Salvador Allende Dan Sosialisme Dengan Jalan Demokrasi http://www.berdikarionline.com/salvador-allende-dan-sosialisme-dengan-jalan-damai/
4 September 1970. Sebuah peristiwa luar biasa terjadi di Amerika Latin: seorang kandidat marxis, Salvador Allende, berhasil memenangkan pemilu Presiden di Chile. Inilah pertama kalinya dalam sejarah benua itu, bahkan di seluruh dunia, seorang marxis menjadi Presiden melalui pertarungan di kotak suara. Bagi sebagian kaum marxis, jalan yang ditempuh Allende adalah hanyalah sebuah ilusi berbahaya. Maklum, seperti diperingatkan Marx, “tidak ada klas penguasa yang mau menyerahkan kekuasaannya kepada klas lain dengan cara sukarela.” Namun, Allende punya keyakinan sendiri, bahwa jalan membangun sosialisme, terutama di Chile, hanya mungkin melalui jalan demokrasi. Memang, kekuasaan Allende berlangsung sangat singkat: 1970-1973. Namun demikian, saya pikir, adalah sebuah cara pandang yang tidak adil apabila hanya melihat proyek sosialisme Allende sebagai sebuah kegagalan semata. Bagi saya, proyek sosialisme Allende mengandung banyak pelajaran berharga bagi kaum sosialis hari ini. Sutradara film dokumenter Chile, Patricio Guzmán, menggali pelajaran-pelajaran berharga dari proyek sosialisme Allende tersebut melalui film bertajuk “Salvador Allende” (2004). Melalui film berdurasi 100 menit itu, Guzmán memperlihatkan bagaimana perjalanan Allende menapaki jalan kekuasaan dan kontradiksi-kontradiksi di dalam proyek sosialisme-nya. Salvador Allende, yang juga seorang dokter, tumbuh sebagai seorang marxis yang banyak dipengaruhi banyak ide: Marx, Lenin, Revolusi Perancis, Anarkisme, dan lain-lain. Dalam hal ini, Allende bukanlah seorang “marxis ortodoks”, yang berpegang pada satu 1
kitab suci saja. Saya kira, cakrawala berfikir yang luas ini cukup mempengaruhi strategi politik Allende. Pada usia yang masih sangat muda, 29 tahun, Allende sudah menjadi seorang senator dari tanah kelahirannya, Valparaíso. Ia sekaligus menjadi salah satu pendiri Partai Sosialis, sebuah partai pekerja yang tidak sehaluan dengan garis Moskow. Pada usia 30 tahun, Allende sudah ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan di pemerintahan reformis Pedro Aguirre Cerda. Perjalanan Allende menapaki jalan kekuasaan memang berliku. Dia tiga kali mencalonkan diri sebagai Presiden (1952, 1958, dan 1968). Tetapi semuanya gagal. Namun, Allende tidak menyerah begitu saja. Baginya, kendati gagal, pemilu itu menjadi ajang untuk mengukur kekutannya. Namun, pelan-pelan tapi pasti, Allende terus membangun kekuatannya. Tahun 1952, dengan menumpangi kereta api, Allende berkeliling ke seluruh pelosok Chile. Ia melakukan Turba (turun ke bawah): mendatangi setiap kota, berkunjung dari rumah ke rumah, untuk bertemu dan berdiskusi dengan rakyat. Di situ ia melihat realitas Chile yang sebenarnya. Dengan pengalaman itu, Ia mulai berbicara jalan keluar. Ia berkampanye dan membangun kesadaran rakyat. Selebaran-selebarannya bertebaran di sepanjang jalur yang dilaluinya. Allende tidak kenal lelah untuk membangun gerakan rakyat. Alhasil, rakyat mulai jatuh cinta
padanya.
Di
sepanjang
jalur
kereta
api,
rakyat
menunggunya
dan
mengelu-elukannya. Begitulah, hingga pada pemilu September 1970, Allende tampil sebagai pemenang. Kendaraan elektoral yang dibangunnya, Unidad Popular (UP), meraih suara 36%. Namun, perolehan suara itu gagal mengantarkan Allende meraih kekuatan mayoritas. UP sendiri mewakili spektrum yang luas: marxis, sosial-demokrat, dan Kristen. Namun, kendati menang secara demokratis, bukan berarti jalan kekuasaan Allende cukup lapang. Saat itu kekuatan sayap kanan berusaha menggagalkan kemenangannya. Kongres Chile, yang didominasi sayap kanan, berusaha menunjuk Jorge Alessandri–pemenang kedua–menjadi Presiden. Rakyat Chile marah. Mereka turun ke jalan-jalan. Akhirnya, Kristen Demokrat mendukung Allende di parlemen. Allende pun dilantik menjadi Presiden. Percobaan kudeta pertama gagal!
2
Namun, dukungan Kristen Demokrat terhadap Allende tidak gratis. Allende dipaksa membuat jaminan konstitusional, bahwa pemerintahannya tidak akan pernah menyentuh tiga hal: Angkatan Bersenjata, Lembaga Pendidikan, dan Media. Padahal, tiga perangkat ini pula yang digunakan sayap kanan untuk merongrong pemerintahan Allende. Yang menarik, kendati bekerja dalam ruang yang sangat terbatas, pemerintahan Allende tetap mengambil langkah radikal. Segera setelah ia berkuasa, ia mulai merealisasikan janji kampanyenya: land-reform, nasionalisasi perusahaan swasta (bank, batubara, baja, dan tembaga), dan membangun kekuasaan rakyat (kekuasaan kerakyatan, komando komunal, dan dewan industri). Ia menciptakan lompatan besar dalam sejarah perkembangan Chile. Tetapi, pada saat yang bersamaan, AS juga melakukan berbagai upaya untuk melengserkan Allende: mengucurkan jutaan dollar untuk mendanai aksi-aksi oposisi, melakukan sabotase ekonomi, melarikan semua kapital ke luar negeri, memboikot impor bahan baku ke pabrik-pabrik di Chile, dan kampanye negatif melalui media massa. Di dalam negeri, oposisi Chile mulai melancarkan kontra-revolusi melalui berbagai cara. Satu, memecah belah koalisi UP dengan menciptakan distingsi antara “marxis” dan “demokrat”. Sayap kanan gencar mempropagandakan anti-komunisme untuk menarik keluar kaum sosial-demokrat dan Kristen dari UP. Dua, memainkan kontrol terhadap media massa untuk menjelek-jelekkan pemerintahan Allende. Di Chile, 70 persen media cetak dikuasai oposisi. Tiga, menarik dukungan tentara agar menjauh dari Allende. Caranya, mereka menakut-nakuti tentara dengan ancaman “chaos”, “perang sipil”, “kekosongan kekuasaan”, dan lain-lain. Empat, menciptakan kepanikan klas menengah melalui pemogokan sopir truk, boikot produksi tembaga, bahaya komunisme, dan lain-lain. Lima, menciptakan kekacauan ekonomi. Maklum, senjata ini efektif untuk menjelek-jelekkan pemerintahan Allende. Di sisi lain, seperti diungkap oleh Patricio Guzmán di film ini, kekuatan politik pendukung Allende punya problem internal. Satu, kendati suara Allende didengar oleh rakyat, tetapi hal itu tidak berbuah: organisasi. Dua, masing-masing partai kiri di dalam UP–komunis, sosialis, MIR, dll–sibuk dengan taktiknya masing-masing. Padahal, Allende berkali-kali menegaskan, bahwa proyek sosialismenya ditempuh dengan jalan demokratis, yang mengisyaratkan penolakan terhadap partai tunggal yang berkuasa secara monolitik. Seperti dikemukakan Allende pada pidatonya di tahun 1973: “Perjuangan rakyat untuk merebut martabatnya, untuk mencapai sosialisme, dengan 3
kebebasan yang majemuk dan toleransi terhadap semua ide-ide dan kepercayaan. Inilah perjuangan rakyat untuk mengalahkan kekerasan internal dan agresi eksternal. Aku akan memenuhi kewajibanku dan menggunakan setiap sumber daya negara. Tetapi tidak akan terjadi perang sipil di negeri ini.” Proyek sosialisme Allende bukannya tidak teruji. Seperti ditunjukkan oleh Patricio Guzmán, kendati AS mengguyur oposisi jutaan dollar, semua proyeknya diblokade parlemen, sabotase ekonomi, kepanikan klas menengah, provokasi media sayap kanan, namun dukungan rakyat Allende justru meningkat pesat. Terbukti, pada pemilu tahun 1973, Allende berhasil menaikkan suara: 43,4% suara. Alhasil, sayap kanan gagal meraih suara ⅔ yang dibutuhkan untuk memakzulkan Allende. Upaya kudeta kembali menemui kegagalan. Justru, saya pikir, tumbuhnya dukungan rakyat terhadap Allende, baik melalui elektoral maupun mobilisasi di jalanan, membuat sayap kanan frustasi. Kenyataan inilah yang membuat oposisi, termasuk imperialisme AS di belakangnya, sampai pada kesimpulan: Allende tidak mungkin bisa digulingkan dengan jalan legal/konstituisional. Dengan demikian, oposisi sayap kanan pun beralih kepada opsi terakhir: kudeta militer! Setelah menyimak film Patricio Guzmán di atas, saya punya beberapa catatan. Pertama, Allende hanya memenangkan suara 36% dalam pemilu. Hal tersebut menyulitkannya melakukan perubahan yang sifatnya mendalam dalam batas-batas sistem perwakilan demokratik borjuis. Parlemen (kongres) dikuasai sayap kanan. Alhasil, banyak agenda perubahan Allende diblokir oleh parlemen. Banyak proyek sosial Allende, seperti distribusi susu, rencana kesehatan, program perumahan, dan lain-lain, terhambat karena dananya ditahan parlemen. Hal itu berbeda dengan kemenangan elektoral Chavez di Venezuela, tahun 1998, yang meraih 68% suara. Dengan dukungan yang besar itu, Chavez meraih kekuatan mayoritas di Majelis Nasional. Bahkan, proyeknya untuk membuat UU baru, yakni UU Bolivarian, yang dimaksudkan untuk memberi jalur legalitas bagi proyek revolusioner, berjalan tanpa hambatan berarti. Kedua, meskipun Allende didukung oleh banyak kaum militan, yakni komunis, sosialis, dan kiri-radikal lainnya, tetapi mereka–seperti diungkapkan oleh Patricio Guzmán di filmnya–berjalan sendiri-sendiri dengan taktik masing-masing. Ini yang menghambat upaya Allende untuk mengorganisasikan dukungan rakyat yang terus meningkat ke dalam organisasi-organisasi. Lain halnya dengan Chavez, yang pada pemilu 1998, justru tidak mendapat dukungan dari kiri radikal: komunis, trotskys, sosialis revolusioner, dan
4
lain-lain. Menariknya, Chavez berhasil mengubah dukungan rakyat yang besar kepada dirinya menjadi organisasi melalui Lingkaran Bolivarian. Ketiga, Di satu sisi, Allende gagal meraih loyalitas atau dukungan penuh angkatan bersenjata. Di sisi lain, Allende terlalu percaya bahwa angkatan bersenjata selalu setia pada konstitusi. Pada kenyataannya, pada tahun 1973, militer menginjak-injak konstitusi dan demokrasi. Sementara Chavez meraih dukungan cukup kuat dari militer Venezuela. Meskipun, harus pula diakui, bahwa ada perbedaan karakter yang mencolok antara militer Chile dan Venezuela. Keempat, sementara Allende sibuk menyerukan “persatuan” untuk merangkul sektor luas guna mematahkan isolasi sayap kanan, kelompok kiri radikal pendukung Allende justru menyerukan perang klas. Mereka menulis ditembok-tembok: “Hidup Kediktatoran Proletariat”.
Sementara
Allende
berusaha
mengkonsolidasikan
ekonomi
melalui
nasionalisasi secara hati-hati terhadap sejumlah sektor strategis, sektor kiri radikal menuntut nasionalisasi semua sektor swasta. Akhirnya, tanggal 11 September 1973, militer Chile di bawah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet melancarkan kudeta. Tentara dengan peralatan perangnya, seperti tank, artileri, dan lain-lain, menguasai jalanan dan melarang rakyat keluar rumah. Lalu, mereka menggempur Istana Kepresidenan, La Moneda Palace, tempat Allende berada. Tak hanya itu, pesawat tempur turut menggempur Istana Kepresidenan. Allende tidak menyerah. Di tengah kepungan dan gempuran, Allende memilih bertempur hingga akhir. Dalam pidato terakhirnya ia tegas mengatakan: Inilah kata-kata terakhirku dan aku yakin pengorbananku tidak akan sia-sia. Proyek sosialisme Allende sendiri memberi pelajaran penting. Allende berkali-kali menyebut sosialisme-nya dengan perumpamaan: sosialisme dengan anggur merah dan empanada (kue
mirip
pastel)
Chile.
Maksudnya,
sosialisme
Chile
haruslah
berkarakter demokratik dan berakar pada tradisi nasional rakyat Chile. Keyakinan itulah yang membuat Allende mengambil jalan sendiri. Kendati di seantero Amerika Latin perjuangan bersenjata berkibar-kibar dan menjadi metode umum hampir semua gerakan kiri, Allende tidak mau latah. Ia dengan sabar (empat kali pencalonan) menjalankan strateginya sendiri.
5
Dan Allende memang tidak mati. Seperti dikatakan Patricio Guzmán: meski kekuasaan (diktator Pinochet) berusaha memupuk pelupaan, namun dibalik selimut amnesia yang menutupi negeri, ingatan muncul bahkan lebih bersemangat. Kekuasaan Pinochet selama 18 tahun gagal menghapus Allende dari ingatan rakyat Chile. Dan hari ini, melalui mural di tembok-tembok dan jalanan, Salvador Allende terus hidup. Dan, resensi ini didedikasikan untuk mengenang Allende (26 Juli 1908- 11 September 1973). A Luta Continua! Kusno, anggota redaksi Berdikari Online
6