Dikutip dari buku “MEMECAH PEMBISUAN” Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan 2011
Rukiah, KESETIAAN TAK LEKANG OLEH BELENGGU
Ibu mana yang tega memberikan bayinya kepada orang lain yang baru dikenalnya? Tapi itulah yang terpaksa dilakukan Rukiah, yang tidak ingin membesarkan anaknya di penjara. Rukiah lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan 7 Maret 1940. Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang pelaut dan ibunya sibuk mengurusi semua keperluan rumah tangga. Prestasinya semasa kecil di sekolahnya tidak menonjol, biasa-biasa saja. Tapi dalam perjalanan hidupnya lebih lanjut, Rukiah terbukti seorang organisatoris hebat. Tekadnya dalam memajukan kaumnya begitu kuat. Rukiah mulai mengenal organisasi sejak kelas 6 SR (Sekolah Rakyat-sekarang Sekolah Dasar). Ibu Salawati Dautlah yang memperkenalkan organisasi kepada Rukiah. Ia termasuk tokoh perempuan dari Sulawesi. Ibu Salawati yang saat itu berusia 30-an itu sebetulnya berasal dari Manado, namun hijrah ke Makassar dan tinggal di dekat rumah Rukiah. Mula-mula ia mengajak Rukiah mengobrol tentang keadaan di sekolahnya. Juga tentang keluarga Rukiah. Dari obrolanobrolan inilah Rukiah mulai dekat dengan Ibu Salawati. Ia sering bertandang ke tempat Ibu Salawati untuk bertanya-tanya mengenai berbagai hal yang tak diajarkan gurunya di sekolah. Ibu Salawati mengajari bagaimana semestinya seorang perempuan bergaul dan bermasyarakat. Selama ini kebanyakan perempuan di sekitarnya hanya beraktivitas mengurus rumah tangga. Ibu Salawati menasihati agar Rukiah bisa berkiprah di luar rumah, demi membantu keluarga memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rukiah juga banyak berinteraksi dengan ibu-ibu aktivis lainnya. Mereka sering mendatangi Rukiah untuk menjelaskan mengenai aturan dasar partai (Perdes) yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Gerwani anti-poligami. Sebagai remaja putri yang gandrung pada emansipasi, Rukiah sangat setuju dengan pandangan ini. Ia pun berpikir bahwa Gerwani merupakan organisasi yang bisa melindungi hak-hak kaum perempuan. Ia ingin terhindar dari belenggu poligami yang banyak terjadi di lingkungannya. Di kalangan bangsawan di Makassar, poligami adalah hal yang lumrah. Masyarakat pun menerimanya sebagai suatu kewajaran. Penindasan terhadap istri dan kekerasan dalam rumah tangga pun banyak terjadi dan para korbannya sangat tidak berdaya. Pada usia 14 tahun, Rukiah masuk sebagai pengurus Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Cabang Makassar. Waktu itu ia baru duduk di kelas dua SMP (Sekolah Menengah Pertama). Sebetulnya untuk menjadi anggota Gerwani syaratnya harus berusia 18 tahun ke atas atau sudah menikah. Akan tetapi, saat itu Gerwani Makassar kekurangan kader, sebagian besar kader malah 1
datang dari Jawa. Akhirnya Rukiah diperkenankan masuk. Paling tidak Rukiah sudah mahir membaca dan menulis. “Yang jelas, kedekatan saya dengan Ibu Salawati menjadi faktor yang memungkinkan saya bisa langsung masuk dan aktif di kepengurusan,” kata Rukiah yang tugas pertamanya adalah membantu di kesekretariatan. Orang tua Rukiah tidak terlalu mempermasalahkan aktivitasnya berorganisasi. Sang Ayah yang berpandangan nasionalis dan Soekarnois sejati membiarkannya. Ibunya juga tidak mencampuri. Ia menyerahkan sepenuhnya pada putrinya. “Ibuku tipe perempuan sederhana dan penurut. Kalau istilah Jawanya, suarga nunut, neraka katut, artinya ke surga numpang, ke neraka juga terbawa,” ujar Rukiah. Jatuh Cinta Sekitar tahun 1959 di Makassar ada pameran mobil sedan Holden dan sejumlah model perempuan muda cantik berbusana bikini tampil berpose di depan mobil yang dipamerkan. Hal ini mengusik perasaan warga setempat. Para pemudapun memprotesnya karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan adat ketimuran, “Masa promosi mobil harus dengan merendahkan derajat perempuan? Indonesia bukan negara barat!” Tak lama, Pemuda Rakyat (PR) maupun Gerwani turun ke jalan untuk memprotes pameran ini. Mereka sepakat bahwa tindakan penyelenggara pameran jelas merupakan satu cara untuk menularkan pikiran barat kepada bangsa Indonesia. Mereka mencoret-coret jalan, tembok, dan tempat-tempat yang strategis sebagai tempat untuk menuangkan aspirasi. Beberapa hari setelah peristiwa ‘Holden’, banyak simpatisan PR yang ikut dalam aksi corat-coret ditahan di kantor polisi. Menyikapi kondisi ini, aktivis PR dan anggota Gerwani berunding untuk membebaskan mereka. Rukiah termasuk salah satu utusan yang ikut mendatangi kantor polisi. Negosiasi untuk membebaskan para aktivis itu sukses. Dalam perjalanan keluar dari kantor polisi, seorang pemuda asal Jawa yang bekerja di kantor Bulog (Badan Urusan Logistik) Makassar mendekati Rukiah. “Terima kasih, Dik. Berkat Adik, saya dan kawan-kawan bebas,” bisiknya pada Rukiah. Itulah pertama kalinya ia bertemu Marsaid, cinta pertamanya. Saat itu Rukiah tersipu malu. Wajahnya memerah dadu. Ia pun hanya mampu menunduk. Namun jantungnya berdesir kencang. Perasaannya mendadak berbunga-bunga. Ada rasa senang dan ada rasa bangga. “Kami jatuh hati pada pandangan pertama,” kenang Rukiah. Sejak itu Rukiah dan Marsaid mulai dekat. Ketika kedua sejoli ini semakin akrab, teman-teman mereka mendukung agar keduanya sampai di pelaminan. Para sahabat ini bahkan menghadap orang tua Rukiah untuk melamar Rukiah, mewakili keluarga Marsaid yang tinggal di Jawa. Lamaran diterima dengan baik. Akhirnya, sepasang kekasih ini menikah pada Maret 1963. Kawan-kawan seorganisasi merekalah yang mengurus semua acara pernikahan mereka. Demi kepraktisan, Rukiah menyisihkan sebagian tata cara adat perkawinan. Menurut Rukiah, ada beberapa ritual yang tidak relevan lagi dengan keadaan. Misalnya, ritual membuang sesaji ke 2
laut, memukul gong, dan lain-lain. Selain tidak praktis, secara ekonomi adat ini dianggap agak memberatkan. “Yang penting rumah tangga kami kelak bisa kokoh,” jelas Rukiah yang bersyukur karena orang tuanya memahami pilihan tersebut. Setelah menikah, Rukiah menjabat sebagai staf Gerwani di Makassar (Sulawesi Tenggara). Kala itu pimpinan Gerwani Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara masih menyatu. Sebagai organisatoris, Rukiah harus pintar membagi waktu antara tugas rumah tangga dan di luar. Suaminyapun tetap aktif di organisasi. Jadi, dia sangat memahami kiprah istrinya yang samasama berjuang untuk mengawal cita-cita pemimpin besar revolusi, Bung Karno. Dalam pidatonya Bung Karno selalu berpesan bahwa revolusi belum selesai. Tugas itu ada di pundak generasi muda. Selain berorganisasi, Rukiah mengajar di Taman Kanak-kanak (TK) Melati. TK ini terletak persis di belakang rumahnya. Tanah tempat TK ini berdiri merupakan tanah yang memang Rukiah wakafkan untuk kepentingan masyarakat. Sambil mengajar, Rukiah tetap melanjutkan kuliah meski ia sedang hamil anak kedua. Nasib Berubah tak Menentu Siapapun tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Begitulah. Keadaan politik dan ekonomi di Indonesia tiba-tiba saja memburuk. Pada September 1965 terjadi pembunuhan terhadap tujuh perwira tinggi Angkatan Darat di Jakarta. Kabar duka ini yang tersiar melalui Radio Republik Indonesia (RRI) ini sungguh mengagetkan seluruh rakyat Indonesia. Menurut berita yang tersebar, pembunuhan ini didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). “Serentak aku terkejut, nertanya-tanya dan tidak percaya. Tapi kami coba tenang memahami situasi tersebut.” Situasi tambah simpang siur karena beberapa organisasi-organisasi kepemudaan lain dikaitkan dengan PKI dan kejadian ini, termasuk Gerwani dan PR. Bersama para pengurus lainnya, Rukiah menggelar rapat untuk membahas situasi terakhir yang dirasa semakin genting. Pimpinan rapat meminta agar para anggota tetap tenang. “Saya sempat membicarakan situasi politik dan meminta arahan dari Jakarta,.Tetapi kata mereka kami di daerah diminta untuk tetap tenang, menunggu arahan pimpinan revolusi yaitu presiden Soekarno.tidak berpikir jauh. Kami boleh dikatakan tenang-tenang saja. Kami tidak menyangka bahwa situasinya akan seburuk ini. Waktu itupun suami saya diminta melapor ke kantor polisi untuk diamankan. Jadi, sama sekali bukan untuk ditangkap dan ditahan,” kenang Rukiah. Dalam situasi yang tidak menentu, hari-hari terasa begitu menyesakkan dada. Kegelisahan Rukiah pun semakin memuncak ketika pada 15 Oktober 1965, suami yang dicintainya tidak pulang. “Jangan…jangan…,” Rukiah membatin. Sekelebat terlintas bayangan buruk di benaknya. Belakangan ia sering mendengar banyak anggota partai yang ‘diamankan’. “Tidak!” bantah Rukiah dalam hati. “Itu tidak boleh terjadi pada suamiku,” lanjutnya. Namun kenyataan berbicara lain. 3
Masih jelas tergambar dalam ingatannya, petang itu, sekitar pukul tujuh malam rumahnya yang terletak di depan jalan poros kota Makassar, dekat bioskop Mumi didatangi sekelompok pemuda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Makassar dan masyarakat. Mereka memaksa masuk ke rumah Rukiah untuk mencari anggota Gerwani yang tidak lain adalah Rukiah. Secara naluri ia pun berlari menyelamatkan diri melalui pintu dapur lalu melompat ke kebun belakang rumah melalui tembok tetangganya. Ia tidak peduli dengan kandungannya yang sudah berusia delapan bulan. Dari kejauhan ia sempat mengamati apa yang terjadi di rumahnya. Kelompok yang berjumlah kurang lebih 30 orang ini segera menggayang rumah Rukiah. Setelah satu jam berlalu dan tidak menemukan Rukiah, mereka segera berlalu sambil membawa barang-barang berharga, seperti jam tangan, radio, pakaian, bahkan barang pecah belah. Kaki Rukiah gemetar. Perutnya terasa kencang. Ia tidak sanggup memaknai apa yang terjadi saat itu. Ia tidak ingin beranggapan bahwa ini adalah sebuah penjarahan. Di Makassar memang banyak terjadi demontrasi mahasiswa dan masyarakat untuk menentang PKI yang dianggap sebagai dalang tragedi G30S (Gerakan 30 September). Mereka terprovokasi untuk menangkap bahkan menganiaya para anggota PKI dan organisasi masyarakat yang dianggap ‘turunannya’. Demo ini diwarnai dengan aksi coret-coret di jalan-jalan dan pemasangan spanduk anti-PKI. “Gerwani, Lonte!, PKI tidak mengenal Tuhan!, PKI: Istrimu, Istriku!, PKI Kudeta dengan Membunuh Para Jendral, Buruh Tani Dipersenjatai!” adalah tulisan-tulisan bernada provokasi yang mewarnai Makassar kala itu. Malam itu, Rukiah takut pulang. Ia terpaksa tidur di halaman tetangganya. Tiada seorangpun yang bersedia menampungnya, meski hanya sekejap. Mereka semua takut dianggap terlibat PKI, sehingga tak peduli pada kondisi Rukiah yang tengah hamil tua. Apa mau dikata, keadaan saat itu memaksa orang berbuat demikian. Rukiahpun memaklumi. Ia harus menerima perlakuan ini dengan hati lapang. Hanya karena keinginannya yang kuat untuk mempertahankan janinnya yang membuatnya bisa bertahan. Untunglah, sebelum kejadian ini anak pertamanya sudah diasuh oleh neneknya. Jadi, tidak terlalu masalah. Rukiah, yang sudah masuk dalam daftar orang yang dicari, mencoba mencari bantuan dari satu rumah keluarga ke rumah keluarga yang lain, tapi tidak seorangpun di antara mereka yang berani mengambil risiko. Hanya orang tuanya yang masih membantu memenuhi keperluan sehari-hari Rukiah. Itupun Rukiah masih harus menjual barang berharga yang melekat di tubuhnya. Suatu saat Rukiah membaca imbauan agar semua anggota partai dan ormas pendukungnya menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat untuk mendapat perlindungan. Jika anggota partai tidak menyerahkan diri, polisi tidak menjamin keselamatan mereka. Rukiah mulai menimbangnimbang, antara tetap bersembunyi atau menyerah. Jika tetap bersembunyi, bagaimana jika ia melahirkan? Jika ia menyerah, bagaimana pula pada saatnya melahirkan? Hatinya sungguh gundah. Akhirnya, pada 28 November 1965 ia menyerahkan diri ke kantor polisi terdekat. Tidak didugaduga, ternyata suaminya berada di sana. Hati Rukiah berbunga-bunga. Namun hanya sesaat. Dengan bahasa tubuh, Sang Suami memberi kode agar ia tutup mulut. “Ruk (panggilan Rukiah), kalau ditanya, bilang saja kamu nggak tahu apa-apa. Jangan pula mengaku, aku suamimu,” bisik Marsaid pada Rukiah. Rukiah mengangguk paham. 4
Pada gilirannya Rukiah dipanggil untuk menjalani pemeriksaan. Sesuai pesan Sang Suami, ia selalu menjawab tidak tahu. Hampir sebulan Rukiah ditahan. Sampai suatu saat ia merasa bayinya akan lahir. Kehebohan segera terjadi. Petugas meminta tahanan laki-laki untuk segera membopong Rukiah ke mobil, tapi tidak ada yang bersedia. Ternyata keadaan itu adalah siasat Marsaid. Marsaidpun mengajukan diri. Jadi, Rukiah berangkat ke rumah sakit diantar suaminya. Selama perjalanan Marsaid terus menatap mata istrinya. Tatapan mesra sang suami sungguh menegarkan hati Rukiah. Ia segera dibawa ke ruang melahirkan. Marsaid hanya mengantarnya sampai di depan pintu lalu kembali ke kantor polisi. Meski berat hati, Rukiah merelakan kepergian suaminya. Ia hanya pasrah berdoa agar kelahiran bayinya lancar. Doa Rukiah terkabul. Anak keduanya, seorang putri, lahir selamat. Setelah dirawat beberapa hari, ia dikembalikan ke kantor polisi. Tak berapa lama ia dipindahkan ke kantor Kodim Makassar. Di sana sudah ada sekitar 300-an tahanan lainnya. Kemudian ia dipindahkan lagi ke kantor Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP). Setelah polisi tidak bisa memperoleh cukup bukti, pada Januari 1966 Rukiah pun dilepas namun dengan status wajib lapor. Rukiah segera pulang ke tempat orang tuanya. Hampir selama dua tahun ia menjadi tukang jahit di sebuah perusahaan garmen. Meski mencoba tetap tegar, sesekali dadanya sesak memikirkan nasib kawan-kawannya yang ditangkap. Termasuk orang-orang Jawa perantauan yang tidak tahu-menahu tentang organisasi, menjadi korban penangkapan. Melihat kondisi yang tidak ada kejelasannya, ia berpikir untuk meninggalkan kota kelahirannya dan merantau ke Surabaya, Jawa Timur, tempat keluarga suaminya, yang dianggap lebih aman. Ia segera meminta izin pada suaminya yang masih menjalani pemeriksaan di kantor Teperda (Tim Pemeriksa Daerah). Sang suami memberi izin. “Hati-hati, Ruk. Jaga dirimu. Tak usah kau pikirkan aku. Aku di sini baik- baik saja,” kata Marsaid seraya menggenggam erat tangan Rukiah. Rukiah pun mengunjungi kedua orang tuanya untuk memohon restu. Ia berpesan kepada keluarganya agar tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun demi keamanan. Lari ke Jawa Rukiah segera menjual motor Vespa milik suaminya. Dengan uang penjualan Vespa ini ia berangkat ke Jawa. Ia pergi bersama bayinya menggunakan kapal laut. Anak sulungnya tetap diasuh neneknya. Dalam perjalanan ia sempat berpikir, bagaimana seandainya di tengah perjalanan ia ditangkap? Sambil memandangi lautan luas ia mencoba menenangkan diri. Baginya hal itu lebih baik, daripada ditangkap di kampung. Ia tidak ingin sanak keluarganya tahu bahwa ia ditahan. Setiba di Surabaya Rukiah mencari rumah kontrakan. Walau di kota itu, banyak keluarga suaminya, ia mencoba mandiri. Di situ ia membuka usaha menjual tahu goreng isi. Hasilnya cukup untuk makan sehari-hari. Keadaan yang sudah nampak tenang tiba-tiba berubah. Tepat pada ulang tahun PKI, 23 Mei 1968, tentara menggelar operasi Sambar Nyawa untuk memburu anggota partai yang belum ditangkap. Operasi ini dilanjutkan dengan operasi Sambar Laga yang lebih intens untuk 5
memburu tokoh-tokoh PKI. Ternyata Rukiah termasuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang). Fotonya disebar di seantero Surabaya. Disebutkan ciri-cirinya bahwa ia memiliki tahi lalat di jidat dan membawa seorang bayi. Rukiah pun merasa cemas. Beberapa hari ini ia sering melihat seorang laki-laki berpakaian biasa memancing di depan rumahnya. Anehnya, sambil memancing ia mencari tahu tentang Rukiah pada tetangga sekitarnya. Malah pada satu kesempatan pria ini bertanya pada Rukiah, “Ibu kok sendirian, Bapaknya di mana?” Ia menjawab, “Bapak ke luar kota, ke Solo, ambil kain batik.” Pria itu bertanya lagi, ”Saya kawan lama Bapak. Nanti kalau Bapak datang tolong sampaikan saya mencarinya.” “Ya, baik, nanti saya bilangin pada suami saya,” balas Rukiah. ”Bapak namanya, Marsaid ya?” pancing laki-laki itu. ”Oh, bukan…. Nama suami saya Sumarno,” kata Rukiah spontan. Laki-laki itu berpamitan sambil tersenyum penuh arti pada Rukiah. Setelah pria itu berlalu, hati Rukiah semakin kecut. Ia merasa tempat itu sudah tidak aman lagi baginya. Sorenya ia pergi mencari keluarga suaminya. Betapa terkejutnya Rukiah, setiba di depan rumah saudara suaminya ia melihat tiga orang laki-laki di teras, salah satunya adalah yang tadi pagi menemuinya. Rukiah segera berlari sambil memberi isyarat pada anak pamannya. “Malamnya aku tidak pulang ke rumah kontrakkanku. Aku memilih tidur di kuburan yang berjarak 1 kilometer dari tempat kontrakanku. Aku tidur di kuburan. Banyak kuburan yang ada atapnya. Dari pada pulang dengan hati was-was, lebih baik tidur di pemakaman, karena juga tidak sendirian. Banyak para pengemis tidur di kuburan.”. Esoknya barulah ia pulang. Oleh tetangganya ia diberitahu semalam ada dua mobil berisi tentara mendatangi rumahnya. Rukiah tidak terlalu kaget. Ia sudah menduga hal itu. Ia pun segera berkemas-kemas dan berpamitan pada pemilik rumah. “Jaga dirimu, Nduk. Ingat kesehatan bayimu.” “Iya, Bu,” jawab Rukiah perlahan. Ia mencari kontrakan baru di dekat kota. Dengan keterampilannya menjahit ia mencari pekerjaan di konveksi pembuatan pakaian untuk TNI Angkatan Laut. Ia sempat bekerja di sini selama satu bulan. Karena kondisi lingkungan yang buruk penyakit paru-paru yang pernah diidapnya kambuh. Ia pun berobat ke rumah sakit. Sepulang berobat ada orang yang mengikutinya. Orang ini lalu menangkap dan membawanya ke tempat pemeriksaan tentara. Tempat ini sepertinya bekas rumah dokter karena ada ruang laboratoriumnya. Rukiah tidak sendirian. Di sini sudah ada 30-an orang perempuan lain. Bulu kuduk Rukiah mendadak berdiri. Ia melihat seorang tahanan perempuan diikat dan pakaian atasnya dibuka. Anaknya yang masih kecil diikat di bawah kakinya. Anak itu menangis karena ingin meraih puting susu ibunya. Ibu ini disiksa karena tidak mau menyebutkan keberadaan suaminya. Rukiah terbatuk-batuk. Dadanya terasa sesak. Ia tak bisa membayangkan seandainya dirinya mengalami penyiksaan seperti itu. Di sini ia sempat bertemu dengan saudara suaminya. Namun 6
mereka pura-pura tidak saling mengenal. Jika ketahuan di antara keduanya ada ikatan saudara, maka akan secepatnya terungkap identitas Rukiah sebagai pengurus Gerwani yang sedang buron. Dari tempat pemeriksaan ilegal ini ia dipindahkan ke kantor Tiperda Surabaya sekitar tahun 1973. Karena berkasnya belum lengkap, ia terus ditahan. Di situ ia membantu memasak untuk para penjaga. Di sinilah ia kemudian bertemu dengan seorang istri anggota Corps Polisi Militer (CPM), yang baik hati. Entah bagaimana, tiba-tiba terbersit pikiran Rukiah untuk menyerahkan putrinya, Gestina Patriani yang sedang lucu-lucunya, pada ibu itu. Pemandangan ibu yang disiksa bersama anaknya sangat menghantui pikirannya. Belum lagi ditambah statusnya sebagai tahanan titipan yang belum jelas nasibnya, membuat Rukiah segera membuat keputusan ini. Ia segera menulis surat kuasa kepada ibu itu untuk mengasuh anaknya. Setelah surat adopsi lengkap, Rukiah segera menyerahkan buah hatinya kepada ibu asuhnya. Oleh ibu asuhnya nama Gestina diubah menjadi Watiningsih. Rukiah tidak keberatan asalkan Wati mendapat kasih sayang tulus. Waktu berlalu. Pada 1975, hampir 2 tahun Rukiah ditahan di kantor CPM Surabaya. Suatu hari datanglah Kapten Awari yang pernah dikenalnya di Makassar. Dengan spontan pengawal seorang istri pejabat di Makassar ini menegur, “Ibu Rukiah! Ibu istrinya Pak Marsaid kan?” Rukiah tak bisa mengelak. “Iya, Pak!” Kapten Awari mengatakan bahwa suami Rukiah sudah meninggal. Ia memaksa Rukiah pulang ke Makassar. Dengan perasaan yang sangat berat karena harus berpisah dengan Watiningsih, Rukiah meninggalkan Kota Buaya. Setiba di Makassar ia dibawa ke Penjara Makassar. Betapa senangnya hati Rukiah karena ternyata suami yang dicintainya masih hidup. Meskipun tahanan laki-laki dan perempuan harus dipisah, namun atas akal-akalan kawan-kawan setahanan kedua suami-istri yang sudah berpisah lebih dari 8 tahun ini bisa berkumpul. Lembaran Baru di Nanga-nanga Beberapa bulan kemudian, para tapol laki-laki dikirim ke penjara Maros dan tapol perempuan dikirim ke penjara Gunung Sari, Makassar. Tahun 1977 Marsaid dan Rukiah dikirim ke Moncong Loe. Tak berapa lama Marsaid dibebaskan. Sedangkan Rukiah masih ditahan. Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkobkamtib) Sulsera mengimbau para tapol yang belum bebas agar mau dikirim ke Kamp Pengasingan Nanga-nanga, Kendari. Mereka akan diberi lahan seluas dua hektar per kepala keluarga. Rukiah menerima tawaran ini demi menapaki kehidupan baru. Suaminya pun tidak keberatan mendampingi. Saat itu ada sekira 41 orang tapol yang berangkat. Ternyata kondisi di tempat baru ini jauh dari nyaman. Rumah yang dijanjikan masih berupa hutan belantara. Ketika musim hujan terjadi banjir. Seorang tahanan perempuan yang sedang hamil muda sampai keguguran karena tak tahan harus berjalan sejauh empat kilometer ke tempat pengungsian. Di Nanga-nanga sudah ada 14 tapol lain dari Kamp Ameroro, Kendari. Antara sesama tapol tidak ada hambatan berinteraksi. Masing-masing tapol mendapat jatah tanah seperti yang dijanjikan. Untuk menggarap lahan ini mereka diberi kampak dan parang. Mereka pun bergotong royong membuka hutan untuk dijadikan lahan perkebunan. Bagi Rukiah dan Marsaid yang biasa hidup 7
di kota dan bekerja di kantoran, tugas baru ini tentu sangat berat. Mereka mau tak mau harus menaklukkan keadaan jika tidak ingin mati kelaparan. Akhirnya, tahun 1980 Rukiah resmi dibebaskan setelah 15 tahun mejadi tapol. Ia dan Marsaid memilih tetap tinggal di Nanga-nanga. Desember 1982, mereka mendapatkan surat bukti pengelolaan dan sertifikat tanah dari Korem. Sudah ada 56 unit rumah dengan ukuran masingmasing 6mx6m yang berdiri saat itu. Lahan di sekitarnya ditanami pohon buah-buahan. Ketenangan yang mereka rasakan ternyata hanya sekejap. Tahun 1983 terjadi kemarau panjang yang mematikan hampir seluruh tanaman. Tak tahan dengan keadaan, para tapol pindah ke Lepolepo, Kendari. Jaraknya kira-kira lima kilo dari Nanga-nanga. Mereka mengontrak rumah. Berbekal pendidikan, keterampilan, dan pengalamannya, Marsaid mencoba mencari pekerjaan di kantor. Pucuk dicinta ulam tiba. Sebuah perusahaan perumahan milik kenalannya di Makassar kebetulan membuka lowongan. Marsaid diterima di sana. Sedikit demi sedikit penghasilannya dikumpulkan dan kemudian dibelikan tanah. Masyarakat Lepo-lepo menerima kehadiran mereka dengan baik. Mereka tidak terlalu hirau pada status mantan tapol yang melekat pada keduanya. Apalagi secara ekonomi mereka sudah lebih baik dan sangat mandiri. Namun di tengah kebahagiaan di Lepo-lepo, ada satu hal yang mengganjal di hati Rukiah. Ia teringat putrinya yang ditinggalkan di Surabaya. Pasti anak ini sudah menjadi seorang gadis cantik, batin Rukiah. Setiap kali mengenang putrinya, ia tak bisa tidur. Sesekali ia bertanya, apakah anak ini masih hidup? Bagaimana keadaannya saat ini? Jika kelak berjumpa, apakah anak ini masih mengakui Rukiah sebagai ibunya? Pertanyaan demi pertanyaan terus memenuhi pikirannya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke Surabaya menjumpai buah hatinya. Dengan berbekal uang secukupnya ia kembali ke Surabaya. Rukiah meminta bantuan kerabat suaminya. Ia bekerja sebagai pegawai sipil yang bertugas mencatat berkas-berkas yang masuk ke Korem. Menelusuri berkas itu, Rukiah mencari alamat ibu yang mengadopsi anaknya. Teryata tidak mudah mencari alamat di kota sebesar Surabaya. Apalagi ibu itu sudah pindah dari rumah dinasnya. Namun Rukiah tidak menyerah. Dengan berbekal sedikit informasi dari tetangga Si Ibu Adopsi mereka berusaha menelusuri alamat barunya. Berjalan dari satu kampung ke kampung lain, di bawah terik matahari Kota Buaya, mereka jalani hingga akhirnya mereka menemukan alamat tersebut. Jantungnya berdegup kencang, ketika kakinya menjejak di halaman rumah itu. Berbagai bayangan muncul dalam benaknya. Tok…tok…tok…, Rukiah memberanikan diri mengetuk pintu. Seorang ibu-ibu membukakan pintu. Begitu melihat wajah Rukiah, raut mukanya langsung berubah. Namun dengan penuh kesopanan ia mempersilakan tamunya masuk. Sejenak ibu itu tampak gugup. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rukiah masih hdiup dan akan menemuinya. Tanpa banyak basi-basi Rukiah langsung mengutarakan maksud kedatangannya. “Ibu, sebelumnya saya mohon maaf, sudah lancang datang ke sini tanpa memberi kabar. Maksud kedatangan saya hanya untuk menengok anak saya yang dulu saya titipkan pada Ibu. Selama ini saya gelisah, karena tidak bisa membayangkan wajahnya,” tutur Rukiah mengiba. 8
Dengan terbata-bata si ibu menjelaskan, “Sebelumnya saya minta maaf, Bu…. Watiningsih, putri Ibu sudah lama tidak tinggal di sini lagi.” “Apa yang terjadi padanya, Bu?” sergah Rukiah. Ibu itu pun menjelaskan sedetil-detilnya tentang kondisi keluarganya setelah Watiningsih bersama mereka. Menurut ibu itu, ketika Watiningsih baru bersama mereka keadaan baik-baik saja. Namun seiring berjalannya waktu, muncul perubahan drastis pada putra kandung Si Ibu. Bocah laki-laki ini selalu memusuhi Wati, karena dia merasa tersaingi. Dia begitu takut kehilangan kasih sayang seluruh keluarganya yang kelihatannya seperti lebih memperhatikan dan menyayangi Wati. Untuk melampiaskan kekesalannya, dia selalu memukuli Wati kecil. Untuk menghindari akibat yang buruk, Si Ibu memutuskan untuk memberikan Wati pada temannya yang kebetulan sangat mendambakan momongan. “Ibu jangan khawatir, ibu angkat Wati ini menyanyangi Wati seperti anak kandungnya sendiri. Mereka betul-betul menginginkan seorang anak tempat menyalurkan kasih sayang. Waktu melihat Wati, mereka langsung tertarik dan memohon agar saya mengizinkan mereka mengasuh Wati,” kisah Si Ibu panjang lebar. Hati Rukiah berangsur tenang. Ia mencoba memahami. Sebagai ibu, ia tentu tidak tega bila anaknya menjadi korban kekerasan kakak angkatnya. “Boleh saya mendapat alamat ibu angkat anak saya, Bu?” desak Rukiah. Si Ibu memberikan alamat itu. Tanpa menunggu lama, Rukiah bergegas mencarinya. Ternyata alamat ini sulit ditemukan. Begitu ditemukan, ternyata orangnya sudah pindah. Terpaksa Rukiah mencari lagi ke alamat barunya yang juga tidak terlampau jelas. Ketika Rukiah menemukan alamat itu, rupanya keluarga ini sudah pindah ke desa di luar kota Surabaya, tak lama setelah kepala keluarganya pensiun. Setelah hampir sebulan berada di Surabaya dan nyaris putus asa, akhirnya Rukiah dibantu paman suaminya berhasil menemukan tempat tinggal baru keluarga yang mengadopsi Wati. Mereka tinggal di desa yang terletak kira-kira 40 kilometer dari Surabaya. Keluarga ini menerima Rukiah dengan ramah. Rukiah pun tak segan-segan membeberkan isi hatinya dan juga pengalaman pahitnya di masa lalu. Saat itu Wati belum pulang sekolah, sehingga ada kesempatan yang cukup bagi Rukiah dan keluarga ini untuk berbincang-bincang. Begitu Wati pulang, ibu angkatnya memanggilnya dengan lembut. “Nduk, ke sini sebentar. Ibu mau bicara.” Wati mendekati ibu angkatnya. Si Ibu dengan sabar menceritakan bahwa Ibu Rukiah adalah ibu kandung Wati. Melihat cara Si Ibu menjelaskan, Rukiah lega. Rupanya putrinya jatuh di tangan orang yang tepat. Wati dididik menjadi seorang anak yang baik dan penurut. Meski dalam hatinya mungkin ia tidak mempercayai kenyataan ini, ia tidak memberontak. Dengan santun, ia melangkah mendekati Rukiah dan memeluknya erat-erat. Keduanya sama-sama terdiam membisu. Air mata mereka menetes. Meski tiada kata yang terucapkan, namun eratnya pelukan Wati meyakinkan Rukiah bahwa darah dagingnya ini masih memiliki ikatan batin dengannya. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah perpisahan. 9
Begitulah yang dialami Rukiah dan putrinya yang kedua. Selain mereka tak terhitung lagi keluarga lain yang mengalami kejadian serupa bahkan lebih buruk, akibat tindakan rezim Orde Baru. Banyak keluarga yang tercerai berai. Anak-anak menjadi yatim piatu, karena orang tuanya dibunuh atau disiksa hingga meninggal. Jika tak ada keluarga yang mau menolong, mereka terpaksa harus menghidupi diri masing-masing dengan berbagai cara. Ada yang menjadi pengamen, pengemis, pekerja di warung, di pelabuhan, atau di mana pun. Betapa anak-anak yang tidak berdosa ini terpaksa kehilangan masa kecil atau masa remajanya dan harus menjalani kehidupan yang getir. Banyak pelajaran berharga yang dipetik Rukiah selama menjadi tapol. Betapa bangsa Indonesia yang terkenal ramah, kala itu, berubah menjadi bangsa yang tak berperikemanusiaan. Orang bebas menyiksa, membunuh, dan memperkosa sesamanya hanya karena orang lain itu termasuk anggota atau simpatisan partai yang terlarang. Bahkan ratusan ribu orang yang tidak tahu menahu ikut menjadi korban. Rukiah menjalani pahit getirnya kehidupan dengan tegar. Usianya terus bertambah. Tubuhnya bertambah renta. Namun semangatnya tetap menyala. Ia bersyukur akhirnya kekuasaan Orde Baru yang menindasnya tumbang. Soeharto lengser pada 1998. Rukiah dan suaminya, serta para korban peristiwa 1965, bersuka cita menyambut datangnya era baru. Era reformasi. Ada secercah harapan kepada pemerintahan baru untuk menegakkan keadilan. Namun hingga sekarang, keadilan itu tak kunjung datang. Pemerintahan di era reformasi yang silih berganti tak jua berani mengungkap sejarah kelam tahun 1965. Namun Rukiah yakin, Tuhan tidak diam. Suatu saat kebenaran yang sesungguhnya akan muncul.
*** Pewawancara dan penulis transkrip: Resma Nanga Penulis feature: Ika Mustika
10