Harga Sebuah Kesetiaan Sri Rohani
S
etia itu semakin lama waktunya maka semakin mahal, bukan? Lalu kenapa banyak orang yang mengeluh kalau setia itu menyakitkan? Tentu tidak akan menyakitkan jika setiamu kepada orang yang setia juga. Bukankah itu sederhana? Tatapanku kembali kepada awan yang bergulung-gulung di atas sana. Andai saja tanganku mampu meraih awan itu, tentu saja aku tak perlu pusing-pusing membelikan boneka teddy bear yang dipajang di toko persimpangan jalan itu. Tapi mau bagaimana lagi, cintaku tak semurni Tuan Derey, hingga dia sanggup membuat satu-satunya boneka teddy bear yang ter-
buat dari awan sungguhan dan memberikannya pada sang istri. Kini boneka teddy bear buatan Tuan Derey entah kenapa dijual oleh istrinya sendiri—setelah Tuan Derey meninggal. Dengan harga yang sangat mahal, yaitu sebuah kesetian. Semua pasangan menyatakan bahwa boneka yang sering disebut sebagai boneka awan itu adalah tanda kasih cinta. Itu sebabnya seluruh pasangan di dunia ini mencoba memilikinya untuk diberikan kepada sang wanitanya. Berulang kali para pasangan kekasih datang ke sana dan membuktikan kesetiaan mereka namun tidak pernah berhasil. Bahkan aku pernah melihat pasangan kakek-nenek yang sudah jompo pun ke sana namun yang di dapat juga nihil. Lantas,
setia yang bagaimana lagi yang dimaksud oleh Nyonya Derey? Selalu saja, sehabis mereka menyatakan bahwa merekalah pemilik kesetiaan itu dan mencoba untuk membeli boneka tersebut maka hubungan mereka akan berakhir. Mereka akan saling membenci satu sama lain, akan saling meludah, mengumpat, jika bertemu. Bahkan dalam beberapa kasus yang muncul di televisi, mereka saling membunuh satu sama lain tanpa ampun. Padahal dahulu mereka saling mencintai, namun semua berakhir hanya karena sebuah boneka. Butuh ribuan kali aku berfikir untuk mencobanya. Karena aku tak ingin hubunganku dengan istriku berakhir hanya karena hal bodoh seperti itu. Tapi aku bisa apa, saat kami menikah lima tahun yang lalu permintaannya sejak awal adalah boneka awan itu. Itu adalah permintaan pertamanya yang belum bisa terpenuhi hingga kini. Biasanya jika dia meminta sesuatu hal padaku, entah emas atau berlian sekalipun maka dalam hitungan menit semua telah ada dalam genggamannya, tapi kali ini aku sangat merasa miskin karena tak mampu menuruti keinginannya. Aku pernah sekali mencoba menyentuh boneka awan itu diam-diam saat Nyonya Derey keluar membeli makan siang. Aku membuka lemari kaca yang mengukung boneka teddy bear berukuran seperti anak usia lima tahun itu. Bulunya putih bersih juga halus dan lembut sekali melebihi kapas mana pun. Aku tak pernah menyesal sama sekali begitu menyentuhnya walaupun akhirnya ketahuan oleh cctv dan terpaksa mendekam dalam jeruji besi. Ingatanku kembali pada sebuah map yang tergeletak di atas meja kerja. Istriku yang tadi pagi memberikannya sebelum aku berangkat kerja. Dia meminta agar menandatangani surat itu dan selesai sudah segala urusan. Namun lebih tepatnya, selesai sudah segala duniaku. Bisikkan pelannya tadi pagi telah kudengar sejelas mungkin. Surat cerai! Alasannya hanya sepele, bahkan itu tak bisa kuterima sebagai sebuah alasan. Hanya karena aku tak bisa menepati janji, untuk membelikan boneka awan itu saat aku meminangnya menjadi istri. Berulang kali aku mengulur dan mengulur waktu. Kini dia hanya memberi tenggat
waktu sampai ulang tahun pernikahan yang keenam, dan itu jatuh pada esok hari. Sejurus kemudian segera aku keluar kantor lalu dengan seenaknya mengatakan pada sekertaris untuk membatalkan semua rapat pada hari ini. Segera kuberlari menuju lobi dan masuk ke dalam mobil, menancap gas sedalamdalamnya. Berharap bahwa semua permasalahan ini segera berakhir. Pernikahanku, duniaku, di ambang batas kehancuran hanya karena boneka awan sialan! Saat melewati sebuah pantai di pinggir jalan yang dipenuhi awan-awan indah nan lucu mirip seperti bulu domba yang begitu menggemaskan, aku mulai memperlambat laju mobil. Jendela samping terbuka begitu lebar hingga mengantarkan hembusan angin lembut yang dingin bercampur hangat, karena ketika kulirik arloji masih pukul tiga sore hari. Pantulan sinar mentari memancar dilaut menjadikan lautan yang indah itu semakin indah akan silaunya, seperti menampakkan butiran-butiran mutiara dari dasar laut. Mataku kembali memincing dan dengan seketika menghentikan laju kendaraan ketika mengenali sesosok wanita paruh baya yang tengah terpana seorang diri di tepi pantai. Dia yang ingin kutemui. Segera aku merapatkan mobil lebih ke pinggir dan keluar dengan tergesa-gesa. “Permisi,” sapaku saat mengetahui bahwa aku tidak salah orang. Wanita itu menatapku seketika, masih jelas terlihat buliran air sandar di pipinya dan ketika menyadari kedatanganku dia menghapusnya dengan segera. “Kau? Bukankah waktu itu yang pernah menyentuh boneka awanku?” Aku mengangguk pelan walau ada sedikit rasa malu menyelubungi dada karena mengetahui dia masih saja mengingat kejadian satu tahun yang lalu. “Ada apa, kau menghampiriku?” “Aku sebetulnya sangat menginginkan boneka awanmu itu. Sebenarnya bukan aku, tapi istriku.” “Bukankah kau sudah tahu apa akibatnya. Kalau kau bisa membayar harga boneka itu, tentu boneka itu akan jadi milikmu,” jawabnya dengan nada cuek yang masih dapat kudengar.
“Ya, aku tahu. Tapi jika aku tidak bisa memberikan boneka itu untuknya sampai esok hari. Maka pernikahanku berakhir di pengadilan,” ucapku tercekat. Seperti ada batu yang mengganjal tepat pada tenggorokan dan itu benarbenar membuatku tak bisa untuk menahan air mata, menyebalkan! “Itu bukanlah urusanku, itu urusanmu. Jika kesetiaanmu tidak pantas menjadi harga untuk membayar boneka itu! Maka selamanya tidak akan pernah pantas, dan aku tidak pernah akan memberikan boneka itu dengan harga cumacuma.”
Perkataan wanita itu sungguh sangat menusuk tepat di ulu hati. Aku pernah tertancap pisau di perut saat menghalau seorang pencuri yang mencoba merampok isi tasku dan hasilnya membuatku koma dua minggu juga mendapatkan jahitan. Itu sangat sakit, tapi rasa sakitnya tak pernah sebanding dengan rasa sakit yang kualami saat ini. Air yang sejak tadi tergenang di kedua mata kini tumpah seketika, ini kali kedua aku menangis setelah sebelumnya di saat ijab kabul selesai kuucapkan. Badanku yang orang bilang
sangat kekar dengan otot yang lumayan sempurna entah mengapa serasa lemas seperti tak memiliki tulang sediki tpun. Hingga akhirnya aku terjatuh di atas pasir yang masih terasa hangat. Terduduk tanpa alas tikar sedikit pun, tentu celana hitamku ini pasti kotor dengan pasir dan aku tak pernah suka hal itu, berbeda sama sekali dengan kali ini. “Aku mohon, bantulah aku. Apa pun akan aku berikan, asal itu bisa membuatku tidak bercerai dengannya. Aku hanya lelaki biasa, bersamanya aku bisa memiliki seluruh dunia ini. Dia adalah kebahagiaanku.” Wanita itu dengan cepat menyusul menjatuhkaan tubuhnya tepat dihadapanku, tangannya yang renta mencengkram erat bahuku. “Benarkah kau akan melakukan apa pun, untuk mendapatkan boneka awan itu?” “Tentu,” ucapku lemah. “Sebenarnya, masih ada satu cara lagi selain kesetiaan.” “Apa?” Aku mendelik, berharap tidak salah mendegarnya, karena ombak di tepi pantai ini sejak tadi berkecamuk tanpa henti. “Sebenarnya ada satu cara lagi agar kau bisa mendapatkan boneka itu untuk istrimu.” Kemudian bibir tuanya yang tadi terbuka jelas kini kulihat mengatup kembali. Sepertinya ia tak yakin ingin memberi tahuku akan hal ini. “Aku mohon katakan, pasti akan kubayar berapapun harganya,” ucapku kembali meyakini. “Apa kau sungguhan? Harganya tentu tidak pernah murah,” ucapnya seraya berdiri dari tempatnya. “Kembalikan suamiku yang telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Tukar dengan jiwamu.” Jleb! Persyaratan itu kini membuatku lebih kaku lagi. Bertukar jiwa? Aku memohon padanya untuk memberikan boneka awan itu. Tapi kenapa jadi bertukar jiwa? Itu sama saja aku tidak akan pernah bersatu lagi. Apa bedanya bercerai dengan mati? Persyaratan yang bahkan sama sulitnya dengan sebelumnya. Percuma! Segera aku berdiri dari tempatku, “Itu bodoh namanya! Aku tidak pernah ingin menukar jiwaku. Aku hanya tetap ingin hidup bersama dengan istriku. Kehilangan orang yang sangat kau sayangi tidak pernah segampang itu! Kau sudah tahu bukan bagaimana rasanya? Lalu kenapa kau tega menyuruhku begini?”
“Sudah kubilang harganya tidak pernah bisa kau bayar dengan uang! Kau sudah tahu bukan bagaimana rasanya hendak berpisah, lalu bagaimana dengan aku yang terpisah dalam waktu sepuluh tahun? Aku berusaha mencari orang yang dapat memenangkan boneka itu, agar aku bisa bertemu dengannya kembali, namun hasilnya nihil hingga kini,” ucapnya tegas. “Bukankah sudah kuperingatkan sejak awal, bahwa harga sebuah kesetiaan tidak pernah semurah yang kau fikirkan?” Aku menyembulkan napas berat, air di pipi mengering dengan sendirinya. Ah, istriku, kenapa kau memberikan beban seberat ini? Kenapa kau harus meminta boneka itu? Dan dengan bodohnya aku mengiyakan. Karena kupikir, harga sebuah boneka tidak sampai jual rumah, ternyata malah aku menjual jiwa! “Apa aku tidak bisa hidup kembali?” Tanpa tunggu waktu lama, wanita paruh baya itu menganggukan kepalanya berulang kali.“Bisa, kau bisa kembali. Jika ... wanita itu benar-benar setia kepadamu.” Setia? Oh, tentu saja! Istriku tentu sangat setia kepadaku, dia tak pernah membantah satu pun ucapanku. Kerjanya hanya di rumah, jangankan bertemu lelaki yang bukan muhrimnya bahkan keluar rumah pun jarang jika tidak bersamaku. Lalu bagaimana caranya dia bisa berselingkuh? Aku tahu benar, dia adalah istri yang sangat setia. “Kita akan tahu, dia setia atau tidak. Ketika boneka awan itu telah berada dalam dekapannya maka, jika warna boneka itu berganti menjadi kelabu itu tandanya dia selingkuh dan jika warnanya tetap putih terang maka dia setia.” “Setuju,”jawabku yakin. Setelah itu aku mulai mengabarkan melalui telepon, bahwa sebentar lagi boneka awan itu akan menjadi miliknya, terdengar dengan jelas bahwa dia sangat bahagia. Tak lama senja mulai berpendar di sekeliling. Para burung-burung yang paginya mencari makan mulai pulang kembali ke rumah masing-masing. Para jiwa-jiwa manusia juga mulai berputar-putar di kala senja sambil menemani matahari tenggelam. Tiupan ombak semakin kencang terasa. Ketika wanita paruh baya dengan rambutnya yang semakin putih terkena bias cahaya senja memberikan isyarat
padaku untuk segera melakukannya. Maka kumulai dengan memejamkan mata, terlihat beberapa orang melayang-layang di hadapanku. Mereka berwajah pucat dingin tanpa ekspresi, saat melihatku mereka langsung mengerumuni, berulang-ulang kali kupanggil Tuan Derey dalam hati dan penuh keyakinan juga merapalkan mantra penukar jiwa. Tak lama, seorang lelaki yang umurnya hampir beda beberapa tahun dengan wanita tua yang sedang bersamaku, datang menghampiri. Dia tersenyum dan dengan cepat menarik jiwaku untuk keluar, lalu dia merasuk dalam ragaku yang telah kosong. Kini aku melayang-layang seperti di luar angkasa. Dengan wajah dan hati yang semula ceria entah mengapa berubah datar tanpa ekspresi. Aku masih dapat melihat tubuhku tadi berubah menjadi lelaki tua renta yang umurnya tak jauh berbeda dengan wanita renta yang kini ada di sampingnya. Tuan Derey dan Nyonya Derey, telah kembali berkumpul. Di kejauhan istiku telah memeluk boneka itu karena bahagia, sebuah kebahagian yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dalam hitungan detik boneka itu berubah warna menjadi kelabu. Boneka awan itu hendak diberikan kepada seorang lelaki yang sedang berada di hadapannya, tapi lelaki itu menolak dengan amarah dan cacian berulang kali, karena warna boneka itu tidak lagi sama seperti yang dia inginkan. Aku kenal wajah lelaki itu, wajah yang dulu penuh amarah saat aku selesai mengucap ijab kabul, tak pernah terduga mereka masih menjalani cerita lama, sebuah cerita yang kukira telah selesai ketika aku sudah melamarnya. Akhirnya istriku membuang boneka itu dan warnanya kembali lagi menjadi putih terang namun ketika dipegangnya kembali warnanya berubah lagi menjadi kelabu. Bodoh! Sekarang aku tahu, kenapa sebabnya wanita renta itu meletakkan boneka awan di dalam kaca. Ya, kesalahan yang terulang. Kesalahannya yang dulu kini diulang kembali oleh istriku.Kembali kutatap pasangan renta di pinggir pantai, mereka tetap berdebat tentang masalah sepuluh tahun yang lalu. Tak lama, lelaki renta menjauh meninggalkannya sendirian. Wanita tua itu memejamkan mata dan berhasil melihatku.
“Maafkan aku karena mengorbankanmu. Aku memang sudah tahu sejak awal kalau istrimu tidak pernah setia. Maaf, harus membunuh yang setia dari pada yang berdusta. Bukankah sudah kubilang bahwa harga sebuah kesetiaan itu cukup mahal? Untuk apa setiamu jika kau setia kepada orang yang tidak pernah setia.” Wanita renta itu kemudian berusaha mengejar pria renta yang kini telah berada jauh di depannya. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk hidup bersama kembali, sebab wanita itu berulang kali menyatakan tidak akan melakukan hal yang sama dan di hati lelakinya masih ada cinta yang tak pernah surut meski itu pernah hilang ditelan kedustaan. Sedang aku akan tetap ada di sini hanya ketika senja terbit, setelah itu aku tertelan oleh hembusan angin dit epi pantai. Menyaksikan istriku kini menangis tersedu seperti yang dilakukan wanita tua itu ketika aku bertemu. Sebenarnya yang dia inginkan untuk hadiah pernikahan yang keenam adalah lelaki itu, bukan sebuah boneka. Toh, pada akhirnya boneka itu berakhir di tempat sampah. Memang rasanya aku yang salah mencerna maksudnya. Aku akan tetap ada di sini, tetap bertahan sampai pada suatu saat nanti ada seorang pria yang rela mengorbankan jiwanya untuk ditukar denganku dan membuat aku kembali bersama bidadari hatiku yang mungkin tak pernah tahu jika kelakuannya ini keliru. Kesetiaan tetaplah harga mutlak tanpa bisa ditawar, yang harus kau berikan pada seseorang yang kau cinta. Meski akhirnya pasanganmu tak melakukan hal sama, pedih memang. Aku dan Tuan Derey sudah merasakan itu. ***