TINGKAT CEMARAN UNSUR RADIONUKLIDA ALAM 238U DAN 232Th DI PERAIRAN SEKITAR KAWASAN PLTU-BATUBARA (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)
SABAM PARSAORAN SITUMORANG
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTUBatubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Sabam Parsaoran Situmorang C551080231
ii
ABSTRACT SABAM PARSAORAN SITUMORANG. Pollutant Level of Natural Radionuclides 238U and 232Th in Waters Surrounding the Area of the Coal Fired Power Plant (Case Study Waters of Pulau Panjang and Coastal of Lada Bay, Banten). Under supervision of HARPASIS SELAMET SANUSI and JUNE MELLAWATI. This study had been carried out by collecting sample of the surficial sediments, sea water, seaweeds, fishs (Stolephorus) and mussels (Codakia) from 4 locations in waters of Pulau Panjang and coastal of Lada Bay (as control/comparison site), Banten in June-July 2010. Natural radionuclide (238U and 232Th) concentrations in samples were measured using neutron activation analysis (NAA) method. The results showed that total radionuclide concentrations in sediment (238U: 18,6160– 35,0013 Bq/kg; 232Th: 11,2020-35,6685 Bq/kg), seawater (238U: undetected; 232Th: 0,0790-0,1299 Bq/l), cultivation seaweeds (238U: undetected; 232Th: 3,67354,8345 Bq/kg), natural seaweeds (238U: 3,6851-48,0430 Bq/kg; 232Th: 3,99419,0788 Bq/kg), Stolephorus (238U: undetected; 232Th: 3,3078 Bq/kg) and Codakia (238U: 6,8903 Bq/kg; 232Th: 3,6023 Bq/kg) in Pulau Panjang, Banten around Suralaya coal fired power plant (PLTU) higher than control site that were around the Labuan coal fired power plant, namely in sediments (238U: 10,4253 Bq/kg; 232 Th: 16,5952 Bq/kg), seawater (238U: undetected; 232Th: 0,0671 Bq/l), cultivation seaweeds (238U: undetected; 232Th: 2,3005 Bq/kg), natural seaweeds (238U:19,5367 Bq/kg; 232Th: 2,6729 Bq/kg) and Stolephorus (238U: undetected; 232 Th: 2,0603 Bq/kg). This means the coal fired power plant has an impact on natural radionuclides pollution in the waters. The internal radiation exposured (via consumed of Codakia and Stolephorus) that received by inhabitant who live in Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten are between range 0,00047-0,01984 mSv/year. This value was considered less than limitation of effective doses that recomended by IAEA for public (1 mSv/year). Keywords: natural radionuclides, neutron activation analysis (NAA), coal fired power plant, the internal radiation exposure
iii
RINGKASAN SABAM PARSAORAN SITUMORANG. Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian Di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten). Dibimbing oleh HARPASIS SELAMET SANUSI dan JUNE MELLAWATI. Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238U dan 232Th ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang), bottom ash dan aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang. Radionuklida alam dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen, sehingga dengan adanya interaksi antara komponen biotik dengan abiotik dapat terjadi akumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan. Melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia sehingga dapat menimbulkan paparan radiasi interna dan pada tingkat konsentrasi tertentu menimbulkan kerusakan biologis misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker. Penelitian dengan topik tingkat cemaran unsur radionuklida alam di perairan sekitar kawasan PLTU-batubara ini bertujuan mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th dalam air laut (total, terlarut dan tersuspensi), sedimen, rumput laut (alami dan budidaya), ikan teri (Stolephorus dan Anchoa) dan kerang (Codakia) di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten, kemudian menghitung faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara, serta memperkirakan dosis interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut dari perairan Pulau Panjang, Banten. Pengambilan contoh air, sedimen, rumput laut, ikan teri dan kerang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2011 dari 4 stasiun pengamatan di perairan Pulau Panjang dan pesisir Teluk Lada (sebagai lokasi pembanding), Banten. Preparasi dan pengukuran kandungan radionuklida alam dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Pasar Jumat, Jakarta. Proses aktivasi neutron contoh dan standar menggunakan reaktor GA Siwabessy BATAN, Puspiptek, Serpong, Tanggerang, Banten. Pengukuran parameter muatan padatan tersuspensi total (TSS) dan identifikasi jenis kerang dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), FPIK-IPB. Bahan organik total (TOM) sedimen dan analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Identifikasi spesies ikan teri dilakukan di Laboratorium Ikhtiologi, MSP, FPIK-IPB sedangkan jenis rumput laut ditentukan berdasarkan buku pengenalan jenis-jenis rumput laut Indonesia. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam komponen abiotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya berturut-turut yaitu dalam air laut, total: tidak terdeteksi dan 0,0790–0,1299 Bq/l, terlarut: tidak terdeteksi dan 0,0623–0,0951 Bq/l dan tersuspensi: tidak terdeteksi dan 0,0167–0,0433 Bq/l;
iv
sedimen total: 18,6160–35,0013 Bq/kg dan 11,2020–35,6685 Bq/kg, sedangkan di lokasi pembanding (perairan pesisir Teluk Lada, Banten sekitar PLTU Labuan) yaitu dalam air laut, total: tidak terdeteksi dan 0,0671 Bq/l, terlarut: tidak terdeteksi dan 0,0333 Bq/l dan tersuspensi: tidak terdeteksi dan 0,0338 Bq/l; sedimen total: 10,4253 Bq/kg dan 16,5952 Bq/kg. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam komponen biotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya berturut-turut yaitu rumput laut alami: 3,6851–48,0430 Bq/kg dan 3,9941–9,0788 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 3,6735–4,8347 Bq/kg; ikan teri (Stolephorus): tidak terdeteksi dan 3,308 Bq/kg; kerang (Codakia): 6,8903 Bq/kg dan 3,6023 Bq/kg, sedangkan di lokasi pembanding berturut-turut yaitu rumput laut alami: 19,5367 Bq/kg dan 2,6729 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 2,3005 Bq/kg; ikan teri (Anchoa): tidak terdeteksi dan 2,0603 Bq/kg. Faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami berturut-turut yaitu Gracilaria salicornia: 0,1397 dan 0,1221; Sargassum duplicatum: 0,9719 dan 0,1695; Padina australis: 0,4622 dan 0,1385; Ulva lactuca: 1,3750 dan 0,2598, dan pada biota yaitu ikan teri (Stolephorus) tidak teridentifikasi dan 0,7831; kerang (Codakia): 0,20 dan 0,32. Perkiraan dosis interna melalui konsumsi ikan teri (Stolephorus) dan kerang laut (Codakia) dari perairan Pulau Panjang, Banten yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten usia dewasa (≥18 tahun) yaitu 0,0025–0,0461 mSv/tahun. Aktivitas PLTU-batubara memberikan dampak terhadap perairan di sekitarnya, ada indikasi peningkatan konsentrasi radionuklida alam (baik dalam komponen abiotik maupun biotik) di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya yang telah beroperasi selama 27 tahun bila dibandingkan lokasi pembanding (sekitar PLTU Labuan yang baru beroperasi ±1 tahun). Tingkat akumulasi 238U dan 232Th pada rumput laut alami berturut-turut lebih tinggi pada jenis algae hijau, algae coklat dan algae merah. Ikan teri Stolephorus memiliki kemampuan mengabsorpsi 232Th lebih baik daripada kerang Codakia. Dosis interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten belum melebihi batas dosis efektif yang direkomendasikan oleh IAEA untuk masyarakat yaitu 1 mSv/tahun.
v
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa seizin IPB
vi
TINGKAT CEMARAN UNSUR RADIONUKLIDA ALAM 238U DAN 232Th DI PERAIRAN SEKITAR KAWASAN PLTU-BATUBARA (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)
SABAM PARSAORAN SITUMORANG
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc
viii
Judul Tesis
Nama NRP
: Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) : Sabam Parsaoran Situmorang : C551080231
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc Ketua
Dr. June Mellawati, B.Sc, S.Si, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 17 Juni 2011
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah (tesis) dengan judul “Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten)”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Harpasis Selamet Sanusi, M.Sc dan Ibu Dr. June Mellawati, S.Si, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan anggota pembimbing atas kesabaran, perhatian, bantuan dan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penulisan tesis. 3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku Ketua Program Studi yang memberikan bantuan dan saran selama menempuh pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu Kelautan IPB. 4. Pak Ali Arman Lubis, M.Sc, Pak Suripto dan Bu Niken, S.Si (Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Jakarta) atas fasilitas dan bantuan yang diberikan selama preparasi dan perhitungan radionuklida alam. Pak Kowkab (Center for Multiporpuse Reactor, BATAN, Puspiptek, Serpong) atas pelatihan singkat, penjelasan mengenai intalasi nuklir dan bantuan saat irradiasi sampel. 5. I. M. Royn S. Pasek, S.Pi, Synthesa P.Y.K, S.Pi, Lalu Aktidar Hakim, S.Pi, Ilham Rizki, S.Pi, Yohan Sony N., S.Pi, Abie Aryo D, S.Pi, Astrid S.P, Andhita Triwahyuni, S.Pi, Putri Mudhlika Lestarina, M.Si, Liston Siringoringo, M,Si dan Maria Ulfa, S,Kel atas bantuannya saat survey lapangan, pengambilan sampel maupun preparasi sampel. 6. Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah atas bantuan melalui beasiswa non kedinasan untuk mahasiswa S1, S2, S3 dan spesialis kedokteran tahun 2010. 7. Rekan-rekan mahasiswa program studi Ilmu Kelautan angakatan 2008 dan pihak-pihak lain yang telah membantu kelancaran dalam penyusunan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat.
Bogor, Juli 2011 Sabam Parsaoran Situmorang
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tumbang Jutuh (Kalimantan Tengah) pada tanggal 9 Oktober 1984 sebagai anak ke-4 dari lima bersaudara dari pasangan Drs. Marusaha Situmorang dan Setiara Manullang. Pendidikan dimulai di SDN Palangka-4 Palangkaraya (1991-1998) dilanjutkan ke SMPN-3 Palangkaraya (1998-2000) dan SMUN-5 Plus Palangkaraya (2000-2003). Tahun 2003-2008 menempuh pendidikan S-1 di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)-IPB. Pada tahun 2008, penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2011. Selama mengikikuti program S-2, penulis mengabdi sebagai asisten pada bagian Oseanigrafi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB sejak tahun 2008 sampai sekarang dan aktif dalam keanggotaan Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (Watermass-IKL) pada tahun 2008-2009. Penulis juga memperoleh Beasiswa non kedinasan untuk mahasiswa S1, S2, S3 dan spesialis kedokteran dari Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2010. Dua buah karya ilmiah telah dipresentasikan pada pertemuan ilmiah yaitu Geokimia Logam Berat (Pb, Cr dan Cu) dalam Sedimen dan Potensi Ketersediaannya pada Biota Bentik di Perairan Delta Berau, Kalimantan Timur pada Seminar PIT ISOI VI di Bogor pada bulan November 2009 dan Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) pada Seminar Keselamatan Nuklir (SKN) 2011 Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) di Jakarta pada bulan Juni 2011. Dua buah jurnal telah diterbitkan dengan judul Geochemistry of heavy metals (Pb, Cr and Cu) in sediments and benthic communities of Berau Delta, Indonesia pada jurnal Coastal Marine Science, The University of Tokyo tahun 2010 dan Geokimia Logam Berat (Pb, Cr dan Cu) dalam Sedimen dan Potensi Ketersediaannya pada Biota Bentik di Perairan Delta Berau, Kalimantan Timur pada jurnal Ilmu Kelautan, UNDIP tahun 2010. Artikel berjudul Tingkat Cemaran Unsur Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Perairan Sekitar Kawasan PLTU-Batubara (Kajian di Perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada, Banten) akan diterbitkan pada prosiding SKN 2011 BAPETEN, serta artikel Prakiraan Paparan Radiasi 238U dan 232Th yang Diterima Penduduk Pulau Panjang Sekitar Calon Tapak Potensial PLTN Banten akan diterbitkan pada jurnal Pengembangan Energi Nuklir pada tahun 2011.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii 1
2
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang ................................................................................ Perumusan Masalah......................................................................... Kerangka Pemikiran ....................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................
1 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
7
2.1 2.2
Karakteristik Fisika Kimia Radionuklida ......................................... Unsur Radionuklida Alam ............................................................... 2.2.1 Uranium .............................................................................. 2.2.2 Thorium............................................................................... 2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara .......................... 2.3.1 Batubara .............................................................................. 2.3.2 Cara kerja PLTU-batubara ................................................... 2.4 Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU-Batubara ............. 2.4.1 Karakteristik radionuklida alam lepasan dari kegiatan PLTU-batubara ...................................................... 2.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Lingkungan Perairan Pesisir ............................................................................................. 2.5.1 Radionuklida alam 238U dan 232Th di air, padatan tersuspensi dan sedimen peraiaran ......................................................... 2.5.2 Radionuklida alam 238U dan 232Th pada organisme perairan (biota dan tumbuhan) ............................................. a. Kerang ............................................................................. b. Rumput laut ..................................................................... 2.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Manusia ................ 3
7 9 10 11 12 15 16 21 21 25 25 27 29 30 33
METODE PENELITIAN ....................................................................... 36 3.1 3.2
3.3 3.4
Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... Alat dan Bahan ................................................................................ 3.2.1 Alat ..................................................................................... 3.2.2 Bahan .................................................................................. Komponen dan Parameter Lingkungan yang Diukur ....................... Teknik Pengambilan dan Preparasi Contoh...................................... 3.4.1 Air laut ................................................................................ 3.4.2 Sedimen ..............................................................................
xii
36 38 38 38 39 40 40 41
3.5
3.6
4
41 42 42 43 43 43 44 44 45 45
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................... 47 4.1
4.2
4.3
4.4
4.5 4.6 4.7
5
3.4.3 Padatan tersuspensi.............................................................. 3.4.4 Biota (kerang dan ikan teri) ................................................. 3.4.5 Tumbuhan (rumput laut) ...................................................... Pengukuran Radionuklida Alam 238U dan 232Th ............................... 3.5.1 Proses aktivasi ..................................................................... 3.5.2 Proses pengukuran............................................................... Analisis Data ................................................................................... 3.6.1 Analisis parameter fisik dan kimia air serta sedimen perairan pesisir .................................................................... 3.6.2 Faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada biota dan tumbuhan perairan pesisir .................................................... 3.6.3 Prakiraan dosis interna yang diterima penduduk melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut .......................................
Kondisi Umum Daerah Penelitian ................................................... 4.1.1 Letak geografis, administratif dan topografi Pulau Panjang, Banten ......................................................... 4.1.2 Kondisi perairan (potensi, kedalaman, pasang surut dan arus) ............................................................................. 4.1.3 Klimatologi (curah hujan, arah dan kecepatan angin) ........... 4.1.4 Lokasi pembanding .............................................................. PLTU-Batubara Suralaya ................................................................ 4.2.1 Transportasi bahan bakar ..................................................... 4.2.2 Boiler dan turbin .................................................................. 4.2.3 Emisi abu hasil pembakaran batubara .................................. Kualitas Perairan Pesisir Pulau Panjang dan Teluk Lada, Banten .... 4.3.1 Salinitas, pH, suhu, DO dan TSS ......................................... 4.3.2 Tekstur dan bahan organik total sedimen ............................. Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Air dan Sedimen ............ 4.2.1 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam air ................................... 4.2.2 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen .......................... Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Rumput Laut .................. Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Biota (Ikan Teri Genus Stolephorus dan Kerang Genus Codakia) ............ Paparan Radiasi Interna Melalui Konsumsi Ikan Teri (Genus Stolephorus) dan Kerang (Genus Codakia) .........................
47 47 47 51 57 58 58 59 59 60 60 64 66 66 69 71 75 78
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 81 5.1 5.2
Kesimpulan .................................................................................... 81 Saran .............................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 83 LAMPIRAN .................................................................................................. 89
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1. Unit-unit dalam radiologi ...........................................................................
9
2. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami ........................................ 10 3. Jenis-jenis batubara .................................................................................... 15 4. Kadar radionuklida yang terkandung di dalam hasil proses industri “non nuklir” dan hasil limbahnya ............................................................... 22 5. Kandungan radionuklida dalam batubara.................................................... 22 6. Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam abu terbang PLTU-batubara di beberapa negara ............................................................ 24 7. Minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (MDA) untuk radionuklida yang terjadi dari buatan manusia atau dari alami ........................................ 32 8. Komponen lingkungan, parameter, satuan dan metode pengukuran ............ 40 9. Nilai dissolved transport indice (DTI) dan kapasitas adsorpsi (KA) dari 232Th di lokasi pengamatan pada Juni-Juli 2010 .................................. 68 10. Konsentrasi 238U dan 232Th di air laut beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia ............................................................... 69 11. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen di beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia ............................................................... 71 12. Rumput laut yang ditemukan di lokasi pengamatan ................................... 72 13. Rata-rata faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami yang ditemukan di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ............... 75 14. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam tubuh ikan teri (Stolephorus) dan kerang (Codakia) serta nilai faktor konsentrasinya di perairan Pulau Panjang, Banten, Juni 2010 ............................................................. 76 15. Konsentrasi 238U dan 232Th pada produk olahan hasil laut (dodol rumpu laut dan ikan teri) di Pulau Panjang dan Kampung Kemuning, Citeureup, Banten, Juni-Juli 2010 ........................... 77 16. Rata-rata asupan harian dan tahunan 238U dan 232Th yang diperoleh melalui konsumsi kerang dan ikan teri pada penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten .............................................................................. 79
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram kerangka pemikiran··················································
6
2. Deret peluruhan radionuklida alam 238U ·····································
13
3. Deret peluruhan radionuklida alam
232
Th ····································
14
4. Perkiraan cadangan batubara di Indonesia hingga tahun 2003 ············
16
5. Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik ····················
17
6. Lokasi PLTU-batubara di Indonesia ··········································
20
7. Jalur masuk (intake), penyerapan (uptake) dan keluaran (ekskresi) radionuklida alam dalam tubuh manusia ·····································
33
8. Peta lokasi penelitian ···························································
37
9. Grafik pasang surut (cm) di perairan Pulau Panjang, Banten, Juni 2010 ········································································
48
10. Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaann (m/s) di Utara dan Barat Pulau Jawa berdasarkan penggolongan musim di Indonesia (a. musim barat, b. musim peralihan 1, c. musim timur dan d. musim peralihan 2) ········ 51 11. Curah hujan bulanan (mm) dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daerah Kabupaten Serang, Banten ·········································
52
12. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim barat berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim barat di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ··························
53
13. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 1 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 1 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten··················· 54 14. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim timur berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim timur di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten ·························
55
15. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 2 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 2 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten··················· 56 16. Persentase arah dan kecepatan angin di perairan Pulau Panjang, Banten selama 10 tahun (Januari 2000-Desember 2009)····························
57
17. Nilai salinitas (‰) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ··············
61
18. Nilai pH pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ·························
62
o
19. Nilai suhu perairan ( C) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ·······
62
20. Nilai DO (mg/l) perairan pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ······
63
xv
21. Nilai TSS (mg/l) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ················
64
22. Sebaran rata-rata fraksi sedimen pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ···································································
65
23. Kandungan TOM (%) dalam sedimen pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 ···································································
66
24. Konsentrasi 232Th (Bq/l) total, tersuspensi dan terlarut dalam air laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ·········································
67
25. Konsentrasi 238U dan 232Th (Bq/kg) total dalam sedimen pada lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ····················································
70
26. Konsentrasi 238U (Bq/kg) dalam rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ···································································
73
232
27. Konsentrasi Th (Bq/kg) tubuh rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 ···································································
xvi
74
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Prosedur analisis muatan padatan tersuspensi/TSS ................................... 90 2. Prosedur analisis kandungan bahan organik total (TOM) sedimen ............ 90 3. Analisis tekstur sedimen (metode pemipetan) ............................................ 91 4. Peta lokasi stasiun 4 (lokasi pembanding) di Teluk Lada, Banten ............. 93 5. Peta topografi Pulau Panjang, Banten ....................................................... 94 6. Data elevasi muka laut selama 15 hari dari Dishidros ............................... 95 7. Perhitungan bilangan Formzahl .............................................................. 96 8. Konversi satuan bobot (gram) ke aktivitas (Bq)........................................ 97 9. Batas deteksi alat (detection limits) dari 238U dan 232Th ............................ 98 10. Curah hujan bulanan dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daerah Kabupaten Serang ..................................................................... 99 11. Tekstur sedimen ....................................................................................... 99 12. Rata-rata konsumsi kerang dan ikan teri oleh penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten ............................................................................. 100 13. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 238U melalui ingesti kerang .............................................................................. 102 14. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti kerang .............................................................................. 104 15. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti ikan teri ............................................................................ 106 16. Total asupan radionuklida alam 238U dan 232Th......................................... 108 17. Dosis efektif terikat (intakes of commited effctive dose) per tahun dari konsumsi kerang dan ikan teri .................................................................. 110 18. Gambar sampel rumput laut ..................................................................... 112 19. Nilai kualitas perairan dan konsentrasi radionuklida alam dalam air laut, sedimen dan rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010........... 113
xvii
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan pesisir merupakan daerah peralihan antara daratan dan laut. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat bermacam ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut mempunyai peran yang sangat penting, baik ditinjau dari segi ekologis maupun ekonomis (Dahuri 2003). Lingkungan laut (pesisir dan estuaria) merupakan suatu ekosistem yang khas karena menjadi tempat akumulasi berbagai kontaminan (alami dan antropogenik).
Sumber kontaminan tersebut
ialah masukan dari daratan melalui sistem sungai, jatuhan dari atmosfir dan aktivitas di perairan itu sendiri (pelabuhan, wisata dan industri). Di era industrialisasi, kawasan pesisir menjadi prioritas utama untuk mengembangkan berbagai kegiatan industri sehingga wilayah tersebut beresiko tinggi untuk berbagai kasus pencemaran.
Beberapa kegiatan industri “non-nuklir” seperti
tambang timah, tambang batuan fosfat, tambang batuan bauksit, minyak dan gas bumi, tambang emas, pabrik pupuk fosfat, pabrik penyekat dinding dari fosfogipsum dan pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar batubara serta pemanfaatan hasil limbahnya, tanpa disadari akan menaikkan tingkat radionuklida alam di lingkungan dan pada tahap berikutnya akan menaikkan paparan radiasi alam terhadap kehidupan di lingkungannya. Dua industri dari beberapa industri “non-nuklir” tersebut menurut laporan UNSCEAR yang mempunyai potensi besar sebagai pencemar radionuklida ke lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998). Listrik sangat diperlukan untuk berbagai keperluan. Kebutuhan setiap tahunnya terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk, usaha peningkatan kesejahteraan manusia dan peningkatan perekonomian.
Guna
memenuhi kebutuhan listrik di dunia dan di Indonesia khususnya, pemerintah terus berupaya membangun PLTU-batubara dan PLTN. Di Indonesia, batubara merupakan bahan bakar utama yang umum digunakan pada berbagai kegiatan industri, termasuk industri pembangkit listrik, karena dari segi ekonomis batubara jauh lebih murah dibandingkan jenis bahan bakar lainnya. Dari segi kuantitas, batubara termasuk cadangan energi fosil terpenting bagi Indonesia, karena
2
jumlahnya sangat berlimpah mencapai hampir puluhan milyar ton.
PLTU
menggunakan batubara sebagai bahan bakar yang berasal dari alam dan mengandung material radioaktif (NORM = Naturally Occuring Radioactive Material), sehingga dapat menimbulkan terjadinya pemekatan radionuklida alam yang dinamakan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occuring Radioactive Material). Masalah
perlindungan
lingkungan
hidup
sekarang
semakin
banyak
diperdebatkan dalam kaitannya dengan kesehatan manusia. Hal ini mendorong evolusi signifikan dalam bidang radioproteksi. Setelah sebelumnya penekanan ditempatkan langsung pada kesehatan manusia dan sukses, radioproteksi memperluas ruang lingkup dan perhatian untuk juga mempertimbangkan fauna, flora dan komponen abiotik lingkungan, dimana diketahui bahwa kesehatan manusia memerlukan lingkungan yang sehat pula. Isu lingkungan sangat penting untuk pengembangan PLTU-batubara yang baru. Pelepasan hasil produk pembakaran batubara yang tidak terkontrol dapat meningkatkan konsentrasi logam toksik dan radionuklida alam di lingkungan, oleh karena itu evaluasi terhadap jumlah zat radioaktif dalam batubara sangat penting (Flues et al. 2006). Bahan tambang mengandung sejumlah radionuklida alam karena bahan tersebut berasal dari kerak bumi yang umumnya diperoleh manusia melalui penggalian.
Batubara merupakan bahan tambang yang
mengandung unsur-unsur radioaktif/radionuklida alami berumur paruh panjang. Batubara mengandung uranium-238 (238U), thorium-232 (232Th), radium-226 (226Ra) dan kalium-40 (40K) yang kadarnya cukup bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya. Kandungan radionuklida alam di dalam batubara bervariasi bergantung pada jenis dan lokasi penambangan batubara. Konsentrasi radionuklida alam di dalam abunya juga akan bervariasi dan cenderung lebih kaya dibandingkan unsur radionuklida alam yang terkandung di dalam batubara. Laju produksi abu batubara pada sistem pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) kira-kira 10% dari volume batubara. Lebih dari 90% abu yang dihasilkan terdiri dari 20% berupa bottom ash dan slag, lainnya 80% berupa fly ash (Sukandarrumidi 2009). Undang-undang RI No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pencemaran lingkungan laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
3
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Radionuklida alam dapat digolongkan sebagai bahan berbahaya dan beracun, hal ini karena sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung dapat merusak kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (Bapedal 1999). Jika unsur radionuklida alam terlepas ke lingkungan perairan, maka hasil interaksinya dengan komponen biotik perairan tersebut dapat menimbulkan keadaan abnormal dari biota perairan (ikan dan biota lain). Kontak langsung dengan komunitas tanaman juga menyebabkan penurunan produksi biomassa dan hambatan pertumbuhan serta kematian (Connel dan Miller 1995). Radionuklida alam sebagai unsur pencemar yang masuk ke dalam ekosistem akan mengikuti lintas rantai makanan dan dapat berujung pada jaringan tubuh manusia (Thayib 1990). Kasus pencemaran radionuklida alam di negara maju telah diketahui sejak lama, akan tetapi di negara berkembang seperti Indonesia, kasus ini masih belum banyak diketahui sebagian besar masyarakat. Pulau Panjang, Provinsi Banten dengani luas area 7,26 km2 memiliki jumlah penduduk sekitar 3000 orang dengan mata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah sebagai nelayan. Produk utama dari kegiatan perikanan di Pulau Panjang adalah rumput laut dan ikan teri yang menjadi produk unggulan di provinsi Banten. Banyak juga ditemukan kerang yang hidup di perairan Pulau Panjang dan dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Pulau Panjang berdekatan dengan kawasana industri yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar sehingga
dapat
mencemari
perairan
tersebut
salah
satunya
zat
radioaktif/radionuklida alam yang dihasilkannya. Industri tersebut diantaranya PLTU-batubara Suralaya, dengan jarak kurang lebih 12 km diduga aktivitas PLTU-batubara tersebut mempengaruhi perairan Pulau Panjang, stockpile batubara dan aktivitas pemasokan bahan bakar batubara menggunakan kapalkapal tongkang yang melewati perairan tersebut. Selain itu, adanya rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Pulau Panjang, Banten juga merupakan isu yang menarik dalam hal pencemaran zat radioaktif di perairan Pulau Panjang, Banten.
4
Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu dilakukan kajian dampak lepasan radionuklida alam
238
U dan
232
Th dari PLTU-batubara ke lingkungan. Penelitian
ini dimaksudkan menentukan status dan sebaran radionuklida alam 238U dan 232Th di kawasan pesisir sekitar industri non-nuklir.
1.2 Perumusan Masalah Pengoperasian PLTU-batubara pada kondisi normal berpotensi melepaskan sejumlah radionuklida alam seperti 238U dan
232
Th ke lingkungan perairan pesisir
di sekitarnya melalui fly ash (abu terbang) dan bottom ash, selain itu aktivitas pemasokan bahan bakar batubara ke PLTU dengan menggunakan kapal-kapal tongkang juga memberikan kontribusi terhadap pelepasan radionuklida alam ke perairan. Adanya rencana pemerintah membangun PLTU-batubara guna memenuhi kebutuhan energi listrik yang terus meningkat dalam mendorong pembangunan nasional, secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya emisi radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir di sekitarnya. Beberapa PLTUbatubara yang direncanakan kebanyakan berlokasi di pesisir. Radionuklida alam tersebut dapat larut dalam kolom air dan terdeposit ke dalam sedimen sehingga dapat mempengaruhi kehidupan komponen biotik di perairan pesisir tersebut. Radionuklida alam tersebut akan terakumulasi dalam tubuh biota dan tumbuhan sehingga melalui jalur rantai makanan radionuklida alam tersebut akan sampai ke manusia. Asupan terhadap biota dan tumbuhan yang mengandung 238U dan 232Th oleh manusia dapat menimbulkan paparan radiasi interna dalam tubuh manusia. Kerusakan biologis yang timbul akibat terpapar radiasi ini misalnya kerusakan materi inti sel, khusunya pada DNA dan kromosom sehingga berpotensi menyebabkan kanker. Kasus pencemaran radionuklida alam primordial
238
U dan
232
Th oleh industri
“non-nuklir” khususnya PLTU-batubara masih belum banyak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kasus tersebut dapat dianggap penting karena dampak yang diakibatkannya serius.
5
1.3 Kerangka Pemikiran Pembangunan pembangkit listrik (PLTU-batubara) dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan
energi
nasional
guna
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
mendorong
Namun, di sisi lain dapat
menimbulkan pelepasan sejumlah radionuklida alami lingkungan perairan di sekitarnya.
peningkatan
238
U dan
232
Th ke
Pelepasan sejumlah radionuklida alam ke
lingkungan dapat meningkatkan paparan radiasi yang membahayakan komponen di lingkungan. Sebagai komponen abiotik perairan, air, padatan tersuspensi dan sedimen adalah media perantara berpindahnya radionuklida alam ke tanaman dan biota perairan, melalui mekanisme akumulasi.
Dampak radiologi akibat kegiatan
PLTU-batubara terhadap manusia yaitu meningkatnya paparan radiasi interna melalui konsumsi hasil laut (ikan, kerang dan rumput laut) yang terkontaminasi radionuklida alam. Skema alur kerangka pemikiran ditunjukkan pada Gambar 1.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th di lingkungan abiotik (air, padatan tersuspensi dan sedimen) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTUbatubara.
2.
Mengkuantifikasi konsentrasi radionuklida alam 238U dan 232Th di lingkungan biotik yaitu rumput laut, ikan teri (Stolephorus sp.) dan kerang (Codakia) di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.
3.
Menghitung faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada rumput laut, ikan teri dan kerang di perairan Pulau Panjang dan Pesisir Teluk Lada (lokasi pembanding), Banten sekitar kawasan PLTU-batubara.
4.
Memperkirakan dosis interna yang berpotensi diterima penduduk melalui konsumsi ikan teri dan kerang laut dari perairan Pulau Panjang, Banten. Manfaat penelitian ini adalah sebagai data dasar yang memberikan informasi
tentang seberapa jauh kontribusi PLTU-batubara terhadap bahan pencemar
6
radionuklida alam ke lingkungan perairan pesisir. Informasi ini dapat digunakan sebagai pengetahuan bagi para pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan dengan mempertimbangkan masalah lingkungan (kemampuan lingkungan dalam menerima kontaminan radionuklida) dalam regulasi tentang zonasi atau rencana tata
ruang
kawasan,
sehingga
kegiatan-kegiatan
yang
tak
terelakkan
keberadaannya dalam pembangunan tersebut dapat ditata lebih baik dan tidak saling mempengaruhi untuk mengurangi dampak dan melestarikan lingkungan perairan.
Pengoperasian PLTU-Batubara
Pelepasan Radionuklida Alam 238 U dan 232Th
Peningkatan Paparan Radiasi Komponen Perairan Pesisir
Terdeposisi
Tersebar
Padatan tersuspensi Akumulasi
Air
Sedimen
Hewan dan Tumbuhan Laju pemanfaatan (konsumsi)
Manusia (Efek Kesehatan) Keterangan:
= langsung = tidak langsung = ruang lingkup penelitian Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran
7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Fisika Kimia Radionuklida Dari lambang nuklida
, dapat ditentukan jumlah proton dan neutron dalam
inti atom, dan sekaligus juga jumlah elektron yang mengitari inti. Jumlah proton (nomor atom) adalah Z, jumlah neutron adalah massa atom (A) dikurangi dengan nomor atom (Z).
Nuklida-nuklida dengan jumlah proton sama tetapi jumlah
neutron berbeda disebut isotop.
Menurut UU No. 10 Tahun 1997 tentang
ketenaganukliran, radioisotop (radionuklida) adalah isotop yang mempunyai kemampuan untuk memancarkan radiasi pengion, dimana radiasi pengion itu sendiri adalah gelombang elektromagnetik dan partikel bermuatan yang karena energi yang dimilikinya mampu meng-ionisasi media yang dilaluinya.
Zat
radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70 kBq/kg (2 nCi/g). Angka 70 kBq/kg (2 nCi/g) tersebut merupakan patokan dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency). Proses peluruhan zat radioaktif sebenarnya adalah proses alami dari suatu zat radioaktif atau radioisotop dalam rangka keseimbangan menuju energi dasarnya. Peluruhan radioaktif (radioactive decay) adalah emisi partikel-partikel secara spontan atau radiasi elektromagnetik dari atom yang tidak stabil yang mengakibatkan transformasi (perubahan bentuk) dalam nukleus/intinya.
Hasil
dari transformasi ini yaitu alpha, beta dan partikel neutron dapat dikeluarkan dari inti, kadang-kadang disertai dengan emisi partikel positron, sinar gamma, dan sinar – X. Atom berubah menjadi elemen baru, yang dapat bersifat radioaktif atau stabil (Morrison dan Murphy 2006). Partikel alpha, beta dan positron memiliki waktu paruh yang sangat pendek dan tidak stabil di dalam lingkungan. Sinar gamma dan sinar – X merupakan foton (Morrison dan Murphy 2006). Kuantitas dari radionuklida diuraikan oleh aktivitasnya sesuai dengan persamaan berikut (Morrison dan Murphy 2006):
8
A= λ N .......................................................................... (1) dimana: A
= aktivitas (Bq)
λ
= konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1)
N
= jumlah atom (1
×
)
Aktivitas pada waktu tertentu diuraikan oleh persamaan berikut (Morrison dan Murphy 2006): A = A0 e- λ t ................................................................... (2) dimana: A
= aktivitas (Bq)
A0 = aktivitas awal pada t=0 λ
= konstanta/tetapan peluruhan (satuan s-1)
t
= waktu sejak t = 0 (dalam detik) Waktu paruh dari suatu isotop radioaktif adalah selang waktu yang
dibutuhkan agar aktivitas radiasi berkurang setengah dari aktivitas semula. Waktu paruh juga dapat didefinisikan sebagai selang waktu yang dibutuhkan agar setengah dari inti radioaktif yang ada meluruh. Ketika t = T1/2 maka sehingga waktu paruh kita peroleh dengan cara:
=
A = A0 e- λ t = e- λ t = 0,5 atau 0,5 = e- λ t1/2 Ln 0,5 = - λt1/2 atau -0,693 = - λt1/2 sehingga, t1/2 =
,
(detik) (Morrison dan Murphy 2006).
Dalam sistem internasional, satuan aktivitas radiasi dinyatakan dalam Becquerel (disingkat Bq) sesuai dengan nama penemu radioaktivitas, dimana 1 Bq = 1 peluruhan/detik. Tabel 1 menunjukkan unit-unit yang digunakan dalam ilmu radiologi.
9
Tabel 1. Unti-unit dalam radiologi Kuantitas
Unit SI baru dan simbol
Becquerel Radioaktivitas (Bq)
Unit lama dan simbol
Definisi
peluruhan/detik Curie (Ci)
Definisi 3,7 X 1010 peluruhan per detik
Catatan: 1. Tera Becqurel (TBq) umum digunakan untuk buangan radioaktif: 2. Konsentrasi radioaktivitas diberikan dalam Becquerel per kilogram (Bq/kg): Dosis yang diabsorpsi
Dosis equivalen
Gray (Gy)
J/kg
Sievert (Sv)
J/kg X (modifying factor)
rad (rad)
10-2 J/kg
rem (rem)
10-2 J/kg X (modifying factor)
Konversi data 1 Ci = 3,7 X 1010 Bq 1 Bq = 2,7 X 10-11 Ci = 27pCi 1 TBq = 1012 Bq = 27 Ci 1 Bq/kg = 1 mBq/g = 27 pCi/kg 1 pCi/g = 37 Bq/kg 1 rad = 10-2 Gy 1 Gy = 102 rad 1 rem = 10-2 Sv = 10mSv 1 Sv = 102 rem
Sumber: Laws (1993) 2.2 Unsur Radionuklida Alam Unsur radionuklida alam adalah unsur yang mempunyai konfigurasi unsur kimia tidak mantap, senantiasa meluruh sambil memancarkan radiasi α (alpha), β (beta) dan γ (gamma). Berdasarkan sumbernya, unsur tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu unsur radionuklida kosmogenik dan unsur radionuklida primordial (dari dalam kerak bumi). Berbagai bahan yang berasal dari alam dan mengandung materi radioaktif dikenal dengan istilah Naturally Occuring Radioactive Materials (NORM). Radionuklida alam primordial yaitu unsur radionuklida alam yang terbentuk dalam kerak bumi, yang telah ada sejak terbentuknya bumi beberapa milyar tahun. Unsur tersebut terdapat dalam mineral-mineral batuan dan tanah, dapat terkonsentrasi atau meningkat kadarnya akibat penggunaan ada kegiatan industri (Mellawati 2004). Radionuklida alam primordial terdiri atas 2 kelompok, yaitu radionuklida alam primordial yang tidak membentuk deret (singly occuring primordial radionuclida) seperti 40 K,
87
Rb, dan
204
Pb dan yang membentuk deret
(decay series) seperti deret uranium (238U) (Gambar 2), deret aktinium (235U), dan
10
thorium (232Th) (Gambar 3) (UNSCEAR 1993 dan Bennet 1995 in Mellawati 2004). 2.2.1 Uranium Uranium adalah salah satu unsur radioaktif yang terjadi secara alami di lapisan kerak bumi.
Uranium merupakan logam dengan densitas yang tinggi (18,9
3
g/cm ). Radionuklida uranium termasuk kelompok aktinida yang mempunyai nomor atom 92, bobot massa 238,02891, titik cair 1135 oC dan titik didih 4131 oC. Uranium dalam bentuk murninya adalah logam berat berwarna perak dengan densitas hampir dua kali timbal (Pb). Batuan bumi mengandung rata-rata 3 ppm (= 3 mg/kg) uranium, dan di air laut diperkirakan 3 ppb (= 3 µg/kg). Kathren (1998) menyebutkan bahwa hampir semua jenis batuan mengandung uranium rata-rata 33 Bq/kg. Uranium yang berasal secara alami terdiri dari tiga isotop yang semuanya merupakan zat radioaktif yaitu 238
U dan
235
238
U,
235
U, dan
234
U (Tabel 2).
U merupakan nuklida induk (parent) yang memiliki deret luruh
sendiri, sedangkan
234
U merupakan produk peluruhan dari deret
238
U (Argonne
National Laboratory 2005). Uranium yang terdapat dalam perairan alami adalah uranium heksavalen, berupa ion uranil (UO22-).
Tabel 2. Isotop-isotop uranium yang berasal secara alami Isotop Uranium Persentase dalam uranuim Nomor Nomor Isotop alamiah proton neutron Uranium-238 99.284 92 146 Uranium-235 0.711 92 143 Uranium-234 0.0055 92 142 Sumber: IEER (2005)
Waktu paruh ( tahun) 146 milyar 704 juta 245000
Peluruhan uranium sangat lambat dengan memancarkan partikel alfa. Waktu paruh uranium-238 adalah 4,5 miliar tahun, yang berarti tidak sangat radioaktif seperti ditunjukkan oleh spesific abundance yang rendah (0,00000034 Ci/g). Sejumlah kecil uranium alam dapat ditemukan hampir di setiap tempat, di tanah, batuan bumi, dan air, sementara bijih uranium ditemukan hanya di beberapa
11
tempat, biasanya dalam batuan keras atau batuan pasir, depositnya biasanya ditutupi oleh tanah dan vegetasi (Argonne National Laboratory 2005). Selama bertahun-tahun, uranium digunakan untuk mewarnai gelas keramik, menghasilkan warna yang berkisar dari merah jingga sampai kuning lemon. Uranium juga digunakan untuk pewarnaan pada masa awal fotografi.
Sifat
radioaktif uranium tidak diketahui sampai tahun 1896, dan potensinya untuk digunakan sebagai sumber energi tidak pahami sampai pertengahan abad ke-20. Dalam reaktor nuklir, uranium berfungsi baik sebagai sumber neutron (melalui proses fisi) dan bahan target untuk menghasilkan plutonium.
Plutonium-239
dihasilkan ketika uranium-238 menyerap neutron. Saat ini, penggunaan utamanya adalah sebagai bahan bakar pada reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir. Uranium juga digunakan dalam reaktor nuklir kecil untuk memproduksi isotop untuk keperluan medis dan industri. Pengayaan uranium yang tinggi merupakan komponen utama senjata nuklir tertentu (Argonne National Laboratory 2005). Dalam kondisi alami, uranium terbentuk sebagai bijih oksida, U3O8. Senyawa tambahan yang mungkin terdapat juga di dalamnya oksida yang lain (UO2, UO3) maupun fluorida, karbida atau karbonat, silikat, vanadates, dan fosfat. USEPA menetapkan tingkat kontaminan maksimum (MCL) untuk uranium dalam air minum yaitu 0,030 miligram per liter (mg/l) atau setara dengan sekitar 27 picocuries (pCi) per liter (Argonne National Laboratory 2005). 2.2.2 Thorium Thorium adalah salah satu unsur radioaktif yang terbentuk secara alami di lapisan kerak bumi dan tanah dengan konsentrasi rendah, dimana kelimpahannya sekitar tiga kali lebih banyak daripada uranium.
Tanah pada umumnya
mengandung thorium dengan rata-rata sekitar 6 ppm. Peluruhan Thorium-232 (232Th) sangat lambat (waktu paruhnya sekitar tiga kali usia bumi) tetapi isotop thorium yang lain terbentuk dari hasil peluruhan dan berada dalam rantai peluruhan uranium. Sebagian besar dari uranium tersebut berumur pendek dan lebih radioaktif daripada
232
Th, walaupun jika didasarkan pada massanya mereka
tidak berbeda signifikan (World Nuclear Association 2009). Ketika dalam bentuk murninya, thorium merupakan logam berat dengan warna putih perak yang akan tetap berkilau selama beberapa bulan. Tetapi, ketika
12
terkontaminasi oleh oksida, thorium akan memudar dengan perlahan-lahan di udara, menjadi berwarna abu-abu dan dapat menjadi hitam.
Thorium oksida
(ThO2), yang disebut juga thoria, memiliki titik didih tertinggi dari semua jenis oksida yang lain (3300 oC). Ketika dipanaskan di udara, logam thorium akan kembali terbakar dan terbakar sempurna dengan sinar putih. Karena sifat-sifat tersebut, thorium ditemukan pada aplikasinya yaitu elemen bola lampu, pembungkus lentera, arc-light lamp, sambungan (las) elektroda, dan keramik tahan panas. Gelas (kaca) yang mengandung thorium oksida memiliki indeks refraksi dan penyebaran yang tinggi dan digunakan dalam lensa yang berkualitas tinggi untuk kamera dan peralatan ilmiah (World Nuclear Association 2009). Sumber utama thorium adalah mineral fosfat (monazite), yang mengandung sampai 12% thorium fosfat, dengan rata-rata 6-7%. Monazite ditemukan pada hasil solidifikasi magma (igneous) dan batuan lainnya tetapi konsentrasi terbesar dalam deposit sedimen yang mengandung mineral-mineral berharga (placer deposit), terkonsentrasi oleh gaya gelombang dan arus bersama logam berat yang lain.
Sumber monazite di bumi diperkirakan sekitar 12 juta ton.
Thorium
dibebaskan dari monazite biasanya melibatkan proses leaching menggunakan sodium hydroxide pada suhu 140 oC diikuti dengan proses kompleks untuk mengendapkan ThO2 murni. Mineral lain yang mengandung thorium yaitu torite (ThSiO4) (World Nuclear Association 2009).
2.3 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Di dunia saat ini terdapat berbagai jenis pembangkit listrik, dan berdasarkan klasifikasi penggunaan jenis bahan bakarnya, terdapat pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batubara), air, nuklir, dan terbarukan (gas, panas bumi, biogas, matahari, dan lain-lain). Pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil salah satunya adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). PLTU ada yang menggunakan batubara, bahan bakar minyak, dan gas sebagai bahan bakar dalam operasi pembangkit tenaga listrik.
PLTU-batubara adalah
pembangkit listrik yang menggunakan uap air untuk memutar turbin dan menggerakan generator, serta akhirnya menghasilkan listrik. PLTU menghasilkan tenaga listrik melalui pembakaran batubara di boiler untuk memansakan air untuk
13
menghasilkan uap air. Uap air, pada tekanan yang tinggi, mengalir menuju turbin, yang mana akan memutar generator untuk menghasilkan tenaga listrik. Uap air kemudian menjadi lebih dingin, dan dikembalikan ke boiler untuk memulai proses seperti di atas.
Gambar 2. Deret peluruhan radionuklida alam 238U (Smith 1992)
14
Gambar 3. Deret peluruhan radionuklida alam 232Th (Smith 1992)
15
2.3.1 Batubara Batubara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, dengan komposisi utama terdiri dari cellulosa.
Proses pembentukkan batubara dikenal sebagai
proses coalification. Faktor fisik dan kimia yang ada di alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumina, bitumina atau antrasit.
Reaksi
pembentukan batubara dapat diperlihatkan sebagai berikut (Sukandarrumidi 2009): 5(C6H10O5) cellulosa
C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO ........ (3) lignit
gas metan
Secara umum batubara digolongkan menjadi 5 tingkatan (dari tingkatan paling tinggi sampai tingkatan terendah) yaitu: antrasit, bituminus, subbituminus, lignit dan gambut, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.
Penggolongan tersebut
menekankan pada kandungan relatif antara kandungan unsur C dan H2O yang terdapat dalam batubara.
Tabel 3. Jenis-jenis batubara Jenis batubara Penampakan dan karakteristik Warna hitam sangat mengkilat (luster) metalik, berat jenis tinggi, kandungan abu rendah, Antrasit mudah dipecah, nilai kalor sekitar 8300 kkal/kg Warna hitam mengkilat, kandungan abu Bituminus rendah, nilai kalor antara 7000-8000 kkal/kg SubMenyerupai bituminus, sumber panas yang bituminus kurang efisien Warna coklat, sangat lunak, bila dibakar Lignit menghasilkan kalor 1500-4500 kkal/kg Gambut Berpori, nilai kalor 1700-3000 kkal/kg Sumber: Sukandarrumidi (2009); Mellawati (2009)
Kadar C dan H2O (%) Kadar C 86 - 98%, kadar air (H2O) < 8% Kadar C 68 - 86%, kadar air 8 - 10% Kadar sedikit , H2O banyak Kadar H2O 35 75% Kadar H2O > 75%
Perkiraan jumlah dan lokasi cadangan sumberdaya alam batubara di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 4 (Mellawati 2009). Jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik adalah yang berkualitas tinggi maupun rendah. Umumnya batubara yang kualitasnya tinggi menghasilkan sedikit sekali unsur pengotor (impurities) yang bersifat berbahaya, sehingga tidak begitu mencemari lingkungan, sedangkan yang berkualitas rendah menghasilkan banyak
16
unsur pengotor (Mellawati 2009). Bila jenis batubara yang digunakan sebagai bahan bakar pada PLTU-batubara tergolong batubara muda atau brown coal (lignite) yang memiliki kadar air diatas 55% maka perlu dikeringkan terlebih dahulu dengan alat pengering (Pre-Drying System) seperti yang dilakukan pada PLTU Mulut Tambang Simpang Belimbing. Dari segi kuantitas, batubara termasuk cadangan energi fosil yang penting bagi Indonesia, karena jumlahnya berlimpah mencapai jutaan ton. Akan tetapi perlu penghematan pemaikaiannya sehingga juga dapat menekan lepasan polutannya (CO2, SO2, NOx, CxHy, logam berat, dan radionuklida) ke lingkungan (Mellawati 2009).
Gambar 4. Perkiraan cadangan batubara di Indonesia hingga tahun 2003
2.3.2 Cara kerja PLTU-batubara Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik ditunjukkan pada Gambar 5 (Canadian Clean Power Coaltion 2004).
17
Gambar 5. Cara kerja PLTU-batubara dalam menghasilkan listrik Keterangan: 1.
Suplai/pasokan batubara §
Batubara dari pertambangan dikirim ke gerbong/kontainer batubara, dimana batubara tersebut digiling/dihancurkan sampai berukuran 5 cm (2 inch).
§
Batubara diproses dan dikirim menggunakan ban berjalan (conveyor belt) menuju instalasi pembangkit.
2.
Mesin penghancur/penggiling (pulverizer) §
Batubara kemudian dihancurkan sampai menjadi bubuk yang halus, dicampurkan dengan udara dan dialirkan menuju ketel uap (bioler), atau tungku (furnace) untuk pembakaran.
3.
Ketel uap (boiler) §
Campuran batubara/udara dibakar pada boiler.
§
Jutaan liter air murni dipompa melewati pipa di dalam boiler.
§
Panas yang sangat kuat dari hasil pembakaran batubara mengubah air murni dalam tabung boiler menjadi uap, yang akan memutar turbin (lihat nomor 4) untuk menghasilkan energi listrik.
4.
Presipitator, tiang silinder (stack) §
Pembakaran batubara menghasilkan gas karbondioksida (CO2), sulfur oksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx).
§
Gas-gas tersebut keluar dari boiler.
18
§
Abu dasar, yang membentuk fragmen-fragmen kasar yang jatuh ke dasar boiler, dibuang/dibersihkan.
§
Abu terbang, yang sangat ringan, keluar dari boiler bersama dengan gasgas bersuhu panas.
§
Presipitator elektrostatik (saringan udara yang sangat besar) memisahkan 99,4% abu terbang sebelum gas-gas dalam cerobong disebar ke atmosfer.
5.
Turbin, generator §
Air dalam tabung boiler membawa panas dari boiler dan bergerak dalam bentuk uap.
§
Uap dengan tekanan tinggi dari boiler dilewatkan ke dalam turbin (drum pejal dengan ribuan lempeng baling-baling).
§
Ketika uap menabrak plat baling-baling, maka akan mengakibatkan turbin berputar dengan cepat.
§
Putaran
turbin
mengakibatkan
tongkat
rotating
silinder
panjang
bergerak/menyala di dalam generator, menghasilkan arus listrik. 6.
Kondensor (pendingin uap) dan sistem pendingin air §
Air pendingin dibawa (dialirkan) ke dalam pembangkit dan disirkulasikan melewati kondensor , dimana uap dingin dilepaskan dari bagian turbin.
§
Uap dari bagian turbin juga dilewatkan melewati kondensor dalam pipa yang terpisah dari air pendingin.
§
Air dingin dipanasakan dengan penguap, dimana uap kembali ke dalam air murni dan disirkulasikan kembali ke boiler untuk memulai proses pembangkitan energi listrik kembali.
§
Air pendingin, yang telah menjadi hangat karena pertukaran panas di kondensor, dilepas/dibuang dari pembangkit.
7.
Instalasi pengelolaan air (water treatment plant): pemurnian air §
Untuk mengurangi korosi, air harus benar-benar murni untuk dapat digunakan dalam tabung boiler.
§
Sistem air limbah lain di dalam instalasi mengumpulkan air yang digunakan untuk membersihkan pipa-pipa dan peralatan lain, dan endapan (lumpur) hasil dari proses pemurnian air dan proses lainnya.
19
§
Air limbah dipompa ke luar dari instalasi/pembangkit dan menuju kolam penampungan.
8.
Presipitator, sistem pengelolaan abu §
Abu yang terbentuk pada lempengan presipitator dibersihkan/dijatuhkan dan dikumpulkan dalam bak besar.
§
Abu terbang dan abu dasar dibuang dari pembangkit dan dipindahkan dengan truk ke lokasi pembuangan (ash lagoon).
§
Tergantung pada permintaan pasar, abu terbang yang dihasilkan dari TransAlta's three plants dijual kepada industri semen untuk bahan konstruksi.
9.
Substasiun, transformer, kabel transmisi §
Ketika
energi
listrik
dibangkitkan,
transformer
meningkatkan
volt/tegangan listrik sehingga energi listrik dapat dibawa melalui kabel transmisi. §
Ketika energi listrik terkirim ke substasiun di kota-kota, volt/tegangan yang ada dalam kabel transmisi dikurangi, dan dikurangi lagi ketika energi listrik didistribusikan ke pelanggan.
PLTU-batubara kini menjadi sumber daya energi pembangkit listrik alternatif yang akan dikembangkan di Indonesia. PLTU juga merupakan industri yang paling banyak menggunakan batubara. Tercatat dari seluruh konsumsi batubara dalam negeri pada tahun 2005 sebesar 35,342 juta ton, 71,11% di antaranya digunakan oleh PLTU.
Berdasarkan data dalam kurun waktu 1998-2005,
penggunaan batubara di PLTU untuk setiap tahunnya meningkat rata-rata 13,00%. Hal tersebut sejalan dengan penambahan PLTU baru sebagai dampak permintaan listrik yang terus meningkat rata-rata 7,67% per tahun (Tim Kajian Batubara Nasional 2006). PLTU-batubara merupakan sistem pembangkit listrik yang relatif murah dengan biaya operasi sekitar 30 % lebih murah dibandingkan dengan sistem pembanglkit listrik dengan bahan bakar yang lain dan dapat memberikan energi listrik cukup besar. Keunggulan PLTU-batubara adalah harga bahan bakarnya
20
lebih murah dibandingkan minyak dan cadangan yang tersedia di Indonesia masih relatif banyak (Mellawati 2009; Sutarman 2007). Hingga tahun 2005 telah dibangun sebanyak 11 unit PLTU yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, yaitu PLTU Labuhan Angin, PLTU Ombilin, PLTU Tanjung Enim, PLTU Tarahan, PLTU Suralaya, PLTU Cilacap, PLTU Tanjung Jati, PLTU Paiton, PLTU Asam-Asam, PLTU Lati, dan PLTU Amurang seperti yang disajikan pada Gambar 6 (Mellawati 2009). PLTU Suralaya berkapasitas 3.400 MW, berfungsi untuk menyediakan energi listrik 50% produksi PT. Indonesia Power atau 25% dari kebutuhan energi listrik se Jawa - Bali. Untuk membangkitkan energi listrik tersebut PLTU Suralaya memerlukan batubara kurang lebih 32.000 ton/hari. Batubara tersebut sebanyak 50% berasal dari daerah Sumatera Selatan dan 50% lagi berasala dari Kalimantan. PLTU Suralaya didesain untuk batubara yang mempunyai kekerasan rendah (lunak) (Sukandarrumidai 2009).
Gambar 6. Lokasi PLTU-batubara di Indonesia
21
2.4 Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU-Batubara Berbagai industri “non nuklir” memakai bahan baku yang mengandung bahan radioaktif alam, terutama bahan baku yang berasal dari perut bumi. Pada Tabel 4 disajikan jumlah radionuklida alam yang terkandung di dalam hasil proses industri “non-nuklir”, antara lain industri timah, fosfat, minyak dan gas, semen, PLTUbatubara, dan bauksit, sekaligus termasuk limbahnya.
Dari beberapa industri
“non-nuklir” tersebut ada 2 industri yang menurut laporan UNSCEAR mempunyai potensi yang besar sebagai pencemar lingkungan yaitu pabrik pupuk fosfat dan PLTU-batubara (Bunawas dan Pujadi 1998). Pengoperasian PLTUbatubara memiliki konsekuensi yaitu dapat menimbulkan masalah yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan
berupa gas beracun (SOx, NOx, COx) yang dapat menyebabkan hujan asam, abu terbang (fly ash) yang mengandung logam-logam berat (Pb, Hg, Ag, dan Cd) dan radionuklida alam yang berasal dari kerak bumi, yaitu deret uranium (238U), thorium (232Th), dan potasium-40 (40K) (Sutarman 2007).
2.4.1 Karakteristik radionuklida alam lepasan dari kegiatan PLTU-batubara Mineral batubara tersusun dari sekitar 1% elemen kelumit dan radionuklida. Menurut UNSCEAR (2000), rata-rata konsentrasi radionuklida alam dalam batubara adalah untuk
238
U sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 16–110 Bq/kg),
226
Ra
sebesar 35 Bq/kg (kisaran: 17–60 Bq/kg), 232Th sebesar 30 Bq/kg (kisaran: 11–64 Bq/kg) dan 40K sebesar 400 Bq/kg (kisaran: 140–850 Bq/kg). USEPA menyatakan bahwa di dalam batubara kandungan rata-rata uranium adalah 1,3 ppm dan kandungan thorium rata-rata 3,2 ppm. Kadar radionuklida primordial di dalam batubara bervariasi, bergantung pada jenis batubara dan lokasi asal-usul batubara (Susiati, 2006). Hasil analisis kandungan radionuklida dalam batubara berikut jenis radiasi yang dipancarkan oleh radionuklidaradionuklidanya ditunjukkan pada Tabel 5 (Mellawati 2009).
22
Tabel 4. Kadar radionuklida yang terkandung di dalam hasil proses industri “non nuklir” dan hasil limbahnya. Kadar radionuklida alam (Bq/kg) Jenis 238 232 225 40 210 Industri Jenis Hasil U Th Ra K Po Timah Timah < 100 < 200 Monasit < 30000 326000 31000 Zirkon 16000 43000 16000 Timah-ore < 300 < 1000 < 200 < 200 200000 Fume Pupuk fosfat Fosfat-ore 1400 16 1200 100 Asam fosfat 1900 20 300 270 TSP 1050 28 700 20 Gip 160 21 1010 300 Minyak dan gas Air 2 4 290 Lumpur 10 33 393 Kerak air - > 69000 1500 Semen Gip 160 21 1010 300 Abu semen 64 1,5 81 273 PLTU Batubara 1,2 1,5 1,2 10 Abu terbang 98 191 98 595 Bauksit Bauksit 27 – 129 32 – 165 27 – 129 - 1 – 48 Tailing 85 208 122 43 Sumber: Bunawas dan Pujadi (1998)
Tabel 5. Kandungan radionuklida dalam batubara. No. Radionuklida 1 Uranium-238 (dan turunannya) Radium-226 Timbal-210 Polonium-210 2 Thorium-232 (dan turunannya) Thorium-228 Radium-228 3 Potasium-40
Jenis radiasi Radiasi α
Waktu paruh (tahun) 4,50x109
226
Ra 210 Pb 210 Po 232 Th
Radiasi α Radiasi β Radiasi α Radiasi α
3,43x104 19,40 138,30 1,39x1010
228
Radiasi α Radiasi β Radiasi β dan γ
1,90 6,70 1,28x109
Lambang 238 U
Th Ra 40 K 228
23
Pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya akan menghasilkan limbah gas dan limbah padat yaitu abu yang cukup besar jumlahnya. Abu hasil pembakaran batubara dikenal sebagai ash content (kandungan abu). Abu ini tidak dapat terbakar (non combustible materials), atau yang dioksidasi oleh oksigen. Laju produksi abu batubara pada sistem PLTU kira-kira 10% dari volume batubara (Susiati 2006). Kadar abu batubara Indonesia berkisar 5% - 20% (Sukandarrumidi 2009). Apabila batubara dipakai untuk PLTU, abu yang ada akan terpisah menjadi abu dasar/abu tinggal (bootom ash) (10-20%) yang terkumpul di dasar tungku dan abu terbang (fly ash) (80-90%) yang keluar
melalui cerobong asap
(Sukandarrumidi 2009). Abu dasar biasanya terkumpul di dasar atau di sekitar tungku pembakar karena terlalu berat untuk dibawa oleh gas buang. Abu dasar biasanya berwarna gelap dan ukuran butirannya bervariasi dari ukuran pasir hingga kerakal. Dermata dan Meng (2003) in Jumaeri et al. (2007) menyatakan abu terbang/layang adalah residu halus yang dihasilkan dari pembakaran batu bara gilingan (grounded) atau serbuk (powdered) yang dipindahkan dari tungku pembakaran melalui boiler oleh aliran gas buang. Abu terbang/layang adalah abu batubara yang berupa serbuk halus yang tidak dapat terbakar dengan distribusi ukuran 1-100 μm dan relatif homogen (Maulbetch dan Muraka 1983 in Jumaeri et al. 2007) dan berwarna lebih terang (keabu-abuan) bila dibandingkan dengan abu dasar. Berat jenisnya berkisar antara 1,95–2,95 g/cm3. Abu terbang ditangkap dengan menggunakan presipitator elektrostatik, filter atau silikon. Efisiensi dari penyaringan abu terbang dapat mencapai 99,9% (dengan presipitator elektrostatik) dan sisanya, berupa butiran yang sangat halus, terbang ke udara (Prijatama 1996). Abu terbang (fly ash) sebagai limbah PLTU berbahan bakar batubara dikategorikan oleh Bapedal sebagai limbah berbahaya (B3). Ketika batubara dibakar, sejumlah radionuklida berpotensi juga terlepas ke lingkungan melalui fly ash (abu terbang) dan bottom ashnya (abu tinggal). Hal ini terjadi karena ketika batubara dibakar akan mengalami pemecahan molekulmolekul batubara berukuran besar menjadi molekul-molekul berukuran lebih kecil, sehingga radionuklida yang terjebak di dalam batubara selama berjuta-juta
24
tahun (sebagai impurities) akan keluar bersama-sama dengan hasil emisi batubara lainnya melalui fly ash dan bottom ash (Mellawati 2009). Lepasnya zat radioaktif melalui abu ketika batubara dibakar akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi radioaktivitas per unit berat sehingga dapat meningkatkan paparan radiasi di lingkungan (Meij dan Winkel 2001). PLTU Suralaya menghasilkan abu layang ± 750.000 ton per tahun (Nasrul dan Utama 1995 in Jumaeri et al. 2007). Konsentrasi unsur radioaktif dalam abu terbang yang dihasilkan dalam pengoperasian PLTU-batubara di beberapa negara (Bq/kg) dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan dan konsentrasi radionuklida dalam abu terbang PLTUbatubara di beberapa negara. 40
Negara Australia Jerman India Italia: I II III Hungaria USA: I II III Rumania Baoji, Cina Hong Kong, Cina Shanghai, Cina Beijing, Cina Lodz, Polandia India
226 238 210 210 232 228 228 K Ra U Pb Po Th Th Ra (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) (Bq/kg) td 520 td td td td td td 200300td 70-300 70-300 3000 5500 30-100 td td td 100 td td td td td 130 801000 44-330 40-70 td td 300 td td 37-74 333 999 td 20-560 td td td td td td 260160250100100100270 15 200 630 700 160 120 160 161 84 137 67 500 113 71 206 240 59 70 261,5– 76,1– 118,7– 520,8 165,7 195,6 -
178 176,5– 278,6 213– 699 448,5– 758,0 148,0– 840,1
140 136,5– 189,8 56,9– 160 54,2– 119,3 40,7– 151,7
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Lu et al. (2006); Mellawati (2009)
155 123,6– 202,4 50,2– 162 47,5– 91,5 96,2– 177,7
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
25
2.5 Radionuklida Alam 238U dan 232Th di Lingkungan Perairan Pesisir PLTU-batubara di Indonesia sebagian besar berlokasi di daerah pesisir sehingga radionuklida alam primordial seperti
238
U dan
232
Th yang terlepas dari
proses pengoperasiannya dapat masuk ke perairan laut (pesisir) salah satunya melalui jatuhan abu terbang dari atmosfer. Radionuklida tersebut akan tersebar dalam ekosistem perairan dan yang tidak melarut secara cepat (senyawa karbonat) akan terakumulasi pada sedimen di sekitar instalasi pembangkit (Connel dan Miller 1995).
Peningkatan radionuklida di perairan laut mengakibatkan
perubahan dalam latar (beckground) lingkungan laut, di air laut, padatan tersuspensi, sedimen, dan biota (Strezov dan Nonova 2009). Secara umum, perairan pesisir laut memiliki kedalaman yang lebih dangkal dan beban materi tersuspensi yang lebih besar, bila dibandingkan dengan di laut lepas. Oleh karena itu, proses scavenging dari radionuklida atau unsur-unsur lain melalui asosiasi dengan materi partikulat dan deposisi ke dasar perairan dapat terjadi dengan lebih intensif dalam kawasan pesisir. Massa air fluvial dan materi partikulat yang keluar melalui sistem sungai dapat mempengaruhi persediaan dan distribusi radionuklida di wilayah pesisir (Nagaya dan Nakamura 1992). 2.5.1 Radionuklida alam 238U dan 232Th di air, padatan tersuspensi dan sedimen perairan Ketika radionuklida alam masuk ke kolom perairan laut (pesisir) maka proses fisik di kolom perairan tersebut memainkan peranan utama dalam mengontrol perilaku kontaminan di lingkungan air.
Proses-proses ini dapat menentukan
secara langsung distribusi spasial polutan melalui pergerakan/perpindahan massa air (arus, gelombang, turbulensi) dan dapat mempengaruhi kondisi ekologi sistem akuatik (Monte et al. 2009). Radionuklida juga akan dipartisi antara fase padat dan terlarut. Berbagai proses yang mungkin terlibat dalam partisi ini, termasuk diantaranya penyerapan (sorption) oleh material organik maupun non organik dari partikel tersuspensi, presipitasi dan disolusi, koloid agregasi dan disagregasi, aktivitas mikroba, dan uptake maupun release kembali oleh biota. Partisi berupa padatan dan larutan dari suatu radionuklida merupakan parameter yang sangat penting dan menggambarkan perilakunya, kecuali untuk pengambilan secara
26
biologis (biological uptake), hal ini dapat didefinisikan dengan koefisien distribusi (Kd) yang diperkenalkan oleh NEA/ OECD (1983) in Warner dan Harrison (1993).
Keterangan:
=
As =
......................................................................... (4)
ℎ
c=
ℎ
ℎ
ℎ
(
/
(
)
/
)
Penggunaan Kd secara umum adalah untuk menggambarkan parameter
sederhana yaitu distribusi padatan/larutan untuk tujuan pemodelan distribusi biogeokimia
radionuklida.
Konsep
Kd
menggambarkan
keseimbangan
(equilibrium) dan reversible. Karakteristik kimia air penting dalam penentuan perilaku radionuklida dan Kd.
Spesiasi radionuklida dalam larutan mungkin
tergantung pada komposisi ionik dan ionic strength dalam air, kehadiran ligan organik, potensial redoks (Eh) dan keasaman (pH); perbedaan penting dalam perilaku radionuklida adalah pengamatan pada kondisi air yang aerobik dan non aerobik. Perbedaan utama komposisi ionik dan kekuatan ionik (ionic strength) ada antara air asin dan air tawar, dan di antara air basa dan asam, memainkan peran penting dalam menentukan spesiasi dan perilaku radionuklida (Warner dan Harrison 1993). Akan tetapi, kelarutan beberapa jenis radionuklida alam dalam air sangat rendah, sehingga biasanya mudah tersedimentasi. menyatakan bahwa ada potensi ion-ion
238
WHO (2001)
U dengan densitas 19 g/cm3 dan
232
Th
dengan densitas 11 g/cm3 membentuk senyawa tidak terlarut dan akan berada pada fase padat yang kemudian turun ke dasar perairan. Migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen dan sebaliknya merupakan proses yang kompleks melibatkan interaksi antara fase terlarut dan padat dari kontaminan dan sedimantasi dan resuspensi materi partikulat. Proses interaksi radionuklida terlarut dengan partikel padat yang tersuspensi maupun terdeposit, biasanya dimodelkan berdasarkan konsep Kd.
Nilai Kd untuk beberapa
radionuklida baik untuk air laut maupun tawar telah dilaporkan oleh IAEA (1982, 2001). Proses fisik utama yang terlibat dalam migrasi radionuklida ke dan dari sedimen adalah settling dari partikel tersuspensi yang terkontaminasi radionuklida dan resuspensi dari partikel sedimen yang terkontaminasi radionuklida.
27
-
Fluks kontaminan dari kolom air ke dasar sedimen: Fws = vws Cw ;
-
...................................................................................... (5)
Fluks kontaminan dari dasar sedimen ke kolom air: Fsw = Ksw Ds.
...................................................................................... (6)
Dimana vws adalah kecepatan migrasi radionuklida dari kolom air ke sedimen; Ksw adalah tingkat migrasi radionuklida dari sedimen ke kolom air; Cw adalah konsentrasi radionuklida di kolom air; Ds adalah radionuklida yang terdeposisi ke sedimen (Bq/m2) (Monte et al. 2009). Beberapa hasil investigasi melaporkan bahwa radionuklida lebih banyak terkonsentrasi dalam sedimen dengan ukuran butiran halus (fine-grained) daripada di sedimen dengan ukuran butiran lebih kasar (coarse-grained). Radionuklida di sedimen juga berasosiasi dengan komponen geokimia sedimen seperti karbonat, Mn dan Fe oksida, dan berikatan kuat dengan clay mineral tertentu. Proses-proses yang menyebabkan penyerapan radionuklida di partikel sedimen dipengaruhi oleh fisik-kimia dan kondisi biologi sedimen seperti pH, kondisi redoks, zeta-potensial, dan aktivitas bakteri (Duursma dan Gross 1971). Baku mutu yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir untuk aktivitas
238
U yaitu 104 Bq/L dan
232
Th yaitu 700 Bq/L sebagai senyawa terlarut
(BATAN 1995). Kandungan uranium yang dianggap dapat menimbulkan dampak pada organisme perairan laut adalah 1,24 Bq/L. 2.5.2 Radionuklida alam 238U dan 232Th pada organisme perairan (biota dan tumbuhan) Telah diketahui dengan baik bahwa organisme laut dapat mengkonsentrasi beberapa radionuklida alam sehingga dapat diperoleh informasi penting yang sangat bermanfaat bagi studi dalam bidang radioekologi.
Limbah dari hasil
produk industri yang masuk ke lingkungan perairan laut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap organisme perairan. Selain logam berat, bahan pencemar lain yang masuk ke perairan laut yaitu radionuklida yang berasal dari limbah industri, apabila bahan tersebut diserap oleh organisme perairan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sel-sel dalam tubuh yang menyebabkan kematian atau pengaruh mutagen.
Unsur radionuklida alam dapat masuk ke
28
dalam komponen biotik perairan pesisir melalui mekanisme penyerapan air, sedimen atau organisme lain secara ingesti (Michael 1994 in Mellawati 2004), dan ditransfer sebagai elemen-elemen dalam rantai makanan (Strezov dan Nonova 2009). Uptake radionuklida oleh biota terjadi oleh sejumlah mekanisme dari fase larutan dan partikulat.
Uptake oleh produsen utama, contohnya fitoplankton,
terjadi dari larutan melalui adsorpsi permukaan dan metabolisme. Kontaminasi permukaan oleh partikulat dapat juga terjadi dengan makro-algae. Mekanisme uptake utama untuk organisme invertebrata dan vertebrata adalah melaui konsumsi makanan (pencernaan).
Namun, untuk beberapa invertebrata yang
detrital filter/sedimen-feeder, pada umumnya, secara langsung melibatkan partikel radionuklida. partikel).
Respirasi juga melibatkan intake radionuklida fase larutan (dan
Kontaminasi radionuklida pada organisme darat dapat juga terjadi
dengan memakan organisme perairan (Warner dan Harrison 1993). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa zat kimia tertentu (misalnya radionuklida) memiliki kemampuan terkonsentrasi dalam tubuh organisme (biokonsentrasi) secara langsung dari air laut, dan akan dibioakumulasi dan biomagnifikasi melalui rantai makanan, mengakibatkan organisme pada trofik level lebih tinggi menjadi terkontaminasi zat kimia pencemar dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada mangsanya (Hall 2002).
Biokonsentrasi adalah
pengambilan zat kimia pencemar melalui jaringan epitel atau insang organisme, dan konsentrasi zat kimia pencemar berikutnya dalam jaringan organisme ke tingkat yang melebihi konsentrasi ambient lingkungan.
Bioakumulasi adalah
proses dimana konsentrasi zat kimia pencemar dalam organisme meningkat dengan umur dan ukuran organisme.
Biomagnifikasi adalah proses dimana
konsentrasi zat kimia pencemar meningkat dalam organisme secara berturut-turut pada trofik level lebih tinggi, atau secara ringkas yaitu peningkatan konsentrasi zat kimia pencemar ke level lebih tinggi dari rantai makanan (Campbell et al. 1988; Hall 2002). Biokonsentrasi, bioakumulasi, dan biomagnifikasi zat kimia pencemar dalam biota laut merupakan proses yang dinamis yang mencakup banyak variabel yang saling berhubungan.
Sebagai contoh, yaitu karakteristik zat kimia (sifat
29
hidrofobik, lifofilik, dan resistensi terhadap degradasi), faktor lingkungan (salinitas, suhu, konsentrasi zat kimia organik yang lain, dan potensial redoks), faktor biotik (tipe makan organisme, posisi pada trofik level, konsentrasi lemak, dan metabolisme), dan ketersediaan secara biologis (bioavailability) (masukan zat kimia, mekanisme transport, derajat kontaminasi) (Hall 2002). Model linier sederhana faktor konsentrasi (CF) adalah suatu model dua bagian (two-compartment) yang umumnya digunakan oleh ahli ekologi untuk menggambarkan bahan pencemar yang masuk dalam suatu ekosistem. Bagian donor (misalnya air laut) menyediakan radionuklida ke bagian penerima (misalnya tulang dan daging ikan) (Pyle dan Clulow 2008). Perbandingan antara konsentrasi aktivitas dalam organisme dan lingkungan perairan didefinisikan sebagai faktor konsentrasi (CF) (Warner dan Harrison 1993). Persamaan linier sederhana CF dihitung dengan rumus (Pyle dan Clulow 2008):
Keterangan:
=
............................................................................... (7)
Rj = konsentrasi radionuklida dalam jaringan Rl = konsentrasi radionuklida di lingkungan Faktor biomagnifikasi (BMF) adalah rasio konsentrasi bahan pencemar pada satu trofik level ke trofik level berikutnya yang dihitung berdasarkan berat lemak (Hall 2002). Faktor konsentrasi biota laut jenis moluska untuk beberapa jenis unsur radioaktif adalah relatif tinggi, yaitu mencapai 200, sedangkan pada ikan 5. Masuknya
radionuklida
alam
primordial
ke
jaringan
mengakibatkan kerusakan gen-gen dalam kromosom.
organisme
akan
Hal ini terjadi karena
adanya perubahan genetik dan deformasi pada kromosom dan menyebabkan kanker atau kelainan fungsi organ (Michael 1994 in Mellawati 2004). Ikan yang menyukai tinggal pada permukaan dasar perairan akan menerima dosis radiasi lebih banyak dibandingkan dengan yang tinggal di permukaan perairan. a. Kerang Evaluasi tingkat radioaktivitas perairan laut tidak hanya didasarkan pada pengukuran secara langsung terhadap komponen-komponen abiotik, tetapi juga
30
pada pengukuran terhadap kelimpahan dan kemampuan menyerap radionuklida dalam organisme perairan tertentu. Bioakumulasi bahan pencemar bersifat isotop oleh jaringan dan organ organisme perairan telah dan terus dipelajari secara luas dan mengantarkan pada adobsi konsep bioindikator untuk memperkirakan kualitas lingkungan (Florou et al. 2004).
Keberhasilan pemanfaatan kerang untuk
monitoring pencemaran laut telah ditunjukkan dalam
U.S. Mussel Watch
Programs di tahun 1970an dan 1980an (Tkalin et al. 1998). Kerang-kerangan dikenal secara luas sebagai organisme bioindikator pencemaran karena dapat mengakumulasi bahan pencemar dalam jaringannya pada elevasi tingkatan yang berhubungan dengan bahan pencemar yang tersedia secara biologi dalam lingkungan perairan. Dengan kata lain, mereka digunakan untuk menunjukkan respon yang cepat terhadap kontaminasi radionuklida yang masuk (penambahan) ke ekosistem (Florou et al. 2004). Bivalvia deposit feeder berhubungan langsung dengan sedimen, dan memiliki kemampuan untuk mengakumulasi bahan pencemar dari interstitial water melalui penyaringan makanan pada sedimen. Faktor konsentrasi dalam kaitan dengan sedimen pada umumnya lebih tinggi untuk makro-invertebrata yang sessile daripada organisme akuatik lain, karena pergerakannya terbatas, sehingga makroinvertebrata sering digunakan sebagai monitoring secara biologi
terhadap
pencemaran logam berat maupun radionuklida (Campbell et al. 1988). Transfer radionuklida dari sedimen ke organisme dan ke manusia merupakan jalur penting dimana radionuklida dapat mencapai manusia. Spesies kerang yang umumnya digunakan untuk monitoring radioaktivitas lingkungan di lokasi sumber radionuklida (PLTU dan fasilitas nuklir) adalah Mytilus edulis (untuk habitat estuari) dan Septifer virgatus (ditemukan di habitat laut terbuka) (Tateda dan Koyanagi 1986). b. Rumput laut Kemampuan rumput laut dalam menyerap radionuklida dengan konsentrasi yang sangat rendah di air laut merupakan alasan sehingga pada awal 1960 digunakan sebagai biomonitor. Rumput laut telah digunakan secara luas sejak program monitoring terhadap buangan radioaktif (Goddard dan Jupp 2001). Algae laut terdistribusi dengan baik di sepanjang pesisir dan dapat dijumpai dalam
31
jumlah yang banyak, sehingga banyak studi yang telah dikerjakan di seluruh dunia untuk mendeskripsikan karakteristik spesies algae untuk kandungan kimia, elemen kelumit, dan radionuklida.
Spesies makrofita (tumbuhan air makro)
merupakan salah satu bioindikator paling tepat untuk menentukan konsentrasi radionuklida dan logam di ekosistem laut dan memainkan peranan utama dalam rantai makanan. Makroalgae tersebut beradaptasi terhadap perubahan kondisi yang berbeda dari habitat dan dapat ditemukan baik itu diwilayah yang bersih maupun terkontaminasi.
Banyak studi tentang pencemaran lingungan yang
menunjukkan penggunaan spesies-spesies makroalgae secara luas untuk memonitor pencemaran laut di berbagai wilayah. Ceramium sp. dan Cystoseira sp. merupakan spesies yang paling banyak dipelajari dan kemampuan mereka dalam mengakumulasi radionuklida dan logam telah diketahui dengan baik juga (Strezov dan Nonova 2009). Manjon et al. (1995) in Goddard dan Jupp (2001) mengukur radioaktivitas di dalam contoh rumput laut dan lamun dari pantai Andalusia di Spanyol. Bhat et al. (1981) in Goddard dan Jupp (2001) menganalisis kandungan radionuklida,
137
Cs,
di rumput laut yang ditemukan di dekat stasiun tenaga nuklir di sepanjang pantai India di Laut Arab. Goddard dan Jupp (2001) mengukur kandungan radionuklida dalam rumput laut dan lamun di sekitar pesisir Oman dan United Arab Emirates. Tabel 7 menunjukkan data rata-rata minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (minimum detectable activity/MDA) berdasarkan rata-rata ukuran sampel 45 gram yang terjadi dari buatan manusia dan alami (dalam Bq/kg berat kering). Sampel yang lebih besar kurang lebih 200 gram menunjukkan nilai MDA yang lebih kecil setengahnya (Goddard dan Jupp 2001). Rumput
laut
mengkonsentrasi
137
hijau/algae
hijau
(green
seaweeds)
diketahui
dapat
Cs lebih dari pada varietas coklat (Manjon et al. 1995 in
Goddard dan Jupp 2001). Hasil penelitian Goddard dan Jupp (2001) menyetujui pernyataan tersebut: rata-rata konsentrasi
137
Cs dalam Chlorophyta adalah 3,3
Bq/kg dan dalam Phaeophyta adalah 1,8 Bq/kg.
Algae hijau B. plumosa
mengakumulasi radionuklida alam tiga kali lebih tinggi daripada contoh algae lain di Laut Hitam, Bulgaria (Strezov dan Nonova 2009).
32
Mekanisme akumulasi 234Th atau 7Be dalam algae berbeda dengan hewan laut. Pada umumnya, pengayaan radionuklida dalam rumput laut dapat berkaitan dengan adsorpsi dan absorpsi, dimana termasuk di dalamnya yaitu penempelan secara fisik (physical attachment) dan adhesi, ionic exchanges oleh alginic acid, atau membran transport secara biologi (biological membrane transport) (Ishikawa et al. 2004).
Tabel 7. Minimum aktivitas yang dapat terdeteksi (MDA) untuk radionuklida yang terjadi dari buatan manusia atau dari alami Radionuklida MDA Radionuklida MDA alam (NORM) buatan (Bq/kg) (Bq/kg) 234 54 Th 40 Mn 1,1 58
Co
1,0
234
Pa
2,2
60
Co
1,9
230
Th
440
65
Zn
3,0
226
Ra
8,0
Zr
1,8
214
Pb
1,9
110m
0,8
214
Bi
2,9
134
Cs
0,7
210
Pb
250
137
Cs
0,7
235
U
0,5
144
Ce
3,1
231
Th
3800
5,1
231
Pa
3300
227
Th
5,1
223
Ra
3,5
219
Rn
5,3
228
Ac
6,6
228
Th
49
224
Ra
20
212
Pb
1,3
212
Bi
1,3
208
Tl
1,5
95
Ag
51
Cr
40
K
13
Sumber: Goddard dan Jupp (2001)
33
2.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Manusia Unsur radionuklida alam 238U dan 232Th dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui beberapa cara, yaitu melalui pernafasan (inhalasi), saluran pencernaan atau mulut (ingesti), injeksi melalui pembuluh darah dan melalui kulit (luka terbuka dan pori-pori kulit). Model asupan (intake), serapan (uptake) dan ekskresi unsur radionuklida dalam tubuh manusia terlihat pada Gambar 7 (O’Brien dan Cooper 1998 in Mellawati 2004; BATAN 2009). Radionuklida yang terdapat dalam tubuh manusia meradiasi jaringan selama jangka waktu yang ditentukan oleh waktu-paruh fisik dan retensi biologis dalam tubuh. Radionuklida thorium masuk ke dalam tubuh umumnya melalui inhalasi (kontaminasi debu) dan ingesti (makanan atau minuman). Ketika masuk melalui ingesti, thorium akan tinggal di dalam tubuh dalam beberapa hari segera di eksresikan melalui fases dan urin. Sejumlah kecil thorium akan masuk ke dalam aliran darah dan dideposisikan dalam tulang, serta tinggal untuk beberapa tahun. Sedangkan untuk uranium, ketika masuk ke dalam tubuh, akan secara cepat melalui aliran darah berasosiasi dengan sel darah merah membentuk kompleks uranil albumin, kompleks uranil hidrogen karbonat (UO2HCO3+) dalam plasma darah (Mellawati 2004). ekshalasi
inhalasi
injeksi
Sistem pernafasan
Jaringan lain DARAH
ingesti
Sistem saluran pencernaan
Sistem urinari
defikasi Gambar 7. Jalur masuk (intake), penyerapan (uptake) dan keluaran (ekskresi) radionuklida alam dalam tubuh manusia
ekskresi
34
Pada umumnya efek paparan radiasi terhadap kesehatan dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) kategori yaitu (BATAN 2009): a. Efek deterministik (reaksi jaringan yang berbahaya) yaitu kerusakan biologis yang segera dapat teramati secara klinis setelah terpapari radiasi dengan dosis di atas dosis ambang. Sebagian besar sel jaringan mengalami kematian atau fungsi sel rusak karena dosis radiasi tinggi.
Induksi reaksi jaringan pada
umumnya ditandai dengan adanya dosis ambang. Alasan ditetapkannya dosis ambang adalah bahwa kerusakan radiasi (gangguan fungsi yang serius atau kematian sel) suatu populasi kritis sel pada suatu jaringan perlu dipertahankan sebelum terlanjur jaringan tersebut cedera atau rusak. Di atas dosis ambang akan terjadi cedera atau kerusakan jaringan. Semakin besar dosis radiasi semakin meningkat terjadinya keparahan pada jaringan dan daya pemulihan jaringanpun akan terganggu. Menurut ICRP (1990) in Mellawati (2004) guna pencegahan efek deterministik pada manusia, maka batasan dosis ekivalen terikat (integral waktu 50 tahun) ≤0,5 Sv untuk semua jaringan kecuali lensa mata, dan ≤0,15 Sv untuk lensa mata. Contoh efek deterministik antara lain kerusakan kulit, eritema, epilepsi, katarak dan kemandulan. b. Efek stokastik, yaitu kerusakan biologis yang sukar teramati secara klinis, karena efeknya terlihat setelah beberapa tahun atau jangka waktu yang cukup lama. Efek ini munculnya tidak memerlukan dosis ambang. Contohnya yaitu berupa pengembangan kanker pada individu yang terpapari karena mutasi sel somatik atau penyakit keturunan pada keturunan individu yang terpapari karena mutasi sel reproduktif. Kerusakan pada materi inti sel, khususnya pada DNA dan kromosom meneyebabkan peluang terbentuknya kanker.
Studi
eksperimen dan epidemologi memberikan fakta adanya risiko radiasi sekalipun dengan ketidakpastian pada dosis sekitar 100 mSv atau kurang untuk kasus kanker. Sejak tahun 1990 fakta akumulasi menunjukkan bahwa frekuensi penyakit non-kanker meningkat pada beberapa populasi yang terpapar radiasi.
Studi
induksi efek non-kanker pada dosis efektif dalam orde 1 Sv yang diturunkan dari analisis mortalitas terkini survivor bom atom Jepang setelah tahun 1968 memperkuat bukti statistik mengenai hubungan antara dosis dengan terutama
35
penyakit jantung, stroke, gangguan pencernaan dan penyakit pernafasan. ICRP meninjau data korban bom atom mengenai induksi keterbelakangan mental yang berat setelah terpapari radiasi pada periode pra-kelahiran paling sensitif (8-15 minggu setelah pembuahan) mendukung dosis ambang paling tidak 300 mGy (BATAN 2009).
36
3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Juni sampai November 2010.
Waktu
pengambilan contoh (air, padatan tersuspensi, sedimen, rumput laut, ikan teri dan kerang) adalah bulan Juni–Juli 2010 (periode musim Timur). Lokasi pengambilan contoh dilakukan di perairan Pulau Panjang sekitar kawasan PLTU Suralaya, Cilegon, Banten. Tiga titik stasiun lokasi pengamatan berjarak kurang lebih 12 km sebelah timur kawasan PLTU-batubara Suralaya. Satu titik stasiun sebagai pembanding berada di lokasi yang diperkirakan terkontaminasi radionuklida alam dalam jumlah yang lebih kecil yaitu di daerah perairan Teluk Lada, Labuan, Banten yang berjarak kurang lebih 51 km sebelah selatan kawasan PLTUbatubara Suralaya dan 12 km dari PLTU-batubara Labuan. Posisi geografis lokasi pengambilan contoh ditentukan menggunakan global positioning system (GPS) kemudian diplotkan ke dalam peta. Data pada peta penelitian berdasarkan pada citra satelit Landsat TM-7 tahun 2003. Pengolahan peta menggunakan software ArcView 3.3 seperti diperlihatkan pada Gambar 8 dan Lampiran 4. Preparasi contoh dan pengukuran kandungan radionuklida alam (238U dan 232
Th) dalam contoh dilakukan di Laboratorium Instrumentasi Bidang Sumber
Daya Alam dan Lingkungan, Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN, Pasar Jumat, Jakarta.
Proses aktivasi neutron (iradiasi) contoh dan standar
menggunakan reaktor GA Siwabessy BATAN, Puspiptek, Serpong, Tanggerang, Banten.
Pengukuran parameter total suspended solid (TSS) dan identifikasi
spesies kerang dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), FPIK-IPB.
Bahan
organik total (TOM) sedimen dan analisis ukuran butiran sedimen dilakukan di Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB. Identifikasi spesies ikan teri dilakukan di Laboratorium Ikhtiologi, MSP, FPIKIPB, sedangkan jenis rumput laut ditentukan berdasarkan buku pengenalan jenisjenis rumput laut Indonesia (Atmadja et al. 1996).
37
St. 1 : 106o08’16,7” E; 5o56’24,7” S St. 2 : 106o08’14,5” E; 5o55’18,1” S St. 3 : 106o10’12,8” E; 5o56’09,2” S
Gambar 8. Peta lokasi penelitian
37
38
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian meliputi peralatan sampling di lapangan, peralatan persiapan contoh di laboratorium, dan peralatan pengukuran atau instrumentasi di laboratorium pengukuran. Peralatan sampling di lapangan terdiri dari global positioning system (GPS), alat sampling sedimen (Geological Grabs), alat sampling air (Van Dorn), alat sampling kerang (Ekman Grabs), alat pengukur pH, suhu, salinitas dan oksigen terlarut/DO (water checker dari Horiba), cool box, beberapa botol polietilen volume 5 dan 1 liter sebagai tempat menampung air dan contoh sedimen, kantong plastik sebagai wadah contoh kerang, ikan teri dan rumput laut. Peralatan preparasi/persiapan contoh di laboratorium terdiri dari oven, timbangan analitik Sartorius (ketelitian: 0,0001 gram), pH-meter, mortar, saringan/ayakan (diameter pori: 1 mm), tanur/furnace, seperangkat vacump pump, kompor elektrik dan beberapa alat gelas (gelas piala dan cawan porselin). Sebelum digunakan untuk mengambil dan memproses contoh, semua peralatan gelas dicuci dengan larutan bikromat, asam sulfat, dan akuades (Hutagalung dan Setiapermana 1994). Instrumentasi analisis contoh yaitu fasilitas iradiasi reaktor GA. Siwabessy, Serpong untuk pelaksanaan aktivasi neutron, spektrometer gamma untuk identifikasi dan mengukur
238
U dan
232
Th, yang terdiri dari perangkat
Spektrometer sinar gamma dilengkapi dengan detektor Germanium resolusi tinggi (HPGe, tipe koaxial, P/C=40, resolusi = 1,9 keV pada Eγ= 1173,5 keV dari 60Co) dan perangkat lunak baik untuk akuisisi data maupun untuk analisis spektrum yaitu GENIE-2000. 3.2.2 Bahan Bahan penelitian berupa contoh air, sedimen, padatan tersuspensi, tumbuhan (rumput laut) dan biota laut (kerang dan ikan teri) yang disampling dari perairan Pulau Panjang, Banten dan lokasi pembanding (pesisir Teluk Lada, Banten). Bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis meliputi standar acuan yang mengandung
238
U dan
232
Th dari IAEA (Standar IAEA 312, Standar IAEA 405
39
dan Standar IAEA Soil 7), HNO3, N2 cair, air bebas mineral dan formalin 10%. Bahan-bahan penunjang yang digunakan seperti kantong plastik, plastik polietilen, aluminium foil, kapsul untuk irradiasi (bahan PVC), kontainer sampel setelah diirradiasi (bahan Pb), kertas label, kertas saring (diameter pori: 0,45 µm) dan buku acuan sebagai kunci identifikasi. 3.3 Komponen dan Parameter Lingkungan yang Diukur Penentuan lokasi pengambilan contoh didasarkan atas pendekatan konseptual dengan melihat kemungkinan lokasi yang diperkirakan terkena pengaruh radionuklida alam serta didasarkan pada tersedianya potensi sumber daya alam di sekitarnya (ikan teri, kerang dan rumput laut).
Pemeriksaan contoh air laut
meliputi komponen fisika dan kimia, yaitu pH (keasaman), salinitas, suhu, oksigen terlarut (DO), padatan tersuspensi total (TSS).
Data sekunder yang
diperlukan yaitu arah dan kecepatan angin dan curah hujan di lingkungan kawasan kajian. Selain itu juga dilakukan wawancara terhadap penduduk yang tinggal di Desa Peres, Pulau Panjang, Banten tentang pola konsumsi kerang dan ikan teri dari sekitar perairan Pulau Panjang terhadap beberapa. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh data sebagai penduga dosis interna melalui konsumsi kerang dan ikan teri. Komponen parameter lingkungan, satuan dan metode pengumpulan serta pengukurannya ditampilkan pada Tabel 8. Pengukuran suhu, salinitas, DO dan pH air laut dilakukan dengan menggunakan water quality checker secara langsung di lokasi (in situ), sedangkan TSS dianalisis di laboratorium menurut metode dalam APHA (2005) (Lampiran 1). Pengukuran bahan organik total dalam sedimen dinyatakan dengan persentase lost on ignition (%LOI) dan dianalisis menurut metode dalam APHA (1992) yaitu dengan pembakaran contoh sedimen pada suhu 500 oC selama 4 jam (Lampiran 2).
Ukuran butiran sedimen/tekstur sedimen dianalisis menggunakan metode
pemipetan menurut Eleftheriou dan McIntyre (2005) (Lampiran 3). Data persentase pasir, lanau dan lempung diproyeksikan ke dalam diagram Shepard (1954) untuk menentukan/penamaan jenis sedimen.
40
Tabel 8. Komponen lingkungan, parameter, satuan dan metode pengukuran. Komponen Parameter Metode lingkungan lingkungan Satuan pengukuran Fisika - kimia air Salinitas ‰ Water checker pH Water checker
Fisik - kimia sedimen NORM
Suhu DO TSS Bahan organik Tekstur sedimen
o
C mg/l mg/l % %
Water checker Water checker Gravimetri %LOI Pemipetan
238
Bq/l (contoh air) Bq/kg (contoh sedimen, biota, dan tumbuhan laut) Sv/tahun derajat m/s mm m/s m
Neutron Activation Analysis (NAA) Wawancara Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder Data sekunder
U dan 232Th
Paparan radiasi interna Proporsi Meteorologi Arah angin Kecepatan angin Iklim Curah hujan Oseanografi Kecepatan arus Pasang surut
3.4 Teknik Pengambilan dan Preparasi Contoh 3.4.1 Air laut Pengambilan contoh air laut menggunakan Van Dorn, dilakukan pencampuran vertikal (dekat permukaan dan dekat dasar) kemudian ditampung ke dalam beberapa botol polietilen 5 liter dan diberi label.
Tiap stasiun pengamatan
dilakukan pengambilan air laut sebanyak 10 liter air laut yaitu 5 liter untuk analisis total 238U dan 232Th dan 5 liter untuk analisis 238U dan 232Th terlarut. Analisis total
238
U dan
232
Th dalam air laut langsung ditambahkan beberapa
tetes HNO3 (±1 N) sampai pH ±2 di lapangan.
Sampel air laut kemudian
dimasukkan ke dalam cool box. Air laut untuk analisis
238
U dan
232
Th terlarut
dipreparasi di laboratorium. Contoh mula-mula disaring menggunakan kertas saring (ukuran pori 0,45 µm) untuk menyaring padatan tersuspensi (dianalisis lebih lanjut untuk mengukur TSS), kemudian air laut yang telah disaring ditambahkan beberapa tetes HNO3 (±1 N) sampai pH ±2.
41
Air laut yang telah disaring maupun yang tidak disaring diuapkan menggunakan kompor elektrik dari volume 5 L hingga diperoleh residu kering (garam). Residu kering (garam) dari contoh air diabukan menggunakan tanur pada suhu ±500 oC selama 4 jam. Abu kemudian dimasukkan ke dalam kantong polietilen, kemudian dibungkus aluminium foil dan dimasukkan ke dalam kapsul irradiasi serta siap diaktivasi di reaktor menggunakan neutron (IAEA 1989; Hutagalung dan Setiapermana 1994). 3.4.2 Sedimen Sebanyak ±1 kg permukaan sedimen (±2 cm) diambil menggunakan Geological Grabs dari tiap satsiun, selanjutnya contoh dimasukkan ke dalam wadah polyetilen. Di laboratorium, sampel sedimen dibersihkan dari pengotornya, kemudian sedimen bobot basah dipindahkan ke dalam gelas piala untuk dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC, hingga kering dan bobot tetap (±24 jam). Setelah kering sampel sedimen digerus halus dan diayak hingga berukuran 2 mm serta ditimbang sebanyak ±0,2 mg dan dimasukkan ke dalam kantong polietilen. Kantong polietilen kemudian dibungkus aluminium foil, lalu dimasukkan ke dalam kapsul irradiasi dan dipersiapkan untuk aktivasi neutron di reaktor (IAEA 1989). 3.4.3 Padatan tersuspensi Pengukuran konsentrasi radionukilda alam
238
U dan
232
Th pada partikel
tersuspensi dapat menggambarkan fatenya di akuatik. Konsentrasi radionukilda alam 238U dan 232Th pada partikel tersuspensi ditentukan berdasarkan perhitungan matematik yaitu mengurangi konsentrasi 238U dan 232Th total dalam air laut (Bq/l) dengan konsentrasi
238
U dan
232
Th terlarut (Bq/l). Kapasitas adsorpsi (KA)
238
U
dan 232Th dalam perairan diukur dengan persamaan (Chester 1990):
Keterangan: ES El
(%) =
× 100% .................................................. (8)
= Elemen kimia teradsorpsi partikel (Bq/l) = Elemen kimia terlarut (Bq/l)
42
3.4.4 Biota (kerang dan ikan teri) Pengambilan contoh kerang (organisme bentik) dilakukan menggunakan Ekman Grab dengan bukaan mulut 20×20 cm2 (400 cm2) akan tetapi untuk perairan yang relatif dangkal dilakukan hand sorting. Contoh ikan teri diperoleh dari bagan tancap maupun hasil tangkapan nelayan dari sekitar perairan Pulau Panjang, Banten. Contoh kerang dan ikan teri dimasukkan dalam kantong plastik dan cool box. Dilakukan uji determinasi untuk identifikasi jenis (spesies) di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) dan Laboratorium Ikhtiologi, Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan (MSP), FPIK-IPB, Bogor. Di laboratorium, contoh kerang dipisahkan daging dari cangkangnya, kemudian bersama contoh ikan teri dicuci di bawah air keran dan dibilas dengan akuades. Keringkan dalam oven pada suhu ±80 oC hingga bobot konstan (±24 jam). Contoh kering kemudian dihaluskan hingga lolos ayakan dengan diameter lubang 2 mm. Selanjutnya, sebanyak ±0,2 mg dimasukkan ke dalam kantong polietilen. Kantong polietilen kemudian dibungkus aluminium foil, lalu dimasukkan ke dalam kapsul irradiasi dan dipersiapkan untuk aktivasi neutron di reaktor (IAEA 1989). 3.4.5 Tumbuhan (rumput laut) Contoh rumput laut diambil dari tempat pembudidayaan rumput laut maupun yang tumbuh alami di perairan Pulau Panjang dan Teluk Lada, Banten, kemudian dikumpulkan dalam wadah kantong plastik dan segera disimpan dalam cool box untuk dibawa ke laboratorium. Dilaboratorium, contoh dicuci dengan air keran, lalu dibilas dengan aquabidest.
Dilakukan identifikasi kualitatif untuk
mengetahui jenisnya. Selanjutnya, dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 80-100 oC hingga bobot konstan (±24 jam). Contoh kering kemudian dihaluskan hingga lolos ayakan dengan diameter lubang 2 mm. Sebanyak ±0,2 mg dan dimasukkan ke dalam plastik polietilen.
Plastik polietilen kemudian
dibungkus aluminium foil, lalu dimasukkan ke dalam kapsul irradiasi dan siap diaktivasi di reaktor menggunakan netron (IAEA 1989).
43
3.5 Pengukuran Radionuklida Alam 238U dan 232Th Pengukuran
238
U dan
232
Th dalam contoh air, sedimen, padatan tersuspensi,
biota (kerang dan ikan teri), dan tumbuhan rumput laut dilakukan dengan metode analisis aktivasi neutron. Analisis Aktivasi Neutron (AAN) adalah salah satu teknik nuklir yang digunakan untuk mengkuantifikasi unsur-unsur kimia yang terkandung dalam suatu materi. Teknik ini didasarkan pada reaksi penangkapan neutron termal oleh inti atom yang terkandung dalam materi uji. Reaksi inti ini berlangsung di fasiltas iradiasi yang menyediakan sumber neutron. Hasil interaksi tersebut menghasilkan spesi atom baru yang kelebihan satu buah neutron dan dalam keadaan tidak stabil. Untuk mencapai ke keadaan stabil, spesi tidak stabil tersebut melepaskan partikel beta yang umumnya diikuti oleh emisi sinar gamma. Sinar gamma yang diemisikan adalah bersifat khas untuk setiap radionuklida, dan umumnya akan membentuk suatu spektrum yang disebut sebagai spektrum gamma. Dengan menggunakan detektor HPGe resolusi tinggi, spektrum yang terbentuk dapat dipilah dan radionuklida yang terkandung dalam materi dapat diidentifikasi dan selanjutnya dikuantifikasi (Nuclear Healt Center-BATAN 2008). 3.5.1 Proses aktivasi Contoh bersama-sama standar diaktivasi dengan neutron termal fluks 1013 n/cm2/detik, selama 30 menit di reaktor nuklir G.A. Siwabessy Serpong, Gedung Reaktor Serba Guna, Puspitek, Serpong. Kemudian, contoh didiamkan dalam wadahnya selama 7–10 hari dan selanjutnya dipersapkan untuk pengukuran (pencacahan) menggunakan detektor Spektrometer Gamma. 3.5.2 Proses pengukuran Pengukuran radionuklida U dan Th berdasarkan reaksi (Fergusson 1982): β
+
+
(23,5 menit)
.................. (9)
(2,3 hari)
atau 238U(n,γ)239Np β
ℎ+
ℎ
(22 menit)
+ (27 hari)
.................. (10)
44
Radionuklida alam
238
U teridentifikasi sebagai
239
Np pada energi gamma
karakteristiknya, yaitu 106,12, 228,18 dan 277,60 keV. Radionuklida alam 232Th teridentifikasi sebagai
233
Pa pada energi gamma 300,18 dan 312,01 keV (IAEA
1990). Pengukuran
238
U dan
232
Th sebagai
239
Np dan
233
Pa dilakukan menggunakan
perangkat Spektrometer Gamma yang dilengkapi dengan detektor semikonduktor HPGe (High Pure Germanium), alat analisis saluran ganda (Multi Channel analyzer) yang mempunyai 4096 salur dan perangkat lunak GENIE-2000 untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Sebelum dilakukan pengukuran, instrumen spektrometer gamma dikalibrasi terlebih dahulu, sehingga diperoleh kalibrasi energi. Kalibrasi energi dimaksudkan untuk analisis kualitatif guna mengetahui jenis radionuklida alam yang terdapat dalam contoh. digunakan sumber standar
152
Pada kalibrasi energi
Eu yang berupa unsur radioaktif multi energi, karena
mempunyai besaran energi rendah hingga tinggi. Hasil pengukuran berupa nomor salur dibuat kurva kalibrasi energi untuk masing-masing besaran energi gammanya, sehingga nomor salur berupa fungsi dari energi (keV). Kurva yang diperoleh tersebut dapat digunakan untuk identifikasi jenis unsur radioaktif alamiah yang terdapat dalam contoh.
3.6 Analisis Data 3.6.1 Analisis parameter fisik dan kimia air serta sedimen perairan pesisir Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisik dan kimia air, yaitu pH, suhu, salinitas, DO dan TSS, maka dapat dibuat sebarannya pada musim Timur. Berdasarkan hasil pengukuran kadar bahan organik total (TOM) dan ukuran butiran sedimen dapat diidentifikasi pola sebaran TOM maupun jenis sedimennya pada musim Timur. Pola sebaran masing-masing parameter tersebut serta datadata sekunder tambahan akan dibahas lebih lanjut untuk mengetahui fenomena yang terjadi di kawasan kajian.
45
3.6.2 Faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada biota dan tumbuhan perairan pesisir Berdasarkan data aktivitas spesifik 238U dan 232Th yang terdeteksi dalam biota (kerang dan ikan teri) dan tumbuhan (rumput laut), maka dapat dihitung faktor konsentrasi (FK)
238
232
U dan
Th. Nilai faktor konsentrasi adalah rasio antara
kadar radionuklida dalam organisme (biota atau tumbuhan) dengan radionuklida dalam media (air atau sedimen) perairan.
Faktor konsentrasi organisme
menggambarkan kemampuan organisme (biota atau tumbuhan) mengambil dan mengakumulasi radionuklida dari massa air atau sedimen oleh jaringan organisme seperti insang atau jaringan epitel dan jaringan tumbuhan (Swanson 1983 in Mellawati 2004; Connel dan Miller 1995). Faktor konsentrasi biota tergantung pada umur biota tersebut, ada kecenderungan nilai faktor konsentrasi biota umur muda berbeda dengan biota umur tua. 3.6.3 Prakiraan dosis interna yang diterima penduduk melaui konsumsi ikan teri dan kerang laut Prakiraan dosis interna yang diterima penduduk melalui konsumsi kerang laut dapat diperoleh berdasarkan perhitungan dosis efektif terikat, menggunakan rumus berikut (IAEA 1999): = ∑ ∑ ∫
Keterangan:
( ).
( ) .ℎ
............................................................. (11)
= Dosis efektif terikat (Sv) untuk kelompok umur A ( ) = Aktivitas spesifik rata-rata radionuklida alam j (Bq/kg) dalam contoh hasil laut jenis f selama waktu t
T
= Lamanya (hari) mengkonsumsi hasil laut terkontaminasi radionuklida alam ( ) = Massa mengkonsumsi hasil laut jenis f per hari untuk kelompok umur A (kg/hari)
ℎ
= Koefisien dosis masuk melalui ingesti (Sv/Bq) dari unsur radionuklida jenis f untuk kelompok umur A
46
Aktivitas spesifik radionuklida alam (Bq/kg atau Bq/l), adalah aktivitas total individual dari radionuklida alam yang terdeteksi. tersebut
Nilai dosis efektif terikat
merupakan dosis interna, dan bersama dosis eksternal dapat
meningkatkan dosis maksimum yang diterima masyarakat. Perhitungan dosis efektif terikat (Sv/tahun) juga dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan:
(
⁄ ℎ
)=
×
×
....................................... (12)
I
= Massa intake (kg/tahun)
As
= Aktivitas spesifik radionuklida primordial (Bq/kg)
FKD = Faktor Koefisien Dosis dari masing-masing zat radioaktif (Sv/Bq)
47
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Kondisi Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis, administratif dan topografi Pulau Panjang, Banten Pulau Panjang merupakan salah satu pulau yang terletak di Teluk Banten yang secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Propisi Banten.
Pulau Panjang berada pada koordinat
6o25’18”-6o28’12” LS dan 106o22’9”-106o25’36” BT. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara, sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Banten dan sebelah timur berbatasan dengan Pulau Pamujan Besar dan Pamujan Kecil (Arfando 2008). Pulau Panjang memiliki luas wilayah sekitar ±820 Ha dan merupakan pulau terbesar di perairan Teluk Banten bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, seperti Pulau Semut, Gugusan Pulau Lima, Pulau Gedang, Pulau Kubur, Pulau Pamujan Besar dan Pamujan Kecil, Pulau Tarahan, dan Pulau Kali yang rata-rata tidak berpenduduk (Arfando 2008). Terdapat 5 kampung (dusun) yaitu Peres, Kebalen, Kampung Baru, Sukarela, Sukadiri, Penenganan dan Pasir Putih. Panjang keliling Pulau Panjang kurang lebih 10 km dan 65% diantaranya ditumbuhi oleh hutang mangrove.
Persebaran mangrove terdapat hampir di
seluruh wilayah pantai, yaitu pantai barat-timur, dan sedikit di pantai bagian utara (Arfando 2008).
Jenis mangrove yang tumbuh di Pulau Panjang adalah
Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Soneratia alba, Bruguira gymnorhiza, Aviciena alba, Lumnitzera racemosa dan Aegiceras floridum (Lestarina 2011). Topografi Pulau Panjang sebagian besar merupakan dataran rendah dengan tingkat kelerengan antara 0-15% dan ketinggian yang hampir sejajar dengan permukaan laut yaitu 0-2 meter di atas permukaan laut (Lampiran 5). 4.1.2 Kondisi perairan (potensi, kedalaman, pasang surut dan arus) Perairan Teluk Banten dengan kedalaman berkisar antara 5 sampai 13 meter dimanfaatkan bagi kegiatan perikanan tangkap oleh sekitar 28.660 jiwa (Resmiati at al. 2002). Perairan Pulau Panjang memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan bagi kegiatan perikanan, mulai dari kegiatan perikanan tangkap, budidaya sampai pada pengolahan hasil perikanan.
Salah satu komoditas
48
perikanan tangkap utama yang dihasilkan adalah ikan teri.
Ikan teri yang
dihasilkan di perairan Pulau Panjang memiliki kualitas ekspor. Selain itu, dengan kondisi perairan yang memiliki terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove yang cukup baik, perairan Pulau Panjang memiliki komoditas perikanan yang lengkap. Perairan Pulau Panjang sering digunakan sebagai lokasi pemancingan. Sementara itu, potensi budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya rumput laut. Rumput laut dari perairan Pulau Panjang telah dikenal baik tidak hanya di wilayah Banten tetapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia (Saifullah 2010). Gerakan pasang surut di perairan Pulau Panjang, Banten diprediksi berdasarkan data elevasi muka laut selama 15 hari (16-30 Juni 2010) yang diterbitkan oleh Dishidros (Dinas Hidro-Oseanografi) TNI-AL di stasiun pengamatan Suralaya (stasiun terdekat dengan perairan Pulau Panjang) (Lampiran 6). Berdasarkan perhitungan, lokasi studi perairan Suralaya memiliki nilai bilangan Fromzahl (F) sebesar 1,01 (Lampiran 7).
Menurut kriteria courtier
range perairan tersebut memiliki karakteristik pasut bertipe campuran dengan tipe campuran condong ke harian ganda (mixed tide preavailing semidiurnal) (Gambar 9). Tipe pasut ini memiliki arti yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut selama 24 jam atau massa air akan bergerak menuju pasang selama 6 jam dan akan berbalik pada 6 jam kemudian. Nilai tunggang pasut (tidal range) harian berkisar antara 10-70 cm. 120
Elevasi (cm)
100
80
60
40
20
Tinggi Pasut 2-Jul-10
1-Jul-10
30-Jun-10
29-Jun-10
28-Jun-10
27-Jun-10
26-Jun-10
25-Jun-10
24-Jun-10
23-Jun-10
22-Jun-10
21-Jun-10
20-Jun-10
19-Jun-10
18-Jun-10
17-Jun-10
16-Jun-10
15-Jun-10
0
Waktu Gambar 9. Grafik pasang surut (cm) di perairan Pulau Panjang , Banten, Juni 2010
49
Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan tiap bulan di Utara dan Barat Pulau Jawa diperoleh dari hasil analisis data arus permukaan yang bersumber dari Japan Oceanographic Data Center (JODC).
JODC memperoleh data yang
diobservasi oleh Japan Guard Coast, Badan Meteorologi, Dinas Perikanan dan organisasi lainnya termasuk Badan Pertahanan, Lembaga Pemerintah Daerah, universitas, dan industri swasta di Jepang. JODC juga memperoleh data melalui data oseanografi internasional dan sistem pertukaran informasi (IODE). Data-data tersebut mencakup wilayah geografi seluruh dunia dan periode waktu 1854-2010. Gambar 10 menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan bulanan di Utara dan Barat Pulau Jawa yang dikelompokkan berdasarkan musim di Indonesia, yaitu a) musim barat, b) musim peralihan 1, c) musim timur dan d) musim peralihan 2. Pola sebaran arah arus permukaan dipengaruhi oleh pola sebaran arah dan kecepatan angin. Gambar 10a menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim barat (Desember-Februari). Secara umum, arus di Utara dan Barat Pulau Jawa bergerak relatif seragam menuju Timur.
Arus bergerak dengan
kecepatan relatif tinggi pada perairan Utara Jawa. Gambar 10b menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim peralihan 1 (Maret-Mei). Arus di Utara dan Barat Pulau Jawa bergerak tidak teratur, pada bulan Maret menuju Timur dengan kecepatan lebih rendah dari bulan sebelumnya dan kemudian bergerak ke arah sebaliknya menuju Barat pada bulan Mei dengan kecepatan yang rendah di Utara Jawa dan meninggi di Barat Jawa. Gambar 10c menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim timur (Juni-Agustus). Secara umum, arus di Utara dan Barat Pulau Jawa bergerak relatif seragam menuju Barat. Arus bergerak dengan kecepatan relatif tinggi pada perairan Utara dan Barat Jawa pada awal musim (Juni) dan melemah (khususnya di Utara Jawa) pada akhir (Agustus). Gambar 10b menunjukkan pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan pada musim peralihan 2 (SeptemberNovember).
Arus bergerak tidak teratur, pada bulan September arus menuju
Barat baik di Utara maupun Barat Pulau Jawa, kemudian pada bulan Oktober arah arus berubah menuju Timur di bagian Utara Jawa dan arus secara seragam
50
bergerak menuju Timur baik di Utara maupun Barat Pulau Jawa dengan kecepatan yang lebih tinggi dari bulan sebelumnya. Arus berperan dalam distribusi radionuklida alam yang jatuh ke permukaan perairan melalui fall out dari atmosfer maupun dari air hujan yang mencuci tempat pembuangan abu milik PLTU-batubara yang kemudian mengalir menuju perairan pesisir. Berdasarkan pola pergerakan arus (Gambar 10) perairan Pulau Panjang, Banten memiliki peluang terdistribusi radionuklida alam hasil aktivitas PLTU Suralaya pada musim barat dan akhir musim peralihan 2.
Desember
Januari
-5
Februari -5
-5
P. Sumatera
-5.2
-5.2
-5.4
-5.4
-5.6
-5.6
-5.8
-5.8
P. S umatera
P. Sumatera -5.4
-5.6
-6
-5.8
L in ta ng
Lintang
Lintan g
-5.2
-6
-6
-6.2
-6.2
-6.2 -6.4
P. Jawa
-6.4
-6.4
P. Ja wa
P. Jawa -6.6
-6.6
-6.6
-6.8
-6.8
-6.8
-7 105
105.2
105.4
105.6
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
-7 105
107
-7 105 105.2
105.4
105.6
105.8
Bujur
106.2
106.4
106.6
106.8
105.2
105.4
105.6
105.8
107
106.2
106.4
106.6
106.8
107
Sumber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
Kecepatan Arus
Sumber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
Kecepatan Arus: 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
106
Bu ju r
Bujur
Sumber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
106
0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
a) Musim barat Maret
April -5
-5
-5.2
-5
-5.2
P. Sumatera
-5.2
P. Sumatera
-5.4
-5.6
-5.6
-5.6
-5.8
-5.8
-5.8
-6
Lintang
-5.4
-5.4
Lintang
Lintang
Mei
-6
-6.2
-6.2
-6
-6.2
-6.4
-6.4
-6.4
P. Jawa
P. Jawa
P. Jawa
-6.6
-6.6
-6.6
-6.8
-6.8
-6.8
-7 105
105.2
105.4
105.6
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
107
-7 105
105.2
105.4
Kecepatan Arus
Sumber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
b) Musim peralihan 1
105.6
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
107
-7 105
105.2
105.4
Bujur
Bujur
0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
P. Sumatera
Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
Su mbe r: Diolah dari J apan Oceano grap hic Data Center
105.6
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
Bujur Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
Sumber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
107
51
Juni
Agustus
Juli -5
-5
P. Sumatera
-5.2
-5
-5.2
P. Sumatera
-5.6
-5.8
-5.8
-5.8
-6
Lintang
-5.4
-5.6
Lintang
-5.4
-5.6
Lintang
-5.4
-6
-6.2
-6.2
-6
-6.2
-6.4
-6.4
P. Jawa
-6.4
P. Jawa
-6.6
-6.6
-6.6
-6.8
-6.8
-6.8
-7 105
105.2
105.4
105.6
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
-7 105
107
105.2
105.4
105.6
105.8
Sum ber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
106
106.2
106.4
106.6
106.8
P. Jawa
-7 105
107
105.2
105.4
105.6
105.8
Bujur
Bujur Kecepatan Arus
P. Sumatera
-5.2
0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
106
106.2
106.4
106.6
106.8
107
Bujur
Sum ber: Diolah d ari J apan Oc eanographic Data Center
Kecepatan Arus
Sum b er: Diolah da ri Ja pan Oc eano graph ic Da ta Ce nter
RKecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
c) Musim timur September
Oktober
-5
P. Sumatera
-5.2
-5
P. Sumatera
P. Sumatera
-5.2
-5.2
-5.4
-5.4
-5.6
-5.6
-5.6
-5.8
-5.8
-5.8
-6
Lintang
-5.4
Lintang
Lintang
November
-5
-6
-6.2
-6.2
-6.4
-6.4
-6
-6.2
P. Jawa
-6.6
-6.6
-6.6
-6.8
-6.8
-6.8
-7 105
105.2
105.4
105.6
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
107
-7 105
105.2
105.4
Kecepatan Arus
Sumber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
107
-7 105
105.2
105.4
Bujur
Bujur
0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
105.6
P. Jawa
-6.4
P. Jawa
Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
Su m be r: Dio la h da ri J apa n Oce an ograp hic Da ta C ente r
105.6
105.8
106
106.2
106.4
106.6
106.8
Bujur Kecepatan Arus 0.1 m/s 0.5 m/s 1 m/s 1.5 m/s
Sumber: Diolah dari Japan Oceanographic Data Center
d) Musim peralihan 2 Gambar 10. Pola sebaran arah dan kecepatan arus permukaan (m/s) di Utara dan Barat Pulau Jawa berdasarkan penggolongan musim di Indonesia (a. musim barat, b. musim peralihan 1, c. musim timur dan d. musim peralihan 2) 4.1.3 Klimatologi (curah hujan, arah dan kecepatan angin) Kondisi curah hujan bulanan dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di darerah Kabupaten Serang disajikan pada Gambar 11 dan Lampiran 10. Curah hujan berkisar antara 20,4 mm (bulan Agustus) dan 258 mm (bulan Februari). Curah hujan pada Musim Barat (Desember-Februari) relatif tinggi dan sebaliknya pada Musim Timur (Juni-Agustus) relatif rendah. Salah satu cara polutan dapat
107
52
masuk ke perairan laut yaitu melalui air hujan (wet fallout) yang mencuci debudebu di atmosfer kemudian dipresipitasikan ke permukaan air laut. Debu-debu tersebut dapat mengandung berbagai jenis radionuklida alam primordial dan logam berat, yang bersal dari aktivitas PLTU-batubara melalui emisi abu terbangnya (fly ash).
Air hujan juga dapat mengencerkan konsentrasi
radionuklida alam yang terkandung dalam perairan laut. waktu sampling
300
Curah hujan (mm)
250
200
150
100
50
0 Jan
F eb
M rt
A p rl
M ei
J un
Jul
A gst
S ept
O kt
N ov
D es
B u la n
Sumber: Badan Meteorolgi dan Geofisika, Jakarta Gambar 11. Curah hujan bulanan (mm) dari rata-rata data 3 tahun (2004-2006) di daererah Kabupaten Serang, Banten
Data kecepatan angin yang terdiri atas komponen timur-barat (zonal) dan komponen utara-selatan (meridional) pada ketinggian 10 m di atas permukaan laut bersumber dari ECMWF (European Centre for Medium Range Forecast) dan QuickSAT. Data angin 1 jaman dari Januari 2000-Desember 2009 (10 tahun) dengan resolusi spasial 1,5°x1,5° dalam format NetCDF dari ECMWF pada posisi geografis pengamatan 106,5o BT dan 6o LS dianalisis untuk memperoleh gambaran persentase arah dan kecepatan angin pada tiap periode musim di Indonesia (diagram mawar angin/windrose). Data angin bulanan pada tahun 2010 dari QuickSAT dianalisis untuk menggambarkan pola sebaran arah dan kecepatan angin tiap bulan di Utara dan Barat Pulau Jawa. Diagram mawar angin digunakan untuk menunjukkan arah tujuan dan kecepatan angin yang dikelompokkan berdasarkan skala beaufort.
Indonesia
memiliki dua musim dalam satu tahun, yaitu musim barat dan musim timur yang diselingi oleh musim pancaroba atau peralihan, oleh karena itu arah dan kecepatan
53
angin akan berubah pada tiap musimnya. Arah dan kecepatan angin tersebut dapat menggambarkan distribusi emisi gas dan debu dari aktivitas PLTUbatubara. Musim barat terjadi sekitar bulan Desember sampai Februari.
Angin di
perairan Barat dan Utara Jawa selama musim barat bertiup relatif seragam menuju timur (angin muson barat).
Angin bertiup dengan kecepatan relatif tinggi
terutama pada Bulan Februari 2010 (Gambar 12a). Kecepatan angin berkisar antara 0,5– ≥11,1 m/s didominasi pada kisaran 3,6–5,7 m/s yang mencapai 39,7%. Arah datang angin bervariasi namun arah barat mendominasi wilayah studi dengan persentase kejadian sekitar 35%, diikuti dari arah barat laut (sekitar 25%) dan dari barat daya (sekitar 23%) (Gambar 12b). Desember
Januari
(a)
(a)
Februari
(a)
(b)
Gambar 12. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim barat berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim barat di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten.
54
Musim peralihan dari musim barat ke musim timur (pancaroba I) terjadi pada bulan Maret sampai Mei. Pola sebaran angin di perairan Barat dan Utara Jawa pada musim ini berubah-ubah. Pada bulan Maret angin masih bertiup ke arah Timur akan tetapi dengan kecepatan yang lebih rendah dari bulan sebelumnya (Februari). Pada bulan April terjadi perubahan arah tiupan angin yaitu menuju ke Barat dengan kecepatan rendah dan kemudian kecepatan bertambah tinggi pada bulan Mei (Gambar 13a). Kecepatan angin pada musim ini berkisar antara 0,5– ≥8,8 m/s didominasi pada kisaran 2,1–3,6 m/s sebesar 37%. Arah dan kecepatan angin sangat bervariasi pada 8 arah mata angin. Arah datang angin bervariasi namun arah dari timur di wilayah studi memiliki persentase kejadian tertinggi sekitar 22%, diikuti dari arah barat daya sekitar 19% dan dari arah timur dan timur laut masing-masing sekitar 23% (Gambar 13b). Maret
April
(a) Mei
(a)
(a)
(b) Gambar 13. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 1 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 1 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten.
55
Musim timur terjadi pada bulan Juni sampai Agustus. Angin di perairan Barat dan Utara Jawa selama musim timur bergerak dengan arah relatif seragam menuju barat dan barat laut (terjadi angin muson timur), dengan kecepatan relatif tinggi (Gambar 14a). Kecepatan angin berkisar antara 0,5– ≥8,8 m/s didominasi pada kisaran 2,1–3,6 m/s yang mencapai 39,4%. Arah datang angin di wilayah studi didominasi oleh arah dari timur dengan persentase kejadian sekitar 38%, diikuti dari arah timur laut (sekitar 23%) dan dari barat daya (sekitar 22%) (Gambar 14b).
Juni
Juli
(a) Agustus
(a)
(a)
(b) Gambar 14. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim timur berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim timur di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten.
Musim peralihan dari musim timur ke musim barat (pancaroba II) terjadi pada bulan September sampai November.
Pola sebaran angin pada musim ini di
perairan Barat dan Utara Jawa pada musim ini berubah-ubah.
Pada bulan
September angin masih bertiup ke arah barat dan barat laut dan kecepatannya melemah dari bulan sebelumnya (Agustus). Arah dan kecepatan yang pada bulan
56
Oktober relatif sama dengan bulan September. Pada bulan November terjadi perubahan arah tiupan angin yaitu menuju ke timur dengan kecepatan yang lebih rendah (Gambar 15a). Kecepatan angin berkisar antara 0,5– ≥8,8 m/s didominasi pada kisaran 2,1–3,6 m/s yang mencapai 40,4%. Sama halnya dengan musim peralihan I, pada musim peralihan II arah dan kecepatan angin sangat bervariasi pada 8 arah angin. Arah datang angin bervariasi namun arah dari tenggara di wilayah studi memiliki persentase kejadian tertinggi sekitar 19%, diikuti dari arah timur sekitar 17% dan dari arah selatan, barat daya dan timur laut masing-masing sekitar 15% (Gambar 15b).
September
Oktober
(a) November
(a)
(a)
(b)
Gambar 15. a) Pola sebaran angin bulanan (m/s) selama musim peralihan 2 berdasarkan data rataan harian angin QuickSAT (tahun 2010); b) Windrose musim peralihan 1 di lepas pantai timur Pulau Panjang, Banten.
57
Gambar 16 menyajikan persentase arah dan kecepatan angin di lokasi pengamatan (perairan Pulau Panjang, Banten) selama 10 tahun.
Arah angin
dominan bergerak dari barat menuju timur (angin barat) dengan persentase kecepatan tertinggi adalah 2,1 m/s–5,7 m/s sebesar 66,2% . Dengan demikian, abu
terbang
dari
aktivitas
PLTU-batubara
Suralaya
memiliki
peluang
didistribusikan ke perairan Pulau Panjang yang berada di bagian timur PLTU dan mengkontaminasi perairan tersebut. Hal tersebut juga dikuatkan dengan hasil penelitian ANDAL PLTU Suralaya 2007 yang menunjukkan bahwa Kecamatan Pulo Ampel, Banten merupakan daerah paparan abu cukup luas, yaitu sebesara 45% dari luas wilayah, dimana diketahui bahwa Pulau Panjang juga merupakan bagian dari Kecamatan Pulo Ampel, Banten.
Gambar 16. Persentase arah dan kecepatan angin di perairan Pulau Panjang, Banten, selama 10 tahun (Januari 2000-Desember 2009)
4.1.4 Lokasi pembanding Lokasi pengambilan contoh sebagai pembanding adalah perairan Teluk Lada, Kampung
Kemuning,
Citeureup,
6o38’53,2”S) (Lampiran 4).
Pandeglang,
Banten
(105o38’40,4”E;
Lokasi pembanding berdekatan dengan PLTU-
batubara Labuan dengan jarak sekitar 12 km. PLTU-batubara Labuan memiliki 2 unit dengan kapasitas 600 MW dan baru memulai operasi pada 15 November
58
2009, serta diresmikan oleh Presiden RI pada 28 Januari 2010. Perairan di Teluk Lada dimanfaatkan penduduk sekitar untuk perikanan tangkap (diantaranya ikan teri dan kerang darah) dan sangat jarang ditemukan aktivitas budidaya rumput laut, namun banyak terdapat lokasi wisata.
4. 2 PLTU-Batubara Suralaya PLTU Suralaya terletak di Desa Suralaya, Merak, Kota Cilegon, Propinsi Banten, berjarak 7 km ke arah utara dari Pelabuhan Penyeberangan Merak dan sekitar 12 km dari Pulau Panjang, Banten (Gambar 8).
Luas lahan yang
digunakan untuk membangun PLTU Suralaya berikut sarana dan fasilitas penunjang lainnya adalah 240,65 hektar. Sumber daya yang dikelola (kapasitas) dari PLTU Suralaya adalah 3.400 MW yang dihasilkan oleh 7 unitnya (unit 1-4 sebesar 1.600 MW dan unit 5-7 sebesar 1.800 MW). Sumber daya yang dihasilkan berfungsi untuk menyediakan energi listrik sebesar 40% dari kebutuhan energi listrik se Jawa–Bali dari seluruh kapasitas pembangkit listrik lainnya (PT Indonesia Power 2011). PLTU Suralaya didesain untuk batubara yang mempunyai kekerasan rendah (lunak) (Sukandarrumidai 2009).
4.2.1 Transportasi bahan bakar Bahan bakar utama yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya adalah low rank coal yang berasal dari Bukit Asam, Sumatera Selatan.
Pengangkutan batubara dilakukan dengan menggunakan jalan darat
(Tanjung Enim-Tarahan) dan menggunakan kapal laut (Tarahan-Suralaya). Selain batubara, bahan bakar minyak juga digunakan untuk UBP Suralaya khususnya unit 1-4 (PT Indonesia Power 2010). Sebagai sarana untuk bongkar muat batubara dan bahan bakar minyak telah dibuat dua darmaga yang terpisah. Darmaga batubara dilengkapi dengan hopper dan belt conveyor untuk membawa batubara dengan kapasitas 4.000 ton/jam (2 belt) ke tempat penampungan batubara.
Batubara dari tempat penampungan
batubara dibawa ke under ground belt conveyor dengan bulldozer dan dari stocker reclaimer dengan menggunakan ban berjalan kapasitas 2.000 ton/jam, lalu dimasukkan ke dalam coal bunker. Batubara dimasukkan ke dalam pulverizer
59
dengan menggunakan coal feeder untuk digiling menjadi serbuk halus (lebih kurang 70% lolos ayakan 200 mesh). Serbuk batubara yang halus dibakar dalam ruang bakar (burner) dengan tekanan udara panas (PT Indonesia Power 2010).
4.2.2 Boiler dan turbin Bahan baku air ketel (boiler) berasal dari laut yang diolah menjadi air tawar dengan menggunakan instalasi desalinasi.
Air produk desalinasi sebelum
dialirkan ke ketel uap diolah dahulu di water treatment plant.
Pada proses
pembuatan uap, diperlukan batubara sekitar 170 ton/jam/unit untuk Unit 1-4, sedangkan untuk Unit 5-7 memerlukan batubara sebanyak 255 ton/jam/unit, sehingga menghasilkan uap kering sejumlah 1.200 ton/jam/unit dengan temperatur sekitar 538oC dan tekanan 169 kg/cm2 . Uap tersebut dimasukkan ke turbin sebagai pemutar poros, dan selanjutnya poros turbin disambung langsung dengan poros generator, sehingga menghasilkan daya listrik. Air kondensat yang dihasilkan dapat digunakan kembali sebagai air ketel (PT Indonesia Power 2010). Pendingin kondensor digunakan air laut secara langsung sedangkan pendingin peralatan mekanik menggunakan air laut tidak secara langsung. Diperlukan air laut sekitar 57.700 m3/jam/unit untuk keperluan pendinginan. Beberapa hal yang dilakukan dalam proses pendinginan yaitu pemasangan saringan, menginjeksikan Chlor dengan kadar 1 ppm dan pembuatan saluran terbuka sepanjang 1,5 km agar temperatur air buangan tidak terlalu banyak berbeda dengan temperatur ambien air laut (PT Indonesia Power 2010).
4.2.3 Emisi abu hasil pembakaran batubara Proses pembakaran batubara akan menghasilkan limbah padat berupa abu (abu dasar/botom ash dan abu terbang/fly ash), ampas (slag) dan pirit (pyrities). Banyaknya ampas yang dihasilkan dapat mencapai 5,07 ton/jam.
Ampas
dipindahkan dari bawah tungku pembakar kemudian dihancurkan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Setelah melalui beberapa proses ampas diangkut dengan truk ke tempat pembuangan abu (PT Indonesia Power 2007).
60
Kandungan abu hasil pembakaran batubara sekitar 10% dari volume batubara yang terpisah menjadi abu dasar (20%) dan abu terbang (80%) yang akan keluar melalui cerobong asap. Alat pengendali lingkungan PLTU Suralaya terkait abu tersebut berupa cerobong asap setinggi 200 meter (Unit 1-4) dan 275 meter (Unit 5-7) dan diameter 6,5 meter. Cerobong dipasang Electrostatic Precipitator (EP) yang berfungsi untuk menyaring/menahan abu hasil pembakaran batubara sebelum diemisikan ke udara terbuka (ambien) dengan efisiensi 99,5% (PT Indonesia Power 2007). Bila diketahui diameter cerobong asap 6,5 m, kecepatan udara di dalam cerobong 20 m/s maka laju alir udara (Q) adalah 663,4 m3/s. Kandungan abu terbang sebesar 8%, maka laju emisi gas buangan dari cerobong asap: =
×
= 8 × 10
× 255
= 20.499
=
=
,
,
( )
................. (13)
= 2585,5
................................................................. (14)
= 3,8973
= 3897,3
Jika efisiensi electrostatic precipitator sebesar 99,5% maka abu/debu yang diemisikan ke udara terbuka sebesar 19,4865 mg/m3 tiap jam (sedangkan PLTU beroperasi 24 jam per hari). Nilai emisi tersebut berada di bawah baku mutu emisi yang diizinkan sebesar 150 mg/m3 (SK Men LH No.13/95). Gas SO2, NO2 dan debu yang teremisi dari cerobong asap akan menyebar di atmosfer (udara ambien) tergantung dari arah dan kecepatan angin, stabilitas atmosfer, tinggi cerobong dan tinggi kepulan asap (plume rise) (PT Indonesia Power 2007).
4.3 Kualitas Perairan Pesisir Pulau Panjang dan Teluk Lada, Banten 4.3.1 Salinitas, pH, suhu, DO dan TSS Kegiatan riset yang dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010 menunjukkan bahwa parameter perairan seperti salinitas, pH, suhu dan padatan tersuspensi total (TSS)
61
umumnya berada dalam kondisi alami untuk perairan pesisir di Indonesia. Pengukuran di perairan Pulau Panjang dilakukan pada jam 11-13 WIB sedangkan lokasi pembanding pada jam 15 WIB. Kedalaman perairan lokasi studi yaitu 10 meter pada Stasiun 1, 12 meter pada Stasiun 2, 7 meter pada Stasiun 3 dan 3 meter pada Stasiun pembanding.
Nilai kualitas perairan dapat dilihat pada
Gambar 17 sampai 21 dan Lampiran 19. Gambar 17 menyajikan nilai kadar garam atau salinitas pada tiap stasiun pengamatan. Salinitas perairan Pulau Panjang, Banten relatif konstan dengan kisaran 30,2‰–30,7‰ (rata-rata 30,4‰) sedangkan lokasi pembanding 27‰. Lokasi pengamatan berada di pesisir laut sehingga memiliki kisaran salinitas air laut (>17‰).
Lokasi stasiun pembanding berdekatan dengan sungai yang
bermuara (Sungai Ci Jedang) sehingga menurunkan nilai salintias karena masukkan air tawar. 3 5.0
2 5.0
o
oo
Salinitas ( / )
3 0.0
2 0.0
1 5.0
3 0 .2
3 0 .3
3 0 .7
S t. 2
S t. 3
2 7 .0
Salinitas alami air laut >17‰ (Valikangas in Nontji 1987)
1 0.0
5 .0
0 .0 S t. 1
S ta s iu n
S t. k o n t r o l St. 4 (pembanding)
Gambar 17. Nilai salinitas (‰) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 Gambar 18 menyajikan nilai derajat keasaman (pH) di lokasi studi.
pH
perairan Pulau Panjang, Banten dan pembanding adalah bersifat alkali (basa) berkisar antara 7,56-8,33 (rata-rata 8,01) dan 7,91 di lokasi pembanding. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7-8,5 (Effendi, 2007). pH sangat mempengaruhi kelarutan ion logam maupun zat radioaktif dalam perairan, dimana kelarutannya akan tinggi pada pH rendah. Perairan yang bersifat basa dan netral cenderung memiliki produktifitas lebih tinggi daripada yang bersifat asam. Penurunan nilai pH dapat disebabkan oleh penambahan pengotoran perairan yang terus-menerus baik yang berasal dari limbah domestik dan industri.
62
1 0 .0 0
Baku mutu 7-8,5 (Kepmen LH No. 51 Th. 2004)
8 .0 0
pH
6 .0 0
4 .0 0
8 .1 5
8 .3 3
7 .5 6
S t. 1
S t. 2
S t. 3
7 .9 1
2 .0 0
0 .0 0
S ta s iu n
S t . kSt. on 4tr o l (pembanding)
Gambar 18. Nilai pH pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 Gambar 19 menyajikan nilai suhu (oC) pada lokasi pengamatan. o
Suhu
o
perairan Pulau Panjang, Banten berkisar antara 29,5 C-30,1 C (rata-rata 29,8 oC) dan 31oC di lokasi pembanding. Suhu perairan wilayah Indonesia dikategorikan pada perairan relatif hangat karena terkait dengan kondisi geografis yang berada di daerah tropis. Suhu air permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 28-31 o
C (Nontji, 1987). Berdasarkan uraian di atas, hasil pengamatan suhu di lokasi
pengamatan masih dalam kondisi normal. Peningkatan suhu perairan cenderung menaikkan akumulasi dan toksisitas dari logam berat dan zat radioaktif, hal ini terjadi akibat meningkatnya laju metabolisme dari organisme akuatik.
35.0
Alami atau berkisar 28-31oC (Nontji 1987)
30.0
Suhu (oC)
25.0
20.0
15.0
30.1
29.8
29.5
31.0
St. 1
St. 2
St. 3
St. kontrol St. 4 (pembanding)
10.0
5.0
0.0
Stasiun
Gambar 19. Nilai suhu perairan (oC) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010
63
Kadar oksigen terlarut (DO) perairan Pulau Panjang berkisar antara 0,72 mg/l2,23 mg/l. Dengan DO terendah pada Stasiun 3 dan tertinggi pada Stasiun 1 (Gambar 20). Kadar DO minimum peruntukan kehidupan organisme akuatik 5,09,0 mg/l (Kanada, 1992 in Effendi, 2007). Pada Stasiun 1, 2 dan 3 kadar oksigen terlarutnya kurang dari 5 mg/l, namun ikan masih dapat bertahan hidup dengan kisaran oksigen terlarut 1,0 mg/l-5,0 mg/l walaupun ada potensi terganggu pertumbuhannya.
6
Baku Mutu ≥5 mg/l (Kepmen LH No. 51 Th. 2004)
5
DO (mg/l)
4
3
2 2,23 1
1,68 0,72
0 1
2
3
4 (pembanding)
Stasiun
Gambar 20. Nilai DO (mg/l) perairan pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010
Total Suspended Solid (TSS) di perairan Pulau Panjang berkisar antara 15,2 mg/l-17,2 mg/l (rata-rata 16,2 mg/l) dan pada lokasi pembanding 19,7 mg/l (Gambar 21). Dari nilai tersebut dapat disebutkan bahwa perairan tersebut masih layak untuk kehidupan organisme akuatik. Kadar TSS peruntukkan kehidupan organisme akuatik adalah 25 mg/l (European Community, 1992 in Effendi, 2007). Faktor kedalaman ikut mempengaruhi proses resuspensi, dimana pada perairan dangkal memungkinkan terjadinya resuspensi yang lebih tinggi karena pengaruh pengadukan arus. Resuspensi mengakibatkan bertambahnya kandungan TSS di kolom perairan. Selain itu, lokasi yang lebih dekat dengan daratan di wilayah pesisir juga pada umunya memiliki kandungan TSS yang tinggi. Pada stasiun yang lebih dangkal memiliki nilai TSS yang tinggi (stasiun pembanding). Stasiun 3 di perairan Pulau Panjang, Banten memiliki nilai TSS tertinggi diduga karena
64
lokasi berada pada daerah yang memiliki gelombang yang relatif lebih tinggi dan kedalaman yang lebih dangkal. Kondisi pasut ikut mempengaruhi nilai TSS. Kondisi perairan dalam keadaan pasang menyebabkan massa air di daerah pesisir diencerkan oleh massa air laut yang datang, sehingga konsentrasi TSS yang terukur lebih kecil. Zat padat tersuspensi mempengaruhi keberadaan radionuklida alam dalam kolom perairan, dimana semakin banyak zat padat tersuspensi maka semakin luas permukaan partikel dalam mengadsorbsi ion-ion radionuklida alam dalam kolom perairan sehingga konsentrasi radionuklida primordial terlarut dalam air laut berkurang. Radionuklida yang teradsorpsi zat padat tersuspensi tersebut kemudian dideposisikan ke sedimen perairan sehingga konsentrasinya meningkat di sedimen.
Baku Mutu ≤80 mg/l (Kepmen LH No. 51 Th. 2004)
TSS (mg/l)
80
20
1 6 ,2
1 5 ,2
1 7 ,2
1 9 ,7
3
4 (p e m b a n d in g )
0 1
2
S ta s iu n
Gambar 21. Nilai TSS (mg/l) pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010
4.3.2 Tekstur dan bahan organik total sedimen Tipe sedimen dilokasi pengamatan adalah pasir berlanau (Stasiun 1 dan 2) dan pasir (Stasiun 3 dan pembanding) (Gambar 22 dan Lampiran 11). Penamaan jenis sedimen berdasarkan diagram Shepard. Fraksi pasir mendominasi pada Stasiun 3 dan pembanding (>90%). Seluruh stasiun pengamatan berada di daerah pesisir/pantai sehingga tipe sedimennya didominasi fraksi pasir, karena adanya pengaruh arus di daerah pantai, dimana partikel berukuran lebih kecil akan terbawa kembali oleh arus ke daerah laut sedangkan partikel berukuran lebih besar
65
akan terendapkan di daerah pantai. Daerah pantai tergolong dalam High Energy Environment (HEE). Jenis sedimen (substrat dasar perairan) dapat menjadi faktor pembatas bagi penyebaran organisme bentik karena jenis sedimen berhubungan dengan kandungan oksigen dan ketersediaan unsur hara dalam sedimen. liat/lempung mampu mengikat
226
Ra dan
232
Fraksi
Th 5 kali lebih tinggi dibandingkan
fraksi pasir dan lanau (UNSCEAR 1993).
Tekstur sedimen (%)
100
80
60
40
clay
20
silt sand 0 St. 1
St. 2
St. 3
4 St. St. kontrol (pembanding)
Stasiun
Gambar 22. Sebaran rata-rata fraksi sedimen pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 Kandungan bahan organik total (TOM) dalam sedimen yang terukur di lokasi pengamatan dapat dilihat pada Gambar 23. TOM dalam sedimen berkaitan erat dengan jenis sedimen. Semakin halus fraksi sedimen, kemampuan dalam mengakumulasi bahan organik semakin besar.
Bahan organik berkaitan erat
dengan unsur hara. Bahan organik tinggi berarti unsur hara tinggi juga. Pada sedimen berpasir umumnya miskin zat hara dan begitu sebaliknya substrat yang lebih halus kaya akan unsur hara. Sedimen dengan fraksi pasir mendominasi biasanya berada pada wilayah dengan kekuatan energi gelombang dan arus lebih besar (high energy environment) sehingga mencuci bahan organik dan polutan lain dalam sedimen. Stasiun-stasiun yang memiliki kandungan TOM rendah seperti Stasiun 3 dan kontrol dicirikan pada wilayah dengan tipe sedimen yang didominasi oleh pasir. Stasiun 1 dan 2 yang memiliki kandungan lanau dan lempung lebih tinggi
66
memiliki kandungan TOM yang lebih tinggi. Sedimen yang mengandung jumlah mineral lempung (clay) dan bahan organik tinggi akan cenderung mengakumulasi logam berat maupun radionuklida primordial lebih tinggi, karena senyawasenyawa tersebut memiliki sifat mengikat logam berat dan radionuklida alam. 20.00
TOM (%)
15.00
10.00
5.00
12.60
15.65
7.93
6.56
S t. 1
S t. 2
S t. 3
S t. St. kontrol 4 (pembanding)
0.00
Stasiun
Gambar 23. Kandungan TOM (%) dalam sedimen pada stasiun pengamatan, Juni-Juli 2010 4.4 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Air dan Sedimen 4.4.1 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam air Konsentrasi radionuklida alam
238
U dan
232
Th pada kolom air perairan Pulau
Panjang maupun lokasi pembanding diukur baik total maupun yang terlarut. Konsentrasi radionuklida alam
238
U dan
232
Th teradsorpsi pada partikel
tersuspensi dapat dihitung secara matematis dengan cara mengurangi konsentrasi total dengan terlarut (Lampiran 19). Konsentrasi radionuklida
238
U baik total, teradsorpsi materi tersuspensi dan
terlarut pada lokasi pengamatan tidak terdeteksi atau dibawah batas deteksi alat yaitu sebesar 0,1749 Bq/l (Lampiran 9). Konsentrasi
232
Th (total, teradsorpsi
materi tersuspensi dan terlarut) pada lokasi penelitian disajikan oleh Gambar 24. Konsentrasi 232Th total dalam air berkisar antara 0,0790–0,1299 Bq/l dengan ratarata 0,1103 Bq/l, lebih tinggi daripada lokasi pembanding (0,0671 Bq/l), dengan konsentrasi tertinggi pada Stasiun 1. Konsentras 232Th tersuspensi berkisar antara 0,0167–0,0433 Bq/l dengan rata-rata 0,0290 Bq/l, lebih rendah daripada lokasi pembanding (0,0338 Bq/l), dengan konsentrasi tertinggi pada Stasiun 1.
67
Konsentras
232
Th terlarut dalam air berkisar antara 0,0623–0,0951 Bq/l dengan
rata-rata 0,0813 Bq/l, lebih tinggi daripada lokasi pembanding (0,0333 Bq/l), dengan konsentrasi tertinggi pada Stasiun 2. Konsentrasi radionuklida alam di dalam air laut suatu perairan dipengaruhi beberapa parameter fisika kimia sperti pH, salinitas, suhu dan TSS maupun sumber polutan tersebut. Secara umum, konsentrasi
232
Th (total, terlarut dan
tersuspensi) di perairan Pulau Panjang tertinggi berada pada Stasiun 1 dan 2 hal ini diduga karena kedua lokasi tersebut jaraknya lebih dekat dengan PLTU Suralaya dan merupakan jalur pelayaran kapal tongkang pengangkut batubara dari Stockpile batubara yang menjadi sumber polutan radionuklida alam. Gambar 24 menunjukkan bahwa konsentrasi total
232
Th dalam air laut di lokasi pembanding
lebih kecil daripada perairan Pulau Panjang, hal tersebut berkaitan dengan lebih kecilnya konsentrasi sumber polutan yang diduga berasal dari aktivitas PLTUbatubara Labuan (operasi dan pengangkutan bahan bakar batubara dengan kapal tongkang) yang memiliki jumlah unit lebih sedikit (2 unit) dan baru beroperasi sekitar 1 tahun.
0 .2 0 232
T h to ta l T h pad a T SS 232 T h te rla ru t
Th (Bq/l)
0 .1 0
232
0 .1 5
Konsentrasi
232
0 .0 5
0 .0 0 1
2
3
4 (p e m b a n d in g )
S tasiu n
Gambar 24. Konsentrasi 232Th (Bq/l) total, tersuspensi dan terlarut dalam air laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010
68
Nilai kapasitas adsorpsi (KA) dan dissolved transport indice (DTI) dari 232Th dalam sistem akuatik dapat menggambarkan tingkat adsorpsi tersuspensi maupun tingkat kelarutannya (Tabel 9).
32
Th oleh materi
KA dan DTI dapat
menjelaskan fate dari radionuklida alam dimana semakin tinggi nilai DTI maka radionuklida tersebut makin besar dalam jumlah terlarut sehingga dapat memiliki nilai toksisitas yang lebih tinggi dan tersedia secara biologi (bioavailibilty) bagi organisme akuatik.
Sebaliknya, semakin tinggi nilai KA berarti radionuklida
tersebut banyak yang teradsorpsi oleh materi tersuspensi (baik partikel inorganik (clay mineral) maupun partikel organik (fitoplankton, bakteri, virus dan debris)) sehingga mengurangi konsentrasi bentuk terlarutnya.
Materi tersuspensi
mengalami agregasi sehingga kemudian dengan adanya gaya gravitasi akan dideposit
dan
diakumulasi
dalam
sedimen
(dasar
perairan)
sehingga
konsentrasinya tinggi di sedimen. Proses adsorpsi ini dikenal dengan fenomena scavenging (Chester 1990; Libes 1992). Menurut Chester (1990) bahwa elemen kimia U dan Th memiliki nilai DTI 110%. Tingginya nilai DTI pada lokasi pengamatan dikarenakan rendahnya konsentrasi TSS sehingga sebagian besar 232Th berada dalam bentuk terlarut. TSS terdiri dari bahan organik dan inorganik. Bahan organik dalam TSS berperan dalam melakukan ikatan dengan radionuklida atau logam berat (organic ligands bond), sehingga persentase bahan organik dalam TSS berpengaruh terhadap fenomena adsorpsi terhadap elemen kimia terlarut. Semakin rendah nilai pH (cenderung asam) maka semakin tinggi radionuklida terlarutnya. Stasiun 3 di Perairan Pulau Panjang, Banten memiliki nilai DTI (%) paling tinggi karena memiliki pH paling rendah.
Nilai KA (%) yang besar pada Stasiun 4
(pembanding) terkait dengan konsentrasi TSS yang lebih tinggi pada stasiun tersebut. Tabel 9. Nilai dissolved transport indice (DTI) dan kapasitas adsorpsi (KA) dari 232 Th di lokasi pengamatan pada Juni-Juli 2010 Stasiun DTI (%) KA (%) 1
66,6963
33,3037
2
77,9437
22,0563
3
78,8519
21,1481
4 (Pembanding)
49,5875
50,4125
69
Baku mutu yang dikeluarkan oleh Dirjen Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) No. 293/Dj/VII/1995 tentang radioaktivitas di lingkungan, ditetapkan bahwa ambang batas yang direkomendasikan untuk
238
U adalah 104 Bq/l baik
sebagai senyawa larut maupun tidak larut dan untuk 232Th adalah 700 Bq/l sebagai senyawa larut dan 10000 Bq/l sebagai senyawa tidak larut (BATAN 1995). Konsentrasi
238
U dan
232
Th di perairan Pulau Panjang, Banten dan lokasi
pembanding masih di bawah ambang batas. Konsentrasi total
238
U dan
232
Th
dalam air laut lokasi pengamatan masih berada dalam kisaran konsentrasi alami dalam air laut di dunia menurut Michael 1994. Konsentrasi 238U dan 232Th di air laut di beberapa perairan Indonesia di sajikan pada Tabel 10 sebagai perbandingan. Tabel 10. Konsentrasi 238U dan 232Th di air laut beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia 238 232 Sumber Lokasi Unit U Th Perairan Pesisir Gresik, Jawa Timur 0,0001 - 0,0002 Mellawati, 2004 (kawasan industri fosfat) Bq/l 0,0877 0,0401 Perairan Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kawasan ttdttdTambang Batubara) Bq/l 0,9220 6,7810 Arief, 2006 Susenao dan Semenanjung Muria, Jepara 9,0800 ± Umbara, 2006 (Kawasan PLTU Tanjung Jati) Bq/l 1,44 Sabam, 2011 Pulau Panjang, Banten (Kawasan 0,0790 – (hasil penelitian) PLTU Suralaya) Bq/l ttd 0,1299 0,0230 - 0,0012 Michael 1994 Kisaran alami rata-rata di dunia Bq/l 0,0580 2,0000 238 ttd : tidak terdeteksi (detection limit U: 0,1749 Bq/l) 4.4.2 Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen Gambar 25 dan Lampiran 19 menyajikan profil sebaran konsentrasi 232
238
U dan
Th total dalam sedimen pada lokasi pengamatan. Konsentrasi radionuklida
alam
238
U total dalam sedimen berkisar antara 18,6160-35,0013 Bq/kg berat
kering sampel (dray wight) dengan rata-rata 29,5195 Bq/kg, nilai ini lebih tinggi daripada di lokasi pembanding (10,4253 Bq/kg). Konsentrasi radionuklida alam 232
Th total dalam sedimen berkisar antara 11,2502–35,6685 Bq/kg dengan rata-
rata 22,7929 Bq/kg dan nilai konsentrasi ini lebih tinggi daripada di lokasi
70
pembanding (16,5952 Bq/kg). Secara umum, rata-rata konsentrasi total 238U lebih besar daripada
232
Th dalam sedimen lokasi pengamatan. Radionuklida alam 238U
dan 232Th memiliki kerapatan jenis (densitas) relatif besar berturut-turut yaitu 19,5 g/cm3 dan 11,7 g/cm3, sehingga ion-ion
238
U dan
232
Th berpotensi membentuk
senyawa tidak larut dan akan berada pada fase padat, kemudian terdeposit di sedimen (Lof 1987 in Mellawati 2004).
40
Aktivitas Thorium-232 (Bq/kg DW)
Aktivitas U-238 (Bq/kg DW)
40
30
20
10
30
20
10
0
0 1
2
3
Stasiun
Kontrol 4 (pembanding)
1
2
3
Stasiun
Kontrol
4 (pembanding)
Gambar 25. Konsentrasi 238U dan 232Th (Bq/kg) total dalam sedimen pada lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 Secara umum, sedimen pada Stasiun 1 dan 2 memiliki konsentrasi radionuklida alam
238
U dan
stasiun 3 (kecuali pada
238
232
Th total relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
U) dan stasiun 4 (lokasi pembanding). Hal ini diduga
lokasi tersebut lebih dekat dengan PLTU-batubara juga merupakan jalur kapal tongkang pengangkut batubara yang berpotensi melepas polutan 238U dan 232Th. Konsentrasi
238
U dan
232
Th juga dipengaruhi oleh karakteristik fisika kimia
sedimen diantaranya tekstur sedimen dan bahan oragnik total (TOM). Terdapat hubungan antara ukuran partikel sedimen dengan kandungan bahan organik yaitu pada sedimen bertekstur halus, persentase bahan organiknya lebih tinggi dari pada sedimen kasar. Bahan organik tinggi akan cenderung mengakumulasi logam berat maupun radionuklida alam lebih tinggi, karena senyawa-senyawa tersebut memiliki sifat mengikat logam berat dan radionuklida alam. Stasiun 1 dan 2 memiliki persentase ukuran butir sedimen lanau dan lempung lebih tinggi dan kandungan TOM yang lebih tinggi, sedangkan Stasiun 3 dan 4 (lokasi
71
pembanding) tipe sedimennya berpasir dan kandungan TOM nya lebih rendah, sehingga Stasiun 1 dan 2 memiliki konsentrasi 238U dan 232Th total dalam sedimen cenderung lebih tinggi. Logam berat dan radionuklida alam memiliki konsentrasi yang lebih besar pada fraksi sedimen yang lebih kecil/halus dibanding fraksi yang lebih besar (Aleksander et al. 2001; Randle dan Jundi 2001). Tekstur sedimen dan TOM berhubungan dengan kondisi energi lingkungan perairan. Perairan dengan energi rendah (tenang) memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen lumpur (sedimen fraksi halus) yang diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Perairan yang berenergi tinggi pada umumya memiliki sedimen yang kasar dan kandungan bahan organiknya lebih rendah, karena partikel yang lebih halus dan bahan organik tercuci oleh arus dan gelombang. Stasiun 3 berada pada posisi yang lebih terbuka di Pulau Panjang, Banten sehingga terkena gelombang dan arus yang lebih kuat yang berasal dari Laut Jawa. Konsentrasi
238
U dan
232
Th dalam sedimen di beberapa perairan Indonesia
disajikan pada Tabel 11 sebagai perbandingan.
Konsentrasi
238
U dan
232
Th
tersebut masih berada dalam kisaran konsentrasi alami total dalam sedimen laut di dunia menurut Michael 1994. Tabel 11. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam sedimen di beberapa perairan Indonesia dan kisaran rata-ratanya di dunia Sumber Lokasi Unit 238U Perairan Pesisir Gresik, Jawa Timur 11,4200Mellawati, 2004 (kawasan industri fosfat) Bq/kg 741,8700 Perairan Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kawasan 2,1500Arief, 2006 Tambang Batubara) Bq/kg 43,1200 Susenao dan Semenanjung Muria, Jepara Umbara, 2006 (Kawasan PLTU Tanjung Jati) Bq/kg Sabam, 2011 Pulau Panjang, Banten (Kawasan 18,6160(hasil penelitian) PLTU Suralaya) Bq/kg 35,0013 Michael, 1994 Kisaran alami rata-rata di dunia Bq/kg 10 – 50
4.5 Radionuklida Alam
238
232
Th 20,2700881,1800 5,240031,7100 192,6700± 22,35 11,250235,6685 7 – 50
U dan 232Th dalam Rumput Laut
Hasil identifikasi rumput laut dari perairan Pulau Panjang, Banten dan lokasi pembanding, baik yang alami maupun yang dibudidaya oleh penduduk setempat
72
telah ditemukan lima jenis (Tabel 12 dan Lampiran 18). Rumput laut budidaya yaitu
Eucheuma
alvarezii
(Doty)/Kappaphycus alvarezii
(Doty)
dikenal
masyarakat dengan nama Cottoni. Contoh rumput laut budidaya memiliki usia tanam ±2 minggu saat dilakukan sampling dan umumnya dipanen pada umur tanaman 4 minggu. Rumput laut alami diduga berusia lebih tua karena dibiarkan tumbuh tanpa dipanen oleh masyarakat setempat. Usia sampel berkaitan dengan lama penyerapan dan bioakumulasi radionuklida alam oleh rumput laut tersebut. Tabel 12. Rumput laut yang ditemukan di lokasi pengamatan Stasiun Jenis rumput laut 1 Eucheuma alvarezii (Doty) 2 Eucheuma alvarezii (Doty) Sargassum duplicatum Gracilaria salicornia 3 Eucheuma alvarezii (Doty) Sargassum duplicatum Gracilaria salicornia Padina australis Ulva lactuca 4 (pembanding) Eucheuma alvarezii (Doty) Sargassum duplicatum
Keterangan Budidaya Budidaya Alami Alami Budidaya Alami Alami Alami Alami Budidaya Alami
Gambar 26 dan Lampiran 19 menyajikan konsentrasi 238U dalam rumput laut di lokasi pengamatan. Konsentrasi
238
U dalam rumput laut budidaya Eucheuma
alvarezii (Doty) yang disampling dari semua stasiun pengamatan menunjukkan nilai yang berada di bawah batas deteksi alat sebesar 5,3984 Bq/kg (Lampiran 9). Hal ini diduga disebabkan karena konsentrasi
238
U terlarut dalam air laut relatif
kecil (<0,1749 Bq/l) dan waktu pemaparan yang lebih pendek (karena usia tanam rumput laut budidaya lebih pendek). Konsentrasi rata-rata 238U dalam rumput laut alami di perairan Pulau Panjang, Banten lebih tinggi pada Ulva lactuca (algae hijau), kemudian berturut-turut Sargassum duplicatum (algae coklat), Padina australis (algae coklat) dan Gracilaria salicornia (algae merah). Rumput laut alami ditemukan menempel pada substrat dasar (sedimen), sehingga selain menyerap radionuklida alam dari kolom air juga dari sedimen melalui akar.
73
60
Aktivitas U-238 (Bq/kg DW)
50
E u c h e u m a a lv a re zii ( D o ty ) S a r g a s s u m d u p lic a tu m G r a c ila r ia s a lic o r n ia P a d in a a u s tr a lis U lv a la c tu c a
40
30
20
10
0 1
2
3
S ta s iu n
K o n4tro l (pembanding)
Gambar 26. Konsentrasi 238U (Bq/kg) dalam rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 Gambar 27 dan Lampiran 19 menyajikan konsentrasi 232Th dalam rumput laut di lokasi pengamatan. Konsentrasi
232
Th dalam rumput laut budidaya Eucheuma
alvarezii (Doty) berkisar antara 3,6735-4,8347 Bq/kg dengan rata-rata 4,1247 Bq/kg (lebih tinggi daripada lokasi pembanding 2,3005 Bq/kg). Konsentrasi ratarata
232
Th dalam rumput laut alami berturut-turut tertinggi pada Ulva lactuca
(9,0788 Bq/kg) kemudian Padina australis 4,8386 Bq/kg, Sargassum duplicatum (4,4079 Bq/kg) dan Gracilaria salicornia (4,2721 Bq/kg). Gambar 27 menunjukkan bahwa secara statistik konsentrasi 232Th rumput laut alami dan budidaya tidak berbeda (relatif sama), kecuali untuk jenis Ulva lactuca. Hal ini dikarenakan rumput laut budidaya hidup terapung di permukaan kolom perairan, sehingga selain menyerap radionuklida alam dari kolom air juga dapat mengadsorpsi radionuklida alam yang jatuh dari atmosfer di permukaan tubuhnya. Rumput laut alami hidup menempel pada substrat dasar (sedimen) perairan, sehingga selain menyerap radionuklida alam dari kolom air juga dari sedimen melalui akar.
Usia tanam contoh rumput laut budidaya relatif pendek yaitu ±2
minggu dan rumput laut alami diduga memiliki usia tanam yang lebih panjang. Dengan waktu pemaparan yang lebih pendek konsentrasi rumput laut budidaya tidak berbeda dengan rumput laut alami sehingga dapat dikatakan rumput laut
74
alami jenis Eucheuma alvarezii (Doty) memiliki laju penyerapan/akumulasi 232Th lebih baik. Secara umum, konsentrasi
232
Th dalam rumput laut baik budidaya tertinggi
ditemukan di Stasiun 1 dan terendah di Stasiun 4 (pembanding), dimana profil tersebut sesuai dengan profil konsentrasi
232
Th dalam air laut, sehingga rumput
laut dapat dikatakan baik digunakan sebagai biomonitor keberadaan radionuklida alam yang konsentrasinya sangat rendah di kolom air (Goddard dan Jupp 2001; Strezov dan Nonova 2009). 10
E ucheu m a alvarezii S arga ssum duplicatum G racilaria salicornia P adina australis U lva lactuca
Aktivitas Th-232 (Bq/kg)
8
6
4
2
0 1
2
3
Stasiu n
K ontrol 4 (pembanding)
Gambar 27. Konsentrasi 232Th (Bq/kg) dalam rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010
Tabel 13 menunjukkan faktor konsentrasi berbagai jenis rumput laut alami yang ditemukan di lokasi pengamatan terhadap radionuklida alam 238U dan 232Th. Faktor konsentrasi menggambarkan konsentrasi
232
Th dalam tubuh organisme
relatif terhadap konsentrasi dalam unit volume air laut terlarut dan unit total sedimen, sehingga dapat menunjukkan kemampuan jenis rumput laut tertentu dalam menyerap elemen kimia (radionuklida alam) terlarut di kolom air dan dalam sedimen ke dalam tubuhnya.
Hasil yang ditunjukkan sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Goddard dan Jupp (2001) bahwa rumput laut algae hijau (Ulva lactuca) mengakumulasi radionuklida alam lebih tinggi daripada algae
75
varietas coklat. Strezov dan Nonova (2009) menyimpulkan bahwa rumput laut algae hijau (Ulva lactuca) mengakumulasi radionuklida alam tiga kali lebih tinggi daripada contoh algae lain di Laut Hitam.
Ulva lactuca mengakumulasi
radionuklida alam lebih tinggi dikarenakan bentuk tubuhnya yang seperti daun lebar dan lebih tipis sehingga memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk menyerap radionuklida alam dalam kolom air, selain itu juga hidup menempel pada sedimen sehingga juga memperoleh radionuklida alam dari sedimen melalui akar. Konsentrasi rata-rata 238U (18,5624 Bq/kg) lebih besar daripada 232Th (4,8501 Bq/kg) dalam rumput laut alami. Faktor konsentrasi 238U pada jenis-jenis rumput laut alami di lokasi pengamatan lebih tinggi daripada diakumulasi dengan tingkat yang lebih tinggi daripada
232
232
Th, sehingga
238
U
Th pada rumput laut
alami. Tabel 13. Rata-rata faktor konsentrasi 238U dan 232Th pada beberapa jenis rumput laut alami yang ditemukan di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010 Faktor konsentrasi Rumput laut 238 232 U Th Algae merah: Gracilaria salicornia 0,1397 0,1221 Algae coklat: Sargassum duplicatum 0,9719 0,1695 Padina australis 0,4622 0,1385 Algae hijau: Ulva lactuca 1,3750 0,2598 4.6 Radionuklida Alam 238U dan 232Th dalam Tubuh Biota (Ikan Teri Genus Stolephorus dan Kerang Genus Codakia) Konsentrasi
238
U dan
232
Th (Bq/kg) dalam tubuh ikan teri dan kerang serta
nilai faktor konsentrasinya (FK) di perairan Pulau Panjang, Banten ditunjukkan pada Tabel 14. Sampel ikan teri yang diteliti adalah Genus Stolephorus dari Famili Engraulidae, atau yang lebih dikenal sebagai ikan teri nasi. Sampel ikan teri diperoleh pada perairan Pulau Panjang hanya di Stasiun 1. Sampel kerang adalah dari Genus Codakia dan diambil hanya dari stasiun 3 di perairan Pulau Panjang, Banten.
76
Konsentrasi
238
U dalam tubuh ikan teri berada di bawah batas deteksi alat
(5,3984 Bq/kg), sedangkan konsentrasi rata-rata Rendahnya konsentrasi
238
U dan
232
232
Th adalah 3,3078 Bq/kg.
Th dalam tubuh ikan teri diduga terkait dengan
usia ikan teri yang relatif pendek sehingga waktu pemaparannya lebih pendek sehingga radionuklida yang dikandung relatif kecil. Makanan utama ikan teri adalah plankton, sehingga konsentrasi radionuklida dalam tubuhnya berhubungan dengan konsentrasi radionuklida total dalam air laut.
238
U dan
232
Th akan
dideposisikan di tulang (organ target) ikan teri. Ikan teri banyak mengandung kalsium (Ca). Pada jaringan tulang, uranium dapat menggantikan kedudukan ion Ca (Mellawati 2004). Habitat kerang Codakia adalah dalam sedimen/substrat dasar perairan yang relatif berpasir (coarse) di daerah padang lamun (Stasiun 3) dan mendapatkan makanan dengan cara feeding filter menggunakan siphon. Konsentrasi rata-rata 238
U dan
232
Th dalam tubuh kerang Codakia yaitu 6,890 Bq/kg dan 3,602 Bq/kg.
Konsentrasi 238U lebih tinggi daripada 232Th dalam tubuh kerang Codakia, hal ini terkait dengan tingginya konsentrasi dengan
232
238
U total dalam sedimen bila dibandingkan
Th, sehingga bioavailibilatas dari radionuklida
tinggi. Meskipun demikian, radionuklida
232
lebih tinggi oleh kerang Codakia daripada
238
U berpeluang lebih
Th diakumulasi pada tingkat yang
238
U karena
konsentrasi sebesar 0,3202 yang lebih tinggi daripada
238
232
Th memiliki faktor
U (0,1972).
Tabel 14. Konsentrasi 238U dan 232Th dalam tubuh ikan teri (Stolephorus) dan kerang (Codakia) serta nilai faktor konsentrasinya di perairan Pulau Panjang, Banten, Juni 2010 Jenis biota Ikan teri (Genus Stolephorus, Famili: Engraulidae)
Rata-rata ± sd Kerang (Genus Codakia)
Rata-rata ± sd
Konsentrasi 238 U (Bq/kg)
Konsentrasi Th (Bq/kg)
232
Ttd Ttd
3,5812 2,0254
Ttd Ttd
4,3168 3,3078 ± 1,1699
5,2431 6,5803 8,8477 6,8903 ± 1,8221
3,6808 3,1449 3,9812 3,6023 ± 0,4237
Faktor konsentrasi 238
U
232
Th
-
0,7830
0,1972
0,3202
ttd = dibawah batas deteksi alat (238U = 5,3984 Bq/kg, 232Th = 0,4777 Bq/kg)
77
Ikan teri dan kerang dari perairan Pulau Panjang, Banten menjadi salah satu sumber makanan bagi penduduk lokal, selain itu ikan teri dari daerah ini dipasarkan sampai ke daerah-daerah lain di Indonesia. Radionuklida alam yang dikandung oleh ikan teri dan kerang dapat terkonsentrasi dalam tubuh manusia melalui konsumsi/saluran pencernaan (paparan radiasi interna). memberikan informasi konsentrasi
238
U dan
232
Tabel 15
Th (Bq/kg) pada produk olahan
(dodol rumput laut dan ikan teri) dari hasil laut di Pulau Panjang dan lokasi pembanding.
Konsentrasi
238
U dan
232
Th dalam produk olahan relatif kecil,
sehingga produk tersebut masih relatif aman untuk dikonsumsi. Tabel 15. Konsentrasi 238U dan 232Th pada produk olahan hasil laut (dodol rumput laut dan ikan teri) di Pulau Panjang dan Kampung Kemuning, Citeureup, Banten, Juni-Juli 2010 Konsentrasi Konsentrasi 238 232 Jenis produk U (Bq/kg) Th (Bq/kg) Pulau Panjang, Banten Ikan teri hasil olahan (Genus Stolephorus, Famili: Engraulidae) ttd 2,8755 ttd 2,3651 ttd 1,7398 Rata-rata ± sd ttd 2,3268±0,5688 Dodol rumput laut dari jenis Cottoni (Eucheuma alvarezii (Doty)) ttd 0,6677 ttd 0,5812 ttd 2,3370 Rata-rata ± sd ttd 1,1953±0,9896 Lokasi Pembanding Ikan teri hasil olahan (Genus Anchoa, Famili: Engraulidae) ttd 1,5273 ttd 2,2419 ttd 2,4116 Rata-rata ± sd ttd 2,0603±0,4693 238 232 ttd = dibawah batas deteksi alat ( U = 5,3984 Bq/kg, Th = 0,4777 Bq/kg)
78
4.7 Paparan Radiasi Interna Melalui Konsumsi Ikan Teri (Genus Stolephorus) dan Kerang (Genus Codakia) Industri
PLTU-batubara
sebagai
sumber
radionuklida
alam
dapat
mempengaruhi kesehatan manusia (masyarakat) di sekitar industri tersebut melalui paparan radiasi eksterna dan paparan radiasi interna. Paparan radiasi interna yaitu radionuklida alam masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernafasan (inhalasi), makanan dan minuman (ingesti) dan injeksi (melalui kulit yang luka).
Pada penelitian ini, paparan radiasi interna diukur yaitu melalui
konsumsi ikan teri (Genus Stolephorus) dan kerang (Genus Codakia) yang merupakan bagian dari sumberdaya perairan Pulau Panjang, Banten dan dikonsumsi oleh masyarakat lokal dan sekitarnya. Wawancara (pengisian kuesioner) dilakukan terhadap penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten khususnya kelompok usia dewasa yaitu usia 18 tahun atau lebih (UU No. 30 Tahun 2004). Mayoritas responden yang berjumlah 67 orang adalah berjenis kelamin perempuan (83,6%) dikarenakan sebagian besar penduduk berjenis kelamin laki-laki melakukan aktivitas sebagai nelayan/melaut pada saat wawancara dilakukan (siang hari). Hasil wawancara memperlihatkan bahwa semua responden mengkonsumsi kerang (Genus Codakia) dan ikan teri (Genus Stolephorus). Penduduk Pulau Panjang, Banten (Kampung Peres) memiliki nilai konsumsi kerang per hari (daily intakes) yaitu berkisar 0,0743–0,6686 kg/hari dengan ratarata 0,2920 kg/hari dan total konsumsi per tahun (annual intakes) berkisar 3,8628162,2384 kg/tahun dengan rata-rata 43,5519 kg/tahun. Nilai konsumsi ikan teri per hari (daily intakes) berkisar 0,0155 – 0,1857 kg/hari dengan rata-rata 0,0811 kg/hari dan total konsumsi per tahun (annual intakes) berkisar 1,6095–67,5993 kg/tahun dengan rata-rata 17,0920 kg/tahun. Konsentrasi rata-rata
238
U dan
232
Th dalam kerang yang diperoleh dari
perairan Pulau Panjang, Banten secara berturut-turut adalah 1,2501 Bq/kg bobot basah (wet weigh) dan 0,6536 Bq/kg dan dalam ikan teri berturut-turut adalah tidak terdeteksi (ttd) dan 1,2763 Bq/kg. Tabel 15 menyajikan besarnya rata-rata asupan harian dan tahunan
238
U dan
232
Th yang diperoleh melalui konsumsi
kerang dan ikan teri pada penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten.
79
Tabel 16. Rata-rata asupan harian dan tahunan 238U dan 232Th yang diperoleh melalui konsumsi kerang dan ikan teri pada penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten Asupan harian
No. Produk laut 1
2
Asupan tahunan
Bq/hari
mg/hari
Bq/tahun
mg/tahun
0,3651±0,2003 0,1909±0,1047
0,0296±0,0162 0,0465±0,0255
54,4451±47,2533 28,4642±24,7042
4,4084±3,8261 6,9297±6,0143
U Th Jumlah asupan 238 U
0,1035±0,0583
0,0252±0,0142
21,8141±20,1660
5,3107±4,9095
0,3651±0,2003
0,0296±0,0162
54,4451±47,2533
4,4084±3,8261
232
0,2943±0,1449
0,0717±0,0353
50,2783±34,4930
12,2404±8,3974
Kerang (Codakia) 238 U 232 Th Ikan teri (Stolephorus) 238 232
Th
Penduduk Kampung Peres melalui konsumsi kerang dan ikan teri akan menerima rata-rata jumlah asupan harian dan tahunan jumlah asupan harian
238
U dan
232
238
U dan
232
Th. Rata-rata
Th berturut-turut adalah 0,3651±0,2003 Bq/hari
atau 0,0296±0,0162 mg/hari dan 0,2943±0,1449 Bq/hari atau 0,0717±0,0353 mg/hari. Rata-rata jumlah asupan tahunan
238
U dan
232
Th berturut-turut adalah
54,4451±47,2533 Bq/tahun atau 4,4084±3,8261 mg/tahun dan 50,2783±34,4930 Bq/tahun 12,2404±8,3974 mg/tahun. Paparan radiasi interna yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten (sekitar PLTU-batubara Suralaya) melalui konsumsi kerang dan ikan teri dapat diestimasi berdasarkan pola konsumsi kerang dan ikan teri per hari. Berdasarkan data pola konsumsi kerang dan ikan teri per hari, diperoleh dosis efektif terikat (dosis equivalen) radionuklida individual dari paparan 232
238
U dan
Th yang diterima penduduk (Lampiran 15). Jika diasumsikan penduduk tidak pindah dari kawasan selama 1 tahun (365
hari) dan memiliki pola makan tetap, maka radiasi interna dari paparan radionuklida
238
U yang diterima penduduk per tahun untuk kerang berkisar
0,00022–0,00913 mSv/tahun dan teri tidak terdeteksi. paparan radionuklida
232
Radiasi interna dari
Th yang diterima penduduk per tahun untuk kerang
berkisar 0,00058–0,02439 mSv/tahun dan teri berkisar 0,00047–0,01984
80
mSv/tahun. paparan
238
Berdasarkan data tersebut, maka dosis efektif terikat total (dari U dan
232
Th) yang diterima penduduk melalui konsumsi kerang dan
ikan teri adalah berkisar 0,0025–0,0461 mSv/tahun dengan rata-rata 0,0140± 0,0098 mSv/tahun. Perolehan dosis terbesar berasal dari asupan
232
Th sebesar
0,0116±0,0079 mSv/tahun kemudian 238U sebesar 0,0025±0,0021 mSv/tahun. Sesuai rekomendasi IAEA yang harus diikuti oleh seluruh anggota IAEA (termasuk Indonesia) melalui Basic Safety Standard (BSS) Nomor 115, yaitu perihal batas dosis tahunan bagi pekerja radiasi adalah 20 mSv/tahun dan masyarakat 1 mSv/tahun rata-rata dalam 5 tahun (IAEA 1996). Dibandingkan batas maksimal paparan radiasi yang boleh diterima masyarakat oleh IAEA (1996) (1 mSv/tahun), maka nilai paparan radiasi interna yang diterima oleh penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten (0,0140±0,0098 mSv/tahun) masih lebih kecil, sehingga relatif tidak/belum membahayakan bagi kesehatan manusia.
81
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Aktivitas PLTU-batubara
memberikan dampak
terhadap
perairan di
sekitarnya, ada indikasi peningkatan konsentrasi radionuklida alam di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan PLTU Suralaya yang telah beroperasi selama 27 tahun bila dibandingkan lokasi pembanding (sekitar PLTU Labuan yang baru beroperasi ±1 tahun).
Rata-rata konsentrasi
238
U dan
232
Th dalam
komponen abiotik yaitu sedimen sekitar PLTU Suralaya 2,8 dan 1,4 kali lebih tinggi daripada sedimen sekitar PLTU Labuan, sedangkan perbandingan
232
Th
total, tersuspensi dan terlarut yaitu di sekitar PLTU Suralaya 1,6, 0,9 dan 2,4 kali lebih besar daripada di perairan sekiatar PLTU Labuan. Konsentrasi 232
238
U dan
Th dalam komponen biotik di perairan Pulau Panjang, Banten sekitar kawasan
PLTU Suralaya (rumput laut alami: 3,6851–48,0430 Bq/kg dan 3,9941–9,0788 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 3,6735–4,8347 Bq/kg; ikan teri (Stolephorus): tidak terdeteksi dan 3,308 Bq/kg; kerang (Codakia): 6,8903 Bq/kg dan 3,6023 Bq/kg) lebih tinggi daripada lokasi pembanding (rumput laut alami: 19,5367 Bq/kg dan 2,6729 Bq/kg; rumput laut budidaya: tidak terdeteksi dan 2,3005 Bq/kg; ikan teri (Anchoa): tidak terdeteksi dan 2,0603 Bq/kg). Faktor konsentrasi
238
U dan
232
Th berturut-turut yaitu Gracilaria salicornia:
0,1397 dan 0,1221; Sargassum duplicatum: 0,9719 dan 0,1695; Padina australis: 0,4622 dan 0,1385; Ulva lactuca: 1,3750 dan 0,2598; ikan teri (Stolephorus) tidak teridentifikasi dan 0,7831; kerang (Codakia): 0,20 dan 0,32. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa 232
238
U diakumulasi dengan tingkat yang lebih tinggi daripada
Th, dan secara berturut-turut tingkat akumulasi lebih tinggi pada jenis algae
hijau, algae coklat dan algae merah. Ikan teri Stolephorus memiliki kemampuan absorpsi 232Th lebih baik daripada kerang Codakia. Tingkat akumulasi 232Th lebih besar daripada 238U oleh kerang Codakia. Perkirakan dosis interna melalui konsumsi ikan teri (Stolephorus) dan kerang laut (Codakia) dari perairan Pulau Panjang, Banten yang diterima penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten usia dewasa (≥18 tahun) yaitu 0,0025-
82
0,0461 mSv/tahun, belum melebihi batas dosis efektif yang direkomendasikan oleh IAEA untuk masyarakat (1 mSv/tahun).
5.2 Saran Saran yang dapat diberikan penulis adalah: 1.
Penelitian yang sama pada musim yang berbeda untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai konsentrasi radionuklida
di lokasi
pengamatan. 2.
Penelitian kemampuan rumput laut budidaya mengabsorpsi radionuklida alam dari sedimen dalam skala laboratorium.
3.
Penelitian mengenai dosis interna (melalui konsumsi hasil laut) yang diterima penduduk sekitar kawasan PLTU-batubara pada strata usia yang berbeda.
4.
Analisis radionuklida alam pada strata kedalaman sedimen di suatu lokasi pengamatan untuk menentukan background level sehingga dapat melihat status pencemaran di suatu perairan tersebut.
5.
Efek toksik radionuklida alam kronis terhadap biota laut.
238
U dan
232
Th baik bersifat letal maupun
83
DAFTAR PUSTAKA Aleksander U, Sikora WS, Wojcik R. 2001. Grain Size Effect on Heavy Metals Content in The Odra Rivers Bottom Sedimen. (PL): AGH University. [APHA] American Public Health Association. 1992. Standar Methods for The Examination of Water and Waste Water. 18th Edition. Washington DC (US): APHA. [APHA] American Public Health Association. 2005. Standard Methods for Examination of Water and Wastewater. 21st Edition. Method 2540 D 0 (Total Suspended Solid Dried at 103 C – 1040C). Washington DC (US): APHA. Arfando A. 2008. Perubahan Area Mangrove di Pulau Panjang Kabupaten Serang Propinsi Banten. [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Ari N, Yarianto SBS. 2010. Pembuatan Peta Digital Topografi Pulau Panjang, Banten, Menggunakan ArcGIS 9.2 dan Surfer 8. Jakarta (ID): BATAN. Arif AS. 2006. Tingkat Radioaktivitas Radionuklida Primordial 238U dan 232Th di Lingkungan Tambang Batubara Terbuka. [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Argonne National Laboratory. 2005. Uranium. Human Health Fact Sheet. [diunduh 3 Juli 2010]. Tersedia pada: http://www.ead.anl.gov/pub/doc/Depleted_Uranium.pdf. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Satari R. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta (ID): Puslitbang Oseanografi LIPI. [BAPEDAL] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Jakarta (ID): Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. [BATAN] Badan Tenaga Nuklir Nasional. 1995. Keputusan Direktur Jenderal Badan Tenaga Atom Nasional Nomor: 293/DJ/VII/1995. Tentang Baku Mutu Radioaktivitas di Lingkungan. Jakarta (ID): BATAN. [BATAN] Badan Tenaga Nuklir Nasional. 2009. Pedoman Keselamatan dan Proteksi Radiasi Kawasan Nuklir Serpong. Jakarta (ID): BATAN. Bunawas, Pujadi. 1998. Industri dan Pencemaran Radionuklida Alam di Lingkungan. Buletin ALARA. 2(2): 13-18.
84
Campbell PGC, Lewis AG, Chapman PM, Crowder AA, Fletcher WK, Imber B, Luoma SN, Stokes PM, Winfrey M. 1988. Biologically Available Metals in Sediments. Ottawa, Canada: NRCC/CNRC. Canadian Clean Power Coaltion. 2004. How a Coal-fired Power Plant Works. [diunduh 3 Juli 2010 ]. Tersedia pada: http://canadiancleanpowercoaltion.com/Customer/CCPC/CCPCWEBSIT E.NSF. Chester R. 1990. Marine Geochemistry. London (UK): Unwin Hyman. Connel DW, Miller GJ. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Cetakan Pertama. Koestoer Y, penerjemah; Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari Dahuri
R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. xxxiii + 412 halaman.
Duursma EK, Gross MG. 1971. Marine Sediment and Radioactivity. In Radioactivity in the Marine Environment, Panel on Radioactivity in the Marine Environment of the Committee of Oceanography National Research Council. National Academic of Science. USA. Effendi H. 2007. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius.. Eleftheriou A, McIntyre A. 2005. Methods for The Study of Marine Benthos. Third edition. Oxford (US): Blackwell Science Ltd. Fergusson LE. 1982. Inorganic Chemistry and The Earth. 1th eddition. Oxford, New York (US): Pergamon Press. Florou H, Kehagia K, Chaloulou CH, Koukouliou V, Lykomitrou CH. 2004. Determination of Radionuclides in Mytilus galloprovicialis by Alpha and Gamma-Spectroscopy. Mediterranean Marine Science. 5(1): 117-123. Flues M, Camargo IMC, Figueiredo PM, Silva PSC, Mazzilli BP. 2006. Evaluation of Radionuclides Concentration in Brazilian Coals. Fuel. 8: 807-812. Goddard CC, Jupp BP. 2001. The Radionuclide Content of Seaweeds in Seagrasses Around the Coast of Oman and the United Arab Emirates. Marine Pollution Buletin. 42(12): 1411-1416. Hall JE. 2002. Bioconcentration, Bioaccumulation, and Biomagnification in Puget Sound Biota: Assessing the Ecological Risk of Chemical Contaminants in Puget Sound. Tacoma (US): University of Washington Tacoma.
85
Hutagalung H, Setiapermana D. 1994. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota, Buku I dan II. Jakarta (ID): Puslitbang Oseanologi, LIPI. [IAEA]
International Atomic Energy Agency. 1989. Measurement of Radionuclides in Food and the Environment – A Guidebook. Technical. Report Series No. 295. Vienna, Austria: International Atomic Energy Agency.
[IAEA] International Atomic Energy Agency. 1990. Practical Aspect of Operating a Neutron Activation Analysis Laboratory IAEA Tecdoc-564. Vienna, Austria: International Atomic Energy Agency. [IAEA] International Atomic Energy Agency. 1996. Safety Series No. 115, International Basic Safety Standards for Protection Against Ionizing Radiation and for The Safety of Radiation Sources. Vienna, Austria: International Atomic Energy Agency. [IAEA] International Atomic Energy Agency. 1999. Assessment of Doses to the Public From Ingested Radionuclides. Safety Report Series No. 14. Vienna, Austria: International Atomic Energy Agency. [IEER] Institute for Energy and Environmental Research. 2005. Uranium: Its Uses and Hazards. [diunduh 3 Juli 2010] Tersedia pada: www.ieer.org/fctsheet/uranium.html. Ishikawa Y, Kagaya H, Saga K. 2004. Biomagnification of 7Be, 234Th, and 228Ra in Marine Organisms Near the Northern Pacific Coast of Japan. Journal of Environmental Radioactivity. 76: 103–112. Jumaeri W, Astuti, Lestari WTP. 2007. Preparasi dan Karakterisasi Zeolit dari Abu Layang Batubara Secara Alkali Hidrotermal. Reaktor. 11 (1): 38-44. Kathren RL. 1998. Norm Sources and Their Origins. Appl. Radiation Isotopes. 49(3): 149-168. Laws EA. 1993. Aquatic Pollution. An Introductory Text 2nd Edition. New York (US): John Wiley & Sons, Inc. Lestarina, PM. 2011. Produktivitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten. [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Libes SM. 1992. An Introduction to Marine Biogeochemistry. New York (US): John Wiley & Sons, Inc. Lu X, Jia X, Wang F. 2006. Natural Radioactivity of Coal and Its By-product in the Baoji Coal-fired Power Plant, China. CURRENT SCIENCE. 91(11): 1508-1511.
86
Meij R, Winkel H. 2001. Health Aspects of Coal Fly Ash. International Ash Utilization Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucky. No. 21. Mellawati J. 2004. Pencemaran Lingkungan oleh Unsur Radionuklida Alam 238U, 232 Th dan 226Ra di Sekitar Kawasan Industri Fosfat (Kajian di Perairan Pesisir Gresik). [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Mellawati J. 2009. Kajian Dampak Lepasan Radionuklida dari Pengoperasian PLTU Batubara dan PLTN ke Lingkungan. Presentasi Ilmiah Peneliti Utama Bidang Lingkungan; 27 Mei 2009. Pusat Pengembangan Energi Nuklir, BATAN Jakarta. Michael JK. 1994. Practical Handbook of Marine Science. Boca Raton (US): CRC Press. Monte L, Perianez R, Boyer P, Smith JT, Brittain JE. 2009. The Role of Physical Processes Controlling the Behaviour of Radionuclide Contaminants in the Aquatic Environment: A Review of State-of-the Art Modelling Approaches. Journal of Environmental Radioactivity. 100: 779–784. Morrison RD, Murphy BL. 2006. Environmental Forensics. Contaminant Specific Guide. Waltham, Massachusetts (US): Elsevier Inc. Nagaya Y, Nakamura K. 1992. 239,240Pu and 137Cs in the East China and the Yellow Seas. Journal of Oseanografi. 48: 23-35. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan. Nuclear Healt Center-BATAN. 2008. Laboratorium AAN PTBIN Serpong. [diunduh 3 Juli 2010]. Tersedia pada: http://nhc.batan.go.id. Presiden Republik Indonesia. 1997. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran. [diunduh 3 Juli 2010]. Tersedia pada: http://pussisfogan.lapan.go.id/peraturan_I/ketenaganukliran.pdf Presiden Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Prijatama H, Sumarnadi ET. 1996. Mengubah Limbah Menjadi Rupiah: Pemanfaatan Limbah Abu Batubara PLTU. Prosiding Pemaparan Hasil Litbang Ilmu Pengetahuan Teknik. Bandung, 14-16 Oktober 1996. PT Indonesia Power. 2007. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Rencana Pembangunan PLTU I Banten Dalam Rangka Pengembangan PLTU Suralaya. Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya. Banten.
87
PT Indonesia Power. 2010. Pemantauan Pelaksanaan RKL dan RPL PLTU Suralaya (TW 3) Periode: Juli-September 2010. Unit Bisnis Pembangkitan Suralaya. Banten. PT Indonesia Power. 2011. Profil Suralaya. [diunduh 3 Juli 2010]. Tersedia pada: www.suralaya.com/profile.html. Pyle GG, Clulow FV. 1998. Radionuclide Equilibria Between the Aquatic Environment and Fish Tissues. Journal of Environmental Radioactivity. 40(1): 59-74. Randle K, Jundi JA. 2001. Instrumental Neutron Activation Analysis (INAA) of Estuarine Sediments. Journal of Radioanalytical and Nuclear Chemistry. Vol. 249 (2): 361-367. Resmiati T, Diana S, Astuty S. 2002. Komposisi Jenis Alat Tangkap yang Beroperasi di Perairan Teluk Banten, Serang. Laporan Penelitian. Bandung (ID)): Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Saifullah. 2010. Potensi Perikanan di Pulau Panjang, Serang. Media Informasi Online Perikanan Untirta. Serang, Banten (ID): Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayas. Shepard FP. 1954. Nomenclature Based on Sand-silt-clay Ratios. Journal of Sedimentary Petrology. 24: 151-158. Smith KP. 1992. An Overview of Naturally Occuring Radioavtive Materials (NORM) in the Petrolium Industry. United States Department of Energy. Strezov A, Nonova T. 2009. Influence of Macroalgal Diversity on Accumulation of Radionuclides and Heavy Metals in Bulgarian Black Sea Ecosystems. Journal of Environmental Radioactivity. 100: 144-150. Sukandarrumidi. 2009. Batubara dan Pemanfaatannya. Pengantar Teknologi Batubara Menuju Lingkungan Bersih. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Suseno H, Umbara H. 2006. Pengukuran Radionuklida Alam dan Antropogenik di Kawasan Semenanjung Muria. Seminar Keselamatan Nuklir. BATAN. Susiati H. 2006. Dampak Radioaktif Penggunaan Energi Fosil Batubara dan Energi Nuklir di Pusat Pembangkit Listrik. Prosiding Seminar Nasional ke-12 Teknologi dan Keselamatan PLTN Serta Fasilitas Nuklir. Sutarman. 2007. Dosis Radiasi yang Diterima Penduduk di Sekitar Pengoperasian PLTU Batubara. Buletin Alara. 8(3): 145 – 150.
88
Tateda Y, Koyanagi T. 1986. Accumulation of Radionuclides by Common Mussel Mytilus edulis and Purplish Bifurcate Mussel Septifer virgatus. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries. 52(11): 2019-2026. Thayib MH. 1990. Pencemaran oleh Radionuklida. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Tim Kajian Batubara Nasional. 2006. Batubara Indonesia. Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara. Jakarta (ID): Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara. Tkalin AV, Lishavskaya TS, Shulkin VM. 1998. Radionuclides and Trace Metals in Mussels and Bottom Sediments Around Vladivostok, Russia. Marine Pollution Bulletin. 36 (7): 551-554. [UNSCEAR] United Nations Scientific Committee of the Effects of Atomic Radiation. 1993. Sources, Effects and Risks of Ionizing Radiation. United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation. Report to The General Assmbly, with Annexes. New York (US): UNSCEAR. [UNSCEAR] United Nations Scientific Committee of the Effects of Atomic Radiation. 2000. Sources, Effects and Risks of Ionizing Radiation. Volume 2. United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation. New York (US): UNSCEAR. Warner F, Harrison RM. 1993. Radioecology after Chernobyl: Biogeochemical, Pathways of Artificial Radionuclides. Chennai (IN): M S Swaminathan Research Foundation. [WHO] World Health Organization. 2001. Depleted Uranium; Sources, Exposure and Health Effects. Geneva, Switzerland: WHO. [WHO] World Health Organization. 2003. Depleted Uranium. [diunduh 3 Juli 2010] Tersedia pada: www.who.int/mediacentre/factsheets/fs257/en/. World Nuclear Association. 2009. Thorium. [diunduh 3 Juli 2010] Tersedia pada: www.world-nuclear.org/info/inf62.html.
89
L A M P I R A N
90
Lampiran 1. Prosedur analisis muatan padatan tersuspensi/TSS (APHA 2005). -
Kertas saring nucleopore dengan ukuran pori 0,45 µm sebelum digunakan di rendam dalam HCl 6N selama 1 minggu kemudian dibilas dengan akuades, dikeringkan dalam oven hingga bobot konstan dan ditimbang berat kosongnya sebagai berat awal.
-
Contoh air laut 1000 mL disaring dengan kertas saring.
-
Kertas saring dikeringkan dalam oven selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit.
-
Timbang untuk mengetahui beratnya setelah penyaringan (berat akhir) dan TSS-nya dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut: =
ℎ
−
× 1000 × 1000
Lampiran 2. Prosedur analisis kandungan bahan organik total (TOM) sedimen (APHA 1992). -
Cawan keramik kosong ditimbang untuk mengetahui beratnya (A).
-
Dimasukkan sampel sedimen ±3 gram ke dalam cawan keramik dan selanjutnya cawan beserta sedimen basah ditimbang beratnya (B).
-
Sampel sedimen dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam, dan didinginkan dalam desikator serta ditimbang berat cawan beserta sedimen kering (C).
-
Dimasukkan kembali sedimen kering dalam cawan ke dalam tanur dengan suhu 500 oC selama 4 jam. Didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat cawan beserta sedimen (D).
-
Bahan organik dalam sedimen ditunjukkan dengan persentase yang hilang dalam pembakaran (% Loss On Ignition), dengan rumus sebagai berikut:
%LOI =
C−D ×100 B− A
91
Lampiran 3. Analisis tekstur sedimen (metode pemipetan) (Eleftheriou dan McIntyre 2005). 1. Sampel sedimen diambil secukupnya dan diletakkan di petri disk atau cawan petri, kemudian di keringkan dalam oven selama 16 jam (24 jam) pada suhu 105-110 0C. 2. Sampel sedimen yang sudah kering ditumbuk dengan mortar hingga halus. 3. Sampel sedimen sebanyak 25 g diletakkan dan diayak dengan sieve shaker selama 20 menit dengan saringan mesh 10 (2 mm), 40 (0,425 mm), 50 (0,297 mm), 100 (0,150 mm), 230 (0,063 mm). 4. Hasil yang diperoleh disetiap tingkat ayakan ditimbang dan sedimen yang lolos saringan dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 mL dan diisi aquades hingga penuh 1000 mL kemudian gelas ukur dibolak-balikkan hingga campuran homogen. 5. Dilakukan pemipetan sesuai waktu dan kecepatan tenggelam. Diameter butir (mm) 0,0625 0,0312 0,0156 0,0073 0,0039 a.
Jarak tenggelam (cm) 20 10 10 10 10
Jam 2
Waktu Menit 1 7 31 3
Detik 58 56 44 0 0
Pemipetan pertama dilakukan pada detik ke-58 setelah gelas ukur dikocok hingga campuran homogen pada jarak 20 cm dari permukaan air sebanyak 20 mL kemudian diletakkan pada cawan A.
b.
Pemipetan kedua dilakukan pada waktu 1 menit 56 detik dengan jarak 10 cm dari permukaan air sebanyak 20 mL kemudian diletakkan pada cawan B.
c.
Pemipetan ketiga dilakukan pada waktu 7 menit 44 detik dengan jarak 10 cm dari permukaan air sebanyak 20 mL kemudian diletakkan pada cawan C.
92
d.
Pemipetan keempat dilakukan pada waktu 31 menit dengan jarak 10 cm dari permukaan air sebanyak 20 mL kemudian diletakkan pada cawan D.
e.
Pemipetan kelima dilakukan pada waktu 2 jam 3 menit dengan jarak 10 cm dari permukaan air sebanyak 20 mL kemudian diletakkan pada cawan E.
6. Hasil pemipetan dikeringkan dalam oven pada suhu 1000C. 7. Sampel diambil dan didinginkan selama 10 menit, kemudian ditimbang untuk mendapatkan berat masing-masing fraksi pemipetan menggunakan persamaan sebagai berikut : Berat fraksi pemipetan = berat akhir cawan - berat awal cawan 8. Berat masing-masing fraksi hasil pemipetan kemudian dikonversikan dalam 1 L ( dikalikan 50) 9. Berat sedimen antar ukuran butir sedimen dari metode pemipetan diperoleh dengan mengurangkan hasil pemipetan sebelumnya. Sebagai contoh, berat sedimen diameter 0,0312-0,063 didapatkan dari hasil konversi berat sedimen ukuran 0,0625 dikurangi hasil konversi berat sedimen ukuran 0,0312. 10. Persentase masing-masing ukuran butir sedimen dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: Berat fraksi Sedimen (g) Berat Fraksi Sedimen (%) =
Berat Total Sedimen (g)
X 100%
93
Stasiun 4 (lokasi pembanding)
Lampiran 4. Peta lokasi stasiun 4 (lokasi pembanding) di Teluk Lada, Banten
PLTU Labuan, Banten
93
94
Lampiran 5. Peta topografi Pulau Panjang
Sumber: Nugraha dan Yurianto (2010)
94
95
16-Jun-10 17-Jun-10 18-Jun-10 19-Jun-10 20-Jun-10 21-Jun-10 22-Jun-10 23-Jun-10 24-Jun-10 25-Jun-10 26-Jun-10 27-Jun-10 28-Jun-10 29-Jun-10 30-Jun-10
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
22 23
80 90 90 90 80 80 70 70 70 70 70 70 80 80 80
60 60 70 70 70 70 70 70 60 60 60 60 60 60 60
50 50 60 60 60 70 60 60 60 60 60 60 60 60 50
50 50 50 50 50 60 60 60 60 60 50 50 50 50 50
50 50 40 40 50 50 50 60 60 60 50 50 50 50 50
50 50 40 40 40 40 50 50 50 60 60 60 50 50 50
60 50 50 40 40 40 40 50 50 50 60 60 60 60 60
60 60 50 50 40 40 40 40 40 50 50 60 60 60 60
70 60 60 50 50 40 40 40 40 40 50 50 60 60 60
70 70 60 60 50 50 40 40 40 40 40 50 50 60 60
90 90 80 80 70 70 70 70 80 80 90 90 90 90 90
70 80 80 80 80 80 70 70 70 70 70 70 70 70 70
60 70 70 60 60 50 40 40 40 30 30 40 40 50 60
50 60 70 70 60 60 50 40 40 30 30 30 40 40 50
40 50 60 70 70 60 60 50 40 40 30 30 30 40 40
30 40 50 60 70 70 60 60 50 40 40 30 30 30 40
30 40 50 60 60 70 70 60 60 50 40 40 40 30 40
30 40 40 50 60 70 70 70 70 60 50 50 40 40 40
40 40 40 50 60 70 70 80 70 70 60 60 50 50 50
50 50 50 50 60 70 70 80 80 80 80 70 60 60 50
60 60 60 60 60 70 70 80 90 90 90 80 80 70 70
80 70 60 60 60 70 70 80 90 90 90 90 90 80 80
90 80 70 70 70 70 70 80 80 90 90 100 100 90 90
90 90 90 80 80 70 70 70 70 80 80 80 90 90 90
Lampiran 6. Data elevasi muka laut selama 15 hari dari Dishidros.
Tanggal
Waktu (jam) 0 1
95
96
Lampiran 7. Perhitungan bilangan Formzahl. Konstanta pasang surut di Suralaya, Banten Konstanta So
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
M4
MS4
60.1 11.0
7.0
3.1
1.6
12.4 5.8
4.1
1.3
1.2
381
271
313
271
351
351
814
305
Amplitudo (cm) Beda fase (g)
135
Secara kuantitatif, tipe pasut suatu perairan dapat ditentukan oleh nisbah (perbandingan) antara amplitudo (tinggi gelombang) unsur-unsur pasut tunggal utama dengan amplitudo unsur-unsur pasut ganda utama. Nisbah ini dikenal sebagai bilangan Formzahl yang mempunyai formula sebagai berikut (Pariwono, 1999) : F =
AO1 + AK1 -----------AM2 + AS2
dimana : AO1 = amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan AK1 = amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan dan surya AM2 = amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik bulan AS2 = amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh gaya tarik surya Dengan demikian jika nilai F berada antara : <0.25
: pasut bertipe ganda
0.25 – 1.50
: pasut bertipe campuran dengan tipe ganda yang menonjol
1.51 – 3.00
: pasut bertipe campuran dengan tipe tunggal yang menonjol
>3.00
: pasut bertipe tunggal
97
Lampiran 8. Konversi satuan bobot (gram) ke aktivitas (Bq) a)
Besarnya aktivitas 1 gram 238U: 238
λ
U = 4,50 x 109 tahun atau 1,42 x 1017 detik = λ x N(t)
( )
= (0,639)/ = jadi λ radionuklida 238U = (0,693)/( 1,42 x 1017) = 4,88 x 10-18 = Jumlah atom 238U per satuan waktu
N(t)
= (1/bobot massa) x Bilangan Avogadro (6,023 x 1023) = (1/238) x (6,023 x 1023) = 2,53 x 1021 = Aktivitas 1 gram 238U (Bq)
A(t)
= 4,88 x 10-18 x 2,53 x 1021 = 12358,05 Bq Jadi, 1 gram
238
U ≅ 12358,05 Bq; 1 Bq = 8,09189 x 10-5 gram = 0,0809 mg 238U.
b) Besarnya aktivitas 1 gram 232Th: 232
λ
( )
Th = 1,39 x 1010 tahun atau 4,38 x 1017 detik = λ x N(t) = (0,639)/ = jadi λ radionuklida 232Th = (0,693)/(4,38 x 1017) = 1,58 x 10-18
N(t)
= Jumlah atom 232Th per satuan waktu = (1/bobot massa) x Bilangan Avogadro (6,023 x 1023) = (1/232) x (6,023 x 1023) = 2,59 x 1021
A(t)
= Aktivitas 1 gram 232Th (Bq) = 1,58 x 10-18 x 2,59 x 1021 = 4104,28 Bq
Jadi, 1 gram
Th ≅ 4104,28 Bq; 1 Bq = 2,44 x 10-4 gram = 0,24365 mg 232Th.
232
98
Lampiran 9. Batas deteksi alat (detection limits) dari 238U dan 232Th Area sampel terdeteksi
Area batas deteksi
Penjumlahan antara area sampel terdeteksi dan area dibawah deteksi adalah total area sampel yang digunakan. Rumus area batas deteksi ≈ Luas area trapesium
Luas area batas deteksi = ½ x tinggi x jumlah sisi sejajar (cps) = (½ x (nilai right marker – left marker) x (count kiri+count kanan)) - Dihitung nilai luas area trapesium 238U dan 232Th dibeberapa sampel. - Dihitung standar deviasi (sd) dari data luas area beberapa sampel tersebut. Batas deteksi (detection limit) = Perhitungan 1. Hasil perhitungan dari 3 sampel diperoleh standar deviasi untuk 238U = 0,3619. Maka detection limit =
,
,
0,8756 = 0,4371 mg/kg = 5,3984 Bq/kg
(batas deteksi 238U untuk sedimen, rumput laut dan biota). Batas deteksi 238U dalam air laut: Dari 5 liter air laut diperoleh abu 0,1619 kg, maka per liternya 0,0324 kg. Detection limit 238U untuk di dalam air laut =((5,3984 Bq/kg x 0,0324 kg/l) = 0,1749 Bq/l. 2. Hasil perhitungan dari 3 sampel diperoleh standar deviasi untuk 232Th= 0,2250. Maka detection limit = 232
,
,
2,0311 = 0,1163 mg/kg = 0,4777 Bq/kg
(batas deteksi Th untuk sedimen, rumput laut dan biota). Batas deteksi 232Th dalam air laut: Dari 5 liter air laut diperoleh abu 0,1619 kg, maka per liternya 0,0324 kg. Detection limit 232Th untuk di dalam air laut =((0,4777 Bq/kg x 0,0324 kg/l) = 0,0155 Bq/l.
99
Lampiran 10. Curah hujan bulanan dari rata-rata data 3 tahun (2004 - 2006) di darerah Kabupaten Serang Rata-rata curah hujan (mm) Bulan 2004 2005 2006 Rata-rata Januari 83 305 224 204 Februari 253 287 234 258 Maret 128 192 345 221.7 April 47 87 85 73 Mei 78 42 152 90.7 Juni 11 163 31 68.3 Juli 50 185 10 81.7 Agustus 9.2 44 8 20.4 September 32 66 0 32.7 Oktober 44 149 6 66.3 November 117 70 11 66 Desember 320 181 150 217 Lampiran 11. Tekstur sedimen Fraksi sedimen Stasiun % pasir % lanau % lempung (sand) (silt) (clay) 1 51,92 27,13 20,96 2 50,16 28,62 21,22 3 95,8 3,52 0,68 4 97,95 1,92 0,13
Tipe sedimen Pasir berlanau Pasir berlanau Pasir Pasir
100
Lampiran 12. Rata-rata konsumsi kerang dan ikan teri oleh penduduk Kampung Peres, Pulau Panjang, Banten Kerang Ikan teri Usia Nama (tahun) kg/hari kg/minggu kg/tahun kg/hari kg/minggu kg/tahun Fauziah 37 0,1486 0,1486 7,7256 0,0619 0,0619 3,2190 Risma 30 0,0891 0,1783 9,2708 0,0929 0,1857 9,6570 Irma 37 0,2229 0,6686 34,7654 0,1548 1,0833 56,3327 Ramah 40 0,0743 0,0743 3,8628 0,0413 0,1238 6,4380 Royati 54 0,2229 0,6686 34,7654 0,0929 0,1857 9,6570 Rusli 24 0,4457 1,3371 69,5308 0,1032 0,4127 21,4601 Imah 33 0,1040 0,2080 10,8159 0,0155 0,0310 1,6095 Sultonah 32 0,1486 0,4457 23,1769 0,0413 0,1651 8,5840 Samroh 50 0,1486 0,4457 23,1769 0,0516 0,1548 8,0475 Junenah 35 0,1486 0,5943 30,9026 0,1032 0,3095 16,0951 Saifullah 39 0,5943 2,9714 154,5128 0,1548 0,9286 48,2852 Arfad 52 0,4457 1,3371 69,5308 0,0516 0,1548 8,0475 Mariati 24 0,2971 2,0800 108,1590 0,0516 0,0516 2,6825 Nurhayati 30 0,0743 0,2971 15,4513 0,0619 0,1857 9,6570 Jahena 19 0,2971 0,8914 46,3538 0,1548 0,4643 24,1426 Halyah 26 0,5943 1,7828 92,7077 0,1032 0,3095 16,0951 Sayuni 25 0,2971 0,8914 46,3538 0,0413 0,1651 8,5840 Munawiyah 55 0,0743 0,1486 7,7256 0,0206 0,0619 3,2190 Sanati 30 0,4457 0,8914 46,3538 0,1857 1,3000 67,5993 Nurhayati 21 0,4457 3,1200 162,2384 0,1857 0,5571 28,9711 Rindiantika 20 0,1486 0,4457 23,1769 0,0619 0,1857 9,6570 Imas 27 0,0743 0,0743 3,8628 0,0619 0,1857 9,6570 Kamsari 32 0,1486 0,7429 38,6282 0,1032 0,7222 37,5552 Unedan 32 0,1486 0,1486 7,7256 0,0619 0,1238 6,4380 Masturoh 35 0,4457 1,7828 92,7077 0,0413 0,1238 6,4380 Ratna 45 0,4457 1,7828 92,7077 0,0929 0,6500 33,7996 Siti 40 0,4457 0,8914 46,3538 0,0619 0,1857 9,6570 Rasinah 45 0,2971 0,8914 46,3538 0,0619 0,1238 6,4380 Hawariah 50 0,2971 0,5943 30,9026 0,0413 0,1238 6,4380 Aslihah 35 0,1486 0,1486 7,7256 0,0310 0,0929 4,8285 Rumsiah 33 0,5349 0,5349 27,8123 0,0464 0,0464 2,4143 Hadaroh 39 0,2971 0,5943 30,9026 0,0464 0,0929 4,8285 Nurhasanah 23 0,4457 0,4457 23,1769 0,1548 1,0833 56,3327 Sarmunah 25 0,4457 0,8914 46,3538 0,1238 0,4952 25,7521 Hasnah 30 0,4160 0,8320 43,2636 0,0825 0,4127 21,4601 Sartiah 28 0,2971 1,1886 61,8051 0,0929 0,6500 33,7996 Jubaedah 23 0,4457 2,2286 115,8846 0,0619 0,3095 16,0951 Ana 20 0,2971 0,5943 30,9026 0,1238 0,3714 19,3141 Haryati 28 0,1189 0,8320 43,2636 0,0413 0,2063 10,7300
101
Lampiran 12. (Lanjutan) Kerang Ikan teri Usia Nama (tahun) kg/hari kg/minggu kg/tahun kg/hari kg/minggu kg/tahun Hajanah 40 0,2971 0,5943 30,9026 0,0413 0,2063 10,7300 Dawiyan 30 0,2971 0,5943 30,9026 0,0413 0,0825 4,2920 Naah 50 0,2229 0,6686 34,7654 0,0929 0,1857 9,6570 Munirah 30 0,1486 0,4457 23,1769 0,0619 0,1238 6,4380 Rosihah 32 0,1486 0,7429 38,6282 0,0413 0,2063 10,7300 Masturoh 32 0,1486 0,4457 23,1769 0,0413 0,2889 15,0221 Rami 35 0,2971 0,2971 15,4513 0,0413 0,0825 4,2920 Nurhalimah 35 0,2971 2,0800 108,1590 0,0619 0,1857 9,6570 Jahuri 42 0,4457 3,1200 162,2384 0,1238 0,1238 6,4380 Saidi 35 0,6686 1,3371 69,5308 0,1857 0,1857 9,6570 Suhiyah 40 0,6686 0,6686 34,7654 0,1548 1,0833 56,3327 Maisarah 35 0,4457 0,4457 23,1769 0,1238 0,3714 19,3141 Robiyah 64 0,2971 1,4857 77,2564 0,0206 0,0413 2,1460 Rosmawati 28 0,2674 0,2674 13,9062 0,0619 0,2476 12,8761 Rofiko 32 0,2674 1,6046 83,4369 0,0619 0,4333 22,5331 Sarbiah 45 0,2674 0,2674 13,9062 0,0619 0,2476 12,8761 Harjanah 24 0,2229 0,2229 11,5885 0,0929 0,5571 28,9711 Rajab 85 0,0891 0,1783 9,2708 0,0929 0,2786 14,4856 Asiyah 70 0,2229 1,1143 57,9423 0,0619 0,3714 19,3141 Dahrona 22 0,1486 0,1486 7,7256 0,0413 0,1238 6,4380 Ibrohim 34 0,2229 0,2229 11,5885 0,0929 0,1857 9,6570 Mastuah 28 0,2229 0,2229 11,5885 0,0310 0,0310 1,6095 Wasiah 24 0,1486 0,4457 23,1769 0,0413 0,0825 4,2920 Salehah 35 0,4457 0,4457 23,1769 0,1238 0,8667 45,0662 Eliah 30 0,4457 0,8914 46,3538 0,0929 0,6500 33,7996 Hasbulah 43 0,1040 0,1040 5,4079 0,0413 0,2476 12,8761 Luthfi 41 0,6686 0,6686 34,7654 0,1548 1,0833 56,3327 Jupri 32 0,2229 1,5600 81,1192 0,1857 0,3714 19,3141 Rata-rata 0,2982 0,7604 39,5387 0,0811 0,3195 16,6124 sd 0,1643 0,6925 36,0119 0,0471 0,2862 14,8848
102
Lampiran 13. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 238U melalui ingesti kerang Asupan harian Asupan tahunan Nama 238 238 238 kg/hari U (Bq) U (g) kg/tahunan 238U (Bq) U (g) 1,50384E-05 7,7256 9,65798992 0,000781999 Fauziah 0,1486 0,185731 Risma 0,0891 0,111438 9,02306E-06 9,2708 11,5895879 0,000938398 Irma 0,2229 0,278596 2,25577E-05 34,7654 43,46095464 0,003518994 Ramah 0,0743 0,092865 7,51922E-06 3,8628 4,82899496 0,000390999 Royati 0,2229 0,278596 2,25577E-05 34,7654 43,46095464 0,003518994 Rusli 0,4457 0,557192 4,51153E-05 69,5308 86,92190928 0,007037987 Imah 0,1040 0,130011 1,05269E-05 10,8159 13,52118589 0,001094798 Sultonah 0,1486 0,185731 1,50384E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Samroh 0,1486 0,185731 1,50384E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Junenah 0,1486 0,185731 1,50384E-05 30,9026 38,63195968 0,003127994 Saifullah 0,5943 0,742923 6,01538E-05 154,5128 193,1597984 0,015639971 Arfad 0,4457 0,557192 4,51153E-05 69,5308 86,92190928 0,007037987 Mariati 0,2971 0,371461 3,00769E-05 108,1590 135,2118589 0,01094798 Nurhayati 0,0743 0,092865 7,51922E-06 15,4513 19,31597984 0,001563997 Jahena 0,2971 0,371461 3,00769E-05 46,3538 57,94793952 0,004691991 Halyah 0,5943 0,742923 6,01538E-05 92,7077 115,895879 0,009383983 Sayuni 0,2971 0,371461 3,00769E-05 46,3538 57,94793952 0,004691991 Munawiyah 0,0743 0,092865 7,51922E-06 7,7256 9,65798992 0,000781999 Sanati 0,4457 0,557192 4,51153E-05 46,3538 57,94793952 0,004691991 Nurhayati 0,4457 0,557192 4,51153E-05 162,2384 202,8177883 0,01642197 Rindiantika 0,1486 0,185731 1,50384E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Imas 0,0743 0,092865 7,51922E-06 3,8628 4,82899496 0,000390999 Kamsari 0,1486 0,185731 1,50384E-05 38,6282 48,2899496 0,003909993 Unedan 0,1486 0,185731 1,50384E-05 7,7256 9,65798992 0,000781999 Masturoh 0,4457 0,557192 4,51153E-05 92,7077 115,895879 0,009383983 Ratna 0,4457 0,557192 4,51153E-05 92,7077 115,895879 0,009383983 Siti 0,4457 0,557192 4,51153E-05 46,3538 57,94793952 0,004691991 Rasinah 0,2971 0,371461 3,00769E-05 46,3538 57,94793952 0,004691991 Hawariah 0,2971 0,371461 3,00769E-05 30,9026 38,63195968 0,003127994 Aslihah 0,1486 0,185731 1,50384E-05 7,7256 9,65798992 0,000781999 Rumsiah 0,5349 0,668630 5,41384E-05 27,8123 34,76876371 0,002815195 Hadaroh 0,2971 0,371461 3,00769E-05 30,9026 38,63195968 0,003127994 Nurhasanah 0,4457 0,557192 4,51153E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Sarmunah 0,4457 0,557192 4,51153E-05 46,3538 57,94793952 0,004691991 Hasnah 0,4160 0,520046 4,21076E-05 43,2636 54,08474355 0,004379192 Sartiah 0,2971 0,371461 3,00769E-05 61,8051 77,26391936 0,006255988 Jubaedah 0,4457 0,557192 4,51153E-05 115,8846 144,8698488 0,011729978 Ana 0,2971 0,371461 3,00769E-05 30,9026 38,63195968 0,003127994 Haryati 0,1189 0,148585 1,20308E-05 43,2636 54,08474355 0,004379192
103
Lampiran 13. (Lanjutan) Asupan harian Asupan tahunan Nama 238 238 238 kg/hari U (Bq) U (g) kg/tahunan 238U (Bq) U (g) 0,371461 3,00769E-05 30,9026 38,63195968 0,003127994 Hajanah 0,2971 Dawiyan 0,2971 0,371461 3,00769E-05 30,9026 38,63195968 0,003127994 Naah 0,2229 0,278596 2,25577E-05 34,7654 43,46095464 0,003518994 Munirah 0,1486 0,185731 1,50384E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Rosihah 0,1486 0,185731 1,50384E-05 38,6282 48,2899496 0,003909993 Masturoh 0,1486 0,185731 1,50384E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Rami 0,2971 0,371461 3,00769E-05 15,4513 19,31597984 0,001563997 Nurhalimah 0,2971 0,371461 3,00769E-05 108,1590 135,2118589 0,01094798 Jahuri 0,4457 0,557192 4,51153E-05 162,2384 202,8177883 0,01642197 Saidi 0,6686 0,835788 6,7673E-05 69,5308 86,92190928 0,007037987 Suhiyah 0,6686 0,835788 6,7673E-05 34,7654 43,46095464 0,003518994 Maisarah 0,4457 0,557192 4,51153E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Robiyah 0,2971 0,371461 3,00769E-05 77,2564 96,5798992 0,007819986 Rosmawati 0,2674 0,334315 2,70692E-05 13,9062 17,38438186 0,001407597 Rofiko 0,2674 0,334315 2,70692E-05 83,4369 104,3062911 0,008445584 Sarbiah 0,2674 0,334315 2,70692E-05 13,9062 17,38438186 0,001407597 Harjanah 0,2229 0,278596 2,25577E-05 11,5885 14,48698488 0,001172998 Rajab 0,0891 0,111438 9,02306E-06 9,2708 11,5895879 0,000938398 Asiyah 0,2229 0,278596 2,25577E-05 57,9423 72,4349244 0,005864989 Dahrona 0,1486 0,185731 1,50384E-05 7,7256 9,65798992 0,000781999 Ibrohim 0,2229 0,278596 2,25577E-05 11,5885 14,48698488 0,001172998 Mastuah 0,2229 0,278596 2,25577E-05 11,5885 14,48698488 0,001172998 Wasiah 0,1486 0,185731 1,50384E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Salehah 0,4457 0,557192 4,51153E-05 23,1769 28,97396976 0,002345996 Eliah 0,4457 0,557192 4,51153E-05 46,3538 57,94793952 0,004691991 Hasbulah 0,1040 0,130011 1,05269E-05 5,4079 6,760592944 0,000547399 Luthfi 0,6686 0,835788 6,7673E-05 34,7654 43,46095464 0,003518994 Jupri 0,2229 0,278596 2,25577E-05 81,1192 101,4088942 0,008210985 Rata-rata 0,3651 2,95606E-05 54,4451 0,004408371 Sd 0,2003 1,6215E-05 47,2533 0,003826054
104
Lampiran 14. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti kerang Asupan harian Asupan tahunan Nama 232 232 232 232 kg/hari Th (Bq) Th (g) kg/tahunan Th (Bq) Th (g) Fauziah 0,1486 0,0971 0,0000236 7,7256 5,0492 0,0012 Risma 0,0891 0,0583 0,0000142 9,2708 6,0591 0,0015 Irma 0,2229 0,1457 0,0000355 34,7654 22,7216 0,0055 Ramah 0,0743 0,0486 0,0000118 3,8628 2,5246 0,0006 Royati 0,2229 0,1457 0,0000355 34,7654 22,7216 0,0055 Rusli 0,4457 0,2913 0,0000709 69,5308 45,4432 0,0111 Imah 0,1040 0,0680 0,0000165 10,8159 7,0689 0,0017 Sultonah 0,1486 0,0971 0,0000236 23,1769 15,1477 0,0037 Samroh 0,1486 0,0971 0,0000236 23,1769 15,1477 0,0037 Junenah 0,1486 0,0971 0,0000236 30,9026 20,1970 0,0049 Saifullah 0,5943 0,3884 0,0000946 154,5128 100,9849 0,0246 Arfad 0,4457 0,2913 0,0000709 69,5308 45,4432 0,0111 Mariati 0,2971 0,1942 0,0000473 108,1590 70,6894 0,0172 Nurhayati 0,0743 0,0486 0,0000118 15,4513 10,0985 0,0025 Jahena 0,2971 0,1942 0,0000473 46,3538 30,2955 0,0074 Halyah 0,5943 0,3884 0,0000946 92,7077 60,5910 0,0148 Sayuni 0,2971 0,1942 0,0000473 46,3538 30,2955 0,0074 Munawiyah 0,0743 0,0486 0,0000118 7,7256 5,0492 0,0012 Sanati 0,4457 0,2913 0,0000709 46,3538 30,2955 0,0074 Nurhayati 0,4457 0,2913 0,0000709 162,2384 106,0342 0,0258 Rindiantika 0,1486 0,0971 0,0000236 23,1769 15,1477 0,0037 Imas 0,0743 0,0486 0,0000118 3,8628 2,5246 0,0006 Kamsari 0,1486 0,0971 0,0000236 38,6282 25,2462 0,0061 Unedan 0,1486 0,0971 0,0000236 7,7256 5,0492 0,0012 Masturoh 0,4457 0,2913 0,0000709 92,7077 60,5910 0,0148 Ratna 0,4457 0,2913 0,0000709 92,7077 60,5910 0,0148 Siti 0,4457 0,2913 0,0000709 46,3538 30,2955 0,0074 Rasinah 0,2971 0,1942 0,0000473 46,3538 30,2955 0,0074 Hawariah 0,2971 0,1942 0,0000473 30,9026 20,1970 0,0049 Aslihah 0,1486 0,0971 0,0000236 7,7256 5,0492 0,0012 Rumsiah 0,5349 0,3496 0,0000851 27,8123 18,1773 0,0044 Hadaroh 0,2971 0,1942 0,0000473 30,9026 20,1970 0,0049 Nurhasanah 0,4457 0,2913 0,0000709 23,1769 15,1477 0,0037 Sarmunah 0,4457 0,2913 0,0000709 46,3538 30,2955 0,0074 Hasnah 0,4160 0,2719 0,0000662 43,2636 28,2758 0,0069 Sartiah 0,2971 0,1942 0,0000473 61,8051 40,3940 0,0098 Jubaedah 0,4457 0,2913 0,0000709 115,8846 75,7387 0,0184 Ana 0,2971 0,1942 0,0000473 30,9026 20,1970 0,0049 Haryati 0,1189 0,0777 0,0000189 43,2636 28,2758 0,0069
105
Lampiran 14. (Lanjutan) Asupan harian Asupan tahunan Nama 232 232 232 kg/hari Th (Bq) Th (g) kg/tahunan Th (Bq) Hajanah 0,2971 0,1942 0,0000473 30,9026 20,1970 Dawiyan 0,2971 0,1942 0,0000473 30,9026 20,1970 Naah 0,2229 0,1457 0,0000355 34,7654 22,7216 Munirah 0,1486 0,0971 0,0000236 23,1769 15,1477 Rosihah 0,1486 0,0971 0,0000236 38,6282 25,2462 Masturoh 0,1486 0,0971 0,0000236 23,1769 15,1477 Rami 0,2971 0,1942 0,0000473 15,4513 10,0985 Nurhalimah 0,2971 0,1942 0,0000473 108,1590 70,6894 Jahuri 0,4457 0,2913 0,0000709 162,2384 106,0342 Saidi 0,6686 0,4370 0,0001064 69,5308 45,4432 Suhiyah 0,6686 0,4370 0,0001064 34,7654 22,7216 Maisarah 0,4457 0,2913 0,0000709 23,1769 15,1477 Robiyah 0,2971 0,1942 0,0000473 77,2564 50,4925 Rosmawati 0,2674 0,1748 0,0000426 13,9062 9,0886 Rofiko 0,2674 0,1748 0,0000426 83,4369 54,5319 Sarbiah 0,2674 0,1748 0,0000426 13,9062 9,0886 Harjanah 0,2229 0,1457 0,0000355 11,5885 7,5739 Rajab 0,0891 0,0583 0,0000142 9,2708 6,0591 Asiyah 0,2229 0,1457 0,0000355 57,9423 37,8693 Dahrona 0,1486 0,0971 0,0000236 7,7256 5,0492 Ibrohim 0,2229 0,1457 0,0000355 11,5885 7,5739 Mastuah 0,2229 0,1457 0,0000355 11,5885 7,5739 Wasiah 0,1486 0,0971 0,0000236 23,1769 15,1477 Salehah 0,4457 0,2913 0,0000709 23,1769 15,1477 Eliah 0,4457 0,2913 0,0000709 46,3538 30,2955 Hasbulah 0,1040 0,0680 0,0000165 5,4079 3,5345 Luthfi 0,6686 0,4370 0,0001064 34,7654 22,7216 Jupri 0,2229 0,1457 0,0000355 81,1192 53,0171 Rata-rata 0,1909 0,0000465 28,4642 sd 0,1047 0,0000255 24,7042
232
Th (g) 0,0049 0,0049 0,0055 0,0037 0,0061 0,0037 0,0025 0,0172 0,0258 0,0111 0,0055 0,0037 0,0123 0,0022 0,0133 0,0022 0,0018 0,0015 0,0092 0,0012 0,0018 0,0018 0,0037 0,0037 0,0074 0,0009 0,0055 0,0129 0,00693 0,006014
106
Lampiran 15. Asupan harian (daily intakes) dan tahunan (annual intakes) 232Th melalui ingesti ikan teri Asupan harian Asupan tahunan Nama 232 232 232 232 kg/hari Th (Bq) Th (g) kg/tahunan Th (Bq) Th (g) Fauziah 0,0619 0,0790 0,0000192 3,2190 4,1083 0,0010 Risma 0,0929 0,1185 0,0000289 9,6570 12,3250 0,0030 Irma 0,1548 0,1975 0,0000481 56,3327 71,8961 0,0175 Ramah 0,0413 0,0527 0,0000128 6,4380 8,2167 0,0020 Royati 0,0929 0,1185 0,0000289 9,6570 12,3250 0,0030 Rusli 0,1032 0,1317 0,0000321 21,4601 27,3890 0,0067 Imah 0,0155 0,0198 0,0000048 1,6095 2,0542 0,0005 Sultonah 0,0413 0,0527 0,0000128 8,5840 10,9556 0,0027 Samroh 0,0516 0,0658 0,0000160 8,0475 10,2709 0,0025 Junenah 0,1032 0,1317 0,0000321 16,0951 20,5417 0,0050 Saifullah 0,1548 0,1975 0,0000481 48,2852 61,6252 0,0150 Arfad 0,0516 0,0658 0,0000160 8,0475 10,2709 0,0025 Mariati 0,0516 0,0658 0,0000160 2,6825 3,4236 0,0008 Nurhayati 0,0619 0,0790 0,0000192 9,6570 12,3250 0,0030 Jahena 0,1548 0,1975 0,0000481 24,1426 30,8126 0,0075 Halyah 0,1032 0,1317 0,0000321 16,0951 20,5417 0,0050 Sayuni 0,0413 0,0527 0,0000128 8,5840 10,9556 0,0027 Munawiyah 0,0206 0,0263 0,0000064 3,2190 4,1083 0,0010 Sanati 0,1857 0,2370 0,0000577 67,5993 86,2753 0,0210 Nurhayati 0,1857 0,2370 0,0000577 28,9711 36,9751 0,0090 Rindiantika 0,0619 0,0790 0,0000192 9,6570 12,3250 0,0030 Imas 0,0619 0,0790 0,0000192 9,6570 12,3250 0,0030 Kamsari 0,1032 0,1317 0,0000321 37,5552 47,9307 0,0117 Unedan 0,0619 0,0790 0,0000192 6,4380 8,2167 0,0020 Masturoh 0,0413 0,0527 0,0000128 6,4380 8,2167 0,0020 Ratna 0,0929 0,1185 0,0000289 33,7996 43,1377 0,0105 Siti 0,0619 0,0790 0,0000192 9,6570 12,3250 0,0030 Rasinah 0,0619 0,0790 0,0000192 6,4380 8,2167 0,0020 Hawariah 0,0413 0,0527 0,0000128 6,4380 8,2167 0,0020 Aslihah 0,0310 0,0395 0,0000096 4,8285 6,1625 0,0015 Rumsiah 0,0464 0,0593 0,0000144 2,4143 3,0813 0,0008 Hadaroh 0,0464 0,0593 0,0000144 4,8285 6,1625 0,0015 Nurhasanah 0,1548 0,1975 0,0000481 56,3327 71,8961 0,0175 Sarmunah 0,1238 0,1580 0,0000385 25,7521 32,8668 0,0080 Hasnah 0,0825 0,1053 0,0000256 21,4601 27,3890 0,0067 Sartiah 0,0929 0,1185 0,0000289 33,7996 43,1377 0,0105 Jubaedah 0,0619 0,0790 0,0000192 16,0951 20,5417 0,0050 Ana 0,1238 0,1580 0,0000385 19,3141 24,6501 0,0060 Haryati 0,0413 0,0527 0.0000128 10,7300 13,6945 0,0033
107
Lampiran 15. (Lanjutan) Asupan harian Nama 232 kg/hari Th (Bq) 0,0527 Hajanah 0,0413 Dawiyan 0,0413 0,0527 Naah 0,0929 0,1185 Munirah 0,0619 0,0790 Rosihah 0,0413 0,0527 Masturoh 0,0413 0,0527 Rami 0,0413 0,0527 Nurhalimah 0,0619 0,0790 Jahuri 0,1238 0,1580 Saidi 0,1857 0,2370 Suhiyah 0,1548 0,1975 Maisarah 0,1238 0,1580 Robiyah 0,0206 0,0263 Rosmawati 0,0619 0,0790 Rofiko 0,0619 0,0790 Sarbiah 0,0619 0,0790 Harjanah 0,0929 0,1185 Rajab 0,0929 0,1185 Asiyah 0,0619 0,0790 Dahrona 0,0413 0,0527 Ibrohim 0,0929 0,1185 Mastuah 0,0310 0,0395 Wasiah 0,0413 0,0527 Salehah 0,1238 0,1580 Eliah 0,0929 0,1185 Hasbulah 0,0413 0,0527 Luthfi 0,1548 0,1975 Jupri 0,1857 0,2370 Rata-rata 0,1035 sd 0,0583
232
Th (g) 0,0000128 0,0000128 0,0000289 0,0000192 0,0000128 0,0000128 0,0000128 0,0000192 0,0000385 0,0000577 0,0000481 0,0000385 0,0000064 0,0000192 0,0000192 0,0000192 0,0000289 0,0000289 0,0000192 0,0000128 0,0000289 0,0000096 0,0000128 0,0000385 0,0000289 0,0000128 0,0000481 0,0000577 0,0000252 0,0000142
Asupan tahunan 232 kg/tahunan 232Th (Bq) Th (g) 10,7300 13,6945 0,0033 4,2920 5,4778 0,0013 9,6570 12,3250 0,0030 6,4380 8,2167 0,0020 10,7300 13,6945 0,0033 15,0221 19,1723 0,0047 4,2920 5,4778 0,0013 9,6570 12,3250 0,0030 6,4380 8,2167 0,0020 9,6570 12,3250 0,0030 56,3327 71,8961 0,0175 19,3141 24,6501 0,0060 2,1460 2,7389 0,0007 12,8761 16,4334 0,0040 22,5331 28,7584 0,0070 12,8761 16,4334 0,0040 28,9711 36,9751 0,0090 14,4856 18,4876 0,0045 19,3141 24,6501 0,0060 6,4380 8,2167 0,0020 9,6570 12,3250 0,0030 1,6095 2,0542 0,0005 4,2920 5,4778 0,0013 45,0662 57,5169 0,0140 33,7996 43,1377 0,0105 12,8761 16,4334 0,0040 56,3327 71,8961 0,0175 19,3141 24,6501 0,0060 21,8141 0,0053 20,1660 0,0049
108
Lampiran 16. Total asupan radionuklida alam 238U dan 232Th Total asupan radionuklida alam Total asupan radionuklida alam (Bq/tahun) (mg/tahun) Nama 238 232 238 232 U Th U Th Fauziah 9,6580 9,1576 0,7820 2,2294 Risma 11,5896 18,3841 0,9384 4,4757 Irma 43,4610 94,6177 3,5190 23,0350 Ramah 4,8290 10,7413 0,3910 2,6150 Royati 43,4610 35,0467 3,5190 8,5322 Rusli 86,9219 72,8322 7,0380 17,7313 Imah 13,5212 9,1231 1,0948 2,2211 Sultonah 28,9740 26,1033 2,3460 6,3549 Samroh 28,9740 25,4186 2,3460 6,1882 Junenah 38,6320 40,7387 3,1280 9,9180 Saifullah 193,1598 162,6102 15,6400 39,5880 Arfad 86,9219 55,7141 7,0380 13,5638 Mariati 135,2119 74,1131 10,9480 18,0431 Nurhayati 19,3160 22,4235 1,5640 5,4591 Jahena 57,9479 61,1081 4,6920 14,8770 Halyah 115,8959 81,1327 9,3840 19,7520 Sayuni 57,9479 41,2511 4,6920 10,0427 Munawiyah 9,6580 9,1576 0,7820 2,2294 Sanati 57,9479 116,5708 4,6920 28,3796 Nurhayati 202,8178 143,0093 16,4220 34,8161 Rindiantika 28,9740 27,4728 2,3460 6,6883 Imas 4,8290 14,8497 0,3910 3,6152 Kamsari 48,2899 73,1770 3,9100 17,8152 Unedan 9,6580 13,2659 0,7820 3,2296 Masturoh 115,8959 68,8077 9,3840 16,7515 Ratna 115,8959 103,7286 9,3840 25,2531 Siti 57,9479 42,6205 4,6920 10,3761 Rasinah 57,9479 38,5122 4,6920 9,3759 Hawariah 38,6320 28,4137 3,1280 6,9174 Aslihah 9,6580 11,2118 0,7820 2,7295 Rumsiah 34,7688 21,2585 2,8152 5,1755 Hadaroh 38,6320 26,3595 3,1280 6,4173 Nurhasanah 28,9740 87,0439 2,3460 21,1911 Sarmunah 57,9479 63,1623 4,6920 15,3771 Hasnah 54,0847 55,6648 4,3792 13,5518 Sartiah 77,2639 83,5316 6,2560 20,3361 Jubaedah 144,8698 96,2804 11,7300 23,4398
109
Lampiran 16. (Lanjutan) Total asupan radionuklida alam (Bq/tahun) Nama 238 232 U Th Ana Haryati Hajanah Dawiyan Naah Munirah Rosihah Masturoh Rami Nurhalimah Jahuri Saidi Suhiyah Maisarah Robiyah Rosmawati Rofiko Sarbiah Harjanah Rajab Asiyah Dahrona Ibrohim Mastuah Wasiah Salehah Eliah Hasbulah Luthfi Jupri Rata-rata sd
Total asupan radionuklida alam (mg/tahun) 238
U
232
Th
38,6320
44,8471
3,1280
10,9182
54,0847 38,6320 38,6320 43,4610 28,9740 48,2899 28,9740 19,3160 135,2119 202,8178 86,9219 43,4610 28,9740 96,5799 17,3844 104,3063 17,3844 14,4870 11,5896 72,4349 9,6580 14,4870 14,4870 28,9740 28,9740 57,9479 6,7606 43,4610 101,4089 54,4451 47,2533
41,9703 33,8915 25,6748 35,0467 23,3644 38,9407 34,3200 15,5763 83,0145 114,2509 57,7683 94,6177 39,7978 53,2314 25,5220 83,2903 25,5220 44,5490 24,5467 62,5194 13,2659 19,8989 9,6280 20,6255 72,6646 73,4331 19,9679 94,6177 77,6672 50,2783 34,4930
4,3792 3,1280 3,1280 3,5190 2,3460 3,9100 2,3460 1,5640 10,9480 16,4220 7,0380 3,5190 2,3460 7,8200 1,4076 8,4456 1,4076 1,1730 0,9384 5,8650 0,7820 1,1730 1,1730 2,3460 2,3460 4,6920 0,5474 3,5190 8,2110 4,4084 3,8261
10,2178 8,2510 6,2506 8,5322 5,6882 9,4803 8,3553 3,7921 20,2102 27,8148 14,0639 23,0350 9,6889 12,9594 6,2134 20,2773 6,2134 10,8456 5,9760 15,2206 3,2296 4,8445 2,3440 5,0214 17,6905 17,8776 4,8612 23,0350 18,9083 12,2404 8,3974
110
Lampiran 17. Dosis efektif terikat (intake of commited effective dose) per tahun dari konsumsi kerang dan ikan teri Dosis efektif terikat (Sv/tahun) Total dosis efektif terikat Nama 238 232 (mSv/tahun) U Th Fauziah Risma Irma Ramah Royati Rusli Imah Sultonah Samroh Junenah Saifullah Arfad Mariati Nurhayati Jahena Halyah Sayuni Munawiyah Sanati Nurhayati Rindiantika Imas Kamsari Unedan Masturoh Ratna Siti Rasinah Hawariah Aslihah Rumsiah Hadaroh Nurhasanah Sarmunah Hasnah Sartiah Jubaedah
4,346E-07 5,215E-07 1,956E-06 2,173E-07 1,956E-06 3,911E-06 6,085E-07 1,304E-06 1,304E-06 1,738E-06 8,692E-06 3,911E-06 6,085E-06 8,692E-07 2,608E-06 5,215E-06 2,608E-06 4,346E-07 2,608E-06 9,127E-06 1,304E-06 2,173E-07 2,173E-06 4,346E-07 5,215E-06 5,215E-06 2,608E-06 2,608E-06 1,738E-06 4,346E-07 1,565E-06 1,738E-06 1,304E-06 2,608E-06 2,434E-06 3,477E-06 6,519E-06
2,106E-06 4,228E-06 2,176E-05 2,470E-06 8,061E-06 1,675E-05 2,098E-06 6,004E-06 5,846E-06 9,370E-06 3,740E-05 1,281E-05 1,705E-05 5,157E-06 1,405E-05 1,866E-05 9,488E-06 2,106E-06 2,681E-05 3,289E-05 6,319E-06 3,415E-06 1,683E-05 3,051E-06 1,583E-05 2,386E-05 9,803E-06 8,858E-06 6,535E-06 2,579E-06 4,889E-06 6,063E-06 2,002E-05 1,453E-05 1,280E-05 1,921E-05 2,214E-05
0,0025 0,0047 0,0237 0,0027 0,0100 0,0207 0,0027 0,0073 0,0072 0,0111 0,0461 0,0167 0,0231 0,0060 0,0167 0,0239 0,0121 0,0025 0,0294 0,0420 0,0076 0,0036 0,0190 0,0035 0,0210 0,0291 0,0124 0,0115 0,0083 0,0030 0,0065 0,0078 0,0213 0,0171 0,0152 0,0227 0,0287
111
Lampiran 17. (Lanjutan) Dosis efektif terikat (Sv/tahun) Nama 238 232 U Th Ana 1,738E-06 1,031E-05 Haryati 2,434E-06 9,653E-06 Hajanah 1,738E-06 7,795E-06 Dawiyan 1,738E-06 5,905E-06 Naah 1,956E-06 8,061E-06 5,374E-06 Munirah 1,304E-06 Rosihah 2,173E-06 8,956E-06 Masturoh 1,304E-06 7,894E-06 3,583E-06 Rami 8,692E-07 Nurhalimah 6,085E-06 1,909E-05 Jahuri 9,127E-06 2,628E-05 Saidi 3,911E-06 1,329E-05 Suhiyah 1,956E-06 2,176E-05 Maisarah 1,304E-06 9,153E-06 1,224E-05 Robiyah 4,346E-06 Rosmawati 7,823E-07 5,870E-06 Rofiko 4,694E-06 1,916E-05 5,870E-06 Sarbiah 7,823E-07 Harjanah 6,519E-07 1,025E-05 5,646E-06 Rajab 5,215E-07 Asiyah 3,260E-06 1,438E-05 Dahrona 4,346E-07 3,051E-06 4,577E-06 Ibrohim 6,519E-07 Mastuah 6,519E-07 2,214E-06 Wasiah 1,304E-06 4,744E-06 1,671E-05 Salehah 1,304E-06 Eliah 2,608E-06 1,689E-05 4,593E-06 Hasbulah 3,042E-07 Luthfi 1,956E-06 2,176E-05 Jupri 4,563E-06 1,786E-05 Rata-rata 2,450E-06 1,156E-05 sd 2,126E-06 7,933E-06
Total dosis efektif terikat (mSv/tahun) 0,0121 0,0121 0,0095 0,0076 0,0100 0,0067 0,0111 0,0092 0,0045 0,0252 0,0354 0,0172 0,0237 0,0105 0,0166 0,0067 0,0239 0,0067 0,0109 0,0062 0,0176 0,0035 0,0052 0,0029 0,0060 0,0180 0,0195 0,0049 0,0237 0,0224 0,0140 0,0097
112
Lampiran 18. Gambar sampel rumput laut.
E. alvarezii (Doty) di Pulau Panjang, Banten
Sargassum duplicatum di Pulau Panjang dan Citeureup, Banten
Padina australis
E. alvarezii (Doty) di Citeureup, Banten
Gracilaria salicornia
Ulva lactuca
113
St.
1
Lintang
Bujur
(Selatan)
(Timur)
o
5 56’24,7” o
Kedalaman (meter)
Salinitas
pH
Suhu (oC)
(‰)
DO (mg/l)
Radionuklida Alam dalam Sedimen (Bq/kg)
Radionuklida Alam dalam Air Laut (Bq/l)
Nilai Kualitas Perairan TSS
Total 238
(mg/l)
U
Tersuspensi
232
238
Th
232
U
Th
Terlarut 238
U
232
Th
238
U
232
Th
o
10
30,2
8,15
30,1
2,23
16,2
ttd
0,1299
ttd
0,0433
ttd
0,0866
186,160
214,601
o
106 08’16,7”
2
5 55’18,1”
106 08’14,5”
12
30,3
8,33
29,8
1,68
15,2
ttd
0,1220
ttd
0,0269
ttd
0,0951
350,013
356,685
3
5o56’09,2”
106o10’12,8”
7
30,7
7,56
29,5
0,72
17,2
ttd
0,0790
ttd
0,0167
ttd
0,0623
349,416
112,020
4
6o38’53,2”
105o38’40,4”
3
27,0
7,91
31,0
-
19,7
ttd
Alami
7-8,5
Alami
5≥
≤08
0,0671 ttd 0,0338 ttd 0,0333 Kisaran Alami (Michael 1994) 238 U: 0,023-0,058; 232Th: 0,0012-2
Baku Mutu (Kepmen LH No. 51 Th. 2004):
238
Jenis rumput laut
Keterangan 1
Eucheuma alvarezii (Doty)
Budidaya (Algae merah)
Gracilaria salicornia
Alami (Algae merah)
Sargassum duplicatum
Alami (Algae coklat)
Padina australis
Alami (Algae coklat)
Ulva lactuca
Alami (Algae hijau)
2
232
U (Bq/kg) 3
104,253 165,952 238 U: 10-50; 232 Th: 7-50
Th (Bq/kg)
4
1
2
3
4
ttd
ttd
ttd
ttd
48,347
38,658
36,735
23,005
-
36,851
60,847
-
-
45,502
39,941
-
-
223,467
140,890
195,367
-
44,895
43,263
26,729
-
-
161,515
-
-
-
48,386
-
-
-
480,430
-
-
-
90,788
-
Lampiran 19. Nilai kualitas perairan dan konsentrasi radionuklida alam dalam air laut, sedimen dan rumput laut di lokasi pengamatan, Juni-Juli 2010
Posisi
113