SEKITAR PERMASALAHAN TAKLIK TALAK SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN Oleh : Drs. Darmudji, S.H.
A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia perceraian dengan alasan pelanggaran takli talak suah dipraktekkan sejak dahulu sebelum adanya Undang-Undang perkawinan. Hal ini dibuktikan bahwa hampir seluruh perkawinan dihadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan seolah-olah selalu diikuti pengucapan sighot takllik talak, sebagaimana tertulis dalam setiap buku Kutipan Akta nikah. Bunyi rumusan sighat taklik talak tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 tahun 1990 berbunyi sebagai berikut: “sesudah akad nikah, saya..........bin.......... berjanji dengansesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli sistri sdaya bernama .......... binti .......... dengan baik (mu’asyaroh bil ma’ruf) menurut ajaran syari’at Islam. Selanjutnya saya mengicapkan sighot taklik atas istri saya itu sebagai berikut: Sewaktu-waktu saya: (1) (2) (3) (4)
Meninggalkan istri saya dua tahun berturut-turut; Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu; Atau saya mambiarkan (tidak memedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya;
Kemudian istri saya itu tidak ridlo dan mengadukan halnya kepada Pengadiulan Agama atau petugas yang memberinya hak untuk mengurus pengaduan itu dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp.1.000,-1 (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas terserbut tadi saya kuasakan untuk menerima uamh iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) pusat, untuk keperluan ibadah sosial. .....................................2000
Suami, Sighat taklik dirumuskan sedemikian rupa , dengan tujuan untuk melindungi pihak istri supaya tidak diperlakukan sewenang-sewenang oleh pihak suami. Jika pihak istri tidak rela atas perlakuan suami, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudnya syarat taklik sebagaimana disebutkan dalam sighot taklik.
1
Dalam Kutipan Akta Nikah yang saat ini berlaku uang iwadh sebesar Rp.10.000.-
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun dalam aturan pelaksaannya (Perturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1075) alasan percerian berdasarkan lasan pelannggaran taklik talak tidak disebutkan/tidak diatur, tetapi realitanya berdasarkan dapat perceraian yang ada khusus di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan teratas jika dibandingkan dengan dengan gugatan nperceraian karena alasan lainnya seperti alasan syiqoq, fasakh dan lain sebagainya”2 Di sisi lain jumlah iwadl sebagai pengganti talak satu suami dalam kenyaataannya selalu berubah-ubah berdasarkan tahun pernikahan mulai dari Rp, 5,-(lima rupiah), Rp.50,(lima puluh rupiah), Rp.1.000,-(seribu rupiah) dan yang berlaku saat ini sebesar Rp.10.000,(sepuluh ribu rupiah). Jika terjadi percerian dimana pernikahannya dilakukan pada tahun 1978 yang uang iwadl dalam sighatnya Rp.5,- apakah dibenarkan Pengadilan memungut Rp.10.000,-? Andaikan boleh tentu harus ada dalam pertimbangan hukumnya yang diuraikan secara tegas alasannya. Belum lagi perasaan riskan dalam persidangan harus memerintahkan Penggugat mambayar uang iwadl Rp.10.000,- umpamanya. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, kiranya perlu dibahas taklik talak sebagai alasan perceraian agar penerapan hukumnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilansebagai upaya peningkatan kwalitas pelayanan hukum kepada masyarakat. B. Pembahasan. Pembahasan mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian , nampaknya telah dibicarakan oleh para fuqoha dalam berbagai kitab fiqh, dan ternyata mereka masih terjadi ikhtilaf tentang hal itu. Diantara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat, yakni ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Perbedaan pendapat yang membolehkan , sebagai dasarnya terletak pada bentuk sifat dari sighat taklik tersebut . yang membolehkan secara mutlak, mereka membolehkan semua bentuk sighat taklik, baik yang bersifat syarthi dan qosamy, yang bersifat umum maupun yang dikaitkan dengan dengan sesuatu. Sedangkan yang diperbolehkan aialah sighat taklik yang betrsifat syarthi, dan ini sesuai dengan maksud dan tujuan hukum syar’i. Secara yuridis mengenai alasan perceraian sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975tidak disinggung-singgung mengensai taklik talak sebagai alasan perceraian. Pembuat Undang-Undang menganggap bahwa alasan perceraian berdasarkan penjelasan Pasan 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Jo pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 telah cukup memadahi, sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut yang antara lain , menganut asas mempersukar terjadinya perceraian, shingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas”3 Apabila kita amati dari fakta sat ini masih banyak gugatan cerai dengan alsan taklik talak yang diterima dan diputus oleh Pengadilan Agama, apakah hal demikian dapat
2
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 397. 3 Ibid , hlm. 399 -400.
dikatakan bahwa Pengadilan Agama telah membenarkan alasan perceraian diluar undangundang?. Untuk memjawab pertanyaan tersebut perlu dikemukakan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut; 1. Taklik talak dilihat dri segi esensinya sebagai perjanjiantelah digantungkan kepada syarat dengan tujuan utamanya melindungi istri dari kemudharatan karena tidakan sewenang-sewenang suami, mempunyai landsan hukum yang kuat yaitu dalil al Qur’an dan Al Hadist. 2. Taklik talak ssebagai alasan perceraian telah melembaga dalam hukum Islam sejak jaman sahabat. Sebagian besar ulama sepakat tentang sahnya dan sampai sekarang masih diamalkan oleh kaum muslimin di berbagaim penjuru dunia, khususnya Malaysia dan Indonesia. 3. Substansi sighat taklik talak yang ditetapkan oleh Menteri Agama dipandang telah cuup memadai, dipandang dari asas hukum Islam maupun jiwa UndangUndang Perkawinan. 4. Secara yuridis formal taklik talak telah berlaku sejak penjajahan Belanda, berdasarkan Staatsblad 1882 Nomor 152 yang meskipun telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun1989, akan tetapi saat ini telah diberlakukan Hukum terapan Pengadilan Agama melalui Kompilasi Hukum Islam dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang antara dalam Pasal 116 huruf (g) mengatur tentang taklik talak,maka taklik talak dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis”4 Dalam praktek di Pengadilan Agama baik taklik talak sebagai perjanjian taupun sebagai alasan perceraian, maka Hakim harus secara tegas mempertimbangkan dalam putusannya. Hakim hendaknya mempertajam dalam mengkonstantir. Mengkwalifisir maupun mengkonstitusir perkaranya, sehingga kecenderungan selama ini untuk menggiring atau mengarahkan perkara cerai gugat menjadi perkara taklik talak dapat dikurangi. Disamping itu hendaknya Hakim menjunctokan dengan alasan perceraian menuurut undang-undang, baik yang dimuat dalam PPNomor 9 Tahun 1975 maupun UUP, disamping hukum tak tertulis yang telah amat terkenal , yakni dalam Kitab Syarqowi ‘alat Tahrir Juz II, halaman302;”5
Artinya; “Barang siapa menggantungkan talak dengan suatu sifat. Maka jatuhlah talak tersebut dengan wujudnya sifat tersebut sesuai byunyi lafadznya” Beberapa permasalahan sekitar taklik talak dan kesulitan pembuktiannya. a. Bila suami atau istri tidak tahu maksud sighat taklik. 4
Abdul Manan, Masalah Taklik Talak Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, dalam Mimbar Hukum No.23 Thn.VI 1995, hlm. 72- 73 5 Ibid, hlm.73.
Jika suami tidak tahu maksud sighat taklik talak yang diucapkannya, maka taklik talak harus dianggap tidak ada, Oleh karena itu Pegawai Pencatat Nikah (PPN) saat suami akan membaca sighat harus menjelaskannya dalam bahasa yang dipahami oleh suami. Hal ini sesuai dengan Kaidah Fiqhiyaah yang menyatakan bahwa ...”yang dianggap ada dalam perjanjian adalah maksud pengertiannya, bukan berdasarkan ucspsn dan bentuk katakatanya”6 b. Mengucapkan sigat taklik talak karena terpaksa. Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan taklik talak harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak, karena perbuatan itu merupakan perbuatan hukum yang akan berakibat hukum pula. Jika suami mengucapkan sighat taklik talak , maka seharusnya Hakim menolak gugatan istri, karena tidak memenuhiu syarat taklik atau tidak terjadi pelanggaran sighat taklik . Pendapat inilah yang dianggap paling populer untuk masa sekarang ini”7 c. Suami tidak menandatangani sighat taklik . Secara yuridis Permenag Nomor 2 Tahun 1990 dikatakan bahwa untuk sahnya sighat taklik talak, maka suami harus menandatangani sihgat taklik yang telah diucapkannya itu. Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa antara pengucapan dan penandatanganan sighat talik talak keduanya bersifat kumulatif. Dipandang dar sudut kekuatan pembuktian. Bahwa dalam kutipan harus jelas bahwa suami mengucapkan sihgat taklik talak , maka hakim akan terikat dengan apa yang terter a dalam kutipan akta nikah itu, karena kutipan akta nikah termasuk ankta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna”8 d. Kesulitan pembuktian taklik talak. Sebagaimana disinggung diatas bahwa keabsahan adanya taklik talak terkait beberapa hal, diantaranya rumusan sighat taklik, pengetahuan suami atas arti ucapan sighat taklil maupun tidak adanya paksaan bagi suami dalam mengucapkan sighat taklik. Hal demikian menyebabkan pula guagatan perceraian dengan alasan taklik talak lebih sulit pembuktiannya daripada dengan alasan perceraian lainnnya. Disamping itu perceraian dengan alasan pelanggaran taklik membebani istri untuk membayar sejumlah uang (iwadl Rp.10.000,-) yang sebenarnya istri dalam keadaan ditelantarkan suami, sehingga memberatkan pihak istri yang seharusnya tidak perlu terjadi jika gugatan cerai dengan alasan yang lain. Dalam praktek sering membawa situasi yang tidak enak bagi Majlis Hakim, seperti istri tidak bawa uang, adanya uang besar ( uang ratusan ribu) sehingga harus ada pengembalian dan lain sebagainya, sehingga waktu persidangan menjadi tidak efektif. e. Alasan perceraian yang ditetapkan undang-undang sudah lengkap. 6
Ibid, hlm. 87. Ibid., 8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara perbata Indonesia, Liberty, Jakarta . 1`976, hlm.105-116 7
Pengaturan limitatip alasan perceraian yang ditetapkan undang-undang sudah lebih dari cukup, sehingga tidak perlu ditambah”9. Pengaturan tersebut terdapat dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dimana pada huruf (f) menyebutkan “...Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga” . Dalam pasal ini tidak perlu lagi dicari siapa yang meneyebabkan perselisihan alam arti penyebab perseselisihan juga dapat menggunakan alasan ini untuk melakukan perceraian. C. Kesimpulan. 1. Di Indonesia alasan perceraian karena pelanagggaran taklik talak sudah ada sejak zaman Belanda dengan Staatsblaad 1882 Nomor 152 yang meskipun staatbalad tersebut telah dicabut dengan UU No,7 Tahu n 1989, tetapi dengan maksud untuk melindungi istri dari tindakan kesewanang-wenangan suami ditetapkan kembali oleh Pemerintah Indonesia dengan Inpres Nomopr 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam pasal 116 huruf ( g). 2. Alasan perceraian selain pelanaggaran taklik talak telah diatur secara limitatip dan lengkap dalam perundang-undangan Indonesia, sehingga sudah cukup memadahi dan tidak perlu ditambah. 3. Pembuktian gugaatan perceraian dengan alasan taklik talak lebih menyulitkan istri , disamping harus membayar iwadl sebagai pengganti talak suami yang dalam prakteknya sering tidak efektif dan menghambat lancarnya persidangan penyelesaian perkara karena tidak membawa uang dan sebagainya , sedangkan perkara yang disidangkan masih banyak. Wallahu a’lam bish shawab. P e n u t u p. Demikianlah makalah singkat ini hadir dihadapan pembaca, dan penulis yakin disana-sini masih banyak kekurangan, baik mengenai sistim penulisan dan analisisnya. Untuk itu kritik dan saran sekaligus diharapkan menjadi bahan diskusi untuk memperoleh yang terbaik dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
===========================
9
M. Yahya Harahap, Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia ,( Makalah Seminar), FH-UI, Jakarta, 1989, hlm.4.