SEJARAH PERALIHAN HAK ATAS TANAH DI INDONESIA
Oleh : EVY INDRIASARI, SH, MH
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL 2015
Abstrak Sejarah peralihan hak atas tanah di Indonesia dapat di petakan menjadi tiga periode, yakni pertama, Peralihan Hak atas Tanah pada zaman Pendudukan yang meliputi zaman Pendudukan Belanda dan zaman Pendudukan Jepang; kedua, Periode Peralihan atau Masa Transisi, yakni zaman Kemerdekaan sebelum dibentuknya UUPA; ketiga, Periode setelah berlakunya UUPA. Sebelum berlakunya Undang-undang nomor : 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disingkat UUPA, berlaku bersamaan berbagai perangkat hukum yang mengatur tentang hukum agraria. Diantaranya, bersumber pada hukum adat yang berkonsepsi komunalistik religius, bersumber pada hukum perdata yang berkonsepsi individualistikliberal, ada yang berasal dari berbagai bekas pemerintahan swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal. Dengan berlakunya UUPA, hak-hak atas tanah yang berlaku sebelum UUPA harus dikonversi menjadi hak-hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA. Hak-hak atas tanah dalam UUPA meliputi : Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT penulis panjatkan, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul TINJAUAN YURIDIS PENGIKATAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN MENURUT KITAB UNDANGUNDANG HUKUM PERDATA. Penelitian ini merupakan salah satu bentuk Tri Dharma Perguruan Tinggi yang penulis lakukan . Perkenankanlah penulis untuk menyampaikan rasa hormat dan terimaksih kepada : 1. Prof. DR. Wahyono,S.H, MS, selaku Rektor Universitas Pancasakti Tegal 2. Bapak Mukhidin, S.H, MH selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Pancasakti Tegal 3. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu hingga selesainya penelitian ini. Penulis menyadari tidak ada yang sempurna bagi karya manusia, sehingga untuk pengembangan ilmu hukum, penulis mengharapkan adanya saran ataupun kritik untuk penelitian selanjutnya. Harapan penulis semoga penelitian ini bisa bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum.
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………...………...………...………...………….................
i
Abstrak .......................................................................................................
i
Kata Pengantar ............................................................................................
iii
Daftar Isi .....................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Perumusan Masalah ................................................................
2
C. Manfaat Penelitian ..................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
3
A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli .........................
3
B. Jual Beli Menurut Hak Adat ..................................................
4
C. Sifat Jual Beli Tanah ..............................................................
5
D. Peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ...................
8
BAB III
METODE PENELITIAN .........................................................
13
A. Paradigma Penelitian ..............................................................
13
B. Jenis Penelitian .......................................................................
14 iv
C. Sifat Penelitian ........................................................................
15
D. Metode Pendekatan ................................................................
15
E. Jenis Interprestasi Yang Digunakan Dalam Penelitian Ini .....
16
F. Sumber Data ...........................................................................
17
G. Teknik Pengumpulan Data .....................................................
18
H. Metode Pengumpulan Data Dan Bahan Hukum ....................
19
I. Metode Analisa Data Dan Bahan Hukum ..............................
19
BAB IV SEJARAH PERALIHAN HAK ATAS TANAH ..................... DI INDONESIA ........................................................................
21
A. Sejarah Peralihan Hak Atas Tanah Di Indonesia ...................
21
B. Pemindahan Hukum Melalui Jual Beli ...................................
28
C. Peralihan Hukum Melalui Lelang ..........................................
44
D. Peralihan Hak Melalui Pewarisan ..........................................
60
BAB V Simpulan ........................................................................................ 75 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
76
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Hampir seluruh kegiatan manusia memerlukan tanah. Untuk membangun rumah, bercocok tanam, beternak maupun jenis usaha lainnya. Banyaknya kebutuhan manusia akan tanah meningkat seiring dengan semakin padatnya penduduk dan beragamnya jenis usaha. Kenyataan ini mendudukan tanah pada posisi yang bernilai ekonomis cukup tinggi. Sebelum berlakunya Undang-undang nomor : 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disingkat UUPA, berlaku bersamaan berbagai perangkat hukum yang mengatur tentang hukum agraria. Diantaranya, bersumber pada hukum adat yang berkonsepsi komunalistik religius, bersumber pada hukum perdata yang berkonsepsi individualistik-liberal, ada yang berasal dari berbagai bekas pemerintahan swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal. Dengan berlakunya UUPA, hak-hak atas tanah yang berlaku sebelum UUPA harus dikonversi menjadi hak-hak atas tanah yang terdapat dalam UUPA. Hak-hak atas tanah dalam UUPA meliputi : Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai. Pelaksanaan ketentuan konversi tentunya mengikuti dari peraturan tentang pendaftaran tanah. Dalam pasal 19 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa: Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
1
Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum. Tujuan ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam penelitian ini dengan mendasar pada peraturan pemerintah nomor: 24 tahun 1997, tentang pendaftaran tanah.. Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk memilih judul Perkembangan Sejarah Peralihan Hak Atas Tanah Di Indonesia B. Perumusan Masalah Bagaimana sejarah peralihan hak atas tanah di Indonesia? C. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan tentang Perkembangan sejarah peralihan hak atas tanah di Indonesia. 2. Kegunaan Praktis Semoga hasil penelitian ini dapat lebih memberikan pemahaman tentang sejarah perkembangan hak atas tanah di Indonesia.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Peralihan Hak Atas Tanah melalui jual Beli Jual beli yang dimaksudkan disini adalah jual beli hak atas tanah. Dalam praktik disebut jual beli tanah. Secara yuridis, yang diperjual belikan adalah hak atas tanah bukan tanahnya. Memang benar bahwa tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah. Dalam perkembangannya, yang diperjual belikan tidak hanya hak atas tanah, tetapi juga Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Istilah jual beli disebut dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1960, Undang-Undang No.16 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 , Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993, Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, dan Kepmen Agraria / Kepala BPN No.21 Tahun 1994. Namun demikian, didalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan pengertian apa yang dimaksudkan dengan jual beli. Untuk memahami pengertian jual beli dapat dilihat dari dasar pembentukan Undangundang No.5 Tahun 1960 ( Hukum Agraria Nasional ), yaitu didasarkan atas hukum adat, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 5-nya , yaitu: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dan dengan peraturan perundang lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
3
B. Jual Beli Menurut Hukum Adat Dalam hukum adat tentang tanah dikenal tiga macam adol (jual), yaitu: a. Adol Plas (jual lepas) Pada adol plas (jual lepas), pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk selamalamanya kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik tanah dengan pihak lain (pembeli). b. Adol Gadai (jual gadai) Pada adol gadai (jual gadai), pemilik tanah pertanian (pemberi gadai) menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada pihak lain (pemegang gadai) sebagai uang gadai dan tanah dapat kembali kepada pemiliknya apabila pemilik tanah menebus uang gadai. c. Adol Tahunan (jual tahunan) Pada adol tahunan (jual tahunan), pemilik tanah pertanian menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam beberapa kali masa panen kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan antara pemilik tanah dengan pembeli. Setelah beberapa kali masa panen sesuai kesepakatan kedua belah pihak, tanah pertanian diserahkan kembali oleh pembeli kepada pemilik tanah. Berkenaan dengan pengertian jual beli tanah, Boedi Harsono menyatakan bahwa pengertian jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. jual beli yang mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli itu termasuk dalam hukum agraria atau hukum tanah.1 Pengertian jual beli menurut Boedi Harsono, ruang lingkup
1
Boedi Harsono II,Op.cit, hl.135
4
obyeknya terbatas hanya pada hak milik atas tanah. Dalam hukum positif, hak atas tanah yang dapat menjadi objek jual beli tidak hanya terbatas hanya pada Hak Milik, namun juga Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, maupun Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. C. Sifat Jual Beli Tanah Sifat jual beli tanah menurut Effendi Perangin, adalah:2 a. Contant atau Tunai Contant atau tunai, artinya harga tanah yang dibayar itu bisa seluruhnya, tetapi bisa juga sebagian. Tetapi biarpun dibayar sebagian, menurut hukum dianggap telah dibayar penuh. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu, jual beli menurut hukum telah selesai. Sisa harga yang belum dibayar dianggap sebagai utang pembeli kepada bekas pemilik tanah (penjual). Ini berarti, jika kemudian pembeli tidak membayar sisa harganya, maka bekas pemilik tanah tidak dapat membatalkan jual beli tanah tersebut. penyelesaian pembayaran sisa harga tersebut dilakukan menurut hukum perjanjian utang piutang. b. Terang Terang, artinya jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan kepala desa (kepala adat) yang tidak hanya bertindak sebagai saksi tetapi juga dalam kedudukannya sebagai pihak yang menanggung bahwa jual beli tanah tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku. Jual beli tanah yang dilakukan di hadapan kepala desa (kepala adat) ini menjadi “terang” bukan perbuatan hukum yang “gelap”, artinya pembeli mendapatkan pengakuan dari masyarakat yang bersangkutan sebagai pemilik tanah yang baru dan
2
Effendi Perangin,Op.cit, hl. 16
5
mendapatkan perlindungan hukum jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tanah tersebut tidak sah. Menurut Maria S. W.Sumardjono, sifat jual beli tanah menurut hukum adat, adalah:3 a. Tunai Tunai, artinya penyerahan hak atas tanah oleh pemilik tanah (penjual) dilakukan bersamaan dengan pembayaran harganya oleh pihak lain (pembeli). Dengan perbuatan hukum jual beli tersebut,maka seketika itu juga terjadi peralihan hak atas tanah. Harga yang dibayarkan pada saat penyerahan hak tidak harus lunas atau penuh dan hal ini tidak mengurangi sifat tunai tadi. Kalau ada selisih / sisa dari harga, maka hal ini dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual yang tunduk pada hukum utang piutang. b. Riil Riil, artinya kehendak atau niat yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan yang nyata menunjukkan tujuan jual beli tersebut, misalnya dengan diterimanya uang oleh penjual, dan dibuatnya perjanjian di hadapan kepala desa. c. Terang Terang, artinya untuk perbuatan hukum tersebut haruslah dilakukan di hadapan kepala desa sebagai tanda bahwa perbuatan itu tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Sebagai perbandingan, berikut ini diuraikan tentang jual beli tanah menurut Burgerlijk Wetboek (BW) . pengertian jual beli dimuat dalam Pasal 1457-nya, yaitu suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatnya dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.
3
Maria S.W.Sumardjono (Selanjutnya disebut Maria S.W.Sumardjono IV).”Aspek Teoretis Peralihan Hak Atas Tanah Menurut UUPA”, Majalah Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, No.18/X/93, Yogyakarta,1993,hl.11
6
Selanjutnya, dalam Pasal 1458-nya dinyatakan bahwa jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya,meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Khusus Jual beli tanah pada masa berlakunya Hukum Agraria Kolonial diatur dalam Overschrijving Ordonnantie Stb. 1934 Nomor 27. Jual beli tanah disini terdapat dua perbuatan hukum, yaitu: a. Perjanjian jual beli tanah dibuat dengan akta notaris atau akta dibawah tangan. Perjanjian jual beli ini, pengaturannya termasuk hukum perjanjian. Pada saat itu belum terjadi pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. b. Penyerahan yuridis (juridische levering) diselenggarakan dengan pembuatan akta balik nama di muka dan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah selaku Overschrijvings Ambtenaar. Pada saat inilah terjadi pemindahan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Jual beli tanah menurut huku adat terdapat satu perbuatan hukum, yaitu hak atas tanah berpindah dari penjual kepada pembeli pada saat dibayarnya harga tanah secara tunai (contant) oleh pembeli kepada penjual. jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan perjanjian sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1457 BW, melainkan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk memindahkan hak atas dari pemegang hak (penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan pembayaran sejumlah uang secara tunai (contant) dan dilakukan di hadapan kepala desa / kepala adat setempat (bersifat terang). Jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Sususn adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun untuk selama-lamanya oleh pemegang haknya sebagai penjual kepada pihak lain
7
sebagai pembeli, dan secara bersamaan pihak pembeli menyerahkan sejumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak sebagai harga kepada penjual. D. Peralihan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibagi menjadi dua bentuk: a. Beralih Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan. Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ini terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subjek hak), maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. b. Dialihkan / Pemindahan Hak Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun dari pemegang (subjek) haknya kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum tersebut dapat berupa jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam modal perusahaan, pemberian dengan wasiat, lelang. Dalam dialihkan / pemindahan hak di sini, pihak yang mengalihkan / memindahkan hak harus berhak dan berwenang memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
8
Pada dasarnya, objek pemindahan hak melalui jual beli adalah hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Secara rinci, objek pemindahan melalui jual beli dapat dijelaskan sebagai berikut : a.
Hak Milik Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Milik dapat diperjual belikan secara implist dimuat dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, yaitu “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Secara eksplisit, jual beli Hak Milik dimuat dalam Pasal 26 UUPA, yaitu: (1) Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatanperbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. (2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara
yang
di
samping
kewarganegaraan
Indonesia
mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk dalam Pasal 21 Ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. b.
Hak Guna Usaha Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Guna Usaha dapat diperjualbelikan secara implist dimuat dalam Pasal 28 Ayat (2) UUPA, yaitu “Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.
9
c.
Hak Guna Bangunan Dasar
hukum
yang
menetapkan
bahwa
Hak
Guna
Bangunan
dapat
diperjualbelikan secara implisit dimuat dalam Pasal 35 ayat (3) UUPA, yaitu “ Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Secara eksplisit, Hak Guna Bangunan dapat diperjualbelikan dimuat dalam Pasal 34 Ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yaitu “Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena jual beli”. Pasal 34 Ayat (7) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan”. Pasal 34 Ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan”. d.
Hak Pakai Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Pakai dapat diperjualbelikan secara implisit dimuat dalam Pasal 43 UUPA, yaitu: “Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada Pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan”. Secara eksplisit, Hak Pakai dapat diperjualbelikan dimuat dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang dalam Ayat (1)-nya dinyatakan bahwa “ Hak Pakai atas tanah negara yang berjangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Dalam Ayat (2)-nya dinyatakan bahwa “ Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian
10
Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan”. Dalam Ayat (3) huruf a-nya dinyatakan bahwa “Peralihan Hak Pakai terjadi karena jual beli”. Pasal 54 Ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang”. Pasal 54 Ayat (9) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan”. Pasal 54 Ayat (10) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 Mensyaratkan bahwa “Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan”. e.
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat diperjualbelikan secara implisit dimuat dalam Pasal 10 Undang-Undang No.16 Tahun 1985, yaitu “Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3) dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan diKantor Agraria Kabupaten atau Kota madya yang bersangkutan menurut peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun1960”. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat diperjualbelikan oleh pemegang haknya kepada pihak lain dibangun di atas tanah Hak Mili, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara, dan tanah Hak Pengelolaan. Tidak semua hak atas tanah dapat diperjualbelikan oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Hak atas tanah yang tidak dapat dialihkan berupa diperjualbelikan oleh pemegang haknya
11
kepada pihak lain, adalah Hak Pakai atas tanah negara yang diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu, yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan Internasional, Badan Keagamaan, dan Badan Sosial. (Penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996).
12
BAB III METODE PENELITIAN A. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian dari aspek ontologi hukum, hakekat hukum sesuai dengan aliran filsafat hukum, menggunakan aliran positivisme hukum. Aliran positivisme hukum memaknai hakekat hukum adalah norma-norma positif dalam sistem perundangundangan suatu negara. Dengan demikian bagi aliran positivisme hukum, peraturan perundang-undangan merupakan aturan hukum positif. Dalam kepustakaan hukum, pandangan yang berpendapat bahwa tidak ada hukum diluar peraturan perundangundangan dinamakan paham “legisme” atau “legalisme”.4 Dari aspek aksiologi hukum, ajaran tentang nilai hukum dikaitkan dengan tujuan hukum, maka mengikuti aliran hukum alam, karena senatiasa membebaskan diri dari keterikatan waktu (kekinian), ruang (ke), dalam mana hukum dipandang berlaku universal dan abadi, maka “aksiologi hukum” sebagai nilai abadi dari hukum adalah “keadilan” yang juga bersifat abadi (eternal justice). Bahkan pada tataran yang paling konkret nanti akan muncul hukum buatan manusia (lex humana) harus bersumber pada hukum alam, maka aspek aksiologi hukum tetap pada “keadilan”.5 Selanjutnya aliran positivisme hukum, aspek aksiologis diperjuangkannya nilai “kepastian hukum”, dengan sumber hukum formal berupa Peraturan Perundangundangan. Hal itu dapat diwujudkan melalui asas legalitas yang merupakan spirit dari positivisme hukum. 6 W. Friedman mengemukakan dari segi nilai hukum (aspek aksiologi) demokrasi modern dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) unsur : 4
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum , Dimensi Tematis dan Historis, Setara Pres, Malang, 2013, hl.12-13 Sidharta;Op.cit.: 239, dalam bukunya I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum , Dimensi Tematis dan Historis, Setara Pres, Malang, 2013, hl.16 6 Ibid hl. 17, I Dewa Gede Atmadja. 5
13
1. The legal rights of the individual (hak hukum individu), intinya kebebasan individu 2. Equality before the law (persamaan di depan hukum), intinya kesetaraan individu dimata hukum. 3. The control of government by the people (kontrol oleh rakyat terhadap pemerintah), intinya pemerintahan oleh rakyat. 4. The rule of law (negara hukum).7 B. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan Perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan-bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; atau data tertier. 1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari : a. Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. b. Peraturan Dasar. Batang Tubuh Undang- undang Dasar 1945 Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. c. Peraturan Perundang-undangan Undang-undang dan Peraturan yang setaraf Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf. Keputusan Menteri dan Peraturan yang setaraf Peraturan-peraturan Daerah.
7
Ibid, hl. 18, I Dewa Gede Atmadja.
14
d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat. e. Yurisprudensi 2. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum, ensiklopedia).8 C. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), deskriptif. Penelitian yang bersifat eksploratif bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, atau untuk mendapatkan ide-ide baru mengenai gejala itu, diantaranya penelitian identifikasi hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis).9 Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukkan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini, kadang-kadang berawal dari hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat membentuk teori-teori baru atau memperkuat teori yang sudah ada, dan dapat menggunakan data kualitatif atau kuantitatif.10 D. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan
perundang-undangan ( Statue
Approach), Historis (Historical approach), konseptual (Conseptual Approach) dan perbandingan hukum. Pendekatan
Perundang-undangan
dilakukan
dengan
menelaah
(dengan
cara
interprestasi) materi muatan semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum. Yang ditelaah : 8
Amirudin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hl.118-119 9 Ibid, Amirudin, Zainal Asikin, hl.25 10 Ibid, Amirudin, Zainal Asikin,hl.26
15
a. Dasar ontologis lahirnya undang-undang. b. Landasan filosofis undang-undang. c. Ratio legis dari ketentuan undang-undang.11 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang nomor 12 tahun 2011, hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia adalah sebagai berikut :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
Ketetapan Majelis Permusyawaratan rakyat
Undang-undang
Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah Provinsi.
E. Jenis interprestasi yang digunakan dalam penelitian ini : 1) Interprestasi historis, makna ketentuan undang-undang dilacak dari segi lahirnya ketentuan tersebut.12 2.1 Pendekatan Historis Dilakukan dalam kerangka pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu sehingga dapat memahami perubahan dan perkembanganfilosofi yang mendasari aturan hukum tersebut.13 2.2 Pendekatan Konsep Dilakukan ketika peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada, karena belum ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Peneliti harus membangun
11
Gunarto, Penelitian Hukum Disertasi, UNISULLA Ibid, Gunarto, Penelitian Hukum Disertasi, UNISULLA 13 Ibid, Gunarto, Penelitian Hukum Disertasi, UNISULLA 12
16
konsep/prinsip hukum untuk dijadikan acuan di dalam penelitiannya. Prinsipprinsip hukum dapat ditemukan dalam :
a) Pandangan-pandangan sarjana b) Doktrin c) Undang-undang.14 Macam-macam konsep hukum yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal, tipe kajiannya adalah filsafat hukum, menggunakan
metode penelitian
logika deduksi, berpangkal dari premis normatif yang diyakini bersifat “ self evident” 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan hukum nasional, tipe kajiannya adalah ajaran hukum murni yang mengkaji “ law as it is written in the books”
menggunakan metode penelitian doktrinal, bersaranakan
terutama logika deduksi untuk membangun sistem positif
dan berorientasi
positivistis.15 F. Sumber Data Dalam Penelitian ini sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; atau data tersier. 1. Bahan hukum primer , yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari: a. Norma atau kaidah dasar: Pancasila Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. b. Peraturan Dasar. 14 15
Ibid, Gunarto, Penelitian Hukum Disertasi, UNISULLA Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hl.10
17
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 c. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat d. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang / Perpu Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Keputusan Menteri Peraturan-peraturan Daerah. e. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat, Yurisprudensi, Traktat. f. Bahan hukum jaman kolonial sampai sekarang masih berlaku, contoh : KUH Perdata, KUHD16 2.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
3.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum), ensiklopedia.
G. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan cara : a. Observasi penelitian b. Wawancara c. Pengamatan terlibat Untuk mendapatkan data sekunder dengan cara studi pustaka dan studi dokumen. 16
Indrati Rini, Metodologi Penelitian Hukum Untuk Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung , Semarang, 2013, Diktat Kuliah.
18
H. Metode Pengumpulan Data dan Bahan Hukum. Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data : Studi kepustakaan Observasi/ pengamatan Interview/ wawancara Observasi yaitu, pengamatan secara sengaja dan sistematis terhadap gejala fenomena sosial dalam kenyataan, secara cermat dan tepat, kemudian dicatat dan diolah sesuai masalah yang diteliti. Sedangkan wawancara sebagai proses tanya jawab, antara dua orang atau lebih yang bertemu secara fisik dan lisan.17 Studi kepustakaan atau studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun yang sosiologis), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dalam penelitian ini meliputi studi bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. I.
Metode Analisa Data dan Bahan Hukum Salah satu cara yang telah dikembangkan oleh FH-Ui sejak pertengahan tahun 1980-an melalui Pusat Dokumentasi Hukumnya adalah Tabel Penunjuk Inti Sari ( TAPIS). TAPIS adalah alat dokumentasi hukum untuk menelusuri rangkaian hubungan, yaitu pelaksanaan serta status suatu ketentuan hukum. Dengan demikian, melalui TAPIS dapat diketahui sejauhmana hubungan atau keterkaitan antara satu peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya; atau suatu konsep hukum yang termuat dalam suatu pasal dengan pasal lainnya. Disamping itu, dengan TAPIS peneliti dapat memperoleh manfaat sebagai berikut :
17
Ibid, Indrati Rini
19
a. Dapat dicari latarbelakang suatu kebijaksanaan di bidang hukum. b. Digunakan sebagai sarana temu kembali peraturan dengan jalan meninjau kembali bahan hukum yang ada. c. Melihat sejauhmana suatu peraturan diingat, dipertimbangkan, dicabut, diubah, ditambah dan sebagainya oleh peraturan lainnya. d. Menyajikan gambaran yang menyeluruh mengenai suatu peraturan maupun pokok kebijaksanaan yang bersangkutan dengannya akan dapat diuraikan dengan jelas serta mudah diikuti, Kegiatan “penapisan” bahan hukum merupakan kegiatan pengumpulan dan penyusunan konsep-konsep hukum atau pasal-pasal suatu peraturan yang sama yang dimuat dalam satu atau berbagai peraturan.18
18
Op.cit, Amirudin, Zainal Asikin, hl.69-70
20
BAB IV Sejarah Peralihan Hak atas Tanah di Indonesia
A. Sejarah Peralihan Hak atas Tanah di Indonesia Sejarah peralihan hak atas tanah di Indonesia dapat di petakan menjadi tiga periode, yakni pertama, Peralihan Hak atas Tanah pada zaman Pendudukan yang meliputi zaman Pendudukan Belanda dan zaman Pendudukan Jepang; kedua, Periode Peralihan atau Masa Transisi, yakni zaman Kemerdekaan sebelum dibentuknya UUPA; ketiga, Periode setelah berlakunya UUPA. 1) Jaman Pendudukan atau Masa Penjajahan Selama masa pemerintahan penduduk atau pada masa penjajahan, berlakunya hukum di Indonesia sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh pemerintahan penjajah, termasuk berlakunya hukum agraria. Konsep penerapan hukum semata-mata untuk mengakomodir
kepentingan
penjajah
dengan
mengesampingan
kepentingan-
kepentingan bangsa pribumi, sehingga terkesan bahwa hukum hanya berlaku bagi bangsa pribumi. Hal ini membawa konsekuensi dan pengaruh juga terhadap hukum pertanahan yang di dalamnya terkait dengan system peralihan hak atas tanah. Meskipun kondisi seperti ini kemudian menjadikan pembelajaran dan pengalaman bagi bangsa Indonesia dalam system pertanahan. Pada periode pendudukan dapat dicermati dengan adanya dua sistem peralihan hak atas tanah, yakni pada jaman pendudukan Belanda dan jaman pendudukan Jepang. Pada jaman pendudukan Belanda berlaku sistem hukum yang sangat pluralistis, karena selama masa penjajahan Belanda berlaku beberapa system hukum, seperti hukum adat, hukum perdata, hukum pidana formil maupun hukum pidana materiil dan ordonansi-ordonansi yang diberlakukan bagi orang pribumi maupun orang Timur
21
Asing. Di sisi lain ada hukum di Indonesia yang khusus diberlakukan bagi bangsa pribumi. Dua sistem hukum tersebut, yaitu Hukum Adat dan Hukum Barat yang diberlakukan secara bersama-sama dalam dalam satu pemerintahan. Pluralisme dan kemajemukan sistem hukum yang diterapkan tersebut membawa dampak dan konsekuensi terhadap hukum agraria, yakni ada tanah-tanah yang tunduk pada hukum agraria Barat, sehingga dalam praktek terjadi perbedaan peraturan mengenai peralihan hak atas tanah. Menurut J. Kartini Sudjendro, beberapa tanah yang tunduk pada hukum agraria adat tersebut, antara lain: tanah-tanah ulayat, tanah milik (yasan), tanah usaha dan tanah gogolan, sedangkan tanah yang tunduk pada hukum agraria Barat, antara lain: tanah hak eigendom, tanah hak erfpacht, dan tanah hak opstal.19 Peralihan hak yang tunduk pada hukum adat terdapat dua hal penting untuk dicermati, yakni20: a. Peralihan hak harus bersifat kontan dan terang, maksudnya penjual menyerahkan barang sesuai harga yang telah disepakati dan langsung menerima uang, sedangkan pembeli langsung menerima barangnya, dan proses tersebut harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang dengan disaksikan beberapa orang saksi; b. Adanya jaminan dari kepala suku / masyarakat hukum / desa agar hak-hak ahli waris, para tetangga (buren recht) dan sesama anggota suku (naastings recht) tidak dilanggar apabila tanah haknya akan dialihkan, baik dijual lepas, dijual tahunan atau dijual gadai. Apabila transaksi atau peralihan hak atas tanah tidak ada dukungan (jaminan) dari kepala suku / masyarakat hukum / desa, maka perbuatan
19
J.Kartini Soedjendro,2005,Perjanjian Peralihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, cetakan ke 5,2005,hl.49, dalam bukunya J. Andy Hartanto,Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya,Laksbang Justitia,Surabaya,2011,hl.69 20 Lihat dan Bandingkan dengan ibid,hl.50
22
tersebut dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak terang, tidak sah dan tidak berlaku mengikat bagi pihak ketiga. Selanjutnya untuk peralihan hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Agraria Barat, perpindahan hak atau balik nama harus melalui overschrijving ambtenaar. Proses balik nama dilakukan setelah terjadi transaksi jual beli di hadapan Notaris atau badan / pejabat lain yang disamakan, baru kemudian diberalihnya hak lewat overschrijving ambtenaar. Dengan demikian dapat ditarik suatu pemahaman bahwa sepanjang masa penduduk Belanda ketentuan mengenai peralihan hak atas tanah di Indonesia didasarkan pada Hukum Agraria Adat, Hukum Agraria Barat, dan atau Agrarische wet 1870. Pada jaman penduduk Jepang, tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum pertanahan. Satu-satunya yang mengatur tentang tanah adalah Undang-undang No.17 Tahun 2602 (1942) yang berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 Juni 1942. Hukum pertanahan yang berlaku pada masa pendudukan Jepang menggunakan hukum yang berlaku pada masa penduduk Belanda, yakni terhadap tanah hak Barat berlaku hukum tanah Barat, dan terhadap tanah adat berlaku hukum tanah adat, hal ini mencakup prosedur dan tata cara peralihan hak atas tanah. 2) Periode Masa Transisi Pada masa peralihan ini berlakunya hukum di Indonesia dipengaruhi dan ditentukan berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menyebutkan: “ Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini “. Namun demikian ada kebijakan yang mengatakan bahwa hanya hukum yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sajalah yang tetap boleh dianggap berlaku. Dengan demikian hukum tentang pertanahan dan termasuk
23
peralihan hak atas tanah masih menggunakan hukum yang berlaku pada masa pendudukan, kecuali yang nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. Pada masa transisi ini dilakukan beberapa upaya memperbaiki peraturan tentang tanah dan peralihan hak atas tanah. Upaya-upaya dimaksud melalui tiga kegiatan, antara lain: 1. Menggunakan tafsir yang sesuai dengan keadaan; 2. Mencabut peraturan yang tidak sesuai dengan negara merdeka; dan 3. Perubahan dan penambahan peraturan baru yang diperlukan.21 3) Periode Setelah Terbentuknya UUPA. Setelah dibentuknya UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA, maka semua transaksi tanah dan diperalih hak atas tanah diatur dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Lahirnya UUPA sebagai hasil politik agraria, dimana semua ketentuan yang diberlakukan pada masa pendudukan dan masa peralihan diganti dengan hukum agrarian baru. Oleh karena itu setelah berlakunya UUPA, maka segala peralihan hak atas tanah mengikuti segala ketentuan dan prosedur yang diatur dalam UUPA serta Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah khususnya yang merumuskan dalam pasal19 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. PP No.10 Tahun 1961 tersebut kemudian diganti dengan PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang isinya menyempurnakan ketentuan yang ada dalam peraturan sebelumnya. Setelah dibentuk UUPA, dualisme dalam hukum pertanahan dihapus dengan dasar kesatuan hukum dan antidualisme, karena sifat dualisme hukum yang terjadi merupakan akibat dari politik pemerintahan penjajah. Oleh karena itu semua peralihan
21
J. Andy Hartanto ,Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya,Laksbang Justitia ,Surabaya,2011,hl.71
24
hak atas tanah dilakukan oleh pejabat yang berwenang, yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Melihat sejarah singkat peralihan hak atas tanah tersebut, terdapat beberapa perbedaan yang mendasar , khususnya yang berkaitan dengan prosedur peralihan hak atas tanah. Hal ini dipengaruhi oleh pluralistiknya peraturan tentang pertanahan dan dualisme sistem hukum. Oleh karena ketentuan-ketentuan baru telah dibentuk dan ketentuan lama telah dihapuskan, maka secara konseptual hukum positif yang berlaku sebagai pedoman dalam peralihan hak atas tanah di Indonesia. Peralihan hak atas tanah di Indonesia yang lebih umum dilakukan oleh masyarakat adalah dengan cara jual beli. Konsep jual beli tanah tidak dapat terlepaskan dari konsep jual beli secara umum yang diatur dalam hukum perdata (Privaatrecht). Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dalam Bab Kelima memberi konsep tentang jual beli. Menurut pasal 1457 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Dilihat dari rumusan tentang jual beli tersebut, proses jual beli melibatkan dua subyek hukum, yakni penjual dan pembeli. Penjual selaku pihak yang menyerahkan barang dan pembeli selaku pihak yang membayar dan menerima barang. Pada unsur sebaliknya penjual sebagai pihak penerima uang dan pembeli sebagai penerima barang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan atau disetujui bersama. Dengan demikian, masing-masing pihak, yaitu penjual dan pembeli, dituntut adanya pemenuhan hak dan kewajiban. 3. Proses Peralihan Hak Atas Tanah Dilihat dari sudut pandang konsep kepemilikan, maka bagi pihak yang secara hukum memiliki hak atas tanah, baik yang telah didaftarkan maupun belum
25
didaftarkan dapat mengalihkan hak atas tanah yang dimilikinya. Mengalihkan hak atas tanah, maksudnya memindahkan hak atas tanah yang dimiliki kepada pihak lain, dengan pemindahan dimaksud, maka haknya akan berpindah. Hak (right) yang dimaksud, adalah hubungan hukum yang melekat sebagai pihak yang berwenang atau berkuasa untuk melakukan tindakan hukum. Didalam terminologi hukum katakata “right” diartikan hak yang legal, atau dasar untuk melakukan sesuatu tindakan secara hukum. 22 Secara yuridis, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui beberapa proses, antara lain23 : 1. Jual beli 2. Hibah 3. Tukar menukar 4. Pemisahan dan pembagian biasa 5. Pemisahan dan pembagian harta warisan 6. Penyerahan hibah dan wasiat 7. Hipotik 8. Credit verband. Didalam perkembangannya dapat terjadi karena adanya hak tanggungan dan wakaf. Menurut peraturan Menteri Agraria No.14 Tahun 1961 pasal 1 menentukan, bahwa: “ pemindahan hak, ialah jual beli termasuk pelelangan di muka umum, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk mengalihkan sesuatu hak atas tanah kepada pihak lain ”. 22
I.P.M. Ranuhandoko,2000,Terminologi Hukum Inggris-Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta,Cetakan Kedua, hl. 487, dalam bukunya J.Andi Hartanto ,Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar Hak Atas Tanahnya,Laksbang Justitia,Surabaya,2011,hl.73 23 Lihat dalam Soetomo,Op.Cit,hl.16
26
Terkait dengan pemindahan atau peralihan hak atas tanah, dilihat dari karakteristik hak dan proses peralihan haknya, memiliki unsur hukum berbeda, terutama yang terkait dengan syarat formil dan materiil, prosedur, maupun mekanisme yang sangat ditentukan oleh sifat atau keadaan subyek dan obyek hak. Namun demikian syarat utama adalah harus adanya alat bukti hak atas tanah, yakni bukti kepemilikan secara tertulis (formil) yang berupa “sertifikat” (untuk tanah yang telah didaftarkan), maupun “bukti pendukung” (untuk tanah yang belum didaftarkan atau belum bersertifikat). Bukti dimaksud dapat berupa: akta jual beli, hibah, fatwa waris, surat keputusan pemberian hak atas tanah dan bangunan, dan lain-lain. Hal tersebut untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum atas kepemilikan tanah, sehingga peralihan hak atas tanah tersebut memenuhi syarat legalitas menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peralihan hak atas tanah menurut yuridis dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota) . langkah tersebut terkait erat dengan prosedur peralihan hak atas tanah, karena prosedur menentukan legalitas dari peralihan hak. Dengan demikian legalitas peralihan hak atas tanah sangat ditentukan oleh syarat formil maupun materiil, prosedur dan kewenangan pejabat untuk bertindak. Prosedur hukum beralihnya suatu hak atas tanah dapat ditelusuri baik sebelum maupun setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Didalam pasal 19 PP No.10 Tahun 1961 sebagai aturan pelaksanaan UUPA disebutkan, bahwa “ Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapkan Pejabat yang ditunjukan oleh Menteri Agraria”. Menurut ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa peralihan hak atas
27
tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat PPAT. Dengan demikian ada unsur absolute yang harus dipenuhi dalam mengalihkan hak atas tanah, yakni adanya akte peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT. B. PEMINDAHAN HAK MELALUI JUAL BELI 1. Istilah Jual Beli dalam Peraturan Perundang-undangan Istilah jual beli dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan, yaitu: a. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) ----------------------------------------------- Pasal 26 ---------------------------------------------(1) Jual Beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan peraturan pemerintah. (2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan Hak Milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesia-nya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk dalam Pasal 21 Ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
28
b. Undang-Undang No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun ---------------------------------- Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) --------------------------------Yang dimaksudkan “pewarisan” adalah peralihan hak yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pewaris. Adapun “pemindahan hak” adalah perbuatan hukum yang dilakukan untuk mengalihkan hak kepada pihak lain, seperti antara lain jual beli, tukar – menukar, dan hibah. c. Peraturan Pemerintah No.40 Tahun1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. ---------------------------------- Pasal 16 Ayat (2) huruf a ------------------------------------Peralihan Hak Guna Usaha terjadi dengan cara jual beli. ---------------------------------
Pasal 34 Ayat (2) huruf a -------------------------------------
Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi dengan cara jual beli. ----------------------------------- Pasal 54 Ayat (3) huruf a ------------------------------------Peralihan Hak Pakai terjadi karena Jual beli. d. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ---------------------------------- Pasal 37 --------------------------------------------------------(1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh menteri, kKepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah hak
29
milik, yang dilakukan diantara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. e. Keputusan Presiden No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. ------------------------------------------- Pasal 23 -----------------------------------------------Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari satu hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli, tukar – menukar, atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. f. Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi Pelaksanaan pembangunan untuk Kepentingan Umum --------------------------------------
Pasal 20 ------------------------------------------------
Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari satu hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar – menukar, atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. g. Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kepmen Agraria / Kepala BPN) No.21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah bagi Perusahaan dalam Rangka Penanaman Modal. -------------------------------------
Pasal 3 --------------------------------------------------
(1) Perolehan tanah dalam rangka pelaksanaan izin lokasi dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atas tanah atau melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan pemberian hak.
30
(2) Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah yang sama jenisnya dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dengan ketentuan bahwa apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan untuk kemudian dimohon hak sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Perolehan hak melalui penyerahan atau pelepasan hak apabila tanah yang diperlukan dipunyai dengan Hak Milik atau hak lain yang tidak sesuai dengan jenis hak yang diperlukan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya, dengan ketentuan bahwa jika yang diperlukan adalah tanah dengan Hak Guna Bangunan, maka apabila perusahaan yang bersangkutan menghendaki, perolehan tanahnya dapat dilakukan melalui pemindahan hak dengan mengubah hak atas tanah tersebut menjadi Hak Guna Bangunan menurut ketentuan dalam keputusan ini. (4) Jika perolehan tanah dilakukan dengan pemindahan hak dengan terlebih dahulu mengubah hak yang bersangkutan menjadi Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (3), maka untuk kepentingan para pihak, sebelum pembuatan akta jual beli Hak Guna Bangunan oleh PPAT,dapat dilakukan penguasaan tanah dengan membayar harga yang disepakati, yang dituangkan dalam suatu perjanjian dengan menggunakan formulir sesuai Lampiran I keputusan ini sebagai contoh atau dengan cara lain yang disepakati oleh kedua belah pihak. 2. Prosedur Pendaftaran Pemindahan Hak Melalui Jual Beli Syarat sahnya jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun untuk kepentingan pendaftaran pemindahan haknya ada dua, yaitu:
31
a. Syarat Materiil Pemegang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun berhak dan berwenang menjual hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susunnya, dan pembeli harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi objek jual beli. Uraian tentang syarat materiil dalam jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat dijelaskan sebagai berikut: i.
Bagi penjual Penjual berhak dan berwenang menjual hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susunnya. a) Yang berhak menjual adalah orang yang namanya tercantum dalam sertifikat atau selain sertifikat. b) Seseorang berwenang menjual tanahnya kalau dia sudah dewasa. c) kalau penjualnya belum dewasa, maka dia diwakili oleh walinya. d) Kalau penjualnya dalam pengampunan, maka dia diwakili oleh pengampunya. e) Kalau penjualnya diwakili oleh orang lain sebagai penerima kuasa, maka penerima kuasa menunjukkan surat kuasa notariil. f) Kalau hak atas tana atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijual adalah harta bersama, maka penjualnya harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari suami atau istri.
ii.
Bagi Pembeli Pembeli memenuhi syarat sebagai subjek hak dari hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi objek jual beli.
32
1. Kalau objek jual beli itu tanah Hak Milik, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia, bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial. 2. Kalau objek jual beli itu tanah Hak Guna Usaha, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia,badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 3. Kalau objek jual beli itu tanah Hak Guna Bangunan, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia,badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 4. Kalau objek jual beli tanah itu adalah Hak Pakai, maka pihak yang dapat membeli tanah adalah sunjek Hak Pakai yang bersifat privat,yaitu perseorangan warga negara Indonesia, perseorangan warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. b. Syarat Formal Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Syarat jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24c Tahun 1997, yaitu “ peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta
33
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Syarat formal dalam jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tidak Mutlak Harus dibuktikan dengan akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat mendaftar pemindahan haknya meskipun tidak dibuktikan dengan akta PPAT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 37 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, yaitu “dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftarkan pemindahan hak atas bidang tanah Hak Milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan”. Atas dasar ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menunjukkan bahwa untuk kepentingan pendaftaran pemindahan hak kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota , jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun harus dibuktikan dengan akta PPAT. Dalam keadaan tertentu, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dapat mendaftar pemindahan hak atas tanah bidang tanah Hak Milik, para pihaknya (penjual dan pembeli) perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Keharusan akta jual beli dibuat oleh PPAT tidak hanya pada hak atas tanah yang telah terdaftar (telah bersertifikat) atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, namun juga pada hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
34
Kalau jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) dan tujuan tidak untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka jual belinya dapat dibuat dengan akta dibawah tangan (bukan oleh PPAT). Dalam praktiknya, jual beli hak atas tanah ini dibuat dengan akta di bawah tangan oleh para pihak yang disaksikan oleh kepala desa/kepala kelurahan setempat di atas kertas bermaterai secukupnya. Dengan telah dibuatnya akta jual beli ini, maka pada saat itu telah terjadi pemindahan hak dari pemegang hak sebagai penjual kepada pihak lain sebagai pembeli. Jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) dan tujuannya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui pendaftaran tanah secara sporadis, maka jual belinya harus dibuat dengan akta PPAT. Sejak berlaku efektif Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tanggal 8 Oktober 1997, jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) yang tidak dibuat dengan akta PPAT, maka permohonan pendaftaran tanah dalam pendaftaran tanah secara sporadis ditolak oleh Kantor Kepala Pertanahan Kabupaten/Kota. Agar permohonan pendaftaran tanah dalam pendaftaran tanah secara sporadis dikabulkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka dilakukan jual beli ulang oleh penjual dan pembeli yang dibuat dengan akta PPAT. PPAT yang berwenang membuat akta jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,adalah: 1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. (Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah) 2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara
35
Adalah pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya (kepala kecamatan) untuk melaksanakan tugas PPAT dengan akta membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. (Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998) Khusus jual beli tanah Hak Guna Usaha, akta jual belinya dibuat oleh PPAT Khusus. PPAT Khusus menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998, adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Berkenaan dengan tugas PPAT Khusus, A.P Parlindungan menyatakan PPAT Khusus yaitu pejabat dilingkungan Badan Pertanahan Nasional terutama untuk pembuatan akta peralihan hak-hak atas tanah yang berstatus Hak Guna Usaha.24 Dengan telah dibuatnya akta jual beli oleh PPAT, maka pada saat itu telah terjadi pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susunan dari pemegang haknya sebagai penjual kepada pihak lain sebagai pembeli. Namun, pemindahan hak tersebut hanyalah diketahui oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli), pihak ketiga tidak mengetahui tentang adanya jual beli tersebut. agar pihak ketiga mengetahuinya, maka jual beli tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat karena pendaftaran tanah mempunyai sifat terbuka. Dengan pendaftaran pemindahan hak ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka terpenuhilah asas publisitas dalam pendaftaran tanah, yaitu setiap orang dapat mengetahui data fisik berupa letak, ukuran, batas-batas tanah, dan data yuridis berupa subjek hak, status hak, dan pemindahan hak atas tanah atau Hak 24
A.P.Parlindungan I, Op.cit ,hl 178, dalam bukunya Urip Santoso,Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,Kencana,Jakarta,2010,hl.371
36
Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Tahapan-tahapan dalam pendaftaran pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota,adalah sebagai berikut: 1. Persiapan Pembuatan Akta Persiapan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 100 Peraturan Menteri Negara Agraria
/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen
Agraria/Kepala BPN) No.3 Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat mengenai kesesuaian sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan
dengan
daftar-daftar
yang
ada
di
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat dengan memperlihatkan sertifikat asli. Pemeriksaan sertifikat dilakukan untuk setiap pembuatan akta oleh PPAT, dengan ketentuan bahwa untuk pembuatan akta pemindahan hak atas bagianbagian tanah hak induk dalam rangka pemasaran hasil pengembangan oleh perusahaan real estate, kawasan industri dan pengembangan sejenis cukup dilakukan pemeriksaan sertifikat tanah induk satu kali, kecuali apabila PPAT yang bersangkutan menganggap perlu pemeriksaan sertifikat ulang. Apabila sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang diperiksakan sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan
37
Kabupaten/Kota setempat, maka Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk membubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat: “ Telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di Kantor Pertanahan” pada halaman perubahan sertifikat asli kemudian diparaf dan diberi tanggal pengecekan”. Pada halaman perubahan buku tanah yang bersangkutan dibubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat: “PPAT ... (nama PPAT yang bersangkutan ... telah minta pengecekan sertifikat” kemudian diparaf dan diberi tanggal pengecekan. Apabila sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang diperiksakan tersebut ternyata tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan, maka diambil tindakan sebagai berikut: a. Apabila sertifikat tersebut bukan dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka pada sampul dan semua halaman sertifikat tersebut dibubuhkan cap atau tulisan dengan kalimat: “ Sertifikat ini tidak diterbitkan oleh Kantor Pertanahan...............” kemudian paraf. b. Apabila sertifikat tersebut adalah dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, akan tetapi data fisik dan/atau data yuridis yang tercatat dalam buku tanah dan/atau surat ukur yang bersangkutan, kepada PPAT yang bersangkutan diterbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sesuai dengan data yang tercatat di Kantor Pertanahan dan pada sertifikat yang bersangkutan tidak dicantumkan sesuatu tanda. Sertifikat yang sudah diperiksakan kesesuaiannya dengan daftar-daftar di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tersebut dikembalikan kepada PPAT yang bersangkutan. Pengembalian sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dilakukan pada hari yang sama dengan hari pengecekan.
38
Penerbiatan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dilakukan selambatlambatnya dalam tujuh hari kerja terhitung dari hari pengecekan. Untuk membuat akta jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan mendaftarnya tidak diperlukan izin pemindahan hak, kecuali dalam hal sebagai berikut: a. Jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang didalam sertifikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang. b. Jual beli Hak Pakai atas tanah negara. Dalam hal izin pemindahan hak diperlukan, maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta jual beli yang bersangkutan dibuat. Izin pemindahan hak yang diperlukan dianggap sudah diperoleh untuk pemindahan hak yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Izin Lokasi atau pemasaran hasil pengembangan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai induk oleh perusahaan real estate, kawasan industri atau pengembangan lain yang sejenis. Sebelum dibuatkan akta jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, calon penerima hak (calon pembeli) harus membuat pernyataan yang menyatakan: a. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
39
b. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut perundang-undangan yang berlaku. c. Bahwa
yang
bersangkutan
menyadari
bahwa
apabila
pernyataan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b tersebut tidak benar, maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi objek land reform; dan d. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, PPAT berwenang menolak untuk membuat akta jual beli, jika: a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak atas tanah yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. b. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan jual beli atau saksinya tidak berhak atau memenuhi syarat untuk bertindak dalam jual beli. c. Salah satu atau para pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. d. Untuk jual beli yang akan dilakukan belum diperoleh izin pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Objek jual beli yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan / atau data yuridis ; dan f. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
40
Penolakan untuk membuat akta jual beli tersebut diberitahukan oleh PPAT secara tertulis kepada pihak-pihak yang bersangkutan beserta alasannya. 2. Pelaksanaan Pembuat Akta Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan (penjual dan pembeli) atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat kuasa bagi penjual harus dengan akta notaris, sedangkan surat kuasa bagi pembeli boleh dengan akta dibawah tanah. Dokumen yang diserahkan penjual kepada PPAT dalam pembuatan akta jual beli ini adalah fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), fotokopi Kartu Keluarga, Surat Nikah, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan. Dokumen yang diserahkan pembeli kepada PPAT dalam pembuatan akta jual beli ini adalah fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), fotokopi Kartu Keluarga, Surat Nikah. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua saksi yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yangmemberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumendokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. PPAT wajib membacakan akta jual beli kepada para pihak yang bersangkutan ( penjual dan pembeli ) dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran pemindahan haknya. Akta PPAT dibuat sebanyak dua lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu lembar disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan
41
Kabupaten / Kota setempat untuk keperluan pendaftaran, sedangkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli) diberi salinannya. 3. Pendaftaran Pemindahan Hak PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat,
selambat-lambatnya
tujuh
hari
kerja
sejak
ditandatanganinya akta yang bersangkutan. Dokumen-dokumen yang diserahkan oleh PPAT dalam rangka pendaftaran pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, adalah : a. Surat permohonan pendaftaran pemindahan hak yang ditandatangani oleh penerima hak (pembeli) atau kuasanya; b. Surat kuasa tertulis dari penerima hak ( pembeli ) apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran pemindahan hak bukan penerima hak (pembeli); c. Akta jual beli oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkuatn; d. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak (penjual); e. Bukti identitas pihak yang menerima hak (pembeli); f. Sertifikat hak atas tanah asli yang dialihkan (dijualbelikan); g. Izin pemindahan hak bila diperlukan; h. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dalam hal bea tersebut terutang; dan i. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh), dalam hal pajak tersebut terutang.
42
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota wajib memberikan tanda penerimaan atas penyerahan permohonan pendaftaran pemindahan hak beserta akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang dilampirkan yang diterimakan kepada PPAT yang bersangkutan. PPAT yang bersangkutan memberitahukan kepada penerima hak (pembeli) mengenai telah diserahkannya permohonan pendaftaran pemindahan hak ke Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kota
setempat
dan
menyerahkan
tanda
penerimaan tersebut kepada penerima hak (pembeli). Pengurusan penyelesaian permohonan pendaftaran pemindahan hak selanjutnya dilakukan oleh penerima hak atau PPAT atau pihak lain atas nama penerima hak (pembeli). Pencatatan pemindahan hak dalam buku tanah, sertifikat, dan daftar lainnya dilakukan sebagai berikut: a. Nama pemegang hak lama (penjual) di dalam buku tanah dicoret dengan tinta hitam dan dibubuhi paraf Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. b. Nama atau nama-nama pemegang hak yang baru (pembeli) dituliskan pada halaman dan kolom yang ada dalam buku tanahnya dengan dibubuhi tanggal pencatatan, dan kemudian ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat atau pejabat yang ditunjuk dan cap dinas Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Apabila pemegang hak baru (pembeli) lebih dari satu orang dan hak tersebut dimiliki bersama,maka untuk masing-masing pemegang hak dibuatkan daftar nama dan dibawah nomor hak atas tanahnya diberi garis dengan tinta hitam. 4. Penyerahan Sertifikat
43
Sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang telah diubah nama pemegang haknya dari pemegang hak yang lama sebagai penjual menjadi pemegang hak yang baru sebagai pembeli oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, kemudian diserahkan kepada pemohon pendaftaran pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui pembeli, atau kuasanya. C. PERALIHAN HAK MELALUI LELANG 1. Istilah Pengaturan Lelang dalam Peraturan Perundang-undangan Istilah Lelang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan, yaitu: a. Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. ------------------------------ Pasal 16 Ayat (4) ---------------------------------------------Peralihan Hak Guna Usaha karena jual beli, kecuali lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. ----------------------------- Pasal 16 Ayat (5) ------------------------------------------------Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang. ----------------------------- Pasal 34 Ayat (4) ------------------------------------------------Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual beli, kecuali lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
44
------------------------------ Pasal 34 Ayat (5) --------------------------------------------Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang. ------------------------------- Pasal 54 Ayat (5) ---------------------------------------------Peralihan Hak Pakai karena jual beli, kecuali lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. ----------------------------- Pasal 54 Ayat (6) -----------------------------------------------Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang. b. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. ----------------------------- Pasal 37 Ayat (1) ------------------------------------------------Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat di daftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ------------------------------ Pasal 41 --------------------------------------------------------1. Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya didaftarkan jika dibuktikan dengan Kutipan Risalah Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang. 2. Selambat-lambatnya tujuh hari kerja sebelum suatu bidang tanah atau satuan rumah susun dilelang baik dalam rangka lelang eksekusi maupun lelang noneksekusi, Kepala Kantor Lelang wajib meminta keterangan sebagaimana
45
dimaksud dalam Pasal 34 kepada Kantor Pertanahan mengenai bidang tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang. 3. Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) selambat-lambatnya lima hari kerja setelah diterimanya permintaan oleh Kepala Kantor Lelang. 4. Kepala Kantor Lelang menolak melaksanakan lelang, apabila: a. Mengenai tanah yang sudah terdaftar atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun: 1) Kepadanya tidak diserahkan sertifikat asli hak yang bersangkutan, kecuali dalam hal lelang eksekusi yang dapat tetap dilaksanakan walaupun sertifikat asli hak tersebut tidak diperoleh oleh Pejabat Lelang dari pemegang haknya; dan 2) Sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan. b. Mengenai
bidang
tanah
yang
belum
terdaftar,
kepadanya
tidak
disampaikan: a. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2); b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; dan
46
c. Ada perintah dari pengadilan negeri untuk tidak melaksanakan lelang berhubungan dengan sengketa mengenai tanah yang bersangkutan. 5. Untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan: a. Kutipan risalah lelang yang bersangkutan; b. 1) Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atau hak atas Tanah yang dilelang jika bidang tanah yang bersangkutan sudah terdaftar; 2) dalam hal sertifikat tersebut tidak diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, surat keterangan dari Kepala Kantor lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertifikat tersebut; dan 3) jika bidang tanah yang bersangkutan belum terdaftar, surat-surat sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) huruf b pasal ini. c. Bukti identitas pembeli lelang; d. bukti pelunasan harga pembelian. 2. Pengertian lelang Tanah Lelang yang dimaksudkan disini adalah lelang hak atas tanah. Dalam praktik disebut lelang tanah. Secara yuridis, yang dilelang adalah hak atas tanah bukan tanahnya. Memang benar bahwa tujuan lelang hak atas tanah adalah supaya pembeli lelang dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah. Dalam perkembangannya, yang dilelang tidak hanya hak atas tanah, tetapi juga Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Istilah lelang disebut dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan pertanahan, yaitu Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
47
Nasional No.3 Tahun 1997. Namun demikian, di dalam peraturan peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan pengertian apa yang dimaksudkan dengan lelang. Yang dimaksud lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan / atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Yang dimaksud lelang tanah disini adalah penjualan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terbuka untuk umum oleh Kantor Lelang setelah diterbitkan
Surat
Keterangan
Pendaftaran
Tanah
oleh
Kantor
Pertanahan
Kabupaten/Kota dengan harga yang tertinggi yang didahului oleh pengumuman lelang. Objek lelang tanah adalah hak atas tanah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar, dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang berdiri diatas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai atas tanah negara. Dari aspek sifatnya, lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibagi menjadi dua , yaitu: 1. Lelang Eksekusi Lelang eksekusi meliputi lelang dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan, Hak Tanggungan, sita pajak, sita kejaksaan/penyidik, dan sita Panitia Urusan Piutang Negara. Dalam pelelangan eksekusi kadang-kadang tereksekusi menolak untuk menyerahkan sertifikat asli hak yang akan dilelang. Hal ini tidak boleh menghalangi dilaksanakannya lelang. Oleh karena itu, lelang eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun sertifikat asli tanah tersebut tidak dapat diperoleh Pejabat Lelang dari tereksekusi. Lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan.
48
Dokumen yang dipersamakan dengan itu atau dokumen-dokumen lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka penegakan hukum. 2. Lelang Non Eksekusi Lelang terhadap barang yang dikuasai/dimiliki oleh instansi Pemerintah Pusat/ Daerah dan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam rangka penghapusan, dan lelang sukarela terhadap hak atas tanah atau Hak Milik ATas Satuan Rumah Susun yang dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum. 3. Objek Pemindahan Hak Melalui Lelang Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibagi menjadi dua bentuk: a. Beralih Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan. Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ini terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subjek hak), maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. b. Dialihkan / Pemindahan Hak Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang (subjek) haknya kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut.
49
Perbuatan hukum tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan,pemberian dengan wasiat,lelang. Dalam dialihkan / pemindahan hak disini, pihak yang mengalihkan / memindahkan hak harus berhak dan berwenang memindahkan hak, sedangkan bagi pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pada dasarnya, Objek pemindahan hak melalui lelang adalah hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Secara rinci, objek pemindahan hak melalui lelang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Hak Milik Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Milik dapat dilelang secara implisit dimuat dalam Pasal 20 Ayat (2) UUPA, yaitu “Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. b. Hak Guna Usaha Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Guna Usaha dapat dilelang secara implisit dimuat dalam Pasal 28 Ayat (2) UUPA, yaitu “Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Secara eksplisit, Hak Guna Usaha dapat dilelang dimuat dalam Pasal 16 Ayat (5) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, yaitu “Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang”. c. Hak Guna Bangunan Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat dilelang secara implisit dimuat dalam Pasal 35 Ayat (3) UUPA, yaitu “Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.
50
Secara eksplisit, Hak Guna Bangunan dapat dilelang dimuat dalam Pasal 34 Ayat (5) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, yaitu “Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang”. Pasal 34 Ayat (7) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan”. Pasal 34 Ayat (8) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan”. d. Hak Pakai Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Pakai dapat dilelang secara implisit dimuat dalam Pasal 43 UUPA,yaitu: “Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan”. Secara eksplisit, Hak Pakai dapat dilelang dimuat dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, yang dalam Ayat (6)-nya dinyatakan bahwa “Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang”. Pasal 54 Ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang”. Pasal 54 Ayat (9) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan”. Pasal 54 Ayat (10) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa
51
“Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan. e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat dilelang secara implisit dimuat dalam Pasal 10 Undang-Undang No.16 Tahun 1985, yaitu “Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3) dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dengan akta Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan di Kantor Agraria Kabupaten atau Kota Madya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960”. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat dilelang oleh pemegang haknya kepada pihak lain dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara, dan hak tanah Hak Pengelolaan. Tidak semua hak atas tanah dapat dilelang oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Hak atas tanah yang tidak dapat dialihkan berupa dilelang oleh pemegang haknya kepada pihak lain, adalah Hak Pakai atas tanah negara yang diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu, yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan Internasional, Badan Keagamaan, dan Badan Sosial. (Penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996).
52
4. Prosedur Pendaftaran Pemindahan Hak Melalui Lelang Syarat sahnya lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun untuk kepentingan pendaftaran pemindahan haknya ada dua, yaitu: a. Syarat Materiil Pemegang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun berhak dan berwenang lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susunnya, dan pembeli lelang harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi objek lelang. Uraian tentang syarat materiil dalam lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat dijelaskan sebagai berikut: i.
Kalau objek lelang itu tanah Hak Milik, maka pihak yang dapat membeli lelang tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia, bank pemerintah, badan keagamaan, dan badan sosial.
ii. Kalau objek lelang itu tanah Hak Guna Usaha, maka pihak yang dapat membeli lelang tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. iii.
Kalau objek lelang itu tanah Hak Guna Bangunan, maka pihak yang dapat membeli lelang tanah adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
iv.
Kalau objek lelang itu tanah Hak Pakai, maka pihak yang dapat membeli lelang tanah adalah subjek Hak Pakai yang bersifat privat,yaitu perseorangan warga negara Indonesia, Perseorangan warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
53
berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. b. Syarat Formal Dalam rangka pendaftaran pemindahan hak, maka lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun harus dibuktikan dengan Berita Acara atau Risalah Lelang yang dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang. Dengan telah dibuatnya berita acara lelang atau risalah lelang oleh pejabat dari Kantor Lelang, maka pada saat itu telah terjadi pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang haknya semula sebagai penjual lelang kepada pihak lain sebagai pembeli lelang. Namun pemindahan hak tersebut hanyalah diketahui oleh kedua belah pihak, pihak ketiga tidak mengetahui tentang adanya lelang tersebut. agar pihak ketiga mengetahui, maka lelang tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat karena pendaftaran tanah mempunyai sifat terbuka. Dengan pendaftaran pemindahan hak ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka terpenuhilah asas publisitas dalam pendaftaran tanah, yaitu setiap orang dapat mengetahui data fisik berupa letak, ukuran, batas-batas tanah, dan data yuridis berupa subjek hak,status hak, dan pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Prosedur pendaftaran pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui lelang ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, adalah sebagai berikut: 1. Permintaan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah Selambat-lambatnya tujuh hari kerja sebelum suatu bidang tanah atau satuan-satuan rumah susun dilelang baik dalam rangka lelang eksekusi maupun lelang non-
54
eksekusi, Kepala Kantor Lelang wajib meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mengenai bidang tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota menerbitkan Surat keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) selambat-lambatnya lima hari kerja setelah diterimanya permintaan dari Kepala Kantor Lelang sesuai dengan data fisik dan data yuridis mengenai tanah tersebut yang tercatat dalam daftar umum di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Dalam hal data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan belum tercatat di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di dalam Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) disebutkan bahwa tanah tersebut belum terdaftar. Untuk penerbitan Surat Keterangan Penfdaftaran Tanah (SKPT) bagi tanah yang sudah terdaftar tidak perlu dilakukan pemeriksaan tanah, kecuali untuk tanah yang belum terdaftar. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota diperlukan dalam lelang agar dapat diketahui dengan pasti objek hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dilelang. Fungsi Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sebagai sumber informasi yang mutakhir mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dilelang. Keterangan ini sangat penting bagi pejabat dari Kantor Lelang untuk memperoleh keyakinan dan kepastian tentang objek lelang. Keputusan
mengenai
dilanjutkannya
pelelangan
setelah
mengetahui
data
pendaftaran tanah mengenai bidang tanah yang bersangkutan diambil oleh Kepala Kantor Lelang. 2. Pelaksanaan Lelang Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
55
Setelah menerima Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Kepala Kantor Lelang melaksanakan lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam pelaksanaan lelang ini diserahkan kepada Kepala Kantor Lelang berupa sertifikat hak atas tanah atau sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang asli, atau tanda bukti hak atas tanah yang belum bersertifikat yang mau dilelang, kecuali dalam hal lelang eksekusi bisa sertifikat asli tidak diserahkan. Kepala Kantor Lelang Menolak melaksanakan lelang, apabila: a. Mengenai tanah yang sudah terdaftar atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun: 1) Kepadanya tidak diserahkan sertifikat asli hak yang bersangkutan, kecuali dalam hal lelang eksekusi yang dapat tetap dilaksanakan walaupun sertifikat asli hak tersebut tidak diperoleh oleh Pejabat Lelang dari pemegang haknya; atau 2) Sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: 1) Surat
bukti
hak
selain
sertifikat
atau
surat
keterangan
Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut; dan 2) Surat Keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukam Kantor Pertanahan Kabupeten/Kota, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
56
c. Ada perintah Pengadilan Negeri untuk tidak melaksanakan lelang berhubungan dengan sengketa mengenai tanah yang bersangkutan. Sebagai bukti telah dilaksanakan lelang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibuatkan Risalah lelang oleh pejabat dari Kantor Lelang. Dengan dibuatnya Risalah lelang oleh Pejabat dari Kantor Lelang, maka hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun telah berpindah dari pemegang hak semula kepada pembeli lelang sebagai pemegang hak yang baru. 3. Permohonan Pendaftaran Pemindahan Hak Melalui Lelang Permohonan pendaftaran pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui lelang diajukan oleh pembeli lelang atau kuasanya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran pemindahan hak melalui lelang ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas, artinya dengan pendaftaran pemindahan hak melalui lelang ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka setiap orang dapat mengetahui telah terjadi pemindahan hak melalui lelang dari pemegang hak semula kepada pembeli lelang sebagai pemegang hak yang baru. Permohonan pendaftaran pemindahan hak yang diperoleh melalui lelang diajukan oleh pembeli lelang atau kuasanya dengan melampirkan: a. Kutipan risalah lelang yang bersangkutan; b.
1) Hak atas tanah ata Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang telah terdaftar, atau dalam hal sertifikat dimaksud tidak dapat diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, keterangan Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak dapat diserahkannya sertifikat dimaksud; 2) Surat-surat bukti pemilikan selain sertifikat untuk tanah yang belum terdaftar.
57
c. Bukti identitas pembeli lelang ; d. Bukti pelunasan harga pembelian ; e. Bukti pelunasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dalam hal bea tersebut terutang; f. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh), dalam hal pajak tersebut terutang. Dalam hal lelang telah dilaksanakan sebagai tindak lanjut sita yang tercatat dalam daftar umum di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka permohonan pendaftaran peralihan hak karena lelang harus disertai dengan keterangan dari Kepala Kantor Lelang bahwa sita itu sudah ditindak lanjuti dengan lelang yang hasilnya dimohonkan pendaftarannya. Dalam hal lelang dilaksanakan dalam rangka pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan, maka pemohonan pendaftaran peralihan hak harus disertai dengan pernyataan dari kreditor bahwa pihaknya melepaskan Hak Tanggungan tersebut untuk jumlah yang melebihi hasil lelang. 4. Pencatatan Pemindahan Hak Melalui Lelang Sebelum dilaksanakan pendaftaran peralihan hak karena lelang, berdasarkan keterangan dari Kepala Kantor Lelang catatan adanya sita tersebut dihapus. Pencatatan peralihan hak karena pemindahan hak dengan lelang dalam daftar-daftar pendaftaran tanah kepada pembeli lelang di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pencatatan peralihan hak dalam buku tanah, sertifikat dan daftar lainnya dilakukan sebagai berikut:
58
a.
Nama pemegang hak lama di dalam buku tanah di coret dengan tinta hitam dan dibubuhi paraf Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk.
b.
Nama atau nama-nama pemegang hak yang baru dituliskan pada halaman dan kolom yang ada dalam buku tanahnya dengan dibubuhi tanggal pencatatan dan besarnya bagian setiap pemegang hak dalam hal penerima hak beberapa orang dan besarnya bagian ditentukan, dan kemudian ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk dan cap dinas Kantor Pertahanan Kabupaten/Kota.
c.
Pencoretan nama pemegang hak yang lama dan penulisan nama pemegang hak yang baru juga dilakukan pada sertifikat hak yang bersangkutan dan daftardaftar umum lain yang memuat nama pemegang hak yang lama.
d.
Nomor hak dan identitas lain dari tanah yang dialihkan dicoret dari daftar nama pemegang hak lama dan nomor hak identitas tersebut dituliskan pada daftar nama penerima hak.
e.
Apabila nama pemegang hak baru lebih dari satu orang dan hak tersebut dimiliki bersama, maka untuk masing-masing pemegang hak dibuatkan daftar nama dan dibawah nomor hak atas tanahnya diberi garis dengan tinta hitam.
5. penyerahan Sertifikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang telah diubah nama pemegang haknya dari pemegang hak yang lama menjadi pemegang hak yang baru oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, kemudian diserahkan kepada pemohon pendaftaran pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui lelang atau kuasanya.
59
D. PERALIHAN HAK MELALUI PEWARISAN 1. Istilah, Pengaturan, Pewarisan dalam Peraturan Perundang-Undangan Serta Pengertiannya Istilah pewarisan dimuat dalam Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanahan,yaitu: 1.
Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) ----------------------------- Pasal 21 Ayat (3) ---------------------------------------------Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraannya itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
2.
Undang-Undang No.16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun ------------------------------ Pasal 10 --------------------------------------------------------a. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 8 Ayat (3) dapat beralih dengan cara pewaris atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. b. Pemindahan hak sebagaimana dimaksudkan dalam Ayat (1) dilakukan dengan akta Pejabat Pembuata Akta Tanah dan didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kota Madya yang bersangkutan menurut Peraturan
60
Pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. ---------------- Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) ---------------------------------------Yang dimaksudkan “pewarisan” adalah peralihan hak yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pewaris. 3.
Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah ----------------------------- Pasal 16 Ayat (2) huruf e ------------------------------------Peralihan Hak Guna Usaha terjadi dengan cara Pewarisan ---------------------------- Pasal 34 Ayat (2) huruf e ------------------------------------Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi dengan cara Pewarisan ---------------------------- Pasal 54 Ayat (3) huruf e ------------------------------------Peralihan Hak Pakai terjadi karena Pewarisan.
4.
Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ---------------------------- Pasal 42 Ayat (1) ------------------------------------------------Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagaimana yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.
61
---------------------------- Pasal 61 Ayat (3) ------------------------------------------------Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu enam bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. 5.
Pasal 111 dan Pasal 112 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pewarisan yang dimaksudkan di sini adalah pewarisan hak atas tanah. Dalam
praktik disebut pewarisan tanah. Secara yuridis, yang diwariskan adalah hak atas tanah bukan tanahnya.memang benar bahwa tujuan pewarisan hak atas tanah adalah supaya ahli warisnya dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah atau satuan rumah susun yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, yang diwariskan tidak hanya berupa hak atas tanah, tetapi juga Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Istilah pewarisan disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan pertanahan, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1960, Undang-undang No.16 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996,Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997. Namun demikian, di dalam peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan pengertian apa yang dimaksudkan dengan pewarisan. Perolehan Hak Milik atas tanah dapat juga terjadi karena pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26 UUPA. Pewarisan dapat terjadi karena ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat dari orang yang mewasiatkan.25 Seyogianya pewarisan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tidak hanya terjadi karena ketentuan undang-undang melainkan karena ketentuan peraturan 25
Adrian Sutendi,Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta,2007,hl. 101, dalam bukunya Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah,Kencana,Jakarta,2010,hl.397
62
perundang-undangan, atau karena adanya surat wasiat yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah dari pemegang haknya kepada pihak lain dapat terjadi karena peristiwa hukum, yaitu meninggal dunianya pemegang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, di sini peralihan haknya terjadi melalui pewarisan, atau karena suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan pihak lain, yaitu berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam modal perusahaan, lelang. Yang dimaksud pewarisan hak adalah berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang haknya sebagai pewaris kepada pihak lain sebagai ahli waris karena pemegang haknya meninggal dunia. Dengan meninggal dunianya pemegang hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, maka hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tersebut berpindah kepada ahli warisnya. Kalau seseorang meninggal dunia yang meninggalkan harta warisan berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun,maka harta warisan tersebut jatuh kepada ahli warisnya. Jatuhnya harta warisan dari pemegang hak atas tanah kepada ahli waris bukan karena suatu perbuatan hukum, melainkan berpindah karena peristiwa hukum. 2. Objek Peralihan Hak melalui Pewarisan Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibagi menjadi dua bentuk:
63
a.
Beralih Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang haknya kepada pihak lain karena pemegang haknya meninggal dunia atau melalui pewarisan. Boedi Harsono menyatakan bahwa pengertian beralih menunjuk pada berpindahnya Hak Milik kepada pihak lain karena pemiliknya meninggal dunia. Peralihan Hak Milik karena pewarisan terjadi “karena hukum”, artinya dengan meninggalnya pemilik tanah, maka ahli warisnya memperoleh Hak Miliknya itu menurut hukum sejak ia meninggal dunia.26 Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ini terjadi karena hukum, artinya dengan meninggalnya pemegang hak (subjek hak), maka ahli warisnya memperoleh hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi objek pewarisan.
b.
Dialihkan / Pemindahan Hak Berpindahnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemegang (subjek) haknya kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar pihak lain tersebut memperoleh hak tersebut. Perbuatan hukum tersebut dapat berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam modal perusahaan,pemberian dengan wasiat,lelang. Dalam dialihkan / pemindahan hak disini, pihak yang mengalihkan / memindahkan hak harus berhak dan berwenang memindahkan hak, sedangkan
26
Boedi Harsono I, Op.cit,hlm 128
64
bagi pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi objek pemindahan hak. Pada dasarnya, objek peralihan hak melalui pewarisan adalah hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Secara rinci, objek peralihan hak melalui pewarisan dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Hak Milik Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Milik dapat diwariskan secara implisit dimuat dalam Pasal 20 Ayat (2) UUPA, yaitu “Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.
b.
Hak Guna Usaha Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Guna Usaha dapat diwariskan secara implisit dimuat dalam Pasal 28 Ayat (2) UUPA, yaitu “Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Secara eksplisit, Hak Guna Usaha dapat diwariskan dimuat dalam Pasal 16 Ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, yaitu “Peralihan Hak Guna Usaha terjadi dengan cara pewarisan”.
c.
Hak Guna Bangunan Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat diwariskan secara implisit dimuat dalam Pasal 35 Ayat (3) UUPA, yaitu “Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Secara eksplisit, Hak Guna Bangunan dapat diwariskan dimuat dalam Pasal 34 Ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, yaitu “Peralihan Hak Guna Bangunan terjadi karena pewarisan”. Pasal 34 Ayat (7) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Guna
65
Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan”. Pasal 34 Ayat (8) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan”. d.
Hak Pakai Secara eksplisit, Hak Pakai dapat diwariskan dimuat dalam Pasal 54 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, yang dalam Ayat (1)-nya dinyatakan bahwa “Hak Pakai atas tanah negara yang berjangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. Dalam Ayat (3) huruf e-nya dinyatakan bahwa “Peralihan Hak Pakai terjadi karena Pewarisan”. Pasal 54 Ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Pakai atas tanah negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang”. Pasal 54 Ayat (9) Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Peralihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan”. Pasal 54 Ayat (10) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mensyaratkan bahwa “Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan”.
e.
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dasar hukum yang menetapkan bahwa Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat diwariskan secara implisit dimuat dalam Pasal 10 Undang-Undang No.16 Tahun 1985, yaitu “Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (3) dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
66
Pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dengan akta Pejabat pembuat Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan di Kantor Agraria Kabupaten atau Kota Madya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960”. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dapat diwariskan oleh pemegang haknya kepada pihak lain dibangun di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah negara, dan tanah Hak Pengelolaan. Tidak semua hak atas tanah dapat diwariskan oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Hak atas tanah yang tidak dapat diwariskan oleh pemegang haknya kepada pihak lain, adalah Hak Pakai atas tanah negara yang diberikan untuk waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu, yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah, Perwakilan Negara Asing, Perwakilan Badan Internasional, Badan Keagamaan, dan Badan Sosial. (penjelasan Pasal 45 Peraturan Pemerintah no.40 Tahun 1996). 3. Prosedur Pendaftaran Peralihan Hak Melalui Pewarisan Syarat sahnya pewarisan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun untuk kepentingan pendaftaran peralihan haknya ada dua, yaitu: 1.
Syarat Materiil Ahli waris harus memenuhi syarat sebagai pemegang (subjek) hak dari hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi pewarisan. Uraian tentang syarat materiil dalam pewarisan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Kalau objek pewarisan tanah tersebut Hak Milik, maka pihak yang dapat menjadi ahli warisnya adalah perseorangan warga negara Indonesia.
67
b.
Kalau objek pewaris tanah tersebut berupa Hak Guna Usaha, maka pihak yang dapat menjadi ahli warisnya adalah perseorangan warga negara Indonesia.
c.
Kalau objek pewarisan tanah tersebut berupa Hak Guna Bangunan, maka pihak yang dapat menjadi ahli warisnya adalah perseorangan warga negara Indonesia.
d.
Kalau objek pewarisan tanah tersebut berupa Hak Pakai, maka pihak yang dapat menjadi ahli warisnya adalah perseorangan warga negara Indonesia, Perseorangan warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
Kalau seseorang yang warga negara Indonesia mendapatkan warisan berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunan, kemudian menjadi warga negara asing, maka dalam waktu satu tahun sejak seseorang tersebut melepaskan kewarganegaraan Indonesianya wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunan. Kalau dalam waktu satu tahun tidak dilepaskan atau dialihkan kepada pihak lain, maka Hak Milik, Hak Guna Usaha, atau Hak Guna Bangunan tersebut menjadi hapus dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. 2.
Syarat Formal Dalam rangka pendaftaran peralihan hak, maka pewarisan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun harus dibuktikan dengan surat keterangan kematian pewaris dan surat keterangan sebagai ahli waris. Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena
pewarisan dari pemegang hak sebagai pewaris kepada ahli waris secara yuridis terjadi sejak pewaris meninggal dunia, namun secara administrasi ahli waris mempunyai
68
kewajiban untuk mendaftarkan pewarisan tersebut kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dilakukan perubahan nama pemegang hak dari atas nama pewaris menjadi atas nama ahli waris. Maksud pendaftaran peralihan hak karena pewarisan tersebut adalah dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada ahli waris dan demi tertib administrasi pertanahan agar data fisik dan data yuridis yang disajikan selalu menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewaris yang diajukan dalam waktu enam bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. Prosedur pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena pewarisan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, adalah sebagai berikut: 1.
Permohonan Pendaftaran Peralihan Hak Permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diajukan oleh ahli waris atau kuasanya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan melampirkan: a. Sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atas nama pewaris, atau apabila mengenai tanah yang belum terdaftar, bukti pemilikan berupa selain sertifikat, misalnya petuk pajak bumi, pajak hasil bumi, verponding Indonesia, kutipan letter c; b. Surat kematian atas nama pemegang hak yang tercantum dalam sertifikat yang bersangkutan dari Kepala Desa/Kelurahan tempat tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi yang berwenang; c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa: 1) Wasiat dari pewaris
69
2) Putusan Pengadilan 3) Penetapan hakim/ketua pengadilan, atau; 4)
● Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh dua orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia; ● Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa dibuat akta keterangan hak mewaris dari notaris ● Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat keterangan waris dibuat oleh Balai Harta Peninggalan.
Berdasarkan Surat Edaran Direktorat Pendaftaran Tanah tanggal 20 Desember 1969 No. DPT/12/63 /69, yang berhak menerbitkan surat keterangan kewarisan didasarkan pada penggolongan penduduk di Indonesia, yaitu: a. Untuk golongan penduduk Eropa, surat keterangan kewarisan dibuat oleh notaris. b. Untuk golongan penduduk asli (bumiputera) surat keterangan kewarisan disaksikan oleh lurah dan diketahui camat (Kini dibuat oleh para ahli waris dan disahkan oleh Kepala Desa atau Lurah dan diketahui oleh Camat). c. Untuk golongan penduduk Timur Asing Cina, surat keterangan kewarisan dibuat oleh notaris. d. Untuk golongan penduduk Timur Asing lain, surat keterangan kewarisan dibuat oleh notaris. Untuk keempat golongan penduduk di atas dapat juga diganti dengan keputusan pengadilan negeri.27
27
A.P. Parlindungan I, Op.cit.,
70
Surat kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan ahli waris yang bersangkutan. Apabila pada waktu permohonan pendaftaran peralihan sudah ada putusan pengadilan atau penetapan hakim/ketua pengadilan atau akta pembagian waris, maka putusan/penetapan atau akta tersebut juga dilampirkan pada permohonan pendaftaran peralihan hak. Akta mengenai pembagian waris dapat dibuat dengan akta dibawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau dengan notaris. Apabila ahli waris lebih dari satu orang dan belum ada pembagian warisan, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris sebagai pemilikan bersama, dan pembagian hak selanjutnya dapat dilakukan sesuai dengan akta pembagian warisan. Apabila ahli waris lebih dari satu orang dan pada waktu pendaftaran peralihan haknya disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tertentu jatuh kepada satu orang penerima warisan, maka pencatatan peralihan haknya dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan akta pembagian waris tersebut. Dalam hal pewarisan disertai dengan hibah wasiat, maka: a. Jika hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan sudah tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan atas permohonan penerima hibah dengan melampirkan: 1) Sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun atas nama pewaris, atau apabila hak atas tanah yang dihibahkan belum terdaftar, bukti pemilikan tanah atas nama pemberi hibah dapat berupa
71
petuk pajak bumi, pajak hasil bumu, verponding Indonesia, atau kutipan letter c; 2) Surat kematian pemberi hibah wasiat dari kepala desa/kelurahan tempat tinggal pemberi hibah wasiat tersebut waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi lain yang berwenang; 3) a) Putusan pengadilan atau penetapan hakim/ketua pengadilan mengenai pembagian harta waris yang memuat penunjukan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagaimana telah dihibahwasiatkan kepada pemohon. b) Akta PPAT mengenai hibah yang dilakukan oleh Pelaksana Wasiat atas nama pemberi hibah wasiat sebagai pelaksanaan dari wasiat yang dikuasakan pelaksanaannya kepada Pelaksana Hibah Wasiat tersebut, atau c) Akta pembagian waris yang memuat menunjukan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan sebagai telah dihibahwasiatkan kepada pemohon. 4) Surat kuasa tertulis dari penerima hibah apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hibah apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hibah; 5) Bukti identitas penerima hibah; 6) Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam hal bea tersebut terutang; dan 7) Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh), dalam hal pajak tersebut terutang.
72
Pemberian hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dengan wasiat dilakukan sewaktu pemegang haknya masih hidup. Hak tersebut baru beralih kepada penerima hibah setelah pemberi hibah meninggal dunia. Selama pemberi hibah belum meninggal dunia, maka apa yang diwasiatkan itu masih dapat ditarik kembali. b. Jika hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dihibahkan belum tertentu, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris dan penerimaan hibah wasiat sebagai harta bersama. 2.
Pencatatan Peralihan Hak Kalau persyaratan dalam permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun karena pewarisan dipenuhi oleh ahli waris sebagai pemohon atau kuasanya, maka Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melakukan pencatatan peralihan hak dalam buku tanah, sertifikat, dan daftar lainnya, yaitu sebagai berikut: a.
Nama pemegang hak lama di dalam buku tanah dicoret dengan tinta hitam dan dibubuhi paraf Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau Pejabat yang ditunjuk;
b.
Nama atau nama-nama pemegang hak yang baru dituliskan pada halaman dan kolom yang ada dalam buku tanahnya dengan dibubuhi tanggal pencatatan, dan besarnya bagian setiap pemegang hak dalam hal penerima hak beberapa orang dan besarnya bagian ditentukan, dan kemudian ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau Pejabat yang ditunjuk dan cap dinas Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
73
c.
Perubahan nama pemegang hak juga dilakukan pada sertifikat hak yang bersangkutan dan daftar-daftar umum lain yang memuat nama pemegang hak yang lama;
d.
Nomor hak dan identitas dari tanah yang dialihkan dicoret dari daftar nama pemegang hak lama dan nomor hak dan identitas tersebut dituliskan pada daftar nama penerima hak.
3.
Penyerahan Sertifikat Hak Sertifikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang telah diubah nama pemegang haknya dari atas nama pewaris menjadi atas nama ahli waris oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, kemudian diserahkan kepada ahli waris sebagai pemohon atau kuasanya.
74
Bab V Simpulan Sejarah peralihan hak atas tanah di Indonesia dapat di petakan menjadi tiga periode, yakni pertama, Peralihan Hak atas Tanah pada zaman Pendudukan yang meliputi zaman Pendudukan Belanda dan zaman Pendudukan Jepang; kedua, Periode Peralihan atau Masa Transisi, yakni zaman Kemerdekaan sebelum dibentuknya UUPA; ketiga, Periode setelah berlakunya UUPA. Meskipun sejarah peralihan hak atas tanah di Indonesia sudah sangat panjang, namun demikian kesadarn hukum masyarakat untuk melakukan peralihan hak atas tanahnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan masih minim, khususnya di daerah, sehingga perlu adanya sosialisasi tentang pentingnya peralihan hak atas tanah yang didaftarkan
75
DAFTAR PUSTAKA Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukkan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta , 2008 ------------------, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan – peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2008. ------------------, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan , Jakarta, 1996 B.F Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, PT. Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2005 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010 Bambang Waluyo, Peneltian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,Jakarta, 2002 A. Hestu Cipto handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik, Cahaya Atma Pustaka, Yogjakarta, 2014 Darji
Darmodiharjo,
A.G
Pringgodigdo,
Kuntjoro
Purbopranoto,Nyoman
Dekker,
M.Mardoyo, J.W Sulandra, Santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya, 1991 Didik Sukriono, Hukum, Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian Politik Hukum tentang Konstitusi, otonomi daerah dan desa pasca Perubahab Konstitusi, Setara Press, Malang, 2013 Effendi Perangin, Praktek Jual Beli Tanah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) , Kencana , Jakarta, 2013 Soepomo , Bab-Bab tentang Hukum Adat, PT. Prandya Paramita, Jakarta, 2007 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2012 76
Soedjono, Abdurrahman, Prosedur Pendaftaran Tanah, tentang Hak Milik, Hak Sewa Guna dan Hak Guna Banguan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Lili Rasjidi, Ira Tania, Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2012 Lili Rasjidi, Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Fikahati Aneska, Bandung, 2012 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2010 Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013 Teguh Prasetyo, Kadarwati Budihardjo, Purwadi, Hukum dan Undang-undang Perkebunan, Nusa Media , Bandung, 2013 Sukarno Aburaera, Muhadar, Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik, Kencana, Jakarta, 2013 H.L. A Hart, Konsep Hukum, Nusa Media , Bandung, 2011 I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Dimensi tematis & Historis, Setara Press, Malang, 2013 HM. Ali Mansyur, Pranata Hukum & Penegakannya di Indonesia, Unissula Press, Semarang, 2010 -------------------, Peran Hukum Dalam Menjawab Perkembangan Ekonomi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2012
77
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah, Dalam Konteks UUPA, UUPR, UUPLH, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010 Samun Ismaya, Hukum Administrasi Pertanahan, Graha Ilmu, Yogjakarta, 2013 Maria S.W Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009 -----------------------------, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Buku Kompas, Jakarta, 2009 ----------------------------, Alternatif Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Kompas, Jakarta 2008 ---------------------------, Maria S.W Sumardjono, Nurhasan Ismail, Ernan Rustiadi, Abdullah Aman Damai,Gadjah Mada University Press,Yogjakarta, 2011 Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Suatu Analisi dengan Pendekatan Terpadu secara Normatif dan Sosiologis, Republika, Jakarta, 2008
78