Novel Western: Gambaran Individualisme Amerika (Suatu Analisa Atas Ikon-ikon Yang Merepresentasikan Sebagian Dari Individualisme Amerika Dalam Novel-novel “Western” Karya Louis L’Amour) Kata kunci: Novel Western, Ikon, Individualisme Amerika I. Pengantar Karya pop, khususnya cerita yang disebut picisan, seringkali dianggap sebagai karya yang tidak layak diperbincangkan secara ilmiah karena tidak mengandung nilai-nilai “kekekalan” seperti karya-karya sastra berkelas. Salah satu karya pop yang pernah dan masih populer di Amerika adalah cerita western, atau yang kita sebut koboi. Cerita semacam ini merupakan cerita petualangan khas Amerika, yang menceritakan kehidupan orang Amerika terutama di daerah frontier (perbatasan). Selama bertahun-tahun pola cerita atau formula cerita western ini tidak mengalami perubahan yang berarti, meskipun tokoh protagonisnya telah mengalami berbagai pergeseran yang cukup berarti, yaitu dari backwoodsman (orang yang tinggal di pedalaman hutan), plainsman (orang di daerah terbuka), outlaw (pelanggar hukum), sampai ke koboi (Jones 1978:26 – 119). Pola cerita koboi selalu berkisar pada pertentangan peradaban melawan ke-belantara-an / ke-tidakberadab-an (civilization dan wilderness), manusia melawan alam, yang baik melawan yang jahat, dan kehidupan melawan kematian (Jones 1978:129). Berdasarkan formula yang konstan tersebut, makalah ini berupaya untuk mengungkap apakah yang ada dibalik formula tersebut dengan menggunakan dua novel L’Amour, The High Grader dan The Empty Land, untuk dianalisa. Makalah ini akan menelusuri pemikiran orang Amerika melalui analisa terhadap ikon-ikon yang ditemukan dalam novel-novel tersebut. Formula cerita juga akan disinggung secara singkat karena fokus analisa adalah ikon. Selanjutnya, ikon-ikon tersebut akan dihubungkan dengan salah satu keyakinan dan nilai Amerika, yaitu individualisme, yang dianggap sebagai nilai mendasar / fundamental dalam kehidupan orang Amerika. Dari masa pembentukan bangsa Amerika sampai kini nilai tersebut belum berubah. Beberapa pemikiran yang berkaitan dan merupakan pelaksanaan nilai tersebut, yaitu “self-reliance,” sukses, keadilan dan kebebasan, akan dibicarakan sebelum sampai pada nilai fundamental tersebut.
Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
1
II. Informasi Singkat Mengenai Louis L’Amour Louis L' Amour, yang bernama asli Louis Dearborn LaMoore, lahir tanggal 22 Maret 1908 sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara dalam keluarga Dr. Louis Charles LaMoore and Emily Dearborn LaMoore. Ia tumbuh dan berkembang pada masa memudarnya era frontier Amerika. Sampai usianya yang kelimabelas tahun ia tinggal di Jamestown, North Dakota, pada suatu masyarakat pertanian yang tidak terlalu besar di suatu lembah dengan Pipestem Creek yang mengalir ke the James River. Louis berasal dari keluarga yang berpendidikan dan suka membaca. Seluruh anggota keluarga berperan penting dalam pendidikannya: Emmy Lou, kakaknya, mengajari ia membaca; ayahnya mengajarinya tentang kehidupan binatang, keyakinan untuk bekerja keras, dan keyakinan bahwa setiap manusia akan selalu dapat menemukan jalan keluar bagi masalahnya; pendidikan dasarnya diperolehnya dari ibunya yang pernah menjadi guru; Edna, kakaknya yang bekerja sebagai petugas perpustakaan, menularkan padanya cara pandang yang luas melalui membaca dan melakukan penelitian; Parker menjadi teladan atas kegesitannya dan kemampuannya menulis sebagai wartawan; Yale mengajarkan semangat cinta kasih, karakter yang kuat, dan kemampuan berimprovisasi; saudara angkat Louis, John, seorang anak jalanan dari New York, menjadi contoh nyata seorang survivor yang cerdas dan pandai bicara. Ia hanya berpendidikan formal sampai kelas 10, tetapi ia memiliki kehausan yang luar biasa terhadap ilmu dan pengetahuan. Sepanjang hidupnya ia selalu keluar masuk perpustakaan dan toko buku di seluruh Negara bahkan di seluruh dunia. Pengalamannya sebagai petinju dan selama hidup menggelandang memberikan Louis pengalaman langsung mengenai kehidupan manusia dan kondisi alam Amerika yang nantinya menjadi setting cerita-ceritanya (www.louislamour.com/aboutlouis/biography3; diakses 24 Mei 2003, jam 11:24). Sebagai salah satu penulis cerita western (“koboi”) Amerika yang terkenal, Louis L' Amour sampai akhir hayatnya telah menerbitkan 101 novel, koleksi cerita pendek, puisi dan non-fiksi. Salah satu komentar terhadap bukunya bahkan menyebut ia sebagai “the World' s Greatest Writer” dan ia layak menerima sebutan itu karena bukunya telah terjual lebih dari 250 juta kopi, sehingga menempatkannya sebagai penjualan terhebat di urutan ketiga di dunia (menurut Saturday Review). Buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa dan dibuat ke dalam 30 film (http://www.kirjasto.sci.fi/lamour.htm,
Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
2
diakses 24 Mei 2003, jam 9:21). Tulisan ini akan didasarkan terutama pada dua novelnya,: The High Grader (1965) and The Empty Land (1969).
III. Novel Populer dan Nilai-nilai Amerika Analisa ikon dalam tulisan ini terutama didasarkan pada bagan “rumah budaya populer” (selanjutnya akan digunakan kata pop saja untuk menyingkat kata populer) yang dikemukakan oleh (the building of the house of popular culture) Jack Nachbar dan Kevin Lause dalam buku mereka Popular Culture (1992). Banyak orang menganggap budaya pop, pada umumnya, dan karya sastra pop, khususnya, merupakan hal yang remeh dan tidak layak dianalisa karena keduanya merupakan produk manusia yang bersifat instant, yang maknanya mengacu pada produk-produk pop yang instant, sehingga produk semacam ini tidak memiliki kualitas budaya atau sastra kelas tinggi yang bersifat “kekal” atau “sepanjang masa.” Menurut Thomas J. Roberts, yang menyebut karya sastra pop sebagai junk fiction (fiksi sampah) – istilah lain bagi istilah yang menurut John G. Cawelti disebut “formulaic stories” (cerita-cerita berformula) atau juga “popular literature” – memiliki perannya tersendiri bagi pembacanya. Cerita pop dibuat untuk menenangkan benak penat pembacanya karena peranan utama cerita pop bagi pembacanya adalah untuk menghibur, memuaskan mereka dengan cara mewujudkan keinginan- keinginan mereka, dan bukan untuk membebani mereka dengan hal-hal yang serius. Cerita pop mengandung hal-hal yang penting bagi pembacanya; pertama, cerita pop mengandung informasi dan nasihat; kedua, cerita-cerita pop menyuguhi pembacanya dengan model-model dan countermodel sebagai contoh yang membantu mereka untuk memandang diri mereka sendiri; ketiga, yang paling penting, adalah cerita-cerita ini menyediakan semacam “teater” yang membawa ketidakpastian para pembacanya ke suatu pencerahan yang memungkinkan mereka untuk mulai melakukan sesuatu untuk menghadapi ketidak pastian (1990:127 – 149). Untuk melihat betapa pentingnya cerita pop dalam masyarakat, sangatlah penting untuk mengerti struktur “rumah budaya pop” yang di dalamnya termasuk cerita pop. Struktur banguan rumah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: The House of Popular Culture
Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
3
F O R M U L A
Arts
Rituals
Imaginary / Created
Real
Icons
Icons
Heroes
Shallow Brief Erratic
Heroes
Beliefs and Values
Fads Fancies Fashions
Bedrock Beliefs (Myths) and Values Stable Significant Longstanding
Convictions Certainties Assumptions
(Nachbar dan Lause 1992: 21) Dari bagan di atas, dapat terlihat bahwa seni, yang mewadahi cerita pop / cerita berformula / junk fiction terbangun berdasarkan keberadaan ikon dan hero (lakon / pahlawan), yang biasanya bersifat imajiner atau dikarang / diciptakan oleh penulisnya. Kedua hal yang membentuk formula dalam cerita pop tersebut berpijak pada “lantai” pertama bangunan rumah budaya pop, yaitu “beliefs dan values” (keyakinan dan nilai). Sebagaimana digambarkan di dalam bagan, keyakinan dan nilai pada tingkat ini bersifat dangkal, sederhana dan mungkin bisa diralat (erratic), serta bersifat memudar, seperti fashion dan bersifat “fancy.” Hal itu berarti bahwa nilai dan keyakinan di sini berubah dari waktu ke waktu. Seiring dengan perubahan nilai dan keyakinan, bentuk ikon dan hero juga akan berubah. Meskipun demikian, semuanya itu tetap berpijak pada fondasi yang lebih mapan, yang merupakan bagian dasar bangunan rumah tersebut, yaitu yang dinamakan “the bedrock beliefs Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
4
and values,” – keyakinan dan nilai dasar – yang tidak mudah berubah. Dapat dikatakan bahwa nilai dan keyakinan dasar ini begitu mapan dan perlu waktu bertahun-tahun bahkan berabadabad untuk berubah (Nachbar dan Lause 1992: 22 – 26). Jika diterapkan secara spesifik pada cerita-cerita western, analisanya akan dimulai dengan formula cerita, yang selanjutnya akan membawa pada studi mengenai ikon dan hero. Interpretasi terhadap ikon dan hero akan membawa pada bagian bangunan yang di bawahnya, keyakinan dan nilai, dan akhirnya, analisa akan sampai pada nilai dan keyakinan mendasar yang merupakan dasar fundamental atas segala fenomena dalam cerita. Dengan kenyataan bahwa cerita western itu merupakan cerita unik yang bersifat Amerika, maka nilai-nilai yang di”emban”-nya merupakan nilai unik yang hanya ditemukan di Amerika. Sejauh ini, dari berbagai buku mengenai Amerika dan nilai-nilainya, dapat ditarik suatu pelajaran bahwa nilai yang tetap bertahan dari generasi ke generasi adalah individualisme. Oleh karena itu paper ini mulai dengan asumsi bahwa tulisan pop yang dikenal dengan western muncul sebagai refleksi gagasan nilai tersebut. IV. Individualisme Amerika dan “the Frontier” Individualisme merupakan bagian paling inti dalam kebudayaan Amerika (Bellah dkk 1985:142). Menurut sejarah, para pendatang yang mula-mula bermukim di Amerika mempunyai interpretasi yang berbeda satu dengan yang lain mengenai makna individualisme. Tokoh-tokoh terkemuka dalam hal ini antara lain dapat disebutkan: John Wintrop yang mendasarkan pengertiaannya mengenai individualisme pada bible (kitab Injil), Thomas Jefferson yang mendasarkan pada individualisme pemerintahan, Benjamin Franklin berpandangan mengenai individualime utilitarian, serta Walt Whitman yang memiliki gagasan individualisme ekspresif. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Amerika bisa menerapkan pandangan mereka mengenai makna individualisme dalam konteks yang lebih praktis, yaitu “self-reliance,” – keyakinan pada diri sendiri – kebebasan, keadilan dan sukses, sebagai mimpi Amerika (the American dreams) (Bellah dkk 1985: 28 – 34). Nilai individualisme di Amerika diyakini berasal dari kehidupan frontier. Hal itu ditunjukkan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh orang Amerika sejak kehidupan frontier memudar dan hilang di tahun 1890-an. Orang Amerika mulai mengupayakan jalan untuk mengembalikan “situasi” frontier melalui organisasi-organisasi dan kegiatan yang berkaitan dengan “wilderness” (belantara). Mereka berupaya untuk mampu menciptakan situasi yang sedemikian rupa seperti belantara untuk meraih kembali semangat frontier yang membentuk nilai dan keyakinan orang Amerika yang sejati. Beberapa kegiatan dan projek Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
5
yang dimaksud antara lain adalah kegiatan dan klub-klub “Boy Scouts,” National Parks, peningkatan kegiatan di alam bebas seperti misalnya berkemah dan mendaki gunung, dan menulis cerita mengenai kehidupan frontier dalam bentuk cerita western. Tujuan utamanya bukanlah untuk mengembalikan kenangan mengenai kehidupan frontier, melainkan untuk melestarikan nilai kehidupan yang diperoleh melalui situasi semacam itu (Nash 1982:147 – 156). Makna individualisme selanjutnya dapat dilihat melalui realisasi yang dilakukan masyarakat dalam keyakinan berikut ini: self-reliance, sukses, keadilan dan kebebasan. Nilai “self-reliance” dipopulerkan pertama kali oleh filsuf Ralph Waldo Emerson, yang menganjurkan masyarakat Amerika untuk percaya hanya pada diri mereka sendiri. Lebih lanjut lagi, Emerson menjelaskan bahwa percaya pada diri sendiri berarti tidak konformis, tidak akan pernah kompromi dengan lingkungannya. Seseorang dengan keyakinan pada diri sendiri seharusnya berbeda dari yang lain. Gagasan ini seringkali diinterpretasikan sebagai sikap oposisi terhadap masyarakat / lingkungan sosial. Menurut Emerson, masyarakat merupakan konspirasi yang melawan ke-manusia-an setiap individu yang menjadi bagiannya (Atkinson 1950:145 – 169). Meskipun demikian, pemikiran mengenai kerja keras dan kemandirian yang merupakan penerapan keyakinan pada diri sendiri masih dipegang erat oleh masyarakat Amerika. Sampai saat ini orang-orang Amerika masih meyakini bahwa kerja sangatlah penting sebagai identitas pribadi orang Amerika karena hal itu berkaitan sangat erat dengan apa yang dituntut oleh pemikiran mengenai keyakinan pada diri sendiri.(Bellah 1985:56). Nilai yang kedua, sukses, berkaitan sangat erat dengan pemikiran orang Amerika mengenai upaya pencapaian kebahagiaan (the pursuit of happiness), yang seringkali sangat bergantung pada perkembangan secara ekonomi. Meskipun demikian, orang Amerika juga berpendapat adanya sukses orang per orang dan sukses masyarakat (Bellah 1985:22). Pemikiran yang paling terkenal mengenai “apakah sukses itu” adalah yang dituliskan oleh Benjamin Franklin dalam esei-eseinya, surat-surat dan biografinya, yang semuanya menyebutkan bahwa sukses hanya dapat dicapai dengan kerja keras. Menurut Franklin, perkembangan dalam kehidupan seseorang harus dicatat secara sistematis supaya dapat mengontrol pencapaiannya; ia harus membuat jabaran apa yang harus ia tuju / capai sejak awal ia merasakan kebutuhan untuk menjadi sukses. Istilah sukses bagi Franklin dijabarkan menjadi tigabelas (13) Nama Moralitas (Names of Virtues) dan setiap orang yang ingin mencapai sukses harus disiplin dalam mencatat perkembangan masing-masing bentuk moralitasnya (Baym 1989:361 – 469). Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
6
Nilai individualisme yang berikutnya dekat dengan gagasan mengenai keadilan, yang didefinisikan oleh banyak orang Amerika sebagai masalah kesempatan yang sejajar / sama bagi setiap individu untuk meraih apa yang dianggapnya sebagai kebahagiaan. Kesempatan yang sama dijamin oleh hukum dan prosedur politik yang adil yang diterapkan sama kepada setiap orang. Cara berpikir yang seperti itu tidak dengan sendirinya menyajikan visi mengenai kemungkinan penerapannya dalam masyarakat, mengenai bagaimana keadilan didistribusikan dalam masyarakat jika setiap individu memiliki kesempatan yang sejajar dalam mencapai apa yang mereka inginkan. Pemikiran seperti itu dapat saja diterapkan dengan cara memberikan gaji yang mungkin berbeda antara satu orang dengan yang lain dalam pekerjaan yang berbeda dalam suatu masyarakat yang adil selama setiap orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak (Bellah 1985: 25 – 26). Dalam konteks kehidupan frontier, keadilan seringkali dikonotasikan dengan hukum dan peraturan yang ditetapkan untuk mengatur masyarakat di dalam masyarakat yang baru terbentuk. Kemenangan keadilan berarti kemenangan ketertiban dan hukum. Nilai yang terakhir, yang merupakan nilai yang paling menarik banyak orang dari luar Amerika untuk hijrah ke Amerika, adalah kebebasan. Nilai ini dianggap sebagai nilai Amerika yang paling dalam dan kuat dipegang oleh orang Amerika. Dalam banyak hal nilai ini didefinisikan sebagai kebaikan pada kehidupan pribadi dan politik. Akan tetapi, kebebasan bisa berubah arti menjadi dibiarkan oleh orang lain, tidak memaksakan nilai-nilai, gagasan dan gaya seseorang kepada orang lain, bebas dari kekuasaan arbitrer dalam kerja, keluarga, dan kehidupan politik (Bellah 1985:23). Bagi penulis cerita, sudah sekian lama kehidupan western merupakan topik yang menarik untuk ditulis. Cerita western itu sendiri diawali oleh James Fennimore Cooper dengan kuintalogi-nya yang tergabung dalam Leatherstocking Stories. Cerita dalam novelnovel Cooper ini berupaya memberikan gambaran mengenai kehidupan di daerah frontier dengan konfrontasinya antara alam dengan peradaban beserta segala kompleksitas ambigunya – yaitu alam sebagai “noble savage” sementara peradaban merupakan “noble savage” yang lainnya. Penulis-penulis cerita mengenai kehidupan frontier setelah Cooper juga menceritakan kisah dengan latar belakang yang sama, tetapi mereka cenderung berupaya mengecilkan keambigu-an yang ada dengan memberikan solusi terhadap permasalahan yang ambigu tersebut dan menciptakan garis pemisah antara keduanya sehingga terjadi semacam dikotomi: alam – kejahatan – diwakili oleh para penjahat, peradaban – kebaikan / kebenaran – diwakili oleh hero. Konfrontasinya selanjutnya merupakan pertikaian yang diakhiri dengan kemenangan hero – kebaikan – peradaban atas penjahat / Indian – kejahatan – alam (Cawelti 1976:209). Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
7
Bentuk cerita yang seperti yang terakhir itu, yang dinamakan sebagai cerita berformula oleh Cawelti, bukanlah semata-mata tidak berguna dan remeh karena seperti kata Nachbar dan Lause, karya pop semacam itu pastilah merepresentasikan suatu pola pikit tertentu dari suatu masyarakat tertentu. (1992: 21 – 30). V. Formula Cerita Western Fantasi sentral cerita western menurut Cawelti adalah kemenangan / keberhasilan sang jagoan dalam mengatasi dan menyelesaikan rintangan dan bahaya. Sang jagoan dihadapkan pada misi-misi yang bersifat moral dan penting dan ia harus mengembannya sampai selesai. Segala daya-upayanya merupakan akibat dari polah-tingkah si penjahat; ia seringkali mendapat dukungan dari perempuan-perempuan terhormat yang menarik / cantik; ia akan mencapai kemenangan, terutama atas kematian, dan dalam cerita western khususnya kemenangan atas ketidak-adilan dan ancaman dari ketiadaan hukum di daerah Barat. Macam jagoan dapat dibagi menjadi dua, yaitu “superhero” dan “one-of-us hero”. Yang pertama tentu saja memiliki kekuatan dan kemampuan yang istimewa luar biasa, sementara yang kedua digambarkan seperti orang biasa pada umumnya. Superhero biasanya memiliki karakteristik yang merupakan simbol seksual yang luar biasa, dalam arti penampilannya dan kemampuan dan daya tarik seksualnya memiliki kehebatan yang luar biasa, yang seringkali mewakili imaji pembacanya (Cawelti 1976:39 – 40). VI. Formula Cerita Western Karangan Louis L’Amour L' Amour menuliskan cerita-ceritanya dengan gaya langsung dan cepat, mengabaikan monolog interior, tetapi memberikan deskripsi yang panjang lebar. Tokoh penjahatnya biasanya kalah dengan cara yang sadis, tetapi ia menghindari penjelasan yang rinci mengenai kesadisan itu; ia lebih menyukai pengutamaan suspense yang biasanya dituliskannya sejak awal ceritanya – seperti yang diakuinya sendiri. Pada awal cerita, para jagoan-nya biasanya menghadapi kesulitan dan kesulitannya itu berkembang dengan cepat. Tokoh-tokoh rekaan L’Amour biasanya bukanlah orang-orang yang tidak percaya Tuhan, bukan orang-orang yang sekuler; seks secara implicit atau eksplisit tidak pernah muncul dalam ceritanya; jagoan-nya mudah sekali dibaca melalui ke-macho-annya (Jackson 1987, web address: http://www.louislamour.com/aboutlouis/smithsonian.htm, May 24, 2003, 9:37 a. m.). VII. Ikon-ikon dalam Novel-novel Louis L’Amour dan Individualisme Amerika Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
8
Pada lantai pertama rumah budaya pop, bangunan itu terdiri dari artifak-artifak yang dibedakan menjadi dua, yaitu ikon dan selebriti atau hero. Dalam konteks cerita fiksi, ikon dan hero yang ada adalah yang berupa rekaan atau imajiner, bukan yang riil atau nyata. (Nachbar and Lause 1992:24). Di dalam novel-novel Louis L’Amour, digunakan ikon-ikon Amerika yang menggambarkan individualisme Amerika. Ikon-ikon imajiner tersebut adalah koboi yang hidup sendirian, pistol dan menghisap cerutu. 1. Koboi, si Pejuang Tunggal a. Ikon “Self-reliance” Amerika Dalam kedua novel Louis L’Amour yang dianalisa untuk keperluan makalah ini, jagoan-nya adalah orang-orang yang sendirian. Mereka tinggal sendiri di belantara dan mereka juga berjuang sendiri. Belantara yang dimaksud di sini adalah wilayah Amerika yang masih “kosong,” yang belum didatangi masyarakat pendatang. Jagoan dalam novel The High Graders adalah seorang pekerja tambang bernama Mike Shevlin, yang hidup sebatang kara sejak kecil. Ia dibentuk oleh kekerasan belantara di daerah frontier sehingga menjadi seorang laki-laki yang kuat, tegar dan berani. Penampilan fisiknya menunjukkan kekuatannya: “well-built,” besar, tinggi dan berotot. Ketegarannya ditunjukkan melalui kegigihannya untuk menuntaskan pekerjaannya tanpa peduli akan kesulitannya. Keberaniannya tidak diragukan lagi sebab ia lebih suka menghadapi persoalannya sendirian. Motifasinya adalah untuk “survive” dan mencapai sukses. Ia mau melakukan apa saja asalkan itu dapat menopang kehidupannya dan tidak bertentangan dengan kebenaran yang dianutnya, yaitu ketertiban dan keteraturan. Ia bekerja dengan caranya sendiri, berdasarkan pada intuisinya sebagai seseorang dari belantara. Ia yakin bahwa hanya dengan kerja keras ia dapat mencapai yang ia inginkan – survive dan mencapai sukses. Dalam banyak hal ia dapat membuktikan bahwa ia dapat hidup sendirian. Pada cerita yang kedua, The Empty Land, jagoan-nya tidak jauh berbeda. Matt Coburn, dengan penampilan fisik dan latar belakang yang berbeda dari Mike Shevlin, juga seorang yang sendirian yang pemberani, kuat dan tegar. Ia berjuang sendirian dengan satu tujuan: mengalahkan penjahat yang berupaya untuk mengacaukan segala usaha untuk menetapkan peradaban. Kekuatannya ditunjukkan dengan kecepatannya dan ketepatannya dalam menembak. Meskipun ketika ia menonjok lawannya dengan kepalan tangannya ia merasa kesakitan, hal itu tidak membuatnya jatuh. Keberaniannya selalu dibuktikan dengan kemauannya untuk menghadapi tantangan, bahkan yang paling mematikan sekalipun. Hal ini didorong oleh keyakinannya yang kuat pada hal-hal yang baik saja, sehingga ia kan Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
9
melakukan apa saja untuk mengalahkan penjahat yang selalu mengkhianati kebaikan dalam kehidupan manusia. Karakteristik para jagoan tersebut membuktikan adanya self-reliance di Amerika. Mereka hidup sendirian di belantara dan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Tentu saja dalam kehidupan sehari-hari tidak ada orang yang dapat hidup seperti itu, tetapi itulah yang diidamkan oleh masyarakat Amerika. Cita-cita dan pemikiran masyarakat Amerika mengenai keyakinan pada diri sendiri diwujudkan dalam pola perilaku yang pemberani, kuat dan tegar dalam menghadapi segala macam kesulitan. Dengan demikian, jagoan dalam cerita western ini merupakan ikon self-reliance yang dipegang oleh masyarakat Amerika. b. Ikon Sukses Kemenangan sang jagoan atas para penjahat di masing-masing cerita menjadi suatu ekspresi sukses yang dicita-citakan oleh setiap orang Amerika. Apapun yang terjadi, sang jagoan pasti akan dapat mengalahkan para penjahat / musuh. Tentu saja sang jagoan harus bekerja sangat keras untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Kerja keras yang dilakukan sang jagoan ditunjukkan dengan kemauannya untuk mengambil resiko termasuk mengorbankan nyawanya sendiri demi keberhasilan misinya. Upaya ini merupakan representasi pencapaian sukses. Ukuran sukses yang dicapai oleh jagoan yang sendirian dalam kedua novel western ini adalah keberhasilan mereka untuk meraih ketenaran dan juga uang. Mike Shevlin dalam The High Grader menjadi terkenal di masyarakat dan pada akhir cerita dikisahkan bahwa ia menjadi legenda di kota itu. Ia menghilang, tetapi namanya tetap diingat dan dibicarakan. Ia juga mendapatkan uang yang membuat ia mampu hidup mapan di Californa, memiliki dan mengelola peternakan dan memiliki istri yang cantik. Dalam hal ini uang dan perempuan menjadi standar sukses konvensional, yang merupakan pencapaian seseorang yang juga merupakan kebanggaan seluruh kota. Matt Coburn dalam The Empty Land tidak berbeda dari Mike Shevlin. Ia menjadi terkenal sebagai orang yang paling kuat, paling tegar, dan paling berani di kotanya, bahkan di seluruh daerah sekitar kotanya. Ia terkenal sebagai orang yang paling mampu menangani kekacauan di kota yang baru dibentuk di pertambangan emas yang baru, yang dinamai Confusion. Dengan kualifikasi semacam itu, ia layak dijadikan marshal untuk kota tersebut, tetapi ia hanya mengambil uang yang menjadi bagiannya, bayaran dari orang yang menyewanya untuk mengawal pengiriman emas ke kota besar. Selanjutnya, kesuksesannya dilengkapi dengan hak-hak khusus untuk memilih salah satu dari dua perempuan cantik yang Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
10
kaya, seorang pemilik peternakan yang hidup mapan atau seorang entertainer yang juga seorang perempuan pengusaha. Dalam kedua cerita itu jelaslah bahwa ukuran sukses yang utama adalah kemenangan hero atas penjahat yang selanjutnya diikuti dengan tercapainya standar sukses lain, yaitu ketenaran, uang dan perempuan cantik. Kemenangan sang jagoan atas penjahat menunjukkan kerja keras sebelum tercapainya sukses. c. Ikon Keadilan Jaogan dalam cerita western hidup di atau dekat kota yang baru saja didirikan, kota peternakan atau kota pertambangan. Dalam kedua novel tersebut kota-kota yang digunakan sebagai setting adalah kota yang didirikan oleh masyarakat pertambangan. Di kota seperti itu, tidak ada hukum atau peraturan. Maka, orang-orang yang datang ke sana dalam rangka pendirian kota tersebut masing-masing memiliki gagasannya sendiri-sendiri mengenai hukum dan peraturan yang harus diterapkan di sana. Hal itu hanya menambah kekacauan di kota baru tersebut karena orang yang datang bukanlah hanya orang-orang dengan itikad baik, tetapi juga orang jahat. Oleh karena itu, kota tersebut memerlukan seseorang yang paling kuat di antara orang-orang yang ada di kota tersebut untuk “menjinakkan” kota. Mike Shevlin dalam novel The High Grader berjuang keras nyaris sendirian dalam mengalahkan penjahat. Dari awal mula cerita, jagoan ini menetapkan misinya untuk menemukan pembunuh sahabat lamanya. Misi ini kemudian diperluas menjadi upaya penyelamatan kota dari para pencuri bongkahan emas mentah dari tambang (high grader). Secara kebetulan “perluasan” misi itu dipicu oleh kedatangan kemenakan perempuan sahabat lama Mike Shevlin yang ia cari pembunuhnya. Peremuan muda dan cantik itu minta tolong kepadanya untuk mencari pencuri bongkahan emas mentah dari tambang yang diwarisinya dari pamannya dan menghentikan kegiatan itu. Misi yang diemban oleh jagoan ini merupakan misi keadilan, yang berarti penerapan hukum, pelurusan perbuatan yang keliru. Ia melakukan apa saja untuk mewujudkan misi itu, termasuk resiko kehilangan nyawanya. Pendek kata, ia memberikan segalanya untuk mengalahkan para penjahat. Matt Coburn dalam novel The Empty Land juga mengemban misi yang sejenis. Ia datang ke kota yang baru didirikan dengan hanya satu misi, “menjinakkan” orang-orang “jahat” yang mencoba untuk menerapkan hukum kejahatan dan kebiadaban di kota yang baru didirikan itu sebagai lawan hukum ketertiban dan peradaban. Seperti halnya Shevlin di novel yang pertama, Coburn berjuang nyaris sendirian dalam mengalahkan para penjahat dan
Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
11
pencoleng. Ia mengambil resiko kehilangan nyawa demi menghalau para pembuat kekacauan dari kota dan menerapkan hukum dan peraturan di sana. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari kedua novel tersebut, dapat dilihat bahwa kedua jagoan tersebut bekerja keras untuk mengalahkan para penjahat demi menegakkan hukum dan peraturan dari orang-orang yang beritikad baik. Keduanya memiliki kesetiaan / loyalitas terhadap keadilan yang membuat mereka mau mengambil resiko kehilangan nyawa demi menegakkannya. Jagoan yang paling kuat dengan kesetiaan terhadap hukum dan ketertiban menjadi ikon keadilan dalam masyarakat Amerika. d. Ikon Kebebasan Kesuksesan para jagoan di kedua novel tidak selalu diikuti dengan perubahan gaya hidup pelakunya dari seseorang yang hidup sendirian menjadi seorang peternak atau penambang yang mapan. Para jagoan itu biasanya memilih untuk hidup jauh dari tempat yang telah mereka “selamatkan.” Mereka memilih kehidupan yang tidak terlalu diharapkan oleh para pembacanya: mereka memilih untuktidak merayakan kemenangannya dengan menjadi penguasa di daerah baru itu. Dalam novel The High Graders, jagoannya, Mike Shevlin, pindah jauh dari daerah yang sudah ia lepaskan dari para penjahat. Di bagian akhir cerita, setelah perjuangannya, ia menikah dengan seorang perempuan cantik yang kaya dan menetap di California, mengelola peternakan, tetapi kerinduannya akan kehidupan menyendiri yang bebas di belantara tak pernah padam. Pada bagian penutup cerita, setelah kematian istrinya, Mike Shevlin meninggalkan California dan kembali ke belantara, ke kota tua, Rafter Crossing. Lebih dramatis lagi, untuk menunjukkan kecintaannya pada kehidupan yang bebas dan menyendiri, diceritakan bahwa tak seorang pun mengetahui ia berada di mana dan apakah ia masih hidup atau sudah mati – ia menjadi legenda yang misterius akan kesendirian dan keberaniannya. Di cerita kedua, The Empty Land, Matt Coburn sebenarnya bisa menjadi marshal di kota baru itu dan menikah dengan Laurie Shannon, seorang perempuan peternak yang kaya dan mapan, dan hidup mapan di kota baru itu, Confusion. Sebaliknya, ia memilih untuk hidup dengan Madge, seorang penyanyi yang juga seorang pengusaha yang hidup berpindah-pindah. Ia tidak memilih kehidupan yang lebih nyaman dan tenteram; sebaliknya, ia pergi dan mengharapkan adanya tantangan baru dalam kehidupannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua tokoh jagoan tersebut merupakan representasi kehidupan bebas, kebebasan. Mereka menunjukkan kemungkinan dilakukannya
Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
12
kehidupan yang tidak secara umum diinginkan oleh banyak orang, yaitu hidup mapan. Maka, tokoh jagoan dalam cerita-cerita ini menjadi ikon kebebasan. 2. Pistol a. Ikon “Self-Reliance” Amerika Pembicaraan mengenai pentingnya pistol tidak dapat dipisahkan dari tokoh-tokoh cerita, baik para jagoan maupun penjahat. Semua tokoh dalam cerita memiliki akses untuk memiliki dan menggunakan pistol. Berkaitan dengan setting cerita, di tengah belantara, maka jelaslah bahwa tokoh-tokoh itu dituntut untuk memiliki nyali yang besar dan juga kemampuan membela diri karena kehidupan di daerah frontier sangat liar. Orang-orang yang tinggal di sana harus bergantung pada diri mereka sendiri jika ingin survive. yang dimaksud dengan belantara di sini meliputi alam dan manusia. Alam itu sendiri liar karena belum diberdayakan. Di samping itu keberadaan orang-orang Indian merupakan ancaman yang lain bagi para pendatang yang ingin menolah tanah yang mereka anggap “kosong.” Selanjutnya, tidak semua pendatang adalah orang dengan itikad baik. Sebagian dari mereka adalah para “sampah masyarakat” yang dibuang dari masyarakat lama mereka ke tanah yang “baru” sebagai hukuman bagi mereka. Sebagian yang lain lagi adalah orang-orang kaya yang korup terhadap alam karena mereka ingin mengolah tanah, menambang, untuk keperluan mereka sendiri dalam upaya menimbun harta. Dengan demikian orang-orang di lahan yang baru dibuka itu, di daerah frontier, diperhadapkan pada kondisi belantara dengan beban ganda. Dengan keadaan alam yang sedemikian rupa, penggunaan pistol menjadi sangat penting guna melindungi diri dari keliaran lingkungan mereka. Dalam hal ini, pistol menjadi simbol self-reliance setiap orang karena dengan kehadirannya, setiap orang memiliki keyakinan akan kemampuan untuk bergantung pada diri sendiri. Pada novel yang pertama, The High Grader, Mike Shevlin, san jagoan, dapat mempertahankan kehidupannya di tengahtengah belantara dengan bantuan pistolnys – ia memiliki kemampuan yang terbaik dalam menggunakan pistol. Demikian pula dengan Matt Coburn pada novel yang kedua, The Empty Land, menunjukkan penggunaan pistol dalam taraf yang lebih banyak dalam upayanya menyelamatkan diri dan mengalahkan para penjahat, musuh-musuhnya. b. Ikon Kesuksesan Pistol juga merupakan simbol sukses yang tertanam dalam bentuk pencapaian kekuasaan / kekuatan. Pemikiran mengenai apakah sukses itu sangat bervariasi. Sebagian orang menganggap bahwa kesuksesan diukur dengan pencapaian kekayaan, sementara yang Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
13
lain mungkin berpendapat bahwa ukuran kesuksesan adalah pemenuhan kesenangan sebagaimana yang diidamkannya. Dalam cerita western yang diwakili oleh dua dari novel karya Louis L’Amour, hanya orang-orang yang memiliki kemampuan menggunakan pistol atau menembak dengan cepat dan tepat sasaran yang akan dapat mencapai apa yang mereka inginkan di daerah baru. Pemikiran semacam ini sebenarnya cocok dengan pemikiran Darwin “survival of the fittest,” suatu gagasan filosofis yang mempengaruhi pemikiran orang-orang barat dan hampir semua orang di dunia, terutama di Amerika sejak pemikiran itu dikemukakan. Kehidupan sehari-hari orang-orang Amerika pemikiran itu cocok dengan kondisi mereka. Sejak awal pembentukan Negara dan bangsa Amerika, lokasi pemukiman mereka merupakan perkembangan daerah frontier dalam arti luas – lihatlah sejarah Awal Amerika; orang-orang datang ke benua baru untuk menghadapi kesulitan alam dan tanah yang ditawarkan bagi mereka. Gagasan “the fittest” bisa dikonotasikan sebagai yang terkuat, terkeras, dan tercepat. Hanya orang-orang yang memiliki kualitas semacam itu yang akan survive, dan selanjutnya dapat menggapai kebahagiaan mereka, sukses mereka. Pemikiran itu tidak dapat diwujudkan tanpa adanya pistol, yang menjadi alat yang paling tepat untuk survival dan kemudian mencapai cita-cita mereka di tengah belantara. Pada novel The High Grader, Mike Shevlin-lah orang yang terbaik di antara semua yang ada dan terpilihuntuk mengatasi masalah yang rumit di pemukiman baru itu. Ia dapat membuktikan bahwa ia-lah orang yang tepat untuk bertanggungjawab atas semuanya dan keberhasilannya mengalahkan para penjahat di-“proklamasikan” bersamaan dengan keberhasilannya menembak mati Ben Stowe, si penjahat. Kemenangan ini mencnangkan reputasinya sebagai orang yang paling tepat di tempat yang paling tepat pula di daerah frontier. Lebih-lebih lagi, kemenangan, yang diraihnya itu adalah dengan “peran serta” pistolnya, yang kemudian menghantarkannya pada kekayaan dan pernikahan dengan perempuan cantik yang kaya, Laine Tennison. Jika ia tidak mampu menggunakan pistolnya dengan baik, ia tidak akan memperoleh kesuksesan seperti itu. Pada novel The Empty Land, Matt Coburn, sang jaogan, mengalami kesuksesan yang sejenis dengan jagoan pada novel yang pertama, meskipun bentuknya berbeda. Ia dapat mengalahkan para penjahat dan ia memperoleh ketenaran dan reputasi yang baik. Ia tidak diangkat untuk menjadi marshal di kota yang baru didirikan itu, tetapi reputasinya sebagai penembak tercepat dan jitu membuat ia bisa menduduki jabatan tersebut. Maka, bahkan orang yang paling tidak menyukainya, Felton, tidak dapat tidak mengakui kemampuannya dalam mengatur kota. Reputasinya semakin dikuatkan setelah keberhasilannya dalam menembak Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
14
mati para penjahat, yang terakhir adalah yang tersadis dan paling berbahaya. Dengan demikian konotasi pistol pada seseorang merupakan factor penting pada kesuksesannya. Secara ringkas, pistol bisa juga dijadikan symbol kesuksesan. Kedua jagoan pada kedua novel tidak bisa berbuat apa-apa tanpa pistol mereka. Pistol merekalah yang membuat mereka mencapai keberhasilan dalam mengalahkan para penjahat dan kemudian membuat pemukiman baru tersebut beradab. Para jagoan dengan pistolnya adalah lambang orang-orang yang sukses. c. Ikon Keadilan Pistol juga bisa menjadi ikon keadilan, yang biasanya dikonotasikan atau dikaitkan dengan peradaban. Dalam kedua novel tersebut, para jagoan yang sangat loyal terhadap keadilan mencapai keberhasilan dalam melaksanakan misi mereka dalam membela keadilan karena peran pistol mereka juga. Bahkan, pistol menjadi perangkat yang penting dalam mencapai sukses tersebut. Pada novel The High Grader, Mike Shevlin akhirnya menembak mati Ben Stowe, yang berarti akhir dari kekacauan di Rafter Crossing. Hal ini juga berarti bahwa praktek pencurian bongkah emas mentah dari tambang telah berakhir, sehingga bisnis yang lebih adil dapat dijalankan dengan baik. Pada novel The Empty Land, Matt Coburn menembak para penjahat yang mencoba merampok dan merusak gagasan untuk mendirikan kota. Ia mengalahkan mereka dan di akhir cerita ia menembak mati penjahat yang paling berbahaya di kota itu. Hal itu berarti ia membantu mencegah hancurnya kota dan membantu meletakkan fondasi bagi terbentuknya suatu kota baru yang “berperadaban.” Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pistol pun dapat dijadikan ikon keadilan karena dengan adanya pistol, para jagoan dalam kedua novel menjadi orang-orang yang dengan sukses menegakkan keadilan. d. Ikon Kebebasan Seperti telah disebutkan sebelumnya, kebebasan adalah pemikiran bahwa seseorang memiliki hak untuk menjadi bebas dari tekanan dari orang lain. Dalam film western yang dianalisa untuk makalah ini, jaogan dari masing-masing novel selalu memilih kehidupan menurut caranya sendiri. Tampaknya di dalam cerita-cerita ini keberanian para jagoan untuk hidup sendiri atau hidup menurut cara mereka sendiri yang melawan “arus” tidak dapat dipisahkan dari keberadan pistol. Para jagoan itu memiliki kemampuan untuk menggunakan Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
15
pistol dan hal itu mendukung kekuatan, ketegaran, dan keberanian mereka. Mereka tidak hanya secara fisik kuat, tatapi juga kuat dalam arti bahwa mereka dapat mengalahkan rintangan secara lebih mudah dengan kemampuan mereka dalam menggunakan pistol. Selanjutnya, kecepatan dan ke-jitu-an mereka dalam menembak membuat mereka bahkan lebih keras daripada bila mereka tanpa pistol. Image yang dihasilkan oleh pistol juga termasuk dalam image keberanian. Dengan demikian, bagi para jagoan, pistol sama saja dengan bagian dari hidup dan tubuh mereka sendiri. Dengan kualitas mereka yang sangat didukung oleh pistol, seorang jagoan menjadi cukup bernyali untuk menentukan jalan hidupnya sendiri meskipun bertentangan dengan caracara masyarakat pada umumnya. Pilihannya untuk hidup sendirian tidak merupakan suatu masalah karena ia memiliki pistolnya, yang bisa lebih dari seorang istri baginya. Dengan demikian, meskipun pistol tidak secara langsung menunjukkan kebebasan seseorang, image pistol mengakibatkan seorang jagoan dengan kehidupannya yang bebas semakin diperkuat. 3. Menghisap Cerutu a. Mitos di balik Menghisap Cerutu Seperti halnya ikon-ikon yang terdahulu, ikon yang terakhir ini tidak dapat dipisahkan dari tokoh-tokohnya. Dalam kedua novel Louis L’Amour, semua tokoh laki-laki merokok cerutu. Kebiasaan itu sendiri dianggap sebagai suatu cara laki-laki menanamkan image maskulinitasnya. Di Amerika Serikat, di pertengahan abad kesembilanbelas menghisap cerutu, bukan rokok, memberikan kesan “elegan” pada kemaskulinan laki-laki. Cerutu dihisap bukan untuk kenikmatan hisapannya, melainkan untuk dihembuskan sehingga sekelilingnya dapat merasakan aromanya. Menghisap cerutu yang baik, seperti halnya parfum bagi kaum perempuan, menyodorkan bau-bauan yang menarik dan juga menutupi bau badan. Seperti halnya parfum perempuan yang dimaksudkan untuk menarik laki-laki, bau cerutu juga dapat menimbulkan konotasi seksual dalam pemandangan maupun dalam penciuman perempuan yang menyaksikannya (Starr 1984:45). Dengan gambaran maskulinitas semacam itu, mitos ini tentu saja sangat dekat dengan ide individualisme Amerika yang ditunjukkan oleh kedua novel tersebut. b. Individualisme dalam Mitos di balik Menghisap Cerutu dalam Novel-novel Louis L’Amour Dalam novel-novel L’Amour’s, tokoh-tokohnya yang menghisap cerutu memberikan image bahwa mereka maskulin, yang secara eksplisit mereka dideskripsikan sebagai orangPilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
16
orang yang kuat, tegar, dan berani. Pendeskripsian bahwa mereka adalah kuat, tegar dan berani tidak cukup memberikan image bahwa mereka memiliki kualitas seperti itu. Membuat para tokoh itu menghisap cerutu memberikan gambaran kualitas mereka secara lebih mendetil. Kebiasaan mereka menghisap cerutu menunjukkan mereka adalah orang-orang yang memiliki nyali untuk menghadapi bahaya secara luar biasa. Mike Shevlin dengan berani membuka konfrontasi dengan orang-orang yang bermasalah di Rafter Crossing demi mengakhiri ketakutan orang-orang pada umumnya terhadap penguasa yang culas di tempat itu. Matt Coburn, sendirian, dengan berani melindungi para pemukim di kota yang baru didirikan itu sehingga upaya mereka mewujudkan peradaban dapat tercapai. Dengan kualitas semacam itu, kebiasaan mereka menghisap cerutu dapat menjadi suatu ikon yang menunjukkan kekuatan, ketegaran, dan keberanian mereka dalam menghadapi keliaran Amerika Serikat. Semua itu sebenarnya merupakan refleksi ‘selfreliance”, sukses, keadilan dan kebebasan orang-orang Amerika, yang merupakan penerapan individualisme. Pendek kata, menghisap cerutu menjadi suatu atribut yang menempel pada seseorang yang berani, kuat, dan tegar, yang menunjukkan perilaku yang bersifat “self-reliant,” sukses, adil, dan bebas. Semua itu membuat orang beranggapan bahwa orang dengan atribut seperti itu juga memiliki individualisme Amerika. VIII. Penutup Novel picisan western bukanlah karya yang remeh sama sekali karena jenis tulisan ini dapat merupakan ekspresi orang Amerika atas pemikiran mereka. Melalui novel-novel karya Louis L’Amour, The High Grader dan The Empty Land menunjukkan bahwa orang Amerika masih memegang gagasan individualisme dalam konsep mereka mengenai self-reliance, sukses, keadilan dan kebebasan. Gagasan-gagasan ini dapat dilihat melalui ikon-ikon yang dapat ditemukan dalam novel western, yaitu koboi yang sendirian, pistol, dan menghisap cerutu. Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa novel / cerita western sebagai salah satu jenis sastra pop tidak begitu saja muncul di tengah masyarakat dan kemudian menghilang tanpa ada gunanya. Sebaliknya, karya semacam itu merefleksikan nilai-nilai dan keyakinan masyarakat Amerika yang paling mendasar, yaitu individualisme. Bibliography Atkinson, Brooks (ed.). The Complete Essays and other Writings of Ralph Waldo Emerson. The Modern Library, New York, 1950. Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
17
Baym, Nina, dkk. The Norton Anthology of American Literature, Third Edition, Volume 1. W. W. Norton & Company, Inc., New York, 1989. Bellah, Robert N, dkk. Habits of the Hearts, Individualism and Commitment in American Life. Perennial Library, Harper & Row, Publisher, New York, 1985. Cawelti, John G. Adventure, Mystery, and Romance: Formula Stories as Art and Popular Culture. University of Chicago Press, 1976. Jackson, Donald Dale. World' s fastest literary gun: Louis L' Amour. Dipublikasikan tahun 1987. Web Address: http://www.louislamour.com/aboutlouis/smithsonian.htm, diakses 24 Mei, 2003, jam 9:37. Jones, Daryl. The Dime Novel Western. The Popular Press, Bowling Green State University, Bowling Green, Ohio, 1978. L’Amour, Louis. The Empty Land. The Bantam Books, Inc., 1969 L’Amour, Louis. The High Graders. Bantam Books Inc., 1965 Nachbar, Jack dan Kevin Lause. Popular Culture, an Introductory Text. Bowling Green State University Popular Press, Browling Green, OH 43403, 1992. Nash, Roderick. Wilderness and the American Mind, Third Edition. Yale University Press, 1982. Robert, Thomas J. An Aesthetic of Junk Fiction. The University of Georgia Press, Athens and London, 1990. Starr, Michael E. The Marlboro man: Cigarette Smoking and Masculinity in America. The Journal of Popular Culture, Volume 17, No. 4. Popular Culture Association, Bowling Green, Ohio, Spring, 1984. _____________. Louis L’Amour (1908 – 1988). http://www.kirjasto.sci.fi/lamour.htm; May 24, 2003; 9:21
Pilnas XIV HISKI – 26 – 28 Agustus 2003 Purwanti Kusumaningtyas – Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
18