*Kolom IBRAHIM ISA* *Jum'at, 22 Februari 2013* ---------------------------*
*KIPRAHNYA “KESEDARAN-SEJARAH”* *Awareness & Sense of Hitory” Bangsa Ini * *Tak Bisa Dibendung Lagi!!* ** * ** Bravo Untuk: *Laksmi Pamuntjak, * *Leila S. Chudori dan * *Joshua Oppenheimer>* Suatu kemungkinan bagi orang awam! Juga mungkin bagi sebagian besar masyarakat! Keadaaan seperti berikut ini, . . . . kongkritnya. . . . Disebabkan banyak faktor -- tanpa menyadarinya, . . . . kita kurang memperhatikan perkembangn dalam masyarakat kita dan di dunia internsional, yang sebenarnya amat penting! Bahwa --- “Kesedaran Sejarah” , “Sense of History”, “Awareness” bangsa ini, berangsur-angsur meningkat mantap. Meskipun perkembangan peningkatan itu, belum seperti apa yang diharapkan para sejarawan muda kita yang punya visi dan misi, yang penuh semangat dan amat giat. Sikap dan pandangan mancanegara terhadap masalah ini juga mencerminkan situasi dalamnegeri Indonesia: Ingat diproduksinya film dokumenter Joshua Oppenheimer berjudul “ The Act of Killing”. Situasi dewasa ini memang, belum sampai pada tingkat seperti yang dikehendaki oleh para pejuang dan penggiat Reformasi dan Demokrasi serta HAM, Namun, tak boleh luput dari perhatian kita, bahwa “Kesedaran-Sejarah”, “Sense of History”, “Awareness” bangsa ini berangsur meningkat terus! Merupakan suatu perkembangan yang memberikan semangat. Membesarkan harapan dan keyakinan kita bahwa ajaran Bung Karno: “JASMERAH!” – “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, semakin dikhayati, menyebar terus, meluas dan mendalam di kalangan masyarakat peduli nasib bangsa. *Berkiprahnya “Awareness”, “Kesedaran Sejarah” , Sense of History” --- tak bisa dibendung lagi. Suatu pertanda positif bagi haridepan bangsa dan negeri ini.*
*** *Rekomendasi KomnasHam 23 Juli 2012*. . . Pada tanggal 23 Juli 2012, KomnaHAM mengungkap pelanggaran HAM berat oleh aparat negara terutama di sekitar Peristiwa 1965. Gejala ini merupakan salah satu indikasi meningkatnya “KESEDARAN SEJARAH”! Sesungguhnya merupakan kesedaran untuk MELURUSKAN SEJARAH BANGSA ini. Untuk Tidak Meninggalkan Sejarah, seperti kata Bung Karno. Maka teramat disayangkan, bahkan *AMAT DISESALKAN*. . . . menjadikan kita semua prihatin, gundah dan geram . . . sekitar apa yang terjadi belakangan ini di kalangan pimpinan KomnasHAM di Jakarta. KomnasHAM, repot dengan urusan pribadinya sendiri, terlibat mengurusi masalah fasilitas pribadi pimpinan dll. *Sadarlah wahai para Komisioner KomnasHAM yang terhormat akan tanggungjawab dan tugas yang kalian emban demi bangsa dan tanah air!!* ** * ** Meningkatnya “kesedaran sejarah”, “sense of history”, oleh berbagai analisis di kemukakan a.l tercermin dalam kasus-kasus pencerahan berikut ini: Terbitnya novel terbaru sastrawan muda *Laksmi Pamuntjak*, berjudul *“Amba”*. Kita berhadapan dengan Sastrawan Generasi Muda *LAKSMI PAMUNTJAK yang bukan saja memiliki KESADARAN SEJARAH, SENSE OF HISTORY DAN AWARENESS MENGENAI SEJARAH …. tapi juga gairah dan militan.* ** * ** *“*AMBA*”* --- Novel Baru Laksmi PAMUNTJAK – *** Paperback, 496 pages *Published October 2012 **Memasuki Cetakan Ketiga**** mengisahkan Amba dan Bhisma dengan latar belakang sejarah kekerasan tahun 1965: Amba anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah meninggalkan kotanya, belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir, seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya. Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah sakit. Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri dan Yogya.Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.
Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di Pulau Buru. Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma, dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto. Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk dia—tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon. Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang pelbagai peristiwa—yang kejam dan yang mengharukan—dalam kehidupan para tahanan di kamp Pulau Buru. *** Untuk menulis karyanya Laksmi Pamuntjak mengadakan penelitian bertahun-tahun dan puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya Amba menulis: Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan menghakimi. Hitam adalah warna cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.(less) <-www.goodreads.com/book) Paperback, 496 page -Published October 2012. Menurut penulisnya, “AMBA” Ingin Mempilkan Sejarah Tentang Orang-Orang Biasa Yang Dilindas Arus Kekerasan di Indonesia. http://www.dw.de/laksmi-pamuntjak-pulau-buru-normalisasi-kejahatan-65/a-16601193#>AMBA
adalah sebuah kisah tentang sejarah kekerasan di Indonesia. Yang terjadi setelah Orba mengirim ribuan tahanan politik ke Buru. Pulau itu berubah: bukan komunisme tapi hamparan sawah. Dataran Waeapo yang dulu adalah tempat “permukiman“ para tapol, kini menjadi lumbung padi Maluku. Lebih dari tiga dekade, orde baru mencekoki para pelajar tentang bahaya laten Komunisme. Hasilnya? Tidak melulu prasangka, meski tentu saja masih banyak orang Indonesia yang membaca 65 dengan kacamata Orba.
Laksmi Pamuntjak, lahir pada tahun 1971, ketika tahanan politik atau tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru. Dia lahir pada masa ketika anak-anak diajari mendaras versi sejarah 1965-1966 yang ditulis oleh sang pemenang: orde baru. Tragedi yang oleh dunia disebut sebagai salah satu pembantaian massal paling biadab di abad-20. Bertahun-tahun, generasi saya hidup dengan versi sejarah yang sepihak dan normalisasi kejahatan. Begitu terus -- hingga bohong dan bungkam menjadi bagian dari watak kehidupan di Indonesia,“ kata Laksmi Pamuntjak kepada /Deutsche Welle/. “ Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah,“ kata Laksmi. *** Agar pembaca memperoleh gambaran yang lebih lagi, silakan menelusuri dan mengkhayati novel penting Laksmi Pamuntjak “Amba”, silakan baca sendiri wawancara penulisnya, Laksmi Pamuntjak dengan Radio Jerman DEUTCHE WELLE: *Survey */*The Jakarta Globe*/* tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966.* *Jadi,**Bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!* ** * ** *MENGAPA MENULIS TENTANG 1965 -- * *Laksmi: MENGAPA TIDAK?* /*Deutsche Welle:*/ /Mengapa anda menulis tentang 1965?/ /*Laksmi Pamuntjak:*/ /Mengapa TIDAK? Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang dilakukan militer pada waktu itu ‘benar' karena apa yang mereka lakukan adalah memburu “sang musuh negara.” Sementara rekonsiliasi masih jauh dari angan – generasi penerus akan semakin berjarak dari 65 dan berpikir tindakan seperti itu, human rights
violations yang disponsori negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi, Survey The Jakarta Globe tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!/ /*Deutsche Welle: *Kenapa anda tertarik untuk menulis cerita tentang pulau Buru?/ /*Laksmi Pamuntjak:*/ Tugas novel bukan untuk mengoreksi sejarah. Yang jelas bukan untuk mengoreksi sejarah atau menafsirkan siapa yang bertanggungjawab atas pembantaian massal 65. Ketika menjalin persahabatan dengan eks tapol, saya melihat sejarah bukanlah sebuah narasi besar politik, atau Sejarah dengan S besar, tapi sejarah adalah kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Novel membuka kemungkinan untuk menampung ruang-ruang kecil yang sering luput dari Sejarah. Saya merasa terpanggil untuk memanggil ulang ingatan kolektif, bagaimana memahami sejarah kelam di mana saudara dan tetangga saling membunuh. Masa ketika yang menguasai adalah praduga, amarah, dendam dan kebencian. Ketika mendengar kisah (tapol-red) Buru saya terharu, karena seiring derita, ketakutan, putus asa dan rasa sakit, masih ada humor. Kadang-kadang di antara mereka ada rasa syukur atas sebentuk kebaikan atau keindahan yang tak terduga-duga, sesuatu yang menolak dari dendam dan kebencian. Apa yang saya lakukan dengan berbagai bahan dan kenangan yang dibagi secara murah hati oleh mereka yang telah mengalami Buru adalah dengan mendengarkan mereka. Mencoba menyelami seperti apa rasanya diam dibungkam, memendam perasaan begitu lama. All the silences around you. Itu juga bagian dari duka itu sendiri. Sumber utama saya adalah Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO dan eks tapol-red) yang dikirim ke pulau Buru pada November 71. Juga kepada Hersri Setiawan dan Kresno Saroso, sebagai orang-orang yang pada siapa selain Pram, saya berhutang budi./ /*Deutsche Welle: *Ketika pertama datang ke pulau Buru, apa yang anda lihat?/ /*Laksmi Pamuntjak:*/ /Saya kaget, karena saya membayangkan begitu banyak hal menyeramkan. Tetapi ketika sampai di sana yang ada adalah padi di mana-mana. Kesuburan yang merupakan buah kerja keras dan keringat eks tapol yang membuka lahan dan menjadikan Buru sebagai mini Jawa. Tak ada lagi sisa Tefaat (Tempat Pemanfaatan istilah yang dipakai untuk pemukiman tapol-red), kecuali sebuah gedung kesenian yang kalau tidak diberi konteks bahwa ini bagian dari era itu, maka kita samasekali tidak mengerti nilai sejarahnya./
/*Deutsche Welle: *Dari karakter para tapol yang anda pelajari, apakah anda melihat para survivor ini berhasil ditundukkan oleh kekuasaan lewat pulau Buru?/ /*Laksmi Pamuntjak:*/ Saya melihat ada perbedaan dari masing-masing survivor. Ada yang merasa bahwa mereka menang dengan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan dan mempertahankan harga diri dengan mengadakan berbagai ritual sendiri seperti mengubur surat-surat di dalam tabung bambu dan menyembunyikannya di bawah pohon. Mereka punya cara sendiri untuk melawan. Tapi ada hal menarik yang diungkapkan bekas Asbintal (Asisten Pembinaan Daerah Militer-red) yang juga bekas Kepala Pengawal di Tefaat Buru yang dikenal baik, berpikiran terbuka, dan sering membawa majalah TIME atau TEMPO bagi para tapol. Kami kebetulan bertemu, saat dia ingin mengadakan semacam reuni dengan eks tapol yang tetap tinggal di Buru. Asbintal itu bercerita, saat reuni, tiba-tiba para eks tapol ini berbaris dan body languagenya seperti orang-orang yang dikuasai. Padahal Asbintal ini, dulunya bukan simbol dari kekuasaaan yang paling buruk di pulau Buru…apalagi kini konteksnya berbeda karena para eks tapol ini sekarang manusia bebas dan setara (dengan Asbintal-red), jadi the power game-nya sudah berubah. Tapi body language para eks tapol begitu kental, seperti lapis kulit kedua. Mereka kembali ke insting-insting lama. Jadi sulit mengatakan apakah para survivor Buru ini menang atau kalah. Saya selalu menyadari, bahwa saya menulis tentang sebuah masa lalu yang bukan merupakan “masa lalu” saya. Apapun empati yang tercakup dalam novel, tak pernah akan bisa mereplikasi penuh emosi yang terkandung dalam pengalaman para survivor./ /*Deutsche Welle: *Saat membaca AMBA saya membayangkan Zulfikar adalah Amarzan Loebis. Apakah karakter dalam novel ini terinspirasi dari orang-orang dekat anda?/ /*Laksmi Pamuntjak:*/ Secara tipe mungkin ya. Misalnya saya selalu bisa membayangkan dengan mudah siapa orang yang senang membaca seperti karakter Bhisma (yang di dalam novel adalah kekasih AMBA-red). Orang-orang yang selalu mengalami dilema dan tidak pernah bisa berpihak. Tidak pernah belonging. Dia selalu berada di tengah-tengah dan selalu gelisah mengenai ide-ide dan kenyataan di depan batang hidungya. Tapi di antara karakter yang paling kental memang Zulfikar./ /*Deutsche Welle: *Menurut anda, apa yang membedakan anda dengan Pramoedya Ananta Toer dalam melihat tragedi 65?/ /*Laksmi Pamuntjak:*/
Sulit ya… karena dia (Pram-red) terlibat. Sementara saya bisa menulis AMBA justru karena berjarak, dan menggunakan pengalaman orang seperti Pram sebagai titik tolak untuk memahami 65. Ego atau ke-Aku-an saya tidak besar, karena (AMBA-red) tidak datang dari sudut pandang saya sendiri. Soal style beda, karena dasarnya saya punya tempramen puitis. Saya juga selalu suka apa yang tidak hitam putih, yang selalu di tengah-tengah, yang remang-remang. Mungkin itu juga yang membuat saya menulis tentang 65, karena itu adalah episode sejarah kita yang remang-remang tapi selalu dihitam-putihkan. (Sumber : DEUTSCHE WELLE)/ ***
*Novel Leila S. CHUDORI --- “ P U L A N G “* Terbitnya novel oleh *Leila S. CHUDORI*, berjudul *“ P U L A N G ”*. juga meupakan indikasi meningkatnya 'kesadaran sejarah”. Mengapa? Karena penulis Leila S, Chudori, (tutur sutradara *Riri Riza a.l) adalah sebuah karya yang merupakan salah satu tantangan besar karena menceritakan tahun-tahun bersejarah di Indonesia. "Ini sebuah tantangan menceritakan sebuah era sejarah Indonesia tahun 1965 dan 1998. Dan pada saat yang sama juga menceritakan tentang keluarga," . /Novel << Pulang >> menceritakan tentang Dimas Suryo, seorang eksil politik Indonesia bersama tiga sahabatnya yang terhalang balik ke Indonesia setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965. Paspor mereka dicabut. Latar belakang novel ini pun berganti ke bulan Mei 1968 tentang gerakan mahasiswa yang berkecamuk di Paris. Kemudian berlanjut ke Mei 1998 di Indonesia dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun. Novel << Pulang >> mulai ditulis pada 2006-2012. Leila dua kali ke Paris untuk mewawancarai eksel politik yang mendirikan Restoran Indonesia dan mendapatkan buku-buku serta literatur untuk menyangga novelnya itu. <Mitra Tarigan dalam Tempo.com, 13 Desember 2012> *Novel “Pulang”, Menggugah Ingatan tentang Indonesia* Novel Pulang adalah paparan mengenai kesadaran orang-orang Indonesia yang tidak dihitung masuk himpunan Indonesia semasa Orde Baru. Mereka adalah orang yang terus-menerus berjuang menjadi orang Indonesia di tengah penolakan rezim Soeharto. Adalah eksil politik Indonesia di Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Di Paris, mereka tetap mencintai Indonesia, bertahan hidup layak sambil memberi manfaat bagi Indonesia dengan mengelola Restoran Tanah Air, sebuah restoran Rue
Vaugirard di pinggir Paris. Restoran ini menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan Indonesia. Tokoh utama dalam novel Leila, bukan semata keinginan dikubur di Karet yang dimiliki Dimas, melainkan juga mempertahankan dirinya sebagai orang Indonesia dan memiliki wewenang untuk mewariskan Indonesia. *** Kisah tokoh-tokoh yang dimuat di dalamnya memberikan pemahaman kepada kita bahwa keindonesiaan merupakan sebuah ikhtiar yang intensional. Ia tak ditentukan oleh tempat kelahiran atau penerimaan pemerintah. Keindonesiaan tak hilang ketika kita meninggalkan wilayah Indonesia. Pulang, adalah "…sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Dan itu semua tersaji dalam narasi yang tertata apik. Leila S. Chudori berhasil meramu unsur-unsur naratif secara meyakinkan dalam novel ini. . . . . . . . . Membaca novel yang tergolong tebal ini saya mendapat kenikmatan sekaligus pekerjaan tambahan. Saya menikmati jalinan naratifnya yang tertata rapi dan memberi penghayatan baru. Tapi efek yang ditinggalkannya membuat saya memikirkan lagi keberadaan dan identitas saya sebagai orang Indonesia. . . . Seperti masuk ke kenangan pribadi sekaligus sejarah Indonesia mutakhir dan menemukan banyak ruang kosong yang gelap di sana, juga ruang kusut. Kenangan itu menggugah saya, bahkan menggugat, untuk membenahinya. Tapi novel ini juga membantu kita menemukan apa yang mesti dibereskan dalam ingatan kolektif Indonesia untuk dapat menjawab apa makna menjadi orang Indonesia, apa makna menjadi Indonesia. ( dari a.l. Tuisan **Bagus Takwin, ***pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam Tempo.co, JakartaSelasa, 18 Desember 2012 > * “Kesedaran sejarah”, “sense of history” , “awareness” masyarakat kita berkembang sejalan dengan meningkatnya “kesedaran dan tanggungjawab” sebagai “warganegara”. Ini nyata tampak dengan terpilihnya Jokowi dan Ahok sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Dalam kehidupan politik sehari-hari hal itu bisa disaksikan dalam kasus terpilihnya “Jokowi” dan “Ahok” sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta Raya. Mereka bukan
mantan jendral, pula bukan turunan petinggi TNI. Bukan pengusaha besar ataupun keturunan bapak-bapak penegak dan pemimpin bangsa. Sebelujmnya boleh dikata mereka itu adalah “nobodies”. Bukan “siapa-siapa”. Mereka bukan “elite” atau “celebrity”. Juga bukan tokoh-tokoh yang dibacking oleh penguasa atau konglomera ini atau itu. Bukan bos group-media atau TV! Namun, ada hal-hal yang teramat penting! Yang fundmentil yang ada pada mereka! Dan sulit ditemui pada banyak pejabat umumnya. Mereka: -- Jokowi dan Ahok, -- adalah orang-orang yang jujur, transparan, muda, giat, energetik , dan dekat dengan rakyat. Tidak korup. Punya dedikasi besar mengabdi pada masyarakat. Hal mana sudah dibuktikannya dalam praktek ketika mereka menjadi pejabat di tempat kerja sebelumnya. Itulah sebabnya mereka memperoleh kepercayaan mayoritas pemilih kota Jakarta Raya. Tidakkah INI MEMBUKTIKAN bahwa “Kesedaran”, “awareness” sebagai warga-negarqa, sebagai pemilih, telah jauh meningkat! Bukan lagi kekuasaan dan uang yang menentukan siapa uang terpilih jadi gubernur dan wakil gubernur Jakarta Raya! ***
*“*The Act of Killing”** **Karya Film Joshua OPPENHEIMER:** *Yang banyak diangkat sebagai a.l pertanda kiprahnya “awareness” tentang sejarah pelanggaran HAM berat di Indonesia, adalah tanggapan para peduli bangsa atas film yang dibuat oleh warga Amerika, ***Joshua Oppenheimer***, producer film dokumenter sekitar Peristiwa 1965, dimana aparat negara terlibat dan bergelimang dalam pembantaian masal terhadap warga tak bersalah yang PKI, dituduh PKI, yang simpatisan PKI dan mereka-mereka pendukung Presiden Sukarno. * *Joshua orang asing, dia juga adalah salah satu penccerminan “awareness” di kalangan mancanegara sekitar Periwtiwa 65. Di lain fihak Joshua adalah pelaku mancanegara yang mendorong maju “awareness”, “kesedaran sejarah” tentang Indonesia di dunia internasional..* *“*The Act of Killing” menggondol Tiga Awards ***di Berlin International Film Festival. Joshua Oppenheimer dinilai telah berhasil menampilkan tindakan-tindakan atau pengalaman manusia sesuai ajaran agama, berhasil dalam menggugah penonton pada
nilai-nilai spirituil atau nilai-nilai sosial. Film ini memperoleh perhatian internaional ketika dilayarkan di Toronto Fim Festival September tqahun lalu. Dinilai berhasil mempersentsikan suatu trgedi, dimana Anwar Congo, seorang preman (gangster) ketika ia direkrut oleh militer Indonesia ambil bagian dalam pembunuhan masalah terhadap orang-orang yang dianggap komunis atau pro/simpatisan komunis. Yang menelan korban antara 500.000 sampai dua juta jiwa orang tak bersalah,* *Dewan Juri Festival Film Berlin dalam komentarnya menyatakan a.l -- Film “Act of Killing” yang amat menggoncangkan ini, mengungkapkan pembunuhan masaal biadab yang terjadi di Indonesia tahun 1965. Dan membongkar kebiadaban kejahatan ini. Ia telah membuka luka dalam dengan suatu keyakinan bahwa adalah berfaedah untuk mengungkap kekejaman-kekejaman seperti itu.* ** * **