Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
PEMANFAATAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PENGOLAHAN TAHU UNTUK MEMPRODUKSI SPORA BACILLUS THURINGIENSIS SEROVAR ISRAELENSIS DAN APLIKASINYA SEBAGAI BIOKONTROL LARVA NYAMUK Sang Gede Purnama, Deny Silvina Pandy, I Gd. Sudiana Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Udayana Email :
[email protected]
ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Indonesia, was a public health problem that could not be handled properly until this. This ma!er was proven by always finding the number of dengue cases continued to increase each year and o$en cause death. Based on some study found that the use of the bacterium Bacillus thuringiensis serovar israeliensis (BTI) as bioinsektisida that was proven to be more safe, effective and selective in kill mosquito larvae of Ae. aegypti. Barrier of the use of this bioinsektisida was its price that was expensive, because of being produced by synthesis media. Therefore, researchers was interested to be able to produce Bti with soybean liquid waste knew that during this o$en coused water pollution. It is expected produced BTI with a relatively cheaper price compare than produced by BTI synthesis media. To be able to prove the liquid soybean waste could be used as a medium BTI than conducted trials with Bti 4Q1 inoculated in wastewater soybean and Nutrient Broth (synthetic media), and then compare the number of spores produced from both media. This study was conducted in the Bioscience and Biotechnology laboratory, Udayana University, for two months. The results of this study show the liquid soybean waste proved to be able to produce spores in greater numbers than NB. Apart from the pathogenicity test conducted BTI obtained results that was produced by the liquid soybean waste to have the power to kill a higher than NB. The advantages of this study include: media materials was cheap, reduce water pollution, and easy to get it. Keyword: The liquid soybean waste, B.t.i, Aedes aegypti
PENDAHULUAN
P
enyakit demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Kristina, 2005; Ester, 1998). Penyakit DBD di Indonesia semakin meningkat pada tahun 2009 terdapat 158.912 kasus dengan jumlah kematian 1.420 orang. Dengan demikian, IR DBD pada tahun 2009 adalah 68,22 per 100.000 peduduk dan CFR sebesar 0,89%. Angka-angka tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 dengan IR sebesar 59,02 per 100.000 penduduk dan CFR sebesar 0,86% (Kemenkes,
2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa DBD masih menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia sehingga saat ini. Upaya pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada vektor penularannya, yaitu nyamuk Ae. aegypti. Pengendalian vektor nyamuk Ae. aegypti yang telah dilakukan adalah dengan cara penyemprotan dengan menggunakan insektisida, namun cara tersebut belum juga berhasil memberantas kasus DBD. Penggunaan insektisida kimia secara berulangulang dapat menimbulkan resistensi vektor, matinya hewan lain yang bukan sasaran dan pencemaran lingkungan. Karena itu perlu dicari cara alternatif lain yang lebih efektif untuk menanggulangi vektor DBD. Salah satu Indonesian Journal of Public Health •
1
Purnama, et.al
cara yang mulai banyak diteliti dan potensial serta dipandang mempunyai prospek yang baik, karena memiliki banyak kelebihan adalah menggunakan bakteri Bacillus thuringiensis serovar israeliensis (B.t.i) yang patogen bagi jentik nyamuk. Adapun kelebihannya adalah bersifat aman, efektif dan selektif dalam membunuh jentik nyamuk khususnya jentik nyamuk Ae. Aegypti (Soesanto, 1992). Bacillus thuringiensis serovar israeliensis memproduksi delta endotoksin yang bersifat patogen terhadap serangga dan sudah dikembangkan menjadi salah satu bioinsektisida untuk membunuh jentik nyamuk dan lalat hitam (WHO, 1979). Efek letal B.t.i terhadap jentik nyamuk disebabakan oleh aktifitas delta endotoksin yang terkandung dalam kristal protein toksin (Mardihusodo, 1991). Oleh karena itu untuk dapat menggunakan B.t.i sebagai bioinsektisida maka perlu diproduksi spora B.t.i dalam jumlah yang memadai. Untuk memproduksi spora B.t.i diperlukan medium pertumbuhan yang sampai saat ini masih menggunakan medium sintetis yang harganya relatif mahal. Oleh sebab itu perlu dicari suatu alternatif lain yang dapat dijadikan sebagai medium pertumbuhan B.t.i dengan harga yang lebih murah, dengan produksi spora B.t.i yang tinggi. Seiring perkembangan teknologi, limbah pertanian dapat dimanfaatkan sebagai subtrat untuk menumbuhkan mikroba untuk memproduksi berbagai jenis bahan yang bermanfaat bagi industri, seperti enzim dan zat antibiotika. Salah satu limbah pertanian yang cukup berlimpah adalah limbah cair tahu yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik tahu. Limbah cair tahu ini penggunaannya masih sangat terbatas dan umumnya dibuang ke sungai, yang dapat mengakibatkan pencemaran sungai. Limbah cair tahu mengandung protein, glukosa dan komponen lainnya dengan kadar yang relatif tinggi. Dengan kandungan nutrisi tersebut maka limbah cair tahu mempunyai potensi sebagai medium untuk memproduksi spora B.t.i. Mengingat bahwa limbah cair tahu
2 •
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
umumnya dibuang ke sungai, maka penelitian ini sekaligus akan memberikan manfaat dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik menggunakan limbah cair tahu sebagai medium alternatif bagi pertumbuhan B.t.i dalam memproduksi spora, dan sekaligus kemungkinan alternatif penggunaan B.t.i sebagai biokontrol larva nyamuk. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain mengetahui potensi limbah cair industri pengolahan tahu sebagai medium untuk memproduksi spora Bacillus thuringiensis serovar israeliensis dan mencoba pemanfaatan B.t.i sebagai biokontrol terhadap larva nyamuk. Serta mengetahui patogenesis Bacillus thuringiensis serovar israeliensis pada larva Ae. aegypti. METODE Variabel yang diamati pada penelitian ini ada dua yaitu: efektifitas pembentukan spora dan uji patogenisitas Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola sederhana, dengan 3 kali ulangan. Adapun perlakuan yang dipakai adalah Limbah Cair Tahu (LT) dan medium sintetis Nutrient Broth (NB). Bahan-bahan yang dipergunakan pada penelitian ini antara lain : biakan murni Bacillus thuringiensis serovar israelensis 4Q1 (B.t.i 4Q1) yang diperoleh dari Bacillus Genetic Stock Center, Ohio State University, USA, limbah cair tahu yang diperoleh dari UD. Masmo, telur nyamuk Ae. aegypti diperoleh dari Department of National Education, Tropical Disease Centre, Airlangga University, larutan NaOH 10%, agar powder, NaCl0,85%, HCl, pewarna Gram set, metanol, tissue, kapas, etanol 70%, dan media Nutrient Broth (NB, Oxoid). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : tabung Eppendorf 0,5 ml, pipet tips, kain kasa, baskom, jerigen, Erlenmeyer 500 ml, tabung reaksi, gelas piala, autoclave, shaker (Eyela, Multi Shaker MMS), pH meter (TOA Ionmeter 1M-4OS), stirrer,
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
ISSN: 9772302139009
mikroskop, timbangan analitik, inkubator (Memmert), aluminium foil, jarum ose, cleanbench, sentrifuse, oven, ember, dan kain kristik. Adapun perincian kerja dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Persiapan kultur Bacillus thuringiensis serovar israelensis 4Q1 Stock Bacillus thuringiensis serovar israelensis dalam agar miring disegarkan dengan cara memindahkan satu mata loop biakan B.t.i 4Q1 ke dalam 5 ml media Nutrient Broth steril kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C. 2. Persiapan medium untuk produksi spora. Membuat media NB sebanyak 600 ml dan 200 ml masing-masing dimasukkan ke dalam 500 ml. Limbah cair tahu disaring sebanyak 600 ml, lalu pH nya diatur dengan cara menambahkan larutan NaOH 10% sampai pHnya 6,5-7,0. Kemudian sebanyak 200 ml ditempatkan pada 3 Erlenmeyer 500 ml. Selanjutnya NB dan limbah cair tahu tadi, disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 1210C selama 15 menit. Pada tahap berikutnya, NB dan limbah cair tahu didinginkan sampai mencapai suhu 300C dengan cara direndam dalam air dingin. Setelah dingin, baik NB maupun limbah cair tahu diinokulasi dengan 2 ml kultur B.t.i 4Q1 secara aseptis di dalam cleanbench. Lalu keduanya dinkubasi pada suhu kamar (sekitar 300C) sambil digoyang (shake) dengan kecepatan 175 rpm selama 4 hari. 3. Persiapan bubuk spora kering Kultur cair diambil sebanyak 1 ml kemudian dipanaskan 800C dalam air panas selama 15 menit untuk membunuh sel vegetatif, lalu disentrifuse (pusing) pada kecepatan 5000 rpm selama 15 menit. Endapan massa sel dan spora yang terbentuk, kemudian dikeringkan dalam oven/pengering pada suhu 600C sampai kering.
Data pada penelitian ini dikumpulkan dengan cara menghitung jumlah sel hidup dan spora B.t.i yang dibiakan pada medium limbah cair tahu yang dilakukan pengenceran: 1. Perhitungan jumlah sel hidup Perhitungan jumlah sel hidup dilakukan dengan cara mengambil sebanyak 1 ml biakan B.t.i pada medium limbah cair tahu dan ditambahkan 9 ml akuades pada tabung reaksi, kemudian dikocok sampai homogen. Sesudah itu dibuat pengenceran seri 10-1-10-10 dalam larutan NaCl 0,85% steril. Dari masingmasing pengenceran diambil 0,1 ml dan diinokulasi pada 20 ml medium Nutrient Agar dalam cawan petri. Selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada suhu 300C dan dilakukan penghitungan jumlah koloni yang tumbuh pada cawan petri. Dari formulasi bubuk B.t.i 4Q1 yang diperoleh diambil sebanyak 1 gr dan ditambahkan 99 ml akuades steril dalam labu Erlenmenyer bervolume 250 ml dan dikocok sampai homogen. Sesudah itu dibuat pengenceran seri 102 -10-10. Selanjutnya adalah sama seperti perhitungan jumlah sel hidup formulasi cair B.t.i 4Q1 di atas. 2. Perhitungan jumlah spora Untuk menghitung jumlah spora, maka kultur bakteri formulasi cair dan bubuk B.t.i 4Q1 yang berada pada masing-masing pengenceran 10-1-1010 dipanaskan pada suhu 600C selama 30 menit. Pemanasan dilakukan untuk mematikan kuman bentuk vegetatif. Langkah selanjutnya adalah dari masing-masing pengenceran formulasi cair dan bubuk B.t.i 4Q1 diambil 0,1 ml dan diinokulasi pada 20 ml medium Nutrient Agar dalam cawan petri, lalu diinkubasi selama 48 jam pada suhu 300C. Sesudah itu dihitung jumlah spora B.t.i yang tumbuh pada cawan petri yang berisi agar nutrient. 3. Uji patogenisitas suspensi Bacillus thuringiensis 4Q1
Indonesian Journal of Public Health •
3
Purnama, et.al
4.
4 •
Uji patogenisitas dari suspensi B.t.i 4Q1 dilakukan dengan cara mensuspensikan 0,1 ml biakan B.t.i 4Q1 dalam limbah cair tahu dengan akuades sebanyak 99,9 ml, kemudian dikocok sampai homogen. Selanjutnya dari larutan tersebut diambil berturut-turut sebanyak 1 ml, 3 ml, 5 ml, 7 ml, 10 ml, 30 ml dan 50 ml menggunakan pipet lalu dimasukan ke dalam gelas plastik yang berisi 20 ekor larva nyamuk Ae. aegypti dan berturutturut ditambahkan dengan akuades sebanyak 99 ml, 97 ml, 95 ml, 93 ml, 90 ml, 70 ml, dan 50 ml untuk memperoleh konsentrasi akhir yang dibutuhkan yaitu 0,0001 ml/l, 0,0003 ml/l, 0,0005 ml/ l, 0,0007 ml/l, 0,001 ml/l, 0,003 ml/l dan 0,005 ml/l. Sebagai kontrol gelas plastik hanya diisi 100 ml akuades dan 20 ekor jentik Ae. aegypti, kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan untuk menghitung berapa jumlah larva nyamuk yang telah mati dan setelah 48 jam akan diamati kembali untuk mengetahui hasil uji patogenesitas dari B.t.i 4Q1. Uji patogenisitas fomulasi bubuk Bacillus thuringiensis 4Q1 a. Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara in vitro Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara in vitro, dilakukan dengan cara membubuhkan formulasi bubuk B.t.i 4Q1 secara berturut-turut sebanyak 0,01 gr, 0,03 gr, 0,05 gr, 0,07 gr, 0,1 gr, 0,3 gr, dan 0,5 gr ke dalam gelas plastik . Selanjutnya masingmasing gelas plastik ditambahkan 100 ml akuades dan 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti. Sebagai kontrol gelas plastik di isi 20 ekor jentik nyamuk Ae. aegypti lalu ditambahkan 100 ml akuades. Kemudian didiamkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dilakukan pengamatan untuk menghitung berapa jumlah larva nyamuk
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
b.
yang telah mati dan setelah 48 jam akan diamati kembali untuk mengetahui hasil uji patogenesitas dari formulasi bubuk B.t.i 4Q1. Uji patogenisitas formulasi bubuk B.t.i 4Q1 dibandingkan dengan abate secara semi in vitro Dalam uji patogenisitas ini, dilakukan dengan cara membuat tiga kelompok percobaan untuk membandingkan daya bunuh antara B.t.i yang diproduksi dengan limbah cair tahu dan Nutrient Broth (NB) dengan abate pada konsentrasi sama. Kelompok percobaan satu diberi bubuk abate dan kelompok percobaan dua diberi fomulasi bubuk B.t.i 4Q1 yang dihasilkan dari limbah cair tahu. Sedangkan kelompok percobaan tiga diberi bubuk B.t.i 4Q1 yang dihasilkan dari NB. Ketiga kelompok percobaan tersebut diberi perlakuan yang sama dengan penambahan kansentrasi berturut-turut antara lain: 0,01 gr/l, 0,03 gr/l, 0,05 gr/l, 0,07 gr/l. Setelah ditambahkan jentik nyamuk Ae. aegypti sebanyak 25 ekor. Langkah selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap kematian jentik setelah 24 jam dan 48 jam.
Data yang telah dimasukan kedalam tabel akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik menggunakan komputer. Uji t digunakan untuk menguji apakah rata-rata jumlah sel dan spora pada limbah cair tahu berbeda dengan menggunakan media NB. Hasil penelitian ini disimpulkan sesuai dengan hasil uji statistik antar dua perlakuan limbah cair tahu dan Nutrien Broth diatas. Perlakuan yang memberikan patogenisitas yang lebih menunjukkan bahwa semakin banyak spora B.t.i 4Q1 yang terbentuk. Jadi perlakuan tersebut lebih efektif dipergunakan untuk memproduksi spora B.t.i 4Q1. Untuk
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
Arc. Com. Health • Juli 2012 ISSN: 9772302139009
kemungkinan pemanfaatan B.t.i dalam mengontrol larva nyamuk dilakukan dengan membandingkan patogenisitas antara formulasi bubuk B.t.i 4Q1 dengan abate. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih 2 bulan, data hasil perhitungan jumlah sel dan spora formulasi cair B. thuringiensis 4Q1 pada media limbah cair tahu dan Nutrient Broth (NB) selama tiga kali percobaan yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Sel B. thuringiensis pada Nutrient Broth dan Limbah Cair Tahu
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa rata-rata jumlah sel pada media NB sebesar 8,43 x 109 cfu/ml. Sedangkan jumlah sel pada media limbah cair tahu sebesar 8,96 x 109 cfu/ml. Analisa statistik sel hidup menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata (t > 0,05) antara media limbah cair tahu dan NB.
Pertumbuhan sel B.t.i pada media limbah cair tahu dan NB terbukti sama. Hal ini dapat disebabkan oleh karena media limbah tahu dan NB sama-sama baik dalam memicu pertumbuhan sel. Gambar 2 menunjukan bahwa jumlah spora untuk NB sebanyak 4,43 x 109 spora/ ml dan jumlah spora pada media limbah cair tahu sebanyak 7,93 x 109 spora/ml. Dari hasil perhitungan statistik didapatkan hasil jumlah spora pada kedua media tersebut berbeda nyata (t < 0,05), dimana jumlah spora pada media limbah cair tahu lebih banyak dibandingkan dengan NB. Faktor yang menyebabkan banyaknya jumlah spora B.t.i pada limbah cair tahu diduga disebabkan oleh adanya asam amino tertentu yang menstimulasi pertumbuhan spora. Banyaknya jumlah spora yang diproduksi sangat penting dibandingkan dengan jumlah sel vegetatif. Hal tersebut dikarenakan dinding luar spora yang mengandung prototoksin jika dimakan oleh larva nyamuk maka dapat merusak usus larva dan meyebabkan kematian larva. Tabel 1. Patogenitas Formulasi Cair B. thuringiensis 4Q1yang diproduksi dengan Media Limbah cair tahu dan Nutrient Broth (NB)* Media NB
Konsentrasi (ml/l) 0,025
0,05
0,075
0,1
13,3
71,7
96,7
100
LT 76,7 98,3 100 100 Keterangan: *)Patogenitas persentase kematian jentik dari 20 ekor jentik Ae. Aegypti yang digunakan selama 24 jam pengamatan; NB: Nutrient Broth; LT: limbah cair tahu
Gambar 2. Perbandingan Jumlah Spora B. thuringiensis pada Nutrient Broth dan Limbah Cair Tahu
Pada Tabel 1 diatas, hasil uji patogenitas B. thuringiensis pada media limbah cair tahu dan NB menujukan hasil bahwa media limbah cair tahu mampunyai daya bunuh yang lebih baik dari NB. Untuk membunuh 100% jentik pada media limbah cair tahu hanya diperlukan dosis 0,075 ml/l. Sedangkan pada media NB dibutuhkan lebih banyak yaitu 0,1 ml/l. Perbedaan daya bunuh ini disebabkan karena pada media limbah cair tahu memiliki jumlah spora yang lebih banyak dibandingkan
Indonesian Journal of Public Health •
5
Purnama, et.al
media NB yang bermanfaat sebagai larvasida pada jentik. Uji patogenitas antara bubuk B.t.i yang diproduksi pada limbah cair tahu dan NB dibandingkan dengan abate diperoleh hasil bahwa pada konsentrasi 0,05 gr/l memiliki daya bunuh yang sama yaitu 100%. Sedangkan pada konsentrasi terendah yaitu 0,01 gr/l diketahui bahwa abate memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan bubuk B.t.i pada limbah cair tahu maupun NB. Hal ini dapat disebabkan karena abate merupakan larvasida yang mengandung bahan kimia sehingga memiliki daya bunuh yang lebih baik dibandingkan dengan B.t.i yang merupakan bioinsektisida alamiah. Pada konsentrasi 0,01 gr/l diperoleh hasil bahwa B.t.i yang diproduksi dengan limbah cair tahu memiliki daya bunuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan NB, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti: kebiasaan jentik, tersedianya toksin di daerah makan jentik, tingkat kerentanan jentik terhadap toksin yang dihasilkan dan kemampuan cairan usus untuk melarutkan kristal toksin. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PATOGENITAS JENTIK Ada beberapa faktor yang turut serta mempengaruhi kemampuan formulasi Bacillus thuringiensis dalam membunuh jentik. Adapun faktor-faktor tersebut adalah : 1. Kebiasan makan dari jentik Jentik Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengambil makanan di dasar dan dinding tempat penampungan air (bo!om feeders). Hal ini dapat mempengaruhi daya bunuh spora B.t.i dimana kebiasaan makan jentik tersebut dengan keberadaan endapan dari spora bacillus. 2.
6 •
Tersedianya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone) Keberadaan toksin dari B.t.i pada daerah makan jentik tersebut sangat
Indonesian Journal of Public Health
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
mempengaruhi daya bunuhnya. Jentik yang mengambil makan pada dasar penampungan akan lebih cepat mati dibandingkan yang makan di daerah permukaan saja. Dilaporkan bahwa jumlah spora bakteri B.t.i adalah sama banyak dipermukaan dan dasar air pada hari ke 3 dan ke 7 sesudah aplikasi (Blondine, 2004). Kemungkinan bahwa sebelum hari ke tujuh jumlah spora bakteri formulasi bubuk B.t.i sudah mulai mengendap di dasar perairan yang sepenuhnya mencapai sasaran makan jentik Aedes aegypti. 3.
Tingkat kerentanan jentik terhadap toksin yang dihasilkan Masing-masing jentik memiliki kerentanan yang berbeda-beda terhadap konsentrasi toksin dari B.t.i Tingkat instar jentik dari I, II, II dan IV memiliki daya tahan terhadap toksin juga berbeda. Hal ini juga menyebabkan perbedaan konsentrasi toksin yang harus diberikan terhadap jentik tersebut. Dilaporkan bahwa besar kecilnya konsentrasi B.t.i dalam mematikan jentik, tergantung pula pada tingkat kerentanan jentik sasaran terhadap toksin yang dihasilkan (J. Li, 1991). Kemampuan cairan usus untuk melarutkan kristal toksin
Kemampuan cairan usus dari jentik dalam melarutkan kristal toksin yang dimakan cukup berpengaruh terhadap daya bunuhya. Toksin yang dihasilkan oleh bakteri B.t.i akan dimakan oleh larva Ae. aegypti, dimana dalam saluran pencernaan prototoksin tersebut akan dihidrolisis oleh enzim protease. Setelah dihidrolisis prototoksin tersebut akan berubah menjadi toksin aktif dengan berat molekul 60 kD, yang disebut delta endotoksin. Delta endotoksin ini akan diikat oleh sel epitelium kemudian menempel dan menyebabkan lubang pada saluran pencernaan larva. Keadaan ini mengakibatkan terhidrolisisnya sel epitelium sehingga menyebabkan penurunan pH pada saluran pencernaan larva yang mempermudah
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
ISSN: 9772302139009
spora untuk berkembang, masuk kedalam sel dan menyerang larva sampai mati Daya tahan usus perut jentik dalam melarutkan kristal protein toksin dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan untuk membunuh jentik tersebut. Semakin kuat kondisi usus perut larva terhadap toksin yang dihasilkan bakteri B.t.i semakin lemah juga daya bunuhnya. Keuntungan Penggunaan Media Limbah Cair Tahu Biokontrol B.t.i merupakan biokontrol yang efektif untuk membunuh jentik nyamuk tetapi harganya cukup mahal untuk negaranegara berkembang seperti Indonesia. Substansi aktif dari B.t.i adalah spora yang dibentuk oleh B.t.i dibuat dengan menggunkan media yang relatif mahal oleh karena itu penelitian ini digunakan untuk mencari media yang relatif murah, salah satunya dengan menggunakan media limbah cair tahu. Adapun keuntungan dari penggunaan media limbah cair tahu yakni : 1. Bahan Media yang Murah Saat ini biokontrol B.t.i dibuat dengan menumbuhkan strain B.t.i pada media sintetis yang biayanya relatif mahal, sehingga untuk 10 tablet dijual seharga 20 dollar. Sedangkan jika produksi B.t.i dengan menggunakan media Nutrient Broth (NB), yang dalam satu liternya mengandung 3 gr beef extract dan 5 gr tryptone maka perincian biaya yang dihabiskan sebesar Rp. 25.000 per liter. Sedangkan untuk membuat media NB sebanyak 100 liter maka biaya yang dibutuhkan sebesar Rp. 2.500.000. Penggunaan media limbah cair tahu adalah salah satu alternatif untuk memacu pertumbuhan toksin B.t.i yang lebih murah. Dengan menggunakan media limbah cair tahu ini biaya pembuatan toksin menjadi jauh lebih murah sebab tidak memerlukan media sintetis lagi. Sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.
2.
Mengurangi Pencemaran Lingkungan Perairan Pemerintah akhir-akhir ini sangat menekankan era “sadar lingkungan” dan mengharuskan semua industri membuat analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan SK Menteri KLH No.52 Tahun 1986 dan SK Menteri KLH No.29 Tahun 1986 serta SK Menteri KLH No.03 Tahun 1991 Tentang Peraturan Pembuangan Limbah. Bagi industri yang sudah beroperasi dan yang akan dibangun serta yang air limbahnya dibuang ke perairan harus memenuhi standar baku mutu air limbah yang telah ditentukan. Berdasarkan data dari statistik yang ada industri pengolahan tahu di Indonesia sebanyak 4.000 unit yang tersebar di Jawa Barat dan berbagai daerah lainnya. Ditinjau dari komposisi kimianya, ternyata air limbah cair tahu mengandung nutrien-nutrien (protein, karbihidrat, dan bahan-bahan lainnya) yang jika dibiarkan dibuang begitu saja ke sungai justru dapat menimbulkan pencemaran perairan. Selama ini limbah industri tahu dibuang begitu saja tanpa ada pengolahan lebih lanjut. Limbah cair tahu ternyata bisa digunakan sebagai media pertumbuhan B.t.i yang bermanfaat sebagai bioinsektisida larva nyamuk. Dengan ditemukannya manfaat limbah cair tahu tersebut maka diharapkan nantinya limbah tersebut dapat digunakan dan tidak lagi mencemari lingkungan sekitar.
3.
Mudah untuk Mendapatkannya Pertumbuhan industri tahu sebagai industri rumah tangga cukup banyak. Banyaknya industri pengolahan tahu tersebut menjadi cukup mudah untuk mendapatkan limbah buanganya. Sehingga dalam proses produksinya tidak terlalu mengalami kesulitan dalam mencari bahan sebagai media pertumbuhan B.t.i.
Indonesian Journal of Public Health •
7
Purnama, et.al
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan perhitungan sel diketahui perbedaan jumlah sel antara media limbah cair tahu dan NB tidak signifikan namun pada perhitungan spora perbedaannya signifikan. Hal ini disebabkan media tumbuh pada limbah cair tahu cukup baik untuk memacu pertumbuhan spora B.t.i. Uji patogenitas cair B.t.i didapatkan hasil dimana berdasarkan dosis media limbah cair tahu memiliki daya bunuh yang cukup baik dibandingkan media NB. Membunuh 100% jentik pada media limbah cair tahu hanya dibutuhkan dosis 0,025 ml/l sedangkan pada media NB dibutuhkan lebih banyak yakni 0,075 ml/l. Hasil uji patogenitas bubuk B.t.i membandingkan antara abate, penggunaan media NB dan Limbah cair tahu pada dosis 0,05 gr/l mempunyai daya bunuh 100%. Sedangkan pada dosis lebih rendah yakni 0,01 gr/l abate memiliki daya bunuh 85%, media NB mempunyai daya bunuh 30% dan media limbah cair tahu 55%. Adapun keuntungan yang didapat dengan menggunakan media limbah cair tahu sebagai media pertumbuhan spora B.t.i yakni bahan media yang murah, mengurangi pencemaran perairan, mudah untuk mendapatkannya. Penelitian ini akan dikembangkan lebih lanjut dengan menambahkan zat tertentu untuk meningkatkan jumlah spora Bacillus thuringiensis Serovar israeliensis pada media limbah cair tahu. Untuk selanjutnya diaplikasikan secara in vivo pada tempat perindukan jentik Aedes aegypti di daerah endemis.
Anonimus. (1998). Da$ar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit Bharata. Anonimus. (2004). Mosquito control. Available at: h!p://www.comosquitocontrol.com/ Bti_Bs_MOA.htm. Akses: 27 Februari 2005. Becker, N., (1991)The use of Bacillus thuringiensis israeliensis in Germany. Proceeding of the 3rd Pacific Rim Conference on Biotechnology of Bacillus thuringiensis, held at Huazhong Agricultural University, Wuhan, China, 5-9 October. Blondine, C. (2004) Formulasi Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal dalam media infus kedelai dan uji patogenitasnya terhadap jentik nyamuk vektor. Jurnal Kedokteran Yarsi. JanuariApril; 12 (1): 22-28. Deacon, J. (2005). “The Microbial World: Bacillus thuringiensis”, (Institute of Cell and Molecular Biology, The University of Edinburgh). Available at: h!p:// helios.bto.ed.ac.uk/bto/microbes/bt.htm . Akses: 27 Februari 2005. Dep. Kes. RI, (1992). Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Ditjen PPM dan PL. Dep. Kes. RI (1995). Pokok-Pokok Kegiatan dan Pengelolaan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue. Jakarta. Ditjen PPM dan PL. Ester, M., 1998. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan dan Pengendalian. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gorich. By-001-Aqua Resigen. (2004). Available at: h!p://www.ghgroup.com.hk/gorich/ english/product.asp. Akses: 20 April 2005. Gorich. TF 35-TF35 Thermal Fogger, IGEBA. (2004). Available at: h!p://www. ghgroup.com.hk/gorich/english/
8 •
Indonesian Journal of Public Health
Arc. Com. Health • Juli 2012
Vol. 1 No. 1 : 1 - 9
ISSN: 9772302139009
product.asp. Akses: 20 April 2005. Herman. (1985). Pengolahan Kedelai Menjadi Berbagai Bahan Makanan, di dalam Somaatadja, S. Kedelai. Bogor. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Imalusita. 1981. Studi pembuatan Kecap Ampas Tahu, di DaLam Laporan Seminar Akademik Pemanfaatan Limbah Industri Hasil Pertanian, Ikatan Mahasiswa THP, Fakultas Teknologi Hasil Pertanian. Bogor. IPB. Iskandar. 1985. Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu, Jakarta Pusdiknaskes. J. Li., Carroll, J., and Enlar. (1991). D. Image of the Toxin Strukture. Nature. 353 : 815821. Kemenkes. (2010). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Kemenkes RI. Jakarta. Kristina, Isminah, dan Wulandari, L. (2005). Kajian Masalah Kesehatan : Demam Berdarah Dengue. Available at: http://www.litbangkes.depkes.go.id/ meskes/5052004/demam berdarah1.htm. Akses : 20 April 2005.
Kuswardani, T. (1985). Mempelajari Kemungkinan Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Sebagai Media Untuk Memproduksi Enzim Amiloglukosidase Dari Kapang Yang Diisolasi Dari Singkong (Manihot sp). Tesis Sarjana Jurusan TPG. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor. IPB. Mardihusodo, SJ., (1991). Sensitivitas Larva Nyamuk Aedes aegypti L. Terhadap Bacillus thuringiensis H-14 dan Bacillus sphaericus 1953. Yogyakarta. Fakultas Kedokteran, UGM. Soesanto. (1992). Initial Study of Production of Bacillus thuringiensis israelensis Using Locally Obtained Substrate. Berkala ilmu Kedokteran, 24 (3). Thomas, W.E and Ellar, DJ., (1983). Mechanism of action of Bacillus thuringiensis var. israeliensis insecticidal d-endotoksin, FEBS le!. 154 : 362-368. WHO, (1979). Data sheet on the biological control agent, Bacillus thuringiensis serotype H-14, WHO/VBC/79.750.1-13. WHO, (1995). Guidelines for dengue surveillance and mosquito control, Western Pacific Education in Action series No. 8.
Indonesian Journal of Public Health •
9