Salah Kaprah tentang Individualisme Jumansyah Individualisme adalah konsep yang kerap disalahpahami karena lebih sering didefinisikan secara curiga ketimbang obyektif. Kecurigaan yang umumnya dalam pandangan politik terhadap individualisme memunculkan beberapa salah kaprah dalam memahami individualisme. Berikut adalah beberapa salah kaprah yang dapat ditemui di masyarakat awam maupun dalam lingkungan akademis. Salah kaprah pertama, menyamakan individualisme dengan egoisme dan narsisisme. Seolah-olah individualisme pasti sama dengan egoisme dan narsisisme, vice versa.Padahal ketiga istilah itu jelas berbeda satu sama lain. Egoisme adalah konsep mementingkan diri sendiri yang motivasinya hanya untuk keuntungan diri sendiri. Orientasi utama egoisme adalah tujuan pribadi, dimana seseorang dapat menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang bersesuaian dengan kepentingan pribadinya. Perilaku ini sebenarnya dapat terlihat pada langgam politisi yang lebih mementingkan kepentingan diri dan partainya daripada kepentingan masyarakat. Narsisisme adalah pengejaran kepuasan melalui kesombongan dan kebanggaan terhadap diri sendiri. Istilah ini berasal dari mitologi Yunani, dimana seorang pemuda bernama Narcissus jatuh cinta atau terpesona dengan bayangannya sendiri di dalam air. Hari ini, pemuda Narcissus dapat ditemukan dengan mudah di media sosial. Misalnya seseorang yang memajang foto diri hasil jepretan sendiri (selfie) secara berlebihan di media sosial miliknya untuk kebanggaan pribadi dan mendapat pujian dari orang lain. Apabila dilihat lebih luas dalam kehidupan politik dan ekonomi, narsisisme dapat ditemukan pada sifat otoritas, superioritas (arogansi), kebanggaan terlalu berlebihan terhadap pribadi, dan eksploitasi. Egoisme menekankan pada tercapainya tujuan pribadi, sementara narsisisme menekankan pada kebanggaan terlalu berlebihan terhadap pribadinya. Keduanya berkonotasi negatif. Dalam egoisme, pencapaian tujuan dapat menggunakan segala cara meskipun merugikan orang lain. Sementara dalam narsisisme, cara pandang yang berlebihan terhadap pribadi dapat meniadakan orang lain dalam pengambilan keputusan baik pribadi maupun kelompok. Egoisme dan narsisisme sering dianggap sama dengan individualisme karena memiliki kesamaan dalam tema sentral konsepnya, yaitu individu. Meskipun begitu, individualisme sebenarnya adalah konsep yang berjarak dengan egoisme dan narsisisme.
Individualisme pada pokoknya adalah tentang pendirian moral, filsafat politik, ideologi, dan pandangan sosial yang menekankan penilaian moral (baik dan buruk) kepada individu. Individu diberikan otonomi untuk menentukan sendiri apa yang harus dan tidak harus dilakukannya. Pandangan ini berangkat dari pemikiran positif tentang manusia bahwa mereka memiliki potensi unik untuk mampu mengambil keputusan sendiri. Oleh karena itu, dalam risalah agama, konon hanya manusia yang dipilih menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tuhan tentu lebih tahu kemampuan manusia dalam memilih dengan menggunakan akalnya, sehingga dalam banyak risalah agama, Tuhan hanya membentangkan pilihan-pilihan. Manusia (individu) jua lah yang menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Kebebasan memilih dalam individualisme akan menghasilkan dua keputusan, yaitu keputusan yang salah dan keputusan yang benar. Keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Tetapi individualisme tidak berhenti hanya pada kebebasan memilih. Individualisme menekankan pula bahwa dalam setiap pilihan, setiap individu harus berani mempertanggungjawabkannya. Filsuf John Stuart Mill menekankan bahwa tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab. Dengan adanya pertanggungjawaban, kebebasan memilih setiap individu didasarkan pada pilihan sadar dan rasional. Pertimbangan dalam memilih adalah seberapa besar manfaat (benefit) yang dapat diperoleh dan risiko apa yang dihadapi. Tidak seperti egoisme yang mengabaikan risiko, individualisme dapat menganulir pilihannya apabila risiko yang dihadapi terlalu besar meskipun manfaat yang diperoleh mungkin juga besar. Misalnya, seseorang yang memutuskan untuk merampok atau mencuri, harus siap dengan risiko mendapatkan hukuman. Dalam individualisme, posisi hukum sangat penting. Hukum yang dibentuk sebagai aturan merupakan bentuk perlindungan terhadap kebebasan memilih dan pertanggungjawaban di dalamnya. Seseorang yang menganut individualisme harus sangat patuh terhadap hukum. Bahkan dapat disimpulkan dari tulisan filsuf Frederich Bastiat, bahwa individualisme harus membantu penegakan negara hukum. Tidak ada individualisme tanpa negara hukum yang adil. Salah kaprah kedua, individualisme dipahami dapat merusak tatanan dalam masyarakat. Pemahaman ini sebenarnya didasarkan pada implikasi luas individualisme, yaitu keterbukaan dan kemajuan. Seorang individu dalam mengambil keputusan mengenai hidupnya membutuhkan referensi yang banyak, tidak tertutup terhadap perubahan-perubahan. Meskipun perubahan-perubahan itu berasal dari luar masyarakatnya. Misalnya, orang Indonesia tidak alergi terhadap nilai-nilai yang berasal dari dunia Barat (Eropa dan Amerika) karena memandang ada beberapa kebaikan di sana.
Terkadang penyerapan dari luar inilah yang menimbulkan konflik dengan tatanan masyarakat yang dianggap sudah tetap. Padahal dalam menyongsong kemajuan, tatanan masyarakat di setiap zaman sebenarnya mengalami perubahan-perubahan atau penyesuaianpenyesuaian. Jadi tidak adil, jika individualisme dianggap sebagai akar masalah. Akar masalah yang sesungguhnya adalah keniscayaan perubahan, tidak ada yang sanggup menolaknya. Dulu perempuan dikekang dan tidak diberi kesempatan untuk sekolah, tetapi zaman menuntut untuk memberi perempuan kesempatan. Sungguh begitu kejam, tatanan masyarakat yang membelenggu hak setiap orang untuk maju. Dulu orang-orang mengendarai hewan (kuda, unta) sebagai sarana transportasi, zaman menuntut perubahan. Perubahan aktivitas manusia yang semakin kompleks membuat manusia berpikir untuk mencari sarana transportasi yang sesuai. Tatanan masyarakat memang berubah, tetapi tidak banyak kerugian yang terjadi. Hari ini, setiap orang bangga dengan sarana transportasi canggih yang mempermudah aktivitas mereka. Kehadiran teknologi seperti smartphone dan Internet, mengubah tatanan masyarakat secara drastis. Dampak negatif dari teknologi tersebut seperti yang sering didengung-dengungkan tidak ditimbulkan oleh individualisme, tetapi oleh pribadi-pribadi egoisme dan narsisisme yang mencoba mencari keuntungan pribadi. Individualisme sangat menjunjung tinggi penegakan hukum atas kejahatan-kejahatan yang dikhawatirkan dapat merusak tatanan masyarakat. Jadi, alih-alih merusak tatanan masyarakat, invidualisme justru memperkuatnya dengan mempromosikan kepatuhan terhadap hukum. Salah kaprah ketiga, individualisme dipahami dapat merusak diri sendiri atau dengan kata lain tidak sehat secara psikologi. Salah kaprah ini didasari pada pandangan bahwa individualisme berhubungan erat dengan kebebasan tanpa batas yang negatif, seperti seks bebas dan pergaulan bebas. Untuk menjawab salah kaprah ini, saya meminjam analisis Alan Waterman, seorang psikolog yang menulis buku “The Psychology of Individualism”. Saya mengutipnya dari tulisan Sharon Presley berjudul “Psychological Individualism: Much Maligned But Little Understood" (Libertarianism.org, Juni 2015). Waterman secara tegas menyatakan bahwa menjadi individualis tidak hanya menyehatkan secara psikologi, tetapi juga secara sosial bermanfaat. Ia berargumen bahwa individualisme menghargai setiap individu memiliki potensi unik untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Pengambilan keputusan akan selalu diikuti dengan tanggung jawab terhadap keputusan tersebut. Oleh karenanya, seseorang yang mengambil risiko untuk melakukan tindakan yang mengganggu masyarakat, maka dia sendiri akan menanggung risikonya.
Waterman tidak setuju dengan definisi para pengkritik yang menyamakan individualisme dengan narsisisme, yang memiliki kecenderungan sangat destruktif. Beberapa contoh deskripsi yang dilakukan Waterman sangat menarik. Misalnya, nilai tinggi (high value) ditemukan dari pengasahan bakat seseorang, bandingkan dengan media (televisi) hari ini yang memiliki kecenderungan menampilkan hedonisme, materialisme, dan sukses tanpa kerja keras. Artinya hedonisme, materialisme dan sukses tanpa kerja keras bukan merupakan bagian dari individualisme, tetapi produksi media (televisi). Seorang individu akan selalu mengiringi pengambilan keputusannya dengan tanggung jawab terhadap keputusan tersebut. Seringkali orang-orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai kolektivisme, berlindung di balik kerumunan (mayoritas) atas kesalahan yang diperbuatnya. Semua perbuatan manipulasi yang dilakukan individu akan berdampak kembali pada diri individu tersebut. Sementara sistem politik kita hari ini mempertontonkan adanya kepentingan tertentu baik partai maupun golongan, tidak peduli yang mereka perjuangkan salah atau benar. Sistem politik yang demikian mampu “menyembunyikan” orang-orang yang sebenarnya bersalah tetapi berlindung dibalik nama partai ataupun golongannya.
Bahan Renungan Apa yang selama ini dianggap karena kesalahan konsep individualisme ternyata tidak diakui sebagai bagian dari konsep individualisme. Individualisme lebih menekankan pada potensi unik atau bakat manusia dalam mengambil keputusan. Dalam kata lain, indvidualisme berpikiran positif terhadap kemampuan individu dalam pengambilan keputusan. Penekanannya adalah pelimpahan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan kepada individu, serta tanggungan risiko-risikonya. Bahwa kemudian ada individu yang melanggar hak orang lain karena salah mengambil keputusan, maka individu tersebut harus bertanggung jawab terhadap keputusannya yang salah tersebut. Tidak benar adanya apabila dianggap bahwa individualisme dapat merusak tatanan masyarakat. Justru sebaliknya, dalam pandangan Emile Durkheim (1893-1984), pada saat seseorang menjadi lebih otonom dan liberal, mereka pada kenyataannya lebih tergantung pada masyarakat. Pandangan Durkheim tersebut didukung oleh studi yang dilakukan oleh Juri Allik dan Anu Realo tentang “Individualism-Collectivism and Social Capital”. Mereka melakukan analisis terhadap data hubungan antara individualismekolektivisme dengan modal sosial di satu negara (Amerika Serikat) dan antar negara (42 negara). Indonesia tidak termasuk dalam studi ini. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, negara dengan
modal sosial yang tinggi ternyata sangat individualistik. Dalam observasi antar negara juga ditemukan hubungan yang kuat antara individualisme dan modal sosial. Dengan demikian, individualisme tidak hanya menyehatkan secara psikologi tetapi juga memiliki dampak yang positif dalam membangun tatanan masyarakat yang sehat. Mudah-mudahan individualisme dapat didekati dengan lebih hati-hati melalui kajian akademis yang utuh. Dengan demikian, tidak terjadi lagi salah kaprah karena pemakaian asumsi yang tidak berdasar.
Jumansyah memperoleh gelar M.Sc dalam ilmu Akuntansi dari Program Magister Sains Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada. Kini berperan sebagai dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Jakarta. Selain mengajar, juga beraktivitas sebagai koordinator Kelompok Kajian Dialektika, Bekasi. Bisa dihubungi melalui email:
[email protected]