Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
ISSN 1979-4940
SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialahikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian perkawinan tersebut menunjukan bahwa perkawinan bukan hanya ikatan lahir, namun juga ikatan bathin, dan pada dasarnya perkawinan menganut asas monogami.Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut tentunya perkawinan harus melalaui prosedur dan syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Dan perkawinan sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan dengan memenuhi seluruh ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Perkawinan yang sah akan memberikan kepastian hukum dan kepentingan hukum orang yang melangsungkan perkawinan akan terlindungi. Kata Kunci : Sahnya Perkawinan di Indonesia. tercipta keteraturan dan ketertiban dalam
PENDAHULUAN Manusia
sebagai
mahluk
sosial
(homo socius) tidak dapat hidup dan memenuhi
kebutuhan
hidupnya
tanpa
bantuan dan peran orang lain, baik untuk
masyarakat. Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 21 yang artinya : “Dan
memenuhi kebutuhan materi maupun non
diantara
tanda-tanda
materi (psikis/biologis). Manusia diberikan
kekuasaanNya
kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Esa
pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya
berupa akal dan hawa nafsu yang tidak
kamu
dimiliki oleh mahluk lain, hewan tidak
dijadikannya kasih sayang diantara kamu.
diberikan akal dan malaikat tidak diberikan
Sesungguhnya yang demikian
hawa nafsu oleh Allah. Oleh karenanya
tanda-tanda kebesaranNya bagi orang-
untuk
orang yang berfikir”. Dari ayat tersebut
memenuhi
kebutuhan
hidupnya
mendapat
diciptakanNya
ketenangan
untukmu
hati
dan
menjadi
tersebut diperlukan aturan hukum, sehingga
Allah
tidak terjadi benturan kepentingan dan
kesbesanNya yaitu dengan menciptakan
menunjukan
salah
satu
tanda
21
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
pasangan hidup untuk manusia dari manusia juga
dengan
tujuan
supaya
ISSN 1979-4940
-
manusia
1975tentang
mendapatkan ketenangan hati dan saling mengasihi dan menyayangi.Secara biologis
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun Pelaksanaan
Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974. -
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
tujuan perkawinan diantaranya adalah untuk
1983 tentang Izin Perkawinan dan
melanjutkan kelangsungan hidup manusia
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
dengan ketrunannya. Apabila manusia tidak
-
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
melaksanakan perkawinan dapat dipastikan
1990 tentang Izin Perkawinan dan
kelanjutan keturunan tersebut akan terputus.
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
Bagaimana dan syarat-syarat apa saja
Dalam
peraturan
perundang-
yang harus dipenuhi sehingga perkawinan
undangan tersebut mengatur secara rinci
itu sah menurut hukum positif yang berlaku
mengenai syarat-syarat sahnya perkawinan,
di Indonesia. Perkawinan sah menurut
pencatatan
perkawinan,
keabsahan
hukum
tersebut
perkawinan,
pencegahan
perkawinan,
dilaksanakan menurut hukum perkawinan
pembatalan
yang
Peraturan
perkawinan,
mengatur
akibat putusnya perkawinan.Namun dalam
apbila
berlaku
perkawinan
di
Indonesia.
Perundang-undangan
yang
masalah
yang
perkawinan
berlaku
di
Indonesia yaitu :
perkawinan, putusnya
akibat
hukum
perkawinan
dan
tulisan ini penulis membatasi pada masalah syarat-syarat sahnya perkawinan menurut hukum positif.
-
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya UndangUndang Republik Indonesia Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946
PEMBAHASAN
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura. -
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
A. Pengertian Perkawinan. Sebelum membahas masalah syaratsyarat perkawinan, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan mengenai pengertian perkawinan. Menurut Pasal 1 UndangUndang nomor 1 Tahun 1974 tentang
22
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
ISSN 1979-4940
Perkawinan, pengertian perkawinan adalah
bersama sebagai suami isteri.. Ikatan ini
ikatan lahir bathin antara seorang pria
merupakan hubungan formal yang sifatnya
dengan seorang wanita sebagai suami isteri
nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
maupun
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
masyarakat.1Apabila perkawinan tersebut
Ketuhanan Yang Maha Esa.Dari uraian
telah dilaksanakan secara formal yaitu
pengertian dalam Pasal 1 tersebut dalam
dengan dilaksanakannya akad nikah menurut
penjelasannya disebutkan :
agama Isalam dan tata cara yang lain
bagi
“Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua”.
menurut
Dari uraian pengertian perkawinan
perkawinan.2
orang
agama selain
lain
Islam,
maupun
hal
ini
membuktikan telah terjadi ikatan lahir dari pasangan suami isteri tersebut. Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pri dan seorang wanita untuk
hidup
bersama
sebagai
suami
isteri.dalam tahap permulaan ikatan bathin ini ditandai dengan adanya persetujuan dari calon
mempelai
untuk
melangsungkan
pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
dan
Pada
penjelasannya,
dasarnya
perkawinan
itu
sesungguhnya perkawinan bukan hanya
dilaksanakan atas dasar suka rela dari kedua
kebutuhan lahiriah (jamani), namun juga
calon mempelai, dan perkawinan tidak sah
merupakan
(bathin).
apabila dilakukan dengan terpaksa atau ada
Pengertian tersebut juga relefan dengan Al –
tekanan dari salah satu calon mempelai atau
Qur’an Surat Ar – Ruum ayat 21 yang telah
dari pihak lain (kawin paksa) karena apabila
penulis uraikan sebelumnya..
perkawinan yang demikian
kebutuhan
rohani
Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
dilaksanakan
1
K. Wantjik Saleh, S.H., Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet. IV. 1976, hlm. 14, 15 2 Ibid, hlm. 15
23
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
maka
tujuan
perkawinan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal tidak mungkin dapat diwujudka. Sebelum akad nikah (bagi yang beragama Islam) petugas pencatat nikah
ISSN 1979-4940
dan ayat (2) juga mempertegas mengenai sahnya perkawinan.yaitu : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing
agamanya
dan
kepercayaannya itu.
(naib/penghulu) selalu menanyakan kepada
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
kedua calon mempelai, apakah dalam
peraturan
perkawinan yang akan dilaksanakan ada
berlaku.
paksaan dari pihak lain atau tidak.Hal tersebut
untuk
memastikan
bahwa
perundang-undangan
yang
Kemudian dalam penjelasan pasal 2 tersebut secara tegas dinyatakan :
perkawinan tersebut dilaksanakan atas dasar keikhlasan (suka rela) oleh kedua calon mempelai. Selanjutnya,
dalam
rumusan
perkawinan itu dinyatakan dengan tegas
Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini , tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
dan kepercayaan masing-masing.3 Oleh
Yang dimaksud dengan hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundangundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
karena perkawinan tersebut harus didasarkan
Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 1
bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus berdasarkan agama
pada
Ketuhanan
Yang
Maha
Esa
Tahun 1974 tersebut tidak mungkin dapat
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan
dilaksanakan perkawinan berbeda agama
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah
antara kedua calon mempelai.Karena bagi
penulis uraikan sebelumnya, Pasal 2 ayat (1)
orang yang beragama Islam tidak sah melaksanakan perkawinan diluar syariat agama Islam, begitu juga sebaliknya bagi
3
H. Riduan Syahrani, S.H., Seluk Beluk dan AsasAsas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung, Edisi Ketiga Cet I. 2006, hlm. 63
agama Kristen juga tidak sah apabila dilakukan tidak sesuai dengan ajaran agama 24
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
Kristen.
Sehingga
di
Indonesia
tidak
ISSN 1979-4940
Syarat-syarat untuk melangsungkan
dimungkinkan untuk dilakukan perkawinan
perkawinan
berbeda agama.
Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 6
Selain perkawinan harus
dilasanakan menurut hukum masing-masing agamanya
dan
kepercayaannya
itu,
perkawinan juga tidak boleh bertentangan dengan undang-undang ini, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan demikian meskipun perkawinan tersebut dilaksanakan
menurut
masing-masing
agamanyadan kepercayaannya itu apabila bertentangan
dengan
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum positif di Indonesia.
Pasal
1
Undang-undang
menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia
dan
kekal
berdasrkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga untuk dapat
mewujudkan
tersebut,
setiap
melangsungkan
tujuan orang
perkawinan yang
perkawinan
akan menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka harus memenuhi syarat-syarat dan prosedur tertentu sebagaimana diatur dalam UU No. Tahun 1974.
sampai dengan Pasal 12 sebagai berikut : 1. Adanya
persetujuan
kedua
calon
mempelai (Pasal 6 ayat (1)). 2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) ). 3. Usia calon mempelai sudah 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)). 4. Antara calon mempelai pria dan calon
darah/keluarga yang tidak boleh kawin
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang
Undang-undang
mempelai wanita tdak dalam hubungan
B. Syarat-Syarat Perkawinan Dalam
menurut
(Pasal 8). 5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9). 6. Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka untuk kawin ketiga kalinya (Pasal 10). 7. .tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda. Selanjutnya
penulis
akan
menjelaskan syarat-syarat tersebut secara rinci sesuai dengan ketentuan yang diatur 25
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
ISSN 1979-4940
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
perkawinan
1974 tentang Perkawinan.
kita.Ketentuan
1. Adanya
persetujuan
kedua
calon
mempelai.
paksa
dalam
masyarakat
ini
sudah
selayaknya
mengingat masalah perkawinan sebenarnya merupakan urusan pribadi seseorang sebagai bagian daripada hak asasi manusia. Oleh
Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan : “Perkawinan
harus
karena itu sudah seharusnyaapabila urusan perkawinan ini lebih banyak diserahkan
didasarkan
atas
kepada keinginan masing-masing pribadi untuk menentukan pilihan sendiri siapa yang
persetujuan kedua calon mempelai”.
akan dijadikan kawan hidupnya dalam Kemudian
dalam
penjelasannya
dinyatakan :
berumah tangga. Pilihan ini harus benarbenar dilakukan secara bebas tanpa ada
Oleh karena perkawinan mempunyai
paksaan dari pihak manapun.4
maksud agar suami dan isteri dapat
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi
membentuk keluarga yang kekal dan
calon mempelai yang belum berusia 21
bahagia, dan sesuai pola dengan hak
tahun.
asasi manusia.Maka perkawinan harus
Dalam Pasal 6 ayat (20, ayat (3) ayat
disetujui oleh kedua belah pihak yang
(4), ayat (5) dan ayat (7) Undang-undang
melangsungkan
Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan sebagai
perkawinan
tersebut,
tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
berikut :
Pendapat Drs. H. Saidus Syahar,
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berusia mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
S.H. dalam bukunya yang berjudul Undangundang
Perkawinan
dan
Masalah
Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih
Islam yang kemudian dikutip oleh H. Riduan Syahrani, S.H. dalam buku Seluk Beluk
dan
Asas-asas
Hukum
Perdata
menjelaskan sebagai berikut : Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi adanya
4
Ibid hlm. 65
26
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
ISSN 1979-4940
hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
yang belum berusia 21 tahun masih belum
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
sehingga persetuan tersebut diperlukan agar
(5) dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih dari mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu tidak menentukan llain. Ketentuan
tersebut
berpengalaman dalam menjalani kehidupan
tujuan
perkawinan
tersebut
dapat
diwujudkan. 3. Usia
calon
mempelai
pria
sudah
mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah
mencapai
umur
19
(Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas ) tahun”. Ketentuan
ini
adalah
untuk
mencegah terjadinya perkawinan anak-anak yang
masih
dibawah
umum.Sehingga
perkawinan gantungyang dikenal dalam masyarakat adatpun tidak diperkenankan lagi.5 Maksud dari ketentuan pasal tersebut
yang
mensyaratkan adanya izin dari kedua orang
adalah
tua/wali bagi calon mempelai yang belum
melangsungkan perkawinan matang jiwa
berusia 21 tahun, oleh karena perkawinan
dan
bukan
mewujudkan
semata-mata
menyatukan
kedua
agar
raganya
suami
dan
isteri
yang
diharapkan
tujuan
telah
mampu
perkawinan
mempelai sebagai suami isteri, namun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
perkawinan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
keluarga
juga
mempelai
menyatukan pria
dan
antara keluarga
mempelai wanita. Dan pula bahwa anak
5
Prof. Mr. S.A. Hakim, Hukum Perkawinan, Elemen. Bandung, 1974, hlm 7
27
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
ISSN 1979-4940
4. Antara calon mempelai pri dan calon
kawin dalam undang-undang perkawinan
mempelai wanita tidak dalam hubungan
tersebut mungkin akan bertambah dengan
darah/keluarga yang tidak boleh kawin.
larangan-larangan kawin menurut hukum
Hubungan darah/ keluarga yang
agama
atau
peraturan
lain
tersebut.
tidak boleh melangsungkan perkawinan
Dipandang dari segi agama Islam misalnya,
diatur dalam Pasal 8 yaitu :
ternyata masih ada larangan kawin yang
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dank e atas; b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek. c. Berhubungan semenda yaitu mertua,
belum tercantum dalam Pasal 8 undang-
anak tiri, menantu dan ibu/bapak
5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan
undang tersebut.6 Demikian juga, bilamana dipandang dari segi hukum adat yang beraneka ragam
dalam masyarakat kita,
maka larangan perkawinan itu juga masih akan bertambah.7
tiri.
dengan pihak lain.
d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan,
anak
susuan,
saudara
susuan dan bibi/paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal suami beristeri lebih dari satu; f. Mempunyai hubungan yang oleh
Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan : “Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini”. Pasal 3 menyebutkan :
agamanya atau peraturan lain yang (1) Pada asasnya dalam perkawinan seorang pri hanya boleh mempunyai seorang isteri. seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
berlaku, dilarang kawin. Akan tetapi, karena dalam Pasal 8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu dinyatakan bahwa hubungan yang dilarang kawin juga adalah hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin, maka larangan
6
Drs. H. Saudus Syahar, S.H., Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1976, hlm. 104. 7 Hilman Hadikusumo, S.H., Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 104.
28
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Polygamy menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya diperuntukan bagi mereka yang
hukum dan agamanya
mengizinkan seorang suami beristeri lebih dari seorang.
8
Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pada angka 4c menyatakan :
ISSN 1979-4940
Pada
prinsipnya
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogamy, namun poligami dimungkinkan apabila memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam undang-undang ini. 6. Bagi suami isteri yang bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka untuk kawin ketiga kalinya. Dalam Pasal 10 Undang-undang
Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihakpihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai
Kemudian Penjelasan Pasal 3 menyatakan sebagai berikut :
Dalam penjelasan Pasal 10 undang-undang
(1) Undang-undang ini menganut asas monogamy. (2) Pengadilan dalam hal memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuanketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.
8
berikut : “Apabila suami dan isteri telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masingmasing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain”.
ini disebutkan : Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
H. Riduan Syahrani, S.H., op.cit., hlm. 70
29
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
Pada prinsipnya meskipun perceraian
ISSN 1979-4940
Termasuk didalamnya
memenuhi seluruh
itu diperbolehkan, namun sedapat mungkin
persayaratan yang diatur dalam Undang-
perceraian itu tidak terjadi dalam rumah
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
tangga, sehingga dalam undang-undang
Perkawinan dan Peraturan perunadang-
perkawinan perceraian tersebut dipersulit.
undangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan.
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda. Dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh begitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis”. Rasio dari peraturan ini adalah untuk menentukan dengan pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu itu. Dari
uaraian
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) juga mempertegas mengenai sahnya perkawinan.yaitu : (1) Perkawinan
adalah
sah,
PENUTUP Perkawinan
dilaksanakan
semata-mata ikatan
bukan
lahir belaka, namun
perkawinan juga merupakan ikatan bathin manusia. Sesuai dengan rumusan pengertian perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tenatang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan sah menurut hukum psitif Indonesia apabila perkawinan tersebut
apabila
dilaksanakan sesuai dengan Undang-undang
dilakukan menurut hukum masing-
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
masing
Dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) juga
agamanya
dan
kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap menurut
perkawinan peraturan
undangan yang berlaku.
mempertegas dicatat perundang-
mengenai
sahnya
perkawinan.yaitu : (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut
hukum
30
Al’ Adl, Volume VII Nomor 13, Januari-Juni 2015
ISSN 1979-4940
masing-masing agamanya dan
DAFTAR PUSTAKA
kepercayaannya itu.
Hilman
(2) Tiap-tiap
perkawinan
dicatat
menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Termasuk didalamnya
memenuhi seluruh
persayaratan yang diatur dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan perunadangundangan yang berkaitan dengan masalah perkawinan.
Hadikusumo, 1977, Perkawinan Adat, Bandung.
Hukum Alumni,
K. Wantjik Saleh, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Riduan Syahrani, 2006, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT. Alumni, Bandung. S.A. Hakim, 1974,Hukum Perkawinan, Elemen. Bandung. Saudus
Syahar, 1976, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung.
31