jumlah tersebut 73% berasal dari instrumen cash. Sementara itu di Belgia juga terjadi trend yang sama yaitu social cost seluruh instrumen mencapai EUR 2 milyar (0,74% GDP) dan 75%-nya disumbang oleh instrumen cash. Apabila dihitung dari marginal social cost atau penambahan social cost, setiap ada penambahan pembayaran menggunakan instrumen tertentu, ditemukan bahwa penggunaan instrumen non-cash (e-purse dan debit card) lebih cost efficient. Sementara penggunaan cash untuk jumlah sedikit lebih efisien tetapi apabila penggunaannya semakin besar maka penambahan marginal social cost juga semakin besar. Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut bank sentral Belanda telah mengeluarkan statement untuk meningkatkan penggunaan debit card dan e-purse. Statement tersebut dikeluarkan setelah dilakukan perhitungan diperoleh penghematan cukup signifikan yaitu EUR 106 juta setiap tahunnya. Adapun bank sentral Belgia setelah melaksanakan skenario yang sama, penghematan yang dicapai tidak terlalu signifikan yaitu EUR 58 juta (0,02% GDP). Namun demikian penghematan tersebut baru didasarkan pada perhitungan variable cost saja sehingga apabila ditambah dengan fixed cost maka akan diperoleh manfaat yang lebih besar. 2) Underground economy Underground economy yaitu masyarakat yang melakukan transaksi ekonomi tidak melalui banking system ataupun sistem pembayaran lain sehingga sulit dideteksi. Hasil survai di Belgia ditemukan bahwa 60% transaksi cash yang digunakan oleh underground economy adalah untuk transaksi illegal. Hal ini tentunya menjadi concern bank sentral untuk melakukan berbagai upaya guna mengurangi transaksi illegal dalam penggunaan instrumen cash. e. Selain itu pembicara juga menjelaskan aspek-aspek yang dapat menghambat penggunaan instrumen non-cash yang meliputi: 1) Social exclusion Infrastruktur pembayaran dengan menggunakan instrumen cash sudah membudaya di seluruh lapisan masyarakat seperti telepon umum, pompa bensin, tempat parkir dan masih banyak lagi. 2) Resistensi dari pengguna
21
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
f.
g.
h. 1)
2)
Berdasarkan survei persepsi konsumen yang dilakukan oleh Banksys (2004) terdapat salah satu pertanyaan mengenai sikap konsumen yang sebagian besar responden (67%) tetap akan menggunakan cash walaupun apabila dihadapkan pada kondisi infrastruktur non-cash yang sudah terpenuhi. 3) Kondisi sosial, budaya dan demografi Sebagian besar masyarakat Eropa masih menganggap uang adalah hal yang terpenting dalam melakukan pembayaran sehingga kadang-kadang hanya beberapa lapisan masyarakat saja, umumnya masyarakat kota, yang dapat menerima pembayaran dengan selain uang. 4) Takut akan perubahan teknologi Bagi segolongan masyarakat yang tidak terlalu mengikuti perkembangan teknologi cenderung takut untuk mencoba hal baru yang terkait dengan teknologi ini. Sama halnya dengan perubahan teknologi pembayaran noncash, bagi mereka yang tidak technology minded akan susah menerima instrumen non-cash. 5) Privacy Ketakutan sebagian masyarakat akan privacy karena transaksi non-cash selalu tercatat penggunaannya dan seluruh data keuangan dapat dilihat secara lengkap. 6) Kelangsungan penggunaan instrumen non-cash Ketakutan apabila ternyata issuer instrumen ini mengalami kebangkrutan sehingga tidak mampu membayar segala kewajibannya. Dari sisi bank sentral, peningkatan penggunaan instrumen non-cash tentu akan mempengaruhi perhitungan indikator makro ekonomi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa informasi yang tidak bisa diperoleh sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pula terhadap penetapan kebijakan yang akan diambil. Selain itu, pendapatan dari sisi seignorage menjadi berkurang. Pembicara juga menjelaskan bahwa berdasarkan pendekatan cost based pricing atau penghitungan seluruh biaya dalam setiap penggunaan seluruh instrumen pembayaran, ditemukan bahwa persepsi masyarakat mengenai penggunaan instrumen cash adalah murah tidak sepenuhnya benar. Hal ini didasarkan pada hasil survai di Belgia yang ternyata justru memiliki porsi social cost yang paling besar. Oleh karena itu pembicara berpendapat seharusnya ada insentif terhadap instrumen pembayaran yang efisien (non-cash) dan membuat instrumen cash menjadi lebih mahal. Pada akhir presentasi, pembicara menyampaikan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, antara lain: Social cost dari cash merupakan hal yang substansial dan perlu menjadi pertimbangan untuk mengembangkan instrumen pembayaran non tunai yang lebih efisien. Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdapat potensi penghematan ekonomi dari pengembangan instrumen pembayaran elektronik.
22
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
3) Penggunaan metode cost based pricing sangat berguna terutama untuk melihat keseluruhan dampak biaya dari penggunaan instrumen pembayaran. 4) Hasil penelitian tersebut tidak bisa digeneralisir di setiap negara. Untuk menerapkan kebijakan sebagaimana hasil kajian yang telah dilakukan di atas akan sangat berisiko karena belum tentu sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan kondisi lainnya di tiap-tiap negara. 3. Less Cash Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View of Indonesian Observer (Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar Ekonomi) Berangkat dari cara pandang sebagai seorang peneliti, dipaparkan beberapa hal terkait dengan materi yang disampaikan sebagai berikut: a. Penggunaan sarana pembayaran non tunai akan meningkatkan transaksi transnasional, sehingga transaksi-transaksi keuangan tidak akan mengenal batas-batas negara. Bank sentral akan kesulitan dalam mengawasi transaksitransaksi keuangan yang ada. b. Penggunaan sarana pembayaran non tunai secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah pemain dalam pasar uang, karena dengan adanya sarana pembayaran non tunai terutama yang bersifat elektronis, akses masyarakat terhadap kegiatan pasar uang menjadi lebih mudah. c. Transaksi yang menggunakan sarana pembayaran non tunai relatif lebih mudah dilacak karena sarana pembayaran non tunai tersebut mempersyaratkan identitas dalam penerbitannya, sedangkan uang tunai tidak melekatkan identitas pemiliknya sehingga relatif lebih sulit dilacak. d. Di masa depan, sektor formal dan daerah perkotaan akan lebih mengarah pada penggunaan sarana pembayaran non tunai, sedangkan sektor informal dan daerah pedesaan masih mengandalkan sarana pembayaran tunai. e. Salah satu kelemahan kartu kredit adalah bahwa kartu kredit tidak dapat digunakan untuk transaksi antar individu serta tidak dapat digunakan untuk transaksi-transaksi dengan nominal yang relatif kecil. f. Penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat meningkatkan instabilitas perekonomian karena lalu lintas uang dapat dilakukan dengan cepat dan tidak mengenal batas-batas negara. g. Dampak penggunaan sarana pembayaran non tunai terhadap makro ekonomi: 1) Instabilitas nilai tukar meningkat dengan adanya kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan transaksi secara virtual. 2) Meningkatnya suplai uang karena adanya uang virtual. 3) Risiko terjadinya gagal bayar dalam proses penyelesaian transaksi meningkat sehingga meningkatkan risiko terjadinya krisis keuangan. 4. Non-cash Payments and Monetary Policy Implications in Indonesia (Perry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia)
23
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Paparan yang disampaikan terkait dengan kondisi Indonesia mencakup beberapa hal, yaitu: a. Penggunaan sarana pembayaran non tunai akan meningkatkan kecepatan peredaran uang (velocity of money). b. Beberapa indikator yang dapat dipergunakan untuk menghitung penggunaan sarana pembayaran non tunai adalah (Markose and Loke, 2000: BIS, 1999): 1) Volume dan nilai transaksi yang dilakukan melalui kliring antar bank, ATM, kartu debet, kartu kredit, dan kartu prabayar. 2) Rasio konsumsi terhadap uang beredar. c. Untuk Indonesia, ada 3 indikator yang dapat dipergunakan dalam menghitung penggunaan sarana pembayaran non tunai, yaitu: transaksi Sistem BI-RTGS; alat pembayaran dengan menggunakan kartu; dan rasio konsumsi terhadap uang beredar. d. Penggunaan sarana pembayaran non tunai memberikan manfaat kepada perekonomian, antara lain: 1) Tingkat kepuasan konsumen yang semakin bertambah dengan berkurangnya biaya transaksi; 2) Adanya sumber pendapatan bagi penyedia jasa pembayaran non tunai; 3) Peningkatan kecepatan transaksi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat kesejahteraan. e. Penggunaan sarana pembayaran non tunai juga dapat meningkatkan risiko pada perekonomian dan sistem pembayaran, antara lain: 1) Peningkatan risiko default terutama pada instrumen kartu kredit (dan kartu pasca bayar). Hal tersebut dapat menimbulkan risiko sistemik dalam penyelesaian pembayaran antar bank; 2) Peningkatan risiko teknologi informasi yang dapat menimbulkan kekeliruan maupun kecurangan dalam proses penyelesaian transaksi; 3) Peningkatan risiko instabilitas sistem keuangan. f. Meningkatnya penggunaan sarana pembayaran non tunai akan mengubah cara pandang bank sentral dalam merumuskan kebijakan moneter, antara lain: 1) Perubahan indikator yang diperlukan dalam pengukuran agregat permintaan dan penawaran nasional; 2) Meningkatnya penggunaan sarana pembayaran non tunai akan menurunkan tingkat permintaan terhadap uang (M1); 3) Kebutuhan menjaga efektivitas pengendalian moneter dengan pengawasan terhadap sarana pembayaran non tunai. g. Dalam rangka mengurangi efek negatif yang mungkin timbul dari perkembangan penggunaan sarana pembayaran non tunai, maka disarankan: 1) Penerbit sarana pembayaran non tunai dibatasi pada lembaga-lembaga yang kredibel seperti bank; 2) Pengumpulan data pembayaran non tunai yang lebih baik, terutama dalam mengantisipasi perkembangan -e-money;
24
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
3) Pengenaan giro wajib minimum oleh bank sentral kepada penerbit sarana pembayaran non tunai; 4) Peraturan yang jelas yang memfasilitasi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berkaitan dengan sarana pembayaran non tunai. B . Sesi 2 Oversight & Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments 1. Aspek Perlindungan Konsumen Dalam Less Cash Society (Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI) Sejalan dengan meningkatnya penggunaan alat pembayaran non tunai perlu menjadi perhatian mengenai keamanan sistem yang dipergunakan. Berkaitan dengan hal tersebut, dijelaskan mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Alat-alat pembayaran yang bersifat elektronik pada dasarnya harus dikembangkan karena akan memberikan keuntungan bagi penggunanya. Sebenarnya, Indonesia agak terlambat mengatur alat pembayaran elektronik karena alat-alat pembayaran tersebut saat ini sudah merupakan kebutuhan di negara-negara lain. Penggunaan alat-alat pembayaran elektronik diharapkan dapat berkembang terus di masyarakat sehingga dapat tumbuh menjadi suatu kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya (social construction by technology). b. Seiring dengan kebutuhan adanya alat pembayaran elektronik, maka harus diterbitkan pula peraturan-peraturan yang memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pengguna alat-alat pembayaran elektronik tersebut, termasuk sanksi yang jelas bagi pihak yang menyalahgunakan alat pembayaran elektronik. c. Penegakan hukum masih merupakan isu utama. Berkembangnya alat-alat pembayaran elektronik juga ditentukan oleh penerapan ketentuan, seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Bank Indonesia serta Surat Edaran Bank Indonesia, yang isinya melindungi kepentingan konsumen secara baik dan konsisten oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. d. Pada dasarnya yang dibutuhkan konsumen adalah perlindungan terhadap privacy konsumen, keamanan bertransaksi serta perlakuan yang tidak diskriminatif dari penyelenggara alat pembayaran elektronik. 2. Aspek Hukum dalam Implementasi Alat Pembayaran Non Tunai Elektronik (emoney) dan Kesiapan Perangkat Hukum Indonesia dalam Menunjang Terciptanya Less Cash Society (Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia) Kemajuan teknologi yang mendorong inovasi dan semakin mewarnai dunia menjadi suatu tantangan bagaimana hukum Indonesia merespon situasi tersebut. Materi yang disajikan memaparkan beberapa hal dalam menjawab kondisi
25
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
tersebut, yaitu: a. Agar e-money dapat berjalan dengan baik dan digunakan secara luas oleh masyarakat diperlukan infrastruktur hukum yang memadai. Pembentukan peraturan tidak dapat dilakukan dengan mengadopsi begitu saja peraturan dari negara lain (transplantasi hukum), karena karakteristik dan budaya masingmasing bangsa dan negara adalah berbeda-beda. b. Pengertian hukum tidak terbatas pada peraturan perundang-undangan saja. Pengertian semacam ini merupakan pengertian hukum yang direduksi, karena disamping peraturan perundang-undangan diperlukan pula infrastruktur hukum lainnya. c. Permasalahan terpenting dalam implementasi alat pembayaran elektronik (emoney) adalah pada penegakan hukumnya. d. Dari segi hukum, e-money dapat dilihat dari sisi perdata dan sisi pidana: 1) Dari sisi perdata, transaksi e-money terkait erat dengan konsepsi perjanjian, dimana berbagai perjanjian antar pihak yang terkait dalam pelaksanaan emoney akan didasarkan pada hukum perjanjian. 2) Dari sisi pidana, yang perlu dilakukan adalah identifikasi perbuatan yang dianggap dapat merugikan masyarakat dan menjadi perbuatan jahat, serta penentuan sanksi. e. Masalah lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam implementasi e-money adalah masalah pembuktian. Dalam hal ini, pertanyaan yang mengemuka adalah apakah data elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam beracara di pengadilan. f. Undang-Undang Bank Indonesia memberikan dasar kewenangan bagi Bank Indonesia untuk mengatur e-money. Pengaturan oleh Bank Indonesia terutama adalah pengaturan secara administratif mengenai pihak-pihak yang ingin menyelenggarakan kegiatan e-money, juga untuk mengurangi risiko dan meningkatkan keamanan penggunaan e-money. g. Implementasi e-money dapat dilaksanakan secara bertahap, mungkin pertama kali di Jakarta terlebih dahulu sebagai pilot project, baru kemudian dikembangkan di kota-kota lain. h. Berkaca dari negara-negara lain, penyusunan Undang-Undang khusus tentang e-money bukanlah suatu keharusan (contoh di Hong Kong tidak ada ketentuan khusus yang mengatur e-money). Pengaturan e-money dapat dilakukan dengan mengacu pada ketentuan yang telah ada dengan tambahan ketentuan Bank Indonesia atau departemen-departemen terkait untuk pengaturan yang lebih bersifat teknis. i. Sebagai penutup, penegakan hukum yang baik dan konsisten atas peraturan emoney merupakan hal yang utama. Apabila penegakan hukum masih tidak optimal, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap e-money sebagai instrumen pembayaran. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menciptakan keengganan masyarakat untuk menggunakan e-money sehingga pada gilirannya harapan
26
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
terwujudnya less cash society di Indonesia akan sulit untuk dicapai. 3. Peran Bank Indonesia dalam Pengawasan Sistem Pembayaran (Bramudija Hadinoto, Deputi Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia) Materi presentasi terdiri atas 4 bagian yaitu Konsep Utama Sistem Pembayaran (SP), Konsep Pengawasan SP, Pengawasan SP di Indonesia serta Pengembangan dan Tantangan Masa Depan. Sehubungan dengan hal tersebut dijelaskan hal-hal sebagai berikut: a. Terkait dengan pengawasan sistem pembayaran, istilah “pengawasan” dalam sistem pembayaran berbeda dengan istilah “pengawasan” dalam perbankan. Istilah “pengawasan” dalam SP lebih mengacu pada konsep oversight, sementara “pengawasan” dalam perbankan lebih mengacu pada konsep supervision. Perbedaan mendasar antara pengawasan SP dan pengawasan perbankan terdapat pada obyek pengawasannya. b. Obyek pengawasan SP dititikberatkan pada sistem itu sendiri dengan tujuan untuk meminimalisir risiko sistem pembayaran. Sementara itu, obyek pengawasan perbankan dititikberatkan pada penilaian tingkat kesehatan Bank secara individual. c. Pengertian payment system oversight adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari proses perizinan, fasilitasi dan konsultasi pada saat pengembangan SP oleh Penyelenggara sampai dengan proses assessment atas kepatuhan SP tersebut terhadap ukuran-ukuran yang telah ditetapkan. d. Pengawasan SP di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 15 Undang-Undang Bank Indonesia. Pada saat ini, obyek pengawasan SP terdiri atas: 1) Sistem BI-RTGS, merupakan sistem pembayaran yang digolongkan sebagai Systemically Important Payment System (SIPS); 2) Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), merupakan sistem pembayaran yang digolongkan sebagai Systemically Wide Important Payment System (SWIPS); dan 3) Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. e. Tujuan pengawasan SP adalah memastikan bahwa sistem pembayaran berjalan dengan efisien, cepat, aman dan handal dan untuk mendukung penerapan prinsip-prinsip perlindungan konsumen II. Pokok-Pokok Materi Seminar Hari II, Kamis, 18 Mei 2006 Market Collaborations and Expectations on Non-Cash Payment Instruments Development A. Sesi 1 National Payment Gateway from the Point of view of Practitioners 1. Towards a Less Cash Society
27
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
(Antony Morris, Executive Manager Strategic Development and Risk Management, Octopus Cards Ltd, Hong Kong) Pemaparan yang disampaikan dengan bercermin pada pengalaman mengembangkan uang elektronik yang dilakukan oleh Octopus Cards Ltd., Hong Kong, mencakup hal-hal sebagai berikut: a. Uang tunai (cash) merupakan bagian yang terpenting dalam industri ritel. b. Uang elektronik (e-cash) termasuk berbagai produk derivatifnya dewasa ini tumbuh dan berkembang, terutama di Hong Kong. c. Pada awal pengembangan e-cash (dalam bentuk stored value card) di Hong Kong, alat pembayaran tersebut dipergunakan sebagai sarana pembayaran transportasi. Pada tahap berikutnya, e-cash dipergunakan juga sebagai alat pembayaran untuk transaksi ritel, seperti pembayaran transaksi di supermarket dan pembayaran parkir. d. Key success: 1) Kolaborasi antar pelaku pasar dengan memfokuskan diri pada core business dan mengesampingkan “cash collection”, agar scheme yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan konsumen dan biayanya dapat ditekan. 2) Simplicity dan lowest cost. 3) Mengutamakan kepuasan dan kenyamanan konsumen dengan misi “making everyday life easier for our customers”. 4) Menggunakan teknologi baru yang bersifat sederhana, konsisten, cepat dan handal. 5) Mudah digunakan (ease of use). 6) Mendorong masyarakat untuk menggunakan instrumen non tunai dengan memberikan informasi tentang kelebihan/keuntungannya dan tidak membicarakan kompleksitasnya. 7) Menetapkan merchant level yang dapat menerima pembayaran. 8) Mengubah perilaku konsumen ke arah penggunaan non tunai melalui proses yang berkesinambungan (multi years action). e. Dalam mengembangkan e-cash atau stored value card di Indonesia perlu diperhatikan kondisi sosial, perilaku dan preferensi konsumen, serta budaya masyarakat Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa perbedaan budaya di masing-masing negara mempengaruhi tingkat penerimaan masyarakat masing-masing negara tersebut terhadap penggunaan e-cash/stored value card yang dikembangkan. f. Hal yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya kolaborasi pasar untuk mengetahui kebutuhan mekanisme pembayaran yang paling tepat. Untuk dapat berkembang seperti sekarang ini, Octopus Cards Ltd. telah melalui proses yang panjang dan bertahap. Dalam proses tersebut, hal yang sangat penting adalah membangun “trust” masyarakat terhadap alat pembayaran, antara lain dengan menerapkan 100% money back guarantee. g. Pengembangan alat pembayaran non tunai di Indonesia, seperti yang telah
28
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
dilakukan oleh Octopus Cards Ltd. di Hong Kong, perlu memperhatikan beberapa aspek, antara lain: budaya, kebutuhan, perilaku dan karakter pembayaran masyarakat Indonesia, dengan tidak mengesampingkan kemudahan dan kenyamanan dalam penggunaan, biaya murah, dan kepuasan konsumen, serta memperhatikan penggunaan teknologi yang aman, praktis, cepat, dan handal. h. Bank Indonesia perlu melakukan pengkajian mendalam dengan melibatkan pihak-pihak terkait dalam melakukan standardisasi alat pembayaran yang akan digunakan, serta perlu penekanan kesadaran kepada para pelaku pasar terhadap pentingnya interoperability dan konvergensi antar operator. 2. Kesiapan Infrastruktur Telekomunikasi dalam Mendukung Less Cash Society (Budi S Mulyadi, PT. Telkom (Persero), Tbk.) Materi yang disajikan dalam presentasi terdiri atas 4 (empat) bagian, yaitu: Less Cash Society and Non-Cash Payment Scheme; Telkom Group Infrastructure Existing; Micro Payment Scheme; dan Telkom Group Infrastructure in The Future. a. Terkait dengan materi mengenai Less Cash Society and Non-Cash Payment Scheme, pembicara memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan: 1) Non-Cash Payment Scheme Options, dimana secara umum terdapat 4 pilihan untuk melakukan transaksi pembayaran, yaitu: Sistem BI-RTGS; kliring/SKNBI; kartu kredit/kartu debet dan micro payment. Keuntungan yang diperoleh masyarakat dalam menggunakan sarana pembayaran non tunai adalah berkurangnya biaya cash handling dan risiko, serta meningkatnya kenyamanan bagi konsumen dalam melakukan pembayaran. 2) Non-Cash Payment Instruments, yang dipergunakan dalam transaksi pembayaran oleh Business to Customer (B2C) dan Business to Business (B2B). 3) Typical Non-Cash Payment yang meliputi pembayaran lebih dulu (pay before, seperti micro payment yang otorisasinya dilakukan secara off-line tanpa PIN atau tanda tangan), pembayaran sekarang (pay now, seperti kartu debet dan kartu ATM yang otorisasinya dilakukan secara on-line dengan PIN) dan pembayaran kemudian (pay later, seperti kartu kredit yang otorisasinya dilakukan secara on-line dengan tanda tangan). 4) Sub System that Build Less Cash Society, antara lain meliputi Front end Terminal Payment (EDC, ATM, Reader/Writer, POS, Kiosk, HP, PC, PDA), Access Network Data Communications (Wireline, GPRS, CDMA,WiMax, 3G etc), Backbone Data Communication Network (VPN IP) dan Clearing House and Switching Payment. 5) What Are the Benefits Using Non-Cash Instrument, dimana pembicara menjelaskan mengenai keuntungan-keuntungan menggunakan alat pembayaran non tunai yang antara lain meliputi biaya transaksi yang lebih murah, nyaman, mudah, cepat, handal, terkontrol, aman, style dan tidak memerlukan uang kembalian. b. Selanjutnya berkaitan dengan materi mengenai Telkom Group Infrastructure
29
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Existing dijelaskan konfigurasi infrastruktur Telkom yang meliputi: 1) Wireless EDC and ATM; 2) H2H Payment (Phone Bill Payment, Airline Payment); 3) SCM Payment (Suppliers and Buyers, Manufacturers and Distributors); 4) e-voucher (Top up mechanism for prepaid, Telkomsel, Flexi, iVas); 5) Mobile Payment; 6) Phone Payment; 7) Micro Payment. c. Materi mengenai Micro Payment Scheme menguraikan mengenai konfigurasi dari micro payment scheme yang dilakukan Telkom yang terdiri atas 4 (empat) level sebagai berikut: 1) Level 1: menyediakan sarana Switching Payment untuk kepentingan setelmen dan rekonsiliasi (pada saat ini telah terhubung dengan lebih dari 35 bank) 2) Level 2: menyediakan Card Management System, Service Provider Management System dan Call Center (pada saat ini CMS Telkom telah mampu menangani 6 juta transaksi/hari) 3) Level 3: terhubungnya Local Data Server Processor dengan Service Provider Central Server dengan menggunakan Wireline Connection, GPRS, CDMA, WiMax, 3G Connection (pada saat ini jaringan GSM Telkom telah tersedia di setiap kota dan kabupaten, sedangkan CDMA tersedia di 225 kota) 4) Level 4: melaksanakan distribusi kartu dan mekanisme top up (pada saat ini, telah didistribusikan lebih dari 30 juta kartu selular & fix wireless) 3. Urgensi dan Manfaat Penggunaan Non-Cash Payment Instruments bagi SPBU dan Masyarakat (Ahmad Bambang, PT. Pertamina (Persero)) PT. Pertamina telah mengembangkan sistem pembayaran non tunai dengan penerbitan Gaz Card. Gaz Card dalam tahap awal berfungsi ganda, yaitu untuk loyalty dan reward card, serta sebagai alat pembayaran. Dalam pengembangannya, diharapkan Gaz Card akan dapat digunakan sebagai alat pembayaran berbagai barang dan jasa, bukan hanya BBM saja (multi purpose prepaid card). Berkenaan dengan hal tersebut pembicara menguraikan hal-hal sebagai berikut: a. Penerbitan Gaz Card tersebut didorong oleh adanya kondisi-kondisi sebagai berikut: 1) Dengan diimplementasikannya Undang-Undang Migas No. 22 Tahun 2001, pasar migas hilir menjadi terbuka dan liberal. 2) Adanya perubahan situasi persaingan, selain menuntut perbaikan produk, juga menuntut adanya peningkatan kualitas pelayanan kepada pelanggan, termasuk dalam mekanisme pembayarannya. 3) Perlu adanya peningkatan citra kualitas pelayanan penjualan BBM melalui SPBU yang selama ini dinilai kurang bagus. 4) Perlu adanya peningkatan loyalitas pelanggan baik dari kalangan retailer
30
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
BBM maupun konsumen (end user) BBM. b. Latar belakang dan tujuan yang mendasari diterbitkannya Gaz Card adalah: 1) Mengurangi transaksi tunai untuk meningkatkan keamanan SPBU dan konsumen. 2) Meningkatkan kualitas pelayanan bagi pelanggan dan meningkatkan kepedulian perusahaan terhadap pelanggan. 3) Langkah awal untuk mensukseskan less cash society program. 4) Meningkatkan akurasi data penjualan BBM. c. Manfaat Gaz Card adalah sebagai berikut: 1) Bagi Pertamina: memudahkan dalam mengelola BBM, memonitor kebutuhan SPBU, menganalisa distribusi BBM ke SPBU dan konsumen, mengetahui penghasilan dari penjualan BBM secara menyeluruh dan cepat, serta meningkatkan produktivitas. 2) Bagi SPBU: memudahkan dalam mengelola BBM, menyediakan dan menjual BBM, menganalisa penjualan dan pendapatan BBM, meningkatkan loyalitas konsumen dan meningkatkan produktivitas. 3) Bagi pelanggan: memudahkan dalam mengontrol anggaran dan konsumsi BBM, mempercepat serta mempermudah transaksi tanpa harus menyiapkan uang recehan. d. Saat ini pengadaan Gaz Card dan koordinasi dengan provider sedang dilakukan oleh Pertamina, dan diharapkan akhir Juni/awal Juli telah dapat dilakukan soft launching. B . Sesi 2 Market Collaboration among Banks, Non Bank Issuers, Billers, Merchants and Supporting Services (Switching Company and Financial Acquirer) 1. Peran Bank Indonesia dalam Mendukung Pengembangan Penggunaan Instrumen Pembayaran Non Tunai dalam Transaksi Ritel (Mohamad Ishak, Staf Ahli Dewan Gubernur Bank Indonesia) Untuk mengetahui peran Bank Indonesia dalam mendukung pengembangan Less Cash Society (LCS) di Indonesia, terdapat tiga pertanyaan pokok yang perlu dijawab. Pertama, mengapa Bank Indonesia harus berperan dalam pengembangan LCS di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya untuk mendorong masyarakat menggunakan instrumen non tunai tidak sepenuhnya tergantung oleh Bank Indonesia semata namun juga diperlukan peran serta pelaku pasar LCS (antara lain perbankan, service provider company, merchant dan masyarakat). Dari sisi Bank Indonesia, sangat disadari bahwa salah satu alasan mengapa Bank Indonesia harus berperan dalam menunjang LCS adalah dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran yaitu mengembangkan Sistem Pembayaran Nasional yang efisien,
31
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
cepat, aman dan handal. Meskipun terdapat peran Bank Indonesia dalam hal ini, prinsip yang tetap harus dipegang adalah adanya “win-win solution” antara Bank Indonesia dengan pelaku LCS (perbankan, service provider company, outlet/merchant dan masyarakat). Pertanyaan kedua adalah apa yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia dalam mengembangkan LCS. Upaya mendorong masyarakat dalam menggunakan alat pembayaran non tunai tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan penggunaan uang tunai yang terjadi saat ini. Beberapa fakta yang terjadi saat ini terkait dengan ketidakefisienan penggunaan uang tunai antara lain adalah relatif masih tingginya biaya pengadaan dan pengelolaan uang tunai, semakin cepatnya teknologi pemalsuan uang, dan ketersediaan uang pecahan yang masih sulit memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, penggunaan alat pembayaran non tunai sebenarnya telah banyak berkembang di masyarakat Indonesia untuk melakukan berbagai transaksi khususnya transaksi yang bernilai besar. Selain itu sudah mulai banyak masyarakat yang mengenal kartu prabayar. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa hal yang harus dilakukan Bank Indonesia adalah mengurangi penggunaan uang tunai di masyarakat atau mendorong penggunaan alat pembayaran non tunai. Untuk melaksanakan tugas tersebut, perlu dipikirkan segmen mana yang akan dituju oleh Bank Indonesia. Dalam hal ini kriteria penggunaan alat pembayaran non tunai ditujukan lebih kepada pembayaran yang memiliki kriteria antara lain: transaksi bernilai kecil (micro payment); frekuensi penggunaannya relatif sering; dan bersifat masal. Pertanyaan terakhir yang harus dijawab adalah bagaimana Bank Indonesia harus berperan dalam menunjang upaya terwujudnya LCS. Berpijak pada tugas Bank Indonesia untuk mengembangkan sistem pembayaran nasional yang efisien, cepat, aman dan handal maka dalam memposisikan dirinya sudah seharusnya Bank Indonesia berperan aktif tanpa harus menonjolkan diri. Dalam hal ini, Bank Indonesia diharapkan agar lebih mengedepankan fungsi sebagai fasilitator dan katalisator untuk mendorong percepatan ke arah terwujudnya LCS. Pada akhirnya pembicara menyimpulkan bahwa upaya untuk mendorong terwujudnya LCS tidaklah mudah sehingga tidak mungkin dilakukan hanya oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain di luar Bank Indonesia sehingga dapat disusun suatu grand design LCS yang komprehensif dan dapat diterapkan di Indonesia. 2. Electronic Money dan Peran Pemerintah dalam Transaksi Keuangan berbasis Teknologi Informasi (Prof. Dr. Ahmad M. Ramli, SH, MH, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika) Dukungan pemerintah dalam transaksi keuangan berbasis teknologi informasi maupun e-money dapat dilihat dari perhatian pemerintah khususnya Depkominfo terhadap 3C (Communication, Computing, and Content). Peran pemerintah
32
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
tersebut terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang diarahkan untuk menciptakan keadaan yang kondusif bagi perkembangan transaksi keuangan berbasis teknologi informasi. Beberapa kebijakan dan regulasi pemerintah terkait dengan 3C diantaranya adalah: a. Konvergensi 3G, regulasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada dan merupakan potensi sumber pendapatan negara yang besar. b. Fasilitasi regulasi, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). c. Rancangan Undang-Undang Cyber Crime, ditujukan untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan dalam berinteraksi/bertransaksi di dunia cyber. d. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang certification authority dan keamanan sistem. e. Peningkatan penetrasi internet untuk memperluas akses internet sehingga lebih merata. f. Perlindungan security. g. Lawful interception, penyadapan secara legal untuk kepentingan hukum (diantaranya dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan kepolisian). h. Prepaid regulation. Kebijakan dan regulasi di atas diharapkan dapat mendukung terwujudnya LCS khususnya dari sisi security dan law enforcement. Untuk mewujudkan LCS terdapat beberapa kendala seperti tingkat perekonomian, keengganan masyarakat, masalah privasi, security, dan law enforcement. LCS sendiri sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dalam transaksi asalkan didukung dengan aturan yang jelas. Salah satu instrumen dalam rangka mewujudkan LCS adalah penggunaan emoney. E- Money adalah suatu nilai moneter yang diterima sebagai alat pembayaran secara elektronik dan diterbitkan oleh bank maupun badan usaha non bank. Beberapa masalah yang perlu diantisipasi dalam penggunaan emoney adalah pencucian uang, double spending problem, dan technological risk. Upaya mendorong terwujudnya LCS dapat mencegah terjadinya money laundering karena transaksi lebih tercatat otomatis secara elektronik. Penyelenggara e-money harus memenuhi azas keterbukaan informasi, yaitu akses dalam informasi terkait dengan transaksi. Penyelenggara jasa e-money harus memberikan akses bagi konsumen mengenai informasi yang relevan dan komprehensif serta panduan tentang cara kerja dan cara menggunakan produk e-money. Di sisi lain, konsumen juga harus diinformasikan mengenai tanggung jawabnya sebagai pemegang e-money. Selain azas keterbukaan informasi, penyelenggara e-money harus menjaga kerahasiaan informasi pribadi konsumen yang dimiliki oleh penyelenggara sesuai dengan hukum mengenai privasi dan akses informasi, kecuali apabila
33
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
informasi tersebut diperlukan untuk kepentingan umum dan penegakan hukum, dimana konsumen bersangkutan telah diberitahu sebelumnya oleh superintendent sebagai lembaga yang berfungsi untuk memberikan perizinan dan pengawasan terhadap jasa penyelenggaraan e-money. 3. Prospek dan Tantangan dalam Mewujudkan Less Cash Society – Case Study BCA (D.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk.) Sampai saat ini uang kertas dan cek sebagai alat pembayaran masih banyak digunakan oleh masyarakat dunia. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan sistem pembayaran yang semakin pesat, pola pembayaran tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (non-cash) dengan 3 basis instrumen pembayaran yakni: · Paper-based: cek, bilyet giro dan nota debet. · Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM. · Electronic-based: e-money, internet banking dan mobile banking. Perkembangan menuju less cash society merupakan trend yang tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut antara lain didukung infrastruktur, sistem dan alat pembayaran elektronis seperti kartu magnetik dan kartu chip. Penggunaan instrumen pembayaran card-based dan electronic-based (non-cash payment) sebagai alat transaksi memiliki keunggulan, antara lain dapat menangani transaksi secara lebih efisien dan menekan biaya transaksi. Perkembangan non-cash payment di kawasan Asia Pasifik bervariasi di tiap negara dan pada umumnya menunjukkan peningkatan untuk nilai transaksi pembayaran melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM. Seiring dengan perkembangan pola pembayaran tersebut, pembayaran non-cash di Indonesia juga menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Walaupun pembayaran non-cash di Indonesia meningkat namun masih ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengembangan lebih lanjut, antara lain: Indonesia masih merupakan cash society dimana tendensi bertransaksi dengan uang tunai masih tinggi; masalah infrastruktur; dan kesiapan perangkat hukum yang masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut. Transaksi nilai kecil dengan frekuensi transaksi yang tinggi (skala retail) atau dikenal dengan micro payment system, dilakukan dengan menggunakan prepaid cash card atau microchip-based mobile/cellular phone. Beberapa contoh penerapan sistem ini adalah pada pembayaran perparkiran, tol, entertainment center, tiket bus, subway dan lain lain. Micro payment system telah diterapkan dengan sukses di beberapa negara seperti: Hong Kong dengan Octopus card; Malaysia dengan Touch n’ Go; dan Singapore dengan EZ link. Untuk dapat mengembangkan non-cash payment system selain membutuhkan infrastruktur dan teknologi yang memadai, bank juga harus bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan switching (operator jaringan), mengembangkan jejaring merchant dan nasabah pengguna
34
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
agar dapat mencapai economics of scale yang memadai. Micro payment system yang memanfaatkan kehandalan chip atau smart cards, menawarkan berbagai kemudahan dan kelebihan dibandingkan dengan sistem pembayaran lainnya. Transaksi dapat dilakukan dengan cepat, efisien dan aman yaitu dengan memasukkan kartu pada reader (contact) atau hanya didekatkan pada reader (contactless). Pengisian kembali nilai kartu relatif mudah dilakukan di outlet bank penerbit maupun merchant. Menilik keberhasilan yang diraih sistem pembayaran non-cash di Hong Kong, Singapore maupun Malaysia, dapat diperkirakan penerapan micro payment system di Indonesia memiliki prospek yang baik mengingat besarnya jumlah penduduk, beragamnya jenis transaksi yang dapat diterapkan serta kemudahan yang diperoleh. Penyelenggaraan non-cash payment system tidak terlepas dari peran switching companies (SC) sebagai penyedia jasa jaringan telekomunikasi bagi bank-bank peserta. Di Indonesia terdapat empat operator SC yaitu: ATM Bersama, Prima, Alto dan Link, yang melayani 101 bank dengan sekitar 14.712 unit mesin ATM dimana masing-masing SC melayani sekelompok bank tertentu. Sejak Agustus 2000, ATM BCA dapat diakses oleh 25 bank yang tergabung dalam jaringan Prima. Data akhir Desember 2005 menunjukkan bahwa transaksi nasabah bank lain yang menggunakan ATM BCA tercatat sejumlah 8,9 juta transaksi atau 3,6 kali lebih banyak dibanding nasabah BCA yang memanfaatkan ATM bank lain yang berjumlah 2,5 juta transaksi. Hal ini menimbulkan masalah tambahan antrian di ATM BCA terutama di lokasi-lokasi yang sibuk dan menambah beban logistik uang tunai. Di satu sisi, kegiatan Payment Settlement merupakan kegiatan yang mendapat nilai tambah dari kerjasama antar bank, mengingat kegiatan tersebut bertumpu pada customer convenience dan wide acceptance. Namun dari sisi lain, kerjasama antar bank dapat mempengaruhi competitive advantage dari bank dengan beralihnya proprietary infrastructure menjadi shared infrastructure. Oleh karena itu dibutuhkan perimbangan yang optimal antara kerjasama dan kompetisi. 4. Optimisasi dan Efisiensi Pengelolaan Jalan Tol dengan Menggunakan Non-Cash Payment Instruments (Ir. Djoko Dwidjono, Kepala Divisi Perencanaan Perusahaan dan Pengembangan Teknologi PT. Jasa Marga (Persero)) PT. Jasa Marga merupakan salah satu pengelola industri jalan tol di Indonesia. Perusahaan ini telah mengoperasikan lebih dari 50% dari seluruh jalan tol di Indonesia. Dalam pengelolaan sistem pembayaran tol saat ini, PT. Jasa Marga masih menggunakan uang tunai dalam transaksinya sehingga cost untuk cash handling menjadi beban operasional yang cukup memberatkan. Pada tahun 2006, dari total pendapatan yang mencapai Rp 6.5 milyar per hari dan volume lalu lintas 2.5 juta transaksi per hari, diperlukan penyediaan uang pecahan untuk kembalian sebesar Rp 1 milyar/hari. Dalam 5 tahun ke depan, perusahaan ini akan terus
35
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
melakukan perluasan pengembangan jalan tol baru sehingga dapat dibayangkan berapa besar beban cash handling yang akan ditanggung oleh PT. Jasa Marga di masa mendatang. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengurangi beban cash handling, PT. Jasa Marga merencanakan untuk mengggunakan instrumen pembayaran tol yang berbasis kartu (contactless smart card) single purpose. Sebelum keputusan ini diambil, perusahaan telah melakukan survei kajian berdasarkan pengalaman beberapa negara yang telah mengoperasikan smart card pada sistem jalan tol, antara lain: Malaysia, Thailand dan Philippines. Pada tahun 2005 penggunaan instrumen kartu telah diterapkan di ruas jalan tol Padalarang-Cileunyi dan selanjutnya akan diperluas ke jalan tol lainnya sehingga diharapkan dalam 5 tahun ke depan penggunaan transaksi non-cash akan mencapai 30% dari total pendapatan. Pengembangan bisnis smart card yang diterapkan oleh PT. Jasa Marga memiliki beberapa alternatif pengembangan yaitu dikelola untuk fungsi transaksi jalan tol saja (single purpose), sebagai merchant, sebagai bisnis multifungsi yang dikelola sendiri oleh PT. Jasa Marga atau dengan bekerjasama dengan pihak lain. Dalam hal ini PT. Jasa Marga akan mempertimbangkan beberapa hal terkait dengan pengembangan bisnisnya yaitu: besarnya investasi, risiko, potensi bisnis/skala ekonomi untuk business development, pilihan teknologi yang dikembangkan, institusional serta regulasi yang berlaku.
36
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian Ketiga TANYA JAWAB DAN DISKUSI
37
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
I. Tanya Jawab dan Diskusi Hari I Sesi 1 1 . Indah Sukmaningsih (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) Pertanyaan: a. Terkait dengan perlindungan kepada konsumen, apakah terdapat garansi terhadap keamanan teknologi informasi yang digunakan dalam transaksi non-cash? b. Dalam pengembangan sistem pembayaran non-cash, siapa yang harus menanggung biaya pengembangan tersebut? Jawaban: Aspek kultural merupakan aspek yang krusial yang harus diperhatikan dalam pengembangan Less Cash Society (LCS). Untuk itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah mendidik masyarakat dan memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai LCS serta memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa terdapat cost of cash. Dalam pengembangan sistem yang akan digunakan dalam transaksi non-cash maka pihak yang menanggung biaya pengembangan tersebut seharusnya adalah pihak perbankan mengingat bank akan mendapatkan fee dari transaksi non-cash. 2 . Made Sadguna (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan) Pertanyaan: Dalam transaksi non-cash, terdapat risiko potensial bagi konsumen terutama konsumen ritel. Risiko tersebut adalah kemungkinan penyalahgunaan data rahasia konsumen oleh pihak yang tidak berwenang mengingat tingginya tingkat traceability dalam transaksi non-cash. Berkaitan dengan risiko potensial tersebut, bagaimana cara yang bisa digunakan untuk meminimalisir risiko tersebut? Jawaban: Untuk melihat permasalahan ini, perlu dibedakan terlebih dulu antara penggunaan Debit card atau Credit Card dengan penggunaan electronic purse (e-purse). Terkait tingkat kerahasiaan nasabah, misalnya penggunaan e-purse di Belgia yang dikenal dengan nama Proton e-purse, dibedakan menjadi 2 level yaitu pada level merchant dan pada level bank. Pada level merchant, transaksi menggunakan Proton e-purse bersifat anonymous. Sedangkan pada level bank, transaksi menggunakan Proton e-purse tidak sepenuhnya bersifat anonymous. Pada level bank, melalui sistem di bank dapat diperoleh informasi mengenai account number (nomor kartu) dan saldo e-purse, tetapi tidak mengetahui informasi nama pemilik/pemegang e-purse tersebut. Disamping itu, sistem bank memelihara rekening bayangan (shadow account) untuk pencatatan penggunaan e-purse. Rekening tersebut digunakan untuk mendata jumlah uang (dana) yang di-load ke dalam e-purse. Kemudian pada saat merchant mengkliringkan penggunaan epurse, sistem akan mendapatkan informasi dari merchant mengenai nilai yang telah dibelanjakan oleh konsumen. Selanjutnya pengguna akan memperoleh informasi penggunaan e-purse, namun tidak dalam waktu yang bersamaan
38
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
(terdapat time lag). Berdasarkan informasi mengenai penggunaan dana e-purse yang diperoleh dari merchant, sistem akan membandingkan antara shadow account dengan rekening jaminan (guarantee account) penerbitan e-purse. Sedangkan untuk penggunaan Debit/Credit card, instrumen tersebut tidak anomyous, sehingga untuk meminimalisasi risiko penyalahgunaan informasi nasabah Debit/Credit card, sepenuhnya harus dengan membuat infrastruktur hukum yang kuat (strong legal basis). Dr. Drajad juga menambahkan bahwa di Indonesia saat ini masih belum terdapat peraturan hukum yang melindungi informasi rahasia nasabah sehingga perusahaan kartu kredit yang menyalahgunakan informasi rahasia nasabah tidak dapat dituntut. Berkaitan dengan hal tersebut maka harus dibuat legal infrastructure yang baik. 3 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia) Pertanyaan: Terkait dengan uang hasil kegiatan ilegal yang dilarikan ke Singapura, mengapa Indonesia mengalami kesulitan untuk menarik dana tersebut kembali ke Indonesia? Bagaimana dengan Extradition Treaty antara Indonesia dengan Singapura? Jawaban: Disadari bahwa Indonesia masih mengalami kesulitan untuk melakukan penarikan dana hasil kegiatan ilegal yang dilarikan ke Singapura. Hal ini disebabkan oleh belum adanya titik temu antara Indonesia dan Singapura dalam pembahasan Extradition Treaty. Permasalahan yang sampai sekarang belum terselesaikan adalah terkait dengan aspek yang akan tercakup dalam Extradition Treaty, seperti aspek politik serta pertahanan keamanan. Permasalahan lain adalah karena adanya perbedaan sistem hukum antara Indonesia dan Singapura dimana Indonesia menganut sistem European Continental sementara Singapura menganut sistem Anglo Saxon. 4 . Bambang Pramono (Bank Indonesia) Pertanyaan: a. Apakah di Belgia dan Belanda terdapat lembaga yang bertanggung jawab dalam hal terjadi risiko settlement? b. Prof Leo menyatakan bahwa pembayaran non-cash cenderung akan digunakan untuk transaksi ritel namun Dr. Drajad menyatakan bahwa transaksi ritel menggunakan pembayaran non-cash akan kurang menguntungkan bagi konsumen. Bagaimana dengan perbedaan ini? Jawaban: a. Di Belgia tidak terdapat lembaga yang bertanggung jawab terhadap risiko settlement, namun perbankan telah menyisihkan dana untuk kemungkinan munculnya risiko ini tetapi sampai sekarang belum pernah digunakan. Di Belgia, sepenuhnya tergantung pada sistem pengawasan perbankan yang baik. b. Perbedaan pandangan tersebut disebabkan karena perbedaan definisi e-money. Definisi e-money secara luas adalah terdiri dari electronic purses, Debit card
39
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
dan Credit card. Sedangkan definisi e-money secara sempit adalah terdiri dari smart card dan prepaid smart card 5 . Noer Azam Achsani (Institut Pertanian Bogor) Pertanyaan: a. Bagaimana cara menghitung underground economy? b. Saran untuk menaikkan cost of cash kurang sesuai diterapkan di Indonesia karena penggunaan cash di Indonesia masih lebih tinggi daripada penggunaan non-cash. Berkenaan dengan hal tersebut bagaimana tanggapan Prof. Leo? Jawaban: a. Underground economy dihitung dengan menambahkan variabel tax rate dalam persamaan permintaan uang. Latar belakang perhitungan tersebut disebabkan oleh semakin tingginya tax rate maka semakin tinggi pula dorongan untuk melakukan transaksi pembayaran tunai (korelasi positif). Hal ini berarti semakin tinggi tax rate maka semakin tinggi permintaan uang kartal. Metode ini merupakan metode yang dikembangkan oleh Vito Tamzi dari IMF. b. Sebagaimana telah disampaikan pada presentasi saya bahwa pendekatan untuk menaikkan cost of cash belum tentu sesuai untuk diterapkan di semua negara. Hal ini sangat tergantung dari kondisi sosial budaya masing-masing negara. Berkenaan dengan hal tersebut disarankan agar otoritas menjelaskan kepada masyarakat bahwa sebenarnya penggunaan uang tunai memiliki konsekuensi biaya tinggi misalnya biaya untuk cash handling dan biaya untuk keamanan. Di sisi yang lain agar penggunaan alat pembayaran non tunai diterima lebih luas di masyarakat perlu juga mendorong merchant untuk memfasilitasi tersedianya sarana pendukung penggunaan instrumen non tunai tersebut.
II. Tanya Jawab dan Diskusi Hari I Sesi 2 1 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia) Pertanyaan: a. Selain melalui pengadilan, apakah dimungkinkan ada media lain untuk menyelesaikan suatu dispute yang muncul dari perjanjian yang mendasari transaksi e-money? Berkaca pada negara lain, ada beberapa negara yang membentuk ombudsman program dalam menyelesaikan dispute terkait emoney. Apakah hal ini dimungkinkan di Indonesia? Apabila dimungkinkan, apakah dengan Peraturan Bank Indonesia atau dengan Undang-Undang? b. Dalam hal issuer mengalami bankrupt atau insolvency, apa yang harus dilakukan untuk menjamin pembayaran kepada merchant/pemegang? Berkaca pada negara lain, dikenal deposit insurance dan loss sharing program, apakah di Indonesia hal tersebut dimungkinkan? Apabila dimungkinkan, apakah cukup dengan Peraturan Bank Indonesia atau harus dengan undang-undang? Jawaban: a. Dalam hal permasalahan terjadi antara konsumen pemegang kartu dengan
40
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
merchant/penyelenggara, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang salah satu tugasnya adalah menjadi arbitrator/mediator. Lembaga ini dapat menjadi alternatif penyelesaian sengketa selain melalui lembaga peradilan atau badan arbitrasi lainnya. Terkait dengan penyusunan undang-undang, hal tersebut dapat saja dilakukan, namun sebaiknya konsepsi pengaturan hal tersebut dilakukan dengan tingkatan pengaturan yang lebih rendah terlebih dahulu seperti dengan menerbitkan Peraturan Bank Indonesia dan untuk selanjutnya diatur dalam undang-undang. b. Tidak semua permasalahan harus diselesaikan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan hal ini otoritas di Indonesia perlu melakukan terobosan-terobosan yang berani, mengingat langkah-langkah yang konvensional melalui pembentukan undang-undang sulit untuk diaplikasikan. Terkait dengan penggunaan alat pembayaran elektronik, Bank Indonesia harus berani berperan aktif melakukan terobosan-terobosan atas dasar kewenangan dalam Undang-Undang Bank Indonesia. Terkait dengan masalah bankruptcy atau insolvency, penyelenggara yang baik pasti akan memberikan jaminan kepada konsumennya. Dalam hal ini salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan mengedepankan peran lembaga asuransi. 2 . Dwityapoetra S. Besar (Bank Indonesia) Pertanyaan: a. Apa yang menjadi akar pemasalahan (root of the problem) dari penegakan hukum di Indonesia? b. Apakah e-money (stored-value dan multi-purpose) dapat dipersamakan dengan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan? Dalam hal dilakukan oleh lembaga keuangan bukan bank apakah menjadi melanggar hukum? Apakah harus dilakukan amandemen Undang-Undang Perbankan atau apakah harus disusun Undang-Undang Sistem Pembayaran? Jawaban: a. Yang menjadi root of the problem penegakan hukum adalah: 1) Pembuatan peraturan perundang-undangan yang cenderung tidak sensitif atas keadaan Indonesia secara umum, bahkan mengarah kepada pembuatan undang-undang sebagai komoditas untuk memperoleh uang. 2) Kecenderungan masyarakat di Indonesia adalah “pencari kemenangan” bukan “pencari keadilan”. 3) Hal-hal yang mewarnai penegakan hukum, yaitu uang, kekuasaan dan rasa kemanusiaan. 4) Lemahnya sumber daya manusia di sektor publik. 5) Keterbatasan anggaran. Hal yang fundamental dalam mengatasi masalah penegakan hukum di Indonesia adalah: Pertama, tidak menyangkal adanya masalah penegakan
41
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
hukum di Indonesia; Kedua, kesabaran; Ketiga, harus dilakukan pendekatan multi disiplin; Keempat, mengedepankan kesejahteraan penegak hukum; Kelima, konsistensi; Keenam, pendekatan manusiawi dan Ketujuh, partisipasi publik. b. Stored value card tidak termasuk simpanan, karena pada prinsipnya uang tersebut tetap “ada” namun tidak dalam bentuk konvensional (kertas atau logam). Lembaga keuangan bukan bank pun dapat melakukan kegiatan stored value ini. Terkait hal ini, tampaknya belum dibutuhkan amandemen UndangUndang Perbankan. 3 . Made Sadguna (PPATK) Ta n g g a p a n : Berdasarkan jawaban Prof. Leo van Hove dalam sesi sebelumnya, untuk meminimalkan penyalahgunaan private information oleh penyelenggara sistem pembayaran e-money, salah satu requirement yang paling dibutuhkan adalah infrastruktur hukum yang baik. Perlindungan konsumen merupakan upaya-upaya yang dilakukan dengan tujuan meminimalkan risiko yang dihadapi oleh konsumen. Namun demikian, salah satu aspek yang kurang mendapat perhatian adalah perlindungan kepada konsumen yang memungkinkan konsumen dapat menggunakan sarana pembayaran yang disediakan secara baik dan benar. Hal ini semakin dirasa penting pada negaranegara berkembangnya yang masyarakatnya kurang familiar dengan produkproduk (keuangan) yang rumit. Untuk itu, dirasa perlu adanya kewajiban bagi Penyelenggara sistem pembayaran untuk memberikan consumer education yang dilaksanakan tidak hanya dengan menyediakan brosur namun apabila perlu hingga melaksanakan consumer training. Kiranya hal tersebut dapat diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. 4 . Puji Atmoko (Bank Indonesia) Pertanyaan: Apakah alat pembayaran non tunai dapat berperan pula sebagai legal tender sebagaimana uang tunai? Bagaimana dengan dasar legalnya? Jawaban: a. Secara umum, masyarakat Indonesia masih belum terbiasa dengan penggunaan alat pembayaran elektronik. Salah satu jalan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan menyempurnakan pengaturan mengenai emoney, dimana Bank Indonesia diharapkan dapat berperan secara aktif sebagai motornya. b. Pada prinsipnya, e-money adalah bentuk lain dari uang, sehingga apabila konsumen ingin menguangkan e-money yang dimilikinya, hal tersebut harus dapat diakomodir. Pada dasarnya tidak ada permasalahan dari sisi legal, mungkin yang diperlukan adalah penguatan ketentuan-ketentuan
42
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
pelaksanaannya. Penting pula untuk diatur mengenai sanksi, dimana sanksi ini dapat bersifat administratif (pencabutan izin, penghentian kegiatan usaha, denda, dan lain-lain) dan dapat diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. 5 . Lili (PT. ISO) Pertanyaan: a. Sebenarnya transaksi dengan e-money sudah berjalan. Namun demikian terdapat permasalahan dimana dalam transaksi melalui internet, Indonesia termasuk sebagai salah satu negara yang di-banned. Apakah permasalahan ini diakibatkan oleh tidak adanya ketentuan atau justru kelemahan dalam penerapan peraturan? b. Dalam melaksanakan suatu kegiatan bisnis, apakah mutlak diperlukan keberadaan peraturan yang mengatur bisnis tersebut lebih dahulu, atau apakah bisa kegiatan bisnisnya jalan dulu baru kemudian peraturannya, mengingat dalam beberapa kasus yang terjadi adalah kegiatan bisnis berjalan terlebih dulu dibandingkan dengan ketentuan yang mengaturnya? Jawaban: a. Dalam konteks alat pembayaran, Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur alat pembayaran termasuk berperan aktif dalam menentukan standar alat pembayaran termasuk perangkat penunjangnya serta perlindungan kepada konsumen. b. Permasalahan yang utama adalah mengenai masalah penegakan hukum. Adapun hal yang perlu diperhatikan yaitu apakah pelaku kejahatan/fraud tersebut berakhir di pengadilan atau tidak (dihukum dengan pantas atau tidak terkait dengan efek jera yang ditimbulkan). Kecenderungan yang terjadi adalah bisnis berjalan dulu baru kemudian hukumnya dibuat dengan mempertimbangkan apakah kegiatan tersebut perlu diatur mengenai pengenaan sanksi, syarat-syarat administratif serta standar keamanan. 6 . Nastiti (Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen Perdagangan) Informasi: Sesuai dengan informasi Prof. Hikmahanto, pada saat ini terdapat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang melakukan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Hingga saat ini sudah dibentuk di 22 daerah tingkat II, dan 10 diantaranya sudah aktif berjalan. Di DKI Jakarta belum ada BPSK karena terbentur Undang-Undang Otonomi Daerah.
III. Tanya Jawab dan Diskusi Hari II Sesi 1 1 . Harry (Bank Bukopin) Pertanyaan: a. Penggunaan uang cash oleh masyarakat masih bersifat controllable, sedangkan
43
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
penggunaan e-cash akan lebih uncontrollable. Bagaimana menyikapi hal ini? b. Apakah e-cash yang saat ini telah digunakan di Hong Kong dapat dikembangkan untuk melakukan pembayaran tiket airlines? Jawaban: Antony: a. Skim pembayaran dengan e-cash dimaksudkan untuk membuat segala sesuatunya lebih mudah dan simple (make our life easier). Untuk itu, Octopus Card Limited selalu menawarkan kepada masyarakat sesuatu yang lebih baik, memberikan solusi, lebih praktis, simpel dan tidak pernah mengedepankan kompleksitas dari e-cash yang digunakan. Untuk meyakinkan masyarakat pengguna, perlu dibangun “trust” masyarakat pengguna terhadap e-cash sebagai alat pembayaran, antara lain dengan memberikan 100% money back guarantee apabila pengguna merasa tidak nyaman/tidak puas dalam penggunaannya. Selain money back guarantee, pada prinsipnya terdapat dua tipe produk yang dapat/tidak dapat disertai dengan value protection, yaitu: 1) Produk yang digunakan oleh masyarakat luas (mass product) Dilihat dari karakter dan prioritasnya, produk ini tidak disertai dengan proteksi dana (no value protect) dalam arti produk ini dapat digunakan oleh siapa saja. Otorisasi hanya dilakukan terhadap validitas kartu dan kecukupan dana. Dalam hal kartu jenis ini hilang, maka pemilik kartu tidak dapat mengklaim dana yang tersimpan pada kartu yang hilang tersebut. 2) Produk yang terdaftar (registered product) Produk ini disertai dengan value protect. Dalam hal kartu hilang, maka si pemilik kartu yang terdaftar dapat melakukan pemblokiran/klaim atas dana yang tersimpan pada kartu tersebut. b. Octopus cards di Hong Kong digunakan untuk pembayaran transaksi mikro yang rata-rata di bawah HKD 100. Dari sisi teknis, tidak ada kesulitan/ permasalahan sama sekali untuk mengembangkan fitur pembayaran Octopus cards untuk pembayaran tiket airlines. Namun demikian, perlu ada penyesuaian security system features untuk mengembangkan penggunaan Octopus cards dari hanya untuk pembayaran mikro ke pembayaran ritel yang nilainya lebih besar. Hal ini mengingat security system level berbeda-beda dan dibuat secara bertahap tergantung risiko yang dikandungnya. Untuk mencegah penambahan risiko yang akan menjadi beban Octopus Card Limited (OCL), sampai saat ini OCL membatasi diri hanya menggunakan Octopus cards untuk transaksi mikro, dan hal ini memang telah sesuai dengan jumlah maksimal dana yang dapat disimpan pada kartu (HKD 1.000). Dari apa yang dikemukakan Antony, moderator mengembangkan pertanyaan kepada dua pembicara lain, khususnya terkait dengan permasalahan 100% money back guarantee.
44
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
PT. Pertamina: Prinsipnya, Pertamina juga akan menerapkan prinsip value protection sebagaimana dikemukakan Antony. Untuk kartu-kartu yang terdaftar, pemilik kartu dapat melakukan pemblokiran/pengklaiman dana apabila kartunya hilang, sedangkan untuk anonymous card tidak dapat diklaim apabila hilang. Mengingat implementasi Gaz Card tahap awal akan diprioritaskan untuk transaksi antara Pertamina dan Pengusaha (merchant), maka Gaz Card justru akan bersifat registered. Untuk Gaz Card yang akan diluncurkan pada tahap awal ini, konversi nilai dana yang ada pada kartu menjadi uang sebagai konsekuensi money back guarantee, tampaknya akan sulit dipenuhi oleh PT. Pertamina. PT. Telkom: E-cash atau stored value card merupakan bentuk lain (elektronik) dari uang, sehingga sudah semestinya e-cash harus bisa dicairkan kembali (konversi) ke dalam bentuk uang apabila diinginkan oleh pemegangnya. Sehubungan dengan hal tersebut tidak ada alasan mengenai tidak adanya money back guarantee apabila pengguna tidak merasa nyaman dalam penggunaan e-cash tersebut. 2 . Siti Hidayati (Bank Indonesia) Pertanyaan: Siapakah yang harus mengeluarkan inisiatif untuk melakukan kolaborasi pasar? Apakah pelaku pasar yang memiliki share besar (mendominasi pasar) atau pemegang otoritas (regulator)? Jawaban: Antony: Sejarah pengembangan Octopus cards di Hong Kong menunjukkan bahwa kartu ini berawal dari dikembangkannya single purpose prepaid card yang diinisiasi oleh perusahaan-perusahaan transportasi yang bergabung menjadi satu dalam menciptakan alat pembayaran yang lebih praktis, efisien dan tetap murah. Untuk itu, menurut Antony, di Indonesia pun para pelaku bisnis harus duduk bersama dan melakukan kolaborasi pasar. Inisiasi dapat berawal dari perusahaan yang paling besar atau juga dapat dimotori oleh bank sentral. Kolaborasi pasar ini sifatnya wajib. Pelaku pasar harus dapat duduk bersama dan tidak membawa isu kompetisi untuk penggunaan alat bayar. Kompetisi tetap dapat dilakukan dengan penekanan pada kualitas barang, harga yang bersaing dan lain-lain, namun tidak untuk alat bayar. Hal ini karena alat bayar merupakan kebutuhan luas yang sifatnya umum dan menunjang kelancaran usaha dan bukan untuk dipersaingkan. PT. Telkom: Setuju bahwa permasalahan persaingan tidak terkait dengan kartu dan alat pembayarannya namun lebih pada kualitas dan harga produk. Untuk itu, tidak ada alasan bagi pelaku pasar di Indonesia untuk tidak berkolaborasi. Diperlukan adanya suatu institusi, dalam hal ini mungkin Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas sistem pembayaran, untuk dapat menjembatani dan menjadi fasilitator
45
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
maupun katalisator agar pasar berkolaborasi satu dengan yang lain, dalam pengembangan e-cash di Indonesia. Perlu pula dicermati apakah akan ada standardisasi produk atau tidak. PT. Pertamina: Pertamina mengembangkan Gaz Card salah satunya untuk loyalty rewards bagi pelanggan, sehingga diharapkan pelanggan akan tetap loyal kepada produk Pertamina. Meskipun sampai saat ini Pertamina masih bepikir bahwa kolaborasi dapat saja dilakukan sepanjang dengan perusahaan-perusahaan yang memang bukan kompetitor Pertamina, namun Pertamina tetap berpandangan sama bahwa kolaborasi itu sangat penting. 3 . Agus Ponco (Bank Indonesia) Pertanyaan: Apakah stored value card seperti Octopus Card dapat dikembangkan di Indonesia mengingat masyarakat Indonesia sangat berbeda-beda baik dari sisi budaya, behavior maupun religion-nya? Jawaban: Antony Belajar dari pengalaman, untuk menciptakan alat pembayaran baru, jangan mengedepankan masalah kompleksitasinya, namun selalu mengemukakan benefits-nya. Hal ini untuk mencegah keengganan dan sikap skeptis dari masyarakat calon pengguna. Perbedaan dan keanekaragaman budaya, baik dari sikap, perilaku maupun preferensi pembayaran masyarakat harus dijadikan salah satu acuan dalam pengembangan alat pembayaran. Dalam arti, jangan sampai dilakukan pengembangan alat pembayaran yang memang tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakter masyarakat, dan bertentangan dengan budaya masyarakat. Buatlah skim pembayaran itu sesederhana mungkin. PT. Telkom: Dalam setiap pengembangan produk, Telkom selalu memperhatikan budaya masyarakat karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap acceptance masyarakat atas produk yang diterbitkan. Sebagai contoh, Telkomsel, anak perusahaan PT. Telkom pernah mengeluarkan produk kartu prabayar berupa “Simpati Hoki” yang ternyata memang tidak laku di wilayah tertentu (Propinsi Aceh). Hal ini mengingat di wilayah tersebut tidak mempercayai adanya hoki (lucky) dan adat setempat menganggap bahwa percaya pada faktor hoki sematamata adalah tidak baik. Untuk itu, produk “Simpati Hoki” ditarik dan digantikan dengan “Simpati Jitu”. Sejalan dengan perilaku dan karakter masyarakat pulalah saat ini 97% produk kartu telekomunikasi yang diterbitkan oleh Telkom Group berupa kartu prabayar. 4 . Bank Jatim Saran/sharing: Kiranya pengembangan non-cash payment instruments seperti stored value cards untuk pembayaran BBM kendaraan bermotor yang sedang dijajagi oleh Pertamina
46
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
dapat juga untuk: a. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, sebagai contoh di wilayah Jawa Timur saja terdapat 25 juta orang wajib pajak. b. Pembayaran pajak kendaraan bermotor, yang sekaligus dapat digunakan untuk mengidentifikasi pemilik kendaraan bermotor sehingga jumlah pengguna kendaraan bermotor di Indonesia dapat terpetakan per wilayah. Ta n g g a p a n : Usul yang dapat dijadikan wacana pengembangan ke depan. 5 . Trans Jakarta Pertanyaan: a. Apakah untuk pengembangan smart card ke depan akan ada standardisasi format data? Mengingat saat ini di retailer (misalnya swalayan, toko elektronik) telah ada 5-6 mesin EDC yang berbeda-beda. b. Bagaimana security issues dalam smart cards? Jawaban: Akan lebih baik jika kolaborasi pasar juga sekaligus membahas format data yang akan digunakan dalam e-cash, sehingga pengembangan ke depan dapat dilakukan lebih baik, lebih terencana dan dapat simultan. 6 . Farida Peranginangin (Bank Indonesia) Pertanyaan: a. Bagaimana Pertamina mengantisipasi keengganan masyarakat terhadap penggunaan Gaz Card, mengingat transaksi konsumen Pertamina bernilai lebih tinggi (higher value) daripada transaksi yang biasa dilakukan dengan menggunakan smart card (micro payments)? b. Bagaimana Octopus Card Limited mengatasi kompleksitas dalam kliring dan settlement untuk transaksi kartu Octopus? c. Bagaimana tanggapan Antony terkait dengan opini bahwa satu kartu prabayar multi purposes multi merchants jauh lebih efisien daripada banyak kartu prabayar single purpose? Jawaban: Antony a. Mengingat Octopus cards merupakan produk yang diterbitkan oleh Octopus Cards Limited yang sekaligus berfungsi sebagai prinsipal, issuer, acquirer maupun operator, maka tidak ada permasalahan kompleksitas kliring maupun settlement. Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan kliring dan settlement selalu kompleks. Akan lebih baik jika di Indonesia digunakan “open model” agar bisa terus dikembangkan. Kompleksitas kliring dan settlement ini merupakan area yang bersifat subject to regulate oleh otoritas. b. Sangat benar bahwa 1 kartu prabayar multi purposes multi merchants jauh lebih efisien daripada banyak kartu prabayar single purpose. Justru di sinilah diperlukannya kolaborasi pasar dan kolaborasi ini sebenarnya akan sangat
47
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
bagus jika dilakukan dengan bank karena memang sistem pembayaran ini merupakan area yang menjadi nature bank. PT. Pertamina: Pertamina telah melakukan uji coba Gaz Card di Batam pada tanggal 5 Mei 2006, dan hasilnya ternyata tingkat minat masyarakat terhadap Gaz Card ini sangat besar. Dengan demikian Pertamina tidak melihat adanya keengganan pasar. Namun demikian, untuk mengantisipasi keengganan pasar pada saat produk diluncurkan, Pertamina akan memberikan perlakuan “khusus” bagi pelanggan yang melakukan pembayaran Gaz Card, misalnya dengan memberikan line khusus untuk pembelian BBM sehingga tidak antri, diberikan poin setiap mengisi dana pada kartu bahkan sebelum dana pada kartu tersebut digunakan untuk bertransaksi. Untuk mempermudah akses masyarakat dalam melakukan pembelian kartu dan top-up, termasuk proses registrasi, Pertamina akan menentukan SPBU yang dapat dijadikan tempat untuk melakukan transaksi-transaksi tersebut. PT. Telkom: Isu kliring dan settlement selalu bersifat kompleks, namun bukan berarti tidak ada jawabannya. IV. Tanya Jawab dan Diskusi Hari II Sesi 2 1 . Pipih D. Purusitawati (Bank Indonesia) Pertanyaan a. Sebagai regulator sampai sejauh mana Bank Indonesia dapat mengatur pihakpihak yang terlibat dalam sistem pembayaran non tunai? b. Siapa yang berhak mengatur transaksi Digicash yang lintas negara? c. Kebutuhan terhadap transaksi non tunai dari sisi user sudah cukup mendesak, sebaiknya PT. Jasa Marga segera mempercepat proses pelaksanaan dari proyek non-cash. Jawaban a. Saat ini, selain mengatur mengenai masalah konvergensi, Depkominfo juga mengatur dasar-dasar terkait dengan informatika antara lain teknologi Information, Communication and Telecommunication (ICT) dan lain-lain. Sementara Bank Indonesia dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tidak diberi kewenangan sebagai inisiator Undang-Undang. Hal ini menyebabkan apabila Bank Indonesia memiliki inisiatif terhadap penerbitan Undang-Undang seperti RUU Transfer Dana, Bank Indonesia harus melalui pemerintah atau DPR. Namun, Bank Indonesia dapat mengatur melalui peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia (PBI dan SE). b. Untuk transaksi Digicash, penyelenggara biasanya telah membuat pernyataan di website penyelenggara sehingga apabila terjadi masalah maka hukum yang digunakan adalah hukum yang berlaku di negara pelaku kejahatan. Salah satu asas yang diatur dalam RUU ITE adalah asas ekstrateritorial sehingga
48
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
berdasarkan asas tersebut pelaku yang berada di luar negeri dapat diadili di negara penyelenggara. c. Proyek smartcard multifungsi yang direncanakan oleh PT. Jasa Marga menjadi tertunda karena terdapat hal-hal yang berada di luar wewenang PT. Jasa Marga, antara lain masalah regulasi e-money dan kepentingan antar institusi. 2 . Ahmad Hidayat (Bank Indonesia) Pertanyaan Dalam penggunaan infrastruktur oleh penyelenggara kartu non-cash (e-money) pendekatan yang dilakukan oleh beberapa negara berbeda, misalnya Hong Kong membangun infrastruktur sendiri sedangkan di Singapura lebih menggunakan infrastruktur yang dimiliki oleh perbankan karena sudah relatif kuat dan stabil. Seberapa jauh BCA akan mengizinkan infrastrukturnya digunakan untuk kepentingan pengembangan pembayaran non-cash? Jawaban E-money merupakan bisnis baru sehingga harus dibangun bersama-sama dengan beberapa provider. Kesediaan BCA untuk men-share infrastrukturnya perlu dikaji lebih dahulu. Selama ini untuk penyelenggaraan kliring BCA, BCA sudah terbuka untuk menerima provider lain. Namun dalam kaitannya dengan trust provider dan distributor, BCA harus mempertimbangkan lebih dahulu aspek image dan trust karena dalam bisnis ini terdapat risiko-risiko yang harus ditanggung oleh BCA. Interkoneksi di antara para pelaku pasar tidak dapat dipaksakan dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi. Oleh karena itu perlu dipikirkan jalan keluar mengingat masing-masing pihak yang terkait memiliki kepentingan yang berbedabeda. 3 . Iwan Setiawan (Bank Indonesia) Pertanyaan a. Transaksi Internet Banking BCA sering menjadi obyek kejahatan cyber, misalnya kasus typo squatting Stephen Haryanto. Namun setelah BCA menambahkan token (keyBCA) sebagai tambahan security feature selain user-id dan password, transaksi melalui internet banking justru meningkat. Selama ini adagium yang dikenal dalam ICT, bahwa semakin tinggi tingkat sekuriti akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pengguna. Namun adagium tersebut tidak terjadi pada Internet Banking BCA. Berkenaan dengan hal tersebut, pelajaran apa yang dapat dipelajari oleh kita semua terkait dengan adanya kasus tersebut? b. Selain itu, terkait dengan kejahatan ATM, selama ini bank selalu menyatakan bahwa ‘transaksi dianggap sah jika ada kartu dan PIN yang ‘benar’. Sejauh mana tanggung jawab bank terhadap kartu yang unauthorized (skimming) dan sampai sejauh mana bank melakukan investigasi karena selama ini nasabah
49
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
banyak yang dirugikan. Jawaban a. Pilihan nasabah dipengaruhi oleh 2 hal yaitu convenience dan keamanan. PIN dinamis (token) di satu sisi menimbulkan inconvenience bagi nasabah, karena nasabah harus selalu membawa token dan memasukkan PIN dinamis yang digenerate oleh token, sehingga nasabah memerlukan waktu relatif lebih lama untuk melakukan transaksi. Namun demikian, di sisi lain penggunaan token menimbulkan rasa percaya dan aman bagi nasabah atas penggunaan Internet Banking BCA. Selain itu BCA juga melakukan sosialisasi untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan nasabah sehingga saat ini transaksi Internet banking melalui KlikBCA semakin meningkat. Untuk kasus typo squatting yang pernah terjadi di BCA, saat ini dalam RUU ITE sudah diatur mengenai tindakan perdatanya sehingga dapat dilakukan pencabutan nama domain typo squatting tersebut. b. Fraud yang terjadi pada sarana ATM dalam kasus BCA biasanya dilakukan oleh orang-orang yang dekat atau kenal dengan nasabah (keluarga, teman, rekan kerja, dan sebagainya). Untuk membuktikannya, BCA akan memutar ulang rekaman kamera yang terdapat pada ATM. Tanggung jawab bank terhadap transaksi elektronik sudah diatur dalam RUU ITE dimana penyelenggara wajib menyelenggarakan transaksi elektronik secara aman dan penyelenggara juga harus bertanggung jawab terhadap sistem yang diselenggarakannya. 7 . Isnu Yuwana (Bank Indonesia) Pertanyaan Terkait dengan aspek perlindungan konsumen dan mengingat Bank Indonesia tidak berwenang mengatur sanksi pidana, sampai sejauh mana Bank Indonesia berperan dalam mengatur penerbitan e-money khususnya yang diselenggarakan oleh lembaga keuangan bukan bank? Jawaban Terkait dengan perlindungan konsumen, dalam RUU ITE diatur bahwa pelaku usaha wajib menyediakan informasi yang benar dan lengkap tentang produk yang dihasilkan. Untuk transaksi elektronis khususnya yang terkait dengan carding, pengenaan sanksi pidana tidak hanya dikenakan kepada pengguna saja tetapi juga kepada pihak yang melakukan akses. 8 . Agus Ponco (Bank Indonesia) Pertanyaan Trend transaksi melalui BCA secara umum meningkat. Apakah pelajaran yang bisa di-share oleh BCA sehingga produk BCA dikenal dan banyak digunakan oleh masyarakat di tengah persaingan yang semakit ketat? Jawaban Dalam hal ini BCA menjelaskan salah satu pengalaman pada saat meluncurkan produk non tunai; internet banking dan mobile banking. Kedua produk ini
50
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
merupakan produk non tunai yang sedang trend saat ini. Pada saat awal peluncuran produk internet banking, satu hal yang menjadi pertanyaan BCA adalah apakah produk ini akan digunakan oleh masyarakat atau tidak, mengingat prinsip yang dipegang oleh BCA pada saat peluncuran produk baru adalah harus mencapai tingkat economic of scale tertentu. Disadari bahwa saat ini sebagian besar pengusaha berasal dari generasi tua yang kurang mengenal teknologi yang digunakan. Namun dalam kenyataannya terdapat pengusaha yang berasal dari second generation yang telah mengenal teknologi internet. Melihat kondisi tersebut, apabila BCA hanya melihat pada market generasi terdahulu saja, maka penetrasi pasar akan sangat lama. Oleh karena itu BCA lebih mengarahkan produknya pada generasi muda sebagai channel delivery system sehingga produk BCA cukup dikenal oleh masyarakat. 9 . Hari (Bank Bukopin) Pertanyaan a. Untuk membuat kartu yang multipurpose, permasalahan yang terjadi selama ini adalah interoperability. Apakah ada pemikiran dari PT. Jasa Marga untuk membuat standar terhadap kartu untuk tol sehingga bisa digunakan lintas operator tol (selain PT. Jasa Marga)? b. Dalam grand design PT. Jasa Marga, apakah di masa yang akan datang akan bekerjasama dengan bank, menjadi issuer sendiri atau melakukan kerjasama dengan pihak lain (non bank)? Jawaban a. Pada saat ini terdapat beberapa perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan industri tol antara lain PT. DMNS untuk tol ruas Tangerang-Merak, PT. Citra Marga Nusa Pala untuk tol dalam kota. Kedua perusahaan ini dikategorikan pada kelompok merchant yang beda tetapi tujuan yang sama (untuk membayar tol). Terkait dengan kolaborasi antara pelaku pasar tersebut, disadari bahwa hal tersebut akan mempercepat penggunaan kartu. Sementara itu untuk standardisasi kartu saat ini masih terdapat tarik-menarik antara pemain mengingat terdapat berbagai kepentingan antara lain aspek bisnis, teknologi dan lain-lain. Permasalahan yang dihadapi oleh PT. Jasa Marga adalah belum adanya standar messaging untuk multipurpose. Permasalahan lain juga cukup beragam yaitu masalah teknologi dan bisnis. b. Untuk saat ini kemungkinan PT. Jasa Marga akan menjadi issuer sendiri dengan memperluas layanan smartcard yang sudah diterapkan di ruas PadalarangCileunyi. Ke depan tidak menutup kemungkinan untuk berkolaborasi dengan pihak lain untuk mengembangkan multipurpose card.
51
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian
Keempat
DISKUSI DENGAN PEMBICARA ASING DI LUAR SEMINAR
52
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
I. DISKUSI DENGAN PROF. LEO VAN HOVE A .PERTANYAAN TERKAIT DENGAN ASPEK MAKRO EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER Pertanyaan 1: Apakah terdapat perbedaan peran bank sentral pada masyarakat yang less cash atau cashless apabila ditinjau dari sudut pandang kebijakan moneter? Jawaban: Ada perbedaan tapi tidak terlalu signifikan. Secara teori kondisi cashless adalah tidak ada penggunaan cash dalam transaksi ekonomi atau 0% menggunakan cash. Sementara itu pada kondisi less cash masih terdapat penggunaan cash sekitar +5%. Menurut pendapat pembicara, kondisi 0% dan 5% cash bagi bank sentral tidak memberikan dampak kebijakan moneter yang berbeda. Pertanyaan 2: Bagaimana pendapat Prof. Leo terhadap pernyataan salah seorang ahli ekonomi yang mengatakan bahwa kebijakan moneter dalam kondisi masyarakat yang cashless menjadi tidak relevan karena bank sentral tidak lagi melakukan pengelolaan cash? Jawaban: Bagi sebagian ahli ekonomi terdapat anggapan bahwa penerapan cashless akan menjadi masalah bagi bank sentral untuk menetapkan kebijakan makro ekonomi. Namun hal tersebut justru tidak menjadi masalah karena dengan tidak adanya cash maka penggunaan instrumen non-cash, yang notabene nilai uangnya disimpan dalam sistem keuangan (perbankan), masih tetap terkontrol oleh bank sentral melalui penetapan kebijakan reserve requirement. Dengan kata lain terdapat perpindahan demand for money menjadi demand for reserve. Pertanyaan 3: Apakah di Belgia terdapat mekanisme penghitungan jumlah uang yang beredar dalam e-money untuk memonitor jumlah uang yang beredar sehingga dapat digunakan sebagai salah satu instrumen moneter untuk membatasi money supply? Jawaban: Informasi e-money diperoleh dari issuer yang secara rutin wajib melaporkan transaksi kepada bank sentral tiap bulannya. Selain itu setiap orang di Belgia pada umumnya memiliki 2 rekening di bank yaitu untuk keperluan tabungan maupun yang hanya digunakan untuk ritel payment termasuk e-purse. Oleh karena itu data monetary agregat dapat diperoleh dengan mudah yang pada akhirnya tidak menyulitkan bank sentral dalam melakukan perhitungan money supplynya. Dalam proses perhitungannya e-money digolongkan ke dalam M1. Pertanyaan 4: Apakah terdapat model ekonometrik yang dapat memprediksi pengaruh less cash society terhadap kebijakan moneter? Jawaban: Saya kira tidak, karena sangat sulit untuk memprediksi pengaruh penggunaan e-
53
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
money terhadap kebijakan moneter. Sebagai contoh penelitian tentang hal tersebut pernah dilakukan oleh Bank Sentral Belgia pada tahun 1990, namun hasil yang diprediksikan pada penelitian tersebut tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Pertanyaan 5: Sebagaimana telah disebutkan bahwa velocity of money dalam penggunaan ATM dan penarikan uang tunai ke bank tidak berbeda jauh. Mohon dijelaskan mengenai hal tersebut dikaitkan dengan presentasi yang disampaikan Perry Warjiyo yang menyatakan bahwa penggunaan ATM akan mempercepat velocity of money akibat berkurangnya waiting time. Jawaban: Situasi di Belgia sangat berbeda dengan di Indonesia. Di Belgia penggunaan ATM hanya untuk penarikan uang tunai dan tidak bisa digunakan untuk transaksi pembayaran. Dalam hal ini fungsi penarikan uang melalui ATM sama dengan penarikan uang di kasir. Pertanyaan 6: Bagaimana dampak internet banking dan phone banking terhadap less cash society? Jawaban: Dampaknya sangat kecil karena hanya membuat transaksi lebih nyaman saja. Dalam hal ini internet banking dan phone banking hanya mengubah sarana penyampaian instruksi dari sarana yang menggunakan kertas menjadi sarana yang menggunakan telepon atau internet. Pertanyaan 7: Apakah penggunaan instrumen non-cash yang semakin meluas memberikan dampak pada kebijakan moneter yang menganut suku bunga sebagai sasaran utama? Jawaban: Penggunaan instrumen non-cash tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap kebijakan moneter yang menganut suku bunga sebagai sasaran utama. Namun secara teoritis hal ini dimungkinkan apabila bank sentral hanya mengandalkan pasar uang domestik untuk menarik dana. Artinya instrumen suku bunga sebagai sasaran kebijakan moneter hanya dipengaruhi oleh reserve bank di bank sentral, sehingga penggunaan non-cash yang tidak ada reserve-nya dapat mempengaruhi kebijakan moneter. Pertanyaan 8: Apabila penerbit prepaid card adalah lembaga keuangan bukan bank yang tidak memiliki kewajiban untuk menempatkan reserve di bank sentral, apakah penggunaan/ekspansi float money yang dilakukan lembaga bukan bank tersebut akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter? Jawaban: Di Eropa penerbit prepaid card diatur secara ketat. Pertama, penerbit prepaid card adalah bank atau lembaga keuangan bukan bank yang memiliki reputasi
54
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
baik. Pada umumnya penerbit prepaid card adalah bank. Kedua, seluruh lembaga penerbit prepaid card tersebut merupakan obyek pengawasan sistem pembayaran. Ketiga, penerbit prepaid card diwajibkan untuk memiliki modal minimum tertentu dan harus menempatkan dananya pada investasi tertentu yang aman. Apabila Indonesia akan menerapkan peraturan untuk menjadi penerbit prepaid card seyogyanya lembaga penerbit adalah bank. Selanjutnya apabila ada lembaga lain seperti jasa transportasi atau lainnya maka lembaga tersebut harus bekerja sama dengan bank. Berkenaan dengan hal tersebut diperlukan legal infrastructure yang tegas dan jelas untuk mengatur aturan main penyelenggaraan prepaid card ini. Pertanyaan 9: Apakah Bank Sentral Belgia mengawasi bank dan lembaga keuangan bukan bank penyelenggara e-money? Jawaban: Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan e-money di Eropa menjadi tanggung jawab European Central Bank (ECB), sehingga setiap penerbit harus melaporkan kegiatan penerbitan -e-money secara rutin. Di setiap bank sentral yang tergabung dalam ECB juga memiliki financial stability department yang melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan e-money. Pertanyaan 10: Apakah penerbit e-purse juga memberikan laporan kegiatannya kepada lembaga yang menangani money laundering? Jawaban: Pada umumnya nilai uang pada e-purse dibatasi karena hanya digunakan untuk transaksi ritel sehingga nampaknya kecil kemungkinan untuk digunakan sebagai sarana untuk melakukan transaksi money laundering. Pertanyaan 11: Bagaimana penyelesaian dispute antara issuer, merchant dan konsumen, misalnya apabila issuer bangkrut sementara konsumen masih memiliki nilai uang pada kartu yang dibelinya? Jawaban: Nilai uang yang tersimpan dalam e-purse akan tetap berlaku sampai dengan nilainya habis dan tidak terkait dengan penerbit e-purse tersebut. Oleh karena itu apabila issuer e-purse bangkrut konsumen tetap dapat menggunakan kartu tersebut untuk bertransaksi di merchant. Pertanyaan 12: Bagaimana dampak less cash society terhadap variabel-variabel makro ekonomi seperti: - tingkat harga (inflasi); - surplus konsumen dan produsen; dan - kesejahteraan masyarakat secara umum. Jawaban: Dilihat dari dampak terhadap tingkat harga (inflasi), tergantung dari jenis
55
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
instrumen pembayaran non tunai. Untuk Debit card dan prepaid card tidak akan mempengaruhi ekonomi makro. Tetapi untuk Credit card akan mempengaruhi uang beredar karena adanya money multiplier effect. Dilihat dari dampak terhadap surplus konsumen dan produsen, tergantung dari tingkat persaingan pasar. Semakin sempurna persaingan pasar tersebut, konsumen akan semakin diuntungkan. Dilihat dari dampak terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum, karena social cost berkurang maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Dengan berkurangnya social cost dalam hal ini antara lain dengan berkurangnya cash handling maka surplus produsen akan semakin meningkat. Pertanyaan 13: Apabila masyarakat memandang penggunaan instrumen non tunai akan lebih membuat masyarakat semakin nyaman untuk bertransaksi, apakah akan kondisi ini akan berdampak pada meningkatnya aktivitas transaksi yang pada gilirannya akan meningkatkan tingkat harga secara umum? Jawaban: Kondisi tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan harga secara umum. Pada prinsipnya kenyamanan penggunaan -e-purse sama dengan kenyamanan penggunaan uang tunai. Pertanyaan 14: Bagaimana cara menghitung social cost of payment instrument? Jawaban: Penghitungan social cost dilakukan dengan menjumlahkan seluruh private cost atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seluruh pihak yang menggunakan instrumen pembayaran. Misalnya penghitungan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh merchant, konsumen, bank, lembaga penyedia instrumen pembayaran termasuk bank sentral terkait dengan distribusi penggunaan instrumen pembayaran tersebut. Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda maka biaya transfer dana melalui sistem perbankan tidak disertakan dalam perhitungan tersebut. Untuk menghitung social cost, data transaksi diperoleh dari bank umum atau penerbit. Sementara itu data yang dikeluarkan oleh merchant maupun konsumen dilakukan dengan survei sehingga diperoleh proksi untuk menghitung seluruh biaya yang dikeluarkannya. Pertanyaan 15: Apakah dampak penggunaan instrumen non-cash terhadap pendapatan seignorage bank sentral? Jawaban: Penggunaan instrumen non-cash secara otomatis akan menurunkan pendapatan seignorage bagi bank sentral tapi terdapat pula efisiensi terutama pengurangan biaya cetak uang, biaya distribusi dan biaya keamanannya. Hal yang lebih penting
56
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
lagi adalah pengurangan seignorage tersebut bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan. Pertanyaan 16: Terkait dengan data statistik ekonomi, terdapat perbedaan konsep perhitungan dimana untuk tunai menggunakan konsep jumlah persediaan (stock concept) sementara untuk non tunai menggunakan perputaran (flow concept). Terhadap isu tersebut, bagaimana cara menghitung dan membandingkan antara perkembangan instrumen tunai dan non tunai? Adakah indikator makro ekonomi yang dapat menggambarkan perkembangan less cash society? Jawaban: Untuk data statistik uang beredar baik cash maupun non-cash diperoleh melalui ECB. ECB menghitung M1 berdasarkan total outstanding e-money dijumlahkan dengan outstanding currency. Sedangkan untuk menghitung uang beredar dari penggunaan e-purse saat ini hanya didasarkan pada survei kepada responden tertentu untuk menanyakan porsi penggunaan e-purse/e-money pada hari tertentu secara acak. Kemudian data yang diperoleh tersebut diekstrapolasikan terhadap seluruh populasi untuk memperoleh proxy-nya. Dengan demikian apabila ingin mencari proporsi penggunaan cash dan non-cash hanya akan diperoleh proxy saja. Pertanyaan 17: Apakah di negara yang penggunaan instrumen non tunainya sudah tinggi, penggunaan uang tunai atau permintaan uang akan berkurang secara signifikan? Jawaban: Hal ini tergantung pada berapa besar jumlah underground economy pada tiap negara. Apabila underground-nya masih banyak tentunya peningkatan penggunaan instrumen non tunai juga tidak terlalu signifikan. Pertanyaan 18: Menurut Saudara, negara mana yang paling banyak menggunakan instrumen non tunai? Jawaban: Iceland dan negara-negara Skandinavia merupakan contoh negara di Eropa yang banyak menggunakan instrumen non tunai. Pertanyaan 19: Dapatkah dijelaskan dampak penggunaan instrumen non tunai yang semakin meluas terhadap isu stabilitas keuangan? Jawaban: Hal ini tergantung pada beberapa isu seperti penerbit dan legal infrastructure. Jika penerbitnya adalah bank atau lembaga keuangan yang telah memiliki reputasi baik serta terdapat aturan main yang jelas dan tegas maka risiko instabilitas keuangan dapat diminimalisir.
57
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
B . PERTANYAAN TERKAIT E-MONEY Pertanyaan 1: Seberapa signifikan perputaran penggunaan e-money apabila dibandingkan dengan penggunaan uang tunai baik dari sisi volume maupun nilai di negara Saudara (negara lainnya)? Jawaban: Tidak ada data yang akurat untuk penggunaan uang tunai. Sesuai dengan paper yang telah disampaikan, tingkat perputaran transaksi e-money di Belgia dan Belanda kurang lebih sama, yaitu sekitar 3,7% dari cash transaction. Sementara itu perkembangan Proton e-purse di Belgia relatif lambat. Pertanyaan 2: Bagaimana bank sentral di Eropa merespon dampak e-money terhadap efektivitas kebijakan moneter? Jawaban: Untuk level Eropa yang merespon dampak penggunaan e-money adalah ECB melalui pengumpulan data termasuk outstanding-nya oleh penerbit e-money setiap bulannya. Pertanyaan 3: Apakah penerbit e-money mengharuskan melaporkan segala kegiatannya secara reguler? Kepada siapa (bank sentral atau otoritas terkait lainnya)? Jawaban: Sebagaimana telah disebutkan laporan kegiatan diberikan ke ECB, Bank Sentral di masing-masing negara hanya memonitor kegiatan e-money di negaranya masing-masing yang dilakukan oleh Financial Stability Department. Pertanyaan 4: Apakah e-money termasuk dalam komponen perhitungan uang beredar (M1)? Apabila termasuk M1, bagaimana cara perhitungannya? (apakah seluruh float atau hanya sebagian yang dihitung dalam perhitungan) Jawaban: Ya (e-money termasuk dalam M1), seluruh penerbit e-money baik perbankan maupun lembaga selain bank harus melaporkan seluruh kegiatannya sehingga seluruh float dihitung sebagai komponen uang beredar. Pertanyaan 5: Apakah penerbit e-money mempunyai fleksibilitas untuk mengelola kelebihan dananya (float) dalam bentuk financial asset daripada deposit (contohnya surat berharga, surat utang negara, dan lain-lain). Jawaban: Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut merupakan obyek pengawasan oleh bank sentral termasuk memberikan aturan yang ketat untuk menginvestasikan float money yang hanya diperbolehkan pada secure asset. Pertanyaan 6: Apakah terdapat perangkat hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang
58
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
melibatkan pihak-pihak dalam penyelenggaraan instrumen non tunai untuk menanggung risiko? Jawaban: Hak dan kewajiban diatur dalam setiap penyelenggaraan e-money. Pada masa sebelum adanya ECB, di Belgia misalnya terdapat ketentuan apabila kartu dicuri secara otomatis akan diblokir oleh penyelenggara apabila sudah dilaporkan. Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan konsumen pengguna e-money. Sebaliknya apabila konsumen lupa atau menghilangkan kartu maka akan dikenai denda agar konsumen lebih berhati-hati. Pertanyaan 7: Apakah terdapat peraturan mengenai pengenaan reserve requirement dan modal minimum terhadap penerbit e-money? Jawaban: Untuk reserve requirement saya tidak tahu, tapi kalau modal minimum ada. Apabila ya: a. Berapa jumlah reserve dan modal minimum? Akan dikonfirmasi lebih lanjut. b. Dimana penempatan/penyimpanan reserve-nya? Akan dikonfirmasi lebih lanjut. c. Bagaimana otoritas yang akan melakukan supervisi meyakini jumlah minimum reserve yang disampaikan oleh penerbit e-money? Akan dikonfirmasi lebih lanjut.
II. DISKUSI DENGAN ANTONY MORRIS Pertanyaan 1: Apakah HKMA melakukan assessment terhadap penerbitan e-purse di Hong Kong, misalnya untuk kartu Mondex dan Octopus? Jawaban: HKMA melakukan pendekatan assessment yang berbeda antara Mondex dan Octopus. HKMA mewajibkan Mondex untuk diaudit oleh auditor independen, karena Mondex memiliki nilai transaksi yang relatif lebih tinggi dan memungkinkan dilakukannya card to card transfer. Adapun Octopus Card tidak diwajibkan untuk diaudit oleh auditor independen karena nilai transaksi yang relatif rendah serta bersifat terbatas pada merchant tertentu saja. Pertanyaan 2: Bagaimanakah aspek sekuriti yang terdapat pada kartu Octopus? Jawaban : Sekuriti pada Octopus Card dilakukan dengan beberapa cara antara lain dilihat dari aspek teknis dan aspek kebijakan. Dilihat dari aspek teknis sekuriti Octopus Card dibuat bersifat end to end, termasuk aspek sekuriti berupa enkripsi atau penggunaan algoritma tertentu untuk mensandikan data pada Octopus Card.
59
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Kebijakan penggunaan sekuriti yang ketat dikarenakan Octopus Cards Ltd. menyadari bahwa kepercayaan terhadap instrumen pembayaran sangat penting agar dapat diterima secara luas oleh masyarakat. Selanjutnya dari aspek kebijakan, Octopus Card dibuat sedemikian rupa agar tidak menarik untuk dijadikan sasaran kejahatan, antara lain dengan jalan: a) nilai dalam kartu tidak dapat diuangkan (redeem); b) hanya dapat digunakan di merchant yang bersifat ritel (groceries store, transportation, dan lain-lain) dan tidak di merchant yang umumnya menjadi incaran fraudster untuk money laundering seperti jewelry store, electronic, dan lain-lain; c) selalu bersifat low profile dan menghindari pernyataan-pernyataan yang bersifat provokatif (khususnya kepada para fraudster, hackers atau crackers), misalnya pernyataan seperti :”Octopus card unbreakable…”, dan lain-lain. Pertanyaan 3: Apakah terdapat Merchant Discount Rate (MDR) yang diterapkan oleh Octopus Cards Ltd. untuk merchant yang bekerja sama? Jawaban: Octopus Cards Ltd. menerapkan kebijakan MDR sebesar 1% dari nilai transaksi (rata-rata= USD 1 cent/transaction). Merchant yang bekerjasama dengan Octopus Cards Ltd. pada umumnya adalah merchant yang membutuhkan transaksi dengan cepat untuk meningkatkan volume penjualan. Pertanyaan 4: a. Berapakah biaya mesin-mesin EDC? b. Apakah merchant dibebani biaya terkait dengan pengadaan mesin EDC dimaksud? Jawaban: a. Biaya mesin EDC berkisar antara USD 300 sampai dengan 400 dan menjadi beban Octopus Cards Ltd. b. Terkait dengan pengadaan mesin EDC di merchant, merchant hanya dikenakan biaya one time testing fee oleh Octopus Cards Ltd., terkait integrasi sistem Octopus Cards Ltd. ke dalam merchant/cash register merchant system. Pertanyaan 5: Apakah faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Octopus Cards Ltd. dalam mengimplementasikan penggunaan Octopus Card di Hong Kong? Jawaban: Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan Octopus Cards Ltd. di Hong Kong adalah: a. Dukungan yang diberikan oleh seluruh perusahaan transportasi di Hong Kong dalam membangun pasar Octopus Card yang besar (critical mass); b. Octopus Card dapat digunakan pada pasar ritel dan pembayaran tidak memerlukan kembalian (uang receh); c. Penggunaan contactless card dengan teknologi Radio Frequency Identification (RFID) membuat produk tersebut menjadi praktis untuk digunakan;
60
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
d. Sistem Octopus Card terintegrasikan dengan sistem merchant yang dapat memberikan keakuratan data, kecepatan transaksi, keamanan dan kemudahan bagi para pihak. Pertanyaan 6: Apakah terdapat masa daluwarsa pada Octopus Card? Jawaban: Pada dasarnya Octopus Card tidak memiliki masa daluwarsa. Namun demikian, sisa uang yang terdapat pada Octopus Card akan di non-aktifkan apabila tidak terdapat transaksi selama 3 tahun. Octopus Card yang telah dinon-aktifkan dapat diaktifkan kembali dengan cara melaporkan kepada Octopus Cards Ltd. Pertanyaan 7: Bagaimana mekanisme pengkreditan Octopus Card dalam skema auto reload HKD 250? Jawaban: Untuk Octopus Card yang personalized dan telah mengikuti skema auto reload, setiap kartu tersebut akan diberi tanda auto reload oleh sistem. Selanjutnya apabila nilai setiap kartu tersebut telah mencapai “0” atau nilai dibawah “0”, maka sistem akan melakukan verifikasi sebagai berikut: a. Apakah kartu telah diberi tanda auto reload. Apabila kartu tidak terdapat tanda auto reload maka sistem akan menolak transaksi. b. Dalam hal dalam kartu terdapat tanda auto reload maka sistem akan mengecek apakah sudah terdapat auto reload terhadap kartu pada hari yang bersangkutan. Apabila belum terdapat auto reload pada hari yang bersangkutan, maka sistem akan langsung mengkredit kartu sebesar HKD 250, dan selanjutnya pengkreditan tersebut akan menjadi tagihan merchant kepada Octopus Cards Ltd. c. Atas pengkreditan kartu tersebut, Octopus Cards Ltd. akan membebankan kepada pengguna.
61
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian
Kelima
PENUTUP
62
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Kesimpulan dan Penutup Kesimpulan dan Penutupan Seminar: Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. 1. Pokok-pokok hasil presentasi dan diskusi a. Hari pertama Sesi pagi (aspek makro ekonomi) 1) Dari pembicara, Ketua Komisi XI DPR, Theo L. Sambuaga, intinya meskipun uang mempunyai posisi penting, namun unsur security atas transaksi uang mempunyai peran yang lebih penting, seperti untuk kegiatan pencegahan anti money laundering dan pencegahan pembiayaan untuk terorisme. Sehingga sependapat untuk didukung dengan peraturan perundangan yang memadai. 2) Sementara dari pembicara kedua, Prof. Dr. Leo van Hove, telah mengangkat isu adanya kecenderungan peningkatan penggunaan instrumen pembayaran non tunai seperti terjadi di negara lain. Terdapat usulan menarik untuk membuat cash menjadi lebih mahal agar supaya terjadi peningkatan penggunaan non-cash. Namun hal ini, harus dilihat dengan lebih “wise” untuk kasus Indonesia sesuai dengan kultur dan kondisi sosial masyarakat. 3) Dari pembicara ketiga, Dr. Dradjad H. Wibowo, meskipun pembicara sendiri masih pro terhadap penggunaan uang tunai, namun sependapat agar penggunaan sarana non tunai dapat terus dikembangkan sesuai kewenangan yang sudah ada di Bank Indonesia. 4) Sementara dari pembicara keempat, Dr. Perry Warjiyo, mengakui bahwa pergeseran penggunaan alat pembayaran ke arah non-cash memiliki dampak positif terhadap perekonomian, seperti: meningkatkan kepuasan dan kenyamanan konsumen, pengurangan biaya transaksi (“less cash” berarti “lower cost”), adanya peluang fee-based income bagi penerbit, dan peningkatan kecepatan transaksi yang pada akhirnya menunjang pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Beberapa hal yang perlu memperoleh perhatian adalah: kemungkinan terjadinya fraud, risiko gagal bayar, dan kemungkinan gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan. 5) Dalam sesi ini juga terdapat usulan yang menarik tentang perlunya melihat kembali metode penghitungan uang beredar. b. Hari pertama sesi siang (aspek legal, aspek perlindungan konsumen dan aspek pengawasan sistem pembayaran): 1) Dari pembicara pertama, Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR, berpendapat bahwa pada prinsipnya mengakui bahwa kita sudah termasuk “terlambat” dalam pengembangan less cash jika dibandingkan dengan negara tetangga. Namun demikian, Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang ada dalam Undang-Undang Bank Indonesia, dapat terus melakukan pengembangan dan pengaturan melalui kerjasama dengan berbagai institusi terkait.
63
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
2) Sementara itu, dari pembicara kedua, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D., Dekan FH UI, sempat melontarkan fakta bahwa dalam praktek internasional penyelenggaraan e-money tidak harus diikuti dengan penyusunan Undang-Undang. Namun demikian, sudah tepat saatnya jika Bank Indonesia dapat terus melanjutkan langkah-langkah dengan mengeluarkan peraturan Bank Indonesia di bidang e-money. Hal lain yang lebih penting setelah dikeluarkannya ketentuan adalah masalah penegakkan “hukum” yang harus dilakukan dengan tegas. 3) Adalah menarik juga dalam sesi ini muncul usulan bahwa bisnis dapat tetap jalan dulu tanpa harus menunggu dikeluarkannya aturan. 4) Sementara itu pembicara ketiga, Bramudija Hadinoto, melihat pentingnya peran pengawasan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia yang dapat dilakukan sebagai upaya penegakan hukum untuk mewujudkan sistem pembayaran yang cepat, aman dan handal. c. Hari kedua sesi pagi (aspek kolaborasi dan ekspektasi pasar terhadap pengembangan sistem pembayaran non tunai): 1) Pembicara pertama, Antony Morris dari Octopus Cards Ltd. Hong Kong, menggarisbawahi pentingnya kolaborasi pasar untuk mengetahui kebutuhan mekanisme pembayaran yang paling tepat. Disadari bahwa untuk dapat berkembang seperti sekarang ini, Octopus telah melakukan perjalanan yang panjang dan bertahap. Dalam tahap ini penting untuk membangun “trust”, antara lain dengan menerapkan 100% money back guarantee. 2) Pengembangan yang telah dilakukan perlu terus disesuaikan dengan memperhatikan aspek culture, needs, behavior dan karakter pembayaran masyarakat Indonesia, seperti memperhatikan: kemudahan dan kenyamanan dalam penggunaan, biaya yang murah, dan kepuasan konsumen, serta dilakukan dengan menggunakan teknologi terbaru yang secure, praktis, cepat, dan reliable. 3) Sedangkan pembicara kedua dari PT. Telkom dan pembicara ketiga dari Pertamina mengemukakan kesiapan kedua perusahaan tersebut dalam mendukung pengembangan less cash society di Indonesia. 4) Hal lain yang menarik dari ketiga pembicara dalam sesi ini adalah sepakat adanya keperluan untuk standardisasi dan menciptakan kesadaran arti pentingnya interoperability dan konvergensi antar operator. d. Hari kedua sesi siang. Diantara pembicara dari Bank Indonesia, Depkominfo, BCA dan Jasa Marga telah membahas lebih rinci pentingnya peran kolaborasi dalam memasuki pasar di Indonesia dan mengharapkan pentingnya peran sentral Bank Indonesia sebagai fasilitator dan katalisator yang berdiri tepat di antara operator dan masyarakat sebagai konsumen. 2. Dari apa yang telah dipaparkan dalam dua hari seminar, diyakini para peserta seminar bahwa pengembangan beberapa infrastruktur dan instrumen terkait dengan less cash society di Indonesia telah dimulai. Namun demikian, agar pengembangannya
64
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
secara nasional lebih efisien, seperti dikemukakan oleh Mohamad Ishak, diperlukan peran regulasi dari Bank Indonesia untuk memfasilitasi dan menggerakkan seluruh pihak yang terkait untuk duduk bersama dan mendiskusikan hal-hal krusial dan teknis dalam pengembangan sistem pembayaran non tunai 3. Kiranya, hasil seminar ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi Bank Indonesia dalam pengembangan sistem pembayaran yang tidak pernah henti menuju masayarakat yang berkecenderungan less cash, dengan penggunaan instrumen pembayaran non tunai yang handal, nyaman, aman, murah, dan efisien.
65
Seminar Internasional “Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Tim Perisalah/Penyusun 1. Puji Atmoko 2. Sukarelawati Permana 3. Pipih D. Purusitawati 4. Iwan Setiawan 5. Panji Achmad 6. Sri Yulia Parayudhanti 7. Butet Linda H.P. 8. Safari Kasiyanto 9. Franz Hansa 10. Trifaldi Yudistira 11. Kiptiah Riyanti 12. Himawan Kusprianto 13. Gunawan Purbowo 14. Nuryanti 15. Retno A. Soejoedono
66