Ada suara asing yang tak pernah kudengar sebelumnya. Suara-suara itu bagaikan rintik hujan disiang pada puncak kemarau. Realitanya adalah kesedihan yang ditarik secara tiba-tiba untuk menyelingi kebahagiaan. Rintik hujan semakin deras. Langit semakin gelap. Kemanakah matahari, ia tidak muncul? Ia bagaikan disulap hilang oleh awan kelabu dan tak akan muncul. Suara-suara itu terus mengalun bagaikan ungkapan keikhlasan, mengalir ringan, hanyut lirih terbawa oleh aliran hujan. Dedaunan dihari itu turut basah, ranting-ranting pula dan hari itu sangat sunyi. Pepohonan ringkih rela meninggalkan pijakannya. Mereka semua mengerti mengenai sebuah perpindahan. Mereka seakan tahu bagaimana seharusnya menyikapi perpindahan dengan cara yang ideal. Satu hal lagi, mereka tahu apa yang terjadi pada keluarga pemilik rumah ini.
Hari itu, keluarga yang kita singgahi rumahnya mengikhlaskan sebuah kepergian. Aku menyebutnya sebagai kepergian karena aku sudah terlalu perih dan letih dengan kehilangan. Kita temui anak laki-laki keluarga ini yang membisu dipagi hari. Tatapan matanya kosong. Tiba-tiba seorang Ibu-Ibu gemuk datang dan menanyakan keadaan Ibunya. Hanya getar bibir dan suara yang hanya seperti bisikan yang keluar dari mulutnya. Kemudian Ibu-Ibu gemuk itu memeluknya erat. “Yang sabar ya, nak.” Katanya “Setiap manusia memiliki waktunya masing-masing dan Ibumu telah memanfaatkannya dengan baik, meskipun harus berakhir dengan cepat.” Oleh Ibu-Ibu gemuk itu, seluruh tetangga sekitar diberitahukan mengenai berita duka itu. Suara speaker di musholla dan masjid bergantian mengabarkan berita duka ini. Semakin buram dan duka menyelimuti semuanya dalam sekejap. 2
Anak laki-laki itu tersadar dalam lamunan. Ia bergegas merapikan semua ruangan yang ada didalam rumahnya untuk menyambut para tamu Ibunya. Dengan gerak cepat tumpukan barangbarang, kain-kain pesanan orang, pakaian-pakaian hampir jadi, setengah jadi dan pakaian jadi semuanya ia masukkan kedalam keranjang. Kemudian ia menyapu sekenanya. Mesin jahit milik Ibunya yang berada diruang depan ia masukkan kedalam ruang tengah yang kini penuh dengan lemari display, kursi, meja dan sebagainya. “Ruang tamu pasti terpakai dan tamu Ibu pasti akan banyak sekali.” Pikirnya Speaker di musholla lainnya menyampaikan duka yang sama. Karpet digelar satu persatu untuk menutupi lantai yang dingin, sebelumnya telah kita ketahui bahwa pepohonan rindang yang mengisi pekarangan rumah kecil itu telah rela ditebang. Dahulu kesejukan dirumah itu mampu membuat siapapun yang bertamu 3
betah berlama-lama. Saat ini keikhlasan pepohonan itu untuk membuka pintu dan melepas sang Nyonya rumah menyadarkan setiap insan bahwa tidak ada yang abadi.
4
Orang-orang dewasa dan beberapa remaja serta anak-anak kecil telah memasuki Musholla yang cukup besar. Hampir seluruh ruangan itu terisi penuh untuk menyalati jenazah Nyonya rumah itu. Pada baRissan terdepan tidak Nampak anak laki-laki itu. Ia memilih berdiri dibaRissan paling akhir. Wajahnya semenjak pagi ini tak ada ekspresi yang tergambar dengan jelas disana. Kini lebih muram, ia mulai merasakan diujung perjalanan ini. Selesai menyalati jenazah, ia yang lebih dahulu mendekati keranda Ibunya. Hampir semua mata yang ada disana tertuju pada anak itu. Hatinya berkabung. Kehilangan yang teramat besar yang ia rasakan selama hidupnya. Pada hari itu seolah dunia menjadi gelap. Hatinya menjadi lowong karena satu bagiannya telah dicabut dengan paksa.
5
Ia tertunduk sejenak. Jenazah sang Ibu diangkat ia dan lainnya mengangkat keranda itu. Tahlil mulai terucap pada bibirnya yang bergetar. Siang ini tidak terik, udara tak sepanas biasanya. Seluruh jamaah yang ikut menyalati jenazah tadi ikut serta melepas Nyonya rumah itu ke pusaranya. Dalam liang peralahan mereka menurunkan jenazah. Alunan azan dari anak sulung Nyonya itu mengalun sendu menggema dalam liang lahat. Anak laki-laki terakhir itu akhirnya menyadari perkara lainnya yaitu; tak akan ada lagi yang bisa ia panggil dengan “Mama” yang akan setia menjawab pertanyaannya, untuk mencium keningnya – meskipun kadang ia merasa risih, untuk dicium tangannya ketika ia hendak pergi atau tiba dirumah. Mulai hari ini dan seterusnya, Nyonya rumah itu hanya akan ditemani oleh cahaya kebaikan yang ia lakukan selama hidupnya. 6
Waktu pada hari itu berjalan semakin cepat. Disudut jalan terlihat beberapa anak kecil yang sedang berlarian mengejar layang-layang dengan bertelanjang kaki. Kaki-kaki mereka beradu dengan kerasnya aspal. Suara sorak mereka melayangkan ingatan Alif kemasa kecilnya. Saat itu ia baru saja akan masuk sekolah dasar. Kala itu Negara sedang dilanda krisis ekonomi dan juga transisi pemerintahan. Ibu terus berusaha mencari penghasilan untuk menyekolahkan si bungsu. Kala itu Ayah terkena Pemutusan Hubungan Kerja, pesangon entah kemana. Pada tahun-tahun itu banyak anak seusianya yang tidak langsung masuk sekolah dasar karena alasan ekonomi. Ibu tidak pernah mau beralasan itu. “Karena kita masih memiliki usaha.” Begitulah ucap Ibu. Ketrampilan menjahit memang merupakan hal yang lazim bagi kaum perempuan terlebih dalam keluarga besa Ibu. “Hanya untuk 7
membantu dapur mengepul.” Katanya. Namun, apa yang telah dihasilkan? Ketiga anak-anaknya telah melanjutkan keperguruan tinggi. “Aku jadi sekolah Ma?” “Jadi, ayo belajar. Jangan terlalu sering bermain layang-layang ya.” Ia hanya tersenyum memamerkan giginya yang ompong. Saat itu kira-kira ia seusia dengan anakanak kecil tadi. Ibu merupakan cahaya dalam hidupnya. “Mama itu segalanya. Ngajarin kalo ada PR, koki yang hebat, masakannya selalu enak, desainer yang trampil – nih lihat baju ini dan celana ini, nyaman dipakai.” Katanya didepan kelas pada saat hari Ibu. “Ibu, saya menyebutnya Mama adalah bidadari yang Tuhan turunkan kepada saya untuk menerangi jalan hidup saya. Beliau adalah guru 8
pertama saya, teladan yang mengajarkan arti berbagi dan juga mengasihi setiap makhluk. Mama, motivasi saya yang tidak akan pernah padam.” Suatu ketika lainnya di SMP. Senja menyergap lamunannya. Ia bangkit. Maghrib telah memanggil setiap insan, mengingatkan mereka bahwa hari yang telah dilewati akan segera berganti dengan hari selanjutnya. Selepas maghrib suara-suara tahlil menyelimuti rumah itu. Suara-suara itu keluar dari hati para tetangga sekitar rumah. Kedukaan mengiringi gema tahlil dan doa-doa. Suara orang-orang begitu gaduh mendiskusikan hal yang tidak bisa selesai malam ini. Karena tujuan mereka belum disertai dengan kejelasan eksekusi. Ku pikir, sekedar memelihara tanpa mengurusnya adalah hal terbodoh yang pernah terjadi jika hal tersebut terjadi. Hal yang mereka debatkan adalah mengenai Alif. Ia sudah tertidur dibalik selimut garis-garisnya. Wajahnya 9
tenang, ia merasa damai malam ini. Ia terlindung oleh mimpi, langit mimpinya sedang cerah menghiburnya.
10