BAB II
SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM YANG ADA DI INDONESIA
A. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam Perkawinan dalam hukum Islam di istilah bakukan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kata pernikahan. Nikah menurut hukum Islam juga merupakan suatu perjanjian yang dikemukakan dalam akad nikah ( ikrar nikah ) dengan pemberian mahar antara mempelai pria di satu pihak dan wali mempelai wanita di pihak lain. 38 Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah merupakan perbuatan yang suci atau sakral yaitu suatu perikatan antara laki-laki dan perempuan dalam memenuhi perintah Allah SWT dan sunah rasul diantaranya adalah sebagai berikut : “Maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu suka dua, tiga dan empat, tetapi kalau kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (antara perempuan-perempuan itu), hendaklah satu saja.” Dari Abdullah bin Mas’udra, ia berkata : Rasulullah SWT, bersabda kepada kami : “ hai kaum pemuda, apabila diantara kamu kuasa untuk kawin, hendaklah ia kawin, sebab kawin itu lebih kuasa untuk menjaga mata dan kemaluan dan 38
. Soerojo wigdjodipoero, Loc.cit, hal.134.
Universitas Sumatera Utara
barang siapa tidak kuasa, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa menjadi penjaga baginya”. 39 . Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah merupakan suatu ikatan lahir batin atau jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut oleh kedua calon mempelai beserta keluarga dan kerabatnya. Di dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam perumusan mengenai pengertian perkawinan berbeda dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, Pasal 2 kompilasi hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mittsaqqan qalidhan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah 40 . Dengan perkataan lain perkawinan yang disebut dengan istilah “nikah” adalah merupakan pergaulan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya, dengan dasar sukarela serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Mengenai pengertian perkawinan ini ada perbedaan pendapat dikalangan para sarjana Hukum Islam di dalam merumuskan pengertian perkawinan. Namun demikian perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain.
39 40
. Mohammad Rifai, Figh Islam Lengkap, CV. Toha Putra, Semarang, 1978, hal. 455-456. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hal.67
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan pendapat ini hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan tentang pengertian perkawinan disatu pihak dan pembatasan banyaknya unsur dalam perumusan pengertian perkawinan pada pihak lain. Pengertian perkawinan menurut para sarjana Islam diantaranya adalah : Pendapat yang dikemukakan oleh Mahmud Yunus yaitu : “ Perkawinan adalah aqad antara calon laki-isteri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat.” 41 Pendapat yang dikemukan oleh Sayuti Thalib adalah : “ Pengertian perkawinan itu adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.” 42 Pendapat yang dikemukakan oleh M.Idris Ramulyo, mengenai perkawinan secara agama Islam yaitu : “ Perkawinan Menurut Islam adalah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tentram, bahagia dan kekal.” 43 Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai perumusan pengertian perkawinan ini akan tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur 41
hlm.1.
. H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, 1981,
42
. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia ( berlaku bagi umat Islam ), Jakarta, UI Press, hlm.47. 43 . Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,Ind. Hill Co, 1984/1985, hlm.174.
Universitas Sumatera Utara
yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat tersebut yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian, perikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan Perkawinan yang di syariatkan oleh agama Islam dapat dilihat dari 3 ( tiga ) sudut pandang yaitu: sudut hukum, agama dan sosial.44 Tujuan dari adanya perkawinan yang di syari’atkan agama Islam sebagai suatu bentuk dari ibadah adalah : 1. Untuk melanjutkan keturunan adalah hal penting dalam rangka pembentukkan umat Islam yang mengamalkan syari’at Islam dengan memupuk rasa kasih sayang didalam sesama anggota keluarga yang dalam lingkup luas menimbulkan perdamaian dalam masyarakat di dasarkan rasa cinta kasih terhadap sesama. 45 2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan maksiat. 3. Menimbukan rasa cinta kasih sayang. 4. Untuk menghormati Sunnah Rasul 5. Untuk membersihkan keturunan
44
. Sayuti Thalib, op.cit, hlm. 63. . Asmin, Staus Perkawinan Antar Agama di Tinajau dari UUP Nomor 1 tahun 1974, PT Dian Rakyat, Jakarta, 1986, hlm.29. 45
Universitas Sumatera Utara
6.
Pada Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. 46 Sahnya perkawinan di dalam hukum Islam apabila telah memenuhi
ketentuan-ketentuan rukun dan syara :
1. Rukun dan syarat Perkawinan Untuk melangsungkan suatu perkawinan harus memenuhi rukun dan syarat nikah yang ditentukan oleh agama Islam. Rukun dan syarat menentukan perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Didalam suatu perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada dan tidak lengkap yaitu rukun dan syara. Rukun dan syara mengandung arti yang berbeda, rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku
46
. H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1995, hlm.75-78..
Universitas Sumatera Utara
untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun. Dalam hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang perbedaan itu tidak bersifat substansial. Perbedaan pandangan para ulama tersebut di karenakan berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semula ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah akad, perkawinan, laki-laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang menyaksikan akad perkawinan dan mahar atau mas kawin. 47 Ulama Hanafiyyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. 48 Oleh karena itu yang menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh dua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan. Ulama hanafiyah membagi syarat itu kepada: 49 1.
Syuruth al-in’iqaad yaitu syarat yang menentukan terlaksananya suatu akad perkawinan. karena kelangsungan perkawinan tergantung kepada akad, maka syarat di sini adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenaan dengan akad itu sendiri. 47
. Amir Syarifuddi, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hlm.59. . Ibid. 49 . Ibid, hal.60. 48
Universitas Sumatera Utara
2.
Syuruth al-shihhah Yaitu sesuatu yang keberadaannya menentukan dalam perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan akibat hukum, dalam arti apabila syarat tersebut tidak terpenuhi,maka perkawinan itu dianggap tidak sah.
3.
Syuru al-nufuz Yaitu syarat yang mentukan kelangsungan suatu perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawinan tergantung kepada adanya syaratsyarat itu tidak terpenuhi menyebabkan fasad-nya perkawinan.
4.
Syuru al-luzum Yaitu syarat yang menentukan kepastian suatu perkawinan dalam arti tergantung kepadanya kelanjutan berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya syarat tersebut tidak mungkin perkawinan tersebut dibatalkan. Maka dari uraian diatas dapat kita tarik kesimpulan, bahwa yang dimaksudkan
oleh ulama Syafi’iyah yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala urusannya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun perkawinan itu adalah segala sesuatu hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan. Maka perkawinan menurut hukum Islam di katakan sah harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syara. Seperti yang kita uraikan di atas. Rukun adalah unsur
Universitas Sumatera Utara
pokok atau tiang dari pernikahan sedangkan syarat merupakan syarat pelengkap dalam setiap perbuatan hukum dalam melakukan suatu perkawinan. 50 Syarat nikah menurut agama Islam dapat dimasukkan dalam syarat material, yaitu : a. Syarat bagi calon mempelai laki-laki, yaitu : 1). Beragama Islam 2). Terang laki-lakinya ( tidak banci ) 3). Tidak dipaksa ( atas kemauan sendiri ) 4). Tidak beristeri lebih dari 4 ( empat ) orang 5). Bukan mahram 51 nya calon isteri 6). Tidak punya isteri yang haram di madu dengan bakal isterinya 7). Mengetahui bakal isteri tidak haram dinikahinya 8). Tidak sedang dalam ihram haji 52 b. Syarat bagi calon perempuan 1). Beragama Islam 2). Terang perempuannya ( bukan banci ) 3). Telah memberi ijin kepada wali untuk menikahinya 4). Tidak bersuami dan dalam masa iddah 50
. Departemen Agama RI, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta, Proyek Pembinaan Saran Keagamaan Islam, Dirjen Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal.63. 50 . Ibrahim Mayert A dan Abdul Bimas, Islam dan Urusan Haji, Departemen, agama, 1983, hlm.34. 51 . Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Jadi mahram yang dimaksudkan di sini adalah saudara dari calon isterinya. 52 . Perkataan ihram berasal daripada perkataan Arab yang membawa maksud menjadikan ia haram. yaitu apabila seseorang melakukan takbiratul ihram maka ia seolah-olahnya dengan rela hati mengharamkan apa-apa yang sebelum takbiratul ihram itu halal. Maka ihram haji yang dimaksudkan disini tidak di mungkinkan bagi seseorang untuk menikah selama ihram haji berlangsung
Universitas Sumatera Utara
5). Bukan mahram bakal suami 6). Belum pernah dili’an ( sumpah li’an ) oleh bakal suaminya 7). Terang orangnya 8). Tidak sedang dalam ihram haji Dari uraian di atas tampak bahwa Islam hanya mengakui pernikahan hanya pada seorang laki-laki dan seorang perempuan saja. Pernikahan antara sesama lakilaki dan sesama perempuan tidak diakui oleh hukum Islam. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan untuk perempuan adalah sebagai berikut : 1.
keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
2.
keduanya sama-sama beragama Islam
3.
antara keduanya tidak terlarang untuk melangsungkan perkawinan
4.
kedua belah pihak setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
5.
keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan pernikahan. Tentang batas usia pernikahan memang tidak dibicarakan dalam kitab-kitab
fiqh. Bahkan kitab-kitab fiqh memperbolehkan untuk kawin antara laki-laki dan perempuan yang masih kecil, baik kebolehan tersebut dinyatakan secara jelas, seperti ungkapan :
Universitas Sumatera Utara
“ Boleh terjadi perkawinan anatara laki-laki yang masih kecil dan perempuan yang masih kecil” atau boleh menikahkan laki-laki yang masih kecil dengan perempuan yang masih kecil.” 53 Kebolehan perkawinan terhadap anak yang masih kecil disebabkan karena Al-Qur’an tidak mengatur secara jelas yang
menyebutkan
batas usia untuk
melangsungkan pernikahan dan tidak ada pula hadis Nabi yang secara langsung menyebutkan batas usia. Mengenai batas usia dalam perkawinan diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam, diamana Kompilasi Hukum Islam mempertegas batas usia dewasa yang diatur dalam pasal 7 undang-undang perkawinan. ketegasan tersebut terdapat dalam pasal 15 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam dengan rumusan sebagai berikut : “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurangkurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang kurangnya berumur 16 tahun.” Maka dengan demikian ketentuan mengenai batas usia untuk menikah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sekurangnya 19 tahun untuk calon mempelai laki-laki dan sekurangnya calon mempelai wanita berusia 16 tahun.
53
. Amir Syarifuddi, Op.cit, hal.66. ( Ibnu al-Humam, 274 dan 186 )
Universitas Sumatera Utara
2. Adanya ijab dan kabul Akad nikah berasal dari kata-kata aqad yang berasal dari Al-Qur’an ‘aqdu Al-nikah dibaca “aqdun-nikah, tetapi memang telah biasa disebut dalam kata seharihari di Indonesia dengan sebutan akad nikah. 54 Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam ijab dan Kabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. 55 Maka akad nikah dengan ijab dan qabul tersebut adalah proses pernikahan dimana pihak pertama menyerahkan kepada pihak kedua, dan pihak kedua menerima dari pihak pertama. Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat perdata saja. Artinya perkawinan di pandang dalam hukum Islam bukan sekedar perjanjian saja. Para ulama sepakat menempatkan ijab dan qabul itu sebagai rukun perkawinan. untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Diantara syarat-syarat tersebut ada yang disepakati ada yang tidak disepakati oleh para ulama, yaitu : a.
hukum ijab artinya penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan pada laki-laki atau calon suami. Sedangkan Kabul berarti penegasan penerimaan mengikatkan diri
54 55
. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, hal.63. . Amir Syarifuddin, Op.cit. hal 61.
Universitas Sumatera Utara
sebagai suami isteri yang dilakukan oleh pihak laki-laki. 56 Atau dapat diartikan Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan sebagai berikut: akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Dalam teknisnya sebagai berikut : “ Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab suci Al-Qur’an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki, seperti ucapan mempelai lakilaki, yaitu : “ Saya terima menikahi anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab suci Al-Qur’an. b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan c.
ijab dan qabul diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
d.
ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terang. Akad perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 27,
28 dan 29 yang seluruhnya mengikuti apa yang terdapat dalam fiqh dengan rumusan sebagai berikut : Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut : 56
. Sayuti Thalib, Op.cit, hal.63.
Universitas Sumatera Utara
“Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.” Pasal 28 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.” Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : (1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. (2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. 57 (3)
Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Dari uraian di atas tampak bahwa akad nikah diatur dalam kompilasi hukum Islam, sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh para ulama. Pengaturan perkawinan dalam agam Islam selain di tentukan dalam kitab suci Al-Qur’an di Indonesia di atur pula dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia
57
. Dalam hal contoh kasus” jika seorang calon mempelai laki-laki dalam suatu keadaan tertentu tidak dapat menghadiri ijab dan qabul dikarenakan suatu hal yang tidak dapat dihadirkan sama sekali, bisa dikarenakan tidak dalam suatu tempat atau daerah dengan tempat dilaksanakannya ijab dan qabul. Maka degan persetujuan mempelai wanita, ijab dan qabul tersebut dapat digantikan kepada pria lain namun atas dasar penunjukan dari calon mempelai laki-laki”. Namun jika calon mempelai wanita mesarasa keberatan hal tersebut dapat dibatalkan.
Universitas Sumatera Utara
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan tertanggal 10 juni 1991. Pernikahan bagi muslim di Indonesia yang mempergunakan Kompilasi Hukum Islam, yang memberikan definisi dari pernikahan secara tegas pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, yaitu : “ Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.” Pengertian dari akad dalam Kompilasi Hukum Islam tertuang secara tegas dalam Pasal 1 huruf c, yaitu : “ Rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapakan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. “
3. Walimah Yang dimaksud dengan walimah adalah kenduri atau pesta yang dilaksanakan dalam perkawinan. Mengenai walimah ini dianjurkan oleh Rasulullah yang diriwayatkan oleh anas dengan sabdanya : “ Semoga Allah memberkahimu, adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing.” Oleh sebab itu mengadakan walimah hukumnya sunnat sedangkan orang yang di undang pada upacara walimah hukumnya wajib untuk menghadirinya sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwatkan oleh H.R. Bukhori dan Muslim yang bunyinya sebagai berikut : “ Seburuk-buruknya makanan adalah makanan walimah yang hanya dipanggil hanya orang-orang kaya, sedangkan orang-orang fakir di tinggalkan. Siapa yang tidak memperkenankan undangan ( walimah ) maka sebenarnya ia telah maksiat kepada Allah dan Rasulnya. “
4. Mahar Kata “ mahar” berasal dari bahasa Arab dan telah menjadi bahasa , mahar menurut kamus besar bahasa Indonesia58 adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. 59 Definisi ini sesuai dengan tradisi yang berlaku di Indonesia di mana mahar diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah. Hukum pemberian mahar adalah wajib, dengan arti laki-laki yang mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada isterinya itu dan berdosa suami tidak menyerahkan mahar kepada isterinya. Dasar wajibnya menyerahkan mahar tersebut ditetapkan dalam Al-Qur’an dalam surat an-Nisa ayat 4, yaitu : “ Berikanlah mahar kepada perempuan ( yang kamu nikahi ) sebagai pemberian penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
58 59
. Kamus besar bahasa indonesia . Sayuti Thalib, Op.cit, hal 68.
Universitas Sumatera Utara
kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu ( sebagai makanan ) yang sedap lagi baik akibatnya.” Dari adanya perintah Allah untuk memberikan mahar itu, maka ulama sepakat menetapkan hukum wajibnya memberi mahar kepada isteri. Tidak ditemukan dalam literatur ulama yang menempatkan mahar sebagai rukun. 60 Para ulama sepakat menempatkan mahar sebagai syarat dalam perkawinan, dalam arti perkawinan tanpa mahar dianggap tidak sah. Tentang semenjak kapan berlakunya kewajiban membayar mahar itu ulama sepakat mengatakan bahwa dengan berlangsungnya akad nikah yang sah berlakulah kewajiban untuk membayar mahar yang ditentukan waktu akad. Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang mahar secar panjang lebar dalam pasal-pasal 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37 dan 38 61 yang hampir semuanya mengadopsi dari kitab fiqh menurut jumhur ulama.
5.
Syarat Wali Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Wali bertindak atas nama orang lain dikarenkan ketidak mampuan atau kekurangan orang yang diwakili tidak memungkinkan untuk bertindak secara hukum.
60 61
. Amir Syarifuddin, Op.cit, hal. 86. . Lihat Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkawinan wali adalah sesorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. 62 Ada beberpa pendapat menganai wali dalam akad mengenai wajib tidaknya, yaitu : 63 1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa perempuan yang kawin wajib memakai wali dan wali itu merupakan syarat bagi sahnya perkawinan itu. 2. Salah satu alasan yang dipergunakan untuk mengatakan syarat adanya wali pada pihak perempuan, bahwa sahnya perkawinan dari pihak perempuan harus ada wali. 3. Ajaran Hanafi menyatakan bahwa wali untuk mengkawinkan wanita yang telah dewasa tidaklah menjadi syarat. Sehingga seorang yang telah dewasa baik gadis maupun janda adalah sah mengikatkan dirinya dalam perkawinan. Izin wali adalah sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. Haizairin juga menyatakan, bahwa wali bukanlah syarat bagi sahnya perkawinan seorang perempuan yang telah dewasa itu. Wali menurut Hazairin di pandang dari segi hukum, bagi wanita yang telah dewasa tidak menjadi syarat sahnya pengikatan diri dalam perkawinan, akan tetapi alangkah baiknya menggunkan wali dalam ijab dan Kabul. 4. Izin wali adalah sangat diperlukan dalam suatu perkawinan. tetapi soal wali ini hanya ditujukan kepada pengantin perempuan saja.
62
. Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. 63 . Sayuti Thalib, Op.cit. hal 64.
Universitas Sumatera Utara
Orang-orang yang berhak menjadi wali ada tiga kelompok, yaitu wali nasab, wali mu’thiq dan wali hakim 64 .
Wali nasab adalah wali yang berhubungan tali
kekeluargaan dengan perempuan yang akan menikah. Wali mu’thiq adalah orang yang
menjadi
wali
terhadap
perempuan
bekas
hamba
sahaya
yang
dimerdekakanya. Sedangkan wali hakim adalah orang yang menjadi wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa. Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang wali nasab pada Pasal 21, yaitu : (a) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. (b) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang samasama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. 64
. Amir Syarifuddin, Op.cit.hal 75.
Universitas Sumatera Utara
(c) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. (d) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Maka mengenai urutan perwalian secara tegas dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai bagaiamana urutan penggunaan wali. Mengenai wali hakim, diatur dalam Pasal 23 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam. Diamana kedudukan wali hakim baru bisa digunakan apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin untuk mnghadirkannya. Dengan demikian dapat kita lihat, urutan kedudukan wali adalah berurut, apabila wali nasab tidak ada maka kedudukan nya dapat digantikan oleh wali hakim65 untuk menjadi wali perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan.
6. Saksi Dalam suatu akad pernikahan disaksikan oleh dua orang saksi agar adanya kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di kemudian hari.
65
. Pasal 23 ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
H.Sulaiman Rasjid berpendapat pentingnya dua orang saksi dalam suatu perkawinan Islam, karena perkawinan yang tidak menggunakan dua orang saksi dianggap tidak sah. 66 Untuk menjadi saksi, harus dipenuhi beberapa syarat yaitu Islam, dewasa dan laki-laki yang adil yang dapat terlihat dari perbuatanya sehari-hari. Kompilasi Hukum Islam menyinggung tentang keberadaan saksi. Yang diatur dalam Pasal 24, 25 dan 26 Kompilasi Hukum Islam. Maka kehadiran saksi dalam hukum perkawinan merupakan rukun pelaksanaan suatu akad nikah, yang mana saksi tersebut adalah dua orang.
B. Sahnya Perkawinan Menuruh Hukum Adat Minangkabau Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis yang menjadi pedoman atau aturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Hukum yang tidak tertulis mempunyai sifat dinamis dan berubah mengikuti perkembangan zaman. Dengan berlakunya undang-undang Perkawinan yaitu Undang-undang nomor 1 tahun 1974, maka syarat-syarat sahnya perkawinan diatur oleh undang-undang tersebut kecuali bagi mereka yang tidak menganut suatu agama, maka syarat sahnya perkawinan ditentukan oleh hukum adat mereka yang memang sudah berlaku bagi mereka sebelum diundangkannya undang-undang perkawinan ini. 67
67
H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT. Alumni Bandung, bandung, 2002, hal.175.
Universitas Sumatera Utara
Sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan yang dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing. Maka bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan. Perkawinan menurut hukum adat adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan pribadi satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbeda-beda 68 . Jadi perkawinan menurut hukum adat adalah merupakan tanggung jawab bersama dari masyarakat hukum adat. Manusia dalam perjalanan hidupnya akan melalui masa-masa tertentu, dimulai dari masa balita, masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua. Setiap peralihan dari suatu masa berikutnya mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan setiap manusia. Salah satu masa peralihan yang sangat penting adalah pada saat menginjak masa perkawinan, karena masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari masa-masa sebelumnya dan mulai membentuk kelompok kecil (keluarga) miliknya sendiri yang tidak lepas dari kelompok hidupnya semula. Dengan perkataan lain perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
68
. Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1999,hal.159.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum adat, perkawinan bukanlah hanya masalah pribadi-pribadi yang melakukan perkawinan tersebut, melainkan juga termasuk masalah keluarga-keluarga yang bersangkutan, mulai dari mencarikan pasangan, pertunangan bahkan sampai pada akibat-akibat dari perkawinan tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan dalam hukum adat bukan hanya menyangkut masalah pengantin laki-laki dan perempuan saja tetapi juga masalah keluarga dari kedua pihak dan sistem masyarakatnya yang berlaku. Dalam hal batas umur untuk melangsungkan perkawinan, hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan.69 dimana hukum adat membolehkan perkawinan di usia berapapun. Kedewasaan seseorang di dalam hukum adat di ukur dengan tanda-tanda bagan tubuh. Apabila seorang anak perempuan sudah haid, buah dada sudah menonjol, berarti ia sudah dewasa. Bagi anak laki-laki ukuran kedewasaan hanya dilihat dari perubahan suara, bagan tubuh dan sudah mengeluarkan air mani. 70 Jadi kedewasaan menurut hukum adat tidak dilahat dari umur si anak, melainkan di ukur dari perubahan fisik si anak saja. Jika perubahan fisik sesuai dengan apa yang dicirikan di atas telah ada, maka seorang anak dalam hukum adat sudah di anggap dewasa. Maka seseorang yang sudah dianggap dewasa tersebut dalam hukum adat boleh melangsungkan perkawinan, tanpa melihat batas umur dari pihak yang akan
49.
69
. Hilman hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal.
70
. Ibid, hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
menikah tersebut. Baik umur dari calon mempelai laki-laki maupun calon mempelai perempuan. Pada masyarakat yang menganut sistem Matrilineal seperti di Minangkabau masalah perkawinan adalah masalah yang dipikul oleh mamak. Seorang mamak peranannya yang sangat besar sekali terhadap kemenakannya yang akan melakukan perkawinan. Ada beberapa tahap perkawinan menurut adat Minangkabau, adalah sebagai berikut : a. Tahap meminang Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersamasama kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untuk acara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patutpatut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu. Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu langsung dilakukan acara batuka tando
Universitas Sumatera Utara
atau batimbang tando. Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi : “Batampuak lah buliah dijinjiang, Batali lah buliah diirik” Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu. b. Minta izin/ mahanta sirih Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi tahu dan 71 mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya, kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut 71
. Pandaisikek Cyber, http://www.pandaisikek.net Powered by Joomla! Dibuat pada: 9 December, 2009, 12:56
Universitas Sumatera Utara
minta izin. Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta izin tapi mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan. c. Manjapuik marapulai Ini adalah acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat istiadat Minangkabau. Menjemput calon pengantin pria ke rumah orang tuanya untuk dibawa melangsungkan akad nikah di rumah kediaman calon pengantin wanita. d. Ijab dan Kabul Yaitu proses pernikahan yang paling penting dalam hukum perkawinan Minangkabau. Ijab dan Kabul merupakan ketentuan mengenai sahnya perkawinan menurut agama Islam. Tanpa adanya ijab dan Kabul maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan agama Islam. Hal ini di karenakan mayoritas penduduk Minangkabau beragama Islam.
Universitas Sumatera Utara
C. Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dengan berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai peraturan pelaksanaannya, maka sejak tanggal 1 Oktober 1975 berlakulah secara yuridis formal Hukum Nasional yang mengatur masalah perkawinan di Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan perkawinan menurut pasal 1 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 ini adalah ikatan lahir batin yang harus didasarkan kepada persetujuan kedua belah pihak yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.Yang
dimaksud
dengan perkataan “ikatan lahir” adalah suatu ikatan yang dapat dilihat secara nyata yang berwujud hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam satu keluarga atau rumah tangga. Adapun “ikatan bathin” ikatan yang tidak dapat dilihat, tetapi harus ada yang berupa kehendak dari seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk mengikatkan diri dalam suatu keluarga, tanpa adanya ikatan batin ini ikatan lahir akan rapuh. Bila diperhatikan bahwa sungguh sangat ideal sekali tujuan perkawinan yang diinginkan oleh undang-undang ini, tidak hanya melihat dari segi ikatan lahir saja, tapi sekaligus ikatan pertautan kebatinan antara suami istri yang ditujukan untuk
Universitas Sumatera Utara
membina keluarga yang kekal dan bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa 72 . Suatu perkawinan yang sah, selain memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2 ayat (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat perkawinan, baik materil maupun formil, yang ditentukan oleh undang-undang. Syarat-syarat perkawinan yang dimaksud adalah terdiri dari:
1. Syarat Material Syarat material adalah mengenai diri pribadi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Dengan demikian syarat-syarat material ini langsung melekat pada diri calon mempelai. Syarat material untuk dapat melangsungkan perkawinan bagi calon mempelai dapat dibagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu sebagai berikut : a.
syarat material yang bersifat umum Syarat material umum adalah persyaratan yang berlaku secara umum bagi semua perkawinan. Jadi syarat ini harus dipenuhi oleh semua calon mempelai, yaitu : 1). Asas momogami Asas ini diatur dalam Pasal 3 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menegaskan bahwa : “ dalam hal suami
72
. Muhammad Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, CV. Zahir Trading Co , Medan,1975, hal.11.
Universitas Sumatera Utara
akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat ( 2 ) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Berarti pada asanya dalam waktu yang sama, maka seorang suami hanya dapat atau boleh beristeri satu orang saja, demikianpun sebaliknya seorang isteri hanya boleh bersuami satu. Tetapi apabila para pihak menginginkan sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat ( 2 ), jo pasal 4 ayat ( 2 ) undang-undang perkawinan, dengan ketentuan : •
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
•
isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
•
isteri tidak dapat melahirkan keturunan
2). Persetujuan antara kedua calon mempelai Perkawinan harus berdasarkan kepada persetujuan kedua calon mempelai pasal ( 6 ayat 1 ) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini adalah wajar sebab apabila suatu perkawinan dilangsungkan dengan adanya paksaan, maka dikhawatirkan perkawinan tersebut tidak akan dapat berlangsung. 3). Batas usia untuk melangsungkan perkawinan Perkawinan hanya dijinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan wanita mencapai usia 16 tahun. Persyaratan yang demikian sudah selayaknya diberikan, apabila usia kawin terlalu muda dikhawatirkan
Universitas Sumatera Utara
mereka belum cukup mampu untuk membentuk keluarga, yang kekal dan bahagia dan juga dikhawatirkan akan mudah menimbulkan penyakit. 4). Tenggang waktu ( waktu tunggu ) bagi seorang perempuan Diatur dalam pasal 39 Peraturan Pemrintah Nomor 9 tahun 1975. a).Waktu tunggu bagi seorang janda
sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 11 ayat 2 undang0undang ini, ditentukan sebagai berikut : •
apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan 130 ( seratus tiga puluh hari ).
•
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 ( tiga ) kali suci dengan sekurangkurangnya 90 ( sembilan puluh ) hari.
b). Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai kelahiran sang anak dalam kandungan. Perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan perkawinan yang putus karena kematian suami, tenggan waktu dihitung sejak kematian si suami. b.
Syarat material yang bersifat khusus Maksudnya adalah persyaratan yang hanya berlaku bagi perkawinan tertentu,
artinya adalah dalam keadaan tertentu para pihak tidak dapat melangsungkan
Universitas Sumatera Utara
perkawinan ( pasal 8 jo pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ), yaitu : 1). Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atau kebawah 2). Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya. 3). Berhubungan semenda 4). Berhubungan susuan 5). Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami yang beristeri lebih dari seorang. 6). Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku dilarang untuk kawin 7). Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin 8). Harus ada izin kawin ( pasal 6 ayat 1-5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , yaitu : •
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
•
Untuk melangsungkan perkawinan, maka bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua
•
Dalam hal salah seorang orang tua telah meninggal dunia atau tidak dapat untuk menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup.
Universitas Sumatera Utara
•
Dalam hal kedua orang tua telah mati atau tidak dapat mengatakan kehendaknya izin diperoleh dari wali atau keluarga terdekat.
•
Apabila terdapat sengketa dalam hal memberi izin, maka pengadilan dalam daerah hukumnya akan memberikan izin. Dengan demikian telah selesai dijabarkan tentang persayaratan material yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dapat berlaku secara syah.
2.
Syarat formal Persyaratan ini adalah syarat yang menyangkut tentang formalitas tata cara
yang mendahului dan menyertai kelangsungang perkawinan. Mengenai persyaratan formal untuk dapat dilangsungkan suatu perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yaitu sebagai berikut : a. harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatatan perkawinan di tempat perkawinan itu dilangsungkan b. adanya
pengumuman
oleh
petugas
pencatatan
nikah
tentang
akan
dilangsungkannya pernikahan. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan setelah lewat 10 ( sepuluh ) hari pemberitahuan diumumkan c. perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, artinya dilangsungkan dihadapan pegawai pencatatan nikah dan bila ada pemberitahuan terlebih dahulu ( pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ). Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukumnya masing-masing agamanya dan kepercayaannya, diatur dalam pasal 2 ayat ( 1 ) undang-undang perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 2 ayat (2) undang-undang perkawinan, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, yang mana sesuai dengan UndangUndang Dasar 1945. Disamping itu undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 juga menganut asas monogami. Adapun tujuan asas monogami ini adalah supaya seorang pria hanya diperbolehkan beristeri satu agar rumah tangga yang telah dibina tersebut tidak menjadi hancur. Hal ini juga berkaitan dengan kemakmuran anak-anak dalam perkawinan tersebut, agar anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut terjamin hidupnya sampai mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri kelak.
D. Persintuhan Hukum adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam dikaitkan dengan Udang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Mengenai Sahnya Perkawinan 1. Persintuhan antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan sahnya perkawinan menurut hukum Islam Jika dikaji antara hukum perkawinan Islam dengan hukum perkawinan adat Minangkabau mengenai sahnya perkawinan akan terdapat persamaan di antara keduanya namun ada beberapa perbedaan yang terdapat diantara keduanya. Persamaan diantara keduanya adalah dalam hukum adat Minangkabau untuk sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan oleh hukum Islam, yaitu adanya ijab dan qabul antara calon pengantin pria dengan wali calon pengantin wanita. 73
73
. Sayuti Thalib, Op.cit, hal.63.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal batas usia melangsungkan perkawinan, di dalam hukum adat Minangkabau tidak mengatur mengenai batas usia untuk melangsungkan perkawinan, begitupun dalam hukum Islam dimana kitab-kitab fiqh tidak dibicarakan. 74 Namun dalam Kompilasi Hukum Islam diatur mengenai batas usia perkawinan, yang terdapat dalam pasal 15 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam. Dimana dalam Pasal 15 ayat ( 1 ) Kompilasi Hukum Islam, batas usia untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan apa yang ditentukan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana mana batas usia menurut undangundang perkawinan adalah sekurang-kurangnya calon suami berusia atau berumur 19 tahun sedangkan calon mempelai wanita berumur sekurang-kurangnya 16 tahun. Maka salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam adalah batas usia perkawinan adalah 19 untuk calon mempelai laki-laki dan 16 untuk calon mempelai perempuan. Sedangkan dalam hukum adat Minangkabau untuk batas usia perkawinan tidak ditentukan. Menurut hukum adat Minangkabau seseorang boleh melangsungkan perkawinan jika sudah dianggap sudah dewasa berdasarkan ciri-ciri fisik yang muncul dalam diri seseorang tersebut. 75 Salah satu dari rukun perkawinan menurut hukum Islam adalah adanya ijab dan Kabul. Ijab dan Kabul merupakan syarat sahnya perkwinan meurut hukum Islam. Ijab dan Kabul dalam hukum adat Minangkabau merupakan roses pernikahan yang paling utama dalam perkawinan. Karena tanpa adanya ijab dan kabul perkawinan dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi ketentuan apa yang dinyatakan dalam
74 75
. Amir Syarifuddin, Op.cit, hal.66. . Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal.50.
Universitas Sumatera Utara
agama Islam. Dimana sebagian besar masyarakat Minangkabau menganut agama Islam. Maka persintuhan dalam ijab dan kabul meurut hukum Islam dengan hukum adat Minangkabau sangat jelas. Dimana ijab dan Kabul merupakan pokok atau hal utama dalam syarat sahnya perkawinan menurut hukum Islam dan menurut hukum adat Minangkabau.
2. Persintuhan antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jika kita mengkaji antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, maka terdapat persintuhan diantara kedua aturan tersebut mengenai syarat sahnya perkawinan. Persintuhan yang tampak yaitu, sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan. sahnya perkawinan menurut undang-undang perkawinan berdasarkan agama masingmasing, maka bagi masyarkat hukum adat Minangkabau yang sebagian besar beragama Islam ditentukan oleh hukum agamnya yaitu hukum Islam. Namun terdapat beberapa perbedaan antara sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau dengan undang-undang perkawinan. Salah satunya adalah mengenai batas usia melangsungkan perkawinan. Dalam hukum adat Minangkabau tidak dikenal mengenai batas usia untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Universitas Sumatera Utara
Tentang Perkawinan, batas usia merupakan salah satu syarat untuk melangsungkan pekawinan. Batas usia untuk melangsugkan perkawinan menurut undang-undang perkawinan diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana seorang pria hanya dijinkan meikah jika sudah mencapai umur 19 tahun sedangkan untuk wanita 16 tahun. Dalam hal izin orang tua untuk melangsungkan perkawinan terdapat perbedaan antara hukum adat Minangkbau dengan undang-undang perkawinan. Dimana minta izin kepada orang tua menurut hukum adat Minagkabau, apabila seseorang pemuda telah ditentukan jodohnya untuk melaksankan perkawinan, maka kewajiban yang pertama menurut adat Minangkabau adalah memberi tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara seayahnya, kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya. Sedangkan izin orang tua menurut undang-undang perkawinan adalah bagi seseorang yang hendak melangsungkan perkawinan belum mencapai usia 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua. 76 Hal ini berbeda dengan hukum adat Minangkabau izin orang tua bukan seperti apa yang dimaksud dalam undang-undang perkawinan menurut hukum adat Minangkabau. Untuk tahap meminang dan manjapuik marapulai dalam hukum adat Minangkabau tidak terdapat persintuhan dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Tahap meminang dan menjapauik marapulai merupakan rangkaian tata cara adat Minangkabau, sedangkan tata cara perkawinan menurut undang-undang
76
. Pasal 6 ayat ( 2 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
perkawinan lebih di tekankan kepada pencatatan perkawinan dihadapan pegawai pencatat nikah sebagai syarat formal dalam perkawinan.
3.
Persintuhan antara sahnya perkawinan menurut hukum Islam dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Sahnya perkawinan menurut hukum Islam dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan hukum Islam, maka akan terdapat persintuhan diantara keduanya walaupun terdapat beberapa perbedaan. Persintuhan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat dilihat dari beberapa hal. Salah satunya adalah pengertian perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan pengertian perkawinan menurut undang-undang perkawinan adalah ikatan lahir batin yang harus didasarkan kepada persetujuan kedua belah pihak yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atas dasar tuhan Yang Maha Esa. 77 Dapat kita lihat terdapat perbedaan pengertian perkawinan menurut apa yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan dengan Kompilasi hukum Islam, namun tujuan keduanya sama yaitu atas dasar untuk mentaati perintah agama. Persintuhan lain yang tampak antara undang-undang perkawinan dengan hukum Islam adalah mengenai syarat material. Persintuhan yang tampak dalam syarat material ini adalah dalam hal batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Dalam 77
. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
kitab-kitab fiqh memang tidak disebutkan mengenai batas usia bagi seseorang dalam melakukan suatu pernikahan, namun ketentuan mengenai batas usia perkawinan menurut hukum Islam ditentukan di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 15 ayat ( 1 ). Dimana batas usia menurut Kompilasi Hukum Islam memepertegas batas usia yang diatur dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dimana seseorang untuk melaksankan perkawinan harus mencapai usia 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan 16 tahun bagi calon mempelai perempuan. Dengan demikian untuk batas usia perkawinan menurut hukum Islam dengan undang-undang perkawinan tampak keterkaitannya, dimana Kompilasi Hukum Islam mempertegas syarat batas usia menurut undang-undang perkawinan. Persintuhan lain yang tampak antara hukum Islam dengan undang-undang perkawinan adalah mengenai syarat perkawinan dalam hal siapa saja yang boleh dinikahi. Dalam hukum Islam syarat bagi calon mempelai laki-laki dan perempuan untuk melaksankan suatu perkawinan tidak diijinkan untuk menikah dengan mahram 78 nya. Hal ini juga ditentukan dalam undang-undang pekawinan, dimana undang-undang perkawinan dalam pasal 8 jo pasal 9 adalah para pihak atau calon mempelai laki-laki maupun perempuan dalam keadaan tertentu dilarang untuk melakukan perkawinan. Larangan tersebut dikarenakan adanya hubungan darah baik dalam garis keturunan lurus keatas atau kebawah, meyamping dan semenda dilarang untuk melakukan perkawinan.
78
. Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya. Jadi mahram yang dimaksudkan di sini adalah saudara dari calon isterinya
Universitas Sumatera Utara
Maka persintuhan untuk larangan perkawinan dikarenakan hubungan darah menurut hukum Islam dengan apa yang ditentukan oleh undang-undang perkawinan nampak sangat jelas dan diatur secara tegas. Mengenai syarat formal yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan hukum Islam terdapat persintuhan diantara keduanya, walaupun terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Dimana syarat formal menurut undang-undang perkawinan menyangkut tentang formalitas tata cara yang mendahului dan menyertai perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Persintuhan tersebut nampak dalam tata cara melangsungkan perkawinan harus ada pemberitahuan kepada pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, pencatatan perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam pasal 5, dimana agar terjamin ketertiban bagi masyarakat maka perkawinan tersebut harus di catatatkan, dan pencatatan tersebut dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah 79 . Persamaan lain yang tampak antara kedua aturan hukum tersebut, dimana keterkaitan antara syarat formal menurut undang-undang perkawinan dengan hukum Islam saling terkait. Keterkaitan tersebut tampak pada pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dengan pasal 5 Kompilasi Hukum Islam. Persintuhan tersebut tampak dimana dalam undang-undang perkawinan menyatakan suatu perkawinan harus dilangsungkan di muka umum, maksud dari di muka umum adalah pegawai pencatat nikah. Dan hal mengenai pencatatan perkawinanpun diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Dimana dalam Kompilasi Hukum Islam perkawinan pun dicatat oleh pegawai pencatat nikah. 79
. Pasal 5 ayat ( 2 ) Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
Selain dari pencatatan perkawinan, sahnya perkawinan menurut undangundang perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam juga terdapat saling keterkaitan. Dalam undang-undang perkawinan sahnya perkawinan harus dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah sah sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan. Maka dari penjelasan di atas tampak keterkaitan antara Kompilasi Hukum Islam dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai sahnya suatu perkawinan. Dimana kedua aturan hukum tersebut saling terkait di antara yang satu dengan yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara