EDISI 9 | JUNI 2016
Selamat Memasuki Masa Purnabhakti
Yang Mulia
DR. H. AHMAD KAMIL, S.H., M.Hum. TERIMA KASIH ATAS KARYA DAN PENGABDIAN YANG TELAH DIBERIKAN UNTUK LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
DAFTAR ISI
Majalah
Edisi 9 | Juni 2016
4 | LAPORAN UTAMA Jalan Panjang Kewenangan Mengawal Hak hak Anak Pengadilan Agama memiliki kedudukan strategis dalam melindungi hak-hak anak. Meski demikian, jalan panjang harus ditempuh untuk memiliki kewenangan perlindungan tersebut secara optimal.
58 | TOKOH KITA DR. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M. Keras Dalam Berjuang Ikhlas Dalam Beramal Tidak hanya pandai membuat putusan, Hakim Agung Amran Suadi ternyata jago membuat dan membaca puisi. Ia juga lihai memberikan ceramah yang renyah dinikmati audience dari berbagai kalangan. Mantan Irwil di Bawas MA ini pun sempat memukau anggota DPR ketika menjalani fit and proper test calon hakim agung.
74 | PA INSPIRATIF Mencontoh Pelayanan Publik di Pengadilan Agama Purbalingga Tidak hanya menjadi pengadilan pertama di Jawa Tengah yang meraih sertifikat ISO 9001: 2008, PA Purbalingga juga berhasil menjadi salah satu ikon pelayanan publik di lingkungan peradilan agama.
1 2 3 4 31 40 53 58 65 72 74 79 86 88 92 93 98 104 107
Daftar Isi Salam Redaksi Editorial Laporan Utama Fenomenal Peradilan Mancanegara Wawancara Eksklusif Tokoh Kita Anotasi Putusan 107 | POJOK DIRJEN Postur Pengadilan Inspiratif Drs. H. Abdul Manaf, M.H. Kilas Peristiwa Menjaga Kekompakan Kunci Kesuksesan Aktual Khudzillu'lu' walaw minal ba'roh. Ambillah mutiara walaupun Kisah Nyata dalam kotoran unta. Mutiara Ekonomi Syariah adalah sesuatu yang berharga. Terlalu mubadzir apabila ia Kelembagaan dibiarkan tidak dimanfaatkan, sekalipun ia terbalut kotoran. Insight Mutiara tetaplah mutiara walau Resensi terbungkus kotoran sekalipun. Ungkapan ini, menyiratkan pesan Pojok Dirjen untuk mengambil pelajaran berharga dimana pun dan dari mana pun datangnya.
53 | WAWANCARA EKSKLUSIF DR. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H. Hakim Jangan Berhenti Belajar! Mahkamah Agung memiliki Wakil Ketua Bidang Yudisial yang baru setelah mayoritas hakim agung pada 14 April 2016 memilih Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H., untuk menduduki jabatan yang d i t i n g g a l k a n P r o f . D r. H . Mohammad Saleh, S.H., M.H., yang memasuki masa purnabakti, 1 Mei 2016. Dua minggu berselang, Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2016 tanggal 26 April 2016 tentang pengangkatan H. M. Syarifuddin untuk menjadi orang nomor dua di lembaga pengadilan tertinggi itu.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
1
Salam Redaksi
DEWAN PAKAR : Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.Ip., M.Hum Dr. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H. Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.M., M.H. Dr. H. Mukti Arto, S.H., M.Hum. PENASEHAT : Drs. H. Abdul Manaf, M.H. PENANGGUNG JAWAB: H. Tukiran, S.H., M.M. REDAKTUR SENIOR : Dr. H. Hasbi Hasan, M.H. Dr. H. Fauzan, S.H., M.M., M.H. Drs. H. Abd. Ghoni, S.H., M.H. Arief Gunawansyah, S.H., M.H. Aziz Falahuddin, S.H., M.H. Sutarno, S.Ip., M.M. Drs. H. Yusrizal, M.H. REDAKTUR PELAKSANA : Achmad Cholil, S.Ag., S.H., LL.M. EDITOR : Rahmat Arijaya, S.Ag., M.Ag. Hermansyah, S.H.I. Mahrus Abdurrahim, Lc., M.H. Candra Boy Seroza, S.Ag., M.Ag. DEWAN REDAKSI : Dr. Sugiri Permana, M.H. Dr. Ahmad Zaenal Fanani, S.HI., M.S.I. Achmad Fauzi, S.H.I. Ade Firman Fathony, S.H.I., M.S.I. Alimuddin, S.H.I., M.H. Edi Hudiata, Lc., M.H. M. Isna Wahyudi, S.HI. M.SI. Mohammad M. Noor, S.Ag. SEKRETARIAT : Hirpan Hilmi, S.T. Bambang Subroto, S.H., M.H. H. Dedy Juniawan, S.H. Zaenal Abidin, S.E. Adnan Qori Widanu, S.H. DESAIN GRAFIS/FOTOGRAFER : Ridwan Anwar, S.E. Iwan Kartiwan, S.H. SIRKULASI/DISTRIBUSI : Bagian Umum Sekretariat Ditjen Badilag MA RI. DITERBITKAN OLEH: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI ISSN 2355-2476 ALAMAT REDAKSI: Gedung Sekretariat Mahkamah Agung RI lt.6 Jl. Jend. Ahmad Yani Kav. 58 bypass Cempaka Putih, Jakarta Pusat Telp. (021) 290 79277; Fax. (021) 290 79211 Email:
[email protected] www.badilag.net
2
Hadir di Bulan Gairah Membaca D e f a u l t P a r a g r a p h membaca. Khususnya K e d u a s i t u a s i i t u Font;Majalah edisi ke-9 m e m b a c a M a j a l a h m e l e b u r d a l a m hadir di Bulan Puasa Peradilan Agama yang p e m a k n a a n d a n Ramadan 1437 H. Tentu d i s e t i a p e d i s i sensitivitas yang tajam. momentumnya sangat m e n y i m p a n s e j u t a Dengan cara begitu, istimewa. Sebab secara k e n i k m a t a n d a n tensi menulis para genealogis puasa telah m e n g o b a t i d a h a g a r e d a k t u r d a l a m memperjuangkan hakmengubah peradaban. keilmuan. Kaum yang makrifat Majalah edisi kali ini hak anak di Peradilan hakikat puasa adalah m e n g a n g k a t i s u Agama bisa maksimal. kaum berperadaban. p e n t i n g y a n g Sungguh beruntung U n g k a p a n menyangkut hajat dan para pembaca bisa pengistimewaan puasa masa depan anak-anak m e n i k m a t i s a j i a n ini bukanlah retorika. Indonesia. Sehingga rubrikasi majalah ini Tapi fakta sejarah yang p e n u l i s a n n y a p u n y a n g s e m a k i n teruji kemasyhurannya. b e n a r - b e n a r berbobot. Mulai dari Dalam Bulan Puasa ada melibatkan kedalaman sajian laporan utama m a s a a u f k l a r u n g . j iwa . Te r u s te ra n g sebagai rubrik andalan Genderangnya ditabuh k e t i k a m e n g g a r a p h i n g g a p e n d a p a t sejak Nabi Muhammad majalah ini di Puncak pendapat tokoh-tokoh m e n e r i m a w a h y u C i s a r u a , B o g o r, d i nasional terkait hakpertama dari Allah di tengah selimut udara hak anak di Peradilan Gua Hira. Kala itu, dingin dan kabut tebal, Agama. di samping itu, M a l a i k a t J i b r i l kami tim redaktur p e r n a k - p e r n i k m e n d i k t e k a n l a f a z seolah menghadirkan rubrikasi lainnya tak i q r a' k e p a d a N a b i anak-anak sendiri di kalah menakjubkan. M u h a m m a d h i n g ga h a d a p a n m a t a . A k h i r nya , s e m b a r i d i u l a n g t i g a k a l i . K e l u c u a n n y a , memperingati bulan Pe r i s t iwa t e r s e b u t ke p o l o s a n nya , d a n y a n g d i d a l a m n y a menjadi penanda awal dunianya yang asyik diperintahkan untuk jika Nabi Muhammad t e r n g i a n g d a l a m membaca, disusul beserta umatnya akan ingatan. Namun, pada menyongsong suasana memasuki zaman baru: s i s i ya n g l a i n t i m Idul Fitri, kami dengan r e d a k t u r j u g a kerendahan hati era budaya membaca. M e n g e n a n g membayangkan dunia mengucapkan selamat romantisme perintah kelam anak-anak yang m e m b a c a , s e l a m a t m e m b a c a y a n g tak lagi merdeka, hak- b e r p u a s a d a n didaulatkan kepada haknya dirampas, masa m e n g g a p a i d e ra j a t N a b i M u h a m m a d depannya direnggut, manusia yang fitri. t e r s e b u t , s u d a h d a n o r a n g t u a n y a Semoga. s e w a j a r n y a k i t a berbuat abai dalam meningkatkan gairah menjamin hak asasinya.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
EDITORIAL
Menjadi Garda Depan Perlindungan Anak K
asus-kasus kekerasan terhadap anak seakan tiada henti menghiasi siklus kehidupan kita. Hampir setiap hari headline berita di media cetak dan elektronik mengangkat kasus kekerasan terhadap calon generasi pemegang masa depan bangsa itu. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada 20.510 kasus kekerasan terhadap anak dalam lima tahun terakhir. Data tersebut disarikan dari pengaduan langsung ke KPAI, pemantauan atas media cetak dan online, pengaduan bank data perlindungan anak serta data lembaga mitra KPAI se-Indonesia. Secara normatif, perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Namun jika diteliti lebih jauh, justru problem perlindungan hak-hak anak di Indonesia salah satunya muncul akibat adanya ketidakselarasan regulasi yang mengatur hak-hak anak. Pengadilan agama dan mahkamah syar'iyah sebagai salah satu lembaga penegak hukum dan keadilan yang memiliki kewenangan dalam perkara perdata hukum keluarga banyak bersentuhan langsung dengan issue seputar perlindungan hak-hak anak. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas perkara yang diajukan ke peradilan agama tentang perceraian yang seringkali berimbas pada status dan hak hukum anak pasca-perceraian. Peradilan agama memiliki peran strategis dalam melindungi hak-hak anak. Peran itu dilakukan melalui putusan para hakim dan program access to justice yang dilaksanakan dari tahun ke tahun. Dari berbagai nomenklatur perkara yang menjadi kewenangan absolut
peradilan agama, ada sejumlah jenis putusan yang memiliki dimensi hukum dengan perlindungan hak-hak anak. Begitu juga dengan berbagai program akses terhadap keadilan, seperti program sidang keliling dan pelayanan terpadu. Ada sejumlah langkah strategis yang perlu dilakukan untuk optimalisasi peran peradilan agama dalam mewujudkan perlindungan hak-hak anak akibat perceraian yang terjadi atas kedua orang tuanya. Pertama, tujuan kepentingan anak (the best interest of the child) harus diutamakan dan menjadi prioritas dalam produk pengadilan (putusan/penetapan). Regulasi yang menghambat pemenuhan hak-hak anak harus dikesampingkan. Kedua, harmonisasi antar regulasi mutlak perlu dilakukan. Ini tentu bukan hanya tugas peradilan agama, lembaga pembuat undang-undang berkewajiban mewujudkannya. Selama itu belum terwujud, langkah yang dilakukan oleh hakim peradilan agama adalah melakukan interpretasi sistematis dan teologis agar perlindungan hak anak tetap ditegakan. Ketiga, untuk lebih meningkatkan kapasitas dan kapabilitas, diperlukan pelatihan berkesinambungan bagi aparat penegak hukum di peradilan agama agar selalu well-informed dengan perkembangan terkini dalam perkara perlindungan hak anak. Terakhir, diperlukan adanya kajian komparatif dengan negara-negara yang lebih berhasil dalam mewujudkan perlindungan hak anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya. []
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
3
LAPORAN UTAMA
Jalan Panjang Kewenangan Mengawal Hak-Hak Anak Pengadilan Agama memiliki kedudukan strategis dalam melindungi hak-hak anak. Meski demikian, jalan panjang harus ditempuh untuk memiliki kewenangan perlindungan tersebut secara optimal.
A
nak adalah bagian yang tak t e r p i s a h k a n d a r i keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan suatu bangsa dan Negara. Dan sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, atau bahkan negara, anak-anak memiliki hak-hak yang perlu dilindungi agar mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana layaknya orang dewasa.
4
Keniscayaan perlindungan anak setidak-tidaknya didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, kedudukan strategis anak bagi masa depan sebuah bangsa. Penjelasan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Kedua, ditengah posisi yang demikian strategis, dalam kenyataan kehidupan anak-anak masih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, eksploitasi dan diskrimasi.
LAPORAN UTAMA
K PA I KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA
Luasnya cakupan dan segi-segi yang bersinggungan dengan perlindungan anak, mendorong pola kebijakannya bersifat lintas sektoral. Berbagai sektor penyelenggara negara memiliki peran dan tanggung jawab untuk menjamin terlaksananya perlindungan anak tersebut secara memadai, termasuk peradilan agama. Kedudukan peradilan agama untuk mengawal perlindungan hakhak anak sangat strategis. Salah satu alasan mendasarnya adalah karena kehidupan anak pada masa awal berada di lingkungan keluarga sehingga persinggungannya dengan masalah hukum keluarga yang menjadi salah satu kewenangan peradilan agama menjadi sangat dekat. Hak-hak anak dalam lintasan sejarah kewenangan peradilan agama Eksistensi peradilan agama di Indonesia telah berlangsung semenjak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Dan sepanjang sejarah keberadaan tersebut hingga saat ini, kewenangan peradilan agama mengalami pasang surut seiring perubahan kebijakan otoritas yang membawahinya, dengan sedikit pengecualian pada kewenangan yang berkaitan dengan hak-hak anak. Jauh sebelum Belanda mengakui eksistensi peradilan agama, sengketa pengasuhan anak telah muncul pada lembaga Mahkamah Syar'iyyah di Aceh (masa Maulana Abdul Aziz Sah Abad IX M) dan Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan sejak masa Syeikh Arsyad al-Banjari (Abad XVIII M). Kenyataan ini menggambarkan bahwa pada masa kerajaan-kerajaan Islam, perlindungan dan pemenuhan hakhak anak menjadi lingkup
kewenangan Peradilan Agama. Pada masa Hindia Belanda, berbagai peraturan yang mengatur tentang Peradilan Agama tidak banyak menyebutkan tentang kewenangan peradilan agama mengenai hak-hak anak. Kuat dugaan hal itu diletakkan sebagai bagian dari masalah perkawinan dan perceraian yang tidak pernah absen dari pengaturan kewenangan tersebut. Dalam Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 misalnya. Dalam Pasal 2a ayat (1) disebutkan bahwa ke we n a n ga n Pe ra d i l a n A ga m a meliputi: (1) perselisihan suami isteri yang beragama Islam; (2) perkaraperkara tentang nikah, talak, rujuk, dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan hakim
Jauh sebelum Belanda mengakui eksistensi peradilan agama, sengketa pengasuhan anak telah muncul pada lembaga Mahkamah Syar'iyyah di Aceh (masa Maulana Abdul Aziz Sah Abad IX M) dan Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan sejak masa Syeikh Arsyad alBanjari (Abad XVIII M) agama; (3) tuntutan tentang maskawin (mahar); dan (4) tuntutan tentang keperluan kehidupan isteri yang menjadi tanggungan suami (nafaqah) (A. Mukti Arto, 2012 : 312). Kewenangan yang sama diberikan terhadap Kerapatan Qadi di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Timur. Pada Pasal 3 ayat (1) Staatsblad Tahun 1837 Nomor 638 disebutkan kewenangannya sama dengan peradilan agama di Jawa dan Madura (A. Mukti Arto, 2012 : 312313). Namun dalam sebuah peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 23 Maret 1825 untuk ibukota Palembang, kewenangan terkait dengan anak ini muncul secara eksplisit sebagai bagian dari kewenangan peradilan agama. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa wewenang Peradilan Agama meliputi: a. Perkawinan; b. Perceraian; c. Pembagian harta; d. Kepada siapa anak diserahkan kalau orang tuanya bercerai; e. Apa hak masing-masing orang tua terhadap anak tersebut; f. Pusaka dan wasiat; g. Perwalian; dan h. Pe r k a ra - p e r k a ra l a i n nya ya n g menyangkut agama. (A. Mukti Arto, 2012 : 86-87); Kewenangan peradilan agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan ini belakangan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama diluar Djawa-Madura. Dalam Pasal 4 ayat 1 disebutkan bahwa kewenangan pengadilan agama meliputi nikah, thalaq, rujuk, fasakh, nafaqah, maskawin (mahar), tempat kediaman (maskan), mut'ah dan sebagainya, hadhanah, perkara warismal-waris, waqaf, hibah, sadaqah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta'lik sudah berlaku. Perluasan kewenangan peradilan agama di bidang hak-hak anak baru lebih terasa ketika mulai diberlakukan UU 1/1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 63 ayat 1 disebutkan bahwa pengadilan agama berwenang memeriksa dan mengadili perkaraperkara dibidang perkawinan bagi mereka yang beragama Islam. Dengan demikian, segala hal yang berkaitan dengan anak, sepanjang melibatkan orang-orang yang beragama Islam menjadi kewenangan pengadilan agama untuk mengadilinya.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
5
LAPORAN UTAMA Dengan UU 1/1974, kewenangan peradilan agama terkait dengan anak meliputi: (1) izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun; (2) dispensasi kawin; (3) penyelesaian sengketa penguasaan anak akibat perceraian; (4) pembebanan atas ibu untuk ikut memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab ternyata tidak mampu memenuhinya; (5) putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; (6) putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; (7) pencabutan kekuasaan wali; (8) penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; (9) menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya; (10) pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang dibawah kekuasaannya; Dan (11) penetapan asal usul seorang anak; Kewenangan demikian luas yang diberikan kepada Pengadilan Agama oleh UU 1/1974 terkait bidang perkawinan termasuk perlindungan hak-hak anak mendorong A. Mukti Arto menyebutnya sebagai pemulihan kembali kewenangan Peradilan Agama setelah direduksi sedemikian rupa oleh pemerintah Hindia Belanda. Disamping itu, UU ini memiliki implikasi lain bagi peradilan agama yakni penyeragaman kewenangan yang sebelumnya bervariasi antar wilayah. Bahkan disebutnya juga sebagai tonggak kebangkitan kembali Hukum Islam, KUA Kecamatan dan Peradilan Agama (A. Mukti Arto, 2012 : 313). Pe r ke m b a n g a n b e r i ku t nya terjadi setelah lebih dari satu dasawarsa pemberlakuan UU 1/1974, yakni dengan berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
6
Dengan UU ini, secara formal eksistensi peradilan agama ditegaskan, meliputi kedudukan, kewenangan dan struktur organisasinya dari tingkat terendah sampai dengan Mahkamah Agung. Terkait dengan kewenangan di bidang perlindungan terhadap hakhak anak, UU ini menegaskan kembali kewenangan yang diberikan oleh UU 1 / 1 9 7 4 . A k i b a t nya t i d a k a d a perubahan ataupun penambahan kewenangan terkait anak dalam konteks ini.
Minus masalah pengangkatan anak Sayangnya, penguatan kewenangan ini tidak memberikan kedudukan yang jelas mengenai masalah pengangkatan anak dalam konteks hukum Islam. Padahal
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Nomor U-335/MUI/VI/82 yang antara lain isinya bahwa pengangkatan anak yang beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang tua yang beragama Islam. berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak secara tersirat kebolehan untuk melakukan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 UU tersebut dijelaskan bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak dan pengangkatan anak tersebut tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarganya berdasarkan hukum yang berlaku bagi
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
anak yang bersangkutan. Keadaan pengaturan ini setidaknya berimplikasi pada dua hal. Pertama, memaksa pemberlakuan hukum pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di masyarakat. Dan kedua, membiarkan proses pengangkatan anak yang berlaku di masyarakat tanpa payung hukum dan putusan pengadilan. Akibatnya tidak sedikit proses pengangkatan anak yang dilaksanakan secara diam-diam atau berdasarkan upacara/kebiasaan setempat dan tanpa proses peradilan. Meski demikian, pemikiran ke arah pengaturan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam ini telah lama bergulir di tengah masyarakat. Majelis Ulama Indonesia telah terlebih dahulu memberikan respons dengan mengeluarkan Fatwa Nomor U335/MUI/VI/82 tanggal 18 Syakban 1402 H/10 Juni 1982 M yang antara lain isinya bahwa pengangkatan anak yang beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang tua yang beragama Islam. Fa j a r h a r a p a n b a r u a k a n kemungkinan memiliki pengaturan tentang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam dan memandatkan proses hukumnya lewat peradilan agama sedikit terbuka melalui Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 171 huruf h, Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan anak angkat sebagai anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya seharihari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Meskipun tidak menentukan pengadilan agama, namun frase “berdasarkan putusan pengadilan” setidaknya menyiratkan tentang pengadilan mana yang dapat memutus perkara pengangkatan anak yang dilakukan oleh subyek hukum Islam. Dan tentu saja yang dimaksud adalah pengadilan agama.
LAPORAN UTAMA pertimbangan tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam masuk dalam kekuasaan Pengadilan Agama”
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 209 yang menyatakan bahwa anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Sebaliknya, orang tua angkat yang tidak menerima wa s i a t d i b e r i wa s i a t wa j i b a h sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya. Ketentuan-ketentuan mengenai anak angkat dan bagian warisnya ini b a nya k d i re s p o n s o l e h h a k i m peradilan agama dengan menerima dan memutus perkara pengangkatan anak. Salah satunya adalah Penetapan Pengadilan Agama Bantul Nomor 07/Pdt.P/1994/PA.Btl tertanggal 6 Juni 1994. Dalam salah satu bagian pertimbangan hukumnya, majelis hakim membangun argumentasi tentang kewenangan pengadilan agama untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pengangkatan anak. “Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum baru di dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut maka untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan kepastian hukum bagi suatu pengangkatan anak yang dilakukan menurut hukum Islam diperlukan putusan pengadilan yang mempunyai kewenangan absolute untuk menegakkan hukum perkawinan dan hukum keluarga berdasarkan hukum Islam, yaitu Pengadilan Agama di Indonesia. Menimbang, bahwa berdasarkan
Argumentasi dalam penetapan ini kemudian banyak diikuti penetapan Pengadilan Agama lainnya dalam kurun waktu berikutnya. Beberapa di antaranya, Penetapan Pengadilan Agama Bantul Nomor 17/Pdt.P/1994/PA. Btl tertanggal 23 November 1994, Penetapan Pengadilan Agama Bengkulu Nomor 002/Pdt.P/2005/PA.Bn tertanggal 1 Maret 2005 dan Penetapan Pengadilan Agama Bengkulu Nomor 003/Pdt.P/2005/PA.Bn tertanggal 24 Februari 2005. Ijtihad-ijtihad hakim peradilan agama untuk memasukkan kewenangan pengangkatan anak dalam ranah peradilan agama baru mendapatkan kepastian setelah disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pengangkatan anak secara eksplisit dinyatakan sebagai kewenangan baru Peradilan Agama. Masuknya pengangkatan anak dalam kewenangan Peradilan Agama dianggap sebagai perubahan solutif bagi kebutuhan masyarakat akan adanya ketentuan hukum berdasarkan agama. Masyarakat Muslim Indonesia telah lama menghendaki dapat diterapkannya hukum pengangkatan a n a k ya n g I s l a m i ya n g t i d a k bertentangan dengan hukum Islam. Puncaknya terjadi pada tahun delapan puluhan di berbagai daerah seperti Yo g ya ka r t a , B a n t u l , M a ka s s a r, Bengkulu dan lain-lain (Ahmad Kamil dan M. Fauzan, 2008 : v). Disisi lain, penambahan kewenangan Peradilan Agama di bidang pengangkatan anak memberikan payung hukum yang tegas atas tradisi yang tumbuh dalam m a sya ra k a t I s l a m s e l a m a i n i . Pengangkatan anak dalam konteksnya
sebagai bentuk saling tolong menolong dalam kebaikan (ta'awun) ini sangat dianjurkan oleh Islam Menurut Andi Syamsu Alam (2008:54), (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzah, 2008: 54.) Dinamika anak sah dan tidak sah: sebuah upaya perlindungan anak Dalam hukum perkawinan di Indonesia dikenal dua jenis anak, yaitu anak sah dan anak tidak sah. Pasal 42 UU 1/1974 dan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam menegaskan, bahwa anak yang sah adalah anak yang
Pengangkatan anak yang dimaksudkan dalam perubahan UU Peradilan Agama adalah yang dimotivasi ibadah karena Allah, menanggung kebutuhan hidup, pendidikan dan kepentingan terbaik bagi si anak. dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari bunyi norma tersebut tidak terlihat adanya batasan waktu kehamilan, antara waktu pernikahan dan lahirnya anak. Ketentuan ini cenderung mengikuti kaidah yang terdapat dalam Pasal 250 KUHPerdata bahwa keturunan yang sah berasal dari pernikahan yang sah. Kaidah ini juga terdapat dalam tradisi hukum di Amerika yang menyatakan legitimacy is defined primariliy by reference to the marital status of the child parents (keabsahan anak pada dasarnya ditentukan oleh status perkawinan orang tua anak tersebut). (J. Satrio, 2005: 18)
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
7
LAPORAN UTAMA Tolok ukur anak sah yang ditegaskan pada Pasal 42 UU Peradilan Agama jelas berbeda dengan fikih Islam yang membatasi usia kehamilan antara waktu akad nikah dengan lahirnya si anak. Juris Islam banyak mengutif pendapat Ibnu 'Abbas yang menghubungkan surat Luqman ayat 12 dengan surat al-Ahqaf ayat 15. Ibu 'Abbas menyimpulkan bahwa anak yang sah adalah yang lahir dalam sebuah perkawinan dengan batas minimal kandung selama 6 bulan. Jika anak tersebut lahir sebelum 6 bulan, maka tidak dianggap sebagai anak yang sah. (Ahmad Rafiq, 1998: 224.) Standar untuk menilai sahnya seorang anak dalam hukum perkawinan nampaknya mengambil kompromi antara hukum perdata dan pranata hukum Islam lainnya yang memungkinkan pernikahan antara seorang perempuan hamil dengan lelaki yang menzinahinya tanpa ada batasan berapa usia kehamilan perempuan yang dinikahinya (Pasal 53 ayat 1 KHI). Adanya perbedaan istilah anak tersebut berhubungan dengan hak anak dan kewajiban orang tua. Anak sah berhubungan dengan nasab dan waris. Ia mempunyai hak untuk diasuh dan dididik oleh kedua orang tuanya beserta seluruh kerabatnya apabila kedua orang tua telah meninggal dunia. Di sisi lain, anak sah mempunyai hak waris dari orang tua dan nenek moyang orang tuanya. Hal ini berbeda dengan anak yang tidak sah karena secara hukum hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya saja (Pasal 43 ayat 1 UU 1/1974 dan Pasal 100 KHI). Demikian juga dari hukum waris, ia hanya mempunyai hak waris dari nasab ibunya. Ketentuan hukum perkawinan yang sejalan dengan fikih Islam ini mulai bergeser dengan putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 46/PUUVIII/2010 tanggal 27 Februari 2012. Terlepas dari siapa pemohonnya dan apa yang diinginkan oleh pemohon, putusan MKRI ini telah membuat hukum baru bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan
8
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat buktilain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Terlepas dari adanya pro kontra terhadap putusan MKRI tersebut, hukum baru tersebut harus ditempatkan pada bunyi pasal 43 UU 1/1974. Beberapa pertimbangan hukum dikemukakan pada putusan di atas, mulai dari nilai-nilai hak asasi yang melekat pada seorang anak, hingga alasan rasional yang mudah dimengerti oleh setiap orang. Bahwa adalah suatu ketidak adilan apabila seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dan menyebabkan kehamilan seorang perempuan, kemudian secara hukum ia dibebaskan dari kewajibannya sebagai seorang ayah terhadap anaknya. Maka sewajarnya apabila seorang ayah biologis mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap kelangsungan kehidupan anak biologisnya. Dampak sistemis putusan Mahkamah Konstitusi terhadap anak Putusan MK Nomor 46/PUUVIII/2010 tersebut, paling tidak dapat diidentifikasi ada empat area hukum
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
yang secara langsung maupun tidak langsung terimplikasi, yaitu hukum waris, hukum kewarganegaraan, hukum ketenagakerjaan, dan hukum pembuktian. Putusan ini menunjukkan betapa implikasi yang kurang diperhitungkan akan menyisakan banyak permasalahan di kemudian hari. (Imelda Martinelli, Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 3 Desember 2013: 271.)
Beberapa pegiat hak asasi memberikan apresiasi terhadap upaya perlindungan anak yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, nada minor dikemukakan oleh para ahli hukum Islam, yang menganggap bahwa putusan tersebut “secara tidak sengaja” telah melegalkan anak di luar pernikahan atau dengan kalimat lain telah melegalkan perzinahan.
LAPORAN UTAMA Di luar hukum keluarga, khususnya kewarisan, seperti dikemukakan di atas, implikasi pergeseran tafsir makna status anak luar kawin juga bisa diindikasikan te r j a d i p a d a l a p a n ga n h u ku m kewarganegaraan. Istilah “anak luar perkawinan” ternyata memang jelas tercantum dalam peraturan lain, misalnya dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Bahkan, implikasi yang luar biasa akan segera terlihat apabila penafsiran tentang keabsahan perkawinan ini dihubungan dengan hak-hak kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 itu. Orang yang masih menyandang predikat anak, menurut ketentuan UU Kewarganegaraan, baru bisa menjadi warga negara Indonesia apabila ia lahir dalam perkawinan yang sah (lihat ketentuan Pasal 4 huruf a s.d. huruf i). Barulah pada butir h dan seterusnya dibuka kemungkinan ada anak yang lahir di luar perkawinan menjadi warga negara Indonesia apabila ibunya adalah warga negara asing. Anak tersebut dapat menjadi warga negara Indonesia jika diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya. Pengakuan ini harus dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau anak itu belum kawin. Pertanyaannya adalah bagaimana jika anak itu lahir di luar perkawinan dari seorang ibu warga negara Indonesia dengan ayah seorang warga negara asing? Pasal 4 huruf g mengatakan anak ini tetap adalah warga negara Indonesia. Secara filosofis terlihat bahwa pandangan MK dalam putusan No. 46/PUU-VIII/2010 ini berbeda dengan dasar berpikir UU Kewarganegaraan. Redaksi dari Pasal 4 huruf g dan huruf h memperlihatkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah adalah anak yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Pengertian hubungan hukum ini berimplikasi pada status kewarganegaraan yang bakal disandangnya. Apabila ibunya
wa r g a n e g a ra a s i n g , m a k a i a berpotensi untuk menjadi warga negara asing, terlepas bahwa ayah biologisnya adalah warga negara Indonesia. Perlu dicatat bahwa status perkawinan yang sah, apabila menggunakan teori hukum perdata internasional, merupakan sebuah persoalan pendahuluan. Secara umum ada tidaknya hubungan anak dengan ayah biologisnya mengambil sumber dari perkawinan orang tuanya sah atau tidak. Artinya, sepanjang ada perkawinan yang sah maka anak itu pasti memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Jika tidak, maka hubungan perdata dilekatkan pada ibunya. (Sudargo Gautama, 1995: 85) Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias). Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Penolakan MK untuk mengaitkan aspek keabsahan Pasal 2 ayat (1) dengan kewajiban pencatatan di dalam Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 serta hanya memfokuskan perhatian pada pergeseran tafsir makna Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974, juga menunjukkan sikap MK yang lebih memberi prioritas pada perlindungan hak anak daripada perlindungan hak isteri. Padahal, kedua aspek perlindungan ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat pada contoh di lapangan hukum ketenagakerjaan. Dalam area hukum pembuktian, implikasi putusan MK ini terlihat dari upaya hakim konstitusi memberi tambahan redaksional bahwa secara normatif hubungan perdata dengan ayah biologisnya terjadi apabila hubungan ini dapat dibuktikan melalui bantuan ilmu pengetahuan
dan teknologi atau bukti lain menurut hukum. Penyebutan “atau bukti lain menurut hukum” di sini seyogianya ditafsirkan luas, tidak hanya sekadar bukti tertulis karena lagi-lagi akan mengembalikan ke persoalan pencatatan. |Mohammad Noor, Sugiri Permana, Alimuddin, Ade Firman Fathoni|
Bahan Bacaan Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2008 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak dalam Perspektif Islam, Jakarta, Pena Media, 2008 Imelda Martinelli, “Pergeseran Tafsir Makna Status Anak Luar Kawin,” Jurnal Yudisial Vol. 6 No. 3 Desember 2013 J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam UndangUndang, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku ke7, Penerbit Alumni, Bandung, 1995 Tim Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Selatan, Buku Pintar Hakim, Panitera dan Jurusita Pengadilan Agama, Makassar, Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Selatan, 1998
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
9
LAPORAN UTAMA Kitab Mugharror, kitab pegangan hakim berisi tentang Kodifikasi Hukum Islam (Semarang)
1750 1754
Kitab Von Bone and Goa, berisi Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Islam pertama di Indonesia, termasuk didalamnya mengulas tentang Hadhanah
Sengketa pengasuhan anak muncul di Mahkamah Syar'iyyah di Aceh (masa Maulana Abdul Aziz Sah)
Staatsblad No. 116 à Hadhanah menjadi salah satu Kewenangan Peradilan Agama Jawa Madura
1759
Abad 18 M
Sengketa pengasuhan anak mulai muncul di Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan (masa Syeikh Arsyad al-Banjari)
1825
Peraturan tanggal 23 Maret 1825 untuk ibukota Palembang à Hadhanah menjadi bagian dari kewenangan peradilan agama.
Abad 18 M
1837
1837
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk
Keppres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, diantaranya mengatur hukum materiil tentang hadhanah
1989
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Hadhanah menjadi salah satu kewenangan Peradilan Agama
1991 UU No. 39 tahun 1999 oleh Hak Asasi Manusia, walau tidak eksplisit menyebut kewenangan peradilan agama, tetapi mengatur tentang hak-hak asasi anak.
2002 2006
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan à Hak-hak kewarganegaraan anak.
PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama diluar Djawa-Madura à Hadhanah menjadi salah satu Kewenangan Peradilan Agama
1974
1999
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Staatsblad No. 638 à Hadhanah menjadi salah satu kewenangan Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan dan di sebagian Kalimantan Timur
1946 1957
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan à (Pasal 41 huruf (a): “…..bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberi keputusannya”)
SIJILL (Catatan Pengadilan/Buku Register Qadi di Kesultanan Banten) mencatat adanya sengketa biaya perawatan anak yang dilakukan oleh pihak luar suami istri
2006
2014
UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. (Menambah wewenang baru untuk Peradilan Agama: Pengangkatan Anak, lihat penjelasan pasal 49)
UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Sumber: Dokumentensammlung (Islamiches Recht und Nationales Recth: Eine Untersuchung Zum Einflu Des Islamichen Rechts auf die Entwicklung des Modernen Familienrechts am Beispel Indonesiens)
10
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
LAPORAN UTAMA
Regulasi dan Problematika Perlindungan Hak Anak Secara normatif perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Namun, apakah regulasi yang tersedia telah selaras dan mampu menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak di Indonesia?
lahir Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child N o r m a (Konvensi tentang Hak-Hak Anak) dasar tentang regulasi yang telah ditandatangani oleh hak anak di Indonesia pemerintah Indonesia di New York d i a t u r d a l a m tanggal 26 Januari 1990, sebagai hasil konstitusi. Pasal sidang Majelis Umum PBB. Selanjutnya, terkait hak anak 28B ayat (2) U n d a n g - U n d a n g berhadapan dengan hukum, pada Dasar (UUD) 1945 tanggal 3 Januari 1997 diberlakukan menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 setiap anak berhak tentang Pengadilan Anak (UU atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan 3/1997), yang kemudian diperbarui berkembang serta berhak atas dengan Undang-Undang Nomor 11 perlindungan dari kekerasan dan Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU 11/2012). diskriminasi. Pemerintah Indonesia juga telah Jaminan konstitusi tersebut kemudian mengilhami regulasi hak meratifikasi Konvensi ILO No. 138 anak di Indonesia yang termaktub tent a ng Usia Minimum Unt uk d a l a m s e j u m l a h p e r a t u r a n Diperbolehkan Bekerja melalui perundang-undangan. Pada tanggal 23 Undang-Undang Nomor 20 Tahun Juli 1979, misalnya, diberlakukan 1 9 9 9 ( U U 2 0 / 1 9 9 9 ) y a n g Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999. tentang Kesejahteraan Anak (UU Menurut Undang-Undang tersebut, 4/1979). Dalam UU tersebut hak anak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) diatur dalam 7 Pasal, yaitu Pasal 2 Konvensi, usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 sampai dengan Pasal 8. Pada tanggal 25 Agustus 1990 tahun. Regulasi hak anak di Indonesia
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
11
LAPORAN UTAMA Pada tanggal 23 September 1999 jaminan perlindungan terhadap hak anak semakin kuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999). Keseluruhan pasal dalam UU 39/1999 tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak anak. Pasalpasal dalam UU tersebut yang secara khusus mengatur hak-hak asasi anak setidaknya terdapat dalam 15 pasal yaitu Pasal 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, dan 66. Regulasi hak anak lainnya yang berisi tentang penghapusan pekerjaan terburuk untuk anak adalah Undang-
“Dalam UU tersebut, perlindungan anak mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak (UU 1/2000). Perlindungan hak anak di Indonesia semakin memadai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah mengalami perubahan atau revisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (UU 35/2014). Dalam UU tersebut, perlindungan anak
12
mencakup segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 2 UU tersebut menegaskan bahwa penyelenggaraan perlindungan anak dilakukan berdasarkan prinsipprinsip dasar Konvensi Hak Anak yang meliputi: a. non-diskriminasi; b. kepentingan yang terbaik bagi anak; c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. penghargaan terhadap pendapat anak. Hak-hak anak dalam UU tersebut diatur dalam 15 Pasal, yaitu dari Pasal 4 sampai dengan Pasal 18, yang meliputi antara lain: hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi; hak anak atas nama dan identitas diri dan status kewarganegaraan; hak anak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi; hak anak untuk mengetahui orangtuanya,
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
dibesarkan dan diasuh atau diasuh oleh pihak lain apabila karena sesuatu hal orangtua tidak mewujudkannya; hak memperoleh pelayanan kesehatan jasmani dan rohani, jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spritual dan sosial; hak anak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dan bagi yang cacat memperoleh pendidikan luar biasa; hak anak untuk didengar pendapatnya, menerima dan mencari informasi dan juga memberi informasi; Hak anak untuk berkreasi, istirahat, memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan sebaya dan yang cacat mendapatkan rehabilitasi, bantuan sosial dan memelihara taraf kesejahteraan sosial. Di samping itu, selama dalam pengasuhan, anak berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: (a) diskriminasi; (b) eksploitasi baik ekonomi atau seksual; (c) p e n e l a n t a ra n ; ( d ) ke ke j a m a n , kekerasan, dan penganiayaan; (e) ketidakadilan; dan (f) perlakuan salah lainnya terhadap pelaku hal-hal yang tersebut dengan hukuman; hak anak untuk diasuh orangtuanya sendiri, kecuali apabila terdapat aturan hukum yang meniadakannya.
LAPORAN UTAMA Anak juga mempuyai hak untuk memperoleh perlindungan dari: (a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; (b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; (c) pelibatan dalam kekerasan sosial; (d) pelibatan dalam kekerasan yang mengandung unsur kekerasan; dan (e) pelibatan dalam peperangan; dan hak anak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukuman. Penangkapan, penahanan atau hukuman penjara hanya dapat dilakukan sesuai hukum dan itu merupakan upaya terakhir; hak anak yang dirampas kebebasannya berhak: (a) mendapat perlakuan yang manusiawi dan penempatannya dipisah dari orang tua; (b) memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dari setiap tahapan hukum; (c) membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak; dan anak ya n g m e n j a d i ko r b a n , b e r h a k memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya (Waluyadi, 2009: 68). Pada tahun 2006 disahkan UndangUndang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU 12/2006). Undang-undang tersebut lebih menjamin hak kewarganegaraan anak karena menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas. Anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga asing memiliki status kewarganegaraan ganda dan baru bisa memilih salah satu kewarganegaraan yang dikehendaki pada usia 18 tahun atau setelah kawin. Hal ini berbeda dengan undang-undang sebelumnya yakni UU Nomor 62 Tahun 1958 (UU 62/1858) di mana Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, sehingga kewarganegaraan anak mengikuti ayah. Problemnya, tatkala terjadi perceraian namun ayah belum memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, maka anak sangat dirugikan karena harus mengikuti
KHI menyebutkan: ”Dalam hal terjadi perceraian: a. pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur dua belas tahun adalah hak ibunya.” Hakim-hakim pengadilan agama di tanah air memanfaatkan KHI Problematika Perlindungan Hak sebagai tameng untuk menutupi keengganan bahkan ketidakmampuan Anak mereka dalam memberikan Dari berbagai regulasi yang pertimbangan komprehensif sebelum menjatuhkan putusan tentang hak mengatur tentang perlindungan hakhak anak di Indonesia, terdapat pengasuhan. Hakim cenderung sejumlah problem yang muncul akibat memberikan hak asuh kepada ibu atas dasar tiga hal. Pertama, keberadaan ketidakselarasan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam rahim pada ibu menyebabkan kasih peraturan perundang-undangan. sayang ibu lebih besar dan lebih Berikut akan diulas sebagian problem mampu mengasuh anak. Kedua, aturan tersebut terutama yang terkait dengan bahwa anak yang belum mumayyiz diasuh oleh ibu merupakan dalil kewenangan peradilan agama. agama yang bisa jadi sensitif untuk digugat, bahkan untuk dicermati Hak asuh anak (hadhanah) secara lebih kontekstual. Ketiga, Reza Indragiri Amriel, pakar putusan yang “aman” tidak akan psikologi forensik, mengkritik para memunculkan catatan khusus dalam hakim pengadilan agama tidak cukup r e k a m j e j a k h a k i m s e h i n g g a kompeten dan belum memiliki mendukung perjalanan karir hakim kekuatan mental yang memadai untuk tersebut (Amriel, 2014: 87). Akibat sikap hakim tersebut, putusan hakim justru kontraproduktif “Penyelenggaraan bagi terpenuhinya prinsip perlindungan anak dilakukan kepentingan terbaik anak atau disebut berdasarkan prinsip-prinsip dengan istilah jurigenic effect, yaitu pengaruh negatif yang dialami oleh dasar Konvensi Hak Anak anak justru akibat kelalaian maupun yang meliputi: a. nonkeengganan juri atau hakim dalam diskriminasi; b. kepentingan mempertimbangkan kompleksitas hakikat relevan sebelum menjatuhkan yang terbaik bagi anak; c. putusan (Amriel, 2014: 88). hak untuk hidup, Ketentuan Pasal 105 huruf a KHI yang memihak kepada ibu dalam hal kelangsungan hidup, dan pengasuhan anak memang bertolak perkembangan; dan d. belakang dengan Pasal 26 ayat 1a UU penghargaan terhadap 23/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU 35/2014, yang berbunyi: pendapat anak” “ O ra n g t u a b e rke wa j i b a n d a n bertanggungjawab untuk mengasuh, m emelihara, mendidik, dan masuk ke dalam, serta melindungi anak.” Ketentuan ini tidak mempertimbangkan, aspek-aspek p e n g a s u h a n a n a k y a n g memberikan keberpihakan multidimensional. Menurutnya, KHI pengasuhan kepada salah satu orang kerap dijadikan pedoman tunggal oleh tua. UU Perlindungan Anak lebih para hakim dalam masalah hak asuh menekankan prinsip kepentingan anak, karena KHI mengatur secara terbaik bagi anak (the best interest of definitif tentang hak asuh anak the child) dalam hal pengasuhan anak, sehingga memudahkan para hakim sesuai ketentuan Pasal 14 ayat 1 UU (Amriel, 2014: 92). Pasal 105 huruf a 35/2014. kewarganegaraan ayah. Padahal pengadilan agama telah menetapkan anak berada dalam pengasuhan ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
13
LAPORAN UTAMA Ke t e n t u a n p a s a l 1 0 5 K H I tersebut dinilai problematis dari aspek keadilan jender karena memberikan hak asuh anak secara otomatis kepada ibu, berdasarkan jenis kelamin bukan berdasarkan pada kualitas, integritas, moralitas dan kemampuan dalam mewujudkan kepentingan terbaik anak. J i k a i b u ya n g s e h a r u s nya mendapatkan hak asuh anak meninggal dunia, maka pasal 156 KHI juga sudah memperinci siapa saja yang berhak menggantikan kedudukan ibu sebagai pemegang hak asuh anak. Pasal 105 dan 156 KHI tersebut menentukan bahwa seseorang diberi hak asuh anak berdasarkan jenis kelamin, bukan berdasarkan aspek moralitas, kesehatan dan kemampuan mendidik dan memelihara anak yang u j u n g nya a d a l a h t e r w u j u d nya kepentingan terbaik anak. Padahal kedudukan sebagai pemegang hak asuh anak adalah kedudukan yang mempuyai tanggung jawab dan peran penting bagi masa depan anak. Pemegang hak asuh anak berkewajiban mengasuh, memelihara dan mendidik anak baik yang terkait dengan pendidikan, agama, kesehatan, moralitas dan integritas anak. Pemegang hak asuh anak akan tinggal bersama dengan anak sehingga setiap hari anak akan potensial dipengaruhi oleh akhlak atau moralitas, perilaku, dan kesehatan pemegang hak asuh anak. Jika moralitas, perilaku, dan kesehatan pemegang hak asuh anak buruk maka akan potensial mempengaruhi perkembangan akhlak a t a u m o ra l i t a s , p e r i l a ku , d a n kesehatan anak menjadi buruk. Begitu juga sebaliknya, jika moralitas, perilaku, dan kesehatan pemegang hak asuh anak baik maka akan potensial mempengaruhi perkembangan moralitas, perilaku, dan kesehatan anak menjadi baik. Pemegang hak asuh anak akan menjadi panutan dan contoh yang sehari-hari dilihat oleh anak dan tentu akan sangat mempengaruhi moralitas,
14
perilaku, dan kesehatan anak (Fanani, 2015: 112). Beban pemegang hak asuh anak yang berat itu tentu membutuhkan orang yang baik dari aspek moralitas, kesehatan dan kemampuan mendidik dan memelihara anak, dan semua aspek tersebut tidak bisa hanya didasarkan pada jenis kelamin tertentu tanpa memperhatikan semua aspek tersebut. Seharusnya aspek kualitas, moralitas, kesehatan dan kemampuan mendidik dan memelihara anak yang dijadikan parameter dan patokan dalam penentuan pemegang hak asuh anak jika terjadi perceraian, bukan berdasarkan jenis kelamin tertentu. Aspek kualitas, moralitas, kesehatan dan kemampuan mendidik dan memelihara anak tidak bisa dimonopoli oleh jenis kelamin tertentu akan tetapi semua aspek tersebut sama-sama bisa dimiliki baik oleh kaum perempuan (ibu) maupun oleh kaum laki-laki (bapak) (Fanani, 2015: 113). Ketentuan hukum hak asuh anak di atas jelas bertentangan dengan hakhak anak yang diatur dalam UU 23/2002 yang telah diubah dengan UU 35/2014 serta hak-hak asasi anak yang ada dalam UU 39/1999. Dispensasi kawin Batas minimal usia perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974) adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Terhadap ketentuan tersebut masih dapat dilakukan penyimpangan, dalam hal calon mempelai belum cukup umur, dengan mengajukan permohonan dispensasi kepada Pengadilan (Pasal 7 ayat 2). Ketentuan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun telah menimbulkan persoalan karena menurut ketentuan dalam berbagai undang-undang, seseorang yang belum berusia 18 tahun masih termasuk anak, seperti Pasal 47 UU
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
“Reza Indragiri Amriel, pakar psikologi forensik, mengkritik para hakim pengadilan agama tidak cukup kompeten dan belum memiliki kekuatan mental yang memadai untuk masuk ke dalam, serta mempertimbangkan, aspekaspek pengasuhan anak yang multidimensional.” 1/1974, Pasal 1 Angka 5 UU 39/1999, Pasal 1 Angka 1 UU 23/2002, Pasal 4 huruf H UU 12/2006, dan Pasal 1 ayat 4 UU 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU 44/2008). Ketentuan hukum mengenai dispensai kawin juga problematis jika dikaitkan dengan Pasal 26 ayat (1) huruf (c) UU 35/2014 bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Perbedaan ketentuan antar perundang-undangan mengenai usia anak ini tentu menjadi kendala bagi penegakan hukum perlindungan hakha k a n a k di pera dila n a ga ma khususnya terkait pernikahan anak. Dalam praktik, KUA sebagai tempat pencatatan pernikahan tidak dapat menolak jika ada anak usia 16 sampai 18 tahun yang akan menikah dan juga bagi anak dibawah umur yang sudah mendapat dispensasi dari pengadilan agama. Pernikahan anak menjadi salah satu problem dalam perlindungan anak. Pernikahan anak dibawah umur jelas melanggar hak dasar anak untuk tumbuh, berkembang, berkreasi sesuai umurnya serta mengenyam pendidikan. Secara fisik dan psikis anak juga belum siap memasuki pernikahan.
LAPORAN UTAMA Alasan yang banyak ditemui dalam permohonan dispensai kawin adalah malu jika memiliki anak belum menikah walau masih belia, daripada mendekati zina lebih baik dinikahkan, meringankan ekonomi keluarga, anak sudah hamil di luar nikah sehingga harus dinikahkan. Walhasil, anak dalam pernikahan dini mengalami tekanan psikologis, lebih banyak putus sekolah karena malu untuk melanjutkan sekolah dan masih b a nya k nya p i h a k ya n g b e l u m memberikan hak pendidikan bagi siswi hamil, serta jika kelak ia memiliki anak akan menambah beban psikologis anak dengan pernikahan dini. Jangka panjang, pernikahan dini pun akan mempengaruhi kualitas hidup keluarga Indonesia dan tingkat kesejahteraannya. Perwalian Problem lain yang muncul akibat tidak adanya keselarasan ketentuan antar peraturan perundang-undangan mengenai batasan usia anak adalah terkait perwalian. Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU 1/1974 mengatur bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya (Darwan Prinst, 2003: 92). Sementara itu, Pasal 107 KHI mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Ketika permohonan perwalian didasarkan kepada Pasal 107 KHI, sementara hakim berpedoman pada Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU 1/1974, maka kemungkinan permohonan akan ditolak, karena anak yang dimohonkan perwaliannya telah mencapai batas usia 18 tahun. Sementara bagi hakim yang berpedoman sesuai dengan sandaran hukum permohonan yang diajukan tersebut, maka kemungkinan p e r m o h o n a n p e r wa l i a n d a p a t
dikabulkan. Berbeda halnya ketika permohonan didasarkan pada Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU 1/1974, maka pertimbangan yang termuat dalam Pasal 107 KHI, dengan sendirinya akan tercakup sehingga kemungkinan permohonan perwalian tersebut akan dikabulkan. Dalam kasus seperti ini, maka muncul disparitas putusan yang signifikan karena ketentuan batas usia anak di bawah perwalian secara jelas disebut dalam pasal-pasal tersebut, t a n p a m e m e rl u ka n p e n a fs i ra n apapun. Memang, dalam literatur fikih
“Akibat sikap hakim yang gegabah, putusan hakim justru kontraproduktif bagi terpenuhinya prinsip kepentingan terbaik anak atau disebut dengan istilah jurigenic effect, yaitu pengaruh negatif yang dialami oleh anak justru akibat kelalaian maupun keengganan juri atau hakim dalam mempertimbangkan kompleksitas hakikat relevan sebelum menjatuhkan putusan”
Islam, belum ditemukan definsi konkret usia anak. Seperti Al-Barry yang menyebutkan anak tidak boleh tinggal sendirian, atau tinggal bersama-sama orang yang bukan walinya, kecuali ia sudah dewasa sudah dapat memelihara kesejahteraan dirinya sendiri (Zakaria Ahmad Al-Barry, 2004: 100). Problem lainnya yang muncul seputar perwalian adalah, lemahnya pemahaman masyarakat baik yang awam terhadap hukum maupun yang berprofesi di bidang hukum, dalam memahami konsep perwalian. Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU 1/1974 mengatur bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Dengan demikian, ketika salah satu orang tua (bapak atau ibu) meninggal dunia, maka orang tua yang masih hidup itu menjadi wali bagi anak-anaknya yang belum mencapai 18 tahun, tanpa perlu mengajukan permohonan perwalian. Adapun permohonan perwalian dapat diajukan dalam keadaan orang tua dicabut kekuasaannya terhadap anaknya oleh pengadilan. Alasan pencabutan kekuasaan orang tua tersebut karena alasan sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak dan berkelakuan buruk sekali (Pasal 49 UU 1/1974).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
15
LAPORAN UTAMA Terkait ketentuan perwalian, sejatinya tidak hanya diatur dalam UU 1/1974 dan KHI saja, namun juga diatur dalam UU 23/2002. Bahkan, Pasal 33 ayat (2) UU 23/2002 lebih detil mengharuskan wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan tersebut, agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.
Hak-hak perdata anak di luar perkawinan Putusan MK Nomor 46/PUUV I I I / 2 0 1 0 s e c a ra g a r i s b e s a r menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum, mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Persoalan yang muncul pasca putusan MK tersebut adalah apa saja cakupan hak-hak perdata anak di luar perkawinan akibat hubungan perdata dengan ayah biologisnya? Yang termasuk anak yang lahir di luar perkawinan adalah: a. anak yang dilahirkan oleh perempuan yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang m e n g h a m i l i nya ; b . a n a k ya n g dilahirkan oleh perempuan akibat korban perkosaan oleh satu orang laki-laki atau lebih; c. anak yang dilahirkan oleh perempuan yang dili'an (diingkari) oleh suaminya; d. anak yang dilahirkan oleh perempuan yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka), disangka suami, ternyata bukan; dan e. anak yang dilahirkan oleh perempuan yang kehamilannya akibat perkawinan yang diharamkan seperti perkawinan dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan. Ketiga anak yang p e r t a m a , d a l a m h u ku m I s l a m termasuk ke dalam kelompok anak
16
“Beban pemegang hak asuh anak yang berat itu tentu membutuhkan orang yang baik dari aspek moralitas, kesehatan dan kemampuan mendidik dan memelihara anak, dan semua aspek tersebut tidak bisa hanya didasarkan pada jenis kelamin tertentu tanpa memperhatikan semua aspek tersebut.” zina, sedangkan kedua anak yang terakhir disebut anak syubhat yang apabila diakui oleh bapak syubhat-nya, n a s a b nya d a p a t d i h u b u n g k a n kepadanya (Muhammad, 2014: 303). Terkait putusan MK tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa, mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya. Fatwa tersebut berisi empat poin pokok yang secara garis besar dapat disimpulkan bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Meskipun demikian, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl), MUI menyatakan pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak berwenang. Selain hadd, pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta'zir lelaki pezina dengan kewajiban untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Hal demikian dimaksudkan untuk melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Bahruddin Muhammad, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Mataram, dalam bukunya “Hak Waris Anak di Luar Perkawinan: Studi Hasil Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010”, memiliki pendapat yang berbeda dengan Fatwa MUI tersebut. Menurutnya, akibat hukum putusan MK No. 46/PUUVIII/2010 terhadap hak-hak anak di luar perkawinan mencakup hak materiil yaitu hak nafkah dan hak waris, dan hak immateriil yaitu hak wali dan hadhanah (2014: 331-344). Pendapat tersebut didasarkan atas perluasan penafsiran konsep nasab anak yuridis (berdasarkan perkawinan yang sah) kepada nasab anak biologis (berdasarkan hubungan darah). Konsep nasab biologis merupakan illat hukum yang menjadi pertimbangan de facto hak-hak perdata anak (2014: 351-3). Sistem patrilineal yang menjadi latar belakang sosial masyarakat Arab selalu menisbatkan anak pada pengakuan ayah lebih dominan, sehingga jika terjadi hubungan zina, maka perempuan berikut anak zina menjadi korban subordinasi kaum laki-laki. Nasab pada masa lalu tidak lebih sebagai alat untuk melegitimasi dan meyakinkan para raja dan sekadar pencitraan ayah. Nasab pada masa lalu tidak lebih sebagai identitas image, tanpa menghiraukan hak-hak anak dan hak-hak perempuan. Oleh karena itu perlu purifikasi makna nasab kepada nasab anak biologis (Muhammad, 2014: 258-9). Menurutnya, pemenuhan hak waris terhadap anak di luar perkawinan merupakan sanksi hukum sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum bagi ayah biologis. Adanya diskriminasi terhadap hak waris anak berdasarkan teks agama sungguh tidak berdasar, sebab tidak ada satu teks dan literatur pun yang menyatakan bahwa salah satu penghalang mewarisi adalah karena status anak tidak sah (Muhammad, 2014: 351-353).
LAPORAN UTAMA Pemahaman bahwa Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 melegalkan anak di luar perkawinan sebagai anak sah dan dengan sendirinya berhak mendapatkan hak keperdataan dan hak nasab sebagaimana halnya anak sah, m e m a n g b e r m u n c u l a n s e te l a h putusan tersebut diketok Majelis Hakim MK. Namun, dalam wawancara Tim Redaktur Majalah Peradilan A ga m a , P ro f . D r. M a h f u d M D, menyebutkan bahwa hubungan keperdataan berbeda dengan hubungan nasab dalam Putusan MK tersebut. Hubungan nasab hanya berlaku kepada anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah dan tercatat atau perkawinan yang sah secara agama namun tidak tercatat secara administratif. Sedangkan hubungan keperdataan hanya berlaku untuk anak yang lahir di luar pernikahan (Majalah Peradilan Agama Edisi 8, 2015: 80). Inkonsistensi Putusan Nafkah Anak Hal lainnya yang menjadi sorotan publik dalam pemenuhan hak-hak anak di lingkungan peradilan agama adalah tentang konsistensi putusan tentang nafkah anak. Stijn Cornelis van Huis dalam disertasinya yang berjudul “Islamic Courts and Women's Divorce Rights in Indonesia; The Cases of Cianjur and Bulukumba” menyebut bahwa putusan hakim peradilan agama terkait nafkah anak tidak konsisten. Menurutnya, tuntutan nafkah anak di peradilan agama d i p e rl a ku ka n b e rb e d a d e n ga n tuntutan nafkah iddah, mut'ah dan kiswah bagi mantan isteri. Dengan merujuk kepada putusan Mahkamah Agung tahun 2004 dan 2005, Stijn van Huis berdalih bahwa MA memutuskan tuntutan nafkah anak selama masa pernikahan (nafkah lampau anak) tidak dapat diajukan bersamaan dengan perkara cerai gugat karena nafkah anak dianggap sebagai bukan sesuatu yang terhutang. Putusan MA itu kemudian diikuti oleh PA Cianjur pada tahun 2007, padahal setahun sebelumnya, PA Cianjur mengabulkan
Menurut prediksinya, ke depan putusan tentang nafkah anak ini akan semakin sulit untuk konsisten. Hal ini tentu berbahaya bagi perlindungan hak anak di pengadilan, terlebih jika dikaitkan dengan eksekusi putusan nafkah anak yang memang sulit ditegakan (Stijn van Huis, 2015: 249). |Ahmad Zaenal Fanani, Edi Hudiata, M. Isna Wahyudi, Achmad Fauzi, Achmad Cholil, Mahrus|
Daftar Bacaan
tuntutan nafkah anak (Stijn van Huis, 2015: 248). Baru-baru ini, masih menurut Stijn van Huis, ada beberapa putusan pengadilan tinggi agama yang mengikuti ketentuan seperti yang diatur oleh putusan MA di atas.
“Ketika permohonan perwalian didasarkan kepada Pasal 107 KHI, sementara hakim berpedoman pada Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU 1/1974, maka kemungkinan permohonan akan ditolak, karena anak yang dimohonkan perwaliannya telah mencapai batas usia 18 tahun. Sementara bagi hakim yang berpedoman sesuai dengan sandaran hukum permohonan yang diajukan tersebut, maka kemungkinan permohonan perwalian dapat dikabulkan.”
Ahmad Zaenal Fanani, Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia Perspektif Keadilan Jender, Yogyakarta: UII Press, 2015. Bahruddin Muhammad, Hak Waris Anak Di Luar Perkawinan, Studi Hasil Putusan MK No. 46/PUUVIII/2010, Semarang: Fatawa Publishing, 2014. Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003. Direktorat Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Majalah Peradilan Agama Edisi 8, Desember, 2015. J. Satrio, Hukum Keluarga tentang Kedudukan Anak dalam UndangUndang, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005. M. Joni dan Zulchaina Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1999. Reza Indragiri Amriel, Ajari Ayah Ya Nak! Curhat Seorang Ayah tentang Ketidakwajaran dan Kemalangan Hidup Anak-Anak, Cet. I, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014. Stijn Cornelis van Huis, Islamic Courts and Women's Divorce Rights in Indonesia; The Cases of Cianjur and Bulukumba, Leiden University, 2015. Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, Bandung: Mandar Maju, 2009. Zakaria Ahmad Albarri, Ahkam alAwlaad fil Islam, (terj. Hukum Anak-Anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2004.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
17
LAPORAN UTAMA
Perlindungan Hak Anak dalam Putusan Putusan hakim mempunyai peranan penting dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Dari berbagai nomenklatur perkara yang menjadi kompetensi absolut peradilan agama, terdapat beberapa jenis putusan yang mempunyai dimensi hukum dengan perlindungan dan kepentingan sang anak.
A
spek hukum perlindungan dan kepentingan anak, menjadi landasan dalam memeriksa dan memutus perkara anak terutama di lingkungan Peradilan Agama. Pada bagian ini, akan dideskripsikan mengenai beberapa putusan hakim yang berimplikasi pada perlindungan hak-hak anak. Pemeliharaan anak Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU 1/1974) maupun KUHPerdata tidak menentukan apakah ibu atau ayah yang berhak atas pengasuhan anak
18
hadhanah. Ketentuan eksplisit tentang pengasuhan anak terletak pada Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) Pasal 105 dengan menunjuk ibu sebagai orang yang berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz (12 tahun). Ketentuan ini sejalan dengan tradisi fikih Islam yang cenderung mengedepankan ibu untuk mengasuh anak jika terjadi perceraian. Meskipun UU 1/1974 tidak menetapkan pihak yang berwenang mengasuh anak, tetapi Pasal 49 ayat (1) UU 1/1974 memberikan batasan orang tua yang dianggap tidak cakap memelihara anak yaitu jika melalaikan kewajibannya atau berkelakuan buruk sekali.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Meskipun UU 1/1974 tidak menetapkan pihak yang berwenang mengasuh anak, tetapi Pasal 49 ayat (1) UU 1/1974 memberikan batasan orang tua yang dianggap tidak cakap memelihara anak yaitu jika melalaikan kewajibannya atau berkelakuan buruk sekali
LAPORAN UTAMA Kajian normatif tersebut seringkali diuji oleh putusan hakim Hukum perkawinan (Pasal mengenai konsistensi maupun 49 UU 1/1974) telah pergeseran normanya. Paul Scholten (1992:128) menyadari bahwa putusan memberikan kemungkinan pengadilan (yurisprudensi) sebagai peralihan hak dari ayah ke bagian penting dari penemuan hukum karena berhubungan dengan kontek ibu atau sebaliknya atas yang nyata dalam kehidupan. Namun dasar kondisi-kondisi demikian, dengan latar belakang Indonesia yang menganut tradisi Eropa Continental, sering kali yurisprudensi tersebut tidak dipatuhi memelihara anak, integritas orang tua secara utuh, bahkan tidak segan-segan serta status agama (fikih Islam). Majelis judex facti melakukan contra Dalam putusan Mahkamah legem terhadap kaidah yurisprudensi. Agung RI Nomor 349K/AG/2006 Aplikasi penerapan Pasal 105 KHI tanggal 3 Januari 2007, Majelis Hakim secara utuh dapat dilihat dari kasus melakukan contra legem atas norma gugatan cerai AD dan ME (anotasi hukum pengasuhan anak (Pasal 105 putusan majalah edisi VIII). Dalam KHI) dengan menetapkan pihak ayah tingkat pertama (Putusan PA Jakarta Selatan No. 1514/Pdt.G/2007/PA.JS), banding (Putusan PTA Jakarta No. 135/Pdt.G/2008/PTA.Jk.) dan kasasi (Putusan MA No. 282K/AG/2009) hak pengasuhan anak diberikan kepada ME sebagai ibu kandungnya. Salah satu pertimbangan hukumnya adalah Pasal 105 KHI yang menyatakan bahwa anak yang belum mumayyiz berada dalam pengasuhan ibunya. Putusan kasasi tersebut dikoreksi oleh putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/AG/2012 dengan myatakan bahwa pemegang hak hadhanah ditetukan oleh kehendak masingsebagai pemegang hak hadhanah. masing anak. Legal reasoning putusan Diantara pertimbangan hukum yang PK didasarkan pada usia anak yang dikemukakan dalam putusan tersebut telah melewati 12 tahun.Penerapan adalah adanya aktifitas yang cukup Yurisprudensi Putusan MA No. 906 tinggi dari si ibu (TB) sehingga pihak K/Sip/1973, tanggal 25 Juni 1974 ayah (TR) dipandang lebih berhak y a n g m e n y e b u t k a n b a h w a dalam mengasuh anak. Pertimbangan “ k e p e n t i n g a n s i a n a k ” h a r u s putusan tersebut telah diikuti oleh dipergunakan sebagai landasan utama beberapa putusan judex facti seperti untuk menentukan siapa dari orang p a d a p u t u s a n tuanya yang diberi hak pemeliharaan. 229/Pdt.G/2013/PA.Mdn tanggal 3 Hukum perkawinan (Pasal 49 UU Juli 2013, putusan Pengadilan Agama 1/1974) telah memberikan T a n g e r a n g N o m o r kemungkinan peralihan hak dari ayah 145/Pdt.G/2011/PA.Tng tanggal 24 ke ibu atau sebaliknya atas dasar Oktober 2011. kondisi-kondisi. Berdasarkan hasil Penilaian integritas dapat dilihat penelitian Edi Riadi (2011), terdapat karena kelalaian atau perilaku yang beberapa putusan yang memberikan tidak baik. Pemberian hak pengasuhan hak hadhanah kepada ayah. Diantara anak bagi ayah dapat dilakukan karena pertimbangan putusan tersebut lalainya ibu dalam memelihara anak tertumpu pada tiga alasan hukum seperti pada putusan Kasasi Nomor: yaitu adanya kesempatan untuk 306K/AG/2002 tanggal 26 April
2006.Pengasuhan anak oleh ayah juga dapat disebabkan karena perilaku ibu buruk sekali, sering selingkuh dengan lelaki lain seperti pada putusan Kasasi Nomor: 456K/AG/2004 tanggal 26 Januari 2004.Pengalihan pengasuhan anak kepada ayah juga dapat didasarkan pertimbangan fikih seperti karena ibu menikah lagi atau karena murtad. Dalam putusan Kasasi Nomor 200K/AG/2004 menentukan bahwa pengasuhan anak yang telah berusia 7 tahun menjadi hak ayahnya karena ibu telah menikah dengan lelaki lainseperti diisyaratkan oleh hadis Abdullah bin 'Amr yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim (Ibrahim, 1986:451). Ketentuan menjadi tadisi fikih Syafi'iyyah seperti dikemukakan Imam Nawawi dalam
kitab kifayatul Akhyar (Juz II:93) dan Imam Syaibani dalam kitabnya Mizan al-Syaibani (Juz II:140). Kecenderungan yurisprudensi dalam mempertimbangkan fikih Islam terlihat ketika menetapkan pengasuhan anak kepada ayah manakala ibu kandungnya beragama non muslim seperti dapat dilihat pada putusan Kasasi Nomor: 302K/AG/1995 tanggal 26 Maret 1997. Demikian halnya dengan pengasuhan oleh kakek dan nenek yang non muslim harus dihindari dan ketika terjadi sengketa, anak dari seorang ibu yang telah meninggal dunia harus ditetapkan pengasuhannya oleh ayahnya bukan oleh kakek atau nenek yang beragama non muslim (putusan kasasi 275K/AG/2004 tanggal 29 Juni 2005.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
19
LAPORAN UTAMA Dengan memperhatikan beberapa putusan, terdapat kecenderungan menerapkan sole custody yakni pengasuhan oleh salah satu pihak suami atau istri. Hal ini pula yang dapat dilihat pada ketentuan KHI Pasal 105. Di Amerika sejak tahun 1986 telah dikembangkan pemeliharaan anak secara bersamasama antara pasangan suami istri yang telah bercerai joint custody. Di beberapa negara Eropa joint custody telah menjadi bagian dari hukum perlindungan anak, seperti di Negara Austria yang menempatkan pada bagian undang-undang hak anak (Renate Kränzl-Nagl:2006). Beberapa putusan telah pula mengadopsi model joint custody. Praktek pembagian hak pemeliharaan anak secara bersama-sama antara ayah dan ibu dapat dilihat dalam p u t u s a n P TA M e d a n N o . 103/Pdt.G/2006/PTA Mdn. tanggal 31 Januari 2007 ditetapkan pemberian hak kepada ayah untukbertemu secara intensif dengan anaknya selama 3 (tiga) haridalam seminggu terhitung sejak putusan ini dijatuhkan sampai secara hukum anaktersebut dapat memilih sendiri untuk ikut ibu atau ayahnya (umur 12 tahun). Untuk memperkuat amar putusan tersebut, dalam amar selanjutnya disebutkan bahwa sang ibu harus memperbolehkan dan tidak m e n gh a l a n g i s a n g aya h ka l a u sewaktu-waktu ingin menjumpai anaknya. Pembebanan nafkah anak Terdapat beberapa alternatif teknis pembebanan nafkah anak. Menilik beberapa yurisprudensi lawas, sebagai contoh dalam putusan MARI No. 392 K/Pdt/1969, tanggal 1 Oktober 1969 yang menyebutkan bahwa jika terjadi perceraian serta pembagian harta bersama antara bekas suami-isteri masing-masing 1/2 bagian, dan dipertimbangkan perihal harta benda tersebut termasuk biaya hidup, pendidikan dan pemeliharaan anak yang menurut yurisprudensi
20
sebagai hukum yang hidup biaya-biaya tersebut tidak hanya dibebankan kepada ayah saja tetapi juga kepada ibu, sehingga untuk menjamin pembagian tersebut, conservatoir beslag dapat disahkan dan dinyatakan berharga teristimewa untuk jaminan pelaksanaan putusan (eksekusi). Putusan MARI No. 906 K/Sip/1973, tanggal 25 Juni 1974, disebutkan bahwa kewajiban membiayai kehidupan pendidikan dan pemeliharaan anak, tidak hanya dibebankan kepada ayahnya saja, tetapi juga kepada ibunya sehingga patut kepada masing-masing dibebankan separuh dari termaksud. Berdasarkan putusan kasasi Nomor 23 K/AG/2003 tanggal 26 Februari 2004, hutang seorang suami atas kelalaiannya memberikan nafkah anak tidak dapat digugat karena
Namun demikian, tidak sedikit pula yang melakukan contra legem atas kaidah yurisprudensi tersebut dengan mengedepankan suguhan pembaharuan nafkah anak prinsipnya adalah lilintifa' bukan litamlik. Konsekwensi logis dari kaidah hukum tersebut berimplikasi pada status nafkah anak adalah lil intifa', terpenuhinya nafkah anak menjadi tujuan utama tanpa harus memandang siapa yang menafkahinya dan manakala sudah ada yang memenuhi nafkah tersebut, gugurlah kewajiban pihak lainnya. Hal ini berbeda dengan asas lil tamlik, seperti dalam nafkah istri. Tidak terpenuhinya nafkah istri oleh suami, memberikan hak kepada istri untuk menggugat nafkah lampau madliyah kepada suaminya. Asas lil intifa juga dapat dimaknai sebagai tanggung jawab bersama antara suami, istri atau bahkan kerabat dalam memberikan nafkah anak. Pemahaman makna tersebut
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
berasal dari kajian fikih klasik seperti ya n g te rd a p a t p a d a k i t a b a l M u h a d h d h a b J u z I I : 1 8 9 ya n g menyatakan bahwa barang siapa diwajibkan memberikan nafkah bagi kerabat, maka diwajibkan baginya untuk memberikan nafkah sesuai kemampuannya dan jika masanya sudah lampau, nafkah yang diwajibkan tidak menjadi hutang. Berdasarkan putusan Kasasi 394 K/AG/2010, Besarnya nafkah anak harus memenuhi kebutuhan hidup minimum, kepatutan dan keadilan. Pemenuhan nafkah anak merupakan kewajiban kedua orang tua. Berdasarkan Pasal 45 (1) UUP kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya. Fenomena meningkatnya gugatan perceraian di Pengadilan menunjukkan meningkatnya kemampuan perempuan dalam membela haknya. Sementara itu, gugatan perceraian juga seringkali menimbulkan beban baru bari perempuan terutama berkenaan dengan kehidupan si anak. Suami yang digugat di pengadilan seringkali melepaskan tanggungjawabnya begitu saja terhadap kelangsungan hidup anak. Yurisprudensi di atas banyak dijadikan sebagai bagian dari legal reseoning putusan hakim. Namun demikian, tidak sedikit pula yang melakukan contra legem atas kaidah yurisprudensi tersebut dengan mengedepankan suguhan pembaharuan. Diantara putusan tersebut adalah Putusan Pengadilan A g a m a K a y u A g u n g No.0228/Pdt.G/2014/PA.KAG tanggal 14 Agustus 2014 dan Nomor: 0200/Pdt.G/2014/PA.KAG tanggal 28 Mei 2014. Dari kedua putusan tersebut, salah satu pertimbangannya difokuskan pada perlindungan hak anak. Majelis Hakim menyadari bahwa anak merupakan korban dari kondisi disharmonis kedua orang tuanya. Pembebanan terhadap nafkah anak yang terhutang bagi ayah juga akan merekatkan ikatan psikologis antara ayah dan anaknya.
LAPORAN UTAMA Asal-usul dan pengesahan anak Adanya penetapan asal usul anak dan pengesahan anak sesungguhnya bermuara dari penerapan Pasal 2 ayat 1 dan 2 UU Nomor 1 Tahun 1974, perlunya pencatatan perkawinan dalam perspektif administrasi kependudukan merupakan sebuah keniscayaan. Jika tidak, maka pelbagai kasus hukum tentang anak akan digugat atau dimohonkan pada peradilan agama. Yu r i s p r u d e n s i N o m o r 3 2 9 K/Ag/2014 adalah salah satu contohnya, setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, Machica Mochtar kembali m e l aya n gka n g u ga t a n te n t a n g penetapan asal usul anak yang didalamnya memohon agar diberikan izin melakukan tes DNA sebagai salah satu amanat dalam putusan MK tersebut. Keinginan pemohon setelah dilakukan tes DNA, akan diketahui ayah biologis anak yang bernama Iqbal Ramadhan sebagai anak sah Moerdiono. Majelis Kasasi Mahkamah Agung, dalam putusan tertanggal 22 Juli 2014 menilai; pertama, posita gugatan Pemohon Machica Mochtar mendua dan kontradiksi dengan petitum, di satu sisi memohon agar Iqbal Ramadhan dinyatakan sebagai anak sah, namun pada sisi lain dinyatakan sebagai anak di luar perkawinan.
Kedua, berdasarkan ketentuan Pasal 49 berikut penjelasannya dalam ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 50 Tahun 2009, maka peradilan agama tidak berwenang mengadili perkara yang berkaitan dengan keabsahan seorang anak atau tidak sahnya seorang anak menurut hukum yang berlaku. Putusan MARI Nomor 597 K/Ag/2015 tentang pengesahan anak dilandasi oleh hak anak dan perlindungan atas anak harus selalu dipertimbangkan oleh majelis hakim p e ra d i l a n a g a m a . D i s a m p i n g senantiasa mempertimbangkan hak tumbuh kembang anak baik dari aspek psikologis perkembangan anak maupun dari aspek peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) UU 39 / 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) UU 23/ 2 0 0 3 tentang Perlind ungan Anak;
Bahwa dalam Hukum Islam sendiri penetapan asal usul anak atau penetapan nasab juga dilakukan dengan memperhatikan kepentingan anak, yaitu cukup dengan adanya pernikahan tanpa memandang sah atau tidaknya perkawinan tersebut (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, VIII:96 atau Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu alIslam wa Adillatuh, VII:690). Cara lain ialah berbentuk pengakuan (iqrar), dan pada kondisi adanya pihak lain baru diperlukan pembuktian (bayyinah); Pengangkatan anak Seiring dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan hidup dalam masyarakat, pandangan ini kemudian mengalami pergeseran dengan menciutnya pandangan lama dan tumbuhnya pandangan baru bahwa untuk mengetahui seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak sematamata tergantung pada formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yaitu ia sejak bayi diurus dan dipelihara, dikhitankan, disekolahkan, dan dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sebagaimana Putusan MARI Nomor 1413K/Pdt/1988 tanggal 18 Mei1990 dan Putusan MARI Nomor 53 K/Pdt/1995 tanggal18 Maret 1996.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
21
LAPORAN UTAMA
Yu r i s p r u d e n s i s e m u l a berpandangan bahwa terjadinya pengangkatan anak bergantung pada proses formalitas adat pengangkatan anak. Hal ini dapat diketahui dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 210 K/Sip/1973 bahwa untuk mengetahui keabsahan seorang anak angkat tergantung pada upacara adat t a n p a m e n i l a i s e c a ra o b j e k t i f keberadaan anak dalam kehidupan keluarga orang tua angkat. Syarat keabsahan anak angkat yang demikian semakin jelas terlihat dari Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 912 K/Sip/1975 yang menyatakan bahwa tanpa upacara adat tidak sah pengangkatan anak meskipun sejak kecil dipelihara serta dikawinkan orang yang bersangkutan. Berkaitan dengan hak waris anak angkat, terdapat kaidah yang menjadi pegangan dasar hukum para Hakim dalam memutus hak waris anak angkat dalam yurisprudensi No. 1361K/SIP/1975 tanggal 25 April 1977, yaitu bahwa seorang anak a n gka t b e rh a k m e wa r i s h a r t a peninggalan orang tua angkatnya. Berdasarkan Putusan Nomor 338/Pdt.G/1998/PA.Upg dan Putusan Nomor 230/Pdt.G/2000/PA.Mks
22
Untuk mengetahui seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-mata tergantung pada formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yaitu ia sejak bayi diurus dan dipelihara, dikhitankan, disekolahkan, dan dikawinkan oleh orang tua angkatnya, tentang seorang anak perempuan mempunyai besaran hak waris yang sama dengan anak laki-laki dengan perbandingan 1:1. Hakim secara ex officio juga langsung dapat membagi harta warisan dengan menetapkan anak angkat mendapat 1/3 dari tirkah, lalu anak perempuan dari istri kedua dinyatakan sebagai ahli waris dan mendapat bagian sisa dari bagian istri pertama dan isteri kedua (ibunya),
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
sedangkan saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris tidak mendapat bagian warisan karena terhalang oleh anak perempuan pewaris (Putusan MARI nomor 38 K/AG/1998 Tanggal 5 Oktober 1998). |Sugiri Permana, Ade Firman Fathony, Moh. Noor, Alimuddin, Rahmat Arijaya|
Daftar Bacaan Edi Riadi, Dinamika Putusan Mahkamah Agung RI Dalam Bidang Perdata Islam, disertasi UIN Jakarta dipertahankan tanggal 28 April 2011. Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita, diterjemahkan oleh Ansori Umar Sitanggal, Semarang, ASY-SYIFA, 1986, hal 451 Paul Scholten, Penuntutan Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Jogjakarta: GM University Press, 1992. Renate Kränzl-Nagl, “Joint Custody after Divorce: Austrian Experiences”, Nopember 2006, h a l 1 . http://www.euro.centre.org/d ata/1164623691_43750.pdf
LAPORAN UTAMA
TABEL YURISPRUDENSI YANG BERKAITAN DENGAN HAK-HAK ANAK PUTUSAN
POIN PENTING Perkara Pemeliharaan Anak
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 906 K/Sip/1973
Kepentingan anak menjadi tolok ukur bagi hakim untuk menentukan ayah atau ibu sebagai pemegang hak asuh anak
Putusan Kasasi Nomor 306K/AG/2002
Penilaian integritas terhadap perilaku ayah atau ibu menjadi pertimbangan bagi pemegang hak asuh anak
Putusan Kasasi Nomor 456K/AG/2004
Perilaku buruk ibu karena sering selingkuh menyebabkan hak asuh anak pada ayah
Putusan Kasasi Nomor 302K/AG/1995 Putusan Kasasi Nomor 200K/AG/2004
Ayah sebagai pemegang hak asuh anak karena ibu menikah lagi atau murtad
Tingkat pertama : Putusan PA Jakarta Selatan No. 1514/Pdt.G/2007/PA.JS. Tingkat banding : Putusan PTA Jakarta No. 135/Pdt.G/2008/PTA.Jk. dan tingkat Kasasi : Putusan MA No. 282K/AG/2009. Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/AG/2012.
Hak pemeliharaan anak yang semula di bawah asuhan ibu karena anak belum mumayyiz, lalu diberikan pada kebebasan anak untuk memilih karena hal itu merupakan hak masing-masing anak.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 349K/AG/2006
Ayah sebagai pemegang hak asuh anak ketika ibu mempunyai aktifitas yang tinggi di luar rumah
Putusan PTA Medan Nomor 103/Pdt.G/2006/PTA.Mdn
Kedua orangtua memegang hak asuh anak secara bersama-sama (joint custody)
Perkara Pembebanan Nafkah Anak Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 906 K/Sip/1973
Ayah dan ibu dibebankan secara bersamasama untuk memenuhi nafkah anak (separuh bagian)
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 392 K/Pdt/1969
Kedua orangtua akibat pembagian harta bersama, dibebankan memberikan nafkah anak dari pembagian harta bersama itu
Putusan Kasasi Nomor 23 K/AG/2003
Hutang seorang suami atas kelalaiannya memberikan nafkah anak tidak dapat digugat karena nafkah anak prinsipnya adalah lilintifa' bukan litamlik
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
23
LAPORAN UTAMA
Putusan Kasasi Nomor 394 K/AG/2010
Besarnya nafkah anak harus memenuhi kebutuhan hidup minimum, kepatutan dan keadilan
Perkara Asal-Usul dan Pengesahan Anak Yurisprudensi Nomor 329 K/Ag/2014
Peradilan Agama tidak berwenang mengadili sah atau tidaknya seorang anak akibat sebuah perkawinan karena sah atau tidaknya sebuah perkawinan ditentukan oleh syarat dan rukunnya, termasuk anak yang lahir dari perkawinan itu
Yurisprudensi Nomor 597 K/Ag/2015
Pengesahan anak harus dilandasi oleh aspek hukum dan aspek psikologis demi kepentingan dan perlindungan hukum anak
Perkara Pengangkatan Anak
24
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1413 K/Pdt/1988 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 53 K/Pdt/1995
Untukmengetahui seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-matatergantung pada formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat darikenyataan yang ada, yaitu ia sejak bayi diurus dan dipelihara, dikhitankan,disekolahkan, dan dikawinkan oleh orang tua angkatnya
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor210 K/Sip/1973 Putusan MahkamahAgung RI Nomor 912 K/Sip/1975
Untuk mengetahui keabsahan seorang anak angkattergantung pada upacara adat tanpa menilai secara objektif keberadaananak dalam kehidupan keluarga orang tua angkat
Yurisprudensi Nomor 1361K/SIP/1975
Anakangkatberhakmewarishartapeninggalan orang tuaangkatnya
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 38 K/AG/1998
Hakim secara ex officio juga langsung dapat membagi harta warisan dengan menetapkan anak angkat mendapat 1/3 dari tirkah
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
LAPORAN UTAMA
Langkah Strategis Melindungi Hak Anak
Peradilan agama perlu terus mengawal program-program berbasis perlindungan anak dan mendorong aparaturnya untuk meningkatkan sensitivitas yang ekuivalen bagi pemenuhan hak-hak anak.
P
eradilan Agama memiliki kedudukan strategis dalam mewujudkan perlindungan anak. Sebagai representasi lembaga yudikatif yang wewenangnya b e r s e n t u h a n l a n g s u n g d e n ga n problematika kehidupan anak, Peradilan Agama dituntut memiliki sensitivitas dan cara pandang yang utuh tentang hak-hak anak. Mulai dari jaminan untuk hidup dan berkembang, memperoleh identitas dan memeluk agama, akses pendidikan, hingga perlakuan secara terhormat dan manusiawi. Karena itu, dibutuhkan kebijakan strategis dan daya sensitivitas hakim terhadap persoalan anak demi terwujudnya
pemenuhan hak dasar anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sejatinya banyak sekali kewenangan Peradilan Agama yang memiliki relevansi dengan upaya perlindungan anak. Berikut ini akan diulas beberapa upaya yang selama ini telah dilakukan peradilan agama dalam melindungi anak, sekaligus langkah strategis ke depan yang perlu dilakukan agar hak-hak dasar dan masa depan anak lebih terjamin. Putusan hadhanah Kewenangan pengadilan agama mengadili sengketa hak asuh anak telah banyak memberikan jaminan
bagi keberlangsungan hidup dan masa depan anak. Pertimbangan pokok dalam penentuan hak asuh anak adalah prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Adapun frasa “demi kepentingan terbaik bagi anak” merupakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014). Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 1/1974) juga disebutkan “semata-mata berdasarkan kepentingan anak”.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
25
LAPORAN UTAMA Prinsip demi kepentingan anak ini, meskipun disebutkan sebagai prinsip utama dalam penepatan hak asuh anak, namun belum ada kriteria secara rinci yang memaparkan apa ya n g d i m a ks u d d e n ga n “ d e m i kepentingan anak” tersebut. Maka, dalam keadaan seperti ini, diperlukan judicial activism dari hakim yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penerapan, penemuan dan penciptaan hukum yang berorientasi kepada keadilan. Sehingga frasa “demi kepentingan anak” dapat diterjemahkan lebih konkret dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban anak sebagaimana amanat Pasal 4 UU 35/2014. Melalui analisis terhadap hak dan kewajiban anak tersebut, diharapkan muncul fakta mengenai kepentingan anak yang sesungguhnya. Prinsip ini harus diutamakan dari pada maternal preference (ibu dianggap serta merta (kodrati) memiliki kemampuan alamiah untuk merawat anaknya) dan doktrin tender years (saat anak dalam usia rentan di bawah umur 4 tahun, ibu diasumsikan sebagai orang tua yang lebih superior atau lebih berkompeten dalam pengasuhan anak) (Amriel, 2014: 96). Keduanya sangat bias jender dan setali tiga uang dengan ketentuan Pasal 105 huruf a KHI, yang lebih mengutamakan ibu sebagai pemegang hak asuh anak, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain terkait hak dan kewajiban anak. Selain mempertimbangkan hak dan kewajiban anak, prinsip demi kepentingan anak juga dielaborasi dengan mempertimbangkan pendapat anak, dalam hal anak dapat diminta keterangan di persidangan. Meminta pendapat anak merupakan jalan terbaik sehingga diketahui anak lebih nyaman bersama siapa di antara kedua orang tuanya. Pertimbangan lain yang dapat dielaborasi dari prinsip demi kepentingan anak adalah kemampuan ekonomi dari pihak ayah atau ibu karena kedua orang tua tetap berkewajiban untuk membiayai kebutuhan anak, pertimbangan rekam jejak dari masing-masing orang tua,
26
dan pertimbangan siapa yang selama ini lebih dominan dalam hal pengasuhan dan pemeliharaan anak. Kaitannya dengan ketentuan pasal 105 huruf a KHI yang dinilai
Diperlukan judicial activism dari hakim yang secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penerapan, penemuan dan penciptaan hukum yang berorientasi kepada keadilan. Sehingga frasa “demi kepentingan anak” dapat diterjemahkan lebih konkret dengan mempertimbangkan hak dan kewajiban anak.
tidak adil jender serta tidak menjamin terwujudnya kepentingan terbaik anak, maka hakim sesuai dengan kewajiban konstitusionalnya harus berani melakukan penemuan hukum atau melakukan pembaruan hukum hak asuh anak tersebut.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Salah satu yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk melakukan penemuan hukum dan pembaruan hukum hak asuh anak adalah dengan menggunakan analisis keadilan jender berperspektif maqashid syariah. Yakni, analisis yang berorientasi pada kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan yang terwujud pada terpeliharanya 5 (lima) hal antara lain memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks hak asuh anak, maka penerapannya harus berpijak pada keadilan yang berorientasi pada terpeliharanya kelima hal tersebut tanpa berpihak pada jenis kelamin tertentu. Siapapun orang tua yang dianggap mampu menjamin terpeliharanya kelima hal tersebut demi kepentingan terbaik anak sudah seharusnya dipilih sebagai pemegang hak asuh anak (Fanani, 2015: 150153). Untuk itu, hakim dapat melakukan beberapa langkah strategis berikut dalam proses pemeriksaan dan pembuatan putusan tentang s e n g ke t a h a k a s u h a n a k : ( 1 ) Melakukan penafsiran hukum atas ketentuan hukum hak asuh anak; (2) Kontekstualisasi ketentuan hukum hak asuh anak; (3) Mengutamakan kepentingan terbaik anak; (4) Menggali rekam jejak orang tua anak; dan (5) Melakukan pemeriksaan setempat (Fanani, 2015: 154-163).
LAPORAN UTAMA Eksekusi putusan hadhanah Persoalan terkait eksekusi putusan hak asuh anak, para ahli h u ku m p e n d a p a t nya te rb e l a h . Sebagian kelompok menyatakan anak tidak dapat dieksekusi dengan argumentasi bahwa yurisprudensi eksekusi semuanya hanya menyangkut hukum benda (zakenrecht), bukan hukum orang (personrecht). Sedangkan kelompok yang membolehkan berdalih bahwa
sepanjang amar putusan bersifat comdemnatoir dan telah berkekuatan hukum tetap maka dapat dieksekusi. Pelaksanaan eksekusi hadhanah sejalan dengan Pasal 319 KUHPer yang mengatakan jika pihak yang senyatanya menguasai anak yang belum dewasa menolak menyerahkan anak tersebut maka pihak yang menurut putusan pengadilan harus menguasai anak tersebut boleh m e m i n t a ke p a d a j u r u s i t a d a n menyuruh kepadanya melaksanakan putusan tersebut . Perbedaan pendapat tersebut tentu mempengaruhi praktik peradilan, khususnya dalam konteks eksekusi putusan hadhanah. Mahkamah Agung, khususnya hakim agung yang tergolong dalam Tim E, telah mengambil suatu keputusan pada tanggal 6 Juli 1999 bahwa masalah penguasaan anak dalam pelaksanaan eksekusinya dapat dijalankan melalui upaya paksa. Apabila ada yang menghalangi maka ada ancaman pidana yang mengaturnya. Namun ada langkah strategis lainnya agar putusan pengadilan
Salah satu pijakan untuk melakukan penemuan hukum dan pembaruan hukum hak asuh anak adalah dengan menggunakan analisis keadilan jender berperspektif maqashid syariah tanpa berpihak pada jenis kelamin tertentu. memiliki kekuatan memaksa dan tidak hampa, yakni melalui penerapan dwangsom. Sepanjang diminta oleh Penggugat dalam surat gugatannya, dwangsom menjadi keputusan yang tepat jika dimasukkan dalam putusan hadhanah. Dengan catatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 606a Rv., bahwa tuntutan dwangsom diajukan satu kesatuan dengan gugatan pokok perkara dan petitum, didasarkan pada posita yang jelas, serta besarnya dwangsom tidak berkenaan dengan gugatan pembayaran sejumlah uang. Dwangsom merupakan salah satu strategi untuk mencegah putusan menjadi tidak dapat dieksekusi sebagaimana mestinya. Dwangsom merupakan tekanan psikologis agar pihak yang kalah secara sukarela menjalankan hukuman pokok yang dijatuhkan hakim. Namun penerapannya hakim harus berhatihati apakah tuntutan dwangsom beralasan atau tidak, boleh atau tidak dwangsom ditetapkan dalam perkara tersebut, kondisi Tergugat apakah memungkinkan secara ekonomis melaksanakan tuntutan dwangsom (Abdul Manan, 2008: 438-441). Di samping mengefektifkan penerapan lembaga dwangsom, keterlibatan lembaga yang konsen terhadap perlindungan anak dalam menjalankan eksekusi putusan hak asuh anak secara persuasif juga sangat
penting dan strategis. Sebab lembaga tersebut berkompeten dalam melindungi dan menjamin hak-hak anak di Indonesia, sehingga memahami kondisi psikologis anak dan hal yang terbaik untuk anak. Penetapan dispensasi nikah Angka perkawinan usia anak di Indonesia menjadi persoalan serius karena berkorelasi erat dengan tingginya angka kematian anak. Dari 2,5 juta angka perkawinan pertahun terdapat 34,5 % atau sekitar 600 pasangan yang menikah di usia dini. Rata-rata perkawinan dini dilakukan pada usia 11-13 tahun yang secara fisik belum siap untuk reproduksi. Akibatnya angka kematian bayi meningkat sekitar 34/1000 perkawinan (KPAI, 2014). Pengadilan agama memiliki keterlibatan langsung dalam menekan persoalan kematian anak melalui wewenang memeriksa permohonan dispensasi nikah bagi calon mempelai yang belum mencapai usia yang ditetapkan undang-undang (laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun). Hakim pengadilan agama dapat menolak memberikan dispensasi nikah jika memang terbukti calon mempelai belum siap secara fisik dan mental untuk membina rumah tangga. Hakim juga mempertimbangkan aspek hak mengenyam pendidikan, dimensi sosial, psikologis, ekonomi, serta kesehatan reproduksi calon mempelai wanita. Hakim dalam menerima atau menolak permohonan dispensasi nikah harus mempertimbangkan dan menganalisis permohonan tersebut secara komprehensif, tidak hanya mempertimbangkan terpenuhinya ketentuan syarat dan rukun nikah yang diatur dalam UU 1/1974 tapi juga harus mempertimbangkan hak-hak dasar anak yang harus dilindungi yang ada dalam UU 23/2002 yang telah mengalami perubahan atau revisi menjadi UU 35/2014 dan UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
27
LAPORAN UTAMA Namun, upaya menekan angka kematian anak melalui pengetatan pernikahan usia anak belum berjalan maksimal karena permohonan dispensasi kawin rata-rata yang masuk ke pengadilan agama disebabkan calon mempelai wanita telah hamil lebih dahulu. Sehingga dapat menimbulkan mudarat apabila tidak segera dinikahkan. Kondisi demikian memerlukan pertimbangan perihal keberlangsungan hak-hak anak sejak dalam kandungan sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU 35/2014. Karena itu, dalam konteks perlindungan anak, persoalan anak hamil luar nikah ini tidak bisa semata-mata dibebankan kepada pengadilan agama, melainkan membutuhkan peran serta seluruh pemangku kepentingan, khususnya keluarga yang notabene menjadi institusi utama perlindungan anak.
prinsip demi kepentingan anak. Sama halnya seperti pengasuhan anak, perwalian juga harus mempertimbangkan aspek tersebut. Hal ini untuk mengantisipasi upaya penyelundupan kepentingan pihak lain dalam permohonan perwalian. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan untuk memperkuat kedudukan orang tua sebagai wali tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu, kecuali jika kekuasaan orang tua atas anak telah dicabut oleh pengadilan. Jadi, dengan pertimbangan memperkuat kedudukan orang tua sebagai wali, t i d a k s e l a m a nya p e r m o h o n a n perwalian dapat dikabulkan. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat dan profesi di bidang hukum, mengerti
usul anak. Hal ini berpedoman pada ketentuan Pasal 103 ayat (2) KHI bahwa Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan terkait asalusul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti yang sah. Ketetuan Pasal 7 ayat (1) UU 23/2002 yang telah diubah dengan UU 35/2014 juga menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Mahkamah Agung juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 1 Tahun 2015 tanggal 6 Agustus 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan
bahwa orang tua adalah wali dari anaknya untuk bertindak di dalam maupun di luar pengadilan.
Agama/Mahkamah Syar'iyah dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta Kelahiran (PERMA 1/2015). Pelayanan terpadu merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan bersama-sama dan terkoordinasi dalam satu tempat dan waktu tertentu antara pengadilan agama, dinas kependudukan dan catatan sipil serta kantor urusan agama kecamatan dalam layanan untuk memenuhi pencatatan perkawinan dan pencatatan kelahiran. Namun, sebagai rekomendasi, PERMA tersebut perlu terus disempurnakan dengan disertai penyusunan petunjuk pelaksana (juklak). Tujuannya adalah memberikan arahan terperinci bagi lembaga peradilan yang menyelenggarakan sidang terpadu.
Penetapan perwalian Lembaga perwalian merupakan salah satu upaya melindungi hak-hak anak karena beradasarkan hukum, anak tidak dapat bertindak sebagai subyek hukum. Oleh karenanya, untuk dapat bertindak sebagai subyek hukum perlu ada wali. Umumnya, permasalahan yang muncul terkait permohonan perwalian mengerucut pada batasan usia anak yang berbedabeda. Pasal 47 UU 1/1974 dan Pasal 1 (1) UU 35/2014 mengatur batasan anak 18 tahun, sementara Pasal 107 ayat (1) KHI mengatur bahwa perwalian dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Perbedaan ini menimbulkan disparitas penetapan yang disebabkan bukan karena perbedaan penafsiran, melainkan karena perbedaan aturan. Oleh karenanya, perlu ada harmonisasi aturan agar tercapai satu kesamaan batasan usia anak. Metode yang dapat digunakan adalah asas preferensi dengan menjadikan UU 35/2014 sebagai acuan. Pertimbangan yang perlu diramu dalam penetapan perwalian adalah
28
Penetapan asal-usul anak Pada tahun 2015 Kementerian Sosial mencatat sebanyak 43 juta anak belum memiliki akta kelahiran. Salah satu penyebabnya karena perkawinan orang tuanya tidak dicatatkan secara administrasi negara. Sebagai lembaga yang berwenang mengadili perkara yang berkaitan dengan keabsahan anak atas suatu perkawinan yang diselenggarakan menurut agama Islam, pengadilan agama telah memberikan kepastian identitas hukum anak melalui penetapan asal-
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
LAPORAN UTAMA Lembaga terkait seperti pemerintah daerah dan KUA juga perlu terus didorong agar turut aktif menginisiasi kesuksesan pelayanan terpadu sehingga hak-hak dasar dan masa depan anak lebih terjamin. Berdasarkan Laporan Tahunan MA tahun 2015 pengadilan agama telah melakukan sidang terpadu dengan dinas kependudukan dan catatan sipil serta kantor urusan agama kecamatan dalam layanan untuk memenuhi pencatatan perkawinan dan pencatatan kelahiran. Sehingga jumlah anak yang mendapatkan akta kelahiran dari sidang terpadu pada tahun 2014-2015 berjumlah 5.779 orang. Meskipun PERMA 1/2015 menjadi payung hukum bagi pemenuhan hak-hak anak, akan tetapi p ro s e s p e m e r i k s a a n te r h a d a p permohonan pengesahan nikah (itsbat nikah) yang dilakukan oleh pengadilan agama tetap melalui tahapan persidangan yang telah diatur dalam peraturan perundangundangan. Jadi, terhadap permohonan pengesahan nikah yang diajukan, jika dapat dibuktikan maka dikabulkan, akan tetapi jika tidak dapat dibuktikan maka ditolak. Berdasarkan Laporan Tahunan MA RI Tahun 2015, jumlah perkara itsbat nikah yang ditolak dalam sidang terpadu dari tahun 2014 sampai tahun 2 0 1 5 b e r j u m l a h 4 4 9 p e rka ra . Sedangkan yang dikabulkan 8.925 perkara. Hal ini membuktikan kendatipun program identitas hukum menjadi program nasional, namun hakim dalam melaksanakan sidang terpadu tetap berpedoman kepada aturan yang berlaku. Hanya saja, peradilan agama perlu lebih tertib adminsitrasi dalam hal pelaporan sidang terpadu. Hal ini bertujuan sebagai bahan evaluasi bagi pengambil kebijakan terkait kelanjutan program di tahun berikutnya. Putusan nafkah anak Nafkah untuk kebutuhan hidup, pendidikan dan kesehatan merupakan persoalan urgen yang dihadapi anak korban perceraian. Ancaman kemiskinan, putus sekolah, dan
kurangnya jaminan kesehatan dari orang tuanya yang telah bercerai membuat hak dasar anak kurang terjamin. Karena itu, dibutuhkan penegakan keadilan dari hakim peradilan agama yang berorientasi bagi kesejahteraan anak. Penegakan keadilan tersebut dapat diterjemahkan dengan menakar dan menyesuaikan peningkatan biaya kebutuhan anak seiring dengan pertambahan usia anak dari tahun ke tahun. Demi menjamin kesejahteraan anak pembebanan nafkah anak perlu memasukkan pertimbangan penambahan kenaikan 10% sampai dengan 20% setiap tahun dari jumlah yang ditetapkan. Tujuannya mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi nilai tukar mata uang. Pertimbangan tersebut sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 03 Tahun 2015 (SEMA 03/2015) tanggal 29 Desember 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Rapat pleno kamar merupakan salah satu instrumen menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Eksekusi nafkah anak Persoalan tuntutan nafkah anak masih mengandung beberapa problematika hukum yang perlu terus dicari jalan keluarnya. Kendati hakim telah menegakkan hak-hak anak dengan m e n gh u ku m aya h ka n d u n g nya memberikan nafkah kepada anak setiap bulan hingga anak tersebut dewasa/mandiri, namun kadangkala pembayaran nafkah tidak dijalankan atau hanya dilaksanakan sebagian. Akibatnya anak telantar dan kesejahteraannya kurang terjamin. Besarnya biaya eksekusi dibandingkan jumlah nafkah yang akan dieksekusi tentu menjadi dilema ya n g s a n ga t m e r u g i ka n ka u m perempuan yang menjadi pemegang hak asuh anak. Mereka memilih
Demi menjamin kesejahteraan anak pembebanan nafkah anak perlu memasukkan pertimbangan penambahan kenaikan 10% sampai dengan 20% setiap tahun dari jumlah yang ditetapkan. Tujuannya mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi nilai tukar mata uang. enggan mengajukan permohonan eksekusi dan pasrah pada nasib karena instrumen hukum belum sepenuhnya menjangkau persoalan tersebut. Padahal, akses keadilan bukan hanya berkutat pada proses awal peradilan, tapi sampai pada jaminan hukum pelaksanaan putusan pengadilan. Stijn Cornelis van Huis dari Van Vollen hoven Institute Universiteit Leiden, Belanda pernah melakukan penelitian di Pengadilan Agama Cianjur, Jawa Barat dan Pengadilan Agama Bulukumba, terkait pemenuhan hak-hak pascap erc era ia n . B erda sa rka n ha sil penelitiannya terdapat persoalan serius yang dihadapi perempuan dan anak. Dari rata-rata pembebanan nafkah anak yang berkisar antara Rp. 300 ribu sampai dengan Rp. 600 ribu perbulan, sebagian besar pihak yang dijatuhi pembebanan tidak mau melaksanakan putusan pengadilan agama (Stijn Cornelis van Huis, 2015). Padahal biaya eksekusi yang harus ditanggung lebih besar dari jumlah nafkah anak yang dibebankan. Persoalan ini memerlukan langkah strategis dan instrumen hukum yang memadai sehingga putusan pengadilan agama terkait pemenuhan hak-hak anak tidak hampa dan memiliki daya paksa bagi semua pihak.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
29
LAPORAN UTAMA Sebagai studi perbandingan, di Amerika Serikat pelaksanaan putusan nafkah anak menganut mekanisme lintas pelayanan antar lembaga yang terintegrasi. Jika orang tua menelantarkan dan tidak menjamin kesejahteraan anak korban perceraian maka risikonya tidak akan mendapatkan pelayanan publik. Di Australia perlindungan terhadap hakhak anak korban perceraian justru lebih terstruktur. Hak anak diurus oleh sebuah komisi khusus di pengadilan. Mrs. Diana Bryant, Chief Justice Family Court of Australia dalam peringatan 10 tahun kerjasama Mahkamah Agung RI dengan Family Court of Australia yang diselenggarakan pada tanggal 2 September 2015 di gedung Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Jakarta, menyatakan bahwa di Australia perlindungan anak korban perceraian diselesaikan terlebih dahulu oleh sebuah komisi di pengadilan bernama Department of Human Services-Child Support. Komisi tersebut menetapkan pihak yang bertanggungjawab mengasuh dan menanggung biaya hidup anak. Jika tidak ada pihak yang bertanggungjawab memenuhi hakhak anak, maka komisi di pengadilan memberikan rekomendasi kepada badan negara yang menanggung biaya hidup anak tersebut . Setali tiga uang, Pengadilan Keluarga di Belanda juga memiliki mekanisme dalam memenuhi hak anak korban perceraian. Sebelum m e n ga d i l i g u ga t a n p e rc e ra i a n pengadilan terlebih dahulu menetapkan pihak-pihak yang bertanggungjawab memelihara dan menanggung nafkah anak. Sehingga anak korban perceraian memiliki status hukum yang jelas oleh siapa ia diasuh dan siapa yang menjamin kehidupan serta kesejahteraannya. Barangsiapa menelantarkannya maka dikategorikan telah melakukan delik kekerasan dalam rumah tangga. Langkah strategis Dari ulasan tersebut di atas maka dalam mewujudkan pemenuhan hak-
30
hak anak korban perceraian di pengadilan agama diperlukan beberapa langkah strategis. Pertama, hakim dalam menerapkan hukum hendaknya jangan semata-mata sebagai corong undang-undang (Mertokusumo, 1996: 39). Sebab aturan perundang-undangan bukan sekadar kumpulan pasal-pasal mati yang diterapkan begitu saja pada sebuah kasus. Jika aturan perundangundangan telah nyata menghambat pemenuhan hak-hak anak, maka sudah sepatutnya aturan tersebut dikesampingkan karena tujuan (kepentingan anak) lebih diutamakan daripada sarana (undang-undang). Kedua, perlunya harmonisasi antar-peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan hakhak anak. Jika masih terdapat kontradiksi antar-peraturan maka kewajiban hakim untuk melakukan interpretasi sistematis dan interpretasi teleologis yang muaranya untuk melindungi hak anak. Ketiga, perlunya pelatihan hakim peradilan agama yang mengangkat isu perlindungan anak. Jika perlu, dilakukan sertifikasi hakim dengan spesialisasi mengadili sengketa hakhak anak. Keempat, pemangku kepentingan perlu melakukan kajian komparatif dengan negara-negara yang berhasil melakukan perlindungan dan jaminan hak-hak dasar anak yang menjadi korban perceraian orang tuanya. Tidak hanya menyangkut mekanisme pelaksanaan putusan tentang nafkah anak, tapi juga berkaitan dengan hakhak dasar lainnya seperti jaminan kesehatan yang menjadi wewenang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), atau hak pendidikan bagi anak. Sebagaimana diketahui, untuk dapat menikmati fasilitas BPJS Kesehatan dan sekolah yang ditanggung oleh pemerintah, maka seorang anak harus tertulis di dalam Kartu Keluarga, sebagai salah satu syarat administratif. Jika orang tua telah bercerai, maka daftar anggota keluarga dalam Kartu Keluarga pun berubah, sehingga perlu ditentukan dimana nama anak akan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
dicatat dalam Kartu Keluarga. Dengan demikian upaya negara melindungi anak-anak Indonesia dari perampasan hak-haknya dapat dihindari. |Achmad Fauzi, Edi Hudiata, Ahmad Zaenal Fanani, M. Isna Wahyudi, Achmad Cholil|
Daftar Bacaan Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2008. Ahmad Zaenal Fanani, Pembaruan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di Indonesia Perspektif Keadilan Jender, Yogyakarta: UII Press, 2015. Reza Indragiri Amriel, Ajari Ayah, ya Nak! Curhat seorang ayah tentang ketidakwajaran dan kemalangan hidup anak-anak, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2014. Stijn Cornelis van Huis, Islamic Courts and Women's Divorce Right in Indonesia; The Cases of Cianjur and Bulukumba, Belanda: Universiteit Leiden, 2015. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum; Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1996. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pelayanan Te r p a d u S i d a n g K e l i l i n g Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah, dan Akta Kelahiran. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam http://www.kpai.go.id/artikel/potret -kesenjangan-perlindungananak-dari-regulasi hinggaimplementasi/. Diunduh tanggal 31 Maret 2016.
FENOMENAL PUTUSAN JUDEX JURIST
n a i a m a d r e P n a t a k a p e s e K r a k a n e M a m a s r e B h u s A k a H g Tentan Hak pengasuhan bersama pasca perceraian yang tidak berorientasi pada kemaslahatan terbaik bagi anak, harus dibatalkan
H
ak pengasuhan anak (hadhânah/child custody) pasca perceraian merupakan salah satu aspek penting yang diatur oleh hukum. Dalam perspektif hukum perkawinan di Indonesia, pada prinsipnya kedua orangtua secara bersama-sama bertanggung jawab mengasuh anak, meskipun
perkawinan putus. Namun bila terjadi perselisihan di antara orangtua tentang hak asuh tersebut, maka pengadilan menetapkan salah satu orangtua sebagai pemegang hak asuh dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (for the best interest of the child) [Pasal 41 UU No.1 Tahun 1974].
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
31
FENOMENAL Klausula 'kepentingan terbaik bagi anak' dalam norma tersebut masih bersifat abstrak. Para penyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara umum telah memberikan patokan konkrit berdasarkan usia tertentu, dimana anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) lebih berhak diasuh ibunya, sementara bagi anak yang sudah mumayyiz dapat memilih antara bapak atau ibunya. Patokan hak asuh berdasarkan usia tersebut hanyalah norma umum, karena pada dasarnya anak dalam usia tersebut lebih membutuhkan peran ibu ketimbang bapaknya. Adapun n o r m a e k s e p s i o n a l nya , d a l a m Ko m p i l a s i H u k u m I s l a m j u g a ditetapkan bahwa hak hadhânah dapat dipindahkan kepada pihak lain bila pemegang hak hadhânah tersebut tidak mampu menjamin kemaslahatan lahir batin anak. Patokan tersebut semestinya tidak dibaca secara tekstual namun kontekstual. Disinilah kecermatan dan ketelitian hakim sangat diperlukan untuk mempertimbangkan berbagai aspek (filosofis, sosiologis, yuridis, psikologis, intelektual anak, dan sebagainya) ketika menentukan pihak yang lebih tepat memegang hak hadhânah agar kepentingan terbaik bagi anak tersebut terealisir. Dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi bapak untuk ditetapkan sebagai pemegang hak hadhânah bagi anak yang belum mumayyiz bila ternyata bapak lebih mampu mewujudkan kemaslahatan yang terbaik bagi anak. Berdasarkan hal tersebut, maka sebagian kritikan yang menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam cendrung memihak pada gender tertentu dalam hal hak asuh anak, adalah kurang tepat. Apabila ditelusuri ketentuan hukum tentang hak pengasuhan anak pasca perceraian di beberapa negara, terdapat dua tipe. Pertama, legal custody yaitu hak asuh terkait kewenangan salah satu atau kedua orangtua membuat keputusankeputusan penting mengenai
32
kebutuhan anak, seperti pendidikan, paham keagamaan, kesehatan, dan lain-lain. Tipe ini terbagi dua, yaitu (a) sole legal custody (satu orangtua memegang kewenangan penuh untuk menentukan kebutuhan terpenting bagi anak); dan (b) joint legal custody (kedua orangtua memiliki kewenangan yang sama untuk menentukan kebutuhan terpenting bagi anak). Kedua, physical custody yaitu hak p e n ga s u h a n s e c a ra f i s i k ya n g berkaitan dengan tempat tinggal anak pasca perceraian orang tuanya. Tipe ini terbagi tiga: (a) sole physical custody, yaitu anak bertempat tinggal bersama salah satu orangtua saja; (b) joint physical custody/dual custody/shared custody, anak tinggal berpidah-pindah dari ibu dan bapak secara bergantian dalam periode tertentu; dan (c) bird's nest custody, anak tetap tinggal di suatu tempat, kemudian ibu dan bapak dalam periode tertentu mendampingi secara bergantian (Yudi Hardoes: 2011: 3-7). Mayoritas putusan pengadilan agama tentang hak asuh anak menetapkan hak asuh tunggal (sole custody) dengan hak akses. Ketika terjadi sengketa di antara orangtua tentang hak asuh, maka pengadilan menetapkan salah satu orangtua sebagai pemegang hak asuh dengan tidak membatasi hak orangtua yang lain untuk bertemu guna mencurahkan kasih sayangnya demi kepentingan anak. Banyak sekali ditemukan putusan pengadilan tentang hal ini, baik pada tingkat judex facti maupun judex juris sehingga 'dapat' dikatakan telah menjadi yurisprudensi tetap. Meskipun demikian, terdapat pula beberapa pola lain yang ditentukan oleh kedua orangtua dengan kesepakatan. Percera ia n , terut a ma b a gi pasangan yang memiliki anak, bagaimanapun juga akan berimplikasi negatif pada kejiwaan anak. Perpisahan orangtua baik secara hukum maupun fisik tersebut dapat menimbulkan kegoncangan pada jiwa
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
anak. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir dampak negatif dari perceraian tersebut bagi anak, pada saat proses atau pasca perceraian, kedua orangtua di antaranya dapat membuat kesepakatan tentang hak pengasuhan anak agar anak memiliki kepastian hukum pasca perceraian orangtuanya terkait dengan tempat tinggal, biaya penghidupan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, dengan tanpa memutuskan hubungan anak dengan ibu dan atau bapaknya. Apabila kedua orangtua membuat kesepakatan perdamaian tentang hak asuh anak, baik yang dibuat dalam bentuk otentik maupun akta dibawah tangan, baik di depan atau di luar pengadilan, maka kesepakatan perdamaian tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma hukum, kesopanan dan kesusilaan (Pasal 1320 jo. 1337 KUHPerdata). Kesepakatan tersebut juga tidak boleh merugikan kepentingan anak yang notabene sebagai objek kesepakatan, karena anak bukanlah 'barang' yang dapat disetting sedemikian rigit-nya dengan mengabaikan perasaan, pikiran, dan kebahagiaannya. Sesuai dengan tema utama, rubrik judex juris kali ini mengangkat putusan kasasi Nomor 638 K/AG/2015, tanggal 30 September 2015, yang membatalkan kesepakatan perdamaian yang di dalamnya termuat hak pengasuhan bersama, dengan alasan bahwa di antara butir kesepakatan dinilai tidak berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak, bertentangan dengan hukum, dan tidak dapat dilaksanakan (eksekusi). Selain untuk membuka ruang diskusi lebih mendalam bagi para pembaca, rubrik ini diharapkan dapat m e n j a d i b a h a n p e r t i m b a n ga n , terutama bagi para hakim ketika memutus perkara hadhânah, juga tak kalah pentingnya bagi para mediator yang sangat berperan dalam menfasilitasi para pihak membuat kesepakatan perdamaian.
FENOMENAL Deskripsi Kasus Pemohon Kasasi (“DV”) adalah mantan istri dari Termohon Kasasi (“AD”) yang menikah sesuai ketentuan hukum Islam pada tanggal 24 Juni 2010. Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi memiliki dua orang anak berinisial “Sy” (lahir 20 Juli 2006; umur 8 tahun) dan “Nh” (lahir 16 Mei 2009; umur 5 tahun). Meskipun keduanya lahir sebelum pernikahan, namun oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah diajukan perkara voluntair permohonan p e n g e s a h a n a n a k b i o l o g i s ke pengadilan negeri, sehingga keluarlah produk pengadilan negeri berupa penetapan anak sah berdasarkan pengakuan anak. Penetapan pengadilan negeri tersebut untuk anak pertama ditetapkan tahun 2006 dan untuk anak kedua tahun 2011 (dalam masa perkawinan sah secara Islam antara “DV” dengan “AD”). Perkara ini berawal dari permohonan cerai talak yang diajukan oleh Pemohon (Termohon Kasasi) ke Pengadilan Agama Depok yang diku mula
sikan dengan akibat perceraian yang telah ada kesepakatan di antara para pihak di hadapan mediator di luar pengadilan, terkait dengan masalah hadhânah, nafkah anak, nafkah istri, dan mut'ah. Salah satu petitum permohonan tersebut menuntut agar pengadilan menghukum Termohon (Pemohon Kasasi) mematuhi kesepakatan yang telah ditandatangani oleh Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi tanggal 5 Mei 2014 terkait dengan akibat perceraian. Namun dalam gugatan baliknya, Termohon (Penggugat Rekonvensi) menuntut agar ditetapkan sebagai pemegang hak hadhânah dan menghukum Termohon Kasasi membayar biaya pengasuhan kedua anaknya. Termohon Kasasi (Pemohon) dalam tanggapannya menyatakan bahwa masalah pengasuhan anak telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak di depan mediator, oleh sebab itu harus dipatuhi dan tidak dapat dituntut lagi. Menurut Pemohon Kasasi (Termohon), kesepakatan tersebut tidak sah karena Termohon Kasasi lebih dulu tidak mematuhi isi perdamaian tersebut karena tidak pernah memberikan nafkah untuk kedua anaknya sesuai dengan isi kesepakatan. Oleh sebab itu Pemohon Kasasi (Termohon) menyatakan mencabut kesepakatan tersebut.
Terhadap tuntutan balik mengenai hak hadhânah tersebut, majelis hakim Pengadilan Agama Depok dengan P u t u s a n N o m o r 0343/Pdt.G/2014/PA.Dpk., tanggal 24 Juni 2014, setelah memutus pokok p e r k a r a k e m u d i a n mempertimbangkan (meski ada disenting opinion dari salah satu anggota majelis) bahwa point 4 kesepakatan bertanggal 5 Mei 2014 antara Tergugat Rekonpensi dan Penggugat Rekonpensi yang berbunyi: ”Para pihak setuju bahwa mereka akan memegang hak asuh hukum dan pengendalian bersama secara permanen terhadap anak-anak“ adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 29 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 105 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam serta bertentangan pula dengan fakta hukum bahwa antara Tergugat Rekonpensi dan Penggugat Rekonpensi akan melakukan perceraian dengan cerai talak, hal mana dengan peristiwa tersebut akan mengharus k a n Tergug at
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
33
FENOMENAL Rekonpensi dan Penggugat Rekonpensi melakukan perpisahan baik secara hukum maupun secara fisik. Oleh karena itu majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan point 4 Kesepakatan bertanggal 5 Mei 2014 tersebut tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata ayat (4) jo. Pasal 1337 KUHPerdata, sehingga harus dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan (periksa: Putusan PA, hal. 25-26). Dengan demikian, majelis hakim tingkat pertama berpendapat bahwa kesepakatan perdamaian yang telah dibuat para pihak, khususnya point 4 yang menyatakan hak pengasuhan bersama secara permanen bagi kedua orangtua yang telah bercerai adalah batal karena bertentangan dengan hukum. Adapun isi kesepakatan perdamaian yang lain, terkait dengan nafkah iddah, mut'ah, dan lain-lain tetap sah sehingga berlaku dan mengikat bagi kedua belah pihak. Pendapat majelis hakim tingkat pertama tersebut ternyata dibatalkan oleh majelis hakim tingkat banding dengan Putusan Nomor 227/Pdt.G/2014/PTA.Bdg., tanggal 20 Januari 2015. Majelis tingkat banding berpendapat bahwa kesepakatan perdamaian tentang hak pengasuhan b e r s a m a p a d a d a s a r nya t i d a k bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 huruf (a) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 105 huruf (a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam (periksa: Putusan PTA: hal. 7, alinea 2). Pendapat majelis hakim tingkat banding tersebut persis sama dengan pertimbangan anggota majelis yang membuat disenting opinion dalam perkara tersebut pada tingkat pertama. Dengan demikian, majelis hakim tingkat banding menyatakan sah seluruh isi kesepakatan perdamaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dan dalam amar putusan menghukum para pihak untuk mentaatinya.
34
Menarik sekali, di samping kedua putusan judex facti tersebut berbeda dalam menilai kesepakatan perdamaian, juga sama-sama tidak memuat secara lengkap isi kesepakatan perdamaian bertanggal 5 Mei 2014 di dalam putusan, baik dalam bagian duduk perkara maupun pertimbangan hukum dan amar. Kesepakatan itu hanya ditemukan dalam berita acara sidang sebagai salah satu alat bukti. Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menyatakan bahwa kesepakatan perdamaian bertanggal 5 Mei 2014 tersebut adalah tidak sah dengan alasan: (a) butir kesepakatan tentang hak pengasuhan bersama yang secara “rigit” mengatur tentang tempat tinggal anak secara berpindahpindah dari bapak dan ibunya dinilai tidak berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak; (b) terdapat kesepakatan yang tidak dapat dieksekusi; (c) terdapat butir kesepakatan yang bertentangan dengan norma agama seperti memutuskan hubungan silaturrahim dengan orang tertentu yang sifatnya mengharamkan sesuatu hal yang halal. Pada perkara tersebut, Mahkamah Agung menyatakan seluruh kesepakatan perdamaian itu batal karena di antara butir-butir kesepakatannya tidak memenuhi syarat-syarat sebuah kesepakatan (perjanjian) yang diatur dalam Pasal 1320 jo. 1337 KHUPerdata, yakni bertentangan dengan norma hukum, kesopanan dan kesusilaan. Menurut Mahkamah Agung, penetapan hak asuh secara permanen bersama-sama antara Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi tersebut bertentangan dengan undang-undang karena berakibat pada tidak adanya kepastian hukum bagi kedua anak tersebut dimana akan menetap dan bertempat tinggal. Padahal maksud dan tujuan dari pembuat undang-undang dalam memberikan hak kepada pengadilan untuk menetapkan hak hadhânah pada ibu atau bapak setelah bercerai
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi anak-anak bertempat tinggal setelah perceraian kedua orangtuanya. Ketidakpastian tentang tempat tinggal anak tersebut justru akan mengganggu psikologi anakanak dan kemashlahatan masa depan mereka. Lagi pula putusan tentang hadhânah ditetapkan secara bersamasama tersebut tidak akan bermanfaat karena tidak dapat dilaksanakan secara konkrit dan sulit untuk dieksekusi bila salah satu pihak melalaikan dan atau tidak melaksanakan amar putusan (lihat: Putusan Kasasi, hal. 15-16). Namun demikian, untuk memberikan rasa keadilan bagi Pemohon Kasasi selaku istri yang diceraikan, majelis kasasi dengan m e n ga d i l i s e n d i r i ( ex o f f i c i o ) menetapkan beberapa hak istri pasca perceraian yang secara substansi mengambil butir-butir kesepakatan yang dinilai tidak bertentangan dengan hukum serta memasukkannya ke dalam amar putusan. Analisis Berdasarkan deskripsi kasus tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu dianalisa baik secara formil maupun materil, antara lain: Kewenangan hakim menilai isi kesepakatan Dalam konteks kesepakatan perdamaian, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (sebelumnya Perma No. 1 Tahun 2008) telah memberikan pengaturan inovatif di dalam sistem hukum acara perdata, di mana para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh “akta perdamaian” dengan cara mengajukan gugatan.
FENOMENAL Lalu, apakah setiap perjanjian perdamaian yang diajukan melalui gugatan akan disahkan oleh majelis hakim? Perma tersebut mengatur bahwa perjanjian perdamaian hanya akan dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian jika memenuhi syaratsyarat: (a) sesuai kehendak para pihak; (b) tidak bertentangan dengan hukum; (c) tidak merugikan pihak ketiga; (d) dapat dieksekusi; (e) dengan iktikad baik. Kemudian ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu yang memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Salah satu syarat perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata tersebut adalah kausa yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan norma hukum, kesopanan dan kesusilaan. Kemudian untuk sahnya suatu kesepakatan, maka objek yang diatur dalam kesepakatan tersebut harus jelas, agar dapat dilaksanakan. Jadi, tidak boleh objek yang samar-samar. H a l i n i s a n ga t p e n t i n g u n t u k memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kesepakatan yang fiktif. Dengan demikian, tidak semua kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak dapat disahkan. Hakim berwenang menilai setiap butir kesepakatan tersebut agar tidak bertentangan dengan hukum dan dapat dilaksanakan. Apabila dalam suatu kesepakatan perdamaian terdapat sebagiannya yang bertentangan dengan hukum, nilai kesopanan dan kesusilaaan dan atau tidak dapat dilaksanakan, apakah hal itu membatalkan kesepakatan secara keseluruhan atau sebagian saja? Mencermati putusan kasasi tersebut, menurut penulis, pada dasarnya kesepakatan perdamaian merupakan representasi secara utuh dari keinginan kedua belah pihak
untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Oleh sebab itu, kesepakatan tersebut lahir karena para pihak merasa setiap butir dari kesepakatan telah dapat mewakili kepentingan masing-masing secara seimbang. Apabila salah satu dihilangkan, justru akan mengganggu stabilitas perjanjian secara keseluruhan, sehingga kesepakatan perdamaian harus dilihat secara utuh sebagai representasi dari kehendak ('hasil negosiasi') kedua belah pihak yang memotivasi mereka untuk mau menandatangani secara sukarela. Apabila salah satu butirnya dibatalkan, maka akan merusak keseimbangan yang lain. Menempatkan isi kesepakatan perdamaian dalam putusan Putusan judex facti (PA Depok dan PTA Bandung) sama sekali tidak memuat isi kesepakatan bertanggal 5 Mei 2014 tersebut secara lengkap, baik dalam bagian duduk perkara, pertimbangan hukum, maupun dalam amar putusan. Kesepakatan tersebut hanya ditemukan dalam berita acara sidang. Pertanyaannya adalah apabila para pihak tidak melaksanakan isi kesepakatan perdamaian tersebut, l a l u b a ga i m a n a m e l a ks a n a ka n eksekusi atas putusan tersebut? Bukankah yang akan dieksekusi oleh pengadilan adalah amar putusan? Sebagai contoh, bila dalam amar putusan tidak ditemukan amar condemnatoir, meskipun dalam pertimbangan hukum secara jelas telah ada pernyataan “menghukum”, eksekusi tetap tidak dapat dilaksanakan, karena yang dimohon untuk dieksekusi adalah amar putusan bukan pertimbangan hukumnya. Memang ada yang berpendapat bahwa isi kesepakatan perdamaian tidak perlu dimuat secara rinci dalam amar putusan. Namun Mahkamah Agung dalam salah satu putusan kasasinya (Putusan Nomor 798
K/Ag/2015, tanggal 23 Desember 2015) ternyata telah memperbaiki amar putusan judex facti yang tidak merinci isi kesepakatan perdamaian dalam amar putusan, dengan pertimbangan untuk memudahkan pelaksanaan putusan. Kewenangan Absolut Meskipun dalam perkara tersebut para pihak tidak mempersoalkan tentang status kedua anak yang menjadi objek kesepakatan karena dianggap telah sah secara hukum dengan penetapan pengadilan negeri, namun bila dicermati, masih menimbulkan beberapa persoalan, karena secara substansial kedua anak tersebut lahir di luar perkawinan dan minimal ketika mengajukan permohonan penetapan asal usul anaknya yang kedua, Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi telah beragama Islam. Lalu, kenapa dalam hal permohonan pengesahan anak, mereka lebih memilih pengadilan negeri daripada pengadilan agama? Apakah ini gejala bahwa masyarakat tidak percaya kepada pengadilan agama dalam hal penetapan pengesahan anak? Selain itu, sebelum keluarnya Putusan Makamah Konstitusi Nomor 18/PP.XI/2013, legislator memutuskan pula pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 tahun dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri, sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam prakteknya, secara substansial sama dengan penetapan asal usul anak. Padahal sejak semula nyata sekali merupakan kewenangan pengadilan agama, sebagaimana maksud Pasal 55 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Penjelasan Pasal 49 butir ke-20 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jis. Pasal 103 ayat (2) KHI.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
35
FENOMENAL Untuk itu, menurut penulis, dalam mengadili perkara penetapan asal usul anak tersebut, perlu sekali berorientasi kepada keadilan dan kemaslahatan anak, bukan kemaslahatan ayah atau ibu biologisnya. Kelihatannya, para ulama terdahulu sudah melakukan perlindungan terhadap anak tersebut dengan cukup baik. Ketika dalam pernikahan fâsid mereka sepakat menyatakan harus diulang, namun anak yang lahir akibat nikah fâsid dan watha` syubhat mereka sepakati sebagai anak sah (dinasabkan) dari ayah dan ibu biologisnya tersebut. Watha` syubhat itu pun cukup luas pula cakupannya. Jika persoalan itu terjadi perbedaan pendapat atau ada unsur syubhât yang mengakibatkan pelaku tidak dikenai hadd zina, maka berkategori watha` syubhât (al-Sayyid Sâbiq: 1983: 371. Al-Nawawi:1991: 99). Termasuk menetapkan asal usul anak temuan (laqîth). Bahkan sekelompok ulama, di antaranya 'Urwah bin al-Zubayr, Sulaymân bin Yasâr, 'Athâ` bin Abî Rabâh, 'Amr bin Dînâr, al-Hasan alBashrîy, Ibn Sirîn, Ishâq bin Rahawayh, al-Nakh'iy, Ibn Taimiyyah, dan Ibn alQayyim, berpendapat anak zina dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya dengan syarat ibu bilogisnya tidak sedang terikat firâsy; nikah atau perbudakan, dengan laki-laki lain (Yasin Nashir Mahmud al-Khathib: 1987: 340. Abdullah bin Muhammad al-Thayyar: 2012: 154). Perlu pengembangan kajian dengan perspektif kultur keindonesiaan dalam bidang ini. K a i d a h h u ku m P u t u s a n Mahkamah Agung RI Nomor 597 K/Ag/2015, tanggal 30 September 2015, dapat dijadikan salah satu rujukan untuk mengabsahkan anak dari pernikahan fâsid atau watha` syubhât. Kenapa pengadilan negeri mengabulkan permohonan penetapan asal usul anak yang bukan merupakan kewenangannya tersebut? Apabila
dilihat dari materi perkara, pengadilan negeri seharusnya menyatakan tidak menerima permohonan tersebut karena merupakan kewenangan absolut peradilan agama. Di sisi lain, bila para pihak tidak lagi mempersoalkan status anak tersebut, apakah majelis hakim berwenang menilai dan mempertimbangkan status anak tersebut yang senyatanya lahir di luar perkawinan yang sah tersebut. Menurut hemat penulis, sebelum menetapkan siapa yang berhak mengasuh anak, majelis hakim perlu mempertimbangkan terlebih dahulu status hukum anak tersebut, apakah anak sah atau bukan, dengan mengaitkannya pada penetapan pengadilan negeri tentang asal usul anak atau pengakuan anak tersebut. Kebetulan saja dalam putusan kasasi tersebut kedua anak ditetapkan pada ibu sehingga tidak ada pengaruhnya terhadap status hukum anak, baik sah ataupun tidak dalam kaitannya dengan hak pengasuhan. Kelihatannya Mahkamah Agung juga tidak menyentuh bagian ini karena memang tidak dipermasalahkan oleh kedua belah pihak. Namun bila dibandingkan dengan putusan lain yang terkait dengan hak anak biologis untuk mendapatkan hak keperdataan dari bapak biologisnya, hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam. Demikian beberapa aspek hukum yang dapat dipetik dari putusan judex juris tersebut, di samping penulis menyadari masih banyak hal-hal penting yang perlu digali dari putusan tersebut. Wallâh a'lam bi al-shawâb. |Yengki Hirawan|
Referensi Buku-Buku: Hardoes, Yudi, Menimbang Ulang Tipikal Hak Asuh Dan Kriteria Moral Pemegang Hadanah, Makalah: Badilag.net, 2011.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
al-Khathîb, Yâsîn Nâshir Maḥmûd, Tsubût al-Nasab; Dirâsah Muqâranah bayn al-Madzâhib alFiqhiyyah al-Arba'ah wa alZhâhiriyyah wa al-Zaydiyyah wa Ghayrihâ, Jeddah: Dâr al-Bayân al-'Arabî, 1987. al-Nawawî, Abû Zakariyyâ Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murâ, Rawdhah al-Thâlibîn wa 'Umdah al-Muftiyyîn, Beirut: al-Maktab al-Islâmî, 1991, Cet. Ke-3, Juz 4. Sâbiq al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1983, Cet. Ke- 4, Jil. 2. al-Thayyâr, 'Abdullâh bin Muhammad, dkk., al-Fiqh al-Muyassar, Riyadh: Madâr al-Wathan, 2012. Aturan Perundang-undangan KUHPerdata U U N o . 1 Ta h u n 1 9 7 4 te n t a n g Perkawinan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Putusan-putusan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 638 K/AG/2015, tanggal 30 September 2015 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 597 K/Ag/2015, tanggal 30 September 2015 Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 798 K/Ag/2015, tanggal 23 Desember 2015 Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor 227/Pdt.G/ 2014/PTA.Bdg., tanggal 20 Januari 2015. Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 343/Pdt.G/ 2014/PA.Dpk., tanggal 24 Juni 2014 Putusan Makamah Konstitusi Nomor 18/PP.XI/2013
FENOMENAL PUTUSAN JUDEX FACTI
Penolakan
Dispensasi Kawin Untuk Perlindungan Hak Anak
S
ejak Eglantyne Jeb mendeklarasikan 10 pernyataan hak – hak anak (Hak akan nama dan kewarganegaraan, hak kebangsaan, hak persamaan dan non diskriminasi, hak perlindungan, hak pendidikan, hak bermain, hak rekreasi, hak akan makanan, hak kesehatan dan hak berpartisipasi dalam pembangunan) pada tahun 1923, berbagai macam perkembangan hukum yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak-hak anak
terus berkembang hingga saat ini. Diikuti oleh Deklarasi Hak Anak oleh Liga Bangsa-bangsa pada tahun 1924, Deklarasi Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1989, termasuk dikeluarkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Indonesia, semakin mengukuhkan eksistensi hak-hak anak yang harus dilindungi
dan harus dipenuhi oleh semua pihak. Lembaga yudikatif, dalam hal ini Hakim-hakim yang berada dibawah Mahkamah Agung, termasuk didalamnya Hakim-hakim Peradilan Agama, merupakan ujung tombak jaminan pelaksanaan hak-hak anak yang telah dirumuskan dalam berbagai nomenklatur, untuk menjaga agar jangan sampai segala norma tentang perlindungan terhadap hakhak anak tersebut hanya menjadi macan diatas kertas.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
37
FENOMENAL Dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang Peradilan Agama, ada beberapa perkara yang sangat berkaitan erat dengan hak-hak Anak, diantaranya adalah perkara permohonan Dispensasi Kawin. Permohonan Dispensasi Kawin adalah sebuah perkara permohonan yang diajukan oleh pemohon perkara agar pengadilan memberikan izin kepada yang dimohonkan dispensasi untuk bisa melangsungkan pernikahan, karena terdapat syarat yang tidak terpenuhi oleh calon pengantin tersebut, yaitu pemenuhan batas usia perkawinan (19 tahun untuk laki-laki, dan 16 tahun untuk perempuan). Dalam memeriksa dan mengadili perkara dispensasi kawin, Hakim harus benar-benar menilik dan mempertimbangkan perkara dari berbagai segi, baik itu maslahat dan manfaat untuk anak jauh ke masa depan, perlindungan terhadap hakhak anak, perlindungan terhadap hak azasi manusia, termasuk pertimbangan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara dan melindungi hak anak tersebut. Hal ini dapat kita lihat dalam putusan perkara permoho
nan Dispensasi Kawin Pengadilan Agama Situbondo Nomor: 0 0 5 8 / Pd t . P / 2 0 1 5 / PA . S i t . ya n g amarnya menolak permohonan pemohon dispensasi kawin. Duduk Perkara Pe m o h o n p e rka ra a q u o berkehendak untuk menikahkan anak kandung Pemohon (perempuan) yang baru berumur 14 tahun 4 bulan dengan seorang laki-laki berumur 24 tahun yang berprofesi sebagai petani. Menurut pemohon, syarat-syarat untuk melaksanakan pernikahan tersebut, baik menurut ketentuan hukum Islam maupun peraturan perUUan yang berlaku telah terpenuhi, kecuali syarat usia bagi anak Pemohon yang belum mencapai umur 16 tahun. Pemohon juga mendalilkan bahwa pernikahan antara anak pemohon dengan calon suaminya tersebut sangat mendesak untuk tetap dilangsungkan karena keduanya telah bertunangan sejak setahun yang lalu dan hubungan keduanya sudah sedemikian
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
eratnya, sehingga Pemohon sangat kuatir akan terjadi perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam apabila tidak segera dilaksanakan; Sebagai tambahan data penguat permohonannya, pemohon memberikan keterangan tambahan tentang ketiadaan larangan untuk melakukan pernikahan antara anak pemohon dengan calon suaminya, juga anak Pemohon berstatus perawan dan telah akil baligh serta sudah siap untuk menjadi seorang istri dan/atau ibu rumah tangga, begitupun calon suaminya sudah siap pula menjadi seorang suami dan/ atau kepala rumah tangga serta telah bekerja sebagai petani dengan penghasilan tetap setiap harinya Rp. 40.000,(empat puluh ribu rupiah). Keluarga besar pemohon dan orang tua calon suami anak pemohon pun telah merestui rencana pernikahan tersebut dan tidak ada pihak keluarga lainnya yang keberatan atas berlangsungnya pernikahan tersebut.
FENOMENAL Pertimbangan Hukum Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Agama Situbondo mengambil batu uji Pasal 1 ayat (5) Undang Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia junto Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pertimbangan awal tentang pengkategorian usia anak pemohon, sehingga sampai pada kesimpulan bahwa anak pemohon masih tergolong “anak” dan belum dewasa. Majelis Hakim juga mengambil ketentuan Pasal 1 ayat (12) Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan menyebutkan bahwa anak Pemohon mempunyai hak asasi yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Majelis Hakim lagi-lagi mengambil UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Pasal 26 ayat (1) angka (3)) dalam menjabarkan kedudukan pemohon sebagai orang tua yang berkewajiban dan bertanggung- jawab untuk mengurus, memelihara, mendidik dan melindungi anak dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, minat dan bakatnya serta mencegah perkawinan di usia anak-anak. Pertimbangan ini diteruskan dengan menyatakan bahwa setiap orang tua atau walinya wajib memenuhi hak atas anaknya p e rl i n d u n ga n d a n d i b e s a rka n , dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan serta dibimbing kehidupannya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perUUan Pasal 52 dan Pasal 57 Undang- Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Dengan beberapa pertimbangan awal diatas, mendasarkan kepada UU Perlindungan Anak dan UU Hak Azasi Manusia, Majelis Hakim membuat kesimpulan awal bahwa kekuatiran Pemohon anaknya melanggar normanorma agama dan norma hukum
tersebut seharusnya diselesaikan dengan memberikan pemahaman yang benar kepada anaknya atas pergaulannya tersebut bukan dengan menikahkan anaknya tersebut yang masih berumur 14 (empat belas) tahun 8 (delapan) bulan. Selanjutnya, Majelis Hakim mempertimbangkan aspek kesehatan dan kematangan jiwa raga calon suami dan istri dengan mengutip prinsipprinsip yang terdapat dalam UU Perkawinan, juga penjelasan umum UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan nomor 4 huruf (d) yang menyatakan bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran dan resiko kelahiran yang tinggi. Pertimbangan tentang aspek kesehatan dan kematangan jiwa raga ini semakin dikuatkan oleh Majelis dengan mengutip surat An nisa' ayat 9 dan menyatakan bahwa ayat tersebut bersifat umum tidak secara langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia m u d a , d i b awa h ke te n t u a n U U Perkawinan akan menghasilkan keturunan yang dikuatirkan kesejahteraannya. Majelis Hakim menyelipkan beberapa pertimbangan tersendiri tentang sulitnya terwujud ketentraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih sayang apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya, karena kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam mengahadapi likaliku dan badai rumah tangga, dan Majelis sampai pada kesimpulan selanjutnya bahwa anak Pemohon terlalu muda untuk melangsungkan pernikahan yang bilamana diizinkan menikah dikuatirkan tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dan akan menimbulkan banyak mafsadat. Akhirnya, Majelis Hakim sampai pada kesimpulan akhir bahwa
permohonan Pemohon yang ingin menikahkan anaknya yang belum cukup umur karena takut anaknya melanggar norma agama dan hukum t e r nya t a t i d a k b e ra l a s a n d a n melanggar ketentuan undang- undang yang berlaku maka permohonan Pemohon harus ditolak; Kesimpulan Putusan Pengadilan Agama S i t u b o n d o N o m o r : 0058/Pdt.P/2015/PA.Sit. dalam perkara Dispensasi Kawin ini sangat kuat dalam konstruksi pertimbangan hukum, dan kaya dengan dasar hukum yang dipakai, tapi tidak alpa dengan pertimbangan aspek filosofis sebuah perkawinan. Amar sebuah putusan hanyalah kesimpulan dari sekian panjang dan tebalnya putusan, akan tetapi pertimbangan hukum yang metodis dan analitik merupakan mahkota dalam putusan tersebut. Disaat mayoritas pertimbangan hukum putusan perkara Dispensasi Kawin yang terdapat dilingkungan Peradilan Agama luput menjadikan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai salah satu batu uji perkara, putusan ini seakan memberikan warna baru dalam ranah p e r k a ra D i s p e n s a s i K a w i n d i lingkungan Peradilan Agama. Terakhir, anggapan banyak pihak bahwa perkara permohonan Dispensasi Kawin yang diajukan ke Pengadilan Agama pasti dikabulkan, juga asumsi bahwa dalam perkara voluntair hakim hanya berfungsi sebagai pengetok palu administrasi, mulai saat ini harus direvisi dan difikirkan ulang. |Ade Firman Fathony|
(Putusan dapat didownload di https://goo.gl/EHY6ji )
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
39
PERADILAN MANCANEGARA QATAR
HADHANAH DALAM HUKUM KELUARGA QATAR Dari Tradisional Ke Kodifikasi
40
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
PERADILAN MANCANEGARA Qatar merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim dengan sistem pemerintahan monarki tradisional. Mayoritas penduduk terkonsentrasi di Ibu Kota Negara yaitu Doha. Secara historis, Qatar merupakan wilayah kekuasaan Turki Usmani, tetapi pada tahun 1916 wilayah Qatar berada dalam perlindungan Inggris dengan tetap mengakui keluarga al-Thani sebagai p e n g u a s a nya . Pa d a t a n g g a l 3 September 1971 Qatar mendapatkan kemerdekaan dari Inggris. Dalam perkembangannya, Qatar berhasil memposisikan diri dalam deretan negara kaya di Timur Tengah. Dalam kajian sejarah hukum tradisi hukum maupun sumber hukum Islam, Qatar termasuk negara Islam y a n g d i p e r g u n a k a n . S t r u k t u r dengan latar belakang mazhab peradilan modern di Qatar mulai terbentuk sejak tahun 2003. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasan Kehakiman Nomor 10 tahun 2003, lembaga peradilan di Qatar terdiri dari tiga tingkat, yaitu tingkat pertama mahkamah ibtidaiyyah/the courts of first instance, peradilan tingkat banding mahkamah isti'nafiyyah/the courts of appeal dan peradilan tingkat kasasi yaitu mahkamah tamyiz/ the court of cassation. Pa d a t a h u n 2 0 0 4 , t e r j a d i perubahan sistem pemerintahan dengan lahirnya konstitusi pada bulan H a n b a l i . S i s t e m h u k u m y a n g Juni 2004 yang efektif pada bulan Juni berkembang tidak jauh berbeda t a h u n b e r i k u t n y a . K o n s t i t u s i dengan negara tetangganya seperti melindungi hak-hak sipil dan hak asasi Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab manusia, semua warga negara adalah yang nota bene menganut sistem sama dalam hak dan tugasnya. ke ra j a a n . S i s te m h u ku m ya n g Konstitusi memberikan kerangka berkembang pada negara-negara administrasi untuk tata negara. Sistem tersebut adalah hukum tradisional, pemerintahan didasarkan pada hukum tidak tertulis atau dengan kata prinsip pemisahan otoritas sesuai lain tidak menganut kodifikasi hukum d e n g a n ke t e n t u a n Ko n s t i t u s i . seperti pada beberapa negara Arab Kekuasaan legislatif dilaksanakan lainnya (Tahir Mahmood, 1987:14). melalui Dewan Syura, sedangkan Dalam beberapa dekade fikih Hanbali kekuasaan eksekutif dilaksanakan masih mendominasi referensi hukum oleh Emir, yang dibantu oleh Kabinet. terutama hukum keluarga (Abdullah Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh A. Ana'im, 2004:135). pengadilan yang mandiri dalam Sejalan dengan perkembangan menjalankan fungsi peradilannya. zaman dan perkembangan konstitusi Ko n s t i t u s i t e r s e b u t t e l a h negara Qatar, terjadi pergeseran membawa pada perubahan sistem
hukum. Pada tahun 2006 terjadi perubahan mendasar dalam tradisi hukum keluarga, yang semua bersifat tradisional beranjak pada kodifikasi hukum. Kerjasama Dua Mahkamah Agung Delegasi Mahkamah Agung RI dalam rangka penyempurnaan penyusunan Hukum Acara Ekonomi Syariah pada tahun 2011 berkunjung ke Qatar, karena disana diberlakukan sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan Islam sekaligus. Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, S.H.,M.H. pada tahun 2015 memimpin Delegasi mengunjungi Mahkamah Agung Qatar dalam rangka penguatan kerjasasama antar dua lembaga Mahkamah Agung dari dua negara. Pada awal tahun 2016 lalu Delegasi Mahkamah Agung Qatar melakukan kunjungan balasan dalam rangka menghadiri Sidang Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI, mendengarkan presentasi khusus dari Ketua Kamar Pembinaan MA RI Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., L.LM. tentang sejarah dan praktik mediasi di Indonesia, sekaligus melakukan pembahasan draft final Nota Kesepahaman antara dua lembaga Mahkamah Agung yang direncanakan akan ditandatangani di Doha pada beberapa waktu yang akan datang.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
41
PERADILAN MANCANEGARA
Hadhanah dalam Undang-Undang Qatar mengeluarkan UndangUndang Nomor 22 tahun 2006 tentang hukum keluarga qanun al-usrat. Penamaan hukum keluarga di Qatar menggunakan nama yang sama dengan hukum keluarga di Al-jazair yaitu Qanun al-Usrat tahun 1959. Hal ini berarti Qatar tidak mengikuti hukum keluarga yang telah lama berlaku di negara Turki, huquq ala'ilah (1917) atau yang baru-baru ini ditetapkan di Mesir qanun al-ahwal alsyakhsiyyah (2000). Hukum keluarga Qatar (UU 22/2006) terdiri dari 301 pasal yang terbagi pada lima bagian (kitab). Kitab pertama membahas perkawinan dan terakhir membahas warisan. Kitab ketiga terdiri dari ahliyah wal wilayah dan keempat hibah dan wasiat. Pembahasan hadhanah berada pada bagian kedua yaitu membahas tentang perceraian. Hadhanah dibahas pada Pasal 163 s/d 188. Uraian ini terlihat lebih luas pembahasannya bila dibandingkan dengan KHI yang hanya membahas hadhanah pada pasal 98-
42
106 dan pasal 156. Pasal 165 menyatakan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak termasuk di dalamnya pendidikan, pertumbuhan yang tertumpu pada kemaslahatan anak. Pemeliharaan anak dibatas dengan umur, bagi anak laki-laki 13 tahun dan anak perempuan 15 tahun. Ketentuan ini tidak menghalangi hakim untuk menyimpanginya selama disebutkan alasan hukum yang jelas dalam putusannya. Masa hadhanah tersebut dapat diperpanjang jika keadaan menghendaki demikian. H u ku m ke l u a rga d i Q a t a r memberikan peluang yang besar kepada hakim untuk menentukan siapa yang berhak memegang hak hadhanah. Kepentingan bagi si anak the best interest of child menjadi pertimbangan penting untuk hakim dalam memutuskan pemegang hak hadhanah. Bila dibandingkan dengan KHI, pengaturan hadhanah dalam hukum keluarga Qatar lebih spesifik baik ditinjau dari tata urutan pemegang hak hadhanah maupun kualifikasi
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
(syarat-syarat) pihak yang berhak atas hadhanah. M e n u r u t Ly n n We l c h m a n (2010:10), dalam tradisi hukum negara-negara teluk, secara umum pengasuhan anak terbagi dalam dua jenis yaitu custodian dan guardian. Jenis yang pertama lebih menunjukkan tanggung jawab secara psikologis karena berhubungan dengan pengasuhan dari anak kecil hingga dewasa. Sedangkan guardian cenderung pada tanggung jawab finansial, pendidikan, perumahan dan yang lainnya. Oleh karena itu, custodian menjadi hak seorang ibu, sedangkan guardian menjadi tanggung jawab ayah. Setelah masa hadhanah/ costody berakhir, kewenangan sepenuhnya menjadi tanggung jawab ayah. Seperti halnya di Qatar, hak pengasuhan seorang ibu terhadap anak perempuannya menjadi hilang setelah anak perempuan tersebut melewati usia 13 tahun (Musawah, Februari 2014).
PERADILAN MANCANEGARA Salah satu keistimewaan hadhanah di Qatar dapat dilihat dari penentuan masa hadhanah dengan mempertimbangkan jenis kelamin. Di beberapa negara Timur Tengah, hadhanah tidak ditentukan berdasarkan usia saja, tetapi juga ditinjau dari jenis kelaminnya. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang membatasi usia hadhanah hingga 12 tahun tanpa memandang jenis kelamin anak yang diasuh (Pasal 105 KHI). Di Qatar dan di beberapa negara lainnya seperti di Uni Emirat Arab, anak perempuan diasuh hingga usia 13 tahun dan anak laki-laki hingga a n a k 1 2 t a h u n . B a h ra i n j u g a menetapkan pengasuhan anak tidak hanya berdasarkan usia tetapi dengan mempertimbangkan jenis kelamin, anak laki-laki diasuh hingga 15 tahun dan perempuan hingga 17 tahun (Lynn Welchman, 2010:11). Hadhanah Antara Fikih dan Undang-Undang
mengenai bab man ahaqqu bikafalat tifhl dan dalam pembahasannya makna kafalah disandingkan dengan makna hadhanah. Nampaknya pergeseran makna ini juga dipengaruhi oleh perkembangan fikih kontemporer, yang lebih banyak mempergunakan kafalah dalam bidang ekonomi dibandingkan mempergunakannya dalam hukum keluarga (Kaludzani, 2004:500). Perbedaan lainnya terdapat pada daftar urutan pemegang hak hadhanah. Beberapa pendapat ulama mazhab Hanbali menyatakan bahwa pemegang hak hadhanah adalah ibu, ibunya ibu kemudian ayah lalu ibunya ayah. Dalam hukum keluarga Qatar telah terjadi perubahan ketentuan tersebut, pemegang hak hadhanah adalah ibu, kemudian ayah berikutnya adalah ibunya ayah (Pasal 169). Ketentuan hadhanah di Qatar terlihat lebih realistis bila dibandingkan dengan fikih klasik, yang menempatkan garis keturunan ibu sebagai pemegang hak hadhanah sebelum pihak ayah. Selama ini, sengketa pemeliharaan anak terjadi antara pihak ibu atau ayah si anak, dan hakim akan menentukan apakah ayah atau ibu yang berhak atas hadhanah, bukan menentukan pihak lain di luar subyek yang bersengketa seperti ibunya ibu atau garis keturunan ibu lainnya. Bila dibandingkan dengan hadhanah yang diatur dalam KHI (Pasal 156), nampaknya KHI masih “terbelenggu” dengan sistem fikih konvensional yang meletakkan daftar urutan hadahanah mulai dari ibu, garis keturunan ibu baru kemudian ayah.
Jika dilakukan komparasi antara f i k i h m a z h a b H a n b a l i d e n ga n ketentuan hadhanah yang terdapat dalam hukum keluarga, terdapat pergeseran yang cukup jauh. Kuat dugaan hal ini terjadi karena sistem hukum Qatar yang sudah modern, beranjak dari sistem tradisional ke sistem kodifikasi. Di sisi lain, Qatar telah menunjukkan perhatiannya terhadap hak-hak anak sejak tahun 1995, di mana pada tahun tersebut Qatar meratifikasi konvensi internasional tentan hak anak Convention on the Rights of the Child (CRC) (Unicef,Oktober 2011). Diantara perbedaan ketentuan Hadhanah dalam Putusan Hakim hadhanah antara mazhab Hanbali Eksistensi lembaga peradilan dengan hukum keluarga di Qatar adalah berkenaan dengan usia dalam menyelesaikan sengketa hak h a d h a n a h d a n i s t i l a h y a n g asuh anak dapat dilihat pada putusan dipergunakan. Dalam beberapa kitab pengadilan tingkat kasasi (mahkamah fikih Hanbali, makna hadhanah tamyiz). Dalam persidangannya disandingkan dengan makna kafalah tanggal 6 Juni 2006, terhadap putusan seperti dalam karya Ahmad bin Hasan banding Nomor 30 tahun 2006 telah al-Kaludzani (436-520H) dijelaskan membuat sebuah aturan hukum
berkenaan dengan hadhanah. Secara materiil, putusan ini bersesuaian dengan hukum keluarga yang ditetapkan pada tahun yang sama yaitu UU No. 22 tahun 2006 yang ditetapkan pada tanggal 29 Juni 2006. Putusan majelis tingkat kasasi tersebut telah menggariskan asas hukum dalam penyelesaian sengketa hak asuh anak, bahwa pengasuhan anak ditetapkan berdasarkan asas kemaslahatan bagi si anak. Penentuan pihak yang berhak dan masa berakhirnya hadhanah harus didasari oleh nilai kepentingan bagi anak. Diantara pertimbangan putusan tersebut, hakim menegaskan bahwa para fuqaha tidak mendapatkan kata sepakat mengenai batasan umur, oleh karenanya pembatasan umur tersebut harus d i p e r t i m b a n g k a n b e rd a s a r k a n kemaslahatan si anak. |Sugiri Vermana, Mahrus AR|
Daftar bacaan http://www.sjc.gov.qa/Portal_1/ahka m/detailspage.aspx?slno=317&g cc=1&subcode=7849 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi, Academy of Law and Religion, 1987. Abdullah A. Ana'im, Islamic Family Law in a Changing World : A Global Resource Book,London, Zed Books, 2004. Musawah, “Musawah List of Issues and Questions” on Article 16: Qatar, 57 cedaw session, Februari 2014,. Lynn Welchman, Bahrain, Qatar, UAE: First time Family Law Codifications in Three Gulf States, published in the International Survey of Family Law 2010 edition (gen. Ed Bill Atkin (July 2010). Unicef, “QATAR MENA Gender Equality Profile”, Oktober 2011 Ahmad ibn Hasan al-Kaludani, alHidayah,Kuwait: Gharas,2004.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
43
PERADILAN MANCANEGARA AUSTRALIA
Penyelesaian Sengketa Hak Asuh di Pengadilan Keluarga Australia Dalam membuat putusan terkait pengasuhan anak, pengadilan harus menempatkan kepentingan terbaik anak sebagai pertimbangan utama. Bagaimana kepentingan terbaik anak diukur dan dicapai oleh Pengadilan Keluarga Australia?
44
S
alah satu persoalan yang kerap muncul setelah terjadinya perceraian pasangan suami isteri adalah masalah pengasuhan anak. Meskipun pada pokoknya yang dipersoalkan adalah dengan siapa anak akan tinggal di antara kedua orang tuanya yang telah bercerai, namun implikasinya seringkali tidak sesederhana itu. Di luar aspek-aspek yang bersifat hukum, pengasuhan anak juga melibatkan hal-hal yang bersifat psikologis bagi anak, jaminan keberlangsungan kehidupan anak secara ekonomi, dan bahkan pergaulannya secara sosial, setidaknya terkait dengan keluarga besar ayah dan ibunya (extended
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
family). Kenyataan ini menuntut hakim bekerja ekstra keras untuk melakukan pemeriksaan dan membangun argumentasi putusan yang dapat memberikan sebesarbesarnya manfaat bagi anak. Pengadilan Keluarga Australia (Family Court of Australia) memiliki pendekatan yang khas terkait dengan penyelesaian sengketa hak asuh anak, mulai dari pemenuhan persyaratan sebelum sebuah perkara didaftarkan di pengadilan (pre-action requirements) hingga penanganannya ketika telah menjadi perkara di pengadilan. Rubrik Mancanegara kali i n i a k a n m e n c o b a m e l a ku k a n penelusuran terhadap hal tersebut.
PERADILAN MANCANEGARA Amandemen Hukum Keluarga Tahun 2006 Milestone penting terkait dengan pengasuhan anak di Australia terjadi pada tahun 2006. Ketika itu hukum keluarga (Family Law Act 1975) diamandemen khususnya terhadap ketentuan-ketentuan mengenai pengasuhan anak. Menurut Beatrice Melita, s e t i d a k nya t e rd a p a t 5 ( l i m a ) p e r u b a h a n d a l a m p e n g a t u ra n pengasuhan anak dilakukan melalui amandemen tersebut. Pertama, perubahan peristilahan (terminology). Kedua, dimasukkannya praduga (presumption) dalam mendefinisikan keadaan. Ketiga, perubahan terhadap hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kepentingan terbaik anak (best interest of the child). Keempat, perubahan tentang tata cara kasus-kasus anak diperiksa dan dikelola oleh Pengadilan Keluarga. Kelima, perubahan aturan-aturan pembuktian dalam kasus-kasus anak (https://www.psychology.org.au). Jika sebelumnya istilah-istilah terkait anak menggunakan istilah perwalian (guardianship), hak asuh dan hak kunjung (custody and access), dalam amandemen ini istilah-istilah tersebut tidak lagi ada. Istilah perwalian digantikan dengan istilah tanggung jawab jangka panjang (long term responsibility), tempat tinggal (residence) sebagai arti yang melekat pada hak asuh diganti dengan “tinggal bersama” (to live with), istilah kontak (contact) sebagai bagian dari hak kunjung diganti dengan istilah menghabiskan waktu bersama (to spend the time with) dan berkomunikasi (to communicate with). Perubahan-perubahan istilah tersebut kecuali memperjelas makna dan bentuk yang dimaksud dari istilah sebelumnya, pada sisi yang lain dinilai sebagai pencitraan yang lebih positif. Di Amerika Serikat, Constance Ahrons dalam masterpiece-nya Good Divorce melakukan hal serupa dengan memilih
menggunakan binuclear family (dua keluarga inti) untuk menggambarkan pasangan yang telah berpisah terkait dengan anak-anak mereka. Dengan terminologi tersebut Ahrons ingin menggambarkan bahwa meskipun telah terjadi perceraian, mantan pasangan tetaplah keluarga terkait dengan anak, sehingga keluarga inti yang dahulunya terdiri dari ayah, ibu dan anak terbelah menjadi dua keluarga inti yang diistilahkan dengan binuclear family. Asas Praduga dan Kepentingan Terbaik Anak M e s k i p u n p a d a p e ra t u ra n perundang-undangan sebelumnya asas kepentingan terbaik anak telah diatur, namun pengaturannya belum rinci dan penafsirannya diserahkan kepada hakim. Beberapa preseden cukup banyak diacu sebagai penafsiran atas asas tersebut. Dalam undang-undang yang baru, kepentingan terbaik anak dalam kasus sengketa hak asuk dikonstruksi secara bertahap dan dinilai berdasarkan parameter yang jelas. Tahap pertama dari konstruksi hak asuh anak adalah praduga bahwa setelah perceraian terjadi pengasuhan yang dilakukan secara bersama-sama
(shared parenting) oleh kedua orang tua dipandang paling dekat merefleksikan makna asas kepentingan terbaik. Praduga ini dibangun diatas pemikiran keniscayaan kebutuhan anak terhadap orang tua dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Anak tetap membutuhkan peran dan perhatian kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai. Pada sisi yang lain, kedua orang tuanya tetap memiliki tanggung jawab terhadap anak-anaknya meskipun mereka sudah tidak lagi dalam ikatan perkawinan. Asas praduga ini diterapkan baik pada tahap persidangan maupun sebelum sengketa didaftarkan menjadi sebuah perkara di pengadilan. Sebelum ke pengadilan, kedua orang tua diharuskan untuk berusaha menyelesaikan masalah pengasuhan anak di luar pengadilan dengan cara melalukan mediasi pada mediator keluarga yang bersertifikat. Upaya penyelesaian di luar pengadilan ini bersifat wajib dengan pengecualian jika dalam riwayat pengasuhan terdapat kekerasan yang berpotensi mengancam keselamatan jiwa anak. Dalam mediasi di luar pengadilan, refleksi dari asas praduga ini adalah kemestian terlebih dahulu untuk menegosiasikan soal kemungkinan untuk melakukan pengasuhan bersama. Pembahasannya meliputi dengan siapa anak akan tinggal, pembagian alokasi waktu anak-anak bersama kedua orang tuanya secara bergantian, pembagian alokasi tanggung jawab terhadap anak, pembahasan mengenai komunikasi dan alokasi waktu anak bersama keluarga besar ayah dan ibu, kesepakatan mengenai partisipasi orang tua dalam pengambilan keputusan mengenai anak, mendampingi anak dalam berbagai kesempatan dan lain-lain yang terkait kepentingan anak.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
45
PERADILAN MANCANEGARA Menimbang Kepentingan Terbaik Anak dalam Putusan Di Pengadilan Keluarga Australia, putusan tentang hak asuh anak bukan sekedar menentukan dengan siapa anak akan tinggal, melainkan juga menyangkut hal-hal lain yang berkenaan dengan pengasuhan anak. Seperti halnya cakupan mediasi sebagaimana diuraikan sebelumnya, putusan tentang pengasuhan anak (parenting order) dapat meliputi: (1) dengan siapa anak akan tinggal; (2) berapa alokasi waktu yang diberikan kepada masing-masing orang tua dan ke l u a r g a l a i n nya ; ( 3 ) a l o k a s i pembagian tanggung jawab masingmasing orang tua; (4) Bagaimana anak-anak akan menghabiskan waktu dan berkomunikasi dengan orang tua yang tidak tinggal dengan anak-anak; (5) aspek-aspek lain terkait dengan p e rh a t i a n , ke s e j a h te ra a n , d a n perkembangan anak. Seperti halnya pada tahap mediasi, putusan tentang pengasuhan anak juga terlebih dahulu harus mempertimbangkan kemungkinan anak diasuh secara bersama-sama oleh kedua orang tuanya. Jika setelah dipertimbangkan ternyata kemungkinan itu tidak bisa dilaksanakan, barulah hakim mempertimbangkan siapa yang lebih memungkinkan untuk melakukan pengasuhan anak. Namun demikian, hak-hak dan kewajiban orang tua yang tidak tinggal bersama anak tetap dipertimbangkan sehingga anak tetap memiliki komunikasi dengan orang tuanya dan orang tuanya memiliki kontribusi terhadap perkembangan anaknya. Dalam menentukan kepentingan terbaik bagi anak, Hakim harus membuat pertimbanganpertimbangan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Amandemen Hukum Keluarga menentukan dua jenis pertimbangan, yakni pertimbangan utama (primar y considerations) dan pertimbangan tambahan (additional considerations). Pertimbangan utama setidaktidaknya berisi 3 (tiga pertimbangan), yakni: (1) manfaat memiliki hubungan
46
yang berarti (meaningful relationship) dengan kedua orang tua bagi anak; (2) perlunya melindungi anak-anak dari bahaya fisik dan psikis, baik berupa penelantaran dan/atau kekerasan dalam keluarga; dan (3) memberikan penekanan lebih besar kepada perlindungan anak dari bahaya. Sedangkan pertimbangan tambahan meliputi aspek-aspek yang sangat beragam, diantaranya: (1) Pandangan anak-anak dan faktor-faktor yang berkemungkinan mempengaruhi padangan mereka, seperti tingkat kedewasaan dan pemahaman; (2) Hubungan anak-anak dengan masing-masing orang tua dan orang lain, seperti kakek-nenek dan keluarga lainnya; (3) Kesediaan dan kemampuan masing-masing orang tua untuk memfasilitasi dan mendorong hubungan yang dekat dan berkelanjutan antara anak dengan orang tua lainnya; (4) Dampak yang mungkin terjadi akibat perubahan keadaan, termasuk perpisahan dengan salah satu orang tua atau orang yang pernah tinggal bersama anak, seperti kakek-nenek dan keluarga lainnya; (5) Kesulitan praktis dan biaya anakanak menghabiskan waktu dan berkomunikasi dengan salah satu orang tua; (6) Kemampuan masing-masing orang tua untuk menyediakan kebutuhan anak; (7) Kedewasaan, jenis kelamin, gaya
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
hidup dan latar belakang anak; (8) Perilaku masing-masing orang tua terhadap anak dan tanggung jawabnya selaku orang tua; (9) Adanya kekerasan dalam rumah tangga yang melibatkan anakanak atau keluarga anak-anak tersebut; (10) Ada atau tidaknya putusan pengadilan terkait kekerasan rumah tangga terhadap anak atau keluarga anak; (11) Dampak putusan terhadap kemungkinan munculnya gugatan lain terkait anak di belakang hari; (12) Fakta-fakta atau keadaankeadaan lainnya yang dipandang penting oleh Pengadilan; Beberapa Contoh Putusan Bagaimana bentuk konkret penyelesaian sengketa hak asuh anak di Pengadilan Keluarga Australia sebagaimana diuraikan diatas, berikut ini diketengahkan sebuah contoh putusan pengadilan terkait hal tersebut, yakni perkara Stephanopoulos & Stephanopoulus bernomor [2016] FamCA 65 yang diputus pada tanggal 11 Februari 2016. Dalam amar putusannya hakim menyatakan bahwa ibu dan bapak memiliki tanggung jawab bersama secara seimbang (equal shared parental responsibility) terhadap anak pertama yang lahir pada tahun 2004 dan anak kedua yang lahir pada tahun 2007.
PERADILAN MANCANEGARA Sehari-harinya anak-anak akan tinggal bersama dengan ibunya. Sementara bapaknya akan menghabiskan waktu bersama anakanak pada waktu-waktu yang telah disepakati secara tertulis oleh bapak dan ibu. Pengadilan kemudian menyebut secara rinci waktu-waktu yang dimaksud. Selain itu, amar putusan juga menyebutkan bapak dan ibu memiliki kebebasan untuk menghadiri
kegiatan-kegiatan penting bagi kesejahteraan anak, seperti kegiatan pendidikan, keagamaan, olahraga, kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan lain yang menghendaki kehadiran kedua orang tuanya. Hakim juga menetapkan bahwa bapak dan ibu harus memfasilitasi anak-anak untuk berkomunikasi dengan orang tua lainnya manakala mereka sedang bersama satu orang tuanya. Untuk sampai kepada penjatuhan amar tersebut, Hakim selain mendengarkan kedua orang tua, juga mendengarkan pengacara anak yang ditunjuk oleh pengadilan. Di Pengadilan Keluarga Australia, anak bukanlah objek yang didudukkan secara pasif ditengah perebutan kedua orang tuanya. Anak juga menjadi pihak dalam perkara yang diwakili oleh Pengacara Anak Independen
(Independent Children's Lawyer - ICL) yang secara khusus ditunjuk oleh pengadilan. Keadaan ini memungkinkan “suara anak” didengarkan secara khusus oleh pengadilan. Selain mendengarkan ketiga pihak, Hakim juga mendengarkan laporan-laporan dari pihak-pihak lain yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa asuh anak. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah konsultan keluarga dari Program Responsif Anak (Child Responsive Program) dan psikolog. Mereka ini oleh Hakim dilibatkan untuk menelaah kondisi psikologis bapak, ibu dan anak sekaligus, sehingga dapat diketahui sejauhmana kenyamanan dan keamanan interaksi masingmasing. Setelah menguraikan keterangan semua pihak yang diperlukan tersebut, barulah Hakim mengkonstruksi ketentuan-ketentuan normatif mengenai pengasuhan anak, yang umumnya diambil dari ketentuan perundang-undangan dan yurisprudensi-yurisprudensi terkait. Biasanya dari yurisprudensi diambil tafsiran dari istilah-istilah tertentu yang tidak cukup dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam perkara ini misalnya, Hakim memuat yurisprudensi yang menjelaskan makna hubungan yang berarti (meaningful relationship) dari putusan perkara Mazorski & Albright [2007] FamCA 520 yang diperkuat dengan putusan perkara McCall & Clark [2009] FLC 93-405. Semua keterangan yang dikemukakan para pihak kemudian dikonstruksi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi sebelum akhirnya Hakim mengemukakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan secara khusus terkait dengan perkara ini. Pertimbangan-pertimbangan diuraikan secara runtun mulai dari pertimbangan utama hingga pertimbangan-pertimbangan tambahan sebagaimana diuraikan diatas. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang kemudian mengantarkan
Hakim sampai pada kesimpulan yang kemudian dikonstruksi dalam amar putusan. Yang menarik, amar putusan (Orders) selalu ditempatkan di bagian awal putusan sementara pertimbangan-pertimbangan pengadilan menjatuhkan amar tersebut (Reasons for Judgements) diletakkan setelah amar. Seperti halnya putusan-putusan pengadilan di Indonesia, putusan dimulai dari penjelasan deksriptif tentang duduknya suatu perkara hingga menyasar pertimbanganpertimbangan pengadilan terhadap suatu perkara. Beberapa Pembelajaran Penting Menelusuri pendekatanpendekatan yang dilakukan oleh Pengadilan Keluarga Australia dalam menyelesaikan sengketa hak asuh anak, setidaknya menyiratkan dua pembelajaran penting. Pertama, perkara hak asuh anak merupakan perkara yang kompleks, yang tidak hanya mempersoalkan masalah hukum semata, melainkan dibalut dengan persoalan psikologis, ekonomi dan sosial, sehingga memerlukan pendekatan yang komprehensif untuk menanganinya. Persyaratan penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi memiliki kontribusi yang penting dalam mendorong ittikad baik para pihak untuk membangun pola hubungan yang lebih komunikatif dan responsif terkait dengan anak. Kedua, asas kepentingan terbaik bagi anak sebagai pilar penting pengarus-utamaan kebijakan (mainstreaming policy) tentang anak di berbagai sektor oleh peraturan perundang-undangan telah diuraikan sedemikian rupa sehingga cukup memberikan panduan bagi pengadilan untuk menerapkannya dalam konteks penyelesaian sengketa hak asuh anak. Pengaturan ini pada akhirnya dapat mengurangi disparitas putusan dalam perkara yang sama. |Mohammad Noor|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
47
Duka Cita Sedalam-dalamnya ATAS WAFATNYA
IBU RUBIYATI ABDUL MANAN
(ISTRI KETUA KAMAR PERADILAN AGAMA PROF. Dr. H. ABDUL MANAN, S.H., S.Ip, M.Hum.)
SEMOGA AMAL IBADAHNYA DITERIMA DI SISI ALLOH SWT.
OPINI
PERLINDUNGAN ANAK DALAM NORMA HUKUM KELUARGA Oleh: Rita Pranawati, MA (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Pengasuhan dan Sekretaris KPAI) Pendahuluan
P
erceraian adalah perkara halal, namun dibenci Allah. Itulah doktrin Islam yang ada dalam kehidupan seorang muslim. Ternyata doktrin itu tidak cukup kuat untuk menekan tingginya angka perceraian di Indonesia. Sah saja jika pasangan suami istri mengambil keputusan untuk bercerai sebagai jalan keluar dari masalah keluarga yang mereka hadapi. Namun sayangnya persoalan perceraian sering dianggap sebagai domain orang dewasa semata. Padahal dalam perceraian, jika sudah memiliki anak, maka anak menjadi pihak yang paling rentan menghadapi masalah jika orang tua yang bercerai tidak bijak dalam berdialog soal masa depan anak. Perceraian di Indonesia pada tahun 2010-2014 mencapai 15 persen.¹ Jika terjadi 200 ribu perceraian dengan asumsi satu keluarga satu anak, maka akan ada dua ratus ribu anak yang terdampak oleh perceraian. Belum lagi data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI menyebutkan, dari total kasus perceraian yang sampai di Mahkamah Agung, hanya 25 persen yang secara serius memuat putusan tentang hak asuh anak, yang lainnya ¹ Kasus Perceraian Meningkat, 70% diajukan Istri, Selasa 30 Juni 2015 http://health.kompas.com/read/2015/06/30/151500123 /Kasus.Perceraian.Meningkat.70.Persen.Diajukan.Istri, diakses 30 Agustus 2015
putusan soal anak hanya menjadi putusan yang sifatnya asesoris.² Ada dua kemungkinan dalam hal ini, orang tua yang bercerai sudah menyelesaikan atau sebaliknya orang d e wa s a h a nya m e n g u t a m a k a n penyelesaian perceraian sedangkan urusan anak belum menjadi pembahasan antara keduanya. Banyak studi ilmiah menyebut setiap perceraian sedikit banyak akan tetap mempengaruhi tumbuh kembang anak. Hampir semua anak tidak menginginkan orang tuanya berpisah. Jika mereka memiliki saudara pun mereka sangat berharap tidak dipisahkan dari saudaranya. Kondisi keterpisahan dan ketidaksesuaian harapan ini pun sangat mempengaruhi kondisi psikologis anak. Belum lagi kuantitas dan kualitas kasih sayang yang kemungkinan besar berkurang karena kondisi dan situasi keluarga yang berubah. Usaha yang dapat dilakukan diantaranya adalah dengan menguatkan itikad baik kedua orang tua untuk mengurangi risiko anak dari perceraian orang tua. Perlindungan anak dalam situasi orang tua berpisah merupakan hal yang sangat penting. Perspektif perlindungan anak dalam proses peradilan yang berdampak pada anak perlu untuk memperhatikan prinsip
² Edi Riyadi, Perceraian di Indonesia, 2015, makalah dipresentasikan di KPAI
perlindungan anak sebagaimana termaktub dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 2. Prinsip tersebut adalah non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Pada prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak misalnya, masing-masing pihak sering merasa bahwa yang mereka inginkan adalah yang terbaik bagi anak meskipun pada realitasnya hal itu hanya ego masing-masing pihak. Oleh karenanya, membangun perspektif perlindungan anak untuk anak dalam situasi orang tua yang berkonflik sangat dibutuhkan agar masa depan anak tetap terjamin. Tulisan ini akan menguraikan harapan norma hukum keluarga yang akan dipraktekan dalam praktek peradilan di masa yang akan datang khususnya yang menyangkut keluarga. Tulisan ini dibuat dari refleksi kasuskasus pengasuhan yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki mandat dari UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 76 diantaranya memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan anak, menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran hak anak dan melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
49
OPINI Problematika Kasus Pengasuhan Kasus pengasuhan yang diadukan ke KPAI termasuk kasus kedua tertinggi setelah kasus anak berhadapan dengan hukum pada rentang 2011 hingga 2015. Meskipun pengaduan bidang pengasuhan termasuk memiliki jumlah kasus yang cukup tinggi, namun perhatian publik dan pengambil kebijakan untuk melakukan upaya solusi masih kurang dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yang lebih mudah mengambil simpati publik. Padahal pengasuhan merupakan hulu dari berbagai persoalan. Jika persoalan pengasuhan dapat terselesaikan dengan baik maka minimal pondasi tumbuh kembang anak akan lebih terjamin. Berikut adalah data pengaduan ke KPAI dari 20112016.
Jika melihat kluster pengaduan kasus pengasuhan berikut ini, masing-masing pengaduan sangat berpotensi menjadi kasus penelantaran dalam konteks penelantaran psikologis. Meskipun tidak terlihat secara fisik, tetapi penelantaran akibat konflik kedua orang tua dapat berdampak pada perkembangan psikologis, kehidupan sosial anak, serta kehidupan akademiknya. Pada situasi ini orang tua perlu memiliki kesadaran adanya dampak perceraian kepada anak dan meminimalisirnya. Secara detail untuk kasus pengasuhan dapat dilihat sebagaimana tabel berikut:
Secara umum persoalan mendasar dari pengaduan ke KPAI terkait pengasuhan adalah masalah sengketa kuasa asuh, pelarangan akses bertemu orang tua (baik yang hanya kesulitan akses bertemu hingga terjadi “penculikan” atau pemutusan akses bertemu), maupun terkait tidak dipenuhinya nafkah anak paska perceraian.
Mendalami Isu Pemenuhan Hak Anak Paska Perceraian Kuasa asuh dan hak asuh adalah dua hal yang berbeda namun seringkali dipertukarkan.³ Putusan pengadilan seharusnya menitikberatkan pada hak asuh sehingga pengadilan akan memutuskan pengasuhan anak kepada pihak yang dianggap paling mampu. Sedangkan kuasa asuh akan lebih memfokuskan pada siapa diantara kedua orang tua yang paling berhak dengan melihat apa yang dapat diberikan orang tua kepada anak. Kepentingan terbaik bagi anak seharusnya menjadi indikator utama kepada siapa hak asuh akan diberikan. Misalnya tentang pengasuhannya, pendidikannya, kenyamanan anak secara psikologis dan fisik. Selama ini proses persidangan terkait hak asuh lebih banyak membahas kondisi orang tua daripada melakukan assessment terhadap kondisi anak. Kebutuhan akan psikolog dan pekerja sosial untuk proses melakukan pendalaman kebutuhan anak menjadi hal penting. Pada akhirya menjadi kewajiban para hakim untuk mencocokkan kepentingan yang terbaik untuk anak dengan orang tua yang tepat. Orang tua yang memiliki hak asuh juga mampu menetralisir keadaan perpisahan yang dialami anak dengan orang tua lainnya maupun dengan saudara lainnya. Persoalan-persoalan terkait pengasuhan seringkali muncul ketika orang tua memutuskan bercerai namun tidak ada pembahasan terkait pengasuhan. Hukum formal perdata Indonesia yang berlaku saat ini adalah ketika tidak ada tuntutan terkait hak asuh, maka tidak akan ada pembahasan hak asuh atau yang lebih dikenal dengan ultra petita. Ultra petita yang diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg melarang hakim memutus melebihi yang dituntut atau dalam hal ini hakim dianggap melebihi kewenangannya.4 Padahal idealnya urusan anak dapat diselesaikan dan dibicarakan sebaik-baiknya bersama-sama dengan urusan perceraian urusan orang tuanya. Hal ini mengingat karena anak belum dapat menuntut haknya untuk diperhatikan sementara proses perceraian tetap berlangsung.
3 Reza Indragiri Amriel, Jaminan Relasi Anak - Orang Tua, Media Indonesia, 15 Desember 2015. 4 http://fatahilla.blogspot.co.id/2011/02/larangan-putusan-ultra-petitahanya.html
50
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
OPINI Persoalan lain yang sering terkait dengan kuasa asuh seringkali adalah tidak adanya putusan sementara hak asuh anak. Walaupun kedua orang t u a nya m a s i h t e t a p m e m i l i k i kewajiban melakukan pengasuhan, banyak anak menjadi korban rebutan kedua orang tuanya ketika belum ada putusan terkait hak asuh. Perebutan anak sendiri mulai banyak terjadi di sekolah yang seharusnya orang tua menghormati sekolah sebagai tempat netral dan menghormati kebutuhan anak akan ketenangan psikologis untuk belajar. Jika ini terjadi maka orang tua sudah mengabaikan kepentingan yang terbaik bagi anak. Pa d a ka s u s s u d a h a d a nya putusan siapa yang berhak melakukan pegasuhan, eksekusi putusan hak asuh tidak semuanya mulus. Anak bukanlah barang yang dapat dipindahtangankan dengan mudah. Penyiapan kondisi psikologis anak menjadi sangat penting karena anaklah yang menjadi pelaku utama dalam proses pengalihan pengasuhan. Proses pengkondisian agar anak nyaman dan siap berpindah sangat dibutuhkan. Norma hukum terkait proses pengalihan pengasuhan yang memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak diperlukan di masa yang akan datang. Pada beberapa kasus hak asuh, ada orang tua yang ingkar mematuhi putusan pengadilan terkait hak asuh tanpa memiliki itikad baik untuk mematuhi keputusan pengadilan. Gagalnya eksekusi putusan pengadilan terkait hak asuh tentu merupakan pelanggaran dan penghinaan terhadap lembaga peradilan. Walaupun ada upaya mediasi yang dilakukan atas gagalnya esksekusi putusan pengadilan, ke depan seharusnya ada mandat yang diberikan kepada lembaga tertentu untuk melakukan penegakan putusan pengadilan utamanya terkait hak asuh yang menyangkut manusia. Apalagi jika memang tidak ada itikad baik sama sekali dari pihak yang sedang membawa anak. Sekali lagi asumsi bahwa pemegang hak asuh bukanlah
penguasa mutlak atas anak harus menjadi pandangan dari para pihak. Hak akses bertemu dan “penculikan” anak oleh salah satu p i h a k j u ga m e n j a d i p ro b l e m a perceraian orang tua. Ketidakpercayaan antara pasangan menyebabkan salah satu pihak khawatir jika dipertemukan dengan orang tua lainnya anak akan dibawa dan tidak kembali. Begitu juga dengan kekhawatiran bahwa pihak orang tua lain akan melakukan cuci otak untuk membenci orang tua lain menjadikan salah satu pihak melakukan tindakan mulai dari menutup akses bertemu hingga melakukan “penculikan” atau membawa pergi anak. Menutup akses hingga tindakan “penculikan” anak oleh salah satu orang tua terjadi baik perkawinan antara warga Negara Indonesia maupun antar warga Negara. Dalam konteks hukum perdata internasional, dikenal the Hague Convention on Child Abduction 1980. Norma konvensi tersebut adalah bagaimana seorang anak yang diambil secara paksa (wrongly removal) dikembalikan kepada pemegang hak asuh atau tempat dimana ia seharusnya berada (habitual residence). Meskipun konvensi child abduction mengatur terkait “penculikan” anak antar orang tua beda warga Negara, namun norma penyelesaian masalah “penculikan” anak tetap diperlukan untuk menyelesaikan masalah hak akses bertemu dan “penculikan” anak. Hal ini mengingat bahwa kasus-kasus seperti cukup tinggi terjadi di Indonesia. Salah satu prinsip perlindungan anak anak adalah mendengarkan pendapat anak. Dalam konteks perceraian, anak seringkali terabaikan haknya untuk didengarkan pendapatnya. Padahal anak adalah s a l a h s a t u p i h a k ya n g p a l i n g berkepentingan terhadap putusan pengadilan. Memang kepentingan terbaik anak tidak harus selalu berdasarkan wish atau harapan anak. Namun jika ada pandangan anak (view) bagi anak yang usianya sudah
remaja perlu dapat didengar pendapatnya. Pada masa yang akan datang, pembelaan untuk kepentingan terbaik bagi anak dapat dilakukan dengan cara Negara memandatkan pengacara tertentu dengan pembiayaan dari Negara untuk membela anak. Sehingga keputusan terkait anak benar-benar merupakan
Hak Asuh dan Hak Nafkah Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Anak pada prinsipnya adalah amanah yang diberikan Allah SWT kepada manusia. Meskipun pasangan suami istri bisa saja menjadi mantan, namun relasi orang tua dengan anak tidak akan berakhir. Tidak ada mantan orang tua maupun anak. Dalam prinsip perlindungan anak, anak memiliki hak untuk mengetahui asal usul orang tuanya dan dalam hukum Islam nasab hubungan darah akan menentukan perwalian serta waris. solusi terbaik bagi anak.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
51
OPINI Kewajiban orang tua yang jelas termaktub dalam UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 14 adalah sebagai berikut: (1) Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang Tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir. (2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak: 1. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya; 2. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; 3. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan memperoleh Hak Anak lainnya.” Kompilasi Hukum Islam dalam aspek pengasuhan menganut perspektif sole custody, dimana anak dibawah usia 12 tahun atau belum mumayyiz hadhanahnya ke ibu. Alasan yang dapat menggugurkan ibu memegang hak asuh, misalnya ibu merupakan pecandu narkoba atau memiliki akhlak yang tidak terpuji dalam norma umum yang akan membahayakan anak jika memegang hak asuh. Sedangkan UU Perlindungan Anak menempatkan pengasuhan joint custody sebagai perspektif ketika kedua orang tuanya berpisah. Kedua orang tua memiliki kewajiban yang sama untuk melakukan pengasuhan, hak akses bertemu dan dukungan tumbuh serta kewajiban lainnya. Joint custody sendiri tidak bermakna bahwa anak akan dibagi rata hari pengasuhannya kepada kedua orang tuanya. Joint custody tetap
52
memperhatikan kenyamanan anak dan kepentingan yang terbaik bagi anak. Beberapa praktek pengasuhan dengan pembagian hari kerja dan akhir pekan juga tidak selamanya merupakan bentuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Pembagian hari ke r j a d a n a k h i r p e ka n d a l a m pengasuhan akan menempatkan orang tua yang bersama anak di hari kerja akan selalu sibuk dengan rutinitas sekolah anak dan tidak menempatkan anak bersamanya dalam situasi yang rileks serta sebaliknya bagi pasangan yang mendapatkan akhir pekan. Praktek yang banyak dilakukan di Negara lain adalah misalnya hanya di minggu ke 2 dan ke 4 anak bersama orang tua yang tidak memegang hak asuh. Itupun disesuaikan dengan kondisi anak misalnya sedang sakit atau ada acara sekolah. Inti dari joint custody lebih pada pengasuhan bersama dengan tetap memberikan hak akses bertemu kepada anak bagi yang bukan pemegang hak asuh. Periode berkunjung atau visit period pada masa dua minggu sekali atau liburan panjang penting sekali disepakati oleh kedua belah pihak. Sehingga anak tetap dapat berhubungan secara tetap dengan kedua orang tuanya. Dalam hal nafkah, Kompilasi Hukum Islam juga mewajibkan ayah untuk memberikan nafkah sementara dalam UU Perlindungan Anak nafkah dari kedua orang tua juga menjadi kewajiban orang tua. Hal ini ingin menunjukkan bahwa tanggung jawab kedua orang tua tidak putus walaupun perkawinan orang tua berakhir. Besar kecil pembiayaan lebih menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Fakta pemenuhan hak nafkah anak yang diputuskan dalam proses perceraian di pengadilan juga sebagian besar sulit dilaksanakan putusannya. Tidak ada aturan hukum yang mengatur dapat memaksa pihak yang memiliki tanggung jawab pemberi nafkah untuk memenuhi kewajiban nafkah kepada anak. Dalam
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
konteks perceraian, sekali lagi anak tidak bisa meminta orang tua memberi nafkah namun tanggung jawab orang tualah untuk memenuhi kewajiban tersebut. The Hague Convention 2007 on the International Recovery of Child Support and Other Forms of Family Maintenance, atau disebut juga sebagai Hague Maintenance Convention mengatur terkait bagaimana orang tua dapat terus bertanggung jawab untuk memberikan nafkah hingga anak-anak dewasa. Norma hukum dari Hague Maintenance Convention penting untuk diturunkan dalam norma hukum keluarga di Indonesia.
Penutup Penyelesaian persoalan anak pada situasi orang tua berkonflik sangat diperlukan agar anak tidak lama dalam situasi yang tidak kondusif. Walaupun sudah ada upaya mengurangi dampak perceraian bagi anak, faktanya perceraian sedikit benyak berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Itikad baik orang tualah yang berdamai untuk anak yang akan membantu menguatkan anak dalam situasi orang tua berkonflik. Beberapa sisi kekosongan hukum mulai dari mekanisme eksekusi anak pada putusan hak asuh, penentuan hak asuh, memberikan akses bertemu, mencegah terjadinya “penculikan anak”, mendengarkan pendapat anak, hingga eksekusi pemenuhan hak nafkah untuk anak adalah fakta kondisi praktek hukum di Indonesia. Di masa yang akan datang, Indonesia memerlukan norma hukum keluarga yang integratif yang memperhatikan kepentingan yang terbaik untuk anak. Mengingat fakta saat ini bahwa masih banyak anak yang terlantar secara psikologis akibat kondisi konflik orang tua, maka reformasi hukum keluarga di Indonesia sangat dinanti untuk masa depan yang lebih baik bagi anakanak Indonesia. Wallahu a'lam bishshowab.
WAWANCARA EKSKLUSIF
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
53
WAWANCARA EKSKLUSIF
M
ahkamah Agung memiliki Wakil Ketua Bidang Yudisial yang baru setelah mayoritas hakim agung pada 14 April 2016 memilih Dr. H. M. Syarifuddin, S.H., M.H., untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Prof. Dr. H. Mohammad Saleh, S.H., M.H., yang memasuki masa purnabakti, 1 Mei 2016. Dua minggu berselang, Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2016 tanggal 26 April 2016 tentang pengangkatan H. M. Syarifuddin untuk menjadi orang nomor dua di lembaga pengadilan tertinggi itu. Kemudian tanggal 3 Mei 2016 menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam perjalanan karir H. M. Syarifuddin karena pada hari itu ia mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden RI untuk membantu Ketua MA RI mengurus bidang yudisial untuk periode 2016-2021. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai sosok dan visi misi mantan Ketua Kamar Pengawasan ini, tim redaksi Majalah Peradilan Agama mewawancarai alumnus fakultas hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini pada 29 April 2016, di ruangan kerjanya. Simak petikan wawancaranya berikut ini: Secara umum, menurut Bapak, kira-kira ke depan apa yang harus dilakukan MA terutama dalam bidang yudisial? Yang pertama, sebagai pejabat yang baru yang jelas bersama pimpinan yang lain kita melaksanakan tugas membantu Pak ketua (MA). Yang kedua, mungkin ada tugas-tugas
program yang lama dari Pak Saleh (mantan Waka MA Yudisial) yang belum selesai, akan kita lanjutkan. Antara lain dua atau tiga bulan yang lalu saya yang pada waktu itu masih Ketua Kamar Pengawasan diajak Pak Wakil Ketua Yudisial melakukan pertemuan dengan seluruh asisten dan seluruh aparatur di MA untuk membenahi minutasi perkara. Ada hampir dua ribu minutasi perkara yang di atas satu tahun. Nah, karena sudah ada aplikasi manajemen perkara, kita sudah lebih gampang untuk mengetahui berkas itu sudah berada di tangan siapa dan macetnya di mana. Kita sudah bisa petakan yang
54
membuat minutasi lambat itu di mana. Hasilnya, tiga bulan setelah pertemuan akan dievaluasi ulang setelah masing-masing menandatangani semacam kontrak kinerja. Nah, tiga bulan itu jatuhnya tanggal 1 Mei 2016. Kalau sampai tanggal 1 Mei itu masih ada minutasi yang di atas satu tahun, Badan Pengawasan akan kita minta untuk
m e l a ku ka n p e m e r i ks a a n . D a r i pemeriksaan itu akan diketahui jika ada yang belum selesai minutasi, macetnya di mana. Waktu itu saya tidak mikir bahwa akan menjadi Wakil Ketua MA, saya hanya menjalankan SOP Pengawasawan saja. Karena Pak Saleh sudah pensiun dan saya diberi amanah untuk menjadi pengganti beliau, akhirnya tugas ini menjadi tugas saya juga. Jadi, saya kira minutasi itu yang menjadi pekerjaan besar yang musti k i t a s e l e s a i k a n s e g e ra . K a l a u percepatan penyelesaian perkara, baik pidana, perdata, agama, militer, dan TUN itu sudah cepat. Minutasi inilah
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
yang perlu kita pikirkan bersama. Di beberapa media akhir-akhir ini ada semacam kritikan tentang tertutupnya pembacaan putusan di Mahkamah Agung. Merujuk ke disertasinya Sebastiaan Pompe, katanya dulu MA baca putusan itu terbuka untuk umum. Kok sekarang tidak terbuka untuk umum? Artinya tidak ada para pihak ataupun masyarakat luar yang menghadiri sidang pembacaan putusan. Tanggapan Bapak? Ide itu sih bagus yah. Saya gak pernah tahu apakah memang waktu itu pernah ada (pembacaan putusan terbuka untuk umum, red.). Begini, hakim agung di kita kan ada 47. Yang menjadi ketua majelis berapa itu. Saya saja sekali sidang dalam satu hari bisa mencapai 50 perkara dengan majelis hakim agung yang berbeda-beda. Kalau mau terbuka, saya tidak bisa bayangkan berapa banyak ruang sidang yang harus disediakan di MA. Karena kan pasti ada masyarakat yang hadir kalau sidang terbuka. Nah, ruang sidang ini tidak bisa kita bayangkan, karena sidang di MA itu beda dengan sidang di pengadilan tingkat pertama. Di tingkat pertama itu memang berhadapan dengan masyarakat karena mendengarkan s a ks i , m e n d e n ga r p a ra p i h a k , mendengar terdakwa, memeriksa alat bukti dan lain sebagainya. Kalau di Mahkamah Agung kan cukup baca berkas saja. Jika harus terbuka untuk umum, saya tidak bisa bayangkan berapa itu ruang sidang yang harus kita sediakan.
WAWANCARA EKSKLUSIF Selain itu, ada beberapa tokoh misalnya dari melbourne, Australia Prof. Tim Lindsey yang menyoroti putusan pengadilan dan MA di Indonesia. Katanya, pertimbangan putusan pengadilan dan MA di Indonesia itu terlalu singkat. Legal reasoning-nya kurang terlalu digali. Bagaimana menurut Bapak? Mungkin itu justru dua kutub yang berlawanan. Maksudnya begini, justru kalau kita lihat putusanputusan di Belanda, putusan itu singkat-singkat, baik di tingkat kasasi ataupun PK. Kita justru melihat ke Belanda itu. Kenapa kok di Belanda bisa singkat-singkat? Kita melihat ke sana. Tapi kalau dibilang putusan kita
tadi tidak sama dengan yang di persidangan, hakimnya akan dicaci maki, bahkan bisa dikejar-kejar. Kalau sama, hakimnya akan dibilang A p a m u n g k i n y a n g terpengaruh dengan opini itu. Padahal mengatakan seperti itu karena tidak seperti itu. Hakim harus perbedaan latar belakang sistem mengadili fakta dan bersifat netral. hukum? Australia, Common Law dan Tapi kalau kita juga batasi pers ini, itu akan menjadi masalah lagi karena Indonesia Civil Law. mereka menganggap kebebasan pers Oleh karena itu kemarin kita kan itu harus berjalan baik termasuk bikin template putusan. Maksud kita masalah persidangan itu. supaya jangan panjang-panjang itu Bapak juga pernah cukup lama putusan. memimpin Badan Pengawasan Bagaimana pendapat Bapak (Bawas) MA sebelum kemudian tentang kebebasan pers dan menjadi hakim agung dan Ketua anggapan adanya trial by the press Kamar Pengawasan. Selama ini, sebelum adanya persidangan di dari aparat peradilan, terutama hakim, itu yang paling umum apa Pak? panjang, apa saja alasannya. Tetapi kalau yang hanya menolak, kenapa putusan harus panjang?
Iya, Kepala Bawas itu jabatan paling lama yang pernah saya emban. Biasanya paling dua atau tiga tahun, terus pindah. Yang terlama ini KaBawas. Saya hampir enam tahun menjabat di sana. Mengenai temuan, saya melihat kalau dulu-dulu banyak saya temui yang namanya minta uang. Tapi sekarang setelah gencar kita lakukan pengawasan, kasus itu sangat sedikit sekali. Tapi justru beralih ke asusila, s e l i n g k u h . Ke m u n g k i n a n s aya menduga, banyak di antara kawan kita itu, hakim, karena gajinya sudah terlalu singkat, ya tidak juga. Justru kita merasa (putusan) kita ini panjang. Karena di antara putusan itu kalau kita lihat semua, memori kasasi itu ada juga yang dimuat di putusan. Itu yang menjadikan putusan tebal. Jadi menurut Bapak, seharusnya putusan itu singkatsingkat saja? Kalau menurut saya, kalau memang tidak ada perubahan hukum, sudah benar itu singkat saja. Kecuali kalau kita membatalkan putusan itu. Kalau mau membatalkan putusan tingkat pertama atau tingkat banding itu kan memang harus argumentasi panjang. Ada seninya memang harus
pengadilan yang sebenarnya? Adakah kiat-kiat agar hakim tidak terpegaruh dengan press itu? Memang demokrasi kita ini sebetulnya berbeda dengan demokrasi di negara lainnya. Kenapa saya bilang begitu? Ini perkara yang masih kita sidangkan itu sudah berapa kali sidang di pers, dibahas ditelevisi. Semua berpendapat. Dengan ditayangkan, dikaji, dan digali seperti itu akan membentuk opini. Lalu apakah nanti ketika di persidangan akan seperti itu? Belum tentu. Hakim harus berpegang teguh kepada apa yang diterangkan di muka persidangan. Nah, ini resikonya besar. Kalau opini yang dibangun dan digali
lumayan, dia berhitung bahwa di manapun dia ditempatkan pasti bisa pulang sekali sebulan paling tidak. Jadi banyak yang isterinya ini ditinggal, tidak diajak ke tempat tugas. Karena merasa hidup sendiri, jadi kemungkinan itu besar. Kita lihat banyak MKH (Majelis Kehormatan Hakim) itu kan kasusnya itu-itu saja.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
55
WAWANCARA EKSKLUSIF karena dinikmati ya menjadi suka, menjadi kenangan yang indah. Saya juga akhirnya punya banyak saudara di sana. Apa pesan Bapak untuk hakimhakim di tingkat pertama dan tingkat banding, terutama yang muda-muda?
Oleh karena itu didalam promosi dan mutasi (TPM) kita, pimpinan memperhatikan betul itu. Asalkan data personil itu lengkap suami isteri yang sama-sama bekerja di pengadilan diusahakan untuk ditempatkan di kantor yang berdekatan. Karena banyaknya kasus-kasus ya n g s aya s e b u t k a n i t u , s aya menghimbau kawan-kawan hakim yang mutasi sebaiknya keluarganya (suami/isteri) dibawa. Apalagi memang di setiap mutasi, biaya pindah untuk keluarga itu dihitung, ada biayanya.
ke Kutacane harus ke Medan dulu. Isteri kan dari Jawa, saya dari Palembang. Kalau mau pulang kampung, harus dua-duanya, plus dengan anak. Sekali pulang kita bisa tidak makan berapa bulan itu kalau mau naik pesawat. Kalau mau naik bis, itu lama karena cuti kan hanya bisa 12 hari. Oleh karena itu selama 7 tahun di Kutacane kami tidak pernah pulang. Jadi, Kutacane itu sudah seperti kampung halaman bagi saya dan keluarga karena saya tidak pernah pulang. Saya menyatu betul dengan masyarakat di sana. Itulah saya bilang sebetulnya duka yah, tapi sekarang
Selama melaksanakan tugas sebagai hakim, apa pengalaman Bapak yang paling berkesan. Entah itu pengalaman pahit atau pengalaman manis selama bertugas? Ada pengalaman pahit, tapi akhirnya jadi pengalaman manis. Saya kan pertama kali bertugas di Kutacane, Aceh. Sejak mulai dari cakim (calon hakim) saya sudah ditempatkan di Aceh. Jadi di kutacane itu, hakim pertama itu saya. Tujuh tahun saya di sana. Waktu pertama saya datang ke sana, itu listriknya baru separuh hari. Masih sepi belum ada listrik. Gaji kita juga masih sangat kecil. Selama 7 tahun jadi hakim di Kutacane, saya tidak pernah pulang, karena tidak punya ongkos. Mana bisa? Coba, dulu kan gaji kecil, kalau mau naik pesawat
56
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Pesan saya yang pertama tadi sudah saya sampaikan. Pertama, kalau mutasi bawalah isterinya atau suaminya untuk ketekunan bekerja. Yang kedua, saya ingin kita bekerja itu bukan semata-mata ingin bekerja, tapi bekerja itu dinilai sebagai ibadah. Oleh karena itu supaya nilai pekerjaan kita itu dinilai sebagai ibadah, kita harus ikhlas dalam bekerja. Kan jika kita ihklas bekerja semata-mata karena Allah saja maka pekerjaan kita itu jadi ibadah yang mendapat pahala dari Yang maha Kuasa. Kalau dari pimpinan sudah pasti akan dinilai. Kemudian, di zaman sekarang kita tidak bisa mendalami dan memahami suatu perkara jika tidak dibantu dengan peningkatan diri. Jadi perintah Tuhan untuk membaca itu sebenarnya menyuruh kita belajar. Jangan pernah berhenti belajar. |Achmad Cholil, Mahrus AR. Foto: Ridwan Anwar|
WAWANCARA EKSKLUSIF
Ikhlas Saja Tidak Cukup...
Penampilannya teduh, berwibawa, ceria dan ramah. Itulah kesan yang didapatkan ketika kita bertatap muka dengan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H. Pria kelahiran Baturaja Palembang, 17 Oktober 1954 ini memiliki perjalanan karir yang cemerlang dan cepat. Ia mengawali karir sebagai calon hakim Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh pada tahun 1981. Ia kemudian ditempatkan sebagai hakim di PN Kutacane sejak tahun 1984. Setelah tujuh menjadi pengadil di Kutacane, H.M. Syarifuddin dimutasi ke PN Lubuk Linggau sampai dengan tahun 1995. Selanjutnya diangkat sebagai Wakil Ketua PN Muara Bulian, Jambi. Karirnya semakin menanjak, ia diangkat sebagai Ketua PN Padang Pariaman dan akhirnya pulang ke kampung halaman sebagai Ketua PN Baturaja pada tahun 1999. Track record-nya yang mengkilap membawanya menjadi hakim Ibukota di PN Jakarta Selatan. Hanya berselang
dua tahun, ia mendapat promosi kampungnya, Jogja itu bagus untuk sebagai Wakil Ketua PN Bandung kuliah. Dengan diantar ayahnya yang periode 2005-2006 dan kemudian menjadi Ketua pada pengadilan yang seorang pegawai golongan II/a di Perusahaan Kereta Api yang dulu sama sejak tahun 2006. Setelah menjadi Ketua PN bernama PNKA, Syarifuddin muda Bandung, H.M. Syarifuddin kemudian mendaftar di Fakultas Hukum UII diangkat sebagai hakim tinggi pada Yogyakarta. Di kampus yang banyak Pengadilan Tinggi Palembang. melahirkan tokoh hukum tingkat Karirnya semakin melejit dengan nasional itu, ia tercatat pernah pengangkatan selanjutnya sebagai menjadi mahasiswa terbaik seKepala Badan Pengawasan (Bawas) fakultas hukum dan wisudawan MA selama 6 tahun. Tidak itu saja, ia terbaik UII. Ketika masih sarjana muda, H.M. juga pernah menjadi Plt. Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA ketika Syarifuddin pernah bekerja sebagai staff perpustakaan di IAIN Yogyakarta, masih menjabat Kepala Bawas MA. Awal tahun 2013 menjadi salah tetapi hanya sebentar karena satu milestone terpenting dalam kuliahnya akan segera rampung di UII. sejarah karir Syarifuddin karena Belum sempat ijazahnya keluar, ada k a r e n a K o m i s i I I I D P R R I pembukaan pendaftaran calon hakim. menetapkannya menjadi hakim agung D e n g a n m e n g g u n a k a n i j a z a h bersama tujuh kolega lainnya pada 23 sementara ia pun mendaftar dan Januari 2013. Ketua MA kemudian ternyata lulus dan ditempatkan di melantik Syarifuddin menjadi hakim Kota Serambi Mekah. Naik Kapal agung pada 11 Maret 2013. Dua tahun Ta m p o m a s , S y a r i f u d d i n p u n kemudian, tepatnya pada 28 Mei 2015 berangkat dari Tanjung Priuk ke mungkin karena pengalamannya yang Belawan, lalu ke Banda Aceh. Takdir luas di bidang pengawasan, H.M. pun akhirnya menghantarkan H.M. Syarifuddin diangkat sebagai Ketua Syarifuddin menjadi hakim dan terus Kamar Pengawasan MA RI. Satu tahun mengalir hingga sekarang menempati berikutnya, setelah melalui proses posisi Wakil Ketua Mahkamah Agung. “Jangankan bermimpi jadi Wakil pemilihan demokratis di MA, H.M. Syarifuddin resmi menjabat sebagai Ketua MA, menjadi hakim pun Wakil Ketua MA Bidang Yudisial ketika awalnya tidak pernah terpikirkan oleh pada 3 Mei 2016 Doktor Hukum saya,” jawabnya ketika ditanya j e b o l a n U n p a r B a n d u n g i n i m e n g e n a i j a b a t a n b a r u ya n g membacakan sumpah jabatan di disandangnya. Ikhlas semata-mata karena Allah Istana Negara. A n a k k e t i g a d a r i e n a m SWT adalah motto hidupnya dalam bersaudara ini menyelesaikan bekerja. Tetapi menurutnya, ikhlas pendidikan SD sampai SMA di kota saja tidak cukup. Selain ikhlas, kita kelahirannya, Baturaja. Tamat SMA, juga harus rajin dan tekun bekerja H.M. Syarifuddin ingin kuliah di Jogja serta disiplin dan bersungguhmeskipun ia tidak tahu harus kuliah di sungguh, kata pengagum K.H. Ahmad kampus apa. Nama Universitas Gadjah Azhar Basyir ini di penghujung Mada (UGM) pun belum pernah ia wawancara. dengar. Pokoknya yang penting kuliah |Achmad Cholil| di Jogja, karena menurut orang di
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
57
TOKOH KITA DR. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M.
Keras Dalam Berjuang Ikhlas Dalam Beramal Tidak hanya pandai membuat putusan, Hakim Agung Amran Suadi ternyata jago membuat dan membaca puisi. Ia juga lihai memberikan ceramah yang renyah dinikmati audience dari berbagai kalangan. Mantan Irwil di Bawas MA ini pun sempat memukau anggota DPR ketika menjalani fit and proper test calon hakim agung.
58
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
TOKOH KITA
“Logat Melayu kental terasa, tanda manusia yang penuh budi, kami perkenalkan tokoh kita, hakim agung yang mulia Amran Suadi.” Itulah sepenggal pantun Melayu Deli asal Sumatera Utara yang layak disematkan pada Yang Mulia Hakim Agung Amran Suadi. Pria yang lahir di Belawan itu, kini duduk di Mahkamah Agung, lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Tidak mudah, jalannya berliku dan sangat panjang, penuh dedikasi dan kerja keras, namun selalu ada cara menuju kota Roma, menurut para pujangga. Amran Suadi pun membuktikannya, menjadi seorang hakim agung dari lingkungan Peradilan Agama, sejak 18 September 2014 lalu, lewat voting terbuka anggota komisi III DPR beliau pun akhirnya terpilih. “Pada waktu kecil biasa-biasa saja, tapi saya sejak kecil terbiasa mandiri. Biaya sekolah usaha sendiri. Bermacam-macam usaha. Contohnya banyak karena orang tua saya mendidik begitu,” ungkapnya di h a d a p a n t i m re d a k s i m a j a l a h Peradilan Agama beberapa waktu lalu. Dengan penuh semangat, beliau menuturkan masa kecil di kota pelabuhan Belawan, perjalanan darat dapat ditempuh kira-kira 1 jam dari kota Medan Sumatera Utara (Sumut). Anak pertama dari 11 bersaudara, 3 orang meninggal di waktu kecil, ada yang meninggal karena sakit dan ada pula yang meninggal akibat tenggelam
di sumur. Dari aspek ekonomi keluarga, beliau agak berbeda dengan anak sebayanya. Ayahnya yang bekerja sebagai pegawai STANVEC yang kemudian menjadi PN Pertamina di Belawan dan ibu sebagai ibu rumah tangga, mampu menafkahi Amran kecil dan beberapa saudaranya. Meskipun demikian, pria yang selalu menang lomba dai tingkat remaja di kota Belawan selama 3 tahun berturut-turut ini, tak mau berpangku tangan dan menjadi anak 'manja'. Beliau tetap bekerja membantu orang tua dan terbiasa hidup mandiri. “Saya sudah bisa mencari uang sejak sekolah SLTP dan PGAP. Menjajakkan kue di pelabuhan Belawan, bekerja di toko furniture, menjadi buruh pencari pasir disungai Deli dan banyak lagi usaha-usaha lain yang dilakukannya. Uang hasil kerja itu saya tabung dan simpan di rumah dan sebagian yang kemudian jadi modal kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Jogyakarta,” kenang Amran Suadi. Kebiasaan berwirausaha tersebut, ternyata masih dibawa hingga perguruan tinggi. Setelah menamatkan sekolah tingkat atas pada PGAP selama 4 tahun, Amran Suadi kemudian melanjutkan sekolah persiapan IAIN di Medan sampai tahun 1972, filial dengan IAIN Ar Raniry Aceh. Kebetulan beliau mendapat peringkat pertama saat ujian nasional sewilayah Aceh dan
Sumut dan menerima beasiswa pada jenjang strata 1 (S1) di IAIN Ar Raniry Aceh. N a m u n , k a re n a ke i n g i n a n kuatnya melanjutkan studi S1 di pulau Jawa tepatnya di Yogyakarta, maka beasiswa itupun ditinggalkan. A k h i rnya , n i a t ke p u la u Jawa terlaksana, Amran Suadi tetap melanjutkan studinya pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1973. “Rupanya ada sedikit masalah, saya tidak bisa masuk fakultas dakwah karena sudah tutup, jadi saya sempat menganggur beberapa hari di Yogya,” katanya dengan muka agak kecewa. Bukan tanpa alasan Amran Suadi memilih fakultas dakwah. Itu citacitanya sejak kecil, ingin menjadi juru dakwah dan ulama level nasional. Modal menang lomba dai tingkat remaja 3 tahun berturut-turut, paling tidak menjadi alasan baginya untuk mendalami ilmu dakwah di IAIN. Pada akhirnya beliau bertemu dengan Sudirman Malaya, mantan Ketua PTA Banten yang lebih dulu belajar di IAIN Sunan Kalijaga. Atas ajakan seniornya itu, Amran Suadi tinggal yang tinggal sementara di asrama mahasiswa Tanjung Raya yang kebetulan sebagian mahasiswa di sana berasal dari Sumatera Barat. “Saya sebenarnya gak boleh tinggal di sana karena beda kampung, tapi dikasih numpang sama pengurus yayasan,” ungkap Amran. Selama di asrama, beliau menyampaikan keinginan belajar di fakultas dakwah, tetapi Sudirman Malaya terus memberikan masukan untuk menempuh studi di fakultas syariah IAIN. “Katanya (Sudirman Malaya), ilmu agama di IAIN itu hanya dua, yaitu di fakultas syariah dan ushuluddin. Asal paham ilmu agama dan bisa ngomong sudah bisa berdakwah. Dan asal ada ilmu agama, pasti bisa mengajar,” jelasnya mengenang. Ucapan itu kemudian terbukti sekarang. Amran Suadi menjalani ketiganya. Selain sebagai hakim, ia juga sekaligus sebagai dosen dan pendakwah.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
59
TOKOH KITA Dengan beberapa pertimbangan kata pria yang hobi menulis puisi dan saat itu ia mengenakan busana daerah Aceh. Pernah ikut lomba baca Puisi tersebut, akhirnya Amran Suadi melukis itu. memutuskan kuliah di fakultas syariah Pria yang pernah menulis puisi sampai menjadi finalis di tingkat IAIN Sunan Kalijaga. Tentunya atas untuk Hakim Agung Ahmad Kamil dan Nasional. Yang menjadi juri pada bantuan Sudirman Malaya yang Hakim Agung Imam Soebechi dan waktu itu antara lain Putu Wijaya dan kebetulan dekat dengan kepala tata Wakil Ketua MA bidang yudisial Prof Umbu Landu Paranggi. Sedangkan usaha rektorat. M u h a m m a d S a l e h , i n i p u n juara pembaca puisi pada waktu itu Pada tahun pertama nilainya menuturkan, saat masih menjadi Reny Jayusman dan Torro Margens. Amran Suadi selalu mengatakan, anjlok, hal itu disebabkan sebagian mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga, ia mata ujian menggunakan bahasa Arab. selalu mendulang prestasi, baik dalam adrenalin akan muncul ketika ada Kesulitan pada tingkat pertama kegiatan organisasi kemahasiswaan tantangan. Ungkapan tersebut selalu dirasakan olehnya. Bulan berganti maupun seni. Sebut saja misalnya, ia menjadi motivasi dalam menjalani bulan hingga akhir semester awal terlibat langsung dalam kepengurusan kehidupan ini. “Saya kira ibu saya yang tampak kurang berkenan di hatinya. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memunculkan karena dia mendidik Akhirnya, tak mau terus menerus dan Himpunan Mahasiswa Sumatera dengan keras, kalau saya minta uang selalu diomeli dulu, walaupun pada merasa 'kekurangan', Amran Suadi Barat. akhirnya dikasih juga,” terangnya belajar bahasa Arab dan membaca tersenyum. kitab kuning di pondok pesantren Krapyak Yogyakarta pada sore Tantangan demi tantangan harinya. Kemudian setelah sholat membuat jiwanya kuat. Hidup yang shubuh pergi ke rumah salah seorang keras ini membuatnya tak pantang dosen pengampu hukum agraria Prof. m u n d u r m e n gh a d a p i m a s a l a h , Dr KH. Tolhah Mansur untuk mengaji termasuk bagaimana cara kitab kuning. “Beliau adalah dosen menyelesaikannya. Selama di asrama UGM yang juga mengajar di IAIN mata mahasiswa Tanjung Raya Jogyakarta kuliah hukum agraria tapi paham dulu, ia juga pernah mengkoordinir bahasa Arab,” jelasnya. pengadaan beras bagi para mahasiswa yang tinggal di asrama. Tugas itu dilakukan bukan karena mencari ***** untung atau diskon dari distributor beras, tetapi lebih pada rasa tanggung Rupanya bakat berwirausaha tak jawab dan mental kepemimpinan yang pernah surut. Menjalani status ingin ia pelajari. mahasiswanya, Amran Suadi selalu Ia lebih banyak diandalkan oleh mencari peluang bisnis. Ia termasuk kawan-kawan asrama untuk salah satu mahasiswa terkecil dari mengurusi logistik pengadaan beras segi finansial ketimbang kawanyang hasil diskon itu ia belikan TV plus kawan seasrama. Setiap bulan kiriman P r i a b e r d a r a h A c e h d a n salon lengkap untuk asrama yang pada uang dari orang tua pada tahun pertama sebesar Rp2.500,-, lebih kecil Minangkabau ini memang gemar waktu itu belum memiliki TV. Dan dari beberapa kawan-kawannya yang berorganisasi dan berkesenian. akhir tahun kami bisa jalan-jalan mendapatkan uang kiriman perbulan Beliau pernah membaca puisi gratis. “Saya hitung dan transparan bersama Ebiet G Ade dan WS Rendra dalam mengelola hasil pengadaan sebesar Rp10.000,- sampai Rp15.000,. Dengan uang tersebut sebahagian ketika kuliah di Jogyakarta dan beras. Saya tidak mau korupsi dan dijadikan modal wirausaha. Dari hasil bermain Drama Minang yang pentas di tidak memberikan peluang bagi usahanya itu Amran Suadi dapat UGM. Di berbagai event kesenian ia mereka untuk korupsi beras. Tapi membeli mesin ketik untuk menulis pernah sekali tampil di TV jogya. semua hasil untuk kesejahteraan tugas kuliah, membeli sepeda tromol Selain itu, ia juga tercatat sebagai mahasiswa,” ungkapnya. YOGYAKARTA, TAHUN 1978 – yang lagi ngetren pada masa itu, dan penulis beberapa naskah sandiwara radio di Belawan yang banyak disukai Amran Suadi menyelesaikan strata membeli tape recorder. sarjana (S1) pada fakultas syariah IAIN “Saya selalu mencari peluang para pendengar radio pada waktu itu. Pada pekan seni mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Ia termasuk yang bisnis antara lain dengan cara meminta dosen untuk membuat buku s e - J awa , A m ra n S u a d i p e r n a h t e rc e p a t d a r i 2 0 0 m a h a s i s wa (diktat) yang distensilkan. Saya sekaligus menyabet tiga piala secara seangkatannya. Lulus pada tahap kerjakan, saya jual, saya dapat buku bersamaan. Menjadi juara 1 lomba pertama sebanyak 5 orang, termasuk gratis sekaligus uang dari hasil baca puisi utusan IAIN Snan Kalijaga, salah satunya ialah Purwosusilo, penjualan tersebut dan dosen pun juara 1 lomba lawak, juara 1 lomba mantan Dirjen Badilag yang menjadi senang karena bukunya laku terjual, “ peragaan busana daerah yang pada hakim agung bersamaan dengannya.
60
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
TOKOH KITA datang kerumah dan ke sekolah tempat saya mengajar untuk membujuk saya. Tahun 1979 baru akan dibentuk diklat BKKBN untuk mengajar di sana dengan iming-iming sekolah di Jakarta dan diberikan fasilitas mobil dan macam-macam. Saya istikharah selama 7 hari untuk minta petunjuk memilih BKKBN atau PTA?” ungkap Amran Suadi. Sembari memohon petunjuk Allah SWT lewat shalat istikharah, ia mengadukan masalah ini kepada kepala sekolah tempat ia mengajar. Alhasil, kepala sekolah menyarankan Amran Suadi memilih PTA Medan untuk melanjutkan karirnya. “Akhirnya, saya seperti Setelah tamat dari IAIN mendengarkan ada suara untuk Yogyakarta, Amran Suadi pulang ke memilih PTA. Mungkin itulah petunjuk Sumatera Utara, tanah kelahirannya. Allah atas hasil shalat istikharah saya,” Tahun pertama ia bekerja sebagai guru sambungnya. SMP Muhammadiyah Belawan dan MULAI BERKARIR DI SMA. Lalu masuk tahun kedua PENGADILAN AGAMA - Pertama kali mengikuti tes di tiga tempat, yaitu tes ditempatkan pada PA Tebing Tinggi tenaga pendidikan dan pelatihan wilayah PTA Medan. Ketua PA saat itu (Diklat) BKKBN Sumut, kemudian tes golongan IId dan paniteranya menjadi dosen di IAIN Sultan Thoha golongan II b, sedangkan Amran Suadi Jambi, dan terakhir mengikuti tes golongan IIIa. Terjadi kecemburuan CPNS PTA Medan. sosial hingga berdampak pada Untuk tes penerimaan tenaga kegiatan kantor sehari-hari. Hampir 6 Diklat BKKBN, Amran mendapatkan bulan pertama ia tak diberikan peringkat pertama dengan nilai 37, pekerjaan dan hanya duduk dan diam. tetapi yang diprioritaskan yang akan “Saya disuruh membersihkan WC. menjadi kepala Diklat tersebut justru Paniteranya alm. Arifin Purba sangat peringkat kedua dengan nilai 30. Hal keras. Saya disuruh membuat amplop, itu membuatnya kecewa dan murung. sempat membuat saya menyesal “Saya tidak protes tapi bertanya-tanya memilih PTA,” terang Amran Suadi. dalam hati apa karena dia (peringkat Tekad yang kuat dan pantang kedua) lulusan dari fakultas menyerah membuat Amran Suadi kedokteran, sementara saya lulusan tetap bekerja di kantor PA Tebing IAIN?,” tanya Amran. Tinggi. Walaupun tugasnya hanya Tak lama dari kemurungan itu, membuat amplop dan membersihkan Amran dinyatakan lulus tes dosen di WC, ia terus berkarya dan bekerja. IAIN Jambi dan lulus CPNS dari PTA Salah satunya menulis kolom, artikel, Medan dengan waktu hampir rubrik agama, rubrik hukum dan bersamaan. Dirinya berkecamuk, rubrik umum di koran harian Waspada bimbang, dan galau. Mana yang harus yang menjadi koran favorit di kota dipilih? Medan kala itu. Penghasilannya O ra n g t u a t e r nya t a t i d a k menulis sebesar Rp100.000,- jauh mengizinkan ia menjadi dosen di IAIN lebih besar daripada gaji yang Jambi. Kemudian atas saran orang tua, d i te ri m a nya p e rb u la n s e b e s a r penempatan dosen ditinggalkan. Rp28.700,- untuk CPNS golongan IIIa . Tinggal dua pilihan saja, menjadi Masa terus berganti dan terjadi mutasi tenaga Diklat BKKBN atau menjadi ke p e m i m p i n a n , a k h i r nya ya n g CPNS di PTA Medan? menjadi ketua PA Tebing Tinggi saat “Kepala Kanwil BKKBN dua kali itu ialah Chatib Rasyid dan Amran
Suadi menjadi paniteranya. Pada masa kepemimpinan PTA Saleh Rasyid, sosok Amran Suadi banyak dikenal. Di samping karena ia seringkali menulis artikel di koran, prestasi kerjanya pun semakin baik. Pada saat menjadi Panitera Kepala di PA Tebing Tinggi, kantor tempatnya bekerja meraih penghargaan sebagai kantor terbersih ke II se-Indonesia pada peringatan Seabad Peradilan Agama tahun1982. Karir Amran Suadi semakin naik saat dirinya diangkat menjadi Panitera Kepala pada PA Medan dan ketua PA Medan saat itu almarhum Rifat Yusuf (terakhir sebagai ketua PA Jakarta Selatan). MEDAN, TAHUN 1984 – Inilah masa di mana pintu terbuka dan cahaya bersinar bagi seorang Amran Suadi. Pada saat itulah ia mengikuti ujian penerimaan calon hakim dari wilayah PTA Medan. Dari sekian banyak yang mengikuti ujian, hanya 3 orang yang dinyatakan lulus termasuk Amran Suadi. Ternyata, terhadap 3 orang yang lulus tersebut, akan dilakukan ujian lisan dan membaca kitab pada tingkat nasional di Jakarta. Awalnya mendapat penolakan dari beberapa seniornya, ketua PTA Medan Saleh Rasyid salah seorang yang menyarankan Amran tidak ikut. “Masa kerja saya kurang dari 4 tahun, saya lulus walau belum 4 tahun. Beliau (Saleh Rasyid) memberikan saran bahwa saya kurang syarat. Katanya untuk apa menjadi hakim, tunjangannya kecil,” tegasnya. Akhirnya, Amran meminta pertimbangan mantan ketuanya dulu, Chatib Rasyid dan ia diberikan restu untuk mengikuti ujian penerimaan calon hakim di Jakarta. Karena waktu ujian semakin mendesak, sementara angkutan umum sudah penuh, termasuk pesawat. Maka pilihan akhirnya jatuh pada bus ALS milik seorang teman kenalan Amran Suadi. Namun selama menempuh perjalanan dari Medan menuju jakarta didalam bus tersebut berdiri sampai Bandar Lampung, karena tak ada tempat duduk dan terus berdiri di pintu depan sebelah sopir.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
61
TOKOH KITA Sesampai di Jakarta, Amran sempat bertemu beberapa temantemannya yang juga mengikuti ujian penerimaan calon hakim. Walaupun sempat terjadi kebingungan karena namanya tidak tertulis di papan pengumuman kelulusan calon hakim asal PTA Medan, tetapi akhirnya ia menemukan namanya tertulis asal PTA Solo. Singkat cerita, Amran Suadi lulus menjadi hakim. Ia diangkat menjadi hakim pada PA Medan. Kemudian dibentuklah PA Kisaran dan Amran Suadi diangkat menjadi ketua selama 5 tahun (ketua pertama 1987-1992). Selama menjadi ketua PA Kisaran semangat belajar tak pantang surut. Ia mengambil kuliah strata satu (S1) jurusan ilmu hukum pada fakultas
Setelah lulus sarjana hukum, ia menjadi ketua PA Medan. Ketika menjadi ketua PA Medan ada cerita lagi. Ketika ia masuk PA Medan, hanya ada dua mesin ketik, satu untuk operasional pegawai dan satu untuk bendahara keuangan menyusun daftar gaji. Akibatnya pelayanan publik tersendat. Melihat kondisi seperti itu, Amran Suadi ngotot ingin menjadikan pelayanan publik terdepan sampai sekarang. Ia pernah berinisiatif selesai putusan dibaca langsung diserahkan putusannya kepada para pihak. Namun karena pada waktu itu mesin ketik hanya ada satu, jadi agak merepotkan. Meskipun demikian, ternyata
Biarlah palu itu tak ketak lagi Torehan : Amran Suadi untuk YM Bpk. Imam Soebechi
Biarlah palu itu kini tak ketak lagi karena waktu telah menghentikannya pada hal semangat tetap membahana Tegakkan keadilan walau bumi kan hancur, Tegakkan kebenaran walau langit kan runtuh Wujudkan kesejahteraan walau diri kan luluh. Biarlah palu itu kini tak ketak lagi Tapi hasil torehan kebenaran dan keadilan yang bapak tegakkan tetap jadi panutan kami banyak adil dan benar sudah didirikan cita kemandirian lewat IKAHI lah diperjuangkan semangat sportivitas PTWP tetap terus digelorakan. Biarlah palu itu kini tak ketak lagi Hidup tetap bermakna, Karena pengabdian tak pernah berhenti walau perahu telah berbeda, walau nyawa tak dibadan lagi. Perjuangan kemandirian peradilan terus digelorakan dari gunung Kota Malang hingga pantai Indah Kapuk
hukum Universitas Al Washliyah b a k a t w i r a u s a h a n y a m a s i h Medan, lulus tahun 1990. Kemudian ia bersemayam di dada. “Sebagai ketua menyelesaikan studi ilmu hukum saya putar otak. Saya ke distributor p i d a n a p a d a f a k u l t a s h u k u m mesin ketik, membeli 12 mesin ketik Universitas Amir Hamzah Medan lulus baru tetapi dibayarkan setiap bulannya untuk satu mesin ketik saja. tahun 1992. Pada tahun 1989 dan 1990 Selebihnya dibayarkan pada bulankantor PA Kisaran memperoleh bulan berikutnya sampai lunas. p r e d i k a t k a n t o r t e r b e r s i h Distributornya sepakat karena sekabupaten Asahan dari Bupati percaya saya ketua PA waktu itu,” Asahan dan Sebagai Kantor yang papar Amran Suadi. 12 mesin ketik itu diserahkan memiliki perpustakaan terbaik dari KPTA Medan, Saleh Rasyid. Pengelola kepada panitera pengganti agar perpustakaannya pada waktu itu memudahkan mereka mengetik berita Syaifuddin ketika masin menjadi CPNS acara dan putusan. Dengan adanya mesih ketik, mereka lebih meningkat di PA Kisaran.
62
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Biarlah palu itu kini tak ketak lagi Nilai-nilai kejuangan bapak tetap menjadi dian dikala dingin, Dian dikala gelap,Dian dikala malam, Karena Dian itu dari sumber yang penuh makna Semoga jadi mata air pahala tuk di akherat kelak. Biarlah palu itu kini tak ketak lagi Selamat jalan tapi bukan berpisah, Hanya sampan yang berpindah, Namun tetap dilautan keadilan yang sama, yang tak pernah luput dari ombak, badai dan guncangan munafik. Biarlah palu itu kini sudah tak berketak lagi. Lapangan Tenis Rawamangun Jakarta, 12 Februari 2016.
TOKOH KITA dalam mengetik putusan dan operasional cepat selesai yang berujung pada pelayanan prima. Selesai ikrar talak, akta cerai keluar. Selesai dibacakan, salinan putusan langsung diserahkan kepada para pihak. Selesai sidang, berita acara sidang juga selesai paling lama sehari sebelum persidangan berikutnya. Semua sektor ia benahi di PA Medan. Dibantu Syaifuddin yang kini Ketua PA Pekanbaru, Amran Suadi membuat perpustakaan yang baik dan nyaman dijadikan tempat membaca. Ia juga berusaha membuat suasana kantor nyaman bagi semua orang. Mushalla yang bersih dan nyaman juga ia ciptakan walaupun kantor yang luasnya hanya 350M2 dan (waktu itu) masih terletak di belakang rumah orang. A d a y a n g p a l i n g menggembirakan buat Amran Suadi waktu itu. Ia dan koleganya di PA Medan berhasil menyusun arsip perkara dengan baik dan benar. Arsip perkara sejak PA Medan berdiri disusun rapi sedemikian rupa. Ketika Pak Hensyah Sahlani dari MA berkunjung ke PA Medan, ia meminta arsip perkara tertentu dari tahun tertentu. Dalam tempo kurang dari 5 menit arsip itu sudah dapat ditemukan, padahal pada waktu itu belum ada komputer. Tidak itu saja, Amran Suadi juga m e n c i p t a k a n b u d aya m a l u d i lingkungan kerjanya. Ia berikan contoh agar satu sama lain saling mengawasi disamping pengawasan Tuhan yg sudah pasti. Rasa kebersamaan juga ia tanamkan d e n g a n k o k o h . “Saya selalu bilang ke kawankawan bahwa pengadilan ini milik kita bersama. Harus dijaga bersama,” ungkapnya. “Ada motto yang terus saya tanamkan. Jangan mempersulit urusan orang lain. Mudahkanlah orang lain nanti, urusanmu juga akan dimudahkan Allah. Jadikanlah bekerja sebagai ibadah untuk modal diakhirat kelak,” sambungnya lagi. Akhirnya dengan tanpa disadari,
Perjalanan Seorang Hakim Agung Torehan : Amran Suadi untuk YM. Bpk. Ahmad Kamil
Hakim itu kini telah menyelesaikan tugas penulisan perjalanannya. Panjang sungguh lembaran-lembaran yang telah ditorehkan diatas Kanvas pengabdiannya. Merenda berbagai anyaman keadilan, satu persatu sehingga terbentuk kain kebenaran yang dapat juga kami pakai sebagai perisai dari dingin dan panasnya gelombang peradilan di persada ini. Hakim itu kini telah menyelesaikan tugas penulisan perjalanannya. Selama ini menjadi tempat bertanya, tempat berkonsultasi, tempat bercanda walau ia adalah atasan dan senior kami. Tawanya membaur ceria diantara kekusutan carut marut rajutan dunia pengabdian ini. Tapi Hakim itu tidak sendiri dan kami juga ada diantaranya. Hakim itu kini telah menyelesaikan tugas penulisan perjalannya. Banyak kesan yang tidak mungkin terlupakan kritiknya yang seakan membuat pelangi indah dalam masa yang masih abu-abu. Keakrabannya bak Abang dengan Saudara sendiri sehingga kami lupa kalau masih ada batas halus tatakrama. Hakim itu kini telah menyelesaikan tugas penulisan perjalannya. Selamat jalan wahai Ym Abang kami, perahu kita kini memang telah berbeda tapi perjalanan tetap sama, terima kasih atas jasa-jasa dan maafkan kekurangan ini. Hakim itu kini telah menyelesaikan tugas penulisan perjalannya. Tapi banyak jejak yang telah diukir dalam perahu yang bernama Mahkamah Agung RI sehingga menjadi mozaik yang tak pernah Membosankan bagi kami sebagai penerusnya. Hakim itu kini telah menyelesaikan tugas penulisan perjalanannya. Jakarta, 1 Oktober 2015
dengan segala pencapaian tersebut, PA Medan mendapat anugerah sebagai kantor pemberi pelayanan prima terbaik seluruh Indonesia untuk kantor pelayanan pengadilan dari Presiden Republik Indonesia ke-2. Amran Suadi diundang langsung ke istana untuk menerima anugerah tersebut pada tahun 1997. Beberapa terobosan yang dilakukan Amran Suadi menjadi contoh beberapa PA lainnya, seperti sisa panggilan dikembalikan kepada para pihak dengan bukti pengembalian yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada masa kepemimpinannya, Amran Suadi mendirikan koperasi pegawai PA Medan dengan mempersiapkan kebutuhan pokok pegawai dan memberikan kesejahteraan buat semua. Kepemimpinannya di PA Medan hingga tahun 1997. Pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi hakim pada PTA Medan. Sempat membuatnya kecewa dan di luar harapannya karena baru dapat penghargaan tapi diangkat jadi hakim tinggi yang pada waktu itu belum sebagai promosi jika memegang jabatan ketua kelas 1A. Tetapi di balik kekecewaan itu, ada rahasia Allah SWT yang tak terduga. Selama menjadi hakim PTA Medan, ia melanjutkan studi strata dua (S2) pada program pascasarjana ilmu hukum Universitas Sumatera Utara (USU)
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
63
TOKOH KITA Medan, tamat tahun 2001. Sempat satu kelas dengan Hakim Agung Supandi dan Hakim MK Manahan Sitompul. Selama di Medan, Amran Suadi mengajar di 6 perguruan tinggi ternama sampai tahun 2002. Hobi mengajar ini tetap diteruskan ketika di Jakarta. Ia mengajar di Universitas Persada Indonesia, Universitas Jayabaya, Universitas M u h a m m a d iya h S u ra b aya d a n Universitas Pancabudi Medan. Semuanya tentu dilakukan di luar jam kerja. MEDAN, TAHUN 2002 – Pada tahun yang sama, ia dipromosikan menjadi anggota Kelompok Tenaga Ahli (KTA) pada Mahkamah Agung dan di tahun 2003 ia diangkat menjadi hakim tinggi bidang pengawasan dan pembinaan di bawah ASBIDWASBIN (sekarang BADAN PENGAWASAN MA). Secara berturut-turut karirnya meningkat tajam. Pada tahun 2006 Amran Suadi menjadi Inspektur Wilayah III yang disusul menjadi Inspekur Wilayah I di tahun 2009. Kemudian pada tahun 2012 dipromosikan menjadi wakil Ketua PTA Surabaya mendampingi DR. H. M. Ru m N e s s a , S H , M H ( m a n t a n sekretaris MA). Pada tahun 2014 lalu, atas perintah dan pertimbangan pimpinan Mahkamah Agung dari lingkungan Peradilan Agama, sebut saja; Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial DR. H. Ahmad Kamil, Ketua Kamar Agama DR. H. Andi Syamsu Alam, dan Hakim Agung kamar agama Prof. DR. H. Abdul Manan, ia memutuskan untuk ikut tes hakim agung dan dinyatakan lulus.| Bagi Hakim Agung Amran Suadi, hidup ini harus ikhlas, bersyukur, dan sabar. Tiga moto itulah sampai saat ini menjadi filosofinya dalam mengarungi pahit dan manis kehidupan. Dari sisi penulisan karya ilmiah, Amran Suadi termasuk produktif. Ia telah meluncurkan tiga buku, yaitu manajemen pengawasan badan peradilan yang diterbitkan CV Karya Bakti Jakarta yang merupakan hasil tesis S2 di STIE IPWIJA, dan Sistem Pengawasan Badan Peradilan di
64
Kupu-kupu di Atas Perahu Torehan : Amran Suadi untuk YM Bpk. Prof. Mohammad Saleh Kalaupun hari ini kepompong telah meninggalkan sarangnya tapi ia telah berubah jadi kupu-kupu indah, terbang kesana-kemari Kalaupun tugas hakim itu berhenti hari ini tapi ilmu dan hasil karya dan karsanya bak lentera yang terus menerangi padang inspirasi buat siapa saja yang menggapainya Kalaupun kupu-kupu ini membentuk kepompong lain, kelak jadi kupu-kupu indah berikutnya untuk mewarnai bingkai hukum dan peradilan di bumi persada ini Empat puluh lima tahun menghabiskan waktu merenda rajutan kain keadilan tuk menutup dari panas dinginnya kenistaan Terasa singkat waktu itu jika dikaitkan dengan karya dan karsa yang hendak dicapai Perahu perjuangan keadilan tidak akan pernah berhenti terus berlayar dan tidak habis asa walau kiambang tetap bertaut sampai saat menutup mata Garis coretan di kanvas kehidupan akan menjadi hiasan dan pemandangan yang indah bagi generasi mendatang Betapa eloknya konfigurasi tarian keadilan dalam kehidupan yang kelak menjadi mata air amal yang tak pernah kering tuk bekal di hadapan Illahi Rabbi Selamat jalan ... tapi bukan berpisah Perahu memang sudah berbeda tapi hati kita tetap dalam kebersamaan menegakkan keadilan buat sesama
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Selamat jalan ... Tugas Hakim menegakkan keadilan tak pernah berhenti walau langit kan runtuh walau bumi kan hancur walau diri kan luluh Selamat jalan ... Keadilan itu memang tak kan pernah berhenti Jakarta , 21 April 2016
Indonesia yang diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, yang merupakan hasil disertasi doktornya pada program pascasarjana Universitas Islam Bandung. Adapun buku ketiga berjudul Politik Hukum; Perspektif Hukum Perdata dan Pidana Islam Serta ekonomi syariah, yang diterbitkan oleh Prenada Jakarta yang terbit pada medio 2016 ini. Di penghujung tim redaksi mewawancarainya, hakim agung Amran Suadi berpesan tiga hal. Pertama, jangan bosan menambah ilmu, baik secara formal maupun non formal. Kedua, selalu menjaga integritas melalui ikhlas beramal, bekerja sebagai ibadah,dan selalu bersyukur kepada Allah SWT dengan cara selalu memudahkan urusan orang lain, niscaya Allah akan memudahkan urusanmu. Ketiga, selalu memutuskan perkara sesuai keadilan yang bertanggung. “Kalau bisa menyelesaikan sesuatu dengan tersenyum kenapa harus marah? Mari kita bekerja sama dan sama-sama bekerja. Dan kita jangan berlaku zalim ketika ada jabatan. Itu filsafat kehidupan yang saya pahami sejak dulu sampai s e k a r a n g ,” p a p a r n y a s e m b a r i tersenyum. |Achmad Cholil, Aziz Falahuddin, Alimuddin| (photo: Iwan Kartiwan)
ANOTASI PUTUSAN
Asal Usul Anak:
Anotasi terhadap Putusan No.597 K/Ag/2015 Oleh: Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A. (Guru Besar Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Yogyakarta dan Pengajar Fakultas Hukum UII)
Abstrak Tulisan ini merupakan catatan ringkas tentang pandangan penulis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0346/Pdt.P/2014/PA JS., yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 597 K/Ag/2015 atas Penetapan perkara Asal Usul Anak. Dalam menganalisis masalah ini penulis lebih menekankan pada penggunaan pendekatan linguistic (bahasa), dengan analisis monodisipliner, interdisipliner dan multidisipliner. Sebagai kesimpulan ada dua catatan dari tulisan ini. Pertama, penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menolak permohonan pemohon, dan penetapan Mahkamah Agung yang menerima permohonan pemohon, sama-sama mempunyai misi dan substansi yang syarat dengan tujuan memberikan yang terbaik untuk penegakan hukum. Kedua, secara kasat mata penetapan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan menggunakan pendekatan dan analisis Interpretasi Monodisipliner, sementara penetapan Mahkamah Agung menggunakan Interpretasi Interdisipliner. Dari aspek ini maka pendekatan yang digunakan Mahkamah Agung dirasakan lebih konprehensif. Namun interpretasi interdisiplinari yang digunakan masih pada aspek penyelesaian masalah, belum berusaha membangun kekuatan peraturan perundang-undangan bidang perkawinan di masa depan.
A.
Pendahuluan
Hasil diskusi komisi 2 bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama dalam Rakernas bulan Oktober 2010 di Balikpapan Kalimantan Timur, dinyatakan bahwa hakim Pengadilan Agama (PA) dalam mengambil keputusan terhadap perkara sengketa perkawinan, harus memperhatikan ketentuan dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.1 Dengan
demikian, berdasarkan hasil rakernas tersebut di samping berpedomna kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU No. 1 tahun 1974, dan PP No. 9 t a h u n 1 9 7 5 , h a k i m PA h a r u s mempertimbangkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun cara yang dapat d i t e m p u h h a k i m PA d a l a m menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, adalah dengan penemuan hukum. Ada beberapa istilah yang sudah populer digunakan untuk menyebut penemuan hukum. Dari definisi dan istilah penemuan hukum tersebut ditemukan beberapa kata kunci, yakni pembentukan, penciptaan, penemuan, penerapan, dan pelaksanaan. Demikian juga sudah populer tiga teori penemuan hukum, yakni metode interpretasi, metode argumentasi, dan metode konstruksi. Maksud pembentukan hukum bahwa hakim berkewajiban membentuk hukum supaya tidak terjadi kekosongan hukum. Penemuan hukum berkonotasi hukum sudah ada, namun masih perlu digali, dicari, dan ditemukan. Namun disebutkan juga hukum sudah ada, hakim hanya penerapkan dalam peristiwa konkret. Penciptaan berkonotasi hukum belum ada atau kalaupun ada tetapi kurang jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim perlu menciptakan atau menyempurnakannya. Sedangkan penerapan hukum adalah penerapkan hukum abstrak pada peristiwa konkret. 1 Buku II edisi revisi 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Jakarta: Mahkamah Agung R.I., Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011), hlm. 55, telah memasukkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai Hukum Material PA.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
65
ANOTASI TOKOH PUTUSAN KITA Sementara maksud metode interpretasi adalah usaha yang dilakukan hakim untuk memutuskan perkara yang hukumnya kurang jelas untuk diterapkan pada kasus konkret. Metode argumentasi adalah metode penalaran hukum yang digunakan hakim ketika peraturan tidak lengkap. M a ka f u n g s i nya a d a l a h u n t u k melengkapi. Sementara metode konstruksi usaha yang digunakan ketika aturan belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum. Tu j u a n m e to d e p e n e m u a n hukum adalah agar hukum dapat mencapai tujuan, dimana tujuan utama hukum ada tiga, yakni:² keadilan, kepastian,³ dan kemanfaatan. Di sisi lain disebutkan tiga alasan mengapa kebutuhan penafsiran (penemuan hukum) semakin kuat. Pertama, UU bersifat konservatif karena begitu diundangkan sudah diam, sehingga memerlukan aktualisasi untuk akomodasi perkembangan agar mampu menjadi hukum yang hidup (living law). Kedua, kewenangan menentukan kebenaran dan keadilan di persidangan hanyalah hakim, sementara UU lahir dalam proses legislasi. Ketiga, masyarakat terus berkembang.4 Sejalan dengan itu alasan perlunya metode penemuan hukum Islam disebutkan misalnya oleh alDawâlibî minimal tiga. Pertama, apa yang dirumuskan dalam undangundang, sebagai sumber utama hukum, kurang atau tidak jelas. Kedua, aturannya semula jelas namun kasus berkembang lebih kompleks dari apa yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, karena masyarakat berkembang demikian cepat sehingga banyak kasus yang belum terdapat aturannya dalam undang-undang.5 Adapun metode penemuan
hukum Islam juga ada perdebatan di antara para ahli. Secara umum disebutkan dua metode, yakni: (1) metode penemuan hukum dengan interpretasi/penafsiran (linguistic, alt}urûq al-bayânîyah), dan (2) metode penemuan hukum analogi (kausasi, alta'lîl). Muhammad Abû Zahrah menyebut (1) metode literer (tarîqah lafz}îyah) dan (2) metode maknawiyah (tarîqah ma'nawîyah).6 Namun ada juga yang menyebut, ahli hukum Islam modern, bahwa metode penemuan hukum Islam ada tiga, yakni: (1) ijtihad bayâni (linguistic), (2) ijtihad qiyâsi (analogi), dan (3) ijtihad istislahi (mas}lah}ah, welfare). Namun kalau dicermati lebih jauh, metode ijtihad qiyâsi dan ijtihad istislahi sama dengan metode kausasi. Lebih jauh malah al-Ghazâli menawarkan metode penyelarasan (sinkronisasi atau al-taufiq). Maka dalam tulisan ini dicoba untuk menggabungkan teori tersebut menjadi tiga metode penemuan hukum Islam, yakni: (1) metode interpretasi (linguistic, bayâni), (2) metode kausasi (analogy,al-ta'lîl), dan (3) metode sinkronisasi.8 Metode interpretasi/linguistic/ penafsiran adalah dengan cara melakukan interpretasi/penafsiran terhadap teks hukum Islam yang ada dalam al-Qur'an dan sunnah nabi Muhammad saw. Maka metode ini hanya berlaku terhadap kasus yang sudah ada teks hukumnya, hanya saja teks tersebut masih kabur atau kurang jelas. Sementara metode kausasi digunakan untuk menemukan hukum terhadap kasus yang tidak ada teks hukumnya, dengan cara memperluas cakupannya, sehingga mencakup kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya (nash). Metode kausasi ini
2 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 79. 3 kepastian hukum mempunyai dua sisi, yakni pasti dapat ditentukan hukum dalam hal yang konkrit, dan kepastian dalam arti keamanan hukum. 4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 860. 5 Al-Dawâlibî, Al-Madkhal Ilâ 'Ilm al-Us}ûl al-Fiqh (Beirût: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965), hlm. 6.
6 Abû Zahrah, 'Ilm Us}ûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Fikr al'Arabî, t.t.), hlm. 90. 7 Al-Dawâlibi, al-Madkhal ilâ 'Ilm al-Us}ûl al-Fiqh, hlm. 405-412. 8 Syamsul Anwar, “Metodologi Hukum Islam”, Kumpulan Makalah dan Diktat Kuliah Ushul Fikih, hlm. 22 dst., 58.
66
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
masih dikelompokkan menjadi dua, yakni: 1. metode qiyâsi (binâ' alah}kâm 'alâ al-'illah), yakni penyamaan hukum kasus baru dengan kasus lama karena ada kesamaan 'illat, dan 2. metode teleologis (ta'lîl alah}kâm bi maqâs}id alsyarî'ah), yakni penyamaan hukum kasus baru dengan kasus lama karena ada kesamaan tujuan hukum. Adapun metode penyelarasan (sinkronisasi) berupaya menyelaraskan berbagai dalil hukum yang mungkin secara zahir bertentangan. Metode sinkrinisasi ini dikembangkan menjadi tiga, yakni:9 1. metode jama/i'. 2. Metode tarjih, dan 3. Metode nasakh. Tulisan ini merupakan catatan ringkas tentang pandangan penulis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0346/Pdt .P/2014/PA JS., yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 597 K/Ag/2015 atas Penetapan perkara Asal Usul Anak. Dalam menganalisis masalah ini penulis lebih menekankan pada penggunaan pendekatan linguistic (bahasa), dengan analisis monodisipliner, interdisipliner dan multidisipliner. Dua pendekatan terakhir adalah pendekatan yang akhir-akhir ini ditawarkan para pemerhati karena dirasa memberikan pandangan, pemikiran dan keputusan yang lebih konprehensif. Keputusan Rakernas di Balikpapan pun pada hakikatnya dalam rangka menggunakan analisis interdisipliner. Sistematika tulisan adalah deskripsi ringkas tentang duduk perkara setelah pendahuluan. Bagian berikutnya deskripsi analisis terhadap kasus. Tulisan diakhiri dengan catatan akhir sebagai kesimpulan. 9
Ibid., hlm. 57.
ANOTASI PUTUSAN tentang Perkawinan yang mengatur bahwa ”bila asal-usul anak tidak dapat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibuktikan dengan akta otentik maka yang memeriksa dan mengadili mengenai hal itu akan ditetapkan perkara tertentu pada tingkat pertama dengan putusan pengadilan yang d a l a m s i d a n g m a j e l i s t e l a h berwenang”, juncto pasal 103 ayat (2) menjatuhkan Penetapan perkara Asal Kompilasi Hukum Islam, dalam Buku I tentang Perkawianan, menyatakan Usul Anak yang diajukan oleh : 1. David Allen Clive Delbridge, umur bahwa “bila akta kelahiran dan alat 50 tahun, agama Islam, pekerjaan bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) Swasta, Warga Negara Australia, tidak ada, maka Pengadilan Agama pemegang Passport Australia No.E dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah 4027459, sebagai Pemohon I. 2. ANASTASIA, lahir di Jakarta, pada mengadakan pemeriksaan yang teliti tanggal 27 April 1977, swasta, berdasarkan pada bukti-buki yang Warga Negara Indonesia, Agama sah”; sedangkan dalam ayat (3)nya Islam, pemegang Kartu Tanda disebutkan: “bahwa atas dasar Penduduk No. 317401670477005, ketetapan Pengadilan Agama tersebut ayat (2), instansi Pencatat kelahiran Pemohon II. Dalam hal ini Pemohon I dan II yang ada dalam daerah hukum d i w a k i l i k u a s a n y a I R A WA N P e n g a d i l a n A g a m a t e r s e b u t SOETANTO, SH dan MAORIZAL, SH., mengeluarkan akta kelahiran bagi advokat pada kantor Hukum IRAWAN anak yang bersangkutan”. SOETANTO & REKAN, berkantor di Sementara Mahkamah Agung R.I. Gedung Graha Irama Lt.15, Suite B, Jl, d e n g a n p u t u s a n N o m o r 5 9 7 H.R Rasuna Said, Blok X-1, Kav.1 & 2, K/Ag/2015, tanggal 30 September Jakarta 12950, berdasarkan surat 2015, mengadili: kuasa tertanggal 17 Desember 2014 , Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. DAVID selanjutnya disebut Para Pemohon . Para Pemohon mengajukan ALLEN CLIVE DELBRIDGE, dan 2. permohonan yang pada pokoknya ANASTASIA tersebut; Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta alasan Pemohon sebagai berikut: N o m o r I. M o h o n a g a r D a v o n D a v i d S e l a t a n Delbridge, lahir di Jakarta pada 0346/Pdt.G/2014/PA.JS., tanggal 09 tanggal 8 Juni 2010, ditetapkan April 2015 M. bertepatan dengan sebagai anak sah yang lahir dari tanggal 19 Jumadil Akhir 1436 H.; perkawinan Pemohon I dan MENGADILI SENDIRI: Pemohon II. M o h o n a g a r P e n g a d i l a n 1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon; memerintahkan kepada Kantor Suku Dinas Kependudukan dan 2. Menetapkan anak yang bernama DEVON DAVID DELBRIDGE, lahir Pencatatan Sipil Kota Administrasi di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2010 Jakarta Selatan untuk menerbitkan adalah anak yang sah dari hasil atau memperbarui akta kelahiran perkawinan Pemohon I (DAVID Davon David Delbridge. ALLEN CLIVE DELBRIDGE) dan Penetapan dari Pengadilan Agama Pemohon II (ANASTASIA); adalah: 1. Menolak permohonan Para 3. Memerintahkan kepada Kepala Kantor Dinas Kependudukan dan Pemohon seluruhnya; Pencatatan Sipil Kota Jakarta 2. Membebankan kepada Para Selatan untuk menerbitkan Pemohon untuk membayar biaya dan/atau memperbarui Akta perkara sejumlah Rp. 216.000,00 ( Kelahiran anak yang bernama dua ratus enam belas ribu DEVON DAVID DELBRIDGE; rupiah). didasarkan pada ketentuan Pasal 55 4. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 B. Duduk Perkara
perkara sejumlah Rp216.000,00 (dua ratus enam belas ribu rupiah); Adapun alas an-alasan kasisi mengabulkan permohonan pemohon adalah sbb.: Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Para Pemohon Kasasi/Para Pemohon dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah: 1. Bahwa Para Pemohon Kasasi keberatan terhadap Penetapan a quo karena judex facti salah dalam pertimbangan hukumnya yang pada bagiannya merugikan kepentingan masa depan dan hak-hak anak Para Pemohon Kasasi; 2. B a h w a j u d e x f a c t i d a l a m pertimbangan hukumnya terpaku dan mendasarkan dari sisi hukum perdata formal semata-mata tanpa mempertimbangkan dari sisi hukum yang lebih luas dan mendasar yang dapat memberikan perlindungan, keadilan dan kepastian hukum terhadap hak asasi anak Para Pemohon Kasasi, sebagaimana yang dimaksud dalam: (I) Pasal 28 B ayat (2) UndangU n d a n g D a s a r 1 9 4 5 ya n g menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari .….”; (ii) Pasal 28 D ayat (1) UndangU n d a n g D a s a r 1 9 4 5 ya n g menyatakan: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum“; (iii) Pasal 28 G ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
67
ANOTASI TOKOH PUTUSAN KITA
Karenanya judex facti telah salah dalam penerapan hukum yang berakibat terabaikannya semua hak dasar anak dari Para Pemohon Kasasi untuk mendapatkan perlindungan diri pribadi dan martabat yang hakiki untuk melangsungkan hidup, tumbuh dan berkembang dengan mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan serta kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, memperoleh kesempatan yang sama dalam mencapai persamaan dan keadilan. 3. B a h w a j u d e x f a c t i t i d a k mempertimbangkan pula kepentingan dan hak asasi manusia anak Para Pemohon Kasasi yang wajib dijamin, dilindungi serta dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, negara, maupun pemerintah seumumnya maupun secara khusus untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 4. Bahwa judex facti telah salah dalam mempertimbangkan hukum atas Surat Catatan Nikah Islami (P-8). J u d e x f a c t i h a n y a mempertimbangkan kekuatan pembuktian atas bukti surat di atas, tanpa dan secara salah tidak mempertimbangkan secara material fakta hukum dari bukti P8; 5. Bahwa sesuai dengan fakta hukum dalam bukti P-8 yang diperkuat oleh bukti keterangan saksi-saksi dalam persidangan, senyatanyatanya secara hukum Para Pemohon Kasasi telah menikah secara syari'at Islam, yang berarti pernikahan Para Pemohon Kasasi telah sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun perkawinan menurut hukum munakahat Islam,
68
sekalipun persyaratan administratif sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, baru d i p e n u h i ke m u d i a n d e n ga n dilakukannya pernikahan ulang Para Pemohon Kasasi secara resmi dan tercatat di Kantor Urusan Agama Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, pada tanggal 4 Mei 2014, sesuai dengan bukti P-2; 6. B a h w a d e n g a n d e m i k i a n pernikahan Para Pemohon Kasasi yang dilakukan menurut hukum munakat Islam pada dasarnya tidak menyalahi atau bertentangan dengan, dan karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini ditegaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam, dimana dalam Pasal 4 secara tegas dinyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”; 7. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum di atas, tidak terbantahkan lagi bawha Devon David Delbridge, adalah anak sah dari pernikahan yang sah dari Para Pemohon Kasasi semula Para Pemohon, karenanya judex facti pertimbangan dan penerapan hukum judex facti yang menyatakan bahwa: Devon David Delbridge lahir dari pekawinan yang tidak sah/belum dicatatkan/tidak berkekuatan hukum adalah keliru dan salah; 8. Bahwa pertimbangan atau dalil Para Pemohon Kasasi sebagaimana tersebut di atas adalah sesuai d e n ga n d a l i l f i q h iya h ya n g tercantum dalam kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu jilid V halaman 690 sebagai berikut: “Pernikahan, baik yang sah m a u p u n ya n g f a s i d a d a l a h merupakan sebab untuk
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
menetapkan nasab di dalam suatu kasus. Maka apabila telah nyata terjadi suatu pernikahan, walaupun pernikahan itu fasid (rusak) atau pernikahan yang dilakukan secara adat, yang terjadi dengan cara-cara akad tertentu (tradisional) tanpa didaftarkan di dalam akta pernikahan secara resmi, dapat ditetapkan bahwa nasab anak yang dilahirkan oleh perempuan tersebut sebagai anak dari suami istri (yang bersangkutan)”;
PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut: mengenai alasan ke-1 sampai dengan alasan ke-8: Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, karena judex facti telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut: • Bahwa berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Tentang perkawinan yang sah, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskannya sebagai perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan penjelasan ini dipertegas oleh Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Hal ini menjelaskan bahwa pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan bagi orang Islam belum menjadi hukum poisitif di Indonesia;
ANOTASI PUTUSAN • Bahwa Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II telah melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum Islam pada tahun 2009 tetapi tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau dengan kata lain tidak tercatat, dan memperoleh anak yang diberi nama Devon David Delbridge pada tanggal 8 Juni 2010, maka bila berpegang teguh kepada bunyi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 huruf a Kompilasi Hukum Islam, anak bernama Devon David Delbridge adalah anak sah dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II; • Bahwa menyangkut hak anak dan perlindungan atas anak Pengadilan Agama seharusnya mendasari pertimbangannya dengan asas “kepentingan yang terbaik bagi anak” yaitu mempertimbangkan hak tumbuh kembang anak baik dari aspek psikologis perkembangan anak maupun dari aspek peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 2 dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak; • Bahwa dalam Hukum Islam sendiri penetapan asal usul anak atau penetapan nasab juga dilakukan dengan memperhatikan kepentingan anak, yaitu cukup dengan adanya pernikahan tanpa memandang sah atau tidaknya p e r k aw i n a n te r s e b u t ( I b n u Qudamah, Al-Mughni, VIII:96 atau Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuh, VII:690). Cara lain ialah berbentuk pengakuan (iqrar), dan pada kondisi adanya pihak lain baru diperlukan pembuktian (bayyinah); Bahwa oleh karena itu Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan pertimbangan berikut ini:
Menimbang, bahwa dalam hal kepentingan anak dan lagi pula perkawinan Pemohon I dan Pemohon II meskipun pada awalnya pernikahan Pemohon I dan Pemohon II dilakukan secara tidak tercatat kemudian dilakukan tajdid nikah (nikah resmi) dan memperoleh Akta Nikah, maka menurut Majelis Hakim Agung permohonan tentang Penetapan Asal Usul Anak Para Pemohon dapat dipertimbangkan; Dengan demikian, meskipun dua keputusan ini bertentangan; dimana satu menolak permohonan, s e m e n t a ra s a t u nya m e n e r i m a permohonan, namun dua putusan ini secara prinsip menggunakan dasar h u k u m ya n g s a m a . A p a ya n g menyebabkan munculnya perbedaan putusan pada bagian berikut dijelaskan. C. Analisis Kasus Seperti ditulis pada bagian pendahuluan, ada beberapa kata kunci dalam penemuan hukum, yakni pembentukan, penciptaan, penemuan, penerapan, dan pelaksanaan. D e m i k i a n j u ga s u d a h p o p u l e r sejumlah teori penemuan hukum, yakni metode interpretasi, metode argumentasi, dan metode konstruksi.10 Dalam tulisan ini penemuan hukum yang dimaksud adalah penerapan atau pelaksanaan. Untuk menganalisis masalah yang dibahas dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan bahasa dan analisis interpretasi (metode interpretasi), sebab dalam menyelesaikan masalah asal usul anak telah ada perundang-undangan yang m e n ga t u r. D a l a m m e n j e l a s ka n masalah ini penulis menggunakan analisis Interpretasi Monodispliner, Interpretasi Interdisipliner dan Interpretasi Multidisipliner. Adapun yang dimaksud dengan Interpretasi Monodisipliner, bahwa dalam menganalisis satu masalah dilakukan dengan menggunakan satu disiplin ilmu tertentu dan 10 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2006), hlm.30; Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 52; Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: sebuah Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 55.
menggunakan metode tertentu. 11 Maka dalam studi monodisipliner satu bidang ilmu tersendiri dengan objek material dan objek formal (pendekatan, sudut pandang) tertentu, dan dengan metode tersendiri/tertentu pula. Dalam bidang hukum, Interpretasi Monodisipliner adalah dalam menyelesaikan satu kasus diselesaikan dengan menggunakan hukum material di bidang hukum tersebut. Misalnya apa yang dilakukan para hakim selama ini dalam menyelesaikan masalah perkawinan adalah dengan menggunakan hukum material yang berkaitan dengan perkawinan, yakni UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Adapun Interpretasi Interdisipliner dalam kajian hukum biasa dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu hukum dalam menyelesaikan satu masalah. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.12 Dengan demikian Interpretasi Interdisipliner masih dibatasi dalam cabang ilmu hukum. Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi”, hakim dapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang, yaitu hukum pidana, administrasi negara, dan perdata. Kasus pernikahan Syeikh Puji dengan Lutviana Ulfa misalnya, bisa dilihat dengan melihat interpretasi hukumnya pada KUH Perdata tentang status pernikahan dini, dan juga dalam UU Perlindungan Anak yang berkaitan dengan masalah pidananya. 13
11 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma, 2010), hlm. 18. 12 Yudha Bahkti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 12 13 Memang ada pengertian lain dari interdisipliner, yakni kerjasama antar satu ilmu dengan ilmu lain sehingga menjadi satu ilmu baru dengan metode baru. Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, hlm. 21; Dalam s o s i o l o g i d i s e b u t j u g a S o s i o l o g i I n te rd i s i p l i n e r (Interdisciplinary Sociology), yang berarti memadukan antara sosiologi dan ilmu lain, seperti sosiologi budaya, merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi dan ilmu budaya, sosiologi kriminalitas, merupakan perpaduan ilmu sosiologi dan ilmu kriminalitas, sosiologi ekonomi, sosiologi keluarga, sosiologi pengetahuan. Nurani Soyomukti, Pengantar Sosiologi (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 113 dst.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
69
ANOTASI TOKOH PUTUSAN KITA Sementara dengan Interpretasi Multidisipliner bahwa dalam menyelesaikan satu masalah, hakim perlu mempelajari satu atau beberapa disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan perkataan lain, di sini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu yang berbeda-beda di luar hukum.14 Dengan demikian hakim tidak cukup mengandalkan keahlian di bidang hukum saja, tetapi dibutuhkan keahlian dari bidang ilmu lain yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Aspek Ilmu Jiwa dari hukum menjadi psikologi hukum; aspek sosial dari hukum menjadi sosiologi hukum, demikian seterusnya dengan aspekaspek lain dari hukum. Pengertian asli dari kajian multidisipliner adalah kerjasama antara ilmu pengetahuan yang masing-masing tetap berdiri sendiri dan dengan metode sendiri-sendiri.15 Disebut juga bahwa multidisipliner adalah interkoneksi antar satu ilmu dengan ilmu lain namun masingmasing bekerja berdasarkan disiplin dan metode masing-masing.16 Jazim Hamidi adalah di antara ahli hukum yang memandang penting, bahkan semakin tidak terelakkan lagi kebutuhan terhadap Interpretasi Interdisipliner dan/atau multidisipliner di bidang hukum untuk menyelesaikan masalah yang muncul di zaman teknologi seperti sekarang. Dalam ungkapan Jazim Hamidi, ke depan Interpretasi Multidisipliner ini akan sering terjadi, mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam dan bermunculan, seperti kejahatan cyber crime, white color crime, terrorism, dan lain sebagainya. 17 Artinya, untuk menyelesaikan kasuskasus kontemporer tidak cukup hanya dengan pendekatan monodisipliner. Kalaupun masih dapat dijawab dengan
14 Yudha Bahkti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, hlm. 12 dst. 15 A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengatahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 59; Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, hlm. 19-20. 16 Kaelan, Metode Penelitian Agama, hlm. 20. 17 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2005).
70
monodisipliner tetapi penyelesaiannya kurang konprehensif, belum tuntas, sehingga masih menyisakan masalah. Dengan menggunakan tiga model interpretasi ini dalam membaca putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan Putusan Mahkamah Agung R.I. di atas, maka secara sederhana boleh dikatakan bahwa Pengadilan Agama Jakarta Selatan menggunakan model Interpretasi Monodispliner dalam penetapannya. Namun demikian penetapan ini syarat dengan usaha substansial dan misi prospektif peraturan perundangundangan perkawinan. Artinya, dengan putusan ini ada misi luar biasa yang ingin diemban dan dibangun, yakni masa depan perundangundangan di bidang perkawinan. Misi putusan ini menurut analisis penulis, di antaranya bahwa permohonan penetapan status anak ini pada prinsipnya adalah permohonan dispensasi. Maka penetapan PA ini ingin tegas bahwa masa dispensasi dalam berbagai hal di bidang perkawinan sudah terlalu lama b e r a k h i r. B a h w a p e m b e r i a n dispensasi sudah tidak waktunya lagi, dan tidak relavan lagi. Setelah UU No. 1 tahun 1974 berumur 41 tahun, mestinya isinya sudah waktunya dipatuhi secara menyeluruah. Dengan umur UU yang begitu tua tidak ada lagi alasan orang tidak mematuhinya. Sebaliknya, dengan pemberian dispensasi semacam ini membuat perundang-undangan di bidang p e r k aw i n a n t i d a k m e m p u nya i kekuatan (powerless). Orang merasa tidak masalah kalau tidak mematuhi perundang-undangan perkawinan, sebab kalau pun tidak mematuhi selalu saja ada jalan dispensasi yang akan diberikan para hakim. Jurus ini juga yang digunakan banyak orang dalam berbagai kasus. Prakter poligami di berbagai daerah dengan modus yang sama terjadi. Laki-laki yang akan poligami tidak perlu repot mengurus dan meminta ijin Pengadilan Agama. Jurus mudah nya adalah nikah siri dan lanjut dengan mempunyai anak. Setelah itu minta
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
dispensasi penetapan perkawinan dengan alasan yang sama dengan kasus ini, untuk penetapan status anak 'demi masa depan anak'. Dengan demikian, putusan PA ini dalam kaitannya dengan misi pembangunan hukum ke depan agar dipatuhi masyarakat , pantas mendapat apresiasi. Hanya saja cara dan pendekatannya perlu ditingkatkan, dari Interpretasi Monodisipliner meningkat menjadi minimal Interpretasi Interdisipliner, bahkan sudah waktunya meningkat menjadi Interpretasi Multidisipliner. Sementara putusan Mahkamah Agung tersebut di atas boleh d i ka t a ka n te l a h m e n g g u n a ka n pendekatan Interpretasi Interdisipliner. Artinya di samping telah berdasarkan pada materi hukum di bidang perkawinan, putusan ini juga didasarkan pada UUD 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan putusan MK ini berarti sudah sinkron secara sederhana dengan hasil Raketnas Balikpapan, yang menekankan pada penggunaan p e n d e ka t a n d a n / a t a u a n a l i s i s Interpretasi Interdisipliner. Namun boleh jadi sudah waktunya untuk lebih maju ke analisis interpretasi multidisipliner; berupa analisis sosiologi, analisis psikologis, analisis biologis, dll. Misalnya dalam memberikan pertimbangan pada kasus dispensasi perkawinan dini dengan menggunakan berbagai tinjauan yang relevan, baik tinjauan hukum maupun tinjauan ilmu di luar hukum, misalnya Ilmu Biologi untuk mengetahui kesiapan biologis dalam rangka menjalankan fungsi reproduksi. Demikian juga Ilmu Jiwa dalam rangka mengukur kesiapan para calon suami dan isteri menjalankan tugas-tugas dan fungsifungsi dalam kehidupan rumah tangga, menjadi isteri dan ibu dari anak. Demikian seterusnya dengan ilmu lain yang relevan.
ANOTASI PUTUSAN Demikian juga analisisnya tidak h a n y a m e l i h a t d a n mempertimbangkan orang yang sedang kena dan/atau ditimpa kasus, tetapi juga prospek hukum ke depan dan sisi pelajaran bagi orang lain. Perlu ada ketegasan agar orang menghargai dan pada akhirnya mematuhi hukum. Te n t u t i d a k m u d a h u n t u k mengakomodir dua kepentingan yang boleh jadi bertentangan, tetapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan bersama secara serius, substansial dan berkelanjutan. Misalnya di samping berusaha menyelesaikan masalah yang sudah terjadi, ada juga usaha memberikan pelajaran bagi yang bersangkutan dan pada gilirannya orang lain agar tidak melanggar. Misalnya ada sanksi. Dengan demikian pendekatan Interpretasi Interdisipliner yang digunakan Mahkamah Agung masih berada pada tingkatan penyelesaian masalah yang dihadapi, belum digunakan untuk menggiring masyarakat mematuhi peraturan perundang-undangan bidang perkawinan, yang dengan cara itu membuat UUP semakin kuat dan dipatuhi. Pantas juga dirasakan sebagai langkah mundur ketika dalam putusan MA menyebut bahwa hukum Islam dalam bentuk fikih klasik, juga mendapat pengakuan sebagai dasar pengabasahan perkawinan di Indonesia. Sebab dengan pengakuan ini menjadi banyak aturan dalam perundang-undangan perkawinan yang menjadi hambar; perkawinan sah tanpa pencatatan, poligami boleh tanpa ijin pengadilan, talak absah diucapkan suami di manapun. Penyebutan ini dirasa langkah mundur sebab mestinya kita bersama-sama berusaha membangun paradigma dan kepercayaan bahwa fikih Islam Indonesia di bidang perkawinan adalah perundang-undangan di bidang perkawinan. Sebab rumusan itulah yang lebih cocok dengan konteks masyarakat Indonesia dengan dua alasan. Pertama, hasil ijtihad
kolektif berupa Undang-Undang Perkawinan Indonesia lebih cocok dengan konteks Indonesia sekarang. Kedua, Undang-Undang Perkawinan sebagai hasil pemikiran (ijtihad) kolektif dari berbagai ahli di bidang hukum Islam, mempunyai kekuatan yang lebih kuat dan konprehensif dari pada fikih yang bersifat individu.18 D. Kesimpulan Ada dua catatan sebagai kesimpulan dari bahasan tulisan ini. Pertama, penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menolak permohonan pemohon, dan penetapan Mahkamah Agung yang menerima permohonan pemohon, sama-sama mempunyai misi dan substansi yang syarat dengan tujuan memberikan yang terbaik untuk penegakan hukum. Kedua, secara kasat mata penetapan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan menggunakan pendekatan dan analisis Interpretasi Monodisipliner, sementara penetapan Mahkamah Agung menggunakan Interpretasi Interdisipliner. Dari aspek ini maka pendekatan yang digunakan Mahkamah Agung dirasakan lebih konprehensif. Namun interpretasi interdisiplinari yang digunakan masih pada aspek penyelesaian masalah, belum berusaha membangun kekuatan peraturan perundangundangan bidang perkawinan di masa depan. Karena itu, di samping berusaha memberikan perhatian pada aspek masa depan perundangundangan, juga sudah waktunya memberikan perhatian menggunakan pendekatan dan analisis interpretasi multidisipliner.
18 Sekedar penjelasan singkat dan pandangan penulis tentang produk pemikiran Hukum Islam; fikih, fatwa, yurisprudensi dan kodifikasi dapat dilihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010), hlm. 49 dst.
Daftar Pustaka Abû Zahrah, 'Ilm Us}ûl al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabî, t.t.. Al-Dawâlibî, Al-Madkhal Ilâ 'Ilm alUs}ûl al-Fiqh. Beirût: Dâr alKitâb al-Jadîd, 1965. A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengatahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens. Jakarta: Gramedia, 1985. Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2006. Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2005. Kaelan, Metode Penelitian Agama Ku a l i ta t i f I n te rd i s i p l i n e r . Yogyakarta: Paradigma, 2010. Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2010. N u ra n i S oyo m u k t i , Pe n g a n t a r Sosiologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir. Bandung: Refika Aditama, 2006. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1996. Syamsul Anwar, “Metodologi Hukum Islam”, Kumpulan Makalah dan Diktat Kuliah Ushul Fikih. Tim Penyusun, Buku II edisi revisi 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta: Mahkamah Agung R.I., Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Yu d h a B a h k t i A r d h i w i s a s t r a , Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni, 2000. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) UU No. 35 tahun 2014 tentang Peruabahan Perlindungan Anak.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
71
TOKOH POSTUR KITA
REKRUTMEN HAKIM YANG TERTUNDA Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam pasal-pasal tersebut, terdapat kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” yang diajukan Judicial Review oleh Pengurus Pusat Ikatan Hakim alam kurun waktu lima tahun sejak 2011 hingga Indonesia (IKAHI) sebagai Kuasa 2 0 1 6 , k e e m p a t Hukum dari Mahkamah Agung RI, lingkungan peradilan di bawah karena bertentangan dengan Pasal 24 M a h k a m a h A g u n g m e n g a l a m i ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal kekurangan hakim dalam jumlah yang 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar cukup signifikan. Salah satu eksesnya, 1945. Selain itu, pasal-pasal yang pola mutasi dan promosi hakim di diajukan Judicial Rerview tersebut, empat lingkungan peradilan, juga juga bertentangan dengan dua asas mengalami kendala. Hal ini karena, Lex certa dan Lex superior derogate selama kurun waktu tersebut, belum l e g i i n f e r i o r i . A s a s p e r t a m a ada titik temu terkait proses seleksi menyatakan suatu materi dalam hakim yang dilakukan oleh Mahkamah peraturan perundang-undangan tidak Agung bersama dengan Komisi dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis. Dan asas kedua Yudisial. Kewenangan Komisi Yudisial menyatakan suatu undang-undang untuk ikut bersama Mahkamah Agung yang lebih rendah tidak boleh dalam proses seleksi hakim tingkat bertentangan dengan undang-undang pertama terdapat dalam Pasal 14A yang lebih tinggi. Keadaan tersebut berakhir ayat (2) dan (3) Undang-Undang setelah Mahkamah Konstitusi pada 28 Nomor 49 Tahun 2009 tentang Oktober 2015 membacakan putusan Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Nomor 43/PUU-XII/2015 bahwa Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) kewenangan Komisi Yudisial untuk dan (3) Undang-Undang Nomor 50 ikut bersama Mahkamah Agung dalam Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua seleksi hakim tingkat pertama, atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1989 tentang Peradilan Agama, dan 1945 dan dinyatakan tidak memiliki Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undangkekuatan hukum mengikat. Dengan
D
72
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
demikian, Mahkamah Agung menjadi otoritas tunggal pelaksana seleksi hakim tingkat pertama. Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.
Selain itu, pasal-pasal yang diajukan Judicial Rerview tersebut, juga bertentangan dengan dua asas Lex certa dan Lex superior derogate legi inferiori.
Ekses defisit hakim Mutasi bagi hakim di lingkungan peradilan agama baik di pengadilan tingkat pertama maupun di tingkat banding, dilakukan apabila hakim yang bersangkutan telah menjalankan tugas sekurang-kurangnya 3 sampai 4 tahun, kecuali yang akan dipromosikan sebagai pimpinan. Sementara bagi hakim yang ditugaskan di daerah terpencil atau di daerah rawan konflik, dapat dilakukan mutasi apabila hakim yang bersangkutan telah menjalankan tugas sekurang-kurangnya 2 tahun.
POSTUR
Ketentuan mengenai masa kerja hakim pengadilan agama sebagaimana di atas, terdapat dalam Lampiran Surat Keputusan Mahamah Agung RI Nomor 192/KMA/SK/XI/2014 tanggal 25 November 2014 tentang Pembaruan Pola Promosi dan Mutasi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama (SK KMA 192/KMA/SK/XI/2014). SK KMA 192/KMA/SK/XI/2014 merupakan aturan mutakhir terkait pola mutasi dan promosi hakim di lingkungan peradilan agama. Sebelumnya, pelaksanaan pola promosi dan mutasi berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sudah mengalami dua kali perubahan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU 50/2009), dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Nomor 2246/DJA/OT.01.3/SK/XI/2013 tentang Pedoman Pola Karir Tenaga Te k n i s P e r a d i l a n A g a m a . Penerapan pola mutasi dan promosi di atas belum masih menghadapi beberapa kendala antara lain seperti hakim dengan masa kerja lebih dari empat tahun belum dimutasi ke pengadilan agama tertentu. Hakim dengan pangkat dan golongan tertentu yang seharusnya berpindah tugas ke pengadilan agama
dengan kelas lebih tinggi, juga mengalami kendala. Hakim yang baru penempatan pertama, atau pangkat dan golongannya masih muda di suatu pengadilan agama tertentu, “terpaksa” harus bertahan lebih lama dari ketentuan ideal (3-4 tahun). Beberapa kendala tersebut muncul akibat tidak adanya generasi hakim di bawahnya. Kendala-kendala tersebut di atas semakin bertambah genting dengan semakin bertambahnya jumlah hakim yang memasuki masa purnabakti. Sehingga, selama kurun waktu lima tahun tersebut, jumlah hakim tidak lagi memadai dengan kebutuhan ril. Jika keadaan seperti ini belum dapat diselesaikan, maka potensi permasalahan yang akan muncul akan semakin krusial terkait dengan beban kerja dan jumlah hakim yang tidak sepadan. Ekses lain akibat tidak adanya penerimaan hakim adalah adanya moratorium promosi dan mutasi baik bagi hakim di pengadilan agama kelas II, kelas I, maupun bagi hakim tingkat banding. Potret ideal Pada Maret 2015, Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Direktorat Jenderal Badan Peradlian Agama (DitbinGanis Ditjen Badilag), melalui berita di laman resmi badilag.net, menyampaikan data bahwa hakim di lingkungan peradilan agama seluruhnya berjumlah 3078 hakim dan tersebar di 359 pengadilan
agama/mahkamah syar'iyah. Jumlah tersebut jauh dari jumlah ideal yaitu 5539 hakim. Dengan demikian, dibutuhkan tambahan 2461 hakim. Adapun jumlah 359 pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan agama tersebut terdiri dari 56 PA Kelas IA, 100 PA Kelas IB dan 203 PA Kelas II. PA adalah versi singkat dari pengadilan agama/mahkamah syar'iyah. Dengan demikian, jumlah yang standar ialah 1400 hakim untuk 56 PA Kelas IA, 1500 hakim untuk 100 PA Kelas IB dan 2639 untuk 203 PA Kelas II. Faktanya, saat ini hanya ada 845 hakim di 56 PA Kelas IA, yang berarti kurang 555 hakim. Di 100 PA Kelas IB, hanya ada 873 hakim, sehingga kurang 627 hakim. Di PA Kelas II, cuma terdapat 1414 hakim, sehingga kurang 1225 hakim. Dengan adanya kendala dalam seleksi hakim tingkat pertama, ditambah dengan semakin banyaknya jumlah hakim yang memasuki masa purnabakti, maka kekurangan jumlah hakim di lingkungan peradilan agama semakin tahun semakin bertambah banyak. Untuk itu, pasca putusan MK Nomor 43/PUU-XII/2015 perlu segera dibentuk peraturan khusus terkait seleksi hakim tingkat pertama, agar persoalan defisit hakim bisa diminimalisir.[] |Rahmat Arijaya, Edi Hudiata
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
73
PENGADILANTOKOH INSPIRATIF KITA
Mencontoh Pelayanan Publik Di Pengadilan Agama Purbalingga
Selasa, 16 Desember 2014 menjadi hari bersejarah bagi PA Purbalingga. Ya, karena pada tanggal tersebut, pengadilan yang terletak di daerah kelahiran Panglima Besar Jenderal Soedirman ini meluncurkan program andalan yang kemudian hari menjadi trademark yang dikenal luas. Program itu adalah Pendaftaran Perkara Satu Pintu atau yang juga dikenal dengan one stop service. Sejumlah pejabat tinggi Mahkamah Agung dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang tergabung dalam tim monitoring pelayanan publik, hadir pada acara itu. “Merinding saya melihat pelayanan publik di PA Purbalingga ini,” kata Arif Christiono Subroto, Direktur Hukum dan HAM Bappenas, setelah hampir tiga jam melakukan observasi langsung.
74
Terkesan dengan optimalnya pelayanan publik di PA Purbalingga, Bappenas kemudian mendorong pemberian anggaran untuk
Tidak hanya menjadi pengadilan pertama di Jawa Tengah yang meraih sertifikat ISO 9001: 2008, PA Purbalingga juga berhasil menjadi salah satu ikon pelayanan publik di lingkungan peradilan agama. penyediaan gedung pelayanan yang lebih luas dan nyaman. Gedung
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
pelayanan publik itu kini sudah dapat dimanfaatkan masyarakat pencari keadilan setelah tanggal 12 Maret 2016 lalu diresmikan penggunaannya oleh Dirjen Badilag dan Wakil Bupati Purbalingga. Jika di banyak pengadilan, para pencari keadilan harus bolak balik antara kantor pengadilan, tempat fotokopi, bank, dan kantor pos untuk melengkapi syarat-syarat pendaftaran p e r k a ra , m a k a a k t iv i t a s ya n g menguras tenaga, waktu dan juga biaya itu tidak berlaku di PA Purbalingga. Para pengguna pengadilan di sana 'dimanjakan' dengan pelayanan pendaftaran satu pintu yang terpadu dan terintegrasi. Tidak hanya dilakukan secara efektif dan efisien, beberapa pelayanan juga diberikan secara gratis.
PENGADILAN INSPIRATIF
tersebut melalui SMS. Keberadaan PT. Pos Indonesia Tata ruang pelayanan publik di PA d a n B a n k d i PA P u rb a l i n g ga Purbalingga dibuat berjejer rapi merupakan hasil pendekatan apik dimulai secara berturut-turut dari yang dilakukan pimpinan pengadilan Meja Informasi, loket Pos Indonesia, kepada kedua instansi tersebut. Ini Posbakum, Meja I, Bank, Kasir, Meja II, d i l a ku k a n s e m a t a - m a t a d e m i kepuasan pengguna pengadilan. Meja III dan terakhir Meja Pengaduan. “Kita melakukan kerja sama Para pihak dapat meminta informasi syarat pendaftaran perkara dengan PT. Pos Indonesia dan Bank di Meja Informasi. Jika persyaratan Syariah Mandiri untuk memudahkan sudah dibawa tetapi belum difotokopi, p a ra p e n c a ri ke a d i la n d a la m PA Purbalingga menyediakan fasilitas mendaftarkan perkaranya. Kerja fotokopi gratis. Kemudian, jika sama itu kita lakukan dalam bentuk persyaratan itu belum di-leges sebagai MoU. Begitu juga dengan Posbakum,” alat bukti, pencari keadilan dapat kata H. Hasanuddin, Ketua PA menuju ke loket Pos Indonesia yang Purbalingga. Bagusnya pelayanan publik di selalu siaga menyediakan meterai. Langkah selanjutnya, jika para pihak PA Purbalingga tidak hanya klaim memerlukan bantuan dalam membuat sepihak dari internal pengadilan. surat gugatan/permohonan, mereka Beberapa pengunjung dan pengguna menuju loket Posbakum yang akan p e n g a d i l a n y a n g d i m i n t a i m e m b a n t u p e m b u a t a n tanggapannya oleh tim redaksi gugatan/permohonan tersebut secara Majalah Peradilan Agama juga mengkonfirmasi hal itu. cuma-cuma. Bagusnya pelayanan publik di PA Selanjutnya para pihak diarahkan untuk mendaftarkan perkaranya ke Purbalingga tidak hanya klaim sepihak M e j a I . S e t e l a h p a n j a r b i a ya dari internal pengadilan. Beberapa ditentukan, para pihak selanjutnya pengunjung dan pengguna pengadilan bergeser ke loket bank yang berada yang dimintai tanggapannya oleh tim persis di samping Meja I untuk redaksi Majalah Peradilan Agama juga membayar panjar biaya. Petugas bank mengkonfirmasi hal itu. menyerahkan bukti asli pembayaran “Bagus pelayanannya di kepada pendaftar dan memberikan berkas pendaftaran kepada kasir. Selesai dari kasir, berkas pendaftaran kemudian diserahkan ke Meja II. Petugas Meja II selanjutnya menyerahkan salinan surat gugatan/permohonan, bukti pembayaran dari bank dan barcode perkara kepada pihak pendaftar. Sampai di sini, pelayanan pendaftaran perkara sudah selesai. Melalui barcode yang diberikan saat mendaftar, para pihak dapat mengakses informasi perkembangan perkaranya, mulai dari jadwal sidang, tanggal putus, akta cerai hingga informasi biaya perkara. Selain melalui barcode, para pihak dapat mengakses informasi-informasi Alur pelayanan satu pintu
pengadilan ini. Gak bisa main-main di sini, semuanya diatur dengan sistem yang transparan,” kata Irawan, advokat yang sedang menunggu giliran sidang. Ani Rufaeti, penggugat yang datang sendiri tanpa didampingi advokat juga memberikan pendapat yang sama. “Pelayanannya cepat, orang-orangnya ramah, bagus. Saya merasa terbantu,” katanya.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
75
PENGADILANTOKOH INSPIRATIF KITA
Tidak hanya pelayanan satu pintu Tim redaksi Majalah Peradilan Agama yang melakukan kunjungan langsung ke PA Purbalingga pada medio April 2016 melihat bahwa pelayanan PA Purbalingga tidak hanya sekadar memberikan pelayanan satu pintu. Ada sejumlah pelayanan dan fasilitas lainnya yang disuguhkan PA yang yurisdiksinya mencakup 18 kecamatan ini. Misalnya ada Ruang Ibu Menyusui yang ditujukan untuk melindungi privasi para ibu menyusui. Selain itu ada juga ruang mainan anak yang ditempatkan di bagian pojok ruang tunggu pelayanan publik yang luas dan nyaman. “Sebagai aktivis anak dan perempuan, saya sangat m e n g a p r e s i a s i l a n g k a h PA
76
Purbalingga dengan adanya fasilitas ruang ibu menyusui dan ruang mainan anak,” ujar seorang lawyer, Kristi Arso, yang sedang mendampingi klien-nya ketika dimintai tanggapan. Tidak itu saja, PA Purbalingga juga menyuguhkan minuman dan permen gratis bagi masyarakat pencari keadilan. Persis di samping freezer minuman gratis, disediakan kantin kejujuran yang meskipun masih sederhana sudah lumayan cukup mengganjal perut yang lapar. Ada juga charging station yang dapat digunakan pengunjung untuk men-charge handphone atau gajet lainnya. Jika para pihak bosan menunggu antrian sidang, pihak PA Purbalingga juga sudah mengantisipasinya dengan menyediakan bahan bacaan baik berupa majalah dan buku-buku referensi yang ditempatkan rapi di tiga
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
titik berbeda di ruang tunggu. B a g i p e n ya n d a n g d i f a b e l , disediakan juga kursi roda yang siap dibantu pengoperasiannya oleh petugas khusus yang disiapkan pengadilan. Fasilitas kebersihan seperti toilet dan kamar mandi untuk publik juga dirawat begitu bersih. Di ruang tunggu dan pelayanan publik PA Purbalingga juga banyak dijumpai brosur, pamflet dan papan informasi tentang segala hal yang mungkin diperlukan masyarakat yang membutuhkan informasi. TV media juga terpampang di depan ruang sidang. Dari TV ini masyarakat dapat mengetahui info antrian persidangan mereka. Satu lagi yang menarik dari PA Purbalingga, yaitu tentang pemeliharaan arsip perkara. Setiap satu berkas perkara dibungkus plastik
PENGADILAN INSPIRATIF
untuk menjaga keamanan arsip. “Harga plastik ini tidak mahal kok. Dengan hanya Rp19.000 kita dapat 100 buah plastik. Bagus untuk menjaga arsip berkas perkara,” kata H. M a h m u d H D, Wa k i l Ke t u a PA Purbalingga, menambahkan. Seven-day publish Pengadilan Agama Kelas IB ini digawangi oleh 35 pegawai termasuk enam orang hakim. Adapun perkara yang diterima dalam lima tahun terakhir sejak 2011 rata-rata 2.370 perkara setiap tahunnya. Dengan jumlah hakim yang saat ini hanya enam orang (termasuk ketua dan wakil ketua) tentu m e r u p a k a n p e ke r j a a n b e ra t menyelesaikan ribuan perkara itu. “SDM hakim di PA Purbalingga ini kurang. Tahun 2015 kita menerima perkara sebanyak 2.596 tapi sekarang hakimnya hanya 6 orang. Akhirnya ketua dan wakil ketua banyak sidang. Selain itu banyak juga pegawai yang rangkap jabatan karena kekurangan SDM ini,” kata Hasanuddin. Menurut Hasanuddin, pada tahun 2015 PA Purbalingga aktif mengimplementasikan program oneday publish Mahkamah Agung, yakni program publikasi atau unggah (upload) putusan di Direktori Putusan pada hari putusan dibacakan. PA Purbalingga juga mencetak rekor
dengan jumlah publikasi putusan paling banyak di antara PA-PA di Jawa Tengah. “Tapi sekarang dengan jumlah perkara yang terus meningkat dan jumlah hakim yang makin berkurang, one-day publish itu kita ubah menjadi seven-day publish. Putusan sudah harus dipublikasikan maksimal 7 hari setelah dibacakan, tidak lagi satu hari,” tuturnya. “Meskipun begitu, kita semua di PA Purbalingga ini sudah bersamasama komitmen untuk selalu berusaha optimal untuk memberikan pelayanan hukum dan pelayanan publik yang excellent. Apalagi PA Purbalingga ini s u d a h m e n e ra p k a n p e l aya n a n berstandar ISO 9001: 2008,” kata Mahmud HD menambahkan.
“A l h a m d u l i l l a h j i k a b e r b i c a ra mengenai perkara ekonomi syariah, kita selalu menjadi salah satu rujukan. Belum lama ini juga bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) kita sukses menyelenggarakan workshop ekonomi syariah,” ujar Hasanuddin. Bersama 10 pengadilan agama lainnya d i I n d o n e s i a , PA P u r b a l i n g g a memperoleh sertifikat ISO 9001: 2008 dari TUV NORD yang diserahterimakan oleh Sekretaris Mahkamah Agung pada 29 Januari 2016.
Pelayanan terpadu isbat nikah
Pelayanan publik yang dilakukan PA Purbalingga tidak hanya dilakukan di dalam gedung pengadilan. Sesuai dengan anjuran Mahkamah Agung, D a r i d a t a bekerja sama dengan Kementerian perkara selama Agama dan Dinas Kependudukan dan l i m a t a h u n Catatan Sipil Kabupaten, pada tahun terakhir yang 2015 PA Purbalingga sudah mulai diperoleh tim melakukan pelayanan terpadu isbat r e d a k s i , a d a nikah. Tercatat 147 perkara yang enam kategori dikabulkan dalam sidang isbat nikah besar perkara tersebut. yang diterima Sebagaimana diketahui, pelayanan dan diputus PA terpadu isbat nikah adalah sebuah P u r b a l i n g ga pelayanan 'satu atap' yang yaitu cerai gugat , cerai talak, diperuntukan bagi masyarakat kurang dispensasi kawin, izin poligami, isbat mampu untuk memperoleh identitas hukum pengesahan nikah, buku nikah nikah dan perkara ekonomi syariah. Perkara ekonomi syariah yang dan akta kelahiran di satu tempat pada diselesaikan di pengadilan yang secara hari yang sama. struktural tercatat berdiri sejak tahun “Tahun 2016 ini rencana pelayanan 1947 ini memang tergolong banyak terpadu isbat nikah akan diadakan dibandingkan pengadilan agama pada bulan Mei 2016. Mudahlainnya di Indonesia. Banyak pihak mudahan berjalan lancar,” kata internal dan eksternal pengadilan Panitera PA Purbalingga, Jamali. yang melakukan studi banding perkara ekonomi syariah ke PA |Achmad Cholil, Aziz Falahuddin, Hirpan Hilmi| Purbalingga. Bahkan, putusan-putusan perkara ekonomi syariah di PA ini banyak yang menjadi rujukan dalam penelitian disertasi, tesis dan skripsi mahasiswa. Jadi rujukan penelitian perkara ekonomi syariah
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
77
PENGADILANTOKOH INSPIRATIF KITA
Kunci Sukses PA Purbalingga Sederet prestasi telah dicapai oleh PA Purbalingga terutama dalam hal pelayanan publik. Lantas, apa saja kunci sukses pengadilan ini dalam usaha menghadirkan pelayanan yang berbasis kepuasan publik itu? Berikut ringkasan wawancara tim redaksi dengan unsur pimpinan PA Purbalingga.
H. Hasanuddin, S.H., M.H. Ketua PA Purbalingga
Drs. H. Mahmud HD, M.H. Wakil Ketua PA Purbalingga
Kekompakan dan sistem manajemen te r b u ka a d a l a h s a l a h s a t u kuncinya menurut K e t u a PA Purbalingga. Ia mencontohkan, semua anggaran kantor diarahkan untuk peningkatan pelayanan, dan semua pegawai pengadilan mengetahui hal itu karena semuanya dibuka secara transparan dan akuntabel. Kekompakan antar pimpinan dan pegawai juga betul-betul dipelihara. “Kita selalu menjaga kekompakan, saling terbuka, jalin komunikasi dan s a l i n g b e r b a g i t u g a s ,” t u t u r Hasanuddin yang menjadi Ketua Pa Purbalingga sejak September 2012 ini. Selain itu, sebagai orang nomor satu di pengadilan itu, ia selalu berusaha agar dapat mengelola SDM yang ada dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki masingmasing pegawai. Pembinaan mental dan spiritual juga tidak kalah pentingnya. “Intinya, kita semua berusaha menjaga komitmen untuk bekerja ikhlas, bekerja keras, bekerja cerdas dan bekerja tuntas,” pungkas alumni fakultas hukum Universitas Diponegoro (Undip) ini.
“Kawank a w a n d i PA Purbalingga ini kompak. Ada semacam motivasi yang tertanam di masing-masing kita bahwa jika kita melakukan kebaikan, maka kebaikan itu akan kembali kepada kita,” kata Mahmud HD. Menurutnya, contoh tauladan yang baik dari pimpinan, motivasi dan transparansi adalah hal-hal yang menjadikan PA Purbalingga kompak maju bersama. Tidak itu saja, pembinaan yang terus menerus dan kontrol rutin juga dilakukan oleh jajaran pimpinan. “Kami secara rutin mengekspose kinerja pegawai. Penyelesaian perkara juga dikontrol secara reguler. Pembinaan dan kontrol tidak akan berpengaruh jika pimpinan tidak memberikan contoh yang baik, seperti dalam hal kehadiran, penyelesaian pekerjaan dan lain sebagainya,” ujar Hasanuddin yang sudah hampir 3 tahun hilir mudik antara rumah dan tempat tugas, Jakarta – Purbalingga setiap akhir pekan.
78
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
di PA Purbalingga menjadi salah satu kuncinya. Selain itu, semua pegawai bekerja dengan berpegangan pada Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagai pusat kendali, katanya. “Suasana kerja yang diciptakan Pak Ketua PA membuat kita nyaman kerja. Gaya kepemimpinan beliau itu menurut saya bagus sekali. Gaya oplosan, kombinasi gaya kepemimpinan modern dan tradisional,” ungkap Panitera PA Purbalingga, sambil tersenyum.
Siti Amanah, S.H., M.H. Panitera PA Purwokerto, mantan Wapan PA Purbalingga
Sejak awal tahun 2014, Siti Amanah menjabat sebagai Wakil Panitera PA Purbalingga sampai akhirnya ia m e n d a p a t promosi sebagai Panitera PA Purwokerto sejak 24 Maret 2016. Siti Amanah banyak terlibat dalam proses kelahiran pelayanan one-stop service ketika ia masih menjabat Wakil Panitera PA Purbalingga. “Suasana dan budaya kerja di PA Purbalingga memang bagus. Jadi konsep apa pun bisa jalan dengan baik. Selain itu, ada rapat rutin berjenjang Drs. H. Jamali setiap minggu membahas kondisi Panitera PA terkini terkait kinerja bersama,” Purbalingga katanya ketika mendampingi tim J a m a l i redaksi di PA Purbalingga. mengaku suasana |Achmad Cholil| kerja yang nyaman
KILAS PERISTIWA Ketua MA Melantik Dua Ketua Kamar Sekaligus Ketua MA RI Prof. Dr. M. Hatta Ali, S.H., M.H. mengambil sumpah jabatan dan melantik Ketua Kamar Perdata Soltoni Mohdally, SH., MH dan Ketua Kamar Tata Usaha Negara, Dr. Supandi, SH., MH pada Senin (18/4) pagi bertempat di Ruang Kusumah Atmadja, Gedung Utama Mahkamah Agung, Jalan Merdeka Utara Jakarta.
Dr. H. SUPANDI, S.H., M.Hum.
SOLTONI MOH. DALLY, S.H., M.H.
Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA RI
Ketua Kamar Perdata MA RI
Sekretaris MA Menyerahkan Sertifikat ISO kepada 11 PA MA RI Perkuat Kerjasama dengan MA Qatar
Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menyerahkan Sertifikat ISO 9001:2008 kepada 11 Pengadilan Agama yang telah berhasil menerapkan sistem manajemen mutu, di Bandung, Jum'at (29/1/2016).
KMA YM. Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, S.H., M.H. tengah menerima delegasi dari Qatar, Legal Advsisor Ketua MA Qatar Mr. Bakr Riyadh Al Qaysi dan Direktur Kantor Ketua MA Qatar Mr. Ahmad Hassan Al Kuwari, Rabu (2/3/2016).
Sembilan Pejabat Eselon III Badilag Dilantik Sekretaris MA Nurhadi mengambil sumpah dan melantik sembilan pejabat Eselon III Ditjen Badilag di Gedung MA, Rabu (20/1/2016) siang.
Uji Coba Aplikasi E-Test Online Calon Pimpinan Berjalan Lancar Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama Dr. H.M. Fauzan, S.H., M.H., M.M. membuka acara Uji Coba Aplikasi E-Test Online Calon Pimpinan Peradilan Agama pada Selasa (15/3/2016) siang di Aula PTA Bandar Lampung.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
79
KILAS PERISTIWA
Tiga Pengadilan Agama Jadi Percontohan Zona Integritas
Sembilan Pejabat Eselon IV Badilag Dilantik
Mahkamah Agung (MA) menetapkan tiga Pengadilan Agama (PA) sebagai percontohan penerapan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Tiga PA percontohan Zona Integritas itu adalah PA Jakarta Pusat, PA Jakarta Selatan dan PA Stabat.
Dirjen Badilag Drs. H. Abdul Manaf, M.H. mengambil sumpah dan melantik sembilan pejabat eselon IV, di Gedung Sekretariat MA Jakarta, Kamis (4/2/2016).
Bukan Sekadar Rutinitas, Raker Badilag Punya Tujuan Khusus Ditjen Badilag menyelenggarakan Raker di Bandung (25-29/1/2016). Raker kali ini difokuskan pada pengenalan ISO 9001:2015 yang dikaitkan dengan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Badilag, BP4, UIN Jakarta, dan PEKKA Tanda Tangani Nota Kesepahaman Ditjen Badilag, BP4, UIN Jakarta, dan PEKKA Tanda Tangani Nota Kesepahaman di Jakarta, Selasa (22/3/2016). Tujuan Nota Kesepahaman ini adalah untuk mengoptimalkan kemitraan yang saling memberikan manfaat dan saling mendukung, melalui pengembangan institusi dan peningkatan pelaksanaan program kerja para pihak.
80
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Ketua MA RI Melantik Tiga Puluh Dua Ketua Pengadilan Tingkat Banding Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H.M. Hatta Ali, SH., MH. melantik delapan orang Ketua Pengadilan Tinggi Agama, dua puluh dua orang Ketua Pengadilan Tinggi, dan dua orang Kepala Pengadilan Militer Tinggi pada Kamis (24/3) pukul 11.00 WIB bertempat di Gedung Mahkamah Agung RI.
KILAS PERISTIWA
PTA Palu Lakukan Akurasi Data SAIBA dan Laporan SIMAK-BMN
Dibuka Sekditjen Badilag, Diklat CPP PTA Kendari Diikuti 75 Peserta
PTA Palu menyelenggarakan kegiatan Akurasi Data SAIBA dan Laporan SIMAK-BMN Semester II yang bertempat di Balai Pelatihan Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah (11 – 13/01/2016).
PTA Kendari menggelar Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Calon Panitera Pengganti. Diklat CPP di Kendari, Senin (4/4/2016). Acara ini dibuka oleh Sekretaris Ditjen Badilag, Tukiran, SH., MM.
PTA Bandar Lampung Menjadi Pilot Project Uji Coba E-Test Calon Pimpinan Peradilan Agama Ditjen Badilag melakukan uji coba aplikasi “E-Test Online Capim” di PTA Bandar Lampung, Selasa (15/3/2016). Acara ini diikuti oleh 23 peserta terdiri dari Hakim TInggi PTA Bandar Lampung, Ketua, Wakil Ketua dan beberapa hakim Pengadilan Agama sewilayah PTA Bandar Lampung.
Sosialisasi Pengisian SPT OP dan Aplikasi Pajak e-Filling di PTA Pekanbaru
PTA Bengkulu Gelar ToT Admin SIPP
PTA Pekanbaru mengadakan Sosialisasi Pengisian SPT OP & Aplikasi Pajak e-filing, di Pekanbaru, (15/2/2016).. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh Hakim Tinggi, Pejabat Struktural dan Fungsioanal serta Pegawai PTA Pekanbaru.
Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu adakan kegiatan sosialisasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara/Case Tracking System (SIPP/CTS) versi terbaru yakni versi 3.1.1 (16-18/2/2016).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
81
KILAS PERISTIWA
Sekretaris Ditjen Badilag Lakukan Pembinaan di PTA Bengkulu
PTA Jambi Sosialisasikan Aplikasi SIPP Versi 3.1.1
Sekretaris Ditjen Badilag H. Tukiran, S.H., M.H melakukan pembinaan dihadapan para Pejabat dan staf Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu dan Ketua, Panitera, Sekretaris Pengadilan Agama Sewilayah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu (25/01/2016).
PTA Jambi Sosialisasikan Aplikasi SIPP Versi 3.1.1 (2223/02/2016). Acara ini diikuti oleh 20 orang administrator SIADPA dan Kasubag Perencanaan Teknologi Informasi dan Pelaporan PA sewilayah PTA Jambi.
PTA Pekanbaru Gelar Sosialisasi dan Evaluasi Ketentuan Pelaksanaan Penilaian Prestasi Kerja PNS PTA Pekanbaru gelar Sosialsasi dan Evaluasi Ketentuan Pelaksanaan Penilaian Prestasi kerja PNS, dengan mendatangkan Narasumber dari Kantor Regional XII BKN Pekanbaru, (11/2/2016). Kegiatan ini dihadiri oleh seluruh Hakim Tinggi, Pejabat Struktural dan Fungsional serta Karyawan/ Karyawati PTA Pekanbaru.
PTA Kendari Gelar Rakor Perdana TA. 2016
Sosialisasikan Hasil Rakor Badilag PTA Bengkulu Selenggarakan Rakerda
PTA Kendari menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) perdana dengan Pengadilan Agama di wilayahnya. Rakor digelar di Aula Pengadilan Tinggi Agama Kendari, Jum'at (12/2/16). Rakor dibuka oleh Ketua PTA Kendari, Drs. H. Armia Ibrahim, SH., MH.
PTA Bengkulu selenggarakan Rapat Kerja Daerah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu dan Pengadilan Agama Se-Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu Tahun 2016, Senin (15/2/2016).
82
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
KILAS PERISTIWA
Alhamdulillah, PA Sintang di nobatkan sebagai Juara Umum PA Sintang dinobatkan oleh PTA Pontianak sebagai juara umum sebagai satker terbaik di wilayah PTA Pontianak (22/10/2015). PA Sintang berhasil meraih delapan Penghargaan dalam berbagai kategori.
Ketua PTA Banjarmasin Resmikan Layanan EDC BRILINK PA Pelaihari Ketua PTA Banjarmasin Drs. H. M. Said Munji, SH, MH mengisi pulsa telepon genggamnya menggunakan mesin EDC BRILINK usai meresmikan layanan transaksi non-tunai pada PA Pelaihari didampingi langsung oleh petugas BRI Cabang Pelaihari, Jumat sore (15/1/2016).
Dibiayai APBD, Pelayanan Terpadu di Mempawah Tahun 2016 Akan Digelar 10 Kali Pelayanan terpadu identitas hukum di Kabupaten Mempawah tahun 2016 akan digelar sebanyak 10 kali. Seluruh biayanya berasal dari APBD Kabupaten Mempawah Tahun Anggaran 2016.
PA Giri Menang Sidang Itsbat Nikah di Pulau Gili Gede Pengadilan Agama Giri Menang melaksanakan sidang Itsbat Nikah yang bertempat di Kantor Desa Gili Gede, Selasa,( 12 April 2016). Sidang itsbat nikah ini adalah kerjasama Pengadilan Agama Giri Menang dengan Desa Gili Gede.
Pertama di NTT, PA Kalabahi Gelar Layanan Terpadu Pengadilan Agama Kalabahi berhasil menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Sidang Keliling pertama di wilayah Nusa Tenggara Timur, Kamis (3/3/2016).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
83
KILAS PERISTIWA
Sidang di Luar Gedung Perdana PA Sampit Tahun 2016 di Tumbang Samba PA Sampit melaksanakan Sidang Di Luar Gedung perdana, yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2016 di Kantor Urusan Agama (KUA) Tumbang Samba Kec. Katingan Tengah Kabupaten Katingan.
PA Sanggau Gelar Sidang di Luar Gedung Pengadilan di Kecamatan Sekadau Hilir Pengadilan Agama Sanggau kembali melakukan sidang di luar gedung pengadilan di Kecamatan Sekadau Hilir Kabupaten Sekadau, Kamis (07/04/2016).
PA Bangkinang Gelar Sidang Keliling di Tengah Musibah Banjir PA Bangkinang menyelenggarakan sidang keliling di ke Desa Lipat Kain, Kecamatan Kampar Kiri, Kamis (11/2/2016).
MS Tapaktuan Melaksanakan Sidang Keliling Perdana Tahun 2016 MS Tapaktuan melaksanakan sidang keliling di luar gedung pengadilan di Kabupaten Aceh Barat Daya, Senin (25/1/2016).
Sidang Keliling Terpadu PA Kotabumi Keempat Kali Sukses PA Kotabumi selenggarakan Sidang Terpadu di halaman Masjid Besar Kecamatan Abung Surakarta Kabupaten Lampung Utara, Rabu (16/3/2016). Sidang ini te rs e l e n g ga ra a t a s ke rj a s a m a Pengadilan Agama Kotabumi, Kemenag dan Dinas Dukcapil Kabupaten Lampung Utara.
84
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
SELAMAT DAN SUKSES ATAS PELANTIKAN YANG MULIA :
Dr. H. M. SYARIFUDDIN, S.H., M.H. Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Yudisial
AKTUAL
PERMA MEDIASI EFEKTIF BERLAKU Selain proses ajudikasi melalui persidangan di pengadilan, upaya alternatif yang acapkali ditempuh oleh para pihak berperkara adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan, salah satunya lewat proses mediasi.
S
elain menjadi trend yang mendunia, mediasi dinilai mampu mengakomodir kearifan lokal masyarakat Indonesia yang selalu mengedepankan asas musyawarah dan mufakat. Hal itu kemudian dituangkan oleh Mahkamah Agung RI dalam sebuah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016, perubahan atas PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tonggak sejarah dimulainya program mediasi di Indonesia dapat ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkmah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) No. 2 Tahun 2003 tanggal 11 September 2003
86
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PERMA RI ini mewajibkan para hakim di Pengadilan Negeri pada hari sidang pertama memerintahkan para pihak yang berperkara (perdata) untuk lebih dahulu menempu mediasi. Oleh karena ketentuan mediasi tersebut masih relatif baru, maka belum dapat terlalu mengharapkan efektifitas penggunaan mediasi di Indonesia, khususnya pada jalur pengadilan (court conneted mediation). Selama diberlakukan PERMA RI No. 2 Tahun 2003 telah diadakan uji coba dengan menetapkan empat pengadilan sebagai pilot projek yaitu masing-masing Pengadilan Negeri
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Tingkat Pertama Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Tingkat Pertama Surabaya, Pengadilan Negeri Tingkat Pertama Batu Sangkar, dan Pengadilan Negeri Tingkat Pertama Bengkalis. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menunjuk Indonesia for Conflic Transformation (IICT) sebagai mitra kerja untuk melaksanakan teknikteknik mediasi bagi calon-calon mediator dan pelatihan pengadministrasian perkara bagi para panitera bagi pengadilan tingkat pertama tersebut diatas ( Syahrisal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, & Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2011), h. 166). Kemudian pada tahun 2008,
AKTUAL
M a h k a m a h A g u n g R I ke m b a l i mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Ruang lingkup mediasi diperluas dan diperjelas, termasuk Peradilan Agama mendapat porsi untuk melakukan mediasi. PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur mediasi di pengadilan, telah ditetapkan sejak 3 Februari 2016 oleh Ketua Mahkamah Agung dan diundangkan pada 4 Februari 2016 lalu. Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. M. Hatta Ali, SH, MH memaparkan, terdapat beberapa hal baru yang merupakan penyempurnaan aturan yang lama. Hal baru itu adalah ruh dari mediasi yang termaktub dalam perubahan PERMA Nomor 1 Tahun 2016. Menurut Ketua MA yang disampaikannya dalam acara 7th Asia Pasific Mediation Forum Conference, di Lombok Nusa Tenggara Barat (10 sampai 12 Februari 2016). Beberapa hal baru tersebut antara lain; itikad tidak baik dalam mediasi dan ko n s e ku e n s i nya , p e nye l e s a i a n sebagian, pengecualian mediasi, konsekuensi tidak menempuh proses mediasi dan penyelesaian mediasi di luar pengadilan. M a h k a m a h A g u n g s e b a ga i lembaga tertinggi penyelenggara kekuasaan kehakiman di Negara Indonesia selalu mencari solusi yang terbaik untuk menanggulangi masalah bertumpuknya perkara kasasi, banyaknya keresahan dikalangan pencari keadilan oleh karena lamanya waktu yang dipergunakan serta tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai keadilan, maka Mahlamah Agung RI memilih mediasi sebagai salah satu solusi yang
terbaik untuk menanggulangi masalah tersebut. Besarnya biaya perkara apabila ditempuh dengan litigasi, mengakibatkan tingginya biaya ekonomi, dan sia-sianya waktu yang dihabiskan untuk berperkara, hal ini bagi pengusaha dimasukkan sebagai biaya cadangan, yang tentunya dibebankan kepada konsumen dan pengusaha jasa. Kepiawian hukum dijadikan alat untuk memanipulasi klen dan sistem hukum yang ada, yang pada ujungnya adalah untuk memperkaya diri sendiri. Demikian sulitnya akhirnya melahirkan arus balik yang mengarah kepada upaya menjauh dari adversary (musuh), dan ADR seolah menjadi solusi yang selama ini terjadi. Mediasi yang telah menjadi inspirasi bagi para pembuat kebijakan untuk mengadopsi dalam sistem peradilan, yang dikenal dengan “court connected mediation”. Masyarakat Indonesia sejak dahulu mengenal berbagai model penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berupa pengadilan desa yang dilakukan kepala desa, tokoh agama dan adat. Pada suku bangsa tertentu, juga mempunyai lembaga adat tersendiri untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan masyarakat. Semua pencari keadilan dimanapun juga, sangat mendambakan pemeriksaan dan penyelesaian perkara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Ruang lingkup mediasi diperluas dan diperjelas, termasuk Peradilan Agama mendapat porsi untuk melakukan mediasi.
|Moh. Noor, Alimuddin|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
87
KISAH NYATA Dr. Ahmad Zuhdi Muhdlor, S.H., M.H.
Mimpi Anak Desa yang Menjadi Kenyataan Sebagian dari kita mungkin sudah familiar dengan nama A. Zuhdi Muhdlor. Ya, bersama dengan K.H. Atabik Ali, ia menghasilkan sebuah masterpiece fenomenal, Kamus Al-Ashri (Kontemporer) Arab-Indonesia setebal 2.050 halaman yang pertama kali dirilis 20 tahun yang lalu. Tapi mungkin sedikit dari kita yang mengenal sosok A.Zuhdi Muhdlor yang kini mengabdi sebagai hakim di Pengadilan Agama Purwodadi, Jawa Tengah. Berikut adalah penuturan A. Zuhdi Muhdlor, doktor ilmu hukum jebolan UGM Yogyakarta, kepada tim redaksi Majalah Peradilan Agama beberapa waktu lalu.
Memulai Mimpi dari Desa Aku dibesarkan di pelosok desa, jauh dari keramaian kota, di kawasan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Ayahku dikenal sebagai seorang kiai yang mengelola madrasah dan majelis ta'lim. Sedang ibuku, seorang petani yang selalu setia mendampingi ayah dalam semua urusan. Perkenalanku tentang ilmu agama, tentu saja dimulai karena belajar dari ayah. Setelah itu, meskipun aku masih duduk di bangku Ma dra sa h Wa j i b B e la j a r/ MW B (setingkat SD), ayah menyuruhku ikut mengaji di pondok pesantren yang diasuh Pak De (kakak kandungn ayah) di dekat rumah. Seusai sekolah di MWB, aku melanjutkan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun Al-Hidayah di Kendal. Di jenjang SLTP ini aku sempat nyantri kepada K.H. Haidar Kebondalem, dan K.H. Wildan Abdul Hamid Kendal. Sementara jenjang SLTA (PGAN 6 Tahun) kutempuh di kota dingin, Salatiga. Beberapa kali sempat ngaji pada K.H. Zubair yang ahli falak dan ahli filsafat di Salatiga. Ta k k u s a n g k a , a y a h k u mengirimku untuk melanjutkan kuliah. Bagiku ayah meskipun orang desa, ternyata mempunyai pemikiran yang futuristik. Seperti halnya adikadikku, mereka semua juga dikuliahkan, padahal dalam
88
bayanganku, aku dan adik-adikku akan dikirim ke pondok pesantren salafi. Lebih hebat lagi, ayah yang memilihkan perguruan tinggi untukku, yakni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Padahal, setelah aku tahu akan dikuliahkan, aku ingin kuliah di UNS 11 Maret Solo, seperti umumnya pilihan temantemanku dari PGAN Salatiga Mungkin inilah berkah manut orang tua. Di Yogya selain kuliah di Fakultas Syariah IAIN, aku nyantri di Pondok Pesantren Al-Munawir, Krapyak. Kebetulan pengasuh pondok, K.H. Ali Maksum itu satu almamater dengan ayahku di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Di sini banyak sekali hikmah yang kudapatkan. Selain suasana kompetitif untuk belajar, Pesantren Krapyak juga salah satu epicentrum berbagai event besar di Yogyakarta, bahkan di Indonesia. Tak aneh, Krapyak menjadi salah satu tujuan kunjungan para pejabat dan tamu-tamu, baik tingkat nasional maupun internasional. Dari sinilah semakin terbuka jendela dunia bagiku. Akupun belajar berorganisasi, mulai dari organisasi mahasiswa, organisiasi dakwah, organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP), organisasi kemasyarakatan keagamaan, bahkan organaisasi politik. Tak lupa aku juga mencoba
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
menekuni profesi jurnalis. Tercatat aku pernah menjadi wartawan Harian Masa Kini Yogyakarta, wartawan Harian Pelita, bahkan Pemimpin Redaksi suatu majalah. Di OKP aku pernah menjadi Ketua Pengurus Wilayah GP Ansor DIY, pengurus KNPI DIY, bahkan sampai hari ini masih tercatat sebagai Anggota Majelis Pertimbangan Pemuda Indonesia DIY. Di organisasi Dakwah aku beberapa kali menjadi Ketua Korp Dakwah M a h a s i s wa I s l a m ( KO DA M A ) Yo g y a k a r t a . D i o r g a n i s a s i kemasyarakatan keagamaan, aku pernah menjadi Sekretaris PWNU DIY, dan di organisasi politik aku pernah menjadi anggota DPRD Propinsi DIY dari Fraksi Golkar. Selepas lulus sarjana muda d e n ga n m e n g g o n d o l g e l a r BA (Bachelor of Art) dari Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, boleh dibilang studi kujalani sambil belajar menjadi seorang penulis. Selain menjadi wartawan di Harian Masa Kini Yogya, bersama Arifin Junaidi (mantan anggota DPR RI), aku juga menjadi wartawan Harian Pelita Jakarta perwakilan DIY, kontributor Harian Sore Wawasan Semarang, pemimpin majalah Bangkit dan majalah Santri Yogyakarta. Meski aku menikmati hidup menjadi jurnalis, tidak jarang rasa jenuh merayap ke dalam jiwa. Apalagi jam kerja seorang jurnalis
KISAH NYATA
tidak tentu. Kadang sedang enak-enak santai dengan keluarga ditelpon bos untuk mengejar berita penting agar tidak ketinggalan dengan koran lain. Tentu masih banyak lagi suka duka balada seorang kuli tinta. Maka, akupun mencoba menulis buku, sebuah dunia yang waktu itu menjanjikan karena manusia masih 'cukup baik', tidak mudah melakukan pembajakan. Di samping itu, jagad buku belum masuk ke dunia digital.
Berkarir di Pengadilan Agama Sambil Menulis Ke g e m a ra n m e n u l i s t e t a p kupertahankan berbarengan dengan tugasku sebagai hakim menulis putusan. Bagiku, menulis adalah jejak kehidupan. Aku selalu teringat nasihat Imam Ghazali: “Kalau kamu bukan anak raja atau anak hartawan maka menulislah, karena hanya dengan menulis kamu akan mempunyai jejakjejak kehidupan yang panjang”. Benar juga kalimat bijak itu. Bahkan bagiku
karya tulis akan menjadi saksi hidup bahwa aku pernah ada di dunia ini. Aku tidak boleh hanya mengandalkan keturunan untuk menunjukkan bukti kehidupanku, karena hewan dan tumbuh-tumbuhan juga bisa punya anak. Lalu apa bedanya? Orang yang tidak memiliki prestasi apapun, begitu meninggal dunia tidak lama setelah itu akan dilupakan orang. Nah, karya tulis akan membedakannya dengan mahluk lain. Motivasi inilah yang mengantarku masuk ke dunia tulis menulis buku. Karena jika aku terus bertahan dalam penulisan di koran atau majalah, kurasakan tidak bisa menjadi jejak-jejak kehidupan. Jujur, awalnya tidak mudah bermigrasi dari penulisan pers ke penulisan buku, karena bahasa pers bersifat popular, sedang bahasa buku bersifat baku. Maka, untuk menuju ke dunia buku, aku mencoba membangun “jembatan mimikri” dengan mengambil segmen politik. Kebetulan ada momentum menjelang Pemilu 1987. Dengan bekal pengalaman sebagai wartawan, aku kumpulkan tulisan-tulisan dari berbagai surat kabar dan majalah untuk diolah menjadi depth reporting dalam bentuk buku. Dan sungguh di luar dugaan, buku tipis (karena kurang dari 100 halaman) yang kuberi judul “NU DAN PEMILU” itu laris-manis bak kacang goreng. Dalam tempo kurang dari 5 bulan, buku yang juga dikenal dengan nama “buku kuning” itu mengalami 4 kali cetak ulang. Sekali naik cetak, tidak kurang dari 20.000 eksemplar. Dari buku yang mengalami booming inilah majalah se kaliber TEMPO perlu mewawancaraiku untuk bertanya lebih jauh tentang buku yang ikut mewarnai iklim politik menjelang Pemilu 1987 itu. Sayangnya TEMPO menyebut buku itu dengan bahasa bersayap : “Sebuah buku yang ditulis oleh penulis yang tidak tersohor ….”. Duh !
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
89
KISAH NYATA
Dengan royalty yang cukup “wah” untuk ukuranku waktu itu, aku telah merasakan lezatnya hasil jerih payah menulis buku. Akupun segera menulis buku-buku lain, meskipun tidak pernah menjadi best seller seperti “buku kuning”. Buku-buku itu di antaranya: “Mengapa PPP Gembos?”, “Hukum Perkawinan, Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Umum”, dan lain-lain. Tapi lama-lama aku pingin menulis di luar politik. Karena itu ketika K.H. Atabik Ali (putera K.H. Ali Maksum) mengajakku menyusun kamus ArabIndonesia yang berbeda dengan kamus-kamus Arab-Indonesia yang sudah ada. Tawaran itu segera aku terima, karena ini aku anggap sebagai ujian apakah aku dan pak Kiai Atabik dapat mempersembahkan buku yang laris manis di pasaran secara 'normal', yakni tanpa memanfaatkan jalur politik ? Adalah suatu kebetulan yang luar biasa, kamus yang di belakang hari dinamakan Kamus Kontemporer atau Kamus Al-Ashri itu selesai ketika aku menempuh pendidikan hakim di Wisma Tugu, Puncak, Bogor. Naskah kamus yang sudah dikoreksi 2-3 kali itu, kubawa ke pendidikan hakim atau dikirim via pos oleh K.H. Atabik Ali untuk koreksi akhir. Akupun dituntut m e m b a g i wa k t u s e c a ra ke t a t , mengikuti dan menyelesaikan tugastugas pendidikan hakim, dan koreksi kamus. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah semua dapat kuselesaikan dengan baik. Dengan selesainya pendidikan hakim selama 4 bulan, selesai pula koreksi kamus untuk segera naik cetak. Yang membanggakan bagiku dan tentu bagi K.H. Atabik Ali yang menyediakan segala fasilitas penulisan, Kamus Kontemporer “AlAshri” dengan jumlah halaman 2.050 yang dilengkapi dengan gambargambar seperlunya merupakan kamus Arab-Indonesia terbesar di Indonesia,
90
bahkan di Asia Tenggara. Keunikan dari kamus ini terletak pada pola yang digunakan. Kamus-kamus lain pada umumnya menggunakan “Pola Fi'li”, tetapi kamus Al-Ashri menggunakan “Pola Abjadi” atau “Pola Alfabeti”, s e h i n g g a t e ra s a l e b i h m u d a h penggunaannya khususnya bagi para pemula. Meskipun tidak se-gegap gempita 'buku kuning', kamus Al-Ashri juga mendapat sambutan positif dari masyarakat Indonesia, bahkan sampai di kalangan bangsa rumpun melayu di Asia Tenggara. Beberapa tahun yang lalu, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Mesir mohon keihlasanku dan pak Kiai Atabik untuk meng-copy kamus AlAshri dalam jumlah ratusan untuk m a h a s i s wa ya n g b e ra s a l d a r i Indonesia, Malaysia, Singapore, Philipina Selatan dan Thailand Selatan. Bahkan mereka mohon izin untuk mencetak di sana. Aku dan pak kiai Atabik pun mempersilahkan, siapa tahu ini menjadi jariyah bagi kami. Pengadilan Agama dan Suasana Kompetitif Studi Ketika aku masuk Pengadilan Agama di tahun 1994 – sebelum itu aku di Seksi Urusan Agama Islam Kandepag Bantul – aku benar-benar memulainya dari bawah. Pertama sebagai staf Kaur Kepegawaian merangkap Juru Sita Pengganti Pengadilan Agama Bantul selama 2 tahun. Kemudian menjadi Wakil Sekretaris, dan selanjutnya mengikuti seleksi ujian Hakim. Di Bantul itulah aku mendapat SK Hakim dan bertugas selama lebih dari 5 tahun sebelum kemudian dimutasi ke PA Yogyakarta. Waktu itu Ketua PA Bantul (sekarang Hakim Agung) adalah Bapak Dr. H. A Mukti Arto, S.H., M.Hum. Meskipun aku orang baru di Pengadilan Agama, tetapi aku segera merasakan suasana kompetitif di
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
bidang ilmu. Banyak pegawai PA, terutama para hakim yang rata-rata bergelar Drs. menempuh kulaih lagi di Fakultas Hukum. Dorongan studi lanjut semakin kuat ketika aku bertugas di PA Yogyakarta. Bukan saja karena kantor PA sangat dekat dengan kampus-kampus besar (rumahku juga di Yogya), tetapi lingkungan sosial Yogya juga sangat mendorong seseorang untuk belajar setinggitingginya. Maka akupun ikut-ikutan mengambil studi ilmu hukum, karena aku merasa tidak memiliki legitimasi untuk berbicara atau menulis tentang hukum tanpa memiliki gelar Sarjana Hukum. Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY) merupakan pilihanku, karena di sini ada kelas sore dan malam bagi mahasiswa “non fresh”. Tidak puas dengan gelar S.H., setelah selesai di UCY aku masuk ke Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Aku benar-benar merasa at home di PA Yogya. Meskipun hanya “banyak pendapat dan tidak banyak pendapatan”, Yogya dengan segudang krakteristiknya selalu ngangeni. Untaian lirik lagu tentang Yogyakarta yang diaransir Katon Bagaskara, hanya mewakili sebagian kecil saja dari kekhasan Yogya. Di sini akupun bisa mengembangkan ilmu lewat berbagai seminar, workshop, semiloka dan lainlain, baik sebagai nara sumber maupun sebagai peserta. Di sini pula aku sering diberi tugas pimpinan PA untuk menghadapi berbagai riset, baik dari mahasiswa dalam maupun luar negeri. Dan di sini pula aku dan dua temanku (Drs. H. Husaini Idris, S.H., M.S.I dan Drs. H. Ahmad Adib, S.H., M.H.) memperoleh amanat dari Diklat Kumdil Mahkamah Agung untuk menjadi mentor bagi Calon Hakim Magang selama dua tahun. Dan Alhamdulillah, dari 10 Cakim yang kami bimbing, 6 orang dari mereka masuk dalam 10 besar Cakim terbaik dari seluruh Indonesia.
KISAH NYATA
Sebagai seorang hakim, aku sadar suatu saat pasti akan mengalami tour of duty atau mutasi tugas. Seorang pimpinan Mahkamah Agung pernah mengatakan, mutasi bagi hakim mirip dengan kematian yang pasti akan terjadi tapi tidak diketahui kapan dan kemana. Karena itu mumpung aku masih bertugas di PA Yogya, kucoba mengambil studi program doktoral. Akupun mendaftar di 3 Tiga Perguruan Tinggi besar di Yogyakarta' UIN Sunan Kalijaga, UII dan UGM . Jujur, untuk masuk studi jenjang S-3 di tiga Perguruaan Tinggi itu aku minder. Aku ingat diriku hanyalah anak desa yang cedhak watu adoh ratu. Ternyata setelah mengikuti ujain proposal dan sebagainya, alhamdulillah ketiga perguruan tinggi itu berkenan menerimaku. Kini, giliranku yang bingung, mau pilih yang mana. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pilihan kujatuhkan pada Program Pascasarjana (PPs) Fakultas Hukum UGM. Promotorku Prof. Dr. H. Abdul Ghofur Anshori, SH, Co Promotor Prof. Dr. Sugeng F Istanto, SH dan Denny Indrayana, SH, LLM, Ph.D. Setelah tugas-tugas kuliah selesai kuserahkan, Prof. Sugeng jatuh sakit hingga meninggal dunia. Posisinya kemudian digantikan Prof. Dr. Nurhasan Ismail, SH. Sedangkan Pak Denny kemudian menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang kerena kesibukannya kemudian posisinya d i g a n t i k a n P r o f . D r. E n n y Nurbaningsih, SH, M.Hum. Bagiku bukan soal siapa yang menjadi Promotor atau Co Promotorku, tetapi proses penggantian Co Promotor yang baru itu memakan waktu lama. Bahkan aku harus membuat paper-paper baru yang harus didiskusikan ulang. Malang tak dapat ditolak, mujur tak bisa diraih, perjalanan studiku di UGM penuh liku-liku. Akupun jatuh sakit cukup serius, sehingga harus istirahat kuliah. Sekitar satu tahun aku istirahat. Untung penelitianku di Bank
Indonesia, Kementerian Keuangan dan di DSN-MUI sudah aku lakukan. Sempat drop juga semangatku untuk melanjutkan studi. Tapi atas dorongan semua pihak, terutama anak-anak dan isteri aku bangkit lagi. Akupun sadar, studiku atas biayai sendiri (bea siswa dari Allah SWT), kalau sampai gagal uang juga tidak kembali. Di samping aku akan dicatat oleh anak cucu tidak bisa menjadi contoh yang baik. Akupun berhasil membangun semangat lagi, tetapi –lagi-lagi muncul masalah – sebagian penelitianku terutama data-data kuantitatif menjadi out of date. Dalam uji kelayakan draft disertasi (menjelang u j i a n t e r t u t u p ) , p a ra p e n g u j i merekomendasikan update data hingga akhirnya aku dapat mengikuti ujian tertutup. Di sinilah aku mendapati, bahwa disertasiku memiliki kekurangan yang memang layak disempurnakan. Dikroscek dengan logika “dedukto, hipotetiko, empiriko dan verifikasi”, asumsi yang kubangun masih kekurangan verifikasi. Maka, akupun menambah penelitian dengan menemui beberapa anggota DPR eks Komisi XI yang dulu membahas dan mengesahkan RUU SBSN dan RUU Perbankan Syariah. Alhamdulillah aku juga mendapatkan copy naskah akademik kedua RUU tersebut. Perjalanan yang berliku tersebut akhirnya mengantarkan mimpi anak desa menjadi kenyataan –the dream comes true- dengan meraih gelar akademik tertinggi dalam bidang ilmu hukum sebagai Doktor dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam ujian terbuka tepat pada Hari Sumpah Pemuda 28 Juni 2015. Alhamdulillah puji syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya. Aku cukup bangga karena studiku berjalan linear –Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, Fa ku l t a s H u ku m U n ive r s i t a s Cokroaminoto, Magister Hukum UII dan PPs Fakultas Hukum UGM. Ketika
aku bertugas di PA Yogyakarta, semua almamaterku meminta aku ikut mengajar. Di luar jam kantor, aku mengajar di UIN, UII dan UCY. Tetapi setelah aku dimutasi ke PA Purwodadi, semuanya berakhir kecuali di Fakultas Hukum UGM (dalam dua smester ini) tiap hari Sabtu, dan di PKPA (Pendidikan Advokat) kerja sama Fakultas Hukum UGM dengan DPP Peradi. Pada akhir bulan Februari 2016 yang lalu, aku termasuk yang dipanggil BADILAG MARI untuk mengikuti Bimtek Ekonomi Syariah dan Seminar tentang Peradilan Agama sekaligus pengantar purna tugas Bapak DR. H. Ahmad Kamil, SH, MH. Suatu hal yang membesarkan hatiku adalah pengakuan tulus Bapak Dirjen Badilag bahwa para hakim yang telah bergelar Doktor yang telah bersusah payah menempuh studi atas biaya sendiri adalah “asset yang sangat membanggakan bagi Lembaga Peradilan Agama”. Saat ini aku sedang menunggu panggilan ke Riyadh mengikuti pelatihan ekonomi syariah angkatan IV yang sempat ditunda. Aku tahu, meskipun BADILAG MARI terus memperjuangkan kepastian waktu pelatihan, tetapi yang menentukan adalah pihak Riyadh. Sambil berharap-harap cemas, dari Pengadilan Agama Purwodadi, mungkin seperti teman-teman Hakim Doktor di PA lain – aku hanya bisa bertanya “What Next?” Allahu Akbar. |M. Isna Wahyudi, Ade Firman Fathony|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
91
EKONOMI SYARIAH
Hakim Ekonomi Syariah Harus Bersertifikat
P
erkembangan ekonomi persyartaan kompetensi, dan syariah sangat pesat di persyaratan integritas. Di samping itu, I n d o n e s i a . P o t e n s i harus mengikuti pelatihan dan sengketa dalam industri syariah pun dinyatakan lulus oleh Tim Seleksi. Syarat administrasi meliputi berpotensi semakin banyak dan menyebar. Mahkamah Agung, yang sehat jasmani dan telah menjabat sebagai hakim selama 8 tahun. Untuk membawahi peradilan agama—satusatunya lingkungan peradilan yang dapat memenuhi syarat kompetensi m e m i l i k i k o m p e t e n s i u n t u k seorang hakim harus memahami menyelesaikan sengketa ekonomi norma-norma hukum ekonomi syariah—ditutuntut untuk sigap syariah, mampu menerapkan hukum, mampu melakukan penemuan hukum, merespons perkembangan itu. Baru-baru ini Mahkamah Agung m a m p u m e n e ra p ka n p e d o m a n menerbitkan Peraturan Mahkamah beracara dalam mengadili perkara Agung Nomor 5 Tahun 2016 tentang ekonomi syariah. Sebelum dilakukan seleksi hakim Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Melalui Perma tersebut, Ketua MA ekonomi syariah, MA terlebih dahulu menegaskan bahwa perkara ekonomi menentukan kebutuhan jumlah hakim syariah harus ditangani secara khusus untuk menangani sengketa ekonomi oleh hakim peradilan agama yang syariah. Setelah itu, dilakukan telah lulus sertifikasi ekonomi syariah. pendaftaran berdasarkan usulan dari Dengan demikian, ke depan, tidak Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah sembarang hakim peradilan agama Syar'iyah Aceh. Hakim yang telah mengikuti yang boleh memeriksa dan memutus diklat fungsional ekonomi syariah, perkara ekonomi syariah. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., b i m b i n g a n t e k n i s , a t a u S.I.P., M.Hum, Ketua Kamar Agama MA, pelatihan—baik di dalam maupun di mengatakan bahwa sertifikasi hakim luar negeri—mendapatkan prioritas ekonomi syariah ini menjadi prioritas. untuk didaftarkan oleh PTA/MS Aceh. Tim seleksi lalu melakukan “Dengan terbitnya Perma ini, kita ingin nantinya banyak hakim agama yang seleksi administrasi, kompetensi, dan telah memiliki sertifikat ekonomi integritas. Seleksi administrasi terdiri dari verifikasi, klarifikasi, dan validasi syariah,” ungkapnya. Pada dasarnya, sertifikasi hakim syarat-syarat administrasi. Seleksi ekonomi syariah sama halnya dengan kompeteni meliputi tertulis dan sertifikasi bagi hakim untuk mengadili wawancara. Adapun seleksi integritas perkara-perkara khusus lainnya, terdiri dari profile assessment dan seperti perkara korupsi, niaga, penilaian kemampuan verval serta perikanan, anak, hubungan industrial pengamatan sikap dan perilaku para calon hakim ekonomi syariah. dan lingkungan hidup. Seleksi integritas ini dilakukan Berdasarkan Perma 5/2016, untuk dapat diangkat menjadi hakim dengan wawancara dan rekomendasi ekonomi syariah, seseorang harus dari Badan Pengawas MA. Dr. H. Fauzan, S.H.,M.H, Direktur memenuhi sejumlah persyaratan, yaitu persyaratan administrasi, Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan
92
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Agama Ditjen Badilag, mengatakan bahwa proses seleksi akan menggunakan metode e-test. “Kita akan gunakan e-test agar proses penjaringan dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel,” ujarnya. Bahan Ajar dan Pelatihan Sejak awal tahun 2015, Pusdiklat MA telah mengembangkan kurikulum dan bahan ajar ekonomi syar'ah. Hanya saja, belum mengacu pada standar sertifikasi yang telah ditentukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN). “Standar untuk sertifikasi adalah pelatihan 96 jam pelajaran,” kata Dr. H. Yasardin, S.H., M.H., hakim tinggi pada Balitbangdiklat MA. Karenanya, saat ini Pusdiklat bekerjasama dengan Pokja Ekonomi Syariah yang diketuai oleh Dr. H. Amran Suadi, S.H., M.H tengah menyeleseikan kurikulum dan bahan ajar sertifikasi ekonomi syariah tersebut. Menurut Yasardin, selaku Sekretaris Pokja, kurikulum dan bahan ajar diharapkan selesai akhir Juni 2016. Awalnya Pusdiklat MA telah menganggarkan pelatihan bagi calon hakim sebanyak 750 orang. Oleh karena rekrutmen calon hakim belum bisa dilaksanakan pada tahun 2016, Pusdiklat lalu mengajukan revisi anggaran tersebut untuk berbagai sertifikasi, salah satunya sertifikasi hakim ekonomi syariah. “Kita tengah mengusulkan untuk sertifikasi hakim ekonomi syariah sebanyak 240 orang pada tahun ini. Sertifikasi kemungkinan besar dilakukan tiga kali pada tahun 2016 dengan mengikutsertakan 80 orang untuk sekali sertifikasi,” ujar Yasardin. |Rahmat Arijaya & hermansyah|
KELEMBAGAAN
Ketika SIADPA Harus Hijrah ke SIPP Di tahun 2016, lingkungan peradilan agama memasuki babak baru dalam penggunaan sistem penanganan perkara. SIADPA yang sudah lama “berjasa” sebagai sarana penanganan perkara di Pengadilan Agama akan direposisi dan diganti dengan sistem baru yang bernama SIPP (Sistem Informasi Penulusuran Perkara). Pada bulan Januari 2016, Mahkamah Agung RI melakukan sosialisasi SIPP versi 3.1.1. di Mega Mendung Bogor. Sosialisasi bagi Trainer of trainer ini kemudian ditindaklanjuti dengan roll out di
Semarang (Maret 2016), Palembang (Maret 2016) dan Balikpapan (April 2016) dengan peserta unsur pimpinan, panitera dan adminis dari empat lingkungan peradilan. Selain roll out yang didanai sepenuhnya oleh Sustain (Support for Reform of the Justice Sector in Indonesia), beberapa pengadilan tingkat banding juga telah mengadakan sosialisasi secara swadaya pada bulan Februari –Maret 2 0 1 6 . S I P P ve r s i 3 . 1 . 1 . - ya n g rencananya akan dilaunching pada bulan Mei mendatang- merupakan hasil karya besar para ahli IT MARI
(Team Development) yang berasal empat lingkungan peradilan. SIPP atau CTS (Case Tracking System) versi 3.1.1. ini merupakan kelanjutan dari SIPP sebelumnya. Embrio SIPP adalah SMPP (Sistem Manajemen Perkara Pengadilan) yang pertama kali dilaunching pada tanggal 8 Mei 2009 bersama 4 (empat) Pengadilan lainnya yaitu PN Medan, PN Jakarta Pusat, PN Semarang dan PN Makasar sebagai hasil kerjasama antara Mahkamah Agung dengan USAID melalui program C4J (Changes For Justice).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
93
KELEMBAGAAN Untuk pertama kali SIPP/CTS dilaunching di PN Palembang pada tanggal 23 Maret 2011 berbarengan dengan PN Bandung, PN Surabaya dan PN Samarinda. Sejak tahun 2014, SIPP dikembangkan dengan dukungan dari SUSTAIN (Support for Reform of the Justice Sector in Indonesia). Dengan memperhatikan sejarahnya, SIPP telah diterapkan lebih dahulu di peradilan umum. Sementara itu pada peradilan tata usaha negara dibangun sistem aplikasi penanganan perkara dengan nama SIADTUN dan SIADMIl untuk peradilan militer. Adapun peradilan agama sudah lebih dahulu membangun sistem tersebut dengan nama SIADPA. Dengan demikian, SIPP bagi 3 lingkungan peradilan (Agama, Tata Usaha Negara dan Militer) adalah sebuah sistem yang baru yang akan menanggalkan sistem yang lama (SIAD). Bagi lingkungan peradilan agama, surat Dirjen Badilag Nomor: 458/DJA/HM.02.3/2/2016 tanggal 11 Februari 2016 menjadi payung hukum implementasi SIPP. Dengan surat tersebut, Badilag mendorong sosialisasi SIPP pada tiap-tiap PTA dan menegaskan tentang masa transisi peralihan SIADPA ke SIPP sampai dengan tanggal 30 Juni 2016. SIPP antara Jaminan dan Harapan SIPP versi 3.1.1. mempunyai kelebihan yang jauh dari versi sebelumnya baik dari instalasi sistem, content maupun fiturenya. Di sisi lain, SIPP versi 3.1.1. dibangun bukan hanya sebagai sarana informasi data bagi publik, tetapi juga sebagai bagian dari busines proses peradilan yang juga berguna bagi peradilan tingkat banding (SIPP tingkat banding) dalam mengawasi satker yang terdapat dalam wilayah hukumnya serta Mahkamah Agung (SIPP MA) dalam m e n g awa s i s e m u a l i n g ku n g a n peradilan baik tingkat pertama maupun tingkat banding. Diantara kelebihan lainnya dari SIPP adalah Pertama, integrated
94
system yakni menyatukan semua sistem penanganan perkara bagi empat lingkungan peradilan. Dari sisi p o l i t i s , p e nya t u a n s i s t e m i n i menunjukkan adanya real of one roop system serta menghilangkan kesan adanya pengelolaan data secara individual antara lingkungan peradilan yang satu dengan peradilan lainnya. Kedua, SIPP menjamin akurasi data yang diinput oleh masing-masing user. Data tersebut mempunyai berbagai fungsi : - Sebagai langkah awal penanganan perkara. Di sini patut dicermati surat Dirjen Badilum Nomor 48/DJU/HM02.3/1/2016 yang salah satunya menyatakan Pencatatan Perkara harus terlebih dahulu dimasukkan ke aplikasi SIPP baru kemudian ke register manual. Demikian pula dengan user lainnya, seperti halnya Panitera Pengganti, ia harus memasukan data sidang terlebih dahulu ke aplikasi SIPP baru kemudian melakukan print out BASnya. - Sebagai sarana keterbukaan informasi bagi pihak berperkara. Para pencari keadilan akan dengan mudah melihat perkaranya sendiri melalui SIPP yang dapat diakses melalui web satker. - Data yang diinput akan ter-record sebagai aktifitas user yang dapat digunakan sebagai data kinerja pegawai. Sarana evaluasi pengawasan, Ketua/Wakil Ketua dapat mengawasi seluruh aktifitas kinerja tenaga teknis dalam menangani perkaranya. Metode
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
ini jauh lebih mudah bila dibandingkan dengan pengawasan yang dilakukan secara langsung terhadap berkas perkara, meskipun metode tersebut belum dapat ditinggalkan. Ketiga, SIPP akan menjadi sebuah bagian dari Data Besar Mahkamah Agung yang dikenal dengan SIMARI (Sistem Informasi Mahkamah Agung RI). Pada saat ini, pengeloaan data di Mahkamah Agung masih terkotakkotak dalam berbagai latar belakang d a t a , m u l a i d a t a n g ke u a n ga n , kekayaan, data perkara dan yang lainnyan.. SIPP diharapkan menjadi cikal bakal penyatuan sistem dari sistem-sistem data yang sekarang ada di Mahkamah Agung. Keempat , SIPP merupakan sistem yang dibangun sebagai aplikasi yang bersumber dari hukum acara. Secara sederhana eksistensi SIPP bisa disandingkan dengan kedudukan Buku II yang merupakan “buku pintar” dari Hukum Acara. Tata urutan pengisian data pada SIPP merupakan salah satu hal yang menunjukkan tertibnya beracara. Sebagai contoh, apabila Ketua Pengadilan tidak membuat PMH (melalui SIPP), maka Panitera tidak dapat menunjuk Panitera Pengganti, demikian halnya jika Ketua Majelis tidak membuat PHS, maka Juru Sita tidak dapat membuat relaas dan data perkara tersebut tidak akan muncul pada jadwal sidang hari yang bersangkutan. SIPP versi 3.1.1. dibangun oleh Te a m d e v e l o p m e n t d e n g a n mengembangkan SIPP versi sebelumnya dan mengadopsi b e b e ra p a m e n u p a d a S I A D PA . Berbagai saran untuk pengembangan SIPP dapat diajukan ke Badilag melalui pengadilan tingkat banding. Kemudian Badilag akan m e n g a j u k a n n y a k e p a d a Te a m Development. Selain tata cara yang disampaikan secara formal hirarkis, terdapat media sosial yang selama ini dipergunakan oleh Laskar SIADPA sebagai sarana komunikasi pegiat SIPP di lingkukngan peradilan agama. |Sugiri Permana, Ade Firman Fathoni|
KELEMBAGAAN
Perma Nomor 1 Tahun 2016, Beleid Teranyar tentang Mediasi “ ” Peraturan Mahkamah Agung tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menawarkan berbagai perspektif baru dalam mendorong mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa dan meningkatkan efektifitas mediasi di Pengadilan. Seperti apa?
B
ertepatan dengan penyelenggaraan Konferensi Forum Mediasi Asia Pasifik (Asia Pacific Mediation Forum Conference) yang diselenggarakan di Lombok beberapa waktu lalu (10-12/2/2016), Mahkamah Agung meluncurkan peraturan baru tentang mediasi. Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut Perma) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan diluncurkan sebagai pengganti Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang selama ini berlaku. Jika dilihat secara historis, keberadaan perma baru ini menjadi peraturan ketiga terkait dengan mediasi di pengadilan. Sebelum Perma
N o m o r 1 Ta h u n 2 0 0 8 , t e l a h diberlakukan Perma Nomor 2 tahun 2003 yang menjadi tonggak awal pengintegrasian mediasi ke dalam sistem litigasi (court connected mediation) di Indonesia. Menurut Mohammad Saleh, Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Yudisial, perubahan peraturan ini dilakukan karena pencapaian mediasi dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 belum sesuai dengan harapan. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui mediasi masih cukup rendah, terutama bila dibandingkan dengan tingkat keberhasilan Negara-negara lain dalam menerapkan peraturan yang serupa. “Meskipun fakta tersebut
mengecewakan, saya masih percaya mediasi perlu diperkuat dengan menciptakan peraturan baru yang lebih progresif untuk mendorong para pihak menempuh mediasi secara sungguh-sungguh,” ujar Mohammad Saleh di hadapan peserta Konferensi Forum Mediasi Asia Pasifik di Hote Santosa Villa & Resort, Nusa Tenggara Barat (Hukumonline, 10/2/2016). Beberapa Norma Baru Di luar norma-norma yang diatur dalam Perma sebelumnya, Perma baru ini mengajukan beberapa aturan baru yang sebelumnya tidak diatur. Berikut beberapa aturan baru yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016.
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
95
KELEMBAGAAN Pertama, dibuka peluang bagi pegawai pengadilan di luar hakim untuk bertindak selaku mediator. Pegawai pengadilan dimaksud adalah p a n i t e ra , s e k re t a r i s , p a n i t e ra pengganti, jurusita, jurusita pengganti, calon hakim dan pegawai lainnya. Kedudukannya dipersamakan dengan mediator non hakim yang mesti memiliki sertifikat untuk dapat menjalankan fungsi mediator. Kedua, pengaturan lebih rinci mengenai perkara-perkara yang tidak wajib dimediasi. Jika dalam Perma sebelumnya ditentukan hanya 4 (empat) jenis perkara yang dikecualikan dari proses mediasi, Perma baru ini mengecualikan setidaknya 5 (lima) kelompok perkara, yakni sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya, sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya Penggugat atau Tergugat yang telah dipanggil secara patut, gugatan baik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi), sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan, serta sengketa yang diajukan ke pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar pengadilan melalui mediasi dengan bantuan mediator yang bersertifikat yang terdaftar di pengadilan setempat. Ketiga, pengaturan tentang a l a s a n - a l a s a n ya n g s a h t i d a k menghadiri mediasi untuk kemudian dapat diwakilkan kepada Kuasa Hukum. Alasan-alasan tersebut adalah ko n d i s i ke s e h a t a n ya n g t i d a k memungkinkan hadir dalam pertemuan mediasi berdasarkan surat k e t e r a n g a n d o k t e r, d i b a w a h pengampuan, mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri, dan menjalankan tugas Negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Keempat, pengaturan tentang ittikad baik dalam mediasi, yang meliputi kriteria tidak berittikad baik, bentuk sanksi jika Penggugat tidak berittikad baik, bentuk sanksi jika Tergugat tidak berittikad baik, bentuk sanksi jika Penggugat dan Tergugat tidak berittikad baik, mekanisme
96
penetapan pihak atau para pihak yang tidak berittikad baik dan mekanisme pelaksanaan sanksi. Ke l i m a , k e wa j i b a n H a k i m Pemeriksa Perkara untuk menjelaskan tentang prosedur mediasi dan penandatanganan formulir terkait penjelasan mediasi serta kesiapan untuk berittikad baik dalam menempuh mediasi. Meskipun dalam Perma sebelumnya pengaturan ini te l a h d i b u a t , n a m u n c a ku p a n penjelasan dan penandatanganan formulir tidak diatur. Keenam, pengaturan tentang kewajiban kuasa hukum terhadap prinsipal yang akan menempuh mediasi serta kemestian adanya surat kuasa yang menyatakan kewenangan untuk mengambil keputusan apabila prinsipal dengan alasan-alasan sebagaimana disebut pada poin ketiga diatas. Ketujuh, pengaturan tentang ruang lingkup pembahasan dalam pertemuan mediasi yang tidak hanya mencakup hal-hal yang tertuang dalam posita dan petitum gugatan serta tata cara yang harus ditempuh oleh Para Pihak apabila mediasi menghasilkan kesepakatan di luar konteks posita dan petitum gugatan. Kedelapan, perubahan lama waktu mediasi wajib dilaksanakan dari sebelumnya diatur selama 40 (empat puluh) hari menjadi 30 (tiga puluh) hari. Perubahan juga dilakukan terhadap lama waktu perpanjangan mediasi dari sebelumnya hanya 14 (empat belas) hari menjadi 30 (tiga puluh) hari. Makna hari dalam ketentuan ini adalah hari kerja, bukan hari kalender. Kesembilan, perubahan nomenklatur hasil mediasi yang dikerucutkankan menjadi tiga, yakni mediasi berhasil, mediasi tidak berhasil dan mediasi tidak dapat dilaksanakan. Dalam perma sebelumnya terdapat 4 (empat) istilah hasil mediasi, yakni mediasi berhasil, mediasi tidak berhasil, mediasi gagal, dan mediasi tidak layak. Dua istilah yang terakhir digabungkan dan diubah menggunakan istilah baru yakni mediasi tidak dapat dilaksanakan. Kesepuluh, pengaturan kewenangan Hakim Pemeriksa Perkara terhadap kesepakatan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
perdamaian yang hendak dikuatkan menjadi akta perdamaian. Selain memiliki kewenangan untuk menelaah, Hakim Pemeriksa Perkara juga berwenang memberikan saran perbaikan atas suatu kesepakatan perdamaian. Pengaturan kewenangan ini tidak hanya berlaku pada mediasi yang dilaksanakan di pengadilan, tetapi juga mediasi di luar pengadilan yang kesepakatan perdamaiannya akan dimohonkan untuk dikuatkan di pengadilan dengan akta perdamaian. Kesebelas, diperkenalkannya kesepakatan sebagian (partial settlement) sebagai hasil mediasi dan masuk dalam kategori mediasi yang berhasil serta tata cara menyelesaikan s e b a g i a n l a i n nya ya n g b e l u m disepakati melalui mediasi. Kesepakatan sebagian ini dapat berupa kesepakatan sebagian pihak (subyek) dan kesepakatan sebagian permasalahan (obyek). Keduabelas, perubahan pengaturan tentang mediasi pada tahap upaya hukum. Jika dalam Perma sebelumnya, keterlibatan pengadilan dalam proses mediasi dimulai semenjak para pihak menyatakan keinginannya untuk menempuh perdamaian hingga penunjukan mediator dan pelaksanaan mediasi, maka dalam Perma yang baru tidak lagi diatur mengenai proses tersebut. Dalam Perma baru ini hanya diatur a p a b i l a Pa ra P i h a k m e n c a p a i kesepakatan selama proses upaya hukum (banding, kasasi, dan peninjauan kembali). Dua Arah Pengaturan Memperhatikan secara menyeluruh norma-norma baru yang diatur dalam Perma ini, setidaktidaknya mengarah kepada dua politik pengaturan utama, yakni mendorong mediasi sebagai pilihan penyelesaian sengketa dan mendorong efektifitas pelaksanaan mediasi di pengadilan. Meskipun tidak menetapkan secara langsung arah pengaturan bagi masing-masing norma baru, dapat dipastikan semuanya mengarah kepada dua politik pengaturan tersebut. Dan boleh jadi satu norma yang diatur dapat mengarah kepada keduanya sekaligus.
KELEMBAGAAN Berikut deskripsi tentang norma-norma baru dalam Perma mediasi dikaitkan dengan politik pengaturan yang melatarbelakanginya.
Dibarengi dengan Produk-Produk Turunan Upaya Mahkamah Agung untuk mendorong kedua hal tersebut melalui Perma baru ini pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan keberhasilan mediasi di Pengadilan yang saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Paling tidak, mediasi tidak lagi hanya dilihat sebagai prasyarat yang harus ditempuh agar suatu perkara dapat diperiksa dan
diputus oleh Hakim Pemeriksa Perkara, terlepas dari bagaimanapun kualitas mediasi itu dilaksanakan. Mediasi harus menjadi pilihan pencari keadilan untuk menyelesaikan perkaranya dengan jaminan hasil yang dipersamakan dengan putusan pengadilan. Untuk itu, Mahkamah Agung tidak sekedar mengeluarkan Perma sebagai payung hukum utama, tetapi juga instrumen-instrumen lain yang memungkinkan upaya tersebut
mencapai hasil yang optimum. Perubahan kurikulum diklat sertifikasi mediator hakim, pemanfaatan teknologi informasi melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara, pengaturan tentang tata kelola mediasi dan diterbitkannya instrumen-instrumen pendukung merupakan langkah-langkah lain yang diharapkan mampu mendukung pencapaian keberhasilan mediasi tersebut. Semoga. |Mohammad Noor|
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
97
INSIGHT
Ayang Utriza, DEA., Ph.D:
Menguak Fakta Baru Sejarah Peradilan Islam di Indonesia
Sekitar medio Juli 2014, tim redaksi Majalah Peradilan Agama bertandang ke kampus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Maksudnya untuk mewawancari Dekan FSH yang pada waktu itu masih dijabat oleh Dr. J.M. Muslimin. Di area parkiran, tim redaksi bertemu dengan Prof. Mark Cammack, guru besar Southwestern Law School, Los Angeles, California, Amerika Serikat. Prof. Mark ini dikenal sebagai pemerhati hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia. Ia banyak meneliti dokumen-dokumen putusan pengadilan agama tempo dulu. Karena sudah saling mengenal dan bahkan akrab satu sama lain, tim redaksi pun kemudian ngobrol tentang berbagai hal dengan professor nyentrik yang selalu mengikat rambut panjangnya ini. Sampai kemudian percakapan menyentuh tentang kajian p e ra d i l a n a g a m a b e rd a s a r k a n
98
dokumen masa lalu. Dengan sangat antusias Prof. Cammack menyinggung tentang adanya kajian baru atas manuscript peradilan agama dari zaman Kesultanan Banten. Yang mengkaji adalah Doktor lulusan Perancis asal Indonesia, namanya Ayang Utriza. Hasil kajiannya bagus sekali, kata Prof. Cammack waktu itu. Kemudian sekitar akhir Februari 2016, tim redaksi membaca artikel tulisan tokoh yang dibicarakan Prof. Cammack tersebut di Jurnal Studia Islamika Vol. 22, Number 3, 2015. Judulnya, “The Register of the Qadi Court Kiyahi Peqih Najmuddin of the Sultanate of Banten, 1754-1756 CE.” Tulisan setebal 35 halaman itu merupakan intisari hasil riset Dr. Ayang Utriza di University of Oxford, Inggris dan Harvard University, Amerika dalam kurun waktu 20122 0 1 3 . Aya n g U t r i z a s e n d i r i menyelesaikan S2 dan S3 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, masing-masing pada tahun 2005 dan 2013. Hasil penelitian Ayang Utriza atas Arsip Kadi Kesultanan Banten abad ke18 itu mengungkapkan banyak fakta dan sejarah yang belum banyak diketahui tentang qadi yang merupakan cikal bakal peradilan agama di Indonesia. Misalnya tentang jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut qadi, tempat pelaksanaan sidang, hukum acara dan materil yang digunakan, dan lain sebagainya. Kajian Doktor Sejarah Hukum Islam dan Hukum Adat yang juga alumni UIN Jakarta ini merupakan kajian yang diambil dari sumber primer referensi tertua yang berasal dari Indonesia. Seperti diakui Ayang
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Utriza, catatan pengadilan (sijill/buku register perkara) yang diterima dari C. Snouck Hurgronje dan tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda ini merupakan dokumen tertua di Asia Tenggara. Hal ini terkonfirmasi dengan kenyataan bahwa pada umumnya, bahan kajian sejarah hukum dan peradilan agama di Indonesia diambil dari sumbersumber pada abad ke-19 atau ke-20. Dr. Ayang Utriza yang mahir berbahasa Inggris, Arab, Perancis dan jago membaca teks bahasa Belanda, Jerman, dan sedikit Persia ini di selasela kesibukannya berkenan menerima tim redaksi untuk dimintai tanggapannya tentang kajian-kajian yang menjadi concern-nya selama ini. Berikut adalah petikan wawancaranya: Fokus kajian disertasi Bapak menggunakan ilmu Sejarah dan Filologi. Bisa diceritakan kenapa tertarik di bidang tersebut? Jika mau jujur, sebenarnya saya masuk jurusan sejarah dan filologi itu merupakan “kecelakaan sejarah”. Saat saya di Kairo, saya ditawarkan masuk jurusan kajian naskah (ilm almakhtutat) di Universitas Liga Arab, tetapi saya menolak karena saya pikir ilmu pernaskahan itu ilmu “kurang keren.” Tetapi, justeru saat saya belajar di Prancis, malah saya masuk jurusan sejarah yang di dalamnya saya belajar filologi, epigrafi, arkeologi, bahkan belajar juga antropologi, etnologi, dan sosiologi. Di kampus saya di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) adalah kampus ilmu-ilmu sosial dan kemanusian yang menggunakan pendekatan
INSIGHT
interdisiplin. Jadi, kita belajar semua disiplin ilmu sosial dan kemanusiaan dengan sejarah sebagai pendekatan utama. Ini adalah mazhab Fernand Braudel dengan l'histoire totale (sejarah menyeluruh). Saat belajar Sejarah di S-2 dan belajar Filologi saat S-3, saya juga belajar hukum Islam. Jadi, selama belajar 7 tahun di Prancis, saya tetap kuliah hukum Islam di EHESS itu juga, tepatnya di lembaga yang bernama IISMM (Institut d'etudes de l'Islam et des societes du monde musulman). Jadi, saya belajar sejarah, filologi, dan h u k u m I s l a m s e k a l i g u s . S aya bersyukur telah belajar Sejarah dan Filologi untuk memperkuat ilmu dasar saya, yaitu hukum Islam (fikih/syariah). Hal ini memperkaya cara pandang saya dalam melihat hukum Islam. Mengapa Bapak memilih mengkaji sejarah hukum Kesultanan Banten abad ke-17 dan ke-18? Mengapa tidak memilih sejarah hukum Kesultanan lainnya? Saat menulis tesis master tentang sejarah hukum Islam di Asia Tenggara abad ke-14 sampai abad ke-17, saya telah mempelajari historiografi Indonesia dan Asia Tenggara dengan membaca hampir 500 buku dan artikel, dan saya temukan sedikit bahan untuk menulis tema tersebut. Dari sana, saya hanya dapat menulis tentang kesultanan Samudera-Pasai, Terengganu, Kesultanan Melaka, dan Kesultanan Aceh. Adapun kesultanan yang lain hampir tidak ada bahan untuk menuliskannya dan kalaupun ada, itu hanya serpihan-serpihan informasi. Namun, berkat informasi dari pembimbing saya: Prof. Claude Guillot, saya diberitahu bahwa ada satu kesultanan yang meninggalkan sumber penting tentang qadi, yaitu kesultanan Banten. Saya pun dikirim, saat S-2 pada 2004, ke Universitas Leiden untuk melacak naskah-naskah Banten itu dan ternyata benar adanya. Ini adalah sumber luar biasa yang
belum disentuh oleh para pengkaji hukum Islam. Setelah selesai S-2 pada Juni 2005, saya pun disarankan untuk melanjutkan S-3 dengan fokus kajian pada naskah-naskah Banten itu. Karena naskah itu cukup banyak dan s u l i t , m a k a p e m b i m b i n g s aya menyarankan membahas 1 naskah saja, yaitu Undhang-Undhang Banten (UUB). Subhanallah, kajian naskah atas UUB menjadi jalan akademik saya dan membuka jalan ke Universitas Oxford (2012) dan Universitas Harvard (2013) untuk melakukan penelitian hukum Islam dengan membahas naskah qadi Banten yang lain dan di sana status saya sebagai visiting fellow. Banyak peneliti hukum Islam di Eropa yang tertarik dengan catatan hukum qadi Banten dari abad ke-18 ini. Oiya, Bapak juga memperoleh penghargaan tertinggi (summa cum laude) untuk disertasinya. Kira-kira faktor apa yang membuat Bapak memperoleh predikat tersebut? Kuncinya apa? Saya butuh waktu 5 tahun untuk menulis disertasi tersebut. Saya pikir pencapaian itu berkat ketekunan, kerja-keras, dan kedisiplinan yang tinggi. Siapapun yang pernah menulis
disertasi doktor di luar negeri akan menyetujui pendapat saya. Hasil yang diraih adalah perjalanan panjang keilmuan. Saya menulis sesuatu yang kecil, tetapi sangat dalam dan teliti, dan yang paling penting memberikan sumbangsih keilmuan pada bidang kajian dan tema kajian kita. Saya tentu sangat puas dari kerjakeras saya dan itu diganjar dengan penghargaan tersebut. Kuncinya tidak lain adalah ketekunan dan kerja-keras yang tak kenal lelah. Jadi secara garis besar, apa yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi masyarakat Islam di Indonesia, khususnya Peradilan Agama, dari hasil penelitian Bapak seperti yang tertuang dalam disertasi Bapak? Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kajian disertasi saya, antara lain bahwa satu hukum itu sangat dipengaruhi oleh agama yang dianut oleh penguasa. Saat Jawa dikuasai oleh raja-raja beragama Hindu dan Budha, maka hukumnya pun dipengaruhi banyak oleh ajaran dan sistem agama tersebut, seperti kitab hukum Agama dari masa Majapahit atau Kutaramanawa Dharmasastra dan kitab hukum lainnya. Selanjutnya, saat islamisasi Jawa yang dimulai pada abad ke-15, maka hukum baru pun
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
99
INSIGHT
diperkenalkan, yaitu hukum Islam, dan lambat laun memengaruhi hukum setempat. Di sana mulai terjadi pengenalan hukum Islam, lalu campuran antara hukum adat yang berbau Hindu dan Budha (sebagai hukum lama) dengan hukum Islam (sebagai hukum baru). Saling memengaruhi dalam hukum terjadi begitu alamiah dan diterima dan disesuaikan dengan adat setempat. Dalam konteks Banten, misalnya, sudah ada kemajemukan hukum atau pluralisme hukum, yaitu hukum adat-Jawa, hukum Islam, dan hukum Eropa. Menurut hasil penelitian Bapak, sumber hukum di Banten berdasarkan UUB adalah hukum adat, hukum Islam, dan hukum Eropa. Apa benar demikian? Berdasarkan penelitian disertasi doktor saya terhadap satu naskah dari Banten yang tersimpan di Universitas Leiden, yaitu Undhang-Undhang Banten (UUB) dari abad ke-17 dan ke18, menunjukkan bahwa hukum di Banten bersumber dari tiga hukum: hukum adat, hukum Islam, dan hukum “Eropa”. Jelasnya, 80 persen isi dari UUB bersumber dari hukum adat, 15 persen, dan 5 persen dari hukum Eropa. Hukum adat berkait dengan seluruh aspek hukum (perdata, pidana, publik), sementara hukum Islam hanya menyangkut aspek hukum keluarga Islam (nikah, cerai, dan waris), adapun hukum Eropa terkait dengan hukum perjanjian antara Banten dengan Belanda. Apakah pluralisme sumber hukum yang sekarang berlaku di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan pluralisme hukum pada masa lalu di Indonesia? Kemajemukan (pluralisme) hukum di Indonesia saat ini sesungguhnya adalah cermin dan warisan budaya hukum Nusantara pada masa lampau. Pluralisme hukum lahir dari rahim budaya masyarakat Nusantara dan
100
bukan gagasan yang diimpor dari luar Nusantara. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah terbiasa dengan ragam hukum yang berbeda untuk mengatur masyarakat yang beragam pula. Nah, penjajah Belanda sangat jeli, cerdik, dan pintar. Mereka tahu pluralisme hukum yang sudah ada di Nusantara dan mereka gunakan untuk kepentingan politik hukum mereka. Belanda memasukkan khazanah pluralisme hukum di tengah masyarakat kita ke dalam hukum positif Hindia-Belanda, yaitu di dalam Indische Staatregeling, semacam UUD Hindia-Belanda. Di dalam pasal 131 dan pasal 163 dinyatakan tiga hukum berlaku untuk tiga golongan, yaitu hukum adat bagi Bumiputera (pribumi Islam maupun Kristen), hukum Eropa bagi golongan Eropa (Belanda dan Jepang), dan hukum negara asal mereka bagi golongan Timur-Asing (Tionghoa, India, dan Arab). Bagaimana posisi hukum Islam dibandingkan dengan dua sumber hukum lainnya tersebut pada masa Kesultanan Banten? Bagaimana jika ada pertentangan antara ketiganya dalam persoalan yang sama? Sumber hukum apa yang didahulukan? Hukum Islam di Banten berlaku untuk soal-soal kekeluargaan, seperti nikah, cerai, rujuk, dan waris. Semua persoalan hukum keluarga diatur oleh hukum Islam. Adapun bidang hukum yang lain diatur oleh hukum Adat, sementara bidang hukum yang terkait dengan soal p o l i t i k d a n e ko n o m i diatur oleh Sultan. Menariknya semua aspek hukum di Banten diurus dan merupakan kewenangan Qadi (hakim agama) yang bergelar Kiyahi Peqih Najmuddin. Kompetensi absolut Qadi di Banten adalah semua bidang hukum, kecuali soal hukum tata-negara (peralihan kekuasaan)
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
merupakan wilayah kewenangan Sultan dan hukum ekonomi wilayah kewenangan Syahbandar. Hukum pidana, perdata, perjanjian, publik dan lainnya adalah wilayah kewenangan Qadi. Jadi, Pengadilan Qadi di Banten menerima semua kasus hukum yang terjadi di tengah masyarakat Banten. Pengadilan Qadi adalah satu-satunya pengadilan yang ada dan diakui di Kesultanan Banten. Jika terjadi pertentangan antara hukum Islam dan hukum adat, maka Qadi lebih memilih hukum adat. Kok bisa begitu? Mengapa hukum adat yang lebih dipilih? Pengadilan Qadi Kiyahi Peqih Najmuddin di Banten tidak membedakan antara kasus perdata, pidana, keluarga, dan lainnya. Hukum adat yang diambil dan dijadikan salah satu sumber hukum oleh Qadi adalah bentuk pengejawantahan dari salah satu konsep di dalam Usul Fikih (Filsafat Hukum Islam), yaitu al-'âdat al-muhakkamah yang berarti adat adalah sumber hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Walaupun ia berasal dari hukum adat, ia telah 'di-islam-kan' oleh Qadi dan diterima sebagai bagian dari hukum Islam. Qadi Banten menjadikan hukum adat sebagai sumber utama perundangan dan keputusan hukum, karena Qadi paham betul konsep hukum Islam dan mengerti adat-istiadat dan budaya setempat.
INSIGHT
Di dalam kinerja Qadi, ia m e n g e r t i ko n s e p i j t i h a d ya n g memberikan kebebasan qadi untuk melakukan penafsiran dan penelaahan hukum atas soal hukum yang dihadapinya. Karena Banten a d a l a h m a sya ra ka t J awa ya n g berasaskan budaya dan adat Jawa, maka qadi Banten mengambil budaya dan adat Jawa sebagai bagian dari ijtihad hukumnya. Di dalam filolosofi budaya jawa adalah istilah “rasa” (baca: roso), yaitu segala sesuatu harus dirasakan oleh hati jika hal itu sudah baik, benar, dan patut. Nah, qadi Banten juga didorong oleh filsafat budaya Jawa “roso” ini, sehingga setiap keputusan hukumnya telah sesuai dengan adat dan istiadat masyarakat Banten saat itu. Ini adahal yang luar biasa untuk masa itu. Para hakim di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia atau bahkan semua hakim
Kedudukan Qadi di Kesultanan Banten merupakan kedudukan tertinggi, setelah Sultan dan Perdana Menteri. Tegasnya, Qadi adalah penanggung jawab tertinggi di dalam bidang hukum. Kalau di dalam sejarah hukum Islam, ia seperti Qâdi al-Qudât (Hakim Agung) di masa Khilafah Umayyah dan Khilafah Abbasiyyah. Qadi Kiyahi Peqih Najmuddin adalah Menteri Kehakiman, Hakim Agung, dan Kadi dan Hakim sekaligus. Kiyahi Peqih Najmuddin juga memiliki pegawai atau staf atau wakil dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu: jaksa, paliwara, hakim, pangulu, dan lainnya. Qadi memiliki struktur hingga ke pedesaan di seluruh wilayah Kesultanan Banten. Pangulu adalah wakil Qadi yang tersebar di daerahdaerah yang jauh dari pusat kekuasaan Kesultanan Banten. Jadi, Qadi di masa Kesultanan
di semua pengadilan harus belajar dari Qadi Banten bahwa mengambil keputusan harus mempertimbangkan budaya dan adat setempat dan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Banten dapat dikatakan sebagai bentuk dan contoh pengadilan agama modern yang administrasinya cukup maju pada masanya.
Baik. Selanjutnya, bagaimana kedudukan qadi (hakim agama) pada masa Kesultanan Banten?
Menurut Bapak, sejak kapan hakimhakim Peradilan Agama di Indonesia 'murni' menggunakan hukum Islam yang bersumber dari
kitab-kitab fiqh? Kalau yang dimaksud hukum Islam “murni” dalam arti hukum yang bersumber dan merujuk pada kitabkitab fikih, maka sudah sejak awal para hakim di peradilan agama di Indonesia merujuk pada kitab-kitab fikih. Kalau kita membaca putusan-putusan hakim agama di PA, sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam Inpres RI no. 1 tahun 1991 atau bahkan sebelum adanya UU Perkawinan no. 1/1974, maka para hakim merujuk langsung pada kitab-kitab fikih, bahkan mengutipkan ibarat atau teks dari kitab-kitab tersebut disertai nama pengarang, nama kitab, juz dan halaman yang dikutip. Dengan demikian, kita dapat menilai pemahaman fikih dan kemampuan membaca kitab klasik para hakim agama dulu itu sangat baik. Setelah adanya KHI, para hakim merujuk pada KHI 1991 dan UU no. 1/1974 dan peraturan perundangan lainnya. Para hakim menjauh dari tradisi fikih klasik. Di satu sisi ini bagus, karena tidak semua persoalan yang terjadi pada masa kini dapat dijumpai atau dikiyaskan dengan apa yang sudah dibahas oleh para fukaha di dalam kitab-kitab fikih tersebut. Di sisi lain, keunikan para hakim agama yang dulu biasanya merujuk pada kitab klasik itu tidak ada lagi. Semua sudah ada di perundang-undangan. Jadi, UU Perkawinan no. 1/1974 dan KHI yang pada awalnya dianggap s e b a ga i p e n g e j awa n t a h a n d a n turunan dari hukum Islam, maka proses yang terus terjadi sekarang telah menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif seperti hukum lainnya. Apakah Bapak mengikuti perkembangan Peradilan Agama di Indonesia? Bagaimana pandangan pribadi Bapak mengenai Peradilan Agama dahulu dan kini? Saya mengikuti perkembangan Peradilan Agama sejak saya menjadi mahasiswa di IAIN Ciputat. Saya
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
101
INSIGHT
menilai bahwa Peradilan Agama dulu, seperti pada Qadi Kiyahi Peqih Najmuddin di Kesultanan Banten memiliki wewenang yang lebih luas. Semua aspek hukum masuk ke dalam kompetensi absolut Pengadilan Qadi. Hal ini dapat dipahami, karena bentuk 'negara' Banten saat itu adalah ke s u l t a n a n . D a l a m p a n d a n ga n pemikiran politik Islam klasik, kesultanan salah satu corak dari sistem pemerintahan Islam. Jadi, cukup wajar jika wewenang Pengadilan Qadi di Banten saat itu sangat luas. Keadaan ini berbalik setelah Indonesia merdeka, pengadilan agama hanya salah satu dari 4 peradilan yang diakui. Lebih sedih lagi, nasib Pengadilan Qadi yang ada di seluruh HindiaBelanda saat penjajahan. Peradilan Kadi dan Mahkamah Agama semasa penjajahan “ditundukkan dan direndahkan” oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi pengadilan kelas dua, bahkan kelas tiga. Politik hukum Belanda ini terus berjalan hingga kemerdekaan Indonesia. Bahkan, setelah merdeka pun keputusan pengadilan agama harus mendapatkan kekuatan hukum dari pengadilan negeri. Ini tragis sekali! Baru 30 tahun belakangan ini, Peradilan Agama bisa menunjukkan marwahnya setelah keluar UU Peradilan Agama no. 7 tahun 1989. Untuk terus meningkat kewibawaan PA, maka para hakim dan semua jajaran harus bekerja keras untuk m e n g e m b a l i k a n ke j aya a n d a n kemuliaan peradilan agama seperti pada masa kesultanan di Nusantara dulu. Apakah Bapak sering mengkaji putusan-putusan hakim Peradilan Agama? Menurut Bapak, bagaimana kualitas putusan-putusan tersebut? S aya s u d a h m e m b a c a d a n mempelajari ratusan hukum keputusan hakim agama dan saya menilai keputusan-keputusannya cukup ringkas, sederhana, dan mudah
102
dipahami. Kritik pedas bagi hakim agama di Pengadilan Agama dari para hakim di pengadilan lainnya dan para pengamat hukum adalah bahwa keputusan para hakim agama belum menunjukkan kemampuan maksimal dalam memberikan alasan/argumentasi hukum dalam keputusan hukum yang dibuat. Selain mengutip perundangan di Indonesia yang berlaku, menurut saya para hakim agama seyogyanya juga tetap merujuk pada Alquran, Hadis, dan kitab-kitab fikih klasik dari 4 mazhab dan harus merujuk pada buku, artikel, bahkan hukum internasional untuk memperkuat hujjah hukum di dalam keputusan, sehingga argumentasinya kaya dan ilmiah. Saya ingin sekali bekerjasama dengan Badilag untuk melakukan pelatihan para hakim agama yang masih muda dalam peningkatan kemampuan argumentasi hukum di dalam keputusan, terutama dengan melakukan kunjungan dan pelatihan ke berbagai negara-negara muslim di Afrika Utara dan Timur-Tengah. Menurut Bapak, apa yang harus dilakukan Peradilan Agama terkait pengembangan hukum Islam di Indonesia? Peradilan Agama harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan para hakim di dalam pengambilan keputusan dengan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
memperkaya keputusan dengan rujukan-rujukan buku, artikel, dan perbandingan keputusan dengan pengadilan lain dari negara-negara muslim. Dengan demikian, PA dapat dikatakan mengembangkan hukum Islam dalam aspek peradilan. PA t i d a k m e l u l u h a n y a menerapkan dan merujuk kepada keputusan Mahkamah Konstitusi, misalnya, dalam kasus “asal-usul anak” yang merujuk pada kasus Machicha Mukhtar. Para hakim di PA harus mampu juga memberikan alasan hukum yang diambil dari khazanah fikih klasik dan kontemporer dan juga dari konsepkonsep Usul Fikih, seperti Maqashid al-Syariah dari Imam Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi. Harus tetap mengambil dari kekayaan khazanah dan metodologi Usul Fikih. Jika para hakim di PA dapat melakukan itu, dapatlah dikatakan PA telah memberikan sumbangsih bagi pengembangan hukum Islam karena sudah memperkaya dan memberikan pijakan ilmiah dan yudisial sekaligus. Saran & masukan Bapak untuk h a k i m p e n g a d i l a n agama/mahkamah syar'iyah di Indonesia? Saya menyarankan para hakim di pengadilan agama/mahkamah syar'iyyah di seluruh Indonesia untuk terus belajar, baik belajar secara formal hingga jenjang doktor maupun belajar secara non-formal baik melalui pelatihan resmi dan kunjungan, maupun belajar sendiri dengan jalan membaca. Belajar terus adalah sangat penting bagi hakim supaya para hakim tidak mandek dalam memberikan penalaran hukum dalam keputusan mereka. Dengan terus belajar, maka para hakim tidak hanya menjadi “alat dan mesin” pengadilan agama, tetapi menjadi “pengembang dan penemu” hukum Islam melalui lembaga PA. |Achmad Cholil, Mahrus, Rahmat Arijaya|
INSIGHT
Ayang Utriza, DEA., Ph.D:
Kecewa di Kairo, Lulus Summa Cum Laude di Paris Setelah menggondol ijazah sarjana dari fakultas syariah UIN Jakarta pada tahun 2001, Ayang Utriza Yakin langsung bertolak ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan S2 di Universitas Al-Azhar. Tapi hanya bertahan setahun. Ia mengaku kecewa karena tidak menemukan sistem pembelajaran yang ia bayangkan seperti di Eropa dan Amerika. Merasa tidak puas dengan gaya belajar yang kurang membuka dialog dan pemikiran kritis, Riza, sebutan lain dari Ayang, mulai membangun mimpi kuliah di Eropa. Negara Perancis pun ia lingkari di peta dunia yang ia tempelkan di dinding kamarnya. Tekadnya sudah bulat, harus kuliah di Paris. Alasannya, karena banyak cendekiawan muslim yang alumni Perancis. Kemampuan bahasa Arab dan Inggris pun makin ia tingkatkan. Tidak hanya itu, Ayang juga mengikuti banyak tarekat di Mesir sambil menimba doa dari para ulama Mesir agar hasratnya kuliah di Eropa bisa terkabul. Akhirnya, setelah melalui jalanan terjal dan berliku, mimpinya untuk kuliah di negeri menara Eiffel terwujud. Dengan mengantongi beasiswa dari Pemerintah Perancis ia meraih gelar Master (DEA) 2003-2005. Sedangkan gelar Doktor (Ph.D) diselesaikan atas bantuan beasiswa dari perusahaan minyak dan gas Perancis TOTAL E&P, 2008-2013. Keduanya didapatkan dari kampus Ecole des Hautes Etudes en Sciences S o c i a l e s ( E H E S S ) Pa r i s . G e l a r Doktornya diraih dengan predikat penghargaan tertinggi (with highest honor), summa cum laude.
Kini, tidak mudah menemui sosok kelahiran Jakarta, 1 Juni 1978 ini. Jadwalnya begitu pada setiap hari. Selain mengajar di FSH dan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Ayang juga menjabat Wakil Ketua LTM-PBNU 2015-2020, Direktur Indonesian Sharia Watch, Direktur Yayasan ArRaudhah, Managing Editor Jurnal Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, SMRC Fellow di PPIM UIN Jakarta, Associate Editor pada Directory of Open Access Journal (DOAJ-Universita Lund, Swedia), Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Banten, Dewan Editor di berbagai jurnal, yaitu Jurnal Ijtihad (IAIN Salatiga), Jurnal Ulumuna (IAIN Mataram), Jurnal At-Tahrir (STAIN Ponorogo), Jurnal Madania (IAIN Bengkulu), Jurnal Ar-Raniry (UIN Banda Aceh), dan Jurnal Heritage (Puslitbang Lektur-Kemenag RI). Ayang juga produktif menulis. Buah pemikirannya baik yang berbentuk essay, journal article, hasil penelitian dan buku tersebar di berbagai media. Tidak hanya dalam edisi bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Tahun 2015 lalu ia meneliti putusan salah satu PA di Jadebotabek tentang kasus perceraian karena murtad. Hasil penelitiannya ia tulis dalam publikasi yang berjudul “The Judicial Practice in Indonesian Religious Courts in the Field of Divorce: the Case of Fasakh for the Ground of Apostasy”. Dari penelitian itu ia temukan fakta bahwa ternyata hakim memiliki cara kerjanya sendiri. Berbeda antara law in the book dengan law in action.
Ia berpendapat, hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dan adat masyarakat setempat, tetapi hakim juga harus mendukung peraturan (la bouche de la loi). |Achmad Cholil|
Ia berpendapat, hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dan adat masyarakat setempat, tetapi hakim juga harus mendukung peraturan (la bouche de la loi).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
103
RESENSI
Kontekstualisasi Hukum Perkawinan di Indonesia Judul buku
: Pembaruan Hukum Perkawinan di Indonesia
Penulis
: Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, S.E., M.H., M.Ag.
Penerbit
: Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Tahun terbit
: Nopember 2015
Jumlah halaman : 180 + xii halaman
H
ukum perkawinan di Indonesia melewati sejarah panjang. Mulai dari yang bercirikan hukum perkawinan adat kemudian banyak dipengaruhi hukum p e rkaw i n a n a l a B a ra t , h i n g ga kemudian menemukan suatu forma yang sejauh ini dianggap paling representatif dengan keadaan hukum Indonesia dengan lahirnya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang ini, jika dilihat dari sudut pandang historisnya, merupakan upaya para pemikir hukum terdahulu untuk mentransformasikan nilai-nilai hukum perkawinan yang diyakini oleh masyarakat Indonesia ke dalam suatu kodifikasi perundang-undangan. Kental terasa nuansa Islami dalam Undang-Undang ini, sekalipun esensi Undang-Undang ini berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia yang
104
Resensator
: M. Natsir Asnawi, S.H.I.
Hakim Pengadilan Agama Banjarbaru,
Kalimantan Selatan
mengedepankan dimensi Ketuhanan, tidak terkecuali dalam urusan perkawinan. Buku ini lahir dari suatu rangkaian penelitian yang dilakukan penulis dalam kurun waktu 2004 – 2005 dan 2013 – 2014. Penelitian dalam kurun waktu tersebut kemudian melahirkan suatu analisis terhadap hukum perkawinan di Indonesia dengan aksentuasi historistematis, peraturan perundangundangan, fatwa, keputusan, maupun pendapat perorangan perihal hukum perkawinan di Indonesia. Dalam menyusun bukunya, Penulis memulai dengan suatu risalah pendahuluan (BAB 1) yang menegaskan bahwa eksistensi fikih perkawinan (al fiqh al munakahat) tidak hanya diakui dan ditaati oleh masyarakat, namun melembaga dalam
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Namun demikian, segera setelah berlakunya UUP tersebut terjadi suatu gejala yang penulis sebut dengan “modernisasi hukum perkawinan” yang menurutnya merupakan suatu perubahan mengenai hukum perkawinan yang terlampau jauh mengikuti nilai-nilai Barat (h.1-10). Bab 2 membahas perihal kitab kuning s e b a ga i r u j u ka n h a k i m d a l a m menyelesaikan sengketa. Penulis menyorot sikap sebagian ulama maupun hakim yang ragu untuk melakukan suatu terobosan hukum sebagai bentuk ijtihad (h.14). Ulama dan hakim seharusnya mampu dan berani melakukan suatu ijtihad dengan bersandar pada nash-nash al Qur'an dan hadits serta ijma' ulama terdahulu.
RESENSI
Bab selanjutnya merupakan uraian tentang keluarga sakinah. Keluarga sakinah lahir dari suatu pemahaman yang benar dan utuh atas ajaran agama Islam (h.19). Untuk mewujudkan keluarga sakinah, tidak semata-mata menjadi tanggung jawab suami isteri tersebut, melainkan dalam cakupan yang lebih luas juga merupakan tanggung jawab Pemerintah (khususnya ulama dan pemuka agama) dalam wujud gerakan keluarga sakinah (h.18). Inisiatif pemerintah dan ulama menjadi salah satu determinan penting dalam hal ini. Ketentuan-ketentuan perkawinan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh pada prinsipnya telah ditransformasikan ke dalam hukum nasional melalui legislasi, pengundangan, dan taqnin. Namun demikian, ketentuan perkawinan dalam undang-undang perkawinan seolah “dipaksa” berinteraksi dengan hukum-hukum lain yang hidup dan berkembang di masyarakat. Kenyataan ini menyebabkan ada beberapa ketentuan dalam RUU Perkawinan Tahun 1973 yang tidak selaras dengan jiwa hukum perkawinan dalam Islam (h.51). Bahasan ini menjadi tema dalam Bab 4 yang kemudian dieksplorasi lagi dalam Bab 5. Bab 6 membahas pencatatan perkawinan sebagai salah satu terma paling penting dalam UU 1/1974. Pencatatan perkawinan menurut UU tersebut tidak secara tegas ditetapkan sebagai sebuah syarat sah perkawinan. Perbedaan pendapat
yang muncul mengenai apa sebenarnya kedudukan pencatatan perkawinan disebabkan perbedaan cara penafsiran terhadap ketentuan mengenai pencatatan tersebut. Cara penafsiran yang berbeda ini kemudian terbagi menjadi dua kubu, yaitu penafsiran gramatikal (kebahasaan) dan penafsiran sistematis (h.67). Draf KHI dan Draf RUU Hukum Terapan berupaya mengatasi perbedaan tersebut dengan mencantumkan aturan bahwa setiap perkawinan wajib untuk dicatatkan (h.69 – 71). Bab 7, 8, dan 9 membahas tentang perkawinan wanita hamil karena zina serta akibat hukumnya. Perkawinan wanita hamil karena zina merupakan persoalan sosio-hukum yang senantiasa muncul di setiap zaman. Permasalahan paling mendasar dari perkawinan wanita hamil karena zina adalah status atau kedudukan hukum anak yang dilahirkannya (h.89). Bahwa sekalipun Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 46/PUU-VIII/2010 telah menormakan status anak dari hasil zina memiliki hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya, tidak serta merta menyelesaikan masalah. Kesucian perkawinan dianggap telah dinegasi oleh Mahkamah Ko n s t i t u s i ka re n a b e g i t u s a j a menyamaratakan akibat hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dengan yang lahir dari suatu perzinahan (h.103). Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Te r h a d a p nya b e r u p aya mengembalikan status anak hasil zina seperti ketentuan dalam fiqh, yaitu tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya (h.113). Isu selanjutnya yang dibahas penulis adalah perkawinan beda agama (Bab 10). Dalam membahas perkawinan beda agama, penulis membandingkan beberapa perspektif, di antaranya Fatwa MUI, Fatwa Muhammadiyah, Pendapat A. Hassan
dan Persis, Keputusan NU, KHI, Draft KHI Tahun 2004 dan RUU Hukum Terapan, serta Putusan MK (h.117– 126). Dari analisis terhadap berbagai pandangan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap ketentuan agama-agama dan keberadaannya diduga kuat mengganggu keharmonisan lembagalembaga agama (h.126). Kesucian perkawinan dianggap telah dinegasi oleh Mahkamah Ko n s t i t u s i ka re n a b e g i t u s a j a menyamaratakan akibat hukum bagi anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dengan yang lahir dari suatu perzinahan (h.103). Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Te r h a d a p nya b e r u p aya mengembalikan status anak hasil zina seperti ketentuan dalam fiqh, yaitu tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya (h.113). Isu selanjutnya yang dibahas penulis adalah perkawinan beda agama (Bab 10). Dalam membahas perkawinan beda agama, penulis membandingkan beberapa perspektif, di antaranya Fatwa MUI, Fatwa Muhammadiyah, Pendapat A. Hassan dan Persis, Keputusan NU, KHI, Draft KHI Tahun 2004 dan RUU Hukum Terapan, serta Putusan MK (h.117– 126). Dari analisis terhadap berbagai pandangan tersebut, penulis berkesimpulan bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap ketentuan agama-agama dan keberadaannya diduga kuat mengganggu keharmonisan lembagalembaga agama (h.126). Penulis menutup pembahasan dengan menguraikan secara cukup lengkap isu yang dianggap paling “seksi” dalam hukum perkawinan, yaitu poligini (poligami). Permasalahan utama mengenai poligini adalah pada penerapan hukumnya. Perumus undangundang(baik perumus UU 1/1974
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
105
RESENSI
m a u p u n RU U H u ku m Te ra p a n Peradilan Agama) menghendaki agar dilakukannya screening atau pengetatan prosedur (sering disebut pula penghambatan atau mempersulit) poligini (h.156). Cara demikian didasarkan pada prinsip atau kredo sosial dan ekonomi yang berbasis pada mashlahat dan mudharat, terutama menyangkut pendidikan dan masa depan anakanak yang dilahirkan dari poligini (h.161). Upaya meniadakan poligini sebagai tergambar dari kehendak perumus Draf KHI Tahun 2004 karena dianggap tidak sejalan dengan prinsipkesetaraan (h.160, 161) adalah tidak dapat dibenarkan, karena bagaimana pun poligini adalah ketetapan Allah, hanya penerapannya saja yang perlu diperketat. Keseluruhan pembahasan penulis dalam buku tersebut di atas pada prinsipnya dapat dipahami konsep pembaruan hukum perkawinan, yaitu: 1. Perlu penegasan dari negara mengenai bagaimana seharusnya kedudukan anak luar kawin.
106
Penekanan terpenting adalah hak anak tidak terabaikan sementara nilai kesucian perkawinan juga tetap terjaga; 2. P e n c a t a t a n p e r k a w i n a n seharusnya menjadi syarat sah suatu perkawinan. Sekalipun dogma dalam kitab kuning dan pendapat para fuqaha tidak menganggap pencatatan sebagai syarat sah perkawinan, kebutuhan hukum saat ini sangat mendesak terutama sekali dalam rangka perlindungan hak-hak perempuan dan anak serta upaya menata kehidupan perkawinan sebagai fondasi terwujudnya masyarakat madani; 3. Nikah mut'ah dalam bentuk apa p u n h a r u s nya d i l a ra n g d a n diberikan sanksi tegas karena secara nyata telah merelegasi harkat dan martabat perempuan; 4. Poligami perlu diperketat melalui serangkaian syarat, sehingga tujuan poligami yang luhur dapat tercapai, bukan sebaliknya. Peran pengadilan dalam hal ini sangat urgen sehingga para hakim
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
dituntut untuk lebih jeli dalam memeriksa perkara poligami. Dibandingkan dengan beberapa buku serupa yang mengkaji hukum p e r k aw i n a n , b u ku i n i b a nya k membandingkan dan mengkritisi draf KHI dan RUU Hukum Terapan. Penulis mengkritisi terhadap kedua rancangan tersebut yang sedikit banyak terlampau liberal dan cenderung ingin melahirkan suatu norma baru yang keluar dari nash syar'i. Di sini letak kelebihan buku ini karena berupaya membahas sesuatu yang lebih visioner sembari tetap membandingkan dengan akar filsafati l a h i r nya ke t e n t u a n - ke t e n t u a n mengenai hukum perkawinan. Kekurangan dari buku ini lebih pada tidak adanya analisis terhadap putusan-putusan pengadilan sehingga penulis tidak memberikan gambaran bagaimana perkembangan implementasi hukum perkawinan melalui putusan pengadilan dalam kasus-kasus nyata yang dihadapi (law in action).
POJOK DIRJEN
Menjaga Kekompakan Kunci Kesuksesan Oleh: Drs. H. Abdul Manaf, M.H.
Khudzillu'lu' walaw minal ba'roh. Ambillah mutiara walaupun dalam kotoran unta. Mutiara adalah sesuatu yang berharga. Terlalu mubadzir apabila ia dibiarkan tidak dimanfaatkan, sekalipun ia terbalut kotoran. Mutiara tetaplah mutiara walau terbungkus kotoran sekalipun. Ungkapan ini, menyiratkan pesan untuk mengambil pelajaran berharga dimana pun dan dari mana pun datangnya. Selama pelajaran itu bermanfaat dan berguna, maka kita harus mengambilnya. Pelajaran berharga ibarat mutiara yang hilang, yang apabila ditemukan, selayaknya diambil dan dimanfaatkan. Sangat banyak pelajaran yang menguap begitu saja, gara-gara gengsi dan benci yang mengotori hati. Akal sehat terlanjur lemah dan lunglai terkikis emosi, syakwa sangka atau terlanjur kecewa. Seorang pemimpin harus pandai mendeteksi kondisi dan suasana hati orang yang dipimpinnya. Tidak terlalu sulit melakukannya. Orang lain adalah cerminan diri kita. Tersenyum kita di depan cermin, terpantulah senyuman ke muka kita. Cemberut sinis kita di depan cermin, itulah yang akan didapatkan darinya. Seorang pemimpin hendaknya introspeksi diri, apabila mendapati orang yang dipimpinnya bersikap cuek alias tidak perduli dengan gagasan dan program kerjanya. Jangan-jangan, itulah sikap yang selama ini dia umpankan kepada mereka. Seorang pemain bola profesional
dan mumpuni, menjadi rebutan sejumlah tim terkenal untuk memperkuat sekuadnya dalam meraih juara dalam berbagai kompetisi. Hanya saja, dia tidak dapat banyak berfungsi apabila tidak didukung oleh 10 pemain lainnya. Dalam kerja tim sebuah organisasi, setiap personil memiliki peranan yang strategis dalam kerja tim untuk menciptakan goal. Untuk mencapai tujuan yang sudah direncanakan. Stephen covey mengatakan bahwa jika ada begitu banyak orang yang tidak puas dalam bekerja, dan jika ada begitu banyak organisasi yang tidak berhasil menarik dan memanfaatkan bakat, kecerdikan, dan kreativitas orang-orangnya, serta tidak pernah menjadi organisasi yang sungguh-sungguh dan bertahan lama, penyebabnya bermula dari paradigma yang tidak utuh mengenai siapa sesungguhnya diri ini. Sekali lagi kuncinya, rajin-rajin bercermin diri, agar terjalin saling menghormati dan saling menghargai. Pada gilirannya, kekompakan akan tercipta. Sejatinya kekompakan adalah kunci kesuksesan sebuah organisasi. Sebagai penutup, mari kita teladani firman-Nya. “Sesungguhnya ALLAH mencintai orang-orang yang berjuang dijalan-NYA dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” [Ash-shaff:4]
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
107
Selamat Memasuki Masa Purnabhakti
Yang Mulia
PROF. Dr. H. MOHAMMAD SALEH, S.H., M.H. TERIMA KASIH ATAS KARYA DAN PENGABDIAN YANG TELAH DIBERIKAN UNTUK LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA
SELAMAT DAN SUKSES ATAS PELANTIKAN YANG MULIA :
SOLTONI MOH. DALLY, S.H., M.H. Ketua Kamar Perdata MA RI
Dr. H. SUPANDI, S.H., M.Hum. Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA RI
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1437 H Minal Aidin Wal Faizin Mohon Maaf Lahir & Batin