SATU
Masa lalu datang, aku berlari.. Mereka mengejar, aku semakin cepat berlari Entah sampai kapan, yang kutahu hanya, Aku harus terus lari, lari, dan lari....
11 tahun yang lalu... Aku memeluk erat guling, hanya bisa diam memerangi ketakutanku. Tidak tahu harus melakukan apa sementara, lagi-lagi, kedua orangtuaku bertengkar hebat di ruang tamu. Adikku sudah sejak sejam yang lalu menangis mendengar mereka saling berteriak. “Lepas! Saya mau pergi!” Mama berteriak histeris. Terdengar suara pintu dikunci, kemudian suara bantingan kunci ke lantai. “Udah gila kau! Mau kemana kau malam-malam, hah? Mau cari laki-laki?” suara Papa terdengar kasar. “Haha.. maaf. Memangnya saya seperti anda, yang gak tahan lihat wanita!” “Diam kau!!!” “Kau yang diam!!!” Aku ingin menangis, ingin berteriak. Tapi, seolah-olah mati rasa, aku hanya bisa terdiam. Suara kedua orangtuaku begitu keras, sehingga begitu menakutkan. Bukan sekali ini mereka bertengkar parah. Bahkan bisa kukatakan ini hal yang biasa kulihat semenjak aku berumur lima tahun. Saat itu untuk pertama kalinya aku melihat mereka bertengkar hebat karena Mama melihat Papa berselingkuh dengan istri yang tinggal satu kompleks dengan rumah kami. Oh, itu bukan alasan yang dibuat-buat. Karena aku sendiri juga melihatnya. Dan sejak itu, aku kehilangan respek ku terhadap Papa. Papa meninggalkan kami setelah pertengkaran hebat itu. Aku tidak melihatnya untuk beberapa lama. Sementara Mama, seolah-olah tidak peduli dengan ketiadaan Papa di rumah
besar kami, tetap berusaha bekerja keras demi aku dan adikku, yang saat itu masih umur beberapa bulan. Lalu semua kejadian terjadi begitu cepat. Tagihan hutang Papa sana-sini semakin menghancurkan keadaan keluarga kami. Imbasnya, Mama terpaksa menjual rumah kami di daerah Bekasi tersebut, kemudian kami pindah ke rumah kontrakan kecil di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Saat itu aku berumur delapan tahun, dan Papa belum juga kembali. Mama, yang telah kehilangan pekerjaannya di sebuah perusahaan elektronik, berusaha mengerjakan apapun yang bisa dikerjakannya demi kami. Berdagangan asongan dan menjadi supir mikrolet di Kampung Melayu. Sementara aku, cukup sadar dengan keadaanku yang jauh berbeda dengan dulu, hanya bisa membantunya menjaga adikku, Fay, yang masih umur dua tahun. Sebelum Mama pergi kerja dan aku bersekolah, Mama akan menitipkan Fay ke rumah tanteku, kakaknya Papa. Kemudian sepulang sekolah, aku menjemputnya. Aku sama sekali tidak menyukai tante-tanteku, baik kakak maupun adik Papa. Kakak-nya Papa beserta keluarganya suka menyuruhku untuk mengerjakan apa yang bisa dikerjakan di rumah besar mereka, membersihkan porselen, tangga, tempat tidur, kamar mandi, apapun. Kalau tidak kulakukan, mereka langsung mencapku sebagai pemalas atau menjelek-jelekkan keluargaku. Bukannya bermaksud malas, tapi sudah sewajarnya aku ingin protes karena mereka punya tiga pembantu, namun tenagaku justru lebih dipakai daripada mereka. Bagaimana dengan adiknya Papa? Suatu kali dia datang ke rumah dan kemudian membawa paksa aku serta Fay ke rumahnya di saat Mama kerja. Aku menolak keras, merontaronta dari cengkraman tangannya, berteriak sebisa mungkin. Berusaha mendiamkanku, ia memukul wajah dan tanganku dengan gayung. Gayung itu pecah, sementara tanganku memar dan bibirku berdarah. Alasan yang cukup untuk menjelaskan betapa aku tidak menyukainya. Aku tersadar dari lamunanku ketika Mama masuk ke kamar aku dan Fay. Beliau meraihku dan Fay ke pelukannya. “Maaf ya, Sayang. Sudah, jangan nangis lagi,” Mama berusaha menenangkan kami, terutama adikku. “Ayo tidur, kalian besok harus sekolah.” Aku hanya memejamkan mata tanpa bisa tertidur. Dan akupun yakin Mama juga tidak tidur. Hanya adikku yang tampak terlelap. Aku kembali melamunkan peristiwa-peristiwa dulu. Entah bagaimana, kami tidak lagi tinggal di rumah kontrakan, tetapi di rumah Kakak Papa. Sama sekali tidak bagus, bahkan adikku, yang belum mengerti apapun, bereaksi tidak suka. Namun Mama beralasan harus ada yang menjaga kami.
Suatu hari, adikku terus-menerus menangis memanggil Mama, yang hingga malam belum juga pulang. Aku tidak mampu mendiamkannya. Hingga akhirnya, kakak sepupuku –Elly-, anak ketiga tante, berhasil mendiamkan adikku. Dengan mengurung Fay ke kamar mandi. Gelap, karena lampu dimatikan. Dan aku, si bodoh ini, hanya bisa diam, tidak tahu harus melakukan apa. Awalnya Fay histeris, menggedor-gedorkan pintu, minta dikeluarkan. Lalu kemudian dia terdiam. Cukup lama, hingga akhirnya dia dikeluarkan. Wajahnya pucat dengan mata bengkak. Badannya yang lemas memeluk tubuhku. Tubuhnya bergemetar hebat, berusaha menahan segala ketakutan yang dia rasakan. Mama pulang agak larut. Aku mengadu kepada beliau tentang kejadian tadi, kemudian Mama melabrak Elly, memarahinya hanya sebentar karena menyadari keberadaan dirinya di rumah itu adalah numpang. Mama menahan emosi yang bergolak di dalam dirinya, kemudian menumpahkannya dengar air mata saat beliau memeluk kami yang tidur (aku berpura-pura sudah tidur), memeluk kami sepanjang malam itu. Berbulan-bulan kemudian, Kakekku meninggal dunia karena penyakit jantung yang sudah lama dideritanya. Beliau berpesan tidak mau dikuburkan kalau Papa tidak muncul di pemakaman. Dua hari kemudian, Papa muncul. Tidak ada perubahan berarti yang terjadi padanya setelah bertahun-tahun lenyap; tubuhnya tetap segar, besar dan tegap. Dia memelukku dan adik, kemudian mengikuti jalannya acara penguburan. Keesokan harinya, terjadi rapat yang membahas tentang keluargaku. Oom ku, abangnya Papa, menyampaikan keinginan terakhir Kakek, yaitu Papa dan Mama bersatu kembali. Setelah beberapa jam rapat tersebut berlangsung, Mama, yang keputusannya lebih ditunggu daripada Papa, akhirnya menyetujui keinginan terakhir Kakek demi alasan aku dan Fay. Capek mengenang masa lalu, aku memutuskan untuk tidur. Kulirik sejenak Mama, dan sebelum tertidur aku memikirkan satu hal. Menyesalkah Mama dengan keputusannya dahulu?
DUA
“Sudah pulang, Nak.” Aku baru saja pulang sekolah ketika Mama menyapaku sambil tersenyum lembut. Beberapa hari ini, sejak pertengkaran yang lalu, keadaan di rumah begitu tenang. Papa dan Mama pun udah saling berbicara, seolah-olah pertengkaran itu tidak pernah terjadi. Mungkin benar kata orang kalau di dalam rumah tangga, yang namanya bertengkar itu biasa. Hanya bumbu-bumbu dalam pernikahan. Aku meletakkan tasku di kamar, cepat-cepat berganti pakaian, lalu mencari makan di dapur. “Fay kemana, Ma?” tanyaku ketika melewati kamar Papa dan Mama. Mama terlihat begitu sibuk mengambil pakaian dari lemarinya. “Ke rumah Ririn, main.” Mama menyebutkan nama teman main Fay yang tinggal di sebelah rumah tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. “Mama ngapain? Kok bongkar lemari?” tanyaku penasaran, sejenak melupakan niatku untuk makan. Bad feeling yang kemarin sempat hilang kini timbul lagi. “Oh iya. Mama belum sempat ngomong sama Lexa. Besok Mama harus ke Medan,” “Mau ngapain?” tanyaku cepat tanpa menyembunyikan suaraku yang menyiratkan kecemasan. Aku cemas Mama akan meninggalkan kami. Mama sepertinya menangkap kecemasan di suaraku, dan langsung menenangkanku. Beliau memberhentikan kesibukannya, kemudian menarikku lembut untuk duduk di tempat tidur. “Ya ampun, Nak. Kok takut begitu? Emangnya Mama mau kemana coba? Kamu ingat Tante Farida?” Aku menggeleng pelan, masih merasa cemas. “Tante Farida itu teman dekat Mama waktu SMA di Medan. Dulu waktu kamu masih, berapa tahun ya? Lupa juga Mama, dia datang ke Jakarta nemuin kita. Tante Farida dulu suka gendong kamu.” Mama mengusap kepalaku dan memainkan rambutku yang sepanjang bahu. “Nah, anaknya Tante Farida mau menikah minggu depan. Jadinya Mama kesana.” Sambungnya lagi. Mungkin aku jahat, tapi rasanya aku belum bisa memercayai yang Mama ucapkan. “Beneran nih?” “Iya, Nak. Buat apa Mama bohong.”
“Sampai kapan?” “Paling lama dua minggu. Mama ingin melepas kangen dengan kampung halaman.” Jawab Mama sambil tersenyum. “Papa tahu, Ma?” Mama terkekeh pelan. “Pasti dong. Sudah lama Papa tahu rencana Mama kok. Pokoknya Lexa jangan mikir yang aneh-aneh, ya? Dan jangan lupa, jaga Fay.” Kemudian Mama melanjutkan berbenahnya. Beliau berjinjit mengambil koper dari atas lemari, kemudian memasukkan pakaian-pakaian yang sudah dipilihnya. Walaupun Mama sudah menjelaskan alasannya pergi ke Medan, dan bahkan sudah minta izin kepada Papa, entah kenapa hatiku tetap tidak tenang. Berusaha mengenyahkan perasaan yang jelek ini, aku meminta tolong sesuatu kepada Mama yang dulu, saat aku masih TK, sangat tidak suka kalau Mama udah melakukan ini. “Ma,” Panggilku ragu. Mama menoleh. “Besok tolong ikat kepang rambut Lexa ya?” Mama tersenyum lebar. *** Sesuai dengan kesepakatan, Mama akan mengepang rambutku pagi-pagi sekali, sebelum aku berangkat sekolah. Malamnya Mama tidur di kamarku dan Fay, memeluk Fay yang mendadak manja karena minta ikut ke Medan bersama Mama. Mama menolak permintaan Fay karena dia harus sekolah. “Eit, udah kelas 3 SD, gak boleh cengeng lagi.” Ucap Mama saat Fay mengeluarkan jurus terakhirnya, yaitu menangis, guna meluluhkan hati Mama. Tapi sayangnya gagal. Mama membangunkanku tepat jam 4 pagi. Beliau segera menyuruhku mandi dan melarangku mengeluarkan suara-suara berisik yang bisa membangunkan Fay. Mama sudah duduk di lantai kamar yang beliau alaskan dengan tikar. Aku segera memakai kaos rumah, lalu duduk persis membelakangi Mama. Mama menyisir rambutku lembut. Beliau selalu mengagumi rambutku yang tebal dan hitam, bersyukur karena sewaktuku kecil rajin sekali merawat rambutku. “Tumben minta dikepangi rambutmu, Lex?” “Gak tahu, Ma. Lagi kepengen ngerubah gaya rambut aja.” Jawabku jujur. Aku yang tomboy ini sangat tidak peduli dengan gaya rambut dan pakaian. Rambutku dibelah tengah, padahal tren saat ini rambut berponi. Pakaianku pun, bisa dibilang seenak jidat. Yang penting make pakaian. Gitu aja kok repot.
Mama terkekeh pelan. “Masih ingat waktu kamu TK? Mama hobi sekali otak-atik rambutmu. Dikepang, dikuncir kayak kuping kelinci, dikuncir kuda pakai ikat rambut yang luculucu. Tapi kamu langsung marah, ngomel-ngomel protes gak suka. Sampai di sekolah udah dicopot lagi. Beda dengan Fay yang suka sekali Mama kuncir rambutnya. Bibit tomboy-mu itu udah kelihatan dari kecil. Sekarang makin parah karena kamu gila bola kayak Papamu.” Aku tertawa pelan mendengar omongan terakhir Mama. Sampai sekarang Mama masih sulit menerima kalau anaknya yang tertua ini jauh lebih doyan nonton bola dan bela-belain begadang daripada jalan-jalan ke mall, dibeliin baju-baju khas cewek seumuranku. “Lexa, kamu kan udah kelas 2 SMP. Kamu harus semakin mandiri, ya. Jaga terus Fay, jangan suka dimarahin. Kamu ini galak banget sama adikmu. Kasihan dia, Lex, masih kecil loh.” “Kalau dia gak bisa dibilangin, yah wajar diomelin.” Jawabku defensif, gak mau mengakui kalau aku galak sama Fay. “Tapi yang namanya kakak kan harus ngejagain adiknya. Pokoknya jangan galak-galak sama Fay. Jaga ya, Nak?” *** Aku pergi ke sekolah dengan lesu, mengingat aku tidak bisa mengantar Mama ke bandara. Penerbangan Mama jam 1 siang, sementara aku dilarang Mama untuk minta izin pulang cepat dari sekolah. Tiba di sekolah, aku disambut dengan komentar positif oleh teman-temanku. Aku memang bisa dibilang terkenal seantero sekolah karena prestasi akademikku (si juara kelas bahasa lainnya) dan juga kedekatanku dengan teman-teman tanpa pandang bulu, bahkan temanteman cowok yang paling bandel sekalipun. Sebenarnya ada satu hal lagi, yang sebenarnya enggan aku sebutkan. Tapi emang kenyataan loh. Banyak yang bilang (bukan pendapatku) kalau aku memiliki wajah yang manis dan tubuh yang tinggi. Dan walaupun badanku berisi (kalau tidak mau dibilang gemuk), itu tidak mengurangi kadar kemanisanku (sekali lagi kutegaskan, bukan pendapatku). Hal ini bikin banyak yang naksir aku, tapi gak aku tanggepin. Gak ada di pikiranku aku punya pacar masih SMP begini. Setibanya di kelas, aku langsung dikerumuni teman-teman sekelasku yang udah datang. Kulirik jam tangan bermotif Juventus, klub sepakbola favoritku dari Italia. Masih jam setengah 7 kurang. “Hey, tumben dikepang?” Dicky, cowok terbandel di sekolah yang gak segan-segan godain cewek tapi gak pernah sekalipun berani menggodaku (dan juga paling dekat denganku), menarik pelan kepanganku. Aku membalasnya dengan cubitan keras di lengannya yang langsung disambut dengan, “Aduh!”
“Sukur. Lagi pengen dikepang aja. Emang gak boleh?” Seruku ketus. “Boleh. Kan cuma nanya. Galak bener.” Teman sebangkuku, Melly, ikut-ikutan menimpali. “Tapi bener tuh kata Dicky, Lex. Tumben lo dikepang gitu? Ada momen apaan?” “Gak ada apa-apa kok. Beneran. Cuma pengen dikepang aja. Sekalian bikin kerjaan buat nyokap sebelum cabut ke Medan.” Jawabku sambil terkekeh sejenak. “Nyokap lo ngapain ke Medan?” tanya Melly lagi. “Ada anak temen Mama nikah.” Jawabku singkat. Hening sejenak, kemudian dipecahkan dengan suara Dicky. “Rambut lo tebel juga, ya? Kepangan lo jadi mirip kalajengking raksasa gitu.” Serunya sambil menarik kepanganku lagi dan kemudian ngacir. Kutimpuk dia pake sepatuku. Beruntung dia karena lemparanku meleset, nyaris mengenai kepalanya. “Kebanyakan nonton film lo. Emang ada kalajengking raksasa?!!” *** “Mama kapan pulang ya, Kak?” Fay berdiri di belakangku, bersandar di dinding dekat rak piring. Sedari tadi dia memang memerhatikanku memasak nasi goreng. Entah benar-benar memerhatikanku memasak atau justru berkutat dengan lamunannya sendiri. Melamunkan mama. Kangen dengan mama. Sudah lewat dua minggu (17 hari tepatnya) Mama pergi ke Medan, dan sejak itu pula tidak sekalipun kabar darinya datang. Mama tidak pernah menelepon, membuatku agak panik. Takut sekali terjadi sesuatu dengan Mama di sana. Pernah sekali aku bertanya kepada papa namun beliau hanya menjawab tidak tahu dengan ketusnya. Aku mematikan kompor, kemudian berbalik ke arah Fay. “Gak tahu, Dek. Coba lo tanya papa.” Fay menggeleng, “Gak ahh. Takut.” “Papa sama elo mana mau marah. Tanya aja.” Fay tetap menggeleng. Dia mengambil piring kemudian menuangkan sendiri nasi goreng ke piringnya, kemudian pergi makan di kamar.
Sekitar jam tujuh malam, Papa pulang. Dia mengambil segelas air putih, lalu meminumnya. Kemudian dia pergi ke kamar. Kurasa dia ingin mandi. Beberapa lama kemudian, Papa keluar kamar, kemudian duduk sambil menonton TV. Nanya, enggak, nanya, enggak.... Aku menarik napas dalam-dalam, meyakinkan diriku sendiri untuk bertanya ke Papa tentang Mama. Aku berjalan mendekati Papa. “Pa,” Dia bergumam, tanpa menoleh kepadaku. “Lexa boleh nanya ga, Pa?” Raut wajahnya langsung berubah. Dia menoleh galak. “Kalau kau mau bertanya tentang Mama mu, dengar ini baik-baik. Mama mu tidak akan pernah kembali! Dia udah lari sama lakilaki lain, yang lebih muda dari saya! Ngerti kau?! Jadi jangan pernah kau tanya-tanya lagi ke saya tentang Mama-mu!” BRAK..!! Papa keluar rumah dengan membanting pintu. Aku hanya bisa pergi ke kamar sambil menahan tangis. Tidak ingin sedikitpun mempercayai perkataannya. Hari terasa cepat berganti hari, menyadarkanku satu hal. Papa benar. Bukan mengenai kepergian Mama dengan pria lain. Aku tidak percaya itu. Tapi Papa memang benar satu hal, Mama tidak akan pulang lagi.