Maryam, Sejarah Perjuangan Gerakan Aisyiyah Di Indonesia
183
SEJARAH PERJUANGAN GERAKAN AISYIYAH DI INDONESIA DAN KIPRAHNYA DI DUNIA PENDIDIKAN
Maryam Abstract: Aisyiyah, is a women's organization Muhammadiyah is also a pioneer organization in Indonesia's first Islamic women is one of the vibrant women's movement in the world. These activities inspire future generations to sustain the organization through the development of education which is central to the struggle. In each area to develop this organization at least succeeded in establishing Kindergartens (TK) in the region RA Bustanul proxies. In the period of the struggle of the Aisyiyah more visible in the field of education. Regional Conferences areguided by the results of Muhammadiyah to-38 in Ujung Pandang are working on the field of education is not only about the general education but also to bring vocational education, the vocational areas of health, midwives, and paramedics. It is considered necessary because of existing health personnel in the communitywhen it is deemed not to meet the needs of society at that time, in addition to the CRC also seeks to bring hope. Dahlan who wants female patients can be treatedby the management of women's health Kata Kunci: Sejarah, Gerakan Aisyiyah, Dunia Pendidikan. A. Pendahuluan Dalam paradigm modern, isu jender yang merupakan upaya perwujudan semangat kesetaraan (emansipasi) terhadap kehidupan sosial wanita, hingga kini semakin luas diperbincangkan. Dan hal ini tidak hanya berada dalam batas perbincangan belaka melainkan cukup banyak institusi yang mengakui peran wanita dalam menunjang pembangunan dunia modern. Oleh karena menemukan kiprah dan peran wanita di masyarakat sudah bukan hal baru bagi komunitas modern. Namun sayangnya, dalam struktur kehidupan sosial masyarakat yang lain masih juga ditemukan “penindasan” terhadap hak-hak hidup wanita sebagai manusia. “Penjajahan” pada sisi feminism berdampak pada rendahnya pengetahuan kaum wanita tersebut terhadap hak-hak hidup yang sebenarnya tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dengan kaum laki-laki. Sehingga tidak mengherankan apabila sejarah mencatat hanya sedikit tokoh dari kaum ini yang mampu berkiprah dalam kehidupan sosial masa lalu. Hal ini terjadi hampi di semua pelosok kehidupan dunia. Tidak terkecuali di Indonesia yang iklim penjajahan Kolonial telah membuat negeri ini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dalam waktu yang cukup panjang. Fenomena ini 183
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
184
menjadi salah satu penyebab rendahnya kesadaran berpendidikan pada masyarakat Indonesia masa lalu. Dalam perkembangan berikutnya, fenomena ini menggungah beberapa tokoh yang berusaha mengangkat harkat hidup wanita masa lalu ke permukaan yang baik-baik. Adalah KH. Ahmad Dahlan, seorang tokoh ulama yang membangun organisasi Muhammadiyah menjadi sebuah lembaga dakwah Islam yang menyuarakan gerakan Tajdid di tengah pola Islamisme Indonesia yang saat itu sarat dengan pola hidup yang jauh dari penegakan nilai-nilai luhur agama. Kepribadian ini mendorongnya membentuk sebuah pengajian wanita yang bertujuan untuk menghadirkan sosok wanita yang mandiri, yaitu yang mampu berbicara dan mengajar sendiri di muka umum tanpa harus berlindung di balik punggung laki-laki.1 atau hanya berdiri berperan sebagai penonton belaka. Cita-cita ini menjadi sangat sulit untuk diwujudkan di tengah suasana budaya yang memaksa wanita untuk membatasi dirinya dari keberadaan dunia luar rumah (budaya Pingit), terutama dalam kehidupan sosial pulau Jawa. Walaupun dasar pembentukan gerakan ini dilandasi oleh semangat Tajdid yang didukung oleh tokoh-tokoh pembaharu dunia Islam seperti Qasim Amin, Muhammad Abdu, Muhammad Rasyid Ridha2 dan lain-lain, namun maksud ini sangat tidak mudah untuk dilaksanakan. Oleh karena itu beliau membentuk pengajian kecil yang disebut dengan pengajian al-Ashrie mengemban misi ini, dan pada perjalanannya menuju sebuah organisasi independen yang kemudian pengelolaannya diserahkan kepada istriya Nyi Ahmad Dahlan (Ny. Walidah).3 Aisyiyah, demikian organisasi wanita Muhammadiyah ini disebut, merupakan organisasi pelopor wanita Islam pertama di Indonesia dan menurut Jhon L. Esposito merupakan salah satu gerakan wanita yang dinamis di dunia. Aktifitas ini menginspirasi generasi masa depannya untuk mempertahankan organisasi melalui pengembangan dunia pendidikan yang menjadi sentral perjuangannya. Dalam setiap daerah yang mengembangkan organisasi ini paling sedikit berhasil mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) Bustanul Athfal di satu wilayah binaannya.
Maryam, Sejarah Perjuangan Gerakan Aisyiyah Di Indonesia
185
Keyakinan akan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam Islam membuat usaha KH. Dahlan ini semakin gencar dilaksanakan. Maka setelah 5 tahun berselang dari kehadiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi Agama yang independent, tepat pada 17 Mei 1917 Aisyiyah resmi menjadi sebuah organisasi wanita yang berada dibawah naungan Muhammadiyah sebagai organisasi induk. Maksud utama pendirian organisasi ini adalah untuk memberikan pencerahan kepada para wanita Islam yang pengetahuannya mengenai hokum Islam dan cara Islam “melayani” mereka sangat memperihatikan. Dari keprihatinan ini justru memicu semangat kaum pembaharu ini untuk berbuat banyak pada perkembangan kehidupan wanita kemudian. Isu gender yang kemudian berhembus di kalangan umat yang saat itu masih menggapnya sebagai hal “tabu”, ternyata tidak menyurutkan langkah perjuangan Nyi Ahmad Dahlan, tokoh pertama yang dipercaya untuk memimpin organisasi ini menuju bentuk yang diinginkannya, untuk memimpin organisasi ini menuju bentuk yang diingikannya, untuk terus mencerdaskan wanita dan mengeluarkannya dari “kukungan” budaya yang mendiskreditkan wanita sebagai objek penderita saja. Keprihatinan ini memiliki corak yang tidak jauh berbeda dengan RA. Kartini yang mengangkat isu “emansipasi wanita” dalam perjuangannya, namun perbedaan mendasar mengenai hal itu adalah keberadaan
akida Islam yang mengangkat al-Quran dan al-Hadist
sebagai satu-satunya tempat pengambilan hokum yang sesuai dengan syariah Islam, hal inilah yang kemudian menjadi dasar perjuangan Aisyiyah walaupun tidak dipungkiri bahwa keprihatinan mereka akan marginalisasi pendidikan bagi kaum wanita menempati prioritas utama. Kombinasi ini menjadi salah titik keunikan yang patut diteliti lebih lanjut. Kekuatan perjuangan wanita Muhammadiyah ini ternyata bukan hanya isapan jempol, hal ini dengan perkembangan organisasi ini dengan cepat meresap hamper diseluruh wilayah nusantara. Bersama Muhammadiyah perjuangan yang mereka lakukan baik pada masa penjajahan maupun pasca awal kemerdekaan ternyata tidaklah sia-sia. Kehadirannya di masyarakat telah menghadirkan fenomena yang unik dalam perkembangan peradaban maupun
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
186
keagamaan di kalangan masyarakat Islam Indonesia dewasa ini. Berawal dari pengamatan ini kemudian makalah ini menjadi sebuah refleksi sederhana yang diupayakan di tengah referensi yang cukup langkah di masyarakat, bahkan di kalangan pengurus Muhammadiyah dan Aisyiyah sendiri di Palembang. B. Sejarah dan Pembentukan Identitas Aisyiyah Sebagai Organisasi Dalam kehidupan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan Islam yang moderat, terutama dalam menanggapi kehadiran wanita dalam kehidupan dunia tentunya menjadi sesuatu yang tidak bias diabaikan oleh gerakan ini. Fenomena tentang adanya pembedaan jenis kelamin namun tanpa diiringin diskriminasi dalam pola kehidupan sosialnya mengharuskan Muhammadiyah menampilkan perwujudan maksud dari “persamaan” hak dalam kehidupan sosial menurut Islam. Aktifitas wanita baik dalam hal ibadah maupun muamalah bertujuan untuk membangun kehidupan manusia ke arah yang lebih baik. Apalagi dalam pola kehidupan berkeluarga wanita menjadi sentral keberhasilan keluarga tersebut dalam merangkai harmonisasi kehidupan bagi keluarganya agar menghasilkan individu yang berkualitas. Hal ini berawal dari pola pemikiran modern yang menempatkan wanita sebagai “patner” dalam kehidupan kaum laki-laki. Berdasarkan pada fenomena di atas, maka karakter pemikiran modern yang menjadi pola khas dalam setiap usaha dakwah Muhammadiyah mendorongnya merancang sebuah wadah bagi aktifitas wanita yang bergerak dalam mobilitas organisasi besar ini. Berawal dari kepeduliannya pada dinamika wanita yang tersendatsendat pada masa itu yang disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan “kukungan” tradisi terhadap wanita, maka KHA. Dahlan yang menjadi tokoh pencetus gerakan ini, kemudian merasionalkan sebuah ajaran Islam yang tidak mendiskripsikan keadaan wanita dalam ajarannya. Bahkan kemulian wanita sering disebut dalam al-Quran. Untuk kepentingan itulah beliau kemudian mengajarkan wanita untuk mandiri (walaupun dalam Kelompok kecil) walaupun beliau tetap mewaspadai unsure sensualitas. Sehingga beliau tetap menganut pola pemisahan pria dan wanita yang secara tradisional diakui dalam
Maryam, Sejarah Perjuangan Gerakan Aisyiyah Di Indonesia
187
Muhammadiyah dan kemudian menjadi landasan bagi usahanya untuk membangun struktur kehidupan keagamaan dan sosial di masyarakat Jawa saat itu. Lembaga ini merupakan gambaran dari pemahaman KH. Ahmad Dahlan terhadap peran wanita yang diinginkan al-Quran. Upaya mengentaskan marginalisasi sosial bagi kaum wanita itu kemudian berujung pada pola pikir untuk membangun sebuah wadah resmi yang diakui Muhammadiyah sebagai salah satu majelis pendukung mobilitas organisasi ini, karena ia merupakan bagian dari upaya dalam mengembangkan perjuangan Islam. Maka pada tahun 1914 Nyi Ahmad Dahlan (Nyi Walidah)4 menjadi tokoh pertama yang dipercaya untuk membawa gerakan ini dalam sebuah struktur organisasi. Dengan nama Sopo Tresno5 gerakan ini muncul sebagai wadah yang mengayomi wanita untuk mengembangkan perannya dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat. Disamping pengajian yang menjadi media awal bagi pengembangan dakwahnya, Sopo Tresno juga menjadi ajang bagi para wanita Muhammadiyah untuk mendapat kursus-kursus keterampilan wanita yang sangat jarang ditemui pada saat itu. Sehingga pengentasan marginalisasi pengetahuan dikalangan wanita telah menemui masa pertumbuhannya. Respon positif ditunjukkan melalui lingkup gerakan yang semakin besar mendorong dewan Muhammadiyah untuk merancang sebuah badan otonomi bagi para wanita dengan tidak lagi berada dalam stuktur organisasinya, melainkan berposisi secara horizontal dan memiliki otoritas penuh dalam pelaksanaan mobilitas organisasi ini. Maka pada tanggal 17 Mei 1917 atau 27 Rajab 1335 H badan ini berdiri resmi sebagai organisasi wanita Muhammadiyah yang independen dan diberi nama Aisyiyah6. Penamaan ini sendiri mengikuti jejak Muhammadiyah, yaitu mengambil nama salah satu seorang istri Rasuluallah yang dikenal sebagai wanita yang paling menonjol diantara istri-istri Rasuluallah lainnya. Sehingga diharapkan anggota organisasi ini dapat berperan aktif dalam perkembangan kehidupan baik dalam keluarganya maupun dalam masyarakatnya kemudian. Walaupun Aisyiyah dianggap sebagai sebuah organisasi independen namun kedudukannya tidak lepas dari pengawasan Muhammadiyah sebagai
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
188
organisasi induk. Hal ini tertuang dalam SK PP Muhammadiyah No. 1/1966 yang menyebutkan Aisyiyah sebagai ortom Muhammadiyah.7 Kebijakan ortom diberikan oleh PP Muhammadiyah dan ia dilimpahi wewenang dan tanggung jawab sebagian tugas Muhammadiyah mengenai bidang khusus itu untuk satu golongan
masyarakat
tetapi
tetap/tidak
terpisah
dari
organisasi
Muhammadiyah. Laju pergerakan organisasi ini menjadi semakin terarah dengan rumusan tujuan pokok kegiatan Aisyiyah yang diberikan pada para pengurusnya antara lain, yaitu (1) membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi. Dan (2) menghimpun anggota-anggota Muhammadiyah
wanita
menyalurkan
serta
menggembirakan
amalan-
amalannya. 8. Dan tujuan utama ini yang kemudian mempedomani pergerakan organisasi menjadi salah satu organisasi Islam yang besar di Indonesia. Dengan menggembirakan amalan berarti membebaskan wanita untuk berkreasi dalam merancang kehidupan organisasi sehingga mereka dapat menghidupkan dirinya menjadi sebuah organisasi yang eksis. Semua ini tidak hanya menjadi cita-cita semua di tangan para wanita Aisyiyah, hal ini terlihat dari perkembangan organisasi yang semakin melebar di wilayah nusantara. Salah satu usaha/amal yang menonjol bahkan hingga sekarang adalah pengembangan pendidikan yang telah mereka mulai pada tahun 1919 dengan mendirikan taman kanak-kanak yang diberi nama Frobfi9, institusi yang bernafaskan Islam ini kemudian tumbuh subur dikalangan sosial dan dunia pendidikan anak di Indonesia dan hal ini sekaligus menjadi modal utama Aisyiyah untuk menunjukkan eksistensinya dimana pun mereka berdiri. Berawal dari sini, maka perkembangan Aisyiyah mengalami mobilitas yang tiada henti. Dalam sejarah perkembangannya hal yang berhasil dicatat dalam sejarah antara lain : 1. Tahun 1922 dan 1923 berhasil mendirikan masjid Aisyiyah di Yogyakarta dan memberantas Buta Huruf dikalangan masyarakat serta di Bukit Tinggi mendirikan Sekolah Diniyah Putri Padang Panjang yang dipimpin oleh Rahmah el Yusniah. 2. Tahun 1925 mulai menerbitkan majalah sendiri dengan nama Suara Aisyiyah.
Maryam, Sejarah Perjuangan Gerakan Aisyiyah Di Indonesia
189
3. Tahun 1930 sebagai pelaksanaan salah satu hasil Kongres ke 19 di Bukit Tinggi, Aisyiyah di seluruh cabangnya untuk mengadakan kursus Bahasa Indonesia, kegiatan ini ditunjukkan untuk meningkatkan kesadaran dan membangkitkan semangat patriotism bangsa yang terjajah khususnya kaum wanita. 4. Tahun 1931 organisasi mengesahkan Kelompok kegiatan pemudi Islam yang sebelumnya bernama Siswo Proyo Wanito menjadi Nasyatul Aisyiyah (NA) sebagai organisasi pemudi Islam dalam Muhammadiyah. Pada bagian eksternal organisasi 1. Bersama dengan organisasi wanita lain, Aisyiyah bangkit berjuang untuk melawan penjajah serta dari belenggu kebodohan dengan membentuk sebuah
federasi
yang
diberi
nama
KONGRES
PEREMPUAN
INDONESIA (sekarang disebut KOWANI) di Yogyakarta pada 22 Desember 1928 dan berperan dalam jajaran kepemimpinan organisasi tersebut. 2. Tahun 1934, Aisyiyah menyelenggarakan Baby Show yaitu kegiatan pendidikan terbuka bagi masyarakat umum mengenai pemeliharaan bayi yang baik dan benar. 3. Sehubungan dengan itu setelah Indonesia merdeka. Aisyiyah bersama elemen masyarakat lainnya mendirikan BKIA rumah bersalin, serta panti asuhan di manapun Aisyiyah berdiri. Keberadaan Aisyiyah di tengah masyarakat merupakan sebuah apresiasi terhadap keadaan yang diberikan oleh pihak penjajah pada masa awal berdirinya organisasi ini di samping pemahaman kultur yang menganggap derajat wanita lebih rendah dari laki-laki. Walaupun tidak dapat dipungkiri pada masa itu independensi yagn diberikan KHA. Dahlan dalam organisasi ini mengundang sedikit controversial dalam masyarakat Jawa.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
190
C. Perjuangan Aisyiyah Pada Masa Penjajahan Dengan mengambil tema “kembali pada ajaran Islam yang murni” Aisyiyah menjadi pendamping perjuangan Muhammadiyah dalam menghadapi pemahaman kehidupan keagamaan masyarakat yagn sarat dengan Khurafat, Tahayul, Syirik dan Bid’ah. Apalagi pada sebagian masyarakat Jawa masih kental dengan semangat dinamisme dan animism dalam interaksi sosial mereka. Di samping itu informasi yang diperoleh masyarakat yang kurang menyeluruh menyebabkan penyakit iman ini terus tumbuh tanpa disadari oleh masyarakat Indonesia saat itu. Problematik perjuangan ini semakin kompleks manakalah gerakan ini menyadari akan kejumudan kaum perempuan (Jawa saat itu) yang terkukung dalam “penjara” adat sehingga memegani kiprah mereka dalam kehidupan sosiaol. Apalagi dengan tipu daya penjajah yang mempropagandakan budaya yang berlabel Islam sehingga berhasil menjauhkan umat dari agamanya. Perjuangan di masa ini dapat ditarik benang merah dengan perjuangan RA. Kartini yang merasa prihatin menyaksikan kebodohan kaum perempuan Jawa yang semestinya dapat bergerak lebih leluasa sesuai kodratnya sebagai wanita yang hal terjadi karena beliau merasa bahwa perempuan Jawa saat itu sangat kurang memperoleh pendidikan yang sudah menjadi haknya. Namun perjuangan beliau tidak didasari pada keimanan kepada Islam yang mumpuni. Sementara perjuangan Aisyiyah didasari oleh semangat jihad yang dapat ditempuh dengan tidak mengangkat senjata, yaitu dengan Islam sehingga jelaslah akan kepentingannya pada kehidupan masa depan mereka. Terlepas dari semua itu, keprihatinan ini menghasilkan sebuah respon yang bertujuan untuk membawa kaum perempuan kepada pola kehidupan yang lebih cerah. Dengan menempatkan iman dan ilmu pengetahuan sebagai dasar dalam pengambilan keputusannya. Target tersebut muncul karena kondisi masyarakat Islam yang meninggalkan al-Quran dan al-Hadist sebagai dasar utama pengambilan hokum Islam menjadi semakin parah. Kondisi ini diperparah dengan mandegnya kehidupan ekonomi yang disebabkan oleh ulah biadab para penjajah yang feudal. Sehingga praktis siklus kehidupan pendidikan di Indonesia (khususnya
Maryam, Sejarah Perjuangan Gerakan Aisyiyah Di Indonesia
191
tanah Jawa) saat itu hampir benar-benar berhenti. Dan hal ini terjadi hampir di seluruh pelosok wilayah Indonesia keadaan ini yang memicu KHA. Dahlan mengambil langkah preventif dengan mendirikan organisasi khusus wanita agar dakwah yagn ingin disampaikan dapat mencapai kuam yang dimarginalkan oleh budayanya tersebut. Ide ini disambut sang istri dengan kemudian merancang pola dakwahnya melalui jalur pendidikan kaum wanita melalui pendidikan yang bersifat feminis. Perjuangan yang bersifat feminis ini yang kemudian dapat diterima oleh kaum wanita saat itu. Mereka mulai membuka diri untuk menambah pengetahuan mereka tidak hanya berada pada pengetahuan seputar rumah tangga belaka, namun mereka juga menerima pencerahana yang integral terutama pada masalah ibadah. Diliputi oleh pola pendidikan keterampilan, maka keberadaan dakwah pembaharuan Islam saat itu dapat lebih mudah diterima. Pada
implikasinya
gerakan
dakwah
feminis
ini
kemudian
menghadirkan pengaruh yang besar di tengah pengaruh penjajah yang tidak pernah berhenti untuk menggulirkan gerakan pembodohan rakyat yang memang berada dalam kemeralatan dan kemiskinan. Munculnya rasa kegotong royongan dan persatuan yang sempat dihancurkan oleh penjajah, kini mulai tampak berdiri kembali. Masyarakat mulai menyadari kembali arti perjuangan dan ikut melibatkan diri dalam kiprah organisasi ini hingga dalam kurun waktu yang pendek. Aisyiyah berhasil mendirikan Majelis Penolong Kesengsaraan Umum (sekarang Pembina Kesejahteraan Umat) serta membesarkan pengajianpengajian dan majelis Tabligh yang secara tidak langsung mengindoktrinisasi ide-ide perjuangan Muhammadiyah.10 Dalam upaya jihad wanita-wanita Muhammadiyah ini berjuang membantu Palang Merah di garis depan dan Belakang serta turut menjadi kurir dalam setiap gerakan militer yang dilakukan Tentara (TNI) ataupun gerilyawan. Di samping itu pola pikir yang tumbuh pada masyarakat kemudian mulai bergerak modern.
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
192
D. Perjuangan Aisyiyah Pada Pasca Kemerdekaan Pada masa ini perjuangan Muhammadiyah mulai terstruktur pada bentuk organisasi yang kian jelas itu artinya gerakan yang dibuat Aisyiyah pun mejadi lebih terarah. Hal ini terbukti dengan pendewasaan Aisyiyah yang secara jelas memperoleh legitimasi dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah yaitu diwujudkan dengan bentuk kepemimpinan sendiri dengan membangun Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah di Yogyakarta pada tahun 1968 dan diketuai oleh Prof. Dra. Hj. Baroroh Baried.11 Dengan ini usaha yang dilakukan Aisyiyah mulai membangun daerah tempat ia berdiri yaitu sempat dilihat pada penyebutan kepengurusan yang bertingkat yaitu wilayah untuk propinsi, daerah untuk kabupaten kotamadya, dan kecamatan untuk tiap kecamatan, dan ranting untuk tingkat kelurahan desa. Munculnya pembagian tugas seperti ini merupakan efek dari arus pemikiran modern yang diakui Muhammadiyah sehingga mereka dapat memfokuskan perjuangan sesuai pada kondisi setempat dengan sistematis. Pada periode ini perjuangan kaum Aisyiyah lebih terlihat pada bidang pendidikan. Daerah mempedomani hasil Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Ujung Pandang maka bidang pendidikan yang digarapnya tidak hanya berkisar pada pendidikan umum melainkan menghadirkan pula pendidikan kejuruan, yaitu kejuruan pada bidang kesehatan, bidan, dan paramedis. Hal ini dinilai perlu karena tenaga kesehatan yang ada di masyarkat saat itu dianggap belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat saat itu, di samping pula berupaya mewujudkan harapan KHA. Dahlan yang menginginkan pasien wanita dapat dirawat oleh pengurus kesehatan wanita. Karena semangat kepeloperan yang melekat dalam perjuangan unsurunsur
organisasi
dalam
Muhammadiyah,
maka
gerakan
peningkatan
pendidikan pada bidang kesehatan, menjadi lembaga pendidikan pertama yang kemudian menghasilkan tenaga media professional saa itu. Kemudian tenaga yang dihasikan pun tidak segan-segan untuk mengabdikan diri kepada masyarakat bahkan di pelosok sekalipun.
Maryam, Sejarah Perjuangan Gerakan Aisyiyah Di Indonesia
193
Keberadaan Aisyiyah dalam perjuangan dakwahnya mengandung fenomena sosial yang dapat di tela’ah berbagai sebab. Diantaranya adalah munculnya pola pendidikan baik umum, agama, dan kejuruan lainnya merupakan dampak dari pola modern yang dibawa dari pemahaman pembaharuan agama yang menjadi pijakn perjuangan sebelumnya. Dari sini dapat dilihat bahwa corak organisasi ini akan mempengaruhi pola sikap masyarakat terhadap pemahaman agama tersebut. Hal inilah yang terjadi pada perjuangan dakwah Islam Muhammadiyah selanjutnya. Dalam kajian sosiologi agama hal ini telah diprediksikan oleh Thomas F.Odea12 yang menyatakan bahwa “agama yang terorganisasi secara khusus ini lahir sebagai akbiat dari kecenderungan umum kea rah pengkhususan fungsional. Meningkatnya pengalaman keragamaan mengambil bentuk dalam berbagai corak keagamaan yang baru. Dengan demikian perkembangan organisasi keagamaan yang khusus menunjukkan pengaruh umum pada proses kemasyarakatan dan perubahan-perubahan tersebut ke dalam (pemahaman) beragama”. Dalam kasus perjuangan Aisyiyah, teori tadi berusah memahami fenomena yang hadir dalam masyarakat Indonesia setelah mengalami pencerahan dan perjuangan dalam kehidupan berbangsa yang biasanya paham pembaharuan ini dihembuskan oleh mereka para “pendatang”. Maka pada bidang dakwah, perjuangan Aisyiyah dan Muhammadiyah pertama kali disemarakkan oleh para pendatang yang “membalut” diri mereka dalam struktur agama yang teratur sehingga kesan intelektualnya menjadi mengemuka sebagai tolak ukur keberhasilan pemahaman mereka terhadap ide pembaharuan tersebut. E. Kesimpulan Dari paparan di atas dapat disampaikan bahwa Aisyiyah merupakan salah satu majelis dalam tubuh Muhammadiyah yang dimaksudkan untuk membantu
kaum
wanita
dalam
mengentaskan
kemiskinannya
akan
pengetahuan agar dapat menjadi penopang kehidupan rumah tangga yang lebih baik di samping juga sebagai organisasi penopang perjuangan Muhammadiyah di masyarakat. Dalam kiprahnya kemudian Aisyiyah menjadi dalam menjalani
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
194
kodrat kehidupannya. Dengan mendapatkan pendidikan yang layak mengenai kewanitaan dan sekaligus dapat mengembangkan potensi diri dalam organisasi diharapkan organisasi ini menjadi wadah bagi kehidupan kaum wanita masa depan. Ternyata harapan ini tidak sia-sia, karena ternyata perjuangannya Aisyiyah mendapat respon positif dari masyarakat hal ini ditunjukkan dengan dukungan terhadap perjuangan yang dilakukan Aisyiyah baik pada masa perjuangan kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Dan perjuangan ini tidak berhenti pada masa-masa itu saja karena azas berdirinya organisasi ini adalah untuk mengentaskan kegiatan menyimpang dalam Islam yang tengah menjamur dalam kehidupan masyarakat Islam tradisional. Pada perkembangannya perjuangan Aisyiyah tidak berhenti pada hal yang telah diungkap di atas, namun kiprah mereka pada bidang pendidikan ternyata turut menopang perkembangan dunia pendidikan nasional hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan bertahannya sekolah-sekolah yang berada dibawah pengasuhan Aisyiyah sebagai organisasi pelindungannya. Serta masih banyak kiprah mereka di bidang lain yang turut menyemarakan kehidupan nasional negeri ini. Penulis : Maryam, M.Hum adalah Dosen Tetap pada Jurusan Ushuluddin STAIN Bengkulu DAFTAR PUSTAKA Jhon L Esposito, Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 4, Oxford University, New York, 1995. Hal. 103 Qasim Amin (1865-1908) mengatakan bahwa pentingnya mendidik perempuan karena ia bertanggung jawab dalam mendidik generasi muda, oleh karena itu mereka bertanggung jawab pada penyebaran berbagai mitos dan tahayul Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha (19651935) hampir memiliki pendapat yang seirama yang secara garis besarnya adalah menganggap pentingnya mengintegrasikan perempuan dalam kehidupan beragama sebagaimana di zaman Rasul. Drs. Margono Poe spo Suwarno. Gerakan Islam Muhammadiya, PT. Persatuan OFFest Muhammadiyah, Yogyakarta, 1984, cet IV, hal 69
Maryam, Sejarah Perjuangan Gerakan Aisyiyah Di Indonesia
195
Nama ini diberikan oleh KHA. Dahlan agar wadah ini memberikan ruang gerak leluasa pada wanita zaman itu untuk menambah pengetahuannya seputar dunia keterampilan dan peningkatan keterampilan, sekaligus dimaksudkan untuk menggugah budaya Pingit yang masih kental berlaku dalam kehidupan wanita Jawa saat itu. Pemikiran ini didasarkan pada firman Allah pada surat at-Taubah ayat 71-72 dan An-Nahl ayat 97. Dikutip dari tulisan Ibu Hj Akmar Umar BCHK, Sejarah Berdirinya Muhammadiyah, Naskah yang belum terbit, Palembang. 1988, hal 47 Ibu Hj. Akmar Umar BCHK, Op.Cit. hal 44 yang isinya adalah “Aisyiyah berkedudukan sebagai organisasi otonom dari Muhammadiyah yakni Aisyiyah diberi wewenang sepenuhnya untuk mengatur/mengelola organisasi, menetapkan AD/ART, melaksanakan keputusan-keputusan serta kebijakan-kebijakan. Ibid. Penanaman ini kemudian berubah menjadi Bustanul Atfhal, yang menjadi landasan pola pendidikan yang diadakan secara resmi oleh Aisyiyah Nurul Agustina S.S MA dan Lies Marcoes-Natsir, MA, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 6 Seri Dinamika Masa Kini. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, tt.hal. 283 Ibu Hj. Akmar Umar BCHK. OP.Cit, hal 48 Drs. Margono Poespo Suwanto, Loc, Cit Thomas F Oldea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal 90 Sesuai dengan piagama yang ditanda tangani oleh PP Aisyiyah dengan Surat Keputusan No. C/III/005 tanggal 25 Juni 1969 dan ditanda tangani oleh Prof. Drs. Baroroh Baried Piagam ini terdapat di kantor Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jl. Balayudha (lokasi SMU Muh 7) Palembang
1
Jhon L Esposito, Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 4, Oxford University, New York, 1995. Hal. 103 2 Qasim Amin (1865-1908) mengatakan bahwa pentingnya mendidik perempuan karena ia bertanggung jawab dalam mendidik generasi muda, oleh karena itu mereka bertanggung jawab pada penyebaran berbagai mitos dan tahayul Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha (1965-1935) hampir memiliki pendapat yang seirama yang secara garis besarnya adalah menganggap pentingnya
196
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
mengintegrasikan perempuan dalam kehidupan beragama sebagaimana di zaman Rasul. 3 Drs. Margono Poe spo Suwarno. Gerakan Islam Muhammadiya, PT. Persatuan OFFest Muhammadiyah, Yogyakarta, 1984, cet IV, hal 69 4 Nama ini diberikan oleh KHA. Dahlan agar wadah ini memberikan ruang gerak leluasa pada wanita zaman itu untuk menambah pengetahuannya seputar dunia keterampilan dan peningkatan keterampilan, sekaligus dimaksudkan untuk menggugah budaya Pingit yang masih kental berlaku dalam kehidupan wanita Jawa saat itu. Pemikiran ini didasarkan pada firman Allah pada surat at-Taubah ayat 71-72 dan An-Nahl ayat 97. Dikutip dari tulisan Ibu Hj Akmar Umar BCHK, Sejarah Berdirinya Muhammadiyah, Naskah yang belum terbit, Palembang. 1988, hal 47 5 Drs Margono Poespo Suwarno, Op.Cit, hal 69 6 Ibid 7 Ibu Hj. Akmar Umar BCHK, Op.Cit. hal 44 yang isinya adalah “Aisyiyah berkedudukan sebagai organisasi otonom dari Muhammadiyah yakni Aisyiyah diberi wewenang sepenuhnya untuk mengatur/mengelola organisasi, menetapkan AD/ART, melaksanakan keputusan-keputusan serta kebijakan-kebijakan. 8 Ibid. Penanaman ini kemudian berubah menjadi Bustanul Atfhal, yang menjadi landasan pola pendidikan yang diadakan secara resmi oleh Aisyiyah 9 Nurul Agustina S.S MA dan Lies Marcoes-Natsir, MA, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 6 Seri Dinamika Masa Kini. PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, tt.hal. 283 10 Ibu Hj. Akmar Umar BCHK. OP.Cit, hal 48 11 Drs. Margono Poespo Suwanto, Loc, Cit 12 Thomas F Oldea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Rajawali Press, Jakarta, 1990, hal 90 13 Sesuai dengan piagama yang ditanda tangani oleh PP Aisyiyah dengan Surat Keputusan No. C/III/005 tanggal 25 Juni 1969 dan ditanda tangani oleh Prof. Drs. Baroroh Baried Piagam ini terdapat di kantor Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jl. Balayudha (lokasi SMU Muh 7) Palembang