1
Otaknya Hanya Tahu Apa yang Ditontonnya Espernyata Mhs. Univ. kehidupan
Julia sangat berbangga hati mendengar puterinya, Riska yang masih duduk di SMP kelas III, bercerita bahwa dari enam pertanyaan gurunya, semua bisa di jawab. Hanya satu pertanyaan yang tidak bisa menjawabnya karena memang ia belum pernah mengetahui hal itu, baik dari gurunya maupun dari kedua orang tuanya. Dengan sigap ia bisa menjawab : Sule, terhadap pertanyaan (1) siapa komedian yang lagi kondang pengganti Mandra yang dulu popular lewat ‘si Doel anak Sekolahan’ apalagi gurunya mengarahkan bahwa komedian ini tampil setiap malam di sebuah stasiun televisi bersama Parto. Julia juga spontan menjawab pertanyaan (2) sebutkan minimal 5 stasiun televisi selain TVRI. Demikian pula dengan cekatan ia menyebu nama Briptu Norman ketika ditanya (3) siapakah anggota Brimob yang sekarang menapaki karier sebagai artis. Ketika ditanya (4) siapakah pelantun ‘alamat palsu’ yang lagi laris, Julia segera meneriakkan ‘Ayu Ting Ting’ kebetulan artis pujaanya. Bahkan, Julia mampu menyebut nama grup band yang memakai nama warna, sesaat setelah gurunya mengakhiri perintahnya. Mengapa Riska dapat dengan cepat dan tepat menjawab pertanyaan itu? Jawabnya tentu saja karena informasi yang berkaitan dengan lima pertanyaan itu telah mengendap dalam otaknya. Julia, seperti kebanyakan anak baru gede (ABG) yang lain adalah penonton televisi yang setia. Informasi itu ditampungnya dalam otak dan otak itu adalah harta yang paling berharga pada diri manusia. Karena otak itulah manusia bisa digdaya.
2
Seperti juga anak yang lain, Riska ketika lahir juga diberi Tuhan otak dengan 100 milyar neuron (sel otak) dengan 50 trilyun koneksi antar sel-sel otak (sinaps). Meski Riska kecil dilahirkan dalam keadaan ‘premateur’ jika dibandingkan hewan mamalia, tapi karena ia diasuh, dikembangkan oleh orang tua, guru dan lingkungannya, maka ia jauh lebih maju dari hewan mamalia yang memerlukan waktu hanya dalam beberapa jam untuk bisa berjalan setelah dilahirkan. Ibu Riska, Julia, pantas saja terperangah oleh kehebatan anaknya. Ia tidak mengerti bagaimana mungkin Riska dalam hitungan jam saja ia sudah tahu jembatan Kutai Kertanegara ambruk. Padahal Riska tidak kemana-mana. Ketika dijelaskan kepada ibunya bahwa Julia tahu dari status facebooks terbaru temannya, ibunya tambah ‘bengong’. Apa pula itu status dan apapula facebooks. Bahkan, Riska mendapatkan foto-foto seputar jembatan yang runtuh lewat BBM (blacks berry massanger) dengan kawannya yang segera meluncur ke TKP (tempat kejadian perkara). Ini memang era informasi, terutama informasi melalui dunia elektronika dan dunia maya. Siaran televisi, tinggal pilih. Mau nonton apa. Informasi terkini bisa diperoleh melalui acara ‘breaking news, sekilas info, berita terkini’. Yang lebih dahsyat adalah informasi melalui jejaring sosial seperti facebooks dan twitter. Selain bisa cepat juga nyaris tanpa ada sensor, dan seleksi, bebas dan merdeka. Saat ini, tidak kurang dari 180 juta penduduk Indonesia yang telah memiliki telepon seluler. Bahkan, 50 persen di antaranya adalah telepon cerdas (smartphone) yang bisa mengakses internet. Artinya, ada kemungkinan hanya bayi di bawah lima tahun dan manusia lanjut usia yang sukar mendengar dan rabun membaca yang tidak punya. Saking hebatnya, Riska dan kawan-kawan dapat mengerjakan tugas membuat makalah dengan gampang asal gurunya mengarahkan apa judul, tema, berapa halaman dan jam berapa dikumpulnya. Guru Riska adalah paman Google. Guru di sekolahnya juga jadi enak, tak perlu sering
3
bercuap-cuap. Cukup beri tugas dan ia pun jadi sempat ‘ngerumpi’ dengan sejawatnya. Jadi, kalau Riska dapat menjawab kelima pertanyaan itu dengan segera, itu biasa-biasa saja. Sebab, setiap malam, ditemani BB-nya ia ‘apel’ di depan televisi. Semua jawaban itu ia peroleh ilmunya dari televisi dan : bukan dari gurunya. Kalaupun ia tidak bisa menjawab 1 pertanyaan, menurut Riska, karena informasi itu tak pernah ia dapat di televisi dan tidak pula dari orang tua dan gurunya. Pertanyaan itu sebenarnya sederhana : Siapa penulis buku best seller berjudul Cracking Zone? Pertanyaan dengan kata tanya ‘siapa’ adalah pertanyaan mudah. Beda dengan pertanyaan, ‘bagaimana dan mengapa’. Akan tetapi karena asupan otak Riska yang maha dahsyat itu adalah infotainment, sinetron, dan musik yang dipancarluaskan melalui televisi, tentu saja ia tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Jadi jangan diteruskan dengan pertanyaan : Siapa penulis Blind power, Orang Bilang Saya Gila atau siapa nama pemuda Bandung pengguna narkoba yang kemudian tobat setelah membaca Lasykar Pelangi? Julia tidak senang membaca. Matanya cepat lelah dan mengantuk kalau berhadapan dengan buku. Ia tidak tahu bahwa buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Baginya, membaca buku hanyalah buang-buang waktu. Kalaupun ia perlu ‘cari ilmu’ cukup meminta bantuan mesin pencari bernama ‘paman google ‘ yang setiap saat bisa ditemuinya. Mengapa Julia, dan mungkin sebagian besar temannya, malas membaca? Semua itu berasal dari beberapa penyebab berikut ini. Pertama, memang ia dilahirkan di dalam negeri yang sistem pendidikan nasionalnya yang kurang memberdayakan perpustakaan, Kedua, kurikulum pelajaran di sekolahnya yang kurang memberikan cukup jam membaca di perpustakaan, Ketiga, kurangnya buku-buku yang dapat menarik hasrat membaca, dan tidak dibiasakan oleh orang tua dan gurunya untuk membeli buku meskipun uang untuk itu cukup tersedia.
4
Keempat, pengaruh lingkungan pergaulan di masyarakat dan terutama di rumahnya sendiri yang tidak memberikan iklim untuk membaca. Julia tidak tahu bahwa membaca itu dapat membuka wawasan. Dengan membaca buku, majalah, koran bisa memperoleh pengetahuan umum. Membaca buku pelajaran bisa untuk meningkatkan pemahaman. Membaca itu dapat memperkaya persfektif. Membaca bisa memperoleh sudut pandang baru (perspektif) yang disampaikan penulisnya. Banyak membaca bisa mengetahui banyak sudut pandang yang beragam dan berbeda. Membaca adalah jalan pendewasaan. Membaca itu adalah jalan untuk mengasah hati nurani. Membaca buku, majalah, koran bisa meningkatkan kepekaan, kepedulian, komitmen, memperkaya nilai-nilai, norma, moralitas dan mempertajam hati nurani. Julia tidak sadar bahwa melalui membaca ia dapat mengembangkan kreativitasnya. Bukan sekedar copy-paste. Melalui membaca bisa memperoleh informasi tentang penemuan, perkembangan, perubahan yang terjadi. Membaca buku bisa untuk meniru yang dilakukan orang. Meniru adalah awal dari kreativitas dan membaca itu bisa memicu kreativitasnya. Harusnya Julia menjadikan membaca sebagai kebutuhan hidup karena pada dasarnya melaluji membaca ia sebenarnya memberi “vitamin” untuk otak dan kalbunya. Ia alpa bahwa membaca buku bisa untuk mengisi “tenaga dalam” pada dirinya dan itu adalah sebuah keniscayaan bagi kebutuhan hidup manusia modern. Julia mestinya dibantu oleh orangtuanya, lingkungan dan gurunya untuk mengisi otaknya untuk memperkaya pengetahuannya, mempertajam perspektifnya, mengasah hati nuraniya, meningkatkan kreativitasnya dan menjadikan membaca sebagai kebutuhannya. Otak itu ibaratkan hardis dengan daya tampung yang tiada batasnya. Tak sebatas gega maupun tetra. Manakala ia diisi dengan infotainment dan sinetron, ia akan dengan cepat dan tangkas menjawab setiap pertanyaan yang berkaitan dengan dunia itu.
5
Karena itu, kepada Julian--yang tidak memiliki kebiasaan membaca— jangan tanyakan soal yang berkaitan bacaan, tapi tanyakanlah,”Apakah kepanjangan OVJ yang selalu ditontonnya setiap malam?” Jika itu yang ditanyakan, niscaya Julia bisa menjawabnya. ***