BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kulit merupakan organ terbesar sekaligus bagian terluar dari tubuh manusia. Fungsi utama dari kulit adalah sebagai organ pelindung terhadap lingkungan. Hilangnya integritas kulit dalam jumlah yang besar akan menimbulkan cedera atau nyeri yang mengakibatkan sakit atau bahkan kematian. Luka muncul jika terjadi kerusakan jaringan kulit. Luka dapat disebabkan oleh benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Syamsuhidayat and Wim de Joong, 2004). Luka insisi merupakan luka yang disebabkan oleh instrumen yang tajam, misalnya adalah luka yang terjadi akibat pembedahan. Kulit pisang ambon (Musa paradisiaca L.) merupakan salah satu tanaman yang berpotensi sebagai penyembuh luka. Kulit pisang ambon memiliki beberapa efek farmakologi, seperti sebagai obat diare, disentri, diabetes, uremia, hipertensi, dan luka bakar. Selain itu, tanaman pisang juga dapat digunakan untuk mengurangi reaksi inflamasi, nyeri, dan mengatasi gigitan ular (Imam and Akter, 2011). Berdasarkan penelitian Supriadi pada tahun 2012, ekstrak etanolik kulit pisang ambon dapat mempercepat penyembuhan luka dengan kadar optimum sebesar 10%. Kulit pisang mengandung flavonoid, tanin, saponin, dan steroid (Akpuaka and Ezem, 2011). Flavonoid dipercaya sebagai salah satu komponen penting 1
2
dalam proses penyembuhan luka. Flavonoid menginhibisi pertumbuhan fibroblast sehingga memberikan keuntungan pada perawatan luka (Khan, 2012). Tanin memiliki kemampuan sebagai antimikroba serta dapat meningkatkan epitelialisasi. Flavonoid dan tanin juga bertanggung jawab dalam proses remodelling (James and Friday, 2010). Steroid bersifat sebagai antiinflamasi (Akpuaka and Ezem, 2011). Saponin dapat mempercepat proses penyembuhan luka akibat adanya aktivitas antimikroba dan bersifat sebagai antioksidan. Saponin juga dapat meningkatkan kandungan kolagen serta mempercepat proses epitelialisasi (Khan, 2012). Penggunaan kulit pisang sebagai penyembuh luka di masyarakat dengan cara ditempelkan langsung di kulit sangat tidak praktis dan tidak nyaman. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu bentuk sediaan penyembuh luka yang nyaman, aman, dan efektif. Berbagai bentuk sediaan yang ditujukan untuk luka dapat digunakan, salah satunya adalah sediaan gel. Penggunaan gel membantu mempercepat proses penyembuhan dengan menciptakan lingkungan lembab yang akan mengurangi jaringan nekrosis melalui pembentukan sel apoptosis yang diperlukan dalam penanganan luka (Okan et al., 2007; Mallefet and Dweck, 2008). Menurut Mallefet and Dweck pada tahun 2008, keberhasilan penatalaksanaan luka diantaranya adalah meminimalkan formasi bekas luka dan menurunkan jumlah jaringan nekrosis yang diproduksi selama proses penyembuhan luka. Gel sangat ideal digunakan sebagai penutup luka karena terasa dingin di permukaan luka, menurunkan rasa sakit, dan meningkatkan penerimaan konsumen (Boateng et al., 2008). Gel mampu
3
memberikan efek topikal yang baik dan memiliki daya sebar yang baik sehingga dapat bekerja langsung pada lokasi yang sakit dan tidak menimbulkan bau tengik. Selain itu, gel mampu membuat lapisan film sehingga mudah dicuci dengan air (Ansel, 1989). Sediaan gel penyembuh luka dari kulit pisang ambon sudah pernah dibuat sebelumnya, namun pada penelitian terdahulu kulit pisang tidak diekstraksi, melainkan langsung dibuat dalam bentuk gel (Atzingen et al., 2011). Penggunaan ekstrak etanolik diharapkan dapat melarutkan phenolic compounds seperti flavonoid dan tanin (Chew et al., 2011). Salah satu basis gel yang banyak digunakan adalah karbopol. Di bidang farmasi, karbopol sering digunakan dalam formulasi sediaan cair semipadat, seperti krim, gel, salep, dan sediaan topikal lain. Karbopol bersifat stabil dan higroskopis. Karbopol merupakan bahan pengental yang baik dan memiliki viskositas yang tinggi sehingga menghasilkan gel yang baik (Mulyono and Suseno, 2010). Penelitian Kumar and Kumar pada tahun 2011 menunjukkan bahwa sifat fisik sediaan gel yang menggunakan gelling agent karbopol lebih baik hasilnya dibandingkan HPMC dan CMC-Na. Selain itu, sediaan topikal atau gel yang menggunakan karbopol memiliki konsistensi dan pelepasan zat aktif yang lebih baik dibandingkan gelling agent lainnya dalam penelitian Najmudin et al. (2010). Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mendayagunakan kulit pisang ambon yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka dalam bentuk
4
sediaan gel dengan variasi kadar karbopol serta melihat pengaruh variasi karbopol terhadap stabilitas sifat fisik gel ekstrak kulit pisang ambon.
B. Perumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanolik kulit pisang ambon dapat dibuat menjadi gel? 2. Bagaimanakah pengaruh variasi karbopol terhadap sifat fisik gel ekstrak etanolik kulit pisang ambon? 3. Bagaimanakah pengaruh variasi karbopol terhadap stabilitas fisik gel ekstrak etanolik kulit pisang ambon?
C. Tujuan Penelitian 1. Memformulasikan ekstrak etanolik kulit pisang ambon menjadi gel. 2. Mengetahui pengaruh variasi karbopol terhadap sifat fisik gel ekstrak etanolik kulit pisang ambon. 3. Mengetahui pengaruh variasi karbopol terhadap stabilitas fisik gel ekstrak etanolik kulit pisang ambon.
D. Pentingnya Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu menambah ide dan motivasi mahasiswa untuk terus mengeksplor kekayaan alam Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang
5
kesehatan. Penelitian ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menggunakan kulit pisang sebagai penyembuh luka dengan nyaman, aman, dan efektif.
E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tanaman pisang ambon
Gambar 1. Pisang Ambon
a. Klasifikasi pisang ambon Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Bangsa
: Scitamineae
Suku
: Musaceae
Marga
: Musa
Jenis
: Musa paradisiaca L. (Tjitrosoepomo, 1997)
6
b. Deskripsi tanaman Tanaman pisang tumbuh dengan tinggi sekitar 2 hingga 9 meter. Daun pisang memiliki ukuran sekitar 150-400 cm x 70-100 cm (Espino et al., 1992). Batang pada tanaman pisang disebut pseudostem. Pseudostem menghasilkan satu tandan pisang sebelum mati dan digantikan oleh pseudostem yang baru. Buah pisang merupakan buah yang tidak berbiji, berukuran 6-35 cm x 2,5-5 cm, bentuknya melengkung, dan berwarna hijau, kuning atau kemerahan (Espino et al., 1992). c. Ekologi dan penyebaran Tanaman pisang tumbuh pada daerah dengan iklim tropis basah, lembab, dan panas. Umumnya tanaman pisang toleran terhadap ketinggian dan kekeringan. Di Indonesia tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut. Pisang ambon, nangka, dan tanduk tumbuh baik sampai ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut (Warintek, 2011). Di
Indonesia, pisang tersebar luas terutama di daerah Jawa Barat
(Sukabumi, Cianjur, Bogor, Purwakarta, Serang), Jawa Tengah (Demak, Pati, Banyumas, Sidorejo, Kesugihan, Kutosari, Pringsurat, Pemalang), Jawa Timur (Banyuwangi, Malang), Sumatera Utara (Padangsidempuan, Natal, Samosir, Tarutung), Sumatera Barat (Sungyang, Baso, Pasaman), Sumatera Selatan (Tebing Tinggi, OKI, OKU, Baturaja), Lampung (Kayu Agung, Metro), Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (Astawan, 2009).
7
d. Kandungan kimia Kulit pisang merupakan sumber yang kaya akan zat pati (3%), protein (69%), lemak (3,8-11%), serat (43,2-47,9%), polyunsaturated fatty acids, asam linoleat, asam α-linolenat, pektin, dan asam amino esensial seperti leucine, valine, phenylalanine, dan threonine. Sejalan dengan kematangan pisang, maka terjadi peningkatan kadar gula, penurunan kadar zat pati dan hemiselulosa, serta peningkatan kadar protein dan lemak. Degradasi zat pati dan hemiselulosa oleh endogenous enzyme dapat menjelaskan peningkatan kadar gula dalam kulit pisang yang sudah matang. Karbohidrat yang terdapat pada kulit pisang antara lain glukosa, galaktosa, arabinosa, rhamnosa, dan xylosa. Selain itu, kulit pisang mengandung lignin, selulosa, dan galactouronic acid (Mohapatra et al., 2010). Pisang kaya mineral antara lain kalium, magnesium, fosfor, kalsium, dan besi. Bila dibandingkan dengan jenis makanan nabati lain, mineral pisang, khususnya zat besi, hampir seluruhnya (100 persen) dapat diserap tubuh. Berdasarkan bobot kering, kadar zat besi pisang yaitu 2 miligram per 100 gram dan seng 0,8 mg. Dibandingkan dengan apel, yang hanya terdapat 0,2 mg besi dan 0,1 mg seng untuk berat 100 gram (Anonim, 2010). Besi dan seng ditemukan dalam konsentrasi yang lebih tinggi pada kulit pisang dibandingkan dengan konsentrasi yang terdapat pada buah pisang (Mohapatra et al., 2010). Kulit pisang yang belum matang mengandung glikosida, flavonoid (leucocyanidin), tanin, saponin, dan steroid. Akan tetapi, pada kulit pisang yang sudah matang, kulit pisang tidak mengandung flavonoid dan tanin (Akpuaka and Ezem, 2011).
8
2. Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu peristiwa penarikan massa zat aktif kedalam cairan penyari. Tujuannya agar massa zat aktif yang semula berada dalam sel dapat ditarik oleh cairan penyari dan terlarut dalam cairan penyari. Zat aktif dapat berupa bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Semakin luas permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari, maka penyarian akan berlangsung baik. Pertimbangan pemilihan metode penyarian yang baik adalah wujud dari bahan uji yang disari (Harborne, 1973). Pemilihan pelarut perlu mempertimbangkan sifat kelarutan senyawa dalam pelarut tersebut. Pelarut yang digunakan dapat berupa air, etanol, air etanol atau pelarut lain. Beberapa macam metode ekstraksi, antara lain: a. Maserasi Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Mekanismenya adalah pelarut menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, memungkinkan zat aktif yang terlarut dalam pelarut terdesak ke luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Anonim, 1986). Pengadukan dan penggantian cairan penyari perlu dilakukan selama proses maserasi. Biasanya maserasi dilakukan selama tiga hari sampai bahan melarut dan
9
dilakukan pada suhu kamar, temperatur 15-200C (Ansel, 1989). Endapan hasil maserasi dipisahkan dan filtrat yang diperoleh diuapkan, sehingga didapat filtrat pekat. b. Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Penyari dimasukkan secara kontinyu dari atas kolom, mengalir lambat melintasi simplisia berupa serbuk. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi, ekstraksi yang kaya ekstrak (Ansel, 1989; Voigt, 1984) c. Infundasi Infundasi merupakan proses penyarian yang paling umum dilakukan untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan kapang karena bakteri dan kapang mudah tumbuh pada media berair. Infundasi dilakukan dengan menyari simplisia dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, dipanaskan di penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu air mencapai 900C sambil sesekali diaduk. Infus diserkai melalui kain flamel selagi panas, kemudian ditambah air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (jika tidak dikatakan lain, dibuat infus 10%) (Anonim, 2000). \
10
d.
Soxhletasi Soxhletasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang berkesinambungan
dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim, 2000). Kekurangan dari metode ini adalah suhu yang digunakan cukup tinggi, sehingga tidak baik digunakan untuk senyawa yang tidak stabil dalam panas (Anonim, 2008). 3. Penyembuhan luka Definisi luka adalah rusaknya kontinuitas struktur tubuh yang normal. Penyembuhan luka meliputi 3 fase yaitu: fase inflamasi (lag phase), formasi jaringan (proliferative phase), dan remodelling jaringan (tissue remodelling phase) pada waktu yang bersamaan (Shai and Maibach, 2005; Singer et al., 1999). 1) Fase inflamasi Proses yang normal pada fase ini terjadi kurang lebih selama 4-6 hari. Proses utama pada fase ini adalah (1) vasokonstriksi dan hemostasis, (2) vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas, (3) kemotaksis faktor pertumbuhan fagositosis. Proses yang terjadi segera setelah timbulnya luka adalah vasokonstriksi karena cederanya pembuluh darah dan pembuluh limfa. Pada awalnya darah akan mengisi jaringan yang cedera dan paparan darah terhadap kolagen akan mengakibatkan terjadinya degranulasi trombosit dan pengaktifan faktor koagulasi (Ward and Bellanti, 1985). Proses tersebut akan memicu sistem biologis lain seperti memperkuat sinyal dari daerah luka yang tidak saja mengaktifkan
11
pembentukan bekuan yang menyatukan tepi luka, tetapi juga akumulasi dari beberapa mitogen dan menarik zat kimia ke arah luka. Sejumlah zat kimia seperti prostaglandin dikeluarkan oleh jaringan yang cedera dan histamin dikeluarkan oleh sel mast. Pembentukan kinin, histamin, dan prostaglandin menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah di daerah luka, sehingga hal ini menyebabkan edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka (Thomson, 1984). Vasodilatasi ini terjadi selama kurang lebih satu jam (Chockbill, 2002; Shai and Maibach, 2005). Beberapa jam setelah luka, neutrofil terlihat di daerah luka, jumlahnya paling banyak pada 1 atau 2 hari setelahnya. Bersamaan dengan munculnya neutrofil, makrofag diubah dari akumulasi monosit. Makrofag terbentuk karena proses kemotaksis dan migrasi. Jumlah makrofag mencapai puncak setelah 4-5 hari dan menjadi sel yang paling berperan dalam proses fagositosis. Sel darah putih dan makrofag bersama-sama melawan mikroorganisme patogen, jaringan nekrosis, dan mengeluarkan berbagai faktor pertumbuhan (Shai and Maibach, 2005). 2) Fase formasi jaringan Proses penting yang terjadi pada fase ini adalah (1) angiogenesis dan formasi granulasi jaringan, (2) re-epitelisasi. Angiogenesis adalah suatu proses dimana pembuluh darah baru tumbuh di daerah luka setelah cedera. Granulasi jaringan merupakan kombinasi dari elemen seluler termasuk fibroblast dan sel inflamasi, yang bersamaan dengan timbulnya pembuluh darah di jaringan penghubung di area luka (Singer et al., 1999).
12
Dua atau tiga hari setelah terjadinya luka, fibroblast akan muncul di daerah luka. Fibroblast berkembang biak dan setelah beberapa hari, pembentukan kolagen aktif muncul. Pengendapan kolagen adalah proses awal pembentukan struktur kulit baru (Shai and Maibach, 2005). Secara bersamaan, pada permukaan luka terjadi re-epitelasi. Re-epitelisasi dicapai dengan migrasi, proliferasi, dan diferensiasi epidemal keratinocytes. Sel epitel tumbuh dari tepi luka, bermigrasi ke jaringan ikat yang masih hidup. Epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal dalam 24 jam setelah luka. Sel basal marginal pada tepi luka menjadi longgar ikatannya dari dermis di dekatnya, membesar dan bermigrasi ke permukaan luka yang sudah mulai terisi matriks sebelumnya. Sel basal pada daerah dekat luka mengalami pembelahan yang cepat dan bermigrasi dengan pergerakan menyilang satu dengan yang lain sampai efek yang terjadi tertutup semua. Ketika sudah terbentuk jembatan, sel epitel yang bermigrasi berubah bentuk menjadi lebih kolumner dan meningkat aktivitas mitotiknya. Tujuan dari proses ini adalah seluruh permukaan luka ditutup oleh lapisan epitelium (Shai and Maibach, 2005). 3) Fase remodelling jaringan Fase ini merupakan fase terakhir dari proses penyembuhan luka, memerlukan waktu sampai dua tahun pada kondisi normal. Serabut kolagen tertata dengan barisan tertentu dan mengarah pembentukan bekas luka. Dua minggu setelah cedera, kekuatan kulit luka adalah 5% dari kekuatan awal (sebelum luka), setelah satu bulan meningkat menjadi 40%. Setelah proses penyembuhan
13
sempurna kulit tidak akan pernah mencapai 80% kekuatan semula (Shai and Maibach, 2005). 4. Gel Gel didefinisikan sebagai suatu sediaan semipadat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun dari partikel anorganik kecil maupun molekul organik besar dan mengandung cairan. Umumnya, gel merupakan sediaan semipadat yang jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid yang memiliki kekuatan oleh adanya jaringan yang saling berikatan pada fase terdispersi (Ansel, 1989). Gel dapat digunakan secara topikal atau dimasukkan ke dalam lubang tubuh. Kelebihan sediaan gel diantaranya mudah digunakan dan menimbulkan sensasi nyaman di kulit karena rasa dingin yang dihasilkan. Gel mampu memberikan efek topikal yang baik dan memiliki daya sebar yang baik sehingga dapat bekerja langsung pada lokasi yang sakit dan tidak menimbulkan bau tengik. Selain itu, gel mampu membuat lapisan film sehingga mudah dicuci dengan air (Ansel, 1989). Menurut komposisiya, gel digolongkan menjadi gel hidrofobik dan gel hidrofilik. Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi interaksi yang sedikit antara basis gel dan fase pendispersi. Basis gel hidrofobik tidak secara spontan menyebar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umumnya terdiri dari fase organik yang besar. Basis gel ini dapat larut dengan molekul pada fase pendispersinya. Sistem koloid hidrofilik lebih mudah dibuat dan memiliki kestabilitasan yang lebih besar dibanding hidrofobik (Ansel, 1989).
14
Menurut Voigt (1984), keuntungan gel hidrofilik antara lain daya sebar pada kulit baik, mudah dicuci dengan air, memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut, pelepasan obatnya baik, tidak menyumbat pori-pori kulit, tidak melapisi kulit secara kedap, dan menimbulkan efek dingin akibat lambatnya penguapan air. 5. Monografi bahan a. Karbopol 940 Karbopol dengan nama resmi carboxy polymethylene memiliki rumus molekul C10-C30 alkyl acrylates cross polymer. Karbopol memiliki
beberapa
nama yang biasa digunakan, seperti carbomer, acitamer, acrylic acid polymer, carboxyvinyl polymer. Struktur dari karbopol adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Struktur Karbopol (Rowe et al., 2009)
Karbopol berbentuk serbuk hablur putih, sedikit berbau khas, dan higroskopis sehingga perlu disimpan dalam wadah tertutup baik. Karbopol larut dalam air hangat, etanol, dan gliserin (Rowe et al., 2009). Karbopol merupakan polimer dengan berat molekul 104.400 gmol-1 dari asam akrilik yang berikatan silang dengan eter dari pentaeritritol. Karbopol merupakan basis gel yang kuat, sehingga penggunaannya hanya diperlukan dalam jumlah yang sedikit, yakni sekitar 0,5 – 2,0%.
15
Karbopol didispersikan ke dalam air membentuk larutan asam yang keruh kemudian dinetralkan dengan basa kuat seperti sodium hidroksida, trietanolamin, atau dengan basa inorganik lemah (contoh: ammonium hidroksida), sehingga akan meningkatkan konsistensi dan mengurangi kekeruhan (Barry, 1983; Rowe et al., 2009). Karbopol aman digunakan secara topikal. Karbopol diketahui sebagai bahan yang tidak menimbulkan hipersensitivitas pada manusia (Rowe et al., 2009). Karbopol memiliki gugus karboksilat yang akan membentuk ikatan hidrogen dengan jaringan biologis yang menyebabkannya dapat melekat dengan baik (Jones et al., 2007). b. Propilen glikol Propilen glikol atau 1,2-dihidroksipropana, 2-hidroksipropanol, metil etilenglikol, metil glikol dan propan-1,2-diol memiliki rumus molekul C3H8O2. Struktur dari propilen glikol dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur Propilen Glikol (Rowe et al., 2009)
Propilen glikol merupakan larutan jernih atau sedikit berwarna, kental, dengan rasa agak manis. Propilen glikol yang memiliki berat molekul sebesar 76,09 larut dalam kloroform, etanol, gliserin, dan air. Penyimpanan propilen glikol dalam wadah tertutup baik, suhu rendah (Rowe et al., 2009).
16
Propilen glikol berfungsi sebagai pengawet, antibakteri, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer untuk vitamin dan water-miscible cosolvent (Rowe et al., 2009). Propilen glikol dapat menahan lembab, memungkinkan kelembutan dan daya sebar yang tinggi dari sediaan, dan melindungi gel dari kemungkinan pengeringan (Voigt, 1984). Propilen glikol stabil secara kimia bila dikombinasikan dengan etanol, gliserin, atau air. Inkompatibilitas dengan bahan yang mengoksidasi, seperti kalium permanganat. Propilen glikol bersifat higroskopis, stabil pada suhu dingin dan wadah tertutup rapat. Pada suhu tinggi dan di tempat terbuka cenderung mengoksidasi, menimbulkan produk seperti propionaldehida, asam laktat, asam piruvat, dan asam asetat. c. Trietanolamin Trietanolamin dengan rumus molekul C6H15NO3 memiliki sinonim TEA, tealan, trihidroksitrietilamin. Trietanolamin memiliki berat molekul sebesar 149,19 dengan struktur terlihat pada gambar 4. Trietanolamin berupa cairan kental, tidak berwarna hingga kuning pucat, dengan bau mirip amoniak, perlu disimpan dalam wadah tertutup baik. Trietanolamin larut dalam air, etanol, dan kloroform (Rowe et al., 2009).
Gambar 4. Struktur Trietanolamin (Rowe et al., 2009)
17
Trietanolamin digunakan secara luas pada formulasi sediaan topikal. Trietanolamin akan bereaksi dengan asam mineral menjadi bentuk garam kristal dan ester dengan adanya asam lemak tinggi. Trietanolamin dapat berubah menjadi warna coklat dengan paparan udara dan cahaya. Kegunaannya adalah sebagai penstabil karbopol (Rowe et al., 2009). d. Metil paraben Metil paraben memiliki berat molekul sebesar 152,15 dengan rumus molekul C8H8O3. Metil paraben atau metil ester asam 4-hidroksibenzoat, metil phidroksibenzoat, Nipagin M, Uniphen P-23 memiliki struktur yang terlihat pada gambar 5. Metil paraben merupakan hablur atau serbuk tidak berwarna, atau kristal putih, tidak berbau atau berbau khas lemah yang mudah larut dalam etanol dan eter, praktis tidak larut dalam minyak, dan larut dalam 400 bagian air (Rowe et al., 2009).
Gambar 5. Struktur Metil Paraben (Rowe et al., 2009)
Metil paraben digunakan secara luas sebagai bahan pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan sediaan farmasi. Golongan paraben efektif pada rentang pH yang luas dan mempunyai aktivitas antimikroba pada spektrum yang luas, meskipun paraben paling efektif melawan kapang dan jamur. Pada
18
sediaan topikal umumnya metil paraben digunakan dengan konsentrasi antara 0,02-0,3% (Rowe et al., 2009). e. NaOH Natrium hidroksida atau NaOH merupakan pellet berwarna putih, massa melebur, dan higroskopis sehingga perlu disimpan dalam wadah tertutup rapat. Berat molekul NaOH adalah 40,00. Natrium hidroksida larut dalam air dan etanol (Anonim, 1995). Natrium hidroksida mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 100,5% alkali jumlah, dihitung sebagai NaOH, mengandung Na2CO3 tidak lebih dari 3,0%. Natrium hidroksida digunakan untuk menetralkan basis gel karbopol agar mencapai pH 4,5-11 yang merupakan pH optimum (Barry, 1983). f. Akuades Akuades dengan nama resmi purified water (air murni) memiliki rumus molekul H2O dan berat molekul 18,02. Akuades merupakan cairan jernih, tidak berwarna, dan tidak berbau. Penyimpanan akuades adalah dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 1995). Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmotik balik, atau proses lain yang sesuai. Tidak mengandung zat tambahan lain (Anonim, 1995). Kegunaannya adalah sebagai pelarut. Air dapat bereaksi dengan obat-obatan dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada suhu tinggi. Air dapat bereaksi dengan logam alkali dan oksidannya, seperti kalsium oksida dan magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat
19
untuk membentuk hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan bahan organik tertentu dan kalsium karbida (Anonim, 1979). 6. Uji sifat fisik gel a. Organoleptis Pemeriksaan organoleptis biasa dilakukan secara makroskopis dengan mendeskripsikan warna, kejernihan, transparansi, kekeruhan, dan bentuk sediaan (Paye et al., 2001). b. pH Nilai pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Nilai pH idealnya sama dengan pH kulit atau tempat pemakaian. Hal ini bertujuan untuk menghindari iritasi. pH normal kulit manusia berkisar antara 4,5–6,5 (Draelos and Lauren, 2006). c. Homogenitas Pemeriksaan homogenitas dapat dilakukan secara visual (Paye et al., 2001). Homogenitas gel diamati pada object glass di bawah cahaya, diamati apakah terdapat bagian-bagian yang tidak tercampurkan dengan baik. Gel yang stabil harus menunjukkan susunan yang homogen. d. Viskositas Viskositas merupakan gambaran suatu benda cair untuk mengalir. Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya, pada saat diproduksi, dimasukkan ke dalam kemasan, serta sifat-sifat penting pada saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, dan kelembaban. Selain itu, viskositas juga akan mempengaruhi stabilitas fisik dan ketersediaan hayatinya
20
(Paye et al., 2001). Semakin tinggi viskositas, waktu retensi pada tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan menurun. Viskositas juga menentukan lama lekatnya sediaan pada kulit, sehingga obat dapat dihantarkan dengan baik. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan menambahkan polimer (Donovan and Flanagan, 1996). e. Daya sebar Daya sebar berkaitan dengan kenyamanan pada pemakaian. Sediaan yang memiliki daya sebar yang baik sangat diharapkan pada sediaan topikal. Menurut Garg et al. (2002), daya sebar sediaan semipadat berkisar pada diameter 3 cm-5 cm. f. Daya lekat Daya lekat berkaitan dengan kemampuan sediaan untuk menempel pada lapisan epidermis. Semakin besar daya lekat gel, maka semakin baik penghantaran obatnya. Tidak ada persyaratan khusus mengenai daya lekat sediaan semipadat. Daya lekat dari sediaan semipadat sebaiknya adalah lebih dari 1 detik (Zats and Gregory, 1996).
F. Landasan Teori Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh karena benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan (Syamsuhidayat and Wim de Joong, 2004). Sedangkan luka insisi
21
merupakan luka yang disebabkan oleh instrumen yang tajam, misalnya adalah luka yang terjadi akibat pembedahan. Kulit pisang ambon memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain untuk penyembuhan luka bakar. Kulit pisang mengandung flavonoid, tanin, saponin dan steroid (Akpuaka and Enzem, 2011) yang penting dalam proses penyembuhan luka. Flavonoid menginhibisi pertumbuhan fibroblast sehingga memberikan keuntungan pada perawatan luka (Khan, 2012). Tanin memiliki kemampuan sebagai antimikroba
serta dapat meningkatkan epitelialisasi. Saponin dapat
mempercepat proses penyembuhan luka dengan cara meningkatkan kandungan kolagen serta mempercepat proses epitelialisasi (Khan, 2012). Penggunaan kulit pisang sebagai penyembuh luka telah biasa digunakan di beberapa daerah Indonesia, tetapi penggunaannya dengan cara ditempelkan langsung di kulit sangat tidak praktis dan tidak efisien sehingga dibutuhkan sediaan penyembuh luka yang aman, nyaman, dan praktis. Sediaan gel membantu mempercepat proses penyembuhan dengan menciptakan lingkungan yang lembab yang akan mengurangi jaringan nekrosis melalui pembentukan sel apoptosis (Okan et al., 2007). Sediaan gel memiliki banyak kelebihan diantaranya mudah digunakan dan menimbulkan sensasi nyaman di kulit karena rasa dingin yang dihasilkan. Gel mampu memberikan efek topikal yang baik dan memiliki daya sebar yang baik sehingga dapat bekerja langsung pada lokasi yang sakit dan tidak menimbulkan bau tengik. Selain itu, gel mampu membuat lapisan film sehingga mudah dicuci dengan air (Ansel, 1989).
22
Karbopol sebagian besar digunakan dalam sediaan cair semipadat berkenaan dengan farmasi, seperti formulasi krim, gel, dan salep, rektal, dan sediaan topikal lain. Karbopol bersifat stabil dan higroskopis. Karbopol dapat mengembang hingga 1000 kali ketika bercampur dengan air. Karbopol merupakan polimer yang mengandung asam karboksilat. Keberadaan air yang cukup akan mengakibatkan terjadinya reaksi hidrolisis. Hidrolisis dapat terjadi pada semua kondisi baik netral, asam, ataupun basa, pH sediaan cenderung asam membuat reaksi hidrolisis lebih cepat dibandingkan pada pH netral (Meyvis et al., 2000) Hidrolisis karbopol akan mempengaruhi stabilitas gel. Semakin besar jumlah air dan semakin asam pH sediaan gel maka stabilitasnya semakin menurun.
G. Hipotesis 1. Ekstrak etanolik kulit pisang ambon dapat dibuat menjadi gel. 2. Semakin tinggi kadar karbopol yang digunakan, viskositas dan daya lekat meningkat, dan daya sebar serta pH menurun. 3. Variasi kadar karbopol berpengaruh terhadap stabilitas fisik gel ekstrak etanolik kulit pisang ambon.