Ichsanuddin Noorsy: Harus Mundur dan Tanggung Jawab Monday, 11 January 2010 21:13
{mosimage}
Ichsanuddin Noorsy Pengamat Kebijakan Publik |
Kasus Bank Century menggelinding bak bola salju. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan partai serta tim suksesnya pun sempat disebut-seput kecipratan dana hasil maling tersebut. Sebelum penyelidikan ini berlangsung, SBY menyebut itu semua fitnah dan menyakitkan. Sementara Boediono dan Sri Mulyani, dua orang yang paling bertanggung jawab menggelontorkan uang rakyat ke segelintir maling ini mengaku bahwa apa yang mereka lakukan adalah benar dan tidak melanggar hukum. Padahal audit BPK menyatakan tindakan keduanya bersalah. Bagaimana mendudukkan ini semua? Wartawan Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai Ichsanuddin Noorsy, pengamat kebijakan publik. Berikut petikannya.
SBY mengaku merasa difitnah dan membantah terlibat skandal Bank Century. Tanggapan Anda? Agar tidak menjadi fitnah silakan tim kampanyenya diaudit oleh BPK. Itu tidak melanggar hukum. Jadi semua tim kampanyenya harus mau diaudit. Baik tim kampanye Partai Demokrat maupun kampanye pilpres. SBY sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat dan sebagai pilpres terpilih harus mengatakan dan mengeluarkan surat keputusan, “Hai semua tim kampanye pileg dan pilpres buka audit Anda dan berikan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini adalah BPK”. Itu yang disebut dengan audit backward. SBY harus mau dong menjalani audit backward. Kan dia sendiri yang gembar-gembor akuntabilitas. Begitulah cara membuktikannya sehingga tidak cukup hanya dengan mengatakan bahwa itu fitnah.
Anda memiliki bukti aliran dana skandal Century ini?
Nggaklah, walau pun saya mengerti saya tidak akan bicara. Biarkan nanti bukti formil yang keluar.
1/5
Ichsanuddin Noorsy: Harus Mundur dan Tanggung Jawab Monday, 11 January 2010 21:13
Bagaimana agar bukti formil tersebut dibuka PPATK kepada publik?
Kalau Anda meminta aliran dana tersebut dibuka PPATK kepada publik itu berhadapan dengan UU No.10 Th. 1998 tentang Kerahasiaan Perbankan. Lalu juga berhadapan dengan UU pencucian uang. Sehingga dana pihak ketiga tidak bisa buka. Sedangkan untuk aliran ke mana saja dana itu diberikan, data tersebut hanya bisa diberikan kepada kejaksaan dan kepolisian.
Lalu harus bagaimana DPR?
Gampang. Suruh PPATK terbitkan data aliran dana itu secara rahasia berikan kepada BPK. Kemudian BPK memberikannya kepada DPR selesai. DPR bisa melakukan itu melalui usul inisiatif atau melalui keputusan presiden bersama DPR membongkar itu. Atau DPR memerintahkan kepada kejaksaan dan kepolisian memberikan kuasa kepada BPK agar PPATK memberikan data aliran dana tersebut.
Jadi jalan keluarnya banyak sekali. Jadi tidak sempit jalan berpikirnya itu. Jadi tidak hanya bergantung kepada hukum yuridis formal. Karena yuridis formal tersebut sebetulnya kan telah gagal menangkap rasa keadilan.
Kejaksaan sendiri sudah mengatakan bahwa tidak ada tindak pidana dalam aliran dana Century karena sudah sesuai dengan hukum yang berlaku?
Aaah kejaksaan main politik kalau itu. Sederhana saja itu. Itu merupakan salah satu upaya untuk membangun kepercayaan publik yang kemudian rontok dengan hasil audit. Tidak usah ditanggapi.
Boediono dan Sri Mulyani beralasan bailout itu harus dilakukan karena kalau tidak bangkrutnya Century akan berdampak sistemik pada dunia perbankan. Tanggapan Anda?
2/5
Ichsanuddin Noorsy: Harus Mundur dan Tanggung Jawab Monday, 11 January 2010 21:13
Century adalah bank kecil. Bila menggunakan adagium perbankan jelas tidak masuk akal. Karena kalau bank kecil, yang pusing adalah bank kecil itu sendiri. Kalau bank papan tengah yang pusing adalah bank papan tengah dan bank sentralnya. Kalau bank besar barulah bank sentral yang pusing.
Jadi bila Bank Century itu diselamatkan berarti adagium tersebut dilanggar. Jelas itu tidak cocok dengan praktik-praktik kapitalisme. Padahal Indonesia ini sedang menerapkan kapitalisme.
Bila menggunakan ukuran makro ternyata hanya Bank Century sajalah yang CAR-nya di bawah 8 persen. Bank yang lain CAR-nya di atas 16,2 persen.
Dari segi ukuran, Century adalah bank yang sangat kecil. Dari segi keterkaitan dengan industri, sangat kecil. Dari dampak sistem pembayaran sangat kecil. Dari sisi dampak psikologis, sakit psikologisnya siapa?
Dari sisi keuangan juga tidak memadai bila dianggap tidak diberikan dana talangan akan berdampak sistemik.
Jadi itu menunjukkan apa?
Pemerintah sembrono. Acapkali pejabat publik yang menyatakan diri profesional, prudential itu ternyata sembrono dan merugikan karena memakai uang rakyat tidak pada tempatnya.
Mereka menyelamatkan untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu diselamatkan. Mereka tidak kompeten. Pada kasus Boediono jelas, situasi yang tidak sistemik dinyatakan sistemik. Sri Mulyani juga demikian menerima keputusan Boediono begitu saja sehingga menggunakan dana LPS sebesar 6,762 Trilyun.
Siapakah otak maling di Century ini, Djoko Candra-kah?
3/5
Ichsanuddin Noorsy: Harus Mundur dan Tanggung Jawab Monday, 11 January 2010 21:13
Nggak dong, dalam konteks ini adalah Robert Tantular. Tapi kan posisinya begini orang kaya tidak akan menaruh uang sembarangan di tempat seperti itu. Jadi pada kasus Budi Sampoerna yang menaruh uang sampai US$ 95 juta, itu aneh sebenarnya.
Siapa yang harus bertanggung jawab dengan keluarnya dana talangan?
Di Bank Indonesia Deputi Gubernurnya perbankan dan pengawasan lalu ke hukum dan Bank Indonesia sendiri termasuk direktorat pengawasan. Lalu kalau di menteri keuangannya menteri keuangan sendiri. Kemudian LPS karena tidak proper and comply. Itu kalau pada kebijakan. Kalau pada tindak pidana ya Robert Tantular, Dewi Tantular dan orang-orang itu.
Seharusnya apa yang dilakukan Sri Mulyani dan Boediono untuk memperbaikinya?
Mundur dan tanggung jawab sesuai kondisi hukum. Hukum mengatakan ada tidak penyalahgunaan wewenang, ada tidak soal pidana. Nah, biarkanlah penyelidik yang melakukannya. Kalau persoalan Robet Tantular ya sudah. Kalau Sri Mulyani dan Boediono lihat saja versi hukum mana yang dilanggar.
Versi?
Iya. Misalnya, kalau merujuk kepada Perpu JPSK maka pencairan atau penggelontoran dana yang bisa dibenarkan hanya Rp 3,9 trilyun. Jadi yang tidak ada dasar hukumnya seperti yang dinyatakan BPK itu sejumlah Rp 2,886 trilyun.
Tetapi kalau merujuk kepada neraca yang diserahkan per 30 Oktober 2008 yang menyebutkan dana yang dibutuhkan itu ternyata hanya Rp 632 milyar saja maka yang dianggap tidak mempunyai rujukan hukumnya adalah Rp 6,132 trilyun.
Tetapi bila merujuk kepada ketidakjelasan status hukum Komite Koordinasi (KK) maka yang tidak bisa diterima adalah keseluruhan dana yang digelontorkan, yakni Rp 6,762 trilyun!
4/5
Ichsanuddin Noorsy: Harus Mundur dan Tanggung Jawab Monday, 11 January 2010 21:13
Jadi versi mana pun juga yang digunakan ya Sri Mulyani dan Boediono tetap melanggar hukum.[]
5/5