KUNCINYA YAKIN Malam itu, di bawah terang bulan, bersama Bapak di kursi teras kami mulai bercengkrama. Sesekali Ia jahil mengejekku karena ukuran tubuh yang paling kecil dan pendek di sekolah. Iya memang, saat di kelas IX aku masih memegang rekor sebagai yang terpendek dan terkecil, tetapi untung saja punya rekor sebagai yang terbaik masalah nilai, untung saja. Pokok pembicaraan malam itu bukanlah tentang aku di kelas, melainkan tentang aku di masa depan. Tentang menyikapi Ujian Nasional, tentang persiapan masuk SMA, dan yang paling menarik adalah ketika diajak berkenalan dengan STAN. Ya, saat itulah aku tahu apa itu STAN, setidaknya kepanjangannya, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Bapak ingin kelak aku bisa melanjutkan sekolah di STAN. Bapak bilang STAN itu sekolah yang bagus, biayanya gratis, nantinya keren bisa mengatur keuangan negara, syukur-syukur bisa menjadi Menteri Keuangan, begitu guraunya. Aku bisa melihat matanya penuh harap saat itu, dibubuhi dengan senyum hangatnya, saat itu pula aku seolah meng-iya-kan harapan itu. Sebagaimana mestinya, waktu terus berlalu mengantarku melewati euforia masa awal SMA hingga tiba ke kelas XII, waktu yang penuh dilema saat itu. Sebagai siswi jurusan IPA yang sehari-harinya lebih banyak belajar IPA, tak bisa dipungkiri bahwa telah timbul chemistry antara aku dan IPA, membuatku mulai menengok PTN mana saja yang sekiranya cocok untuk meng-goal-kan chemistry ini. Namun, ternyata tak semudah itu, STAN-lah yang tetap di hati. Sejak awal mengenal STAN sampai tiba di penghujung masa wajib sekolah, setiap ditanya “mau lanjut kemana?” oleh siapa pun, di mana pun, dan kapan pun, pasti kujawab dengan tegas, “STAN”. Katanya setiap perkataan itu adalah do’a, maka dari itu aku selalu menjawab STAN dan semakin banyak yang meng-Aamiiin-kan itu baik bagiku. Tidak jarang ada yang menimpali “STAN itu apa?”,”Jaga STAND dimana?”, “Oh STAN yang almamater Gayus itu ya?”, hhmm... Hanya sedikit yang tahu tentang STAN di sekitarku, ada yang tahu tetapi karena kakak tingkat yang terkena kasus tercela itu, senang STAN dikenal tetapi tak enak didengar. Teman-temanku pun tak sedikit yang senang bergurau tentang hal itu. “Cciee yang mau ngikutin Gayus”, “Awas ah hati-hati, jangan kaya Gayus”, ”Mantaplah penerus Gayus”, dan lainnya. Malas sekali mendengarnya. Aku selalu berdo’a semoga kita dijauhkan dari sifat tercela seperti itu. Berbicara tentang ini, yang erat kaitannyan dengan masalah Integritas,
jujur aku sangat bersyukur karena justru di STAN-lah aku belajar berintegritas, setidaknya kata Integritaslah yang sering terdengar di sini dari pada di tempat lain. Bapak selalu mengingatkanku untuk update informasi tentang STAN, khususnya menganai prosedur pendaftaran Mahasiswa/i Baru STAN 2014. Menggali informasi dari “Mbah Google” saja tak cukup bagiku, aku butuh informasi langsung dari orang yang pernah berada di dalamnya. Oleh karena itu, aku coba untuk bertanya kepada pihak sekolah, apakah ada alumni yang pernah diterima di STAN? Ternyata jawabannya tidak cukup memuaskan, mereka bilang ada 1 orang yang pernah berhasil diterima di STAN, saat masih ada program D2, tetapi pihak sekolah tak tahu menahu tentang kakak kelasku itu, lost contact. Tak berhenti disitu, dengan bismillah dan entah kenapa baru terpikirkan, aku search “stan sukabumi” di twitter, kemudian muncul @formasi_stan. Ternyata dalam waktu dekat @formasi_stan akan menyelenggarakan TO USM (Try Out Ujian Saringan Masuk) STAN. Lokasinya cukup jauh dari kediamanku, butuh sekitar 2 sampai 3 jam untuk sampai ke lokasi TO USM STAN. Dulu, sosialisasi @formasi_stan memang belum sampai ke kancah Kabupaten, masih di lingkungan Kota saja sehingga informasi tentang STAN di wilayah Kabupaten masih sedikit. Dari TO ini, aku senang karena bisa menggali informasi dari Akang dan Teteh yang sudah berpengalaman kuliah di STAN. Dua kali ikut TO USM PKN STAN, dua kali juga dapat nilai mati, itu bukan masalah. Hal yang terpenting tidak nilai mati saat USM-nya, dan aku yakin tentang itu. DILEMA Tak terpikir olehku untuk kuliah di tempat lain, dilema pun muncul. Bagaimana jika hasil terburuk menimpaku? Tak diterima kuliah di STAN, kemudian aku akan bagaimana? Sebenarnya aku tak ingin memikirkan ini, aku hanya yakin aku pasti akan kuliah di STAN, tak perlu memikirkan yang lain. Tetapi langit tak selalu melulu cerah kan? Payung akan dibutuhkan ketika langit memilih hujan. Jadi, aku perlu memikirkan cadangan. Yang menjadi puncak dilemaku sebenarnya bukan ini, justru menjadi lebih complicated, jika diterima di PTN dan bukan di STAN, itu tak masalah, yang masalah adalah bagaimana jika diterima di keduanya? Waktu penerimaan PTN dengan STAN memang berbeda, PTN mengumumkan penerimaan mahasiswa baru jauh lebih awal dibanding STAN, tentu pada akhirnya aku akan memilih STAN, dan mengundurkan diri dari PTN. Hanya saja, jika ada alumni yang mengundurkan diri dari PTN, pasti akan mempengaruhi prestasi sekolah
dan pertimbangan PTN terhadap sekolah untuk menerima mahasiswa dari almamaterku, itu artinya akan semakin kecil peluang bagi adik kelasku kelak diterima di PTN melalui SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Dan aku tak ingin hal itu terjadi. Jadi, apa yang harus kulakukan? Aku coba bertanya kepada salah satu guru, meminta pendapatnya. Beliau bilang, “Kamu juga harus mementingkan dirimu sendiri, jangan sampai hanya karena pemikiranmu ini justru kamu yang akan dirugikan, bagaimana akhirnya kelak itu adalah takdir Allah SWT”. Aku setuju dengan pernyataan guruku ini, manusia boleh berencana tetapi Tuhanlah yang menentukan. Aku tak bisa mengatur segalanya sesuai harapanku, aku hanyalah manusia biasa yang bahkan mengatur diri sendiri saja tidak bisa, tetapi bukan suatu kesalahan mencari opsi terbaik. Berada diantara ketakutan dan kekhawatiran-kemungkinan-terburuk memang membuat jalan menjadi buntu, takut tak diterima di STAN dan khawatir terhadap kelanjutan penerimaan adik kelas ke PTN di periode selanjutnya. Dan satu-satunya pembuka jalan adalah kembali kepada Allah SWT., Allah-lah yang telah mengatur jalannya, tergantung bagaimana cara kita melangkah. Pada akhirnya aku putuskan untuk mendaftar SNMPTN, dan memohon hasil yang terbaik menurut Allah SWT. Semua bukan kebetulan bukan? Aku tak diterima di PTN manapun, aku merasa lega karena setidaknya kekhawatiranku berkurang, aku akan melanjutkan sekolah di STAN, begitu pikirku saat mengetahui pengumuman SNMPTN. Yang masih menjadi dilema adalah aku tetap perlu cadangan, mempersiapkan plan B untuk berjaga-jaga apabila tak berhasil diterima STAN. Oleh karena itu, aku pun ikut SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Persiapan SBMPTN tak seantusias persiapan USM. Sejak kelas 2 SMA setidaknya aku pernah membuka buku latihan USM. Di kelas XII, aku berlatih USM sampai buat LJK (Lembar Jawaban Komputer) sendiri dengan 200 nomor, teman-teman di kelas ikut mendukung dan membantu latihanku. Sedangkan persiapan SBMPTN, iya aku tetap belajar, tetapi hanya selintas, pantas aku pun gagal SBMPTN. Kemudian Bapakku mendaftarkan aku ke sekolah kebidanan, tak ada tes tulis secara khusus, tes berdasarkan nilai rapot dan tes kesehatan saja. Semua berjalan dengan lancar, tetapi juga sama aku tak diterima. Sebenarnya ada satu hal yang mengganjal. Pada akhir sesi akhir tes kesehatan, sambil bercakap-cakap dengan penguji, dia bertanya, “Selain kesini daftar kemana aja?”
“Ke STAN, Pak. Aku pengen banget sekolah di STAN, karena pengumumannya belum keluar, jadi aku daftar dulu kesini” Ya orang mana yang senang di nomor duakan? Secara langsung pula. Dan aku baru sadar setelah pulang. Takut sekali menyakiti perasaan Bapak Penguji tersebut. Aku malah berharap Penguji tersebut meng-Aamiiin-kan aku untuk diterima oleh STAN. Ketika mengetahui pengumuman dari sekolah kebidanan adalah “Tidak Lulus”, mau bagaimana lagi ya aku senyum saja dihadapan Bapak, dan dia balas tersenyum. Kami sama-sama paham bahwa sejak awal STAN-lah tujuan kami. Sejujurnya alasan aku untuk masuk ke STAN tidaklah jelas, asal Bapak yakin dan itu baik, aku juga yakin, setuju. Aku tidak berpikir apakah ketika terjun ke dalamnya aku akan bahagia atau tidak, aku akan suka atau tidak, atau aku akan mampu atau tidak,yang jelas ketika aku melihat keridhoan Bapak terhadap STAN disitu aku yakin semua pasti akan berjalan baik-baik saja. Setelah terjun ke dalamnya, ada alasan tersendiri dan lebih mendalam mengapa tetap bertahan sebagai calon punggawa keuangan Negara RI tercinta. DUKUNGAN Aku sempat menangis, takut kalau ternyata aku tidak bisa masuk kuliah di instansi mana pun. Tetapi dukungan keluarga sangatlah hebat. Tak masalah apabila hal terburuk (buruk dalam pandangan tak sesuai harapan manusia) terjadi, tak ada paksaan, semua telah diatur oleh Allah SWT., yang terpenting kita telah berusaha. Begitu pun Bapak, Ia tidak memaksakan apakah ke depannya harus sesuai dengan maunya kita, tidak. Intinya adalah sesuatu yang diperjuangkan itu akan tetap manis meski hasilnya terlihat pahit. Mengenai perjuangan, ingat sekali raga ini yang awalnya malas berlari menjadi selalu ingin berlari mengingat adanya tes kebugaran berupa lari. Dibantu oleh Bapak dan Paman, di bawah terik matahari bergantian mereka menemaniku berlatih di lapangan, membuatkanku air kelapa muda, membelikan susu, dan lainnya. Bukan hanya itu, pernah pada suatu waktu, bersamaan ketika pulang dari liburan, motor yang ditunggangi oleh bapak dan aku tak kuat menaiki jalan yang terjal, dan apa yang aku lakukan? Bapak memaksaku membawa barang-barang sambil berlari sepanjang jalan terjal yang panjang itu sedangkan Bapak akan menunggu di atas. Sesampainya di atas,
percaya atau tidak aku pingsan, meski hanya sesaat. Dengan lemas aku peluk Bapak sambil tertidur melanjutkan perjalanan. Dukungan dari sahabat-sahabatku juga sangat berpengaruh begitu pun dari temanteman lainnya khususnya teman sekelas saat SMA, XII IPA 2 yang peduli satu sama lain. Bahkan, buku latihan USM STAN yang aku punya bermula dari temanku yang tidak sengaja melihat buku tersebut di sebuah toko buku, Ia langsung menghubungiku dan membelikannya untukku, aku sangat berterima kasih untuk itu. Ada satu hal yang membuatku bangga kepada salah satu sahabatku yang juga antusias untuk diterima di STAN. Ialah Siti Maspupah yang di penghujung masa pendaftaran memutuskan untuk tak mendaftar karena alasan yang sangat mulia. Ia mengutamakan Ibunya. Ibunya sudah cukup tua, kasih sayangnya juga sangatlah besar, beliau tidak ingin pisah terlalu lama dan jauh dari Siti, beliau ingin Siti berada disisinya, beliau ingin Siti bekerja saja di dekat rumah. Meskipun Siti sudah menjelaskan dengan baik dan berusaha untuk mendapatkan ridho Ibunya, Ia tak kuasa memaksakan kehendak. Baginya ridho Ibu adalah segalanya. Dan aku banyak belajar darinya, tentang penghormatan dan menomorsatukan keluarga, serta selalu yakin bahwa akan ada jalan terbaik. Salam sayangku untukmu, sahabat. Sebelum menonaktifkan ponsel sesaat sebelum USM STAN 2014 di Gelora Bung Karno, ku lihat pesan masuk dari sahabatku. “Selamat berjuang Vi, yakinlah pada Allah, aku yakin kamu pasti bisa”. Pesan ini seolah menambah energiku saat itu. Setelah melewati serangkaian tes, Alhamdulillah kabar baik pun datang. Masih memakai mukena selepas shalat Isya, dengan haru ku perlihatkan pengumuman tersebut kepada orang tua. Ini sudah takdir-Nya, kuncinya adalah yakin. Atas keyakinan terhadapNya-lah STAN menjadi satu-satunya yang aku inginkan dan satu-satunya pula yang menerimaku. Ini baru yang namanya goal-relationship, ups.