KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Sekretariat P3KP: SUD Forum Lantai 8 Jl. Pattimura No. 20 Keb. Baru - Jakarta Selatan 12110 Tel/Fax: 021-7231611, 021-7243431 www.penataanruang.net
Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia
Bentuk kepedulian dan rencana aksi nyata Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang bersama dengan mitra Badan Pelestarian Pusaka Indonesia dalam program Pelestarian adalah bentuk penghargaan kita pada sejarah dan sebagai aset untuk masa depan bangsa Indonesia. Aset pusaka, pengelolaan, peran pemerintah daerah, stakeholder dan partisipasi lembaga pelestari serta masyarakat lokal dalam suatu tatanan ruang adalah unsur penting dalam mengembangkan suatu sistem pelestarian Kota Pusaka Indonesia yang berkelanjutan dan diharapkan dapat menambah khasanah keragaman Kota Pusaka Dunia. Mari wujudkan Kota Pusaka Indonesia yang lestari.
Kota Pusaka
Saatnya Kita Peduli!
Kota Pusaka Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG
Pasar Apung, Banjarmasin Foto sumber: portalbanjarmasin.com
Balai Kota, Malang Foto sumber: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI
Kota Pusaka Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia
KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG
Pengantar Imam S. Ernawi Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum
I
ndonesia merupakan negara yang memiliki potensi warisan budaya yang kaya dan beragam. Potensi ini terwujud dalam bentuk kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan kawasan bersejarah. Kekayaan dan keragaman warisan budaya inilah yang telah memberikan kontribusi kepada kotakota di Indonesia, sehingga masyarakat kota dengan proses budayanya, telah membentuk karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas melekat pada setiap kota serta memberikan peran signifikan dalam pembentukan identitas kota Undang-undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya kota-kota memperhatikan nilai parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.Hal ini mengandung makna bahwa tema budaya menjadi salah satu faktor determinan dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya, seperti lingkungan, sumber daya alam dan teknologi, ekonomi dan pertahanan keamanan. Pelestarian dan pengelolaan kota-kota pusaka sangat bergantung dengan potensi pusaka yang terdapat didalamnya.Kota-kota atau kawasan pusaka dengan nilai peninggalan budaya yang kuat perlu lebih komprehensif penanganannya,sehingga tidak terfragmentasi secara sektoral. Untuk itu, pendekatan pengelolaan kawasan pusaka harus berbasis pada kebijakan spasial penataan ruang daerah setempat yang solid dan konsisten, tercermin antara lain dari
urban leadership serta kebijakan program dan anggaran yang responsif. Integrasi antar sektor yang mengambil locus pada kawasan pusaka dengan aset-asetnya harus diselenggarakan dalam kerangka mewujudkan kota pusaka sebagai identitas utama, sekaligus mendorong berbagai potensi ekonomi yang mengikutinya. Keragaman visi jangka panjang kota-kota pusaka seyogyanya tertuang pada kebijakan penataan ruang secara hirarkis dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang(RDTR), hingga elaborasi panduan tata bangunan dan lingkungan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan(RTBL). Kebijakan tersebut dapat menjadi arahan dasar dalam pelestarian dan pengelolaan kawasan pusaka secara terintegrasi dengan elemen kota sekitar sebagai sebuah entitas perkotaan yang utuh. Diperlukan kelembagaan yang adaptif untuk mewujudkan kualitas tata ruang berbasis pelestarian pusaka dan budaya kota yang berkelanjutan. Pada tahun 2011 yang lalu, Kementerian Pekerjaan Umum c.q Ditjen Penataan Ruang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) telah memetakan 9 (sembilan) kota pusaka sebagai laboratorium untuk mengenal beberapa karakter kota/ kawasan pusaka di Indonesia. Kesembilan kota pusaka tersebut dapat dibagi menjadi beberapa tipologi kota pusaka, sebagai berikut: (1) Bukittinggi adalah kota sedang di perbukitan/dataran tinggi, (2) Sawahlunto merupakan kota kecil peninggalan pertambangan, (3) Baubau adalah kota kecil dengan 1000 Benteng dan Pelabuhan tradisional, (4) Yogyakarta merupakan kota besar pada dataran rendah yang sudah berkembang pesat, (5) Banjarmasin merupakan kota besar dengan tipologi kota tepian air (waterfront city), (6) Ternate merupakan kota pesisir pantai dengan karakter
kepulauan, (7) Malang merupakan kota besar ex-pusat pemerintahan kolonial, (8) Banda Aceh merupakan kota sedang dengan pusaka religius yang kental, dan (9) Ambon merupakan kota sedang dengan karakter pesisir dan pelabuhan yang kuat. Keragaman tipologi kota pusaka yang dimiliki oleh Indonesia membuktikan bahwa potensi kearifan lokal yang telah mengental dapat menjadi dasar terwujudnya Kota Pusaka Indonesia, sekaligus sebagai cikal bakal menuju Kota Pusaka Dunia (World Heritage City). Bagi kota-kota yang memiliki peninggalan kebudayaan yang kuat dan telah terjaga dengan baik diharapkan dapat terus meningkatkan integrasinya dengan lingkungan binaan perkotaan agar kota pusaka dapat meningkat kualitasnya secara simultan, sedangkan untuk kota-kota lainnya perlu terus didorong untuk meningkatkan pengelolaan kawasan pusakanya sesuai dengan arahan rencana tata ruangnya. Akhirnya, kami berharap buku “Kota Pusaka: Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia” benarbenar dapat menjadi media belajar bagi semua pihak yang menaruh perhatian besar dalam pengelolaan dan pelestarian Kota Pusaka, sekaligus membangun motivasi dan inspirasi baruyang menjadi titik tolak dalam perumusan langkah tindak lanjut yang terukur, terjangkau, dan lebih sistematis menuju Kota Pusaka Dunia di tanah air yang berkelanjutan. Direktur Jenderal Penataan Ruang
Imam S. Ernawi
Kata Pengantar
3
Sambutan I Gede Ardika
Ketua Dewan Pimpinan BPPI Salam lestari! Buku ringkasan eksekutif “Kota Pusaka, Langkah Indonesia Membuka Mata Dunia” merupakan sebuah upaya strategis untuk mengantarkan para pemangku kepentingan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian aset pusaka di daerahnya masing-masing serta pengelolaan untuk pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakatnya, yang pada akhirnya mengantarkannya untuk mendapatkan pengakuan di tingkat nasional dan dunia. Menarik sekali mencermati hasil kajian dari survey dan pengumpulan data dalam penajaman kriteria kota pusaka dan penilaian kapasitas manajemen kota pusaka pada beberapa kota yang telah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum cq. Direktorat Jenderal Penataan Ruang bersama-sama Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) pada akhir tahun 2011. Kajian yang akhirnya mengerucut pada pendefinisian kota pusaka Indonesia adalah “kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak-ragawi serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota, yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.” Pemahaman ini berangkat dari kriteria yang terlebih dahulu disusun oleh UNESCO mengenai kota pusaka dunia. Kota
yang memenuhi deskripsi sebagai kota pusaka dunia merupakan kota yang penting dan istimewa sehingga melampaui batas-batas nasional dan memiliki nilai penting bagi umat manusia di masa kini maupun mendatang. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa sebuah perencanaan tata ruang tidak mudah mengakomodasi kompleksnya aspek sosial budaya dan bahkan belum sepenuhnya RTRW Kota mendapatkan perhatian lintas sektoral yang terpadu dalam implementasi pelestarian dan pengelolaan pusaka di masing-masing kota. Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) mendukung sepenuhnya program dari Kementerian Pekerjaan umum cq. Direktorat Jenderal Penataan Ruang yang akan memberikan perhatian kepada Kota Pusaka melalui Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP), guna mengawal implementasi Undang Undang Penataan Ruang.
pengelolaan Kota Pusaka dalam kaidah penataan ruang khususnya, maka sekaligus juga membantu penyadaran kepedulian dan apresiasi terhadap aset pusaka dan menghindarkannya dari penghancuran. Program ini akan mendorong perumusan kebijakankebijakan yang diperlukan untuk mewujudkan komitmen dan sinergi dukungan lintas sektoral, pemerintah daerah dan masyarakat setempat, dalam meningkatkan kualitas ruang serta kualitas hidup masyarakat dalam aktualisasi Kota Pusaka Indonesia, atau bahkan dapat dinominasikan sebagai Kota Pusaka Dunia.
Hal ini menjadikan P3KP strategis di samping mempersiapkan pelaksanaan pelestarian dan
I Gede Ardika
Nias
Sumber Foto: BPPI
Terima kasih kami ucapkan kepada pihak-pihak yang telah memberikan masukan sehingga tersusunnya buku ringkasan eksekutif ini. Ketua Dewan Pimpinan BPPI
Kata Pengantar
5
Panorama Candi Borobudur dan Gunung Merapi Sumber Foto: Suparno, Borobudur, Magelang
6
Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka
Daftar Isi Pendahuluan 9 Dasar Kebijakan
17
Kajian Pustaka
43
Studi Profil Kota Pusaka
59
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
95
Kesimpulan dan Rekomendasi
113
Lampiran
121
Daftar Pustaka
144
Tim Penyusun
146
Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka
7
1 Pendahuluan
8
Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka
Taman Sari, Yogyakarta
Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI
TANTANGAN KOTA PUSAKA
P
ada dasarnya Penataan Ruang adalah suatu alat untuk mengatur alokasi ruang, manusia, dan kegiatannya. Ruang tidak hanya berisi benda-benda mati seperti rumah, pasar, kantor, industri, jalan, jembatan, saluran, taman dll. Ruang berisi manusia dan kegiatan didalamnya yang meliputi seluruh upayanya memelihara dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Ruang harus memungkinkan manusia untuk hidup dan meningkatkan kualitas kehidupannya, mencari nafkah, membina keluarganya, mengembangkan masyarakat yang harmonis, mengembangkan kepribadian dan jatidirinya. Ruang kota/desa mencerminkan kepribadian dan jatidiri masyarakatnya, dan sebaliknya, ruang kota juga dapat membentuk kepribadian dan jatidiri warganya. Ruang kota/desa perlu dibangun dan dipelihara menyesuaikan pada karakter, sejarah, dan budaya warganya, agar terbangun sambung rasa serta keharmonisan yang membahagiakan. Kota yang harmonis dan berkarakter tidak hanya membahagiakan warganya, tetapi juga dinikmati oleh semua pengunjung dan pendatang karena mereka dapat menemukan kejelasan alur yang dianut. Sayang sekali nilai-nilai kehidupan, faktor estetika, etika, “jiwa”, serta harmoni dalam penataan ruang sering dilupakan dan diabaikan. Yang lebih mendapat perhatian adalah perhitungan fisik, kekuatan, dan efisiensi yang lebih terukur. Karakter dan jatidiri ruang kurang digarap dengan sungguhsungguh, padahal ruang itu mencerminkan dan juga membentuk karakter manusianya.
10
Kota Pusaka
Peninggalan sejarah berupa ruang, bangunan, kehidupan, tradisi dan sejarah dari masa lalu mengandung banyak pelajaran, inspirasi yang dapat dimanfaatkan kedepan. Peninggalan itu juga mengandung banyak collective memory yang menyatukan kita, yang memberi suasana akrab, kenangan lama dan semangat bersama untuk membangun dan memelihara. Peninggalan lama itu merupakan bukti sejarah yang dapat langsung dilihat, dirasakan, dan dinikmati, yang membantu generasi berikutnya untuk memahami pengalaman dan perjuangan generasi sebelumnya dalam menjawab tantangan zamannya. Begitu banyak pelajaran yang dapat diserap, yang sayangnya sering diabaikan dan tidak dimanfaatkan. Suatu kota tanpa ingatan ke belakang, tanpa collective memory, tanpa kesadaran sejarah adalah seperti orang hilang ingatan, orang yang tidak punya referensi, tidak tahu dari mana mau kemana. Sebaliknya suatu kota yang punya banyak peninggalan dan referensi akan berdiri mantab, percaya diri, dan dapat dengan mudah dikenali, diapresiasi, dan dicintai. Kawasan lama atau kawasan bersejarah suatu kota atau desa perlu dilestarikan. Penataan Ruang harus dapat melindungi kekayaan sejarah itu, yang merupakan aset tak tergantikan yang tak ternilai. Keseluruhan kota atau desa harus merupakan kesatuan yang harmonis yang mencerminkan kepribadian dan jatidirinya. Ini tidak berarti bahwa kota atau desa itu tidak boleh berubah dan berkembang. Pelestarian adalah perubahan yang terkendali. Ia adalah bagian dari
Kawasan Pusaka yang Diharapkan dapat Dikelola dengan Baik Sumber Foto: CHC - BPPI
Pendahuluan
11
perubahan menanggapi tantangan zamannya, tanpa kehilangan aset dan nilai yang berharga yang harus dilestarikan. Bagaimana membuat pertahanan dalam perubahan itu adalah “seni” tata ruang yang harus dikembangkan. Orang yang sadar dan berkepribadian tidak akan mau larut begitu saya dalam perubahan masal. Ia akan bertahan menjaga agar karakternya tetap eksis dalam perubahan yang melanda dunia. Suatu kota atau desa yang berkarakter harus menjaga agar karakter yang berasal dari sejarah dan budayanya dapat terus lestari ditengah perubahan masal itu. Kelestarian ini yang membuat suatu kota tampil jelas ditengah keseragaman yang mewabah. Konsistensi ini yang membuat suatu kota atau desa dihormati dan dihargai, yang membuat warganya nyaman dan tenteram di dalam harmoni ruangnya, dan membuat tamu dan pendatang menikmati suguhan yang berkualitas dan punya karakter. Indonesia terkenal dengan sejarah dan budayanya. Kota dan desa di Indonesia banyak yang mempunyai cirri khas yang merupakan cerminan dari budaya warganya yang tidak terdapat di daerah atau di negara lain. Kekayaan lingkungan yang berbasis budaya ini tidak boleh dibiarkan rusak dan hilang. Ia harus tetap dipelihara untuk disampaikan kepada generasi selanjutnya, dan merupakan sumbangan bagi dunia.
KOTA PUSAKA INDONESIA MENJAWAB TANTANGAN Tak disangkal bahwa wilayah Indonesia yang luas ini merupakan kekayaan akumulasi kota atau kawasan bersejarah. Penelitian Werner Rutz tahun
12
Kota Pusaka
1987 menyebutkan bahwa kota-kota besar dan kecil yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah yang dihasilkan dari berbagai situasi dan pengaruh budaya serta kehadiran penguasa yang berbeda. Ini dipertegas dengan berbagai studi tentang bentuk kota (urban morphology) di Indonesia yang banyak difokuskan pada pembangunan perkotaan dan kadang dalam konteks konservasi kota. Objek studi adalah kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta (Santoso 2011) Bandung (Siregar 1990), Semarang (Widodo 1988; Zahnd 2008), Lasem (Pratiwo 2010) dan Yogyakarta (Ikaputra 1993; Adishakti 1997, Zahnd 2008) atau di Sumatera, seperti Padang (Alvarez 2002) dan Bukittingi (Wongso 2001). Belum lagi berbagai penelitian tentang lansekap atau budaya setempat. Sebagai contoh, dalam penelitiannya terhadap morfologi kota Yogyakarta, Adishakti (1997) menyimpulkan pusaka ruang perkotaan (urban space heritage). Setting ruang di dalam bentuk tatanan obyek-obyek di suatu lingkungan sesungguhnya merupakan suatu keunikan, yang berbeda dengan lingkungan yang lain. Elemen dari tiap obyek tersebut seperti fasad bangunan maupun teduh dan rimbunnya pepohonan saling terkait dalam menciptakan pelingkup atau ruang tertentu. Hal inilah yang dirasakan siapapun yang berada di ruang tersebut dan mendorong adanya kegiatan yang spesifik pula di ruang tersebut. Hal tersebut menjelaskan komponen apa saja yang merupakan potensi sebuah kota pusaka. Bangunan bersejarah, kerajinan serta kesenian bersanding harmonis dengan pohon dan satwa setempat dalam bentang geografisnya. Surakarta adalah contoh kota yang telah mengupayakan pemanfaatan potensinya dipandu slogan ”Solo Past is Solo Future”. Ngarsapura sebagai kawasan kerajinan
Kawasan Wisata Batik Kauman Solo Sumber Foto: CHC - BPPI
Pendahuluan
13
dan Galebo sebagai kawasan kuliner menunjukkan peran pemerintah untuk memperkuat potensi lokal yang ada, bukan sekadar memasukkan elemen kota baru seperti mall atau ”night park”. Saat bersamaan, kawasan kerajinan batik yang merupakan bukti hadirnya wirausahawan setempat pun menggeliat dan menghidupkan kawasan lama, yaitu Kawasan Kauman dan Laweyan. Begitu pula dengan kota tambang Sawahlunto yang kembali bergairah sebagai kota wisata budaya. Penting pula menyebut Kota Yogyakarta yang bangkit setelah gempa tahun 2006 dengan tetap mengusung jati diri sebagai kota budaya serta Kota Surabaya yang pelan-pelan menempatkan diri sebagai kota metropolitan yang mengedepankan kelestarian budaya serta alamnya. Pengalaman mereka menunjukkan adanya upaya inovatif, seperti mengikutkan aspek ekonomi. Bukankah ekonomi tidak harus bertentangan dengan pelestarian. Kota-kota yang telah disebutkan tadi berbagi cerita adanya kepemimpinan serta visi yang baik. Dalam jangka panjang, harus dapat dipastikan hal yang baik dalam satu atau dua periode kepala daerah menjadi satu rangkaian peristiwa menuju perubahan yang terbaik. Di sinilah perencanaan memegang peranan yang penting. Tentunya bukan sekadar perencanan yang baik di atas kertas, tetapi yang akan direalisasikan dengan dukungan warga daerahnya. Sanggahan adalah kekayaan dan dukungan adalah modal. Semata-mata, karena perencanaan tersebut merupakan wujud dari citacita bersama. Di seluruh dunia, sejak tahun 1970an telah ada sekitar 200 kota yang dinobatkan sebagai pusaka dunia. Negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Vietnam dan Filipina telah memiliki kota pusaka dunianya. Menjadi pusaka dunia
14
Kota Pusaka
tentunya bukan sekadar gelar kebanggaan, tetapi juga komitmen untuk mengelola pusaka secara berkelanjutan yang antara lain diwujudkan melalui perencanaan tata ruangnya. Mengelola berarti pula dapat memanfaatkannya untuk kesejahteraan warga. Di Indonesia, sekitar 48 kota telah menghimpun diri dalam sebuah organisasi bernama Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Komitmen telah dibangun untuk melestarikan pusaka alam dan budaya bangsa melalui pengelolaan kota. Untuk kota-kota inilah, dukungan wajib diberikan. ISI BUKU Buku ini berfokus pada kajian tentang pelestarian dan pengelolaan kota pusaka, yang dapat menjadi acuan bagi penyusunan panduan pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Kajian ini bersifat deskriptif, untuk memberi gambaran konsep kota pusaka yang ada, baik menurut piagam atau konvensi yang telah disusun oleh badan dunia UNESCO dan institusi mitranya maupun secara teoritis menurut berbagai buku teks. Selanjutnya, gambaran mengenai kota pusaka Indonesia serta tata kelolanya, yaitu aspek-aspek yang melekat dalam suatu sistem pengelolaan yang utuh. Kota yang dikaji dipilih dari anggota JKPI, yang mewakili karakteristik seperti sejarah atau geografisnya Tersusunnya naskah kajian tentang Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penyusunan panduan pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Susunan buku ini terdiri dari Bab 1, yaitu Pendahuluan yang berisi latar belakang, maksud dan
tujuan kajian ini serta metodologi yang digunakan. Disusul Bab 2 dan Bab 3 tentang Tinjauan Kebijakan dan Pustaka yang terkait pengelolaan kota pusaka. Bagian ini berisi kebijakan yang terkait perlindungan dan pengembangan pusaka kota, baik pada lingkup nasional maupun internasional dan definisi tentang kota pusaka dunia menurut UNESCO, serta operasionalisasinya. Pada Bab 4 dapat dilihat Gambaran Kota Pusaka Indonesia. Isi adalah hasil pengamatan atas 9 kota dari anggota JKPI, yang memiliki karakter pusaka yang kuat dan pengalaman dalam mengelola
pusakanya. Bab 5 berisi Pembahasan, yakni aksiaksi yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan kota pusaka yang baik. Disebutkan pula praktik yang telah terjadi pada 9 kota yang diamati. Pada bagian akhir, berisi kesimpulan serta rekomendasi untuk memperkuat pengelolaan kotakota pusaka melalui suatu program lintas sektoral yang sistematis. Program ini (direncanakan P3KP) dalam jangka panjang bertujuan untuk mencapai Kota Pusaka Indonesia bahkan Kota Pusaka Dunia.
Bangunan Bekas Penjara, Bukittinggi Sumber Foto: BPPI
Pendahuluan
15
Jam Gadang, Bukit Tinggi Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI
2 Dasar Kebijakan Kebanyakan kota di Indonesia merupakan kota bersejarah (historic city) yang usianya telah ratusan tahun (Lihat Lampiran 3). Dilihat dari aspek lain, kota di Indonesia memiliki keunikan, seperti keunikan geografis maupun sosial-budayanya. Berbagai peninggalan tersebut telah dikenali kualitasnya dan dianggap sebagai aset. Untuk itu dilakukan upaya untuk perlindungan dan pengembangan lebih lanjut yang dipandu dengan kebijakan berikut:
2.1. UNDANG-UNDANG RI NO. 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang merupakan pembaruan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. 1) Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah
kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. 11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. 12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. 14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. 15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
Dasar Kebijakan
17
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. 22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. 28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. 29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. 2) Bab III Klasifikasi Penataan Ruang Pasal 5 (5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan strategis nasional,
18
Kota Pusaka
penataan ruang kawasan strategis provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota. Pasal 6 (1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan: a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana; b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan. 3) Bab IV Tugas dan Wewenang Pasal 7 (1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah 4) Bab VIII Hak, Kewajiban, dan Peran Maysarakat Pasal 65 (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan, antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
2.2. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG 1) Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 1. Bangunan Gedung, Bangunan gedung dapat diartikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2) Bab III Fungsi Bangunan Gedung, Pasal 5; 1. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. 3) Bab IV Persyaratan Bangunan Gedung, Bagian Ketiga Persyaratan Tata Bangunan, Paragraf 3 Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung, Pasal 14;
1. Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan rekayasa. 2. Persyaratan penampilan bangunan gedung harus memperhatikan bentuk dan
2.3. UNDANG-UNDANG RI NO. 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya merupakan pembaruan UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. 1) Bab I Ketentuan Umum 1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. 2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak,
Dasar Kebijakan
19
berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. 3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. 4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia. 5. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. 6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas. 21. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. 22. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk
20
Kota Pusaka
mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. 2) Bab III Kriteria Cagar Budaya Pasal 5 Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria: a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan; dan d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Pasal 10 Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila: a. mengandung dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan; b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia sedikitnya 50 tahun; c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia sedikitnya 50 tahun; d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas; e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil. 3) Bab VIII Tugas dan Wewenang Pasal 95 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah, sesuai dengan tingkatannya pemerintah dan/atau pemerintah daerah memiliki tugas, a. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan Cagar Budaya; b. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya; c. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Cagar Budaya; d. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat; e. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya; f. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya; g. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah
dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana h. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelestarian warisan budaya; dan i. mengalokasikan dana bagi kepentingan pelestarian Cagar Budaya. Pasal 97: (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan KCB. (2) Pengelolaan kawasan dilakukan tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar Budaya dan kehidupan sosial. (3) Pengelolaan KCB dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat hukum adat. (4) Badan Pengelola dapat terdiri atas unsur Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
2.4. PP RI NO. 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Pasal 1 Dalam Peraturan dimaksud dengan:
Pemerintah
ini
Dasar Kebijakan
yang
21
Panorama Candi Borobudur dan Gunung Merapi Sumber Foto: Suparno, Borobudur, Magelang
Macam-macam Kerajinan Sumber Foto: BPPI
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara.
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
(2) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
(17) Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
(3) Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. (4) Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. (5) Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. (6) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. (7) Wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan peraturan perundang-undangan. (8) Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. (9) Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
24
Kota Pusaka
Pasal 1
(27) Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang. (28) Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (29) Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang. (30) Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. (31) Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
a. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 3
(2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi: a. menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; b. mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluhpersen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan c. mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.
RTRWN menjadi pedoman untuk: a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 4 Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang. Pasal 7 (1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi:
(3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: a. menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup; b. melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/ atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
Dasar Kebijakan
25
c. melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang kedalamnya; d. mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan; e. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; f. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan g. mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana. Pasal 9 (1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi: a. pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan
26
Kota Pusaka
keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikankeunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional; b. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara; c. pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional; d. pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; e. pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa; f. pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar; dan g. pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan. (2) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi: a. menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lindung; b. mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan; c. membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
d. membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya; e. mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan f. merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional. (3) Strategi untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara meliputi: a. menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan; b. mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan; dan c. mengembangkan kawasan lindung dan/ atau kawasan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budi daya terbangun. (4) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional meliputi:
a. mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah; b. menciptakan iklim investasi yang kondusif; c. mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan; d. mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan; e. mengintensifkan promosi peluang investasi; dan f. meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi. (5) Strategi untuk pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal meliputi: a. mengembangkan kegiatan penunjang dan/ atau kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi; b. meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi dengan kegiatan penunjang dan/atau turunannya; dan c. mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi terhadap fungsi lingkungan hidup, dan keselamatan masyarakat. (6) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa meliputi: a. meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa yang berbudi luhur;
Dasar Kebijakan
27
Pemandangan kota tua di Padang 28 Kota Pusaka Sumber Foto: BPPI
b. mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan c. melestarikan situs warisan budaya bangsa. (7) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan nilai kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia meliputi: a. melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya; b. meningkatkan kepariwisataan nasional; c. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d. melestarikan keberlanjutan lingkungan hidup.
(8) Strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal meliputi: a. memanfaatkan sumber daya alam secara optimal danberkelanjutan; b. membuka akses dan meningkatkan aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah; c. mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat; d. meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan; dan e. meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi. Dalam PP ini juga membahas secara rinci tentang Kawasan Lindung Nasional mulai dari pasal 51-62.
2.5. PP RI NO. 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG 2.5.1. Bab II Pengaturan Penataan Ruang Pasal 4 (1) Pengaturan penataan ruang oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan penetapan: b. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional yang ditetapkan dengan peraturan presiden;
Dasar Kebijakan
29
(2) Pengaturan penataan ruang oleh pemerintah daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan penetapan: a. rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang kawasan strategis provinsi, dan arahan peraturan zonasi sistem provinsi yang ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi; dan b. ketentuan tentang perizinan, penetapan bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, sanksi administratif, serta petunjuk pelaksanaan pedoman bidang penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan gubernur. (3) Pengaturan penataan ruang oleh pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan penetapan: a. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota, rencana detail tata ruang kabupaten/ kota termasuk peraturan zonasi yang ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota; dan b. ketentuan tentang perizinan, bentuk dan besaran insentif dan disinsentif, serta sanksi administratif, yang ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota.
30
Kota Pusaka
Pasal 5 (1) Selain penyusunan dan penetapan peraturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat menetapkan peraturan lain di bidang penataan ruang sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. (2) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota mendorong peran masyarakat dalam penyusunan dan penetapan standar dan kriteria teknis sebagai operasionalisasi peraturan perundang-undangan dan pedoman penataan ruang. 2.5.2. Bab IV Pelaksanaan Perencanaan Tata Ruang Pasal 19 (1) Pelaksanaan perencanaan tata ruang meliputi prosedur penyusunan rencana tata ruang dan prosedur penetapan rencana tata ruang. (2) Pelaksanaan perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. prosedur penyusunan dan penetapan rencana umum tata ruang; dan b. prosedur penyusunan dan penetapan rencana rinci tata ruang.
Pasal 20 Prosedur penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) meliputi: a. proses penyusunan rencana tata ruang; b. pelibatan peran masyarakat dalam perumusan konsepsi rencana tata ruang; c. pembahasan rancangan rencana tata ruang oleh pemangku kepentingan. Pasal 21 (1) Proses penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dilakukan melalui tahapan: a. persiapan penyusunan rencana tata ruang; b. pengumpulan data; c. pengolahan dan analisis data; d. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan e. penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan tentang rencana tata ruang. (2) Proses penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan dokumen rancangan rencana tata ruang dalam bentuk rancangan peraturan perundangundangan tentang rencana tata ruang beserta lampirannya. Pasal 45 Penataan ruang kawasan strategis dilakukan untuk mengembangkan, melestarikan,
melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan dalam mendukung penataan ruang wilayah. Pasal 46 Kawasan strategis terdiri atas kawasan yang mempunyai nilai strategis yang meliputi: a. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan; b. kawasan strategis dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi; c. kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya; d. kawasan strategis dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/ atau teknologi tinggi; dan e. kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Pasal 49 Kriteria kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial dan budaya merupakan: a. tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya; b. prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya; c. aset yang harus dilindungi dan dilestarikan; d. tempat perlindungan peninggalan budaya; e. tempat yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya; f. tempat yang memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial.
Dasar Kebijakan
31
Pasal 51 Kriteria kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi: a. tempat perlindungan keanekaragaman hayati; b. kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora, dan/ atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan; c. kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian; d. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro; e. kawasan yang menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup; f. kawasan rawan bencana alam; atau g. kawasan yang sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan. Pasal 52 (1) Kriteria nilai strategis untuk kawasan strategis nasional, kawasan strategis provinsi, kawasan strategis kabupaten/ kota ditentukan berdasarkan aspek eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penanganan kawasan. (2) Kawasan strategis nasional dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi dan/atau kawasan strategis kabupaten/kota. 32
Kota Pusaka
(3) Kawasan strategis provinsi dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria nilai strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
2.5.3. Bab V Pelaksanaan Pemanfaatan Ruang Pasal 94 (1) Pelaksanaan pemanfaatan ruang merupakan pelaksanaan pembangunan sektoral dan pengembangan wilayah, baik yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun oleh masyarakat, harus mengacu pada rencana tata ruang. (2) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dilakukan melalui: a. penyusunan dan sinkronisasi program pemanfaatan ruang; b. pembiayaan program pemanfaatan ruang; dan c. pelaksanaan program pemanfaatan ruang. Pasal 123 (1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional menghasilkan program pengembangan kawasan strategis nasional. (2) Program pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari
rencana pembangunan jangka panjang nasional, rencana pembangunan jangka menengah nasional, dan rencana kerja tahunan Pemerintah. Pasal 127 (1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi menghasilkan program pengembangan kawasan strategis provinsi. (2) Program pengembangan kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang provinsi, rencana pembangunan jangka menengah provinsi, dan rencana kerja tahunan pemerintah daerah provinsi. Pasal 131 (1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten menghasilkan program pengembangan kawasan strategis kabupaten. (2) Program pengembangan kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang kabupaten, rencana pembangunan jangka menengah kabupaten, dan rencana kerja tahunan pemerintah daerah kabupaten. Pasal 135 (1) Penyusunan program pemanfaatan ruang kawasan strategis kota menghasilkan program pengembangan kawasan strategis kota.
Jalan Braga Bandung Sumber Foto: BPPI
(2) Program pengembangan kawasan strategis kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari rencana pembangunan jangka panjang daerah kota, rencana pembangunan jangka menengah daerah kota, dan rencana kerja tahunan pemerintah daerah kota.
2.5.4. Bab VI Pelaksanaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pasal 148 Pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. pengaturan zonasi; b. perizinan; c. pemberian insentif dan disinsentif; dan d. pengenaan sanksi.
Dasar Kebijakan
33
2.6. PERMEN PU NO. 16/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN DAN PERMEN PU NO. 17/PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA Muatan RTRW Kab/Kota RTRW kab/kota memuat tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kab/kota (penataan kota); rencana struktur ruang wilayah kab/kota; rencana pola ruang wilayah kab/kota; penetapan kawasan strategis kab/kota; arahan pemanfaatan ruang wilayah kab/kota; dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kab/kota.
2.6.1. Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kab/Kota Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kab/kota (penataan kota) merupakan terjemahan dari visi dan misi pengembangan wilayah kab/kota dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai kondisi ideal tata ruang kota yang diharapkan. 2.6.2. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kab/ Kota Rencana struktur ruang wilayah kab/kota merupakan kerangka sistem pusat-pusat 34
Kota Pusaka
pelayanan kegiatan kab/kota yang berhierarki dan satu sama lain dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah kab/kota. 2.6.3. Rencana Pola Ruang Wilayah Kab/ Kota Rencana pola ruang wilayah kab/kota merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kota yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. 2.6.4. Penetapan Kawasan Strategis Wilayah Kab/Kota Kawasan strategis kota merupakan bagian wilayah kab/kota yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh Kedudukan RTRW Kota dalam Sistem Penataan Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Rencana Umum
RPJP Nasional
RTRW Nasional
Rencana Rinci RTR Pulau RTR Kawasan Strategis Nasional
RPJM Nasional RPJP Propinsi
RTRW Provinsi
RTR Kawasan Strategis Provinsi
RPJM Propinsi
RTRW Kabupaten
RDTR Kabupaten RTR Kawasan Strategis Kabupaten
RPJP Kabupaten/Kota RDTR Kota RPJM Kabupaten/Kota
RTRW Kota
RTR Kawasan Strategis Kota
Proses dan Prosedur Umum Penyusunan RTRW Kab/Kota
sangat penting dalam lingkup kab/kota di bidang ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. 2.6.5. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kab/Kota Arahan pemanfaatan ruang wilayah kab/ kota merupakan upaya perwujudan rencana tata ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama penataan/pengembangan kab/kota dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun perencanaan 20 (dua puluh) tahun.
2.6.6. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kab/Kota Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kab/kota adalah ketentuan yang diperuntukkan sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan pemberian insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi dalam rangka perwujudan RTRW kab/kota.
Dasar Kebijakan
35
2.7. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Batasan Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : 1) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2) Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang. 3) Wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat permukiman yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri kehidupan kota.
36
Kota Pusaka
4) Kota adalah wilayah perkotaan yang berstatus daerah otonom. 5) Tanah negara adalah tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. 6) Tanah hak adalah tanah yang dibebani hak atas tanah. Bagian Kedua Tujuan dan Fungsi Pasal 2 Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Pasal 3 Fungsi hutan kota adalah untuk : a. memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; b. meresapkan air; c. menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota; dan d. mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. BAB II PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA Bagian Kesatu Umum Pasal 4 (1) Untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 di setiap wilayah perkotaan ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota.
(2) Penyelenggaraan hutan kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi : a. penunjukan; b. pembangunan; c. penetapan; dan d. pengelolaan. Bagian Kedua Penunjukan Pasal 5 (1) Penunjukan hutan kota terdiri dari : a. penunjukan lokasi hutan kota; dan b. penunjukan luas hutan kota. (2) Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota atau Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. (3) Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 6 Lokasi hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah Perkotaan. Pasal 14 (1) Penentuan Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan atau Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
b. tipe kawasan industri; c. tipe rekreasi; d. tipe pelestarian plasma nutfah; e. tipe perlindungan; dan f. tipe pengamanan. Pasal 15 (1) Penentuan bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 disesuaikan dengan karakteristik lahan. (2) Bentuk hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. jalur; b. mengelompok; dan c. menyebar. Berikut adalah kebijakan pemerintah lainnya yang mengatur tentang kawasan ruang terbuka hijau, lingkungan hidup dan warisan budaya tak benda, sbb: 1 Peraturan menteri pekerjaan umum nomor05/prt/m/2008 tentang pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan 2 Peraturan lingkungan hidup nomor 27 tahun 2009 tentang pedoman pelaksanaan klhs kebijakan terkait warisan budaya tak benda 3 Peraturan presiden republik indonesia nomor 78/2007 tentang pengesahan konvensi perlindungan warisan budaya tak benda
(2) Tipe hutan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. tipe kawasan permukiman;
Dasar Kebijakan
37
Relief candi Borobudur Sumber Foto: BPPI
2.8. TABEL KONVENSI INTERNASIONAL Piagam dan Rekomendasi tentang Pengelolaan dan Pelestarian Kota Pusaka Bila menyimak berbagai piagam atau rekomendasi di tingkat internasional tentang pelestarian pusaka, tampak adanya perkembangan konsep kota pusaka serta lingkup pelestariannya. Piagam atau rekomendasi pelestarian kota pusaka yang telah ada sejak tahun 1962, antara lain:
38
Kota Pusaka
1. The Athens Charter (1931) 2. The Recommendation concerning the Safeguarding of the Beauty and Character of Landscapes and Sites (1962) 3. The International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments atau Venice Charter (1964) 4. The Recommendation concerning the Preservation of Cultural Property Endangered by Public or Private Works (1968)
5. The Recommendation Concerning the Protection, at National Level, of the Cultural and Natural Heritage (1972) 6. The European Charter of the Architectural Heritage (1975) 7. The Declaration of Amsterdam (1975) 8. The Vancouver Declaration on Human Settlements (1976) 9. The Recommendation concerning the Safeguarding and Contemporary Role of Historic Areas (1976) 10. The Charter for the Conservation of Historic Towns and Urban Areas atau Washington Charter (1987) 11. The Charter about the Preservation and Revitalization of Historic Centres atau Charter of Itaipava (1987) 12. The Charter of European Cities and Towns towards Sustainability atau Aalborg Charter (1994) 13. The Nara Document on Authenticity (1994) 14. The Charter on the Built Vernacular Heritage (1999) 15. The International Charter on Cultural Tourism: Managing Tourism at Places of Heritage Significance (1999)
Tari Persembahan, Sumatera Barat Sumber Foto: BPPI
18. The Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (2003) 19. The Xi’an Declaration on the Conservation of the Setting of Heritage Structures, Sites and Areas (2005) 20. The Quebec Declaration on the Preservation of the Spirit of Place (2008)
16. The Charter for Places of Cultural Significance – revisi Burra Charter (1999)
Berikut ini beberapa di antaranya yang banyak mempengaruhi pengelolaan dan pelestarian kota pusaka:
17. The European Landscape Convention (2000)
Sumber: Oers (2010) mengutip presentasi Jade Tabet (2006)
Dasar Kebijakan
39
1968 Recommendation Concerning the Preservation of Cultural Property Endangered by Public or Private Works
DEFINISI
PRINSIP UMUM
ANCAMAN
40
1976 Nairobi Recommendation Concerning the Safeguarding and Contemporary Role of Historic Areas
1987 Washington Charter for the Conservation of Historic Towns and Urban Areas
2005 Vienna Memorandum on World Heritage and Contemporary Architecture – Managing the Historic Urban Landscape
a) Tak Bergerak: Situs arkeologis, historis dan ilmiah termasuk kelompok bangunan tradisional, kawasan bersejarah di kawasan terbangun perkotaan atau pedesaan maupun struktur etnologis b) Bergerak: (tidak relevan)
Kawasan bersejarah dan arsitektural: kelompok bangunan, struktur dan ruang terbuka baik pada lingkup perkotaan atau pedesaan, kohesi dan nilai yang diakui dari aspek arkeologis, arsitektural, prasejarah, sejarah, estetika atau sosial-budaya. Lingkungan: Lingkup alam atau buatan manusia yang mempengaruhi cara yang statis atau dinamis bagaimana suatu kawasan dirasakan atau yang langsung terkait dalam hubungan ruang atau sosial, ekonomi atau budaya.
Kawasan perkotaan bersejarah, besar dan kecil, termasuk kota, kota kecil dan pusat kota bersejarah atau kawasan beserta lingkungan alam dan buatan manusia.
Lansekap perkotaan bersejarah melampaui pengertian tentang pusat kota yang bersejarah, kesatuan, lingkungan untuk menyertakan konteks wilayah dan lansekap yang lebih luas. Terdiri dari elemen berkarakter: guna dan pola lahan, organisasi spasial, relasi visual, topografi dan tanah, vegetasi dan seluruh elemen teknis infrastruktur.
a) Pelestarian seluruh situs atau struktur/bangunan dari efek pekerjaan swasta atau umum b) Penyelamatan suatu properti jika suatu kawasan akan diubah, termasuk pelestarian maupun relokasi
a) Kawasan bersejarah dan lingkungan sekitarnya dinilai secara utuh sebagai satu kesatuan yang koheren, yaitu adanya keseimbangan dan sifat spesifik yang tergantung pada bagian-bagian kawasan tersebut. b) Elemen yang perlu dipertahankan termasuk kegiatan manusia, bangunan, organisasi spasial dan sekitarnya
a) Konservasi harus menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial yang serta perencanaan perkotaan dan regional yang koheren. b) Kualitas yang harus dipertahankan termasuk pola tata ruang perkotaan, hubungan antara bangunan dan ruang terbuka, penampilan bangunan yang formal, hubungan dengan lingkungan sekitarnya dan fungsi.
a) Perubahan terus menerus diakui sebagai bagian dari tradisi kota: tanggapan terhadap dinamika pembangunan harus memfasilitasi perubahan dan pertumbuhan dengan tetap menghormati townscape yang diwariskan dan lansekapnya, begitu juga otentisitas dan integritas kota bersejarah . b) Meningkatkan kualitas hidup dan efisiensi produksi untuk membantu memperkuat identitas dan kohesi sosial.
a) Ekspansi perkotaan dan proyek peremajaan yang dapat menghapus struktur atau bangunan yang berada di sekitar monumen yang telah terdaftar. b) Modifikasi individu bangunan yang gegabah c) Bendungan, jalan raya, jembatan, pembersihan dan peninggian tanah, pertambangan, penggalian, dll ..
a) Kawasan yang baru dikembangkan yang dapat merusak lingkungan dan karakter kawasan bersejarah yang berdampingan b) Pengrusakan kawasan bersejarah yang disebabkan oleh infrastruktur, polusi dan kerusakan lingkungan c) Spekulasi yang berkompromi dengan kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
a) Degradasi dan kehancuran fisik yang disebabkan oleh pembangunan kota yang disebabkan industrialisasi. b) Lalu Lintas dan parkir yang tidak terkontrol, pembangunan jalan raya di dalam kota bersejarah sejarah, bencana alam, polusi dan getaran.
Perubahan dan pertumbuhan sosialekonomi yang tidak menghormati keaslian dan integritas kota bersejarah serta townscape dan lansekap yang mereka warisi.
Kota Pusaka
KEBIJAKAN YANG DIUSULKAN DAN STRATEGI YANG DIREKOMENDASIKAN
a) Menetapkan dan memelihara tindakan legislatif yang diperlukan untuk menjamin perlindungan atau penyelamatan properti budaya yang terancam punah b) Memastikan anggaran publik yang memadai untuk perlindungan atau penyelamatan c) Mendorong pelestarian melalui tarif pajak, hibah, pinjaman, dll, yang menguntungkan d) Mempercayakan tanggung jawab pelestarian kepada badan-badan yang resmi di tingkat nasional dan lokal. e) Memberikan saran kepada penduduk dan mengembangkan program pendidikan
a) Menyiapkan survei detil untuk kawasan bersejarah dan lingkungannya termasuk data arsitektur, sosial, ekonomi, budaya dan teknis. b) Menetapkan rencana yang tepat dan dokumen yang mendefinisikan daerah dan objek yang akan dilindungi, standar yang harus diamati, kondisi yang mendorong konstruksi baru, dll .. c) Membuat prioritas untuk alokasi dana-dana negara d) Perlindungan dan pemulihan harus disertai dengan revitalisasi kebijakan sosial dan ekonomi untuk menghindari adanya hambatan dari tatanan sosial
a) Rencana konservasi harus mencakup semua faktor yang relevan termasuk sejarah, arsitektur, sosiologi dan ekonomi dan harus memastikan hubungan yang harmonis antara kawasan bersejarah dan kota secara keseluruhan. b) Fungsi dan kegiatan yang baru harus kompatibel dengan karakter kawasan bersejarah. c) Program pendidikan dan pelatihan khusus harus ditetapkan.
a) Proses perencanaan pada lansekap perkotaan yang bersejarah membutuhkan perhitungan peluang dan risiko yang menyeluruh untuk menjamin pembangunan yang seimbang. b) Arsitektur kontemporer harus menjadi pelengkap nilai-nilai lansekap perkotaan bersejarah dan tidak boleh berkompromi dengan sifat kesejarahan kota tersebut. c) Pembangunan ekonomi harus terikat dengan tujuan pelestarian pusaka jangka panjang.
Tenun Ikat Tradisional Flores, Nusa Tenggara Timur Sumber Foto: BPPI
Dasar Kebijakan
41
42
Reog Ponorogo, Jawa Timur Sumber Foto: BPPI
Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka
3 Kajian Pustaka Permainan Angklung Anak-anak, Jawa Barat Sumber Foto: BPPI
3.1. KONSEP PUSAKA
Menurut Konvensi ini, pusaka adalah Aset yang menunjukkan evolusi kehidupan manusia dan permukiman dari waktu ke waktu, dipengaruhi hambatan dan potensi fisik dari lingkungan alam mereka dan ditunjukkan melalui kekuatan sosial, ekonomi dan budaya, baik eksternal maupun internal.
3.1.1. Pusaka Dunia Konsep Pusaka Dunia atau World Heritage diperkenalkan oleh salah satu badan dunia PBB, yaitu United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada saat Sidang Umum sesi yang ke-17 di Paris, 17 Oktober – 21 November 1972. Latar belakangnya adalah keprihatinan akan pusaka budaya dan alam yang semakin terancaman kerusakan. Penyebabnya tidak hanya kerusakan alam, tetapi perubahan kondisi sosial dan ekonomi, yang memperburuk situasi bahkan berbagai fenomena kerusakan yang makin buruk. Lahirlah kemudian CONVENTION CONCERNING THE PROTECTION OF THE WORLD CULTURAL AND NATURAL HERITAGE.
Pusaka Dunia didefinisikan sebagai
Budaya dan/atau alam yang penting dan istimewa sehingga melampaui batasbatas nasional dan memiliki nilai penting bagi umat manusia di masa kini maupun mendatang.
Pada awalnya, pusaka dibedakan menjadi pusaka budaya dan alam.
Kajian Pustaka
43
1) Pusaka Budaya, terdiri dari monumen, kelompok bangunan dan situs Monumen
:
Monumen, yang berupa karya arsitektur, sculpture dan lukisan monumental, elemen struktur dari suatu objek arkeologis, prasasti, gua hunian dan gabungannya yang memiliki nilai universal yang unggul dari segi sejarah, seni dan ilmu pengetahuan.
Kelompok bangunan
:
Kelompok bangunan, yang berupa sejumlah bangunan baik yang terpisah maupun terhubung yang karena nilai arsitektural, homogenitasnya atau tempatnya di bentang alam memiliki nilai universal yang unggul dari segi sejarah, seni, dan ilmu pengetahuan.
Situs
:
Situs, yang berupa karya manusia atau gabungan antara karya manusia dan alam memiliki keunggulan nilai universal yang unggul dari segi sejarah, seni, etnologis atau antropologis.
2)
Pusaka Alam, yaitu bentukan alam, pembentukan geologis dan fisiografis dan situs alam.
Bentukan alam
:
Bentukan fisik atau biologis atau sekelompok bentukan, yang memiliki nilai sejagad dari aspek estetik atau ilmiahnya
Pembentukan geologis dan fisiografis
:
Bentukan geologis atau fisiografis dan kawasan yang telah diidentifikasi dengan persis yang menyusun habitat dari spesies terancam baik hewan atau tanaman dengan nilai sejagad dari aspek ilmiah atau pelestarian
Situs alam
:
Situs alam atau kawasan alami yang telah diidentifikasi dengan persis yang memiliki nilai sejagad dari aspek ilmiah, pelestarian atau keindahan alam
Klaim bahwa sebuah objek merupakan pusaka dunia perlu didukung dengan adanya riset yang komprehensif terhadap area yang dilindungi serta subjeknya sendiri. Keberadaan riset ini yang mendukung statement of significance atau pernyataan pentingnya sebuah objek. Untuk memberi kriteria pada pusaka dunia, disusunlah Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention. Panduan ini secara rutin diperbarui dan yang terbaru dikeluarkan pada tahun 2011. Kriteria penilaian suatu objek pusaka dunia disebut Outstanding Universal Value atau Nilai Sejagat yang Unggul (= Keunggulan Nilai Sejagat/ KNS). Ada sepuluh aspek, yaitu: 44
Kota Pusaka
(i) (ii)
(iii)
(iv)
Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap; Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang masih ada; Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting dalam sejarah manusia
(v)
Menjadi contoh utama permukiman, tata guna lahan atau tata guna lautan tradisional yang merupakan representasi budaya atau interaksi manusia dengan lingkungan khususnya jika situs tersebut terancam oleh perubahan yang permanen (vi) Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai penting universal yang menonjol; (vii) Merupakan fenomena alam yang luar biasa atau kawasan dengan keindahan alam serta estetika yang luar biasa dan penting; (viii) Merupakan contoh yang luar biasa yang mewakili tahapan utama sejarah perkembangan bumi, termasuk catatan kehidupan, proses geologi signifikan yang
(ix)
(x)
sedang berlangsung dalam pengembangan bentang alam, atau geomorfik yang signifikan atau fitur fisiografi lainnya; Merupakan contoh yang luar biasa mewakili proses ekologis dan biologis yang signifikan yang sedang berlangsung dalam evolusi dan pengembangan darat, air tawar, ekosistem pesisir dan laut dan komunitas tumbuhan dan hewan; Mengandung habitat alam yang paling penting dan signifikan untuk konservasi in-situ keanekaragaman hayati, termasuk spesies terancam yang mengandung nilai universal luar biasa dari sudut pandang ilmu pengetahuan atau pelestarian.
Untuk dapat disebut memiliki nilai sejagad yang unggul atau menonjol, suatu objek harus memenuhi syarat integritas dan/atau keotentikan dan haruslah memiliki sistem pelindungan dan pengelolaan untuk menjamin kelestariannya.
Keaslian/ keotentikan
:
- - - - - - - -
Bentuk dan rancangan Bahan dan substansi Guna dan fungsi Tradisi, teknik dan sistem pengelolaan Lokasi dan setting Bahasa dan bentuk warisan budaya tak bendawi lainnya Semangat dan perasaan Faktor internal dan eksternal lainnya
Integritas
:
- -
Memiliki semua elemen yang diperlukan untuk mengungkapkan nilai universal yang unggul Memiliki ukuran yang memadai untuk menjamin tampilnya secara utuh ciri-ciri dan proses yang menunjukkan nilai pentingnya Memiliki pelindungan terhadap efek negatif pembangunan atau pengabaian
- Pelindungan dan pengelolaan
:
- - - -
Kondisi fisik objek yang baik Dampak penurunan kondisi terkendali Proporsi tertentu dari objek menampilkan totalitas nilai yang terungkap Hubungan dengan fungsi lingkungan yang dinamis yang penting bagi karakter utama objek tersebut haruslah terjaga
Kajian Pustaka
45
Negara anggota yang mengajukan nominasi harus dapat menunjukkan upaya perlindungan keaslian serta integritas yang memadai. Itu dibuktikan dengan dokumen yang mendampingi
berkas nominasi ini, lengkap dengan penjelasan bagaimana perlindungan ini dijalankan untuk mengamankan objek yang diajukan.
Naskah atau teks ini setidaknya meliputi: Instrument legislatif, peraturan dan kontraktual untuk perlindungan
:
Lingkup yang tegas untuk perlindungan yang efektif
:
-
Area pendukung Sistem pengelolaan
-
:
- - - -
Lingkup yang tegas merupakan syarat mutlak untuk perlindungan yang efektif Lingkup ini sebaiknya tergambar dan dapat menampilkan KNS-nya Memiliki ukuran yang memadai untuk menjamin tampilnya secara utuh ciri-ciri dan proses yang menunjukkan nilai pentingnya Memiliki pelindungan terhadap efek negatif pembangunan atau pengabaian
-
Area di sekitar objek pusaka sebagai pelapis perlindungan
-
Rencana pengelolaan menjelaskan bagaimana sebuah objek dan KNS-nya dilindungi, terutama dengan cara partisipatoris. Bisa berupa praktik tradisional/adat, instrumen perencanaan atau mekanisme pengendalian baik formal maupun informal
- Elemen sistem manajamen
46
Kota Pusaka
Instrument legislative dan peraturan baik pada lingkup nasional dan local harus dapat memastikan keberlanjutan objek pusaka serta perlindungannya Instrumen-instrumen tersebut harus dapat terimplementasi
- - - - - -
Kesepahaman pengetahuan terhadap property Siklus perencanaan, implementasi, monitoring , evaluasi dan umpan balik Keterlibatan Alokasi sumber daya Peningkatan kapasitas Deskripsi tentang bagaimana sistem manajemen berfungsi
Pada perkembangannya, pusaka tidak secara mutlak dipisahkan sebagai pusaka alam atau budaya. Ada kalanya, sebuah objek dapat memenuhi kedua kriteria sehingga lahirlah kategori Pusaka Budaya dan Alam dan pada perkembangannya kategori yang disebut tipe yang spesifik, yaitu kategori Pusaka Saujana (Cultural Landscape), Kota (Histotic Towns and Town Centres), Kanal (Heritage Canals) dan Rute (Heritage Routes). Dengan demikian, kategori kota pusaka merupakan hasil perkembangan pemikiran tentang pusaka (Lihat Lampiran 1). World Heritage Commitee juga telah membuat panduan terkait nominasi suatu kota pusaka, yang tercantum dalam “Guidelines on the Inscription of Specific Types of Properties on the World Heritage List”, sebagai berikut yang didefinisikan sebagai: Groups of urban buildings Dengan kategori berikut: i.
kota yang tidak lagi dihuni, tetapi yang memberikan bukti arkeologi dari masa lalu yang tidak berubah; umumnya memenuhi kriteria keaslian dan kondisi pelestarian relatif mudah dikontrol;
ii.
kota-kota bersejarah yang masih dihuni dan yang, dengan sifatnya, telah berkembang dan akan terus berkembang di bawah pengaruh perubahan sosioekonomi dan budaya, situasi yang membuat penilaian keaslian lebih sulit dan membuat setiap kebijakan konservasi lebih problematis;
iii.
kota-kota baru dari abad kedua puluh yang secara paradoks memiliki sesuatu yang sama dengan kedua kategori tersebut: sementara tata ruang perkotaan
semula jelas dikenali dan keasliannya tidak bisa dipungkiri, masa depan kotakota ini tidak jelas karena sebagian besar perkembangan tak terkendali. Sejak tahun 1979 hingga saat ini, setidaknya telah ada 200 pusaka dunia yang berupa kota pusaka (Lihat Lampiran 2). Kedua ratus ini tersebar di berbagai belahan dunia. Dari jumlah tersebut, 18 diantaranya berada di benua Asia, yaitu di China, Iran, Laos, Malaysia, Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam dan Yaman. Negara pertama di Asia yang memperoleh status kota pusaka dunia adalah Nepal, yaitu Kathmandu Valley pada tahun 1979. Sedangkan negara yang terakhir, yaitu negara tetangga Malaysia yang mengajukan Kota Melaka dan George Town dan pada tahun 2008 mendapat status pusaka dunia. Hingga saat ini, Negara China memiliki jumlah pusaka dunia yang terbanyak di antara negara lainnya, yaitu 6 kota pusaka. Prosedur pengajuan sebuah kota menjadi pusaka dunia tetaplah mengikuti Operational Guidelines, yaitu menggunakan kriteria untuk menominasikan ke dalam World Heritage List. Kriteria penilaian KSN untuk beberapa kota di Asia yang sudah ditetapkan sebagai Kota Pusaka Dunia UNESCO menunjukkan bahwa sebuah kota memenuhi setidaknya kriteria berikut. (i) Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap; (ii)
Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau
Kajian Pustaka
47
No
Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List Including whole historic cities and towns, or in part (inner cities, historic quarters) 1987, 2004 Imperial Palaces of the Ming and Qing Dynasties in Beijing and Shenyang 1997 Ancient City of Ping Yao 1997 Old Town of Lijiang 2000 Ancient Villages in Southern Anhui – Xidi and Hongcun 2005 Historic Centre of Macao 2007 Kaiping Diaolou and Villages 2004, 2007 Bam and its Cultural Landscape 1995 2008 1979 1999 1988 1988 1999 1982 1986 1993
Town of Luang Prabang Melaka and George Town, Historic Cities of the Straits of Malacca Kathmandu Valley Historic Town of Vigan Old Town of Galle and its Fortifications Sacred City of Kandy Hoi An Ancient Town Old Walled City of Shibam Old City of Sana’a Historic Town of Zabid
peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang masih ada; (iii)
Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting dalam sejarah manusia
(iv)
Menjadi contoh utama permukiman, tata guna lahan atau tata guna lautan tradisional yang merupakan representasi budaya atau interaksi manusia dengan lingkungan khususnya jika situs tersebut terancam oleh perubahan yang permanen
48
Kota Pusaka
(v)
Negara China
Iran Lao People’s Democratic Malaysia Nepal Philippines Sri Lanka Viet Nam Yemen
Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai penting universal yang menonjol;
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah beberapa kali mengajukan situs purbakala untuk menjadi pusaka dunia. Dua di antaranya yang berada dalam “daftar sementara” adalah kota lama, yaitu Kota Lama Banten (19/10/1995) dan Trowulan – Kota Lama Kerajaan Majapahit (06/10/2009).
Boks 1 : Contoh Kota Bersejarah Hoi An adalah sebuah kota yang terletak di Vietnam yang dinominasikan menjadi pusaka dunia dengan dua kriteria, yaitu ii dan iv berikut: Kriteria (ii): Hoi An adalah manifestasi material yang luar biasa dari fusi budaya pada pelabuhan komersial internasional dari waktu ke waktu. Kriteria (v): Hoi An adalah contoh pelabuhan dagang tradisional Asia yang lestari dengan baik. Contoh yang lain yaitu Melaka dan George Town di Malaysia yang dinominasikan menjadi pusaka dunia dengan tiga kriteria, yaitu ii, iii dan iv berikut Kriteria (ii): Melaka dan George Town merupakan contoh luar biasa dari kota perdagangan di Asia Timur dan Tenggara yang multi-budaya, ditempa dari perdagangan dan pertukaran bahasa Melayu, budaya Cina, dan India dan tiga kekuatan kolonial Eropa setelahnya selama hampir 500 tahun, masing-masing dengan jejak pada bentuk arsitektur dan perkotaan, teknologi dan seni yang monumental. Kedua kota menunjukkan tahap perkembangan yang berbeda dan perubahan-perubahan selama rentang waktu yang lama dan dengan demikian saling melengkapi. Kriteria (iii): Melaka dan George Town adalah saksi hidup warisan multi-budaya dan tradisi di Asia, dan pengaruh kolonial Eropa. Pusaka multi-budaya yang berwujud dan tidak berwujud dinyatakan dalam berbagai bangunan keagamaan dari keyakinan yang berbeda, tempat etnik, keragaman bahasa, festival pemujaan dan agama, tarian, kostum, seni dan musik, makanan, dan kehidupan sehari-hari. Kriteria (iv): Melaka dan George Town mencerminkan campuran pengaruh yang telah menciptakan sebuah arsitektur, budaya dan pemandangan kota yang unik mendatang tanpa disamai di Asia Timur dan Selatan lainnya. Secara khusus, menunjukkan berbagai ruko dan townhouse yang luar biasa. Bangunan-bangunan ini menunjukkan berbagai jenis dan tahapan pengembangan jenis bangunan, beberapa berasal dari periode Belanda atau Portugis.
Kajian Pustaka
49
3.1.2. Kota Pusaka Indonesia Menurut Piagam Pusaka Tahun 2003, Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. 1) Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. 2) Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka tidak berwujud. 3) Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. Pada tahun 2008, dideklarasikanlah Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI)1 di Kota Surakarta bersamaan dengan penyelenggaraan World Heritage Cities Conference (WHC). Pertama kali anggotanya sebanyak 12 kota di Indonesia dan sekarang telah menjadi 48 kota, termasuk pula kabupaten. 1
50
Di India, ada Indian Heritage Cities Network (IHCN) yang dinisiasi oleh UNESCO. Jaringan ini dideklrasikan pada September 2006 melalui konferensi internasional “Indian Cities of Living Heritage” di Jaipur, yang didukung oleh Kementerian Pembangunan Perkotaan, Pemerintah India. Jaringan ini terdiri dari 24 kota di India (Ahmedabad, Berhampore, Bharatpur,Bhopal, Burhanpur, Chandigarh, Chamba,Cochin/ Kochi, Gwalior, Hyderabad, Indore, Jabalpur, Jaipur, Jodhpur, Kota, Leh, Maheshwar, Madurai, Mysore, Puducherry, Srinagar, Udaipur, Ujjian dan Varanasi), 7 kota di Perancis (Aix-en-Provence, Bordeaux, Central Region, Chinon, La Rochelle, Nancy dan Rennes) dan mitra regional lain, beberapa universitas serta lembaga dan sejumlah mitra LSM. (Sumber: http://www.ihcn.in/)
Kota Pusaka
NO
LINGKUP Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kabupaten Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kota Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kota Kota Kota
NAMA WILAYAH Padang Bau-Bau Banda Aceh Bukittinggi Banjarmasin Cirebon Denpasar Jakarta Barat Jakarta Utara Jakarta Pusat Kepulauan Seribu Langsa Lubuk Linggau Madiun Malang Medan Palembang Pangkal Pinang Pekalongan Ambon Palopo Pontianak Salatiga Surabaya Semarang Surakarta Sibolga Ternate Yogyakarta Bangka Barat Karang Asem Purbalingga Cilacap Buleleng Tegal Bangli Brebes Banjarnegara Banyumas Batang Gianyar Gresik Badung Pekalongan Bogor Bengkulu Sawahlunto
PROVINSI Sumatera Barat Sulawesi Tenggara NAD Sumatera Barat Kalimantan Selatan Jawa Barat Bali DKI Jakarta
NAD Sumatera Selatan Jawa Timur Jawa Timur Sumatera Utara Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Jawa Tengah Maluku Sulawesi Selatan Kalimantan Barat Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Tengah Sumatera Utara Maluku Utara DI Yogyakarta Kepulauan Bangka Belitung Bali Jawa Tengah Jawa Tengah Bali Jawa Tengah Bali Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah Bali Jawa Timur Bali Jawa Tengah Jawa Barat Bengkulu Sumatera Barat
Tujuan Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) adalah mendaya-upayakan kekayaan pusaka bangsa menjadi aset yang bernilai jual tinggi, baik di mata bangsa maupun dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Karena itu, anggota JKPI merupakan kota dan Kabupaten yang mempunyai komitmen dalam melindungi kekayaan pusaka alam (tangible) maupun pusaka budaya (intangible). Kota dan kabupaten yang tergabung dengan JKPI diharapkan memiliki pemimpin yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kekayaan pusaka bangsa.2
3.2. PELESTARIAN KOTA DAN AREA KOTA BERSEJARAH Terkait dengan pelestarian kawasan perkotaan, UNESCO telah memberikan rekomendasinya untuk melakukan safeguarding atau pelindungan dan pengelolaan peran masa kni dari kawasan bersejarah (Warsawa-Nairobi, 1976). Dalam konteks ini, pelestarian kota dan area kota bersejarah dipahami sebagai landasan penting untuk melindungi, melestarikan, dan memugar kota dan kawasan semacam, sebagaimana juga untuk kepentingan pengembangan dan adaptasi yang selaras bagi kehidupan masa kini. Secara universal pelestarian kota dan/atau kawasan pusaka perlu mengacu pada Piagam Washington (Piagam Pelestarian Kota dan Kawasan Perkotaan Pusaka) yang diadopsi dari Sidang Umum International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) di Washington D.C., Oktober 1987 dan Pedoman Pengelolaan Kota Pusaka Dunia yang dikeluarkan oleh Organization of World Heritage Cities (Pedoman OWHC, 2003). Beberapa teks 2
http://indonesia-heritage.net/
dan konteks dari Indonesia tetap menjadi bahan pertimbangan juga. Washington Charter 1987 telah diadopsi oleh ICOMOS (International Council on Monuments and Sites). Disebutkan di dalamnya sejumlah prinsip dan tujuan pelestarian kota dan area kota bersejarah. Pertama, agar memberikan hasil terbaik, pelestarian kota bersejarah maupun kawasan terbatasnya harus menjadi bagian yang integral dari kebijakan pembangunan ekonomi dan sosial serta perencanaan kota. Kemudian, kualitas yang dipreservasi meliputi karakter kota atau kawasan yang bersangkutan, serta seluruh elemen material dan spiritual yang menunjukkan karakter tadi, terutama pola lingkungan (jalan dan perpetakan), kaitan antara bangunan dan ruang terbuka hijau, penampilan bentukan fisik bangunan, hubungan kota atau kawasan dengan setting lingkungan, dan beragam fungsi dari waktuke-waktu. Berikutnya, partisipasi dan keterlibatan warga sangat penting untuk keberhasilan program pelestarian. Oleh karena itu harus didorong adanya keterlibatan ini, bahkan menjadi prasyarat penting. Terakhir, konservasi kota dan area kota bersejarah membutuhkan kehati-hatian, disiplin, dan sebuah pendekatan sistematik, tanpa terkungkung pada penanganan yang kaku seragam. Mengelola suatu kota/kawasan pusaka, apapun bentuknya – saujana, kota, desa, kawasan, area – akan menyangkut persoalan kepekaan, selera dan kreasi pengelolanya terhadap pusaka-pusaka yang dimiliki wilayahnya. Dan di dalamnya akan terjadi proses transaksi yang melibatkan banyak aspek dan sektor secara menyeluruh. Pusaka bagaimanapun adalah barang publik (Navrud & Ready, 2002) yang memiliki dimensi ekonomi, di antaranya ekspresi nilai budaya yang muncul dari fungsi penggunaan
Kajian Pustaka
51
secara individual dan dapat diukur, terutama banyak kemauan berbagai pihak untuk membayar (Thorsby, 1997). A. Prinsip-prinsip Pelestarian Kota/Kawasan Pusaka Mengacu berbagai referensi dan pengalaman lapangan dalam mengelola pelestarian Kota Pusaka perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1) Perlu identifikasi kualitas tertentu yang menyebabkan suatu situs pusaka perkotaan dianggap penting (Pedoman OWHC, 2003). Kualitas yang perlu dilestarikan adalah karakter bersejarah kota atau kawasan perkotaan dan segala elemen material dan spiritual yang mengekspresikan karakter tersebut, khususnya (Piagam Washington, 1987): a. Pola perkotaan yang ditentukan oleh persil tanah (lot) dan jalan-jalan b. Hubungan antara bangunan, area hijau dan ruang-ruang terbuka c. Tampilan formal bangunan, interior dan exterior, yang ditentukan oleh skala, ukuran, langgam, konstruksi, material, warna dan dekorasi d. Hubungan antara kota atau area perkotaan dengan lingkungan sekitarnya, baik alam maupun buatan manusia, dan e. Berbagai fungsi yang ada pada kota atau area perkotaan dari waktu ke waktu Ancaman apapun pada kualitas di atas akan merubah keaslian kota dan perkotaan kota pusaka. 52
Kota Pusaka
2) Perlu proses yang sistematik yang digunakan untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu aset pelestarian (Pedoman OWHC, 2003). Proses tersebut diupayakan untuk menjaga kesinambungan, keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas (Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003); 3) Perlu dan agar menjadi efektif, dalam perencanaan pelestarian, tujuan pelestarian menjadi bagian integral dengan berbagai tujuan dan kebijakan pembangunan sosial dan ekonomi yang telah ditetapkan serta perencanaan perkotaan dan daerah di semua aras (Piagam Washington, 1987; Pedoman OWHC, 2003). 4) Perlu dan harus terus menerus didorong untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelestarian. Pelestarian kota dan kawasan perkotaan pusaka yang pertama adalah mempedulikan penduduknya (Piagam Washington, 1987; Pedoman OWHC, 2003). Bahkan peran serta tersebut bukan sekedar partisipasi namun menjadi pelaku pengelolaan – People centered management (Adishakti, 2003) 5) Perlu meyakinkan bahwa penilaian keuangan atas suatu pembangunan baru tidak merusak situs perkotaan pusaka (Pedoman OWHC, 2003).; 6) Perlu mendorong pemerintah pusat dan daerah menggunakan kewenangannya dalam menata dan menggunakan peraturan dan pendanaan yang tepat (Pedoman OWHC, 2003);
7) Perlu memahami bahwa setiap persoalan pelestarian pusaka adalah unik. Untuk itu pelestarian dalam kota atau kawasan perkotaan pusaka menuntut kelenturan pendekatan dan disiplin yang sistematik. Pendekatan yang kaku perlu dihindari, mengingat setiap kasus akan memiliki masalah-masalah sendiri yang khusus (Piagam Washington, 1987; Pedoman OWHC, 2003).
d. Bertujuan agar diperoleh hubungan harmonis antara kawasan perkotaan pusaka dan kota secara keseluruhan.
B. Metode dan Instrumen
g. Dilakukan dokumentasi kondisi area yang ada secara lengkap sebelum dilakukan intervensi apapun;
Dalam melaksanakan pengelolaan dan perencanaan pelestarian Kota Pusaka perlu memperhatikan metoda dan instrumen sebagai berikut (Piagam Washington, 1987; Pedoman OWHC, 2003): 1) Perencanaan pelestarian kota dan kawasan perkotaan pusaka perlu dilakukan melalui studi-studi multi disiplin dan holistik. Oleh karena itu perencanaan pelestarian kota dan kawasan perkotaan pusaka perlu: a. Memperhitungan berbagai faktor termasuk pembangunan berkelanjutan, arkeologi, sejarah, arsitektur, teknik, sosiologi dan ekonomi. b. Pemahaman tentang sejarah kota atau kawasan perkotaan pusaka perlu ditingkatkan melalui investigasi arkeologi dan pemugaran temuan arkeologi dengan tepat. c. Dinyatakan dengan jelas prinsip tujuan rencana pelestarian serta hal-hal yang terkait dengan aspek legal, perhitungan administrasi dan keuangan yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
e. Perbaikan perumahan hendaknya menjadi salah satu dari tujuan-tujuan pelestarian. f. Menunjukkan bangunan-bangunan mana saja yang harus dipugar, mana yang dilestarikan dengan kondisi tertentu, dan mana dengan kondisi perkecualian yang mungkin dapat dilakukan olah disain.
h. Didukung oleh penduduk kawasan pusaka.. 2) Menyusun strategi pemanfaatan dan olah disain arsitektur/kawasan pusaka a. Merupakan instrument disain yang mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan melalui pengelolaan dan pengendalian pertumbuhannya; b. Fungsi dan kegiatan baru harus sesuai dengan karakter kota atau kawasan perkotaan pusaka. Olah disain kawasan yang diperuntukan bagi kehidupan kontemporer mensyaratkan instalasi atau perbaikan fasilitas pelayanan publik c. Ketika perlu mendirikan bangunan baru atau olah disain bangunan pusaka, tata letak spasial yang ada harus dijunjung tinggi, terutama dalam konteks skala dan ukuran lot tanah. Mencangkokan elemen kontemporer yang memiliki harmoni dengan lingkungan hendaknya jangan
Kajian Pustaka
53
dibatasi mengingat elemen-elemen tersebut dapat pula menambah citra dan keelokan terhadap kawasannya. 3) Memposisikan pelestarian pusaka sebagai bentuk pembangunan berkelanjutan melalui 3 tahap pendekatan yaitu advokasi, integrasi, dan keberlanjutan. a. Advokasi menunjukkan pandangan pelestarian; mengupayakan pandangan tentang pelestarian ini sederajat dengan berbagai persoalan yang lain. Tujuannya untuk peningkatan kepedulian. Bila kepedulian sudah meningkat kembangkan karakteristik lembaga pengelolaan, serta memulai masuk dalam kebijakan pembangunan dan strategi pelaksanannya;
b. Ketika perencanaan perkotaan atau perwilayahan menyediakan konstruksi jalan raya, hendaknya hal ini tidak masuk ke dalam kota atau kawasan perkotaan pusaka, namun mereka perlu meningkatkan akses ke sana. 6) Kota-kota pusaka perlu dilindungi dari bencana alam dan gangguan seperti polusi dan getaran-getaran agar pusaka terselamatkan dan demi keamanan dan kenyamanan penghuni. Meskipun bencana belum menerjang kota atau kawasan perkotaan pusaka, kesiapan dan perangkat perbaikan perlu disesuaikan dengan karakter spesifik pusaka yang terkena bencana. 7) Peningkatan Sumber Daya Manusia
a. Dalam rangka meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat, program informasi umum perlu dipersiapkan bagi para penduduk kota, mulai dari anak usia sekolah.
b. Integrasi promosikan pandangan pelestarian ini menjadi satu kesatuan dengan berbagai pandangan sektor-sektor yang lain; membangun kapasitas teknis terkait dengan isu ini; c. Keberlanjutan mengawasi tingkat efektifitas pelestarian dalam kelembagaan pemerintah yang ada; meningkatkan terus kapasitas teknis di bidang ini. 4)
Pemeliharaan yang terus-menerus walau merupakan hal yang rumit namun harus dilaksanakan demi mencapai pelestarian kota atau area perkotaan pusaka yang effektif.
5) Aksesibilitas. a. Lalu-lintas di dalam kota atau kawasan perkotaan pusaka harus dikontrol dan area parkir perlu direncanakan sehingga tidak merusak unsur-unsur bersejarah atau lingkungannya. 54
Kota Pusaka
b. Pelatihan khusus perlu disediakan untuk semua profesi yang terkait dengan pelestarian. 8)
Selama pelaksanaan aksi pelestarian, semua kegiatan perlu sejalan dengan prinsip piagam Washington dan Piagam Venice, serta berbagai pedoman yang relevan.
C. Strategi Pengelolaan Kunci strategi pengelolaan Kota Pusaka agar dapat berjalan dengan baik adalah sebagai berikut (Pedoman OWHC, 2003): a. Menjunjung dinamika kota. Upaya pelestarian untuk peningkatan kualitas kota
pusaka tidak hanya tertuju pada bentuk fisik lingkungan tetapi juga kehidupan yang hidup di dalam kota. Kehidupan yang ada perlu dijaga. Fokus pada karakteristik kota atau kawasan perkotaan secara menyeluruh (kegiatan, fungsi dan hubungan antara keduanya). Hal ini akan membantu mengarahkan strategi jangka panjang dengan arah yang tepat.
yang ada. Sementara budaya tradisi itu sendiri mampu tetap hidup menembus jaman.
3.3. Rencana Pengelolaan (Management Plan)
d. Pendekatan positif pada pengelolaan konflik. Dalam kegiatan pelestarian sering kali menghadapi keadaan yang tidak sejalan. Di satu pihak akan melestarikan namun di pihak lain berusaha untuk menggantikan dengan struktur baru. Konflik-konflik seperti ini hanya dapat diatasi bila ada minat yang sama dari kedua belah pihak. Bila konflik sulit diatasi oleh dedua belah pihak, untuk melaukan resolusi konflik perlu mengundang profesional di bidang ini.
“States Parties” atau Negara yang telah meratifikasi Konvensi UNESCO 1972 diundang untuk memasukkan nominasi suatu objek baik pusaka yang memiliki nilai budaya atau alam dan dipertimbangkan memenuhi kriteria “nilai sejagat” untuk masuk dalam Daftar Pusaka Dunia. Nominasi yang diajukan pada Komite (World Heritage Committee) mampu menunjukkan komitmen yang sungguh-sungguh dari “State Party” untuk melindungi pusaka yang dimaksud, dengan caranya. Komitmen tersebut berupa kebijakan yang sesuai, instrumen legal, ilmiah, teknis, administratif serta finansial yang diadopsi dan diusulkan untuk melindungi obyek dan OUV-nya. Nominasi tersebut diajukan dalam suatu berkas, yang terdiri dari: 1) Identifikasi Objek 2) Deskripsi Objek 3) Justifikasi 4) Kondisi pelestarian dan faktor yang berpengaruh pada obyek 5) Perlindungan dan Pengeloaan 6) Monitoring 7) Dokumentasi 8) Kontak Informasi terkait autoritas yang dilindungi 9) Tertanda atas nama “State Party(ies)”
e. Penyesuaian Budaya. Salah satu tantangan adalah bagaimana berbagai budaya yang tumbuh berkembang tetap menjunjung tradisi
Karena “World Heritage sites and buffer zones” atau lingkup pusaka dunia yang berupa kota bersejarah signifikan pada ruang, zonasi dan pembangunan,
b. Menjunjung nilai partisipasi publik. Kesuksesan jangka panjang dalam strategi pelestarian sangat tergantung pada seberapa jauh masyarakat dapat berperan serta dalam indentifikasi dan perlindungan kualitas pusaka masyarakat itu. Di banyak kota, pelestari professional, yang sudah mumpuni di bidang inipun tetap mencari cara yang paling jitu yaitu bekerja bersama masyarakat dalam memahami dan menjaga pusaka-pusaka mereka. c. Integrasi dengan tujuan pembangunan kota yang lain. Strategi pengelolaan yang berhasil juga karena integrasi dengan berbagai tujuan pembangunan yang lain baik di sector public maupun swasta.
Kajian Pustaka
55
peraturan perencanaan dan bangunan merupakan instrument yang penting. Sebuah rencana tata ruang baik pada lingkup regional hingga lokal sebaiknya dapat menjelaskan apa dan bagaimana,
dalam kerangka penataan ruang, pemerintah yang bertanggung jawab terlibat pengelolaan suatu pusaka.
Boks 2: Contoh Peran Penting Penataan Ruang dalam Pengelolaan Kota Pusaka Di Jerman, dalam UU Perencanaan Regional Federal (the Federal Regional Planning Act), perlindungan pusaka disebutkan sebagai salah satu prinsip, yaitu Historical and cultural relationship and regional connections shall be maintained; the characteristic features and the cultural and natural monuments of evolved cultural landscapes shall be preserved. Dengan begitu, Pemerintah Federal yang memiliki sedikit kompetensi terkait penataan ruang, merumuskan kerangka aksi dimana tiap negara bagian bertanggung jawab dalam melaksanakan undang-undang penataan ruang di tingkat negara bagian. Sumber: Management Plans for World Heritage Sites – A Practical Gudes (Birgitta Ringbeck, 2008)
56
Kota Pusaka
Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka
Bau-Bau, Sulawesi Tenggara 57 Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI
4 Studi Profil Kota Pusaka
58
Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka
Untuk menyusun pedoman yang utuh, telah dilakukan penggalian praktik yang baik (good practice) serta berbagai kendala dalam upaya pelestarian dan pengelolaan pusaka di Indonesia. Pengamatan dilakukan atas 7 kota dari anggota JKPI. Kota-kota tersebut mempunyai karakter yang kuat. Dengan demikian, pengalaman yang didapatkan berdasarkan kondisi lapangan dengan karakter berbeda-beda. Gambarannya seperti pada tabel berikut ini:
Ternate Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI
Studi Profil Kota Pusaka
59
No.
Kota Bukittinggi (dh. Fort de Kock)
Periode Pembangunan 1700-1900
Karakter Kota
Karakter Geografis
Kota Militer
Pedalaman Sawahlunto
Industrialisasi Modern
Kota Tambang (batubara)
Pedalaman Banjarmasin
1400-1700
Kota Pemerintahan Tradisional, Kota Pelabuhan
Tepi Sungai
60
Kota Pusaka
No.
Kota Bau-Bau (dh. Buton)
Periode Pembangunan 1400-1700
Karakter Kota
Karakter Geografis
Kota Pemerintahan Tradisional, Kota Pelabuhan
Tepi Laut Yogyakarta
1400-1700
Kota Pemerintahan Tradisional
Pedalaman Ternate
Sebelum 1400
Kota Pemerintahan Tradisional, Kota Pelabuhan
Tepi Laut
Studi Profil Kota Pusaka
61
No.
Kota Malang
Periode Pembangunan 1400-1700
Karakter Kota
Karakter Geografis
Kota Pemerintahan Kolonial
Pedalaman Banda Aceh
1400-1700
Kota Pemerintahan Tradisional
Ambon
1400-1700
Kota Pemerintahan Tradisional
Sumber: Werner, 1987; http://id.wikipedia.org
62
Kota Pusaka
Berikut ini kondisi pada kota-kota1 tersebut:
1856
4.1. BUKITTINGGI
1891-1894 Pembangunan Kereta api Bukittinggi-PayakumbuhPadang
Pembangunan sekolah guru untuk memajukan pendidikan pribumi
Bukittinggi terletak di dataran tinggi Minangkabau, Sumatra Barat di 0°18’ LS dan 100°22’ BT pada ketinggian 930 meter dpl dengan hawa sejuk 1625°C. Bukittinggi berada di dekat Gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang masih aktif.
1943-1945 Bukittinggi merupakan Markas Besar Tentara Jepang di Sumatra yang dipindah dari Singapore 1948
Sejak 19 Desember 1948, Bukittinggi sebagai Ibukota Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sewaktu Belanda menduduki Indonesia. Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri ditawan Belanda.
Sejarah Pendirian Bukittinggi
1950-1957
Bukittinggi menjadi Ibukota provinsi Sumatra Tengah yang meliputi Sumatra Barat, Riau, dan Jambi.
1803-1838
Perang Padri
1825
Pembangunan Fort de Kock
Visi Kota Bukittinggi “Terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan potensi unggulan daerah (Jasa dan Perdagangan, Kepariwisataan, Pendidikan dan Pelayanan Kesehatan), yang dijiwai oleh Agama dan Adat, Syarak Mangato Adaik Mamakai”. Ragam Pusaka Kekayaan pusaka di Bukittinggi meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi. Pusaka alam, seperti Ngarai Sianok. Pusaka budaya ragawi, seperti Jam Gadang, masjid dan rumah-rumah adat. Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian serta kuliner setempat.
Gambar 1: Fort de Kock 1833-1841
Pembangunan jalan ke pantai barat
1 Kasus-kasus ini merupakan hasil pengamatan selama bulan Desember 2011 dan Januari 2012.
Kondisi Pelestarian Pusaka Dampak pembangunan baru, seperti munculnya iklan, gedung bertingkat, tata lingkungan yang baru seperti pembangunan pagar dan dampak kehadiran PKL yang belum tertata
Studi Profil Kota Pusaka
63
Gambar 2: Beragam Pusaka di Bukittinggi
Manajemen Pusaka Ragawi BP3 Sumatera Barat telah menyiapkan daftar bangunan bersejarah yang harus dilindungi, beberapa bangunan sudah dirawat dan dipelihara. Jumlah ada sekitar 44 bangunan. 64
Kota Pusaka
Dinas Kebudayaan mencegah pembongkaran bangunan tua seperti gedung Polres, kompleks penjara dll. Program pelestarian, seperti Pedestrianisasi Lingkungan Jam Gadang, rehabilitasi kawasan jenjang (17 tangga utama), rencana rehabilitasi Pasar Atas, dll.
Pusaka Non-Ragawi Pembinaan sanggar-sanggar dan insentif untuk pelestarian pusaka budaya intangible. Festival musik dan tari tradisional, lomba pantun, festival kuliner, ch: festival rending dan Festival Sulam Bordir se-ASEAN pada tahun 2012. Pengembangan pariwisata yang menghormati alam dan budaya.
4.2. SAWAHLUNTO Kota Sawahlunto terletak di perbukitan terjal, landai dan dataran dengan ketinggian 250-650 m di atas permukaan laut di 0°40 40.16 S dan 100°47 13.21
Gambar 4: Ragam Kesenian di Bukittinggi
E dengan suhu berkisar antara 22 °C. Luas total adalah 273,45 km2. Visi Kota Sawahlunto “Sawahlunto: Kota Tambang Berbudaya” Sejarah Singkat Abad ke 19 Batubara ditemukan di Sawahlunto oleh Ir. de Greve
Gambar 3: Penataan Lingkungan Jam Gadang
1888
Sejak 1 Desember, investasi oleh pemerintah Hindia Belanda
1892
Produksi batubara
Studi Profil Kota Pusaka
65
1894
Pembangunan Kereta api Padang-Sawahlunto
1918
Penetapan Gemeentelijk Resort dengan luas 778 ha
1930
Sawahlunto berpenduduk 43.576 jiwa, 564 jiwa adalah orang Belanda.
1940-1970
Produksi batubara menurun, hanya puluhan ribu ton/tahun
Gambar 5: Beragam Pusaka di Sawahlunto
66
Kota Pusaka
1990an
Produksi meningkat lagi sampai sejuta ton/ tahun, namun cadangan batubara terbatas, basis ekonomi dialihkan ke pariwisata
Ragam Pusaka Kekayaan pusaka di Kota Sawahlunto meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.
Pusaka alam, terkait posisi Kota Sawahlunto yang tumbuh sebagai kota tambang batu bara. Pusaka budaya ragawi, seperti rumah adat dan infrastruktur tambang Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian, kerajinan serta kuliner setempat Manajemen Sawahlunto adalah salah satu perintis pelestarian Kota Pusaka yang gigih dan kreatif. Berusaha menggeser basis ekonomi Sawahlunto dari pertambangan ke arah pariwisata budaya.
Kerjasama dengan Melaka, Malaysia Pusaka Ragawi Rehabilitasi lubang tambang mbah Suro, membangun museum Gudang Ransum, museum Kereta Api, Infobox, pusat kebudayaan, taman rekreasi, pelestarian kawasan pusat kota, perlindungan bangunan bersejarah Pusaka Non-Ragawi Pembinaan sanggar-sanggar dan intensif untuk pelestarian pusaka budaya intangible. Festival musik dan tari tradisional, lomba pantun, festival kuliner, ch: festival rendang.
Gambar 6: Visualisasi Bentang Alam Sawahlunto
Studi Profil Kota Pusaka
67
Gambar 7: Lubang Mbah Suro (kiri) dan Gudang Ransum (kanan) setelah rehabilitasi
Pengembangan pariwisata menghormati alam dan budaya.
yang
Pengembangkan berbagai acara budaya, festival musik, dll
4.3. BANJARMASIN Banjarmasin merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, terletak antara 30°15’ dan 30°22’ Lintang Selatan dan 114°032’ dan 114°098’ Lintang Utara; dengan luas area 72 km2 (0,19% dari luas Pulau Kalimantan).
Gambar 8: SIMFEST (Sawahlunto International Music Festival)
Sejarah Singkat 1526
Banjar mengalahkan Daha pada tanggal 24 Desember 1526 yang menjadi Hari Jadi Kota Bandjarmasih sebagai ibukota kerajaan baru di Kalimantan Selatan.
1606
VOC pertama kali datang di Banjarmasin
1849
Banjarmasin (Pulau Tatas) menjadi ibukota Divisi Selatan dan Timur Borneo.
Visi Kota Banjarmasin “Terwujudnya Kota Banjarmasin yang maju dan mandiri sebagai pusat pelayanan dan pertumbuhan bagi perkembangan regional Kalimantan dengan didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dengan dijiwai semangat Kayuh Baimbai” 68
Kota Pusaka
Sungai Barito
Kawasan Masjid Sabilal Muhtadin
Sungai Martapura
1898
Ditetapkan dalam Staatblaad tahun 1898 No. 178 sebagai bagian Afdeeling Bandjermasin en Ommelanden (Banjarmasin dan daerah sekitarnya) (1898-1902).
1918
Banjarmasin menjadi ibukota Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo mendapat GemeenteRaad.
1936
Ordonantie pembentukan Gouvernementen Sumatra, Borneo en de Groote-Oost (Stbld. 1936/68) dan sebagai pusat pemerintahannya adalah Banjarmasin.
1937
Otonomi kota Banjarmasin ditingkatkan dengan Stads Gemeente Banjarmasin karena Banjarmasin sebagai ibukota Gouvernement Borneo.
1946
Banjarmasin sebagai ibukota Daerah Banjar satuan kenegaraan sebagai daerah bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Gambar 9: Peta Kota Banjarmasin
Gambar 10: Pintu gerbang dengan tulisan 1606 untuk menyambut kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dirk Fock pada tahun 1924
Studi Profil Kota Pusaka
69
Gambar 11: Beragam Pusaka di Banjarmasin
70
Kota Pusaka
Ragam Pusaka Kekayaan pusaka di Kota Banjarmasin meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi. Pusaka alam, melihat posisi Kota Banjarmasin yang terdiri dari banyak sungai (Kota Seribu Sungai) dan dilewati sungai besar seperti Sungai Martapura, Sungai Kuin, Sungai Andai, Sungai Alalak. Pusaka budaya ragawi, seperti makam, masjid dan rumah adat Banjar; Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian musik Panting, kerajinan kain sasirangan serta kuliner setempat Kondisi Pelestarian Data menunjukkan penurunan jumlah sungai. Pada 1997 terdapat 117 sungai, pada 2002 menjadi 70 sungai, dan pada 2004 sampai sekarang tinggal 60 sungai. Pembangunan gedung yang digunakan sebagai sarang burung wallet.
Gambar 13: Kompleks Makam Sultan Suriansyah di Banjarmasin
Gambar 12: Sungai di Banjarmasin
Studi Profil Kota Pusaka
71
Gambar 14: Rumah Adat dan Rumah Tepi Sungai di Banjarmasin
Perlunya penetapan kawasan Cagar Budaya dan penguatan pada Perda Kota Manajemen • Rancangan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banjarmasin • Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 21 Tahun 2009 tentang Benda Cagar Budaya • Pemerintah telah mendata Grup Musik Panting (11 kelompok), Grup Sanggara Tari, (11 kelompok) dan Sinoman Haderah (14 kelompok);
72
Kota Pusaka
Gambar 15: Rumah burung wallet
Gambar 16: Kawasan atau Kampung Tua yang Perlu Direvitalisasi
• Penyelenggaraan festival tahunan, seperti Festival Budaya Pasar Terapung, yang antara lain berisi Lomba Jukung tradisional.
Gambar 17: Festival Jukung
4.4. BAU-BAU Bau-Bau terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara di antara 5.21°-5.33° LS dan 122.30°-122.47° BT. Luas area adalah 221,00 km² dengan luas laut mencapai 30 km² merupakan kawasan potensial untuk pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut. Visi Kota Bau-Bau “Terwujudnya Kota Baubau Sebagai Pusat Perdagangan dan Pelayanan Jasa Yang Nyaman, Maju, Sejahtera dan Berbudaya pada Tahun 2023” Visi lima tahunan (2008 - 2013): “Terwujudnya Kota Baubau sebagai Kota Budaya yang produktif dan nyaman, melalui optimalisasi sumberdaya lokal secara profesional dan amanah, menuju masyarakat sejahtera, bermartabat, dan religi”. Gambar 18: Peta Geografis Kota Bau-Bau
Studi Profil Kota Pusaka
73
Sejarah Singkat Abad 12 Perkampungan Buton Pertama oleh Mia Patamiana 1332 Pembentukan Kerajaan Buton yang terdiri dari 4 limbo (Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu) dan beberapa kerajaan kecil (Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga) 1542 Agama Islam masuk ke Buton, kerajaan berubah menjadi Kesultanan Buton dengan Lakilaponto sebagai Sultan I (Sultan Murhum) 1940 Pembentukan Kerajaan Laiwui dan Kesultanan Buton menjadi daerah administratif yang disebut “Afdeeling Buton Dan Laiwui” dengan Ibukota di Baubau. Afdeeling Buton dan Laiwui dibagi menjadi 3 Onderaffdeling Buton dan Pulau-Pulau Tukang Besi dengan Ibukota di Baubau 1952 Daerah Sulawesi Tenggara beribukota di Bau-Bau 1960 Pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kota Baubau menjadi Ibukota Kabupaten Buton. Ragam Pusaka Kekayaan pusaka di Kota Bau-Bau meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi. Pusaka alam Bukit Wantiro dan bukit Kolema, Pantai Kamali, Air Jatuh, Lembah hijau, Gua Aru Palaka, Sungai Buton, Topografi Kota dengan “Kontur bertingkat 6”, Vegetasi: beragam vegetasi pohon produksi (mangga, sawo, belimbing wuluh, srikaya, delima dll), pohon industri, penghijauan, semak dan gulma. Pusaka budaya ragawi, termasuk tata ruang kota, benteng, dan bangunan adat. Benteng Wolio di Kota Bau-Bau memiliki panjang 2.740 meter dan luas 22,8 Ha. Benteng ini selesai dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645).
74
Kota Pusaka
Gambar 19: Sultan I Kesultanan Buton (Sultan Murhum)
Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian serta kuliner setempat Manajemen Konstitusi Murtabat Tujuh lahir berdasarkan hasil kesepakatan (konsensus) tentang konsep hukum tata negara adat pada Kesultanan Buton.
Gambar 20: Benteng Wolio di Bau-Bau
Gambar 22: Beragam Pusaka di Bau-Bau
Studi Profil Kota Pusaka
75
Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No. KM8/PW007/Hxp03 tentang Penetapan Benteng Baadia, Benteng Keraton Buton (Benteng Walio), Benteng Bengkudu, Kompleks Gua Prasejarah Pulau Muna dan Mesjid Agung Keraton Buton yang berlokasi di Wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai BCB dan/atau situs yang dilindungi Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 Keputusan Walikota Bau-bau Nomor 105 Tahun 2003 tentang Penetapan Benteng Keraton sebagai Kawasan Khusus Kota Bau-Bau. Penyenggaraan Festival Perairan Puma dan Festival Keraton Nusantara pada tahun 2012. Gambar 23: Peta Administrasi Kota Yogyakarta
madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning Bawana”.
4.5. YOGYAKARTA Kota Yogyakarta adalah ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekaligus tempat kedudukan bagi Kasultanan Yogyakarta. Letaknya di 7°48 5 S 110°21 52 E. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah 3.250 hektar
Visi Kota Yogyakarta
Sejarah Singkat
“Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata yang berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat
76
Kota Pusaka
Visi lima tahunan (2007-2011)
1584
“Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan”. Pendirian Kerajaan Mataram oleh Sutawijaya, anak dari Ki Ageng Pemanahan, yang berganti nama menjadi Senopati.
dua, yaitu Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Paku Buwono dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Hamengkubuwono. 1756
Kota Yogyakarta berdiri pada tanggal 7 Oktober 1756, seiring berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan konsep tata ruang Catur Sagatra. Pada perkembangannya, mendapat pengaruh dari budaya lain, seperti Cina, Belanda dan Inggris.
Ragam Pusaka Kekayaan pusaka di Yogyakarta meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi. Pusaka alam, terkait konsep sumbu imajiner yang menempatkan Kota Yogyakarta terhubung dengan Gunung Merapi dan Laut Selatan. Gambar 24: Struktur Ruang Kota Yogyakarta
1584-1601 Masa kejayaan Panembahan Senopati, yang dilanjutkan oleh Sultan Seda ing Krapyak (1601-1613) dan Sultan Agung (1613-1646). 1618
1749
1755
Pada masa Sultan Agung, ibukota Mataram pindah ke Karta (1618), hal ini diiringi dengan kondisi kejayaan yang memburuk akibat campur tangan VOC. Perlawanan raja-raja Mataram berikutnya dengan VOC membuat kerajaan Mataram akhirnya terpuruk dan diserahkan pada Belanda pada tahun 1749. Perjanjian Giyanti, Kerajaan Mataram yang dari Kartasura pindah ke Surakarta kemudian dibagi
Pusaka budaya ragawi, sebagai Kekuatan pola, simbol, filosofis, yang berakar dari nilai sejarah dan sosial-budaya, bermula dari 4 kekuatan unsur pembentuk kota: keraton, alun-alun, mesjid dan pasar (caturgatra tunggal) Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian, festival, kerajinan serta kuliner setempat Manajemen Pusaka Ragawi Pengelolaan oleh pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Kota Yogyakarta belum memiliki regulasi untuk pengelolaan pusaka pada tingkat kota, sementara menggunakan Perda
Studi Profil Kota Pusaka
77
Gambar 25: Beragam Pusaka di Yogyakarta
D.I. Yogyakarta No. 11/2005 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya. Sesuai SK Gubernur DIY No. 186/ KEP/2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya, telah ditetapkan 5 Kawasan Cagar Budaya di Kota Yogyakarta, yaitu: Kawasan Kotabaru, Kawasan Pakualaman, Kawasan Keraton, Kawasan Kotagede dan Kawasan Malioboro. 78
Kota Pusaka
1 KCB lainnya adalah Kawasan Imogiri di Kabupaten Bantul. Karena itu, koordinasi dan penyesuaian antara kebijakan yang dikeluarkan provinsi dan kota yang sering berbenturan merupakan isu yang penting. Kebijakan-kebijakan yang berasal dari nilai budaya masyarakat lokal sangat dominan, misalnya penataan Rumah Jawa yang sehat sesuai nilai hastagrata.
Gambar 26: Kawasan Kotagede Salah satu KCB di Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta telah mendata aset pusaka yang berupa bangunan, sesuai UU No 11/2010 tentang Cagar Budaya, yaitu: 88 Benda Cagar Budaya, sesuai Keputusan Mendikbud dan Gubernur. 369 Bangunan Warisan Budaya, sesuai penetapan Walikota. 42 Bangunan yang Diduga BCB (potensial), belum ada penetapannya. Pengendalian pembangunan pada BCB atau KCB dilakukan melalui mekanisme perijinan. Pemilik bangunan pusaka yang mengurus IMB harus berkonsultasi dengan Dinas Kebudayaan. Pengelolaan pusaka pada tingkat pemerintah kota sudah dijalankan dengan diberlakukannya insentif. Pemberian insentif pada pemilik bangunan sejak tahun 2010 berupa keringanan pajak
dengan kisaran 10- 90%. Dan bantuan dana pembangunan melalui dana propinsi / dan kota untuk pemeliharaan beberapa bangunan, seperti Dalem Ropingen di Kotagede. Pelibatan masyarakat, seperti Kelompok pelestari, yaitu Jogja Heritage Society (JHS) dan Madya (Masyarakat Advokasi Warisan Budaya), Perguruan Tinggi, misalnya Jurusan Arsitektur&Perencanaan UGM dan Jurusan Arkeologi UGM Organisasi Pelestari di kawasan pusaka, contohnya di Kotagede yaitu Yayasan Pusdok (Pusat Studi dan Dokumentasi Pengembangan Budaya Kotagede), Yayasan Kanthil, OPKP (Organisasi Pelestari Kawasan Pusaka) dan Forum Joglo Kotagede
Studi Profil Kota Pusaka
79
Pusaka Non-Ragawi Inventarisasi Pusaka Budaya Tak Ragawi juga sudah mulai dibina melalui hubungan dengan sekitar 500 paguyuban kesenian yang aktif. Penyelenggaraan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY) pada awal Tahun Baru Cina, hingga tahun 2011 sudah pelaksanaan yang ke-6. Tiap perayaan hari ulang tahun Kota Yogyakarta pada bulan Oktober, diselenggarakan Festival 45 Kelurahan yang diisi dengan pentas kesenian di tiap kelurahan tersebut. Pada tahun 2012, Pemerintah Kota berencana menginventarisasi Benda Pusaka Bergerak (Immovable Heritage), seperti Keris, Kendi dan Tombak
4.6. TERNATE Luas Wilayah Kota Ternate adalah 250,85 km². Merupakan kepulauan, yang terdiri dari Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulai Moti, Pulau Mayau dan Pulai Tfure yang berpenduduk, sedangkan Pulau Maka, Pulau Mano dan Pulau Gurida merupakan pulau berukuran kecil yang tidak berpenghuni. Visi Kota Ternate (2011-2015) “Terwujudnya Ternate menjadi Kota “Berbudaya, Agamais, Harmonis, Mandiri, Berkeadilan dan Berwawasan Lingkungan” atau KOTA TERNATE “BAHARI BERKESAN”. Sejarah Singkat Abad XIII 1257 Abad XV
1512 1575 1607
1635 Gambar 27: Dragon Festival pada PBTY VI di jalan Malioboro (Sumber: jogjatrip.com)
80
Kota Pusaka
1683
Eksodus warga dari Halmahera dan terbentuknya 4 kampung Pembentukan Kerajaan Gapi (skrg Ternate) yang penyatuan 4 kampung di Kampung Ternate. Agama Islam menjadi resmi dan kerajaan berubah menjadi KESULTANAN dengan Sultan pertama adalah Sultan Zainal Abidin dengan komoditi utama, yaitu rempah Kedatangan Portugal yg berupaya menguasai ekonomi Ternate Portugal dikalahkan Ternate di bawah Sultan Baabullah Perjanjian monopoli dengan VOC atas imbal mengusir Spanyol dan Portugal. VOC membangun Benteng Oranje Hongi Tochten (penebangan besar-besaran cengkeh dan pala) Ternate di bawah kekuasaan VOC
Gambar 28: Peta Administrasi Kota Ternate
Ragam Pusaka
Manajemen
Kekayaan pusaka di Ternate meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.
Lembaga Pengelola di lingkup pemerintah, yaitu
Pusaka alam, yaitu lansekap alam yang terdiri dari Gunung Gamalama, pulaupulau, danau serta lautan.
Bidang Kebudayan - Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Ternate
Pusaka budaya ragawi, sebagai Kedaton, mesjid, benteng dan rumah adat
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Ternate dengan Wilayah Kerja Provinsi Papua Barat, Papua, Maluku dan Maluku Utara
Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian, kerajinan serta kuliner setempat
Studi Profil Kota Pusaka
81
Gambar 29: Kota Ternate yang berbasis kepulauan secara fungsional memiliki akesbilitas dengan daerah luar. Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Uitzicht_op_Ternate_TMnr_3728-865.jpg
Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No. 31/BCBTB/09/08469-08523 tentang SITUS/ BENDA CAGAR BUDAYA TIDAK BERGERAK di Kota Ternate, seperti Kedaton Sultan Ternate dan Benteng Oranje
82
Kota Pusaka
Peranan dan Partisipasi Masyarakat, antara lain Ternate Heritage Society (THS) dan Jurusan Arsitektur Universitas Khairun
Gambar 30: Beragam Pusaka di Ternate
Studi Profil Kota Pusaka
83
4.7. MALANG Kota Malang merupakan kota terbesar kedua di Provinsi Jawa Timur. Terletak pada ketinggian antara 440-667 m dpl, serta 112,06 Bujur Timur dan 7,06-8,02 Lintang Selatan. Kota Malang memiliki luas 110,06 Km2.
Gambar 28: Peta Administrasi Kota Malang 84
Kota Pusaka
Visi Kota Malang (2009-2013) “Terwujudnya Kota Malang sebagai kota pendidikan yang berkualitas, kota sehat dan ramah lingkungan, kota pariwisata yang berbudaya, menuju masyarakat yang maju dan mandiri”. Sejarah Singkat 1767
Belanda memasuki Kota Malang dan mendirikan benteng/loji/ke-loji-an/ klojen 1821 Kedudukan Pemerintah Hindia Belanda dipusatkan di sekitar Kali Brantas 1824 Malang mempunyai Asisten Residen, sedang kedudukan residennya di Pasuruan 1876 Dibuka hubungan kereta api antara Surabaya, Malang dan Pasuruan 1882 Rumah-rumah di bagian barat Kota Malang didirikan dan alun-alun dibangun. 1914 Pada 1 April, Malang ditetapkan sebagai Kotapraja 1942 Pada 8 Maret, Malang diduduki Jepang 1945 Pada 21 September, Malang menjadi bagian Wilayah Republik Indonesia 1947 Pada 22 Juli, Malang diduduki kembali Belanda 1947 Pada 2 Maret, Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang. 2001 Pada 1 Januari, pembentukan Kota Malang. Ragam Pusaka Kekayaan pusaka di Kota Malang meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi.
Pusaka alam, yaitu lansekap alam Sungai Brantas. Pusaka budaya ragawi, meliputi: Lingkungan Cagar Budaya meliputi Lingkungan Candi Badut, Lingkungan candi Tidar, Lingkungan Gunung Buring, Situs Tlogomas dan Lingkungan Polowijen; Bangunan Cagar Budaya meliputi bangunan-bangunan yang memiliki nilai sejarah dan penanda kota, yaitu Balai Kota Malang, Stasiun Kereta Api, Bank Indonesia, Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, Gereja Katedral Hati Kudus, Sekolah Cor-Jessu, Gedung PLN, serta perumahan yang ada di sepanjang Jalan Besar Ijen, Toko Oen serta Masjid Agung Jami’. Pusaka budaya non-ragawi, seperti kesenian, yaitu ludruk, topeng Malang, macapat, kerajinan serta kuliner setempat. Kondisi Pelestarian Dari segi pelestarian pusaka, penataan ruang Kota Malang memerlukan koordinasi antara Pemerintah Kota dan Kabupaten yang baik. Beberapan pusaka budaya yang penting terletak tidak jauh dari perbatasan kota, misalnya Candi Badut yang merupakan candi tertua, Candi Singasari, Candi Kidal dan candi Jago. Kurangnya koordinasi tiga pihak, yaitu pemerintah provinsi, kabupaten dan kota untuk duduk bersama dalam pengelolaan
Studi Profil Kota Pusaka
85
Gambar 30: Beragam Pusaka di Kota Malang
wilayah. Tata ruang Kota Malang dan sekitarnya selayaknya berfokus pada “Malang Raya” dengan wilayah kota sebagai intinya, sesuai karakteristik Kota Malang yang dikelilingi satelit-satelitnya seperti Batu (18 km di barat), Lawang (18 km di utara), Kepanjen (18 km di selatan) dan Tumpang (23 km di timur). Peranan akademisi, seperti Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang (eks IKIP), Universitas Merdeka, Muhamadiyah, Universitas Widyawacana serta LSM pusaka seperti Pandu Pusaka, Restomuseum Inggil atau Dragonfly Society belum terlalu terlihat.
86
Kota Pusaka
Manajemen Lembaga Pengelola di lingkup pemerintah, yaitu Bidang Perencanaan – Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Malang Dewan Kesenian Kota Malang yang kreatif dalam mengemas seni tradisional, di antaranya menawarkan paket-paket tarian dan musik gamelan. Pemerintah Kota Malang telah menyusun Rencana Kawasan Strategis Sosial Budaya, Tahun 2012-2032 dengan tujuan antara lain:
Untuk mendapatkan gambaran terhadap sebaran kawasan Cagar Budaya, situs-situs sejarah serta bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Malang; Menetapkan karakter desain bangunan berarsitektur kolonial yang ada di kawasan bersejarah dan strategis di Kota Malang; Untuk mengetahui perubahan fungsi kawasan yang berkaitan dengan kawasan Cagar Budaya, situs-situs sejarah serta bangunanbangunan bersejarah yang ada di Kota Malang; Menetapkan arahan kriteria karakter desain bangunan berarsitektur kolonial yang dapat digunakan sebagai pedoman perancangan dan pengendalian pembangunan fisik bangunan lama dan baru di kawasan bersejarah dan strategis di Kota Malang; Untuk memberikan arahan penetapan serta arahan pemanfaatan kawasan Cagar Budaya, situs-situs sejarah serta bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Malang sebagai kawasan strategis Kota Malang; Meningkatkan kualitas lingkungan dan stabilitas ekonomi dengan menghidupkan kembali potensi cagar budaya melalui upaya konservasi dan preservasi bangunan
Gambar: Peta Rencana Kawasan Strategis Sosial Kultural Kota Malang
cagar budaya serta meningkatkan infrastruktur penunjangnya; Peningkatan image Kota Malang secara keseluruhan;
Studi Profil Kota Pusaka
87
Peningkatan intervensi kegiatan yang mampu menciptakan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal, terintegrasi dengan sistem kota, layak huni, berkeadilan sosial, berwawasan budaya dan berkelanjutan.
4.8. BANDA ACEH Keberadaan wilayah geografis Kota Banda Aceh terletak antara 050 16’ 15” - 050 36’ 16” Lintang Utara dan 950 16’ 15” - 950 22’ 35” Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61, 36 Km2
88
Kota Pusaka
Sejarah Singkat Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam dibangun diatas puingpuing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum’at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.
Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A. Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama “Kandang Aceh”. Dan pada masa pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia (dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H. Kota Banda Aceh berumur 802 tahun berdasarkan Peraturan Daerah Aceh Nomor 5 Tahun 1988, tanggal 22 April1205 ditetapkan sebagai tanggal keberadaan kota tersebut. Cheng Ho pernah singgah di Banda Aceh dalam ekspedisi pertamanya setelah singgah di Palembang. Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda gelombang pasang tsunami yang diakibatkan oleh gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Indonesia. Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota ini. Hingga kini belum diketahui berapa jumlah pasti penduduk Banda Aceh pasca tsunami. Visi Kota Banda Aceh (2007-2012) “Mewujudkan Masyarakat Mandiri Berkualitas, Bermartabat dan Islami”
yang
Misi 1. Membangun hubungan dan keikutsertaan masyarakat yang kuat untuk menumbuh kembangkan kebanggaan dan kepribadian
sebagai warga Kota Banda Aceh yang Islami; 2. Mengembangkan nilai-nilai kebesaran dan potensi daerah Kota Banda Aceh, sebagai Ibukota Provinsi, Pusat Perdagangan, Pendidikan dan Budaya; 3. Mengembangkan kerjasama dengan masyarakat untuk memelihara dan menata sumber daya alam dan lingkun gan untuk dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan sebagai warisan bagi generasi yang akan datang; 4. Meningkatkan derajat kesehatan, kesejahteraan dan keamanan serta tumbuhnya peluang ekonomi sebagai wujud dari kebesaran Kota Banda Aceh yang islami; 5. Membangun Pemerintahan yang efisien, akuntabel, transparan, partisipatif dan mampu melayani masyarakat secara optimal melalui pembangunan tata kelola pemerintahan yang baik. Ragam Pusaka Kekayaan pusaka di Banda Aceh meliputi pusaka alam, budaya baik yang ragawi maupun non-ragawi. Pusaka Alam, yaitu Taman Wisata Krueng Aceh Pusaka Budaya Ragawi, yaitu Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Pinto Khop, Gunongan, Makam Sultan Iskandar Muda,Gerbang Peutjoet Kerkoff, Mesjid Baiturrahim Ulee Lheu.
Studi Profil Kota Pusaka
89
memajukan kebudayaan dan pariwisata daerah. Aset pusaka ragawi yang ada di kota ditata dan dikelola kembali agar aset pusaka dapat memiliki daya tarik yang tinggi.
Gambar: Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh
Pusaka Budaya Non Ragawi, yaitu Tari Ranup Lampuan, Tari Liko Pulo,Tari Tarek Pukat, Tari Saman, SeruneKalee, Geundrang, Rapai
Kondisi Pelestarian Pusaka Dampak pembangunan baru, seperti munculnya iklan, gedung bertingkat, tata lingkungan yang baru seperti pembangunan pagar dan dampak kehadiran PKL yang belum tertata Manajemen Pusaka Ragawi Pengelolaan aset pusaka dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Koordinasi dan kerjasama antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah dengan stakeholder/para pelaku usaha wisata dan pihak terkait lainnya dilakukan secara berkala dalam rangka mengembangkan dan 90
Kota Pusaka
Pusaka Non-Ragawi Pembinaan sanggar-sanggar dan insentif untuk pelestarian pusaka budaya intangible. Diadakannya Pekan Kebudayaan Aceh secara berkala untuk mempromosikan kebudayaan secara berkala. Pengembangan pariwisata yang menghormati alam dan budaya.
4.9. AMBON
Kota Ambon berada sebagian besar dalam wilayah pulau Ambon, dan secara geografis terletak pada posisi: 3o-4o Lintang Selatan dan 128o-129o Bujur Timur, dimana secara keseluruhan Kota Ambon berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah. Visi dan Misi (2011-2016) “Ambon yang maju, mandiri, religius, lestari dan harmonis berbasis masyarakat” Dengan Misi: Menata dan meningkatkan profesionalisme birokrasi dalam pelayanan publik • Meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat • Menata dan meningkatkan lingkungan lestari berbasis partisipasi masyarakat •
Sejarah Singkat
Memacu pertumbuhan ekonomi dan industri kerakyatan berbasis sumberdaya alam yang tersedia • Meningkatkan kehidupan orang basudara di atas kearifan lokal • Merevitalisasi penegakan hukum dan pranata sisoal masyarakat •
Pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng Portugis di Pantai Honipopu, yang disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi, kelompokkelompok masyarakat kemudian mendiami sekitar benteng. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian dikenal dengan nama soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing dan sebagainya. Kelompok-kelompok masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kota Ambon. Dalam perkembangannya, kelompokkelompok masyarakat tersebut telah berkembang menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang teratur. Karena itu, tahun 1575 dikenal sebagai tahun lahirnya Kota Ambon. Pada tanggal 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon diberi hak yang sama dengan Pemerintah Colonial, sebagai manifestasi hasil perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku. Momentum ini merupakan salah satu momentum kekalahan politis dari Bangsa Penjajah
Studi Profil Kota Pusaka
91
dan merupakan awal mulanya warga Kota Ambon memainkan peranannya di dalam Pemerintahan seirama dengan politik penjajah pada masa itu, serta menjadi modal bagi Rakyat Kota Ambon dalam menentukan masa depannya. Karena itu, tanggal 7 September ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Kota Ambon. Ragam Pusaka Pusaka Kota Ambon terdiri dari: Pusaka Alam, yaitu laut dan pantai sangat dominan. Terutama sebaran penduduk yang berada di pulau-pulau kecil seperti Pulau Seram, dan lainnya. Gambar: Pemandangan jalanan di Ambon (1883-1889)
Sumber http://id.wikipedia.org/w/index. php?title=Berkas:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Straat_in_ Ambon_TMnr_3728-864.jpg&filetimestamp=20100728203256
Ambon Sumber Foto: Catrini (BPPI)
92
Kota Pusaka
Pusaka Budaya Ragawi, yaitu Rumah tradisional sangat jarang ditemui di Kota Saparua. Beberapa bangunan Belanda sudah ada yang dirobohkan dan diganti bangunan modern. Bangunan kolonial yg masih bertahan terutama adalah gereja dimana sebagian besar masyarakat Ambon adalah umat kristiani. Ada peninggalan benteng kolonial Duustende yang sudah pernah dipugar oleh BP3 dan menjadi bagian daftar Cagar Budaya. Pusaka Budaya Non Ragawi: Kerajinan tenun yang mulai dijual untuk pariwisata dimana sebelumnya hanya untuk konsumsi adat.
Pusaka kuliner menjadi salah satu daya tarik, terutama kue-kue kering berbahan baku kenari, kepiting kenari dan lainnya. Manajemen Pengelolaan pusaka alam sangat kurang, kerusakan terumbu karang dan pengelolaan sampah mulai menjadi masalah saat ini. Berbagai upaya pemda untuk meredam konflik sosial karena pertentangan antar suku yang kuat. Salah satu upaya yang disebutkan adalah pendekatan budaya dan pemahaman pluralisme.
Benteng Duurstede – Ambon Sumber Foto: indonesiabox.com
Studi Profil Kota Pusaka
93
Anak Nias, Sumatera Utara Sumber Foto: Catrini (BPPI)
5 Kota Pusaka, Kriteria Dan Pengelolaannya 5.1. DEFINISI KOTA PUSAKA Pengertian Kota Pusaka Indonesia dipahami sebagai Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak-ragawi serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota, yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif. Dengan rincian, yaitu: 1) Kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak-ragawi yang terajur secara utuh sebagai aset pusaka Penjelasan: Kota tersebut merupakan hasil dari proses pembentukan dan transformasi Kajian Pelestarian dan Pengelolaan Kota Pusaka
terus-menerus, seringkali mendapat pengaruh dari berbagai budaya yang berbeda. Kekayaannya karena itu terdiri dari kondisi alam, bangunan pusaka dan komponen fisik lainnya serta beragam bahasa, kesenian, kerajinan yang dikembangkan oleh berbagai etnis yang tinggal. 2) Dapat berupa kawasan pusaka sebagai bagian dari kota tersebut Penjelasan: Kawasan yang memiliki kekentalan sejarah biasanya sebagian saja dari wilayah kota yang lebih luas1, pada beberapa kasus merupakan bagian dari suatu wilayah administasi kabupaten. 3) Yang hidup dan berkembang serta dikelola secara efektif. 1 Johnson, Jim. “The Future of Historic Cities – The Case of Edinburgh” dalam The Future of Historic Cities. An International Symposium, Kyoto, 7-8 Oktober 1995. 95
Gambar 1: Skema Identifikasi Kota Pusaka
Penjelasan: Pengembangan vitalitas ekonomi dan juga kehidupan sosial budaya dari sebuah kawasan bersejarah, yang kemudian berperan dalam menjaga keberlangsungan area serta karakternya2. Pusaka pada setiap kota merupakan keunikan dan aset yang nilainya berbeda antara satu kota dan lainnya. Penataan ruang hendaknya merupakan upaya yang bertujuan untuk mengelola keunikan serta aset tersebut untuk memastikan keberlanjutannya. Sebagai bagian dari penataan ruang, pengelolaan pusaka juga bertujuan akhir untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Pusaka tidak hanya tentang objek itu sendiri, tetapi juga sikap terkait pengelolaannya. Mulai dengan mengenali serta memahami aset yang ada dalam konteks 2 Johnson, Jim. “The Future of Historic Cities – The Case of Edinburgh” dalam The Future of Historic Cities. An International Symposium, Kyoto, 7-8 Oktober 1995.
96
Kota Pusaka
ruangnya dan bagaimana merencanakan, memanfaatkan serta mengendalikan pemanfaatannya dengan baik. Pada kota yang memiliki aset pusaka, penting untuk berfokus pada keberlanjutannya, selain semata-mata untuk upaya pengawetan. Manfaat Untuk mengenali apakah sebuah kota merupakan Kota Pusaka Indonesia, atau bahkan dapat dinominasikan sebagai kota pusaka dunia. Untuk mengenali kota yang memenuhi deskripsi sebagai kota pusaka dunia sebagaimana telah disebutkan oleh UNESCO, yaitu kota yang penting dan istimewa sehingga melampaui batasbatas nasional dan memiliki nilai penting bagi umat manusia di masa kini maupun mendatang. Komponen Kriteria penilaian suatu pusaka dunia disebut Keunggulan Nilai Sejagat (KNS), sedangkan kriteria penilaian pusaka nasional disebut Keunggulan Nilai Nasional (KNN).
Tabel 1: KNS dan KNN Keunggulan Nilai Sejagat (Outstanding Universal Value)3
Keunggulan Nilai Nasional
1. Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia 2. Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap; 3. Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang masih ada; 4. Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting dalam sejarah manusia
1. Menunjukkan evolusi panjang kesejarahan tumbuh kembang kota. yang terlihat dari tinggalan berbentuk struktur kota, bentang alam, wajah jalan, monumen, arsitektur, teknologi serta seni budaya yang istimewa 2. Menampilkan dan menjadi contoh ciri khas lokal maupun percampuran antar budaya daerah/bangsa 3. Memiliki peran sebagai wadah perkembangan peradaban, tradisi, gerakan perjuangan bangsa, atau kejadian yang istimewa bagi negara
5. Menjadi contoh utama permukiman, tata guna lahan atau tata guna lautan tradisional yang merupakan representasi budaya atau interaksi manusia dengan lingkungan khususnya jika situs tersebut terancam oleh perubahan yang permanen 6. Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai penting universal yang menonjol. 3
The Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention
Permasalahan Dari hasil survey, pemerintah kota maupun organisasi masyarakat / komunitas pemerhati pelestarian setempat telah dapat mengenali adanya aset pusaka baik yang teraga maupun tidak teraga. Namun begitu, belum semua mengkaji sejarah kotanya secara lengkap dan bagaimana proses bentukan kota tersebut terjadi. Dengan begitu, mengenali sebuah kota termasuk
kota pusaka dunia atau bukan masih memerlukan kajian tersendiri. Good Practice Adanya perguruan tinggi yang mengembangkan kajian-kajian membantu mengenali kota seperti Yogyakarta atau Bukittinggi sebagai kota pusaka. Berbagai skripsi, tesis dan disertasi menunjukkan evolusi panjang kesejarahan tumbuh
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
97
Gambar 2: Buku Terbitan Pemerintah Kota Baubau
kembang kota serta asset pusaka lainnya. Contohnya Buku berjudul Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara karangan La Ode Rabbani (2010) yang menceritakan Baubau, selain Kota Kendari dan Muna. Pada tahun 2011 lalu, pemerintah Kota Baubau menerbitkan pula buku berjudul Kota Baubau, Sejarah dan Perjalanannya.
5.2. RUMUSAN VISI Pengertian Visi adalah rangkaian kalimat yang menyatakan cita-cita atau impian sebuah organisasi yang ingin dicapai di masa datang. Dalam visi suatu organisasi terdapat juga nilai-nilai, aspirasi serta kebutuhan 98
Kota Pusaka
organisasi di masa depan. Karena itulah, visi merupakan hal yang sangat krusial untuk menjamin kelestarian dan kesuksesan jangka panjang. Untuk menyusun sebuah visi, tentunya pemerintah kota dan masyarakat mengenali potensi dan nilai pusaka dan memiliki wawasan untuk memberi arah dalam pengelolaan potensi pusaka. Dengan demikian, bagi kota pusaka visi berarti pernyataan untuk memelihara aset pusaka dan memperkuat jatidiri atau identitasnya, sekaligus untuk memberi kemajuan terhadap kota dan masyarakatnya. Manfaat Cita-cita keberlanjutan ini hendaknya dapat terbaca dari rumusan visi tiap kota pusaka.
Perencanaan Pemb. Nasional
Penataan Ruang
Kota Pusaka Dunia Kota Pusaka Nasional
Kota Pusaka Nasional
Kota Pusaka Nasional
Visi Pembangunan Kota
Tujuan, Kebijakan dan Strategi
Gambar 3 : Kedudukan RTRW dalam Sistem Penataan Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Berwawasan Pusaka
5-8
Melalui visi, terlihat apakah pemerintah kota mengenali aset pusakanya. Visi ini kelak menjadi acuan bagi pengembangan tujuan, pengembangan serta strategi pelaksanaan penataan ruang yang berbasis pengelolaan aset pusaka.
disusun oleh Kepala Daerah3. Rumusan ini yang kemudian diacu dalam berbagai dokumen perencanaan sektoral lainnya yang disusun oleh daerah. Rumusan visi yang disebutkan dalam dokumen RPJMD sebaiknya telah berwawasan pusaka.
Komponen Visi kota dinyatakan dalam RPJPD (20 tahun) atau RPJMD (5 tahun) yang harus
3 Menurut UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
99
Permasalahan RPJM disusun oleh kepala daerah yang telah ditetapkan. Dalam waktu singkat, terlihat sulit untuk mengenali secara utuh aset pusaka yang dimiliki kota atau kabupaten bersangkutan. Good Practice Berikut beberapa kota yang menyebutkan unsur budaya dalam rumusan visinya, yaitu: Kota Bau-Bau
Kota Sawahlunto
Terwujudnya Kota Bau-Bau Kota Tambang yang Berbudaya Sebagai Pusat Perdagangan dan Pelayanan Jasa Yang Nyaman, Maju, Sejahtera dan Berbudaya pada Tahun 2023
Visi lima tahunan (2008-2013): “Terwujudnya Kota Baubau sebagai Kota Budaya yang produktif dan nyaman, melalui optimalisasi sumberdaya lokal secara profesional dan amanah, menuju masyarakat sejahtera, bermartabat dan religi”.
5.3. PENGELOLAAN KOTA PUSAKA Keberadaan pusaka melekat pada proses penataan ruang dan karena itu, terwujud dalam berbagai dokumen keluarannya. Dalam praktiknya, proses ini meliputi bidang penataan ruang dan cipta karya. Dokumen yang dimaksud di sini termasuk perencanaan tata ruang serta tata bangunan dan lingkungan. Sebagaimana diketahui, reformasi dan otonomi telah berpengaruh pada perubahan pendekatan 100
Kota Pusaka
Kota Yogyakarta Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata yang berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning Bawana
Gambar 3. Proses Perubahan Para Pelaku Penataan Ruang (Sumber: http://www.penataanruang.net/ta/Lapak05/P2/3/Bab3.pdf)
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
101
penataan ruang. Yang semula masyarakat sebagai objek peraturan menjadi masyarakat sebagai subjek peraturan serta dengan keanekaragaman perilaku. Pendekatan ini menuntut peranan pemerintah untuk menggali dan mengembangkan visi bersama antara pemerintah dan kelompok masyarakat di dalam merumuskan wajah ruang kota di masa depan, kualitas ruang serta aktivitas yang diinginkan dan dilarang pada suatu kawasan. Karena itu, peran serta masyarakat semakin meningkat dengan
102
Kota Pusaka
keikutsertaan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat seperti ormas, pers, organisasi masyarakat / komunitas pemerhati pelestarian, dan sebagainya. Melihat skema tersebut, proses perencanaan dapat diperkuat dengan mengintegrasikan langkahlangkah dalam proses perencanaan pelestarian (conservation plan). Langkah tersebut sebagai berikut:
Gambar 5 : SKEMA KERANGKA RENCANA PELESTARIAN
IDENTIFIKASI SIGNIFIKANSI RENCANA TINDAK
O&P
ATURAN PELESTARIAN
5-14
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
103
5.4. IDENTIFIKASI PUSAKA
satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya.
5.4.1. Identifikasi Pusaka
3) Presentasi
Pengertian Merupakan upaya untuk mengenali aset pusaka pada sebuah wilayah secara utuh serta memahami arti penting/signifikansinya. Manfaat Menjadi dasar dalam mengelola aset pusaka secara efektif, sesuai dengan potensi maupun kebutuhan penanganan. Komponen Merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari tiga langkah berikut: 1) Inventarisasi Dokumentasi
Aset
Pusaka
&
Kegiatan pengumpulan data tentang Pusaka Alam termasuk bentang alam/ landscape, Budaya Ragawi & Tak Ragawi, Rajutan berbagai pusaka, public realm/ruang antar bangunan, pemandangan indah/panorama. 2) Registrasi Kegiatan penetapan daftar pusaka sesuai dengan kriteria, kaitannya terhadap UU 11/2010 yaitu UU 11/2010, Pasal 33 menyatakan Bupati/ Walikota berwenang mengeluarkan penetapan status Cagar Budaya setelah rekomendasi diterima dari Tim Ahli Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau
104
Kota Pusaka
Kegiatan ekspos inventarisasi maupun dokumentasi pusaka, dapat berupa barang cetak, digital, public accessible web dan peta pusaka/heritage map Permasalahan Dari hasil survey, antara satu kota dan lainnya memiliki pemahaman yang berbeda mengenai kegiatan inventarisasi. Kelengkapan juga dipengaruhi cara melihat yang biasanya ditentukan sektor apa yang melakukan kegiatan tersebut. Good Practice 1) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Pemerintah Kota Yogyakarta telah mendata dan menetapkan aset pusaka kota yang berupa bangunan, yaitu: a. 88 Benda Cagar Budaya, sesuai Keputusan Mendikbud dan Gubernur. b. 369 Bangunan Warisan Budaya, sesuai penetapan Walikota. c. 42 Bangunan yang Diduga BCB (potensial), belum ada penetapannya. 2) Pemerintah Kota Banjarmasin telah mendata Grup Musik Panting (11 kelompok), Grup Sanggara Tari, (11 kelompok) dan Sinoman Haderah (14 kelompok);
Manfaat
5.4.2. Identifikasi Bencana Pengertian Identifikasi bencana sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kegiatan inventarisasi dan dokumentasi. Pada saat pendataan, penting untuk mengetahui adanya ancaman bencana serta dampaknya (kerentanan atau vulnerability) terhadap aset pusaka di wilayah tersebut. Bencana yang dimaksudkan dalam sub bab ini adalah bencana yang diakibatkan oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir dan sebagainya, sementara di sisi lain bencana dapat pula diartikan bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia (sumber: Heritage Emergency Response in Indonesia, Recovery and Sustainability After Disaster, by Catrini P. Kubontubuh- article in Emergency in Conflict and Disaster Prince Claus Fund 2011).
Apabila dideteksi lebih awal, dapat dilakukan kegiatan untuk mengurangi resiko bencana terhadap pusaka. Pada saat terjadi bencana, dapat melakukan kegiatan Penilaian Cepat Pusaka Rusak (PCPR) secara efektif. Komponen 1) Resiko Bencana Identifikasi terhadap adanya ancaman bencana pada wilayah dengan asset pusaka, dapat ditunjukkan dengan Peta Rawan Bencana. 2) Ancaman Pusaka
Bencana
terhadap
Aset
Identifikasi kerentanan asset pusaka, dapat ditunjukkan dengan peta yang merupakan overlay Peta Rawan Bencana dan Peta Pusaka
Gambar : Peta Pusaka Dunia Hoi An, Vietnam (kiri) dan Vigan, Filipina (kanan) Sumber: http://whc.unesco.org/
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
105
Permasalahan Meski wilayah Indonesia kini memiliki kesadaran kebencanaan, namun belum semua wilayah telah memiliki peta rawan bencana. Lebih lanjut, pemetaan terhadap kerawanan pusaka belum menjadi bagian upaya manajemen resiko bencana saat ini. Good Practice -5.4.3. Penilaian Signifikansi Pengertian Merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi kawasan pusaka pada suatu kota/kabupaten dan menunjukkan elemen-elemennya yang penting. Yang dimaksud elemen, baik berupa bangunan, lingkungan terbangun maupun alaminya.
Manfaat Memastikan pengelolaan pusaka yang berbasis pada signifikansinya dapat membuat tindakan penanganan yang lebih efektif. Komponen 1)
Lingkup kawasan pusaka Identifikasi kawasan inti serta kawasan pendukung (bila ada), didukung dengan gambar peta.
2) Deskripsi Identifikasi kawasan-kawasan pusaka pada suatu wilayah, berupa karakter serta letaknya. 3) Keberadaan Tim ahli Cagar Budaya sesuai UU 11/2010 di tingkat kota/ kabupaten, serta tidak menutup partisipasi dari organisasi masyarakat/ komunitas pelestarian di daerah tersebut.
Gambar 6 : Kawasan Kotagede Sebagai KCB di Kota Yogyakarta
106
Kota Pusaka
Permasalahan Kerap kali terjadi salah paham terhadap lingkungan pusaka yang merupakan bagian dari kawasan lindung, contohnya: lingkungan pusaka yang terkontaminasi dengan adanya kegiatan perdagangan, jasa dan lainnya. Dengan demikian perlu kiranya dibuatkan Dokumen Perencanaan
Kawasan Pusaka yang lebih rinci untuk mengatur hal tersebut. Good Practice 1) Pemerintah Kota Bau-Bau mengeluarkan Keputusan Walikota No. 105 Tahun 2003 tentang Penetapan Benteng Keraton sebagai Kawasan Khusus Kota Bau-Bau. 2) Sesuai SK Gubernur DIY No. 186/ KEP/2011 tentang Penetapan Kawasan Cagar Budaya, Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta menetapkan 5 Kawasan Cagar Budaya di Kota Yogyakarta, yaitu: Kawasan Kotabaru, Kawasan Pakualaman, Kawasan Keraton, Kawasan Kotagede dan Kawasan Malioboro. 3) Pemerintah Kota Malang menetapkan Kawasan Strategis Sosial-Budaya dalam RTRW Kota Malang Tahun 20102030. 5.4.4. Aturan Pelestarian a) Pengertian Merupakan upaya untuk mengendalikan implementasi perencanaan pelestarian yang telah disusun dengan berbagai instrumen, seperti peraturan perundangan.
Gambar 6 : Kawasan Strategis Sosial-Budaya di Kota Malang
b) Manfaat Mendorong implementasi pemanfaatan ruang yang berkualitas, termasuk
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
107
memastikan keterlibatan masyarakat dan swasta untuk bersama-sama dengan pemerintah dalam mengelola aset pusaka. Komponen 1) Kelembagaan Pelestarian Terlembaganya upaya menjalankan pelestarian, yang terwujud pada tata kelola pengelolaan, yang merupakan kerja bersama antara SKPD, Swasta, PTN, organisasi masyarakat / komunitas pemerhati pelestarian peduli pelestarian. Termasuk memberi payung untuk upaya pelestarian, seperti peraturan
tentang perlindungan, pengelolaan dsb. 2) Komunitas Pelestarian Keberadaan pelaku atau organisasi masyarakat / komunitas pemerhati pelestarian yang semakin meningkat kapasitasnya dan berpartisipasi dalam proses pelestarian. 3) Kompetensi Pelestarian Keahlian teknis yang dimiliki para pelaku pelestarian pusaka, baik pada lingkup perencanaan & perancangan dan teknis penanganan bangunan.
Gambar : Peta Rencana Perlindungan Kawasan Pusaka (PSMV) Kota Paris
Sumber: http://www.mairie4.paris.fr/mairie04/jsp/site/Portal.jsp?page_id=140 108
Kota Pusaka
Permasalahan
Komponen
Keberdayaan masyarakat merupakan isu penting saat ini. Meskipun demikian, tidak tiap kota memiliki warga yang baik untuk sukarela terlibat dalam kegiatan kota, termasuk pelestarian ini. Good Practice Pemerintah DIY melalui Perda DIY No. 10 Tahun 2005 tentang Pengelolaan KCB dan BCB telah menyebutkan pengelolaan pusaka tidak hanya menjadi peran pemerintah, tetapi juga masyarakat. Contohnya di Kawasan Kotagede, Forum Joglo telah menjadi mitra pemerintah dalam pengembangan kawasan. 5.4.5. Rencana Tindak Pelestarian Pengertian Merupakan kegiatan untuk mendorong pengelolaan aset pusaka suatu wilayah, baik pemeliharaan, pemanfaatan dan pengendalian. Manfaat
1) Informasi & Edukasi Pelestarian Kegiatan untuk sosialisasi pemahaman pelestarian pusaka secara konsisten melalui Jelajah Pusaka atau Heritage Trail dan Pendidikan Pusaka atau Heritage Education. 2) Olah Disain Arsitektur/kawasan Pusaka Pemanfaatan & pengembangan aset, yang dalam peraturan perundangundangan disebutkan bahwa untuk perencanaan yang lebih rinci pada kawasan khusus seperti kawasan pusaka dibuatkan Rencana Revitalisasi atau RTBL. 3) Prasarana & Sarana Pelestarian Pengembangan prasarana & sarana yang mendukung pemanfaatan aset pusaka, misalnya di sektor transportasi berupa akses lalu lintas, transportasi publik, pejalan kaki & jalur pesepeda, akses untuk semua Permasalahan
Memastikan aset pusaka tidak hanya di“lindungi”, tetapi juga dilestarikan dalam bentuk berbagai kegiatan perlindungan, dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kesejahteraan warga kota. Penting pula untuk mendorong keterlibatan masyarakat, dengan menciptakan kegiatan yang bisa membangkitkan kesadaran masyarakat.
Olah desain pusaka atau adaptive reuse pada sebuah kegiatan pelestarian sering berbenturan maksudnya dengan pemahaman pusaka yang kaku, harus dilindungi tanpa diberi fungsi kembali; sehingga yang sering terjadi obyek pusaka yang sudah dilindungi terbengkalai karena tidak ada kegiatan didalamnya.
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
109
Gambar 7: Beberapa Pusaka Tambang yang Telah Dimanfaatkan Kembali
Good Practice Pemerintah Kota Sawahlunto dengan visinya “Kota Tambang yang Berbudaya” mengembangkan rencana revitalisasi berbagai aset pusaka tambang. Aset tersebut bukan untuk kegiatan tambang, namun dihadirkan untuk fungsi baru yang terkait dengan kegiatan pariwisata. Antar objek tersebut diangkat dalam satu rangkaian jelajah, melalui kegiatan jelajah pusaka/ heritage trail. 5.4.6. Operasi dan Pemeliharaan Pengertian Merupakan upaya untuk terus-menerus mendayagunakan atau memanfaatkan
110
Kota Pusaka
serta memelihara kelestarian bangunan pusaka. Pemanfaatan untuk kegiatan kehidupan sebaiknya selaras dengan keberadaan pusaka tersebut, dan tidak memberikan ancaman terhadap kelestariannya. Pemanfaatan membuat aset pusaka tidak menjadi peninggalan mati, melainkan lebih hidup dan sekaligus menjadi lebih terpelihara. b) Manfaat Mendorong implementasi pemanfaatan ruang yang berkualitas, termasuk memastikan keterlibatan masyarakat dan swasta untuk bersama-sama dengan pemerintah dalam mengelola aset pusaka. Pemanfaatan menjadikan aset pusaka tidak terlantar dan lebih terkendali.
Komponen 1) Kewirausahaan Pelestarian & Investasi pusaka/Heritage investment Kegiatan yang bersifat komersial dalam memanfaatkan dan mengembangkan aset pusaka, baik berupa pengembangan ekonomi lokal atau menghadirkan investasi berupa modal usaha untuk kegiatan baru. 2) Dinamika Budaya Kreatif dan dinamis dalam pengembangan kegiatan budaya, termasuk pencangkokan kegiatan baru pada aset pusaka, seperti kegiatan festival 3) Pemasaran/marketing Kreatif dan dinamis dalam menyebarkan informasi mengenai kota pusaka atau kawasan di dalamnya beserta aset yang ada dengan tujuan untuk mempengaruhi munculnya berbagai macam kegiatan. Permasalahan Kunci operasi dan pemeliharaan adalah “kreativitas” dalam menghasilkan “inovasi”. Pada intinya adalah menghasilkan sesuatu di luar kekakuan kebiasaan yang ada, yang tidak semua orang dapat melakukannya. Terutama untuk pemerintah pusat ata daerah, batasannya adalah peraturan perundangan-undangan yang telah mengatur apa yang menjadi tupoksinya.
Good Practice Pemerintah Kota Yogyakarta beberapa tahun terakhir menyelenggarakan beberapa festival yang berbasis pada potensi pusaka setempat. Misalnya Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY), yang tahun 2012 masuk pelaksanaan yang ketujuh. Pelaksanaannya selalu diselenggarakan di Kawasan Ketandan, yang dianggap sebagai kawasan Pecinan awal di Kota Yogyakarta. Dengan begitu, festival ini juga sekaligus menghidupkan kembali gairah di kawasan tersebut. Pemerintah Kota Banjarmasin rutin menyelenggarakan festival tahunan, seperti Festival Budaya Pasar Terapung, yang antara lain berisi Lomba Jukung tradisional.
Kota Pusaka, Kriteria dan Pengelolaannya
111
Rumah adat, Nias Sumber Foto: BPPI
6
Kesimpulan dan Rekomendasi Mesjid Raya Al-Mashun, Medan Sumber Foto: BPPI
6.1. KESIMPULAN 6.1.1. Rasionalisasi Dari pembahasan sebelumnya, dapat ditarik suatu pemahaman tentang Kota Pusaka Indonesia, yaitu
Kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, budaya baik ragawi dan tak-ragawi yang terajut secara utuh sebagai aset pusaka dan/atau dapat berupa kawasan pusaka sebagai bagian dari kota tersebut yang hidup dan perlu berkembang serta dikelola secara efektif.
UNESCO merupakan badan dunia yang telah membuat kriteria pusaka dunia, termasuk kota pusaka dunia. Kota yang memenuhi deskripsi sebagai kota pusaka dunia sebagaimana telah disebutkan oleh UNESCO merupakan kota yang penting dan istimewa sehingga melampaui batasbatas nasional dan memiliki nilai penting bagi umat manusia di masa kini maupun mendatang. Karena itu, perlu dicermati apakah kota tersebut merupakan Kota Pusaka Indonesia, atau bahkan dapat dinominasikan sebagai kota pusaka dunia. Kriteria penilaian suatu objek pusaka dunia disebut Keunggulan Nilai Sejagat/KNS mengikuti dokumen Operational Guidelines, sedangkan
Kesimpulan dan Rekomendasi
113
kriteria penilaian objek pusaka nasional disebut Keunggulan Nilai Nasional (KNN). Untuk dapat disebut memiliki nilai sejagad yang unggul atau menonjol, suatu objek harus memenuhi syarat integritas dan/atau keotentikan dan haruslah memiliki sistem pelindungan dan pengelolaan untuk menjamin kelestariannya. Untuk itu, kota
pusaka harus memiliki masterplan pelestarian dan pengelolaan (conservation plan). Perencanaan yang berorientasi pada tindakan ini diperlukan untuk memperkuat keberadaan dokumen perencanaan yang ada, seperti dokumen RPJMD, RTRW atau RDTR.
Keunggulan Nilai Sejagat (Outstanding Universal Value) 1. Merupakan mahakarya kecerdasan kreatif manusia 2. Menampilkan pertukaran nilai-nilai luhur manusia, dalam rentang waktu atau dalam lingkup budaya dunia, dalam arsitektur, teknologi, seni monumental, perencanaan kota atau rancangan lansekap; 3. Menyandang peran sebagai jejak yang unik atau istimewa dari suatu tradisi budaya atau peradaban baik yang sudah lenyap maupun yang masih ada; 4. Menjadi contoh utama suatu tipe bangunan, gubahan arsitektur atau teknologi, atau lansekap yang menggambarkan babakan yang penting dalam sejarah manusia 5. Menjadi contoh utama permukiman, tata guna lahan atau tata guna lautan tradisional yang merupakan representasi budaya atau interaksi manusia dengan lingkungan khususnya jika situs tersebut terancam oleh perubahan yang permanen 6. Berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa atau tradisi yang hidup, dengan gagasan, dengan kepercayaan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai penting universal yang menonjol.
114
Kota Pusaka
Keunggulan Nilai Nasional 1. Menunjukkan evolusi panjang kesejarahan tumbuh kembang kota. yang terlihat dari tinggalan berbentuk struktur kota, bentang alam, wajah jalan, monumen, arsitektur, teknologi serta seni budaya yang istimewa 2. Menampilkan dan menjadi contoh ciri khas lokal maupun percampuran antar budaya daerah/bangsa 3. Memiliki peran sebagai wadah perkembangan peradaban, tradisi, gerakan perjuangan bangsa, atau kejadian yang istimewa bagi negara
6.1.2. Kota Pusaka dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang Keberadaan Kota Pusaka tidak lepas dari konsep historic urban landscapes (HUL). Penjelasannya dapat dilihat dalam VIENNA MEMORANDUM on “World Heritage and Contemporary Architecture – Managing the Historic Urban Landscape” tahun 2005. The historic urban landscape refers to ensembles of any group of buildings, structures and open spaces, in their natural and ecological context, including archaeological and paleontological sites, constituting human settlements in an urban environment over a relevant period of time, the cohesion and value of which are recognized from the archaeological, architectural, prehistoric, historic, scientific, aesthetic, socio-cultural or ecological point of view. This landscape has shaped modern society and has great value for our understanding of how we live today. The historic urban landscape is embedded with current and past social expressions and developments that are place-based. It is composed of characterdefining elements that include land uses and patterns, spatial organization, visual relationships, topography and soils, vegetation, and all elements of the technical infrastructure, including small scale objects and details of construction (curbs, paving, drain gutters, lights, etc.). HUL dapat berupa seluruh bagian kota atau bagian tertentu saja. Dalam pengelolaan sebuah kota, HUL merupakan satu aspek yang perlu dikelola dengan benar dan harus signifikansinya perlu teridentifikasi dengan lengkap. Dalam ketataruangan, kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis.
Dokumen perencanaan dari kota/kabupaten yang bersangkutan perlu diperkuat lebih lanjut 6.1.3. Kota Pusaka Indonesia Kondisi serta lingkup pengelolaan satu kota dan lainnya saat ini berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan keberadaan SDM serta kapasitasnya yang belum optimal dalam pengelolaan. Bisa disebabkan pengenalan yang masih awal atau justru pengabaian, yang terwujud dalam berbagai kebijakan pembangunan atau kesadaran masyarakat yang masih rendah. Hal ini yang hendak dipengaruhi, yaitu kapasitas pengelolaan suatu kota sehingga asset pusaka yang dimilikinya dapat dilestarikan dengan berkelanjutan. Dari pengamatan terhadap beberapa kota, tidak ada kota yang secara utuh telah mengelola asset pusakanya berdasarkan aspek di atas. Namun demikian, dapat digambarkan bahwa: - Sebuah kota yang memiliki cita-cita dalam mengelola asset pusakanya, setidaknya telah mengenal atau setidaknya mencoba untuk mengenali asset pusaka yang dimiliki, dan ditandai dengan adanya “daftar pusaka” atau “inventarisasi pusaka”, baik untuk pusaka alam maupun budayanya. Daftar pusaka ini disusun oleh SKPD bidang kebudayaan, biasanya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang didukung adanya lembaga pelestarian, seperti LSM atau perguruan tinggi yang aktif. Kebijakan di lingkup ini adalah perlindungan, biasanya diterbitkannya peraturan daerah terkait perlindungan pusaka. Selanjutnya, kota tersebut yang mengenali aset pusakanya telah melihat pula pentingnya aset tersebut sebagai bagian dari pembangunan kota.
Kesimpulan dan Rekomendasi
115
-
Karena itu, mendorong kesadaran dan keterlibatan masyarakat dan memanfaatkan pula untuk mendorong tumbuhnya jati diri kota tersebut. Kota-kota yang lebih maju telah mengembangkan berbagai gagasan inovatif baik secara fisik maupun dengan pengadaan kegiatan budaya dalam pemanfaatan asset yang dimilikinya.
6.2 REKOMENDASI 1) Per Desember 2004, Indonesia terdiri dari 349 kabupaten/kabupaten administrasi dan 91 kota/kota administrasi yang tersebar di 33
116
Kota Pusaka
provinsi. Dari jumlah tersebut, sekitar 48 kota/ kabupaten telah menjadi anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang karena itu dapat dilihat sebagai kota pusaka. Sejauh ini, 18 kota/kabupaten (lihat lampiran) telah memiliki peraturan daerah tentang RTRW atau substansinya telah disetujui. Nuansa pusaka dalam RTRW Kota/kabupaten ini perlu untuk diperkuat melalui sebuah program pendampingan. 2) Perencanaan tata ruang sendiri merupakan dasar pengelolaan spasial sebuah wilayah, yang merupakan alat untuk menilai bagaimana sebuah kota/kabupaten mengenali kewilayahannya sebagai sebuah kota pusaka. Secara formal, dalam peraturan perundangan-
undangan menyebutkan adanya kawasan strategis, dimana kawasan strategis nasional social budaya merupakan pusaka dunia, seperti Kawasan Borobudur dan Prambanan. Konsep kawasan strategis ini perlu dikembangkan lebih lanjut untuk juga dapat mencakup pengelolaan dan pelestarian kota pusaka. 3) Rencana tata ruang saat ini bukanlah bertipe comprehensive planning, melainkan collaborative planning yang di dalam prosesnya melibatkan berbagai stakeholder, baik pemerintah sendiri, swasta maupun masyarakat. Ketiga elemen ini masih perlu diperinci lebih jauh, sebagai contoh, bidang apa saja di pemerintahan yang dapat terlibat dan kegiatan apa saja yang sudah atau akan dikerjakan sehingga bisa menghasilkan
sinergi antar sector yang berkaitan. Karena itu, dalam jangka panjang perlu upaya untuk melibatkan berbagai stakeholder melalui kesepakatan pengelolaan dan pelestarian kota pusaka yang berbasis pada tata ruang. 4) Kajian ini masih merupakan awal, untuk menunjukkan gambaran kondisi pelestarian dan pengelolaan dengan sampel 9 kota yang merupakan anggota JKPI. Tetap diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam. Meski demikian, kajian ini menjadi awal untuk program yang lebih sistematis. Diharapkan melalui kajian ini, dapat dirumuskan suatu Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka untuk mencapai Kota Pusaka Indonesia,
NAMA ANGGOTA JARINGAN KOTA PUSAKA INDONESIA & STATUS RTRW No
Lingkup
Nama Wilayah
Propinsi
Status RTRW
1 Kota
Ambon
Maluku
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/743 tanggal 9 April 2010
2 Kota
Banda Aceh
NAD
Perda Nomor 4 tahun 2009
3 Kota
Bengkulu
Bengkulu
BKPRN tanggal 9 November 2011
4 Kota
Bukittinggi
Sumatera Barat
Perda Nomor 6 tahun 2010
5 Kota
Bau-bau
Sulawesi Tenggara
Persetujuan Substansi No.Hk.01 03-Dr/247 tanggal 24 Mei 2011
6 Kota
Blitar
Jawa Timur
Perda Nomor 9 tahun 2011
7 Kota
Banjarmasin
Kalimantan Selatan
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/258 tanggal 31 Mei 2011
8 Kota
Bontang
Kalimantan Timur
Persetujuan Substansi No.Hk.01 03-Dr/154 tanggal 30 Maret 2011
9 Kota
Bogor
Jawa Barat
Perda Nomor 8 tahun 2011
10 Kabupaten
Bangka Barat
Kepulauan Bangka Belitung
Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/204 tanggal 29 April 2011
11 Kabupaten
Bangli
Bali
Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/298 tanggal 7 Juli 2011
12 Kabupaten
Buleleng
Bali
Persetujuan Substansi No.HK.01 03-Dr/1007 tgl 30 Desember 2011
Kesimpulan dan Rekomendasi
117
13 Kabupaten
Brebes
Jawa Tengah
Perda Nomor 2 Tahun 2011
14 Kabupaten
Banjarnegara
Jawa Tengah
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/148 tanggal 30 Maret 2011
15 Kabupaten
Banyumas
Jawa Tengah
Perda Nomor 10 tahun 2011
16 Kabupaten
Batang
Jawa Tengah
Perda Nomor 7 tahun 2011
17 Kota
Cirebon
Jawa Barat
Persetujuan substansi No.Hk.01.03-Dr/641 tanggal 25 November 2011
18 Kabupaten
Cilacap
Jawa Tengah
Perda Nomor 9 tahun 2011
19 Kota
Denpasar
Bali
Perda Nomor 27 tahun 2012
20 Kabupaten
Gianyar
Bali
Persetujuan Substansi No.HK 01.03-Dr/370 tanggal 23 agustus 2011
21 Kota
Jakarta Barat
DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
22 Kota
Jakarta Utara
DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
23 Kota
Jakarta Pusat
DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
24 Kota
Lubuk Linggau
Sumatera Selatan
BKPRN tanggal 16 November 2011
25 Kota
Langsa
NAD
Perbaikan Daerah setelah BKPRD
26 Kabupaten
Kepulauan Seribu
DKI Jakarta
(DKI Jakarta) Persetujuan substansi No.Hk.01 03-Mn/103 tanggal 22 Maret 2011
27 Kabupaten
Karangasem
Bali
Persetujuan Substansi No.HK 01 03-Dr/522 tanggal 18 Oktober 2011
28 Kota
Medan
Sumatera Utara
Perda Nomor 13 tahun 2011
29 Kota
Madiun
Jawa Timur
Perda Nomor 6 tahun 2011
30 Kota
Malang
Jawa Timur
Perda Nomor 4 tahun 2011
31 Kota
Palembang
Sumatera Selatan
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/70 tanggal 12 Januari 2012
Pangkal Pinang
Kepulauan Bangka Belitung
Perda Nomor 11 tahun 2011
32 Kota 33 Kota
Pekalongan
Jawa Tengah
Perda Nomor 30 tahun 2011
34 Kota
Padang
Sumatera Barat
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/56 tanggal 19 Januari 2011
35 Kota
Palopo
Sulawesi Selatan
BKPRN tanggal 15 Februari 2012
36 Kota
Pontianak
Kalimantan Barat
BKPRN tanggal 14 Desember 2011
118
Kota Pusaka
37 Kabupaten
Purbalingga
Jawa Tengah
Perda Nomor 5 Tahun 2011
38 Kota
Sawahlunto
Sumatera Barat
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/626 tanggal 22 November 2011
39 Kota
Semarang
Jawa Tengah
Perda Nomor 14 tahun 2011
40 Kota
Surakarta
Jawa Tengah
Persetujuan substansi No.Hk.01.03-Dr/526 tanggal 20 Oktober 2011
41 Kota
Sibolga
Sumatera Utara
BKPRN tanggal 28 Desember 2011
42 Kota
Salatiga
Jawa Tengah
Perda Nomor 4 tahun 2011
43 Kota
Surabaya
Jawa Timur
Perbaikan Daerah setelah BKPRD
44 Kota
Singkawang
Kalimantan Barat
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/92 tanggal 25 Januari 2012
45 Kota
Ternate
Maluku Utara
BKPRN tanggal 21 Desember 2011
46 Kota
Tegal
Jawa Tengah
Perda Nomor 4 tahun 2012, 30 Januari 2012
47 Kabupaten
Tegal
Jawa Tengah
Persetujuan Substansi No.Hk.01.03-Dr/580 tanggal 2 November 2011
48 Kota
Yogyakarta
Jawa Tengah
Perda Nomor 2 tahun 2010
Kapel Santo Leo Padang, Sumatera Barat Sumber Foto: BPPI
Kesimpulan dan Rekomendasi
119
Lampiran
Kantor PT. Bukit Asam - Sumatera Barat Sumber Foto: pecintawisata.wordpress.com
Lampiran 1 Piagam dan Rekomendasi Terkait Kota Pusaka Bila menyimak berbagai piagam atau rekomendasi di tingkat internasional tentang pelestarian pusaka, tampak adanya perkembangan konsep kota pusaka serta lingkup pelestariannya. Perhatian internasional terhadap pelestarian kota pusaka telah ada sejak tahun 1962 dan setelah itu, setidaknya ada 18 piagam atau rekomendasi, sebagai berikut: - Rekomendasi tentang Pengamanan Keindahan dan Karakter Lanskap dan Situs (The Recommendation concerning the Safeguarding of the Beauty and Character of Landscapes and Sites), diadopsi oleh Sidang Umum UNESCO pada Desember 1962. Rekomendasi ini menekankan pentingnya ilmiah dan estetika lanskap budaya dan alam. Ke dalam instrumen ini, prinsip umum dipadukan bahwa ’lanskap’ merupakan pusaka yang memiliki pengaruh utama bagi kondisi hidup masyarakat. Rekomendasi tahun 1962 ini merupakan dokumen penetapan standar pertama yang memperkenalkan istilah lanskap perkotaan. Gagasannya bahwa lanskap ini pantas mendapatkan sarana perlindungan yang sama seperti lingkungan alam, meskipun rekomendasi ini mengganggap pelestarian lanskap adalah soal kebijakan publik. Referensi satu-satunya untuk pembangunan perkotaan terkait dengan rencana umum dan perencanaan di lingkup regional, tingkat pedesaan dan perkotaan. Pendekatan ini simbolik dari kebijakan perencanaan umum waktu itu, yang melihat ’lanskap’ sebagai objek yang statis. Dan dengan demikian diharapkan dapat dilindungi 122
Kota Pusaka
seolah-olah sebagai sebuah monumen yang seharusnya mendapatkan ”perlindungan khusus” (pasal 5). - Piagam Internasional untuk Konservasi dan Restorasi Monumen/ Piagam Venice (The International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments/Venice Charter) diterbitkan pada tahun 1964 pada Kongres Internasional Arsitek dan Teknisi Monumen bersejarah yang kedua (The Second International Congress of Architects and Technicians of Historic Monuments), sebagai revisi dari Piagam Athena 1931 (the 1931 Athens Charter). Piagam Venice diadopsi sebagai teks prinsip doktrinal dari Dewan Internasional Monumen dan Situs atau the International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) ketika didirikan pada tahun berikutnya, pada tahun 1965. Piagam ini terus disebut sebagai dokumen dasar untuk filosofi pelestarian di lingkup internasional dan praktek hingga hari ini. Ini memperluas konsep monumen bersejarah untuk memasukkan lingkup perkotaan dan pedesaan mereka, menekankan pentingnya keaslian yang didasarkan pada bukti dokumenter dan bahan asli, kembali mengulangi dukungan untuk penggunaan material modern dan teknik, dan bersikeras bahwa komponen yang diganti harus diintegrasikan secara harmonis, tetapi ”akan berbeda dari komposisi arsitektur dan... membawa cap kontemporer.” Piagam Venesia itu kembali ditegaskan dalam Deklarasi Pécs 2004 (the 2004 Pécs Declaration). - Rekomendasi tentang Pelestarian Budaya Terancam Properti oleh Publik atau Pekerjaan swasta (The Recommendation
concerning the Preservation of Cultural Property Endangered by Public or Private Works), yang diadopsi oleh Konferensi Umum UNESCO pada bulan November 1968, terkait dengan kekhawatiran yang muncul dari pembangunan masyarakat Aswan di seluruh wilayah mereka, terlepas dari apakah itu ditempatkan di Daftar Pusaka Dunia. Implikasi komitmen ini diperluas dalam Rekomendasi UNESCO di Tingkat Nasional, yang diadopsi pada tahun 1972 secara bersamaan. - Rekomendasi mengenai Perlindungan, di Tingkat Nasional, Pusaka Kebudayaan dan Alam The Recommendation Concerning the Protection, at National Level, of the Cultural and Natural Heritage), diadopsi pada saat yang sama dengan Konvensi Warisan Dunia (the World Heritage Convention), secara efektif merupakan dokumen internasional pertama yang menetapkan hubungan antara perlindungan dan peningkatan monumen dan kelompok bangunan, dan kebutuhan penduduk daerah bersejarah di sebuah kota. Ini diperluas hingga pentingnya menyediakan pusaka budaya dan alam dengan fungsi yang aktif pada saat ini untuk memfasilitasi pemeliharaannya ke masa depan. Selanjutnya, dalam pasal 5, mengingatkan bahwa ”pusaka budaya atau alam terdiri tidak hanya suatu karya yang memiliki nilai intrinsik yang besar, tetapi juga item yang lebih sederhana, yang dengan berlalunya waktu, memperoleh nilai budaya atau alam”. Mengenai isu yang mempengaruhi rencana rehabilitasi bangunan bersejarah, Rekomendasi 1972 menekankan pentingnya menghubungkan rehabilitasi kepada konteks urban sekitarnya dan konsultasi dengan otoritas
lokal dan wakil-wakil dari penduduk daerah tersebut, sehingga dapat memperkenalkan proses-proses partisipatif dalam pengelolaan proses pembangunan perkotaan. - Piagam Eropa tentang Pusaka Arsitektur (The European Charter of the Architectural Heritage) diundangkan pada tahun 1975 atas inisiatif Dewan Eropa yang memberikan perhatian khusus untuk arsitektur setempat. Pasal 1 Piagam itu mengarahkan perhatian pada ”kelompok-kelompok bangunan kecil di kota lama dan desa yang berkarakteristik di dalam lingkungan alam atau buatan manusia”. Dalam pasal 6, diperingatkan tentang perencanaan perkotaan yang keliru yang ”dapat merusak ketika pemerintah terlalu mudah menyerah terhadap tekanan ekonomi dan tuntutan lalu lintas kendaraan bermotor.” Dalam rangka memenuhi tantangan tersebut, ia memperkenalkan konsep pelestarian yang terpadu dalam kelengkapan Deklarasi Amsterdam (Declaration of Amsterdam), diadopsi dalam kerangka Piagam, dengan penekanan khusus pada ancaman terhadap pusaka perkotaan dan mengingat bahwa ”pembangunan daerah pinggiran perkotaan dapat berorientasi sedemikian rupa untuk mengurangi tekanan pada lingkungan yang lebih tua.” - Tahun berikutnya, pada tahun 1976, Vancouver (Kanada) menjadi tuan rumah Konferensi PBB tentang Pemukiman Manusia (the United Nations Conference on Human Settlements), yang disebut HABITAT. Konferensi Ini diselenggarakan sebagai hasil Konferensi Stockholm dan muncul dari keprihatinan
Lampiran
123
mengenai urbanisasi dan ancaman terhadap lingkungan oleh aktivitas manusia. Hal ini menyebabkan pemahaman yang meningkat tentang kota dan komunitas mereka, dengan pengakuan atas kebutuhan untuk mencapai keberlanjutan untuk menjaga keseimbangan urban-rural yang saling mendukung, dipromosikan melalui pedoman yang spesifik termasuk dalam Deklarasi Vancouver tentang Pemukiman Manusia (the Vancouver Declaration on Human Settlements). - Pada tahun yang sama, pada bulan November 1976, Konferensi Umum UNESCO diadopsi di Nairobi (Kenya) dengan Rekomendasi tentang Pengamanan dan Peran Kontemporer Kawasan Bersejarah (the Recommendation concerning the Safeguarding and Contemporary Role of Historic Areas), dalam menanggapi keprihatinan tentang perencanaan kota modern dan dampak pada pusat-pusat kota tua dan desadesa tradisional. Rekomendasi ini menegaskan pentingnya kawasan bersejarah, peran mereka dalam mendefinisikan keragaman budaya dan identitas masyarakat yang individual, dan kebutuhan untuk mengintegrasikan mereka secara harmonis ke dalam ”kehidupan masyarakat kontemporer [sebagai] faktor dasar dalam perencanaankota dan pengembangan lahan.” Dokumen ini mencatat adanya ketidakhadiran yang sering di tingkat nasional mengenai ketentuan legislatif yang terkait pusaka arsitektur dengan konteks perencanaan, mencela gangguan sosial dan kerugian ekonomi akibat spekulasi dan perusakan kawasan bersejarah dan tradisional, dan mendesak ”kebijakan komprehensif dan energik untuk perlindungan, renovasi dan revitalisasi [mereka] 124
Kota Pusaka
yang ”terpisahkan dengan lingkungan sekitar mereka. Dalam Rekomendasi ini, fokus melekat pada kelangsungan aktivitas manusia di kawasan bersejarah – meskipun mungkin sederhana, termasuk pola hidup dan kerajinan tradisional -,pada pijakan yang sama dengan perlindungan bangunan, menetapkan petak ukuran, pola jalan dan organisasi spasial secara keseluruhan. Rekomendasi ini mendesak perhatian khusus dan kontrol terhadap skala dan desain bangunan baru dan menetapkan bahwa analisis konteks urban harus mendahului setiap konstruksi baru untuk mencapai keserasian ketinggian, volume, bentuk, proporsi, warna dan bahan. - Piagam untuk Pelestarian Kota Bersejarah dan Kawasan Perkotaan (The Charter for the Conservation of Historic Towns and Urban Areas) atau Piagam Washington, diadopsi pada tahun 1987 oleh Majelis Umum ICOMOS, didahului oleh rancangan Piagam Eger (the draft Eger Charter) dan melengkapi Piagam Venesia 1964 (the 1931 Athens Charter). Ini mengakui peran lingkungan dan kota-kota bersejarah sebagai perwujudan dari budaya perkotaan tradisional, dan mengurai pelestarian sebagai ”langkah-langkah yang diperlukan untuk perlindungan, pelestarian [mereka], dan restorasi [...], serta pembangunan dan adaptasi yang harmonis untuk kehidupan kontemporer”. Piagam Washington menyebutkan pula bahwa pelestarian perkotaan harus tidak terpisahkan dengan pembangunan sosial ekonomi dan kebijakan perencanaan di semua tingkat. Ini menekankan sifat multi-disiplin pelestarian perkotaan, menekankan pentingnya partisipasi aktif oleh penduduk-yang dianggap sebagai stakeholder utama-, dan menekankan pada
Kampung Kauman, Yogyakarta Lampiran Sumber Foto: BPPI
125
perbaikan perumahan sebagai tujuan utama. Ini meringkas kualitas penting yang harus dipertahankan, antara lain tata letak dan blok perkotaan; hubungan antara bangunan dan ruang hijau dan terbuka; hubungan antara kawasan bersejarah atau kota dan sekitarnya serta lingkungan baik buatan manusia dan alam; keragaman berfungsi sebagai akumulasi dari waktu ke waktu, dan eksterior dan penampilan interior bangunan - dari skala, melalui gaya dan bahan, warna dan dekorasi. Piagam Washington mendukung pengenalan unsur-unsur (arsitektur) kontemporer sebagai kontribusi potensial untuk pengayaan suatu kawasan bersejarah, subjek yang menjadi bagian dalam keselarasan dan menghormati tata letak ruang yang ada dalam hal skala dan ukuran persil. - Pada tahun yang sama tahun 1987, ICOMOS Brasil mengadopsi Piagam tentang Pelestarian dan Revitalisasi Kawasan Pusat Kota yang Bersejarah (The Charter about the Preservation and Revitalization of Historic Centres) atau Piagam Itaipava, yang memiliki relevansi khusus dalam konteks ini sebagaimana dijelaskan bahwa ”kota dalam totalitasnya [sebagai] suatu entitas sejarah”, karena itu terkait dengan situs perkotaan yang bersejarah untuk lingkungan alami dan terbangun yang lebih luas dan pengalaman hidup sehari-hari penghuninya. Ini menekankan nilai-nilai sosial-budaya dari kawasan pusat kota bersejarah dan menyatakan bahwa ”tujuan utama pelestarian adalah pemeliharaan dan peningkatan pola referensi yang diperlukan untuk ekspresi dan konsolidasi kewarganegaraan [...] yang [...] berkontribusi untuk meningkatkan kualitas hidup.” Piagam 126
Kota Pusaka
ini juga menekankan pentingnya penduduk dan kegiatan tradisional di situs perkotaan bersejarah, revitalisasi harus dilihat sebagai proses terus menerus dan permanen, dan nilai sosial properti perkotaan harus mengungguli nilai pasarnya. - Pada Konferensi Eropa tentang Kota dan Kota Kecil yang Berkelanjutan, pada tahun 1994 di Aalborg (Swedia), Piagam Kota dan Kota Kecil Eropa menuju Keberlanjutan (The Charter of European Cities and Towns towards Sustainability) atau Piagam Aalborg diadopsi. Piagam ini menegaskan peran abadi kota sebagai pusat kehidupan sosial, pemacu ekonomi, dan penjaga budaya, pusaka dan tradisi, serta industri, kerajinan, pendidikan perdagangan, dan pemerintah. Piagam ini mengakui hubungan antara gaya hidup kaum perkotaan saat ini - terutama pemisahan fungsi, pola transportasi, produksi industri, pertanian, konsumsi dan kegiatan rekreasi - dan masalah lingkungan serta kurangnya keadilan sosial yang dihadapi umat manusia. Piagam ini mengakui pula keterbatasan sumber daya alam dunia, karenanya kebutuhan untuk hidup di dalam daya dukung alam, serta peran penting kota sebagai pusat konsumsi yang harus bererdalam mengatasi pemanasan global dan mencapai kelestarian lingkungan. Piagam Aalborg mendefinisikan keberlanjutan sebagai suatu proses kreatif, lokal, serta pencarian keseimbangan yang merupakan pusat manajemen kota yang bertanggung jawab, dan bersikeras bahwa proses pengambilan keputusan harus mengedepankan pelestarian dan penambahan modal alam di kota, kualitas hidup, penggunaan lahan dan pola mobilitas
yang berkelanjutan- termasuk mengurangi kebutuhan pergerakan dengan mendorong lingkungan guna-campur dengan kepadatan yang lebih tinggi -, dan penggunaan sumber energi terbarukan. Piagam ini mempromosikan ide saling ketergantungan antar-daerah yang adil, untuk menyeimbangkan arus antara kota dan desa dan mencegah kota yang sekedar mengeksploitasi sumber daya daerah sekitarnya. Hal ini juga mendesak pendekatan ekosistem untuk manajemen perkotaan dan membayangkan peran yang sangat meningkat bagi warga negara dalam membangun dan melaksanakan rencana aksi jangka panjang lokal (misalnya Agenda Lokal 21). - Juga pada tahun 1994 Konferensi Nara tentang Keaslian dalam Kaitannya dengan Konvensi Pusaka Dunia (the Nara Conference on Authenticity in Relation to the World Heritage Convention) berlangsung, di Nara, Jepang, yang mengembangkan Dokumen Nara tentang Keaslian (The Nara Document on Authenticity). Dokumen Nara menantang definisi Keaslian yang konvensional dan berbasis Barat, untuk menetapkan pengghargaan yang lebih besar terhadap budaya dan keragaman pusaka, dan untuk memperluas parameter penilaian nilai-nilai budaya dari suatu objek yang diusulkan menjadi Daftar Pusaka Dunia maupun daftar lainnya. Dokumen ini mengakui bahwa masyarakat yang berbeda menyertakan set nilai yang berbeda pada karakteristik asli dan berikutnya dari pusaka budaya mereka, dan menguraikan suatu kerangka kerja yang memungkinkan keaslian dapat dinilai dalam tiap konteks budaya, baik dalam waktu dan ruang, dan tidak dinilai terhadap orang lain yang
mungkin tidak memiliki kesetiaan atau koneksi. Dokumen Nara mengusulkan penilaian -dalam setiap contoh yang diberikan- harus mencakup hal yang berkaitan dengan: bentuk dan desain, bahan dan substansi, penggunaan dan fungsi; tradisi, teknik dan sistem manajemen; lokasi dan pengaturan; bahasa dan bentuk lain dari pusaka tidak berwujud; serta semangat dan perasaan. Perdebatan menantang pandangan bahwa keaslian bukanlah konsep yang membatasi, baik dalam waktu atau ruang, dan bahwa seperti setiap generasi mendahului generasi kita telah memberikan kontribusi ke lapisan historis bangunan dan kota yang telah dimewarisi. Jadi, generasi ini dan selanjutnya generasi memiliki kontribusi yang sama valid untuk membuat dengan syarat bahwa itu adalah satu positif dan abadi. Karena itu, keaslian dipahami dalam hal masa lalu yang dipadukan dengan proses kreatif saat ini untuk masa depan. - Pada tahun 1999 Majelis Umum ICOMOS mengadopsi Piagam tentang Pusaka Vernakular (The Charter on the Built Vernacular Heritage), yang mengakui pentingnya pusaka ekspresi lokal sebagai ”dasar [untuk] budaya masyarakat, hubungan dengan wilayahnya dan, pada saat yang sama, ekspresi keragaman budaya dunia. ”tergantung Apresiasi dan perlindungan pusaka yang sukses tergantung pertama dan terutama pada keterlibatan dan dukungan masyarakat setempat. Sebagai salah satu prinsip pelestarian, Piagam ini menyatakan bahwa ”karya kontemporer pada bangunan atau kelompok bangunan serta permukiman vernakular harus menghormati nilai-nilai budaya dan karakter tradisional mereka.” Diuraikan pula anjuran bahwa
Lampiran
127
City Hall Medan, Sumatera 128 Kota Utara Pusaka Sumber Foto: BPPI
”perubahan yang sah menanggapi tuntutan penggunaan kontemporer harus dilakukan dengan pengenalan bahan yang memelihara konsistensi ekspresi, tekstur, penampilan dan bentuk seluruh struktur dan konsistensi bahan bangunan.”
Budaya (Charter for Places of Cultural Significance) atau Piagam Burra, yang secara luas diakui sebagai dokumen penting dalam memberikan ”petunjuk untuk pelestarian dan pengelolaan tempat-tempat signifikansi budaya.” Dengan demikian, Piagam ini tidak eksklusif untuk bangunan bersejarah atau kawasan perkotaan, tapi juga meliputi pemandangan dimodifikasi oleh aktivitas manusia dan mencakup tempat-tempat adat dengan nilai-nilai budaya. Prinsipnya adalah pentingnya pemahaman dan pengamanan signifikansi, termasuk melalui pengungkapan informasi lapisan bersejarah, dengan cara yang merangkum estetika tempat, bersejarah, nilai-nilai ilmiah dan spiritual: dari masa lalu, pada saat ini, dan untuk masa depan. Piagam itu mendesak pendekatan hati-hati untuk pelestarian ”didasarkan pada penghormatan untuk komponen yang ada, kegunaan, asosiasi serta makna.”
- Pada tahun 1999 Majelis Umum ICOMOS mengadopsi Piagam Internasional tentang Pariwisata Budaya: Mengelola Pariwisata pada Lokasi Signifikansi Pusaka (The International Charter on Cultural Tourism: Managing Tourism at Places of Heritage Significance), yang mengakui pariwisata sebagai salah satu kendaraan utama untuk pertukaran budaya. Bila dikelola dengan benar, pariwisata dapat menjadi ekonomi yang positif dan kekuatan pendidikan yang memberikan kontribusi untuk pelestarian pusaka. Piagam ini mengakui adanya ancaman yang ditimbulkan oleh pengelolaan pariwisata yang buruk dan jumlah pengunjung yang berlebihan. Dianjurkan bahwa pariwisata yang berkelanjutan dapat melindungi aspek berwujud dan tidak berwujud dari suatu sumber daya pusaka untuk generasi mendatang, menghormati dan memberi manfaat kepada masyarakat tuan rumah, dan menanggapi kebutuhan serta aspirasi pengunjung melalui akses fisik, intelektual dan spiritual yang terkelola dan disajikan dengan baik. Perkembangan pariwisata dan proyek-proyek infrastruktur, menurut Piagam tersebut, harus dilakukan dengan menggunakan bahan lokal dan mempertimbangkan gaya arsitektur lokal serta tradisi vernakular.
- Pada tahun 2000 Dewan Eropa mengadopsi Konvensi Eropa Lansekap (The European Landscape Convention). Konvensi ini mencatat kontribusi lanskap untuk pembentukan budaya lokal, yang digambarkan sebagai komponen ”dasar dari pusaka alam dan budaya Eropa, [...] di kawasan perkotaan dan di pedesaan, [...] di daerah diakui sebagai keindahan yang luar biasa sebagai serta daerah sehari-hari ”dipromosikan untuk perlindungan, pengelolaan dan perencanaan lanskap”. sebagai komponen penting dari lingkungan masyarakat, ekspresi [...] pusaka dan landasan identitas mereka. ”
- Pada tahun 1999, ICOMOS Australia menerbitkan revisi Piagam Tempat Signifikansi
- Pada tahun 2003 Konferensi Umum UNESCO mengadopsi Konvensi untuk
Lampiran
129
Pengamanan Warisan Budaya tidak berwujud (The Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage). Konvensi ini menegaskan ”pentingnya pusaka budaya teraga (tangible) sebagai dorongan utama dari keragaman budaya dan jaminan pembangunan berkelanjutan [...] dan mendalam antarketergantungan antara warisan budaya tak berwujud dan warisan budaya dan alam nyata.” Berwujud budaya warisan diambil untuk mencakup, antara lain: tradisi lisan dan ekspresi, termasuk bahasa, seni pertunjukan, praktik sosial, ritual dan acara meriah, pengetahuan dan praktek tentang alam dan semesta, seni kuliner, dan keahlian tradisional. Ini pendukung pertimbangan ini tidak hanya sebagai manifestasi dari masa lalu, yang dapat direkam dan didokumentasikan, tetapi untuk tujuan mengamankan kelangsungan hidup mereka dan kontinuitas kreatif sebagai komponen penting dari keanekaragaman budaya di hari ini dan dunia besok. Mengakui kerapuhan dari pusaka budaya tak berwujud dihadapkan dengan proses globalisasi dan transformasi sosial, Konvensi ini menetapkan peran Negaranegara Anggota UNESCO (States Parties) dalam menjaga pusaka budaya tak berwujud baik di tingkat nasional dan internasional, termasuk dalam pembentukan Perwakilan Daftar Pusaka Budaya Tak Berwujud atas Kemanusiaan (Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity). Konvensi ini mulai berlaku pada tahun 2006 dan nominasi pertama untuk masuk ke Daftar telah dievaluasi pada tahun 2009. - Pada tahun 2005 oleh Konferensi Umum ICOMOS mengadopsi Deklarasi Xi’an 130
Kota Pusaka
tentang Pelestarian Setting Struktur, Situs dan Kawasan Pusaka (The Xi’an Declaration on the Conservation of the Setting of Heritage Structures, Sites and Areas. Deklarasi ini mendefinisikan pengaturan kawasan pusaka sebagai ”lingkungan segera dan diperluas yang merupakan bagian dari, atau memberikan kontribusi terhadap, signifikansi dan karakter khas” dan, setelah mengakui bahwa makna dan karakter khas daerah bersejarah berasal dari hubungan ”dengan fisik mereka, visual, konteks budaya spiritual dan lainnya dan pengaturan”, Deklarasi itu memandang perlu untuk mengembangkan alat perencanaan yang tepat dan strategi untuk pelestarian dan pengelolaan suatu kawasan dalam membentuk suatu setting. - Sebagai pelengkap Deklarasi itu, Majelis Umum ICOMOS pada tahun 2008 mengadopsi Deklarasi Quebec tentang Pelestarian Jiwa Tempat (The Quebec Declaration on the Preservation of the Spirit of Place), yang didefinisikan sebagai interaksi dan konstruksi bersama antara unsur yang nyata dan berwujud yang ”memberikan makna, nilai, emosi dan misteri untuk suatu tempat”. Bahwa pada saat ini, terlalu dini untuk mengukur sejauh mana orientasi teks tentang praktek pelestarian di kota-kota bersejarah. Naskah-naskah ini mendorong evolusi saat ini untuk menuju pemahaman yang lebih komprehensif tentang hidup dan karakter permanen dari lanskap perkotaan bersejarah, yang menyediakan visi yang lebih inklusif tentang pusaka budaya yang perlu benar tercermin dan dikodifikasi pada tingkat internasional.
Lampiran 2 Kota Pusaka Dunia menurut UNESCO Sejak tahun 1979 hingga saat ini, setidaknya telah ada 200 pusaka dunia yang berupa kota pusaka. Kedua ratus ini tersebar di berbagai belahan dunia.
Daftar Kota Besar dan Kecil yang terdaftar sebagai Pusaka Dunia No
Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List Including whole historic cities and towns, or in part (inner cities, historic quarters) 2005 Historic Centres of Berat and Gjirokastra 1982 M’Zab Valley 1992 Kasbah of Algiers 1996 Historic Centre of the City of Salzburg 1999 City of Graz – Historic Centre 2001 Historic Centre of Vienna 2000 The Walled City of Baku with the Shirvanshah’s Palace and Maiden Tower 2000 Historic Centre of Brugge 1987 City of Potosi 1991 Historic City of Sucre 2005 Old Bridge Area of the Old City of Mostar 1980 Historic Town of Ouro Preto 1982 Historic Centre of the Town of Olinda 1985 Historic Centre of Salvador de Bahia 1987 Brasilia 1997 Historic Centre of São Luis 1999 Historic Centre of the Town of Diamantina 2001 Historic Centre of the Town of Goiás 1983 Ancient City of Nessebar 1985 Historic District of Québec 1995 Old Town Lunenburg 2009 Cidade Velha, Historic Centre of Ribeira Grande 2003 Historic Quarter of the Seaport City of Valparaíso 1987, 2004 Imperial Palaces of the Ming and Qing Dynasties in Beijing and Shenyang 1997 Ancient City of Ping Yao 1997 Old Town of Lijiang 2000 Ancient Villages in Southern Anhui – Xidi and Hongcun 2005 Historic Centre of Macao 2007 Kaiping Diaolou and Villages 1984 Port, Fortresses and Group of Monuments, Cartagena 1995 Historic Centre of Santa Cruz de Mompox 1979 Historical Complex of Split with the Palace of Diocletian 1979 Old City of Dubrovnik
Negara Albania Algeria Austria Azerbaijan Belgium Bolivia Bosnia and Herzegovina Brazil
Bulgaria Canada Cape Verde Chile China
Colombia Croatia
Lampiran
131
Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List Including whole historic cities and towns, or in part (inner cities, historic quarters)
No 1997 1982 1988 2005 2008 1980 1992 1992 1992 1995 2003 1990
Historic City of Trogir Old Havana and its Fortifications Trinidad and the Valley de los Ingenios Urban Historic Centre of Cienfuegos Historic Centre of Camagüey Paphos Historic Centre of Cˇeský Krumlov Historic Centre of Prague Historic Centre of Telcˇ Kutná Hora: Historical Town Centre with the Church of St Barbara and the Cathedral of Our Lady at Sedlec Jewish Quarter and St Procopius’ Basilica in Trˇebícˇ Colonial City of Santo Domingo
1978 1999 1979 1997
City of Quito Historic Centre of Santa Ana de los Ríos de Cuenca Historic Cairo Historic Centre (Old Town) of Tallinn
Ecuador
2006 1991
Harar Jugol, the Fortified Historic Town Old Rauma
Ethiopia
1979
Ohrid Region with its Cultural and Historical Aspect and its Natural Environment
1988 1991 1997 1998 2001 2005 2007 1987 1992 1993 1994 1998 2002
Strasbourg - Grande île Paris, Banks of the Seine Historic Fortified City of Carcassonne Historic Site of Lyon Provins, Town of Medieval Fairs Le Havre, the City Rebuilt by Auguste Perret Bordeaux, Port of the Moon Hanseatic City of Lübeck Mines of Rammelsberg and Historic Town of Goslar Town of Bamberg Collegiate Church, Castle, and Old Town of Quedlinburg Classical Weimar Historic Centres of Stralsund and Wismar
2006 1988 1999
Old Town of Regensburg with Stadtamhof Medieval City of Rhodes Historic Centre (Chorá) with the Monastery of Saint John “the Theologian” and the Cave of the Apocalypse on the Island of Pátmos Old Town of Corfu Antigua Guatemala
2007 1979
132
Negara
Kota Pusaka
Cuba
Cyprus Czech Republic
Dominican Republic
Egypt Estonia Finland Former Yugoslav Republic of Macedonia France
Germany
Greece
Guatemala
Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List Including whole historic cities and towns, or in part (inner cities, historic quarters)
No
Negara
Vatican City Historic Centre of Rome, the Properties of the Holy See in that City Enjoying Extraterritorial Rights and San Paolo Fuori le Mura 1987, 2002 Budapest, the Banks of the Danube and the Buda Castle Quarter
Holy See Holy See/Italy
2004, 2007 Bam and its Cultural Landscape
Iran Israel
1984 1980
Hungary
2001 2003 1982 1987 1990 1994 1995 1995 1995 1995 1996 1996 1997 1997 1998 2000 2000 2002 2006 2008 1981 2001
Old City of Acre White City of Tel-Aviv -- the Modern Movement Historic Centre of Florence Venice and its Lagoon Historic Centre of San Gimignano City of Vicenza and the Palladian Villas of the Veneto Crespi d’Adda Ferrara, City of the Renaissance and its Po Delta Historic Centre of Naples Historic Centre of Siena Historic Centre of the City of Pienza The Trulli of Alberobello Costiera Amalfitana Portovenere, Cinque Terre, and the Islands (Palmaria, Tino and Tinetto) Historic Centre of Urbino Assisi, the Basilica of San Francesco and Other Franciscan Sites City of Verona The Late Baroque Towns of the Val di Noto (Southeastern Sicily) Genoa: Le Strade Nuove and the system of the Palazzi dei Rolli Mantua and Sabbioneta Old City of Jerusalem and its Walls Lamu Old Town
1995 1997 1986
Town of Luang Prabang Historic Centre of Riga Old Town of Ghadames
Lao People’s Democratic Republic Latvia
1994
Vilnius Historic Centre
Lithuania
1994 2008 1988 1988 1980 1996 1987 1987 1987
City of Luxembourg: its Old Quarters and Fortifications Melaka and George Town, Historic Cities of the Straits of Malacca Old Towns of Djenné Timbuktu City of Valletta Ancient Ksour of Ouadane, Chinguetti, Tichitt and Oualata Historic Centre of Mexico City and Xochimilco Historic Centre of Oaxaca and Archaeological Site of Monte Alban Historic Centre of Puebla
Luxembourg Malaysia Mali
Italy
Jerusalem (Site Proposed By Jordan) Kenya
Libyan Arab Jamahiriya
Malta Mauritania Mexico
Lampiran
133
Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List Including whole historic cities and towns, or in part (inner cities, historic quarters)
No 1988 1991 1993 1996 1998 1999 2008 1979 1981 1985 1996 1997 2001 2004 1991 1979 1997 1999 1979 1980
Historic Town of Guanajuato and Adjacent Mines Historic Centre of Morelia Historic Centre of Zacatecas Historic Monuments Zone of Querétaro Historic Monuments Zone of Tlacotalpan Historic Fortified Town of Campeche Protective town of San Miguel and the Sanctuary of Jesús Nazareno de Atotonilco Natural and Culturo-Historical Region of Kotor Medina of Fez Medina of Marrakesh Historic City of Meknes Medina of Tétouan (formerly known as Titawin) Medina of Essaouira (formerly Mogador) Portuguese City of Mazagan (El Jadida) Island of Mozambique Kathmandu Valley Historic Area of Willemstad, Inner City and Harbour, Netherlands Antilles Droogmakerij de Beemster (Beemster Polder) Bryggen
Røros Mining Town 1997, 2003 Archaeological Site of Panamá Viego and Historic District of Panama 1983 City of Cuzco 1988 Historic Centre of Lima 2000 Historical Centre of the City of Arequipa 1999 Historic Town of Vigan 1978 Cracow’s Historic Centre 1980 Historic Centre of Warsaw 1992 Old City of Zamosc 1997 Medieval Town of Torun 1983 Central Zone of the Town of Angra do Heroismo in the Azores 1986 Historic Centre of Evora 1996 Historic Centre of Oporto 2001 Historic Centre of Guimarães 1999 Historic Centre of Sighisoara 1990 Historic Centre of Saint Petersburg and Related Groups of Monuments 1992 2000 2005 2008
134
Historic Monuments of Novgorod and Surroundings Historic and Architectural Complex of the Kazan Kremlin Historical Centre of the City of Yaroslavl San Marino Historic Centre and Mount Titano
Kota Pusaka
Negara
Montenegro Morocco
Mozambique Nepal Netherlands Norway Panama Peru Philippines Poland
Portugal
Romania Russian Federation
San Marino
Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List Including whole historic cities and towns, or in part (inner cities, historic quarters)
No 2000
The Island of Saint-Louis
1993
Historic Town of Banska Stiavnica and the Technical Monuments in its Vicinity
1993, 2009 Levo_a, Spišský Hrad and the Associated Cultural Monuments 2000 Bardejov Town Conservation Reserve 1984 Alhambra, Generalife and Albayzin, Granada 1984 Historic Centre of Cordoba 1985 Old Town of Avila with its Extra-Muros Churches 1985 Old Town of Segovia and its Aqueduct 1985 Santiago de Compostela (Old town) 1986 Historic City of Toledo 1986 Old Town of Caceres 1988 Old City of Salamanca 1996 Historic Walled Town of Cuenca 1998 University and Historic Precinct of Alcalá de Henares 1999 Ibiza, biodiversity and culture 1999 San Cristóbal de La Laguna 2001 Aranjuez Cultural Landscape 2003 Renaissance Ensembles of Úbeda and Baeza 1988 Old Town of Galle and its Fortifications 1988 Sacred City of Kandy 2002 Historic Inner City of Paramaribo 1995 Hanseatic Town of Visby 1996 Church Village of Gammelstad, Luleå 1998 Naval Port of Karlskrona 1983 Old City of Berne 2009 La Chaux-de-Fonds / Le Locle, watchmaking town planning 1979 Ancient City of Damascus 1980 Ancient City of Bosra 1986 Ancient City of Aleppo 1979 Medina of Tunis 1988 Kairouan 1988 Medina of Sousse 1985 Historic Areas of Istanbul 1994 City of Safranbolu 1998 L’viv - the Ensemble of the Historic Centre 1987 City of Bath 1995 2000 2001 2001 2004 2000
Old and New Towns of Edinburgh The Historic Town of St George and Related Fortifications, Bermuda New Lanark Saltaire Liverpool – Maritime Mercantile City The Stone Town of Zanzibar
Negara Senegal Slovakia
Spain
Sri Lanka Suriname Sweden Switzerland Syrian Arab Republic Tunisia Turkey Ukraine United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland
United Republic of Tanzania
Lampiran
135
Historic cities and towns inscribed on the World Heritage List Including whole historic cities and towns, or in part (inner cities, historic quarters)
No 1995 1990 1993 2000 2001 1993 1999 1982 1986 1993
Historic Quarter of the City of Colonia del Sacramento Itchan Kala Historic Centre of Bukhara Historic Centre of Shakhrisyabz Samarkand - Crossroads of Cultures Coro and its Port Hoi An Ancient Town Old Walled City of Shibam Old City of Sana’a Historic Town of Zabid
Ternate Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI 136
Kota Pusaka
Negara Uruguay Uzbekistan
Venezuela Viet Nam Yemen
Lampiran 3 Periode Kemunculan Kota Indonesia Menurut Werner (1987: 44), kota-kota besar dan kecil yang ada di Indonesia memiliki akar sejarah yang dihasilkan dari berbagai situasi dan pengaruh budaya serta kehadiran penguasa yang berbeda. Tempattempat ini secara umum dibagi dalam empat strata utama dalam formasi perkotaan. Strata yang tertua untuk formasi awal pembentukan kota sudah ada sebelum periode Hindu, yang diindikasikan dengan adanya institusionalisasi pemerintahan yang diatur oleh seorang penguasa. Yang diatur adalah hasil pertanian serta perdagangan regional dan antar pulau dan menghasilkan permukiman berupa bandar perdagangan dan pusat pemerintahan pedalaman. Pengaruh perdagangan internasional yang menghadirkan budaya India dan Cina berpengaruh pada terbentuknya kota-kota ini. Meskipun tidak semua bertahan sebagai kota penting seperti terjadi pada Majapahit. Beberapa identitas kota dengan berbagai ciri fisik yaitu, letak permukiman yang berada di tepi pantai atau muara sungai dan memiliki akses ke laut lepas.
Tabel 1. Permukiman perkotaan yang muncul hingga 1400 Lokasi
Kota
Sumatera
Samudra/Pase, Perla/Peureulak, Barus, Pagar Rujung, Melayu/Jambi, Shrivijaya/Palembang
Jawa
Pakuan, Dieng, Borobudur, Prambanan, Madiun, Wengker/Setana, Kediri/Daha, Singosari, Majapahit, Blitar, Wirasaba/Jombang, Japan/Mojokerto, Kudus, Bintara/Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Sedayu, Gresik, Surabaya, Sumenep, Canggu, Kepulungan, Kedungpluk, Badung, Kulur, Pajarakan/Kutorenon, Renes, Sadeng, Baremi/Bermi, Gending Pajarakan, Binor, Ketah, Patukangan/ Situbondo, Balambangan, Walain, Taruma, Kalinga, Wawatan-mas, Kahuripan, Janggala
Kalimantan
Muara Kaman, Tanjung Puri,/Sukadana, Santubong, Puni
Ind. Timur
Bendahulu (Bali), Lwa Gayuh (Bali), Sukun (Penida), Bantayan/BantaEng, Ternate/Maloko, Tidore, Jailolo, Bacan
Penyebaran Islam dan kehadiran kekuasaan Eropa, yaitu Portugis dan Belanda pada abad ke-15 dan 17, mempengaruhi pola perdagangan. Ini menjadi faktor pada pembentukan karakteristik perkotaan pada tahapan kedua.
Lampiran
137
Tabel 2. Permukiman perkotaan yang muncul pada 1400-1700 Lokasi
Kota
Sumatera
Pedir-Pidie, Banda Aceh, Deli, Tanjung Balai, Siak Sri Indrapura, Pekan Tua Indragiri, Singkil, Tapanuli, Natal, Batahan, Tiku, Pariaman, Ulakan, Koto Tangah, Pauh, Padang, Bayang, Tarusan, Salido-Pulo Cingko, Painan, Batang Kapas, Indrapura, Menjuto, Sungai Limau, Silebar
Jawa
Banten, Anyar, Sunda Kelapa/Jakarta/Batavia, Karawang, Pamanukan, Indramayu, Cirebon, Sumedang, Parakan Mucang, Citeureup/ Dayeuh Kolot, B(a)lubur Limbangan, Sukapura/Sukaraja, Galuh, Ciamis, Semarang, Kedu, Bagelen, Banyumas, Mataram/Yogyakarta, Wonokerto/Kertasura, Pajang/Surakarta, Sampang, Malang, Pasuruan, Panarukan, Macanputih, Lateng/Banyuwangi, Gebang, Brebes, Tegal, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, Kendal, Kaliwungu, Dayeuh Luhur, Ajibarang, Pamerden, Rema, Ayah, Nampudadi, Bocor, Ambal, Rawa, Kali Beber, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Wates, Kaduwang, Sukowati, Godong, Grobogan, Sela, Pati, Juwana, Rembang, Blora, Jipang, Jorogo, Magetan, Caruban, Ponorogo, Pacitan, Kalangbret, Berbek, Nganjuk, Pace, Kertosono, Lamongan, Senggara, Lumajang, Puger, Blater, Probolinggo, Besuki, Arosbaya, Blega, Pamekasan
Kalimantan
Sambas, Kota Waringin, Banjarmasin, Martapura, Pasir, Kuta;
Ind. Timur
Gelgel, Karangasem, Buleleng, Sumbawa Besar, Dompu, Bima, Ende, Larantuka, Fort Henricus, Kupang, Atapupu, Lifao, Oekussi, Ulu Siau, Tagulandang, Manado, Tondano, Amurang, Boroko/Kaidipang, Gorontalo, Limboto, Leok/Buol, Toli-Toli, Batangnipa (Mandar), Wajo/Sengkang, Watan Soppeng, Bone/Watampone, Makassar, Tibore (Muna), Buton/Bau-Bau, Hitu, Ambon, Fort Overberg (Kayelili)
Kendali yang semakin luas atas wilayah dan perkembangan ekonomi yang berorientasi pasar mendorong munculnya jaringan kota-kota yang lebih kecil. Abad ke-18 dan 19 merupakan panggung kemunculan kota pada tahap ketiga. Pertumbuhan perkotaan lebih efektif dirangsang dengan menggunakan faktor politis/ administrasi ketimbang dengan faktor kegiatan perdagangan. Tabel 3. Permukiman perkotaan yang muncul pada 1700-1900 Lokasi
Kota
Sumatera
Meulaboh, Sigli, Lhok Suemawe, Idi, Seruwai, Tanjung Pura, Medan, Rantau Panjang Serd., Tanjung Beringin, Bandar Khalipah, Mesjid, Negerilama, Kota Pinang, Labuhan Bilik, Gunung Sitoli, Sibolga, Tarutung, Batang Toru, Padang Sidempuan, Portibi, Panyabungan, Kota Nopan, Air Bangis, Talu, Rao, Lubuk Sikaping, Bonjol, Palembayan, Fort de Kock/Bukittinggi, Maninjau, Lubuk Basung, Kayu Tanam, Padang Panjang, Fort van der Capellen/Batu Sangkar, Buo, Payahkumbuh, Suliki, Pgkl. Kota Baru, Sijungjung, Singkarak, Solok, Supajang, Alahan Panjang, Muara Labuh, Balai Selasa, Ayer Haji, Muko-Muko, Riau-Tjg. Pinang, Tanjung Balai Karimun, Daik, Bengkalis, Rengat, Kuala Tungkal, Muara Sabak, Muara Kumpeh, Muntok, Jebus, Belinyu, Sungai Liat, Batu Rusa, Pangkal Pinang, Koba, Toboali, Tanjung Pandan, Banding Agung, Muara Dua, Baturaja, Tanjung Raya, Kayu Agung, Muara Enim, Lahat, Bandar, Pagar Alam, Talang Padang, Tebingtinggi, Talang Benunu, Sekayu, Muara Rupit, Surulangun, Muara Beliti, Padang Ulak Tanding, Kepahiang, Lais, Bengkulu, Tais, Manna, Bintuhan, Krui, Tarabangi, Teluk Betung, Menggala, Sukadana, Kota Agung, Kalianda
Jawa
Serang, Cilegon, Pandeglang, Caringin, Rangkasbitung, Buitenzorg/Bogor, Cikao, Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, Pacet, Bandung, Garut, Manonjaya, Panjalu, Kuningan, Majalengka, Plered, Weleri, Cilacap, Purwokerto, Purbalingga, Banjarnegara, Karanganyar, Kebumen, Kutoarjo, Purworejo, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Menoreh, Pengasih, Wonosari, Bantul, Sleman, Klaten, Boyolali, Sragen, Wonogiri, Purwodadi, Wirosari, Ngawi, Gempol, Jember, Bondowoso, Subang, Tasikmalaya, Trenggalek, Ngorowo/ Tulungagung, Bojonegoro, Sidoarjo, Bangil, Kraksaan
138
Kota Pusaka
Lokasi
Kota
Kalimantan
Sandakan, Kuching, Pemangkat, Singkawang, Montrado, Mempawa, Pontianak, Bengkajang, Ngabang, Sanggau, Sintang, Salimbau, Ketapang, Pangkalan Bun, Sampit, Kuala Kapuas, Marabahan, Pleihari, Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai, Tanjung, Pegatan, Kota Baru, Tanah Grogot, Tenggarong, Samarinda, Berau-Tg. Redeb, Bulungan-Tg. Selor
Ind. Timur
Tahuna, Kota Mobagu, Donggala, Banggai, Majene, Palopo, Enrekang, Pampanua, Rappang, Pinrang, Pare-Pare, Sumpang Binaraga E/ Barru, Pangkajene, Maros, Takalar, Jeneponto, Bulukumba, Sinjai, Benteng Selayar, Cakranegara/Mataram/Ampenan, Denpasar, Geser, Tobelo
Perkembangan teknologi dalam pembangunan infrastruktur dan transportasi pada abad ke-19 dan 20 mendorong kendali atas seluruh wilayah. Pembangunan sistem tranportasi, perhubungan, industri serta didukung kebijakan kolonial yang mendorong kehadiran kota pada tahap yang keempat. Kota yang lahir karena industri manufaktur dan kota tambang umumnya berkembang karena dorongan dari perkembangan infrastruktur, motorisasi, dan perkembangan jasa-jasa pelayanan, umumnya terletak diluar/bersebelahan dengan kota pemerintahan. Sedangkan kota pariwisata, secara fisik seperti karakter alamnya memiliki keunikan atau keistimewaan, seperti sumber air panas di wilayah tropik, lokasi di wilayah pegunungan atau perbukitan seperti Bandung, secara non fisik seperti keunikan etnik dan budaya.1 Tabel 4. Permukiman perkotaan yang muncul pada periode industrialisasi modern Lokasi
Kota
Sumatera
Sabang, Krueng Raja, Seulimeun, Calang, Susoh, Tapaktuan, Bakongan, Sinabang, Bireun, Meureudu, Takengon, Lhok Sukon, Lokop, Langsa, Kuala Langsa, Kuala Simpang, Blang Kejeren, Kutacane, Sidikalang, Kabanjahe, Berastagi, Pangkalan Susu, Pangkalan Brandan, Binjai, Lubuk Pakam, Tebingtinggi (Deli), Pematang Siantar, Prapat, Kisaran, Rantau Prapat, Gunung Tua, Balige, Panguruan, Siborong-borong, Teluk Dalam, Muara Siberut, Sawahlunto, Taluk Kuantan, Gunung Sahilan, Bangkinang, Pasir Pengarayan, Pekan Baru, Duri, Dumai, Bagan Siapi-Api, Tembilahan, Penuba, Dabo, Muara Tebo, Muara Bungo, Bangko, Sarolangun, Sungai Penuh, Kenaliasem, Argamakmur, Curup, Lubuk Linggau, Prabumulih, Tanjung Enim, Pendopo-Tl. Akar, Martapura, Kota Bumi, Metro, Tanjung Karang, Oosthaven-Panjang
Jawa
Menes, Labuhan, Cikotok, Cimahi, Lembang, Cikampek, Jatibarang, Banjar, Kroya, Cepu, Gundih, Batu
Kalimantan
Telok Air, Batu Ampar, Nanga Tayap, Sekadau, Nanga Pinoh, Semitau, Putus Sibau, Kumai, Kuala Pembuang, Kasongan, Pahandut/ Palangka Raya, Pulang Pisau, Kuala Kurun, Puruk Cahu, Buntok, Tamiang Layang, Kelua, Negara, Balikpapan, Muara Muntai, Melak, Long Iram, Sangkulirang, Tarakan, Nunukan, Malinau, Long Nawang, Long Bawang
1
Werner Rutz, Urbanization of the Earth 4, Cities and Towns in Indonesia, Stuttgart, Berlin, 1987
Lampiran
139
Lokasi
Kota
Ind. Timur
Negara (Bali), Tabanan, Gianyar, Bangli, Klungkung, Lembar, Praya, Selong, Waikabubak, Waingapu, Baa, Soe, Kefamenanu, Atambua, Kalabahi, Maumere, Bajawa, Ruteng, Pante Makassar, Likisia, Manatuto, Baucau, Aileu, Ermera, Maliana, Suai, Ainaro, Same, Vikeke, Lospalos, Bitung, Tomohon, Kwandang, Tilamuta, Palu, Parigi, Poso, Luwuk, Kolonedale, Soroako, Malili, Masamba, Rantepao, Makale, Mamasa, Polewali, Mamuju, Pangkajene-Sidenreng, CabengE, Kolaka, Pomalaa, Kendari, Raha, Weda, Sanana, Namlea, Piru, Saparua, Amahai, Wahai, Tual, Dobo, Larat, Saumlaki, Tepa, Wonreli
Papua
Manokwari, Fak-Fak, Merauke, Hollandia/Jayapura, Bosnik/Biak, Seuri, Sorong, Nabire, Wamena, Tembagapura
Pada awal pertumbuhannya, permukiman urban di Indonesia tetap diwarnai oleh tradisi pedesaan yang dipengaruhi oleh struktur agraris dengan kehidupan sosial yang diwarnai oleh tradisi. Termasuk adanya kelompok masyarakat yang telah mengenal budaya tulis-menulis, misalnya Sansekerta, Jawa Kuno, Arab Melayu serta wujud tradisi lainnya. Pertumbuhan kota menghasilkan pula struktur masyarakat yang selain menghasilkan surplus di bidang pertanian juga industri domestik, seperti kerajinan serta kesenian yang mendukung kebudayaan kota. Situasi ini menghasilkan peradaban kota.
Pasar Hindu, Medan Sumber Foto: BPPI
140
Kota Pusaka
Kota-Kota di Indonesia yang beragam merupakan hasil dari proses yang terus berlangsung. Selain itu, kota juga merupakan wujud peristiwa yang berbeda di tiap periode, juga situasi ekonomi, sosial-budaya serta lingkungan seperti kota pantai, perbukitan atau muara. Karena itulah, pengelolaan kota hendaknya mengenal keragaman ini Setelah kemerdekaan, kota-kota ini yang terus dikembangkan. Sebagaimana dirintis pada periode sebelumnya, pembangunan dipandu oleh perencanaan tata ruang yang sistematis.
Lampiran 4 Kota/Kabupaten Anggota JKPI dan Status RTRW NO
NAMA WILAYAH Padang
LINGKUP Kota
PROVINSI Sumatera Barat
-
PERDA RTRW
Bau-Bau
Kota
Sulawesi Tenggara
-
Banda Aceh Bukittinggi Banjarmasin
Kota Kota Kota
NAD Sumatera Barat Kalimantan Selatan
Perda No.4 Tahun 2009 Perda No. 6 Tahun 2011 -
Cirebon
Kota
Jawa Barat
-
Denpasar
Kota
Bali
-
Jakarta Barat Jakarta Utara Jakarta Pusat Kepulauan Seribu Langsa Lubuk Linggau
Kota Kota Kota Kabupaten Kota Kota
DKI Jakarta
Perda No. _ Tahun 2011
NAD Sumatera Selatan
-
Madiun Malang Medan
Kota Kota Kota
Jawa Timur Jawa Timur Sumatera Utara
Palembang
Kota
Sumatera Selatan
Perda No. 6 Tahun 2011 Perda No. 4 Tahun 2011 Perda No. 13 Tahun 2011 -
Pangkal Pinang
Kota
Pekalongan
Kota
Kepulauan Bangka Belitung Jawa Tengah
Ambon
Kota
Maluku
Perda No. 11 Tahun 2011 Perda No. 30 Tahun 2011 -
Palopo
Kota
Sulawesi Selatan
-
KETERANGAN Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD
Proses Revisi RTRW Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan di Daerah
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD Proses Rekomendasi Gubenur
Lampiran
141
NO
NAMA WILAYAH Pontianak
LINGKUP Kota
PROVINSI Kalimantan Barat
-
Salatiga Surabaya Semarang Surakarta Sibolga
Kota Kota Kota Kota Kota
Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Tengah Sumatera Utara
Perda No. 4 Tahun 2011 Perda No. 4 Tahun 2011 -
Ternate
Kota
Maluku Utara
-
Yogyakarta Bangka Barat
Kota Kabupaten
Perda No.2 Tahun 2010 -
Karang Asem
Kabupaten
DI Yogyakarta Kepulauan Bangka Belitung Bali
Purbalingga Cilacap Buleleng
Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Jawa Tengah Jawa Tengah Bali
Perda No. 5 Tahun 2011 Perda No. 9 Tahun 2011 -
Tegal Bangli
Kabupaten Kabupaten
Jawa Tengah Bali
-
Brebes Banjarnegara Banyumas
Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Jawa Tengah Jawa Tengah Jawa Tengah
Batang Gianyar
Kabupaten Kabupaten
Jawa Tengah Bali
Perda No. 2 Tahun 2011 Perda No. 10 Tahun 2011 -
Gresik Badung Pekalongan Bogor Bengkulu Sawahlunto
Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kota Kota Kota
Jawa Timur Bali Jawa Tengah Jawa Barat Bengkulu Sumatera Barat
Perda No. 8 Tahun 2011 Perda No. 2 Tahun 2011 Perda No.8 Tahun 2011 -
Sumber: http://www.penataanruang.net/
142
Kota Pusaka
PERDA RTRW
-
KETERANGAN Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan di Daerah Proses Rekomendasi Gubenur
Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan di Daerah Sudah Pembahasan BKPRN & Sedang Perbaikan di Daerah Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Proses Kehutanan Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD
Sudah Persetujuan Substansi & Sedang Pembahasanan DPRD
Laut Ambon Sumber Foto: Catrini (BPPI)
Daftar Pustaka PIAGAM DAN KONVENSI ICOMOS, Charter for the Conservation of Historic Towns and Urban Areas (Washington Charter 1987), adopted by its General Assembly in Washington DC, October 1987. http://www.international.icomos.org/charters/towns_e.pdf UNESCO, Guidelines on The Inscription of Specific Types of Properties on The World Heritage List, included in the Operational Guidelines by the World Heritage Committee at its 16th session in Santa Fe, 1992. http://whc.unesco.org/archive/opguide05-annex3-en.pdf UNESCO, Convention concerning the protection of the world cultural and natural heritage, adopted by the General Conference at its seventeenth session, Paris, 16 November 1972, WHC-2001/WS/2 http://whc.unesco.org/en/conventiontext UNESCO, Declaration on the Conservation of Historic Urban Landscapes, adopted by the General Assembly at its fifteenth session, Paris, 10-15 October 2005, WHC-05/15.GA/7 http://whc.unesco.org/uploads/activities/documents/activity-48-1.pdf UNESCO, Intergovernmental Committee for the protection of the World Cultural and Natural Heritage, Operational Guidelines for the Implementation of the World Heritage Convention, WHC.2011/1. http://whc.unesco.org/en/guidelines BUKU&PAPER Adishakti, Laretna dan Punto Wijayanto. Belajar dari Penetapan Kota Pusaka Dunia UNESCO. Paper dipresentasikan pada “Workshop Terbatas I Kota Pusaka”, 1 Desember 2011. Ringbeck, Brigittta. Management Plans for World Heritage Sites. A Practical Guide. Bonn: German Commission for UNESCO, 2008. Rutz, Werner. Cities and Towns in Indonesia: Their Development, Current Positions and Functions With Regard to Administration and Regional Economy (Urbanization of the Earth). Berlin: Gebruder Borntraeg, 1987. Van Oers, Ron, Sachiko Haraguchi, et al. Managing Historic Cities. World Heritage Papers, 27. Paris: UNESCO World Heritage Centre, 2010.
144
Kota Pusaka
PERATURAN PERUNDANGAN UU RI No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung UU RI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya PP RI No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Permen PU No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang WilayahCagar Budaya PP RI No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Permen PU No. 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Permen PU No. 17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Nias Sumber Foto: BPPI
Daftar Pustaka
145
Tim Penyusun TIM PENGARAH:
TIM PELAKSANA:
Imam S. Ernawi Ruchjat Deni Dj Iman Soedrajat Joessair Lubis Bahal Edison N Rido Matari Ichwan
Endra S. Atmawidjaja Taufan Madiasworo Allien Dyah Lestari Hajar Ahmad Chusaini Shahnaz Acrydiena Caesar Adi Nugroho Wulansih Ratu Veby Renita Rocky Adam Siti Maesaroh
(Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU)
TIM AHLI (BPPI):
146
I Gede Ardika Budhi Tjahyati S. Soegijoko Gunawan Tjahjono Mohammad Danisworo Catrini Pratihari Kubontubuh Suhadi Hadiwinoto Laretna Adishakti Haryo Sasongko Ning Purnomohadi Dani B. Ishak Arya Abieta Hardini Sumono Benjamin Ishak Aristia Kusuma Punto Wijayanto Asfarinal
Kota Pusaka
(Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU)
KONTRIBUTOR:
Rita Tri Puspitasari Wahyu Mulyana Fransisco Azwir Malaon Iwan Darma Setiawan Andri Hari Gita Santi Tommy Faizal
Pengukir Kayu Sumber Foto: BPPI
MENGAWAL KELESTARIAN PUSAKA INDONESIA Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) adalah organisasi nirlaba. Anggota BPPI tersebar di seluruh Nusantara dan dunia yang terdiri dari individu praktisi dan pemerhati pelestarian. Ruang lingkup program-program BPPI yang sangat luas menjadikan BPPI kaya dengan anggota dari berbagai disiplin ilmu seperti arsitektur, perencanaan kota/daerah, lingkungan hidup, arkeologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, hukum, sejarah, sastra, musik, teater dan lain sebagainya.
KEMITRAAN
Saat ini BPPI bermitra dengan lebih dari 50 mitra lokal yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia serta mitra internasional dari Australia, Belanda, Lebanon dll. BPPI merupakan anggota dari International National Trusts Organisation (INTO) yaitu wadah jaringan organisasi pelestarian sedunia yang berpusat di London.
DEWAN PIMPINAN BPPI 2010-2013
1. I Gede Ardika (Ketua) 2. Dorodjatun Kuntjoro Jakti (Wakil Ketua I) 3. Pia Alisjahbana (Wakil Ketua II) 4. Hashim Djojohadikusumo (Wakil Ketua III) 5. Catrini Pratihari Kubontubuh (Direktur Eksekutif ) 6. Arya Abieta (anggota) 7. Amran Nur (anggota) 8. Dedy Gumelar (anggota) 9. Hardini Sumono (anggota)
DEWAN PAKAR BPPI
10. Hasti Tarekat (anggota) 11. Heri Akhmadi (anggota) 12. Laretna T. Adishakti (anggota) 13. Luluk Sumiarso (anggota) 14. Ning Purnomohadi (anggota) 15. Rudy J. Pesik (anggota) 16. Setyanto P. Santosa (anggota) 17. Soehardi Hartono (anggota)
BPPI didukung oleh kumpulan individu yang memiliki kepakaran di bidangnya masing-masing, serta membentuk kelompok-kelompok kerja sesuai dengan bidang yang diminati. Tiga bidang utama yang mendapat perhatian istimewa adalah pusaka ragawi, pusaka tak-ragawi, dan pusaka saujana (lanskap) gabungan antara alam dan kebudayaan.
SEKRETARIAT BPPI
1. Aristia Kusuma (Koordinator) 2. Hannisya Subana (Bidang Internal) 3. Patricia Manangkot (Bidang Eksternal) 4. Suci Rifani (Administrasi) 5. Leni Marlina (Tenaga Pendukung) BPPI didukung pula oleh para sukarelawan pencinta pusaka.
INFORMASI LEBIH LANJUT
Griya BPPI: Jl. Veteran I no. 27 Jakarta 10110 Indonesia T/F: 021.35 111 27 Rekening BPPI: Badan Pelestarian Pusaka Indonesia Permata Bank, Jl. Sudirman Kav. 27 Jakarta 10110 No: 070 162 16 62 (Rupiah) / 090 450 40 41 (Euro)
Bau-Bau, Tenggara 148Sulawesi Kota Pusaka Sumber Foto: Dok. Ditjen Penataan Ruang - BPPI