46 PENGUKURAN ANTIBODI AYAM PETELUR YANG DIIMUNISASI DENGAN ANTIGEN EKSKRETORI/SEKRETORI STADIUM L3 Ascaridia galli MELALUI UJI ENZYME LINKED IMMUNOSORBANT ASSAY ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons antibodi di dalam serum ayam petelur terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 Ascaridia galli. Sebanyak 12 ekor ayam dibagi dalam empat kelompok (A – D). Kelompok A adalah ayam yang tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi. Kelompok B adalah ayam yang diimunisasi. Kelompok C adalah ayam yang diinfeksi. Kelompok D adalah ayam yang diimunisasi dan diinfeksi. Imunisasi dilakukan secara intramuskular dengan dosis 80 µg ekskretori/sekretori larva A. galli yang dicampur dengan Fruend Adjuvant Complete dan diulang tiga kali dengan dosis 60 µg yang dicampur dengan Freund Adjuvant Incomplete. Infeksi dilakukan langsung ke dalam oesofagus dengan dosis 1000 L2. Respons antibodi pada masing-masing kelompok dianalisis dengan uji enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) setiap satu minggu selama 10 minggu pascainfeksi. Hasil menunjukkan bahwa imunisasi dan atau infeksi dapat memicu peningkatan titer antibodi serum secara signifikan (P < 0,05) selama 10 minggu pascainfeksi. Titer antibodi dari terendah sampai tertinggi ditemukan berturut-turut pada kelompok A, B, C, dan D. Titer tertinggi kelompok ayam yang diimunisasi adalah 2,63 ± 1,20 OD (optical density) dicapai pada minggu ketiga dan titer terendah adalah 1,51 ± 0,48 OD dicapai pada minggu kenol pascainfeksi. Antigen ekskretori/sekretori dapat memicu respons imunitas humoral terhadap penyakit parasit yang disebabkan oleh A. galli. Hasil tersebut merefleksikan bahwa produk ekskretori/sekretori larva A. galli mengandung antigen, dan antibodi berperan dalam mekanisme imunitas terhadap A. galli. Kata kunci: Ascaridia galli, antigen ekskretori/sekretori, ELISA ABSTRACT The purpose of the present study was to trigger humoral immunity of chickens exposed to experimental Ascaridia galli infection. Amount of 12 head chickens were devided into four groups (A – D). Group A, the chickens were not immnunized and nor infected. Group B, the chickens were immunized. Group C, the chickens were infected. Group D, the chickens were immunized and infected. Two groups (B and D), the chickens were actively immunized with 80 µg mixed with Fruend Adjuvant Complete and repeated three times with dose of each 60 µg excretory/secretory antigen of A. galli larvae mixed with Freund Adjuvant Incomplete with an interval of one week intra muscularly. Two groups (C and D), chickens were infected with dose 1000 L2. Antibody responses of the different groups were compared at weekly intervals along 10 weeks post infection following analysis by enzyme linked immunosorbant assay (ELISA). The result showed that immunizations and or infections were increased antibody titer significantly (P < 0,05) for 10 weeks. The lowest to highest titers observed in A,
47 B, C, and D respectively. The highest titer of serum was 2,63 ± 1,20 OD (optical density) reached at three weeks after infection and the lowest was 1,51 ± 0,48 OD can be triggered by using active immunizations. This research concluded that the excretory/secretory antigen was able to trigger humoral immune responses against parasitic diseases caused by A. galli. The results suggest that A. galli larvae excretory/secretory product contain protective antigen and that antibodymediated mechanisms contribute to immune protection. Key words: Ascaridia galli, excretory/secretory antigen, ELISA
PENDAHULUAN Uji serologis yang dikembangkan dewasa ini menurut Priadi et al. (2002) terdiri dari dua ketegori, yaitu uji pengikatan primer dan uji pengikatan sekunder. Uji pengikatan primer adalah uji yang langsung mengukur ikatan antigen pada antibodi
yang
meliputi
uji
fluorescence
antibody
technique
(FAT),
radioimmunoassay (RIA), dan Enzyme Linked Immunosorbant Assay (ELISA). Uji pengikatan sekunder adalah uji yang mengukur hasil interaksi antigen-antibodi secara in vitro yang meliputi uji presipitasi antigen yang terlarut (agar gel presipitation test = AGPT), aglutinasi antigen utuh (serum agglutination test = SAT), dan aktivasi perusakan oleh komplemen (complement fixation test = CFT). Uji ikatan primer lebih sensitif dibandingkan uji ikatan sekunder. Jumlah protein antibodi 0,5x10-3 µg/ml sudah dapat dideteksi melalui uji ELISA sedangkan melalui uji AGPT membutuhkan 30 µg/ml antibodi. Diantara uji pengikatan primer, ELISA adalah uji yang paling umum digunakan.
ELISA
diyakini
memberikan
hasil
sangat
akurat
untuk
imunodiagnostik terhadap berbagai penyakit parasitik. Antibodi babi terhadap nematoda Ascaris suum betina dewasa (Yoshihara et al. 1993) dan antibodi marmot terhadap nematoda Dictyocaulus vivivarus (McKeand et al. 1995) telah terbukti dapat dievaluasi dengan ELISA. Uji ELISA juga akurat untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas antibodi manusia terhadap trematoda Clonorchis sinensis (Kim et al. 2001; Nagano et al. 2004), dan antibodi tikus, domba, dan kerbau terhadap Fasciola hepatica dan F. gigantica (Law et al. 2003; Nambi et al. (2005; Yadav et al. 2005; dan Zhang et al. 2005).
48 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respons antibodi di dalam serum ayam petelur terhadap ekskretori/sekretori stadium L3 Ascaridia galli melalui uji ELISA. Prinsip yang digunakan adalah antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli diikatkan pada matriks padat (microplate) yang berguna untuk menangkap antibodi yang larut di dalam serum ayam yang telah diimunisasi dengan antigen tersebut. Kompleks antigen-antibodi yang terbentuk dideteksi dengan bantuan antibodi yang telah dilabel dengan enzim (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken). Priadi et al. (2002) menyatakan bahwa konsentrasi ikatan yang terbentuk dapat dibaca melalui spektrofotometer dengan bantuan substrat enzim. Besarnya optical density (OD) adalah proporsional dengan konsentrasi ikatan kompleks tersebut.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kandang Unggas, Laboratorium Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Waktu Penelitian berlangsung 14 bulan dari bulan Mei 2006 sampai dengan bulan Juli 2007.
Rancangan Penelitian Sepuluh hari sebelum imunisasi aktif masing-masing ayam dipastikan bebas dari infeksi cacing melalui pemeriksaan telur tiap gram tinja. Ayam dipelihara secara individual dalam kandang baterei yang diberi pakan komersial dan air minum secara ad libitum. Dua belas ekor ayam HySex Brown berumur 24 minggu digunakan sebagai ayam percobaan yang dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor ayam. Kelompok A adalah sebagai kelompok kontrol, ayam tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi. Kelompok B adalah ayam yang diimunisasi aktif. Kelompok C adalah ayam yang diinfeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli. Kelompok D adalah ayam yang diimunisasi aktif, dan diinfeksi (ditantang) dengan dosis 1000 L2 A. galli. Serum kelompok A, B, C, dan D dipanen dan diuji dengan ELISA setiap minggu yang
49 dimulai sesaat prainfeksi dosis 1000 L2 A. galli
sampai minggu ke-10
pascainfeksi.
Teknik Imunisasi dan Teknik Infeksi pada Ayam Percobaan Imunisasi dilakukan empat kali dalam interval waktu satu minggu setiap kali imunisasi. Teknik yang digunakan adalah suntikan pertama 80 µg dengan emulsi antigen plus freund’s complete adjuvant (FCA) yang diikuti dengan tiga kali suntikan booster (60 µg/imunisasi) dengan emulsi antigen plus incomplete freund’s adjuvant (IFA) (Camenisch et al. 1999 dan Carlender 2002). Infeksi dengan dosis 1000 L2 A. galli dilakukan langsung ke dalam oesofagus pada minggu pertama pascaimunisasi terakhir.
Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Uji ELISA dilakukan terhadap serum dari semua kelompok ayam percobaan (A, B, C, dan D) yang dipanen setiap minggu yang dimulai sesaat prainfeksi dosis 1000 L2 sampai minggu ke-10 pascainfeksi. Sumur pada plat ELISA dilapisi dengan 100 µl antigen. Konsentrasi larutan yang digunakan adalah 2 – 10 µl/ml dalam 0,1 M NaHCO3, pH 9,5. Plat diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 40C. Plat dicuci sebanyak 3 kali dengan 0,15 M NaCl, 0,02 M NaHPO4, 0,01% Tween 20, pH 7,2 (PBS-T) yang khusus digunakan sebagai larutan pencuci dalam ELISA. Sebanyak 100 µl sampel antibodi yang diencerkan 200 kali yang telah dilarutkan dalam PBS-T ditambahkan ke setiap lubang dari plat yang dibuat duplo. Plat diinkubasikan selama satu sampai dua jam pada suhu ruangan di atas shaker. Plat dicuci kembali sebanyak tiga kali dengan PBS-T. Sebanyak 100 µl antibodi yang telah dilabel (IgY conjugate HRP, rabbit anti-chicken) dimasukkan ke dalam lubang plat dan diinkubasikan selama satu jam pada suhu ruangan di atas shaker dan ditambahkan substrat peroksidase, ABTS, dan sitrat buffer. Plat dibaca dengan ELISA Reader panjang gelombang 415 nm (Yadav et al. 2005).
Analisis Data Data diuji dengan analisis sidik ragam. Apabila terdapat perbedaan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Stell dan Torrie 1999).
50 HASIL PENELITIAN
Uji Spesifisitas IgY Secara Kuantitatif: Enzyme-Linked Immunosorbent Assay Hasil titrasi menunjukkan bahwa konsentrasi antigen adalah pada pengenceran 1 : 400, konsentrasi antiserum adalah pada pengenceran 1 : 200, dan konsentrasi konjugat adalah pada konsentrasi 1 : 1000. Pada uji ELISA diketahui bahwa konsentrasi optimum cairan ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli 30.000 MWCO yang dibutuhkan adalah 0,15 µg dalam setiap sumur ELISA. Gambar 11 menunjukkan titer antibodi di dalam serum ayam percobaan. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan berbeda tidak signifikan (P > 0,05) pada sesaat prainfeksi (minggu kenol, Gambar 11). Selain pada kelompok ayam kontrol, peningkatan titer antibodi terjadi pada semua kelompok ayam percobaan mulai minggu pertama sampai minggu ke-10 pascainfeksi. Titer antibodi semua kelompok ayam percobaan meningkat signifikan (P < 0,05) hanya terhadap kelompok kontrol pada minggu pertama, kedua, kelima, dan ke-10 pascainfeksi. Titer antibodi serum (OD)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minggu ke- (pascainfeksi) Kontrol
Imunisasi
Infeksi
Imunisasi dan Infeksi
Gambar 11. Titer antibodi di dalam serum ayam pada tiap-tiap kelompok ayam percobaan Titer antibodi kelompok ayam imunisasi yang ditantang dengan dosis 1000 L2 meningkat signifikan (P < 0,05) terhadap titer antibodi kelompok ayam kontrol dan kelompok ayam imunisasi pada minggu ketiga, keempat, keenam,
51 ketujuh, kedelapan, dan kesembilan pascainfeksi. Titer antibodi kelompok ayam infeksi dengan dosis 1000 L2 berbeda tidak signifikan (P > 0,05) dibandingkan dengan kelompok ayam imunisasi, dan kelompok ayam imunisasi yang ditantang dengan dosis 1000 L2 pada minggu ketiga, keempat, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan pascainfeksi.
PEMBAHASAN
Titer antibodi pada kelompok ayam yang diimunisasi, dan kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli selalu menunjukkan nilai OD yang lebih tinggi dibandingkan titer antibodi kelompok ayam yang tidak diimunisasi dan tidak diinfeksi, demikian juga dengan titer antibodi ayam yang hanya diinfeksi (Gambar 11). Hal ini berarti bahwa antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli bersifat imunogenik dan prosedur imunisasi untuk memicu pembentukan antibodi pada ayam yang direkomendasikan oleh Camenisch et al. (1999) dapat digunakan pada penelitian ini. Camenisch et al. (1999) menyatakan bahwa pembentukan antibodi dapat dipicu melalui teknik imunisasi dengan cara menginjeksikan antigen dan adjuvant secara subkutan, intramuskular, atau secara oral dalam interval waktu tertentu. Teknik imunisasi pada ayam untuk memicu terbentuknya IgY anti human hypoxia-inducible factor 1 (anti-HIF-1α) dalam serum dan kuning telur ayam dilakukan dengan injeksi 80 µg antigen fusi protein plasmid bakteri yang mengekspresikan HIF-1α dengan glutathione S-tranferase yang diresuspensi dengan 500 µl PBS dan dicampur dengan 500 µl CFA pada otot dada. Booster dilakukan dua kali dengan cara menyuntikkan 60 µg antigen yang dicampur dengan IFA pada minggu ke-2 dan 4. Sifat imunogenik antigen ekskretori/sekretori cacing telah dibuktikan oleh peneliti terdahulu. Aktivitas antigenik ekskretori/sekretori F. hepatica dan F. gigantica dibuktikan pula oleh dan Paz-Silva et al. 2004 dan Zhang et al. (2005) dapat menimbulkan efek imunomodulator dan memicu proliferasi limfosit domba, tikus, dan kerbau. Cathepsin-L (28-kDa) dari ekskretori/sekretori F. gigantica dapat digunakan sebagai antigen dalam uji ELISA untuk mendeteksi fasciolosis
52 selama 4 minggu pasca infeksi pada kerbau dan domba (Paz-Silva et al. 2003 dan Yadav et al. 2005). Nilai telur tiap gram tinja (TTGT) menurun signifikan dijumpai pada Lama pacos yang memiliki titer antibodi yang tinggi (Green et al. 1996). Demikian juga pada anak domba yang memiliki titer IgG yang meningkat signifikan berimplikasi kepada penurunan nilai TTGT (Vervelde et al. 2003). Pada minggu kedua pascainfeksi terjadi penurunan titer antibodi pada kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli. Hal ini dapat dijelaskan bahwa antibodi yang telah terbentuk di dalam serum ayam petelur oleh rangsangan antigen melalui imunisasi mungkin telah tertarik ke bagian usus halus yang merupakan tropisma A. galli. Tizard (1996) menyatakan bahwa antibodi yang telah terbentuk akan melekat pada permukaan cacing, sel eosinofil kemudian melekat melalui reseptor Fc antibodi, sehingga sel eosinofil teraktivasi dan melepaskan sekresi protein dari granula yang dapat merusak parasit bersangkutan. Klei (1997) menyatakan bahwa tanggap kebal dipicu melalui mekanisme sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (antibody dependent cell cytotoxicity = ADCC) yang khas. Tanggap ini menurut Roitt dan Delves (2001) dapat terjadi karena ekskretori/sekretori dapat merangsang sel Th2 untuk memproduksi interleukin (IL), yaitu IL-4 dan IL-5. IL-4 merangsang produksi antibodi, sedangkan IL-5 merangsang pembentukan dan perkembangan sel eosinofil. Penelitian terdahulu merefleksikan bahwa ekskretori/sekretori asal cacing A. galli dewasa dapat memicu pertahanan selaput lendir mukosa usus halus yang ditandai dengan eosinofilia dan hiperplasia dan proliferasi sel mast mukosa (Darmawi 2003) serta sel goblet (Balqis 2004). Sel eosinofil, sel mast mukosa, dan sel goblet berperan dalam pengeluaran A. galli dari saluran cerna ayam (Tiuria et al. 2000). Fenomena fluktuasi titer antibodi merupakan manifestasi infeksi cacing. Menurut Nambi et al. (2005) bahwa respons humoral dan seluler kerbau (Bubalus bubalis) meningkat signifikan dua minggu setelah diimunisasi dengan 400 µg ekskretori/sekretori F. gigantica. Pada penelitian ini, peningkatan titer antibodi kembali terjadi pada minggu ketiga pascainfeksi, dan titer antibodi yang tinggi tetap dipertahankan sampai minggu ke-10 pascainfeksi pada kelompok ayam yang diimunisasi dan ditantang dengan dosis 1000 L2 A. galli.
53 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dapat menggertak respons humoral yang ditandai dengan meningkatnya titer antibodi serum ayam petelur yang diimunisasi. 2. Titer antibodi serum semakin meningkat pada ayam yang sudah diimunisasi dengan antigen ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli dan diikuti dengan infeksi dosis 1000 L2.
SARAN
Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa untuk mengetahui keberadaan antigen A. galli dapat dilakukan penelitian lebih lanjut melalui uji imunohistokimia.