Sambutan Menteri Perdagangan RI “ASEAN Economic Community 2015” 20 April 20071 Yth. Bapak Burhanudin Abdullah, Yth. Bapak Rahmat Saleh, Yth. Bapak Adrianus Moi, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang hadir pada siang hari ini, Selamat siang dan salam sejahtera buat kita semua. Adalah kesempatan yang sangat baik bagi kami untuk dapat hadir pada pertemuan ini, bukan saja karena topik yang dibahas sangat tepat sehubungan th
dengan the 40 anniversary of ASEAN, namun kami hadir untuk menghormati dan mengenang Bapak Charles Joseph yang merupakan salah satu penyunting buku dari ketiga seri buku yang kita luncurkan siang hari ini. Kami berteman dengan saudara Charles Joseph pada waktu sama-sama kuliah di UC Davis dan bersama-sama belajar ekonomi. Saya mengajarkan ekonomi kepada beliau dan beliau mengajar saya bagaimana menyanyi. Kami mempunyai banyak memori yang baik mengenai saudara Charles dan beberapa hari sebelum beliau meninggal, kami saling bertukar email mengenai buku ini dan email tersebut kami simpan sebagai suatu memori yang long lasting. Kami juga berharap beliau yang sudah berada di sisi Tuhan, melihat kita melakukan diskusi mengenai buku ini. Saudara-saudara sekalian, Mari kita bahas mengenai perdagangan internasional dalam ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Pada awal Januari 2007 para pemimpin negara-negara anggota ASEAN memutuskan untuk mempercepat tercapainya ASEAN Community -bukan saja Economic Community tetapi juga ASEAN Communitydari 2020 menjadi 2015, atau lima tahun lebih cepat dari yang sudah dijadwalkan sebelumnya. 1
Disampaikan oleh Menteri Perdagangan pada saat Peluncuran 3 (tiga) Buku Mengenai Perdagangan Internasional oleh Bak Indonesia di Jakarta, tgl.20 April 2007
Secara garis besar, ada tiga pertanyaan pokok seputar ASEAN Economic Integration dan ASEAN Economic Community (AEC), yakni:
1. Mengapa kita memerlukan AEC atau greater ASEAN Economic Integration? 2. Sudah sejauhmana perjalanan kita menuju AEC? 3. Kemana kita harus melangkah untuk mencapai AEC?
Ketiga pertanyaan sederhana tapi mendasar tersebut harus kita pahami dan saya berharap diskusi nanti sore dapat membahasnya secara lebih mendalam. Pertanyaaan pertama, mengapa kita memerlukan AEC? AEC adalah produk Indonesia, karena dilahirkan pada saat Bali Concorde 2003. Kami ikut dalam proses melahirkan konsep-konsep yang dikembangkan waktu itu untuk AEC. Yang yang mendorong kita mengembangkan konsep AEC adalah pemikiran bahwa sudah saatnya ASEAN menuju pada sesuatu yang lebih besar daripada sekedar forum perbincangan atau talkshows. Tahun 1991 hingga tahun 2000-an, yang menjadi kerangka dari kerjasama ekonomi atau economic integration di ASEAN adalah AFTA (Asian Free Trade Area), yang diluncurkan pada tahun 1991 dan seharusnya rampung pada tahun 2005, namun dipercepat menjadi tahun 2001. Pada waktu itu, karena banyaknya frekuensi pertemuan tanpa disertai langkah konkrit, maka salah satu mantan menteri dari Thailand mengatakan bahwa AFTA juga merupakan singkatan dari Agree First, Talk After. Tercat sekitar 600 rapat dilakukan oleh ASEAN sepanjang tahun, baik di tingkat Pemerintah maupun di kalangan lembaga non pemerintah. ASEAN benar-benar serius dalam melahirkan true economic integration, bukan hanya terbatas kepada tariffs dan goods. Mulai tahun 2000-an, urgensi untuk mewujudkan kerjasama ekonomi sangat mendesak karena perkembangan beberapa faktor eksternal maupun internal ASEAN. Dari faktor eksternal adalah berkembangnya dua raksasa ekonomi yaitu RRT dan India. Kita berada di suatu kawasan dimana kita harus bersaing dengan kedua raksasa ekonomi tersebut. Dengan berjalannya waktu dan persaingan, ASEAN pada saat itu membahas relevansi keberadaannya pasca krisis keuangan Asia. ASEAN dianggap tidak relevan lagi, demikian juga Asia Tenggara. Bagaimana meningkatkan relevansi kita kembali? Satu-satunya cara adalah memperkuat ASEAN sebagai a real region. Karena jika kita memang benarbenar bergabung sebagai satu kawasan, maka ASEAN akan kuat. Dengan populasi 560 juta jiwa dan kekuatan daya belinya, mulai dari US$28.000 di Singapura dan US$ 200 di Myanmar. Walaupun perbedaannya tinggi, namun persentase middle class di Asia Tenggara cukup berarti. Dengan demikian, ASEAN ini harus kuat dan mulai benar-benar merealisasikan integrasinya. Hal ini pula yang mendorong lahirnya Asean Community di 2003, bukan saja dari sudut ekonomi namun mencakup sosial dan politik.
Perkembangan eksternal lainnya yaitu pada saat bersamaan kita harus berbenah diri ke dalam. Kita sudah mulai melakukan negosiasi dengan mitra dialog kita, ASEAN China Free Trade Area – yang awalnya dicetuskan oleh Zhu Rongji tahun 2000, dan kemudian berkembangan cepat sekali dalam proses negosiasinya. Kalau kita menginginkan ASEAN menjadi center of regional cooperation, ASEAN sebagai suatu wadah harus kuat. Ada dua hal penting yang mendorong lahirnya keinginan kita untuk memiliki kerjasama ekonomi ASEAN yang kuat. Selain ASEAN +1, China, Korea, India, Japan, Australia, New Zealand, yang lebih kuat semua mitra dialog yang sedang atau sudah menyelesaikan tahap negosiasi, ditambah lagi dengan adanya ASEAN +3, ASEAN +6 agar cakupan regionalnya menjadi lebih besar. Kalau berkeinginan menjadikan ASEAN sebagai pusat kerjasama ekonomi regional, dan menjadi center of gravity, maka ASEAN harus kuat. Dan objektif ini hendaknya menjadi ASEAN menjadi driving force bagi kita untuk mewujudkan AEC yang kuat. What does AEC mean and what should it mean? Sesungguhnya jawaban atas pertanyaan tersebut dimulai dari pemikiran ASEAN Free Trade Agreement, yaitu bahwa ASEAN sebagai satu pusat produksi regional yang memperoleh keuntungan dari complementary resources endowment yang ada di berbagai negara ASEAN untuk menjual ke pasar ketiga. Berbeda halnya dengan konsep European Economic Community yang dari awal selalu membayangkan pasar tunggal dan pasar internal yang besar sebagai dorongan untuk melakukan kerjasama regional. Sepatutnya dari awal pemikiran kita dilandasi keinginan untuk mewujudkan kawasan yang memiliki daya saing kuat, dan drawing from complementarity dari sumber daya kita untuk menjadi regional hub yang lebih kompetitif, menarik investasi, dan mampu merambah ke pasar ketiga bukan pasar dalam negeri. Dengan jangkauan pasar kita yang semakin meluas ditambah lagi mempunyai ASEAN + China, ASEAN+ Korea, pasar regional dan pasar ASEAN, maka semakin kuatkah alasan kita melakukan kerjasama ekonomi dalam kawasan ASEAN. Ditunjang pula oleh GDP kita yang mencapai 800 miliar dan peningkatan daya beli, ada beberapa fakta penting untuk kita sadari mengenai ASEAN. Tingkat urbanisasi di ASEAN secara keseluruhan berada di kisaran 42%, ini relatif tinggi bila dibandingkan dengan India. Dengan kata lain, the size of urban market, middle class dan consumer market di ASEAN itu besar. Beberapa perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang consumer sangat menyadari hal itu, termasuk negara-negara lain dalam ASEAN yang melirik consumer market di Indonesia. Hal yang tak kalah penting adalah struktur demografis populasi kita dengan komposisi sebesar 31,6% dari penduduk ASEAN berusia kurang dari 15 tahun,
28,1% antara 15-29 tahun, sehingga 60% dari populasi di ASEAN berada di bawah usia 29 tahun. Ini menggambarkan consumer market, certain democratic taste in that market, dan yang juga penting adalah young productive labor force. Data lain mengenai sumber daya ASEAN adalah 21,5% berusia 30 -34 tahun, jadi terdapat sekitar 81% dari populasi ASEAN di bawah usia 44 tahun. Kenyataan ini seharusnya benar-benar dapat kita jual dan menjadi bagian dari AEC selain pembahasan mengenai peralihan keahlian sumber daya manusia. Seiring dengan bertambahnya tingkat persaingan kita dengan India dan China, kita harus meningkatkan akselerasi dan integrasi ASEAN. Pertanyaan selanjutnya, sejauh mana kita berada dalam proses ASEAN Economic Integration? Masih dalam proses atau sudah menghasilkan kemajuan dalam ASEAN Economic Integration maupun Economic Community? Mungkin kita harus kembali mengingatkan apa yang telah disepakati tahun 2003. ASEAN Economic Community berarti free flow of trade in goods, investment, trade and services, and skilled labor and freer flow of capital. Ini sebenarnya definisi dari AEC. Dan kesepakatan pada tahun 2003 menyatakan paling lambat direalisasikan tahun 2020. Sebagaimana telah kami sampaikan pada summit yang lalu, para kepala negara telah mempercepat tenggat waktunya dari semula 2020 menjadi 2015, dan hal ini sangat wajar mengingat tenggat waktu yang kita tetapkan dalam ASEAN+1, perjanjian-perjanjian kita dengan mitra dialog rata-rata rampung pada tahun 2010 atau 2012. Dengan demikian kita harus mempercepat pembahasan di internal ASEAN sebelum merampungkan pembahasan dengan mitra dialog kita. Pada pertemuan baru-baru ini yang membahas AEC, beberapa tokoh yang sudah lama memikirkan ASEAN menyepakati bahwa ASEAN tidak dapat dibiarkan lebih lama lagi di persimpangan jalan, kita harus sudah tahu tujuan kita, yaitu free flow of goods, investment, skilled labor, and freer flow of capital. Selanjutnya, bagaimana menuju jalan itu (menyebrangi sungai)? Maka muncul sejumlah pertanyaan, bagaimana membuat jembatan; apakah kita akan melewati jembatan; menumpang sampan; atau kita berenang. Jelas, kita tidak akan memutuskan untuk berenang karena kita tidak akan sampai ke sana dalam waktu 8 tahun. Dengan demikian, yang menjadi pembahasan saat ini yakni bagaimana kita mencapai tujuan AEC tersebut. Salah satu kerangka penting yang harus dilahirkan tahun ini adalah ASEAN Charter. Sebagaimana European Rome Treaty pada tahun 1958 yang mendasari pembentukan the European Custom Union dan the European Union, kita harus melahirkan legal charter yang menentukan hal-hal yang supranasional. Sehingga di atas masing-masing pemerintah ASEAN ada semacam supranational legal structure yang menentukan hal-hal penting di dalam konteks kerjasama regional.
Dari segi kerjasama perdagangan ataupun ekonomi di konteks ASEAN, ada dua hal penting: 1. ASEAN Secretariat mempunyai peranan yang lebih besar dari sekarang. Saat ini Secretary General berfungsi sebagai sekretaris saja, mencatat dan mengatur rapat, namun tidak memiliki wewenang mengambil keputusan atau otoritas selain itu. Kelak, Secretary General diberikan otoritas lebih. Meski kita masih jauh dari fungsi yang diterapkan European Union, namun intinya mengacu kepada suatu wadah yang lebih besar seperti itu. 2. Ada semacam perselisihan antara negara ASEAN, dan ini terkait dengan perdagangan, investasi, yang memerlukan proses secara regional. Penyelesaian perselisihan sebetulnya sudah ada sekarang, namun masih perlu diuji coba. Bila ada di antara kita yang mengalami perselisihan kemudian dibawa ke ASEAN Dispute Settlement, apakah sudah bisa diselesaikan atau tidak? Hal ini akan menjadi uji coba yang riil bagi kerjasama regional.
Bila kita berbicara mengenai jembatan: saat ini kita harus membangunnya. Dari segi kerjasama ekonomi ASEAN, 99% dari tarif kita sudah 0-5%, jadi tarif perdagangan inter ASEAN sudah pada level yang sangat rendah 0-5%. Sisanya 1-2%, yang masih sensitive list, itu sedikit sekali dari segi tarif. Kalau bicara trade and goods, sekitar 60% sudah hamper zero tariff, meski kenyataannya kita masih menghadapi persoalan non-tariff barriers - dimana tarifnya bisa 0 tapi kita tidak bisa menjual barang kita ke pasar ASEAN yang lain. Dan seringkali yang dipersoalkan adalah Certificate of Origin kita atau pengusaha kita banyak yang menggunakan Form D, atau dikenai technical standard, kasus dumping, safeguard. Hal-hal tersebut yang harus diatasi dan masuk dalam pembahasan trade facilitations, dimana dibahas mengenai customs, standard agreement of customes, regulation standard, mutual recognition standard of barriers product. Sekarang sudah ada MRE electrical goods, dan beberapa produk lain akan dimasukkan. Yang paling penting saat ini untuk direalisasikan sebagai program nasional maupun ASEAN adalah National Single Window, yang dijadwalkan pada tahun 2008 telah mencapai ASEAN Single Window. Dari segi efisiensi perdagangan, hal ini akan memberi manfaat penting bagi Indonesia. Bagaimana kita mencapai ke sana? Kita harus melakukan introspeksi setelah 40 tahun lahirnya ASEAN, terutama mengenai kritik-kritik utama yang selalu kita dengar mengenai ASEAN, Banyak Bicara Tanpa Aksi Nyata. Di samping itu, kita pun harus memiliki komitmen politik dan sosial yang jelas diimplementasikan. Kita juga sepakat untuk mempunyai blue print, mengenai apa yang harus dikerjakan secara mendalam dan bersama-sama. Di dalam blue print itu akan termuat jembatan-jembatan untuk menyeberangi sungai tadi. Terdapat 5 hal yang dimuat di blue print yakni: tindakannya, tujuan dalam AEC, tanggung jawab,
penjadwalan serta laporan berkala. Selama 2008 – 2015 apa yang harus dilakukan? Tanggung jawab dari menteri-menteri setiap negara? Untuk Indonesia, focal point –nya dari bidang ekonomi oleh Menteri Perdagangan, dan untuk urusan lain oleh Menteri Luar Negeri, termasuk soal keamanan dan sosial. Kita harus melaporkan hasil yang dicapai di masing-masing negara setiap 6 bulan. Ini baru berjalan 3 bulan, dan kita masih memiliki 3 bulan ke depan untuk menyampaikan laporan Indoensia mengenai pencapaian pertama dari blue print. Untuk objektif pertama, single market and production base, termasuk di dalamnnya yaitu free flow of goods dengan menghapuskan hambatan-hambatan non tarif. Mengenai facilitation majors, dapat diterapkan melalui National Single Window atau ASEAN Single Window. Selanjutnya, bagaimana kita mencapai the single market and production base? Dengan menerapkan free flow of services yang menetapkan standar; dan mencantumkan bagian facilitations dan liberalization. Terkait dengan facilitation, harmonization, standardization dan recognition of education or skill licenses and certification, saat ini baru ada MRE mengenai nursing dan engineering services. Dalam hal free flow of investment, ASEAN memiliki perjanjian investasi dan kita harus mengumumkan dan menjelaskan peraturan-peraturan yang kita terapkan dalam rangka liberalisasi perdagangan dan transparansi. Untuk freer flow of capital, ini menjadi tanggung jawab Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, terutama berkaitan dengan selected capital account manager. Namun, saya juga mengetahui informasi mengenai adanya resistensi terhadap hal ini dari rapat Menteri Keuangan ASEAN minggu lalu. Kembali kita harus mengingat bahwa kata kuncinya freer flow, tidak sekedar free, sehingga interpretasinya akan tergantung pada kapasitas masing-masing negara. Sedangkan free flow or skilled labor itu MRE, liberalization, crisis economic region, competitive economic major, legal, IPR, infrastructure, information structure dan lain sebagainya. Berbicara mengenai equitable development, perlu adanya ASEAN Fund sehingga kita dapat membantu Cambodia Laos Myanmar (CLM) yang masih dianggap jauh di bawah pembangunan negara-negara lain di ASEAN dan harus didorong pembangunannya., serta kita sekarang bersaing dengan Vietnam. Beberapa format pendanaannya dapat dilakukan dalam bentuk ASEAN 7 +3, yang dulu kita sebut ASEAN 6 and CLMV. Yang terakhir, integrasi menyongsong ekonomi global. Bagaimana ASEAN saling bekerjasama dengan lingkungan eksternal, dalam lingkup ASEAN sendiri, dan di forum WTO – yang masih belum satu suara, misalnya dalam hal special products. Hal ini yang perlu dibahas lebih lanjut dalam blue print, karena tiap 6 bulan kita harus melaporkan kemajuannya. Kami ingin mengingatkan kembali kita semua untuk bekerja keras dalam rangka membangun jembatan-jembatan supaya kita dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Demikian sambutan kami, semoga bermanfaat bagi diskusi sore ini. Terima kasih.