1.1.
Akibat trauma
Kelainan yang terjadi akibat trauma dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu : a. Aspek medik Konsekuensi dari luka oleh trauma dapat berupa : 1) Kelainan fisik / organic Bentuk dari kelainan fisik / organik ini dapat berupa :
Hilangnya jaringan atau bagian dari tubuh
Hilangnya sebagian atau seluruh organ tertentu
2) Gangguan fungsi dari organ tubuh tertentu Bentuk dari gangguan fungsi ini tergantung dari organ atau bagian tubuh yagn terkena trauma. Contohnya : lumpuh, buta, tuli, atau terganggunya fungsi organ-organ dalam. 3) Infeksi Kulit atau membrana mukosa merupakan barier terhadap infeksi. Bila kulit atau membrana tersebut rusak, maka kuman akan masuk lewat pintu ini. Bahkan kuman dapat masuk lewat daerah memar atau bahkan iritasi akibat benda yang terkontaminasi oleh kuman. 4) Penyakit Trauma sering dianggap sebagai precipitating factor terjadinya penyakit jantung walaupun hubungan kausalnya sulit diterangkan dan masih dalam kontroversi. 5)
Kelainan psikik
Trauma, meskipun tidak menimbulkan kerusakan otak, kemungkinan dapat menjadi
precipitating
factor
bagi
terjadinya
kelainan
mental
yang
spektrumnya amat luas, yaitu dapat berupa : compensational neurosis, anxiety neurosis, dementia praecox primer (schizophrenia), maniac depressive, atau psikosis. b.
Aspek yuridis Dari sudut pandang hukum, luka merupakan kelainan yang dapat disebabkan
oelh suatu tindak pidana, baik yang bersifat sengaja, ceroboh, atau kurang hati-hati. 3
Untuk menentukan berat ringannya hukuman perlu ditentukan lebih dahulu berat ringannya luka (kualifikasi luka). 1)
Luka ringan
Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya. 2)
Luka sedang
Luka sedang adalah luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencahariannya untuk sementara waktu. 3)
Luka berat
Luka berat adalah luka yang sebagaimana diuraikan di dalam pasal 90 KUHP, yang terdiri atas : a) Luka atau penyakit yang tidak dapat diharapkan akan sembuh dengan sempurna b) Luka yang dapat mendatangkan bahaya maut c) Luka yang menimbulkan rintangan tetap dalam menjalankan pekerjaan atau mata pencahariannya d) Kehilangan salah satu dari panca indera e) Cacat besar atau kudung f) Lumpuh g) Gangguan daya pikir > 4 minggu lamanya h) Keguguran atau kematian janin seorang perempuan (Sofwan, 2000) Pengertian kualifikasi luka disini semata-mata pengertian Ilmu Kedokteran Forensik sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XX pasal 351 dan 352 serta Bab IX pasal 90. Pasal 351 (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 4
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 352 (1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Pasal 90 Luka berat berarti: (1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; (2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian; (3) Kehilangan salah satu pancaindera; (4) Mendapat cacat berat; (5) Menderita sakit lumpuh; (6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih; (7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. (Penggalih, 2008) Luka Akibat Benda Tumpul Benda tumpul bila mengenai tubuh dapat menyebabkan luka, yaitu luka lecet, memar dan luka robek atau luka terbuka. Dan bila kekerasan benda tumpul tersebut sedemikian hebatnya dapat pula menyebabkan patah tulang. A.
Luka lecet
Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh terbatas hanya pata lapisan kulit yang paling luar/kulit ari. Walaupun kerusakan yang ditimbulkan minimal sekali, luka lecet mempunyai arti penting didalam ilmu kedokteran kehakiman, oleh karena dari luka tersebut dapat memberikan banyak petunjuk dalam banyak hal misalnya: a. Petunjuk kemungkinan adanya kerusakan yang hebat pada alat-alat dalam tubuh,
seperti hancurnya jaringan hati, ginjal atau limpa, dari hasil pemerikaan luar 5
hanya tampak adanya luka lecet di daerah yang sesuai dengan alat-alat dalam tersebut.
b. Petunjuk perihal jenis dan bentuk permukaan dari benda tumpul yang
menyebabkan luka, seperti: 1. Luka lecet tekan pada kasus kasus penjeratan atau penggantungan, akan tampak
sebagai suatu luka lecet dan berwarna merah-coklat. perabaan seperti perkamen, lebarnya dapat sesuai dengan alat penjerat dan memberikan gambaran/cetakan yang sesuai dengan bentuk permukaan dari alat penjerat, seperti jalinan tambang atau jalinan ikat pinggang. Luka lecet tekan dalam kasus penjeratan sering juga dinamakan ”jejas jerat” khususnya bila alat penjerat masih tetap berada pada leher korban. 2. Didalam kasus kecelakaan la1u-lintas dimana tubuh korban terlindas oleh ban
kendaraan, maka luka lecet tekan yang terdapat pada tubuh korban seringkali merupakan cetakan dari ban kendaraan tersebut, khususnya bila ban masih daiam kendaraan yang cukup baik, dimana “kembang” dari ban tersebut masih tampak jelas, misalnya terbentuk zig-zag yang sejajar. Dengan demikian di dalam kasus tabrak-lari, informasi dari sifat-sifat luka yang terdapat pada tubuh korban sangat bermanfaat di dalam pendidikan. 3. Dalam kasus penembakan, yaitu bila moncong senjata menempel pada tubuh
korban, akan memberikan gambaran kelainan yang, khas yaitu dengan adanya ”jejas laras” yang tidak lain merupakan luka lecet tekan. Bentuk dari jejas laras tersebut dapat memberikan intormasi perkiraan dari dari bentuk moncong senjata yang dipakai untuk menewaskan korban. 4. Didalam kasus penieratan dengan tangan (manual strangulation), atau yang
lebih dikenal dengan istilah pencekikan, maka kuku-kuku jari pembunuh dapat menimbulkan luka lecet yang berbentuk garis lengkung atau bulan sabit, dimana dari arah serta lokasi luka tersebut dapat diperkirakan apakah pencekikan tersebut dilakukan dengan tangan kanan, tangan kiri atau keduanya. Didalam 6
penafsiran perlu hati-hati khususnya bila pada leher korban selain didapatkan luka lecet seperti tadi dijumpai pula alat penjerat, dalam kasus seperti itu pemeriksaan arah lengkungan serta ada-tidaknya kuku-kuku yang panjang pada jari-jari korban dapat memberikan kejelasan apakah kasus yang dihadapi itu merupakan kasus bunuh diri atau kasus pembunuhan setelah dicekik kemudian digantung. 5. Dalam kasus kecelakaan lalu-lintas dimana, tubuh korban bersentuhan dengan
radiator maka dapat temukan luka-lecet tekan yang merupakan cetakan dari bentuk radiator penabrak. c.
Petunjuk dan arah kekerasan, yang dapat diketahui dan tempat dimana kulit ari yang terkelupas, banyak terkumpul pada tepi luka, bila pengumpulan tersebut terdapat disebelah kanan maka arah kekerasan yang mengenai tubuh adalah dari arah kiri ke kanan. Di dalam kasus-kasus pembunuhan dimana tubuh korban diseret maka akan dijumpai pengumpulan kulit ari yang terlepas yang mendekati kearah tangah, bila tangan korban dipengang dan akan mendekati ke arah kaki bila kaki korban yang dipegang sewaktu korban diseret.
B. Luka memar Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan yang terjadi sewaktu orang masih hidup, dikarenakan, pecahnya pembuluh darah kapiler akibat kekerasan benda tumpul. Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan luka memar terjadi pada daerah dimana jaringan longgar, seperti didaerah mata, leher atau pada orang yang lanjut usia, maka luka memar yang tempak seringkali tidak sebanding dengan kekerasan, dalam arti seringkali lebih luas dan adanya jaringan longgar tersebut memungkinkan berpindahnya "memar" ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi. Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi mengenai bentuk dari benda tumpul, ialah apa yang dikenal dengan istilah "perdarahan tepi” (marginal haemorrhages), misalnya bila tubuh korban terlindas ban kendaraan, dimana pada tempat dimana terdapat tekanan justru tidak menunjukkan kelainan, perdarahan akan menepi sehingga terbentuk perdarahan tepi yang bentuknya sesuai dengan bentuk celah antara kedua kembang ban yang berdekatan. Hal yang sama misalnya bila seseorang dipukul dengan rotan atau benda yang 7
sejenis, maka akan tampak memar yang memanjang dan sejajar yang membatasi darah yang tidak menujukkan kelainan, darah antara kedua memar yang sejajar dapat menggambarkan ukuran lebar dari alat pemukul yang mengenai tubuh korban.
C.
Luka robek Luka robek atau luka terbuka yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul
dapat terjadi bila kekerasan yang terjadi sedemikian kuatnya sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot, dan lebih dimungkinkan bila arah dari kekerasan tumpul tersebut membentuk sudut dengan permukaan tubuh yang terkena benda tumpul. Dengan demikian bila luka robek tersebut salah satu tepinya membuka ke kanan misalnya, maka kekerasan atau benda tumpul tersebut datang dari arah kiri, jika membuka ke depan maka kekerasan benda tumpul datang dari arah belakang. Pelukisan yang cermat dan luka terbuka akibat benda tumpul dengan demikian dapat sangat membantu penyidik khususnya sewaktu dilakukannya rekonstrusksi, demikiarn pula sewaktu dokter dijadikan saksi di muka hakim. Luka robek atas luka terbuka akibat kekerasan, benda tumpul dapat dibedakan dengan luka terbuka akibat kekerasan benda tajam, yaitu dari sifat-sifatnya serta hubungan dengan jaringan disekitar luka. Luka robek mempunyai tepi yang tidak teratur, terdapat jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang berambut, di sekitar luka robek sering tampak adanya luka lecet atau luka memar. Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri yang hebat dan lambat mendatangkan kematian, maka jarang dijumpai kasus bunuh diri dengan membuat luka terbuka dengan benda tumpul. D.
Patah tulang Patah atau retaknya tulang akibat kekerasan benda tumpul mudah dibedakan
dengan patah atau retaknya tulang akibat benda tajam atau senjata api. Pada kasus dimana kepala seseorang dipukul dengan benda tumpul, sering dijumpai patah tulang dimana bagian-bagian yang patah tersebut tertekan ke dalam (fraktur kompresi). Pada kasus lalu-lintas dimana seringkali tubuh korban terlempar dari jatuh dengan kepala menyentuh jalan, maka lebih sering akan dijumpai patang tulang dengan garis patah 8
yang linier. Dengan demikian dapat dibedakan berdasarkan kelainan yang terjadi pada tengkorak, yaitu apakah benda tumpul yang menghampiri kepala, atau kepala yang mendekati benda tumpulnya.
Pada kasus kecelakaan lalu-lintas dimana tungkai korban terkena bumper kendaraan, maka patah tuliang yang terjadi dapat memberikan informasi arah datangnya kendaraan yang mengenai tungkai korban. Bila ditabrak dari belakang tulang yang patah akan terdorong ke depan dan dapat merobek otot serta kulit di daerah tungkai bagian depan, hal yang sebaliknya terjadi bila korban ditabrak dari depan. Dengan demikian berdasarkan sifat-sifat patang tulang dapat diperkirakan dari mata kekerasan itu datang dan mengenai tubuh korban, ini perlu untuk rekonstruksi peristiwa. Didalam kasus penembakan, dimana tulang juga terkena, maka arah dari mana datangnya peluru dapat diketahui dengan mudah, khususnya bila tembakan tersebut mengenai tulang pipih, seperti pada tengkorak. Kelainan atau kerusakan pada tengkorak akibat peluru akan berbentur; "corong." Pada luka tembak masuk, kerusakan pada tabula eksterna akan lebih kecil bila dibandingkan dengan kerusakan pada tabula interna, dengan demikian akan membentuk corong dengan bagian yang lebih besar pada tabula interna. Bila peluru yang mengenai kepala tadi masih cukup kuat untuk menembus keluar, maka pada sisi lain dari tengkorakpun akan terdapat kerusakan, dimana kerusakan pada tabula interna akan lebih kecil bila dibandingkan dengan kerusakan pada tabula eksterna, dengan demikian corong yang terbentuk akan mempunyai bagian yang lebih besar pada tabula eksterna. Pada tulang-tulang yang lain, arah datangnya peluru masih dapat diketahui dengan melihat kearah mana dari bagian tulang yang rusak akibat peluru tersebut. Bila tampak tulang yang parah terdorong ke kiri misalnya, maka peluru tentunya datang dari arah sebelah kanan. Di dalam penafsiran arah datangnya peluru yang berkaitan dengan kerusakan pada tulang, sudah tentu diperhitungkan pula faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jalannya anak peluru di dalam tubuh. Pada kasus-kasus khusus bentuk kerusakan pada tulang dapat sesuai dengan bentuk dari benda tumpulnya, misalnya materil, bagian punggung dari kampak dan lain 9
sebagainya. (Abdul, 1997)
2. Anatomi Kepala 2.1. Kulit Kepala Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu: a. Skin atau kulit. b. Connective Tissue atau jaringan penyambung. c. Aponeurosis atau galea aponeurotika: jaringan ikat berhubungan langsung dengan
tengkorak. d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar: Merupakan tempat
terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal). e. Perikranium.
(Anonim e, 2010) 2.2.
Tulang Tengkorak Terdiri dari tulang-tulang yang dihubungkan satu sama lain oleh tulang
bergerigi yang disebut sutura banyaknya delapan buah dan terdiri dari tiga bagian, yaitu : a. Gubah tengkorak, terdiri dari: 1. Tulang dahi (os frontal) 2. Tulang ubun-ubun (os parietal) 3. Tulang kepala belakang (os occipital) b. Dasar tengkorak, terdiri dari : 1. Tulang baji (os spheinoidale) 2. Tulang tapis (os ethmoidale) c. Samping tengkorak, dibentuk dari tulang pelipis (os temporal) dan sebagian dari tulang dahi, tulang ubun-ubun, dan tulang baji. Fraktur tengkorak dianggap mempunyai kepentingan primer sebagai penanda dari tempat dan keparahan cidera.
10
Gambar 1: Tulang Tengkorak (Anonim 2, 2009) Pada kasus kekerasan benda tumpul pada atap tengkorak, apabila benda yang dipukulkan tidak teratur maka bentuk kerusakan remuk, disini kita harus mencari garis yang terpanjang di mana garis-garis lain berhenti (tidak ada). Garis ini disebut garis primer. Garis primer menunjukkan arah dari kekerasan. (Forensik Medicine) 2.3.
Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak, terdiri 3 lapisan : 2.3.1. Durameter Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium, namun tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior yang mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat cedera sinus 1/3 anterior diligasi tidak berbahaya, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial. 11
Arteri2 meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural. 2.3.2. Arachnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala. 2.3.3. Piameter Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial. (Anonim 5, 2010)
Gambar 2 : Meningen (Anonim 4, 2010) 2.4.
Otak
2.4.1. Serebrum Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri terdapat pusat bicara.
2.4.2. Serebelum 12
Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri. 2.4.3. Batang otak Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla spinalis. (Anonim 5, 2010)
Gambar 3: Otak (Anonim 3, 2009) 2.5.
Cairan Serebrospinalis Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau
sekitar 500 mL per 24 jam. Sebagian besar diproduksi oleh pleksus koroideus yang terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari ventrikel lateralis dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total volume cairan serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL. Cairan serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii, setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui granulasi araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke aliran vena.
Tekanan intrakranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan 13
serebrospinal yang berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction). (Anonim 5, 2010) 2.6.
Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang : Supratentorial: terdiri dari fosa kranii anterior dan media Infratentorial: berisi fosa kranii posterior Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak (pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut insisura tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium, bila tertekan oleh masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut-serabut parasimpatik untuk kontraksi pupil mata berada pada permukaan n.okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan bawah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom klasik herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu. (Anonim 5, 2010) 2.7.
Perdarahan Otak Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis. (Anonim 6, 2011) 2.8.
Sistem Saraf Pusat Embriologi. Sistem saraf pusat berasal dari ektoderm dan tampak sebagai lempeng saraf 14
pada pertengahan minggu ke-3. Setelah tepi-tepi lempeng ini melipat, lipatan saraf ini sating mendekat satu sama lain digaris tengah untuk kemudian bersatu menjadi tabung saraf. Ujung kranial menutup kurang lebih pada hari ke-25, dan ujung kaudalnya pada hari ke-27. SSP selanjutnya membentuk sebuah struktur tubules dengan bagian sefalik yang lebar, otak, dan bagian kaudal yang panjang, medulla spinalis. Kegagalan tabung saraf untuk menutup menyebabkan cacat seperti spina bifida dan anensefalus. Medula spirialis membentuk ujung kaudal SSP dan ditandai dengan lamina basalis yang mengandung neuron motorik; lamina alaris untuk neuron sensorik; dan lempeng lantai serta lempeng atap sebagai lempeng penghubung antara kedua sisi. Ciri-ciri dasar ini dapat dikenali pada sebagian besar gelembung otak. Otak membentuk bagian kranial SSP dan asalnya terdiri dari tiga gelembung otak : Rhombensefalon (otak belakang) Mesensefalon (otak tengah) Prosensefalon (otak depan)
Rhombensefalon dibagi menjadi : Myelensefalon yang membentuk medulla oblongata (daerah ini mempunyai
lamina basalis untuk neuron eferen sornatis dan viseral, dan lamina alarisnya mempunyai neuron eferen somatis dan viseral). Metensefalon dengan lamina basalis ( eferen ) dan lamina alaris (aferen) yang khas. Selain
itu,
gelembung
otak
ini
ditandai
dengan
pembentukan
serebelum, pusat koordinasi sikap tubuh dan pergerakan, dan pons, jalur untuk serabut- serabut saraf antara medulla spinalis dan korteks serebri serta korteks serebri. Mesensefalon atau otak tengah adalah gelembung otak yang paling primitif dan sangat mirip medulla spinalis dengan lamina basalis eferennya serta lamina alaris aferennya. Lamina alarisnya membentuk collikulus inferior dan colliculus posterior sebagai stasiun relai untuk pusat refleks pendengaran dan penglihatan. Diencefalon, bagian posterior otak depan , terdiri atas sebuah lempeng atap yang tipis dan lamina alaris yang tebal tempat berkembangnya thalamus dan hipothalamus. Diencefalon ikut berperan dalam pembentukan kelenjar hipofisis, yang 15
juga berkembang dari kantung Rathke. Sementara kantong Rathke membentuk adenohipofisis, lobus iiltermedius, dan pars tuberalis, diensefalon membentuk lobus posterior yang mengandung sel-sel neuroglia dan menerima serabut-serabut saraf dari hipothalamus. Telensefalon, gelembung otak yang paling rostral, terdiri dari dua kantong lateral, hemisfer serebri, dan bagian tengah, lamina terminalis. Lamina terminalis digunakan oleh commissura sebagai suatu jalur penghubung untuk berkas-berkas serabut antara hemisfer kanan dan kiri. Hemisfer serebri, yang semula berupa dua kantong kecil, secara berangsur-angsur mengembang dan menutupi permukaan lateral diensefalon, dan mesensefalon. Akhirnya, daerah-daerah inti telensefalon sanaat berdekatan dengan daerah-daerah inti diensefalon. Sistem ventrikel yang berisi cairan serebrospinalis, membentang dari lumen medula spinalis hingga ke ventrikel ke-4 di dalam rhombecenfalon melalui saluran kecil di mesensefalon, dan selanjutnya ke ventrikel ketiga di dalam diensefalon. Melalui foramina Monro, sistem ventrikel meluas dari ventrikel ke-3 ke ventrikel lateral hemister. Cairan serebrospinalis dihasilkan di plexus choroideus ventrikel ke-4, ke-3, dan ventrikel lateral. Sumbatan cairan otak baik
didalam
sistem
ventrikel
maupun
diruang
subarakhnoid;
dapat
menimbulkan hidrosefalus. 3. Trauma Kepala 3.1. Definisi Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis. (Penggalih, 2010)
3.2.Patofisiologi
16
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu: a.
Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
b.
Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,
c.
Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang
lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. (Anonim 2, 2009) 3.3. Klasifikasi Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat, dan morfologi. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas: a. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak. b. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan. (Anonim c, 2009)
Berdasarkan mekanisme terjadinya trauma, dapat dibagi juga menjadi : 1. Impact injuries 17
Dibedakan menjadi : a.
Trauma jaringan lunak : laserasi, abrasi, dan kontusio kulit kepala
b.
Fraktur tulang tengkorak
Terjadinya fraktur pada tulang tengkorak dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu :
c.
Banyaknya rambut
Ketebalan kulit kepala
Ketebalan tulang tengkorak
Elastisitas tulang terhadap tempat terjadinya trauma
Bentuk, berat, dan konsistensi objek terhadap kepala
Kecepatan objek ketika mengenai kepala Kontusio otak
Terdapat 6 jenis kontusio, yaitu : 1) Coup contusions : mengenai sisi otak yang sama dari tempat terjadinya
trauma. 2) Countercoup contusions : mengenai sisi otak yang berlawanan dari
tempat terjadinya trauma. 3) Fracture contusions : kontusio yang disertai dengan terjadinya fraktur
tulang tengkorak. 4) Intermediary coup contusions : kontusio yang disertai perdarahan pada
struktur bagian dalam otak. 5) Gliding contusions : hemoragik fokal pada korteks dan jaringan
substansia alba bagian dorsal. 6) Herniation contusions : kontusio pada bagian medial dari lobus temporal d.
Epidural hematoma
Tanda utamanya adalah terjadinya perdarahan epidural.
Disebabkan oleh karena trauma tulang kepala dan mengenai pembuluh darah meningeal (terutama arteri).
Biasanya menunjukkan gambaran tebal, seperti disk, dan unilateral.
Gejala muncul pada 4-8 jam setelah trauma terjadi.
Sebab kematian biasanya oleh karena adanya perubahan posisi otak karena kompresi pada batang otak. 18
e.
Perdarahan intracerebral
2. Acceleration / deceleration injuries a. Subdural hematomas Disebabkan oleh karena perdarahan pada jembatan vena parasagital yang mengisi permukaan hemisfer otak ke sinus-sinus vena dural. Dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu :
Hematoma subdural akut : manifestasi terjadi 72 jam setelah trauma.
Hematoma subdural subakut : manifestasi terjadi 3 hari atau 2-3
minggu setelah trauma.
Hematoma subdural kronik : manifestasi terjadi > 3 minggu setelah
trauma. b. Diffuse axonal injury (DAI)
Terjadi akibat perubahan posisi otak pada kepala oleh karena
akselerasi atau deselerasi yang terjadi tiba-tiba pada kepala.
Merupakan penyebab terjadinya koma dan kematian pada sebagian
besar pasien dengan trauma kepala.
Pada akselerasi atau deselerasi yang ringan tidak terjadi disrupsi akson
secara anatomis, hanya terjadi disfungsi fisiologis. (Vincent J, 2001)
Gambar 4 Cedera Kepala (Anonim 7, 2011) Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi: 19
a. Fraktur tengkorak Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak . Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak. b. Lesi intrakranial Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi: a. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat. b. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan, c. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15. (Anonim c, 2009)
Gambar 5 : GCS (Anonim 6, 2011)
Menurut Case (2008) patologi trauma kepala yang disengaja dapat menimbulkan: 20
i.
Perdarahan subdural Dura terdiri dari fibroblast dan sejumlah besar kolagen ekstraselular.
Lapisan paling dalam terdiri dari lapisan sel perbatasan dural dan lapisan ini terus menyatu dengan lapisan penghalang sel arakhnoid luar. Lapisan sel perbatasan dural sangat lemah, dan akan sobek sebagai akibat dari trauma. Dura melekat pada bagian dalam tengkorak, dan arakhnoid melekat pada lapisan pia pada permukaan otak. Pembuluh darah vena bridging melewati meninges berjalan dari permukaan korteks otak ke sinus venosus dalam dura. Dinding vena bridging melekat pada perbatasan lapisan sel dural (relatif lemah) dan sel arakhnoid (relatif kuat). Ketika ketegangan cukup besar untuk merobek vena bridging, darah memasuki lapisan sel perbatasan intradural dan disebut perdarahan "subdural.“ Perdarahan subdural terjadi 90-95% akibat trauma kepala, 40-55% bertahan hidup (akibat cedera kepala yang disengaja). Jumlah perdarahan subdural mungkin sangat minim dan dalam beberapa kasus kurang dari 5 mL atau 10 mL. Sejumlah kecil perdarahan subdural dapat dilihat dari inspeksi jarak dekat saat autopsi ketika rongga tengkorak yaitu calvarium dilepas. Setelah otak diambil, perdarahan subdural biasanya terlihat dalam satu atau lebih fossa kranial selain yang terlihat pada perdarahan subdural konveksitas atas. Klasifikasi perdarahan subdural: A.
perdarahan subdural akut
B.
Perdarahan subdural kronis :
Trauma è robekan jaringan arakhnoid è efusi dari cairan cerebrospinal ke ruang subdural è perdarahan subdural
ii. •
Perdarahan subarachnoid Hasil dari disrupsi atau gangguan vena bridging. 21
•
Biasanya berdekatan dan tampak dibawah area perdarahan subdural akut.
•
Pada kasus-kasus cedera kepala yang disengaja berhubungan dengan inersia otak.
iii.
Perdarahan retina •
85% pada kasus cedera kepala.
•
Terjadi bilateral atau unilateral, biasanya pada trauma kepala yang
berat. •
Retinoschisis : pemisahan lapisan retina disebabkan perpindahan
cairan vitreus pada permukaan retina yang tertarik ke atas atau bergeser à sulit diidentifikasi saat otopsi. •
Pada otopsi pengambilan bola mata pada bagian piring orbital dari
fosa kranial anterior, jaringan lemak dan otot disingkirkan, bola mata dikeluarkan dari jaringan lemak, disertai dengan mengambil saraf optik. •
Terjadi pada sejumlah besar gangguan, yaitu gangguan perdarahan,
sepsis, meningitis, vaskulopati, beberapa bayi yang baru lahir, kondisi genetika tertentu, dll.
3.4.
Komplikasi Trauma Kepala
3.4.1. Sistem Kardiovaskuler Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takhikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Aktivitas myokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. 22
3.4.2. Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Terjadinya pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang menigkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apneu.
Konsenterasi oksigen dan
karbondioksida dalam darah arteri
mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, maka aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK. Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif. 3.4.3. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi
natrium
dan
air
serta
hilangnya
sejumlah
nitrogen.
Trauma → Pelepasan ADH → Retensi Cairan → Pengeluaran Urin sedikit dan Meningkatnya konsentrasi elektrolit. Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi
23
retensi cairan dan natrium. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan pasca trauma dapat timbul hiponatremia. 3.4.4. Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala (± 3 hari) terdapat respon tubuh yang merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung untuk terjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini merupakan kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarahan lambung. 3.4.5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang
berhubungan
dengan
postur,
spastisitas
atau
kontraktur.
Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau “strip motorik”. Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan, sehingga pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cedera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat 24
membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur. (Anonim d, 2010) 4. Rumus Akselerasi Obyek Sir Isaac Newton Penemuan Newton dalam bidang mekanika, yaitu menjelaskan tentang bergeraknya suatu benda. Galileo merupakan penemu pertama hukum yang melukiskan gerak suatu obyek / benda di pengarui oleh kekuatan luar dan persoalan paling penting dalam ikhwal mekanika bagaiman obyek itu bergerak dalam keadaan itu. Masalah itu di pecahkan oleh newton dalam hokum geraknya yang kedua dan dapat di anggap hokum fisika klasik yang paling utama. Hukum ke dua. (secara matematis dapat ditulis / dijabarkan dengan persamaan F = M . A) menetapkan bahwa ekselerasi obyek adalah sama dengan gaya netto di bagi massa benda, terhadap hukum itu, Newton menambah hokum ketiganya yang mashyur tentang gerak (menegaskan bahwa tiap aksi, misalkan kekuatan fisik, terdapat kekuatan reaksi yang besarnya sama dengan kekuatan yang dihasilkan oleh aksi). (Prasetyo, 2010)
25