Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
SEJARAH GERAKAN EKUMENE GMIM TAHUN 1934 -1964 Pdt. Riedel Ch. Gosal, M.Th. ABSTRAK Gerakan ekumenis adalah isu yang telah lama dalam perjalanan sejarah gereja. Di Indonesia gerakan ini tumbuh berawal dari gereja-gereja lokal yang berinisiatif membentuk Dewan GerejaGereja di Indonesia yang kemudian berubah menjadi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Sekalipun PGI telah terbentuk tetapi kondisi kehidupan beresa dan bersama belum bisa tercapai sesuai hingga kini. Hal ini tentu terkait erat dengan peranan gerejagereja lokal yang anggota menjadi anggotanya. Pada konteks ini penulis membahas sejarah gerakan ekumens GMIM tahun 19341964. GMIM adalah salah satu gereja perintis pembentukan DGI dan telah menjadi anggotanya sejak berdiri. Karya ilmiah ini di tulis dengan menggunakan pendekatan historis deskriptif dengan menganalisa data-data sejarah yang telah dikumpulkan. Sumber data diperoleh dalam studi kepustakaan berupa buku-buku literatur dan studi arsip. Tujuan karya ilmiah ini tidak sekedar mengangkat peranan GMIM dalam gerakan ekumenis di Indonesia tetapi juga dapat memberi gambaran tentang sejarah gerakan ekumenis serta sumbangsih postif bagi gereja-gereja dalam keterlibatannya pada gerakan ekumenis di Indonesia. Ekumene atau keesaan adalah salah satu aspek penting karena menjadi salah satu identitas gereja. Alkitab menegaskan tentang keesaan dalam doa Yesus bagi umatNya dalam Yohanes 17:21 supaya mereka menjadi satu (Ut Omnes Unum Sint). Dalam pengakuan iman rasuli aspek keesaan juga disebutkan sebagai salah satu karakter gereja, yaitu kudus, am, dan rasuli. Sejak zaman dulu hingga sekarang gereja terus berusaha ke arah keesaan. Usaha itu dilakukan dalam aras internasional, nasional, dan regional. Realitas keesaan itu juga belum dapat dicapai hingga kini. Perjalanan sejarah gereja-gereja di Indonesia juga menunjukan bahwa usaha keesaan sudah dan sementara di perjuangkan oleh individu dan kelompok yang terlibat dalam organisasi atau lembaga keesaan. 1
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
Gagasan gerakan keesaan di Indonesia lahir berlatar belakang kesadaran dari gereja-gereja lokal yang ingin membentuk satu wadah yang esa di Indonesia. Semangat gerakan keesaan terus tumbuh bersamaan dengan semangat kebangsaan dalam Indonesia. Usaha ini mengerucut menjadi suatu gerakan yang dikenal dengan nama gerakan keesaan atau gerakan oikumene.1 Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) adalah perwujudan dari semangat keesaan dari gereja-gereja di Indonesia. Persekutuan gereja di Indonesia lahir dengan nama Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI).2 Lahirnya Dewan Gereja-Gereja di Indonesia membuktikan keinginan gereja-gereja di Indonesia ingin berjalan bersama-sama untuk mewujudkan keesaan sekalipun secara historis lahirnya gerejagereja lokal di Indonesia memiliki latar belakang yang berbeda. Gereja-gereja lokal dan orang-orang Kristen yang menyadari bahwa di Indonesia perlu wadah yang mempersatukan gereja yang berbedabeda. Ide keesaan ini direalisasikan dalam sebuah proses panjang. Proses itu berujung pada lahirnya komitmen bersama berupa manifest pembentukan Dewan Gereja-Gereja di Indonesia pada tanggal 25 Mei 1950. Kendati telah bersama-sama berikrar dalam satu komitmen untuk menuju pada Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia tetapi realitas idealis ini hingga kini belum bisa dicapai. Perbedaanperbedaan di antara gereja-gereja tidak mudah untuk dilebur dalam satu wadah keesaan. Latar belakang gereja yang lahir dalam konteks suku dan warisan lembaga zending yang berbeda ini membuat gereja-gereja tumbuh mandiri dan terpisah, baik ajaran yang berkembang, teritorial dan sistem pemerintahan gereja yang
1 Istilah oikumene di Indonesiakan menjadi ekumene. Oikumene (Yunani: οικουμένη) secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos dan mene. Oikos berarti rumah, ruang, tempat,dunia dan mene dari kata menein berarti didiami. Secara harafiah oikumene berarti rumah yang didiami. Dalam Alkitab ekumene memiliki beberapa arti, pertama dalam Lukas 4:5 dan Roma 10:18; oikumene diartikan sebagai dunia yang didiami. Kedua, kitab Lukas 2:1 Oikumene diartikan seluruh dunia atau daerah yang dikuasai atau dijajah bangsa Romawi. Chris Hartono. 1984. Gerakan Ekumenis di Indonesia (Yokyakarta, Pusat Penelitian Dan Inovasi Duta Wacana), hlm.1 2 Dewan Gereja-Gereja di Indonesia diubah menjadi Persekutuan GerejaGereja di Indonesia pada persidangan di Ambon yang ke X di Ambon pada tanggal 21-31 Oktober 1984.
2
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
dianutnya. Sejarah masuknya injil di dalam masyarakat Indonesia telah melahirkan gereja-gereja lokal yang telah berakar kuat dan mapan. Keadaan ini menghadang Dewan Gereja-gereja di Indonesia sebagai wadah keesaan untuk mencapai cita-cita pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Keadaan ini terus menerus menjadi bahan pergumulan dan diskusi dalam setiap persidangan DGI hingga pertengahan tahun 80-an belum menunjukan hasil yang maksimal bagi pembentukan satu Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Masalah mengenai bentuk keesaan dalam wadah Gereja Kristen Yang Esa belum mencapai kata sepakat. Masalah ini sampai pada diskusi tentang model atau bentuk keesaan yang cocok bagi gereja-gereja di Indonesia. Apakah cukup pada keesaan Rohani saja atau keesaan struktural dan fungsional? Gagasan tentang model atau bentuk keesaan di Indonesia mulai dirancang pada 19-23 Juli 1980 sebuah persidangan DGI di Tomohon. Para peserta mengambil langkah berani dengan mempersiapkan rancangan konsep keesaan yang akan dibahas pada persidangan selanjutnya. Pada sidang ini Dewan Gereja-Gereja di Indonesia sepakat untuk menekankan keesaan pada satu pengakuan percaya dan tata gereja. Kesepakatan ini tidak mudah direalisasikan dalam prakteknya karena masing-masing gereja telah memiliki pengakuan iman dan tata gereja yang telah mapan. Gagasan baru lahir dengan mengubah nama Dewan Gereja-gereja di Indonesia menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia pada persidangan ke sepuluh di Ambon turut juga mengubah muatan keesaan itu. Pemahaman dan misi keesaan DGI dari usaha membentuk menjadi mewujudkan Gereja Krsiten yang esa. Langkah ini menjadi perdebatan beberapa tokoh ekumenis yang menganggap bahwa ini adalah tindakan mundur dari misi dan visi yang telah ditetapkan oleh penggaggas atau pendiri dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI). Usaha dan perjuangan PGI sebagai wadah keesaan untuk mewujudkan Gereja Kristen Yang esa di Indonesia sejak tahun 50-an hingga kini belum dan masih sementara. Kondisi ini diungkapkan A.A.Yewangoe (ketua PGI periode 2010-2015) dalam perayaan Ulang tahun PGI ke-60 pada bulan Mei tahun 2010, bahwa salah satu pergumulan yang dihadapi Persekutuan Gereja-gereja di
3
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
Indonesia adalah bagaimana mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.3 Di tengah maju mundurnya gerakan keesaan di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa telah ada langkah maju dalam proses keesaan. Kehadiran PGI sebagai wadah keesaan telah memberi andil pada terjalinnya interaksi antar gereja-gereja lokal di Indonesia. Peranan PGI sebagai wadah keesaan tidak bisa dilepaskan dari peranan gereja-gereja lokal, dewan wilayah dan tokoh-tokoh ekumenis di Indonesia. Salah satu peran penting itu dibuktikan pada pembentukan DGI. Peranan gereja-gereja lokal dalam gerakan ekumene di Indonesia telah memberi arah pada keesaaan. Beberapa gereja mandiri pada periode masa awal lahirnya gerakan keesaan telah memberi kontribusi penting dalam usaha merintis gerakan keesaan. Salah satu gereja yang turut berperan dalam gerakan keesaaan di Indonesia adalah Gereja Masehi Injili di Minahasa. Dalam kerangka berpikir di atas maka penulis memiliki kerinduan hendak mengkaji gerakan ekumene di GMIM dan peranannya dalam gerakan keesaan di Indonesia dalam suatu karya ilmiah yang sejarah Gereja Masehi Injili di Minahasa tahun 1934 – 1964. PENDAHULUAN Motif dalam pekebaran injil menurut David Bosch ada 4, yaitu a) Conversio Gentilium (penobatan orang kafir),b motif eskhatologis berpusat pada pemerintahan Allah sebagai suatu realitas masa depan. c) plantantio Ecclesia (penanaman gereja), dan d) filantropis menantang gereja untuk mengusahan keadilan di dunia.4 Kita mengenal bahwa misi pekabaran injil dibawa gereja ke Asia abad pertengahandibunngkus oleh kepentingan lain yakni adalah Gold, Gospel, Glori yang dibawa Spanyol, Portugis dan Belanda membawa pola baru dalam kehidupan bangsa-bangsa di Asia. Mereka mengenal agama, kebudayaan, metode perdagangan baru. Kedatangan bangsa barat di Indonesia tidak hanya memebawa kapal
3A.A. Yewangoe. 2010. Keberadaan PGI tidak bisa dilepaskan dari gereja-gereja. Oikumene,( edisi khusus 60 tahun PGI), hlm.15-17. 4 David Bosch., Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 7
4
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
dagang dan mengakut barang dagang tetapi juga membawa konsep dan tatanan masyarakat yang baru.5 Strategi atau pola misi lembaga maupun karakter zendeling sangat berpengaruh dalam perjalanan gereja. Kendati memiliki keinginan dan harapan yang sama dalam bermisi tetapi di sadari bahwa para zendeling memiliki latar bekang yang berbeda. Semangat Pietis yang melatar belakangi gerakan sebagaian besar penginjilan di Asia turut diwariskan dalam gereja local. Kebanyak lembaga pekabaran injil, tidak mempersoalkan latar belakang kerohanian para zendeling dan lembaga ini tidak mengikatkan diri pada gereja tertentu.6 Perjumpaan para misionaris dengan kebudayaan social masyarakat setempat sangat mempengaruhi perkembangan gereja lokal. Seiring perjalanan sejarahnya gereja di Indonesia semakin bertumbuh dan berkembang dalam konteksnya. Perbedaan yang di sebabkan oleh factor teologis dan non teologis menjadi pergumulan gereja. Para tokoh gereja berupaya merintis usaha menyatukan gereja yang berbeda-beda itu. Di setiap periode usaha untuk mempersatukan gereja yang berbeda itu tentu berbeda beda. Romo Banawiratma berpendapat bahwa cara berpikir yang berbeda-beda adalah warisan masa lampau yang masih ada hingga kini. Masih banyak halangan psikologis yang berhubungan dengan sejarah masing-masing gereja sehingga masih sulit untuk di satukan. Apalagi usaha-usaha oikumenis di dorong oleh factor-faktor dan pengaruh dari luar, kurang timbul dari hati sanubari dan keyakinan. Baginya perlu dikelompokkan usaha-usaha pendekatan dan pemahaman oikumenis pertama, pendekatan yang lebih dogmatis dan lebih menekankan kesatuan. Kedua, pendekatan yang lebi sosiologis dan lebih menerima perbedaan. Ketiga, pendekatan yang lebbih serempak dalam berbagai aspek.7 Usaha menyatukan gereja yang berbeda terus dilakukan tetapi memang tidak mudah. Banyak pola yang di tawarkan tetapi tentu belum mencapai titik temu. Sulit menemukan sebuah rumusan baku
Van Den End., Ragi Carita I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 23-23 Van Den End, 152 7 J.B. Banawiratma, Dkk., Tempat dan arah Gerakan Oikumenis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, ) 38-39 5 6
5
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
untuk gerakan keesaan di Asia, pergumulan ini sudah lama.8 Ada banyak pola yang menjadi cotoh penyatuan gereja yang berbeda, seperti Gereja Ambon. Perkembangannya gereja mengkristal dalam satu pola baru yang adalah gabungan gereja warisan zendeling dan kultur setempat. 9 1.1. GMIM dalam perwalian GPI 1934-1941 Gereja Protestan di Indonesia ada di Indonesia untuk melanjutkan pemeliharaan jemaat-jemaat Protestan di Indonesia dibawah pengawasan Negara. Sebagai gereja yang berada dalam pengawasan pemerintah maka GPI berupaya menyatukan gerejagereja yang beraliran reformasi di Indonesia. Sistem dan pengorganisasianya di integrasikan dalam system pemerintah. GPI membiayai kehidupan para pendeta dalam lingkungan GPI sehingga para pendeta menjadi pegawai pemerintah. Para pendeta diangkat dan diawasi oleh pemerintah melalui GPI karena itu GPI dianggap sebagai gereja Negara atau gereja Kolonial. Pergumulan GPI dibahas dalam sidangnya. Pada tahun tahun 1916 dan 1933 dalam sidangnya berusah menyikapi perkembangan yang terjadi bagi gereja-gereja dan berusaha melakukan perbaikan dalam sistem organisasi. Perubahan itu di tujukan agar GPI bisa eksis sebagai gereja kesatuan di Indonesia. Perubahan itu dilanjutkan dalam sidang 1936, 1939 dan 1948 khususnya tata gereja yang menganut system presbiterial. Sebelumnya GPI memiliki sistem organisasi yang hirarkis dalam jabatan-jabatannya . Melalui sidang-sidang itu GPI merubah system kearah ciri gereja reformasi. Begitu pula misi, hubungan jemaat setempat dan gereja secara keseluruhan dibawa dalam sistem prisbiterial sinodal. Menanggapi konteks yang berkembang pada masa itu dimana gereja-gereja berada dalam semangat gerakan oikumenis. GPI berusaha menjadi gereja kesatuan yang meliputi semua gereja protestan di Indonesia termasuk gereja-gereja hasil zending. Konsep gereja kesatuan ternyata tidak bisa diterima oleh gereja-gereja anggota karena masing-masing telah membentuk komisi tata gereja 8 Eka darma putra (et.al) Konteks Berteologi di Indonesia., (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004) 328 9 Eka darma putra , 329
6
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
yang membahas tata gerejanya sendiri seperti GMIM dan GMIT.10 Keadaan ini mendorong GPI untuk mengkaji kembali tata gerejanya dalam sidang gereja Am pertama di Jakarta tanggal 20-30 Mei 1951. Pada sidang ini lahirlah tata gereja GPI dan peraturan sidang gereja Am GPI yang terbit pada Oktober 1952. Tata ini menjadi landasan pemahaman GPI untuk tidak membentuk Gereja kesatuan tetapi memperjuangkan Gereja yang esa melalui DGI. Pengaruh GPI terhadap DGI tampak pada konsep oikumenis gereja daerah aau wailayah. Konsep kerjasama gereja-gereja wilayah yang diangkat dan diusulkan Ds. W.J. Rumambi dalam sidang Gereja Am pertama 1951 dikembangkan dalam keesaan DGI. Perkembangan yang terjadi dalam GPI juga turut mempengaruhi perjalanan sejarah GMIM sebagai salah satu gereja yang berada dalam perwalian GPI bersama GMIT, GPM. Hubungan GMIM dan GPI saling mempengaruhi, GMIM melalui para pemipinnya memberi pengaruh kuat terhadap perkembangan GPI sebaliknya juga GPI dalam berbagi kebijakan mempengaruhi perkembangan GMIM termasuk pengajian dan pengkaderan para pemipin GMIM. GMIM berada dalam perwalian GPI, sejak tahun 1880 jemaat-jemaat di Minahasa diserahkan kepada Gereja Protestan di Indonesia (GPI) atau Indische Kerk. Ketika GMIM di tetapkan sebagai gereja yang berdiri sendiri pada tanggal 30 September 1934, GMIM masih berada dalam perwalian GPI. Hubungan antara GMIM dan GPI dilihat sebagai hubungan antara kakak dan adik. GPI sebagai gereja tua yang dibentuk oleh pemerintah dan GMIM sebagai gereja muda diberi kebebasan untuk mencari pola sendiri dalam menata jemaat-jemaatnya. Dalam konteks gereja yang berada dalam perwalian tentu GMIM memegang aturan-aturan dalam GPI. Struktur kepengurusan GMIM terkait dengan GPI yang berpusat di Batavia. Dominasi GPI jelas mempengaruhi struktur kepengurusan di GMIM. Kepengurusan ditingkat klasis dari sepuluh klasis hanya dua klasis yang di pimpin oleh pendeta Minahasa yakni klasis Sonder Pdt. Mundung dan klasis Tomohon oleh Pdt A.Z.R.Wenas. Peraturan pokok gereja Minahasa hanya dapat diubah dengan persetujuan Sinode Am, penempatan para pendeta termasuk
10
G.PH. Locher. Tata Gereja Protestan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), 312
7
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
Indische-predikant menjadi wewenang pengurus gereja termasuk penunjukan ketua sinode dan rapat-rapat klasis kecuali pengelolaan aset gereja berupa dana dan harta milik gereja bukan kewenangan pengurus gereja. Kondisi ini menimbulkan masalah bagi para pendeta GMIM. Masalah dipicu oleh semakin berkembangnya pemahaman berorganisasi pendeta-pendeta Minahasa. Sikap ini ditunjukan lewat beberapa kritikan tajam Pdt A.Z.R.Wenas mewakili para pendeta Minahasa dan utusan-utusan sinode terhadap penunjukan pejabat di klasis, ujian ulang yang dilaksanakan ulang oleh kerkbekstuur seolah-olah ujian yang dikerjakan oleh pendeta Minahasa tidak betul di School toot Opleiding van Inlands Leraren (STOVIL). Kritik itu di tujukan kepada ketua sinode masa itu yanitu Ds. De Vreede.11 Latar belakang sikap ini karena keinginan para tokoh GMIM agar gereja ini benar-benar berdiri sendiri secara sturuktur dan fungsi. Persoalan ini meluas pada ketegangan antara para pendeta asal Minahasa dan pendeta asal Belanda. Dr. Slotemaker de Bruine diutus untuk menyelesaikan masalah ini. Pertemuan yang dilakukannya dengan para anggota sinode menghasilkan kesepakatan bahwa para pendeta Minahasa diberi tempat untuk menjadi anggota sinode, menjadi ketua dalam jemaat dan klasis. Untuk ini maka perlu mempersiapkan para pendeta GMIM dalam pendidikan teologi. Memberi tempat dan kesempatan bagi para pendeta Minahasa juga didukung oleh Pdt. Nieuwpoort. Sebelumnya ia telah berbeda pandangan dengan Ds. Buenk dan Ds.De Vreede. Akibat dari pandangan itu maka ia dipindahkan ke Yokyakarta. Banyak para pendeta GMIM yang mendukung pandangan Pdt. Nieuwpoort. Dipihak lain kehadiran para pendeta Belanda di Minahasa disikapi Ds. Mundung sebagai bentuk keesaan Kristiani. Ia berpandangan bahwa sebab Kristus sebagai kepala gereja dan denganNya pandangan tentang perbedaan kebangsaan jatuh.12 Sikap terbuka yang ditunjukan oleh anggota-anggota sinode terhadap kehadiran
A.F Parengkuan. The Presence, place and role of the Christian Evangelikal Church In Minahasa in the mids of the struggle of The Minahasan Society and Indonesian Nation in the Period Of 1934-1979. (Jakarta: Disertasi, 1994), 81-82 11
Bdk A.F Parengkuan.
12
8
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
para pendeta Belanda tidak menyebabkan pertentangan yang tajam. Justru ada pendeta Belanda yang berkata bahwa biarlah pendeta Belanda bekerja dan dipandang sebagai anak bumiputra untuk keselamatan tanah Minahasa. Ada banyak suara-suara yang diwarnai oleh kebangsaan sering muncul dalam persidangan sinode tetapi anggota-anggota sinode berusaha untuk tidak mempolitisir keadaan dalam jemaat, melainkan menempatkannya dalam visi teologis terutama menempatkan peran warga gereja Minahasa untuk memajukan GMIM. Kabar tentang perang di Eropah semakin kuat terdengar hingga di Minahasa. Keadaan ini mempengaruhi kehadiran para pendeta berkebangsaan Belanda di Indonesia termasuk di GMIM. Karena itu dalam rapat 24 november 1941 yang dipimpin ketua sinode Ds. G.P.H. Locher menegaskan apa yang telah di sampaikan oleh Pdt. Herwerden bahwa anggota sinode harus mendukung Pdt A.Z.R. Wenas dalam kepemimpinannya sebagai ketua II terpilih, bila nanti kepemimpinan sinode harus di penggang oleh pendeta Minahasa. Keadaaan berubah setelah pendudukan Jepang di Indonesia termasuk di Minahasa. Perkembangan selanjutnya sesudah pendudukan Jepang di Minahasa GMIM menjurus pada upaya mengakhiri perwalian GPI.13 GMIM pada masa Pendudukan Jepang Pada masa pendudukan Jepang daerah Minahasa mengalami banyak kesulitan dan pergumulan. GMIM sebagai salah satu gereja di Minahasa juga menghadapi keadaan yang berbeda pada masa sebelumnya. Para tokoh GMIM mengalami ujian berat sekalipun dalam hal kemandirin sebagai gereja kondisi ini merupakan harapan para tokoh GMIM karena kepemipinan telah diserahlan penuh kepada para pendeta Minahasa. Masa pendudukan jepang telah memperkuat dan memperkokoh eksistensi GMIM dalam berbagai aspek pelayanan termasuk pandangan oikumenisnya karena pada masa ini bersama gereja lain di Minahasa dan seluruh Indonesia GMIM menghadapi keadaan warga jemaat dan masyarakat yang terpuruk akibat perang.
13
G.P.H.Locher,132-133
9
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
Pdt. A.Z.R. Wenas menjadi pimpinan sinode di masa pendudukan Jepang. Masa ini gereja menghadapi tantangan berat terhadap ekspansi Jepang dalam berbagai bidang kehidupan masarakat Minahasa termasuk kehidupan gereja. GMIM menyadari bahwa ia masih membutuhkan perhatian dan bantuan dari para pendeta Belanda serta lembaga donator dari Belanda. Dalam upaya GMIM menolong dan menyelamatkan para pendeta Belanda, GMIM menegaskan bahwa gereja Minahasa tidak berdiri atas satu suku tetapi berdiri diatas segala ras dan warna kulit. Sekalipun pernyataan ini tidak dapat menyelamatkan pendeta-pendeta Belanda dari penangkapan tentara Jepang. Keadaan ini telah memutuskan hubungan oikumenis dengan gerja-gereja, lembaga dan utusan dari Belandan karena itu GMIM harus mandiri tanpa bantuan dari gereja-gereja yang ada di Belanda. Hubungan kerjasama antar gereja di Minahasa terbangun pada masa pendudukan Jepang. GMIM terhubung dengan gereja lain yang ada di Minahasa melalui Majelis agama-agama di Selebes utara ( Kita Selebes Syu Kyodan) dan PAKSOE. Pada kedua organisasi ini semua gereja di persatukan. Wadah ini adalah badan kerjasama yang di bangun oleh Jepang untuk menjaga ketentraman di Minahasa. Pengakuan kerjasama semua gereja termasuk Minahasa dalam organisasi ini dibacakan oleh Wenas. “Kami menjatakan terimakasih kami dengan seboelat2 hati atas pendirian perkoempoelan Persatoean Keristen Menado Syu serta berdjandji dan bersoempah akan bekerja bersama2 dengan pelayan2 agama dan anggota-geredja yang tergabung dalam persatoean ini. Beralas pada iman indjili maka kami hendak beroesaha hidup tawakkal kepada Allah dan melajani manoesia oentoek mendjadi bala rakyat jang ta’at kepada Dai Nippon Taikoku dan oentoek mentjapai kemenangan peperangan Asia Timoer Raja”.14 Jelas bahwa pengakuan ini mengandung unsur politis. Pertama untuk mengamankan atau melindungi gedung gereja agar tetap ada. Kedua agar kegiatan beribadah dan pelayanan social gereja lainnya tetap dilaksanakan meskipun dalam keadaan yang
A.F. Parengkuan,106
14
10
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
sulit. Pengakuan ini dibuat oleh Ds. Hamazaki dalam bahasa Jepang. Alasan mengapa pengakuan ini dibacakan oleh Pdt Wenas. Menurut Pdt.S. Kaligis Seorang pendeta GMIM yang mengalami langsung keadaan GMIM pada zaman pendudukan Jepang. Ketika tentara Jepang menguasai Minahasa sebagian gereja di tutup. Tindakan ini memberikan kesan pada orang Minahasa bahwa tentara Jepang tidak mengenal agama adalah benar. Pdt A.Z.R Wenas berusaha meyakinkan Pemerintahan sipil Jepang tentang GMIM dan memohon agar kepada gereja-gereja Kristen diberikan dua hal, yakni: 1. Kesempatan untuk menjalankan tugas ibadahnya 2. Kebebasan untuk menjalankan panggilannya Kedua permohonan ini diperoleh dengan syarat bahwa GMIM menyokong usaha-usaha dan maksud pemerintah untuk memenangkan perang dan membangun suatu Asia Timur Raya yang kuat, tidak melakukan tindakan-tindakan yang menggangu ketertiban umum, terutama tidak menjadi mata-mata musuh. 15 Dari hal itu jelas bahwa konteks politik sangat mempengaruhi keputusan-keputusan pimpinan gereja. Tindakan ini tidak sekedar menjadi solusi bagi GMIM tetapi sikap Wenas memberi peluang bagi gereja-gereja lain selain GMIM untuk kembali melaksankan aktivitas gerejawinya. Dengan ini para pendeta GMIM dan gereja lain diberi kebebasan untuk melaksankan tugasnya dengan tidak mengalami hambatan. Sementara untuk pembiayaan kegiatan gerejawi tentu mengalami perubahan total sebelumnya secara khusus pada para pekerja GMIM di biayai oleh pemerintah GPI tetapi setelah pendudukan Jepang mereka harus dibiayai oleh jemaat-jemaat. Perjanjian untuk ikut serta dalam menjaga ketertiban dan menyokong usaha pemerintah Jepang dalam pemenagan perang bukan dalam pengertian politis tetapi pada hal kemanusiaan. Sebab dalam program GMIM yang tercatat dalam arsip GMIM disampaikan kepada pemerintah Jepang antara lain dikatakan bahwa “ Geredja Keristen di Selebes Oetara terpanggil mengerdjakan pekerjaan2 yang tjotjok dengan pendirianya selalu gereja jang mengakui Toehan Jesoes Keristoes
15
A.F. Parengkuan 107
11
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
selakoe kepalanya.16 Mengenai sokongan GMIM untuk memenangkan perang berpusat pada usaha kemanusiaan. Hal itu dirumuskan sebagai berikut Geredja Keristen memberikan dimana peloe peroesahaa2nja, roemah2 geredjanja kepada pemerintah oentoek dipakai selakoe roemah2 sakit. Ataoe jang kena loeka oleh peperangan. Geredja Keristen beroesaha soepaja roemah2 pengantar agama beralaskan pada kemampoeanja, melajani tentara di roemahnja setjara Keriten.17 Jelas bahwa pimpinan GMIM bersusaha menempatkan gereja dan misi ditengah pergumulannya pada masa pendudukan Jepang di daerah Minahasa. Dalam perjalanannya MSKK lebih berfungsi sebagai media perantara gereja-gereja dengan pemerintah Jepang dan masing-masing gereja. Melalui MSKK gereja-gereja memberikan informasi atau keterangan mengenai organisasinya. 2.2. GMIM DAN GPI SESUDAH KEMERDEKAAN Hubungan GMIM dan GPI kembali terjalin setelah Jepang dikalahkan oleh sekutu . Para pendeta Belanda dibebaskan dari tawanan. GMIM menyambut para pendeta ini dalam suatu ibadah sykur yang digabung dengan HUT GMIM yang ke-11. Dimana para pendeta Jepang, Belanda dan Minahasa hadir dalam ibadah syukur ini. Sejak akhir tahun 1945 GMIM kembali berhubungan dengan GPI karena telah terbentuk sinode Am yang baru di Jakarta. Terhadap peraturannya GMIM mengambil sikap untuk tetap menggunakan aturan-aturannya yang ada sebelum ada aturan baru. Kewajiban financial pada masa sebelum pendudukan Jepang diserahkan kepada pemerintah Indonesia Serikat (RIS). Dengan itu maka para pendeta GMIM dibayar oleh Negara. Keadaan ini hingga pada bulan agustus 1950 karena terjadi pemisahan antara gereja dan Negara. Karena kondisi ini maka GMIM kembali melakkan kemandirinnya dibidang keuangan. Para pendeta Belanda kembali ikut dalam mengambil bagian pada pelayanan di GMIM.
A.F. Parengkuan, 108 A.F. Parengkuan, 108
16 17
12
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
Persoalan lain muncul setelah antara GPI dengan GMIM kembali tersambung. Ada banyak pertanayaan tentang status para pendeta Belanda paska kemerdekaan. Diataranya Apakah para pendeta Belanda tetap dipertahankan atau GMIM benar-benar akan mandiri dengan menghapus hubungan dengan gereja lama? Keadaan ini semakin sulit karena masyarakat Minahasa sementara berada dalam situasi yang dipengaruhi oleh semangat kebangsaan yang kuat. Para pemimpin GMIM mengambil jalan tengah dengan tetap memberi kesempatan kepada para pendeta Balanda mengambil bagian dalam kegiatan pelayanan di GMIM dengan menduduki tempat sesuai dengan mandat sidang sinode tertanggal 19 Juli 1946 bahwa GMIM tetap membutuhkan tenaga-tenaga dari luar. Misalnya Pdt. G.P.H. Locher secara khusus diangkat untuk menjadi mediator antara GMIM dan kerbekstuur dan mendapat tugas untuk memimpin pembentukan badan oikumenis yakni “commisie der opprbereiding van oecumenische samenwerking in noord en Midden-Celebes. Pdt.I.P.C. van’t Hof diterima sebagai penasehat sinode khususnya dalam bidang teologi. Demi kelancaran hubungan dengan para pendeta Belanda maka tata gereja GMIM kembali di revisi ulang, baik hal yang terkait kemandirian dan hubungan dengan gereja lama. Pemikiran oikumenis telah tumbuh dari para tokoh GMIM setelah melewati pergumulan berat. Sikap itu ditunjukan kepada GPI yang tidak setuju dengan pendirian sekolah Teologi di Indonesia bagian timur. Ketidak setujuan kerbekstuur terkait dengan penunjukan Dr. Bergema yang beraliran gereformeerd sebagai Kurator.18 Ini menujukan bahwa GMIM mewakili gereja-gereja muda di Indonesia mulai mengarah dan terbuka pemikirannya terhadap usaha oikumenis gereja-gereja untuk menyokong pembentukan suatu dewan gereja di Indonesia. Pemikiran yang disampaikan GMIM dalam rapat GPI III di Bogor tentang status gereja-gereja yang berada dalam lingkup GPI yaitu GMIM, GPM, GMIT, GPIB adalah gereja-gereja yang berdiri sendiritetapi berada dalam federasi Gereja injili di Indonesia dan
18 Notulen sindang sinode GMIM.16-18 Desember 1947. Hlm 15 dalam arsip GMIM.
13
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
keempat gereja ini memilih kerbekstuur.19 Sesudah itu dalam rapat GPI pada tahun 1949 pembicaraan tentang pemisahan keuangan Negara dengan gereja telah dibicarakan. Realisasi pemisahan keuangan itu dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 1950. Sesudah pemisahan keuangan GMIM mengutus Pdt. R.M.Luntungan untuk menjadi pimpinan GPI sekalipun ia terpilih dalam sidang sinode 15-17 Mei 1956 tetapi karena ia juga terpilih sebagai ketua Badan Pekerja Am GPI maka GMIM member keluasan untuk melaksanakn tugas tersebut. Untuk mengisi kekosongan pimpinan sinode mak ia digantikan oleh Pdt. A.Z.R.Wenas sebagai wakil ketua untuk memimpin GMIM. Ia menjadi ketua Badan Pekerja Am GPI selam tiga tahun. 3. PERANAN GMIM DALAM PEMBENTUKAN DGI Benih-benih kesadaran oikumenis tumbuh di Minahasa tak lepas dari peranan tokoh-tokoh Minahasa, diantaranya Pdt. A.Z.R. Wenas. Dalam tulisan Pdt. R.M. Luntungan tentang Pdt. Wenas dijelaskan bahwa kehidupan organisasi dan peranannya terhadap kepemimpinan di GMIM dipengaruhi oleh semangat kebangsaan yang saat itu berkembang di Indonesia.20 Ia adalah pribadi yang berjuang gigih bergumul untuk tegak berdirinya gereja-gereja daerah dalam lingkungan Gereja Prostestan di Indonesia. Pemikiran dan peranan oikumenisnya telah di implementasikan melalui penugasanya sebagai direktur STOVIL sejak tanggal 10 Agustus 1928. Ia membuka pintu bagi bagi calon pemipin-pemimpin di daerah seperti Sangir Talaud, Bolaang Mongondow, Palu, Donggala, Luwuk banggai atau Poso-Tentena dan daerah lain untuk belajar di STOVIL.21 Hal ini dijiwai oleh pandangananya bahwa gereja-gereja harus tegak berdiri di daerah (regionale kerk) tetapi tetap dalam ikatan bersama. Untuk itu harus ada pusat pendidikan para pendeta yang menjadi pemimpin di daerah-daerah. Keadaan itu juga yang mendorongnya mencetuskan ide untuk mendirikan sekolah tinggi teologia untuk menggantikan STOVIL ketika ditutup. Ia sangat
A. F. Parengkuan, 97-98 R.M.Luntungan, 1969,Ds.A.Z.R. Wenas dan Geredja2 Daerah (beberapa catatan). Diterbitkan dalam bulletin DGW.SULUTTENG. Tomohon. Hlm.16 21 R.M.Luntungan,18 19 20
14
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
setuju dengan usaha berdirinya berdirinya HTS di Bogor yang terealisasi pada tahun 1934. Dukungan GMIM terhadap gerakan oikumenis dunia adalah mengutus Ds. Mundung mengikuti konperensi IMC di Tambaram pada tahun 1938 bersama 14 orang utusan lainnya. Pengutusan Ds. Mundung memberi dampak yang sangat penting dalam pemikiran dan konsep-konsep oikumenis masa depani. Peranan Ds. Mundung terkait dengan gerakan oikumenis paling menojol ketika terjadi persoalan antar para pendeta Minahasa dan para pendeta Belanda sesudah kemerdekaan. Semangat kebangsaan turut mempengaruhi GMIM sebagai gereja local . Pemikiran Ds Mundung memberi solusi bahwa kehadiran para pendeta Belanda di Minahasa harus dilihat dari terang keesaan di dalam Kristus yang mana di dalamnya semua bangsa terhisab. Ds. Mundung ingin menjelaskan bahwa di dalam gereja tembok pemisah antar bangsa, suku, warna kulit dirobohkan sehingga semua bersekutu didalam gereja sebagai bagian dari tubuh Kristus. Buah-buah pikiran oikumenis yang dirintis oleh para pendahulunya memberi motivasi bagi para generasi selanjutnya. Dua tenaga GMIM diutus ke HTS Bogor untuk kepentingan studi. Mereka adalah W. J. Rumambi dan R. M. Luntungan. Setalah menyelesaikan studinya keduanya turut mengambil bagian dalam pelayanan-pelayan di wilayah GMIM. Pdt. R. M Luntungan banyak terlibat dalam kegiatan PAKSOE dan GPI, pada masa pendudukan Jepang dan Pdt. W.J. Rumambi sangat menonjol perannya dalam gerakan MOBGK dan persiapan pembentukan DGI. Dalam kaitan dengan gerakan oikumenis, peranan tokohtokoh GMIM semakin menonjol sesudah kemerdekaan. Pada sidang sinode pertama sesudah perang yang hebat, dibahas mengenai program yang terkait dengan oikumenis yaitu Oecumenische Bewenging yang dianjurkan oleh Ds. G.P.H. Locher. Dalam keputusan sidang sinode GMIM disebutkan bahwa sinode akan berusaha sekuat mungkin agar Oecumenische Bewenging (gerakan keesaan) segera di wujudkan.22 Tindak lanjut dari sikap GMIM terhadap gerakan oikumenis adalah mengutus beberapa pendeta ke konferensi Malino setelah 22
Notulen GMIM pada 16-19 Juli 1946, 5
15
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
sebelumnya dibahas dalam sebuah sidang tentang konsep konferensi itu. GMIM memahami bahwa konferensi itu adalah sebagai wadah untuk berhubungan atau berkomunikasi dan para utusannya ditugaskan untuk meneruskan usulan itu ke konferensi. Para utusan GMIM adalah Ds. W.J. Rumambi, Ds.R.M. Luntungan, M.Sondakh, L.P. Rumokoi. 23 Ds. W.J.Rumambi kemudian terpilih sebagai sekretaris MOBGK. Keterpilihannya menurut catatan DR. P.N Holtrop adalah sebuah kelayakan karena ia menjadi motivator yang menyebabkan konferensi ini dilaksanakan. Rencana pelaksanaan konferensi Malino ini telah digagas oleh Pdt. W.J. Rumambi dari GMIM, Pdt. E. Dukstra dari GMIT, Pdt. F.H. de Fretes dari GPM. Mereka mengumpulkan para peserta gereja-gereja dari Indonesia Timur setelah konferensi pekabar-pekabar injil di Jakarta pada tanggal 10-20 Agustus 1946. Pdt. W.J. Rumambi menyampaikan rencana usaha persiapan Konferensi Makasar. Yang akan dilaksanakan pada bulan Maret. Pada saat itu dirumuskan tujuan konferensi Makasar sebagai berikut, untuk menyatakan keesaan gereja-gerejadan bakal-bakal gereja di Indonesia bagian timur, selaku cabang atau cabang-cabang dari Balai Gereja Kristen di Indonesia. 24 Pdt. W.J. Rumambi telah memberi pengaruh yang kuat pemikiran oikumenis dalam kalangan GMIM dan gereja-gereja di Indonesia Timur untuk mempersiapkan MOBGK. Pada bulan Januari 1947 Pdt. W.J. Rumambi dan DR. Bergema bekerjasama untuk merealisasikan rencana persiapan konferensi Malino yang akan dilaksanakan pada bulan Maret 1947. Konferensi Malino dilaksanakan pada tanggal 15-25 Maret 1947. Konferensi ini menghasilkan pokok-pokok penting yang terkait dengan persiapan gerakan keesaan di Indonesia. Salah satu hasilnya adalah didirikan suatu Dewan Gereja setempat yang merangkum semua gereja di Indonesia Timur dan sekaligus menempatkan dirinya sebagai cabang dari dewan gereja di seluruh Indonesia yang akan didirikan nanti. Dalam konferensi ini berdiri Madjelis Oesaha BersamaGeredja-Geredja Keristen di Indonesia (MOBGK) lembaga ini kemudian disingkat dengan Majelis Kristen.25
24
ibid P.N. Holtrop. Selaku Perintis Jalan Ujung Pandang.(Yokyakarta: Kanisius,
25
ibid
23
1994), 18
16
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
Didalam konferensi ini juga diputuskan untuk mendirikan sekolah pendeta untuk daerah-daerah Indonesia bagian timur. Konsep ini sama dengan konsep yang pernah dibuat oleh Pdt. A.Z.R. Wenas melalui STOVIL.26 Selanjutnya para pendeta GMIM banyak terlibat dalam MOBGK . Pdt. W.J.Rumambi sebagai sekretaris MOBGK ditahun berikutnya digantikan oleh Pdt. R.M. Luntungan sebagai sekretaris umum. Pada masn Pdt. R.M. Luntungan ia melukiskan bahwa periode Pdt. W.J. Rumambi adalah masa dimana kegiatan ditekankan pada kegiatan keluar dan pada masa Pdt. R.M. Luntungan adalah masa konsolidasi dan masa meneggakkan anggota-anggota madjelis Keristen.27 Periode sesudah Pdt. R.M. Luntungan berakhir dan digantikan oleh Pdt. B.Supit. secara berurut MOBGK di pimpin oleh para pendeta GMIM. Terkait dengan peranan GMIM dalam MOBGK tidak hanya mengutus para pendeta menjadi sekretaris dalam lembaga yang memiliki peran urgen dalam lembaga ini, GMIM juga membiayai para pendeta yang diutus ke lembaga ini. Melalui Majelis Kristen dan para utusannya GMIM menyampaikan pemikiran dan konsep ekumenisnya. Di GPI melalui Pdt. W.J. Rumambi pemikiran GMIM tentang konsep keesaan di Indonesia dikembangkan. Pada sidang sinode Am GPI pada bulan Juli 1948 juga turut membahas usaha dan peranan GPI kearah pembentukan pembentukan dewan gereja di Indonesia. Pdt. W.J.Rumambi menggambarkan bahwa sidang ini adalah sidang pertama yang dihadiri oleh gereja-gereja dan utusan gereja daerah. Keputusan-keputusan dalam sidang ini tidak bertentangan dengan hasil yang di capai dalam konferensi Majelis Kristen untuk membentuk selekas mungkin satu majelis gereja-gereja di seluruh Indonesia.28 Keputusan ini di tindak lanjuti dengan
26 Bdk. Pdt. R.M.Luntungan,18. dijelaskan bahwa Pdt. A.Z.R. Wenas memiliki pandangn ekumenis tentang gereja-gereja daerah hasil penginjilan harus memiliki pemimpin-pemimpin. Untuk itu para pemimpin jemaat perlu mendapat pendidikan, karena itu ia membuka pintu bagi para pemimpin gerej di daerah itu untuk belajar di STOVIL. 27 P.N. Holtrop, 42 28 Chris Hartono. Gerakan Ekumene di Indonesia (Yokyakarta : Pusat Penelitian dan Inovasi Dutawacana, 1984), 68.
17
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
pembaharuan susunan Gereja Prostestan di Indonesia. 29 Dalam sidang Pdt. A.Z.R. Wenas yang menentang pola pemikiran bahwa GPI menjadi gereja kesatuan. Menurut Pdt Wenas GPI tidak menjadi gereja kesatuan tetapi tempat gereja-gereja anggotanya saling berhubungan satu dengan yang lain. Dengan demikian masingmasing gereja diberi kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Dalam kaitan dengan GPI gereja yang berdiri sendiri itu saling terhubung. GMIM mengusulkan agar GPI menggunakan bentuk federasi. 30 Pada sidang ini Pdt. W.J. Rumambi terpilih menjadi sekretaris sinode Am GPI. Konsep pemikiran Pdt. W.J.Rumambi tentang gereja-gereja wilayah telah diungkapkan dalam sidang sinode Am tahun 1951. Konsep ini kemudian dipakai dalam DGI.31 Setelah sidang Am GPI pada bulan Juli 1948 beberapa utusan mengikuti sidang DGD I di Amsterdam tanggal 22 Agustus 4 September 1948. Kehadiran mereka sangat penting dalam memperkaya pengalaman oikumenis. Sesudah sidang ini para utusan dintaranya Pdt. W.J. Rumambi berupaya melanjutkan langkah Panitia Perancang. Konferensi tersebut dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 6-13 November 1949. Kondisi masa itu tidak memungkinkan DGI dibentuk tetapi lewat pertemuan itu ditetapkan bahwa pada bulan Mei akan dilaksanakan konferensi pembentukan DGI. DGI berdiri pada tanggal 25 Mei 1950 dalam konerensi pembentukan yang dilaksanakan di STT Jakarta pada tanggal 21-28 Mei 1950. Pdt. W. J. Rumambi menjadi sekretaris pertama dalam DGI. Sesudah pembentukan DGI pada tahun 1951 dibentuk dewan daerah Sulawesi utara sebagai cabang dari PGI dilingkungan Sulawesi utara, tengah dan tenggara. Pembentukan ini berawal dari kesepakatan tiga sinode yang mengadakan pertemuan di Tomohon pada 23 dan 26 Juli 1951. Yang mengadakan kongres pembentukan Dewan Daerah DGI (DD DGI) Sulawesi Utara (masa itu sampai di Sulawesi Tengah). Konferensi ini di hadiri oleh Pdt. W.J. Rumambi selaku sekretaris DGI. Pada waktu itu Pdt.A.Z.R. Wenas ditugaskan menjadi penghubung dan mengundang gereja-gereja anggota DGI
G.P.H. Locher, 314-315 Notulen Rapat sidang sinode GMIM 19-20 Mei 1948. Hlm 10-11 31 G.P.H. Locher, 316 29 30
18
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
untuk menghadiri konferensi pembentukan di Kotamobagu (GMIMB). Konferensi Kotamobagu dilaksanakan pada 16-20 September 1951 dihadiri GMIST, GMIM, GMIBM dan GKST. Konferensi ini menghasilkan DD DGI yang dicetuskan pada 17 September 1951. Maksud dan tujuannya adalah melaksanakan maksud DGI untuk melaksanakan keesaan Gereja Kristen di Indonesia. Pengurus DD DGI yang terpilih adalah Pdt. A.Z.R. Wenas sebagai ketua, Pdt. R.M. Luntungan sekretaris.32 Berdirinya DD DGI adalah perwujudan dari konsep yang telah dibangun oleh Pdt. A.Z.R. Wenas yang telah di realisasikan oleh Pdt. W.J. Rumambi. PERANAN GMIM SESUDAH PEMBENTUKAN DGI HINGGA TAHUN 1980 Sesudah terbentuknya DGI, GMIM tetap aktif dalam kegiatan-kegiatan GPI. Beberapa pendeta GMIM dipilih menjadi pimpinan GPI dalam periode ini diantaranya Pdt R.M.Luntungan. Diantara bulan Mei 1956 hingga Maei 1957, Pdt . A.Z.R. Wenas yang terpilih sebagai wakil ketua memimpin GMIM. Sidang sinode GMIM yang dilaksanakan pada tanggal 15-17 Mei 1956 sebenaranya yang terpilih sebagai ketua sinode adalah Pdt. R. M. Luntungan. Pada masa itu beliau sedang melaksanakan tugas sebagai ketua GPI terpilih. Dalam suatu diskusi panjang akhirnya sidang memutuskan bahwa Pdt. R.M. Luntungan tetap menjadi Ketua badan Pekerja Sinode Am. Karena itu selama setahun ketua sinode di jabat oleh Pdt. A.Z.R. Wenas. Ini menunjukan sikap keterbukaan GMIM terhadap dalam kehidupan oikumenis. Peristiwa penting lainya yang dibuat GMIM dalam kaitannya dengan kehidupan oikumenis dengan gereja lain. Pada akhir tahun 1946 dilakusanakan pengresmian tiga daerah penginjilan GMIM menjadi gereja yang berdiri sendiri yakni Gorontalo, Toli-Toli dan Donggala/Palu. Pelaksanaan pengresmiannya dilaksanakan di
32 Panitia pelaksana., Sidang Am Gereja Sulawesi Utara Tengah Runia S. J. 1987.Latar Belakang Dan Methode Pekabaran Injil Dari Johann Friderich Riedel Di Tondano. (Tomohon: Redaksi DGW SULLUTENG, 2009), 1-2
19
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
gedung gereja GMIM Sentrum Manado pada tanggal 18 Desember 1964.33 Dalam keadaan yang mengalami kesulitan dan persoalan peranan Pdt. R.M. Luntungan diharapkan untuk menanggulangi GMIM. Setelah kembali ke GMIM, Pdt. R.M. Luntungan memulai tugasnya dengan melakukan perbaikan ekonomui dan stabilitas politik. Sebagai ketua Sinode sekalipun dalam keadaan sakit ia tetap memberi perhatian pada kehidupan oikumenis gereja terutama peran GMIM dalam gerakan oikumenis. Pada sidang sinode ke-56 di Tosuraya beliau tidak sempat hadir karena sakit dan di rawat di Jakarta. Melalui telegram ia sempat mengirmkan pesannya kapada para peserta sidang , agar orientasi kejemaat-jemaat serta pengkaderan disemua tingkat hendaknya dilakukan dalam semangat bersama-sama dengan keesaan gereja Kristus. Ia juga meningatkan bahwa mengikut Kristus selalu bearti resiko dan pengorbanan, namun gereja adalah persekutuan para pelayan dalam pengharapan pagi yang baru.34 Dalam kalimat-kalimat Pdt. R.M. Luntungan Nampak semangat oikumenis yang sangat kuat. Hal ini tentu dilator belakangi oleh tanggung jawab sebelumnya sebagai pimpinan dalam lingkungan GPI. Ia juga sangat menyadari bahwa pada masa itu anggota jemaat GMIM sementara mempersiapkan diri untuk menjadi pelaksana sidang Raya DGI ke X. Peristiwa ini adalah kebanggan GMIM sehingga mereka bersedia untuk berkorban. Kebanggaan yang dimaksud berhubungan dengan kepercayaan besar untuk turut berperanan melaksanakan peristiwa ekumenis nasional dan suatu pesta gerejawi yang besar di lingkungan mereka bagi jemaat-jemaat GMIM di pedesaan di pandang sebagai peristiwa langka.35 Implikasi bagi GMIM masa kini Perjalan historis GMIM memang banyak di pengurhi oleh teologi barat pada masa itu. Tak bisa di sangkali bahwa warisan gereja-gereja perintis penginnilan di GMIM mempengaruhi perjalan
Parengkuan, 101-102 Telegram yang dikirimkan oleh Pdt. R.M. Luntungan yang dikutip dalam notulen sidang sinode GMIM ke -56, 24-28 Maret 1979, hlm 91. Dalam arsip sinode. 35 Parengkuan, 104-105 33 34
20
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
gereja ini sepanjang masa. Biasa ini pun masih terasa hingga kini36. GMIM adalah gereja yang terus berkembang baik kualitas dan kuantitas. Secara territorial GMIM memiliki peran strategis bagi gereja dan masyarakat dalam berbagai bidang. Secara historis sejak awal kelahirannya GMIM memiliki hubungan dengan gereja-gereja di luar GMIM. Ini bukti bahwa hubunagn ekumenis telah berakar dalam diri GMIM. Secara luas perubahan paradigma dalam tubuh GMIM yang dipelopori oleh tokoh-tokohnya yang bersikap inklusif. GMIM adalah Gereja local yang mau berperanan dalam upaya mengesakan gereja secara nasional. Secara alkitabiah ini adalah harapan gereja sejak dari doa Yesus dalam injil Yohanes 17:21. Semua menjadi satu. Semagat keesaaan ini bukanlah tanda ekslusifitas gereja-gereja dalam DGI (sekarang PGI). Dalam wadah ini gereja dipanggil untuk mengembangkan relasi yang positif, kreatif, realistis dan transformative bersama komponen pembentuk bangsa ini. Salah satu misi gereja masa kini adalah mewujudkan perdamaian, keadilan, dan keutuhan ciptaan di bumi Indonesia ini. Berarti gerakan inii bukan ancaman bagi bangsa ini tetapi menajdi tonggal penopang kuat bagi kemajuan bangsa ini. Seperti kata Yeremia 29:7 ”Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Dengan begitu banyaknya persolan yang mencabikcabik rasa persatuan dan kesatuan anak bangsa maka gereja melaui gerakan keesaan membri kontribusi penting bagi kemajuan bangsa ini. Makna bagi dinamika gerakan ekumene GMIM menujukan bahwa gereja terus menerus mengalami perubahan. Gereja harus mempu mengikis sikap ekslusifitasnya. Gereja yang hidup adalah gereja yang dinamis , gereja yang menjadi berkat bagi banyak orang tetapi juga gereja yang berintegritas yang tidak kehidlangan jati dirinya. Misi gereja untuk menjadi garam dan terang bagi dunia tidak bermaksud untuk kristenisasi tetapi menunjukan peranan gereja bagi pembangunnan bumi pancasila ini. Gereja tidak hanya memikirkan hal internal saja tetapi juga dunia sekelilingya yang membutuhkan
36Bdk. Soegeng Hardiyanto., Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan, dalam buku strungling ini Hope, Ferdinan Sulemean, adji Ageng Sutama, A. Rajendra. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 129
21
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
pernan gereja, gereja harus mampu melayani, menyikapi dengan bijak dan turut menemukan solusi terhadap masalah politik, social, dan ekonomi. Gerakan ekumene tidak sekedar berputar sekitar gerAkan mengesakan gereja secara institusi tetapi gerakan ini perlu diarahkan pada misi gereja secara universal menyikapi realitas dunia masa kini. Penting mewariskan nilai-nilai ekumenis bagi tokoh gereja dan jemaat masa kini, sehingga suara kenabian gereja tak hanya tampak pada periode tertentu, masa tertentu tetapi sebagaiman misi gereja yang tiada akhir yakni sampai akhir zaman. GMIIM adalah salah satu gereja anggota PGI, penting memahami bahwa gereja terus menerus mengalami perubahan sebagaiman semboyan reformasi. Sejarah gerakan ekumeni GMIM menunjukan bahwa nilai-nilai ekumeni itu ditanamkan dari sekolah, pengalaman pelayanan tetapi juga regulasi gereja. perlu memberi tendensi yang kuat dalam pendidikan teologi bahwa gerakan ekumene tidak hanya membangun keeasaan gereja secara intitusi tetapi juga bagaiman gereja melihat realitas sekeliling secara bersama-sama. KEPUSTAKAAN Banawiratma J.B., et.al., Tempat dan arah Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994. Bosch David., Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006 Darmaputra Eka (et.al)., Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2004 End Van Den., Ragi Carita I, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988. Locher. G.PH., Tata Gereja Protestan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. Hardiyanto Soegeng (et.al)., Strungling In Hope. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011. Holtrop. P.N., Selaku Perintis Jalan. Yokyakarta: Kanisius, 1994 Hartono Chris. Gerakan Ekumene di Indonesia Yokyakarta : Pusat Penelitian dan Inovasi Dutawacana, 1984.
22
Educatio Christi Nomor : 24 Tahun XXI Februari 2016
Disertasi Parengkuan. A.F. The Presence, place and role of the Christian Evangelikal Church In Minahasa in the mids of the struggle of The Minahasan Society and Indonesian Nation in the Period Of 1934-1979.Jakarta: Disertasi, 1994 Dokumen Telegram yang dikirimkan oleh Pdt. R.M. Luntungan yang dikutip dalam notulen sidang sinode GMIM ke -56, 24-28 Maret 1979, (Dalam arsip sinode) Notulen sindang sinode GMIM.16-18 Desember 1947. (Dalam arsip GMIM). Notulen Rapat sidang sinode GMIM 19-20 Mei 1948 Panitia pelaksana. Sidang Am Gereja Sulawesi Utara Tengah Runia S. J. 1987. Tomohon: Redaksi DGW SULLUTENG, 2009 Luntungan. R.M., Ds.A.Z.R. Wenas dan Geredja2 Daerah. Diterbitkan dalam bulletin DGW.SULUTTENG. Tomohon. 1969 Yewangoe . A.A. Keberadaan PGI tidak bisa dilepaskan dari gereja-gereja. Oikumene,( edisi khusus 60 tahun PGI. 2010.
23