Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
Rumah Republik Indonesia kita adalah ruang hidup yang ramah tempat kehidupan ber-‘kasih sayang ‘ di antara kita. Rumah yang sejatinya berasal dari kata rahma-rahima-ruhama yang bermakna kasih sayang (Faqih Hasyim, 1997), semestinya menjadi tempat yang dipenuhi nilai-nilai kasih sayang universal yang mampu membuat segenap penghuninya saling cinta, rindu, kasih, sayang. Saling memperkuat, membesarkan, asih, asah, asuh, saling sinergi-transendensi dengan nilai-nilai cahaya-aura Roh Absolut ‘kasih sayang’ Negara (W.F. Hegel). Atau dalam terminologi lain dikenal dengan nilai-nilai universal kemanusiaan transenden bonum commune-bonum publicum/kalimatunsawa bersama sebagai satu kesatuan bangsa atau nilai-nilai keagamaan publik ( civil religion ) atau budaya masyarakat berkeadaban ( civic culture ) atau modal sosial atau nilai-nilai kehidupan universal ( living values ) atau nilai-nilai kesalehan ‘keberagamaan’ sosial masyarakat warga yang berkeadaban ( civil society /Masyarakat Madani) yang dapat mensenyawakan keseluruhan bahan-bahan anasir kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita.
Kita lahir di sini, membangun ruang kehidupan dengan nilai-nilai ‘cinta yang penuh kasih sayang’ di sini , menjadi wakil Tuhan (khalifah) di sini, tidak di tempat lain dan bakal menghembuskan nafas terakhir di sini pula. “…..Tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata”(Lagu Perjuangan “Indonesia Pusaka”). Atas berkat rahmat (berasal ruhama yang bermakna cinta yang penuh kasih sayang) Allah yang Maha Kuasa, (Tuhan Yang Maha Esa) dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya (Pembukaan UUD 1945). 1 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
Rintisan tata pembangunan sosial-politik di negeri nusantara, berupa tradisi administrasi publik yang berkeadaban telah ada dalam realitas sosio-historis nusantara dengan aneka pola ‘noto negoro’-nya. Semua tradisi tata keadaban publik itu telah ada dalam kerajaan-kerajaan nusantara dengan aneka varian adonan sistem kemasyarakatan politiknya. Dari bentuk monarki penuh yang sangat feodal, tata masyarakat warga monarki semi feodal yang bersipirit menghormati hak-hak publik dengan raja yang mengedepankan nilai keadilan, hingga pembangunan grammar kekuasaan monarki sosial politik yang check and balances antar komponen kemasyarakatannya. Sebut saja kerajaan-kerajaan; Kutai, Tarumanagara, Kalingga, Samudra Pasai, Sriwijaya, Kediri, Majapahit, Bugis, Makasar, Pagaruyung, Bone, Buton, Demak, Cirebon, Siak Kuala, Banten, Bali, Ternate, Tidore hingga Mataram baru. Tugas Keilmuan Pejuang dan Cendekiawan Bangsa
Para founding fathers yang ikhlas dengan otentisitas kebeningan ruhaninya telah merebut bumi pertiwi, mewariskan negara republik Indonesia, konstruski asasi blue print ‘noto negoro’ negara bangsa dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 yang diformulasikan dari bahan-bahan ontologis negara-negara bangsa yang ada di nusantara. Benarlah bahwa Pancasila digali dari aneka kekayaan peradaban suku bangsa nusantara yang amat kaya, tapi satu tugas kebangsaan yang niscaya mesti dilakukan anak bangsa baru ini, bangsa Indonesia, adalah membangun paradigma pengetahuan sistem sosial politik masyarakat Indonesia yang digali dari anasir-anasir universal dari tradisi civic culture – roh absolut negara dari kerajaan-kerajaan besar bangsa-bangsa di nusantara . Sistem pengetahuan tersebut nantinya bisa menjadi pandangan dunia kita dalam merespon realitas sosiohistoris, menempatkan analisi posisi dan 2 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
peran diri sebagai anggota dari kolektiva-kolektiva besar suku bangsa, agama, masyarakat, bangsa dan negara Indonesia bahkan dalam percaturan pergaulan masyarakat dunia. Membangun sitem pengetahuan paradigma ke-Indonesiaan kita, menjadi tugas sejarah tak ringan dari generasi penerus dalam membangun tata kesadaran masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang menyeluruh yang mensenyawakan secara padu dalam pola check and balances antar komponennya. Bersama para pendiri negara dan pejuang bangsa, Bung Karno dan Cak Nur, dua Bapak Bangsa kita, merupakan teladan yang secara menonjol berdarah-darah mengorbankan diri dan seluruh hidupnya untuk tegak berdirinya negara bangsa Indonesia dalam pola fikir landasan idealitas dan infra-supra struktur landasan realitas. Nurcholis Madjid dengan kecemerlangan kapasitas akal budi dan inteleknya telah mencoba merekonstruksi pandangan dunia masyarakat warga ‘Madani’ Indonesia yang visioner dan menyejukkan, walau baru sampai pada tataran etis belum sampai pada tataran sosiologis. Bung Karno sejak masa mudanya telah mencoba mensintesakan anasir universal dari ideologi pembebasan kaum tertindas dari sosialisme-Marxime, nasionalisme kebangsaan dari DR. Sun Yat Sen dan ‘api’ Islamisme (yang progressif, jujur, adil, emansipatoris-anti penindasan, menonjolkan intelek-akal budi, etis, transformatif, inkusif, humanis serta kosmopolit). Di kemudian hari bung Karno menggulirkannya dalam NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunis) di samping ‘ 11 Bahan Indoktrinasi Manipol USDEK’ yang meramu konstruksi negara bangsa Indonesia dari bahan adonan landasan idealitas dan landasan realitas ke-Indonesiaan. Imajinasi Bung Karno mengenai petani Marhaen yang kemudian menjadi merk ajaran Marhaenisme-nya dapat menjadi ispirasi bagi kita semua betapa bendera kejujuran dan keadilan, bendera revolusi hakiki, adalah suara keabadian (echo of eternity) yang takkan lekang ditelan waktu dan akan selalu ditegakkan para jagoan Ilahi, para pewaris Nabi, orang suci dan para pemimpin negeri pada sepanjang sejarah manusia. Bung Karno yang humble dengan kelapangan dadanya yang tak terperi,
3 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
telah menawarkan kepada putra-putra terbaik bangsa di Lembaga Konstituante untuk mengkonstruksikan bangunan republik negara bangsa Indonesia yang pas dengan landasan realitas sosio historis nusantara Indonesia. Namun takdir Tuhan rupanya tak mengizinkan terumuskannya konstruksi negara bangsa Indonesia dari modalitas kesadaran dan kapasitas teknikalitas elit-elit terbaik bangsa saat itu. Dengan sangat terpaksa, tak ada pilihan lain untuk menyelamatkan bangsa negara Indonesia, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Pemberontakan PKI pada 30 September 1965, membuat Bung Karno dengan sikap kenegarawanan sejatinya, menitipkan bangsa ini kepada pak Harto, dan mendesaknya untuk segera mengambil langkah guna menyelamatkan negara bangsa dan pak Harto lalu menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Selain daripada itu patut pula dicatat dan menjadi tugas para pejuang-cendekiawan bangsa untuk juga menteorikan dan mengoperasionalkan khazanah warisan pemikiran ekonomi kerakyatan nan sejahtera-koperasi ‘kooperasi’ kekeluargaan (Bung Hatta), kemanusiaan yang adil dan beradab (Syahrir), ideologi keadilan Materialisme- Dialektika-Logika (Madilog) dari Tan Malaka, Jalan Paradigma Transformatif Indonesia dari Kuntowidjoyo dan roh kebangsaan-filosofi pendidikan Taman Siswa ajaran Kihajar Dewantara. Akar Problematika Indonesia
Masyarakat Indonesia yang dalam kacamata Benedict Anderson (1991), lahir karena imajinasi (imagine society) dari kreasi para pejuang dan bapak-bapak pendiri negeri, merupakan fenomena negara bangsa yang tengah berproses menjadi. Negeri ge mah ripah loh jinawi , subur makmur kaya raya ini, sejak dalam kandungan ibu pertiwi terutama dengan cakupan luasan area yang besar, pada era Sriwijaya dan Majapahit dengan sistem sosial politiknya yang bercorak monarkis feodal harus diakui menyimpan dalam dirinya berbagai potensi yang paradoksal jika salah 4 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
dalam mengambil jalan dalam menata negaranya. Karena seperti dikemukakan Lord Acton dalam diktumnya, ‘Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pastilah korup’. Dengan mindset pandangan hidup publik rakyat bangsa nusantara paradoksal yang bercorak ‘meta dunia’ (Soedjatmoko,1979)antara anasir gusti ke’dewa’an pada kaum elitnya berhadapan dengan anasir budak hamba ‘kawula’ pada rakyat, menjadikan gaya kekuasaan elit feodal dominatif dan pada sepanjang sejarahnya, dinamika peralihan kekuasaan nusantara yang selalu berpola disintegratif (Soedjiyarto,2003). Joselin de Jong secara khusus mencatat, kedatangan Islam yang berspirit kosmopolit, emansipatoris, etis, inklusif, dan egaliter dengan daya akomodasi kulturalnya, melalui proses transformasi kebudayaan yang menakjubkan membawa bangsa nusantara ini menjadi lebih beradab. Kelahiran kerajaan Mataram Islam sesudah era disintegrasi kerajaan Pajang mengentalkan dan mengukuhkan kembali sistem monarkis feodalis ‘kawula gusti’ dalam formatnya yang baru (setelah coba dipotong karmanya melalui gerak progresif dari kaum transformer kebudayaan Islam nusantara). Takdir Tuhan, Sang Sutradara Agung mengantarkan bangsa nusantara kepada era penjajahan setelah kedatangan kaum penjajah Portugis, Inggris dan Belanda yang semula berniat berdagang. Kedatangan penjajah Eropa yang membawa semangat Ronconguesta (Gold, Glory dan Gospel) turut menambah beban problematik struktur dan kultur peradaban Nusantara dengan bersenyawanya feodalisme dan kolonialisme sekaligus. Namun terlepas dari sisi gelap eksploitasi kemanusiaan kaum Bumiputra, kaum kolonialis Eropa utamanya Belanda telah membawa hikmah tersendiri, memperkenalkan bangsa pribumi nusantara kepada peradaban, alam pikiran, sistem pengetahuan rasional positif, tata kelola transportasi, irigasi, demografi, tata kota, arsitektur, teknologi , seni dan kebudayaan Eropa. Terlebih lagi para elit pribumi mendapatkan pencerahan yang signifikan dari peradaban Eropa dengan digulirkannya Politik Etis yang digagas oleh Pieter 5 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C. Van Deventer (politikus Belanda). Sesudah era penjajahan Belanda selama kurang lebih 3,5 abad, kedatangan bangsa ‘Saudara Tua’ Jepang mengusir Belanda, menjadi momen emas bagi para elit pejuang generasi pembebas jilid pertama, Soekarno dan kawan-kawan untuk merebut kemerdekaan bangsa. Sebelumnya gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dengan skope kebangsaan yang luas telah dirintis jalannya oleh Kartini memalui gerakan emansipatorisnya, HOS Cokroaminoto bersama H Samanhudi melalui Sarikat Dagang Islam dan Sarekat Islam serta Dr Sutomo dan kawan-kawan melalui Budi Utomo, Ki Hajar Dewantara melalui Taman Siswa, Bung Hatta melalui Perhimpunan Indonesia dan banyak lagi gerakan pembebasan yang mendobrak kungkungan dominasi kekuasaan penjajah Belanda. Kemerdekaan lalu berhasil diraih melalui trigger perjuangan kaum pergerakan generasi pembebas jilid pertama, Bung Karno dan kawan-kawan, Negara Kesatuan Republik ‘kehendak umum’ Indonesia berdiri dengan landasan idiil Pancasila dan konstitusionil Undang-Undang Dasar 1945 yang azasi dan universal. Walhasil, warisan negara bangsa dengan landasan idealitasnya yang visioner, berpondasi filosofi kemanusiaan yang agung dan universal dari founding fathers , menunggu tangan superkreatif putra terbaik negeri untuk mengintegrasikannya ke dalam paduan kepribadian nasional kebangsaan Indonesia yang matang. Realitas Ke-Indonesiaan Kini
Pada 17 Agustus 2009, Republik Indonesia telah berumur 64 tahun. Bercermin dari rentang konsolidasi demokrasi kebangsaan Amerika yang memakan waktu 350 tahunan, dari zaman Wild-Wild West hingga datangnya era pembebasan komprehensif generasi Thomas Jefferson, usia perkembangan Indonesia bisa kita analogikan masih pada era usia anak-anak pra remaja yang tengah berproses mencari bentuk jati dirinya. 6 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
Meminjam terma dari Kurt Lewin, Life space, ruang hidup atau ruang publik rumah Republik Indonesia kita amat sesak dipenuhi aura abu-abu kaum medioker . Kaum ‘musang bulu domba’ ini cenderung hipokrit dengan kepribadian setengah-setengah tanpa kejelasan kelamin ideologi ksatria yang bersukma kerakyatan, tanpa spektrum holistik dengan fokus vektor-vektor anasir kepentingan yang mengarah kepada perjuangan kehendak umumRes publica sebagai harkat martabat rakyat dari Negara Republik yang bernama Indonesia ini. Paulus Wirutomo menyebutkan keadaan abu-abu tersebut sebagai kegelapan nilai-nilai budaya di ruang publik(Jurnal Sosiologi Indonesia,07/2005). Kegelapan ruang publik Indonesia diakibatkan determinasi pemain ekonomi ‘pasar’ yang kuat terhadap ruang publik yang tak bertuan sementara posisi negara lemah dengan aparatnya yang tak memiliki sukma kerakyatan. Tanpa ampun, roh absolut negara, roh demokrasi, tungku api kebangsaan, modal sosial bangsa, nilai-nilai kemanusiaan transenden-bonum commune-bonum publicum- kalimatun sawa tergerus redup tak berdaya digilas gelombang neo imperialisme, materialisme, pragmatisme sempit, hipokritisisme, individualisme, instanisme, narsisme pencitraan libidal dengan gaya hidup hedonisme yang menghianati nurani kebangsaan, kesejatian diri pribadi dan masyarakat warga sejati. Ketidakadilan makin menganga lebar, dalam catatan HS. Dillon (Kompas, 19-08-2009), 80% dari penduduk Indonesia (sekitar 160 juta penduduk) masuk dalam kategori miskin, sementara mengutip pernyataan Soegeng Sarjadi, segelintir orang (50 orang) menguasai aset pemilikan yang setara dengan keseluruhan aset orang miskin(Wimar Witoelar,2007). Jurang pemisah antara pelita ‘matahari’ besar Pancasila sebagai nilai-nilai ideal kebangsaan makin menganga lebar dan dalam dengan nilai-nilai aktual yang berkembang pada realitas sosial yang didominasi gaya hidup ‘gelap’ di atas dalam keseharian kita. Ruang keterbelahan kepribadian bangsa yang hipokrit mewarnai ruang batin anak bangsa 13.600 pulau ini. Di satu sisi
7 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
secara kognitif mereka memahami norma aturan main berkeumatan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, namun di sisi lain karena dominasi kekuatan kaum neo imperialis yang menggelapkan nilai-nilai budaya di ruang publik, maka ruang batin anak bangsa dipenuhi dengan nilai-nilai kegelapan berupa materialisme, pragmatisme sempit, hipokritisisme, individualisme, instanisme, narsisme pencitraan libidal dengan gaya hidup hedonisme, hanya mengejar kenikmatan duniawi yang sensansional namun semu. Kerumitan problematika sosial dalam pandangan Paulus Wirutomo, juga terjadi akibat tiadanya konsistensi di antara lembaga agen-agen pengubah sosial (keluarga, pendidikan dan dunia kerja). Peran sosiologis ketiga lembaga pengubah sosial tersebut telah banyak berubah akibat warna kegelapan ruang publik yang mengakibatkan anomi relasi peran dan ketidakkonsistenan peran di antara ketiga lembaga tersebut. Selain itu problematika sosial juga akibat terjadinya proses institusionalisasi (pelembagaan) tanpa dibarengi proses internalisasi (pembatinan) ataupun sosialisasi. Berbagai perubahan kelembagaan dan undang-undang sesudah reformasi tidak dibarengi proses internalisasi nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan perubahan institusional pada masing-masing ranah kehidupan. Perubahan undang-undang Pemilu dan partai politik tidak dibarengi penanaman nilai-nilai keberwarganegaraan, demokrasi, HAM dan masyarakat warga. Perubahan undang-undang di bidang hukum tidak dibarengi dengan penanaman nilai-nilai rasa keadilan nurani publik, kesetaraan dan keadilan akses hukum. Manajemen pembangunan sosial guna meningkatkan kualitas relasi sosial macet dan tak adanya ruang kreativitas untuk pengembangan kemajuan tingkat keberadaban masyarakat benar-benar membuat bangsa Hindia ini, bernasib tak putus dirundung malang dan hampir secara naif menderita kekalahan untuk kemudian merayakannya dengan rasa putus asa. Kita saksikan pada hampir keseluruhan ekspresi di realitas sosial, ‘realitas kamera’ dan media yang nampak hanyalah potret kekalahan anak bangsa dengan segala kemasan ‘bungkusan’ budaya populer yang memilukan namun sebagian besar terlihat menarik. Segala sumberdaya, apapun sumberdaya yang masih di bawah dominasi kerangka wilayah kuasa dari kelompok ekonomi kuat dijadikan komoditas, walau dengan mengambil
8 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
ikon-ikon tokoh masyarakat sipil secara langsung beserta seting komunalnya, sekedar sebagai pencitraan ruang usaha, atau sekedar bintang iklan dari garukan raksasa aset konsumen dan rakyat. Amat langka teladan tokoh berintegritas kebangsaan sosial, amat langka kelompok acuan yang mau berdarah-darah memperjuangkan keseluruhan problematika kepentingan keumatan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Semua mesti kembali ke pakem, kembali ke kompas kebangsaan-kenegaraan, mesti jelas dimana pulau Kan’an yang dituju, kita mesti tahu analisa posisi dimana arah angin timur, selatan, barat dan utara, pulau-pulau apa yang akan kita lalui, analisa SWOC (Strengthness, Weakness, Opportunity dan Challenge ) kebangsaan kita, perbekalan apa yang mesti disiapkan, kualitas sumberdaya demokrasi apa dan bagaimana yang harus dipenuhi untuk bisa selamat berkonsolidasi demokrasi sampai ke pulau Kan’an, sistem struktur mesin kapal seperti apa yang mampu tahan banting guna memfasilitasi terbentuknya kelompok kecil elit yang mampu menyemai civic culture -roh absolut negara-modal sosialbonum commune/publicum-kalimatunsawa sebagai nilai-nilai budaya ‘negara bangsa’ dalam kapal selamat tersebut.
Masyarakat Warga Sejati
Aura tantangan zaman menghadapi kaum neo imperialisme di era Millenium ketiga ini nampaknya sama dengan yang dihadapi Bung Karno dan kawan-kawan di era awal kebangkitan nasional pada awal Millenium kedua. Namun seperti pernah Bung Karno katakan dalam nasehatnya kepada Megawati, bahwa penjajahan di era Megawati jauh lebih berat ketimbang pada masa Bung Karno dulu. Pada masa Bung Karno dulu, lawan penjajah yang dihadapi jelas-jelas berkulit putih dengan segala antek-antek pengkhianat pribuminya. Penjajahan saat ini lebih berat karena sesudah
9 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
merdeka yang menjadi penjajah adalah elit bangsa Indonesia yang bersama kaum neo imperialis menjajah bangsanya sendiri . Menurut Amien Rais kaum neo imperialis (dengan jejaring kekaisaran korporatokrasinya) memiliki daya rusak ratusan kali lipat dibanding penjajah Belanda(Kompas, 10 November 2008). Dalam bukunya ‘Selamatkan Indonesia’, Amien Rais memetakan betapa kaum imperialis baru memiliki sistem yang lebih canggih dibanding penjajahan Belanda di masa lampau. Mereka menindas, mengeksploitasi, menjajah dan menjarah negeri kolam susu ini, berikut penduduknya dengan menggunakan 8 alat kelembagaan antek-anteknya melalui korporasi-korporasi besar, bank, birokrasi, militer, media masa, LSM, dan lembaga keuangan lain. Tak tertahankan negara tersandera karena pengkhianatan ataupun perselingkuhan otoritas elit-elitnya sebagai pelayan kaum neo imperialis dan bangsa nusantara ini dapatlah kita katakan nyaris menjadi bangsa yang kalah bila tak ada generasi pembebas. Mereka adalah generasi critical mass, kelompok pengambil resiko (risk taker ), generasi Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) seperti Soekarno dan kawan-kawan sebagai generasi yang membebaskan bangsa dari kungkungan penjara penjajahan yang telah berlangsung ratusan tahun. Saat ini tak bisa tidak, mesti dilahirkan kembali generasi Berdikari yang akan memikul beban sejarah sebagai generasi pembebas bangsa jilid kedua. Menyaksikan realitas problematika anomi sosial dan dominasi kaum neo imperialis yang tak tertahankan ini, isyu kemandirian Berdikari terutama kemandirian sosial (social entrepreneurship) mestilah digulirkan kembali. Kita patut bercermin pada keberhasilan konsolidasi demokrasi di Korea Selatan yang berpondasi pada modal sosial bangsa, konsolidasi sosial yang solid kaum kelas menengah-bawah Bazaar di bawah dirigen politik Ahmadinejad di Iran, gerakan kemandirian sosial Muhammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh, gerakan pembebasan Nelson Mandela 10 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
dkk. di Afrika Selatan, konsolidasi demokrasi sosial yang cukup baik di Vietnam serta buah dari gerakan etika pembebasan pada kebijakan pemerintahan ‘daulat rakyat’ presiden Evo Morales, Hugo Chaves dan mantan Uskup Paraguay di Amerika Latin yang pekat dengan tadisi feodal. Seluruh keberhasilan rekan-rekan pejuang kemanusiaan transenden tersebut dapat menginsight, memberikan spirit dan menginspirasi kita untuk lebih jauh mengaktualkan khazanah modal sosial yang masih terpendam dalam budaya lokal dan menteorikan seluruh warisan pemikiran dari founding fathers serta guru bangsa menjadi paradigma sistem pengetahuan kebangsaan Indonesia yang dapat menjadi pandangan dunia orang Indonesia dalam menghadapi tantangan realitas sejarah dan fenomena sosialnya. Kalau Bung Karno menggagas terbentuknya kaum Marhaen yang mandiri dengan anasir-anasir ajaran Marhaenisme yang memadukan Islamisme-Marxisme-Nasionalisme atau Nasionalis-Agama-Komunis, Cak Nur menggagas terbentuknya masyarakat warga (Masyarakat ‘Sipil’ Madani/ Civil Society ) yang pluralis, intelek-berakal budi, inklusif, kosmopolit, mandiri, profesional dan berkeadaban. Dalam memberikan dasar pijakan kesadaran tentang eksistensi negara kepada segenap umat Islam, Cak Nur membangun lanscape sosioetik-relijius kebangsaan umat dengan merefer kepada Masyarakat Madinah yang dipayungi traktat Madinah yang juga dikenal sebagai konstitusi Madinah. Pancasila dan UUD 1945 lalu menjadi spirit kebangsaan, anasir konstitusi dan dasar negara definitif yang sama sebangun dengan konstitusi Madinah dalam masyarakat-negara Madinah. Menjadi kondisi sine qua none, yang tak bisa ditawar-tawar lagi bagi kita untuk merealisir terbentuknya masyarakat sipil yang telah dinubuatkan oleh Cak Nur, kumpulan-kumpulan masyarakat warga yang Berdikari akan menjelma menjadi masyarakat warga sejati yang intelek, berakal budi, bermartabat dan mengembangkan budaya
11 / 12
Ruang Hidup yang Penuh Aura Kemunafikan Thursday, 01 October 2009 09:25
kewarganegaraan ( civic culture ) yang berkeadaban. Dari kelompok menengah strategis inilah diharapkan jalannya penegakan proses konsolidasi demokrasi Indonesia dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Dari kelompok kaum terbaik bangsa ini diharapkan dapat terbangun masyarakat warga ‘negara Indonesia’ sejati yang terbentuk dari anasir-anasir unggul: (1) Tata kesadaran keumatan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia yang check and balances . (2) Terbangunnya masyarakat politik yang bersukma kerakyatan dan berjiwa negarawan. (3) Terbangunnya masyarakat warga yang kuat berkeadaban dan (4) Terbangunnya struktur ekonomi berkeadilan yang menyejahterakan masyarakat warganya. Semoga!. (Abdi Rama)
12 / 12